EFEKTIVITAS EMULSIFIABLE CONCENTRATE

advertisement
EFEKTIVITAS EMULSIFIABLE CONCENTRATE (EC)
BERBASIS EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach L.)
DALAM MENGURANGI KERUSAKAN BERAS AKIBAT
SERANGAN Sitophilus zeamais Motsch SELAMA
PENYIMPANAN
SKRIPSI
HAFIZ FAKHRURROZY
F24080058
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
EFFECTIVENESS OF EMULSIFIABLE CONCENTRATE (EC) FROM MINDI
LEAVES EXTRACT (Melia azedarach L.) IN REDUCING RICE DAMAGE
DUE TO Sitophilus zeamais Motsch ATTACK DURING STORAGE
Hafiz Fakhrurrozy and Yadi Haryadi
Department of Food Science and Technology, Faculty of Agricultural Engineering
and Technology, Bogor Agricultural University, IPB Darmaga Campus,
PO BOX 220, Bogor, West Java, Indonesia
Phone: +62 856 927 852 33, e-mail: [email protected]
ABSTRACT
Rice is the staple food in Indonesia. It needs to be preserved with a good
post-harvest handling. Storage is one of the most important stage. At this stage
there are often changes in the quality and quantity of stored materials that are
influenced by various factors such as storage facilities and warehouse pests.
Sitophilus zeamais is a major pest during storage of food grains such rice and
maize. Insect control is mostly done by using synthetic insecticides. However, the
use of synthetic insecticides should consider their danger due to the fact that they
are poisonous to man and domestic animals. One effort to find a replacement for
synthetic insecticides are insecticides derived from plants. Mindi (Melia
azedarach L.) is a type of tree that grows in tropical and sub-tropical areas and is
known as source of plant pesticide. The objectives of this research are to
determine the effectiveness of insecticide formulations in the form of Emulsifiable
Concentrate (EC) to be applied to the storage of rice and to study the damage of
rice during storage due to Sitophilus zeamais infestation. This research consists of
two main steps, i.e. preparation stage and insecticide test stage. Parameters
observed during storage are number of insect populations (Nt), percent of the
holed seeds (%BB), percent weight loss (%KB), % frass, water content and free
fatty acid content. Mortality test showed that at concentration of 0 % causing 14
% of insect mortality. It means that in the absence of active ingredient, solvent
and emulsifier influence the development of insects. Result of the insecticide test
showed that the concentration variation of Melia azedarach L. leaves extract
significantly affect (p<0.05) the parameters of rice damage. It was concluded that
the most effective concentration of the extact to reduce rice damage is 16 %.
Keywords: rice, insecticide, emulsifiable concentrate, mindi, Sitophilus zeamais
Hafiz Fakhrurrozy. F24080058. Efektivitas Emulsifiable Concentrate (EC) Berbasis Ekstrak
Daun Mindi (Melia azedarach L.) Dalam Mengurangi Kerusakan Beras Akibat Serangan
Sitophilus zeamais Motsch Selama Penyimpanan. Di bawah bimbingan Yadi Haryadi. 2012
RINGKASAN
Beras merupakan bahan makanan pokok sebagian besar penduduk di Indonesia dan
menempati posisi penting dalam penyediaan pangan. Peningkatan konsumsi beras perlu diimbangi
dengan penanganan pasca panen yang baik. Pada tahap ini seringkali terjadi perubahan kualitas
dan kuantitas bahan simpan yang dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti fasilitas penyimpanan
dan hama gudang. Diantara hama gudang yang paling banyak menyebabkan kerusakan adalah
serangga. Sitophilus zeamais Motsch. merupakan salah satu serangga hama pasca panen yang
penting. Usaha pengendalian serangga yang banyak dilakukan selama ini masih mengandalkan
pengendalian secara kimia yaitu dengan menggunakan insektisida sintetik. Namun, banyak
dampak negatif yang ditimbulkan oleh insektisida sintetik ini. Oleh karena itu, untuk mencari
teknologi alternatif pengganti insektisida sintetik yaitu insektisida yang berasal dari tumbuhan.
Insektisida golongan ini umumnya bersifat selektif dan tidak persisten karena senyawa aktifnya
berasal dari bahan alami yang memiliki cara kerja spesifik dan mudah terurai di lingkungan. Salah
satu tanaman yang kaya akan zat metabolit sekunder adalah mindi (Melia azedarach L.).
Penelitian ini dilakukan untuk menghasilkan suatu insektisida dari bahan nabati dalam bentuk
yang mudah diaplikasikan yaitu emulsifiable concentrate (EC). Tujuan dari penelitian ini yaitu (1)
(1) mendapatkan konsentrasi dari ekstrak daun Mindi (Melia azedarach L.) yang optimum yang
dapat menghambat serangan hama gudang Sitophilus zeamais Motsch dalam penyimpanan beras,
(2) mengetahui retensi (dalam hitungan hari) insektisida nabati yang efektif dalam menghambat
serangan serangga setelah penyemprotan, serta (3) mempelajari tingkat kerusakan akibat serangan
serangga Sitophilus zeamais Motsch yang terjadi pada beras yang telah dilindungi insektisida
nabati pada berbagai konsentrasi selama penyimpanan..
Penelitian ini terdiri dari dua tahap yaitu tahap persiapan dan tahap uji coba daya
insektisida. Tahap persiapan meliputi pembiakan serangga S. zeamais, dan pembuatan ekstrak
bahan nabati. Pada tahap uji coba daya insektisida terdiri dari penelitian pendahuluan, penelitian
utama, dan aplikasi pada beras. Untuk penelitian pendahuluan hasil yang didapat yaitu volume
yang disemprotkan untuk aplikasi beras sebanyak 6 ml. Kemudian konsentrasi bahan nabati yang
efektif untuk dijadikan sebagai larutan stok yaitu 20 % dengan perbandingan bahan
pembawa:bahan pengemulsi sebesar 5:1. Setelah konsentrasi larutan stok diperoleh, dilanjutkan
dengan pembuatan konsentrasi yang akan disemprotkan yaitu 0 %, 4 %, 8 %, 12 %, dan 16 %.
Pada penelitian utama, dilakukan penyemprotan EC dengan variasi konsentrasi yaitu 0%,
4%, 8%, 12% dan 16%. Selain itu, dilakukan juga penelitian tentang uji retensi EC yang bertujuan
untuk mengetahui retensi (dalam hitungan hari) insektisida nabati yang efektif dalam menghambat
serangan serangga setelah penyemprotan. Variasi konsentrasi yang disemprotkan yaitu 0 % (tanpa
ekstrak bahan nabati), 8 %, dan 16 %. Hasil penelitian menunjukkan, uji mortalitas pada
konsentrasi 0 % (tidak diberi ekstrak bahan nabati) menyebabkan kematian hingga 14 % pada saat
kontak dengan media beras yang telah disemprotkan dengan masa inkubasi satu hari. Hal ini
menunjukkan bahwa terdapat pengaruh dari bahan pengemulsi dan bahan pembawa terhadap
perkembangan S. zeamais Untuk uji coba daya insektisida, hasil uji statistik menunjukkan
konsentrasi ekstrak daun mindi berpengaruh nyata (p<0,05) terhadap seluruh parameter kerusakan
beras yaitu jumlah total populasi serangga (Nt), persen biji berlubang (% BB), persen kehilangan
bobot (% KB), persen fraksi bubuk yang timbul (% frass), kadar air serta asam lemak bebas.
Untuk jumlah total populasi serangga dewasa (Nt), jumlah terkecil dihasilkan oleh konsentrasi 16
% dan berdasarkan hasil uji lanjut Duncan, konsentrasi tersebut berbeda nyata dengan konsentrasi
lain (p<0,05). Begitu juga dengan parameter lainnya, pada konsentrasi 16 % memiliki hasil
terkecil dan berbeda nyata (p<0,05).
Untuk uji korelasi antar parameter kerusakan pada beras, hasil penelitian menunjukkan
seluruh parameter yaitu jumlah populasi serangga dewasa (Nt), persen biji berlubang (% BB),
persen kehilangan bobot (% KB), persen fraksi bubuk yang timbul (% frass), kadar air, dan asam
lemak bebas memiliki korelasi positif yang sangat nyata satu sama lainnya pada taraf nyata 0,01.
Nilai koefisien korelasi antar parameter mendekati 1 sehingga dapat dikatakan bahwa korelasinya
sangat kuat antar variabel.
EFEKTIVITAS EMULSIFIABLE CONCENTRATE (EC)
BERBASIS EKSTRAK DAUN MINDI (Melia azedarach L.)
DALAM MENGURANGI KERUSAKAN BERAS AKIBAT
SERANGAN Sitophilus zeamais Motsch SELAMA
PENYIMPANAN
SKRIPSI
Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
SARJANA TEKNOLOGI PERTANIAN
pada Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan
Fakultas Teknologi Pertanian
Institut Pertanian Bogor
Oleh
HAFIZ FAKHRURROZY
F24080058
FAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
BOGOR
2012
Penguji Luar Komisi Pembimbing :
Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS
dan
Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M. Agr.
Judul Skripsi
:
Nama
NIM
:
:
Efektivitas Emulsifiable Concentrate (EC) Berbasis Ekstrak Daun Mindi
(Melia azedarach L.) Dalam Mengurangi Kerusakan Beras Akibat
Serangan Sitophilus zeamais Motsch Selama Penyimpanan
Hafiz Fakhrurrozy
F24080058
Menyetujui:
Dosen Pembimbing,
(Dr. Ir. Yadi Haryadi M.Sc.)
NIP 19490612.197603.1.003
Mengetahui:
Ketua Departemen,
(Dr. Ir. Feri Kusnandar, M.Sc.)
NIP 19680526 199303.1.004
Tanggal Ujian Akhir Sarjana: 27 Juli 2012
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN
SUMBER INFORMASI
Saya menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi dengan judul Efektivitas
Emulsifiable Concentrate (EC) Berbasis Ekstrak Daun Mindi (Melia azedarach L.) Dalam
Mengurangi Kerusakan Beras Akibat Serangan Sitophilus zeamais Motsch Selama
Penyimpanan adalah hasil karya saya sendiri dengan arahan dosen pembimbing akademis dan
belum diajukan dalam bentuk apa pun pada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang
berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah
disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, 2012
Yang membuat pernyataan,
Hafiz Fakhrurrozy
F24080058
© Hak cipta milik Hafiz Fakhrurrozy, tahun 2012
Hak cipta dilindungi
Dilarang mengutip dan memperbanyak tanpa izin tertulis dari Institut Pertanian Bogor, sebagian
atau seluruhnya dalam bentuk apapun, baik cetak, fotokopi, mikrofilm, dan sebagainya
BIODATA PENULIS
Hafiz Fakhrurrozy, lahir di Jakarta 2 April 1990 dari
pasangan Bapak Miftahurrahman dan Ibu Nuzul Huriah sebagai anak
kedua dari dua bersaudara. Penulis menamatkan jenjang pendidikan di
SD Negeri Jatiwaringin XVI (2002), SMP Negeri 135 Jakarta (2005),
dan SMA Negeri 71 Jakarta (2008). Penulis masuk dan terdaftar
sebagai mahasiswa Ilmu dan Teknologi Pangan, Fakultas Teknologi
Pertanian, Institut Pertanian Bogor melalui Undangan Seleksi Masuk
IPB (USMI) pada tahun 2008.
Selama mengikuti perkuliahan, penulis aktif dalam berbagai
kegiatan diantaranya menjadi asisten praktikum mata kuliah Analisis
Pangan (2012), menjadi asisten praktikum mata kuliah Kimia dasar (2010-2011), menjadi Kepala
Divisi HIMITEPA Coorporation (HiCo) (2010-2011), menjadi Anggota Aktif Food Processing
Club (2010-2011), menjadi Reporter Koran Kampus IPB (2009-2011), dan menjadi Pengurus
Aktif HIMITEPA Coorporation (HiCo) (2009-2010). Penulis juga pernah menjadi staf dalam
kepanitiaan beberapa kegiatan seperti 1st Indonesian Food Bowl Quiz (2011), Masa Perkenalan
Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan (BAUR) (2010), 8 th National Student Paper Competition
(NSPC) (2010), Indonesian Food Expo (IFOODEX) (2009), dan Entrepreneurship (2008).
Penulis juga pernah tercatat sebagai penerima beasiswa Eka Tjipta Foundation (ETF)
(2008-2012). Karya tulis yang pernah dihasilkan bersama rekan-rekan IPB diantaranya Flake
(Sereal Sarapan) Dengan Indeks Glikemik Rendah Berbasiskan Tepung Singkong Termodifikasi
Dengan Fortifikasi Tepung Sorgum Dan Tepung Ubi Jalar, Inovasi Memperpanjang Masa Simpan
Wingko Sebagai Upaya Peningkatan Daya Saing Produk UMKM di Bidang Pangan, dan Studi
Peningkatan Kualitas Manggulu (Pangan Tradisional Khas Sumba) Sebagai Pangan Berkalori
Tinggi Melalui Pendekatan Reformulasi. Prestasi yang pernah diraih oleh penulis antara lain Juara
1 lomba Tari Kontemporer Kelompok IPB Art Contest (2008), Juara 2 National Student Paper
Competition (NSPC) (Grup) dengan judul “Study of Extending Wingko Shelf Life by Innovation
Processing and Packaging Technology to Improve Competitiveness of Small-Medium Enterprises”
(2012), Juara 3 National Food Technology Competition (NFTC) (Grup) dengan judul “Studi
Peningkatan Kualitas Manggulu (Pangan Tradisional Khas Sumba) Sebagai Pangan Berkalori
Tinggi Melalui Pendekatan Reformulasi” (2012). Sebagai tugas akhir, penulis melakukan
penelitian yang berjudul “Daya Hambat Ekstrak Daun Mindi (Melia azedarach L.) Dalam Bentuk
Emulsifiable Concentrate (EC) Terhadap Serangan Serangga Hama Gudang (Sitophilus zeamais
Motsch) dan Dampaknya Terhadap Tingkat Kerusakan Beras Selama Penyimpanan” di bawah
bimbingan Dr. Ir. Yadi Haryadi M. Sc..
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia-Nya sehingga
skripsi ini dapat diselesaikan. Skripsi dengan judul Efektivitas Emulsifiable Concentrate (EC)
Berbasis Ekstrak Daun Mindi (Melia azedarach L.) Dalam Mengurangi Kerusakan Beras Akibat
Serangan Sitophilus zeamais Motsch Selama Penyimpanan ini ditulis berdasarkan penelitian yang
dilakukan mulai bulan Maret 2012 sebagai syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Teknologi
Pertanian. Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada semua pihak yang telah membantu
dalam penyelesaian skripsi ini, yaitu:
1. Orang tua tercinta, Bapak Miftahurrahman dan Ibu Nuzul Huriah, serta kakak Amelia atas
segala doa, dukungan, dan kasih sayang yang telah diberikan.
2. Dr. Ir. Yadi Haryadi M.Sc. selaku pembimbing akademik dan pembimbing skripsi. Terima
kasih atas bimbingan, perhatian, dan saran yang telah diberikan.
3. Prof. Dr. Ir. Rizal Syarief, DESS dan Prof. Dr. Ir. Sedarnawati Yasni, M.Agr. selaku penguji
sidang. Terima kasih atas waktu dan saran yang telah diberikan.
4. Sahabat yang tak terlupakan : Hilda, Bangkit, Yunita, Sally, Sarinah, Virza, Tiur dan KaU.
Terima kasih atas semangat, doa, dan dukungan yang telah diberikan.
5. Teman satu bimbingan : Arum Marya dan Annisa Nurulhuda. Terima kasih atas dukungan
dan semangat yang diberikan.
6. Teman-teman seperjuangan ITP 45: Yufi, Andika, Rara, Arum Puspa, Misran, Bangun,
Harum, Iin, Eka, Rohanah, Wiwit, Sarah, Niken, Andhi F., Pradhini, Anggi, Setiyo, Fya,
Yuli, Rista, Mega, Lathifah, dan teman-teman lainnya yang tidak bisa disebutkan satu per
satu.
7. Rekan-rekan HiCo ITP 46 dan 47 yang sangat berkesan.
8. Teman-teman TPB: Dito, Ruri, Teris, Fauzan, Uan, Henry, Azi, Panji, Edo, Putri, Hafizh, dan
Ageng yang sangat berkesan.
9. Pengurus HIMITEPA 2009 dan 2010 beserta keluarga besar HIMITEPA baik angkatan 44,
45, 46, maupun 47.
10. Para guru dan dosen yang telah memberikan ilmunya dari TK sampai universitas.
11. Seluruh analis dan teknisi laboratorium di Seafast Center dan Departemen Ilmu dan
Teknologi Pangan atas bantuan yang telah diberikan, terutama Pak Nurwanto, Pak Junaedi,
Mbak Fera, Bu Sri, Bu Rubiah, Pak Rozak, Pak Sobirin, Pak Yahya, dan Pak Wahid.
12. Seluruh pegawai Departemen Ilmu dan Teknologi Pangan atas bantuan yang telah diberikan,
terutama Bu Novi, Bu Anie, dan Bu Darsih.
Penulis berharap tulisan ini dapat bermanfaat bagi kemaslahatan terutama terhadap
perkembangan ilmu dan teknologi pangan. Teima kasih.
Bogor, 2012
Hafiz Fakhrurrozy
iii
DAFTAR ISI
Halaman
KATA PENGANTAR ................................................................................................................ iii
DAFTAR ISI ............................................................................................................................... iv
DAFTAR TABEL ....................................................................................................................... vi
DAFTAR GAMBAR .................................................................................................................. vii
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................................................... viii
I. PENDAHULUAN ..............................................................................................................
1
1.1. LATAR BELAKANG ................................................................................................
1
1.2. TUJUAN PENELITIAN ............................................................................................
2
II. TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................................................
3
2.1. KERUSAKAN BAHAN PANGAN AKIBAT SERANGAN SERANGGA .............
3
2.2. PENGENDALIAN SERANGGA HAMA GUDANG ...............................................
4
2.3. INSEKTISIDA NABATI ...........................................................................................
5
2.4. SERANGGA HAMA GUDANG Sitophilus zeamais MOTSCH. .............................
5
2.4.1. Sifat-Sifat Umum dan Klasifikasi ...................................................................
5
2.4.2. Cara Hidup ......................................................................................................
6
2.5. BAHAN NABATI MINDI (Melia azedarach L) .......................................................
7
2.6. FORMULASI INSEKTISIDA ...................................................................................
8
2.7. EMULSI .....................................................................................................................
9
2.8. SURFAKTAN ............................................................................................................
9
2.8.1. Jenis-jenis Surfaktan....................................................................................... 10
2.9. EKSTRAKSI KOMPONEN AKTIF .......................................................................... 11
2.9.1. Jenis-jenis Metode Ekstraksi .......................................................................... 11
2.9.1. Jenis Pelarut.................................................................................................... 13
III. METODOLOGI PENELITIAN ......................................................................................... 16
3.1. BAHAN DAN ALAT ................................................................................................ 16
3.2. METODE PENELITIAN ........................................................................................... 16
3.2.1. Tahap persiapan .............................................................................................. 16
3.2.2. Penelitian Pendahuluan ................................................................................... 17
3.2.3. Penelitian Utama ............................................................................................. 18
3.3. ANALISIS DAN PENGAMATAN ........................................................................... 18
3.3.1. Jumlah Total Populasi Serangga (Nt).............................................................. 18
3.3.2. Persen Biji Berlubang (%BB) ........................................................................ 18
3.3.3. Persen Kehilangan Bobot (% KB) .................................................................. 19
3.3.4. Persen Fraksi Bubuk yang Timbul (%Frass) .................................................. 19
3.3.5. Analisis Kadar Air .......................................................................................... 19
3.3.6. Analisis Asam Lemak Bebas .......................................................................... 20
3.4. RANCANGAN PERCOBAAN ................................................................................... 20
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN .......................................................................................... 21
4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN.............................................................................. 21
4.2. PENELITIAN UTAMA ............................................................................................. 23
4.2.1. Jumlah Total Populasi Serangga (Nt).............................................................. 23
4.2.2. Persen Biji Berlubang (%BB) ......................................................................... 25
4.2.3. Persen Kehilangan Bobot (% KB) .................................................................. 26
iv
4.2.4. Persen Fraksi Bubuk yang Timbul (%Frass) ..................................................
4.2.5. Kadar Air ........................................................................................................
4.2.6. Asam Lemak Bebas ........................................................................................
4.3. KORELASI PARAMETER-PARAMETER KERUSAKAN PADA BERAS ...........
V. SIMPULAN DAN SARAN ................................................................................................
5.1. SIMPULAN ...............................................................................................................
5.2. SARAN ......................................................................................................................
DAFTAR PUSTAKA .................................................................................................................
