EFEKTIVITAS EMULSIFIABLE CONCENTRATE (EC) BERBASIS EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach L.) DALAM MENGURANGI KERUSAKAN BERAS AKIBAT SERANGAN Sitophilus zeamais Motsch SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI HAFIZ FAKHRURROZY F24080058 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 EFFECTIVENESS OF EMULSIFIABLE CONCENTRATE (EC) FROM MINDI LEAVES EXTRACT (Melia azedarach L.) IN REDUCING RICE DAMAGE DUE TO Sitophilus zeamais Motsch ATTACK DURING STORAGE Hafiz Fakhrurrozy and Yadi Haryadi Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus, PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia Phone: +62 856 927 852 33, e-mail: [email protected] ABSTRACT Rice is the staple food in Indonesia. It needs to be preserved with a good post-harvest handling. Storage is one of the most important stage. At this stage there are often changes in the quality and quantity of stored materials that are influenced by various factors such as storage facilities and warehouse pests. Sitophilus zeamais is a major pest during storage of food grains such rice and maize. Insect control is mostly done by using synthetic insecticides. However, the use of synthetic insecticides should consider their danger due to the fact that they are poisonous to man and domestic animals. One effort to find a replacement for synthetic insecticides are insecticides derived from plants. Mindi (Melia azedarach L.) is a type of tree that grows in tropical and sub-tropical areas and is known as source of plant pesticide. The objectives of this research are to determine the effectiveness of insecticide formulations in the form of Emulsifiable Concentrate (EC) to be applied to the storage of rice and to study the damage of rice during storage due to Sitophilus zeamais infestation. This research consists of two main steps, i.e. preparation stage and insecticide test stage. Parameters observed during storage are number of insect populations (Nt), percent of the holed seeds (%BB), percent weight loss (%KB), % frass, water content and free fatty acid content. Mortality test showed that at concentration of 0 % causing 14 % of insect mortality. It means that in the absence of active ingredient, solvent and emulsifier influence the development of insects. Result of the insecticide test showed that the concentration variation of Melia azedarach L. leaves extract significantly affect (p<0.05) the parameters of rice damage. It was concluded that the most effective concentration of the extact to reduce rice damage is 16 %. Keywords: rice, insecticide, emulsifiable concentrate, mindi, Sitophilus zeamais Hafiz Fakhrurrozy. F24080058. Efektivitas Emulsifiable Concentrate (EC) Berbasis Ekstrak Daun Mindi (Melia azedarach L.) Dalam Mengurangi Kerusakan Beras Akibat Serangan Sitophilus zeamais Motsch Selama Penyimpanan. Di bawah bimbingan Yadi Haryadi. 2012 RINGKASAN Beras merupakan bahan makanan pokok sebagian besar penduduk di Indonesia dan menempati posisi penting dalam penyediaan pangan. Peningkatan konsumsi beras perlu diimbangi dengan penanganan pasca panen yang baik. Pada tahap ini seringkali terjadi perubahan kualitas dan kuantitas bahan simpan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti fasilitas penyimpanan dan hama gudang. Diantara hama gudang yang paling banyak menyebabkan kerusakan adalah serangga. Sitophilus zeamais Motsch. merupakan salah satu serangga hama pasca panen yang penting. Usaha pengendalian serangga yang banyak dilakukan selama ini masih mengandalkan pengendalian secara kimia yaitu dengan menggunakan insektisida sintetik. Namun, banyak dampak negatif yang ditimbulkan oleh insektisida sintetik ini. Oleh karena itu, untuk mencari teknologi alternatif pengganti insektisida sintetik yaitu insektisida yang berasal dari tumbuhan. Insektisida golongan ini umumnya bersifat selektif dan tidak persisten karena senyawa aktifnya berasal dari bahan alami yang memiliki cara kerja spesifik dan mudah terurai di lingkungan. Salah satu tanaman yang kaya akan zat metabolit sekunder adalah mindi (Melia azedarach L.). Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan suatu insektisida dari bahan nabati dalam bentuk yang mudah diaplikasikan yaitu emulsifiable concentrate (EC). Tujuan dari penelitian ini yaitu (1) (1) mendapatkan konsentrasi dari ekstrak daun Mindi (Melia azedarach L.) yang optimum yang dapat menghambat serangan hama gudang Sitophilus zeamais Motsch dalam penyimpanan beras, (2) mengetahui retensi (dalam hitungan hari) insektisida nabati yang efektif dalam menghambat serangan serangga setelah penyemprotan, serta (3) mempelajari tingkat kerusakan akibat serangan serangga Sitophilus zeamais Motsch yang terjadi pada beras yang telah dilindungi insektisida nabati pada berbagai konsentrasi selama penyimpanan.. Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap uji coba daya insektisida. Tahap persiapan meliputi pembiakan serangga S. zeamais, dan pembuatan ekstrak bahan nabati. Pada tahap uji coba daya insektisida terdiri dari penelitian pendahuluan, penelitian utama, dan aplikasi pada beras. Untuk penelitian pendahuluan hasil yang didapat yaitu volume yang disemprotkan untuk aplikasi beras sebanyak 6 ml. Kemudian konsentrasi bahan nabati yang efektif untuk dijadikan sebagai larutan stok yaitu 20 % dengan perbandingan bahan pembawa:bahan pengemulsi sebesar 5:1. Setelah konsentrasi larutan stok diperoleh, dilanjutkan dengan pembuatan konsentrasi yang akan disemprotkan yaitu 0 %, 4 %, 8 %, 12 %, dan 16 %. Pada penelitian utama, dilakukan penyemprotan EC dengan variasi konsentrasi yaitu 0%, 4%, 8%, 12% dan 16%. Selain itu, dilakukan juga penelitian tentang uji retensi EC yang bertujuan untuk mengetahui retensi (dalam hitungan hari) insektisida nabati yang efektif dalam menghambat serangan serangga setelah penyemprotan. Variasi konsentrasi yang disemprotkan yaitu 0 % (tanpa ekstrak bahan nabati), 8 %, dan 16 %. Hasil penelitian menunjukkan, uji mortalitas pada konsentrasi 0 % (tidak diberi ekstrak bahan nabati) menyebabkan kematian hingga 14 % pada saat kontak dengan media beras yang telah disemprotkan dengan masa inkubasi satu hari. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari bahan pengemulsi dan bahan pembawa terhadap perkembangan S. zeamais Untuk uji coba daya insektisida, hasil uji statistik menunjukkan konsentrasi ekstrak daun mindi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap seluruh parameter kerusakan beras yaitu jumlah total populasi serangga (Nt), persen biji berlubang (% BB), persen kehilangan bobot (% KB), persen fraksi bubuk yang timbul (% frass), kadar air serta asam lemak bebas. Untuk jumlah total populasi serangga dewasa (Nt), jumlah terkecil dihasilkan oleh konsentrasi 16 % dan berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, konsentrasi tersebut berbeda nyata dengan konsentrasi lain (p<0,05). Begitu juga dengan parameter lainnya, pada konsentrasi 16 % memiliki hasil terkecil dan berbeda nyata (p<0,05). Untuk uji korelasi antar parameter kerusakan pada beras, hasil penelitian menunjukkan seluruh parameter yaitu jumlah populasi serangga dewasa (Nt), persen biji berlubang (% BB), persen kehilangan bobot (% KB), persen fraksi bubuk yang timbul (% frass), kadar air, dan asam lemak bebas memiliki korelasi positif yang sangat nyata satu sama lainnya pada taraf nyata 0,01. Nilai koefisien korelasi antar parameter mendekati 1 sehingga dapat dikatakan bahwa korelasinya sangat kuat antar variabel. EFEKTIVITAS EMULSIFIABLE CONCENTRATE (EC) BERBASIS EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach L.) DALAM MENGURANGI KERUSAKAN BERAS AKIBAT SERANGAN Sitophilus zeamais Motsch SELAMA PENYIMPANAN SKRIPSI Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan Fakultas Teknologi Pertanian Institut Pertanian Bogor Oleh HAFIZ FAKHRURROZY F24080058 FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2012 Penguji Luar Komisi Pembimbing : Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS dan Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M. Agr. Judul Skripsi : Nama NIM : : Efektivitas Emulsifiable Concentrate (EC) Berbasis Ekstrak Daun Mindi (Melia azedarach L.) Dalam Mengurangi Kerusakan Beras Akibat Serangan Sitophilus zeamais Motsch Selama Penyimpanan Hafiz Fakhrurrozy F24080058 Menyetujui: Dosen Pembimbing, (Dr. Ir. Yadi Haryadi M.Sc.) NIP 19490612.197603.1.003 Mengetahui: Ketua Departemen, (Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.) NIP 19680526 199303.1.004 Tanggal Ujian Akhir Sarjana: 27 Juli 2012 PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Efektivitas Emulsifiable Concentrate (EC) Berbasis Ekstrak Daun Mindi (Melia azedarach L.) Dalam Mengurangi Kerusakan Beras Akibat Serangan Sitophilus zeamais Motsch Selama Penyimpanan adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademis dan belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Bogor, 2012 Yang membuat pernyataan, Hafiz Fakhrurrozy F24080058 © Hak cipta milik Hafiz Fakhrurrozy, tahun 2012 Hak cipta dilindungi Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya BIODATA PENULIS Hafiz Fakhrurrozy, lahir di Jakarta 2 April 1990 dari pasangan Bapak Miftahurrahman dan Ibu Nuzul Huriah sebagai anak kedua dari dua bersaudara. Penulis menamatkan jenjang pendidikan di SD Negeri Jatiwaringin XVI (2002), SMP Negeri 135 Jakarta (2005), dan SMA Negeri 71 Jakarta (2008). Penulis masuk dan terdaftar sebagai mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) pada tahun 2008. Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai kegiatan diantaranya menjadi asisten praktikum mata kuliah Analisis Pangan (2012), menjadi asisten praktikum mata kuliah Kimia dasar (2010-2011), menjadi Kepala Divisi HIMITEPA Coorporation (HiCo) (2010-2011), menjadi Anggota Aktif Food Processing Club (2010-2011), menjadi Reporter Koran Kampus IPB (2009-2011), dan menjadi Pengurus Aktif HIMITEPA Coorporation (HiCo) (2009-2010). Penulis juga pernah menjadi staf dalam kepanitiaan beberapa kegiatan seperti 1st Indonesian Food Bowl Quiz (2011), Masa Perkenalan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (BAUR) (2010), 8 th National Student Paper Competition (NSPC) (2010), Indonesian Food Expo (IFOODEX) (2009), dan Entrepreneurship (2008). Penulis juga pernah tercatat sebagai penerima beasiswa Eka Tjipta Foundation (ETF) (2008-2012). Karya tulis yang pernah dihasilkan bersama rekan-rekan IPB diantaranya Flake (Sereal Sarapan) Dengan Indeks Glikemik Rendah Berbasiskan Tepung Singkong Termodifikasi Dengan Fortifikasi Tepung Sorgum Dan Tepung Ubi Jalar, Inovasi Memperpanjang Masa Simpan Wingko Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Produk UMKM di Bidang Pangan, dan Studi Peningkatan Kualitas Manggulu (Pangan Tradisional Khas Sumba) Sebagai Pangan Berkalori Tinggi Melalui Pendekatan Reformulasi. Prestasi yang pernah diraih oleh penulis antara lain Juara 1 lomba Tari Kontemporer Kelompok IPB Art Contest (2008), Juara 2 National Student Paper Competition (NSPC) (Grup) dengan judul “Study of Extending Wingko Shelf Life by Innovation Processing and Packaging Technology to Improve Competitiveness of Small-Medium Enterprises” (2012), Juara 3 National Food Technology Competition (NFTC) (Grup) dengan judul “Studi Peningkatan Kualitas Manggulu (Pangan Tradisional Khas Sumba) Sebagai Pangan Berkalori Tinggi Melalui Pendekatan Reformulasi” (2012). Sebagai tugas akhir, penulis melakukan penelitian yang berjudul “Daya Hambat Ekstrak Daun Mindi (Melia azedarach L.) Dalam Bentuk Emulsifiable Concentrate (EC) Terhadap Serangan Serangga Hama Gudang (Sitophilus zeamais Motsch) dan Dampaknya Terhadap Tingkat Kerusakan Beras Selama Penyimpanan” di bawah bimbingan Dr. Ir. Yadi Haryadi M. Sc.. KATA PENGANTAR Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan judul Efektivitas Emulsifiable Concentrate (EC) Berbasis Ekstrak Daun Mindi (Melia azedarach L.) Dalam Mengurangi Kerusakan Beras Akibat Serangan Sitophilus zeamais Motsch Selama Penyimpanan ini ditulis berdasarkan penelitian yang dilakukan mulai bulan Maret 2012 sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi Pertanian. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu: 1. Orang tua tercinta, Bapak Miftahurrahman dan Ibu Nuzul Huriah, serta kakak Amelia atas segala doa, dukungan, dan kasih sayang yang telah diberikan. 2. Dr. Ir. Yadi Haryadi M.Sc. selaku pembimbing akademik dan pembimbing skripsi. Terima kasih atas bimbingan, perhatian, dan saran yang telah diberikan. 3. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS dan Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr. selaku penguji sidang. Terima kasih atas waktu dan saran yang telah diberikan. 4. Sahabat yang tak terlupakan : Hilda, Bangkit, Yunita, Sally, Sarinah, Virza, Tiur dan KaU. Terima kasih atas semangat, doa, dan dukungan yang telah diberikan. 5. Teman satu bimbingan : Arum Marya dan Annisa Nurulhuda. Terima kasih atas dukungan dan semangat yang diberikan. 6. Teman-teman seperjuangan ITP 45: Yufi, Andika, Rara, Arum Puspa, Misran, Bangun, Harum, Iin, Eka, Rohanah, Wiwit, Sarah, Niken, Andhi F., Pradhini, Anggi, Setiyo, Fya, Yuli, Rista, Mega, Lathifah, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per satu. 7. Rekan-rekan HiCo ITP 46 dan 47 yang sangat berkesan. 8. Teman-teman TPB: Dito, Ruri, Teris, Fauzan, Uan, Henry, Azi, Panji, Edo, Putri, Hafizh, dan Ageng yang sangat berkesan. 9. Pengurus HIMITEPA 2009 dan 2010 beserta keluarga besar HIMITEPA baik angkatan 44, 45, 46, maupun 47. 10. Para guru dan dosen yang telah memberikan ilmunya dari TK sampai universitas. 11. Seluruh analis dan teknisi laboratorium di Seafast Center dan Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas bantuan yang telah diberikan, terutama Pak Nurwanto, Pak Junaedi, Mbak Fera, Bu Sri, Bu Rubiah, Pak Rozak, Pak Sobirin, Pak Yahya, dan Pak Wahid. 12. Seluruh pegawai Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas bantuan yang telah diberikan, terutama Bu Novi, Bu Anie, dan Bu Darsih. Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi kemaslahatan terutama terhadap perkembangan ilmu dan teknologi pangan. Teima kasih. Bogor, 2012 Hafiz Fakhrurrozy iii DAFTAR ISI Halaman KATA PENGANTAR ................................................................................................................ iii DAFTAR ISI ............................................................................................................................... iv DAFTAR TABEL ....................................................................................................................... vi DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................. vii DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................... viii I. PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1 1.1. LATAR BELAKANG ................................................................................................ 1 1.2. TUJUAN PENELITIAN ............................................................................................ 2 II. TINJAUAN PUSTAKA ..................................................................................................... 3 2.1. KERUSAKAN BAHAN PANGAN AKIBAT SERANGAN SERANGGA ............. 3 2.2. PENGENDALIAN SERANGGA HAMA GUDANG ............................................... 4 2.3. INSEKTISIDA NABATI ........................................................................................... 5 2.4. SERANGGA HAMA GUDANG Sitophilus zeamais MOTSCH. ............................. 5 2.4.1. Sifat-Sifat Umum dan Klasifikasi ................................................................... 5 2.4.2. Cara Hidup ...................................................................................................... 6 2.5. BAHAN NABATI MINDI (Melia azedarach L) ....................................................... 7 2.6. FORMULASI INSEKTISIDA ................................................................................... 8 2.7. EMULSI ..................................................................................................................... 9 2.8. SURFAKTAN ............................................................................................................ 9 2.8.1. Jenis-jenis Surfaktan....................................................................................... 10 2.9. EKSTRAKSI KOMPONEN AKTIF .......................................................................... 11 2.9.1. Jenis-jenis Metode Ekstraksi .......................................................................... 11 2.9.1. Jenis Pelarut.................................................................................................... 13 III. METODOLOGI PENELITIAN ......................................................................................... 16 3.1. BAHAN DAN ALAT ................................................................................................ 16 3.2. METODE PENELITIAN ........................................................................................... 16 3.2.1. Tahap persiapan .............................................................................................. 16 3.2.2. Penelitian Pendahuluan ................................................................................... 17 3.2.3. Penelitian Utama ............................................................................................. 