BAB II TINJAUAN TEORI A. Tinjauan Pustaka 1. Sectio Caesarea a. Definisi Sectio Caesarea Sectio caesarea adalah kelahiran janin melalui insisi pada dinding abdomen dan dinding uterus (Cunningham, 2015). Sectio caesarea juga dapat didefinisikan sebagai suatu hysterectomia untuk melahirkan janin dari dalam rahim (Sofian, 2011) b. Indikasi Sectio Caesarea Indikasi sectio caesarea antara lain: riwayat sectio caesarea sebelumnya, presentasi bokong, distosia, fetal distress, preeklampsia berat, gawat janin, panggul sempit, dan plasenta previa (Rasjidi, 2009). c. Klasifikasi Sectio Caesarea Klasifikasi sectio caesarea menurut Rasjidi (2009): 1) Sectio caesarea klasik atau corporal: insisi memanjang pada segmen atas uterus. 2) Sectio caesarea transperitonealis profunda: insisi pada segmen bawah rahim, paling sering dilakukan, adapun kerugiannya adalah terdapat kesulitan dalam mengeluarkan janin sehingga memungkinkan terjadinya perluasan luka insisi dan dapat menimbulkan pendarahan. 5 6 3) Melintang (secara kerr). 4) Sectio caesarea ekstra peritonealis: dilakukan tanpa insisi peritoneum dengan mendorong lipatan peritoneum keatas dan kandung kemih ke bawah atau ke garis tengah, kemudian uterus dibuka dengan insisi di segmen bawah. 5) Sectio caesarea Hysterectomi: dengan indikasi atonia uteri, plasenta akreta, myoma uteri, infeksi intra uterin berat. d. Rencana Asuhan Post Sectio Caesarea 1) Memantau komplikasi terutama infeksi luka bedah, perdarahan postpartum, dan retensio urin. 2) Memantau dan mengurangi nyeri. 3) Bounding attachment. 4) Inisiasi menyusui dini jika tidak ada kontraindikasi. (Green, 2012) Pada tindakan operatif, anastesi diberikan agar pasien tidak merasakan nyeri pada saat diinsisi. Tetapi setelah tindakan operatif selesai dan pasien mulai sadar, pasien akan merasakan nyeri pada bagian tubuh yang telah diinsisi (Potter dan Perry, 2009). Nyeri paling hebat terjadi pada 12-36 jam setelah tindakan operatif (Barbara, 2010). 2. Nyeri a. Definisi 1) Mc Caffery mendefinisikan nyeri sebagai suatu fenomena yang sulit dipahami, kompleks, dan bersifat misteri yang memengaruhi 7 seseorang, serta eksistensinya diketahui bila seseorang mengalaminya (Zakiyah, 2015). 2) International Assosiation for the Study of Pain (IASP) mendefinisikan nyeri sebagai pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan yang berhubungan dengan kerusakan jaringan aktual atau potensial. Proses kerusakan jaringan diteruskan ke sistem saraf pusat dan menimbulkan sensasi nyeri. Penilaian nyeri tidak dapat lepas dari subjektivitas klien. Untuk membantu manajemen nyeri agar dapat lebih objektif, maka dibuat skala kuantitas (Tanto, 2014). b. Teori Nyeri 1) Teori Spesifitas (Specivity Theory) Teori ini didasarkan pada kepercayaan bahwa terdapat organ tubuh yang secara khusus mentransmisi nyeri. Syaraf ini diyakini dapat menerima rangsangan nyeri dan mentransmisikan melalui ujung dorsal dan substansia gelatinosa ke talamus, yang akhirnya dihantarkan pada daerah yang lebih tinggi sehingga timbul respon nyeri. Teori tidak menjelaskan bagaimana faktorfaktor multidimensional dapat terjadi (Zakiyah, 2015). 2) Teori Pola (Pattern Theory) Teori ini menjelaskan bahwa ada dua serabut nyeri yaitu serabut yang dapat menghantarkan rangsang dengan cepat dan serabut yang menghantarkan rangsang dengan lambat. Kedua 8 serabut ini bersinapsis dan meneruskan rangsang ke otak mengenai jumlah, intensitas, tipe input sensori nyeri yang menafsirkan karakter dan kuantitas input sensori (Zakiyah, 2015). 