LAMPIRAN ................................................................................................................................
26
27
28
29
32
32
32
34
39
v
DAFTAR TABEL
Halaman
Tabel 1
Tabel 2
Tabel 3
Tabel 4
Tabel 5
Tabel 6
Tabel 7
Tabel 8
Tabel 9
Tabel 10
Tabel 11
Klasifikasi Sitophilus zeamais ..............................................................................
Jenis pelarut dan komponen terlarut serta titik didihnya ......................................
Sifat-sifat Etanol ...................................................................................................
Perbandingan Konsentrasi Ekstrak Bahan Nabati, Bahan Pembawa, dan Bahan
Pengemulsi............................................................................................................
Pengaruh Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Mindi Terhadap Jumlah Serangga
Dewasa S. zeamais Pada Media Beras Selama Penyimpanan ...............................
Pengaruh Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Mindi Terhadap Persentase
Biji Berlubang Pada Media Beras Yang Diinfestasi S. zeamais Selama
Penyimpanan ........................................................................................................
Pengaruh Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Mindi Terhadap Persentase
Kehilangan Bobot Pada Media Beras Yang Diinfestasi S. zeamais Selama
Penyimpanan ........................................................................................................
Pengaruh Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Mindi Terhadap Persen Frass
Pada Media Beras Yang Diinfestasi S. zeamais Selama Penyimpanan ................
Pengaruh Berbagai Konsentrasi Ekstrak Daun Mindi Terhadap Kadar Air Pada
Media Beras Yang Diinfestasi S. zeamais Selama Penyimpanan .........................
Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap asam lemak bebas
pada media beras yang diinfestasi S.zeamais selama penyimpanan .....................
Hasil uji korelasi parameter-parameter yang mempengaruhi perkembangan
S.zeamais. .............................................................................................................
6
13
14
18
24
25
26
27
28
28
30
vi
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 1
Gambar 2
Gambar 3
Gambar 4
Gambar 5
Gambar 6
Gambar 7
Serangga Hama Gudang S. zeamais (Sunjaya dan Widayanti 2009) ....................
Daun Mindi (Melia azedarach L.) ........................................................................
Skema jenis O/W dan W/O pada emulsi tunggal (Porter 1994) ...........................
Ekstrak Daun Mindi ..............................................................................................
Konsentrasi Larutan Stok 20% .............................................................................
Larutan Emulsi Konsentrasi 4 % ..........................................................................
Grafik Uji Retensi Dari Formulasi Emulsifiable Concentrate (EC) Dengan
Konsentrasi 0 %, 8 %, Dan 16 % Dalam Waktu 9 Hari........................................
6
7
9
17
22
23
24
vii
DAFTAR LAMPIRAN
Halaman
Lampiran 1a Jumlah total populasi serangga (Nt) Sitophilus zeamais setelah
penyimpanan. ........................................................................................................
Lampiran 1b Analisis ragam total populasi (Nt) Sitophilus zeamais terhadap
variasi konsentrasi ................................................................................................
Lampiran 1c Duncan total populasi (Nt) Sitophilus zeamais terhadap variasi konsentrasi ........
Lampiran 2a Persen biji berlubang (% KB) setelah penyimpanan............................................
Lampiran 2b Analisis ragam persen biji berlubang (% BB) terhadap variasi konsentrasi .........
Lampiran 2c Uji Duncan persen biji berlubang (% BB) terhadap variasi konsentrasi ...............
Lampiran 3a Persen kehilangan bobot (% KB) setelah penyimpanan .......................................
Lampiran 3b Analisis ragam persen kehilangan bobot (% KB) terhadap variasi konsentrasi ....
Lampiran 3c Duncan persen kehilanganbobot (% KB) terhadap variasi konsentrasi ................
Lampiran 4a Persen fraksi bubuk yang timbul (% frass) ...........................................................
Lampiran 4b Analisis ragam persen fraksi bubuk yang timbul (% frass) terhadap variasi
konsentrasi ............................................................................................................
Lampiran 4c Uji Duncan persen fraksi bubuk yang timbul (% frass) terhadap
variasi konsentrasi ................................................................................................
Lampiran 5a Kadar air sebelum penyimpanan ...........................................................................
Lampiran 5b Kadar air setelah penyimpanan .............................................................................
Lampiran 5c Analisis kadar air terhadap variasi konsentrasi .....................................................
Lampiran 5d Uji Duncan kadar air terhadap variasi konsentrasi ...............................................
Lampiran 6 Standarisasi NaOH 0,1 N ......................................................................................
Lampiran 7a Kadar asam lemak bebas sebelum penyimpanan ..................................................
Lampiran 7b Kadar asam lemak bebas setelah penyimpanan ....................................................
Lampiran 7c Analisis kadar asam lemak bebas terhadap variasi konsentrasi ...........................
Lampiran 7d Uji Duncan kadar asam lemak bebasterhadap variasi konsentrasi ........................
Lampiran 8 Analisis korelasi parameter-parameter resistensi terhadap
faktor-faktor intrinsik lima varietas beras .............................................................
Lampiran 9 Diagram alir ekstraksi lemak menggunakan metode Folch yang dimodifikasi ....
Lampiran 10 Uji retensi formulasi EC .......................................................................................
Lampiran 11 Formulasi EC yang tidak stabil .............................................................................
Lampiran 12 Dokumentasi beras pecah kulit yang digunakan ...................................................
Lampiran 13 Dokumentasi media beras setelah disemprotkan oleh formulasi EC ...................
Lampiran 14 Dokumentasi media beras selama penyimpanan ..................................................
Lampiran 15 Jagung pipil sebagai stock culture Sitophilus zeamais..........................................
40
40
40
41
42
42
43
44
44
45
45
46
46
47
47
49
49
50
50
52
52
53
54
55
55
56
56
56
57
viii
I.
PENDAHULUAN
1.1. LATAR BELAKANG
Indonesia merupakan salah satu negara agraris yang sebagian besar penduduknya hidup
dari pertanian. Beras merupakan bahan makanan pokok sebagian besar penduduk di Indonesia dan
menempati posisi penting dalam penyediaan pangan. Hal ini sesuai dengan data konsumsi bahan
makanan di Indonesia, beras menjadi bahan makanan yang superior daripada bahan makanan
lainnya. Data konsumsi beras masyarakat Indonesia pada tahun 2007 sebesar 90,78 kg per
kapita/tahun, kemudian pada tahun 2008 konsumsi beras meningkat menjadi 93,70 kg per
kapita/tahun (BPS 2010). Peningkatan konsumsi beras perlu diimbangi dengan penanganan pasca
panen yang baik. Penanganan pasca panen tersebut dilakukan dalam rangka pengamanan,
pendayagunaan, dan peningkatan kualitas hasil. Salah satu kegiatan yang penting dalam pasca
panen adalah penyimpanan bahan pangan.
Pada tahap ini seringkali terjadi perubahan kualitas dan kuantitas bahan simpan yang
dipengaruhi oleh berbagai faktor seperti fasilitas penyimpanan dan hama gudang. Menurut
Winarno (2006) kerusakan di tingkat penyimpanan umumnya disebabkan oleh serangan hama
gudang seperti serangga, tikus, dan hewan lainnya. Diantara hama gudang tersebut yang paling
banyak menyebabkan kerusakan adalah serangga. Hal ini disebabkan serangga hama gudang
mempunyai kemampuan berkembang biak dengan cepat, mudah menyebar, dan dapat
mengundang pertumbuhan kapang. Sitophilus zeamais Motsch. merupakan salah satu serangga
hama pasca panen yang penting. Serangga tersebut mampu berkembang biak dengan cepat dan
menimbulkan kerusakan pada berbagai jenis tanaman pangan terutama menyerang beras, gabah,
dan jagung (Winarno 2006). Oleh karena itu, diperlukan upaya pengendalian agar bahan pangan
yang disimpan terhindar dari kerusakan.
Usaha pengendalian serangga yang banyak dilakukan selama ini masih mengandalkan
pengendalian secara kimia yaitu dengan menggunakan insektisida sintetik. Hasil survei yang
dilakukan oleh Gusfi (2002) pada petani sayuran di daerah Pacet, Jawa Barat, menunjukkan bahwa
ketergantungan petani terhadap insektisida sintetik masih sangat tinggi (95,5%). Penggunaan
bahan sintetis ini walaupun sangat praktis dan efektif tetapi perlu adanya pertimbangan yang baik
dari segi keamanannya. Hal ini penting karena insektisida sintetik dapat menimbulkan berbagai
kerugian, antara lain dapat mencemari bahan pangan dan lingkungan, serta timbulnya resistensi
serangga hama pasca panen terhadap beberapa insektisida sintetik tersebut. Pencemaran terhadap
bahan pangan dan lingkungan dapat berdampak pada kesehatan manusia. Menurut Sulistiyono
(2004) diacu dalam Hilmanto (2010) potensi bahaya yang dapat ditimbulkan oleh bahan aktif dari
insektisida sintetik antara lain mutasi gen dan pengaruh kronis yang disebabkan oleh karbiral,
cacat lahir dan pengaruh kronis yang disebabkan oleh DDT, kanker yang disebabkan oleh asefat
serta masih banyak contoh yang lainnya. Selain itu, penggunaan metil bromida (CH3Br) sebagai
insektisida sintetik diperkirakan mencapai 97 % dari total metil bromida yang diproduksi. Metil
bromida merupakan pestisida pilihan karena efektif dalam membunuh berbagai organisme
pengganggu (broad spectrum pesticide) dan relatif murah serta mudah dalam aplikasinya. Namun,
metil bromida merupakan salah satu bahan perusak ozon yang memiliki kemampuan merusak
ozon 0,6 kali lebih tinggi dibandingkan senyawa klorin dari CFC (Hidayat 2009; Prijono et al.
2009). Proses metil bromida dalam merusak lingkungan yaitu ikatan metil bromida diputus oleh
radiasi sinar ultraviolet dan menjadi atom bromida yang reaktif. Kemudian atom bromida tersebut
1
bereaksi dengan molekul ozon dan memecahnya menjadi bromida monooksida dan molekul
oksigen. Ikatan molekul bromida monooksida tidak lama akan putus dan bereaksi kembali dengan
molekul ozon lainnya. Proses tersebut akan berlangsung begitu seterusnya sehingga lapisan ozon
dapat rusak (Hidayat 2009). Adanya larangan penggunaan metil bromida memberikan inspirasi
untuk bersama-sama mencari teknologi alternatif sebagai pengganti metil bromida.
Salah satu upaya untuk mencari teknologi alternatif pengganti insektisida sintetik adalah
insektisida yang berasal dari tumbuhan. Insektisida golongan ini umumnya bersifat selektif dan
tidak persisten karena senyawa aktifnya berasal dari bahan alami yang memiliki cara kerja spesifik
dan mudah terurai di lingkungan (Dewi 2007). Tumbuhan telah diketahui memproduksi berbagi
jenis metabolit sekunder seperti flavanoid, terpenoid, alkaloid, dan lain-lain yang berguna sebagai
sarana pertahanan diri dari organisme pengganggu tumbuhan (OPT) (Rukmana dan Oesman
2002). Salah satu tanaman yang kaya akan zat metabolit sekunder adalah mindi (Melia azedarach
L.).
Pohon mindi atau geringging (Melia azedarach L.) merupakan jenis pohon yang tumbuh di
daerah tropis dan sub tropis. Di Indonesia banyak ditanam di daerah Sumatera, Jawa, Nusa
Tenggara dan Irian Jaya. Mindi dikenal sebagai pestisida nabati. Kandungan bahan aktif daun
mindi adalah senyawa golongan terpenoid, limnoid, dan flavonoid (Kumar et al. 2003). Penelitian
tentang potensi mindi sebagai sumber bahan insektisida nabati telah dilakukan antara lain oleh
Suyani (2003) dengan menggunakan formulasi tepung bahan nabati dan oleh Sonyaratri (2006)
dengan menggunakan ekstrak heksan bahan nabati. Hasil kedua penelitian menunjukkan bahwa
daun mindi memiliki kemampuan menghambat serangan Sitophilus zeamais Motsch.
Melihat potensi tanaman Mindi, perlu dilakukan penelitian mengenai pengembangan
formulasi komponen aktifnya dalam bentuk yang umum beredar di pasaran seperti emulsifiable
concentrate (EC), agar dapat langsung digunakan oleh petani di lapangan. Formula yang
dihasilkan diharapkan dapat tetap efektif terhadap hama sasaran di lapangan dalam jangka waktu
yang lama serta dapat diproduksi dengan teknologi dan bahan yang sederhana sehingga
memberikan harga produk yang cukup terjangkau bagi para petani di Indonesia.
1.2. TUJUAN PENELITIAN
(1)
(2)
(3)
Tujuan penelitian ini adalah :
Mendapatkan konsentrasi dari ekstrak daun Mindi (Melia azedarach L.) yang optimum
terhadap penghambatan serangan hama gudang Sitophilus zeamais Motsch pada
penyimpanan beras
Mengetahui retensi (dalam hitungan hari) insektisida nabati yang efektif dalam
menghambat serangan serangga setelah penyemprotan
Mempelajari tingkat kerusakan akibat serangan serangga Sitophilus zeamais Motsch yang
terjadi pada beras yang telah dilindungi insektisida nabati pada berbagai konsentrasi selama
penyimpanan
2
II.
TINJAUAN PUSTAKA
2.1. KERUSAKAN BAHAN PANGAN AKIBAT SERANGAN
SERANGGA
Kerusakan atau kehilangan didefinisikan sebagai penurunan kuantitas dan kualitas produk
pangan yang dapat diukur. Kehilangan kuantitas adalah kehilangan yang bersifat fisik dan dapat
diukur dengan satuan berat atau volume, sedangkan kehilangan kualitas hanya dapat dinilai yaitu
berupa kehilangan/penurunan nilai gizi, kemampuan berkecambah dan penurunan nilai jual
(Winarno 2006). Ditinjau dari penyebabnya, kerusakan dapat dibagi atas beberapa jenis yaitu
kerusakan mekanis, fisik, biologis, mikrobiologis, dan kimiawi. Kerusakan mekanis disebabkan
oleh benturan mekanis. Kerusakan fisik disebabkan oleh perlakuan-perlakuan fisik yang digunakan
seperti penggunaan suhu yang terlalu tinggi, suhu yang terlalu rendah, penyinaran yang tidak
dikehendaki dan lainnya. Kerusakan fisiologis meliputi kerusakan yang disebabkan oleh reaksireaksi metabolisme dalam bahan atau oleh enzim-enzim yang terdapat di dalamnya secara alamiah
sehingga terjadi suatu proses (autolisis) yang berakhir dengan kerusakan dan pembusukan.
Kerusakan biologis ialah kerusakan yang diakibatkan oleh serangan serangga, tikus, burung dan
hewan lain. Kerusakan mikrobiologis sering disertai dengan produksi racun yang membahayakan
kesehatan dan untuk kerusakan kimiawi biasanya saling berhubungan dengan kerusakan lain,
misalnya adanya panas yang tinggi pada pemanasan minyak, mengakibatkan rusaknya beberapa
asam lemak (Santausa dan Arpah 1990; Winarno 2006).
Serangga adalah penyebab utama kehilangan bahan selama penyimpanan, khususnya di
daerah tropis. Bagi serangga, komoditas pangan yang disimpan di gudang merupakan sumber
makanan sekaligus habitat untuk berkembang biak dan selanjutnya menghancurkan lingkungan
tersebut (Winarno 2006). Berdasarkan tempat berkembangnya dari telur hingga dewasa, serangga
dibagi dalam dua golongan, yaitu internal feeder dan external feeder. Internal feeder adalah
serangga yang sebagian fase dalam siklus hidupnya berlangsung di dalam biji atau benda padat,
sedangkan external feeder, seluruh fase dalam siklus hidupnya berlangsung di luar biji. Oleh
karena itu, internal feeder menimbulkan hidden infestation (serangan tersembunyi) yaitu serangan
yang terjadi tetapi tidak dapat dilihat secara kasat mata karena terjadi di dalam biji atau benda
padat. Kegiatan serangga di dalam biji dapat menyebabkan meningkatnya kandungan air serta
suhu secara lokal. Meningkatnya kadar air dapat mengundang serangan kapang. Kegiatan bersama
serangga dan kapang dapat mengakibatkan penurunan mutu yang disebabkan karena adanya sisasisa tubuh serangga yang mati, penimbunan uric acid, akumulasi frass, dan penyimpangan warna.
(Desmarchelier 1990; Birck et al. 2003). Kerusakan oleh serangga dapat dibagi menjadi dua
bagian yaitu kerusakan langsung dan kerusakan tidak langsung. Kerusakan langsung terdiri dari
konsumsi bahan yang disimpan oleh serangga, kontaminasi oleh serangga dewasa, pupa, larva,
telur, kulit telur, dan bagian tubuhnya, serta kerusakan wadah bahan yang disimpan. Kerusakan
tidak langsung antara lain adalah timbulnya panas akibat metabolisme serta berkembangnya
kapang dan mikroba-mikroba lainnya (Dharmaputra 1994; Winarno 2006).
Setiap spesies serangga mempunyai kesukaan terhadap makanan tertentu. Beberapa spesies
menyukai embrio, dan yang lain menyukai endosperma. Embrio adalah bagian yang paling kaya
akan zat gizi. Komponen lemak, protein, mineral, dan vitamin terkonsentrasi pada bagian tersebut
sehingga serangan serangga akan menyebabkan penurunan nilai gizi (Pranata 1982). Menurut
Winarno (2006), akibat dari serangan hama, maka akan terjadi susut kuantitatif, susut kualitatif.
3
Susut kuantitatif adalah turunnya bobot atau volume bahan karena sebagian atau seluruhnya
dimakan oleh hama. Susut kualitatif adalah turunnya mutu secara langsung akibat dari adanya
serangan hama, misalnya bahan yang tercampur oleh bangkai, kotoran serangga atau bulu tikus
dan peningkatan jumlah butir gabah yang rusak. Secara ekonomi, kerugian akibat serangan hama
adalah turunnya harga jual komoditas bahan pangan (biji-bijian). Kerugian akibat serangan hama
dari segi ekologi atau lingkungan adalah adanya ledakan populasi serangga yang tidak terkontrol
(Syarief dan Halid 1993). Data kerusakan bahan pangan akibat serangan hama gudang mencapai
26 % - 29 % (Semple 1985). Selain itu, data ini dikuatkan dengan adanya penelitian yang
dilakukan oleh Askanovi (2011) mengenai preferensi serangga Sitophilus oryzae terhadap beras
yaitu serangga lebih menyukai beras pecah kulit dibandingkan beras sosoh. Data populasi serangga
dewasa pada media beras pecah kulit sebanyak 87,27 % dan untuk beras sosoh sebesar 32,60 %.
Hal ini disebabkan karena beras pecah kulit memiliki kecukupan nutrisi untuk serangga tersebut
tumbuh dan berkembang biak.
2.2. PENGENDALIAN SERANGGA HAMA GUDANG
Pengendalian serangga hama gudang pada hakekatnya adalah pengendalian populasi. Hal
ini disebabkan dalam pengendalian hama telah terjadi pergeseran falsafah dasar yaitu dari usaha
untuk membasmi hama sampai habis menjadi usaha untuk menekan populasi sampai di bawah
ambang ekonomi. Suatu tindakan pemberantasan hanya dilakukan jika tingkat kerugian secara
potensial jauh lebih besar bila dibandingkan dengan biaya pengendalian.
Menurut Shejbal dan Boislambert (1998), cara yang bisa diterapkan yaitu cara fisika, cara
biologi dan cara kimia. Cara fisika dapat dilakukan antara lain dengan suhu tinggi, suhu rendah,
atmosfer terkendali dan gelombang mikro. Pengendalian cara biologi dilakukan antara lain
menggunakan parasit hama atau pengembangan varietas bahan pangan yang resisten terhadap
serangan hama pasca panen melalui upaya pemuliaan. Selain itu, ada cara pengendalian lain yang
diterapkan yaitu dengan cara eksklusi, cara sanitasi, dan cara penggunaan bahan kimia.
Pengendalian dengan cara eksklusi yaitu dengan mencegah jalan masuk hama ke dalam bangunan.
