8 BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR A. Kajian

advertisement
8
BAB II
LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR
A. Kajian Teori
1.
Pengertian Belajar dan Pembelajaran IPS
a. Pengertian Belajar
Secara
umum,
belajar
adalah
merupakan
suatu
aktivitas
yang
menimbulkan perubahan yang relative permanen akibat dari upaya-upaya yang
dilakukannya. Belajar merupakan hal yang sangat mendasar bagi manusia dan
merupakan proses yang tidak henti-hentinya. Belajar merupakan proses yang
berkesinambungan yang mengubah pelajar dalam berbagai cara. Belajar menurut
Skinner (dalam Trianto, 2010) adalah suatu perilaku pada saat orang belajar, maka
responnya akan menurun. Belajar menurut Gagne (dalam Suprijono, 2009) adalah
perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas.
Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Belajar
menurut pandangan Piaget (dalam Lie, 2004) adalah pengetahuan dibentuk oleh
individu. Sebab individu melakukan dan mengalami perubahan tersebut. Adanya
interaksi dengan lingkungan maka interaksi semakin berkembang (Mudjiono,
2002).
Menurut Rosdiana (dalam Suprijono, 2009) secara psikologis belajar
merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil
dari interaksi lingkungannya dalam memahami kebutuhan hidupnya. Perubahan
tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. Belajar adalah suatu
perubahan yang relative permanen dalam suatu kecenderungan tingkah laku
sebagai hasil dari praktek atau latihan. Belajar adalah proses yang aktif suatu
fungsi dari keseluruhan lingkungan di sekitarnya. Belajar adalah perubahan
tingkah laku (Sudjana, 2001).
b. Pengertian Pembelajaran
Pembelajaran berasal dari kata ajar, belajar yang artinya perubahan
tingkah laku. Belajar dan pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan
untuk menciptakan keadaan (proses) belajar. Oleh karena itu harus dipahami
9
bagaimana siswa mendapatkan pengetahuan dari kegiatan belajarnya ( Subini,
2013: 6 )
Menurut Regeluth dalam Supriadie (2009: 9) dibahasakan sebagai
instructional impllemention namun pembelajaran tersebut merupakan sebuah
kegiatan yang harus didesain dan di buat blue print nya, dikelola dengan baik dan
selalu dilakukan penilaian. Pembelajaran atau instruksional adalah suatu konsepsi
dari dua dimensi kegiatan (belajar dan mengajar) yang harus direncanakan dan
diaktualisasikan, serta diarahkan pada pencapaian tujuan atau penguasaan
sejumlah kompetensi dan indicator sebagai gambaran hasil belajar.
Pembelajaran juga diartikan sebagai usaha mengelola lingkungan dengan
sengaja agar seseorang belajar berperilaku tertentu dalam kondisi tertentu
(Djaafar, 2000: 2). Menurut Gagne dan Binggs, pembelajaran adalah rangkaian
peristiwa atau kejadian yang mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga
proses belajarnya dapat berlangsung dengan mudah. Berdasarkan beberapa
pengertian tersebut maka yang dimaksud dengan pembelajaran adalah proses, cara
dan usaha untuk mengolah lingkungan agar peserta didik atau siswa belajar.
Pembelajaran menurut Corey dalam Hosman adalah proses dimana lingkungan
seseorang sengaja dikelola untuk memungkinkan ia serta dalam tingkah laku
tertentu dalam kondisi – kondisi khusus.
Pembelajaran merupakan sarana dan prasarana. Sarana pembelajaran
meliputi buku pembelajaran, buku bacaan, alat dan fasilitas laboratorium sekolah
dan berbagai media pengajaran yang lain. Prasarana pembelajaran meliputi
gedung sekolah, ruang belajar, lapangan olah raga, ruang ibadah, ruang kesenian,
peralatan olahraga dan sebagainya. Sarana dan prasarana pembelajaran yang
lengkap merupakan kondisi yang baik sehingga menciptakan proses belajar yang
berhasil baik pula ( Dimyadi dan Mudjono, 2006 : 249 ).
Pembelajaran bukan hanya menyampaikan informasi atau pengetahuan
saja, melainkan mengkondisikan pembelajaran untuk belajar, karena tujuan utama
pembelajaran adalah belajar. Menurut Nasution dalam Subini (2013: 7)
menyatakan bahwa pembelajaran merupakan aktivitas mengorganisasikan atau
mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak didik
10
sehingga terjadilah proses kegiatan belajar. Dalam hal ini dengan lingkungan tidak
hanya sekolah atau ruang untuk belajar tetapi juga menyangkut pendidik, alat
peraga, laboratorium, atau perpustakaan. Jadi tidak semata pada lingkungan
sekolah saja.
Menurut Mulyasa ( 2002 : 100 ) Proses pembelajaran pada hakikatnya
adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkunganya, sehingga terjadi
perubahan perilaku kea rah yang lebih baik, maka dapat dikatakan bahwa sikap
merupakan suatu kecenderungan yang bersifat negative maupun positif seseorang
untuk bertindak terhadap suatu obyek yang dipengaruhi oleh factor kognitif dan
afektif individu terhadap obyek tersebut.
c. Pembelajaran IPS
Ilmu Pengetahuan Sosial adalah salah satu mata pelajaran yang ada di
tingkat pendidikan dasar dan menenggah. Seperti yang di kemukakan M.N
Soemantri (2001 : 74) bahwa pendidikan IPS adalah penyederhanaan disiplin
ilmu-ilmu sosial, ideologi negara dan disiplin ilmu yang lainnya serta masalah –
masalah social terkait, yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan
psikologi untuk tujuan pendidikan pada tingkat dasar dan menengah. Di tingkat
SMK ilmu-ilmu sosial yang di maksud ialah ekonomi, sosiologi, sejarah dan
geografi.
Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai mata pelajaran dalam kurikulum
sekolah mulai tingkat dasar ( SD ) hingga menengah ( SMP/MTs dan SMA/MA/
SMK ). Pelajaran IPS pada kurikulum sekolah ( satuan pendidikan ) pada
hakikatnya merupakan mata pelajaran wajib sebagaiman yang dinyatakan dalam
Undang – Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
Pasal 39 ( Sapriya, 2014 : 12).
Menurut pendapat Urip Saripudin (1989: 38) bidang studi Ilmu
Pengetahuan Sosial di sekolah menengah merupakan salah satu unsur kurikulum
pendidikan yang secara formal dan material menjabarkan esensi Tujuan
Pendidikan Nasional. Untuk itu merupakan suatu keharusan bagi bidang studi
untuk menjabarkan tujuan tersebut dalam wawasan dan perspektif keilmuan
social. Dimyati (1989 : 90) menyatakan bahwa secara umum tujuan pengajaran
11
ilmu-ilmu social, khususnya dalam arti sasial studies atau IPS adalah meliputi tiga
segi pendidikan seperti humanisticeducation, social civic education, dan
intellectual education ( pendidikan kemanusiaan, kemasyarakatan kenegaraan dan
pendidikan intelektual).
d. Teori Kontruktivisme
Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa
kepada
pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi, akan
membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran
struktur kognitifnya. Ada beberapa pandangan dari segi konstruktivistik, dan
dari aspek-aspek peserta didik, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi
belajar. Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses
pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh peserta
didik. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan
memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat
dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang
optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan
terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Istilah lain, dapat
dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa
(Aristawan, 2014: 6).
Dalam proses pengajaran, unsur proses belajar memegang peranan yang
vital. Proses belajar mengajar hanya bermakna apabila terjadi kegiatan belajar
murid. Oleh karena itu penting bagi seorang guru memahami sebaik-baiknya
tentang belajar siswa, agar ia dapat memberikan bimbingan dan menyediakan
lingkungan belajar yang tepat dan serasi bagi murid-murid. Pengajaran di sekolah
semakin berkembang. Dimulai dari pengajaran tradisional, yang memiliki ciri-ciri
tradisional konservatif berkembang menuju ke sistem pengajaran modern, yang
memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dasar perkembangan
ini adalah dilihat dari segi-segi historis, orientasi pengajaran, tujuan pengajaran,
kurikulum yang digunakan, proses belajar siswa, disiplin kelas, metode mengajar,
hubungan
sekolah
dan
masyarakat,
dipergunakan (Hamalik, 2011: 55).
dan
komunikasi
keperagaan
yang
12
Menurut konsep Zone of Proximal Development (ZPD), perkembangan
psikologi bergantung pada kekuatan sosial luar sekaligus pada kekuatan batin
(inner resources). Asumsi konsep dasar ini adalah bahwa perkembangan
psikologis dan pembelajaran tertanam secara sosial, dan untuk memahaminya kita
harus menganalisis masyarakat sekitar dan hubungan-hubungan sosialnya.
Vygotsky menyatakan bahwa anak mampu meniru tindakan yang melampaui
kapasitasnya, namun hanya dalam batas-batas tertentu. Ketika sedang meniru,
anak sanggup melakukan secara lebih baik bila dibimbing oleh orang dewasa
daripada dilakukannya sendiri. Vygotsky (1978) mendefinisikan ZPD sebagai
jarak antara “tingkat perkembangan aktual anak sebagaimana ditentukan oleh
kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan
potensial sebagaimana ditentukan oleh pemecahan masalah dibawah bimbingan
orang dewasa atau kerjasama dengan sebaya yang mampu”(Haryanto, 2010: 6).
Konstruktivisme adalah suatu teori pengetahuan dengan akar filosofi,
psikologi dan cybernetics. seperti itu adalah definisi yang disajikan oleh ahli
teori
tokoh konstruktivis, von Glasersfeld
(1989). Bagaimana cara teori
pengetahuan ini diterjemahkan ke dalam praktek ? Bagaimana cara definisi dari
apa yang berarti untuk "membangun pengetahuan" menginformasikan tindakan
kita sebagai pendidik? Sedangkan konstructivisme dengan jelas memperoleh
popularitas sebagai paradigma baru untuk belajar, banyak pertanyaan bagaimana
filosofi dapat diterapkan. Mereka membantah bahwa hal itu tidak akan
menghasilkan suatu metode, pendekatan atau ilmu pedagogi tertentu (Supardan,
2009: 16).