18 3.3. ANALISIS DAN PENGAMATAN ........................................................................... 18 3.3.1. Jumlah Total Populasi Serangga (Nt).............................................................. 18 3.3.2. Persen Biji Berlubang (%BB) ........................................................................ 18 3.3.3. Persen Kehilangan Bobot (% KB) .................................................................. 19 3.3.4. Persen Fraksi Bubuk yang Timbul (%Frass) .................................................. 19 3.3.5. Analisis Kadar Air .......................................................................................... 19 3.3.6. Analisis Asam Lemak Bebas .......................................................................... 20 3.4. RANCANGAN PERCOBAAN ................................................................................... 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................................... 21 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN.............................................................................. 21 4.2. PENELITIAN UTAMA ............................................................................................. 23 4.2.1. Jumlah Total Populasi Serangga (Nt).............................................................. 23 4.2.2. Persen Biji Berlubang (%BB) ......................................................................... 25 4.2.3. Persen Kehilangan Bobot (% KB) .................................................................. 26 iv 4.2.4. Persen Fraksi Bubuk yang Timbul (%Frass) .................................................. 4.2.5. Kadar Air ........................................................................................................ 4.2.6. Asam Lemak Bebas ........................................................................................ 4.3. KORELASI PARAMETER-PARAMETER KERUSAKAN PADA BERAS ........... V. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................................ 5.1. SIMPULAN ............................................................................................................... 5.2. SARAN ...................................................................................................................... DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................. LAMPIRAN ................................................................................................................................ 26 27 28 29 32 32 32 34 39 v DAFTAR TABEL Halaman Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Klasifikasi Sitophilus zeamais .............................................................................. Jenis pelarut dan komponen terlarut serta titik didihnya ...................................... Sifat-sifat Etanol ................................................................................................... Perbandingan Konsentrasi Ekstrak Bahan Nabati, Bahan Pembawa, dan Bahan Pengemulsi............................................................................................................ Pengaruh Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Mindi Terhadap Jumlah Serangga Dewasa S. zeamais Pada Media Beras Selama Penyimpanan ............................... Pengaruh Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Mindi Terhadap Persentase Biji Berlubang Pada Media Beras Yang Diinfestasi S. zeamais Selama Penyimpanan ........................................................................................................ Pengaruh Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Mindi Terhadap Persentase Kehilangan Bobot Pada Media Beras Yang Diinfestasi S. zeamais Selama Penyimpanan ........................................................................................................ Pengaruh Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Mindi Terhadap Persen Frass Pada Media Beras Yang Diinfestasi S. zeamais Selama Penyimpanan ................ Pengaruh Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Mindi Terhadap Kadar Air Pada Media Beras Yang Diinfestasi S. zeamais Selama Penyimpanan ......................... Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap asam lemak bebas pada media beras yang diinfestasi S.zeamais selama penyimpanan ..................... Hasil uji korelasi parameter-parameter yang mempengaruhi perkembangan S.zeamais. ............................................................................................................. 6 13 14 18 24 25 26 27 28 28 30 vi DAFTAR GAMBAR Halaman Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Serangga Hama Gudang S. zeamais (Sunjaya dan Widayanti 2009) .................... Daun Mindi (Melia azedarach L.) ........................................................................ Skema jenis O/W dan W/O pada emulsi tunggal (Porter 1994) ........................... Ekstrak Daun Mindi .............................................................................................. Konsentrasi Larutan Stok 20% ............................................................................. Larutan Emulsi Konsentrasi 4 % .......................................................................... Grafik Uji Retensi Dari Formulasi Emulsifiable Concentrate (EC) Dengan Konsentrasi 0 %, 8 %, Dan 16 % Dalam Waktu 9 Hari........................................ 6 7 9 17 22 23 24 vii DAFTAR LAMPIRAN Halaman Lampiran 1a Jumlah total populasi serangga (Nt) Sitophilus zeamais setelah penyimpanan. ........................................................................................................ Lampiran 1b Analisis ragam total populasi (Nt) Sitophilus zeamais terhadap variasi konsentrasi ................................................................................................ Lampiran 1c Duncan total populasi (Nt) Sitophilus zeamais terhadap variasi konsentrasi ........ Lampiran 2a Persen biji berlubang (% KB) setelah penyimpanan............................................ Lampiran 2b Analisis ragam persen biji berlubang (% BB) terhadap variasi konsentrasi ......... Lampiran 2c Uji Duncan persen biji berlubang (% BB) terhadap variasi konsentrasi ............... Lampiran 3a Persen kehilangan bobot (% KB) setelah penyimpanan ....................................... Lampiran 3b Analisis ragam persen kehilangan bobot (% KB) terhadap variasi konsentrasi .... Lampiran 3c Duncan persen kehilanganbobot (% KB) terhadap variasi konsentrasi ................ Lampiran 4a Persen fraksi bubuk yang timbul (% frass) ........................................................... Lampiran 4b Analisis ragam persen fraksi bubuk yang timbul (% frass) terhadap variasi konsentrasi ............................................................................................................ Lampiran 4c Uji Duncan persen fraksi bubuk yang timbul (% frass) terhadap variasi konsentrasi ................................................................................................ Lampiran 5a Kadar air sebelum penyimpanan ........................................................................... Lampiran 5b Kadar air setelah penyimpanan ............................................................................. Lampiran 5c Analisis kadar air terhadap variasi konsentrasi ..................................................... Lampiran 5d Uji Duncan kadar air terhadap variasi konsentrasi ............................................... Lampiran 6 Standarisasi NaOH 0,1 N ...................................................................................... Lampiran 7a Kadar asam lemak bebas sebelum penyimpanan .................................................. Lampiran 7b Kadar asam lemak bebas setelah penyimpanan .................................................... Lampiran 7c Analisis kadar asam lemak bebas terhadap variasi konsentrasi ........................... Lampiran 7d Uji Duncan kadar asam lemak bebasterhadap variasi konsentrasi ........................ Lampiran 8 Analisis korelasi parameter-parameter resistensi terhadap faktor-faktor intrinsik lima varietas beras ............................................................. Lampiran 9 Diagram alir ekstraksi lemak menggunakan metode Folch yang dimodifikasi .... Lampiran 10 Uji retensi formulasi EC ....................................................................................... Lampiran 11 Formulasi EC yang tidak stabil ............................................................................. Lampiran 12 Dokumentasi beras pecah kulit yang digunakan ................................................... Lampiran 13 Dokumentasi media beras setelah disemprotkan oleh formulasi EC ................... Lampiran 14 Dokumentasi media beras selama penyimpanan .................................................. Lampiran 15 Jagung pipil sebagai stock culture Sitophilus zeamais.......................................... 40 40 40 41 42 42 43 44 44 45 45 46 46 47 47 49 49 50 50 52 52 53 54 55 55 56 56 56 57 viii I. PENDAHULUAN 1.1. LATAR BELAKANG Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup dari pertanian. Beras merupakan bahan makanan pokok sebagian besar penduduk di Indonesia dan menempati posisi penting dalam penyediaan pangan. Hal ini sesuai dengan data konsumsi bahan makanan di Indonesia, beras menjadi bahan makanan yang superior daripada bahan makanan lainnya. Data konsumsi beras masyarakat Indonesia pada tahun 2007 sebesar 90,78 kg per kapita/tahun, kemudian pada tahun 2008 konsumsi beras meningkat menjadi 93,70 kg per kapita/tahun (BPS 2010). Peningkatan konsumsi beras perlu diimbangi dengan penanganan pasca panen yang baik. Penanganan pasca panen tersebut dilakukan dalam rangka pengamanan, pendayagunaan, dan peningkatan kualitas hasil. Salah satu kegiatan yang penting dalam pasca panen adalah penyimpanan bahan pangan. Pada tahap ini seringkali terjadi perubahan kualitas dan kuantitas bahan simpan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti fasilitas penyimpanan dan hama gudang. Menurut Winarno (2006) kerusakan di tingkat penyimpanan umumnya disebabkan oleh serangan hama gudang seperti serangga, tikus, dan hewan lainnya. Diantara hama gudang tersebut yang paling banyak menyebabkan kerusakan adalah serangga. Hal ini disebabkan serangga hama gudang mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat, mudah menyebar, dan dapat mengundang pertumbuhan kapang. Sitophilus zeamais Motsch. merupakan salah satu serangga hama pasca panen yang penting. Serangga tersebut mampu berkembang biak dengan cepat dan menimbulkan kerusakan pada berbagai jenis tanaman pangan terutama menyerang beras, gabah, dan jagung (Winarno 2006). Oleh karena itu, diperlukan upaya pengendalian agar bahan pangan yang disimpan terhindar dari kerusakan. Usaha pengendalian serangga yang banyak dilakukan selama ini masih mengandalkan pengendalian secara kimia yaitu dengan menggunakan insektisida sintetik. Hasil survei yang dilakukan oleh Gusfi (2002) pada petani sayuran di daerah Pacet, Jawa Barat, menunjukkan bahwa ketergantungan petani terhadap insektisida sintetik masih sangat tinggi (95,5%). Penggunaan bahan sintetis ini walaupun sangat praktis dan efektif tetapi perlu adanya pertimbangan yang baik dari segi keamanannya. Hal ini penting karena insektisida sintetik dapat menimbulkan berbagai kerugian, antara lain dapat mencemari bahan pangan dan lingkungan, serta timbulnya resistensi serangga hama pasca panen terhadap beberapa insektisida sintetik tersebut. Pencemaran terhadap bahan pangan dan lingkungan dapat berdampak pada kesehatan manusia. Menurut Sulistiyono (2004) diacu dalam Hilmanto (2010) potensi bahaya yang dapat ditimbulkan oleh bahan aktif dari insektisida sintetik antara lain mutasi gen dan pengaruh kronis yang disebabkan oleh karbiral, cacat lahir dan pengaruh kronis yang disebabkan oleh DDT, kanker yang disebabkan oleh asefat serta masih banyak contoh yang lainnya. Selain itu, penggunaan metil bromida (CH3Br) sebagai insektisida sintetik diperkirakan mencapai 97 % dari total metil bromida yang diproduksi. Metil bromida merupakan pestisida pilihan karena efektif dalam membunuh berbagai organisme pengganggu (broad spectrum pesticide) dan relatif murah serta mudah dalam aplikasinya. Namun, metil bromida merupakan salah satu bahan perusak ozon yang memiliki kemampuan merusak ozon 0,6 kali lebih tinggi dibandingkan senyawa klorin dari CFC (Hidayat 2009; Prijono et al. 2009). Proses metil bromida dalam merusak lingkungan yaitu ikatan metil bromida diputus oleh radiasi sinar ultraviolet dan menjadi atom bromida yang reaktif. Kemudian atom bromida tersebut 1 bereaksi dengan molekul ozon dan memecahnya menjadi bromida monooksida dan molekul oksigen. Ikatan molekul bromida monooksida tidak lama akan putus dan bereaksi kembali dengan molekul ozon lainnya. Proses tersebut akan berlangsung begitu seterusnya sehingga lapisan ozon dapat rusak (Hidayat 2009). Adanya larangan penggunaan metil bromida memberikan inspirasi untuk bersama-sama mencari teknologi alternatif sebagai pengganti metil bromida. Salah satu upaya untuk mencari teknologi alternatif pengganti insektisida sintetik adalah insektisida yang berasal dari tumbuhan. Insektisida golongan ini umumnya bersifat selektif dan tidak persisten karena senyawa aktifnya berasal dari bahan alami yang memiliki cara kerja spesifik dan mudah terurai di lingkungan (Dewi 2007). Tumbuhan telah diketahui memproduksi berbagi jenis metabolit sekunder seperti flavanoid, terpenoid, alkaloid, dan lain-lain yang berguna sebagai sarana pertahanan diri dari organisme pengganggu tumbuhan (OPT) (Rukmana dan Oesman 2002). Salah satu tanaman yang kaya akan zat metabolit sekunder adalah mindi (Melia azedarach L.). Pohon mindi atau geringging (Melia azedarach L.) merupakan jenis pohon yang tumbuh di daerah tropis dan sub tropis. Di Indonesia banyak ditanam di daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Irian Jaya. Mindi dikenal sebagai pestisida nabati. Kandungan bahan aktif daun mindi adalah senyawa golongan terpenoid, limnoid, dan flavonoid (Kumar et al. 2003). Penelitian tentang potensi mindi sebagai sumber bahan insektisida nabati telah dilakukan antara lain oleh Suyani (2003) dengan menggunakan formulasi tepung bahan nabati dan oleh Sonyaratri (2006) dengan menggunakan ekstrak heksan bahan nabati. Hasil kedua penelitian menunjukkan bahwa daun mindi memiliki kemampuan menghambat serangan Sitophilus zeamais Motsch. Melihat potensi tanaman Mindi, perlu dilakukan penelitian mengenai pengembangan formulasi komponen aktifnya dalam bentuk yang umum beredar di pasaran seperti emulsifiable concentrate (EC), agar dapat langsung digunakan oleh petani di lapangan. Formula yang dihasilkan diharapkan dapat tetap efektif terhadap hama sasaran di lapangan dalam jangka waktu yang lama serta dapat diproduksi dengan teknologi dan bahan yang sederhana sehingga memberikan harga produk yang cukup terjangkau bagi para petani di Indonesia. 1.2. TUJUAN PENELITIAN (1) (2) (3) Tujuan penelitian ini adalah : Mendapatkan konsentrasi dari ekstrak daun Mindi (Melia azedarach L.) yang optimum terhadap penghambatan serangan hama gudang Sitophilus zeamais Motsch pada penyimpanan beras Mengetahui retensi (dalam hitungan hari) insektisida nabati yang efektif dalam menghambat serangan serangga setelah penyemprotan Mempelajari tingkat kerusakan akibat serangan serangga Sitophilus zeamais Motsch yang terjadi pada beras yang telah dilindungi insektisida nabati pada berbagai konsentrasi selama penyimpanan 2 II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. KERUSAKAN BAHAN PANGAN AKIBAT SERANGAN SERANGGA Kerusakan atau kehilangan didefinisikan sebagai penurunan kuantitas dan kualitas produk pangan yang dapat diukur. Kehilangan kuantitas adalah kehilangan yang bersifat fisik dan dapat diukur dengan satuan berat atau volume, sedangkan kehilangan kualitas hanya dapat dinilai yaitu berupa kehilangan/penurunan nilai gizi, kemampuan berkecambah dan penurunan nilai jual (Winarno 2006). Ditinjau dari penyebabnya, kerusakan dapat dibagi atas beberapa jenis yaitu kerusakan mekanis, fisik, biologis, mikrobiologis, dan kimiawi. Kerusakan mekanis disebabkan oleh benturan mekanis. Kerusakan fisik disebabkan oleh perlakuan-perlakuan fisik yang digunakan seperti penggunaan suhu yang terlalu tinggi, suhu yang terlalu rendah, penyinaran yang tidak dikehendaki dan lainnya. Kerusakan fisiologis meliputi kerusakan yang disebabkan oleh reaksireaksi metabolisme dalam bahan atau oleh enzim-enzim yang terdapat di dalamnya secara alamiah sehingga terjadi suatu proses (autolisis) yang berakhir dengan kerusakan dan pembusukan. Kerusakan biologis ialah kerusakan yang diakibatkan oleh serangan serangga, tikus, burung dan hewan lain. Kerusakan mikrobiologis sering disertai dengan produksi racun yang membahayakan kesehatan dan untuk kerusakan kimiawi biasanya saling berhubungan dengan kerusakan lain, misalnya adanya panas yang tinggi pada pemanasan minyak, mengakibatkan rusaknya beberapa asam lemak (Santausa dan Arpah 1990; Winarno 2006). Serangga adalah penyebab utama kehilangan bahan selama penyimpanan, khususnya di daerah tropis. Bagi serangga, komoditas pangan yang disimpan di gudang merupakan sumber makanan sekaligus habitat untuk berkembang biak dan selanjutnya menghancurkan lingkungan tersebut (Winarno 2006). Berdasarkan tempat berkembangnya dari telur hingga dewasa, serangga dibagi dalam dua golongan, yaitu internal feeder dan external feeder. Internal feeder adalah serangga yang sebagian fase dalam siklus hidupnya berlangsung di dalam biji atau benda padat, sedangkan external feeder, seluruh fase dalam siklus hidupnya berlangsung di luar biji. Oleh karena itu, internal feeder menimbulkan hidden infestation (serangan tersembunyi) yaitu serangan yang terjadi tetapi tidak dapat dilihat secara kasat mata karena terjadi di dalam biji atau benda padat. Kegiatan serangga di dalam biji dapat menyebabkan meningkatnya kandungan air serta suhu secara lokal. Meningkatnya kadar air dapat mengundang serangan kapang. Kegiatan bersama serangga dan kapang dapat mengakibatkan penurunan mutu yang disebabkan karena adanya sisasisa tubuh serangga yang mati, penimbunan uric acid, akumulasi frass, dan penyimpangan warna. (Desmarchelier 1990; Birck et al. 2003). Kerusakan oleh serangga dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu kerusakan langsung dan kerusakan tidak langsung. Kerusakan langsung terdiri dari konsumsi bahan yang disimpan oleh serangga, kontaminasi oleh serangga dewasa, pupa, larva, telur, kulit telur, dan bagian tubuhnya, serta kerusakan wadah bahan yang disimpan. Kerusakan tidak langsung antara lain adalah timbulnya panas akibat metabolisme serta berkembangnya kapang dan mikroba-mikroba lainnya (Dharmaputra 1994; Winarno 2006). Setiap spesies serangga mempunyai kesukaan terhadap makanan tertentu. Beberapa spesies menyukai embrio, dan yang lain menyukai endosperma. Embrio adalah bagian yang paling kaya akan zat gizi. Komponen lemak, protein, mineral, dan vitamin terkonsentrasi pada bagian tersebut sehingga serangan serangga akan menyebabkan penurunan nilai gizi (Pranata 1982). Menurut Winarno (2006), akibat dari serangan hama, maka akan terjadi susut kuantitatif, susut kualitatif. 