Dengan mencegah hama masuk ke dalam bangunan, maka kebutuhan treatment kimia dalam
pengendalian hama dapat sangat dikurangi. Untuk pengendalian dengan cara sanitasi harus
memperhitungkan kesesuaiannya dengan baik dan rutin. Metode ini juga harus memperhitungkan
kesesuainnya dengan kegiatan lain dalam industri, misalnya proses produksi, pengemasan, dan
lain-lain. Sanitasi yang baik termasuk dalam manajemen hama, karena dapat membatasi kebutuhan
hama untuk hidup dan berkembang biak. Karena hama hanya membutuhkan sedikit makanan
untuk bertahan hidup maka standar sanitasi yang harus diterapkan dalam industri pangan harus
tinggi. Pengendalian secara kimia dimaksudkan sebagai penggunaan senyawa beracun atau
pestisida untuk membunuh atau mengusir hama. Keuntungan pengendalian dengan cara kimia
antara lain dapat diterapkan sebagian besar hama, bersifat pembasmian atau kuratif, dan
perusahaan dapat menggunakannya kapanpun dan di manapun yang diinginkan. Sedangkan
kelemahan dari metode ini antara lain kemungkinan menimbulkan hama yang resisten terhadap
pestisida, adanya bahaya kesehatan bagi pengguna dan timbulnya masalah residu pestisida dalam
bahan pangan, biayanya cukup tinggi dan sifat pengontrolannya tidak permanen (Winarno 2006).
Dengan banyaknya kerugian yang ditimbulkan oleh penggunaan insektisida sintetis dalam
pemberantasan hama, maka diperlukan suatu alternatif pengendalian yang memungkinkan petani
dapat melindungi tanamannya dengan cara yang ramah lingkungan. Penggunaan bahan-bahan
alami merupakan alternatif untuk menghindarkan efek negatif bahan kimia sehingga lebih aman
4
baik pada manusia juga lingkungan dan hampir tidak menimbulkan residu serta untuk mencegah
pemakaian yang tidak sesuai yang dapat menimbulkan kematian pengguna insektisida sintetik.
2.3. INSEKTISIDA NABATI
Insektisida nabati dapat diartikan sebagai suatu insektisida dengan bahan aktif tunggal
(single active ingredient) atau majemuk (multiple active ingredient) yang berasal dari tumbuhan
(Kardinan 2011). Bunga, daun, atau akar dihancurkan dan kemudian langsung digunakan sebagai
insektisida atau bahan aktifnya diekstraksi terlebih dahulu kemudian baru digunakan. Oleh karena
terbuat dari bahan alami, insektisida nabati mudah terurai di alam sehingga tidak dikhawatirkan
akan menimbulkan bahaya residu. Peluang pengembangan insektisida nabati di Indonesia cukup
menguntungkan karena telah ada undang-undang yang mendukung pemanfaatan insektisida nabati,
yaitu Undang-undang Nomor 12 Tahun 1992 tentang Sistem Budidaya Tanaman, yang
menekankan pemanfaatan faktor pengendalian organime pengganggu tanaman yang ramah
lingkungan. Penggunaan insektisida nabati juga memiliki keunggulan ditinjau dari daya saing,
karena bahan bakunya tersedia secara lokal dan untuk skala industri menengah tidak memerlukan
teknologi yang canggih. Selain itu, pestisida nabati tidak hanya dibutuhkan dalam bidang
pertanian, tetapi telah meluas ke rumah tangga, seperti untuk mengendalikan nyamuk. Hal ini
didukung oleh hasil penelitian yang menyatakan bahwa pestisida nabati dapat digunakan untuk
mengendalikan hama pemukiman (Selvaraj dan Mosses 2011).
Menurut Wudianto (2008), ada tiga jenis bahan alami yang dapat digunakan sebagai
insektisida yaitu bahan mineral, bahan nabati dan bahan hewani. Dari ketiga bahan alami tersebut,
bahan nabati merupakan cadangan yang paling besar dan bervariasi. Hingga saat ini setidaknya
terdapat lebih dari 2000 jenis tanaman yang dilaporkan mempunyai sifat-sifat insektisidal. Suatu
tanaman yang akan dijadikan bahan insektisida harus memenuhi beberapa kriteria, antara lain : (a)
mudah dibudidayakan, (b) tanaman tahunan, (c) tidak perlu dimusnahkan apabila suatu saat bagian
tanamannya diperlukan, (d) tidak menjadi gulma atau inang bagi organisme pengganggu tanaman,
(e) mempunyai nilai tambah, (f) mudah diproses sesuai dengan kemampuan petani. Tanaman yang
mengandung komponen aktif seperti alkaloid, terpenoid, kumarin, glikosida dan beberapa sterol
serta minyak atsiri dapat berpotensi sebagai insektisida (Dewi 2007). Berbeda dengan insektisida
sintetis, insektisida nabati umumnya tidak dapat langsung mematikan serangga yang disemprot.
Akan tetapi insektisida ini berfungsi sebagai : (1) repellent, yaitu senyawa penolak kehadiran
serangga dikarenakan baunya yang menyengat dan mencegah serangga meletakkan telur serta
menghentikan proses penetasan telur; (2) antifeedant, yaitu senyawa yang mencegah serangga
memakan tanaman yang telah disemprot terutama disebabkan rasanya yang pahit; (3) racun syaraf;
dan (4) atractant, yaitu senyawa yang dapat memikat kehadiran serangga yang dapat dipakai pada
perangkap serangga (Wudianto 2008).
2.4. SERANGGA HAMA GUDANG Sitophilus zeamais Motsch.
2.4.1. Sifat-Sifat Umum dan Klasifikasi
Serangga Sitophilus zeamais M. merupakan salah satu hama penting dan dikenal sebagai
bubuk beras atau bubuk jagung dan banyak menimbulkan kerusakan pada bahan yang disimpan
(Soekarto 1984). Serangga ini sangat mudah dikenal karena moncongnya (snout) yang khas
sehingga dikenal dengan sebutan kumbang moncong. Ukuran panjang tubuh 2,5 – 4,5 mm,
5
bergantung pada tempat serangga tersebut berkembang biak. Bila hidup pada jagung ukurannya
lebih besar daripada bila hidup pada beras. Lama perkembangan serangga ini dari telur hingga
dewasa pada kondisi optimum, yakni 27 0C dan kelembapan 70%, adalah 31-37 hari pada
komoditas jagung (Sunjaya dan Widayanti S. 2009). Menurut Borror dan Delong (1964) diacu
dalam Soekarto (1984) sistematika hama dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Klasifikasi Sitophilus zeamais
Filum
: Arthropoda
Ordo
: Coleoptera
Sub ordo
: Polypoda
Kelas
: Rhynoophora
Famili
: Curculionidae
Genus
: Sitophilus
Spesies
: Sitophilus zeamais
Sitophilus zeamais adalah serangga penyimpanan yang paling penting dan banyak
menimbulkan kerusakan pada bahan pangan yang disimpan di dunia (Haines 1991 diacu dalam
Sunjaya dan Widayanti 2009). Menurut Dobie et al., (1984) warna tubuh Sitophilus zeamais
adalah coklat merah sampai coklat gelap. Pada sayap depan (elytra) terdapat empat bintik
berwarna kuning kemerah-merahan di dua belahan sayap dan setiap sayap memiliki dua bintik
Morfologi serangga hama gudang Sitophilus zeamais Mostch., dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Serangga Hama Gudang S. zeamais (Sunjaya dan Widayanti 2009)
Serangga jantan dan betina dapat dibedakan dari bentuk moncong atau rostrum. Dilihat dari
permukaan dorsal, moncong jantan lebih besar, berbintik-bintik kasar dan kusam. Moncong
serangga betina mulus, berbintik–bintik melebar dan licin. Jika moncong dilihat dari atas, pada
jantan lebih pendek dan lebar, pada betina lebih panjang dan sempit. Dilihat dari samping
moncong betina lebih panjang, kecil dan agak melengkung ke bawah (Soekarto 1984).
2.4.2. Cara Hidup
Serangga Sitophilus zeamais M. sangat umum terdapat dalam penyimpanan dan dapat
berkembang biak dengan cepat dan terdapat dalam jumlah yang sangat besar. Sitophilus zeamais
M. lebih banyak ditemukan di Indonesia daripada S. oryzae dalam tempat penyimpanan. Keduanya
dapat menyerang beras, gabah maupun jagung (Sunjaya dan Widayanti 2009). Hal ini sesuai
dengan penelitian yang dilakukan oleh Haines dan Pranata (1982) di beberapa gudang beras di
6
Pulau Jawa. Pada penelitian tersebut, Sitophilus zeamais M. lebih banyak ditemukan pada beras
(40 ekor) dibandingkan dengan Sitophilus oryzae (5 ekor). Sitophilus zeamais M. merupakan
serangga yang sangat berbahaya, karena banyaknya produk pertanian yang diserang dan luasnya
serangan (kosmopolitan). Biji-bijian seperti jagung, sorgum, beras, gandum dan produk serealia
merupakan tempat yang menjadi sasarannya untuk berkembang biak (Winarno 2006).
Serangga Sitophilus zeamais M. mengalami metamorfosis sempurna (holometabola), yaitu
mulai telur, larva, pupa, imago (serangga dewasa). Telurnya berbentuk lonjong dengan satu kutub
yang lebih sempit. Telur berwarna bening, agak mengkilap, lunak dan panjangnya 0,7 mm dengan
lebar 0,3 mm. Tahapan selanjutnya yaitu larva. Larva dapat berkembang dengan memakan bagian
dalam biji. Stadium larva merupakan stadium yang merusak. Larva dewasa berbentuk gemuk dan
padat, tidak berkaki, berwarna putih dan panjangnya sekitar 4 mm. Lama stadium larva adalah
sekitar 18 hari. Larva kemudian berubah menjadi pupa. Pupa berkembang di dalam biji, di tempat
kosong bekas dimakan larva. Pupa berwarna putih dan panjangnya 3 sampai 4 mm. Lama stadium
pupa adalah 3 sampai 9 hari dengan rata-rata 6 hari (Winarno 2006).
Umumnya serangga betina mampu menghasilkan 300 – 400 butir telur selama masa
hidupnya dengan masa peneluran kurang lebih 3 minggu. Serangga dewasa ke luar dari biji dengan
membuat lubang pada lapisan luar biji. Lubang keluarnya membulat tetapi tepinya tidak merata.
Serangga dewasa mampu hidup sampai dengan 5 bulan dan memiliki kemampuan untuk terbang
(Sunjaya dan Widayanti 2009).
2.5. BAHAN NABATI MINDI (Melia azedarach L)
Tanaman mindi termasuk dalam famili Meliaceae, berbentuk pohon yang dapat mencapai
ketinggian 30 m. Batang tanaman ini berkayu dan berbentuk bulat. Daun mindi tersusun sebagai
daun majemuk, anak daun berbentuk elips, panjang 3-9 cm, lebar 15-30 mm, tepi daun bergerigi,
ujung dan pangkal daunnya runcing serta berwarna hijau (Gambar 2).
Gambar 2. Daun Mindi (Melia azedarach L.)
Bunga tanaman ini adalah bunga majemuk berbentuk malai yang terdapat di ketiak daun,
berambut panjang ± 20 cm, benang sari bergigi sepuluh, kepala sari merunduk, mahkotanya
berjumlah lima, panjang ± 1 cm dan berwarna coklat kekuningan. Biji mindi berbentuk bulat telur,
beralur dan berwarna putih (Listyanto 2010). Sifat tumbuhan ini diantaranya selalu hijau di daerah
tropis basah tetapi menggugurkan daunnya selama musim dingin di daerah beriklim sedang
(temperate), suka cahaya, agak tahan kekeringan, agak toleran terhadap salinitas tanah dan suhu di
7
bawah titik beku serta tahan terhadap kondisi dekat pantai, tetapi tumbuhan ini sensitif terhadap
api (Departemen Kehutanan 2001). Tumbuh pada daerah dataran rendah hingga dataran tinggi,
pada ketinggian 0 – 1200 mdpl, dapat tumbuh pada suhu minimum -5 0C suhu maksimum 39 0C
dengan curah hujan rata-rata pertahun 600 – 2000 mm. Pohon mindi memiliki persebaran alami di
India dan Burma, kemudian banyak ditanam di daerah tropis dan sub tropis termasuk Indonesia.
Untuk Indonesia sudah banyak ditanam di daerah Sumatera, Jawa, Nusa Tenggara dan Irian Jaya
(Listyanto 2010).
Penggunaan kayunya untuk mebel, parket, kayu lapis indah dan venir lamina indah. Produk
berupa mebel, parket dan kayu lapis indah sudah diekspor (Departemen Kehutanan 2001). Daun
dan biji mindi dapat digunakan sebagai bahan pestisida nabati. Beberapa bahan kimia yang
terkandung dalam kulit batang dan kulit akar mindi diantaranya toosendanin, margoside,
kaemferol, resin, tanin, n-triacontane, β-sitosterol, triterpen kulinone dan lain-lain (Hariana 2007).
Tanaman mindi berguna sebagai bahan pestisida dan dikenal juga sebagai tanaman obat. Kulit
batang mindi dan kulit akarnya dapat digunakan sebagai obat cacingan, scabies (gatal-gatal pada
kulit), dan kudis (Hariana 2007).
2.6. FORMULASI INSEKTISIDA
Formulasi merupakan proses perumusan atau penyusunan pestisida melalui beberapa
metode dengan tujuan guna memperbaiki daya simpan, mempermudah penanganan,
mengefektifkan dalam aplikasi, dan memberikan keamanan bagi pengguna maupun lingkungan
(Ware 1978). Formulasi yang dipasarkan terdiri atas bahan pokok yang disebut bahan aktif (active
ingredient) yang merupakan bahan utama pembunuh organisme pengganggu dan bahan ramuan
(inert ingredient) (Wudianto 2008).
Berdasarkan bentuk fisiknya, formulasi dapat dikelompokkan ke dalam bentuk cair dan
bentuk padat. Formulasi bentuk cair dapat berupa emulsifiable concentrate (EC), suspension
concentrate (SC), emulsion in water (EW), capsule suspensions (CS), dan gels (GL). Sedangkan
formulasi bentuk padat yaitu wettable powder (WP), water dispersible granules (WG), dan
dusi(D) (Wudianto 2008).
Menurut Ware (1978) lebih dari 75 % pestisida diaplikasikan sebagai cairan semprot dan
sebagian besar diaplikasikan sebagai emulsi air yang dibuat dari emulsifiable concentrate (EC).
Bentuk pestisida ini berupa cairan pekat yang terdiri dari campuran bahan aktif dengan perantara
emulsi (emulsifier). Dalam penggunaannya, biasanya dicampur dengan bahan pelarut berupa air.
Hasil pengencerannya atau cairannya disebut emulsi. Bentuk EC ini paling banyak dijumpai di
pasaran. Sebagai contoh Agrimec 18 EC dan Decis 2,5 EC (Wudianto 2008). Berdasarkan
penelitian yang telah dilakukan oleh Sunarto dan Nurindah (2009), efektivitas formulasi EC lebih
tinggi dibanding formulasi SBM dan WP. Dalam bentuk formulasi EC, untuk membunuh 50%
larva H. armigera dibutuhkan konsentrasi yang lebih rendah dibandingkan formulasi SBM dan
WP.
Keuntungan dari formulasi EC ini yaitu mudah untuk ditangani, ditransportasi, disimpan,
tidak menggumpal, tidak merusak noozles, dan residunya sedikit pada permukaan yang diberi
perlakuan. Sedangkan untuk kelemahannya yaitu konsentrasi yang tinggi membuatnya mudah
overdosis, ada kemungkinan menyebabkan fitotoksik, mudah diserap oleh kulit manusia atau
hewan, dapat menyebabkan korosif, dan mudah terbakar (Wudianto 2008).
8
2.7. EMULSI
Emulsi merupakan sistem dispersi yang terdiri dari dua cairan yang tidak bercampur
(biasanya minyak dan air). Pada sistem emulsi, salah satu cairan terdispersi pada cairan yang lain
membentuk droplet kecil yang bulat. Diameter droplet tersebut bervariasi antara ~0,1 µm – 50 µm.
(Coupland dan McClements 1996; McClements 1999). Fase yang berbentuk droplet disebut fase
diskontinyu atau fase internal dan fase yang di sekeliling butiran dikenal sebagai fase kontinyu
atau fase eksternal.
Emulsi dapat diklasifikasikan berdasarkan dispersi minyak dan air. Suatu sistem yang
mengandung droplet minyak yang terdispersi dalam air dikenal sebagai emulsi oil-in-water (O/W),
sedangkan sistem yang mengandung droplet air yang terdispersi dalam minyak dikenal sebagai
emulsi water-in-oil (W/O) (McClements 1999; Belitz dan Grosch 1999). Dibandingkan dengan
emulsi minyak-dalam-air, jenis emulsi air-dalam-minyak kurang sensitif terhadap pH, tetapi
sensitif terhadap panas, peka pada pada perlakuan elektrik, mempunyai konduktifitas yang rendah,
terwarnai oleh pewarna yang larut minyak, dan dapat diencerkan dengan penambahan minyak
murni. Demikian pula kebalikannya berlaku untuk sistem O/W (Holmberg et al. 2003). Secara
sistimatis, ilustrasi dari jenis O/W dan W/O dapat dilihat pada Gambar 3.
Gambar 3. Skema jenis O/W dan W/O pada emulsi tunggal (Porter 1994).
Emulsi biasanya dibuat dengan cara pengadukan mekanik (Arbuckle 1977). Sedangkan
emulsi yang mantap, memerlukan bahan ketiga yang mampu membuat sebuah selaput (film) di
sekeliling butiran yang terdispersi sehingga mencegah bersatunya kembali butir-butir tersebut
(Winarno 1997). Sifat-sifat yang harus terpenuhi dalam pembentukan emulsi adalah kestabilan
larutan (biasanya dengan air atau pelarut terpilih), viskositas, warna, dan stabilitas. Sedangkan
sifat-sifat emulsi akan tergantung kepada sifat fase kontinyu, rasio fase eksternal dan fase internal,
ukuran partikel emulsi, hubungan dari fase kontinyu dengan partikel dan sifat fase diskontinyu.
hasil emulsi akan ditentukan oleh tipe emulsi dan jumlah emulsi, rasio bahan-bahan dan urutan
penambahan bahan-nahan serta pengadukan (Griffin 1979).
2.8. SURFAKTAN
Surfaktan adalah zat yang dapat mengaktifkan permukaan, karena cenderung untuk
terkonsentrasi pada permukaan (antar muka), atau zat yang dapat menaik dan menurunkan
tegangan permukaan. Surfaktan merupakan senyawa ampifilik, yaitu senyawa yang molekulmolekulnya mempunyai dua gugus yang berbeda interaksinya dengan air. Gugus hidrofilik yang
memiliki ketertarikan kuat dengan air berada pada ujung polar (biasa disebut kepala), sedangkan
9
gugus hidrofobik/lipofilik yang “suka minyak” berada pada ujung nonpolar (biasa disebut ekor)
(Porter 1994).
Sifat-sifat surfaktan adalah mampu menurunkan tegangan permukaan, tegangan antarmuka,
meningkatkan kestabilan partikel yang terdispersi dan mengontrol jenis formasi emulsi (misalnya
oil in water (O/W) atau water in oil (W/O)). Disamping itu, surfaktan akan terserap ke dalam
permukaan partikel minyak atau air sebagai penghalang yang akan mengurangi atau menghambat
penggabungan (coalescence) dari partikel yang terdispersi (Porter 1994).
2.8.1. Jenis-jenis Surfaktan
Menurut Porter (1994), jenis-jenis surfaktan dapat dibagi menjadi empat berdasarkan ada
tidaknya muatan ion pada rantai panjang bagian hidrofobiknya, yaitu :
1. Surfaktan anionik
Surfaktan anionik merupakan jenis surfaktan yang paling besar jumlahnya. Sifat-sifat dari
surfaktan anionik yaitu tidak kompatibel dengan jenis surfaktan kationik, sensitif terhadap air
sadah atau hard water dengan derajat sensitifitas. Surfaktan anionik umumnya merupakan garam
natrium yang akan terionisasi menghasilkan Na + dan ion surfaktannya bermuatan negatif. Contoh
surfaktan anionik antara lain :
-
-
Karboksilat RCOOSulfonat RSO3
Sulfat RO-SO3
Fosfat ROPO(OH)2O
2. Surfaktan kationik
Surfaktan kationik umumnya merupakan garam-garam ammonium kuarterner atau amina.
Jenis surfaktan ini mempunyai sifat indeks yang lebih tinggi dibanding surfaktan jenis lain dan
mempunyai sifat adsorpsi permukaan yang baik. Contoh surfaktan kationik antara lain :
-
Diamina Hidroklorida
-
Alkohol etoksilat
Poliamina Hidroklorida
Dodesil Dimetilamina Hidroklorida
Imidazolin Hidroklorida
Alkil imidazolin ethilenediamina Imidazolin
Surfaktan non-ionik
Jenis surfaktan ini merupakan jenis surfaktan kedua terbesar. Jenis ini kompatibel dengan
semua jenis surfaktan. Berbeda dengan surfaktan ionik, sifat fisik-kimia surfaktan nonionik tidak
terpengaruh oleh penambahan elektrolit. Contoh surfaktan non-ionik antara lain :
3.