Teori
belajar
kontruktivisme
memahami
belajar
sebagai
proses
pembentukan (kontruksi) pengetahuan oleh si belajar itu sendiri. Dalam aliran
kontruktivisme, pengetahuan dipahami sebagai suatu pembentukan yang terus
menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya
pemahaman-pemahaman baru. Menurut Von Glaserfeld dalam (Siregar & Nara,
2014: 41), mengemukakan bahwa kemampuan yang diperlukan dalam proses
mengkontruksi
pengetahuan
meliputi:
(a)
kemampuan
mengingat
dan
mengungkapkan kembali pengalaman, (b) kemampuan membandingkan dan
13
mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan tentang sesuatu hal,
dan (c) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalamanan yang satu pada
yang lain (selective consience).
Menurut Cobb & Bower dalam (Schuck, 2012: 323), kontruktivisme
menyoroti interaksi orang-orang dan situasi-situasi dalam penguasaan dan
menyempurnaan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan. Asumsi utama dari
kontruktivisme adalah, manusia merupakan siswa aktif yang mengembangkan
pengetahuan bagi diri mereka sendiri. Untuk memahami materi dengan baik,
siswa harus menemukan prinsip-prinsip dasar. Asumsi kontruktivisme lainnya
adalah, guru sebaiknya tidak mengajar dalam artian menyampaikan pelajaran
dengan cara tradisional kepada sejumlah siswa. guru harus membangun situasisituasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dengan materi
pelajaran melalui pengolahan materi-materi dan interaksi pelajaran. Implikasi
pengajarannya bahwa metode-metode pengajaran harus mencerminkan hasil-hasil
yang kita inginkan dari para siswa.
Menurut pandangan kontruktivisme, belajar merupakan suatu proses
pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh siswa. Ia harus
aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna
tentang hal-hal yang sedang dipelajari, tetapi yang paling menentukan
terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri, sementara peranan
guru
dalam
belajar
kontruktivisme
berperan
membantu
agar
proses
pengkontruktivisme pengetahuan oleh siswa berjalan lancar.
Peranan guru pada pendekatan kontruktivisme ini lebih sebagai mediator
dan fasilitator bagi siswa, yang meliputi kegiatan-kegiatan berikut ini.
a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung
jawab, mengajar atau berceramah bukanlah tugas utama seorang guru.
b. Menyediakan
atau
memberikan
kegiatan-kegiatan
keingintahuan siswa dan membantu
yang
merangsang
mereka untuk mengekspresikan
gagasannya.
c. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan
atau tidak.
14
Pandangan kontruktivisme mengarahkan perhatiannya pada bagaimana
seseorang mengkontruksikan pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental
dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwaperistiwa, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia
secara individual (Siregar & Nara, 2014: 41-42).
Menurut paham konstruktivisme pengetahuan merupakan konstruksi
(bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak dapat
ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skemata
sendiri
tentang
apa
yang
diketahuinya.
Dalam
proses
pembelajaran
konstruktivisme adalah siswa yang harus aktif mengembangkan pengetahuan.
Penekanan belajar siswa secara aktif perlu dikembangkan. Kreativitas dan
keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan
kognitif siswa. Salah satu teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan
mental Piaget yang disebut juga teori perkembangan intelektual atau teori
perkembangan kognitif. Teori ini berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar,
yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa.
Setiap tahap perkembangan yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu
dalam mengkontruksi ilmu pengetahuan (Rahayu, 2014: 254).
1) Fungsi dan Peranan Guru Dalam Kontruktivisme
(a) Guru Sebagai Falisitator dan Mediator
Menurut prinsip konstruktivis, seorang guru berperan sebagai mediator
dan fasilitator yang memebantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik.
Tekanan ada pada siswa yang belajar dan bukan pada disiplin ataupun guru yang
mengajar. Karena siswa harus membangun
sendiri pengetahuan mereka, maka
seorang guru harus melihat mereka bukan sebagai lembaran kertas putih kosong
atau tabula rasa. Mereka sudah membawa pengetahuan awal pengetahuan yang
mereka miliki adalah dasar untuk membangun pengetahuan selanjutnya. Karena
itu, guru perlu mengerti pada taraf manakah pengetahuan mereka. Guru perlu
menciptakan suasana yang membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada
sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Selain itu guru perlu
membantu mengaktifkan siswa untuk berpikir. Guru perlu mengerti sifat
15
kesalahan siswa. Perkembangan intelektual dan matematis penuh dengan
kesalahan dan kekeliruan. Hal ini merupakan bagian dari konstruksi semua bidang
yang tidak boleh dihindarkan. Guru perlu melihat kesalahan sebagai suatu sumber
informasi tentang penalaran.
(b) Penguasaan Bahan
Peran guru sangat menuntut penguasaan bahan yang luas dan mendalam.
Guru perlu mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan
tentang bahan yang akan diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam
memungkinkan seorang guru menerima pandangan dan gagasan yang berbeda dari
siswa dan juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan itu jalan atau
tidak. Pemahaman historis ini akan meletakkan suatu pengetahuan dalam konteks
yang lebih mudah dipahami daripada bila terlepas begitu saja. Guru konstruktivis
diharapkan juga mengerti proses belajar yang baik. Mereka perlu mengerti proses
asimilasi dan akomodasi yang diperlukan oleh siswa dalam memperkembangkan
pengetahuan mereka (Silaban, 2013: 8-10).
2) Keunggulan Pendekatan Teori Kontruktivisme
Menurut teori belajar konstruktivisme,
pengetahuan
tidak
dapat
dipindahkan begitu saja dari pikiran guru kepada peserta didik. Artinya, bahwa
peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya
berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya, dengan kata lain peserta didik
tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap di isi dengan berbagai ilmu
pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Pembelajaran yang mengacu pada
teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan peserta didik
dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru, dengan
kata lain peserta didik lebih didorong untuk mengkontruksi sendiri pengetahuan
mereka melalui kegiatan asimilasi dan akomodasi.
Proses pembelajaran mengacu kepada rencana yang telah direncanakan di
dalam fungsinya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Interaksi dalam proses
belajar mengajar seorang guru berperan sebagai penggerak/pembimbing,
sedangkan siswa berperan sebagai penerima atau yang dibimbing.
Proses
pembelajaran dapat menuntut siswa untuk belajar lebih aktif dan kreatif di dalam
16
kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan harus dapat mengurangi dominasi
guru, untuk itu hendaknya seorang guru harus mampu menjalankan tugasnya
dengan baik, sehingga guru dapat melakukan proses pembelajaran berjalan
dengan baik dan optimal apabila siswa aktif di dalam proses pembalajaran (Yatmi,
2014: 7-9).
2.
Model Problem Based Learning (PBL)
a. Pengertian Model Problem Based Learning
Sugiyanto, (2010: 130) menyatakan Problem based learning (PBL)
mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya, fokusnya tidak
banyak pada apa yang sedang dikerjakan siswa ( perilaku mereka ), tetapi pada
apa yang siswa pikirkan (kognisi mereka) selama mereka mengerjakannya.
Meskipun peran guru dalam pelajaran yang berbasis masalah kadang-kadang juga
melibatkan mempresentasikan dan menjelaskan berbagai hal kepad siswa, tetapi
guru lebih sering memfusikan diri sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga
siswa dapat belajar untuk berfikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri.
Egen & schuk, (2012: 307) mengatakan pembelajaran berbasis masalah
merupakan seperangkat model mengajar yang menggunakan maslah sebagai focus
untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, materi dan pengaturan
diri.
Beberapa ciri penting pembelajaran berdasarkan masalah (Problem based
learning) adalah sebagai berikut (Brookks & Martin, 1993); (1) Tujuan
pembelajaran dirancang untuk dapat merangsang dan melibatkan pembelajar
dalam pola pemecahan masalah, sehingga pebelajar diharapkan mampu
mengembangkan keahlian belajar dalam bidangnya secara langsung dalam
mengidentifikasi permasalahan; (2) Adanya keberlanjutan permasalahan, dalam
hal ini ada dua tuntutan yang harus di penuhi yaitu: pertama masalah harus
memunculkan konsep dan prinsip yang relevan dengan kandungan materi yang
dibahas. Kedua permasalahan harus bersifat nyata sehingga dapat melibatkan
pebelajar tentang kesamaan dengan suatu permasalahan. (3) adanya presentasi
permaslahan pebelajar dilibatkan dalam mempresentasikan permaslahan sehingga
pebelajar merasa memiliki permasalahan tersebut; (4) Pengajar berperan sebagai
17
tutor dan fasilitator,
dalam posisi
ini maka peran fasilitator
adalah
mengembangkan kreativitas berpikir para pebelajar dalam bentuk keahlian dalam
pemecahan masalah dan membantu pebelajar untuk menjadi mandiri. Dari tujuan
pembelajaran berdasarkan masalah, bahwa setelah pembelajaran siswa secara
individu mampu menguasai konsep-konsep yang dipelajari untuk memecahkan
maslah yang dihadapi dari mengidentifikasi masalah, mengidentifikasi konsep –
konsep untuk memecahkan masalah tersebut.
Lebih lanjut Egen & Schuk, (2012: 308), mengemukakan merencanakan
pelajaran untuk pembelajaran berbasis masalah membagi dalam beberapa tahap
antara lain: 1) Mengidentifikasi topic; 2) Menentukan tujuan belajar yaitu
menginginkan siswa memahami dan mencapai tujuan belajar yaitu menginginkan
siswa memahami dan mencapai tujuan dari suatu pelajaran serta mengembangkan
keterampilan pemecahan masalah dan mempelajari kemandirian (self-direction).