3) Teori Gerbang Kendali (The Gate Control Theory) Menurut Melzack dan Wall menjelaskan teori gerbang kendali nyeri yakni terdapat semacam “pintu gerbang” yang dapat memfasilitasi atau memperlambat transmisi sinyal nyeri. Selain itu juga menjelaskan bahwa di dalam tubuh manusia terdapat dua macam transmitter impuls nyeri, yaitu reseptor yang berdiameter kecil dan berdiameter besar (Solehati, 2015). Menurut Joyce dan Hawks, reseptor berdiameter kecil (serabut delta A dan C) berfungsi untuk mentransmisikan nyeri yang sifatnya keras. Reseptor ini biasanya berupa ujung saraf bebas yang terdapat pada seluruh permukaan kulit dan pada struktur lebih dalam seperti tendon, fasia, tulang serta organ-organ interna. Transmitter yang berdiameter besar (serabut beta A) memiliki reseptor yang terdapat pada permukaan tubuh dan berfungsi sebagai inhibitor, yaitu mentransmisikan sensasi lain seperti getaran, sentuhan, sensasi hangat dan dingin, serta terhadap tekanan halus (Zakiyah, 2015). Saat terdapat rangsangan, kedua serabut tersebut akan membawa rangsangan ke dalam kornu dorsalis yang terdapat pada medula spinalis posterior, di medulla spinalis terjadi interaksi 9 antara dua serabut berdiameter besar dan kecil yang disebut “Substansia Gelatinosa (SG)”. SG merupakan area terjadinya perubahan dan modifikasi yang memengaruhi apakah sensasi nyeri yang diterima medula spinalis akan diteruskan ke otak atau dihambat. Sebelum impuls nyeri diteruskan ke otak, serabut besar dan kecil berinteraksi di area SG. Apabila tidak terdapat stimulus atau impuls yang adekuat dari serabut besar, maka impuls nyeri dari serabut kecil akan dihantarkan ke sel T (sel pemicu/trigger cell). Kemudian dibawa ke otak dan menimbulkan sensasi nyeri yang dirasakan oleh tubuh. Keadaan ketika impuls nyeri dihantarkan ke otak dinamakan pintu gerbang terbuka. Sebaliknya apabila terdapat impuls yang ditransmisikan oleh serabut berdiameter besar karena adanya stimulasi kulit, sentuhan, getaran, sensasi hangat atau dingin, serta sentuhan halus, akan menghambat impuls dari serabut berdiameter kecil sehingga sensasi yang dibawa serabut kecil akan berkurang atau bahkan tidak dihantarkan ke otak oleh SG sehingga tubuh tidak merasakan sensasi nyeri. Kondisi ini disebut dengan pintu gerbang tertutup (Zakiyah, 2015). c. Klasifikasi Nyeri 1) Berdasarkan lama keluhan atau waktu kejadian a) Nyeri akut Nyeri yang diakibatkan kerusakan jaringan yang nyata dan 10 akan hilang seirama dengan proses penyembuhannya, terjadi dalam waktu singkat dari 1 detik sampai kurang dari 6 bulan. b) Nyeri kronis Nyeri yang menetap melampaui waktu penyembuhan normal yakni enam bulan. (Zakiyah (2015) 2) Berdasarkan lokasi nyeri a) Nyeri somatik Nyeri yang timbul karena gangguan bagian luar tubuh b) Nyeri pantom Nyeri khusus yang dirasakan pasien yang mengalami amputasi. Oleh pasien, nyeri dipersepsikan berada pada organ yang diamputasi seolah-olah masih ada. c) Nyeri menjalar Sensasi nyeri yang meluas dari tempat awal cedera ke bagian tubuh yang lain. Nyeri seakan menyebar ke bagian tubuh bawah atau sepanjang bagian tubuh, nyeri dapat bersifat intermitten atau konstan. d) Nyeri alih Nyeri yang timbul akibat adanya nyeri viseral yang menjalar ke organ lain sehingga nyeri dirasakan pada beberapa tempat. (Zakiyah (2015) 11 3) Berdasarkan etiologi nyeri a) Nyeri fisiologi atau nyeri organik Nyeri yang diakibatkan oleh kerusakan organ tubuh b) Nyeri psikogenik Nyeri ini disebabkan oleh berbagai faktor psikologis. Terjadi karena efek-efek psikogenik seperti cemas dan takut yang dirasakan oleh klien. c) Nyeri neurogenik Nyeri yang timbul akibat gangguan pada neuron. (Zakiyah (2015) d. