8 BAB II LANDASAN TEORI DAN KERANGKA BERFIKIR A. Kajian Teori 1. Pengertian Belajar dan Pembelajaran IPS a. Pengertian Belajar Secara umum, belajar adalah merupakan suatu aktivitas yang menimbulkan perubahan yang relative permanen akibat dari upaya-upaya yang dilakukannya. Belajar merupakan hal yang sangat mendasar bagi manusia dan merupakan proses yang tidak henti-hentinya. Belajar merupakan proses yang berkesinambungan yang mengubah pelajar dalam berbagai cara. Belajar menurut Skinner (dalam Trianto, 2010) adalah suatu perilaku pada saat orang belajar, maka responnya akan menurun. Belajar menurut Gagne (dalam Suprijono, 2009) adalah perubahan disposisi atau kemampuan yang dicapai seseorang melalui aktivitas. Setelah belajar orang memiliki keterampilan, pengetahuan, sikap dan nilai. Belajar menurut pandangan Piaget (dalam Lie, 2004) adalah pengetahuan dibentuk oleh individu. Sebab individu melakukan dan mengalami perubahan tersebut. Adanya interaksi dengan lingkungan maka interaksi semakin berkembang (Mudjiono, 2002). Menurut Rosdiana (dalam Suprijono, 2009) secara psikologis belajar merupakan suatu proses perubahan yaitu perubahan tingkah laku sebagai hasil dari interaksi lingkungannya dalam memahami kebutuhan hidupnya. Perubahan tersebut akan nyata dalam seluruh aspek tingkah laku. Belajar adalah suatu perubahan yang relative permanen dalam suatu kecenderungan tingkah laku sebagai hasil dari praktek atau latihan. Belajar adalah proses yang aktif suatu fungsi dari keseluruhan lingkungan di sekitarnya. Belajar adalah perubahan tingkah laku (Sudjana, 2001). b. Pengertian Pembelajaran Pembelajaran berasal dari kata ajar, belajar yang artinya perubahan tingkah laku. Belajar dan pembelajaran merupakan suatu kegiatan yang dilakukan untuk menciptakan keadaan (proses) belajar. Oleh karena itu harus dipahami 9 bagaimana siswa mendapatkan pengetahuan dari kegiatan belajarnya ( Subini, 2013: 6 ) Menurut Regeluth dalam Supriadie (2009: 9) dibahasakan sebagai instructional impllemention namun pembelajaran tersebut merupakan sebuah kegiatan yang harus didesain dan di buat blue print nya, dikelola dengan baik dan selalu dilakukan penilaian. Pembelajaran atau instruksional adalah suatu konsepsi dari dua dimensi kegiatan (belajar dan mengajar) yang harus direncanakan dan diaktualisasikan, serta diarahkan pada pencapaian tujuan atau penguasaan sejumlah kompetensi dan indicator sebagai gambaran hasil belajar. Pembelajaran juga diartikan sebagai usaha mengelola lingkungan dengan sengaja agar seseorang belajar berperilaku tertentu dalam kondisi tertentu (Djaafar, 2000: 2). Menurut Gagne dan Binggs, pembelajaran adalah rangkaian peristiwa atau kejadian yang mempengaruhi siswa sedemikian rupa sehingga proses belajarnya dapat berlangsung dengan mudah. Berdasarkan beberapa pengertian tersebut maka yang dimaksud dengan pembelajaran adalah proses, cara dan usaha untuk mengolah lingkungan agar peserta didik atau siswa belajar. Pembelajaran menurut Corey dalam Hosman adalah proses dimana lingkungan seseorang sengaja dikelola untuk memungkinkan ia serta dalam tingkah laku tertentu dalam kondisi – kondisi khusus. Pembelajaran merupakan sarana dan prasarana. Sarana pembelajaran meliputi buku pembelajaran, buku bacaan, alat dan fasilitas laboratorium sekolah dan berbagai media pengajaran yang lain. Prasarana pembelajaran meliputi gedung sekolah, ruang belajar, lapangan olah raga, ruang ibadah, ruang kesenian, peralatan olahraga dan sebagainya. Sarana dan prasarana pembelajaran yang lengkap merupakan kondisi yang baik sehingga menciptakan proses belajar yang berhasil baik pula ( Dimyadi dan Mudjono, 2006 : 249 ). Pembelajaran bukan hanya menyampaikan informasi atau pengetahuan saja, melainkan mengkondisikan pembelajaran untuk belajar, karena tujuan utama pembelajaran adalah belajar. Menurut Nasution dalam Subini (2013: 7) menyatakan bahwa pembelajaran merupakan aktivitas mengorganisasikan atau mengatur lingkungan sebaik-baiknya dan menghubungkannya dengan anak didik 10 sehingga terjadilah proses kegiatan belajar. Dalam hal ini dengan lingkungan tidak hanya sekolah atau ruang untuk belajar tetapi juga menyangkut pendidik, alat peraga, laboratorium, atau perpustakaan. Jadi tidak semata pada lingkungan sekolah saja. Menurut Mulyasa ( 2002 : 100 ) Proses pembelajaran pada hakikatnya adalah proses interaksi antara peserta didik dengan lingkunganya, sehingga terjadi perubahan perilaku kea rah yang lebih baik, maka dapat dikatakan bahwa sikap merupakan suatu kecenderungan yang bersifat negative maupun positif seseorang untuk bertindak terhadap suatu obyek yang dipengaruhi oleh factor kognitif dan afektif individu terhadap obyek tersebut. c. Pembelajaran IPS Ilmu Pengetahuan Sosial adalah salah satu mata pelajaran yang ada di tingkat pendidikan dasar dan menenggah. Seperti yang di kemukakan M.N Soemantri (2001 : 74) bahwa pendidikan IPS adalah penyederhanaan disiplin ilmu-ilmu sosial, ideologi negara dan disiplin ilmu yang lainnya serta masalah – masalah social terkait, yang diorganisasikan dan disajikan secara ilmiah dan psikologi untuk tujuan pendidikan pada tingkat dasar dan menengah. Di tingkat SMK ilmu-ilmu sosial yang di maksud ialah ekonomi, sosiologi, sejarah dan geografi. Ilmu Pengetahuan Sosial sebagai mata pelajaran dalam kurikulum sekolah mulai tingkat dasar ( SD ) hingga menengah ( SMP/MTs dan SMA/MA/ SMK ). Pelajaran IPS pada kurikulum sekolah ( satuan pendidikan ) pada hakikatnya merupakan mata pelajaran wajib sebagaiman yang dinyatakan dalam Undang – Undang nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional Pasal 39 ( Sapriya, 2014 : 12). Menurut pendapat Urip Saripudin (1989: 38) bidang studi Ilmu Pengetahuan Sosial di sekolah menengah merupakan salah satu unsur kurikulum pendidikan yang secara formal dan material menjabarkan esensi Tujuan Pendidikan Nasional. Untuk itu merupakan suatu keharusan bagi bidang studi untuk menjabarkan tujuan tersebut dalam wawasan dan perspektif keilmuan social. Dimyati (1989 : 90) menyatakan bahwa secara umum tujuan pengajaran 11 ilmu-ilmu social, khususnya dalam arti sasial studies atau IPS adalah meliputi tiga segi pendidikan seperti humanisticeducation, social civic education, dan intellectual education ( pendidikan kemanusiaan, kemasyarakatan kenegaraan dan pendidikan intelektual). d. Teori Kontruktivisme Proses belajar sebagai suatu usaha pemberian makna oleh siswa kepada pengalamannya melalui proses asimilasi dan akomodasi, akan membentuk suatu konstruksi pengetahuan yang menuju pada kemutakhiran struktur kognitifnya. Ada beberapa pandangan dari segi konstruktivistik, dan dari aspek-aspek peserta didik, peranan guru, sarana belajar, dan evaluasi belajar. Menurut pandangan konstruktivistik, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh peserta didik. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari. Guru memang dapat dan harus mengambil prakarsa untuk menata lingkungan yang memberi peluang optimal bagi terjadinya belajar. Namun yang akhirnya paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa sendiri. Istilah lain, dapat dikatakan bahwa hakekatnya kendali belajar sepenuhnya ada pada siswa (Aristawan, 2014: 6). Dalam proses pengajaran, unsur proses belajar memegang peranan yang vital. Proses belajar mengajar hanya bermakna apabila terjadi kegiatan belajar murid. Oleh karena itu penting bagi seorang guru memahami sebaik-baiknya tentang belajar siswa, agar ia dapat memberikan bimbingan dan menyediakan lingkungan belajar yang tepat dan serasi bagi murid-murid. Pengajaran di sekolah semakin berkembang. Dimulai dari pengajaran tradisional, yang memiliki ciri-ciri tradisional konservatif berkembang menuju ke sistem pengajaran modern, yang memiliki ciri-ciri yang sesuai dengan perkembangan zaman. Dasar perkembangan ini adalah dilihat dari segi-segi historis, orientasi pengajaran, tujuan pengajaran, kurikulum yang digunakan, proses belajar siswa, disiplin kelas, metode mengajar, hubungan sekolah dan masyarakat, dipergunakan (Hamalik, 2011: 55). dan komunikasi keperagaan yang 12 Menurut konsep Zone of Proximal Development (ZPD), perkembangan psikologi bergantung pada kekuatan sosial luar sekaligus pada kekuatan batin (inner resources). Asumsi konsep dasar ini adalah bahwa perkembangan psikologis dan pembelajaran tertanam secara sosial, dan untuk memahaminya kita harus menganalisis masyarakat sekitar dan hubungan-hubungan sosialnya. Vygotsky menyatakan bahwa anak mampu meniru tindakan yang melampaui kapasitasnya, namun hanya dalam batas-batas tertentu. Ketika sedang meniru, anak sanggup melakukan secara lebih baik bila dibimbing oleh orang dewasa daripada dilakukannya sendiri. Vygotsky (1978) mendefinisikan ZPD sebagai jarak antara “tingkat perkembangan aktual anak sebagaimana ditentukan oleh kemampuan memecahkan masalah secara mandiri dan tingkat perkembangan potensial sebagaimana ditentukan oleh pemecahan masalah dibawah bimbingan orang dewasa atau kerjasama dengan sebaya yang mampu”(Haryanto, 2010: 6). Konstruktivisme adalah suatu teori pengetahuan dengan akar filosofi, psikologi dan cybernetics. seperti itu adalah definisi yang disajikan oleh ahli teori tokoh konstruktivis, von Glasersfeld (1989). Bagaimana