Kemampuan pemecahan masalah dan pembelajaran mandiri adalah tujuan jangka
panjang dan siswa memerlukan pengalaman terus-menerus untuk mencapai
tujuan; 3) Mengidentifikasi masalah, siswa yang terlibat dalam pembelajaran
berbasis masalah memerlukan satu masalah untuk dipecahkan seperti atlet
sepakbola jika mereka ingin belajar bagaimana bermain sepak bola, tetapi
bagaimana sekedar memiliki bola kaki tidak memastikan atlet menjadi pemain
handal, demikian juga mendapatkan masalah tidak memastikan siswa menjadi
pemecah masalah yang handal. Siswa yang tidak berpengalaman, masalah –
masalah akan paling efektif jika masalah itu jernih, konkret serta dekat dengan
keseharian pribadi; 4) mengakses materi, setelah mengidentifikasi topic kemudian
menentukan tujuan belajar, memilih masalah dan mengakses materi – materi yang
perlu serta siap menerapkannya.
Hal yang paling esensial sebagai hasil dari problem based learning
(PBL) adalah keterampilan berpikir tingkat tinggi : Resnick (dalam Suprijono
2012: 72) anatara lain : 1) bersifat non-algoritmik, artinya jalur tindakan tidak
sepenuhnya ditetapkan sebelumnya; 2) bersifat komplek artinya mampu berpikir
dalam berbagai perspektif atau mampu menggunakan sudut pandang; 3) banyak
solusi dengan mempertimbangkan keuntungan dan kelemahan masing – masing;
18
4) melibatkan interprestasi; 5) melibatkan banyak kriteria artinya mampu
menggunakan berbagai kriteria; 6) melibatkan ketidakpastian artinya tidak semua
yang berhubungan dengan tugas yang ditangani telah diketahui; 7) melibatkan
pengaturan diri proses-proses berpikir; 8) menentukan makna menemukan
struktur dalam suatu yang tampak tidak beraturan, mampu mengidentifikasi pola
pengetahuan.
b. Ciri – Ciri Model Problem Based Learning
Ciri-ciri model Problem Based Learning (PBL) menurut baron (dalam
rusmono 2012: 74) adalah : 1) menggunakan permasalahan dalam dunia nyata; 2)
pembelajaran dipusatkan pada penyelesaian; 3) tujuan pembelajaran ditentukan
oleh siswa; 4) guru berperan sebagai fasilitator. Kemudian masalah yang
digunakan harus relevan dengan tujuan pembelajaran, mutakhir dan menarik
berdasarkan informasi yang luas terbentuk secara konsisten dengan masalah lain
dan termasuk dalam dimensi kemanusiaan.
Kriteria pemilihan bahan pembelajaran yang akan disajikan dalam
Problem Based Learning (PBL) menurut Sanjaya (2006 : 2014) sebagai berikut:
1. Bahan-bahan pelajaran mengandung isu – isu yang mengundang konflik yang
bias bersumber dari media masa, rekaman, berita maupun kondisi riil
masyarakat.
2. Bahan pelajaran familier dengan siswa sehingga siswa dapat mengikuti
pelajaran dengan baik.
3. Bahan pelajaran menyangkut kepentingan atau berkaitan dengan orang
banyak sehingga terasa manfaatnya.
4. Bahan pelajaran mendukung kompetensi yang diajarkan atau yang termuat
dalam kurikulum.
5. Bahan pelajaran merangsang minat siswa sehingga tertarik untuk
memecahkan masalah.
Model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) sangat tepat
diterapkan bila kompetensi yang diharapkan dikuasai :
1. Agar siswa tidak hanya dapat mengingat materi pembelajaran tetapi untuk
dapat memahami dan menguasai secara penuh.
19
2. Untuk mengembangkan pola berfikir rasional siswa yaitu kemampuan
menganalisa situasi, menerapkan pengetahuan yang mereka kuasai dalam
situasi baru, mengenal perbedaan antara fakta dengan pendapat serta
mengembangkan kemampuan mengambil keputusan secara obyektif.
3. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah serta mengembangkan
intelektual siswa.
4. Memahami hubungan antara yang dipelajari dengan kenyataan dalam
kehidupan.
c. Langkah – Langkah pembelajaran Problem Based learning (PBL) .
Lie, (2002: 77) Merumuskan langkah – langkah pembelajaran Problem
Based Learning (PBL) sebagai berikut :
1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan sarana dan alat yang
dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah
yang dipilih.
2. Guru membantu siswa mendifinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar
yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topic, tugas, jadwal
dan lain-lain)
3. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,
melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan
masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah.
4. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang
sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagai tugas dengan teman.
5. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap
penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan.
3.
Media Audio Visual
Kata media berasal dari Bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari
kata Medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Medoe adalah
perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Banyak batasan
yang diberikan orang tentang media. Asosiasi Teknologi dan Komunikasi
Pendidikan di amerika , membatasi media sebagai segala bentuk dan saluran yang
digunakan orang untuk menyalurkan pesan / informasi. Gagne (1970),
20
menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan
siswa yang dapat merangsang untuk belajar. Sementara Bringgs (1970)
berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan
serta merangsang siswa untuk belajar.
Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association/ NEA)
memiliki pengertian yang berbeda. Media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik
tercetak maupun audiovisual serta peralatanya. Media hendaknya dapat
dimanipulasi, dapat dilihat, didengar dan dibaca. Apa pun batasan yang diberikan,
ada persamaan di antara batasan tersebut yaitu bahwa media adalah segala sesuatu
yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima
sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian
siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. (Sadiman dkk, 2014: 06).
Berdasarkan pengertian media di atas, dapat dicermati ciri – ciri umum
dan khusus, antara lain :
a.
Ciri-Ciri Umum Media
1) Media pendidikan memiliki pengertian non fisik yang dikenal sebagai
software (perangkat lunak), yaitu kandungan pesan yang terdapat di dalam
perangkat keras yang merupakan isi yang ingin disampaikan kepada anak
didik.
2) Penekanan media pendidikan terdapat pada visual ayau audio.
3) Media pendidikan memiliki pengertian alat bantu pada proses belajar baik
di dalam kelas maupun di luar kelas.
4) Media pendidikan digunakan dalam r edia pendidikan memiliki fisik yang
dewasa ini dikenalkan sebagai hardware ( perangkat keras ), yaitu suatu
benda yang dapat dilihat, ataupun diraba dengan panca indera.
5) Media angka komunikasi dan interaksi antara guru dengan siswa dalam
proses pembelajaran.
6) Media pendidikan dapat digunakan secara masal ( misalnya radio dan
televise ) kelompok besar dan kecil ( misalnya film, slide, video, LCD );
atau perorangan ( misalnya modul, computer, tape recorder, kaset ).
21
b. Ciri-ciri Khusus Media
Ciri-ciri khusus media pembelajaran berbeda menurut tujuan dan
pengelompokannya. Ciri – ciri media dapat dilihat menurut kemampuannya
membangkitkan rangsangan pada indera penglihatan, pendengaran, perabaan,
penciuman, dan pengecapan. Maka cirri-ciri umum media pembelajaran adalah
bahwa media itu dapat diraba, dilihat, didengar, dan diamati melalui panca indera.
Di samping itu ciri-ciri media juga dapat dilihat menurut harganya, lingkup
sasaranya, dan kontrol oleh pemakai.
a. Fungsi Media
Supaya pengetahuan siswa tidak hanya abstrak, karena disampaikan
oleh guru hanya melalui Bahasa verbal yang berakibat siswa akan salah persepsi
dan gairah siswa untuk menangkap informasi atau pesan akan semakin berkurang,
maka dibutuhkan bantuan media. Karena media pembelajaran sangat diperlukan
dalam suatu kegiatan pembelajaran. Melalui media pembelajaran hal yang bersifat
abstrak bias menjadi konkret.
Fungsi media pembelajaran menurut Wina Sanjaya (2012: 73-74) sebagai
berikut :
1.
Fungsi komunikatif artinya media pembelajaran yang digunakan untuk
memudahkan komunikasi antara penyampaian kepada penerima pesan.
2.
Fungsi motivasi artinya media pembelajaran tersebut akan memudahkan
siswa untuk mempelajari materi pelajaran sehingga akan menghindari dari
suasana belajar yang membuat siswa menjadi bosan.
3.
Fungsi kebermanaan artinya dengan media pembelajaran siswa akan
menambah informasi serta akan meningkatkan aspek dan ketrampilan.
4.
Fungsi penyamaan persepsi maksudnya dengan pemanfaatan media
pembelajaran, diharapkan dapat menyamakan persepsi setiap siswa sehingga
siswa memiliki pandangan yang sama terhadap informasi yang disajikan.
5.
Fungsi individualitas maksudnya dengan pemanfaatan media pembelajaran
nantinya dapat berfungsi untuk melayanisetiap kebutuhan setiap siswa yang
memiliki dan gaya belajar yang berbeda.
22
Menurut Soelarko dalam (Kosasih, 2014: 50) fungsi utama media belajar
ialah memvisualisasi sesuatu yang tidak dapat dilihat atau sukar dilihat sehingga
tampak jelas dan dapat menimbulkan pengertian atau peningkatan persepsi
seseorang. Enam fungsi pokok lainnya dari media belajar dalam proses belajar
mengajar adalah sebagai berikut
1.
Penggunaan media belajar dalam proses belajar mengajar bukan merupakan
fungsi tambahan, tetapi mempunyai fungsi tersendiri sebagai alat bantu untuk
mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektifkan.
2.
Pengunaan Media belajar merupakan bagian yang integral dari keseluruhan
situasi mengajar.
3.
Media belajar dalam pengajaran penggunaannya integral dengan tujuan dan
isi pelajaran
4.
Media belajar dalam pengajaran bukan semata-mata alat hiburan atau bukan
sekadar pelengkap.
5.
Media belajar dalam pengajaran lebih diutamakan untuk mempercepat proses
belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian yang
diberikan guru.
6.
Penggunaan media belajar dalam pengajaran diutamakan untuk mempertinggi
mutu belajar mengajar
b. Jenis-Jenis Media
Dilihat dari jenisnya, media dapat dibagi media auditif, visual dan media
audio visual. Media auditif adalah media yang hanya mengandalkan kemampuan
suara saja, seperti radio, piringan hitam, cassette recorder. Media visual adalah
media yang akan mengandalkan indera penglihatan, bias berupa gambar yang
bergerak seperti film, foto, lukisan, cetakan. Media audio visual adalah media
yang mempunyai unsur suara dan insur gambar. Jenis ini mempunyai kemampuan
yang lebih baik karena memiliki kedua jenis media auditif dan media visual.