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Nyeri 1) Faktor-faktor yang memengaruhi persepsi nyeri yaitu: usia, jenis kelamin, Kebudayaan, perhatian, makna nyeri, ansietas, mekanisme koping, keletihan, pengalaman sebelumnya, keluarga dan sosial. 2) Faktor-faktor yang memengaruhi toleransi nyeri a) Faktor yang dapat meningkatkan toleransi terhadap nyeri yaitu: obat-obatan, hipnotis, distraksi, dan kepercayaan yang kuat. b) Faktor yang dapat menurunkan toleransi terhadap nyeri yaitu: sakit/penderitaan, rasa bosan dan depresi, marah, kelelahan, ansietas, nyeri kronis. (Potter dan Perry, 2009) 12 e. Dampak Nyeri Nyeri menimbulkan perasaan yang tidak nyaman pada pasien. Apabila nyeri tidak segera diatasi secara adekuat akan memberikan efek yang membahayakan seperti kardiofaskuler, gastrointestinal, endokrin, dan immunologik (Solehati, 2015). f. Intensitas Nyeri Intensitas nyeri adalah gambaran tentang seberapa parah nyeri dirasakan oleh individu, pengukuran intensitas nyeri sangat subjektif dan individual. Kemungkinan nyeri dalam intensitas yang sama, dirasakan sangat berbeda oleh dua orang yang berbeda. Pengukuran nyeri dengan pendekatan obyektif yang paling mungkin adalah menggunakan respon fisiologis tubuh terhadap nyeri itu sendiri. Namun, pengukuran dengan teknik ini juga tidak dapat memberikan gambaran pasti tentang nyeri itu sendiri (Tamsuri, 2007). Alat diagnostik yang digunakan untuk mengukur intensitas nyeri terdiri dari 2 macam, yaitu skala unidimensi dan multidimensi. Skala unidimensi hanya digunakan untuk mengukur skala intensitas nyeri terkait nyeri yang dirasakan (Tanto, 2014). 1) Numerical Rating Scale (NRS) Gambar 2.1 Numerical Rating Scale (NRS) 13 Kelebihan NRS yaitu mudah digunakan dan sederhana. Tervalidasi untuk berbagai tipe nyeri. Kekurangannya tidak dapat digunakan untuk tipe pasien tertentu. Seperti pasien yang terlalu tua atau muda. Pasien dengan gangguan visual, pendengaran, atau kognitif. Keterangan: 0 : Tidak nyeri 1-3 : Nyeri ringan Secara objektif pasien dapat berkomunikasi dengan baik. 4-6 : Nyeri sedang Secara objektif pasien mendesis, menyeringai, dapat menunjukkan lokasi nyeri, dapat mendeskripsikannya, dapat mengikuti perintah dengan baik. 7-9 : Nyeri berat Secara objektif pasien terkadang tidak dapat mengikuti perintah tapi masih menunjukkan lokasi merespon nyeri, tindakan, dapat tidak dapat mendeskripsikannya, tidak dapat diatasi dengan alih posisi nafas panjang dan distraksi 10 : Nyeri sangat berat Pasien sudah tidak mampu lagi berkomunikasi, memukul. 14 2) Visual Analog Scale (VAS) Gambar 2.2 Visual Analog Scale (VAS) Metode VAS sangat efisien penggunaannya pada pasienpasien yang nyeri kronis. Kelemahan VAS yaitu validitasnya masih kontroversial dan terkadang membuat pasien bingung. 