Mono alkanolamida etoksilat
Fatty amine etoksilat
Fatty acid etoksilat
Etillen oksida / propilen oksida copolymers
Alkil fenol etoksilat
Surfaktan ampoterik (Zwiter ion)
Surfaktan zwiter ion mengandung dua muatan yang berbeda dan dapat membentuk surfaktan
amfoter. Perubahan muatan terhadap pH pada surfaktan amfoterik mempengaruhi pembentukan
busa, pembasahan, sifat deterjen dan lainnya. Contoh dari zwiter ion antara lain :
4.
10
-
Laurildimetil betain
Cocoamidopropil betain
Oleil bis (hidroksietil) betain
Karboksi glisinat
Alkilampodiasetat
Aminoalkanoat
2.9. EKSTRAKSI KOMPONEN AKTIF
2.9.1. Jenis-jenis Metode Ekstraksi
2.9.1.1. Penyulingan (distilasi)
Secara umum distilasi atau penyulingan adalah suatu metode pemisahan bahan kimia
berdasarkan perbedaan kecepatan atau kemudahan menguap (volatilitas) bahan. Sedangkan secara
khusus distilasi (penyulingan) adalah proses pemisahan komponen dari suatu campuran yang
berupa larutan cair-cair dimana karakteristik dari campuran tersebut adalah mampu campur dan
mudah menguap, selain itu komponen-komponen tersebut mempunyai perbedaan tekanan uap dan
hasil dari pemisahannya menjadi komponen-komponennya atau kelompok-kelompok komponen
(Sax dan Lewis 1998). Pemisahan komponen-komponen melalui proses penyulingan ini
didasarkan pada perbedaan titik didihnya. Pada umumnya ada empat jenis distilasi yaitu distilasi
sederhana, distilasi fraksionisasi, distilasi uap, dan distilasi vakum (Harborne 1987; Guenther
2006).
2.9.1.2. Pengepresan (Pressing)
Pressing merupakan salah satu proses pemisahan dua atau lebih cairan dengan memberi
tekanan terhadap bahan baku (Sax dan Lewis 1998). Tekanan yang diberikan biasanya berasal dari
alat pressing sendiri, contohnya Expeller Pressing. Ekstraksi komponen aktif atau minyak atsiri
dengan cara pengepresan umumnyadilakukan terhadap bahan berupa biji-bijian, buah atau kulit
luar (khusus famili citrus) (Guenther 2006). Ekstraksi untuk bahan selain minyak atsiri juga dapat
dilakukan dengan cara pressing pada tekanan tinggi. Pengepresan mekanis adalah suatu cara
pengambilan minyak atau lemak dengan menggunakan tekanan atau di press, terutama puntuk
bahan-bahan yang berasal dari biji-bijian denga kadar minyak tinggi (30-70%) (Soerawidjaja dan
Tatang 2005).
2.9.1.3. Ekstraksi dengan pelarut menguap (Solvent extraction)
Ekstraksi dengan pelarut menguap dalam hal ini diambil contoh dalam ekstraksi minyak
atsiri. Prinsip dari ekstraksi dengan pelarut menguap (solvent extraction) adalah melarutkan
minyak atsiri dalam bahan dengan pelarut organik yang mudah menguap (Guenther 2006).
Ekstraksi dengan pelarut organik umumnya digunakan untuk mengekstraksi minyak atsiri yang
mudah rusak oleh pemanasan uap dan air, seperti untuk mengestrak minyak dari bunga-bungaan
misalnya bunga cempaka, melati mawar dan bunga lainnya (Guenther 2006).
11
2.9.1.4. Ekstraksi dengan Soxhlet
Ekstraksi dengan alat soxhlet merupakan ekstraksi dengan pelarut yang selalu baru,
umumnya dilakukan menggunakan alat khusus sehingga terjadi ekstraksi konstan dengan adanya
pendingin balik (kondensor) (Sax dan Lewis 1998). Soxhlet digunakan untuk mengekstrak
senyawa yang kelarutannya terbatas dalam suatu pelarut dan pengotor-pengotornya tidak larut
dalam pelarut tersebut. Sampel yang digunakan dan yang dipisahkan dengan metode ini berbentuk
padatan. Ekstraksi soxhlet ini juga dapat disebut dengan ekstraksi padat-cair (Harborne 1987).
Padatan yang diekstrak terlebih dahulu ditumbuh kemudian dibungkus dengan kertas saring dan
dimasukkan ke dalam ekstraktor soxhlet, sedangkan pelarut organik dimasukkan ke dalam labu
alas bulat kemudian seperangkat ekstraktor soxhlet dirangkai dengan kondensor (Sax dan Lewis
1998).
2.9.1.5. Absorpsi oleh Lemak Padat (Enfleurasi)
Proses ini merupakan penyulingan minyak alamiah paling kuno karena menggunakan lemak
hewan sebagai penjerab minyak. lemak memiliki daya absorpsi yang tinggi sehingga jika dicampur
dengan bunga melati, lemak akan mengabsorpsi minyak yang dihasilkan oleh bunga melati
(Guenther 2006). Selain itu, pemrosesan minyak atsiri dengan lemak akan menghasilkan rendemen
yang lebih banyak daripada dengan proses ekstraksi menguap (Harborne 1987; Sax dan Lewis
1998).
2.9.1.6. Ekstraksi dengan Teknik Emulsi Membran Cair
Membran cair emulsi (Emulsion Liquid Membrane, ELM) merupakan salah satu jenis
membran cair yang sudah banyak digunakan untuk pemisahan di laboratorium maupun industri
(Sax dan Lewis 1998). ELM telah berhasil digunakan untuk memisahkan fenol dan senyawa
turunannya, yaitu nitrofenol dengan efisiensi lebih dari 98 % (Soerawidjaja dan Tatang 2005).
Membran cair merupakan suatu fase cair yang bersifat pemisah semi permeabel yang berada
diantara dua fase cair yang sejenis. Membran cair emulsi terdiri dari fase eksternal (mengandung
senyawa yang dipisahkan), fase internal (fase penerima spesies yang dipisahkan) dan membran,
dimana membran itu sendiri mengandung surfaktan sebagi penstabil emulsi dan carrier sebagai zat
pembawa (Sax dan Lewis 1998).
2.9.1.7. Metode Ekstraksi dengan Maserasi
Maserasi merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut yang digunakan, pada
temperatur ruangan. Proses ini sangat menguntungkan dalam isolasi senyawa bahan alam karena
dengan perendaman sampel tumbuhan akan mengalami pemecahan dinding dan membran sel
akibat perbedaan tekanan antara di dalam dan di luar sel sehingga metabolit sekunder yang ada
dalam sitoplasma akan terlarut dalam pelarut, selain itu untuk mendapatkan ekstraksi yang
sempurna dapat diatur lama perendamannya. Pemilihan pelarut untuk proses maserasi akan
memberikan efektifitas yang tinggi dengan memperhatikan kelarutan senyawa bahan alam
terhadap pelarut tersebut (Lenny 2006).
12
Maserasi adalah ekstraksi menggunakan pelarut dengan beberapa kali pengocokan atau
pengadukan pada temperatur kamar. Secara teknologi termasuk ekstraksi dengan prinsip metode
pencapaian konsentrasi pada keseimbangan (Ferdiansyah 2006).
2.9.2. Jenis Pelarut
Pelarut merupakan salah satu faktor yang menentukan dalam proses ekstraksi, sehingga
banyak faktor yang harus diperhatikan dalam pemilihan pelarut (Guenther 2006). Terdapat dua
pertimbangan utama dalam memilih jenis pelarut, yaitu pelarut harus mempunyai daya larut yang
tinggi dan pelarut tidak berbahaya atau tidak beracun. Pelarut yang digunakan dalam ekstraksi
harus dapat melarutkan ekstrak yang diinginkan saja, mempunyai kelarutan yang besar, tidak
menyebabkan perubahan secara kimia pada komponen ekstrak, dan titik didih kedua bahan tidak
boleh terlalu dekat (Guenther 2006). Menurut Heath dan Reinessius (1987), yang perlu
diperhatikan dalam pemilihan pelarut adalah daya melarutkan komponen yang diinginkan, titik
didih, sifat racun, mudah tidaknya terbakar dan sifat korosif terhadap peralatan ekstraksi. Untuk
titik didih dari berbagi macam pelarut dan komponen terlarut dapat dilihat pada Tabel 2. Di antara
pelarut-pelarut tersebut yang paling sering digunakan adalah air, etanol, etil asetat, petroleum eter,
kloroform, dan heksana.
Tabel 2. Jenis pelarut dan komponen terlarut serta titik didihnya
Jenis pelarut
Air
Etanol
Etil asetat
Petroleum eter
Kloroform
Heksana
Asam askorbat
Flavanoid
Karotenoid
Alkaloid
Steroid
Titik didih
(0C)
100
78,4
77
70
61,7
71
> 190
> 160
> 580
>100
> 135
Sumber : Anonim (2009); Scheflan dan Morris (1983); Weissenberg, (2001)
2.9.2.1. Air (aquades)
Aquades berasal dari istilah latin aquadestilata yang berarti air suling. Air suling merupakan
air yang diperoleh dari pengembunan uap air akibat penguapan atau pendidihan air (Ham 2006).
Sebuah molekul air terdiri dari sebuah atom oksigen yang berikatan kovalen dengan dua atom
hidrogen. Hidrogen dan oksigen mempunyai daya padu yang sangat besar antara keduanya.
Kemampuan molekul air membentuk ikatan hidrogen menyebabkan air mempunyai sifat-sifat
yang unik. Ikatan hidrogen air pada tekanan atmosfer bersifat mengalir (flow) pada suhu 0-100 ºC,
dan densitsasnya 1 g/ml (Winarno 2002).
13
2.9.2.2. Etanol 70 %
Etanol biasa disebut etil alkohol, hidroksietan atau alkohol diproduksi melalui fermentasi
gula, karbohidrat dan pati, biasa digunakan sebagai pelarut, antiseptik, obat penenang, industri
parfum dan obat-obatan. Etanol merupakan pelarut organik (Lewis 1993 diacu dalam Ferdiansyah
2006). Sifat-sifat etanol dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Sifat-sifat etanol
Nama lain
Rumus bangun
Sifat
Berat molekul (BM)
Titik leleh
Titik didih
Berat jenis
Kelarutan
: Etanol, hidroksi ethan, metil karbinol, ansol
: C2H5OH
: Mudah menguap berbau khas, tidak beresidu
: 46,7
: - 117, 3 – 112 %
: 78,4 0C
: 0,789 g/ml
: Dalam air, eter, kloroform, dan metil alkohol
Sumber : Scheflan dan Morris (1983)
Etanol merupakan senyawa alkohol dengan formula C2H5OH yang berbentuk cair, tidak
berwarna, larut dalam air, eter, kloroform dan aseton. Dihasilkan dari peragian kanji, hidrolisis
bromoetana dengan kalium hidroksida (Basri 1996). Adanya gugus hidroksil (OH) pada alkohol
memberikan sifat polar, sedangkan gugus alkil (R) merupakan gugus non polar. Proporsi dari
kedua gugus tersebut merupakan faktor yang menentukan sifat alkohol (Kurniawan 2006). Etanol
tidak menyebabkan pembengkakan membran sel dan memperbaiki stabilitas bahan terlarut. Etanol
70% sangat efektif dalam menghasilkan jumlah bahan aktif yang optimal. Digunakan etanol bukan
metanol karena antioksidan yang hendak diekstrak diharapkan dapat diaplikasikan pada produk
makanan, minuman dan obat-obatan sehingga aman untuk dikonsumsi sedangkan metanol bersifat
toksik (Voight 1994). Etanol biasanya digunakan untuk mengekstraksi senyawa-senyawa aktif
yang bersifat antioksidan dan antibakteri pada suatu bahan. Beberapa hasil penelitian melaporkan
bahwa pelarut etanol lebih baik dari pada air, metanol maupun pelarut lain dalam mengekstraksi
senyawa antioksidan maupun antibakteri (Hirasawa 1999).
2.9.2.3. Etil Asetat
Etil asetat/etiletanoat/C2H5OOCCCH3 adalah suatu zat cair tak berwarna dengan bau buah
yang semerbak bertitik didih 77°C dan d = 0,9 g/ml (Arsyad 2001). Viskositas etil asetat 0,46 pada
20 oC, boiling point 76,5 oC, dan flash point -3 oC (Scheflan dan Morris 1983). Dalam penelitian
gandapura, pelarut yang digunakan adalah metanol, etil asetat dan heksana, ternyata hasil ekstraksi
dari masing-masing pelarut menunjukkan bahwa rendemen ekstrak tertinggi dihasilkan ekstrak
metanol yang bersifat polar, diikuti oleh etil asetat dan heksan (Hermani 2004).
14
2.9.2.4. Kloroform
Kloroform (triklorometana) merupakan salah satu senyawa haloform yang mempunyai rumus
kimia CHCl3; zat cair mudah menguap, sukar terbakar (tetapi uapnya mudah terbakar), tidak larut
dalam air tetapi larut dalm alkohol dan eter; uapnya bersifat membius dan bila terkena udara dan
cahaya dapat membentuk gas fosgen yang beracun. Kloroform digunakan untuk pembuatan
senyawa fluorokarbon, sebagai pelarut (cat), dan sebagai anastetik. Kelarutan dalam air pada suhu
25 oC (Ham 2006).
2.9.2.5. Petroleum Eter
Petroleum eter merupakan campuran hidrokarbon berupa cairan jernih, mudah menguap,
mudah terbakar. Diperoleh dari pengolahan minyak bumi, dan digunakan sebagai pelarut di
laboratorium (Ham 2006). Petroleum eter merupakan campuran hidrokarbon (bukan eter
sebenarnya) yang atsiri dan mudah terbakar, tidak berwarna, terutama terdiri dari pentana dan
heksana. Bahan ini mendidih dalam rentang 30-70 oC dan digunakan sebagai pelarut. Petrolum eter
mempunyai densitas sebesar 0,625 sampai 0,660 g/ml (Daintith 1994).
2.9.2.6. Heksana
Nama lain dari Heksana (Hexane) adalah kaproil hidrida, metil n-butil metan dengan rumus
molekul CH3(CH2)4CH3. Heksana mempunyai karakteristik sangat tidak polar, volatil, mempunyai
bau khas yang dapat menyebabkan pingsan. Berat molekul heksana adalah 86,2 dengan titik leleh 94,3 sampai -95,3 °C. Titik ddih heksana pada tekanan 760 mmHg adalah 66 sampai 71°C .
Densitas heksana pada suhu 20 oC sebesar 0,6603 g/ml (Scheflan dan Morris 1983).
15
III.
METODOLOGI PENELITIAN
3.1. BAHAN DAN ALAT
Bahan baku yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras varietas Cisadane dan daun
mindi, serta bahan-bahan kimia seperti air suling/aquades, n-heksana p.a., metanol p.a., metanol
teknis, kloroform p.a., alkyl benzene sulfonat (ABS), NaOH 0,1 N, etanol 95%, dan phenolftalin.
Sampel beras yang digunakan dalam penelitian ini adalah beras pecah kulit (BPK). Sampel
tersebut diperoleh dengan memasukkan gabah ke dalam mesin pemecah kulit (rice huller) untuk
memecah sekam dari gabahnya. Daun mindi sebagai bahan utama penelitian diperoleh dari
BALITRO (Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat) Bogor. Serangga uji yang digunakan
adalah Sitophilus zeamais Motschulsky yang diperoleh dari BIOTROP, Bogor.
Peralatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah mesin pemecah kulit (rice huller),
gelas plastik, kain blacu, karet gelang, penghancur (blender), buret, desikator, timbangan analitik,
oven, ayakan 60 mesh, corong buchner, pompa rotary, rotary evaporator, shaker, sonikator,
heater, kertas saring, gelas piala, erlenmeyer, corong gelas, sudip, gelas ukur, dan pipet tetes.
3.2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini meliputi tahap persiapan, penelitian pendahuluan dan penelitian utama. Tahap
persiapan terdiri dari pembiakan serangga S. zeamais, dan pembuatan ekstrak bahan nabati.
Penelitian pendahuluan terdiri dari penentuan volume insektisida nabati yang disemprotkan dan
pembuatan konsentrasi formula larutan stok emulsifiable concetrate (EC). Penelitian utama terdiri
dari uji retensi formula emulsifiable concentrate (EC) dan aplikasi pada beras.
3.2.1. Tahap Persiapan
3.2.1.1. Pembiakan Serangga S. zeamais (stock culture)
Serangga S. zeamais diperoleh dari BIOTROP yang sudah dewasa. Serangga kemudian
ditempatkan dalam wadah yang telah diberi jagung fumigasi sebagai makanan dan tempat
berkembang biak. Jagung fumigasi ini dapat diperoleh dengan cara pipilan jagung dimasukkan ke
dalam oven dengan suhu 500C dalam waktu 1 jam. Tujuan dari pengovenan ini yaitu untuk
mematikan serangga yang hidup yang mungkin ada pada media jagung pipil. Jagung ini harus
diganti dengan yang baru setiap dua minggu agar serangga dapat berkembang biak dengan baik.
Serangga ini dijadikan sebagai stock culture untuk penelitian tanpa harus meminta lagi dari
BIOTROP.
3.2.1.2. Pembuatan Ekstrak Bahan Nabati
Pada pembuatan ekstrak, daun mindi dikeringkan terlebih dahulu dalam oven pada suhu 60
C selama 1 jam. Setelah bahan menjadi kering kemudian diblender untuk menghancurkan bahan
nabati tersebut. Bahan nabati yang telah dihancurkan kemudian disaring dengan ayakan 60 mesh.
Proses ekstraksi dimulai dengan mencampur 50 gram bagian tepung bahan nabati dengan 250 ml
o
16
heksana, kemudian diletakkan dalam alat shaker dan didiamkan selama 24 jam. Kemudian setelah
selesai, filtrat tersebut disaring dengan kertas saring dengan menggunakan peyaring vakum. Filtrat
yang diperoleh dievaporasi dengan rotary evaporator pada suhu 55 0C (Samiwahyufiranalah
1998), sehingga diperoleh pekatan yang menyerupai minyak. Pekatan menyerupai minyak inilah
yang digunakan sebagai ekstrak. Pembuatan ekstrak bahan nabati ini mengacu pada penelitian
yang dilakukan oleh Sonyaratri (2006) terhadap daun mindi dan daun mimba, serta penelitian yang
dilakukan oleh Setiawan (2010) untuk mengkaji daya insektisida pada daun mimba. Ekstrak daun
mindi dapat dilihat pada Gambar 4.
Gambar 4. Ekstrak Daun Mindi
3.2.2. Penelitian Pendahuluan
Penelitian pendahuluan ini terdiri atas dua tahap yaitu tahap pertama menentukan
banyaknya volume cairan yang disemprotkan pada beras dan tahap kedua yaitu tahapan untuk
mendapatkan konsentrasi formulasi dari bahan nabati dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC).
Untuk tahap pertama, cara yang dilakukan yaitu dengan menyemprotkan cairan emulsi pada
sampel beras yang ditempatkan pada gelas plastik dengan bobot 100 gram. Variasi volume yang
disemprotkan adalah 2 ml, 4 ml, 6 ml, 8 ml, 10 ml, dan 12 ml dan dilihat secara visual persebaran
dari cairan tersebut pada beras.
Pada tahap kedua untuk membuat suatu insektisida nabati dalam bentuk emulsifiable
concentrate bahan-bahan yang diperlukan adalah ekstrak bahan nabati, bahan pembawa, dan bahan
pengemulsi. Konsentrasi ekstrak bahan nabati yang ditambahkan bervariasi yaitu 20%, 25%, 30%,
35%, dan 40%. Bahan pembawa yang digunakan adalah metanol dan bahan pengemulsi yang
digunakan adalah Alkyl Benzene Sulfonat dengan variasi konsentrasi yang disesuaikan dengan
perbandingan 5:1. Analisis terhadap formula dilakukan untuk menentukan stabilitas emulsi.
Perbandingan konsentrasi ekstrak bahan nabati, bahan pembawa dan bahan pengemulsi dapat
dilihat pada Tabel 4.
17
Tabel 4. Perbandingan konsentrasi ekstrak bahan nabati, bahan pembawa, dan bahan pengemulsi
Ekstrak bahan Nabati
Bahan Pembawa
Bahan Pengemulsi
20 %
66,67 %
13,33 %
25 %
62,50 %
12,50 %
30 %
58,33 %
11,67 %
35%
54,67 %
10,83 %
40 %
33,33 %
10,00 %
3.2.3. Penelitian Utama
3.2.3.1. Uji Retensi Formula Emulsifiable Concentrate (EC)
Uji retensi formula emulsifiable concentrate (EC) dilakukan untuk mengetahui retensi
(dalam hitungan hari) insektisida nabati yang efektif dalam menghambat serangan serangga setelah
penyemprotan. Beras sebanyak 100 gram ditempatkan dalam suatu wadah plastik. Variasi
konsentrasi yang disemprotkan adalah 0 % (tanpa ekstrak bahan nabati), 8 %, dan 16 %. Sampel
didiamkan dalam suhu ruang selama waktu yang ditentukan yaitu 1 hari, 3 hari, 5 hari, 7 hari, dan
9 hari. Setelah waktu ujinya tiba, sebanyak 100 ekor S.zeamais diinfestasikan ke dalam beras
tersebut dan pada hari berikutnya dihitung berapa banyak yang mati.