cara teori pengetahuan ini diterjemahkan ke dalam praktek ? Bagaimana cara definisi dari apa yang berarti untuk "membangun pengetahuan" menginformasikan tindakan kita sebagai pendidik? Sedangkan konstructivisme dengan jelas memperoleh popularitas sebagai paradigma baru untuk belajar, banyak pertanyaan bagaimana filosofi dapat diterapkan. Mereka membantah bahwa hal itu tidak akan menghasilkan suatu metode, pendekatan atau ilmu pedagogi tertentu (Supardan, 2009: 16). Teori belajar kontruktivisme memahami belajar sebagai proses pembentukan (kontruksi) pengetahuan oleh si belajar itu sendiri. Dalam aliran kontruktivisme, pengetahuan dipahami sebagai suatu pembentukan yang terus menerus oleh seseorang yang setiap saat mengalami reorganisasi karena adanya pemahaman-pemahaman baru. Menurut Von Glaserfeld dalam (Siregar & Nara, 2014: 41), mengemukakan bahwa kemampuan yang diperlukan dalam proses mengkontruksi pengetahuan meliputi: (a) kemampuan mengingat dan mengungkapkan kembali pengalaman, (b) kemampuan membandingkan dan 13 mengambil keputusan mengenai persamaan dan perbedaan tentang sesuatu hal, dan (c) kemampuan untuk lebih menyukai suatu pengalamanan yang satu pada yang lain (selective consience). Menurut Cobb & Bower dalam (Schuck, 2012: 323), kontruktivisme menyoroti interaksi orang-orang dan situasi-situasi dalam penguasaan dan menyempurnaan keterampilan-keterampilan dan pengetahuan. Asumsi utama dari kontruktivisme adalah, manusia merupakan siswa aktif yang mengembangkan pengetahuan bagi diri mereka sendiri. Untuk memahami materi dengan baik, siswa harus menemukan prinsip-prinsip dasar. Asumsi kontruktivisme lainnya adalah, guru sebaiknya tidak mengajar dalam artian menyampaikan pelajaran dengan cara tradisional kepada sejumlah siswa. guru harus membangun situasisituasi sedemikian rupa sehingga siswa dapat terlibat secara aktif dengan materi pelajaran melalui pengolahan materi-materi dan interaksi pelajaran. Implikasi pengajarannya bahwa metode-metode pengajaran harus mencerminkan hasil-hasil yang kita inginkan dari para siswa. Menurut pandangan kontruktivisme, belajar merupakan suatu proses pembentukan pengetahuan. Pembentukan ini harus dilakukan oleh siswa. Ia harus aktif melakukan kegiatan, aktif berfikir, menyusun konsep dan memberi makna tentang hal-hal yang sedang dipelajari, tetapi yang paling menentukan terwujudnya gejala belajar adalah niat belajar siswa itu sendiri, sementara peranan guru dalam belajar kontruktivisme berperan membantu agar proses pengkontruktivisme pengetahuan oleh siswa berjalan lancar. Peranan guru pada pendekatan kontruktivisme ini lebih sebagai mediator dan fasilitator bagi siswa, yang meliputi kegiatan-kegiatan berikut ini. a. Menyediakan pengalaman belajar yang memungkinkan siswa bertanggung jawab, mengajar atau berceramah bukanlah tugas utama seorang guru. b. Menyediakan atau memberikan kegiatan-kegiatan keingintahuan siswa dan membantu yang merangsang mereka untuk mengekspresikan gagasannya. c. Memonitor, mengevaluasi dan menunjukkan apakah pemikiran siswa berjalan atau tidak. 14 Pandangan kontruktivisme mengarahkan perhatiannya pada bagaimana seseorang mengkontruksikan pengetahuan dari pengalamannya, struktur mental dan keyakinan yang digunakan untuk menginterpretasikan obyek dan peristiwaperistiwa, di mana interpretasi tersebut terdiri dari pengetahuan dasar manusia secara individual (Siregar & Nara, 2014: 41-42). Menurut paham konstruktivisme pengetahuan merupakan konstruksi (bentukan) dari orang yang mengenal sesuatu (skemata). Pengetahuan tidak dapat ditransfer dari guru kepada orang lain, karena setiap orang mempunyai skemata sendiri tentang apa yang diketahuinya. Dalam proses pembelajaran konstruktivisme adalah siswa yang harus aktif mengembangkan pengetahuan. Penekanan belajar siswa secara aktif perlu dikembangkan. Kreativitas dan keaktifan siswa akan membantu mereka untuk berdiri sendiri dalam kehidupan kognitif siswa. Salah satu teori belajar konstruktivisme adalah teori perkembangan mental Piaget yang disebut juga teori perkembangan intelektual atau teori perkembangan kognitif. Teori ini berkenaan dengan kesiapan anak untuk belajar, yang dikemas dalam tahap perkembangan intelektual dari lahir hingga dewasa. Setiap tahap perkembangan yang dimaksud dilengkapi dengan ciri-ciri tertentu dalam mengkontruksi ilmu pengetahuan (Rahayu, 2014: 254). 1) Fungsi dan Peranan Guru Dalam Kontruktivisme (a) Guru Sebagai Falisitator dan Mediator Menurut prinsip konstruktivis, seorang guru berperan sebagai mediator dan fasilitator yang memebantu agar proses belajar siswa berjalan dengan baik. Tekanan ada pada siswa yang belajar dan bukan pada disiplin ataupun guru yang mengajar. Karena siswa harus membangun sendiri pengetahuan mereka, maka seorang guru harus melihat mereka bukan sebagai lembaran kertas putih kosong atau tabula rasa. Mereka sudah membawa pengetahuan awal pengetahuan yang mereka miliki adalah dasar untuk membangun pengetahuan selanjutnya. Karena itu, guru perlu mengerti pada taraf manakah pengetahuan mereka. Guru perlu menciptakan suasana yang membuat siswa antusias terhadap persoalan yang ada sehingga mereka mau mencoba memecahkan persoalannya. Selain itu guru perlu membantu mengaktifkan siswa untuk berpikir. Guru perlu mengerti sifat 15 kesalahan siswa. Perkembangan intelektual dan matematis penuh dengan kesalahan dan kekeliruan. Hal ini merupakan bagian dari konstruksi semua bidang yang tidak boleh dihindarkan. Guru perlu melihat kesalahan sebagai suatu sumber informasi tentang penalaran. (b) Penguasaan Bahan Peran guru sangat menuntut penguasaan bahan yang luas dan mendalam. Guru perlu mempunyai pandangan yang sangat luas mengenai pengetahuan tentang bahan yang akan diajarkan. Pengetahuan yang luas dan mendalam memungkinkan seorang guru menerima pandangan dan gagasan yang berbeda dari siswa dan juga memungkinkan untuk menunjukkan apakah gagasan itu jalan atau tidak. Pemahaman historis ini akan meletakkan suatu pengetahuan dalam konteks yang lebih mudah dipahami daripada bila terlepas begitu saja. Guru konstruktivis diharapkan juga mengerti proses belajar yang baik. Mereka perlu mengerti proses asimilasi dan akomodasi yang diperlukan oleh siswa dalam memperkembangkan pengetahuan mereka (Silaban, 2013: 8-10). 2) Keunggulan Pendekatan Teori Kontruktivisme Menurut teori belajar konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat dipindahkan begitu saja dari pikiran guru kepada peserta didik. Artinya, bahwa peserta didik harus aktif secara mental membangun struktur pengetahuannya berdasarkan kematangan kognitif yang dimilikinya, dengan kata lain peserta didik tidak diharapkan sebagai botol-botol kecil yang siap di isi dengan berbagai ilmu pengetahuan sesuai dengan kehendak guru. Pembelajaran yang mengacu pada teori belajar konstruktivisme lebih memfokuskan pada kesuksesan peserta didik dalam refleksi atas apa yang telah diperintahkan dan dilakukan oleh guru, dengan kata lain peserta didik lebih didorong untuk mengkontruksi sendiri pengetahuan mereka melalui kegiatan asimilasi dan akomodasi. Proses pembelajaran mengacu kepada rencana yang telah direncanakan di dalam fungsinya untuk mencapai tujuan yang diharapkan. Interaksi dalam proses belajar mengajar seorang guru berperan sebagai penggerak/pembimbing, sedangkan siswa berperan sebagai penerima atau yang dibimbing. Proses pembelajaran dapat menuntut siswa untuk belajar lebih aktif dan kreatif di dalam 16 kegiatan belajar mengajar yang dilaksanakan harus dapat mengurangi dominasi guru, untuk itu hendaknya seorang guru harus mampu menjalankan tugasnya dengan baik, sehingga guru dapat melakukan proses pembelajaran berjalan dengan baik dan optimal apabila siswa aktif di dalam proses pembalajaran (Yatmi, 2014: 7-9). 2. Model Problem Based Learning (PBL) a. Pengertian Model Problem Based Learning Sugiyanto, (2010: 130) menyatakan Problem based learning (PBL) mengambil psikologi kognitif sebagai dukungan teoritisnya, fokusnya tidak banyak pada apa yang sedang dikerjakan siswa ( perilaku mereka ), tetapi pada apa yang siswa pikirkan (kognisi mereka) selama mereka mengerjakannya. Meskipun peran guru dalam pelajaran yang berbasis masalah kadang-kadang juga melibatkan mempresentasikan dan menjelaskan berbagai hal kepad siswa, tetapi guru lebih sering memfusikan diri sebagai pembimbing dan fasilitator sehingga siswa dapat belajar untuk berfikir dan menyelesaikan masalahnya sendiri. Egen & schuk, (2012: 307) mengatakan pembelajaran berbasis masalah merupakan seperangkat model mengajar yang menggunakan maslah sebagai focus untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah, materi dan pengaturan diri. Beberapa ciri penting pembelajaran berdasarkan masalah (Problem based learning) adalah sebagai berikut (Brookks & Martin, 1993); (1) Tujuan pembelajaran dirancang untuk dapat merangsang dan melibatkan pembelajar dalam pola pemecahan masalah, sehingga pebelajar diharapkan mampu mengembangkan keahlian belajar dalam bidangnya secara langsung dalam mengidentifikasi permasalahan; (2) Adanya keberlanjutan permasalahan, dalam hal ini ada dua tuntutan yang harus di penuhi yaitu: pertama masalah harus memunculkan konsep dan prinsip yang relevan dengan kandungan