3. Penatalaksanaan Nyeri Penatalaksanaan nyeri nonfarmakologi: a. Stimulasi pada area kulit Stimulasi pada area kulit atau cutaneous stimulation adalah istilah yang digunakan dalam manajemen nyeri secara nonfarmakologi sebagai salah satu teknik yang dipercaya dapat mengaktifkan opioid endogen. Sebuah sistem analgesik monoamina yang dapat menurunkan intensitas nyeri. Teknik ini terdiri atas pemberian kompres dingin, kompres hangat, massase, dan TENS (Transcutaneous Electrical Nerve Stimulation) (Zakiyah 2015). b. Accupressure Accupressure adalah salah satu pengobatan Tiongkok yang sudah lama dikenal. Di Barat, accupressure adalah penekananpenekanan pada titik pengaktif dimana dalam hal nyeri titik pengkatif adalah sama dengan titik akupuntur. Menurut ilmu kedokteran Timur, 15 accupressure adalah penekanan titik-titik akupuntur dengan tujuan memperlancar sirkulasi sehingga tercapai keseimbangan energi, dengan indikasi utama untuk nyeri dan gangguan neuromuscular, sedangkan indikasi lainnya adalah sama dengan akupuntur (Zakiyah, 2015) c. Distraksi Distraksi merupakan suatu cara mengalihkan perhatian pasien ke hal lain dari nyeri yang dapat menurunkan kewaspadaan pasien terhadap nyeri, sehingga nyeri berkurang. Jenis-jenis distraksi: 1) Distraksi visual Melihat pertandingan, menoton televisi, membaca koran, melihat pemandangan, dan gambar. 2) Distraksi intelektual Mengisi teka-teki silang, bermain kartu, melakukan kegemaran (seperti mengumpulkan perangko), dan menulis cerita. 3) Distraksi pendengaran Distraksi pendengaran dapat dilakukan dengan mendengarkan musik yang disukai satau suara burung serta gemericik air. Pasien dinjurkan untuk memilih musik yang disukai dan musik tenang seperti musik klasik (Potter dan Perry, 2009). 4) Distraksi pernapasan Bernapas ritmik dan memandang fokus pada objek gambar atau memejamkan mata (Solehati, 2014). 16 d. Relaksasi Teknik yang dapat digunakan untuk menurunkan kecemasan dan ketegangan otot. Jenis-jenis relaksasi meliputi: a) relaksasi pernafasan; b) gambaran dalam fikiran (Imagery); c) regangan; d) senaman; e) progressive muscular relaxation; f) bertafakur yoga (Solehati, 2014). 4. Terapi Musik a) Pengertian Terapi Musik Musik merupakan sebuah bagian integral dalam peribadatan lintas budaya dan agama, mampu menenangkan jiwa, menjadi sarana untuk memusatkan diri pada kesadaran spiritual, mengangkat seseorang pada sebuah situasi damai, hening, dan sadar akan diri sendiri. Musik dapat mengurangi nyeri, depresi, pergolakan dan agresi serta meningkatkan relaksasi dan suasana hati yang positif (Young dan Koopsen, 2007). Terapi musik adalah terapi yang menggunakan musik untuk proses penyembuhan. Bunyi dan irama tertentu yang dihasilkan oleh musik dapat menimbulkan dampak positif yaitu rileks. Efek rileks dapat menurunkan keadaan kecemasan dan nyeri (Solehati, 2015) b) Manfaat Terapi Musik Menurut Kemper dan Denhaueur manfaat musik yaitu: 1) Musik meberikan efek terapeutik/penyembuhan. 2) Musik menurunkan stress atau ketegangan otot. 17 3) Musik mengurangi nyeri. 4) Musik meciptakan suasana rileks dan menyenangkan. 5) Musik mempengaruhi sistem limbik dan saraf otonom sehingga merangsang pelepasan zat kimia Gamma Amino Butyric Acid (GABA), enkefalin, dan beta endorphin yang akan mengeliminasi neurotransmitter nyeri. Musik mengatur hormon yang berkaitan dengan stres. (Solehati, 2015) c) Karakteristik Terapi Musik Terapi musik merupakan teknik distraksi yang efektif yang dapat menurunkan nyeri, stres, dan kecemasan dengan mengalihkan perhatian seseorang dari nyeri. Menurut Scheneider dan Workman dalam distraksi efektif karena pasien berkonsentrasi pada stimulus yang menarik atau menyenangkan daripada