3.2.3.2. Aplikasi pada Beras
Beras sebanyak 100 gram ditempatkan dalam suatu gelas plastik. Ektrak bahan nabati yang
sudah berbentuk emulsifiable concentrate disemprotkan ke dalam wadah tersebut dengan variasi
konsentrasi 0%, 4%, 8%, 12% dan 16%. Sebanyak 25 ekor serangga S. zeamais dewasa
diinfestasikan ke dalam sampel beras. Selanjutnya sampel diinkubasi pada suhu dan kelembaban
ruang selama 5 minggu. Setelah itu dilakukan pengayakan untuk menghitung populasi S. zeamais
Motsch. Pengujian untuk setiap konsentrasi dilakukan sebanyak tiga ulangan.
3.3. ANALISIS DAN PENGAMATAN
3.3.1. Jumlah Total Populasi Serangga (Nt)
Jumlah total populasi serangga dari masing-masing ulangan untuk tiap konsentrasi dihitung
dengan cara mengayak beras yang telah disimpan untuk memudahkan menghitung serangga.
3.3.2. Persen Biji Berlubang (%BB)
Biji yang berlubang merupakan parameter kerusakan karena biji tersebut dapat berlubang
karena digunakan oleh serangga sebagai tempat berkembang biak dan sumber makanannya. Beras
yang telah melalui masa simpan, di screening secara manual untuk memisahkan biji yang masih
utuh dan biji yang berlubang. Biji yang berlubang dapat mudah teramati secara visual sehingga
18
dapat mudah dipisahkan dari biji yang masih utuh. Biji yang sudah berlubang kemudian dihitung
jumlahnya dan dihitung dengan menggunakan rumus sebagai berikut:
% BB = Nd/N x 100
3.3.3. Persen Kehilangan Bobot (% KB)
Pada biji yang telah disimpan dan diinvestasi akan mengalami penurunan bobot karena
selama masa simpan serangga menggunakan beras tersebut sebagai sumber makanannya dan
tempat berkembang biak. Kehilangan bobot ini dapat dihitung dengan memisahkan anatara biji
yang masih utuh dan biji yang sudah berlubang kemudian ditimbang masing-masing bobotnya.
Setelah didapatkan data tersebut maka dapat dilanjutkan menghitung persen kehilangan bobot
dengan rumus sebagai berikut :
% KB =
x 100%
Keterangan : U = bobot fraksi biji utuh
D = bobot fraksi biji berlubang
Nu = jumlah fraksi biji utuh
Nd = jumlah fraksi biji berlubang
N = jumlah biji dalam sampel (Nu + Nd)
3.3.4. Persen Fraksi Bubuk yang Timbul (%Frass)
Bubuk yang timbul ini merupakan hasil samping dari beras yang sudah mengalami
kerusakan (berlubang) akibat dari kegiatan serangga memakan beras tersebut. Untuk menghitung
bubuk yang timbul, masing-masing sampel beras diayak dengan saringan untuk memisahkan
antara beras dan bubuk yang ada. Kemudian sampel beras awal sebelum diinvestasi ditimbang dan
dibandingkan dengan berat bubuk yang timbul dan dapat dihitung dengan menggunakan rumus
sebagai berikut :
% frass = (berat fraksi bubuk)/(berat beras awal) x 100
3.3.5. Analisis Kadar Air (AOAC 1995)
Pengukuran kadar air dilakukan dengan menggunakan metode oven. Langkah awal
pengukuran kadar air adalah dengan mengeringkan cawan alumunium pada suhu 100 0C selama 15
menit, kemudian didinginkan di dalam desikator selama 10 menit. Cawan alumunium kemudian
ditimbang dengan menggunakan neraca analitik (a gram). Sebanyak 2-10 gram (x gram) sampel
ditimbang dalam cawan alumunium yang telah diketahui bobot kosongnya. Kemudian dikeringkan
dalam oven 1050C selama 5 jam, lalu di dinginkan di dalam desikator dan ditimbang sampai
diperoleh bobot konstan (y gram). Perhitungan kadar air dilakukan dengan menggunakan rumus :
19
%
3.3.6. Analisis Asam Lemak Bebas (AOAC 1995)
Sebelum dianalisis asam lemak bebasnya, masing-masing sampel diekstrak lemaknya
dengan menggunakan metode Folch (Folch et al. 1957 diacu dalam Sudarmadji et al. 2008) yang
dimodifikasi. Tujuan dari pengekstrakkan lemak dengan metode tersebut yaitu agar menghasilkan
lipid yield recovery yang tinggi sehingga lemaknya bisa digunakan untuk analisis asam lemak
bebas (Saeid 2011). Metode tersebut dapat dilihat di Lampiran 9. Sampel lemak yang telah didapat
ditambahkan 15 ml etanol 95% netral sambil dipanaskan agar cepat larut lalu ditambahkan 2 tetes
indikator phenolftalin. Goyang-goyang agar tercampur homogen. Sampel dititrasi menggunakan
NaOH 0,1 N sambil digoyang kuat sampai warna pink permanen selama 30 detik.
Kadar asam lemak bebas (%) =
Keterangan :
V = Volume NaOH (ml)
N = Normalitas NaOH hasil standarisasi
M = Berat molekul contoh (sesuai dengan jenis lemak
dominan contoh)
W = Berat sampel beras (g)
3.4. RANCANGAN PERCOBAAN
Rancangan percobaan yang dilakukan pada penelitian ini adalah rancangan acak lengkap
sederhana dengan 3 kali ulangan untuk setiap tingkat konsentrasi bahan nabati. Model matematika
rancangan acak lengkap sederhana adalah:
Yij =  + Ai +  ij
dimana
Yij
= nilai pengamatan

Ai
= nilai rata-rata umum
= pengaruh taraf perlakuan ke-i
 ij
= galat percobaan
20
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. PENELITIAN PENDAHULUAN
Tanaman mindi dipilih untuk dijadikan dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC) ini
karena adanya komponen aktif yang terkandung dalam bahan tersebut yang berpotensi sebagai
insektisida yaitu senyawa golongan azadirachtin, flavonoid, polifenol, saponin dan alkaloid
(Astuti et al. 2006). Banyak penelitian yang sudah dilakukan untuk mengkaji daya insektisida dari
daun mindi, salah satunya oleh Suyani (2003) dengan menggunakan formulasi tepung bahan nabati
dan Sonyaratri (2006) dengan menggunakan ekstrak daun mindi dapat berfungsi efektif sebagai
insektisida dalam menghambat perkembangan serangga Sitophilus zeamais M. pada media
oligidik. Selain itu, kerabat dekat dari tanaman ini yaitu mimba, sudah terlebih dahulu dibentuk
dalam EC. Berdasarkan hal tersebut, maka bahan nabati mindi memiliki potensi untuk
dikembangkan dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC) agar mudah dalam pengaplikasiannya
dan dapat memperkaya bahan nabati yang dapat dibentuk dalam bentuk EC.
Beras yang digunakan dalam penelitian ini adalah varietas Cisadane karena dari laporan
Susetyorini (1985), beras ini memiliki tingkat kekerasan yang rendah sehingga sangat peka
terhadap serangan Sitophiulus zeamais. Tingkat kekerasan beras mempengaruhi peletakan telur
oleh Sitophilus zeamais. Hal ini disebabkan sebelum menyusup, Sitophilus zeamais betina akan
membuat lubang dengan mencungkil permukaan biji dengan menggunakan rostrum-nya dan
meletakkan telurnya pada lubang tersebut. Oleh karena itu, beras varietas ini dipilih agar dapat
melihat bahwa ekstrak bahan nabatilah yang mencegah peneluran serangga dan bukan tingkat
kekerasan beras yang digunakan sebagai media. Pada penelitian ini tidak mengamati mortalitas
paretal atau turunan dari Sitophilus zeamais karena tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengkaji efek insektisida nabati atau daya hambat dari bahan nabati terhadap perkembangan S.
zeamais dan bukan terhadap mortalitasnya serta adanya dugaan dugaan bahwa bahan nabati yang
diuji hanya mempunyai daya hambat berupa daya tolak (repellent) dan atau daya mengurangi
selera makan (anti feedant) saja sehingga tidak akan memberikan efek kematian secara langsung.
Hal ini didukung oleh pendapat Wudianto (2008) yang menyatakan bahwa bahan nabati yang
memiliki daya hambat umumnya disebabkan karena adanya daya tolak (repellent) dan daya
pencegah makan (antifeedant).
Proses pembuatan ekstrak dari daun mindi dilakukan dengan metode maserasi. Maserasi
merupakan proses perendaman sampel dengan pelarut yang digunakan, pada temperatur ruangan.
Metode maserasi dipilih karena metode ini murah dan mudah dilakukan (Husnah 2009), selain itu
umumnya metode ini digunakan untuk pembuatan insektisida nabati dalam bentuk EC. Pelarut
yang digunakan yaitu heksana yang memiliki karakteristik sangat tidak polar, volatil, dan
mempunyai bau khas yang dapat menyebabkan pingsan (Scheflan dan Mossses 1983). Menurut
Asih et al. (2010) salah satu komponen yang dapat terekstrak dengan pelarut heksana adalah
senyawa golongan triterpenoid yaitu senyawa yang terdapat pada daun mindi dan berfungsi
sebagai insektisida. Senyawa dalam daun mindi yag tergolong dalam golongan triterpenoid yang
dapat berfungsi sebagai insektisida yaitu meliacarpin (C35H44O16) (Ghany et al. 2012). Selain itu,
metode ini juga dilakukan oleh Setiawan (2010) untuk mengkaji daya insektisida pada daun
mimba dan Sonyaratri (2006) yang mengkaji daya insektisida pada daun mindi dan mimba. Hasil
dari kedua penelitian tersebut adalah kedua ekstrak daun yang di ekstrak dengan metode maserasi
menggunakan pelarut heksana dapat bekerja efektif untuk menghambat perkembangan dari
21
serangga hama gudang. Oleh karena itu, metode maserasi dengan pelarut heksana dipilih dalam
penelitian ini dan diharapkan hasilnya sesuai dengan penelitian terdahulu.
Pada penelitian pendahuluan, volume yang efektif untuk disemprotkan adalah 6 ml. Pada
volume ini, beras yang disemprot dalam wadah gelas plastik tidak terlalu banyak ataupun terlalu
sedikit. Apabila volumenya di atas itu maka akan lebih banyak cairan emulsi dibandingkan beras
yang ada sehingga akan menyebabkan beras tersebut menjadi basah dan akan lebih mudah
mengalami kerusakan karena terserang kapang. Apabila volumenya di bawah 6 ml, cairan emulsi
yang disemprotkan tidak merata sehingga dapat menyebabkan tidak efektifnya ekstrak bahan
nabati.
Untuk pembuatan emulsifiable concentrate. (EC), bahan-bahan yang diperlukan yaitu
ekstrak bahan nabati, bahan pembawa, dan bahan pengemulsi (Wudianto 2008). Bahan pembawa
yang digunakan adalah metanol. Metanol dipilih karena sifatnya yang polar dan memiliki
kelarutan yang tinggi dalam air serta mudah ditemukan dan harganya ekonomis (Lestari et al.
2011). Bahan pengemulsi yang digunakan adalah Alkyl Benzene Sulfonat (ABS). Sifat-sifat dari
Alkyl Benzene Sulfonat (ABS) antara lain adalah titik didihnya 327,61 0C, titik lelehnya 2,78 0C,
densitasnya 855,065 Kg/m3,dan memiliki wujud yang cair (Kirk dan Othmer 1981). Pemilihan
metanol dan alkyl benzene sulfonat dalam penelitian ini didasarkan pada penelitian yang telah
dilakukan oleh Dwiningsih (2003) tentang pembuatan emulsifiable concentrate (EC) dari biji dan
bungkil mimba. Pada penelitian tersebut, bahan pengemulsi yang efektif untuk pembuatan EC
adalah alkyl benzene sulfonat karena stabil selama pengamatan dibandingkan dengan pengemulsi
lain seperti latron. Selain itu, penentuan konsentrasi bahan pembawa dan pengemulsi ini juga
didasarkan pada penelitian Dwiningsih (2003). Konsentrasi yang efektif untuk bahan pembawa
adalah 70 % dan untuk bahan pengemulsi adalah 10-15%. Perbandingan metanol dan alkyl
benzene sulfonat yang ditambahkan adalah sebesar 5:1 (Prijono 2011). Untuk konsentrasi bahan
nabati yang efektif untuk dijadikan sebagai larutan stok adalah 20 %. Penampakan dari larutan
stok tersebut dapat dilihat pada Gambar 5.
Gambar 5. Konsentrasi Larutan Stok 20%
Konsentrasi 20 % tersebut didapatkan dari uji beberapa variasi konsentrasi yang
ditambahkan yaitu 20 %, 25 %, 30 %, 35 % dan 40%. Konsentrasi tersebut sesuai dengan hasil
penelitian yang dilakukan oleh Prijono (2011) bahwa untuk penambahan ekstrak bahan nabati
pada EC tidak boleh lebih dari 20 % karena akan menyebabkan emulsi yang terbentuk tidak stabil.
Untuk konsentrasi di atas 20% akan terjadi pemisahan antara ekstrak dengan bahan pembawa dan
bahan pengemulsi. Hal itu dapat terjadi diduga karena semakin meningkatnya konsentrasi bahan
nabati maka konsentrasi bahan pengemulsi yang ditambahkan semakin menurun. Perbandingan
22
konsentrasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Dengan menurunnya konsentrasi bahan
pengemulsi ini, maka akan menurunkan kestabilan dari emulsi yang terbentuk. Bahan pengemulsi
atau emulsifier ini berfungsi sebagai surfaktan yang dapat menurunkan tegangan permukaan antar
muka minyak-air dan membentuk lapisan antar muka yang viscous sehingga mencegah terjadinya
pembentukan emulsi yang tidak sempurna (terbentuknya droplet berukuran besar). Terbentuknya
droplet-droplet besar dan sifatnya irreversibel adalah sistem emulsi yang tidak dapat terbentuk
kembali menjadi sistem emulsi seperti yang dijelaskan Issacs dan Chow (1992). Gambar dari
formulasi EC yang tidak stabil dapat dilihat pada Lampiran 11.
Setelah konsentrasi larutan stok diperoleh, dilanjutkan dengan pembuatan konsentrasi yang
akan disemprotkan yaitu 0 %, 4 %, 8 %, 12 %, dan 16 %. Konsentrasi terendah (4 %) pada variasi
konsentrasi yang disemprotkan didasarkan pada penelitian tentang kajian insektisida daun mindi
yang dilakukan oleh Sonyaratri (2006). Konsentrasi tersebut sangat efektif untuk menghambat
perkembangan serangga pada media oligidik. Variasi konsentrasi seterusnya merupakan
kelipatannya agar konsentrasi yang diterapkan seragam. Konsentrasi tersebut diperoleh dari larutan
stok dengan prinsip pengenceran. Volume yang disemprotkan sebanyak 6 ml didasarkan pada
penelitian yang telah dilakukan sebelumnya. Untuk penampakan dari larutan emulsi dengan
konsentrasi 4 % yang siap disemprotkan dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Larutan Emulsi Konsentrasi 4 %
4.2. PENELITIAN UTAMA
Pengamatan yang dilakukan pada media beras setelah disimpan selama 5 minggu meliputi
jumlah populasi serangga dewasa (Nt), persen biji berlubang (% BB), persen kehilangan bobot (%
KB), persen fraksi bubuk yang timbul (% frass), kadar air serta asam lemak bebas. Pada penelitian
ini digunakan kontrol absolut yaitu media beras tanpa penambahan ekstrak, bahan pembawa
ataupun bahan pengemulsi.
4.2.1. Jumlah Total Populasi Serangga (Nt)
Nilai jumlah total populasi serangga (Nt) menunjukkan pengaruh penambahan berbagai
konsentrasi ekstrak daun mindi dalam EC terhadap tingkat perkembangan S. zeamais, dengan
populasi awal 25 ekor untuk tiap perlakuan. Hasil pengamatan terhadap jumlah total populasi
seranga dewasa dapat dilihat pada Tabel 5.
23
Tabel 5. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap jumlah serangga dewasa S.
zeamais pada media beras selama penyimpanan
Konsentrasi (%)
Jumlah populasi serangga dewasa (ekor)
Kontrol
1799,67 c
0
341,33 a
4
734,67 b
8
825,33 b
12
734,67 b
16
422,00 a
Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji
Duncan, p<0,05)
Jumlah Serangga yang
Mati (%)
Dari Tabel 5 terlihat bahwa adanya variasi konsentrasi berpengaruh nyata pada jumlah
populasi serangga dewasa pada taraf 0,05 (Lampiran 1b). Hasil uji lanjut Duncan terhadap jumlah
populasi serangga dewasa pada berbagai variasi konsentrasi (Lampiran 1c) menunjukkan bahwa
jumlah populasi terendah yaitu pada konsentrasi 0 % dan 16 % yang berbeda nyata (p<0,05)
dengan kontrol, konsentrasi 4 %, 8 %, dan 12 %. Namun, jumlah populasi terendah ditunjukkan
oleh konsentrasi 0 % yang tidak memiliki ekstrak daun mindi. Hasil ini menunjukkan adanya
pengaruh selain dari ekstrak bahan nabati yaitu dari bahan pembawa dan bahan pengemulsi.
Pernyataan ini didukung dengan adanya uji retensi yang dilakukan terhadap EC dengan
konsentrasi 0 % (tanpa ekstrak bahan nabati), 8 %, dan 16 % seperti yang terlihat pada Gambar 7.
Uji Retensi Formulasi EC
15
0
10
8
5
16
0
0
2
4
6
8
10
Hari
Gambar 7. Grafik uji retensi dari emulsifiable concentrate (ec) dengan konsentrasi 0 %, 8 %, dan
16 % dalam waktu 9 hari.
Pada Gambar 7 terlihat pada konsentrasi 0 % setelah disemprotkan dan didiamkan selama
satu hari, serangga S. zeamais yang mati adalah sebanyak 14 % dari yang diinfestasikan pada
awalnya sebanyak 100 ekor. Pada konsentrasi 8 % dan 16 % yang diberikan perlakuan ekstrak
daun mindi tidak menyebabkan kematian pada serangga hingga hari terakhir. Hal ini dapat terjadi
karena karakteristik dari bahan pengemulsi yang digunakan (alkyl benzene sulfonat) memiliki sifat
yang mudah terbakar dan beracun (Kirk dan Othmer 1981). Adanya campuran bahan pembawa
(metanol) dan bahan pengemulsi (alkyl benzene sulfonat) dapat memberikan dampak kematian
pada serangga yang baru diinfestasikan dan akibatnya berpengaruh pada menurunnya jumlah
24
populasi serangga dewasa turunannya (F1) dan parameter kerusakan lainnya. Dari percobaan ini
terlihat adanya interaksi antara alkyl benzene sulfonat dengan bahan aktif mindi. Sifat mudah
terbakar dan beracun dari senyawa tersebut nampaknya dapat diredam oleh bahan aktif dalam
ekstrak mindi. Oleh karena pengaruh yang ingin dilihat pada penelitian ini adalah ekstrak daun
mindi, maka konsentrasi 0 % tidak dijadikan sebagai perbandingan dengan konsentrasi lain yang
diberikan pengaruh ekstrak daun mindi (konsentrasi 4 %, 8 %, 12 %, dan 16 %).
Ekstrak nabati yang dicampurkan pada media beras, sebagian besar akan melapisi
permukaan beras dan diduga sebagian kecil akan masuk ke dalam bulir beras dan berada pada
lapisan pericarp. Adanya ekstrak nabati di bagian permukaan beras dapat menimbulkan bau atau
aroma yang dapat mengusir serangga. Dengan adanya bau ini maka serangga akan meninggalkan
beras dan tidak mau meletakkan telur di dalam butir beras karena serangga tidak bertelur di
sembarang tempat, namun hanya tempat-tempat yang nantinya sesuai untuk makanan
keturunannya. Hal ini sesuai dengan data yang ditunjukkan pada Tabel 5 yaitu jumlah populasi
serangga yang dihasilkan menurun dengan meningkatnya konsentrasi ekstrak bahan nabati yang
ditambahkan.