materi yang dibahas. Kedua permasalahan harus bersifat nyata sehingga dapat melibatkan pebelajar tentang kesamaan dengan suatu permasalahan. (3) adanya presentasi permaslahan pebelajar dilibatkan dalam mempresentasikan permaslahan sehingga pebelajar merasa memiliki permasalahan tersebut; (4) Pengajar berperan sebagai 17 tutor dan fasilitator, dalam posisi ini maka peran fasilitator adalah mengembangkan kreativitas berpikir para pebelajar dalam bentuk keahlian dalam pemecahan masalah dan membantu pebelajar untuk menjadi mandiri. Dari tujuan pembelajaran berdasarkan masalah, bahwa setelah pembelajaran siswa secara individu mampu menguasai konsep-konsep yang dipelajari untuk memecahkan maslah yang dihadapi dari mengidentifikasi masalah, mengidentifikasi konsep – konsep untuk memecahkan masalah tersebut. Lebih lanjut Egen & Schuk, (2012: 308), mengemukakan merencanakan pelajaran untuk pembelajaran berbasis masalah membagi dalam beberapa tahap antara lain: 1) Mengidentifikasi topic; 2) Menentukan tujuan belajar yaitu menginginkan siswa memahami dan mencapai tujuan belajar yaitu menginginkan siswa memahami dan mencapai tujuan dari suatu pelajaran serta mengembangkan keterampilan pemecahan masalah dan mempelajari kemandirian (self-direction). Kemampuan pemecahan masalah dan pembelajaran mandiri adalah tujuan jangka panjang dan siswa memerlukan pengalaman terus-menerus untuk mencapai tujuan; 3) Mengidentifikasi masalah, siswa yang terlibat dalam pembelajaran berbasis masalah memerlukan satu masalah untuk dipecahkan seperti atlet sepakbola jika mereka ingin belajar bagaimana bermain sepak bola, tetapi bagaimana sekedar memiliki bola kaki tidak memastikan atlet menjadi pemain handal, demikian juga mendapatkan masalah tidak memastikan siswa menjadi pemecah masalah yang handal. Siswa yang tidak berpengalaman, masalah – masalah akan paling efektif jika masalah itu jernih, konkret serta dekat dengan keseharian pribadi; 4) mengakses materi, setelah mengidentifikasi topic kemudian menentukan tujuan belajar, memilih masalah dan mengakses materi – materi yang perlu serta siap menerapkannya. Hal yang paling esensial sebagai hasil dari problem based learning (PBL) adalah keterampilan berpikir tingkat tinggi : Resnick (dalam Suprijono 2012: 72) anatara lain : 1) bersifat non-algoritmik, artinya jalur tindakan tidak sepenuhnya ditetapkan sebelumnya; 2) bersifat komplek artinya mampu berpikir dalam berbagai perspektif atau mampu menggunakan sudut pandang; 3) banyak solusi dengan mempertimbangkan keuntungan dan kelemahan masing – masing; 18 4) melibatkan interprestasi; 5) melibatkan banyak kriteria artinya mampu menggunakan berbagai kriteria; 6) melibatkan ketidakpastian artinya tidak semua yang berhubungan dengan tugas yang ditangani telah diketahui; 7) melibatkan pengaturan diri proses-proses berpikir; 8) menentukan makna menemukan struktur dalam suatu yang tampak tidak beraturan, mampu mengidentifikasi pola pengetahuan. b. Ciri – Ciri Model Problem Based Learning Ciri-ciri model Problem Based Learning (PBL) menurut baron (dalam rusmono 2012: 74) adalah : 1) menggunakan permasalahan dalam dunia nyata; 2) pembelajaran dipusatkan pada penyelesaian; 3) tujuan pembelajaran ditentukan oleh siswa; 4) guru berperan sebagai fasilitator. Kemudian masalah yang digunakan harus relevan dengan tujuan pembelajaran, mutakhir dan menarik berdasarkan informasi yang luas terbentuk secara konsisten dengan masalah lain dan termasuk dalam dimensi kemanusiaan. Kriteria pemilihan bahan pembelajaran yang akan disajikan dalam Problem Based Learning (PBL) menurut Sanjaya (2006 : 2014) sebagai berikut: 1. Bahan-bahan pelajaran mengandung isu – isu yang mengundang konflik yang bias bersumber dari media masa, rekaman, berita maupun kondisi riil masyarakat. 2. Bahan pelajaran familier dengan siswa sehingga siswa dapat mengikuti pelajaran dengan baik. 3. Bahan pelajaran menyangkut kepentingan atau berkaitan dengan orang banyak sehingga terasa manfaatnya. 4. Bahan pelajaran mendukung kompetensi yang diajarkan atau yang termuat dalam kurikulum. 5. Bahan pelajaran merangsang minat siswa sehingga tertarik untuk memecahkan masalah. Model pembelajaran Problem Based Learning (PBL) sangat tepat diterapkan bila kompetensi yang diharapkan dikuasai : 1. Agar siswa tidak hanya dapat mengingat materi pembelajaran tetapi untuk dapat memahami dan menguasai secara penuh. 19 2. Untuk mengembangkan pola berfikir rasional siswa yaitu kemampuan menganalisa situasi, menerapkan pengetahuan yang mereka kuasai dalam situasi baru, mengenal perbedaan antara fakta dengan pendapat serta mengembangkan kemampuan mengambil keputusan secara obyektif. 3. Mengembangkan kemampuan memecahkan masalah serta mengembangkan intelektual siswa. 4. Memahami hubungan antara yang dipelajari dengan kenyataan dalam kehidupan. c. Langkah – Langkah pembelajaran Problem Based learning (PBL) . Lie, (2002: 77) Merumuskan langkah – langkah pembelajaran Problem Based Learning (PBL) sebagai berikut : 1. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan sarana dan alat yang dibutuhkan, memotivasi siswa terlibat dalam aktivitas pemecahan masalah yang dipilih. 2. Guru membantu siswa mendifinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut (menetapkan topic, tugas, jadwal dan lain-lain) 3. Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah, pengumpulan data, hipotesis, pemecahan masalah. 4. Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai seperti laporan dan membantu mereka berbagai tugas dengan teman. 5. Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan mereka dan proses-proses yang mereka gunakan. 3. Media Audio Visual Kata media berasal dari Bahasa latin dan merupakan bentuk jamak dari kata Medium yang secara harfiah berarti perantara atau pengantar. Medoe adalah perantara atau pengantar pesan dari pengirim ke penerima pesan. Banyak batasan yang diberikan orang tentang media. Asosiasi Teknologi dan Komunikasi Pendidikan di amerika , membatasi media sebagai segala bentuk dan saluran yang digunakan orang untuk menyalurkan pesan / informasi. Gagne (1970), 20 menyatakan bahwa media adalah berbagai jenis komponen dalam lingkungan siswa yang dapat merangsang untuk belajar. Sementara Bringgs (1970) berpendapat bahwa media adalah segala alat fisik yang dapat menyajikan pesan serta merangsang siswa untuk belajar. Asosiasi Pendidikan Nasional (National Education Association/ NEA) memiliki pengertian yang berbeda. Media adalah bentuk-bentuk komunikasi baik tercetak maupun audiovisual serta peralatanya. Media hendaknya dapat dimanipulasi, dapat dilihat, didengar dan dibaca. Apa pun batasan yang diberikan, ada persamaan di antara batasan tersebut yaitu bahwa media adalah segala sesuatu yang dapat digunakan untuk menyalurkan pesan dari pengirim ke penerima sehingga dapat merangsang pikiran, perasaan, perhatian dan minat serta perhatian siswa sedemikian rupa sehingga proses belajar terjadi. (Sadiman dkk, 2014: 06). Berdasarkan pengertian media di atas, dapat dicermati ciri – ciri umum dan khusus, antara lain : a. Ciri-Ciri Umum Media 1) Media pendidikan memiliki pengertian non fisik yang dikenal sebagai software (perangkat lunak), yaitu kandungan pesan yang terdapat di dalam perangkat keras yang merupakan isi yang ingin disampaikan kepada anak didik. 2) Penekanan media pendidikan terdapat pada visual ayau audio. 3) Media pendidikan memiliki pengertian alat bantu pada proses belajar baik di dalam kelas maupun di luar kelas. 4) Media pendidikan digunakan dalam r edia pendidikan memiliki fisik yang dewasa ini dikenalkan sebagai hardware ( perangkat keras ), yaitu suatu benda yang dapat dilihat, ataupun diraba dengan panca indera. 5) Media angka komunikasi dan interaksi antara guru dengan siswa dalam proses pembelajaran. 6) Media pendidikan dapat digunakan secara masal ( misalnya radio dan televise ) kelompok besar dan kecil ( misalnya film, slide, video, LCD ); atau perorangan ( misalnya modul, computer, tape recorder, kaset ). 21 b. Ciri-ciri Khusus Media Ciri-ciri khusus media pembelajaran berbeda menurut tujuan dan pengelompokannya. Ciri – ciri media dapat dilihat menurut kemampuannya membangkitkan rangsangan pada indera penglihatan, pendengaran, perabaan, penciuman, dan pengecapan. Maka cirri-ciri umum media pembelajaran adalah bahwa media itu dapat diraba, dilihat, didengar, dan diamati melalui panca indera. Di samping itu ciri-ciri media juga dapat dilihat menurut harganya, lingkup sasaranya, dan kontrol oleh pemakai. a. Fungsi Media Supaya pengetahuan siswa tidak hanya abstrak, karena disampaikan oleh guru hanya melalui Bahasa verbal yang berakibat siswa akan salah persepsi dan gairah siswa untuk menangkap informasi atau pesan akan semakin berkurang, maka dibutuhkan bantuan media. Karena media pembelajaran sangat diperlukan dalam suatu kegiatan pembelajaran. Melalui media pembelajaran hal yang bersifat abstrak bias menjadi konkret. Fungsi media pembelajaran menurut Wina Sanjaya (2012: 73-74) sebagai berikut : 1. Fungsi komunikatif artinya media pembelajaran yang digunakan untuk memudahkan komunikasi antara penyampaian kepada penerima pesan. 