berfokus pada gejala yang tidak menyenangkan (Solehati, 2015). Terapi musik memberikan efek fisiologis pada pasien yang membuat pasien merasa tenang sehingga perasaan cemas akan berkurang. Hal ini dikarenakan musik memengaruhi sistem limbik yang merupakan pusat pengatur emosi sehingga kualitas pasien akan baik (Solehati, 2015). Terapi musik yang sering digunakan untuk penyembuhan atau terapeutik adalah musik yang tenang dan menenangkan. Pemilihan musik tanpa lirik lebih diutamakan sehingga pasien nantinya tidak 18 memusatkan perhatian pada lirik. Melainkan memungkinkan pasien untuk mengalir mengikuti musik. Salah satu jenis musik terapeutik adalah musik instrumentalia/ musik klasik Mozart (Barbara, 2010). d) Terapi Musik klasik Mozart Musik klasik mozart adalah musik klasik yang muncul 250 tahun yang lalu. Diciptakan oleh Wolgang Amadeus Mozart. Musik klasik Mozart dapat digunakan untuk menyembuhkan penyakit, memberikan efek positif pada ibu hamil dan janin. Selain itu, beberapa penelitian oleh Alfred dan Campbell sudah membuktikan bahwa musik klasik mozart dapat mengurangi nyeri pasien. Musik klasik Mozart memiliki melodi dan frekuensi yang tinggi sehingga mampu merangsang dan memberdayakan kreatifitas dan motivatif diotak (Zakiyah, 2015). e) Proses penurunan nyeri dengan terapi musik Mozart Terapi musik klasik mozart dapat mengatasi nyeri berdasarkan the gate control teory, bahwa impuls nyeri dapat diatur atau dihambat oleh mekanisme pertahanan di sepanjang sistem saraf pusat. Teori ini mengatakan bahwa impuls nyeri dihantarkan saat sebuah pertahanan dibuka dan impuls dihambat saat sebuah pertahanan ditutup (Solehati, 2015). f) Prosedur terapi musik klasik mozart 1) Pilih musik klasik 19 2) Gunakan earphone supaya tidak menganggu pasien atau staf yang lain dan membantu pasien berkonsentrasi pada musik. 3) Pastikan tombol-tombol kontrol di musik player di handphone mudah ditekan, dimanipulasi dan dibedakan. 4) Apabila nyeri yang pasien rasakan akut, kuatkan volume musik. Apabila nyeri berkurang, kurangi volume. 5) Instruksikan pasien untuk tidak menganalisa musik: ”Nikmati musik kemana pun musik membawa anda”. Musik didengarkan 10 menit supaya memberikan efek terapeutik. (Potter dan Perry, 2009) 5. Teknik Relaksasi Napas Dalam a) Pengertian Menurut Smeltzer & Bare teknik relaksasi pernapasan merupakan suatu bentuk asuhan yang mengajarkan kepada pasien bagaimana cara melakukan nafas dalam, nafas lambat (menahan inspirasi secara maksimal) dan bagaimana menghembuskan nafas secara perlahan. Selain dapat menurunkan intensitas nyeri, teknik relaksasi napas dalam juga dapat meningkatkan ventilasi alveoli dan meningkatkan oksigenasi darah (Solehati, 2015). b) Manfaat Relaksasi napas dalam dapat menyebabkan terjadinya penurunan nadi, penurunan ketegangan otot, peningkatan kesadaran global, perasaan yang damai dan sejahtera (Potter dan Perry, 2009). 20 Manfaat relaksasi dapat dilakukan setiap saat, kapan saja dan dimana saja. Caranya sangat mudah dan dapat dilakukan secara mandiri oleh pasien (Smeltzer dan Barre, 2002) c) Tujuan Teknik Relaksasi Napas Dalam Tujuan relaksasi napas dalam adalah untuk meningkatkan ventilasi alveoli, memelihara pertukaran gas, mencegah atelektasi paru, mengurangi stress baik stress fisik maupun emosional sehingga dapat menurunkan intensitas nyeri dan menurunkan kecemasan (Solehati, 2015). d) Proses Penurunan Nyeri dengan Teknik Relaksasi Napas Dalam Teknik relaksasi napas dalam dapat menurunkan intensitas nyeri melalui tiga mekanisme, yaitu; 1) Merelaksasikan otot yang mengalami spasme akibat dari insisi (trauma) jaringan saat pembedahan. 