3 Susut kuantitatif adalah turunnya bobot atau volume bahan karena sebagian atau seluruhnya dimakan oleh hama. Susut kualitatif adalah turunnya mutu secara langsung akibat dari adanya serangan hama, misalnya bahan yang tercampur oleh bangkai, kotoran serangga atau bulu tikus dan peningkatan jumlah butir gabah yang rusak. Secara ekonomi, kerugian akibat serangan hama adalah turunnya harga jual komoditas bahan pangan (biji-bijian). Kerugian akibat serangan hama dari segi ekologi atau lingkungan adalah adanya ledakan populasi serangga yang tidak terkontrol (Syarief dan Halid 1993). Data kerusakan bahan pangan akibat serangan hama gudang mencapai 26 % - 29 % (Semple 1985). Selain itu, data ini dikuatkan dengan adanya penelitian yang dilakukan oleh Askanovi (2011) mengenai preferensi serangga Sitophilus oryzae terhadap beras yaitu serangga lebih menyukai beras pecah kulit dibandingkan beras sosoh. Data populasi serangga dewasa pada media beras pecah kulit sebanyak 87,27 % dan untuk beras sosoh sebesar 32,60 %. Hal ini disebabkan karena beras pecah kulit memiliki kecukupan nutrisi untuk serangga tersebut tumbuh dan berkembang biak. 2.2. PENGENDALIAN SERANGGA HAMA GUDANG Pengendalian serangga hama gudang pada hakekatnya adalah pengendalian populasi. Hal ini disebabkan dalam pengendalian hama telah terjadi pergeseran falsafah dasar yaitu dari usaha untuk membasmi hama sampai habis menjadi usaha untuk menekan populasi sampai di bawah ambang ekonomi. Suatu tindakan pemberantasan hanya dilakukan jika tingkat kerugian secara potensial jauh lebih besar bila dibandingkan dengan biaya pengendalian. Menurut Shejbal dan Boislambert (1998), cara yang bisa diterapkan yaitu cara fisika, cara biologi dan cara kimia. Cara fisika dapat dilakukan antara lain dengan suhu tinggi, suhu rendah, atmosfer terkendali dan gelombang mikro. Pengendalian cara biologi dilakukan antara lain menggunakan parasit hama atau pengembangan varietas bahan pangan yang resisten terhadap serangan hama pasca panen melalui upaya pemuliaan. Selain itu, ada cara pengendalian lain yang diterapkan yaitu dengan cara eksklusi, cara sanitasi, dan cara penggunaan bahan kimia. Pengendalian dengan cara eksklusi yaitu dengan mencegah jalan masuk hama ke dalam bangunan. Dengan mencegah hama masuk ke dalam bangunan, maka kebutuhan treatment kimia dalam pengendalian hama dapat sangat dikurangi. Untuk pengendalian dengan cara sanitasi harus memperhitungkan kesesuaiannya dengan baik dan rutin. Metode ini juga harus memperhitungkan kesesuainnya dengan kegiatan lain dalam industri, misalnya proses produksi, pengemasan, dan lain-lain. Sanitasi yang baik termasuk dalam manajemen hama, karena dapat membatasi kebutuhan hama untuk hidup dan berkembang biak. Karena hama hanya membutuhkan sedikit makanan untuk bertahan hidup maka standar sanitasi yang harus diterapkan dalam industri pangan harus tinggi. Pengendalian secara kimia dimaksudkan sebagai penggunaan senyawa beracun atau pestisida untuk membunuh atau mengusir hama. Keuntungan pengendalian dengan cara kimia antara lain dapat diterapkan sebagian besar hama, bersifat pembasmian atau kuratif, dan perusahaan dapat menggunakannya kapanpun dan di manapun yang diinginkan. Sedangkan kelemahan dari metode ini antara lain kemungkinan menimbulkan hama yang resisten terhadap pestisida, adanya bahaya kesehatan bagi pengguna dan timbulnya masalah residu pestisida dalam bahan pangan, biayanya cukup tinggi dan sifat pengontrolannya tidak permanen (Winarno 2006). Dengan banyaknya kerugian yang ditimbulkan oleh penggunaan insektisida sintetis dalam pemberantasan hama, maka diperlukan suatu alternatif pengendalian yang memungkinkan petani dapat melindungi tanamannya dengan cara yang ramah lingkungan. Penggunaan bahan-bahan alami merupakan alternatif untuk menghindarkan efek negatif bahan kimia sehingga lebih aman 4 baik pada manusia juga lingkungan dan hampir tidak menimbulkan residu serta untuk mencegah pemakaian yang tidak sesuai yang dapat menimbulkan kematian pengguna insektisida sintetik. 2.3. INSEKTISIDA NABATI Insektisida nabati dapat diartikan sebagai suatu insektisida dengan bahan aktif tunggal (single active ingredient) atau majemuk (multiple active ingredient) yang berasal dari tumbuhan (Kardinan 2011). Bunga, daun, atau akar dihancurkan dan kemudian langsung digunakan sebagai insektisida atau bahan aktifnya diekstraksi terlebih dahulu kemudian baru digunakan. Oleh karena terbuat dari bahan alami, insektisida nabati mudah terurai di alam sehingga tidak dikhawatirkan akan menimbulkan bahaya residu. Peluang pengembangan insektisida nabati di Indonesia cukup menguntungkan karena telah ada undang-undang yang mendukung pemanfaatan insektisida nabati, yaitu Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, yang menekankan pemanfaatan faktor pengendalian organime pengganggu tanaman yang ramah lingkungan. Penggunaan insektisida nabati juga memiliki keunggulan ditinjau dari daya saing, karena bahan bakunya tersedia secara lokal dan untuk skala industri menengah tidak memerlukan teknologi yang canggih. Selain itu, pestisida nabati tidak hanya dibutuhkan dalam bidang pertanian, tetapi telah meluas ke rumah tangga, seperti untuk mengendalikan nyamuk. Hal ini didukung oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa pestisida nabati dapat digunakan untuk mengendalikan hama pemukiman (Selvaraj dan Mosses 2011). Menurut Wudianto (2008), ada tiga jenis bahan alami yang dapat digunakan sebagai insektisida yaitu bahan mineral, bahan nabati dan bahan hewani. Dari ketiga bahan alami tersebut, bahan nabati merupakan cadangan yang paling besar dan bervariasi. Hingga saat ini setidaknya terdapat lebih dari 2000 jenis tanaman yang dilaporkan mempunyai sifat-sifat insektisidal. Suatu tanaman yang akan dijadikan bahan insektisida harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain : (a) mudah dibudidayakan, (b) tanaman tahunan, (c) tidak perlu dimusnahkan apabila suatu saat bagian tanamannya diperlukan, (d) tidak menjadi gulma atau inang bagi organisme pengganggu tanaman, (e) mempunyai nilai tambah, (f) mudah diproses sesuai dengan kemampuan petani. Tanaman yang mengandung komponen aktif seperti alkaloid, terpenoid, kumarin, glikosida dan beberapa sterol serta minyak atsiri dapat berpotensi sebagai insektisida (Dewi 2007). Berbeda dengan insektisida sintetis, insektisida nabati umumnya tidak dapat langsung mematikan serangga yang disemprot. Akan tetapi insektisida ini berfungsi sebagai : (1) repellent, yaitu senyawa penolak kehadiran serangga dikarenakan baunya yang menyengat dan mencegah serangga meletakkan telur serta menghentikan proses penetasan telur; (2) antifeedant, yaitu senyawa yang mencegah serangga memakan tanaman yang telah disemprot terutama disebabkan rasanya yang pahit; (3) racun syaraf; dan (4) atractant, yaitu senyawa yang dapat memikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada perangkap serangga (Wudianto 2008). 2.4. SERANGGA HAMA GUDANG Sitophilus zeamais Motsch. 2.4.1. Sifat-Sifat Umum dan Klasifikasi Serangga Sitophilus zeamais M. merupakan salah satu hama penting dan dikenal sebagai bubuk beras atau bubuk jagung dan banyak menimbulkan kerusakan pada bahan yang disimpan (Soekarto 1984). Serangga ini sangat mudah dikenal karena moncongnya (snout) yang khas sehingga dikenal dengan sebutan kumbang moncong. Ukuran panjang tubuh 2,5 – 4,5 mm, 5 bergantung pada tempat serangga tersebut berkembang biak. Bila hidup pada jagung ukurannya lebih besar daripada bila hidup pada beras. Lama perkembangan serangga ini dari telur hingga dewasa pada kondisi optimum, yakni 27 0C dan kelembapan 70%, adalah 31-37 hari pada komoditas jagung (Sunjaya dan Widayanti S. 2009). Menurut Borror dan Delong (1964) diacu dalam Soekarto (1984) sistematika hama dapat dilihat pada Tabel 1. Tabel 1. Klasifikasi Sitophilus zeamais Filum : Arthropoda Ordo : Coleoptera Sub ordo : Polypoda Kelas : Rhynoophora Famili : Curculionidae Genus : Sitophilus Spesies : Sitophilus zeamais Sitophilus zeamais adalah serangga penyimpanan yang paling penting dan banyak menimbulkan kerusakan pada bahan pangan yang disimpan di dunia (Haines 1991 diacu dalam Sunjaya dan Widayanti 2009). Menurut Dobie et al., (1984) warna tubuh Sitophilus zeamais adalah coklat merah sampai coklat gelap. Pada sayap depan (elytra) terdapat empat bintik berwarna kuning kemerah-merahan di dua belahan sayap dan setiap sayap memiliki dua bintik Morfologi serangga hama gudang Sitophilus zeamais Mostch., dapat dilihat pada Gambar 1. Gambar 1. Serangga Hama Gudang S. zeamais (Sunjaya dan Widayanti 2009) Serangga jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk moncong atau rostrum. Dilihat dari permukaan dorsal, moncong jantan lebih besar, berbintik-bintik kasar dan kusam. Moncong serangga betina mulus, berbintik–bintik melebar dan licin. Jika moncong dilihat dari atas, pada jantan lebih pendek dan lebar, pada betina lebih panjang dan sempit. Dilihat dari samping moncong betina lebih panjang, kecil dan agak melengkung ke bawah (Soekarto 1984). 2.4.2. Cara Hidup Serangga Sitophilus zeamais M. sangat umum terdapat dalam penyimpanan dan dapat berkembang biak dengan cepat dan terdapat dalam jumlah yang sangat besar. Sitophilus zeamais M. lebih banyak ditemukan di Indonesia daripada S. oryzae dalam tempat penyimpanan. Keduanya dapat menyerang beras, gabah maupun jagung (Sunjaya dan Widayanti 2009). Hal ini sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Haines dan Pranata (1982) di beberapa gudang beras di 6 Pulau Jawa. Pada penelitian tersebut, Sitophilus zeamais M. lebih banyak ditemukan pada beras (40 ekor) dibandingkan dengan Sitophilus oryzae (5 ekor). Sitophilus zeamais M. merupakan serangga yang sangat berbahaya, karena banyaknya produk pertanian yang diserang dan luasnya serangan (kosmopolitan). Biji-bijian seperti jagung, sorgum, beras, gandum dan produk serealia merupakan tempat yang menjadi sasarannya untuk berkembang biak (Winarno 2006). Serangga Sitophilus zeamais M. mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu mulai telur, larva, pupa, imago (serangga dewasa). Telurnya berbentuk lonjong dengan satu kutub yang lebih sempit. Telur berwarna bening, agak mengkilap, lunak dan panjangnya 0,7 mm dengan lebar 0,3 mm. Tahapan selanjutnya yaitu larva. Larva dapat berkembang dengan memakan bagian dalam biji. Stadium larva merupakan stadium yang merusak. Larva dewasa berbentuk gemuk dan padat, tidak berkaki, berwarna putih dan panjangnya sekitar 4 mm. Lama stadium larva adalah sekitar 18 hari. Larva kemudian berubah menjadi pupa. Pupa berkembang di dalam biji, di tempat kosong bekas dimakan larva. Pupa berwarna putih dan panjangnya 3 sampai 4 mm. Lama stadium pupa adalah 3 sampai 9 hari dengan rata-rata 6 hari (Winarno 2006). Umumnya serangga betina mampu menghasilkan 300 – 400 butir telur selama masa hidupnya dengan masa peneluran kurang lebih 3 minggu. Serangga dewasa ke luar dari biji dengan membuat lubang pada lapisan luar biji. Lubang keluarnya membulat tetapi tepinya tidak merata. Serangga dewasa mampu hidup sampai dengan 5 bulan dan memiliki kemampuan untuk terbang (Sunjaya dan Widayanti 2009). 2.5. BAHAN NABATI MINDI (Melia azedarach L) Tanaman mindi termasuk dalam famili Meliaceae, berbentuk pohon yang dapat mencapai ketinggian 30 m. Batang tanaman ini berkayu dan berbentuk bulat. Daun mindi tersusun sebagai daun majemuk, anak daun berbentuk elips, panjang 3-9 cm, lebar 15-30 mm, tepi daun bergerigi, ujung dan pangkal daunnya runcing serta berwarna hijau (Gambar 2). Gambar 2. Daun Mindi (Melia azedarach L.) Bunga tanaman ini adalah bunga majemuk berbentuk malai yang terdapat di ketiak daun, berambut panjang ± 20 cm, benang sari bergigi sepuluh, kepala sari merunduk, mahkotanya berjumlah lima, panjang ± 1 cm dan berwarna coklat kekuningan. Biji mindi berbentuk bulat telur, beralur dan berwarna putih (Listyanto 2010). Sifat tumbuhan ini diantaranya selalu hijau di daerah tropis basah tetapi menggugurkan daunnya selama musim dingin di daerah beriklim sedang (temperate), suka cahaya, agak tahan kekeringan, agak toleran terhadap salinitas tanah dan suhu di 7 bawah titik beku serta tahan terhadap kondisi dekat pantai, tetapi tumbuhan ini sensitif terhadap api (Departemen Kehutanan 2001). Tumbuh pada daerah dataran rendah hingga dataran tinggi, pada ketinggian 0 – 1200 mdpl, dapat tumbuh pada suhu minimum -5 0C suhu maksimum 39 0C dengan curah hujan rata-rata pertahun 600 – 2000 mm. Pohon mindi memiliki persebaran alami di India dan Burma, kemudian banyak ditanam di daerah tropis dan sub tropis termasuk Indonesia. Untuk Indonesia sudah banyak ditanam di daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Irian Jaya (Listyanto 2010). Penggunaan kayunya untuk mebel, parket, kayu lapis indah dan venir lamina indah. Produk berupa mebel, parket dan kayu lapis indah sudah diekspor (Departemen Kehutanan 2001). Daun dan biji mindi dapat digunakan sebagai bahan pestisida nabati. Beberapa bahan kimia yang terkandung dalam kulit batang dan kulit akar mindi diantaranya toosendanin, margoside, kaemferol, resin, tanin, n-triacontane, β-sitosterol, triterpen kulinone dan lain-lain (Hariana 2007). Tanaman mindi berguna sebagai bahan pestisida dan dikenal juga sebagai tanaman obat. Kulit batang mindi dan kulit akarnya dapat digunakan sebagai obat cacingan, scabies (gatal-gatal pada kulit), dan kudis (Hariana 2007). 2.6. FORMULASI INSEKTISIDA Formulasi merupakan proses perumusan atau penyusunan pestisida melalui beberapa metode dengan tujuan guna memperbaiki daya simpan, mempermudah penanganan, mengefektifkan dalam aplikasi, dan memberikan keamanan bagi pengguna maupun lingkungan (Ware 1978). Formulasi yang dipasarkan terdiri atas bahan pokok yang disebut bahan aktif (active ingredient) yang merupakan bahan utama pembunuh organisme pengganggu dan bahan ramuan (inert ingredient) (Wudianto 2008). Berdasarkan bentuk fisiknya, formulasi dapat dikelompokkan ke dalam bentuk cair dan bentuk padat. Formulasi bentuk cair dapat berupa emulsifiable concentrate (EC), suspension concentrate (SC), emulsion in water (EW), capsule suspensions (CS), dan gels (GL). Sedangkan formulasi bentuk padat yaitu wettable powder (WP), water dispersible granules (WG), dan dusi(D) (Wudianto 2008). Menurut Ware (1978) lebih dari 75 % pestisida diaplikasikan sebagai cairan semprot dan sebagian besar diaplikasikan sebagai emulsi air yang dibuat dari emulsifiable concentrate (EC). Bentuk pestisida ini berupa cairan pekat yang terdiri dari campuran bahan aktif dengan perantara emulsi (emulsifier). Dalam penggunaannya, biasanya dicampur dengan bahan pelarut berupa air. Hasil pengencerannya atau cairannya disebut emulsi. Bentuk EC ini paling banyak dijumpai di pasaran. Sebagai contoh Agrimec 18 EC dan Decis 2,5 EC (Wudianto 2008). Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan oleh Sunarto dan Nurindah (2009), efektivitas formulasi EC lebih tinggi dibanding formulasi SBM dan WP. Dalam bentuk formulasi EC, untuk membunuh 50% larva H. armigera dibutuhkan konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan formulasi SBM dan WP. Keuntungan dari formulasi EC ini yaitu mudah untuk ditangani, ditransportasi, disimpan, tidak menggumpal, tidak merusak noozles, dan residunya sedikit pada permukaan yang diberi perlakuan. Sedangkan untuk kelemahannya yaitu konsentrasi yang tinggi membuatnya mudah overdosis, ada kemungkinan menyebabkan fitotoksik, mudah diserap oleh kulit manusia atau hewan, dapat menyebabkan korosif, dan mudah terbakar (Wudianto 2008). 