2. Fungsi motivasi artinya media pembelajaran tersebut akan memudahkan siswa untuk mempelajari materi pelajaran sehingga akan menghindari dari suasana belajar yang membuat siswa menjadi bosan. 3. Fungsi kebermanaan artinya dengan media pembelajaran siswa akan menambah informasi serta akan meningkatkan aspek dan ketrampilan. 4. Fungsi penyamaan persepsi maksudnya dengan pemanfaatan media pembelajaran, diharapkan dapat menyamakan persepsi setiap siswa sehingga siswa memiliki pandangan yang sama terhadap informasi yang disajikan. 5. Fungsi individualitas maksudnya dengan pemanfaatan media pembelajaran nantinya dapat berfungsi untuk melayanisetiap kebutuhan setiap siswa yang memiliki dan gaya belajar yang berbeda. 22 Menurut Soelarko dalam (Kosasih, 2014: 50) fungsi utama media belajar ialah memvisualisasi sesuatu yang tidak dapat dilihat atau sukar dilihat sehingga tampak jelas dan dapat menimbulkan pengertian atau peningkatan persepsi seseorang. Enam fungsi pokok lainnya dari media belajar dalam proses belajar mengajar adalah sebagai berikut 1. Penggunaan media belajar dalam proses belajar mengajar bukan merupakan fungsi tambahan, tetapi mempunyai fungsi tersendiri sebagai alat bantu untuk mewujudkan situasi belajar mengajar yang efektifkan. 2. Pengunaan Media belajar merupakan bagian yang integral dari keseluruhan situasi mengajar. 3. Media belajar dalam pengajaran penggunaannya integral dengan tujuan dan isi pelajaran 4. Media belajar dalam pengajaran bukan semata-mata alat hiburan atau bukan sekadar pelengkap. 5. Media belajar dalam pengajaran lebih diutamakan untuk mempercepat proses belajar mengajar dan membantu siswa dalam menangkap pengertian yang diberikan guru. 6. Penggunaan media belajar dalam pengajaran diutamakan untuk mempertinggi mutu belajar mengajar b. Jenis-Jenis Media Dilihat dari jenisnya, media dapat dibagi media auditif, visual dan media audio visual. Media auditif adalah media yang hanya mengandalkan kemampuan suara saja, seperti radio, piringan hitam, cassette recorder. Media visual adalah media yang akan mengandalkan indera penglihatan, bias berupa gambar yang bergerak seperti film, foto, lukisan, cetakan. Media audio visual adalah media yang mempunyai unsur suara dan insur gambar. Jenis ini mempunyai kemampuan yang lebih baik karena memiliki kedua jenis media auditif dan media visual. Jenis media yang lazim dipergunakan dalam pembelajaran antara lain: media non proyeksi, media proyeksi, media gerak, dan media computer, jenis media dalam pembelajaran adalah : 1. Media grafis seperti gambar, foto, grafik, bagan, kartun, poster dan komik. 23 2. Media tiga dimensi yaitu media dalam bentuk padat, model penampang, model susun. 3. Media proyeksi seperti slide, film, OHP c. Media audio visual Media audio visual adalah semua media yang seseorang tidak hanya dapat melihat atau mendengarkan saja, tetapi dapat melihat sekaligus mendengarkan sesuatu yang divisualisasikan. Media audio visual merupakan suatu cara menyajikan bahan pelajaran dengan menggunakan alat-alat media pengajaran yang dapat memperdengarkan, atau memperagakan bahan-bahan peragaan itu. Ciri-ciri media audio visual : 1. Mereka bersifat linier 2. Mereka biasanya menyajikan visual yang dinamis 3. Mereka mengunakan cara yang telah ditetapkan sebelumnya oleh pembuatnya. 4. Mereka merupakan representasi fisik dari gagasan riil atau gagasan abstrak. 5. Mereka dikembangkan menurut prinsip psikologi behaviorisme dan kognitif. 6. Umumnya mereka berorentasi kepada guru dengan tingkat pelibatan interaktif yang rendah (Azhar Arsyad, 2013 : 30-31) Media audio visual dikenal dengan keharusan penggunaan audio visual aids atau audio material. Ketiga istilah (baik audio visual aids, audio visual material maupun audio visual menthod) sama-sama menekankan kepada pemberian pengalaman secara nyata kepada anak didik. Dengan melihat langsung, mendengar, meraba, mencium jika perlu tentang hal-hal yang dipelajari itu. Jadi inti pengajaran dengan media audio visual ini adalah dipergunakan beberapa alat atau bahan media pengajaran antara lain melalui film, radio, TV, piringan hitam, tape recorder, gambar peristiwa tertentu, gambar peta, dan sebagainya. Lebih utama menggunakan benda-benda asli sebagai peraga. 24 d. Langkah – langkah yang ditempuh dengan media audio visual : 1. Bendanya yang asli itu perlu diperagakan didepan kelas jika mungkin. 2. Contohnya dalam ukuran kecil 3. Foto dari suatu benda, bentuk – bentuk gambar lain atau guru sediri dapat menggambarkan di papan tulis. 4. Jika ketiga hal tersebut diatas tidak dapat kita usahakan, maka guru dapat menjelaskan bentuk bendanya, sifat – sifatnya, dengan jalan mendemontrasikan melalui gerakan tangan, kata – kata atau mimic tertentu, sehingga menarik perhatian peserta didik. e. Kebaikan media audio visual 1. Siswa dapat menyaksikan, mengamati serta mengucapkan langsung sekaligus. 2. Dengan memeragakan bendanya secara langsung tersebut, hal ini sangat menark perhatian siswa. 3. Pengetahuan siswa menjadi integral, fungsional dan dapat terhindar dari pengajaran verbalisme. 4. Pengajaran menarik minat dan perhatian peserta didik. f. Kekurangan metode audio visual 1. Memerlukan waktu dan perencanaan yang matang. 2. Tugas guru menjadi berat, sebab disamping harus merencanakan materi pelajaran yang akan disajikan juga harus menguasai berbagai alat sarana peragaan atau media pengajaran bebagai alat sarana peragaan serta alat komunikasi lainnya. 3. Pengadaan alat sarana peragaan memerlukan biaya dan pemeliharaan yang cukup memadai. 4. Kecenderungan menganggap bahwa pengajaran melalui berbagai macam alat atau pengajaran bersifat pemborosan, bahkan memakan atau menyita waktu yang banyak. 25 4. Media Video a. Pengertian Media Vidio Arsyad (2013 : 49) menyatakan bahwa video merupakan gambar-gambar dalam frame, dimana frame demi frame diproyeksikan melalui lensa proyektor secara mekanis sehingga pada layar terlihat gambar hidup. Dari pengertian diatas dapat disimpulkan, bahwa video merupakan salah satu jenis media audio-visual yang dapat menggambarkan suatu objek yang bergerak bersama-sama dengan suara alamiah atau suara yang sesuai. Media dalam proses belajar mengajar cenderung diartikan sebagai alat-alat grafis, photografis, atau elektronis untuk menangkap, memproses, dan menyusun kembali informasi visual atau verbal. Media pendidikan digunakan dalam rangka komunikasi dan interaksi guru dan siswa dalam proses pembelajaran. Media pembelajaran dapat memperjelas penyajian pesan dan informasi sehingga dapat memperlancar dan meningkatkan proses dan hasil belajar. Video adalah gambar-gambar dalam frame di mana frame demi frame diproyeksikan melalui lensa proyektor secara mekanis sehingga pada layar terlihat gambar itu hidup. Media ini pada umumnya digunakan untuk tujuan-tujuan hiburan, dokumentasi, dan pendidikan. Video dapat menyajikan informasi, memaparkan proses, menjelaskan konsep-konsep yang rumit, mengajarkan keterampilan, menyingkat atau memperpanjang waktu, dan mempengaruhi sikap. Menurut Dwyer, video mampu merebut 94% saluran masuknya pesan atau informasi kedalam jiwa manusia melalui mata dan telinga serta mampu untuk membuat orang pada umumnya mengingat 50% dari apa yang mereka lihat dan dengar dari tayangan program. Pesan yang disampaikan melalui media video dapat mempengaruhi emosi yang kuat dan juga dapat mencapai hasil cepat yang tidak dimiliki oleh media lain. Menurut Riyana (2007) media video pembelajaran adalah media yang menyajikan audio dan visual yang berisi pesan-pesan pembelajaran baik yang berisi konsep, prinsip, prosedur, teori aplikasi pengetahuan untuk membantu pemahaman terhadap suatu materi pembelajaran. Video merupakan bahan pembelajaran tampak dengar (audio visual) yang dapat digunakan untuk 26 menyampaikan pesan-pesan/materi pelajaran. Dikatakan tampak dengar kerena unsur dengar (audio) dan unsur visual/video (tampak) dapat disajikan serentak. Berdasarkan pengertian media video yakni media yang mempunyai suara, ada gerakan dan bentuk obyeknya dapat dilihat, media ini paling lengkap, maka tujuan dari media video adalah untuk menyajikan informasi dalam bentuk yang menyenangkan, menarik mudah dimengerti dan jelas. Informasi akan mudah dimengerti karena sebanyak mungkin indera, terutama telinga dan mata, digunakan untuk menyerap informasi itu. Keuntungan menggunakan media video menurut Daryanto (2010:90) antara lain: ukuran tampilan video sangat fleksibel dan dapat diatur sesuai kebutuhan, video merupakan bahan ajar non cetak yang kaya informasi dan lugas karena dapat sampai kehadapan siswa secara langsung, dan video menambah suatu dimensi baru terhadap pembelajaran. Anderson, (1976: 104) mengemukakan tentang beberapa tujuan dari pembelajaran menggunakan media video yaitu mencakup tujuan kognitif, afektif, dan psikomotor. Ketiga tujuan ini dijelaskan sebagai berikut 1. Tujuan Kognitif a) Dapat mengembangkan kemampuan kognitif yang menyangkut kemampuan mengenal kembali dan kemampuan memberikan rangsangan berupa gerak dan sensasi. b) Dapat mempertunjukkan serangkaian gambar diam tanpa suara sebagaimana media foto dan film bingkai meskipun kurang ekonomis. c) Video dapat digunakan untuk menunjukkan contoh cara bersikap atau berbuat dalam suatu penampilan, khususnya menyangkut interaksi manusiawi. 