4.2.2. Persen Biji Berlubang (% BB)
Parameter yang dapat digunakan untuk melihat tingkat kerusakan beras atau biji-bijian yang
disimpan yaitu persen biji berlubang. Serangan serangga menyebabkan kerusakan pada bahan
pangan yang gejalanya dapat terlihat secara visual seperti adanya lubang gerek, lubang keluar (exit
holes), garukan pada butir beras serta timbulnya gumpalan, bubuk dan adanya kotoran (Pranata
1982). Persen biji berlubang ini memiliki kaitan yang sangat kuat dengan jumlah populasi
serangga. Semakin banyak jumlah populasi serangga maka persen biji berlubang yang dihasilkan
semakin banyak. Hasil pengamatan terhadap persen biji berlubang dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap persentase biji berlubang
pada media beras yang diinfestasi S. zeamais selama penyimpanan
Konsentrasi (%)
Persen biji berlubang (%)
Kontrol
77,19 d
0
18,69 a
4
54,59 c
8
47,00 c
12
35,20 b
16
22,52 a
Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama
lain (Uji Duncan, p<0,05)
Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui bahwa konsentrasi ekstrak nabati dalam
formula berpengaruh nyata terhadap persen biji berlubang pada taraf 0,05 (Lampiran 2b). Hasil uji
lanjut Duncan terhadap persen biji berlubang pada variasi konsentrasi (Lampiran 2c) menunjukkan
bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak daun mindi yang diberikan maka persen biji berlubang
yang dihasilkan semakin menurun. Selain itu, dapat dilihat bahwa dengan adanya penambahan
ekstrak daun mindi dapat menurunkan persen biji berlubang secara nyata (p<0,05) dari sampel
25
kontrol yang tidak diberi perlakuan sama sekali. Pada konsentrasi 16 %, persen biji berlubang
berbeda nyata (p<0,05) dengan konsentrasi lainnya. Sementara itu, Persen biji berlubang pada
konsentrasi 4% dan 8% hasilnya tidak berbeda nyata (p<0,05). Hal ini dapat terjadi karena
insektisida nabati memiliki daya repellent dan antifeedant. Daya hambat atau repellent ini terjadi
karena serangga sebelum memakan bahan makanannya akan melakukan proses pengenalan dan
orientasi terhadap calon makanannya (Atkins 1980). Namun, pada media beras yang diberi
perlakuan ekstrak daun mindi memiliki bau atau aroma yang tidak disukai oleh serangga karena
ekstrak mindi tersebut melapisi permukaan dari media beras dan ada sebagian yang masuk ke
dalam lapisan perikarp beras.
Persen biji berlubang terendah dihasilkan pada sampel yang diberi perlakuan konsentrasi
bahan aktif 0 %. Hal ini sudah dijelaskan penyebabnya pada penjelasan jumlah total populasi
serangga. Persen biji berlubang dipengaruhi oleh kekerasan endosperma, kandungan protein,
amilosa, lemak, ukuran granula, kerapatan kulit, dan kadar air. Biji beras yang memiliki
kandungan nutrisi yang tinggi, kadar air yang tinggi dan tidak keras, akan mendukung
pertumbuhan Sitophilus zeamais. Selain itu, hal yang dapat mempengaruhi tingginya biji
berlubang adalah adanya infestasi telur lebih dari satu dalam satu biji (Campbel 2001).
4.2.3. Persen Kehilangan Bobot (% KB)
Persen kehilangan bobot merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui
tingkat kerusakan beras, walaupun tidak menunjukkan tingkat kehilangan secara spesifik karena
adanya hidden infestasion. Persen kehilangan bobot ini terjadi karena kegiatan serangga yang
memakan beras untuk bertahan hidup dan berkembang biak sehingga bobot beras semakin
berkurang dengan semakin banyaknya serangga yang berkembang biak (jumlah total populasi
serangga). Hasil pengamatan terhadap persen kehilangan bobot dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap persentase kehilangan bobot
pada media beras yang diinfestasi S. zeamais selama penyimpanan
Konsentrasi (%)
Persen kehilangan bobot (%)
Kontrol
36,88 d
0
7,53 a
4
22,11 c
8
24,05 c
12
18,40 b
16
6,16 a
Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji
Duncan, p<0,05)
Pada Tabel 7 terlihat peningkatan konsentrasi ekstrak daun mindi dapat menurunkan
persentase kehilangan bobot selama penyimpanan. Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui
bahwa variasi konsentrasi berpengaruh nyata terhadap persen kehilangan bobot pada taraf 0,05
(Lampiran 3b). Hasil uji lanjut Duncan terhadap persen kehilangan bobot pada variasi konsentrasi
(Lampiran 3c) menunjukkan bahwa persen kehilangan bobot terbesar terjadi pada konsentrasi 8 %,
tetapi hasil ini tidak berbeda nyata (p<0,05) dengan konsentrasi 4 %. Persen kehilangan bobot
26
terkecil yaitu sebesar 6,16 % terdapat pada konsentrasi 16 % yang berbeda nyata (p<0,05) dengan
konsentrasi yang lain termasuk konsentrasi 0 %. Dengan adanya penambahan ekstrak bahan
nabati, dapat menurunkan persen kehilangan bobot secara nyata (p<0,05) yang dibandingkan
dengan kontrol.
4.2.4. Persen Fraksi Bubuk Yang Timbul (% Frass)
Frass adalah bubuk hasil sisa-sisa makanan serangga dengan berbagai fraksi lain yang
dapat diukur dengan menimbangnya dengan neraca. Bubuk atau tepung yang timbul berada
diantara butir-butir beras yang masih utuh dan secara fisik beras menjadi keropos karena serangan
serangga. Makin banyak biji berlubang maka makin banyak frass-nya. Persen fraksi bubuk ini
merupakan parameter yang dapat digunakan untuk mengetahui kerusakan beras akibat infestasi
dan serangan serangga. Hasil pengamatan terhadap % frass dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap persen frass pada media beras
yang diinfestasi S. zeamais selama penyimpanan
Konsentrasi (%)
Persen frass
Kontrol
7,69 c
0
1,41 a
4
5,33 b
8
5,02 b
12
4,96 b
16
4,29 b
Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama lain (Uji
Duncan, p<0,05)
Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui bahwa variasi konsentrasi berpengaruh nyata
terhadap persen frass pada taraf 0,05 (Lampiran 4b). Hasil uji lanjut Duncan terhadap persen frass
pada variasi konsentrasi (Lampiran 4c) menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi ekstrak
daun mindi yang diberikan maka persen frass yang dihasilkan semakin menurun kecuali untuk
data konsentrasi 0 % yang memiliki hasil terkecil dan penyebabnya sudah dijelaskan sebelumya
pada pembahasan jumlah populasi serangga dewasa. Dengan adanya penambahan ekstrak daun
mindi. Apabila dibandingkan dengan kontrol, hasilnya berbeda nyata (p<0,05) dengan adanya
penambahan ekstrak daun mindi.
4.2.5. Kadar Air
Pengukuran kadar air dimaksudkan untuk melihat perubahan setelah infestasi dan akibat
perkembangan serangga setelah 5 minggu penyimpanan. Kadar air beras sebelum infestasi sebesar
14,03 %. Hasil pengamatan kadar air beras setelah penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 9.
27
Tabel 9. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap kadar air pada media beras
yang diinfestasi S. zeamais selama penyimpanan
Konsentrasi (%)
Kadar air (%)
Kontrol
20,32 f
0
14,23 a
4
18,92 e
8
18,77 d
12
18,54 c
16
18,20 b
Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama
lain (Uji Duncan, p<0,05)
Dari Tabel 9 dapat dilihat kadar air yang terbentuk lebih tinggi dibandingkan dengan kadar
air sebelum penyimpanan (14,03 %) (Lampiran 5a). Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui
bahwa variasi konsentrasi berpengaruh nyata terhadap kadar air pada taraf 0,05 (Lampiran 5c).
Hasil uji lanjut Duncan terhadap kadar air pada variasi konsentrasi (Lampiran 5d) menunjukkan
berbeda nyata (p<0,05) untuk semua sampel. Hal ini dapat terjadi karena serangga dapat
mengakibatkan meningkatnya kadar air bahan yang disimpan dan juga dapat meningkatkan suhu
secara lokal yang dapat mengakibatkan kerusakan. Meningkatnya kadar air bahan setelah infestasi
disebabkan adanya proses respirasi oleh serangga, metabolisme dari biji-bijian yang disimpan,
serta migrasi air air dari lingkungan (Hall 1970). Suhu dan kadar air bahan adalah dua faktor fisik
yang sangat berpengaruh terhadap kerusakan biji-bijian selama penyimpanan (Dharmaputra 1994).
4.2.6. Asam Lemak Bebas
Parameter yang dapat digunakan untuk melihat kerusakan beras yaitu asam lemak bebas.
Menurut Juliano (1995) lemak di beras akan mengalami penurunan setelah 6 bulan disimpan dan
asam lemaknya akan mengami peningkatan. Kadar asam lemak bebas awal pada beras sebesar
1,94 % (Lampiran 7a). Proses oksidasi dari lemak ini akan menghasilkan senyawa keton dan
aldehid yang mengakibatkan kerusakan selama penyimpanan. Hasil pengamatan asam lemak bebas
beras setelah penyimpanan dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10. Pengaruh berbagai konsentrasi ekstrak daun mindi terhadap asam lemak bebas pada
media beras yang diinfestasi S.zeamais selama penyimpanan
Konsentrasi (%)
Asam lemak bebas (%)
Kontrol
5,51
f
0
2,41
a
4
4,60
e
8
4,22 d
12
3,77 c
16
3,17 b
28
Keterangan : Angka-angka dengan huruf yang sama dalam satu kolom tidak berbeda nyata satu sama
lain (Uji Duncan, p<0,05)
Berdasarkan analisis ragam dapat diketahui bahwa variasi konsentrasi berpengaruh nyata
terhadap asam lemak bebas pada taraf 0,05 (Lampiran 7c). Hasil uji lanjut Duncan terhadap asam
lemak bebas pada variasi konsentrasi (Lampiran 7d) menunjukkan berbeda nyata (p<0,05) untuk
semua sampel. Asam lemak bebas pada sampel beras yang sudah mengalami penyimpanan
mengalami peningkatan yang cukup signifikan bila dibandingkan dengan kadar asam lemak bebas
pada sampel awal (1,94 %). Hal ini terjadi karena adanya faktor penyimpanan yang menyebabkan
lemak pada beras dihidrolisis oleh enzim lipase menjadi asam lemak bebas. Lemak dalam beras
terdapat pada badan lipid (spherosome) dan enzim lipase terdapat pada membran badan lipid. Saat
beras rusak, membran sel menjadi rusak sehingga enzim lipase bercampur dengan lemak dan
merusak lemak tersebut dan menghasilkna asam lemak bebas. Selain itu, air mempunyai pengaruh
pada reaksi yang terjadi dan pengaruh ini pada dasarnya membantu terjadinya kontak antara
substrat dengan enzim. Faktor-faktor yang dapat menentukan tingginya asam lemak bebas yaitu
suhu, pengaruh penambahan air, dan pengaruh lama penyimpanan. Apabila suhu semakin tinggi
maka reaksi pembentukan asam lemak bebas menjadi tinggi juga. Untuk lama penyimpanan, asam
lemak bebas bisa terbentuk karena adanya mikroba yang tumbuh atau karena hidrolisis dengan
bantuan katalis enzim lipase. Enzim lipase aktif pada permukaan (interface) antara lapisan minyak
dan air (Murty et al. 2002). Adanya air pada beras tersebut sesuai dengan hasil pengukuran kadar
air yang semakin meningkat dibandingkan dengan kontrol. Asam lemak bebas yang diukur pada
penelitian ini adalah asam linoleat yang dominan terdapat di beras (Lee et al. 1965; Rusydi 2011).
4.3. KORELASI ANTAR PARAMETER KERUSAKAN PADA BERAS
Serangga tidak hanya memakan bahan makanan yang disimpan, tetapi juga menyebabkan
kontaminasi terhadap bahan pangan yang disimpan dan dapat mencemari bahan pangan.
Pengamatan dan analisis yang dilakukan berguna untuk mengetahui sejauh mana kerusakan yang
disebabkan oleh serangga sehingga dapat diambil tindakan untuk melindungi bahan pangan yang
disimpan. Parameter kerusakan yang diamati pada penelitian ini meliputi jumlah populasi serangga
dewasa (Nt), persen biji berlubang (% BB), persen kehilangan bobot (% KB), persen fraksi bubuk
yang timbul (% frass), kadar air dan asam lemak bebas. Untuk mengetahui hubungan antar
parameter tersebut maka dilakukan uji korelasi secara statistik. Hasil uji korelasi tersebut dapat
dilihat pada Tabel 11.
Berdasarkan analisis ragam pada Lampiran 8, seluruh parameter kerusakan pada beras
memiliki pengaruh yang nyata pada taraf 0,01. Angka yang ditunjukkan pada Tabel 9 tidak ada
korelasi yang negatif. Semua parameter tersebut memiliki korelasi positif artinya semakin tinggi
suatu parameter maka parameter lain yang berhubungan akan semakin tinggi pula. Apabila nilai
koefisien korelasi semakin mendekati 1 maka korelasi sangat kuat antar variabel. Uji korelasi ini
hanya mengukur kekuatan hubungan linier variabel dan dan tidak pada hubungan non linier.
Apabila ada hubungan linier yang kuat di antara variabel tidak selalu berarti ada hubungan
kausalitas (sebab-akibat). Dengan demikian, korelasi hanya menjelaskan kekuatan hubungan tanpa
memperhatikan hubungan kausalitas (Anonim 2011).
29
Tabel 11. Hasil uji korelasi parameter-parameter yang mempengaruhi perkembangan S.zeamais.
Korelasi Antar Parameter
Koefisien Korelasi
Nt – % BB
0,936**
Nt – % KB
0,920**
Nt – % frass
0,882**
Nt – Kadar air
0,726**
Nt – Asam lemak bebas
0,906**
% BB – % KB
0,951**
% BB – % frass
0,815**
% BB – Kadar air
0,762**
% BB – Asam lemak bebas
0,964**
% KB – % frass
0,770**
% KB – Kadar air
0,719**
% KB – Asam lemak bebas
0,919**
% frass – Kadar air
0,885**
% frass – Asam lemak bebas
0,859**
Kadar air – Asam lemak bebas
0,876**
Keterangan : *) Korelasi nyata (taraf nyata 0,05)
**
) Korelasi sangat nyata (taraf nyata 0,01)
Untuk jumlah populasi serangga dewasa (Nt) memiliki korelasi yang nyata dengan seluruh
parameter kerusakan yang lainnya pada taraf 0,01. Sebagai contoh, untuk jumlah total populasi
serangga dengan persen biji berlubang (% BB) memiliki angka korelasi sebesar 0,936 dan
memiliki korelasi yang sangat nyata pada taraf 0,01. Angka korelasi tersebut menunjukkan bahwa
korelasinya sangat kuat antar variabel tersebut. Semakin mendekatinya angka korelasi dengan
angka satu maka korelasi tersebut sangat kuat. Korelasi antar variabel tersebut memiliki hubungan
yang positif yang ditandai dengan tidak adanya tanda negatif pada angka korelasi tersebut. Hal ini
menunjukkan bahwa semakin tingginya jumlah populasi serangga dewasa maka semakin tinggi
pula persen biji berlubang (% BB) yang dihasilkan. Arti untuk semua variabel pada uji korelasi
antar parameter ini sama karena semua angka pada korelasi tersebut umumnya mendekati satu,
memiliki hubungan yang positif dan hubungannya sangat nyata pada taraf 0,01.
Kadar air berpengaruh nyata pada semua parameter. Kadar air merupakan faktor yang
penting dalam penyimpanan biji-bijian. Menurut Masmawati (2007), kadar air bahan produk
pertanian sangat berpengaruh pada intensitas kerusakan yang sangat tinggi. Salah satu faktor
penyebab tingginya kadar air yaitu proses respirasi. Proses respirasi yang terjadi pada
penyimpanan biji-bijian merupakan gabungan dari proses respirasi yang dilakukan oleh biji
tersebut, serangga, dan kapang. Biji-bijian yang disimpan terdiri dari sel hidup sehingga selama
penyimpanan tetap hidup secara fisiologis dan tetap melakukan proses respirasi. Laju respirasi
pada penyimpanan biji-bijian sebagian besar tergantung pada kadar air. Pada kondisi suhu yang
tetap, makin besar kadar air, laju respirasi bertambah besar. Selain itu, laju respirasi akan semakin
meningkat dengan meningkatnya suhu (Wijandi et al. 1976). Apabila kadar air dan suhu
meningkat, maka akan menyebabkan kerusakan lebih cepat terjadi. Hal ini disebabkan karena
30
kecepatan respirasi, reaksi-reaksi kimia, dan enzimatik menjadi lebih intensif pada suhu yang
tinggi. Ditambah lagi dengan kondisi iklim Indonesia yang tidak menguntungkan karena suhu dan
RH yang relatif tinggi. Kombinasi RH dan suhu tinggi ini menguntungkan bagi perkembangan
hama gudang dan jasad renik lainnya (Wijandi et al. 1976). Akibat lain yang dapat disebabkan
oleh proses respirasi ini yaitu timbulnya hot spot. Hot spot ini merupakan hasil dari pelepasan
energi selama respirasi aerobik yang digunakan oleh sel sebagai bahan bakar untuk proses
metabolik. Selain itu, hot spot ini juga dapat disebabkan oleh adanya kapang yang dapat merusak
germinasi biji (Dharmaputra 1994).
Untuk pengaruh terhadap asam lemak, semakin tinggi kadar air maka asam lemak bebas
yang terbentuk semakin tinggi pula karena air ini dapat berfungsi sebagai media kontak antara
substrat dan enzim lipase untuk memecah lemak menjadi asam lemak bebas (Lee et al. 1965).
Selain itu, kegiatan infestasi oleh serangga menyebabkan kondisi yang optimum untuk kapang
tumbuh. Dengan adanya serangan dari kapang ini, kerugian yang timbul pada beras yaitu
penurunan nutrisi termasuk meningkatnya asam lemak bebas (Dharmaputra 1994). Selain itu,
lemak juga dibutuhkan serangga untuk persediaan energi dan perkembangan sayap (Dharmaputra
et al. 1993), sehingga sesuai dengan data yang terdapat pada Tabel 11, seluruh parameter
kerusakan beras berkolerasi positif dengan peningkatan asam lemak bebas.
Dalam penelitian ini dapat disimpulkan bahwa insektisida nabati dari ekstrak daun mindi
dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC) efektif untuk menurunkan serangan serangga S.
zeamais pada beras selama penyimpanan. Hal ini dapat dilihat dari parameter kerusakan yang
diamati yaitu jumlah populasi serangga dewasa, persen biji berlubang (% BB), persen kehilangan
bobot (% KB), % frass, kadar air, dan asam lemak bebas cenderung menurun dengan
meningkatnya ekstrak mindi yang ditambahkan. Hal ini diduga karena insektisida nabati memiliki
daya repellent dan antifeedant yang menyebabkan serangga enggan untuk memakan media beras
yang telah diberi perlakuan ekstrak bahan nabati. Untuk hasil penelitian uji retensi formula EC
pada konsentrasi 0 %, 8 %, dan 16 % membuktikan bahwa adanya pengaruh dari bahan pembawa
(metanol) dan bahan pengemulsi (alkyl benzene sulfonat) yang digunakan. Hal ini dibuktikan
dengan jumlah serangga yang mati yaitu sebanyak 14 % pada saat awal infestasi. Dengan adanya
pengaruh ini, menghasilkan parameter kerusakan beras yang paling kecil. Oleh karena pengaruh
yang ingin dilihat pada penelitian ini yaitu penambahan ekstrak bahan nabati (4 %, 8 %, 12 %, dan
16 %) maka konsentrasi 0 % tidak bisa dijadikan sebagai perbandingan. Konsentrasi yang efektif
untuk menghambat serangan S. zeamais yaitu 16 %, karena pada konsentrasi ini seluruh parameter
kerusakan menghasilkan perbedaan yang nyata dengan konsentrasi ekstrak bahan nabati lainnya (4
%, 8 %, 12 % dan 16 %). Hasil uji korelasi antar parameter kerusakan beras menggunakan uji
statistik menunjukkan bahwa seluruh parameter memiliki korelasi yang sangat kuat pada taraf
0,01.
31
V.