8 2.7. EMULSI Emulsi merupakan sistem dispersi yang terdiri dari dua cairan yang tidak bercampur (biasanya minyak dan air). Pada sistem emulsi, salah satu cairan terdispersi pada cairan yang lain membentuk droplet kecil yang bulat. Diameter droplet tersebut bervariasi antara ~0,1 µm – 50 µm. (Coupland dan McClements 1996; McClements 1999). Fase yang berbentuk droplet disebut fase diskontinyu atau fase internal dan fase yang di sekeliling butiran dikenal sebagai fase kontinyu atau fase eksternal. Emulsi dapat diklasifikasikan berdasarkan dispersi minyak dan air. Suatu sistem yang mengandung droplet minyak yang terdispersi dalam air dikenal sebagai emulsi oil-in-water (O/W), sedangkan sistem yang mengandung droplet air yang terdispersi dalam minyak dikenal sebagai emulsi water-in-oil (W/O) (McClements 1999; Belitz dan Grosch 1999). Dibandingkan dengan emulsi minyak-dalam-air, jenis emulsi air-dalam-minyak kurang sensitif terhadap pH, tetapi sensitif terhadap panas, peka pada pada perlakuan elektrik, mempunyai konduktifitas yang rendah, terwarnai oleh pewarna yang larut minyak, dan dapat diencerkan dengan penambahan minyak murni. Demikian pula kebalikannya berlaku untuk sistem O/W (Holmberg et al. 2003). Secara sistimatis, ilustrasi dari jenis O/W dan W/O dapat dilihat pada Gambar 3. Gambar 3. Skema jenis O/W dan W/O pada emulsi tunggal (Porter 1994). Emulsi biasanya dibuat dengan cara pengadukan mekanik (Arbuckle 1977). Sedangkan emulsi yang mantap, memerlukan bahan ketiga yang mampu membuat sebuah selaput (film) di sekeliling butiran yang terdispersi sehingga mencegah bersatunya kembali butir-butir tersebut (Winarno 1997). Sifat-sifat yang harus terpenuhi dalam pembentukan emulsi adalah kestabilan larutan (biasanya dengan air atau pelarut terpilih), viskositas, warna, dan stabilitas. Sedangkan sifat-sifat emulsi akan tergantung kepada sifat fase kontinyu, rasio fase eksternal dan fase internal, ukuran partikel emulsi, hubungan dari fase kontinyu dengan partikel dan sifat fase diskontinyu. hasil emulsi akan ditentukan oleh tipe emulsi dan jumlah emulsi, rasio bahan-bahan dan urutan penambahan bahan-nahan serta pengadukan (Griffin 1979). 2.8. SURFAKTAN Surfaktan adalah zat yang dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat menaik dan menurunkan tegangan permukaan. Surfaktan merupakan senyawa ampifilik, yaitu senyawa yang molekulmolekulnya mempunyai dua gugus yang berbeda interaksinya dengan air. Gugus hidrofilik yang memiliki ketertarikan kuat dengan air berada pada ujung polar (biasa disebut kepala), sedangkan 9 gugus hidrofobik/lipofilik yang “suka minyak” berada pada ujung nonpolar (biasa disebut ekor) (Porter 1994). Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka, meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi (misalnya oil in water (O/W) atau water in oil (W/O)). Disamping itu, surfaktan akan terserap ke dalam permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau menghambat penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi (Porter 1994). 2.8.1. Jenis-jenis Surfaktan Menurut Porter (1994), jenis-jenis surfaktan dapat dibagi menjadi empat berdasarkan ada tidaknya muatan ion pada rantai panjang bagian hidrofobiknya, yaitu : 1. Surfaktan anionik Surfaktan anionik merupakan jenis surfaktan yang paling besar jumlahnya. Sifat-sifat dari surfaktan anionik yaitu tidak kompatibel dengan jenis surfaktan kationik, sensitif terhadap air sadah atau hard water dengan derajat sensitifitas. Surfaktan anionik umumnya merupakan garam natrium yang akan terionisasi menghasilkan Na + dan ion surfaktannya bermuatan negatif. Contoh surfaktan anionik antara lain : - - Karboksilat RCOOSulfonat RSO3 Sulfat RO-SO3 Fosfat ROPO(OH)2O 2. Surfaktan kationik Surfaktan kationik umumnya merupakan garam-garam ammonium kuarterner atau amina. Jenis surfaktan ini mempunyai sifat indeks yang lebih tinggi dibanding surfaktan jenis lain dan mempunyai sifat adsorpsi permukaan yang baik. Contoh surfaktan kationik antara lain : - Diamina Hidroklorida - Alkohol etoksilat Poliamina Hidroklorida Dodesil Dimetilamina Hidroklorida Imidazolin Hidroklorida Alkil imidazolin ethilenediamina Imidazolin Surfaktan non-ionik Jenis surfaktan ini merupakan jenis surfaktan kedua terbesar. Jenis ini kompatibel dengan semua jenis surfaktan. Berbeda dengan surfaktan ionik, sifat fisik-kimia surfaktan nonionik tidak terpengaruh oleh penambahan elektrolit. Contoh surfaktan non-ionik antara lain : 3. Mono alkanolamida etoksilat Fatty amine etoksilat Fatty acid etoksilat Etillen oksida / propilen oksida copolymers Alkil fenol etoksilat Surfaktan ampoterik (Zwiter ion) Surfaktan zwiter ion mengandung dua muatan yang berbeda dan dapat membentuk surfaktan amfoter. Perubahan muatan terhadap pH pada surfaktan amfoterik mempengaruhi pembentukan busa, pembasahan, sifat deterjen dan lainnya. Contoh dari zwiter ion antara lain : 4. 10 - Laurildimetil betain Cocoamidopropil betain Oleil bis (hidroksietil) betain Karboksi glisinat Alkilampodiasetat Aminoalkanoat 2.9. EKSTRAKSI KOMPONEN AKTIF 2.9.1. Jenis-jenis Metode Ekstraksi 2.9.1.1. Penyulingan (distilasi) Secara umum distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Sedangkan secara khusus distilasi (penyulingan) adalah proses pemisahan komponen dari suatu campuran yang berupa larutan cair-cair dimana karakteristik dari campuran tersebut adalah mampu campur dan mudah menguap, selain itu komponen-komponen tersebut mempunyai perbedaan tekanan uap dan hasil dari pemisahannya menjadi komponen-komponennya atau kelompok-kelompok komponen (Sax dan Lewis 1998). Pemisahan komponen-komponen melalui proses penyulingan ini didasarkan pada perbedaan titik didihnya. Pada umumnya ada empat jenis distilasi yaitu distilasi sederhana, distilasi fraksionisasi, distilasi uap, dan distilasi vakum (Harborne 1987; Guenther 2006). 2.9.1.2. Pengepresan (Pressing) Pressing merupakan salah satu proses pemisahan dua atau lebih cairan dengan memberi tekanan terhadap bahan baku (Sax dan Lewis 1998). Tekanan yang diberikan biasanya berasal dari alat pressing sendiri, contohnya Expeller Pressing. Ekstraksi komponen aktif atau minyak atsiri dengan cara pengepresan umumnyadilakukan terhadap bahan berupa biji-bijian, buah atau kulit luar (khusus famili citrus) (Guenther 2006). Ekstraksi untuk bahan selain minyak atsiri juga dapat dilakukan dengan cara pressing pada tekanan tinggi. Pengepresan mekanis adalah suatu cara pengambilan minyak atau lemak dengan menggunakan tekanan atau di press, terutama puntuk bahan-bahan yang berasal dari biji-bijian denga kadar minyak tinggi (30-70%) (Soerawidjaja dan Tatang 2005). 2.9.1.3. Ekstraksi dengan pelarut menguap (Solvent extraction) Ekstraksi dengan pelarut menguap dalam hal ini diambil contoh dalam ekstraksi minyak atsiri. Prinsip dari ekstraksi dengan pelarut menguap (solvent extraction) adalah melarutkan minyak atsiri dalam bahan dengan pelarut organik yang mudah menguap (Guenther 2006). Ekstraksi dengan pelarut organik umumnya digunakan untuk mengekstraksi minyak atsiri yang mudah rusak oleh pemanasan uap dan air, seperti untuk mengestrak minyak dari bunga-bungaan misalnya bunga cempaka, melati mawar dan bunga lainnya (Guenther 2006). 11 2.9.1.4. Ekstraksi dengan Soxhlet Ekstraksi dengan alat soxhlet merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru, umumnya dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi konstan dengan adanya pendingin balik (kondensor) (Sax dan Lewis 1998). Soxhlet digunakan untuk mengekstrak senyawa yang kelarutannya terbatas dalam suatu pelarut dan pengotor-pengotornya tidak larut dalam pelarut tersebut. Sampel yang digunakan dan yang dipisahkan dengan metode ini berbentuk padatan. Ekstraksi soxhlet ini juga dapat disebut dengan ekstraksi padat-cair (Harborne 1987). Padatan yang diekstrak terlebih dahulu ditumbuh kemudian dibungkus dengan kertas saring dan dimasukkan ke dalam ekstraktor soxhlet, sedangkan pelarut organik dimasukkan ke dalam labu alas bulat kemudian seperangkat ekstraktor soxhlet dirangkai dengan kondensor (Sax dan Lewis 1998). 2.9.1.5. Absorpsi oleh Lemak Padat (Enfleurasi) Proses ini merupakan penyulingan minyak alamiah paling kuno karena menggunakan lemak hewan sebagai penjerab minyak. lemak memiliki daya absorpsi yang tinggi sehingga jika dicampur dengan bunga melati, lemak akan mengabsorpsi minyak yang dihasilkan oleh bunga melati (Guenther 2006). Selain itu, pemrosesan minyak atsiri dengan lemak akan menghasilkan rendemen yang lebih banyak daripada dengan proses ekstraksi menguap (Harborne 1987; Sax dan Lewis 1998). 2.9.1.6. Ekstraksi dengan Teknik Emulsi Membran Cair Membran cair emulsi (Emulsion Liquid Membrane, ELM) merupakan salah satu jenis membran cair yang sudah banyak digunakan untuk pemisahan di laboratorium maupun industri (Sax dan Lewis 1998). ELM telah berhasil digunakan untuk memisahkan fenol dan senyawa turunannya, yaitu nitrofenol dengan efisiensi lebih dari 98 % (Soerawidjaja dan Tatang 2005). Membran cair merupakan suatu fase cair yang bersifat pemisah semi permeabel yang berada diantara dua fase cair yang sejenis. Membran cair emulsi terdiri dari fase eksternal (mengandung senyawa yang dipisahkan), fase internal (fase penerima spesies yang dipisahkan) dan membran, dimana membran itu sendiri mengandung surfaktan sebagi penstabil emulsi dan carrier sebagai zat pembawa (Sax dan Lewis 1998). 2.9.1.7. Metode Ekstraksi dengan Maserasi Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut yang digunakan, pada temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena dengan perendaman sampel tumbuhan akan mengalami pemecahan dinding dan membran sel akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut, selain itu untuk mendapatkan ekstraksi yang sempurna dapat diatur lama perendamannya. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan memberikan efektifitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam terhadap pelarut tersebut (Lenny 2006). 12 Maserasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau pengadukan pada temperatur kamar. Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode pencapaian konsentrasi pada keseimbangan (Ferdiansyah 2006). 2.9.2. Jenis Pelarut Pelarut merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam proses ekstraksi, sehingga banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut (Guenther 2006). Terdapat dua pertimbangan utama dalam memilih jenis pelarut, yaitu pelarut harus mempunyai daya larut yang tinggi dan pelarut tidak berbahaya atau tidak beracun. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi harus dapat melarutkan ekstrak yang diinginkan saja, mempunyai kelarutan yang besar, tidak menyebabkan perubahan secara kimia pada komponen ekstrak, dan titik didih kedua bahan tidak boleh terlalu dekat (Guenther 2006). Menurut Heath dan Reinessius (1987), yang perlu diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah daya melarutkan komponen yang diinginkan, titik didih, sifat racun, mudah tidaknya terbakar dan sifat korosif terhadap peralatan ekstraksi. Untuk titik didih dari berbagi macam pelarut dan komponen terlarut dapat dilihat pada Tabel 2. Di antara pelarut-pelarut tersebut yang paling sering digunakan adalah air, etanol, etil asetat, petroleum eter, kloroform, dan heksana. Tabel 2. Jenis pelarut dan komponen terlarut serta titik didihnya Jenis pelarut Air Etanol Etil asetat Petroleum eter Kloroform Heksana Asam askorbat Flavanoid Karotenoid Alkaloid Steroid Titik didih (0C) 100 78,4 77 70 61,7 71 > 190 > 160 > 580 >100 > 135 Sumber : Anonim (2009); Scheflan dan Morris (1983); Weissenberg, (2001) 2.9.2.1. Air (aquades) Aquades berasal dari istilah latin aquadestilata yang berarti air suling. Air suling merupakan air yang diperoleh dari pengembunan uap air akibat penguapan atau pendidihan air (Ham 2006). Sebuah molekul air terdiri dari sebuah atom oksigen yang berikatan kovalen dengan dua atom hidrogen. Hidrogen dan oksigen mempunyai daya padu yang sangat besar antara keduanya. Kemampuan molekul air membentuk ikatan hidrogen menyebabkan air mempunyai sifat-sifat yang unik. Ikatan hidrogen air pada tekanan atmosfer bersifat mengalir (flow) pada suhu 0-100 ºC, dan densitsasnya 1 g/ml (Winarno 2002). 13 2.9.2.2. Etanol 70 % Etanol biasa disebut etil alkohol, hidroksietan atau alkohol diproduksi melalui fermentasi gula, karbohidrat dan pati, biasa digunakan sebagai pelarut, antiseptik, obat penenang, industri parfum dan obat-obatan. Etanol merupakan pelarut organik (Lewis 1993 diacu dalam Ferdiansyah 2006). Sifat-sifat etanol dapat dilihat pada Tabel 3. Tabel 3. Sifat-sifat etanol Nama lain Rumus bangun Sifat Berat molekul (BM) Titik leleh Titik didih Berat jenis Kelarutan : Etanol, hidroksi ethan, metil karbinol, ansol : C2H5OH : Mudah menguap berbau khas, tidak beresidu : 46,7 : - 117, 3 – 112 % : 78,4 0C : 0,789 g/ml : Dalam air, eter, kloroform, dan metil alkohol Sumber : Scheflan dan Morris (1983) Etanol merupakan senyawa alkohol dengan formula C2H5OH yang berbentuk cair, tidak berwarna, larut dalam air, eter, kloroform dan aseton. Dihasilkan dari peragian kanji, hidrolisis bromoetana dengan kalium hidroksida (Basri 1996). Adanya gugus hidroksil (OH) pada alkohol memberikan sifat polar, sedangkan gugus alkil (R) merupakan gugus non polar. Proporsi dari kedua gugus tersebut merupakan faktor yang menentukan sifat alkohol (Kurniawan 2006). Etanol tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki stabilitas bahan terlarut. Etanol 70% sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal. Digunakan etanol bukan metanol karena antioksidan yang hendak diekstrak diharapkan dapat diaplikasikan pada produk makanan, minuman dan obat-obatan sehingga aman untuk dikonsumsi sedangkan metanol bersifat toksik (Voight 1994). Etanol biasanya digunakan untuk mengekstraksi senyawa-senyawa aktif yang bersifat antioksidan dan antibakteri pada suatu bahan. Beberapa hasil penelitian melaporkan bahwa pelarut etanol lebih baik dari pada air, metanol maupun pelarut lain dalam mengekstraksi senyawa antioksidan maupun antibakteri (Hirasawa 1999). 2.9.2.3. Etil Asetat Etil asetat/etiletanoat/C2H5OOCCCH3 adalah suatu zat cair tak berwarna dengan bau buah yang semerbak bertitik didih 77°C dan d = 0,9 g/ml (Arsyad 2001). Viskositas etil asetat 0,46 pada 20 oC, boiling point 76,5 oC, dan flash point -3 oC (Scheflan dan Morris 1983). Dalam penelitian gandapura, pelarut yang digunakan adalah metanol, etil asetat dan heksana, ternyata hasil ekstraksi dari masing-masing pelarut menunjukkan bahwa rendemen ekstrak tertinggi dihasilkan ekstrak metanol yang bersifat polar, diikuti oleh etil asetat dan heksan (Hermani 2004). 14 2.9.2.4. Kloroform Kloroform (triklorometana) merupakan salah satu senyawa haloform yang mempunyai rumus kimia CHCl3; zat cair mudah menguap, sukar terbakar (tetapi uapnya mudah terbakar), tidak larut dalam air tetapi larut dalm alkohol dan eter; uapnya bersifat membius dan bila terkena udara dan cahaya dapat membentuk gas fosgen yang beracun. Kloroform digunakan untuk pembuatan senyawa fluorokarbon, sebagai pelarut (cat), dan sebagai anastetik. Kelarutan dalam air pada suhu 25 oC (Ham 2006). 2.9.2.5. Petroleum Eter Petroleum eter merupakan campuran hidrokarbon berupa cairan jernih, mudah menguap, mudah terbakar. Diperoleh dari pengolahan minyak bumi, dan digunakan sebagai pelarut di laboratorium (Ham 2006). Petroleum eter merupakan campuran hidrokarbon (bukan eter sebenarnya) yang atsiri dan mudah terbakar, tidak berwarna, terutama terdiri dari pentana dan heksana. Bahan ini mendidih dalam rentang 30-70 oC dan digunakan sebagai pelarut. Petrolum eter mempunyai densitas sebesar 0,625 sampai 0,660 g/ml (Daintith 1994). 2.9.2.6. Heksana Nama lain dari Heksana (Hexane) adalah kaproil hidrida, metil n-butil metan dengan rumus molekul CH3(CH2)4CH3. Heksana mempunyai karakteristik sangat tidak polar, volatil, mempunyai bau khas yang dapat menyebabkan pingsan. Berat molekul heksana adalah 86,2 dengan titik leleh 94,3 sampai -95,3 °C. Titik ddih heksana pada tekanan 760 mmHg adalah 66 sampai 71°C . Densitas heksana pada suhu 20 oC sebesar 0,6603 g/ml (Scheflan dan Morris 1983). 15 III. METODOLOGI PENELITIAN 3.1. BAHAN DAN ALAT Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras varietas Cisadane dan daun mindi, serta bahan-bahan kimia seperti air suling/aquades, n-heksana p.a., metanol p.a., metanol teknis, kloroform p.a., alkyl benzene sulfonat (ABS), NaOH 0,1 N, etanol 95%, dan phenolftalin. Sampel beras yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras pecah kulit (BPK). Sampel tersebut diperoleh dengan memasukkan gabah ke dalam mesin pemecah kulit (rice huller) untuk memecah sekam dari gabahnya. Daun mindi sebagai bahan utama penelitian diperoleh dari BALITRO (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat) Bogor. Serangga uji yang digunakan adalah Sitophilus zeamais Motschulsky yang diperoleh dari BIOTROP, Bogor. Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin pemecah kulit (rice huller), gelas plastik, kain blacu, karet gelang, penghancur (blender), buret, desikator, timbangan analitik, oven, ayakan 60 mesh, corong buchner, pompa rotary, rotary evaporator, shaker, sonikator, heater, kertas saring, gelas piala, erlenmeyer, corong gelas, sudip, gelas ukur, dan pipet tetes. 