2. Tujuan Afektif Dengan menggunakan efek dan tekhnik, video dapat menjadi media yang sangat baik dalam mempengaruhi sikap dan emosi. 3. Tujuan Psikomotorik a) Video merupakan media yang tepat untuk memperlihatkan contoh keterampilan yang menyangkut gerak. Dengan alat ini diperjelas baik 27 dengan cara memperlambat ataupun mempercepat gerakan yang ditampilkan. b) Melalui video siswa langsung mendapat umpan balik secara visual terhadap kemampuan mereka sehingga mampu mencoba keterampilan yang menyangkut gerakan tadi. Melihat beberapa tujuan yang dipaparkan diatas, sangatlah jelas peran video dalam pembelajaran. Video juga bisa dimanfaatkan untuk hampir semua topik, model-model pembelajaran, dan setiap ranah: kognitif, afektif, dan psikomotorik. Pada ranah kognitif, siswa dapat mengobservasi rekreasi dramatis dari kejadian sejarah masa lalu dan rekaman aktual dari peristiwa terkini, karena unsur warna, suara dan gerak di sini mampu membuat karakter berasa lebih hidup. Selain itu dengan melihat video, setelah atau sebelum membaca, dapat memperkuat pemahaman siswa terhadap materi ajar. Pada ranah afektif, video dapat memperkuat siswa dalam merasakan unsur emosi dan penyikapan dari pembelajaran yang efektif. Pada ranah psikomotorik, video memiliki keunggulan dalam memperlihatkan bagaimana sesuatu bekerja, video pembelajaran yang merekam kegiatan motorik/gerak dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengamati dan mengevaluasi kembali kegiatan tersebut. 5. Kreativitas a. Pengertian Kreativitas Kreativitas siswa dalam pembelajaran sangat diperlukan, sebab dengan kreativitas siswa dapat memecahkan pengertian dalam soal-soal ilmu pengetahuan social dengan baik. Melalui kreativitas siswa akan memiliki rasa keberanian, agresif dan tidak takut menghadapi kendala dalam pembelajaran. Menurut Tapung, (2012: 212) dalam pengembangan kurikulum pendidikan berbasis social lingkungan sekolah, menumbuhkan kembangkan jiwa kreatif dalam kegiatan siswa untuk selalu bertanya tentang hal yang belum di ketahui secara jelas kepada gurunya, mengadakan analisis, penelitian, observasi, diskusi dan belajar memecahkan masalah. Pengembangan jiwa kreatif membantu siswa memahami proses pembelajaran dan pendidikan sebagai proses belajar seumur hidup. 28 Gallagher (dalam Rahmawati & Kurniati 2012: 13) mengatakan bahwa “creativity is a mental prosess by which an individual created new ideas or product, in fashion that is novel to him or her” ( kreativitas merupakan suatu proses mental yang dilakukan individu berupa gagasan ataupun produk baru atau mengombinasikan antara keduanya yang pada akhirnya akan melekat pada dirinya), lebih lanjut Supriyadi dalam (Rahmawati & Kurniati 2012 : 13), mengutarakan bahwa kreatifitas adalah kemampuan seseorang untuk melahirkan sesuatu yang baru, baik berupa gagasan atau karya karya nyata yang relatif berbeda dengan apa yang telah ada, selanjutnya ia menambahkan bahwa kreativitas merupakan kemampuan berfikir tingkat tinggi yang mengimplikasikan terjadinya eskalasi dalam kemampuan berfikir, ditandaioleh suksesi, dikontinuitas, diferensiasi dan integrasi antara setiap perkembangan Johnson, (2012 : 214) mengungkapkan berfikir kreatif adalah sebuah kebiasaan dari pikiran yang dilatih dengan memperhatikan intuisi, menghidupkan imajinasi, mengungkapkan kemungkinan – kemungkinan baru, membuat sudut pandang yang menakjubkan dan membangkitkan ide – ide yang tidak terduga. Berfikir kreatif membutuhkan ketekunan, disiplin diri, dan perhatian penuh yang meliputi aktivitas mental seperti : 1) Mengajukan pertanyaan, 2) mempertimbangkan informasi dan ide yang tidak lazim dengan pikiran terbuka, 3) membangun keterkaitan khususnya diantara hal – hal yang berbeda, 4) menghubung – hubungkan berbagai hal dengan bebas, 5) menerapkan imajinasi pada setiapsituasi untuk menghasilkan hal baru dan berbeda, 6 ) mendengarkan intuisi. Menurut Noerhadi, (dalam Akademi jakarta 1983: 11) kreativitas bila hendak ditinjau sesuai dengan suatu sumbu perkembangan manusia ontologik sebagai individu ataupun filogenik sebagai jenis harus dapat didudukan dalam dua dimensi yakni: 1) biologi biasanya aspek biologi dijelaskan dengan contoh mahkluk – mahkluk lain yang akhrinya menemukan kulminasinya pada manusia. Memang menarik untuk melihat bahwa kreativitas ini sudah dapat diikuti pada yang disebut proses belajar dalam proses biologi. Suatu organisme selalu akan bereaksi atas rangsang dengan suatu respon, yang paling primitive ialah yang 29 disebut reflek suatu perbendaharaan reaksi pada setiap jenis yang menjaminkelangsungan jenis, bersifat herediter, untuk melindungi terhadap setiap perubahan berbahaya dalam lingkungan. 2) kultur (kreativitas dan evolusi budaya) manusia berkembang dari proses perkembangan otak yang lemah menuju pada perkembangan otak yang kuat yang dipengaruhi oleh alam serta dapat bereaksi secara kreatif atas adat istiadat atau tradisi tersebut hal mana merupakan suatu dogma antropologi. Rogers dalam (Munandar 1999: 18), menekankan bahwa kecenderungan untuk mengaktualisasi diri, mewujudkan potensi, dorongan untuk berkembang dan menjadi matang, kecenderungan untuk mengekspresikan dan mengaktifkan semua kemampuan organisme, Moustakis menyatakan bahwa kreativitas adalah pengalaman mengekspresikan dan mengaktualisasikan identitas individu dalam bentukterpadu dalam hubungan dengan diri sendiri, dengan alam dan orang lain. Dalam perkembanganya kreativitas ada empat aspek yaitu: 1) pribadi, kreativitas merupakan ungkapan ekspresi dari keunikan individu dalam interaksi dengan lingkungannya. Ungkapan kreatif adalah yang mencerminkan orisionalitas dari individu tersebut, dari ungkapan pribadi yang unik inilah dapat diharapkan timbulnya ide – ide baru dan produk – produk yang inovatif, 2) pendorong bakat kreativitas siswa akan terwujud jika ada dorongan dan dukungan dari lingkungan, ataupun jika ada dorongan kuat dalam dirinya sendiri (motivasi internal) untuk menghasilkan sesuatu. 3) proses, untuk mengembangkan kreativitas anak perlu diberikan kesempatan untuk bersibuk diri secara kreatif, dalam hal ini yang penting adalah memberikan kebebasan kepada anak untuk mengekspresikan dirinya secara kreatif, 4 ) prodik, kondisi yang memungkinkan seseorang yang menciptakan produk kreatif yang bermakna ialah kondisi pribadi lingkungan yaitu sejauh mana keduanya mendorong seseorang untuk melibatkan dirinya dalam proses kegiatan kreatif. Evans, (1995 : 39) mengatakan, kreativitas telah dibatasi dari sudut pandang: 1) Hasil dari perilaku kreatif, seperti penemuan teori – teori, kepustakaan, musik, seni, dan model-model; 2) proses prilaku kreatif yang melibatkan persepsi, pemikiran, belajar dan motivasi; 3) karakteristik dari 30 individu – individu yang menciptakan, seperti temperamen, sikap mental pribadi dan kebiasaan; 4) pengaruh lingkungan dan budaya sehingga mengakibatkan prilaku kreatif; 5) peran pemikiran kreatif dalam pemecahan masalah. Glover, (1980: 13), Perilaku kreatif diperlukan untuk berbagai alasan yakni meningkatkan kepuasan pribadi, kemampuan memecahkan masalah, mempunyai potensi diri dan sebagainya. Yang paling penting perilaku kreatif diperlukan karena kompleksitas dunia kita meningkat secara eksponensial dari hari ke hari. Kelangsungan hidup kita sebagai spesies tergantung pada kemampuan kita dan kemampuan anak – anak kita untuk menanggapi masalah dunia dengan solusi kreatif. Masalah dunia tampaknya akan tumbuh lebih cepat dan dapat diatasi dengan berfikir kreatif. Kelangsungan hidup manusia sebagai spisies didasarkan pada kemampuan kita untuk memecahkan masalah yang bukan saja hari ini, tetapi juga masalah yang pasti berkembang sebagai perubahan dunia. Untuk memenuhi tantangan masalah kita harus menjadi lebih kreatif. Lebih lanjut menurut Guiford, (1986: 6), Orang kreatif biasanya memiliki kualitas tertentu dimana orang lain tidak memiliki namun para psikoloq umumnya yakin bahwa semua individu memiliki tingkat tertentu terkait kemampuannya. Tindakan kreatif yang paling penting adalah proses kontinuitas atau kelanjutan. Kreativitas siswa perlu dikembangkan dan ditumbuhkan guru pada anak didiknya, agar proses belajar dapat berjalan lancer dan reaktif, sehingga menghasilkan prestasi belajar yang optimal. Lebih lanjut Surya (2003: 33) mengatakan kita membutuhkan kreativitas untuk memahami dunia, karena keativitas merupakan bagian dari proses belajar. Keterangan ahli diatas sudah jelas bahwa kreativitas seseorang sangat dibutuhkan dalam proses kegiatan tertentu, karena kreativitas merupakan bagian dari proses belajar. Guilford dalam (Hawadi at all 2001: 1), mengemukakan empat ciri kreativitas yaitu 1) kelancaran (fluency) adalah kemampuan untuk memproduksi banyak gagasan ; 2) keluwesan (flexibility) adalah kemampuan untuk mengajukan bermacam – macam pendekatan dan atau jalan pemecahan maslah; 3) keaslian (oridinaly) adalah kemampuan untuk melahirkan gagasan – gagasan asli sebagai 31 hasil pemikiran sendiri dan tidak klise; 4) penguraian (elaborasi) adalah kemampuan untuk mengurai sesuatu secara terinci. 