Jenis media yang lazim dipergunakan dalam pembelajaran antara lain:
media non proyeksi, media proyeksi, media gerak, dan media computer, jenis
media dalam pembelajaran adalah :
1.
Media grafis seperti gambar, foto, grafik, bagan, kartun, poster dan komik.
23
2.
Media tiga dimensi yaitu media dalam bentuk padat, model penampang,
model susun.
3.
Media proyeksi seperti slide, film, OHP
c. Media audio visual
Media audio visual adalah semua media yang seseorang tidak hanya dapat
melihat atau mendengarkan saja, tetapi dapat melihat sekaligus mendengarkan
sesuatu yang divisualisasikan.
Media audio visual merupakan suatu cara menyajikan bahan pelajaran
dengan menggunakan alat-alat media pengajaran yang dapat memperdengarkan,
atau memperagakan bahan-bahan peragaan itu.
Ciri-ciri media audio visual :
1.
Mereka bersifat linier
2.
Mereka biasanya menyajikan visual yang dinamis
3.
Mereka mengunakan cara yang telah ditetapkan sebelumnya oleh
pembuatnya.
4.
Mereka merupakan representasi fisik dari gagasan riil atau gagasan abstrak.
5.
Mereka dikembangkan menurut prinsip psikologi behaviorisme dan
kognitif.
6.
Umumnya mereka berorentasi kepada guru dengan tingkat pelibatan
interaktif yang rendah (Azhar Arsyad, 2013 : 30-31)
Media audio visual dikenal dengan keharusan penggunaan audio visual aids
atau audio material. Ketiga istilah (baik audio visual aids, audio visual material
maupun audio visual menthod) sama-sama menekankan kepada pemberian
pengalaman secara nyata kepada anak didik. Dengan melihat langsung,
mendengar, meraba, mencium jika perlu tentang hal-hal yang dipelajari itu.
Jadi inti pengajaran dengan media audio visual ini adalah dipergunakan
beberapa alat atau bahan media pengajaran antara lain melalui film, radio, TV,
piringan hitam, tape recorder, gambar peristiwa tertentu, gambar peta, dan
sebagainya. Lebih utama menggunakan benda-benda asli sebagai peraga.
24
d. Langkah – langkah yang ditempuh dengan media audio visual :
1. Bendanya yang asli itu perlu diperagakan didepan kelas jika mungkin.
2. Contohnya dalam ukuran kecil
3. Foto dari suatu benda, bentuk – bentuk gambar lain atau guru sediri dapat
menggambarkan di papan tulis.
4. Jika ketiga hal tersebut diatas tidak dapat kita usahakan, maka guru dapat
menjelaskan
bentuk
bendanya,
sifat
–
sifatnya,
dengan
jalan
mendemontrasikan melalui gerakan tangan, kata – kata atau mimic
tertentu, sehingga menarik perhatian peserta didik.
e. Kebaikan media audio visual
1. Siswa dapat menyaksikan, mengamati serta mengucapkan langsung
sekaligus.
2. Dengan memeragakan bendanya secara langsung tersebut, hal ini sangat
menark perhatian siswa.
3. Pengetahuan siswa menjadi integral, fungsional dan dapat terhindar dari
pengajaran verbalisme.
4. Pengajaran menarik minat dan perhatian peserta didik.
f. Kekurangan metode audio visual
1. Memerlukan waktu dan perencanaan yang matang.
2. Tugas guru menjadi berat, sebab disamping harus merencanakan materi
pelajaran yang akan disajikan juga harus menguasai berbagai alat sarana
peragaan atau media pengajaran bebagai alat sarana peragaan serta alat
komunikasi lainnya.
3. Pengadaan alat sarana peragaan memerlukan biaya dan pemeliharaan yang
cukup memadai.
4. Kecenderungan menganggap bahwa pengajaran melalui berbagai macam
alat atau pengajaran bersifat pemborosan, bahkan memakan atau menyita
waktu yang banyak.
25
4. Media Video
a. Pengertian Media Vidio
Arsyad (2013 : 49) menyatakan bahwa video merupakan gambar-gambar
dalam frame, dimana frame demi frame diproyeksikan melalui lensa proyektor
secara mekanis sehingga pada layar terlihat gambar hidup. Dari pengertian diatas
dapat disimpulkan, bahwa video merupakan salah satu jenis media audio-visual
yang dapat menggambarkan suatu objek yang bergerak bersama-sama dengan
suara alamiah atau suara yang sesuai. Media dalam proses belajar mengajar
cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis, atau elektronis untuk
menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal.
Media pendidikan digunakan dalam rangka komunikasi dan interaksi guru dan
siswa dalam proses pembelajaran. Media pembelajaran dapat memperjelas
penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan
proses dan hasil belajar. Video adalah gambar-gambar dalam frame di mana frame
demi frame diproyeksikan melalui lensa proyektor secara mekanis sehingga pada
layar terlihat gambar itu hidup.
Media ini pada umumnya digunakan untuk tujuan-tujuan hiburan,
dokumentasi, dan pendidikan. Video dapat menyajikan informasi, memaparkan
proses, menjelaskan konsep-konsep yang rumit, mengajarkan keterampilan,
menyingkat atau memperpanjang waktu, dan mempengaruhi sikap. Menurut
Dwyer, video mampu merebut 94% saluran masuknya pesan atau informasi
kedalam jiwa manusia melalui mata dan telinga serta mampu untuk membuat
orang pada umumnya mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar dari
tayangan program. Pesan yang disampaikan melalui media video dapat
mempengaruhi emosi yang kuat dan juga dapat mencapai hasil cepat yang tidak
dimiliki oleh media lain.
Menurut Riyana (2007) media video pembelajaran adalah media yang
menyajikan audio dan visual yang berisi pesan-pesan pembelajaran baik yang
berisi konsep, prinsip, prosedur, teori aplikasi pengetahuan untuk membantu
pemahaman terhadap suatu materi pembelajaran. Video merupakan bahan
pembelajaran tampak dengar (audio visual) yang dapat digunakan untuk
26
menyampaikan pesan-pesan/materi pelajaran. Dikatakan tampak dengar kerena
unsur dengar (audio) dan unsur visual/video (tampak) dapat disajikan serentak.
Berdasarkan pengertian media video yakni media yang mempunyai suara, ada
gerakan dan bentuk obyeknya dapat dilihat, media ini paling lengkap, maka tujuan
dari media video adalah untuk menyajikan informasi dalam bentuk yang
menyenangkan, menarik mudah dimengerti dan jelas. Informasi akan mudah
dimengerti karena sebanyak mungkin indera, terutama telinga dan mata,
digunakan untuk menyerap informasi itu.
Keuntungan menggunakan media video menurut Daryanto (2010:90)
antara lain: ukuran tampilan video sangat fleksibel dan dapat diatur sesuai
kebutuhan, video merupakan bahan ajar non cetak yang kaya informasi dan lugas
karena dapat sampai kehadapan siswa secara langsung, dan video menambah
suatu dimensi baru terhadap pembelajaran. Anderson, (1976: 104) mengemukakan
tentang beberapa tujuan dari pembelajaran menggunakan media video yaitu
mencakup tujuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga tujuan ini dijelaskan
sebagai berikut
1. Tujuan Kognitif
a) Dapat
mengembangkan
kemampuan
kognitif
yang
menyangkut
kemampuan mengenal kembali dan kemampuan memberikan rangsangan
berupa gerak dan sensasi.
b) Dapat
mempertunjukkan
serangkaian
gambar
diam
tanpa
suara
sebagaimana media foto dan film bingkai meskipun kurang ekonomis.
c) Video dapat digunakan untuk menunjukkan contoh cara bersikap atau
berbuat dalam suatu penampilan, khususnya menyangkut interaksi
manusiawi.
2. Tujuan Afektif
Dengan menggunakan efek dan tekhnik, video dapat menjadi media yang
sangat baik dalam mempengaruhi sikap dan emosi.
3. Tujuan Psikomotorik
a) Video merupakan media yang tepat untuk memperlihatkan contoh
keterampilan yang menyangkut gerak. Dengan alat ini diperjelas baik
27
dengan cara memperlambat ataupun mempercepat gerakan yang
ditampilkan.
b) Melalui video siswa langsung mendapat umpan balik secara visual
terhadap kemampuan mereka sehingga mampu mencoba keterampilan
yang menyangkut gerakan tadi.
Melihat beberapa tujuan yang dipaparkan diatas, sangatlah jelas peran
video dalam pembelajaran. Video juga bisa dimanfaatkan untuk hampir semua
topik, model-model pembelajaran, dan setiap ranah: kognitif, afektif, dan
psikomotorik. Pada ranah kognitif, siswa dapat mengobservasi rekreasi dramatis
dari kejadian sejarah masa lalu dan rekaman aktual dari peristiwa terkini, karena
unsur warna, suara dan gerak di sini mampu membuat karakter berasa lebih hidup.
Selain itu dengan melihat video, setelah atau sebelum membaca, dapat
memperkuat pemahaman siswa terhadap materi ajar. Pada ranah afektif, video
dapat memperkuat siswa dalam merasakan unsur emosi dan penyikapan dari
pembelajaran yang efektif. Pada ranah psikomotorik, video memiliki keunggulan
dalam memperlihatkan bagaimana sesuatu bekerja, video pembelajaran yang
merekam kegiatan motorik/gerak dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk
mengamati dan mengevaluasi kembali kegiatan tersebut.
5. Kreativitas
a. Pengertian Kreativitas
Kreativitas siswa dalam pembelajaran sangat diperlukan, sebab dengan
kreativitas siswa dapat memecahkan pengertian dalam soal-soal ilmu pengetahuan
social dengan baik. Melalui kreativitas siswa akan memiliki rasa keberanian,
agresif dan tidak takut menghadapi kendala dalam pembelajaran. Menurut
Tapung, (2012: 212) dalam pengembangan kurikulum pendidikan berbasis social
lingkungan sekolah, menumbuhkan kembangkan jiwa kreatif dalam kegiatan
siswa untuk selalu bertanya tentang hal yang belum di ketahui secara jelas kepada
gurunya, mengadakan analisis, penelitian, observasi, diskusi dan belajar
memecahkan masalah. Pengembangan jiwa kreatif membantu siswa memahami
proses pembelajaran dan pendidikan sebagai proses belajar seumur hidup.