3.2. METODE PENELITIAN Penelitian ini meliputi tahap persiapan, penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Tahap persiapan terdiri dari pembiakan serangga S. zeamais, dan pembuatan ekstrak bahan nabati. Penelitian pendahuluan terdiri dari penentuan volume insektisida nabati yang disemprotkan dan pembuatan konsentrasi formula larutan stok emulsifiable concetrate (EC). Penelitian utama terdiri dari uji retensi formula emulsifiable concentrate (EC) dan aplikasi pada beras. 3.2.1. Tahap Persiapan 3.2.1.1. Pembiakan Serangga S. zeamais (stock culture) Serangga S. zeamais diperoleh dari BIOTROP yang sudah dewasa. Serangga kemudian ditempatkan dalam wadah yang telah diberi jagung fumigasi sebagai makanan dan tempat berkembang biak. Jagung fumigasi ini dapat diperoleh dengan cara pipilan jagung dimasukkan ke dalam oven dengan suhu 500C dalam waktu 1 jam. Tujuan dari pengovenan ini yaitu untuk mematikan serangga yang hidup yang mungkin ada pada media jagung pipil. Jagung ini harus diganti dengan yang baru setiap dua minggu agar serangga dapat berkembang biak dengan baik. Serangga ini dijadikan sebagai stock culture untuk penelitian tanpa harus meminta lagi dari BIOTROP. 3.2.1.2. Pembuatan Ekstrak Bahan Nabati Pada pembuatan ekstrak, daun mindi dikeringkan terlebih dahulu dalam oven pada suhu 60 C selama 1 jam. Setelah bahan menjadi kering kemudian diblender untuk menghancurkan bahan nabati tersebut. Bahan nabati yang telah dihancurkan kemudian disaring dengan ayakan 60 mesh. Proses ekstraksi dimulai dengan mencampur 50 gram bagian tepung bahan nabati dengan 250 ml o 16 heksana, kemudian diletakkan dalam alat shaker dan didiamkan selama 24 jam. Kemudian setelah selesai, filtrat tersebut disaring dengan kertas saring dengan menggunakan peyaring vakum. Filtrat yang diperoleh dievaporasi dengan rotary evaporator pada suhu 55 0C (Samiwahyufiranalah 1998), sehingga diperoleh pekatan yang menyerupai minyak. Pekatan menyerupai minyak inilah yang digunakan sebagai ekstrak. Pembuatan ekstrak bahan nabati ini mengacu pada penelitian yang dilakukan oleh Sonyaratri (2006) terhadap daun mindi dan daun mimba, serta penelitian yang dilakukan oleh Setiawan (2010) untuk mengkaji daya insektisida pada daun mimba. Ekstrak daun mindi dapat dilihat pada Gambar 4. Gambar 4. Ekstrak Daun Mindi 3.2.2. Penelitian Pendahuluan Penelitian pendahuluan ini terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama menentukan banyaknya volume cairan yang disemprotkan pada beras dan tahap kedua yaitu tahapan untuk mendapatkan konsentrasi formulasi dari bahan nabati dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC). Untuk tahap pertama, cara yang dilakukan yaitu dengan menyemprotkan cairan emulsi pada sampel beras yang ditempatkan pada gelas plastik dengan bobot 100 gram. Variasi volume yang disemprotkan adalah 2 ml, 4 ml, 6 ml, 8 ml, 10 ml, dan 12 ml dan dilihat secara visual persebaran dari cairan tersebut pada beras. Pada tahap kedua untuk membuat suatu insektisida nabati dalam bentuk emulsifiable concentrate bahan-bahan yang diperlukan adalah ekstrak bahan nabati, bahan pembawa, dan bahan pengemulsi. Konsentrasi ekstrak bahan nabati yang ditambahkan bervariasi yaitu 20%, 25%, 30%, 35%, dan 40%. Bahan pembawa yang digunakan adalah metanol dan bahan pengemulsi yang digunakan adalah Alkyl Benzene Sulfonat dengan variasi konsentrasi yang disesuaikan dengan perbandingan 5:1. Analisis terhadap formula dilakukan untuk menentukan stabilitas emulsi. Perbandingan konsentrasi ekstrak bahan nabati, bahan pembawa dan bahan pengemulsi dapat dilihat pada Tabel 4. 17 Tabel 4. Perbandingan konsentrasi ekstrak bahan nabati, bahan pembawa, dan bahan pengemulsi Ekstrak bahan Nabati Bahan Pembawa Bahan Pengemulsi 20 % 66,67 % 13,33 % 25 % 62,50 % 12,50 % 30 % 58,33 % 11,67 % 35% 54,67 % 10,83 % 40 % 33,33 % 10,00 % 3.2.3. Penelitian Utama 3.2.3.1. Uji Retensi Formula Emulsifiable Concentrate (EC) Uji retensi formula emulsifiable concentrate (EC) dilakukan untuk mengetahui retensi (dalam hitungan hari) insektisida nabati yang efektif dalam menghambat serangan serangga setelah penyemprotan. Beras sebanyak 100 gram ditempatkan dalam suatu wadah plastik. Variasi konsentrasi yang disemprotkan adalah 0 % (tanpa ekstrak bahan nabati), 8 %, dan 16 %. Sampel didiamkan dalam suhu ruang selama waktu yang ditentukan yaitu 1 hari, 3 hari, 5 hari, 7 hari, dan 9 hari. Setelah waktu ujinya tiba, sebanyak 100 ekor S.zeamais diinfestasikan ke dalam beras tersebut dan pada hari berikutnya dihitung berapa banyak yang mati. 3.2.3.2. Aplikasi pada Beras Beras sebanyak 100 gram ditempatkan dalam suatu gelas plastik. Ektrak bahan nabati yang sudah berbentuk emulsifiable concentrate disemprotkan ke dalam wadah tersebut dengan variasi konsentrasi 0%, 4%, 8%, 12% dan 16%. Sebanyak 25 ekor serangga S. zeamais dewasa diinfestasikan ke dalam sampel beras. Selanjutnya sampel diinkubasi pada suhu dan kelembaban ruang selama 5 minggu. Setelah itu dilakukan pengayakan untuk menghitung populasi S. zeamais Motsch. Pengujian untuk setiap konsentrasi dilakukan sebanyak tiga ulangan. 3.3. ANALISIS DAN PENGAMATAN 3.3.1. Jumlah Total Populasi Serangga (Nt) Jumlah total populasi serangga dari masing-masing ulangan untuk tiap konsentrasi dihitung dengan cara mengayak beras yang telah disimpan untuk memudahkan menghitung serangga. 3.3.2. Persen Biji Berlubang (%BB) Biji yang berlubang merupakan parameter kerusakan karena biji tersebut dapat berlubang karena digunakan oleh serangga sebagai tempat berkembang biak dan sumber makanannya. Beras yang telah melalui masa simpan, di screening secara manual untuk memisahkan biji yang masih utuh dan biji yang berlubang. Biji yang berlubang dapat mudah teramati secara visual sehingga 18 dapat mudah dipisahkan dari biji yang masih utuh. Biji yang sudah berlubang kemudian dihitung jumlahnya dan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut: % BB = Nd/N x 100 3.3.3. Persen Kehilangan Bobot (% KB) Pada biji yang telah disimpan dan diinvestasi akan mengalami penurunan bobot karena selama masa simpan serangga menggunakan beras tersebut sebagai sumber makanannya dan tempat berkembang biak. Kehilangan bobot ini dapat dihitung dengan memisahkan anatara biji yang masih utuh dan biji yang sudah berlubang kemudian ditimbang masing-masing bobotnya. Setelah didapatkan data tersebut maka dapat dilanjutkan menghitung persen kehilangan bobot dengan rumus sebagai berikut : % KB = x 100% Keterangan : U = bobot fraksi biji utuh D = bobot fraksi biji berlubang Nu = jumlah fraksi biji utuh Nd = jumlah fraksi biji berlubang N = jumlah biji dalam sampel (Nu + Nd) 3.3.4. Persen Fraksi Bubuk yang Timbul (%Frass) Bubuk yang timbul ini merupakan hasil samping dari beras yang sudah mengalami kerusakan (berlubang) akibat dari kegiatan serangga memakan beras tersebut. Untuk menghitung bubuk yang timbul, masing-masing sampel beras diayak dengan saringan untuk memisahkan antara beras dan bubuk yang ada. Kemudian sampel beras awal sebelum diinvestasi ditimbang dan dibandingkan dengan berat bubuk yang timbul dan dapat dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut : % frass = (berat fraksi bubuk)/(berat beras awal) x 100 3.3.5. Analisis Kadar Air (AOAC 1995) Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Langkah awal pengukuran kadar air adalah dengan mengeringkan cawan alumunium pada suhu 100 0C selama 15 menit, kemudian didinginkan di dalam desikator selama 10 menit. Cawan alumunium kemudian ditimbang dengan menggunakan neraca analitik (a gram). Sebanyak 2-10 gram (x gram) sampel ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobot kosongnya. Kemudian dikeringkan dalam oven 1050C selama 5 jam, lalu di dinginkan di dalam desikator dan ditimbang sampai diperoleh bobot konstan (y gram). Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus : 19 % 3.3.6. Analisis Asam Lemak Bebas (AOAC 1995) Sebelum dianalisis asam lemak bebasnya, masing-masing sampel diekstrak lemaknya dengan menggunakan metode Folch (Folch et al. 1957 diacu dalam Sudarmadji et al. 2008) yang dimodifikasi. Tujuan dari pengekstrakkan lemak dengan metode tersebut yaitu agar menghasilkan lipid yield recovery yang tinggi sehingga lemaknya bisa digunakan untuk analisis asam lemak bebas (Saeid 2011). Metode tersebut dapat dilihat di Lampiran 9. Sampel lemak yang telah didapat ditambahkan 15 ml etanol 95% netral sambil dipanaskan agar cepat larut lalu ditambahkan 2 tetes indikator phenolftalin. Goyang-goyang agar tercampur homogen. Sampel dititrasi menggunakan NaOH 0,1 N sambil digoyang kuat sampai warna pink permanen selama 30 detik. Kadar asam lemak bebas (%) = Keterangan : V = Volume NaOH (ml) N = Normalitas NaOH hasil standarisasi M = Berat molekul contoh (sesuai dengan jenis lemak dominan contoh) W = Berat sampel beras (g) 3.4. RANCANGAN PERCOBAAN Rancangan percobaan yang dilakukan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap sederhana dengan 3 kali ulangan untuk setiap tingkat konsentrasi bahan nabati. Model matematika rancangan acak lengkap sederhana adalah: Yij = + Ai + ij dimana Yij = nilai pengamatan Ai = nilai rata-rata umum = pengaruh taraf perlakuan ke-i ij = galat percobaan 20 IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN Tanaman mindi dipilih untuk dijadikan dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC) ini karena adanya komponen aktif yang terkandung dalam bahan tersebut yang berpotensi sebagai insektisida yaitu senyawa golongan azadirachtin, flavonoid, polifenol, saponin dan alkaloid (Astuti et al. 2006). Banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk mengkaji daya insektisida dari daun mindi, salah satunya oleh Suyani (2003) dengan menggunakan formulasi tepung bahan nabati dan Sonyaratri (2006) dengan menggunakan ekstrak daun mindi dapat berfungsi efektif sebagai insektisida dalam menghambat perkembangan serangga Sitophilus zeamais M. pada media oligidik. Selain itu, kerabat dekat dari tanaman ini yaitu mimba, sudah terlebih dahulu dibentuk dalam EC. Berdasarkan hal tersebut, maka bahan nabati mindi memiliki potensi untuk dikembangkan dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC) agar mudah dalam pengaplikasiannya dan dapat memperkaya bahan nabati yang dapat dibentuk dalam bentuk EC. Beras yang digunakan dalam penelitian ini adalah varietas Cisadane karena dari laporan Susetyorini (1985), beras ini memiliki tingkat kekerasan yang rendah sehingga sangat peka terhadap serangan Sitophiulus zeamais. Tingkat kekerasan beras mempengaruhi peletakan telur oleh Sitophilus zeamais. Hal ini disebabkan sebelum menyusup, Sitophilus zeamais betina akan membuat lubang dengan mencungkil permukaan biji dengan menggunakan rostrum-nya dan meletakkan telurnya pada lubang tersebut. Oleh karena itu, beras varietas ini dipilih agar dapat melihat bahwa ekstrak bahan nabatilah yang mencegah peneluran serangga dan bukan tingkat kekerasan beras yang digunakan sebagai media. Pada penelitian ini tidak mengamati mortalitas paretal atau turunan dari Sitophilus zeamais karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji efek insektisida nabati atau daya hambat dari bahan nabati terhadap perkembangan S. zeamais dan bukan terhadap mortalitasnya serta adanya dugaan dugaan bahwa bahan nabati yang diuji hanya mempunyai daya hambat berupa daya tolak (repellent) dan atau daya mengurangi selera makan (anti feedant) saja sehingga tidak akan memberikan efek kematian secara langsung. Hal ini didukung oleh pendapat Wudianto (2008) yang menyatakan bahwa bahan nabati yang memiliki daya hambat umumnya disebabkan karena adanya daya tolak (repellent) dan daya pencegah makan (antifeedant). Proses pembuatan ekstrak dari daun mindi dilakukan dengan metode maserasi. Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut yang digunakan, pada temperatur ruangan. Metode maserasi dipilih karena metode ini murah dan mudah dilakukan (Husnah 2009), selain itu umumnya metode ini digunakan untuk pembuatan insektisida nabati dalam bentuk EC. Pelarut yang digunakan yaitu heksana yang memiliki karakteristik sangat tidak polar, volatil, dan mempunyai bau khas yang dapat menyebabkan pingsan (Scheflan dan Mossses 1983). Menurut Asih et al. (2010) salah satu komponen yang dapat terekstrak dengan pelarut heksana adalah senyawa golongan triterpenoid yaitu senyawa yang terdapat pada daun mindi dan berfungsi sebagai insektisida. Senyawa dalam daun mindi yag tergolong dalam golongan triterpenoid yang dapat berfungsi sebagai insektisida yaitu meliacarpin (C35H44O16) (Ghany et al. 2012). Selain itu, metode ini juga dilakukan oleh Setiawan (2010) untuk mengkaji daya insektisida pada daun mimba dan Sonyaratri (2006) yang mengkaji daya insektisida pada daun mindi dan mimba. Hasil dari kedua penelitian tersebut adalah kedua ekstrak daun yang di ekstrak dengan metode maserasi menggunakan pelarut heksana dapat bekerja efektif untuk menghambat perkembangan dari 21 serangga hama gudang. Oleh karena itu, metode maserasi dengan pelarut heksana dipilih dalam penelitian ini dan diharapkan hasilnya sesuai dengan penelitian terdahulu. Pada penelitian pendahuluan, volume yang efektif untuk disemprotkan adalah 6 ml. Pada volume ini, beras yang disemprot dalam wadah gelas plastik tidak terlalu banyak ataupun terlalu sedikit. Apabila volumenya di atas itu maka akan lebih banyak cairan emulsi dibandingkan beras yang ada sehingga akan menyebabkan beras tersebut menjadi basah dan akan lebih mudah mengalami kerusakan karena terserang kapang. Apabila volumenya di bawah 6 ml, cairan emulsi yang disemprotkan tidak merata sehingga dapat menyebabkan tidak efektifnya ekstrak bahan nabati. Untuk pembuatan emulsifiable concentrate. (EC), bahan-bahan yang diperlukan yaitu ekstrak bahan nabati, bahan pembawa, dan bahan pengemulsi (Wudianto 2008). Bahan pembawa yang digunakan adalah metanol. Metanol dipilih karena sifatnya yang polar dan memiliki kelarutan yang tinggi dalam air serta mudah ditemukan dan harganya ekonomis (Lestari et al. 2011). Bahan pengemulsi yang digunakan adalah Alkyl Benzene Sulfonat (ABS). Sifat-sifat dari Alkyl Benzene Sulfonat (ABS) antara lain adalah titik didihnya 327,61 0C, titik lelehnya 2,78 0C, densitasnya 855,065 Kg/m3,dan memiliki wujud yang cair (Kirk dan Othmer 1981). Pemilihan metanol dan alkyl benzene sulfonat dalam penelitian ini didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan oleh Dwiningsih (2003) tentang pembuatan emulsifiable concentrate (EC) dari biji dan bungkil mimba. Pada penelitian tersebut, bahan pengemulsi yang efektif untuk pembuatan EC adalah alkyl benzene sulfonat karena stabil selama pengamatan dibandingkan dengan pengemulsi lain seperti latron. Selain itu, penentuan konsentrasi bahan pembawa dan pengemulsi ini juga didasarkan pada penelitian Dwiningsih (2003). Konsentrasi yang efektif untuk bahan pembawa adalah 70 % dan untuk bahan pengemulsi adalah 10-15%. Perbandingan metanol dan alkyl benzene sulfonat yang ditambahkan adalah sebesar 5:1 (Prijono 2011). Untuk konsentrasi bahan nabati yang efektif untuk dijadikan sebagai larutan stok adalah 20 %. Penampakan dari larutan stok tersebut dapat dilihat pada Gambar 5. Gambar 5. Konsentrasi Larutan Stok 20% Konsentrasi 20 % tersebut didapatkan dari uji beberapa variasi konsentrasi yang ditambahkan yaitu 20 %, 25 %, 30 %, 35 % dan 40%. Konsentrasi tersebut sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Prijono (2011) bahwa untuk penambahan ekstrak bahan nabati pada EC tidak boleh lebih dari 20 % karena akan menyebabkan emulsi yang terbentuk tidak stabil. Untuk konsentrasi di atas 20% akan terjadi pemisahan antara ekstrak dengan bahan pembawa dan bahan pengemulsi. Hal itu dapat terjadi diduga karena semakin meningkatnya konsentrasi bahan nabati maka konsentrasi bahan pengemulsi yang ditambahkan semakin menurun. Perbandingan 22 konsentrasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Dengan menurunnya konsentrasi bahan pengemulsi ini, maka akan menurunkan kestabilan dari emulsi yang terbentuk. Bahan pengemulsi atau emulsifier ini berfungsi sebagai surfaktan yang dapat menurunkan tegangan permukaan antar muka minyak-air dan membentuk lapisan antar muka yang viscous sehingga mencegah terjadinya pembentukan emulsi yang tidak sempurna (terbentuknya droplet berukuran besar). Terbentuknya droplet-droplet besar dan sifatnya irreversibel adalah sistem emulsi yang tidak dapat terbentuk kembali menjadi sistem emulsi seperti yang dijelaskan Issacs dan Chow (1992). Gambar dari formulasi EC yang tidak stabil dapat dilihat pada Lampiran 11. Setelah konsentrasi larutan stok diperoleh, dilanjutkan dengan pembuatan konsentrasi yang akan disemprotkan yaitu 0 %, 4 %, 8 %, 12 %, dan 16 %. Konsentrasi terendah (4 %) pada variasi konsentrasi yang disemprotkan didasarkan pada penelitian tentang kajian insektisida daun mindi yang dilakukan oleh Sonyaratri (2006). Konsentrasi tersebut sangat efektif untuk menghambat perkembangan serangga pada media oligidik. Variasi konsentrasi seterusnya merupakan kelipatannya agar konsentrasi yang diterapkan seragam. Konsentrasi tersebut diperoleh dari larutan stok dengan prinsip pengenceran. Volume yang disemprotkan sebanyak 6 ml didasarkan pada penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Untuk penampakan dari larutan emulsi dengan konsentrasi 4 % yang siap disemprotkan dapat dilihat pada Gambar 6. Gambar 6. Larutan Emulsi Konsentrasi 4 % 4.2. PENELITIAN UTAMA Pengamatan yang dilakukan pada media beras setelah disimpan selama 5 minggu meliputi jumlah populasi serangga dewasa (Nt), persen biji berlubang (% BB), persen kehilangan bobot (% KB), persen fraksi bubuk yang timbul (% frass), kadar air serta asam lemak bebas. Pada penelitian ini digunakan kontrol absolut yaitu media beras tanpa penambahan ekstrak, bahan pembawa ataupun bahan pengemulsi. 