6. Hasil Belajar a. Pengertian Hasil Belajar Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah siswa pengalaman belajar, hasil belajar siswa pada hakekatnya merupakan perubahan dalam bidang kognitif, afektif maupun psikomotorik yang berorientasi pada proses belajar mengajar yang dialami siswa, dan hasil belajar itu berhubungan dengan tujuan instruksional dan pengalaman yang dialami siswa (Sudjana, 2000: 133 ). Menurut Gagne (dalam Sulistyo, 2014: 2), hasil belajar siswa dipengaruhi oleh faktor yang berasal dari dalam diri siswa dan faktor yang berasal dari luar diri siswa. Faktor yang berasal dari dalam diri antara lain perhatian, kreativitas, intelegensi, minat, motivasi dan aktivitas belajar. Sedangkan faktor yang berasal dari luar diri siswa antara lain keadaan keluarga, keadaan awal, tempat tinggal, guru yang mengajar, cara mengajar dan lingkungan sekolah. Hasil belajar juga dipengaruhi oleh aktivitas belajar siswa. Aktivitas ini merupakan hal yang menunjang dalam usaha peningkatan hasil belajar. Menurut Sardiman (2014:100), kegiatan atau kesibukan yang dilakukan seseorang dalam belajar akan mempengaruhi hasil belajarnya. Siswa yang belajar dengan cara menulis, mengerjakan soal-soal, membuat rangkuman hasilnya akan lebih baik dari pada siswa yang belajarnya hanya membaca saja. Aktivitas dapat dilakukan siswa selama di kelas dan di rumah. Aktivitas di kelas berupa kegiatan yang dilakukan siswa secara jasmani maupun rohani yang menunjang proses belajar mengajar di sekolah misalnya mencatat, mendengarkan penjelasan guru, bertanya pada guru, pergi ke perpustakaan dan sebagainya. Sedangkan aktivitas belajar di rumah berupa kegiatan yang dilakukan siswa selama di rumah dan merupakan kelanjutan dari belajar di sekolah misalnya mengerjakan PR, mengerjakan latihan-latihan soal, merapikan catatan, dan sebagainya. Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa perubahan tingkah laku yang diperoleh sebagai hasil belajar adalah sebagai berikut : 32 a) Perubahan yang terjadi itu secara sadar, maksudnya bahwa individu yang menyadari dan merasakan telah terjadi adanya perubahan yang terjadi pada dirinya. b) Prubahan yan terjadi relative lama, perubahan ysng terjadi akibat belajar atau hasil belajar yag bersfat menetap dan permanen, maksudnya adalah bahwa tingkah laku yang terjadi setelah belajar akan bersifat menetap. c) Perubahan yang terjadi mencakup seluruh aspek tingkah laku. d) Perubahan yang dperoleh individu dari hasil belajar meliputi perubahan keseluruhan tingkah laku baik dalam sikap, kebiasaan, ketrampilan maupun pengetahuan. b. Faktor yang mempengaruhi hasil belajar Faktor – faktor eksternal yang mempengaruhi hasil belajar menurut Djamarah, 2002: 24) adalah : 1. Faktor lingkungan Lingkungan merupakan bagian dari kehidupan siswa, dalam lingkungan ya siswa hidup dan berinteraksi. Lingkungan yang mempengaruhi hasil belajar siswa dapat dibedakan menjadi dua yaitu : a) Lingkungan alami Lingkungan alami adalah lingkungan tempat siswa berada dalam arti lingkungan fisik. Yang dimaksud lingkungan alami adalah lingkungan sekolah, lingkungan tempat tinggal dan lingkungan bermain. b) Lingkungan sosial Makna lingkungan dalam hal ini adalah interaksi siswa sebagai makhluk social, makhluk yang hidup bersama. Sebagai anggota masyarakat, siswa tidak bias melepaskan diri dari ikatan social. Sistem social yang berlaku dalam masyarakat tempat siswa tinggal mengikat perilakunya untuk tunduk pada norma-norma sosial, susila dan hukum. Contohnya ketika siswa berada di sekolah, ia menyapa muridnya dengan sedikit membungkukan badan. 33 2. Faktor instrumental Setiap penyelengaraan pendidikan memiliki tujuan instruksional yang hendak dicapai diperlukan. Untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan seperangkat kelengkapan atau instrument dalam berbagai bentuk dan jenis, yang dapat dikelompokkan menjadi : a) Kurikulum Kurikulum adalah a plan for learning yang merupakan unsur subtansial dalam pendidikan . tanpa kurikulum, kegiatan belajar mengajar tidak dapat berlangsung. Setiap guru harus mempelajari dan menjabarkan isi kurikulum ke dalam program yang lebih rinci dan jelas sasaranya, sehingga dapat diketahui dan diukur dengan pasti tingkat keberhasilan belajar mengajar yang telah dilaksanakan. b) Program Keberhasilan pendidikan di sekolah tergantung dari baik tidaknya program pendidikan yang dirancang. Program pendidikan disusun berdasarkan potensial sekolah yang tersedia, baik tenaga, finansial, sarana dan prasarana. c) Sarana dan prasarana Sarana prasarana mempunyai arti penting dalam pendidikan, sebagai contoh ruang kelas, ruang praktek, laboratorium, perpustakaan, aula yang dibangun untuk menunjang kegiatan belajar mengajar. d) Guru Guru merupakan penyampai bahan ajar kepada siswa yang membimbing dalam proses transfer ilmu di sekolahan. Perbedaan karakter, kepribadian, kebudayaan dan cara mengajar yang berbeda – beda dari masing – masing guru akan menghasilkan konstribusi yang berbeda pada proses pembelajaran. Sedangkan faktor-faktor internal yang mempengaruhi hasil belajar adalah: 1. Fisiologis Merupakan factor internal yang berhubungan dengan proses proses yang terjadi pada jasmaniah yaitu : 34 a) Kondisi fisiologis Kondisi fisiologis umumnya sangat berpengaruh terhadap kemampuan belajar individu. Siswa dalam keadaan lelah akan berlainan belajarnya dengan siswa yang dalam keadaan tidak lelah. b) Kondisi panca indera Kemampuan kondisi fisiologis yang di spesifikkan pada kondisi indera. Kemampuan untuk melihat, mendengar, mencium, meraba dan merasa mempengaruhi hasil belajar. Anak yang memiliki hambatan pendengaran akan kesulitan menerima pelajaran apabila ia tidak mengguanakan alat bantu pendengaran. b. Psikologis Faktor psikologis merupakan factor dari dalam diri individu yang berhubungan dengan ruhaniah. Factor psikologis yang mempengaruhi hasil belajar adalah : a) Minat Minat adalah suatu rasa lebih suka dan rasa ketertarikan pada suatu hal atau aktivitas, tanpa ada yang memerintahkan. Minat pada dasarnya adalah penerimaan akan suatu hubungan antara diri sendiri dengan sesuatu dari luar, semakin kuat atau dekat hubungan tersebut semakin besar minatnya. b) Kecerdasan Kecerdasan berhubungan dengan kemampuan siswa untuk beradaptasi, menyelesaikan masalah dan belajar dari pengalaman kehidupan. Kecerdasan dapat diasosiasikan dengan intelegensi. Siswa dengan IQ yang tinggi umumnya mudah menerima pelajaran dan hasil belajarnya cenderung baik. c) Bakat Bakat adalah kemampuan bawaan yang merupakan potensial yang masih perlu dilatih dan dikembangkan. Bakat memungkinkan seseorang untuk mencapai prestasi dalam bidang tertentu. d) Motivasi 35 Motivasi adalah suatu kondisi psikologis yang mendorong seseorang untuk melakukan sesuatu. e) Kemampuan kognitif Ranah koqnitif merupakan kemampuan intelektual yang berhubungan dengan pengetahuan, ingatan, pemahaman dan lain – lainnya. c. Jenis – jenis hasil belajar Bloom (dalam Sudjana, 2000) membagi hasil belajar dalam tiga ranah, yaitu ranah kognitif, ranah afektif, dan ranah psikomoris. 1. Ranah kognitif Ranah ini berkenaan dengan hasil belajar intelektual yang terdiri dari enam aspek yaitu a) Pengetahuan (knowledge) Tipe hasl pengetahuan terasuk kognitif tingkat rendah, namun tipe hasil belajar ini menjadi prasyarat bagi tipe hasil belajar berikutnya. Hal ini berlaku bagi semua bidang studi pelajaran. Misalnya : hafal suatu rumus akan menyebabkan paham bagaimana menggunakan rmus tersebut. b) Pemahaman Pemahaman dapat dilihat dari emampuan individu dalam menjelaskan suatu maslah atau pertanyaan. c) Aplikasi Apliasi adalah penggunaan abstraksi pada situasi kongkret atau situasi khusus. Abstraksi tersebut mungkin berupa ide, teori, atau petunjuk teknis. Menerapkan abstraksi ke dalam situasi barudisebut aplikasi. Mengulang – ulang menerapkannya pada situasi lama akan beralih menjadi pengetahan atau ketrampilan. d) Analisis Analisis adalah usaha memilih suatu integritas menjadi unsur – unsur atau bagian – bagian sehingga jelas hierarkinya dan atau susunannya. Analisis merupakan kecakapan yang komplek yang memanfaatkan kecakapan dari ketiga tipe sebelumnya. e) Sintesis 36 Penyatuan unsur – unsur atau bagian – bagian ke dalam bentuk menyeluruh disebut sintesis, berpikir sintesis adalah berpikir divergan dimana menyatukan unsur – unsur menjadi integritas. f) Evaluasi Evaluasi adalah keputusan tentang suatu nilai ang mungkin dilihat dari segi tujuan, gagasan, cara kerja, pemecahan metode, dan lain – lain. 2. Ranah afektif Ranah afektif berkenaan dengan sikap dan nilai, tipe hasil belajar afektif tampak pada siswa dalam berbagai tingkah laku seperti perhatian guru, kebiasaan belajar dan hubungan sosial. 3. Ranah psikomorik Hasil belajar psikomotoris tampak dalam bentuk ketrampilan (skill) dan kemampuan bertindak individu. B. Penelitan Yang Relevan 1. Yesualdus Henrasmin. 2014 “ Pengaruh model cooperative learning tipe stad dan problem based learning terhadap prestasi belajar sejarah ditinjau dari kreativitas ditinjau dari kreativitas siswa sma negeri se – kabupaten manggarai timur” Universitas sebelas maret. Kesimpulan : kreativitas siswa dan prestasi belajar mengalami peningkatan dalam setiap siklus setelah penerapan model problem based learning. 