SIMPULAN DAN SARAN
5.1. SIMPULAN
Penelitian pembuatan insektisida dalam bentuk emulsifiable concentrate (EC) dari ekstrak
daun mindi menunjukkan hasil yang efektif dalam menurunkan kerusakan pada media beras
selama penyimpanan. Hal ini diperkuat dengan hasil penelitian yang menunjukkan bahwa
kerusakan yang terjadi lebih rendah jika dibandingkan dengan kontrol yang tidak diberi perlakuan
apapun dan analisis statistik menunjukkan berbeda nyata pada taraf 0,05. Parameter kerusakan
yang dijadikan acuan antara lain jumlah populasi serangga (Nt), persen biji berlubang (% BB),
persen kehilangan bobot (% KB), persen fraksi yang timbul (% frass), kadar air dan asam lemak
bebas.
Hasil uji retensi insektisida nabati menunjukkan bahwa pada konsentrasi 0 % terjadi
kematian serangga S. zeamais sebanyak 14 % setelah satu hari masa infestasi. Namun, untuk
konsentrasi 8 % dan 16 % tidak menimbulkan mortalitas pada serangga selama waktu inkubasi.
Hal ini membuktikan adanya pengaruh dari bahan pembawa (metanol) dan bahan pengemulsi
(alkyl benzene sulfonat) yang diformulasikan terhadap perkembangan serangga dan kerusakan
yang terjadi pada media beras. Salah satu penyebabnya adalah bahan pengemulsi memiliki sifat
mudah terbakar dan beracun sehingga dapat mempengaruhi serangga pada saat infestasi awal
kontak dengan media beras yang disemprotkan EC. Berdasarkan hasil penelitian dan uji statistik
yang dilakukan menunjukkan bahwa konsentrasi yang efektif dalam menghambat kerusakan pada
media beras selama penyimpanan yaitu 16 %. Pada konsentrasi ini, semua parameter kerusakan
yang dijadikan acuan dapat menurun dan hasil uji statistik menunjukkan berbeda nyata pada taraf
0,05 terhadap konsentrasi yang lainnya. Namun, EC yang dibuat dengan konsentrasi 16 % belum
bisa menghambat secara total perkembangan dari serangga S. zeamais selama penyimpanan.
Hasil uji korelasi antar parameter kerusakan beras menunjukkan bahwa parameter jumlah
populasi serangga dewasa (Nt), persen biji berlubang, persen kehilangan bobot, persen bubuk yang
timbul, kadar air dan asam lemak bebas memiliki korelasi positif yang sangat nyata. Dari
penelitian ini dapat disimpulkan bahwa konsentrasi ekstrak bahan nabati dari daun mindi yang
efektif dalam menurunkan kerusakan pada media beras selama penyimpanan adalah 16 %.
5.2. SARAN
1.
2.
3.
Saran yang disampaikan untuk penelitian lebih lanjut, antara lain :
Untuk mendapatkan EC yang lebih baik, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut lagi tentang
bahan pembawa, bahan pengemulsi atau bahan lainnya yang dapat membuat tersebut lebih
stabil dan bisa diaplikasikan pada produk serealia lainnya.
Untuk mengetahui EC ini bisa diterapkan pada bahan serealia maka harus dilakukan uji lanjut
seperti uji cooking quality dengan menggunakan instruimen yaitu texture analyzer, evaluasi
sensori dan uji lain yang mendukung agar mengetahui apakah EC ini bisa diterapkan pada
bahan serealia yang biasa dikonsumsi oleh manusia.
Agar dapat memperkaya bahan nabati yang dapat diterapkan dalam EC, maka perlu
dilakukan penelitian dari bahan nabati lain yang ada di Indonesia yang memiliki potensi lebih
baik dibandingkan yang sudah ada.
32
4.
5.
6.
Uji kestabilan bahan aktif dan umur simpan dari EC perlu dilakukan untuk mengetahui
sampai berapa lama tersebut dapat disimpan dan diaplikasikan oleh petani di lapangan.
Perlu dilakukan penelitian tentang bentuk lain yang lebih efektif untuk bisa diaplikasikan
pada bahan pangan/serealia.
Beras pecah kulit memiliki kandungan nutrisi yang baik untuk pertumbuhan serangga
dibandingkan beras sosoh sehingga perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang bahan
serealia lain yang tidak disosoh untuk mengetahui preferensi terhadap bahan pangan serealia
lainnya.
33
DAFTAR PUSTAKA
[AOAC] Association of Analytical Chemist. 1995. Official Method of Analysis 960.52, Chapter
12.1.07, p.7.
[BPS] Badan Pusat Statistik. 2010. Survei Konsumsi Beras. http://www.bps.go.id.php?eng=0. [29
April 2012].
Anonim.
2009.
Material
Safety
Data
Sheet
Ascorbic
acid
http://www.sciencelab.com/xMSDS-Ascorbic_acid-9922972 [29 Juli 2012].
Anonim.
2011.
Korelasi
Pearson
pearson.html. [ 20 April 2012].
MSDS
http://www.smartstat.info/statistika/korelasi/korelasi-
Arbuckle W.S. 1977. Ice Cream Third Edition. Connecticut : Avi Publishing Company.
Arsyad M.N. 2001. Kamus Kimia Arti dan Penjelasan Ilmiah. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Asih A.R., I.W.G. Gunawan, N. M. Desi Ariani. 2010. Isolasi dan Identifikasi Senyawa Golongan
Triterpenoid dari Ekstrak N-Heksana Daun Kepuh (Sterculia foetida L.) Serta Uji Aktivitas
Antiradikal Bebas. Jurnal Kimia 4 (2) : 135 – 140.
Askanovi D. 2011. Kajian Resistensi Beras Pecah Kulit Dan Beras Sosoh Dari Lima Varietas Padi
Unggul Terhadap Serangan Hama Beras Sitophilus oryzae (L.). Skripsi. Bogor : FATETA
IPB.
Atkins M.D. 1980. Introduction to Insects.New York: MacMillan.
Basri S. 1996. Kamus Kimia. Jakarta: Penerbit Rineka Cipta.
Belitz H. D., W. Grosch. 1999. Food Chemistry, Second Edition, Berlin : Springer-Verlag.
Birck N.M.M, I. Lorini , V. M. Scussel. 2003. Interaction Between Pest Infestation And Fungus In
Wheat Grain At Storage Facilities.Microorganism, Mycotoxins, And Other Biological
Contaminants. 9th International Working Conference on Stored Product Protection.
Borror D. J., D. M. Delong. 1964. An Introduction to The Study of Insect. Revised edition Richart
and Winston Inc. New York, London. pp 619 - 623.
Campbell. 2001. Influence of Seed Size On Exploitation By Rice Weevil, Sitophilus zeamais. J.
Insect Behavior 15(3):429-445.
Coupland J.N., D.J. McClements. 1996. Lipid Oxidation in Food Emulsions, Trend in Food
Science & Technology, March (Vol 6) : 83 - 91.
Daintith J. 1994 Kamus Lengkap Kimia. Jakarta: Erlangga.
Departemen Kehutanan. 2001. Mindi. Badan penelitian dan Pengembangan Kehutanan. Jakarta :
Departemen Kehutanan.
Desmarchelier J. M. 1990. A New Look At Aeration Strategy Manual. Australia : CSIRO Division
of Entomology. pp 1173 – 1182.
Dewi I.R. 2007. Prospek Insektisida yang Berasal dari Tumbuhan untuk Menanggulangi
Organisme Pengganggu Tanaman. Bandung : UNPAD.
34
Dharmaputra O.S, H. Halid, H. Susib, Mad A.S.R. 1993. The Effect Of Milling Degree On Fungal
Infection,Protein And Lipid Contents In Milled Rice. In J.O. Naewbanij, A.A. Manilay,
And AS. Frio (Ad.),P R O C D G 16th ASEAN Scrninar On Grain P O S T H S T
Technology, Phuket, Thailand, 24-26 August 1993, pp. 177-195.
Dharmaputra O. S. 1994. Kapang Pada Beras Yang Berasal Dari Beberapa Varietas Padi. Hayati
Vol. 1 (2) : 37-41.
Dobie P.C.P, R.J.Haines, Hodges dan P. F. Prevett. 1984. Insect and Arachnids of Tropical Stored
Products, Their Biology and Identification (A Training manual). London : TDRI
Dwiningsih E. 2003. Formulasi Insektisida Nabati Biji dan Bungkil Mimba dalam Bentuk
Emulsifiable Concentrate (EC). Skripsi. Bogor : FATETA, IPB.
Ferdiansyah I.A. 2006. Ekstraksi Daun Mindi (Melia azedarach Linn) KeringSecara Maserasi
Menggunakan Pelarut Etanol 90%. Skripsi. Malang: FTP UNIBRAW
Folch J., Lees M., and Sloane S. G.H. 1957. A simple method for the isolation and purification of
the total lipids from animal tissues. J. Biol. Chem. 226: 497.
Ghany M., Mohamed F., Heba Y., Mohamed H. M. A., Samy S., El-badawey dan Adel A. H.
2012. Insecticidal Activity of Melia azedarach L. Triterpeniods against Spodoptera
littoralis (Boisd.). Journal of American Science8 (3) : 661 - 667.
Guenther E. 2006. Minyak Atsiri. Jakarta: UI Press
Gusfi V. 2002. Persepsi Petani Sayuran di Cipanans Terhadap Insektisida Sintetis dan Botani.
Skripsi. Bogor : Jurusan Hama dan penyakit Tumbuhan, Fakultas Pertanian.
Haines C. P. and R. I. Pranata. 1982. Result of A Survey of The Insect and Arachnids Associated
With Stored Products In Some Parts of Java. Regional Centre for Tropical Biology. Bogor.
Haines C. P. 1991. Insects And Arachnids Of Tropical Stored Products :Their Biology And
Identification (A Training Manual)Second Edition (Revised). Natural Resources Institute.
pp. 246.
Hall DW. 1970. Handling and Storage of Food Grains in Tropical and Subtropical Areas. Rome:
FAO.
Ham M. 2006. Kamus Kimia. Jakarta: PT Bumi Aksara
Harborne J.B. 1987. Metode Fitokimia Penuntun Cara Modern MenganalisisTumbuhan. Bandung:
ITB.
Hariana A. 2007. Tumbuhan Obat & Khasiatnya. Jakarta:Penebar Swadaya.
Heath J.B. dan Reinessius G. 1987. Flavor Chemistry and Technology. New York: Van Nostrand
Reinhold Co.
Hermani 2004. Gandapura: Pengolahan, Fitokimia, Minyak Atsiri dan Daya Herbisida. Balai
besar penelitian dan pengembangan pascapanen pertanian, Buletin TRO Vol. XV(2) : 1-6.
Hidayat P. 2009. Menuju Penghapusan Penggunaan Metil Bromida Di Pergudangan Di Indonesia.
Dalam : Prijono Djoko, Okky Setyawati Dharmaputra, Sri Widayanti. Pengelolaan Hama
Gudang Terpadu. Bogor:Departemen Proteksi Tanaman, pp: 11 – 17.
Hilmanto R. Etnoekologi. 2010. Bandar Lampung : Universitas lampung.
35
Hirasawa M. 1999. The Kinds of Antibacterial Subtances from Lentinusadobes Singshitake an
Edible Mushroom. International Journal of Antibacterial Agents 11, 1561-157.
Holmberg K., Jonsson B., dan Lindman B. 2003. Surfactant and Polymers in Aqueous Solution.
2nd ed. New York : John Wiley & Sons, Ltd.
Husnah M. 2009. Identifikasi dan Uji Aktivitas Golongan Senyawa Antioksidan Ekstrak Kasar
Buah Pepino (Solanum Muricatum Aiton) Berdasarkan Variasi Pelarut. Skripsi. Jurusan
Kimia Fakultas Sains Dan Teknologi Universitas Islam Negeri (UIN) Malang, Malang.
Isaacs E.E. and Chow R.S. 1992. Practical Aspects of Emulsion Stability. In: Schramm, L.L. ed.
Emulsions Fundamentals and Applications in the Petroleum Industry. Washington, DC:
American Chemical Society.
Juliano B.O. 1995. Concerns for Quality Maintenance During Storage of Cereals and Cereal
Products. Proceedings of the 6th international working conference on Stored product
Protection Volume 2., pp: 663 - 665
Kardinan A. 2011. Penggunaan Pestisida Nabati Sebagai Kearifan Lokal Dalam Pengendalian
Hama Tanaman Menuju Sistem Pertanian Organik. Pengembangan Inovasi Pertanian 4(4),
2011: 262-278.
Kirk R. E. ,D. F. Othmer. 1981. Encyclopedia of Chemical Technology 3rd Ed. New York: John
Wiley & Sons.
Kumar R., Singh R., Meera P. S., Kalidhar S. B.. 2003. Chemical Components And Insecticidal
Properties Of Baka/N (Melia Azedarach L.) A Review. Agric.Rev. 24(2): 101-115.
Kurniawan A.D. 2006. Pengujian Aktivitas dan Mekanisme Antioksidan Ekstrak Gingseng Jawa.
Malang: FTP UNIBRAW.
Lee T., Wei T. W. dan Virginia R. W. 1965. The Effect of Storage Time On The Compositional
Patterns Of Rice Fatty Acids. Manuscript. Louisiana : Louisisana State University.
Lenny S. 2006. Isolasi dan Uji Bioaktivitas Kandungan Kimia Utama PuddingMerah Dengan
Metode Uji Brine Shrimp. Skripsi. Medan: MIPA Universitas Sumatera Utara.
Listyanto.2010. Bududaya Tanaman Mindi. Seri Kehutanan:PT Alam Lestari Maju Indonesia.
Masmawati. 2007. Infestasi Serangga Hama pada Perbedaan Struktur Fisik dan Komposisi Kimia
Bahan. Prosiding Seminar Ilmiah dan Pertemuan Tahunan PEI dan PFI XVIII Komda SulSel.Maros : Balai Penelitian Tanaman Sereal.
McClements D. J. 1999. Food Emulsions, Principles, Practice, and Techniques. New York : CRC
Press.
Murty V. R., Jayadev Bhat, And P. K. A. Muniswaran. 2002. Hydrolysis of Oils By Using
Immobilized Lipase Enzyme: A Review V. Ramachandra. Biotechnol. Bioprocess Eng.
2002, 7: 57-66.
Porter M.R. 1994. Handbook of Surfactant. 2nd ed. Madras : Blackie Academic & Professional.
Pranata R. I. 1982. Pengantar Ilmu Hama Gudang BIOTROP. Bogor : BIOTROP Tropical Pest
Biology.
Prijono D.,O.S. Dharmaputra, S. Widayanti. 2009. Pengelolaan Hama Gudang Terpadu.
Bogor:Departemen Proteksi Tanaman.
36
Prijono D. 2011. Tanya Jawab tentang Pestisida. http://inbot.wordpress.com/konsultasi-gratis/.
[ 20 April 2012].
Rukmana R., Oesman Y. 2002. Nimba Tanaman Penghasil Pestisida Alami. Yogyakarta :
Kanisius.
Rusydi M., Noraliza C. W., Azrina, dan Zulkhairi. 2011. Nutritional changes In Germinated
Legumes And Rice Varieties. International Food Research Journal 18: 705-713.
Saeid Chekaniazar. 2011. A Modified Method of Folch to Facilitate the Analysis Procedure of
Tissue Cholesterol and Triglyceride: Study of Different Extraction Methods. J. Appl.
Environ. Biol. Sci., 1(12) : 716-721.
Samiwahyufiranalah.1998. Mempelajari Pengaruh Ekstrak N-Heksana Dan Ekstrak Aseton Biji
Pala (Myristica Fragrans Houtt.) Terhadap Perkembangan Serangga Hama Gudang
Sitophilus zeamais Motsch. Pada Beras Selama Penyimpanan. Skripsi. Bogor : Fateta IPB.
Santausa S. dan Arpah M. 1990. Penyimpanan dan Penggudangan Komoditi Pangan (Petunjuk
Laboratorium). Bogor : PAU IPB.
Sax D., Lewis R., 1998. Dictionary Chemistry. Canada: Galler International.
Scheflan L., Morris B.J. 1983. The Handbook of Solvent. New York: D. Van Nostrand Comp. Inc.
Selvaraj M. dan Mosses M. 2011. Efficacy Of Melia Azedarach On The Larvae Of Three
Mosquito Species Anopheles Stephensi, Culex Quinquefasciatus And Aedes Aegypti
(Diptera: Culicidae). Journal Of The European Mosquito Control Association, European
Mosquito Bulletin 29: 116-121.
Semple R. L. 1985. Problems Relative to Pest Control and Use of Pesticide in Grain Storage, The
Current Situation in ASEAN and Future Requirement. Proceeding of International Seminar
on Pesticides and Humid Tropical Grain Storage System. ACIAR, Canberra
Setiawan D. 2010. Kajian Daya Insektisida Ekstrak Daun Mimba (Azadirachta indica A. Juss)
Terhadap Perkembangan Serangga Hama Gudang Sitophilus oryzae Linn. Jurnal Penelitian
Sains 10: 6-12.
Shejbal J. dan Boislambert J. N. 1998. Modified Atmosphere Stotage of Grains. Paris : Lavoiser
Publisher Inc.
Soekarto. 1984. Pengaruh Beberapa Cara Penanganan Padi Dan Jagung Terhadap Perkembangan
Sitophilus Spp. Laporan Penelitian. Universitas Jember Fakultas Pertanian.
Sonyaratri D. 2006. Kajian Daya Insektisida Ekstrak Daun Mimba dan Ekstrak Daun Mindi
Terhadap Perkembangan Serangga Hama Gudang. Skripsi. Bogor : FATETA, IPB.
Soerawidjaja dan Tatang H. 2005. Minyak-lemak dan produk-produk kimia lain dari
kelapa,Handout kuliah Proses Industri Kimia. Program Studi Teknik Kimia, Institut
Teknologi Bandung.
Sudarmadji S., Bambang H., dan Suhardi. 2008. Produk Analisa Untuk Bahan Makanan dan
Pertanian Edisi Keempat. Yogyakarta : Liberty.
Sulistiyono Luluk. 2004. Dilema Penggunaan Pestisida dalam SistemPertanian Tanaman
Hortikultura di Indonesia. Makalah Pengantar ke Falsafah Sains. Sekolah Pasca Sarjana/S3.
Institut Pertanian Bogor.
37
Sunarto D. A.,Nurindah. 2009. Peran Insektisida Botani Ekstrak Biji Mimba Untuk Konservasi
Musuh Alami Dalam Pengelolaan Serangga Hama Kapas. J. Entomol. Indon. 6 (1) : 42-52.
Sunjaya dan Widayanti S. 2009. Pengenalan Serangga Hama Gudang. Bogor : SEAMEO
BIOTROP.
Suyani E. 2003. Pengkajian Daya Insektisida Alami Nabati dari Lima Tanaman Berkhasiat Obat
Terhadap Perkembangan Serangga Hama Pasaca Panen Sitophilus zeamais Motsch. Skripsi.
Bogor : FATETA IPB.
Syarief R. dan H. Halid. 1993. Teknologi Penyimpanan Pangan. Jakarta : Arcan.
Voight R. 1994 Buku Pelajaran Teknologi Farmasi. Soendari N.S. Penerjemah. Yogyakarta:
Gajahmada University Press. Terjemahan dari Farmacy Technologies.
Ware G. W. 1978. The Pesticide Book. San Fransisco : W. H. Freeman and Company.
Weissenberg. 2001. Isolation Of Solasodine And Other Steroidal Alkaloids And Sapogenins By
Direct Hydrolysis-Extraction Of Solanum Plants Or Glycosides Therefrom
.http://www.sciencedirect.com/science?_ob=PublicationURL&_tockey=%23TOC%235275
%232001%23999419996%23263280%23FLA%23&_cdi=5275&_pubType=J&view=c&_
auth=y&_acct=C000050221&_version=1&_urlVersion=0&_userid=10&md5=ec66a55108
1e86d653a2bea0d4bffad7, [29 Juli 2012].
Wijandi S., A. Muchlis, Subki F. M.,Wachyudin C., Deddy M., Darwin K. 1976. Mempelajari
Kondisi Penyimpanan yang memungkinkan Terjadinya Spontaneous Heating pada
Penyimpanan Beras. laporan Penelitian. Bogor : FATEMETA, Institut Pertanian Bogor.
Winarno F. G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama.
Winarno F.G. 2002. Kimia Pangan dan Gizi. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Winarno F.G. 2006. Hama Gudang dan Teknik Pemberantasannya. Bogor:M-BRIO press.
Wudianto R. 2001. Petunjuk Penggunaan Pestisida. Jakarta : Penebar Swadaya.
38
LAMPIRAN
39
Lampiran 1a. Jumlah total populasi serangga (Nt) Sitophilus zeamais setelah penyimpanan.
Jumlah
Ratarata
1576
5399
1799,67
393
256
1024
341,33
960
855
749
2564
854,67
8
829
775
872
2476
825,33
12
760
695
749
2204
734,67
16
354
385
490
1229
409,67
Nt
Konsentrasi
(%)
U1
U2
U3
Kontrol
1924
1899
0
375
4
Lampiran 1b. Analisis ragam total populasi (Nt) Sitophilus zeamais terhadap variasi konsentrasi.