4.2.1. Jumlah Total Populasi Serangga (Nt) Nilai jumlah total populasi serangga (Nt) menunjukkan pengaruh penambahan berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi dalam EC terhadap tingkat perkembangan S. zeamais, dengan populasi awal 25 ekor untuk tiap perlakuan. Hasil pengamatan terhadap jumlah total populasi seranga dewasa dapat dilihat pada Tabel 5. 23 Tabel 5. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap jumlah serangga dewasa S. zeamais pada media beras selama penyimpanan Konsentrasi (%) Jumlah populasi serangga dewasa (ekor) Kontrol 1799,67 c 0 341,33 a 4 734,67 b 8 825,33 b 12 734,67 b 16 422,00 a Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan, p<0,05) Jumlah Serangga yang Mati (%) Dari Tabel 5 terlihat bahwa adanya variasi konsentrasi berpengaruh nyata pada jumlah populasi serangga dewasa pada taraf 0,05 (Lampiran 1b). Hasil uji lanjut Duncan terhadap jumlah populasi serangga dewasa pada berbagai variasi konsentrasi (Lampiran 1c) menunjukkan bahwa jumlah populasi terendah yaitu pada konsentrasi 0 % dan 16 % yang berbeda nyata (p<0,05) dengan kontrol, konsentrasi 4 %, 8 %, dan 12 %. Namun, jumlah populasi terendah ditunjukkan oleh konsentrasi 0 % yang tidak memiliki ekstrak daun mindi. Hasil ini menunjukkan adanya pengaruh selain dari ekstrak bahan nabati yaitu dari bahan pembawa dan bahan pengemulsi. Pernyataan ini didukung dengan adanya uji retensi yang dilakukan terhadap EC dengan konsentrasi 0 % (tanpa ekstrak bahan nabati), 8 %, dan 16 % seperti yang terlihat pada Gambar 7. Uji Retensi Formulasi EC 15 0 10 8 5 16 0 0 2 4 6 8 10 Hari Gambar 7. Grafik uji retensi dari emulsifiable concentrate (ec) dengan konsentrasi 0 %, 8 %, dan 16 % dalam waktu 9 hari. Pada Gambar 7 terlihat pada konsentrasi 0 % setelah disemprotkan dan didiamkan selama satu hari, serangga S. zeamais yang mati adalah sebanyak 14 % dari yang diinfestasikan pada awalnya sebanyak 100 ekor. Pada konsentrasi 8 % dan 16 % yang diberikan perlakuan ekstrak daun mindi tidak menyebabkan kematian pada serangga hingga hari terakhir. Hal ini dapat terjadi karena karakteristik dari bahan pengemulsi yang digunakan (alkyl benzene sulfonat) memiliki sifat yang mudah terbakar dan beracun (Kirk dan Othmer 1981). Adanya campuran bahan pembawa (metanol) dan bahan pengemulsi (alkyl benzene sulfonat) dapat memberikan dampak kematian pada serangga yang baru diinfestasikan dan akibatnya berpengaruh pada menurunnya jumlah 24 populasi serangga dewasa turunannya (F1) dan parameter kerusakan lainnya. Dari percobaan ini terlihat adanya interaksi antara alkyl benzene sulfonat dengan bahan aktif mindi. Sifat mudah terbakar dan beracun dari senyawa tersebut nampaknya dapat diredam oleh bahan aktif dalam ekstrak mindi. Oleh karena pengaruh yang ingin dilihat pada penelitian ini adalah ekstrak daun mindi, maka konsentrasi 0 % tidak dijadikan sebagai perbandingan dengan konsentrasi lain yang diberikan pengaruh ekstrak daun mindi (konsentrasi 4 %, 8 %, 12 %, dan 16 %). Ekstrak nabati yang dicampurkan pada media beras, sebagian besar akan melapisi permukaan beras dan diduga sebagian kecil akan masuk ke dalam bulir beras dan berada pada lapisan pericarp. Adanya ekstrak nabati di bagian permukaan beras dapat menimbulkan bau atau aroma yang dapat mengusir serangga. Dengan adanya bau ini maka serangga akan meninggalkan beras dan tidak mau meletakkan telur di dalam butir beras karena serangga tidak bertelur di sembarang tempat, namun hanya tempat-tempat yang nantinya sesuai untuk makanan keturunannya. Hal ini sesuai dengan data yang ditunjukkan pada Tabel 5 yaitu jumlah populasi serangga yang dihasilkan menurun dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak bahan nabati yang ditambahkan. 4.2.2. Persen Biji Berlubang (% BB) Parameter yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kerusakan beras atau biji-bijian yang disimpan yaitu persen biji berlubang. Serangan serangga menyebabkan kerusakan pada bahan pangan yang gejalanya dapat terlihat secara visual seperti adanya lubang gerek, lubang keluar (exit holes), garukan pada butir beras serta timbulnya gumpalan, bubuk dan adanya kotoran (Pranata 1982). Persen biji berlubang ini memiliki kaitan yang sangat kuat dengan jumlah populasi serangga. Semakin banyak jumlah populasi serangga maka persen biji berlubang yang dihasilkan semakin banyak. Hasil pengamatan terhadap persen biji berlubang dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap persentase biji berlubang pada media beras yang diinfestasi S. zeamais selama penyimpanan Konsentrasi (%) Persen biji berlubang (%) Kontrol 77,19 d 0 18,69 a 4 54,59 c 8 47,00 c 12 35,20 b 16 22,52 a Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan, p<0,05) Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui bahwa konsentrasi ekstrak nabati dalam formula berpengaruh nyata terhadap persen biji berlubang pada taraf 0,05 (Lampiran 2b). Hasil uji lanjut Duncan terhadap persen biji berlubang pada variasi konsentrasi (Lampiran 2c) menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun mindi yang diberikan maka persen biji berlubang yang dihasilkan semakin menurun. Selain itu, dapat dilihat bahwa dengan adanya penambahan ekstrak daun mindi dapat menurunkan persen biji berlubang secara nyata (p<0,05) dari sampel 25 kontrol yang tidak diberi perlakuan sama sekali. Pada konsentrasi 16 %, persen biji berlubang berbeda nyata (p<0,05) dengan konsentrasi lainnya. Sementara itu, Persen biji berlubang pada konsentrasi 4% dan 8% hasilnya tidak berbeda nyata (p<0,05). Hal ini dapat terjadi karena insektisida nabati memiliki daya repellent dan antifeedant. Daya hambat atau repellent ini terjadi karena serangga sebelum memakan bahan makanannya akan melakukan proses pengenalan dan orientasi terhadap calon makanannya (Atkins 1980). Namun, pada media beras yang diberi perlakuan ekstrak daun mindi memiliki bau atau aroma yang tidak disukai oleh serangga karena ekstrak mindi tersebut melapisi permukaan dari media beras dan ada sebagian yang masuk ke dalam lapisan perikarp beras. Persen biji berlubang terendah dihasilkan pada sampel yang diberi perlakuan konsentrasi bahan aktif 0 %. Hal ini sudah dijelaskan penyebabnya pada penjelasan jumlah total populasi serangga. Persen biji berlubang dipengaruhi oleh kekerasan endosperma, kandungan protein, amilosa, lemak, ukuran granula, kerapatan kulit, dan kadar air. Biji beras yang memiliki kandungan nutrisi yang tinggi, kadar air yang tinggi dan tidak keras, akan mendukung pertumbuhan Sitophilus zeamais. Selain itu, hal yang dapat mempengaruhi tingginya biji berlubang adalah adanya infestasi telur lebih dari satu dalam satu biji (Campbel 2001). 4.2.3. Persen Kehilangan Bobot (% KB) Persen kehilangan bobot merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui tingkat kerusakan beras, walaupun tidak menunjukkan tingkat kehilangan secara spesifik karena adanya hidden infestasion. Persen kehilangan bobot ini terjadi karena kegiatan serangga yang memakan beras untuk bertahan hidup dan berkembang biak sehingga bobot beras semakin berkurang dengan semakin banyaknya serangga yang berkembang biak (jumlah total populasi serangga). Hasil pengamatan terhadap persen kehilangan bobot dapat dilihat pada Tabel 7. Tabel 7. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap persentase kehilangan bobot pada media beras yang diinfestasi S. zeamais selama penyimpanan Konsentrasi (%) Persen kehilangan bobot (%) Kontrol 36,88 d 0 7,53 a 4 22,11 c 8 24,05 c 12 18,40 b 16 6,16 a Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan, p<0,05) Pada Tabel 7 terlihat peningkatan konsentrasi ekstrak daun mindi dapat menurunkan persentase kehilangan bobot selama penyimpanan. Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui bahwa variasi konsentrasi berpengaruh nyata terhadap persen kehilangan bobot pada taraf 0,05 (Lampiran 3b). Hasil uji lanjut Duncan terhadap persen kehilangan bobot pada variasi konsentrasi (Lampiran 3c) menunjukkan bahwa persen kehilangan bobot terbesar terjadi pada konsentrasi 8 %, tetapi hasil ini tidak berbeda nyata (p<0,05) dengan konsentrasi 4 %. Persen kehilangan bobot 26 terkecil yaitu sebesar 6,16 % terdapat pada konsentrasi 16 % yang berbeda nyata (p<0,05) dengan konsentrasi yang lain termasuk konsentrasi 0 %. Dengan adanya penambahan ekstrak bahan nabati, dapat menurunkan persen kehilangan bobot secara nyata (p<0,05) yang dibandingkan dengan kontrol. 4.2.4. Persen Fraksi Bubuk Yang Timbul (% Frass) Frass adalah bubuk hasil sisa-sisa makanan serangga dengan berbagai fraksi lain yang dapat diukur dengan menimbangnya dengan neraca. Bubuk atau tepung yang timbul berada diantara butir-butir beras yang masih utuh dan secara fisik beras menjadi keropos karena serangan serangga. Makin banyak biji berlubang maka makin banyak frass-nya. Persen fraksi bubuk ini merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui kerusakan beras akibat infestasi dan serangan serangga. Hasil pengamatan terhadap % frass dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap persen frass pada media beras yang diinfestasi S. zeamais selama penyimpanan Konsentrasi (%) Persen frass Kontrol 7,69 c 0 1,41 a 4 5,33 b 8 5,02 b 12 4,96 b 16 4,29 b Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan, p<0,05) Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui bahwa variasi konsentrasi berpengaruh nyata terhadap persen frass pada taraf 0,05 (Lampiran 4b). Hasil uji lanjut Duncan terhadap persen frass pada variasi konsentrasi (Lampiran 4c) menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun mindi yang diberikan maka persen frass yang dihasilkan semakin menurun kecuali untuk data konsentrasi 0 % yang memiliki hasil terkecil dan penyebabnya sudah dijelaskan sebelumya pada pembahasan jumlah populasi serangga dewasa. Dengan adanya penambahan ekstrak daun mindi. Apabila dibandingkan dengan kontrol, hasilnya berbeda nyata (p<0,05) dengan adanya penambahan ekstrak daun mindi. 4.2.5. Kadar Air Pengukuran kadar air dimaksudkan untuk melihat perubahan setelah infestasi dan akibat perkembangan serangga setelah 5 minggu penyimpanan. Kadar air beras sebelum infestasi sebesar 14,03 %. Hasil pengamatan kadar air beras setelah penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 9. 27 Tabel 9. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap kadar air pada media beras yang diinfestasi S. zeamais selama penyimpanan Konsentrasi (%) Kadar air (%) Kontrol 20,32 f 0 14,23 a 4 18,92 e 8 18,77 d 12 18,54 c 16 18,20 b Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan, p<0,05) Dari Tabel 9 dapat dilihat kadar air yang terbentuk lebih tinggi dibandingkan dengan kadar air sebelum penyimpanan (14,03 %) (Lampiran 5a). Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui bahwa variasi konsentrasi berpengaruh nyata terhadap kadar air pada taraf 0,05 (Lampiran 5c). Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar air pada variasi konsentrasi (Lampiran 5d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) untuk semua sampel. Hal ini dapat terjadi karena serangga dapat mengakibatkan meningkatnya kadar air bahan yang disimpan dan juga dapat meningkatkan suhu secara lokal yang dapat mengakibatkan kerusakan. Meningkatnya kadar air bahan setelah infestasi disebabkan adanya proses respirasi oleh serangga, metabolisme dari biji-bijian yang disimpan, serta migrasi air air dari lingkungan (Hall 1970). Suhu dan kadar air bahan adalah dua faktor fisik yang sangat berpengaruh terhadap kerusakan biji-bijian selama penyimpanan (Dharmaputra 1994). 4.2.6. Asam Lemak Bebas Parameter yang dapat digunakan untuk melihat kerusakan beras yaitu asam lemak bebas. Menurut Juliano (1995) lemak di beras akan mengalami penurunan setelah 6 bulan disimpan dan asam lemaknya akan mengami peningkatan. Kadar asam lemak bebas awal pada beras sebesar 1,94 % (Lampiran 7a). Proses oksidasi dari lemak ini akan menghasilkan senyawa keton dan aldehid yang mengakibatkan kerusakan selama penyimpanan. Hasil pengamatan asam lemak bebas beras setelah penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 10. Tabel 10. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap asam lemak bebas pada media beras yang diinfestasi S.zeamais selama penyimpanan Konsentrasi (%) Asam lemak bebas (%) Kontrol 5,51 f 0 2,41 a 4 4,60 e 8 4,22 d 12 3,77 c 16 3,17 b 28 Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji Duncan, p<0,05) Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui bahwa variasi konsentrasi berpengaruh nyata terhadap asam lemak bebas pada taraf 0,05 (Lampiran 7c). Hasil uji lanjut Duncan terhadap asam lemak bebas pada variasi konsentrasi (Lampiran 7d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) untuk semua sampel. Asam lemak bebas pada sampel beras yang sudah mengalami penyimpanan mengalami peningkatan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan kadar asam lemak bebas pada sampel awal (1,94 %). Hal ini terjadi karena adanya faktor penyimpanan yang menyebabkan lemak pada beras dihidrolisis oleh enzim lipase menjadi asam lemak bebas. Lemak dalam beras terdapat pada badan lipid (spherosome) dan enzim lipase terdapat pada membran badan lipid. Saat beras rusak, membran sel menjadi rusak sehingga enzim lipase bercampur dengan lemak dan merusak lemak tersebut dan menghasilkna asam lemak bebas. Selain itu, air mempunyai pengaruh pada reaksi yang terjadi dan pengaruh ini pada dasarnya membantu terjadinya kontak antara substrat dengan enzim. Faktor-faktor yang dapat menentukan tingginya asam lemak bebas yaitu suhu, pengaruh penambahan air, dan pengaruh lama penyimpanan. Apabila suhu semakin tinggi maka reaksi pembentukan asam lemak bebas menjadi tinggi juga. Untuk lama penyimpanan, asam lemak bebas bisa terbentuk karena adanya mikroba yang tumbuh atau karena hidrolisis dengan bantuan katalis enzim lipase. Enzim lipase aktif pada permukaan (interface) antara lapisan minyak dan air (Murty et al. 2002). Adanya air pada beras tersebut sesuai dengan hasil pengukuran kadar air yang semakin meningkat dibandingkan dengan kontrol. Asam lemak bebas yang diukur pada penelitian ini adalah asam linoleat yang dominan terdapat di beras (Lee et al. 1965; Rusydi 2011). 4.3. KORELASI ANTAR PARAMETER KERUSAKAN PADA BERAS Serangga tidak hanya memakan bahan makanan yang disimpan, tetapi juga menyebabkan kontaminasi terhadap bahan pangan yang disimpan dan dapat mencemari bahan pangan. Pengamatan dan analisis yang dilakukan berguna untuk mengetahui sejauh mana kerusakan yang disebabkan oleh serangga sehingga dapat diambil tindakan untuk melindungi bahan pangan yang disimpan. Parameter kerusakan yang diamati pada penelitian ini meliputi jumlah populasi serangga dewasa (Nt), persen biji berlubang (% BB), persen kehilangan bobot (% KB), persen fraksi bubuk yang timbul (% frass), kadar air dan asam lemak bebas. Untuk mengetahui hubungan antar parameter tersebut maka dilakukan uji korelasi secara statistik. Hasil uji korelasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 11. Berdasarkan analisis ragam pada Lampiran 8, seluruh parameter kerusakan pada beras memiliki pengaruh yang nyata pada taraf 0,01. Angka yang ditunjukkan pada Tabel 9 tidak ada korelasi yang negatif. Semua parameter tersebut memiliki korelasi positif artinya semakin tinggi suatu parameter maka parameter lain yang berhubungan akan semakin tinggi pula. Apabila nilai koefisien korelasi semakin mendekati 1 maka korelasi sangat kuat antar variabel. Uji korelasi ini hanya mengukur kekuatan hubungan linier variabel dan dan tidak pada hubungan non linier. Apabila ada hubungan linier yang kuat di antara variabel tidak selalu berarti ada hubungan kausalitas (sebab-akibat). Dengan demikian, korelasi hanya menjelaskan kekuatan hubungan tanpa memperhatikan hubungan kausalitas (Anonim 2011). 