2. Sabrin, 2011. “Hubungan Antara Kreativitas Siswa Dengan Hasil Belajar Akuntansi Siswa Kelas Xi Smk Negeri 1 Kendari. Berdasarkan hasil pengolahan dan pengujian hipotesis, disimpulkan bahwa terdapat hubungan yang positif dan signifikasi antara kreativitas siswa dengan hasil belajar akuntansi siswa kelas XI SMK Negeri 1 Kendari. uji normalitas data skor kreativitas siswa dan nilai hasil belajar siswa, digunakan uji Chi Kuadrat (X2) yang hasilnya menunjukkan bahwa nilai X2hitung variabel kreativitas siswa sebesar 5,48 < X2tabel sebesar 12,592 dengan α = 0,05 atau (X2hitung < X2tabel) sehingga data kreativitas siswa (X) dalam penelitian ini distribusi normal. Demikian juga perhitungan 37 X2hitung untuk variabel hasil belajar siswa sebesar 10,282 < X2tabel 12,592 (X2hitung < X2tabel). Dengan demikian data variabel hasil belajar siswa distribusi normal. Untuk mengetahui hubungan kreativitas siswa (X) dengan hasil belajar (Y) ditunjukkan efesien korelasi sebesar rxy = 0,35 dengan koefisien determinasi (r2) sebesar 0,1225 atau 12,25 % . Hal ini berarti bahwa 12,25 % hasil belajar siswa ditentukan oleh krerativitas siswa. Kemudian uji keberartian korelasi diperoleh thitungsebesar 2,84 >ttabelsebesar 2,704 pada α = 0,01, maka hipotesis penelitian (H1) diterima. Jadi, salah satu variabel yang harus dipertimbangkan dalam meningkatkan hasil belajar siswa adalah kreativitas siswa. Hal ini berarti bahwa semakin tinggi kreativitas siswa (X) maka hasil belajar siswa (Y) akan semakin meningkat dan sebaliknya. 3. Lia Rahmawati, Mujiyem Sapti, ___. Peningkatan Kreativitas Dan Prestasi Belajar Siswa Melalui Model Stad Bertugaskan Mengganti Lirik Lagu di FKIP Universitas Muhammadiyah Purworejo. Hasil penelitian dan pembahasan maka kesimpulan yang dapat dikemukakan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) kreativitas belajar siswa mengalami peningkatan dengan menggunakan model pembelajaran Student Teams Achievement Divisions (STAD) bertugaskan mengganti lirik lagu yang dilaksanakan oleh peneliti terlihat dari pengukuran (a) hasil observasi kreativitas belajar siswa diperoleh persentase 47,5% pada pra siklus, 65% pada siklus I, dan 72,5% pada akhir siklus II ; (b) hasil Angket kreativitas belajar siswa terjadi peningkatan kreativitas belajar siswa dengan kategori cukup baik diperoleh persentase 58,19% pada pra siklus, 65,39% pada siklus I, dan 74,08% pada akhir siklus II; (c) hasil observasi penilaian mengganti lirik lagu diperoleh persentase 64,06% pada siklus I, dan 72,66% pada akhir siklus II. (2) rerata dan persentase ketuntasan prestasi belajar siswa mengalami peningkatan, yaitu 57 pada pra siklus menjadi 69,69 pada siklus I dan meningkat lagi menjadi 73,28 pada siklus II. Dengan jumlah siswa yang mencapai KKM pada pra siklus sebanyak 11 siswa 38 dengan persentase 34,37% meningkat siklus I dengan persentasenya yaitu menjadi 21 siswa pada 65,62% dan pada siklus II meningkat menjadi 25 siswa dengan persentasenya yaitu 78,12%. Untuk meningkatkan kreativitas dan prestasi belajar siswa penulis memberikan beberapa saran sebagai berikut: (1) Kepada pihak sekolah, diharapkan agar metode belajar ini dapat menjadi metode alternatif yang digunakan di SMP Negeri 15 Purworejo dan dapat dilaksanakan secara bergantian dengan model pembelajaran yang lain; (2) Kepada peneliti lain dapat melakukan penelitian lebih lanjut menggunakan model pembelajaran STAD bertugaskan mengganti lirik lagu dengan mencakup aspek selain kreativitas dan mengaplikasikannya pada materi pembelajaran yang berbeda atau pada mata pelajaran selain matematika. 4. Penelitian yang dilakukan Supina, 2013 tentang Pengaruh Motivasi Terhadap Hasil Belajar Siswa Kelas XC Pada Mata Pelajaran Ekonomi Di SMA di Pendidikan Ekonomi Universitas Tanjung Pura. Berdasarkan hasil penelitian menunjukan bahwa Motivasi seperti Motivasi Instrinsik berupa minat belajar dapat dikategori Tinggi kaitannya dengan Motivasi karena bernilai 76,444 %, kecerdasan (kemampuan siswa) juga sudah termasuk kategori tinggi kaitannya dengan Motivasi karena bernilai 73,77%, serta kondisi kesehatan juga sudah termasuk kategori tinggi kaitannya dengan Motivasi karena bernilai 77,77%, serta motivasi Ekstrinsik berupa lingkungan belajar (orang tua dan teman) sudah termasuk kategori tinggi kaitannya dengan Motivasi karena bernilai 71%, dan fasilitas belajar termasuk kategori sangat tinggi kaitannya dengan Motivasi karena bernilai 84,07%, serta dan Guru juga sudah termasuk kategori sangat tinggi kaitannya peranannya dalam Motivasi karena bernilai 82,55%. Dari hasil penelitian diatas dapat disimpulkan bahwa motivasi yang paling besar keterkaitannya dengan motivasi belajar siswa adalah motivasi yang bersal dari luar (motivasi ekstrinsik) yaitu fasilitas belajar dan faktor tenaga pengajar (guru) ; 2) 39 Sebanyak 31 atau 86,11% responden (siswa) yang Hasil belajarnya tergolong sangat baik dan Sebanyak 5 atau 13,89% responden (siswa) yang Hasil belajarnya tergolong baik serta Sebanyak 0 atau 0% responden (siswa) yang Hasil belajarnya tergolong kurang baik. Sebanyak 0 atau 0% responden (siswa ) yang Hasil belajarnya tergolong tidak baik. Sebanyak 0 atau 0% responden (siswa ) yang Hasil belajarnya tergolong sangat tidak baik ; 3) Terdapat pengaruh Motivasi terhadap Hasil Belajar siswa kelas X C pada mata pelajaran Ekonomi di SMA N 1 Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya. Hal ini dibuktikan dengan nilai > (6,334 > 2,030) maka Ho ditolak dan Ha diterima atau “terdapat pengaruh Motivasi terhadap Hasil belajar siswa kelas X C pada mata pelajaran Ekonomi di SMA Negeri 1 Sungai Kakap Kabupaten Kubu Raya”. Berdasarkan perhitungan regresi linier sederhana diperoleh persamaan Y= 42.817+0.475X , yang artinya nilai konstanta adalah 42,817 yaitu jika Motivasi (X) bernilai 0 (nol), maka Hasil Belajar (Y) bernilai 42,817. Nilai koefisien regresi variabel Motivasi (X) yaitu 0,475. Ini berarti bahwa setiap peningkatan Motivasi (X ) sebesar 1, maka Hasil Belajar (Y) akan meningkat sebesar 0,475. Koefisien Determinasi pada penelitian ini menunjukkan kontribusi pengaruh variabel bebas berupa Motivasi (X) yaitu terhadap Hasil Belajar ( (Y) yaitu sebesar 54,1% sedangkan sisanya dipengaruhi oleh variabel lain yang tidak diteliti oleh Peneliti, Seperti Perhatian, Bakat, Kesiapan, Keadaan ekonomi keluarga, Kegiatan siswa dalam masyarakat. 5. Penelitian yang dilakukan A. Rosita, dkk, 2014, yang berjudul Penerapan Perangkat pembelajaran problem based learning berorientasi green chemistry mampu meningkatkan penguasaan soft skill konservasi siswa SMA sampai pada tingkat pencapaian harga N-gain kategori tinggi dan sedang. Penerapan model tersebut juga dapat meningkat- kan penguasaan konsep hidrolisis garam siswa SMA sampai pada harga N-gain kategori sedang. Siswa termotivasi dengan pembelajaran problem based learning 40 berorientasi green chemistry dan menyarankan mengembangkan praktikum kimia dengan baik oleh siswa selama pembelajaran. Sedangkan tanggung jawab dalam kategori sedang. Tanggung jawab yang dilaksanakan dipembelaja- ran ini terpisah dari tanggung jawab dalam cinta lingkungan dan peduli lingkungan. Tanggung ja- wab yang dilaksanakan dipembelajaran ini ada- lah tanggung jawab dalam melakukan pembelaja- ran dikelas. Tanggung jawab dalam pembelajaran dikelas belum maksimal. Perangkat pembelajaran problem based learning berorientasi green chemistry telah mampu mengembangkan soft skill konservasi siswa SMA pada pengamatan selama 6 pertemuan. Hasil pengamatan dari enam soft skill konservasi ada lima soft skill konservasi (cinta lingkungan, peduli lingkungan, tanggung jawab, objektif dan jujur) dengan kategori sangat baik sedangkan soft skill konservasi santun dengan kategori baik. Pen- guasaan soft skill konservasi siswa SMA dari uru- tan terendah yang ber-makna sulit terkembang- kan ke soft skill yang mudah terkembang adalah sebagai berikut : santun, jujur, objektif, tanggung jawab, peduli lingkungan, dan cinta lingkungan. Soft skill konservasi santun belum terkembang- kan dengan baik pada penelitian atau paling sulit terkembangkan, hal ini dilihat dari hasil penga- matan selama enam kali pertemuan. Hasil temu- an penelitian ini mengenai soft skill konservasi santun yang paling sulit dikembangkan, berarti menunjukkan bahwa materi hidrolisis garam untuk mengembangkan soft skill konservasi santun tidak tercapai. Soft skill konservasi santun tidak terkembangkan pada konsep hidrolisis garam karena membutuhkan latihan-latihan untuk ke- biasan seperti halnya dengan sub konsep menghi- tung pH garam terhidrolisis. Sejalan dengan lati- han dan pembiasaan yang harus dilakukan maka soft skill konservasi santun dan menghitung pH garam terhidrolisis harus dilakukan dalam waktu yang lebih lama untuk mendapatkan peningkatan yang maksimal. Tanggapan siswa terhadap perangkat pembelajaran yang telah dilakukan di kelas diukur dengan angket. Aspek ketertarikan, motivasi, kesenangan, dan 41 aspek pendukung penerapan model PBL berorientasi green chemistry mem- berikan kategori “sangat tinggi” dan “tinggi” karena memilih pendapat sangat siswa setuju dan setuju. Siswa memberikan tanggapan yang baik terhadap model PBL berorientasi green chemistry karena dapat belajar kimia dan dihubung- kan dengan lingkungan. Hal ini sesuai dengan penelitian Juntenen (2013) yang tujuannya ada- lah meningkatkan kualitas lingkungan dan pen- didikan keaksaraan berkelanjutan melalui PBL. Penerapan model PBL berorientasi pada green mikroskala menggunakan bahan kimia yang ra- mah lingkungan. 6. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Shanmugapriya M dan Dr.Tamilarasi A Developing a Mobile Courseware for ICT Students using Problem Based Learning Approach. Berdasarkan pendekatan PBL dan menerapkan ini pada kerangka mobile learning baru dikembangkan berdasarkan arsitektur berorientasi layanan. Studi kasus yang disajikan dalam artikel ini untuk mengembangkan courseware untuk Pemrograman Java untuk siswa ICT mendorong penggunaan berbagai pedagogi pembelajaran seperti pembelajaran berbasis masalah dan strategi desain instruksional lain pada kerangka pembelajaran M digunakan dalam proyek ini. Pendekatan ini memandang dan memungkinkan peserta didik pendekatan sentris dalam platform mobile learning dan kerangka Mlearning mendukung sesuai. Kerangka ini dibangun di atas prinsip manamana dan suplemen baik lingkungan belajar tradisional seperti kelaspengaturan dan selama mobilitas siswa di kampus dan di luar kampus lingkungan. Evaluasi kerangka dirancang diuji dengan sekelompok mahasiswa milik Master of Aplikasi Program Komputer (MCA). Kerangka M-learning dikembangkan untuk mendukung platform terbuka seperti Android. Aplikasi ini dapat diimplementasikan dalam Platform Ponsel lain seperti iOS, Blackberry dan Windows Mobile. 7. Penelitian yang dilakukan Prarthana Coffin, 2013. Identifying needs to develop a PBL staff development program bahwa salah satu elemen penting dalam mengimplementasikan PBL inisiatif serta menjaga 42 pelaksanaan PBL. Pengembangan staf PBL perlu dimasukkan ke dalam rencana aksi dari awal ketika lembaga pendidikan tinggi ingin menerapkan PBL. Tanpa ragu, ia akan bekerja keras untuk semua agen ketika datang ke perubahan apapun. Oleh karena itu, memiliki dukungan yang kuat dari semua tingkatan dalam organisasi adalah penting dan berharga. Membuat perubahan dalam sistem pendidikan adalah proses panjang yang memerlukan dukungan, komitmen, kreativitas, dan toleransi dari semua agen. Seperti yang disarankan oleh para ahli PBL, penyusunan staf saja dapat mengambil setidaknya satu tahun sebelum pelaksanaan aktual; Oleh karena itu, memiliki staf siap untuk memulai dengan adalah alternatif yang baik. Seorang staf siap memang bisa datang dalam bentuk program pengembangan staf PBL. Dalam kebanyakan kasus pelatihan staf PBL telah dilakukan terutama melalui format lokakarya singkat; Namun, penelitian ini mengusulkan bahwa menambahkan lebih pelatihan dan dukungan elemen jangka panjang yang sistematis yang tidak hanya akan membuat inisiatif implementasi PBL yang kuat, tetapi juga akan mempertahankan praktek PBL lembaga. Sebagai PBL tidak harus dilihat sebagai add-on pendekatan pengajaran; itu harus tertanam dalam sistem. Oleh karena itu, program pengembangan staf PBL juga harus tertanam dalam sistem evaluasi staf (sistem reward) juga. Disarankan agar membentuk program pelatihan PBL berurutan bersama dengan praktek masyarakat PBL dapat menjadi strategi berkelanjutan untuk menerapkan dan memelihara praktek PBL karena twounits ini akan platform bagi para praktisi PBL untuk berbagi ide dan pengalaman, serta dukungan satu sama lain dalam sikap pedagogis mereka. 8. Penelitian yang dilakukan Helene M. Larin, dkk, 2010, tentang Students’ Perspectives on Problem-Based Learning in a Transitional Doctorate of Physical Therapy Program. Studi ini menambahkan literatur yang ada pada PBL untuk program kesehatan profesional. Sebuah kursus PBL tunggal dalam kurikulum konvensional diterima dengan baik oleh siswa 43 tDPT dalam penelitian ini. Siswa dirasakan bahwa mereka telah memperoleh keterampilan dalam mengakses dan memanfaatkan informasi, dan memberi, menerima dan bertindak atas umpan balik. Mereka menyadari dinamika kelompok dan kontribusi masing-masing untuk keberhasilan kelompok. Siswa menghargai nilai belajar dari orang lain dan mencatat perubahan positif dalam pertumbuhan pribadi dan profesional. Siswa mencatat bahwa komunikasi, penyelidikan kritis, pengambilan keputusan klinis, refleksi, dan keterampilan praktik berbasis bukti yang mereka dapatkan dalam kursus PBL ini akan sangat berharga dalam praktek klinis. 9. Penelitian yang dilakukan oleh Eliana Rodriguez, dkk, 2012, yang berjudul The Use of the Ames Test as a Tool for Addressing ProblemBased Learning in the Microbiology Lab. Tujuan umum dari sumber daya laboratorium ini adalah untuk siswa untuk mengembangkan kompetensi dan membangun keterampilan mengenai uji Ames, dan berpartisipasi langsung dalam proses pembelajaran, daripada menjadi penerima pasif pengetahuan yang ditransfer. Siswa mampu membuat koneksi ke aplikasi dunia nyata dari materi kursus. Selain itu, penetapan kadar zat dengan sifat antimikroba terbukti menjadi diskusi baik pemula. Jenis kegiatan hands-on terbukti lebih efisien daripada kuliah langsung dalam memberikan siswa dengan visi bahwa produk alami masih tetap merupakan sumber yang belum dijelajahi senyawa antibakteri. 10. Penelitian yang dilakukan N.K Hashilkar and M.H. Gelula, 2014, yang berjudul Effectiveness of Team Based Learning to Teach Pharmacology for Phase-II MBBS Students. Dari temuan kami, kami dapat mendukung kesimpulan bahwa TBL lebih efektif dibandingkan dengan metode CT. TBL tampaknya tidak hanya memberikan informasi tentang materi pelajaran tetapi juga muncul untuk membantu siswa dalam mempertahankan fakta dan konsep-konsep untuk jangka waktu lebih lama. Selain itu, dalam penelitian ini, TBL muncul untuk memastikan kemampuan analisis dan klinis-penalaran yang lebih baik sehingga siswa 44 dapat menerapkan pengetahuan mereka dalam pengaturan relevansi klinis. Oleh karena itu kami akan merekomendasikan bahwa TBL digunakan untuk mengajar farmakologi untuk modul lain juga. C. Kerangka Berfikir Adanya beberapa factor yang mempengaruhi keberhasilan dalam pembelajaran IPS, di antaranya karena model pembelajaran dan media pembelajaran yang digunakan guru dalam kegiatan belajar mengajar. Berdasarkan kajian teori yang telah diuraikan di atas dapatlah dibuat kerangka berfikir dari penelitian ini sebagai berikut : Pada kondisi awal guru dalam pembelajaran belum menggunakan model pembelajaran problem based learning dengan media audio visual, yang berakibat siswa merasa bosan dan tidak tertarik dalam mengikuti kegiatan pembelajaran, sehingga hasil belajar siswapun menjadi rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut, guru harus melakukan tindakan. Tindakan yang dilakukan dengan menggunakan model pembelajaran problem based learning dengan media audio visual dalam tiga siklus, yang masing – masing siklus terdiri dari perencanaan, pelaksanaan, observasi, dan refleksi. Sehingga dengan tindakan ini diharapkan akan meningkatkan kreativitas dan peningkatan hasil belajar. 45 Untuk lebih jelasnya, kita lihat skema alur atau kerangka berfikir Kondisi Awal Pelaksanaan Kondisi akhir Guru : Belum menerapkan model pembelajaran problem based learning dangan audio visual dalam pembelajaran IPS Guru : Pengunaan model pembelajaran problem based learning dengan audio visual dalam pembelajaran IPS Diduga dengan Pengunaan model pembelajaran problem based learning dengan audio visual dalam pembelajaran IPSdapat meningkatkan kreativitas dan hasil belajar Gambar 2.1 Skema Kerangka Berfikir Siswa : Kreatifitas siswa dan Hasil belajar IPS rendah Siklus 1. Perencanaan 2. Tindaklan 3. Pengamatan 4. Reflesi Siklus I belum tercapai sehingga terulang sampai siklus III terjadi peningkatan kreativitas dan hasil belajar 46 Keterangan Skema : Judul Proposal : Implementasi Pembelajaran IPS Dengan Model PBL ( Problem Based Learning) dan Media Audio Visual Untuk Meningkatkan Kreativitas dan Hasil Belajar di SMK Bina Taruna Masaran Sragen. 1. Kondisi awal, maksudnya adalah kondisi dimana anak didik melakukan kegiatan pembelajaran belum menggunakan model PBL (Problem Based Learning) dengan mengunakan media audio visual sehingga pemahaman materi pembelajaran masih rendah. Hal ini disebabkan karena guru masih menerapkan pembelajaran yang berpusat pada guru. 2. Dengan latar belakang tersebut, kemudian guru menerapkan model PBL (Problem Based Learning) dan menggunakan media audio visual dalam proses belajar mengajar. 3. Setelah guru menerapkan model PBL (Problem Based Learning) dengan menggunakan media audio visual, maka anak didik mulai berlatih untuk meningkatkan kreativitas dalam pembelajaran dan akhirnya hasil belajar anak didik khususnya pelajaran IPS menjadi meningkat. D. Hipotesis Tindakan Berdasarkan kajian teori dan kerangka berfikir di atas maka hipotesis tindakan penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut : 1. Pelaksanaan model pembelajaran PBL (Problem Based Learning) dalam pembelajaran IPS dengan menggunakan media audio visual di duga berguna bagi guru dalam penyampain materi pembelajaran. 2. Pelaksanaan model pembelajaran PBL (Problem Based Learning) dalam pembelajaran IPS dengan menggunakan media audio visual diduga dapat meningkatkan kreativitas siswa. 3. Pelaksanaan model pembelajaran PBL (Problem Based Learning) dalam pembelajaran IPS dengan menggunakan media audio visual diduga dapat meningkatkan hasil belajar siswa.