28
Gallagher (dalam Rahmawati & Kurniati 2012: 13) mengatakan bahwa
“creativity is a mental prosess by which an individual created new ideas or
product, in fashion that is novel to him or her” ( kreativitas merupakan suatu
proses mental yang dilakukan individu berupa gagasan ataupun produk baru atau
mengombinasikan antara keduanya yang pada akhirnya akan melekat pada
dirinya), lebih lanjut Supriyadi dalam (Rahmawati & Kurniati 2012 : 13),
mengutarakan bahwa kreatifitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan
sesuatu yang baru, baik berupa gagasan atau karya karya nyata yang relatif
berbeda dengan apa yang telah ada, selanjutnya ia menambahkan bahwa
kreativitas merupakan kemampuan berfikir tingkat tinggi yang mengimplikasikan
terjadinya eskalasi dalam kemampuan berfikir, ditandaioleh suksesi, dikontinuitas,
diferensiasi dan integrasi antara setiap perkembangan
Johnson, (2012 : 214) mengungkapkan berfikir kreatif adalah sebuah
kebiasaan dari pikiran yang dilatih dengan memperhatikan intuisi, menghidupkan
imajinasi, mengungkapkan kemungkinan – kemungkinan baru, membuat sudut
pandang yang menakjubkan dan membangkitkan ide – ide yang tidak terduga.
Berfikir kreatif membutuhkan ketekunan, disiplin diri, dan perhatian penuh yang
meliputi
aktivitas
mental
seperti
:
1)
Mengajukan
pertanyaan,
2)
mempertimbangkan informasi dan ide yang tidak lazim dengan pikiran terbuka, 3)
membangun keterkaitan khususnya diantara hal – hal yang berbeda, 4)
menghubung – hubungkan berbagai hal dengan bebas, 5) menerapkan imajinasi
pada setiapsituasi untuk menghasilkan hal baru dan berbeda, 6 ) mendengarkan
intuisi.
Menurut Noerhadi, (dalam Akademi jakarta 1983: 11) kreativitas bila
hendak ditinjau sesuai dengan suatu sumbu perkembangan manusia ontologik
sebagai individu ataupun filogenik sebagai jenis harus dapat didudukan dalam dua
dimensi yakni: 1) biologi biasanya aspek biologi dijelaskan dengan contoh
mahkluk – mahkluk lain yang akhrinya menemukan kulminasinya pada manusia.
Memang menarik untuk melihat bahwa kreativitas ini sudah dapat diikuti pada
yang disebut proses belajar dalam proses biologi. Suatu organisme selalu akan
bereaksi atas rangsang dengan suatu respon, yang paling primitive ialah yang
29
disebut
reflek
suatu
perbendaharaan
reaksi
pada
setiap
jenis
yang
menjaminkelangsungan jenis, bersifat herediter, untuk melindungi terhadap setiap
perubahan berbahaya dalam lingkungan. 2) kultur (kreativitas dan evolusi budaya)
manusia berkembang dari proses perkembangan otak yang lemah menuju pada
perkembangan otak yang kuat yang dipengaruhi oleh alam serta dapat bereaksi
secara kreatif atas adat istiadat atau tradisi tersebut hal mana merupakan suatu
dogma antropologi.
Rogers dalam (Munandar 1999: 18), menekankan bahwa kecenderungan
untuk mengaktualisasi diri, mewujudkan potensi, dorongan untuk berkembang
dan menjadi matang, kecenderungan untuk mengekspresikan dan mengaktifkan
semua kemampuan organisme, Moustakis menyatakan bahwa kreativitas adalah
pengalaman mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas individu dalam
bentukterpadu dalam hubungan dengan diri sendiri, dengan alam dan orang lain.
Dalam perkembanganya kreativitas ada empat aspek yaitu: 1) pribadi,
kreativitas merupakan ungkapan ekspresi dari keunikan individu dalam interaksi
dengan lingkungannya. Ungkapan kreatif adalah yang mencerminkan orisionalitas
dari individu tersebut, dari ungkapan pribadi yang unik inilah dapat diharapkan
timbulnya ide – ide baru dan produk – produk yang inovatif, 2) pendorong bakat
kreativitas siswa akan terwujud jika ada dorongan dan dukungan dari lingkungan,
ataupun jika ada dorongan kuat dalam dirinya sendiri (motivasi internal) untuk
menghasilkan sesuatu. 3) proses, untuk mengembangkan kreativitas anak perlu
diberikan kesempatan untuk bersibuk diri secara kreatif, dalam hal ini yang
penting adalah memberikan kebebasan kepada anak untuk mengekspresikan
dirinya secara kreatif, 4 ) prodik, kondisi yang memungkinkan seseorang yang
menciptakan produk kreatif yang bermakna ialah kondisi pribadi lingkungan yaitu
sejauh mana keduanya mendorong seseorang untuk melibatkan dirinya dalam
proses kegiatan kreatif.
Evans, (1995 : 39) mengatakan, kreativitas telah dibatasi dari sudut
pandang: 1) Hasil dari perilaku kreatif, seperti penemuan teori – teori,
kepustakaan, musik, seni, dan model-model; 2) proses prilaku kreatif yang
melibatkan persepsi, pemikiran, belajar dan motivasi; 3) karakteristik dari
30
individu – individu yang menciptakan, seperti temperamen, sikap mental pribadi
dan kebiasaan; 4) pengaruh lingkungan dan budaya sehingga mengakibatkan
prilaku kreatif; 5) peran pemikiran kreatif dalam pemecahan masalah.
Glover, (1980: 13), Perilaku kreatif diperlukan untuk berbagai alasan
yakni meningkatkan kepuasan pribadi, kemampuan memecahkan masalah,
mempunyai potensi diri dan sebagainya. Yang paling penting perilaku kreatif
diperlukan karena kompleksitas dunia kita meningkat secara eksponensial dari
hari ke hari. Kelangsungan hidup kita sebagai spesies tergantung pada
kemampuan kita dan kemampuan anak – anak kita untuk menanggapi masalah
dunia dengan solusi kreatif. Masalah dunia tampaknya akan tumbuh lebih cepat
dan dapat diatasi dengan berfikir kreatif. Kelangsungan hidup manusia sebagai
spisies didasarkan pada kemampuan kita untuk memecahkan masalah yang bukan
saja hari ini, tetapi juga masalah yang pasti berkembang sebagai perubahan dunia.
Untuk memenuhi tantangan masalah kita harus menjadi lebih kreatif.
Lebih lanjut menurut Guiford, (1986: 6), Orang kreatif biasanya memiliki
kualitas tertentu dimana orang lain tidak memiliki namun para psikoloq umumnya
yakin bahwa semua individu memiliki tingkat tertentu terkait kemampuannya.
Tindakan kreatif yang paling penting adalah proses kontinuitas atau kelanjutan.
Kreativitas siswa perlu dikembangkan dan ditumbuhkan guru pada anak didiknya,
agar proses belajar dapat berjalan lancer dan reaktif, sehingga menghasilkan
prestasi belajar yang optimal. Lebih lanjut Surya (2003: 33) mengatakan kita
membutuhkan kreativitas untuk memahami dunia, karena keativitas merupakan
bagian dari proses belajar. Keterangan ahli diatas sudah jelas bahwa kreativitas
seseorang sangat dibutuhkan dalam proses kegiatan tertentu, karena kreativitas
merupakan bagian dari proses belajar.
Guilford dalam (Hawadi at all 2001: 1), mengemukakan empat ciri
kreativitas yaitu 1) kelancaran (fluency) adalah kemampuan untuk memproduksi
banyak gagasan ; 2) keluwesan (flexibility) adalah kemampuan untuk mengajukan
bermacam – macam pendekatan dan atau jalan pemecahan maslah; 3) keaslian
(oridinaly) adalah kemampuan untuk melahirkan gagasan – gagasan asli sebagai
31
hasil pemikiran sendiri dan tidak klise; 4) penguraian (elaborasi) adalah
kemampuan untuk mengurai sesuatu secara terinci.
6. Hasil Belajar
a. Pengertian Hasil Belajar
Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah
siswa pengalaman belajar, hasil belajar siswa pada hakekatnya merupakan
perubahan dalam bidang kognitif, afektif maupun psikomotorik yang berorientasi
pada proses belajar mengajar yang dialami siswa, dan hasil belajar itu
berhubungan dengan tujuan instruksional dan pengalaman yang dialami siswa
(Sudjana, 2000: 133 ).
Menurut Gagne (dalam Sulistyo, 2014: 2), hasil belajar siswa dipengaruhi
oleh faktor yang berasal dari dalam diri siswa dan faktor yang berasal dari luar
diri siswa. Faktor yang berasal dari dalam diri antara lain perhatian, kreativitas,
intelegensi, minat, motivasi dan aktivitas belajar. Sedangkan faktor yang berasal
dari luar diri siswa antara lain keadaan keluarga, keadaan awal, tempat tinggal,
guru yang mengajar, cara mengajar dan lingkungan sekolah. Hasil belajar juga
dipengaruhi oleh aktivitas belajar siswa. Aktivitas ini merupakan hal yang
menunjang dalam usaha peningkatan hasil belajar.
Menurut Sardiman (2014:100), kegiatan atau kesibukan yang dilakukan
seseorang dalam belajar akan mempengaruhi hasil belajarnya. Siswa yang belajar
dengan cara menulis, mengerjakan soal-soal, membuat rangkuman hasilnya akan
lebih baik dari pada siswa yang belajarnya hanya membaca saja. Aktivitas dapat
dilakukan siswa selama di kelas dan di rumah. Aktivitas di kelas berupa kegiatan
yang dilakukan siswa secara jasmani maupun rohani yang menunjang proses
belajar mengajar di sekolah misalnya mencatat, mendengarkan penjelasan guru,
bertanya pada guru, pergi ke perpustakaan dan sebagainya. Sedangkan aktivitas
belajar di rumah berupa kegiatan yang dilakukan siswa selama di rumah dan
merupakan kelanjutan dari belajar di sekolah misalnya mengerjakan PR,
mengerjakan latihan-latihan soal, merapikan catatan, dan sebagainya.
Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan tingkah laku
yang diperoleh sebagai hasil belajar adalah sebagai berikut :
32
a) Perubahan yang terjadi itu secara sadar, maksudnya bahwa individu yang
menyadari dan merasakan telah terjadi adanya perubahan yang terjadi pada
dirinya.
b) Prubahan yan terjadi relative lama, perubahan ysng terjadi akibat belajar atau
hasil belajar yag bersfat menetap dan permanen, maksudnya adalah bahwa
tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap.
c) Perubahan yang terjadi mencakup seluruh aspek tingkah laku.
d) Perubahan yang dperoleh individu dari hasil belajar meliputi perubahan
keseluruhan tingkah laku baik dalam sikap, kebiasaan, ketrampilan maupun
pengetahuan.
b. Faktor yang mempengaruhi hasil belajar
Faktor – faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar menurut
Djamarah, 2002: 24) adalah :
1. Faktor lingkungan
Lingkungan merupakan bagian dari kehidupan siswa, dalam lingkungan ya
siswa hidup dan berinteraksi. Lingkungan yang mempengaruhi hasil belajar
siswa dapat dibedakan menjadi dua yaitu :
a) Lingkungan alami
Lingkungan alami adalah lingkungan tempat siswa berada dalam arti
lingkungan fisik. Yang dimaksud lingkungan alami adalah lingkungan
sekolah, lingkungan tempat tinggal dan lingkungan bermain.
b) Lingkungan sosial
Makna lingkungan dalam hal ini adalah interaksi siswa sebagai makhluk
social, makhluk yang hidup bersama. Sebagai anggota masyarakat, siswa
tidak bias melepaskan diri dari ikatan social. Sistem social yang berlaku
dalam masyarakat tempat siswa tinggal mengikat perilakunya untuk
tunduk pada norma-norma sosial, susila dan hukum. Contohnya ketika
siswa berada di sekolah, ia menyapa muridnya dengan sedikit
membungkukan badan.
33
2. Faktor instrumental
Setiap penyelengaraan pendidikan memiliki tujuan instruksional
yang hendak dicapai diperlukan. Untuk mencapai tujuan tersebut
diperlukan seperangkat kelengkapan atau instrument dalam berbagai
bentuk dan jenis, yang dapat dikelompokkan menjadi :
a) Kurikulum
Kurikulum adalah a plan for learning yang merupakan unsur subtansial
dalam pendidikan . tanpa kurikulum, kegiatan belajar mengajar tidak dapat
berlangsung. Setiap guru harus mempelajari dan menjabarkan isi
kurikulum ke dalam program yang lebih rinci dan jelas sasaranya,
sehingga dapat diketahui dan diukur dengan pasti tingkat keberhasilan
belajar mengajar yang telah dilaksanakan.
b) Program
Keberhasilan pendidikan di sekolah tergantung dari baik tidaknya program
pendidikan yang dirancang. Program pendidikan disusun berdasarkan
potensial sekolah yang tersedia, baik tenaga, finansial, sarana dan
prasarana.
c) Sarana dan prasarana
Sarana prasarana mempunyai arti penting dalam pendidikan, sebagai
contoh ruang kelas, ruang praktek, laboratorium, perpustakaan, aula yang
dibangun untuk menunjang kegiatan belajar mengajar.
d) Guru
Guru merupakan penyampai bahan ajar kepada siswa yang membimbing
dalam proses transfer ilmu di sekolahan. Perbedaan karakter, kepribadian,
kebudayaan dan cara mengajar yang berbeda – beda dari masing – masing
guru akan menghasilkan konstribusi yang berbeda pada proses
pembelajaran.
Sedangkan faktor-faktor internal yang mempengaruhi hasil belajar adalah:
1. Fisiologis
Merupakan factor internal yang berhubungan dengan proses proses
yang terjadi pada jasmaniah yaitu :
34
a) Kondisi fisiologis
Kondisi fisiologis umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan
belajar individu. Siswa dalam keadaan lelah akan berlainan belajarnya
dengan siswa yang dalam keadaan tidak lelah.
b) Kondisi panca indera
Kemampuan kondisi fisiologis yang di spesifikkan pada kondisi indera.
Kemampuan untuk melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasa
mempengaruhi hasil belajar. Anak yang memiliki hambatan pendengaran
akan kesulitan menerima pelajaran apabila ia tidak mengguanakan alat
bantu pendengaran.
b. Psikologis
Faktor psikologis merupakan factor dari dalam diri individu yang
berhubungan dengan ruhaniah. Factor psikologis yang mempengaruhi hasil
belajar adalah :
a) Minat
Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal
atau aktivitas, tanpa ada yang memerintahkan. Minat pada dasarnya adalah
penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu dari
luar, semakin kuat atau dekat hubungan tersebut semakin besar minatnya.
b) Kecerdasan
Kecerdasan berhubungan dengan kemampuan siswa untuk beradaptasi,
menyelesaikan masalah dan belajar dari pengalaman kehidupan.
Kecerdasan dapat diasosiasikan dengan intelegensi. Siswa dengan IQ yang
tinggi umumnya mudah menerima pelajaran dan hasil belajarnya
cenderung baik.
c) Bakat
Bakat adalah kemampuan bawaan yang merupakan potensial yang masih
perlu dilatih dan dikembangkan. Bakat memungkinkan seseorang untuk
mencapai prestasi dalam bidang tertentu.
d) Motivasi
35
Motivasi adalah suatu kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk
melakukan sesuatu.
e) Kemampuan kognitif
Ranah koqnitif merupakan kemampuan intelektual yang berhubungan
dengan pengetahuan, ingatan, pemahaman dan lain – lainnya.
c. Jenis – jenis hasil belajar
Bloom (dalam Sudjana, 2000) membagi hasil belajar dalam tiga ranah,
yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomoris.
1. Ranah kognitif
Ranah ini berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam
aspek yaitu
a) Pengetahuan (knowledge)
Tipe hasl pengetahuan terasuk kognitif tingkat rendah, namun tipe
hasil belajar ini menjadi prasyarat bagi tipe hasil belajar berikutnya. Hal
ini berlaku bagi semua bidang studi pelajaran. Misalnya : hafal suatu
rumus akan menyebabkan paham bagaimana menggunakan rmus tersebut.
b) Pemahaman
Pemahaman dapat dilihat dari emampuan individu dalam
menjelaskan suatu maslah atau pertanyaan.
c) Aplikasi
Apliasi adalah penggunaan abstraksi pada situasi kongkret atau
situasi khusus. Abstraksi tersebut mungkin berupa ide, teori, atau petunjuk
teknis. Menerapkan abstraksi ke dalam situasi barudisebut aplikasi.
Mengulang – ulang menerapkannya pada situasi lama akan beralih
menjadi pengetahan atau ketrampilan.
d) Analisis
Analisis adalah usaha memilih suatu integritas menjadi unsur –
unsur atau bagian – bagian sehingga jelas hierarkinya dan atau
susunannya. Analisis merupakan kecakapan yang komplek yang
memanfaatkan kecakapan dari ketiga tipe sebelumnya.
e) Sintesis
36
Penyatuan unsur – unsur atau bagian – bagian ke dalam bentuk
menyeluruh disebut sintesis, berpikir sintesis adalah berpikir divergan
dimana menyatukan unsur – unsur menjadi integritas.
f) Evaluasi
Evaluasi adalah keputusan tentang suatu nilai ang mungkin dilihat
dari segi tujuan, gagasan, cara kerja, pemecahan metode, dan lain – lain.
2. Ranah afektif
Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai, tipe hasil belajar
afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti perhatian
guru, kebiasaan belajar dan hubungan sosial.
3. Ranah psikomorik
Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk ketrampilan (skill)
dan kemampuan bertindak individu.
B. Penelitan Yang Relevan
1.
Yesualdus Henrasmin. 2014 “ Pengaruh model cooperative learning tipe
stad dan problem based learning terhadap prestasi belajar sejarah ditinjau
dari kreativitas ditinjau dari kreativitas siswa sma negeri se – kabupaten
manggarai timur” Universitas sebelas maret. Kesimpulan : kreativitas
siswa dan prestasi belajar mengalami peningkatan dalam setiap siklus
setelah penerapan model problem based learning.
2.
Sabrin, 2011. “Hubungan Antara Kreativitas Siswa Dengan Hasil Belajar
Akuntansi Siswa Kelas Xi Smk Negeri 1 Kendari. Berdasarkan hasil
pengolahan dan pengujian hipotesis, disimpulkan bahwa terdapat
hubungan yang positif dan signifikasi antara kreativitas siswa dengan
hasil belajar akuntansi siswa kelas XI SMK Negeri 1 Kendari. uji
normalitas data skor kreativitas siswa dan nilai hasil belajar siswa,
digunakan uji Chi Kuadrat (X2) yang hasilnya menunjukkan bahwa nilai
X2hitung variabel kreativitas siswa sebesar 5,48 < X2tabel sebesar 12,592
dengan α = 0,05 atau (X2hitung < X2tabel) sehingga data kreativitas siswa
(X) dalam penelitian ini distribusi normal. Demikian juga perhitungan
37
X2hitung untuk variabel hasil belajar siswa sebesar 10,282 < X2tabel 12,592
(X2hitung < X2tabel). Dengan demikian data variabel hasil belajar siswa
distribusi normal. Untuk mengetahui hubungan kreativitas siswa (X)
dengan hasil belajar (Y) ditunjukkan efesien korelasi sebesar rxy = 0,35
dengan koefisien determinasi (r2) sebesar 0,1225 atau 12,25 % . Hal ini berarti
bahwa 12,25 % hasil belajar siswa ditentukan oleh krerativitas siswa.