29 Tabel 11. Hasil uji korelasi parameter-parameter yang mempengaruhi perkembangan S.zeamais. Korelasi Antar Parameter Koefisien Korelasi Nt – % BB 0,936** Nt – % KB 0,920** Nt – % frass 0,882** Nt – Kadar air 0,726** Nt – Asam lemak bebas 0,906** % BB – % KB 0,951** % BB – % frass 0,815** % BB – Kadar air 0,762** % BB – Asam lemak bebas 0,964** % KB – % frass 0,770** % KB – Kadar air 0,719** % KB – Asam lemak bebas 0,919** % frass – Kadar air 0,885** % frass – Asam lemak bebas 0,859** Kadar air – Asam lemak bebas 0,876** Keterangan : *) Korelasi nyata (taraf nyata 0,05) ** ) Korelasi sangat nyata (taraf nyata 0,01) Untuk jumlah populasi serangga dewasa (Nt) memiliki korelasi yang nyata dengan seluruh parameter kerusakan yang lainnya pada taraf 0,01. Sebagai contoh, untuk jumlah total populasi serangga dengan persen biji berlubang (% BB) memiliki angka korelasi sebesar 0,936 dan memiliki korelasi yang sangat nyata pada taraf 0,01. Angka korelasi tersebut menunjukkan bahwa korelasinya sangat kuat antar variabel tersebut. Semakin mendekatinya angka korelasi dengan angka satu maka korelasi tersebut sangat kuat. Korelasi antar variabel tersebut memiliki hubungan yang positif yang ditandai dengan tidak adanya tanda negatif pada angka korelasi tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa semakin tingginya jumlah populasi serangga dewasa maka semakin tinggi pula persen biji berlubang (% BB) yang dihasilkan. Arti untuk semua variabel pada uji korelasi antar parameter ini sama karena semua angka pada korelasi tersebut umumnya mendekati satu, memiliki hubungan yang positif dan hubungannya sangat nyata pada taraf 0,01. Kadar air berpengaruh nyata pada semua parameter. Kadar air merupakan faktor yang penting dalam penyimpanan biji-bijian. Menurut Masmawati (2007), kadar air bahan produk pertanian sangat berpengaruh pada intensitas kerusakan yang sangat tinggi. Salah satu faktor penyebab tingginya kadar air yaitu proses respirasi. Proses respirasi yang terjadi pada penyimpanan biji-bijian merupakan gabungan dari proses respirasi yang dilakukan oleh biji tersebut, serangga, dan kapang. Biji-bijian yang disimpan terdiri dari sel hidup sehingga selama penyimpanan tetap hidup secara fisiologis dan tetap melakukan proses respirasi. Laju respirasi pada penyimpanan biji-bijian sebagian besar tergantung pada kadar air. Pada kondisi suhu yang tetap, makin besar kadar air, laju respirasi bertambah besar. Selain itu, laju respirasi akan semakin meningkat dengan meningkatnya suhu (Wijandi et al. 1976). Apabila kadar air dan suhu meningkat, maka akan menyebabkan kerusakan lebih cepat terjadi. Hal ini disebabkan karena 30 kecepatan respirasi, reaksi-reaksi kimia, dan enzimatik menjadi lebih intensif pada suhu yang tinggi. Ditambah lagi dengan kondisi iklim Indonesia yang tidak menguntungkan karena suhu dan RH yang relatif tinggi. Kombinasi RH dan suhu tinggi ini menguntungkan bagi perkembangan hama gudang dan jasad renik lainnya (Wijandi et al. 1976). Akibat lain yang dapat disebabkan oleh proses respirasi ini yaitu timbulnya hot spot. Hot spot ini merupakan hasil dari pelepasan energi selama respirasi aerobik yang digunakan oleh sel sebagai bahan bakar untuk proses metabolik. Selain itu, hot spot ini juga dapat disebabkan oleh adanya kapang yang dapat merusak germinasi biji (Dharmaputra 1994). Untuk pengaruh terhadap asam lemak, semakin tinggi kadar air maka asam lemak bebas yang terbentuk semakin tinggi pula karena air ini dapat berfungsi sebagai media kontak antara substrat dan enzim lipase untuk memecah lemak menjadi asam lemak bebas (Lee et al. 1965). Selain itu, kegiatan infestasi oleh serangga menyebabkan kondisi yang optimum untuk kapang tumbuh. Dengan adanya serangan dari kapang ini, kerugian yang timbul pada beras yaitu penurunan nutrisi termasuk meningkatnya asam lemak bebas (Dharmaputra 1994). Selain itu, lemak juga dibutuhkan serangga untuk persediaan energi dan perkembangan sayap (Dharmaputra et al. 1993), sehingga sesuai dengan data yang terdapat pada Tabel 11, seluruh parameter kerusakan beras berkolerasi positif dengan peningkatan asam lemak bebas. Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa insektisida nabati dari ekstrak daun mindi dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC) efektif untuk menurunkan serangan serangga S. zeamais pada beras selama penyimpanan. Hal ini dapat dilihat dari parameter kerusakan yang diamati yaitu jumlah populasi serangga dewasa, persen biji berlubang (% BB), persen kehilangan bobot (% KB), % frass, kadar air, dan asam lemak bebas cenderung menurun dengan meningkatnya ekstrak mindi yang ditambahkan. Hal ini diduga karena insektisida nabati memiliki daya repellent dan antifeedant yang menyebabkan serangga enggan untuk memakan media beras yang telah diberi perlakuan ekstrak bahan nabati. Untuk hasil penelitian uji retensi formula EC pada konsentrasi 0 %, 8 %, dan 16 % membuktikan bahwa adanya pengaruh dari bahan pembawa (metanol) dan bahan pengemulsi (alkyl benzene sulfonat) yang digunakan. Hal ini dibuktikan dengan jumlah serangga yang mati yaitu sebanyak 14 % pada saat awal infestasi. Dengan adanya pengaruh ini, menghasilkan parameter kerusakan beras yang paling kecil. Oleh karena pengaruh yang ingin dilihat pada penelitian ini yaitu penambahan ekstrak bahan nabati (4 %, 8 %, 12 %, dan 16 %) maka konsentrasi 0 % tidak bisa dijadikan sebagai perbandingan. Konsentrasi yang efektif untuk menghambat serangan S. zeamais yaitu 16 %, karena pada konsentrasi ini seluruh parameter kerusakan menghasilkan perbedaan yang nyata dengan konsentrasi ekstrak bahan nabati lainnya (4 %, 8 %, 12 % dan 16 %). Hasil uji korelasi antar parameter kerusakan beras menggunakan uji statistik menunjukkan bahwa seluruh parameter memiliki korelasi yang sangat kuat pada taraf 0,01. 31 V. SIMPULAN DAN SARAN 5.1. SIMPULAN Penelitian pembuatan insektisida dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC) dari ekstrak daun mindi menunjukkan hasil yang efektif dalam menurunkan kerusakan pada media beras selama penyimpanan. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa kerusakan yang terjadi lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol yang tidak diberi perlakuan apapun dan analisis statistik menunjukkan berbeda nyata pada taraf 0,05. Parameter kerusakan yang dijadikan acuan antara lain jumlah populasi serangga (Nt), persen biji berlubang (% BB), persen kehilangan bobot (% KB), persen fraksi yang timbul (% frass), kadar air dan asam lemak bebas. Hasil uji retensi insektisida nabati menunjukkan bahwa pada konsentrasi 0 % terjadi kematian serangga S. zeamais sebanyak 14 % setelah satu hari masa infestasi. Namun, untuk konsentrasi 8 % dan 16 % tidak menimbulkan mortalitas pada serangga selama waktu inkubasi. Hal ini membuktikan adanya pengaruh dari bahan pembawa (metanol) dan bahan pengemulsi (alkyl benzene sulfonat) yang diformulasikan terhadap perkembangan serangga dan kerusakan yang terjadi pada media beras. Salah satu penyebabnya adalah bahan pengemulsi memiliki sifat mudah terbakar dan beracun sehingga dapat mempengaruhi serangga pada saat infestasi awal kontak dengan media beras yang disemprotkan EC. Berdasarkan hasil penelitian dan uji statistik yang dilakukan menunjukkan bahwa konsentrasi yang efektif dalam menghambat kerusakan pada media beras selama penyimpanan yaitu 16 %. Pada konsentrasi ini, semua parameter kerusakan yang dijadikan acuan dapat menurun dan hasil uji statistik menunjukkan berbeda nyata pada taraf 0,05 terhadap konsentrasi yang lainnya. Namun, EC yang dibuat dengan konsentrasi 16 % belum bisa menghambat secara total perkembangan dari serangga S. zeamais selama penyimpanan. Hasil uji korelasi antar parameter kerusakan beras menunjukkan bahwa parameter jumlah populasi serangga dewasa (Nt), persen biji berlubang, persen kehilangan bobot, persen bubuk yang timbul, kadar air dan asam lemak bebas memiliki korelasi positif yang sangat nyata. Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konsentrasi ekstrak bahan nabati dari daun mindi yang efektif dalam menurunkan kerusakan pada media beras selama penyimpanan adalah 16 %. 5.2. SARAN 1. 2. 3. Saran yang disampaikan untuk penelitian lebih lanjut, antara lain : Untuk mendapatkan EC yang lebih baik, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut lagi tentang bahan pembawa, bahan pengemulsi atau bahan lainnya yang dapat membuat tersebut lebih stabil dan bisa diaplikasikan pada produk serealia lainnya. Untuk mengetahui EC ini bisa diterapkan pada bahan serealia maka harus dilakukan uji lanjut seperti uji cooking quality dengan menggunakan instruimen yaitu texture analyzer, evaluasi sensori dan uji lain yang mendukung agar mengetahui apakah EC ini bisa diterapkan pada bahan serealia yang biasa dikonsumsi oleh manusia. Agar dapat memperkaya bahan nabati yang dapat diterapkan dalam EC, maka perlu dilakukan penelitian dari bahan nabati lain yang ada di Indonesia yang memiliki potensi lebih baik dibandingkan yang sudah ada. 32 4. 5. 6. Uji kestabilan bahan aktif dan umur simpan dari EC perlu dilakukan untuk mengetahui sampai berapa lama tersebut dapat disimpan dan diaplikasikan oleh petani di lapangan. Perlu dilakukan penelitian tentang bentuk lain yang lebih efektif untuk bisa diaplikasikan pada bahan pangan/serealia. Beras pecah kulit memiliki kandungan nutrisi yang baik untuk pertumbuhan serangga dibandingkan beras sosoh sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang bahan serealia lain yang tidak disosoh untuk mengetahui preferensi terhadap bahan pangan serealia lainnya. 33 DAFTAR PUSTAKA [AOAC] Association of Analytical Chemist. 1995. Official Method of Analysis 960.52, Chapter 12.1.07, p.7. [BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Survei Konsumsi Beras. http://www.bps.go.id.php?eng=0. [29 April 2012]. Anonim. 2009. Material Safety Data Sheet Ascorbic acid http://www.sciencelab.com/xMSDS-Ascorbic_acid-9922972 [29 Juli 2012]. Anonim. 2011. Korelasi Pearson pearson.html. [ 20 April 2012]. MSDS http://www.smartstat.info/statistika/korelasi/korelasi- Arbuckle W.S. 1977. Ice Cream Third Edition. Connecticut : Avi Publishing Company. Arsyad M.N. 2001. Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Ilmiah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Asih A.R., I.W.G. Gunawan, N. M. Desi Ariani. 2010. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Golongan Triterpenoid dari Ekstrak N-Heksana Daun Kepuh (Sterculia foetida L.) Serta Uji Aktivitas Antiradikal Bebas. Jurnal Kimia 4 (2) : 135 – 140. Askanovi D. 2011. Kajian Resistensi Beras Pecah Kulit Dan Beras Sosoh Dari Lima Varietas Padi Unggul Terhadap Serangan Hama Beras Sitophilus oryzae (L.). Skripsi. Bogor : FATETA IPB. Atkins M.D. 1980. Introduction to Insects.New York: MacMillan. Basri S. 1996. Kamus Kimia. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta. Belitz H. D., W. Grosch. 1999. Food Chemistry, Second Edition, Berlin : Springer-Verlag. Birck N.M.M, I. Lorini , V. M. Scussel. 2003. Interaction Between Pest Infestation And Fungus In Wheat Grain At Storage Facilities.Microorganism, Mycotoxins, And Other Biological Contaminants. 9th International Working Conference on Stored Product Protection. Borror D. J., D. M. Delong. 1964. An Introduction to The Study of Insect. Revised edition Richart and Winston Inc. New York, London. pp 619 - 623. Campbell. 2001. Influence of Seed Size On Exploitation By Rice Weevil, Sitophilus zeamais. J. Insect Behavior 15(3):429-445. Coupland J.N., D.J. McClements. 1996. Lipid Oxidation in Food Emulsions, Trend in Food Science & Technology, March (Vol 6) : 83 - 91. Daintith J. 1994 Kamus Lengkap Kimia. Jakarta: Erlangga. Departemen Kehutanan. 2001. Mindi. Badan penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta : Departemen Kehutanan. Desmarchelier J. M. 1990. A New Look At Aeration Strategy Manual. Australia : CSIRO Division of Entomology. pp 1173 – 1182. Dewi I.R. 2007. Prospek Insektisida yang Berasal dari Tumbuhan untuk Menanggulangi Organisme Pengganggu Tanaman. Bandung : UNPAD. 34 Dharmaputra O.S, H. Halid, H. Susib, Mad A.S.R. 1993. The Effect Of Milling Degree On Fungal Infection,Protein And Lipid Contents In Milled Rice. In J.O. Naewbanij, A.A. Manilay, And AS. Frio (Ad.),P R O C D G 16th ASEAN Scrninar On Grain P O S T H S T Technology, Phuket, Thailand, 24-26 August 1993, pp. 177-195. Dharmaputra O. S. 1994. Kapang Pada Beras Yang Berasal Dari Beberapa Varietas Padi. Hayati Vol. 1 (2) : 37-41. Dobie P.C.P, R.J.Haines, Hodges dan P. F. Prevett. 1984. Insect and Arachnids of Tropical Stored Products, Their Biology and Identification (A Training manual). London : TDRI Dwiningsih E. 2003. Formulasi Insektisida Nabati Biji dan Bungkil Mimba dalam Bentuk Emulsifiable Concentrate (EC). Skripsi. Bogor : FATETA, IPB. Ferdiansyah I.A. 2006. Ekstraksi Daun Mindi (Melia azedarach Linn) KeringSecara Maserasi Menggunakan Pelarut Etanol 90%. Skripsi. Malang: FTP UNIBRAW Folch J., Lees M., and Sloane S. G.H. 1957. A simple method for the isolation and purification of the total lipids from animal tissues. J. Biol. Chem. 226: 497. Ghany M., Mohamed F., Heba Y., Mohamed H. M. A., Samy S., El-badawey dan Adel A. H. 2012. Insecticidal Activity of Melia azedarach L. Triterpeniods against Spodoptera littoralis (Boisd.). Journal of American Science8 (3) : 661 - 667. Guenther E. 2006. Minyak Atsiri. Jakarta: UI Press Gusfi V. 2002. Persepsi Petani Sayuran di Cipanans Terhadap Insektisida Sintetis dan Botani. Skripsi. Bogor : Jurusan Hama dan penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian. Haines C. P. and R. I. Pranata. 1982. Result of A Survey of The Insect and Arachnids Associated With Stored Products In Some Parts of Java. Regional Centre for Tropical Biology. Bogor. Haines C. P. 1991. Insects And Arachnids Of Tropical Stored Products :Their Biology And Identification (A Training Manual)Second Edition (Revised). Natural Resources Institute. pp. 246. Hall DW. 1970. Handling and Storage of Food Grains in Tropical and Subtropical Areas. Rome: FAO. Ham M. 2006. Kamus Kimia. Jakarta: PT Bumi Aksara Harborne J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern MenganalisisTumbuhan. Bandung: ITB. Hariana A. 2007. Tumbuhan Obat & Khasiatnya. Jakarta:Penebar Swadaya. Heath J.B. dan Reinessius G. 1987. Flavor Chemistry and Technology. New York: Van Nostrand Reinhold Co. Hermani 2004. Gandapura: Pengolahan, Fitokimia, Minyak Atsiri dan Daya Herbisida. Balai besar penelitian dan pengembangan pascapanen pertanian, Buletin TRO Vol. XV(2) : 1-6. Hidayat P. 2009. Menuju Penghapusan Penggunaan Metil Bromida Di Pergudangan Di Indonesia. Dalam : Prijono Djoko, Okky Setyawati Dharmaputra, Sri Widayanti. Pengelolaan Hama Gudang Terpadu. Bogor:Departemen Proteksi Tanaman, pp: 11 – 17. Hilmanto R. Etnoekologi. 2010. Bandar Lampung : Universitas lampung. 35 Hirasawa M. 1999. The Kinds of Antibacterial Subtances from Lentinusadobes Singshitake an Edible Mushroom. International Journal of Antibacterial Agents 11, 1561-157. Holmberg K., Jonsson B., dan Lindman B. 2003. Surfactant and Polymers in Aqueous Solution. 2nd ed. New York : John Wiley & Sons, Ltd. Husnah M. 2009. Identifikasi dan Uji Aktivitas Golongan Senyawa Antioksidan Ekstrak Kasar Buah Pepino (Solanum Muricatum Aiton) Berdasarkan Variasi Pelarut. Skripsi. Jurusan Kimia Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Malang. Isaacs E.E. and Chow R.S. 1992. Practical Aspects of Emulsion Stability. In: Schramm, L.L. ed. Emulsions Fundamentals and Applications in the Petroleum Industry. Washington, DC: American Chemical Society. Juliano B.O. 1995. Concerns for Quality Maintenance During Storage of Cereals and Cereal Products. Proceedings of the 6th international working conference on Stored product Protection Volume 2., pp: 663 - 665 Kardinan A. 2011. Penggunaan Pestisida Nabati Sebagai Kearifan Lokal Dalam Pengendalian Hama Tanaman Menuju Sistem Pertanian Organik. Pengembangan Inovasi Pertanian 4(4), 2011: 262-278. Kirk R. E. ,D. F. Othmer. 1981. Encyclopedia of Chemical Technology 3rd Ed. New York: John Wiley & Sons. Kumar R., Singh R., Meera P. S., Kalidhar S. B.. 2003. Chemical Components And Insecticidal Properties Of Baka/N (Melia Azedarach L.) A Review. Agric.Rev. 24(2): 101-115. Kurniawan A.D. 2006. Pengujian Aktivitas dan Mekanisme Antioksidan Ekstrak Gingseng Jawa. Malang: FTP UNIBRAW. Lee T., Wei T. W. dan Virginia R. W. 1965. The Effect of Storage Time On The Compositional Patterns Of Rice Fatty Acids. Manuscript. Louisiana : Louisisana State University. Lenny S. 2006. Isolasi dan Uji Bioaktivitas Kandungan Kimia Utama PuddingMerah Dengan Metode Uji Brine Shrimp. Skripsi. Medan: MIPA Universitas Sumatera Utara. Listyanto.2010. Bududaya Tanaman Mindi. Seri Kehutanan:PT Alam Lestari Maju Indonesia. Masmawati. 2007. Infestasi Serangga Hama pada Perbedaan Struktur Fisik dan Komposisi Kimia Bahan. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda SulSel.Maros : Balai Penelitian Tanaman Sereal. McClements D. J. 1999. Food Emulsions, Principles, Practice, and Techniques. New York : CRC Press. Murty V. R., Jayadev Bhat, And P. K. A. Muniswaran. 2002. Hydrolysis of Oils By Using Immobilized Lipase Enzyme: A Review V. Ramachandra. Biotechnol. Bioprocess Eng. 2002, 7: 57-66. Porter M.R. 1994. Handbook of Surfactant. 2nd ed. Madras : Blackie Academic & Professional. Pranata R. I. 1982. Pengantar Ilmu Hama Gudang BIOTROP. Bogor : BIOTROP Tropical Pest Biology. Prijono D.,O.S. Dharmaputra, S. Widayanti. 2009. Pengelolaan Hama Gudang Terpadu. Bogor:Departemen Proteksi Tanaman. 36 Prijono D. 2011. Tanya Jawab tentang Pestisida. http://inbot.wordpress.com/konsultasi-gratis/. [ 20 April 2012]. Rukmana R., Oesman Y. 2002. Nimba Tanaman Penghasil Pestisida Alami. Yogyakarta : Kanisius. Rusydi M., Noraliza C. W., Azrina, dan Zulkhairi. 2011. Nutritional changes In Germinated Legumes And Rice Varieties. International Food Research Journal 18: 705-713. Saeid Chekaniazar. 