Sumber
Tipe III Jumlah
Kuadrat
DB
Kuadrat
Tengah
F
Sig.
Model
1.628E7a
6
2712698,278
238,543
,000
konsentrasi
1.628E7
6
2712698,278
238,543
,000
Galat
125091.333
11
11371,939
Total
1.640E7
17
Lampiran 1c. Uji Duncan total populasi (Nt) Sitophilus zeamais terhadap variasi konsentrasi.
Subset
Konsentrasi
N
1
2
0%
3
341,33
16 %
2
422,00
12 %
3
734,67
8%
3
825,33
4%
3
854,67
Kontrol
3
Sig.
3
1799,67
,392
,233
1,000
40
Lampiran 2a. Persen biji berlubang (% KB) setelah penyimpanan
Konsentrasi
(%)
Kontrol
0
4
8
12
16
Ulangan
Jumlah Biji Utuh
(Nu)
Jumlah Biji
Berlubang (Nd)
Jumlah Biji Total
(N)
Persen Biji
Berlubang (% BB)
Rata-rata
Duplo
1
2
1
2
1
2
1
2
1
98
123
375
396
473
519
79,28
76,30
77,79
2
70
101
321
345
391
446
82,10
77,35
79,73
3
123
99
298
338
421
437
70,78
77,35
74,06
1
415
319
42
128
457
447
9,19
28,64
18,91
2
356
329
108
142
464
471
23,28
30,15
26,71
3
402
413
46
49
448
462
10,27
10,61
10,44
1
262
225
345
340
607
565
56,84
60,18
58,51
2
222
270
311
291
533
561
58,35
51,87
55,11
3
224
270
282
217
506
487
55,73
44,56
50,14
1
237
320
294
218
531
538
55,37
40,52
47,94
2
313
223
228
354
541
577
42,14
61,35
51,75
3
336
314
291
178
627
492
46,41
36,18
41,30
1
396
421
194
170
590
591
32,88
28,76
30,82
2
426
371
169
195
595
566
28,40
34,45
31,43
3
288
413
237
294
525
707
45,14
41,58
43,36
1
413
350
92
91
505
441
18,22
20,63
19,43
2
342
292
98
101
440
393
22,27
25,70
23,99
3
342
344
123
96
465
440
26,45
21,82
24,13
Rata-rata
Ulangan
77,19
18,69
54,59
47,00
35,20
22,52
41
Lampiran 2b. Analisis ragam persen biji berlubang (% BB) terhadap variasi konsentrasi.
Tipe III Jumlah
Sumber
Kuadrat
DB
Kuadrat
Tengah
F
Sig.
Model
39728.004a
6
6621,334
224,010
,000
konsentrasi
39728.004
6
6621,334
224,010
,000
Gallat
354.699
12
29,558
Total
40082.703
18
Lampiran 2c. Uji Duncan persen biji berlubang (% BB) terhadap variasi konsentrasi
Subset
Konsentrasi
N
1
2
3
0%
3
18,6867
16 %
3
22,5167
12 %
3
8%
3
46,9967
4%
3
54,5867
Kontrol
3
Sig.
4
35,2033
77,1933
,405
1,000
,113
1,000
42
Lampiran 3a. Persen kehilangan bobot (% KB) setelah penyimpanan
Konsentrasi
(%)
Kontrol
0
4
8
12
16
Jumlah Biji
Utuh (Nu)
1
2
Jumlah Biji
Berlubang (Nd)
1
2
1
98
123
375
396
473
519
3,4567
3,7867
6,3433
6,3433
41,26
36,60
38,93
2
70
101
321
345
391
446
3,1798
3,5230
6,6202
6,2770
44,82
37,01
40,92
3
123
99
298
338
421
437
3,8098
3,5093
5,9902
6,2907
24,85
36,74
30,79
1
415
319
42
128
457
447
9,4370
7,4640
0,5025
2,1283
4,35
8,29
6,32
2
356
329
108
142
464
471
8,2596
7,6328
1,2393
2,1452
11,76
10,52
11,14
3
402
413
46
49
448
462
8,7886
9,1932
0,5191
0,5478
4,97
5,28
5,12
1
262
225
345
340
607
565
5,0086
4,9187
4,6758
4,7478
16,54
21,74
19,14
2
222
270
311
291
533
561
4,8790
5,6426
4,2478
3,6045
22,09
21,13
21,61
3
224
270
282
217
506
487
4,9078
7,3459
3,5786
2,2335
23,45
27,70
25,58
1
237
320
294
218
531
538
5,7867
6,6870
3,0303
2,2986
31,99
20,07
26,03
2
313
223
228
354
541
577
6,5114
5,4678
2,4146
4,2099
20,69
31,59
26,14
3
336
314
291
178
627
492
7,1456
6,5768
2,9932
2,0768
23,96
16,03
19,99
1
396
421
194
170
590
591
7,6677
8,4765
1,8899
1,5574
16,34
15,68
16,01
2
426
371
169
195
595
566
8,5016
6,9350
1,5987
1,8193
14,94
17,26
16,10
3
288
413
237
294
525
707
6,0059
8,2549
2,1650
2,9340
25,37
20,82
23,09
1
413
350
92
91
505
441
8,2857
7,9876
1,4999
1,4230
3,41
6,50
4,95
2
342
292
98
101
440
393
7,7890
7,2098
1,6189
1,6498
6,12
8,70
7,41
3
342
344
123
96
465
440
7,7018
7,8650
2,1010
1,6078
6,39
5,84
6,11
Ulangan
Jumlah Biji
Total (N)
1
2
Bobot Biji Utuh (U)
1
2
Bobot Biji Berlubang (D)
1
2
Persen Kehilangan
Bobot (%KB)
1
2
Ratarata
Duplo
Rata-rata
Ulangan
36,88
7,53
22,11
24,06
18,40
6,16
43
Lampiran 3b. Analisis ragam persen kehilangan bobot (% KB) terhadap variasi konsentrasi
Sumber
Tipe III Jumlah
Kuadrat
DB
Kuadrat
Tengah
F
Sig.
Model
8581.994a
6
1430,332
107,391
,000
konsentrasi
8581.994
6
1430,332
107,391
,000
Gallat
159.828
12
13,319
Total
8741.821
18
Lampiran 3c. Uji Duncan persen kehilanganbobot (% KB) terhadap variasi konsentrasi
Subset
Konsentrasi
N
1
2
16 %
3
6,1567
0%
3
7,5267
12 %
3
18,4000
4%
3
22,1100
8%
3
24,0533
Kontrol
3
Sig.
3
36,8800
,654
,095
1,000
44
Lampiran 4a. Persen fraksi bubuk yang timbul (% frass)
Konsentrasi
(%)
Kontrol
0
4
8
12
16
Ulangan
Berat Bubuk
(g)
Berat Beras Awal (g)
1
7,8961
100,3298
7,87
2
8,0071
100,2876
7,98
3
7,2587
100,4178
7,23
1
1,2111
100,8575
1,20
2
2,2195
100,5725
2,21
3
0,8084
100,3713
0,81
1
5,4283
100,4025
5,41
2
6,4633
100,0329
6,46
3
4,1434
100,7428
4,11
1
6,9271
100,4278
6,90
2
3,2119
100,1613
3,21
3
4,9790
100,4542
4,96
1
5,2123
100,4914
5,19
2
4,8923
100,1064
4,89
3
4,8288
100,3512
4,81
1
4,6179
100,1268
4,61
2
4,2099
100,3823
4,19
3
4,0983
100,3981
4,08
% frass
Rata-rata
7,69
1,40
5,33
5,02
4,96
4,30
Lampiran 4b. Analisis ragam persen fraksi bubuk yang timbul (% frass) terhadap variasi
konsentrasi
Sumber
Tipe III Jumlah
Kuadrat
DB
Kuadrat
Tengah
F
Sig.
Model
473.522a
6
78,920
84,598
,000
konsentrasi
473.522
6
78,920
84,598
,000
Gallat
11.195
12
,933
Total
484.717
18
45
Lampiran 4c. Uji Duncan persen fraksi bubuk yang timbul (% frass) terhadap variasi konsentrasi
Subset
Konsentrasi
N
1
2
0%
3
16 %
3
4,2933
12 %
3
4,9633
8%
3
5,0233
4%
3
5,3267
Kontrol
3
Sig.
3
1,4067
7,6933
1,000
,248
1,000
46
Lampiran 5a. Kadar air sebelum penyimpanan
Ulangan
SAMPEL
AWAL
Berat Sampel (W)
(g)
Berat Setelah di
Oven (W1) (g)
Berat Cawan Kosong
(W2) (g)
Kadar air (%)
Rata-rata
Duplo
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2,0210
2,0221
3,9105
6,9510
2,1743
5,2120
14,09
14,00
14,05
2
2,0456
2,0563
3,9229
6,1795
2,1656
4,4109
14,09
13,99
14,04
3
2,0919
2,0604
6,2282
4,0040
4,4292
2,2318
14,00
13,99
13,99
Rata-rata + SD
14,03 + 0,03
Lampiran 5b. Kadar air setelah penyimpanan
Konsentrasi
(%)
Kontrol
0
4
Ulangan
Berat Sampel (W)
(g)
Berat Setelah di
Oven (W1) (g)
Berat Cawan Kosong
(W2) (g)
Kadar air (%)
Rata-rata
Duplo
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2,0200
2,0082
3,7290
6,1700
2,1182
4,5667
20,26
20,16
20,21
2
1,9920
2,0060
4,4568
4,0580
2,8711
2,4612
20,40
20,40
20,40
3
2,0183
2,0012
6,2400
5,9900
4,6310
4,3971
20,28
20,40
20,34
1
2,2444
2,1056
6,8518
4,0148
4,9253
2,2074
14,16
14,16
14,16
2
2,0089
2,0880
7,1823
7,9414
5,4567
6,1500
14,10
14,20
14,15
3
2,3621
2,2528
4,2720
4,3855
2,2464
2,4597
14,25
14,52
14,38
1
2,2234
2,0971
6,6765
3,9701
4,8740
2,2699
18,93
18,93
18,93
2
2,0659
2,7870
3,7648
4,4380
2,0895
2,1776
18,91
18,89
18,90
3
2,2234
2,1626
6,6123
3,9396
4,8111
2,1852
18,99
18,88
18,93
Rata-rata + SD
20,32 + 0,10
14,23 + 0,13
18,92 + 0,02
47
Lampiran 5b. Kadar air setelah penyimpanan (lanjutan)
Konsentrasi
(%)
8
12
16
Ulangan
Berat Sampel (W)
(g)
Berat Setelah di
Oven (W1) (g)
Berat Cawan Kosong
(W2) (g)
Kadar air (%)
Rata-rata Duplo
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2,0284
2,0597
4,8879
5,5488
3,2390
3,8745
18,71
18,71
18,71
2
2,4078
2,6822
5,6871
4,2900
3,7311
2,1100
18,76
18,72
18,74
3
2,1545
2,1630
4,3618
4,2888
2,6133
2,5335
18,84
18,85
18,85
1
2,3200
1,9988
4,1312
4,1540
2,2421
2,5265
18,57
18,58
18,57
2
2,3310
2,4550
4,0059
4,1088
2,1062
2,1097
18,50
18,57
18,54
3
2,1250
2,0200
4,5612
3,7085
2,8297
2,0627
18,52
18,52
18,52
1
2,1225
2,0599
5,4485
3,9349
3,7096
2,2502
18,07
18,21
18,14
2
2,0924
2,7639
6,1649
4,3992
4,4559
2,1362
18,32
18,12
18,22
18,22
18,25
3
2,1280
2,0600
5,4485
3,9349
3,7096
2,2502
18,28
Rata-rata + SD
18,77 + 0,07
18,54 + 0,03
18,21 + 0,06
Lampiran 5c. Analisis kadar air terhadap variasi konsentrasi
Sumber
Tipe III Jumlah
Kuadrat
DB
Kuadrat
Tengah
F
Sig.
Model
6001.892a
6
1000,315
1,670E5
,000
Konsentrasi
6001.892
6
1000,315
1,670E5
,000
Gallat
.072
12
,006
Total
6001.964
18
48
Lampiran 5d. Uji Duncan kadar air terhadap variasi konsentrasi
Subset
Konsentrasi
N
1
0%
3
16 %
3
12 %
3
8%
3
4%
3
Kontrol
3
Sig.
2
3
4
5
6
14,2300
18,2033
18,5433
18,7667
18,9200
20,3167
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
Lampiran 6. Standarisasi NaOH 0,1 N
Berat KHP (W) (gram)
Ulangan 1
Ulangan 2
0,1007
0,1010
Bobot Molekul
KHP (gram/mol)
204,228
Volume
Titrasi (L)
4,70 x 10-3
4,90 x 10-3
Konsentrasi
NaOH (N)
0,1049
0,1009
Rata-rata
0,1029 N
49
Lampiran 7a. Kadar asam lemak bebas sebelum penyimpanan
Diketahui
: Bobot Molekul asam lemak linoleat = 280,00 g/mol
Berat Labu Rotavapor = 47,4705 gram
Konsentrasi NaOH hasil standaraisasi = 0,1029 N
Konsentrasi
(%)
SAMPEL
AWAL
Ulangan
Berat Sampel (W) (g)
Berat Setelah di
Oven (W1) (g)
Kadar Lemak
(%)
Vol. Titrasi
(ml)
Kadar Asam
Lemak Bebas
(%)
Rata-rata Duplo
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
1,5029
1,5065
47,5774
47,5762
7,11
7,02
1,05
1,00
2,01
1,91
1,96
2
1,5033
1,5101
47,5768
47,5771
7,07
7,06
1,00
1,00
1,92
1,91
1,91
3
1,5087
1,5069
47,5779
47,5766
7,12
7,04
1,00
1,05
1,91
2,01
1,96
Rata-rata + SD
1,94 + 0,03
Lampiran 7b Kadar asam lemak bebas setelah penyimpanan
Konsentrasi
(%)
Kontrol
0
Ulangan
Berat Sampel (W) (g)
Berat Setelah di
Oven (W1) (g)
Kadar Lemak
(%)
Vol. Titrasi
(ml)
Kadar Asam
Lemak Bebas
(%)
Rata-rata Duplo
1
2
1
2
1
2
1
2
1
2
1
1,5098
1,5112
47,6009
47,6012
8,64
8,65
2,30
2,25
4,39
4,29
4,34
2
1,5034
1,5135
47,5964
47,5976
8,37
8,40
2,35
2,30
4,50
4,38
4,44
3
1,5057
1,5071
47,5998
47,5945
8,59
8,23
2,25
2,35
4,31
4,49
4,40
1
1,5085
1,5048
47,5008
47,4997
2,01
1,94
1,10
1,05
2,10
2,01
2,06
2
1,5038
1,5093
47,4809
47,4889
0,69
1,22
1,10
1,10
2,11
2,10
2,10
3
1,5056
1,5008
47,5099
47,5022
2,62
2,11
1,05
1,10
2,01
2,11
2,06
Rata-rata + SD
4,39 + 0,05
2,07 + 0,03
50
Lampiran 7b Kadar asam lemak bebas setelah Penyimpanan (lanjutan)
Konsentrasi
(%)
4
8
12
16
Ulangan
Berat Sampel (W)
(g)
Berat Setelah di
Oven (W1) (g)
Kadar Lemak
(%)
Vol. Titrasi
(ml)
Kadar Asam
Lemak Bebas
(%) (Asam
Lemak
Linoleat)
Rata-rata Duplo
1
2
1
2
1
2
1
2
1
1
1,5034
1,5098
47,5920
47,5934
8,08
8,14
2,00
1,95
3,83
3,72
3,78
2
1,5053
1,4999
47,5912
47,5935
8,02
8,20
1,90
1,95
3,64
3,75
3,69
3
1,5039
1,5112
47,5936
47,5983
8,19
8,46
2,00
1,90
3,83
3,62
3,73
1
1,4992
1,5035
47,5716
47,5712
6,74
6,70
1,70
1,85
3,27
3,55
3,41
2
1,5071
1,5066
47,5717
47,5719
6,71
6,73
1,80
1,85
3,44
3,54
3,49
3
1,5053
1,5079
47,5792
47,5788
7,22
7,18
1,80
1,75
3,45
3,34
3,39
1
1,519
1,5649
47,5123
47,5176
2,75
3,01
1,60
1,60
3,03
2,95
2,99
2
1,4995
1,5014
47,5143
47,5021
2,92
2,10
1,60
1,65
3,07
3,17
3,12
3
1,5098
1,5062
47,5112
47,5067
2,70
2,40
1,60
1,65
3,05
3,16
3,10
1
1,5004
1,4992
47,5022
47,5030
2,11
2,17
1,30
1,35
2,50
2,59
2,55
2
1,5111
1,5021
47,5051
47,5056
2,29
2,34
1,40
1,30
2,67
2,49
2,58
3
1,5045
1,5078
47,5033
47,5054
2,18
2,31
1,35
1,40
2,59
2,68
2,63
Rata-rata + SD
2
3,73 + 0,04
3,43 + 0,05
3,07 + 0,07
2,59 + 0,04
51
Lampiran 7c. Analisis kadar asam lemak bebas terhadap variasi konsentrasi
Sumber
Tipe III Jumlah
Kuadrat
Kuadrat
DB
Tengah
F
Sig.
Model
196.256a
6
32,709
1,360E4
,000
konsentrasi
196.256
6
32,709
1,360E4
,000
Gallat
.029
12
,002
Total
196.284
18
Lampiran 7d. Uji Duncan kadar asam lemak bebasterhadap variasi konsentrasi
Subset
Konsentrasi
N
1
0%
3
16 %
3
12 %
3
8%
3
4%
3
Kontrol
3
Sig.
2
3
4
5
6
2,0733
2,5867
3,0700
3,4300
3,7333
4,3933
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
1,000
52
Lampiran 8. Analisis korelasi parameter-parameter resistensi terhadap faktor-faktor intrinsik lima varietas beras.
Populasi
% Biji
% Kehilangan
Serangga
Berlubang
Bobot
1
,936**
Kadar Air
,920**
,826**
,726
,906**
,000
,000
,000
,001
,000
18
18
18
18
18
18
,936**
1
,951**
,815**
,762**
,964**
,000
,000
,000
,000
Pearson Correlation
Populasi
Serangga
Sig. (2-tailed)
N
Pearson Correlation
% Biji
Berlubang
Sig. (2-tailed)
,000
N
Pearson Correlation
% Kehilangan
Bobot
Sig. (2-tailed)
% frass
Sig. (2-tailed)
18
18
18
18
18
,920**
,951**
1
,770**
,719**
,919**
,000
,000
,000
,001
,000
18
18
18
18
18
,826
Kadar Air
Sig. (2-tailed)
Asam Lemak
Bebas
Sig. (2-tailed)
,815
18
**
,770
**
,000
,000
18
18
18
,726**
,762**
,001
1
,885
**
,859**
,000
,000
18
18
18
,719**
,885**
1
,876**
,000
,001
,000
18
18
18
18
18
18
,906**
,964**
,919**
,859**
,876**
1
,009
,000
,000
,000
,000
18
18
18
18
18
N
Pearson Correlation
**
,000
N
Pearson Correlation
Bebas
18
N
Pearson Correlation
Asam Lemak
% frass
N
,000
18
**. Korelasi signifikan pada taraf 0,01 (2-tailed).
*. Korelasi signifikan pada taraf 0,05 (2-tailed).
53
Lampiran 9. Diagram alir ekstraksi lemak menggunakan metode Folch yang dimodifikasi
Beras
Digiling halus
dan diayak 40
mesh
Ditimbang 1,5
gram
Kloroform:
metanol = 2:1
Direndam
Di sonikator
Di sentrifugasi dengan
kecepatan 2500 rpm selama 10
menit
Diambil cairannya
Dipekatkan dengan Rotary
evaporator dengan suhu
450C
Lemak
54
Lampiran 10. Uji retensi EC
Konsentrasi
Ekstrak
Ulangan
1
2
3
Jumlah Serangga yang mati (%)
1
8%
2
3
Jumlah Serangga yang mati (%)
1
16 %
2
3
Jumlah Serangga yang mati (%)
0%
1
5
6
3
14
0
0
0
0
0
0
0
0
3
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Hari Ke5
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
9
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
0
Lampiran 11.Formulasi EC yang tidak stabil
55
Lampiran 12. Dokumentasi beras pecah kulit yang digunakan
Lampiran 13. Dokumentasi media beras setelah disemprotkan oleh EC
Lampiran 14. Dokumentasi media beras selama penyimpanan
56
Lampiran 15. Jagung pipil sebagai stock culture Sitophilus zeamais.
57
58
Download