2) Relaksasi ini akan meningatkan aliran darah ke daerah yang mengalami trauma sehingga mempercepat proses penyembuhan dan menurunkan sensasi nyeri karena nyeri post operatif merupakan nyeri yang disebabkan trauma jaringan. Jika trauma sembuh maka nyeri juga hilang. (Smeltzer dan Barre, 2002). e) Prosedur Teknik Relaksasi Napas Dalam Tahap pertama untuk belajar rileks adalah menyadari bagaimana rasanya tubuh dan pikiran ibu post operasi sectio caesarea 21 ketika istirahat atau tidur karena tubuh dan pikiran saling memengaruhi satu sama lain. Keadaaan pikiran ibu mempunyai pengaruh yang besar terhadap seberapa rileks atau tegangnya tubuh ibu. Jika ibu cemas atau takut, tubuh akan merefleksikan perasaan ini dengan cara menegang, jika ibu merasa percaya diri dan positif, tubuh akan tetap rileks. Prosedur teknik relaksasi napas dalam adalah sebagai berikut: 1) Atur posisi pasien yang nyaman 2) Minta pasien untuk menempatkan tangannya ke bagian dada dan perut. 3) Minta pasien untuk menarik napas melalui hidung secara pelan, dalam dan merasakan kembang kempisnya perut. 4) Minta pasien untuk menahan napas beberapa detik kemudian keluarkan napas secara perlahan melalui mulut. 5) Beritahukan pada pasien bahwa pada saat mengeluarkan napas, mulut pada posisi mencucu. 6) Minta pasien untuk mengeluarkan napas sampai perut mengempis. 7) Ulangi sampai 15 kali, dengan selingi istirahat singkat setiap 5 kali. (Potter dan Perry, 2009). 6. Perbedaan Terapi Musik dan Relaksasi terhadap Intensitas Nyeri Upaya nonfarmakologis untuk mengurangi nyeri dapat dilakukan melalui terapi musik dan relaksasi. Ibu nifas post sectio caesarea akan mengalami nyeri setelah tindakan operatif selesai. Nyeri dapat menimbulkan stres dan memengaruhi proses penyembuhan, sehingga diperlukan upaya 22 untuk mengurangi nyeri tersebut. Perbedaan antara terapi musik dan relaksasi terletak pada cara pemberian perlakuan dan stimulasi. Terapi musik menggunakan musik untuk menurunkan nyeri dengan memengaruhi sistem syaraf melalui hormon endhorpin, enkefalin dan transmitter inhibitor nyeri. Teknik relaksasi menggunakakan nafas dalam untuk menurunkan nyeri. Nafas dalam dapat meningkatkan ventilasi alveoli dan meningkatkan oksigenasi darah. Hal ini dapat mempercepat proses penyembuhan luka karena trauma insisi. 23 B. Kerangka Pemikiran Pasien Post Sectio caesarea Penatalaksanaan nyeri Nonfarmakologis Stimulasi area kulit Farmakologis Accupresure Distraksi: Terapi musik Relaksasi: Napas dalam Mengalihkan nyeri ke hal lain yang lebih menyenangkan Meningkatkan ventilasi alveoli dan oksigenasi darah Merangsang hormon endorphin Mengurangi rasa nyeri Faktor yang memengaruhi persepsi nyeri: 1. Usia 2. Jenis kelamin 3. Kebudayaan 4. Perhatian 5. Makna nyeri 6. Ansietas 7. Koping 8. Keletihan 9. Pengalaman sebelumnya 10. Keluarga dan sosial Meningkatkan aliran darah pada daerah yang diinsisi Mengurangi rasa nyeri Pasien rileks Penurunan intensitas nyeri ibu post sectio caesarea Gambar 2.3 Kerangka Pemikiran Keterangan: : Variabel Dependen : Variabel Independen 24 C. Hipotesis Terdapat perbedaan yang signifikan antara terapi musik dan relaksasi terhadap intensitas nyeri ibu nifas post sectio caesarea.