Kemudian uji keberartian korelasi diperoleh thitungsebesar 2,84 >ttabelsebesar
2,704 pada α = 0,01, maka hipotesis penelitian (H1) diterima. Jadi, salah satu
variabel yang harus dipertimbangkan dalam meningkatkan hasil belajar
siswa adalah kreativitas siswa. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi
kreativitas siswa (X) maka hasil belajar siswa (Y) akan semakin
meningkat dan sebaliknya.
3.
Lia Rahmawati, Mujiyem Sapti, ___. Peningkatan
Kreativitas
Dan
Prestasi Belajar Siswa Melalui Model Stad Bertugaskan Mengganti
Lirik Lagu di FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo. Hasil
penelitian
dan
pembahasan
maka
kesimpulan
yang
dapat
dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1)
kreativitas belajar siswa mengalami peningkatan dengan menggunakan
model pembelajaran Student Teams Achievement Divisions (STAD)
bertugaskan mengganti lirik lagu yang dilaksanakan oleh peneliti terlihat
dari pengukuran (a) hasil observasi kreativitas belajar siswa diperoleh
persentase 47,5% pada pra siklus, 65% pada siklus I, dan 72,5% pada
akhir siklus II ; (b) hasil Angket kreativitas belajar siswa terjadi
peningkatan
kreativitas
belajar
siswa dengan kategori cukup baik
diperoleh persentase 58,19% pada pra siklus, 65,39% pada siklus I, dan
74,08% pada akhir siklus II; (c) hasil observasi penilaian mengganti lirik
lagu diperoleh persentase 64,06% pada siklus I, dan 72,66% pada akhir
siklus II. (2) rerata dan persentase ketuntasan prestasi belajar siswa
mengalami peningkatan, yaitu 57 pada pra siklus menjadi 69,69 pada
siklus I dan meningkat lagi menjadi 73,28 pada siklus II. Dengan
jumlah siswa yang mencapai KKM pada pra siklus sebanyak 11 siswa
38
dengan persentase
34,37%
meningkat
siklus I dengan persentasenya yaitu
menjadi
21
siswa
pada
65,62% dan pada siklus II
meningkat menjadi 25 siswa dengan persentasenya yaitu 78,12%.
Untuk meningkatkan kreativitas dan prestasi belajar siswa penulis
memberikan beberapa saran sebagai berikut: (1) Kepada pihak
sekolah, diharapkan agar metode belajar ini dapat menjadi metode
alternatif yang digunakan di SMP Negeri 15 Purworejo dan dapat
dilaksanakan secara bergantian dengan model pembelajaran yang lain;
(2) Kepada peneliti lain dapat melakukan penelitian lebih lanjut
menggunakan model pembelajaran STAD bertugaskan mengganti lirik
lagu dengan mencakup aspek selain kreativitas dan mengaplikasikannya
pada materi pembelajaran yang berbeda atau pada mata pelajaran selain
matematika.
4.
Penelitian yang dilakukan Supina, 2013 tentang Pengaruh Motivasi
Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas XC Pada Mata Pelajaran Ekonomi
Di SMA di Pendidikan Ekonomi Universitas Tanjung Pura. Berdasarkan
hasil penelitian menunjukan bahwa Motivasi seperti Motivasi Instrinsik
berupa minat belajar dapat dikategori Tinggi kaitannya dengan Motivasi
karena bernilai 76,444 %, kecerdasan (kemampuan siswa) juga sudah
termasuk kategori tinggi kaitannya dengan Motivasi karena bernilai
73,77%, serta kondisi kesehatan juga sudah termasuk kategori tinggi
kaitannya dengan Motivasi karena bernilai 77,77%, serta motivasi
Ekstrinsik berupa lingkungan belajar (orang tua dan teman) sudah
termasuk kategori tinggi
kaitannya dengan Motivasi karena bernilai
71%, dan fasilitas belajar termasuk kategori sangat tinggi kaitannya
dengan Motivasi karena bernilai 84,07%, serta dan Guru juga sudah
termasuk kategori sangat tinggi kaitannya peranannya dalam Motivasi
karena bernilai 82,55%. Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan
bahwa
motivasi yang paling
besar keterkaitannya dengan motivasi
belajar siswa adalah motivasi yang bersal
dari
luar
(motivasi
ekstrinsik) yaitu fasilitas belajar dan faktor tenaga pengajar (guru) ; 2)
39
Sebanyak 31 atau
86,11% responden (siswa) yang Hasil belajarnya
tergolong sangat baik dan Sebanyak 5 atau 13,89% responden (siswa)
yang Hasil belajarnya tergolong baik serta Sebanyak 0 atau 0%
responden (siswa) yang Hasil belajarnya tergolong kurang baik.
Sebanyak 0 atau 0% responden (siswa )
yang Hasil belajarnya
tergolong tidak baik. Sebanyak 0 atau 0% responden (siswa ) yang
Hasil belajarnya tergolong sangat tidak baik ; 3) Terdapat pengaruh
Motivasi terhadap Hasil Belajar siswa kelas X C pada mata pelajaran
Ekonomi di SMA N 1 Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya. Hal ini
dibuktikan dengan nilai
>
(6,334 > 2,030) maka Ho ditolak
dan Ha diterima atau “terdapat pengaruh Motivasi terhadap Hasil belajar
siswa kelas X C pada mata pelajaran Ekonomi di SMA Negeri 1 Sungai
Kakap Kabupaten Kubu Raya”. Berdasarkan perhitungan regresi linier
sederhana diperoleh persamaan Y= 42.817+0.475X , yang artinya nilai
konstanta adalah 42,817 yaitu jika Motivasi (X) bernilai 0 (nol),
maka Hasil Belajar (Y) bernilai 42,817. Nilai koefisien regresi
variabel Motivasi (X) yaitu 0,475. Ini berarti bahwa setiap peningkatan
Motivasi (X ) sebesar 1, maka Hasil Belajar (Y) akan meningkat sebesar
0,475. Koefisien Determinasi pada penelitian ini menunjukkan kontribusi
pengaruh variabel bebas berupa
Motivasi (X)
yaitu terhadap Hasil
Belajar ( (Y) yaitu sebesar 54,1% sedangkan sisanya dipengaruhi oleh
variabel lain yang tidak diteliti oleh Peneliti, Seperti Perhatian, Bakat,
Kesiapan,
Keadaan
ekonomi keluarga, Kegiatan siswa dalam
masyarakat.
5.
Penelitian yang dilakukan A. Rosita, dkk, 2014, yang berjudul Penerapan
Perangkat pembelajaran problem based learning berorientasi green
chemistry mampu meningkatkan penguasaan soft skill konservasi siswa
SMA sampai pada tingkat pencapaian harga N-gain kategori tinggi dan
sedang. Penerapan model tersebut juga dapat meningkat- kan penguasaan
konsep hidrolisis garam siswa SMA sampai pada harga N-gain kategori
sedang. Siswa termotivasi dengan pembelajaran problem based learning
40
berorientasi
green chemistry
dan menyarankan mengembangkan
praktikum kimia dengan baik oleh siswa selama pembelajaran.
Sedangkan tanggung jawab dalam kategori sedang. Tanggung jawab
yang dilaksanakan dipembelaja- ran ini terpisah dari tanggung jawab
dalam cinta lingkungan dan peduli lingkungan. Tanggung ja- wab yang
dilaksanakan dipembelajaran ini ada- lah tanggung jawab dalam
melakukan pembelaja- ran dikelas. Tanggung jawab dalam pembelajaran
dikelas belum maksimal. Perangkat pembelajaran problem based learning
berorientasi green chemistry telah mampu mengembangkan soft skill
konservasi siswa SMA pada pengamatan selama 6 pertemuan. Hasil
pengamatan dari enam soft skill konservasi ada lima soft skill konservasi
(cinta lingkungan, peduli lingkungan, tanggung jawab, objektif dan jujur)
dengan kategori sangat baik sedangkan soft skill konservasi santun
dengan kategori baik. Pen- guasaan soft skill konservasi siswa SMA dari
uru- tan terendah yang ber-makna sulit terkembang- kan ke soft skill
yang mudah terkembang adalah sebagai berikut : santun, jujur, objektif,
tanggung jawab, peduli lingkungan, dan cinta lingkungan. Soft skill
konservasi santun belum terkembang- kan dengan baik pada penelitian
atau paling sulit terkembangkan, hal ini dilihat dari hasil penga- matan
selama enam kali pertemuan. Hasil temu- an penelitian ini mengenai soft
skill konservasi santun yang paling sulit dikembangkan, berarti
menunjukkan bahwa materi hidrolisis garam untuk mengembangkan soft
skill konservasi santun tidak tercapai. Soft skill konservasi santun tidak
terkembangkan pada konsep hidrolisis garam karena membutuhkan
latihan-latihan untuk ke- biasan seperti halnya dengan sub konsep
menghi- tung pH garam terhidrolisis. Sejalan dengan lati- han dan
pembiasaan yang harus dilakukan maka soft skill konservasi santun dan
menghitung pH garam terhidrolisis harus dilakukan dalam waktu yang
lebih lama untuk mendapatkan peningkatan yang maksimal. Tanggapan
siswa terhadap perangkat pembelajaran yang telah dilakukan di kelas
diukur dengan angket. Aspek ketertarikan, motivasi, kesenangan, dan
41
aspek pendukung penerapan model PBL berorientasi green chemistry
mem- berikan kategori “sangat tinggi” dan “tinggi” karena
memilih
pendapat
sangat
siswa
setuju dan setuju. Siswa memberikan
tanggapan yang baik terhadap model PBL berorientasi green chemistry
karena dapat belajar kimia dan dihubung- kan dengan lingkungan. Hal ini
sesuai dengan penelitian Juntenen (2013) yang tujuannya ada- lah
meningkatkan kualitas lingkungan dan pen- didikan keaksaraan
berkelanjutan melalui PBL. Penerapan model PBL berorientasi pada
green mikroskala menggunakan bahan kimia yang ra- mah lingkungan.
6.