2011. A Modified Method of Folch to Facilitate the Analysis Procedure of Tissue Cholesterol and Triglyceride: Study of Different Extraction Methods. J. Appl. Environ. Biol. Sci., 1(12) : 716-721. Samiwahyufiranalah.1998. Mempelajari Pengaruh Ekstrak N-Heksana Dan Ekstrak Aseton Biji Pala (Myristica Fragrans Houtt.) Terhadap Perkembangan Serangga Hama Gudang Sitophilus zeamais Motsch. Pada Beras Selama Penyimpanan. Skripsi. Bogor : Fateta IPB. Santausa S. dan Arpah M. 1990. Penyimpanan dan Penggudangan Komoditi Pangan (Petunjuk Laboratorium). Bogor : PAU IPB. Sax D., Lewis R., 1998. Dictionary Chemistry. Canada: Galler International. Scheflan L., Morris B.J. 1983. The Handbook of Solvent. New York: D. Van Nostrand Comp. Inc. Selvaraj M. dan Mosses M. 2011. Efficacy Of Melia Azedarach On The Larvae Of Three Mosquito Species Anopheles Stephensi, Culex Quinquefasciatus And Aedes Aegypti (Diptera: Culicidae). Journal Of The European Mosquito Control Association, European Mosquito Bulletin 29: 116-121. Semple R. L. 1985. Problems Relative to Pest Control and Use of Pesticide in Grain Storage, The Current Situation in ASEAN and Future Requirement. Proceeding of International Seminar on Pesticides and Humid Tropical Grain Storage System. ACIAR, Canberra Setiawan D. 2010. Kajian Daya Insektisida Ekstrak Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss) Terhadap Perkembangan Serangga Hama Gudang Sitophilus oryzae Linn. Jurnal Penelitian Sains 10: 6-12. Shejbal J. dan Boislambert J. N. 1998. Modified Atmosphere Stotage of Grains. Paris : Lavoiser Publisher Inc. Soekarto. 1984. Pengaruh Beberapa Cara Penanganan Padi Dan Jagung Terhadap Perkembangan Sitophilus Spp. Laporan Penelitian. Universitas Jember Fakultas Pertanian. Sonyaratri D. 2006. Kajian Daya Insektisida Ekstrak Daun Mimba dan Ekstrak Daun Mindi Terhadap Perkembangan Serangga Hama Gudang. Skripsi. Bogor : FATETA, IPB. Soerawidjaja dan Tatang H. 2005. Minyak-lemak dan produk-produk kimia lain dari kelapa,Handout kuliah Proses Industri Kimia. Program Studi Teknik Kimia, Institut Teknologi Bandung. Sudarmadji S., Bambang H., dan Suhardi. 2008. Produk Analisa Untuk Bahan Makanan dan Pertanian Edisi Keempat. Yogyakarta : Liberty. Sulistiyono Luluk. 2004. Dilema Penggunaan Pestisida dalam SistemPertanian Tanaman Hortikultura di Indonesia. Makalah Pengantar ke Falsafah Sains. Sekolah Pasca Sarjana/S3. Institut Pertanian Bogor. 37 Sunarto D. A.,Nurindah. 2009. Peran Insektisida Botani Ekstrak Biji Mimba Untuk Konservasi Musuh Alami Dalam Pengelolaan Serangga Hama Kapas. J. Entomol. Indon. 6 (1) : 42-52. Sunjaya dan Widayanti S. 2009. Pengenalan Serangga Hama Gudang. Bogor : SEAMEO BIOTROP. Suyani E. 2003. Pengkajian Daya Insektisida Alami Nabati dari Lima Tanaman Berkhasiat Obat Terhadap Perkembangan Serangga Hama Pasaca Panen Sitophilus zeamais Motsch. Skripsi. Bogor : FATETA IPB. Syarief R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta : Arcan. Voight R. 1994 Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Soendari N.S. Penerjemah. Yogyakarta: Gajahmada University Press. Terjemahan dari Farmacy Technologies. Ware G. W. 1978. The Pesticide Book. San Fransisco : W. H. Freeman and Company. Weissenberg. 2001. Isolation Of Solasodine And Other Steroidal Alkaloids And Sapogenins By Direct Hydrolysis-Extraction Of Solanum Plants Or Glycosides Therefrom .http://www.sciencedirect.com/science?_ob=PublicationURL&_tockey=%23TOC%235275 %232001%23999419996%23263280%23FLA%23&_cdi=5275&_pubType=J&view=c&_ auth=y&_acct=C000050221&_version=1&_urlVersion=0&_userid=10&md5=ec66a55108 1e86d653a2bea0d4bffad7, [29 Juli 2012]. Wijandi S., A. Muchlis, Subki F. M.,Wachyudin C., Deddy M., Darwin K. 1976. Mempelajari Kondisi Penyimpanan yang memungkinkan Terjadinya Spontaneous Heating pada Penyimpanan Beras. laporan Penelitian. Bogor : FATEMETA, Institut Pertanian Bogor. Winarno F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama. Winarno F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Winarno F.G. 2006. Hama Gudang dan Teknik Pemberantasannya. Bogor:M-BRIO press. Wudianto R. 2001. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Jakarta : Penebar Swadaya. 38 LAMPIRAN 39 Lampiran 1a. Jumlah total populasi serangga (Nt) Sitophilus zeamais setelah penyimpanan. Jumlah Ratarata 1576 5399 1799,67 393 256 1024 341,33 960 855 749 2564 854,67 8 829 775 872 2476 825,33 12 760 695 749 2204 734,67 16 354 385 490 1229 409,67 Nt Konsentrasi (%) U1 U2 U3 Kontrol 1924 1899 0 375 4 Lampiran 1b. Analisis ragam total populasi (Nt) Sitophilus zeamais terhadap variasi konsentrasi. Sumber Tipe III Jumlah Kuadrat DB Kuadrat Tengah F Sig. Model 1.628E7a 6 2712698,278 238,543 ,000 konsentrasi 1.628E7 6 2712698,278 238,543 ,000 Galat 125091.333 11 11371,939 Total 1.640E7 17 Lampiran 1c. Uji Duncan total populasi (Nt) Sitophilus zeamais terhadap variasi konsentrasi. Subset Konsentrasi N 1 2 0% 3 341,33 16 % 2 422,00 12 % 3 734,67 8% 3 825,33 4% 3 854,67 Kontrol 3 Sig. 3 1799,67 ,392 ,233 1,000 40 Lampiran 2a. Persen biji berlubang (% KB) setelah penyimpanan Konsentrasi (%) Kontrol 0 4 8 12 16 Ulangan Jumlah Biji Utuh (Nu) Jumlah Biji Berlubang (Nd) Jumlah Biji Total (N) Persen Biji Berlubang (% BB) Rata-rata Duplo 1 2 1 2 1 2 1 2 1 98 123 375 396 473 519 79,28 76,30 77,79 2 70 101 321 345 391 446 82,10 77,35 79,73 3 123 99 298 338 421 437 70,78 77,35 74,06 1 415 319 42 128 457 447 9,19 28,64 18,91 2 356 329 108 142 464 471 23,28 30,15 26,71 3 402 413 46 49 448 462 10,27 10,61 10,44 1 262 225 345 340 607 565 56,84 60,18 58,51 2 222 270 311 291 533 561 58,35 51,87 55,11 3 224 270 282 217 506 487 55,73 44,56 50,14 1 237 320 294 218 531 538 55,37 40,52 47,94 2 313 223 228 354 541 577 42,14 61,35 51,75 3 336 314 291 178 627 492 46,41 36,18 41,30 1 396 421 194 170 590 591 32,88 28,76 30,82 2 426 371 169 195 595 566 28,40 34,45 31,43 3 288 413 237 294 525 707 45,14 41,58 43,36 1 413 350 92 91 505 441 18,22 20,63 19,43 2 342 292 98 101 440 393 22,27 25,70 23,99 3 342 344 123 96 465 440 26,45 21,82 24,13 Rata-rata Ulangan 77,19 18,69 54,59 47,00 35,20 22,52 41 Lampiran 2b. Analisis ragam persen biji berlubang (% BB) terhadap variasi konsentrasi. Tipe III Jumlah Sumber Kuadrat DB Kuadrat Tengah F Sig. Model 39728.004a 6 6621,334 224,010 ,000 konsentrasi 39728.004 6 6621,334 224,010 ,000 Gallat 354.699 12 29,558 Total 40082.703 18 Lampiran 2c. Uji Duncan persen biji berlubang (% BB) terhadap variasi konsentrasi Subset Konsentrasi N 1 2 3 0% 3 18,6867 16 % 3 22,5167 12 % 3 8% 3 46,9967 4% 3 54,5867 Kontrol 3 Sig. 4 35,2033 77,1933 ,405 1,000 ,113 1,000 42 Lampiran 3a. Persen kehilangan bobot (% KB) setelah penyimpanan Konsentrasi (%) Kontrol 0 4 8 12 16 Jumlah Biji Utuh (Nu) 1 2 Jumlah Biji Berlubang (Nd) 1 2 1 98 123 375 396 473 519 3,4567 3,7867 6,3433 6,3433 41,26 36,60 38,93 2 70 101 321 345 391 446 3,1798 3,5230 6,6202 6,2770 44,82 37,01 40,92 3 123 99 298 338 421 437 3,8098 3,5093 5,9902 6,2907 24,85 36,74 30,79 1 415 319 42 128 457 447 9,4370 7,4640 0,5025 2,1283 4,35 8,29 6,32 2 356 329 108 142 464 471 8,2596 7,6328 1,2393 2,1452 11,76 10,52 11,14 3 402 413 46 49 448 462 8,7886 9,1932 0,5191 0,5478 4,97 5,28 5,12 1 262 225 345 340 607 565 5,0086 4,9187 4,6758 4,7478 16,54 21,74 19,14 2 222 270 311 291 533 561 4,8790 5,6426 4,2478 3,6045 22,09 21,13 21,61 3 224 270 282 217 506 487 4,9078 7,3459 3,5786 2,2335 23,45 27,70 25,58 1 237 320 294 218 531 538 5,7867 6,6870 3,0303 2,2986 31,99 20,07 26,03 2 313 223 228 354 541 577 6,5114 5,4678 2,4146 4,2099 20,69 31,59 26,14 3 336 314 291 178 627 492 7,1456 6,5768 2,9932 2,0768 23,96 16,03 19,99 1 396 421 194 170 590 591 7,6677 8,4765 1,8899 1,5574 16,34 15,68 16,01 2 426 371 169 195 595 566 8,5016 6,9350 1,5987 1,8193 14,94 17,26 16,10 3 288 413 237 294 525 707 6,0059 8,2549 2,1650 2,9340 25,37 20,82 23,09 1 413 350 92 91 505 441 8,2857 7,9876 1,4999 1,4230 3,41 6,50 4,95 2 342 292 98 101 440 393 7,7890 7,2098 1,6189 1,6498 6,12 8,70 7,41 3 342 344 123 96 465 440 7,7018 7,8650 2,1010 1,6078 6,39 5,84 6,11 Ulangan Jumlah Biji Total (N) 1 2 Bobot Biji Utuh (U) 1 2 Bobot Biji Berlubang (D) 1 2 Persen Kehilangan Bobot (%KB) 1 2 Ratarata Duplo Rata-rata Ulangan 36,88 7,53 22,11 24,06 18,40 6,16 43 Lampiran 3b. Analisis ragam persen kehilangan bobot (% KB) terhadap variasi konsentrasi Sumber Tipe III Jumlah Kuadrat DB Kuadrat Tengah F Sig. Model 8581.994a 6 1430,332 107,391 ,000 konsentrasi 8581.994 6 1430,332 107,391 ,000 Gallat 159.828 12 13,319 Total 8741.821 18 Lampiran 3c. Uji Duncan persen kehilanganbobot (% KB) terhadap variasi konsentrasi Subset Konsentrasi N 1 2 16 % 3 6,1567 0% 3 7,5267 12 % 3 18,4000 4% 3 22,1100 8% 3 24,0533 Kontrol 3 Sig. 3 36,8800 ,654 ,095 1,000 44 Lampiran 4a. Persen fraksi bubuk yang timbul (% frass) Konsentrasi (%) Kontrol 0 4 8 12 16 Ulangan Berat Bubuk (g) Berat Beras Awal (g) 1 7,8961 100,3298 7,87 2 8,0071 100,2876 7,98 3 7,2587 100,4178 7,23 1 1,2111 100,8575 1,20 2 2,2195 100,5725 2,21 3 0,8084 100,3713 0,81 1 5,4283 100,4025 5,41 2 6,4633 100,0329 6,46 3 4,1434 100,7428 4,11 1 6,9271 100,4278 6,90 2 3,2119 100,1613 3,21 3 4,9790 100,4542 4,96 1 5,2123 100,4914 5,19 2 4,8923 100,1064 4,89 3 4,8288 100,3512 4,81 1 4,6179 100,1268 4,61 2 4,2099 100,3823 4,19 3 4,0983 100,3981 4,08 % frass Rata-rata 7,69 1,40 5,33 5,02 4,96 4,30 Lampiran 4b. Analisis ragam persen fraksi bubuk yang timbul (% frass) terhadap variasi konsentrasi Sumber Tipe III Jumlah Kuadrat DB Kuadrat Tengah F Sig. Model 473.522a 6 78,920 84,598 ,000 konsentrasi 473.522 6 78,920 84,598 ,000 Gallat 11.195 12 ,933 Total 484.717 18 45 Lampiran 4c. Uji Duncan persen fraksi bubuk yang timbul (% frass) terhadap variasi konsentrasi Subset Konsentrasi N 1 2 0% 3 16 % 3 4,2933 12 % 3 4,9633 8% 3 5,0233 4% 3 5,3267 Kontrol 3 Sig. 3 1,4067 7,6933 1,000 ,248 1,000 46 Lampiran 5a. Kadar air sebelum penyimpanan Ulangan SAMPEL AWAL Berat Sampel (W) (g) Berat Setelah di Oven (W1) (g) Berat Cawan Kosong (W2) (g) Kadar air (%) Rata-rata Duplo 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2,0210 2,0221 3,9105 6,9510 2,1743 5,2120 14,09 14,00 14,05 2 2,0456 2,0563 3,9229 6,1795 2,1656 4,4109 14,09 13,99 14,04 3 2,0919 2,0604 6,2282 4,0040 4,4292 2,2318 14,00 13,99 13,99 Rata-rata + SD 14,03 + 0,03 Lampiran 5b. Kadar air setelah penyimpanan Konsentrasi (%) Kontrol 0 4 Ulangan Berat Sampel (W) (g) Berat Setelah di Oven (W1) (g) Berat Cawan Kosong (W2) (g) Kadar air (%) Rata-rata Duplo 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2,0200 2,0082 3,7290 6,1700 2,1182 4,5667 20,26 20,16 20,21 2 1,9920 2,0060 4,4568 4,0580 2,8711 2,4612 20,40 20,40 20,40 3 2,0183 2,0012 6,2400 5,9900 4,6310 4,3971 20,28 20,40 20,34 1 2,2444 2,1056 6,8518 4,0148 4,9253 2,2074 14,16 14,16 14,16 2 2,0089 2,0880 7,1823 7,9414 5,4567 6,1500 14,10 14,20 14,15 3 2,3621 2,2528 4,2720 4,3855 2,2464 2,4597 14,25 14,52 14,38 1 2,2234 2,0971 6,6765 3,9701 4,8740 2,2699 18,93 18,93 18,93 2 2,0659 2,7870 3,7648 4,4380 2,0895 2,1776 18,91 18,89 18,90 3 2,2234 2,1626 6,6123 3,9396 4,8111 2,1852 18,99 18,88 18,93 Rata-rata + SD 20,32 + 0,10 14,23 + 0,13 18,92 + 0,02 47 Lampiran 5b. Kadar air setelah penyimpanan (lanjutan) Konsentrasi (%) 8 12 16 Ulangan Berat Sampel (W) (g) Berat Setelah di Oven (W1) (g) Berat Cawan Kosong (W2) (g) Kadar air (%) Rata-rata Duplo 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2,0284 2,0597 4,8879 5,5488 3,2390 3,8745 18,71 18,71 18,71 2 2,4078 2,6822 5,6871 4,2900 3,7311 2,1100 18,76 18,72 18,74 3 2,1545 2,1630 4,3618 4,2888 2,6133 2,5335 18,84 18,85 18,85 1 2,3200 1,9988 4,1312 4,1540 2,2421 2,5265 18,57 18,58 18,57 2 2,3310 2,4550 4,0059 4,1088 2,1062 2,1097 18,50 18,57 18,54 3 2,1250 2,0200 4,5612 3,7085 2,8297 2,0627 18,52 18,52 18,52 1 2,1225 2,0599 5,4485 3,9349 3,7096 2,2502 18,07 18,21 18,14 2 2,0924 2,7639 6,1649 4,3992 4,4559 2,1362 18,32 18,12 18,22 18,22 18,25 3 2,1280 2,0600 5,4485 3,9349 3,7096 2,2502 18,28 Rata-rata + SD 18,77 + 0,07 18,54 + 0,03 18,21 + 0,06 Lampiran 5c. Analisis kadar air terhadap variasi konsentrasi Sumber Tipe III Jumlah Kuadrat DB Kuadrat Tengah F Sig. Model 6001.892a 6 1000,315 1,670E5 ,000 Konsentrasi 6001.892 6 1000,315 1,670E5 ,000 Gallat .072 12 ,006 Total 6001.964 18 48 Lampiran 5d. Uji Duncan kadar air terhadap variasi konsentrasi Subset Konsentrasi N 1 0% 3 16 % 3 12 % 3 8% 3 4% 3 Kontrol 3 Sig. 2 3 4 5 6 14,2300 18,2033 18,5433 18,7667 18,9200 20,3167 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 Lampiran 6. Standarisasi NaOH 0,1 N Berat KHP (W) (gram) Ulangan 1 Ulangan 2 0,1007 0,1010 Bobot Molekul KHP (gram/mol) 204,228 Volume Titrasi (L) 4,70 x 10-3 4,90 x 10-3 Konsentrasi NaOH (N) 0,1049 0,1009 Rata-rata 0,1029 N 49 Lampiran 7a. Kadar asam lemak bebas sebelum penyimpanan Diketahui : Bobot Molekul asam lemak linoleat = 280,00 g/mol Berat Labu Rotavapor = 47,4705 gram Konsentrasi NaOH hasil standaraisasi = 0,1029 N Konsentrasi (%) SAMPEL AWAL Ulangan Berat Sampel (W) (g) Berat Setelah di Oven (W1) (g) Kadar Lemak (%) Vol. Titrasi (ml) Kadar Asam Lemak Bebas (%) Rata-rata Duplo 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1,5029 1,5065 47,5774 47,5762 7,11 7,02 1,05 1,00 2,01 1,91 1,96 2 1,5033 1,5101 47,5768 47,5771 7,07 7,06 1,00 1,00 1,92 1,91 1,91 3 1,5087 1,5069 47,5779 47,5766 7,12 7,04 1,00 1,05 1,91 2,01 1,96 Rata-rata + SD 1,94 + 0,03 Lampiran 7b Kadar asam lemak bebas setelah penyimpanan Konsentrasi (%) Kontrol 0 Ulangan Berat Sampel (W) (g) Berat Setelah di Oven (W1) (g) Kadar Lemak (%) Vol. Titrasi (ml) Kadar Asam Lemak Bebas (%) Rata-rata Duplo 1 2 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1,5098 1,5112 47,6009 47,6012 8,64 8,65 2,30 2,25 4,39 4,29 4,34 2 1,5034 1,5135 47,5964 47,5976 8,37 8,40 2,35 2,30 4,50 4,38 4,44 3 1,5057 1,5071 47,5998 47,5945 8,59 8,23 2,25 2,35 4,31 4,49 4,40 1 1,5085 1,5048 47,5008 47,4997 2,01 1,94 1,10 1,05 2,10 2,01 2,06 2 1,5038 1,5093 47,4809 47,4889 0,69 1,22 1,10 1,10 2,11 2,10 2,10 3 1,5056 1,5008 47,5099 47,5022 2,62 2,11 1,05 1,10 2,01 2,11 2,06 Rata-rata + SD 4,39 + 0,05 2,07 + 0,03 50 Lampiran 7b Kadar asam lemak bebas setelah Penyimpanan (lanjutan) Konsentrasi (%) 4 8 12 16 Ulangan Berat Sampel (W) (g) Berat Setelah di Oven (W1) (g) Kadar Lemak (%) Vol. Titrasi (ml) Kadar Asam Lemak Bebas (%) (Asam Lemak Linoleat) Rata-rata Duplo 1 2 1 2 1 2 1 2 1 1 1,5034 1,5098 47,5920 47,5934 8,08 8,14 2,00 1,95 3,83 3,72 3,78 2 1,5053 1,4999 47,5912 47,5935 8,02 8,20 1,90 1,95 3,64 3,75 3,69 3 1,5039 1,5112 47,5936 47,5983 8,19 8,46 2,00 1,90 3,83 3,62 3,73 1 1,4992 1,5035 47,5716 47,5712 6,74 6,70 1,70 1,85 3,27 3,55 3,41 2 1,5071 1,5066 47,5717 47,5719 6,71 6,73 1,80 1,85 3,44 3,54 3,49 3 1,5053 1,5079 47,5792 47,5788 7,22 7,18 1,80 1,75 3,45 3,34 3,39 1 1,519 1,5649 47,5123 47,5176 2,75 3,01 1,60 1,60 3,03 2,95 2,99 2 1,4995 1,5014 47,5143 47,5021 2,92 2,10 1,60 1,65 3,07 3,17 3,12 3 1,5098 1,5062 47,5112 47,5067 2,70 2,40 1,60 1,65 3,05 3,16 3,10 1 1,5004 1,4992 47,5022 47,5030 2,11 2,17 1,30 1,35 2,50 2,59 2,55 2 1,5111 1,5021 47,5051 47,5056 2,29 2,34 1,40 1,30 2,67 2,49 2,58 3 1,5045 1,5078 47,5033 47,5054 2,18 2,31 1,35 1,40 2,59 2,68 2,63 Rata-rata + SD 2 3,73 + 0,04 3,43 + 0,05 3,07 + 0,07 2,59 + 0,04 51 Lampiran 7c. Analisis kadar asam lemak bebas terhadap variasi konsentrasi Sumber Tipe III Jumlah Kuadrat Kuadrat DB Tengah F Sig. Model 196.256a 6 32,709 1,360E4 ,000 konsentrasi 196.256 6 32,709 1,360E4 ,000 Gallat .029 12 ,002 Total 196.284 18 Lampiran 7d. Uji Duncan kadar asam lemak bebasterhadap variasi konsentrasi Subset Konsentrasi N 1 0% 3 16 % 3 12 % 3 8% 3 4% 3 Kontrol 3 Sig. 2 3 4 5 6 2,0733 2,5867 3,0700 3,4300 3,7333 4,3933 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 1,000 52 Lampiran 8. Analisis korelasi parameter-parameter resistensi terhadap faktor-faktor intrinsik lima varietas beras. Populasi % Biji % Kehilangan Serangga Berlubang Bobot 1 ,936** Kadar Air ,920** ,826** ,726 ,906** ,000 ,000 ,000 ,001 ,000 18 18 18 18 18 18 ,936** 1 ,951** ,815** ,762** ,964** ,000 ,000 ,000 ,000 Pearson Correlation Populasi Serangga Sig. (2-tailed) N Pearson Correlation % Biji Berlubang Sig. (2-tailed) ,000 N Pearson Correlation % Kehilangan Bobot Sig. (2-tailed) % frass Sig. (2-tailed) 18 18 18 18 18 ,920** ,951** 1 ,770** ,719** ,919** ,000 ,000 ,000 ,001 ,000 18 18 18 18 18 ,826 Kadar Air Sig. (2-tailed) Asam Lemak Bebas Sig. (2-tailed) ,815 18 ** ,770 ** ,000 ,000 18 18 18 ,726** ,762** ,001 1 ,885 ** ,859** ,000 ,000 18 18 18 ,719** ,885** 1 ,876** ,000 ,001 ,000 18 18 18 18 18 18 ,906** ,964** ,919** ,859** ,876** 1 ,009 ,000 ,000 ,000 ,000 18 18 18 18 18 N Pearson Correlation ** ,000 N Pearson Correlation Bebas 18 N Pearson Correlation Asam Lemak % frass N ,000 18 **. Korelasi signifikan pada taraf 0,01 (2-tailed). *. Korelasi signifikan pada taraf 0,05 (2-tailed). 53 Lampiran 9. Diagram alir ekstraksi lemak menggunakan metode Folch yang dimodifikasi Beras Digiling halus dan diayak 40 mesh Ditimbang 1,5 gram Kloroform: metanol = 2:1 Direndam Di sonikator Di sentrifugasi dengan kecepatan 2500 rpm selama 10 menit Diambil cairannya Dipekatkan dengan Rotary evaporator dengan suhu 450C Lemak 54 Lampiran 10. Uji retensi EC Konsentrasi Ekstrak Ulangan 1 2 3 Jumlah Serangga yang mati (%) 1 8% 2 3 Jumlah Serangga yang mati (%) 1 16 % 2 3 Jumlah Serangga yang mati (%) 0% 1 5 6 3 14 0 0 0 0 0 0 0 0 3 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Hari Ke5 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 9 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 0 Lampiran 11.Formulasi EC yang tidak stabil 55 Lampiran 12. Dokumentasi beras pecah kulit yang digunakan Lampiran 13. Dokumentasi media beras setelah disemprotkan oleh EC Lampiran 14. Dokumentasi media beras selama penyimpanan 56 Lampiran 15. Jagung pipil sebagai stock culture Sitophilus zeamais. 57 58