Dalam penelitian yang dilakukan oleh Shanmugapriya M dan
Dr.Tamilarasi A Developing a Mobile Courseware for ICT Students
using Problem Based Learning Approach. Berdasarkan pendekatan PBL
dan menerapkan ini pada kerangka mobile learning baru dikembangkan
berdasarkan arsitektur berorientasi layanan. Studi kasus yang disajikan
dalam artikel ini untuk mengembangkan courseware untuk Pemrograman
Java untuk siswa ICT mendorong penggunaan berbagai pedagogi
pembelajaran seperti pembelajaran berbasis masalah dan strategi desain
instruksional lain pada kerangka pembelajaran M digunakan dalam
proyek ini. Pendekatan ini memandang dan memungkinkan peserta didik
pendekatan sentris dalam platform mobile learning dan kerangka Mlearning mendukung sesuai. Kerangka ini dibangun di atas prinsip manamana dan suplemen baik lingkungan belajar tradisional seperti kelaspengaturan dan selama mobilitas siswa di kampus dan di luar kampus
lingkungan. Evaluasi kerangka dirancang diuji dengan sekelompok
mahasiswa milik Master of Aplikasi Program Komputer (MCA).
Kerangka M-learning dikembangkan untuk mendukung platform terbuka
seperti Android. Aplikasi ini dapat diimplementasikan dalam Platform
Ponsel lain seperti iOS, Blackberry dan Windows Mobile.
7.
Penelitian yang dilakukan Prarthana Coffin, 2013. Identifying needs to
develop a PBL staff development program bahwa salah satu elemen
penting dalam mengimplementasikan PBL inisiatif serta menjaga
42
pelaksanaan PBL. Pengembangan staf PBL perlu dimasukkan ke dalam
rencana aksi dari awal ketika lembaga pendidikan tinggi ingin
menerapkan PBL. Tanpa ragu, ia akan bekerja keras untuk semua agen
ketika datang ke perubahan apapun. Oleh karena itu, memiliki dukungan
yang kuat dari semua tingkatan dalam organisasi adalah penting dan
berharga. Membuat perubahan dalam sistem pendidikan adalah proses
panjang yang memerlukan dukungan, komitmen, kreativitas, dan
toleransi dari semua agen. Seperti yang disarankan oleh para ahli PBL,
penyusunan staf saja dapat mengambil setidaknya satu tahun sebelum
pelaksanaan aktual; Oleh karena itu, memiliki staf siap untuk memulai
dengan adalah alternatif yang baik. Seorang staf siap memang bisa
datang dalam bentuk program pengembangan staf PBL. Dalam
kebanyakan kasus pelatihan staf PBL telah dilakukan terutama melalui
format lokakarya singkat; Namun, penelitian ini mengusulkan bahwa
menambahkan lebih pelatihan dan dukungan elemen jangka panjang
yang sistematis yang tidak hanya akan membuat inisiatif implementasi
PBL yang kuat, tetapi juga akan mempertahankan praktek PBL lembaga.
Sebagai PBL tidak harus dilihat sebagai add-on pendekatan pengajaran;
itu
harus
tertanam
dalam
sistem.
Oleh
karena
itu,
program
pengembangan staf PBL juga harus tertanam dalam sistem evaluasi staf
(sistem reward) juga. Disarankan agar membentuk program pelatihan
PBL berurutan bersama dengan praktek masyarakat PBL dapat menjadi
strategi berkelanjutan untuk menerapkan dan memelihara praktek PBL
karena twounits ini akan platform bagi para praktisi PBL untuk berbagi
ide dan pengalaman, serta dukungan satu sama lain dalam sikap
pedagogis mereka.
8.
Penelitian yang dilakukan Helene M. Larin, dkk, 2010, tentang Students’
Perspectives on Problem-Based Learning in a Transitional Doctorate of
Physical Therapy Program. Studi ini menambahkan literatur yang ada
pada PBL untuk program kesehatan profesional. Sebuah kursus PBL
tunggal dalam kurikulum konvensional diterima dengan baik oleh siswa
43
tDPT dalam penelitian ini. Siswa dirasakan bahwa mereka telah
memperoleh
keterampilan
dalam
mengakses
dan
memanfaatkan
informasi, dan memberi, menerima dan bertindak atas umpan balik.
Mereka menyadari dinamika kelompok dan kontribusi masing-masing
untuk keberhasilan kelompok. Siswa menghargai nilai belajar dari orang
lain dan mencatat perubahan positif dalam pertumbuhan pribadi dan
profesional. Siswa mencatat bahwa komunikasi, penyelidikan kritis,
pengambilan keputusan klinis, refleksi, dan keterampilan praktik berbasis
bukti yang mereka dapatkan dalam kursus PBL ini akan sangat berharga
dalam praktek klinis.
9.
Penelitian yang dilakukan oleh Eliana Rodriguez, dkk, 2012, yang
berjudul The Use of the Ames Test as a Tool for Addressing ProblemBased Learning in the Microbiology Lab. Tujuan umum dari sumber
daya laboratorium ini adalah untuk siswa untuk mengembangkan
kompetensi dan membangun keterampilan mengenai uji Ames, dan
berpartisipasi langsung dalam proses pembelajaran, daripada menjadi
penerima pasif pengetahuan yang ditransfer. Siswa mampu membuat
koneksi ke aplikasi dunia nyata dari materi kursus. Selain itu, penetapan
kadar zat dengan sifat antimikroba terbukti menjadi diskusi baik pemula.
Jenis kegiatan hands-on terbukti lebih efisien daripada kuliah langsung
dalam memberikan siswa dengan visi bahwa produk alami masih tetap
merupakan sumber yang belum dijelajahi senyawa antibakteri.
10. Penelitian yang dilakukan N.K Hashilkar and M.H. Gelula, 2014, yang
berjudul Effectiveness of Team Based Learning to Teach Pharmacology
for Phase-II MBBS Students. Dari temuan kami, kami dapat mendukung
kesimpulan bahwa TBL lebih efektif dibandingkan dengan metode CT.
TBL tampaknya tidak hanya memberikan informasi tentang materi
pelajaran
tetapi
juga
muncul
untuk
membantu
siswa
dalam
mempertahankan fakta dan konsep-konsep untuk jangka waktu lebih
lama. Selain itu, dalam penelitian ini, TBL muncul untuk memastikan
kemampuan analisis dan klinis-penalaran yang lebih baik sehingga siswa
44
dapat menerapkan pengetahuan mereka dalam pengaturan relevansi
klinis. Oleh karena itu kami akan merekomendasikan bahwa TBL
digunakan untuk mengajar farmakologi untuk modul lain juga.
C. Kerangka Berfikir
Adanya beberapa factor yang mempengaruhi keberhasilan dalam
pembelajaran IPS, di antaranya karena model pembelajaran dan media
pembelajaran yang digunakan guru dalam kegiatan belajar mengajar. Berdasarkan
kajian teori yang telah diuraikan di atas dapatlah dibuat kerangka berfikir dari
penelitian ini sebagai berikut :
Pada kondisi awal guru dalam pembelajaran belum menggunakan model
pembelajaran problem based learning dengan media audio visual, yang berakibat
siswa merasa bosan dan tidak tertarik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran,
sehingga hasil belajar siswapun menjadi rendah.
Untuk mengatasi masalah tersebut, guru harus melakukan tindakan.
Tindakan yang dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran problem
based learning dengan media audio visual dalam tiga siklus, yang masing –
masing siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi.
Sehingga dengan tindakan ini diharapkan akan meningkatkan kreativitas dan
peningkatan hasil belajar.
45
Untuk lebih jelasnya, kita lihat skema alur atau kerangka berfikir
Kondisi Awal
Pelaksanaan
Kondisi akhir
Guru :
Belum
menerapkan
model
pembelajaran
problem based learning
dangan audio visual
dalam pembelajaran IPS
Guru :
Pengunaan
model
pembelajaran problem
based learning dengan
audio visual dalam
pembelajaran IPS
Diduga dengan Pengunaan
model
pembelajaran
problem based learning
dengan audio visual dalam
pembelajaran
IPSdapat
meningkatkan kreativitas
dan hasil belajar
Gambar 2.1 Skema Kerangka Berfikir
Siswa :
Kreatifitas siswa
dan Hasil belajar
IPS rendah
Siklus
1. Perencanaan
2. Tindaklan
3. Pengamatan
4. Reflesi
Siklus I belum
tercapai sehingga
terulang sampai
siklus III terjadi
peningkatan
kreativitas dan
hasil belajar
46
Keterangan Skema :
Judul Proposal : Implementasi Pembelajaran IPS Dengan Model PBL ( Problem
Based Learning) dan Media Audio Visual Untuk Meningkatkan Kreativitas dan
Hasil Belajar di SMK Bina Taruna Masaran Sragen.
1. Kondisi awal, maksudnya adalah kondisi dimana anak didik melakukan
kegiatan pembelajaran belum menggunakan model PBL (Problem Based
Learning) dengan mengunakan media audio visual sehingga pemahaman
materi pembelajaran masih rendah. Hal ini disebabkan karena guru masih
menerapkan pembelajaran yang berpusat pada guru.
2. Dengan latar belakang tersebut, kemudian guru menerapkan model PBL
(Problem Based Learning) dan menggunakan media audio visual dalam
proses belajar mengajar.
3. Setelah guru menerapkan model PBL (Problem Based Learning) dengan
menggunakan media audio visual, maka anak didik mulai berlatih untuk
meningkatkan kreativitas dalam pembelajaran dan akhirnya hasil belajar anak
didik khususnya pelajaran IPS menjadi meningkat.
D. Hipotesis Tindakan
Berdasarkan kajian teori dan kerangka berfikir di atas maka hipotesis
tindakan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut :
1.
Pelaksanaan model pembelajaran PBL (Problem Based Learning) dalam
pembelajaran IPS dengan menggunakan media audio visual di duga
berguna bagi guru dalam penyampain materi pembelajaran.
2.
Pelaksanaan model pembelajaran PBL (Problem Based Learning) dalam
pembelajaran IPS dengan menggunakan media audio visual diduga dapat
meningkatkan kreativitas siswa.
3.
Pelaksanaan model pembelajaran PBL (Problem Based Learning) dalam
pembelajaran IPS dengan menggunakan media audio visual diduga dapat
meningkatkan hasil belajar siswa.
Download