6 BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Teori Medis 1. Bayi dan Balita a

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Teori Medis
1. Bayi dan Balita
a. Pengertian Bayi dan Balita
Anak berusia 28 hari sampai dengan 1 tahun merupakan masa bayi,
sedangkan usia 1 – 5 tahun merupakan masa anak (Fida dan Maya,
2012).
Anak usia 1-3 tahun disebut dengan batita, sedangkan 3-5 tahun
disebut prasekolah. Keduanya merupakan istilah umum dari balita,
dibawah 1 tahun disebut bayi. Saat usia bayi maupun balita masih sangat
bergantung pada orang tuanya (Anggraeni dan Sutomo, 2010).
b. Pertumbuhan dan Perkembangan
Pertumbuhan
bersifat
kuantitatif
seperti
pertambahan
sel,
pertambahan tinggi, dan berat badan. Sedangkan perkembangan bersifat
kualitatif dan kuantitatif, contohnya adalah kematangan suatu organ
tubuh (Ranuh dan Soetjiningsih, 2015).
Masa
bayi
dan
anak
memiliki
masa
pertumbuhan
dan
perkembangan yang berbeda dari orang dewasa. Pertumbuhan tersebut
salah satunya adalah bertumbuhnya organ menjadi besar lebih matang
dan siap digunakan pada masa dewasa. Selain itu bertambahnya sel-sel
akan memperkuat fungsi dari suatu organ. Perkembangan sendiri akan
6
7
berjalan normal saat pertumbuhan dan kematangan berjalan sesuai
umurnya. Pada tahun pertama kehidupan, tumbuh kembang anak akan
cepat, pada umur 3-4 tahun akan melambat dan meningkat pada masa
remaja (Ilmu Kesehatan Anak FKUI, 2007).
Faktor-faktor yang mempengaruhi tumbuh kembang anak di
antaranya
adalah
keturunan
dan
lingkungan.
Keturunan
akan
berpengaruh pada kematangan struktur dan fungsi yang optimal,
sedangkan lingkungan akan menentukan bagaimana potensi anak akan
terpenuhi (Dodge, Gray, dan Short, 2010).
c. Kondisi-kondisi Bayi dan Balita Sakit
Hasil ringksan kajian kesehatan Ibu dan Anak oleh UNICEF
(2012), menyebutkan bahwa di Indonesia, 1 dari 3 balita yang demam
disebabkan oleh malaria, infeksi saluran pernafasan akut, dan lainnya.
Sedangkan untuk diare, 1 dari 7 balita mengalaminya. Penyebab angka
kematian balita sebagian besar merupakan penyakit yang dapat dicegah.
2. ISPA (Infeksi Saluran Pernafasan Akut)
a. Pengertian ISPA
Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) atau IRA (Infeksi
respiratori akut) merupakan infeksi pada saluran nafas baik saluran
pernafasan atas maupun bawah (parenkim paru) yang sudah akut. Suatu
penyakit dikatakan akut jika infeksi tersebut berlangsung hingga 14
hari. Infeksi akut pada saluran pernafasan ini sering terjadi pada anak
dibawah usia 5 tahun. Kejadian penyakit ini sering terjadi di negara
8
berkembang 2-10 kali lipat lebih besar daripada di negara maju.
Penyebab ISPA di negara berkembang lebih banyak disebabkan oleh
bakteri, sedangkan di negara maju disebabkan oleh virus (Naning,
Wahani, dan Wantania, 2014).
Menurut WHO (2007), ISPA merupakan penyakit yang
menyebabkan infeksi pada saluran pernafasan. Penyebabnya adalah
agen infeksius yang ditularkan dari satu manusia ke manusia yang lain.
b. Klasifikasi ISPA
Infeksi Saluran Pernafasan Akut diklasifikasikan dalam beberapa
diantaranya pneumonia berat, pneumonia dan bukan pneumonia
(MTBS, 2008).
Menurut pengklasifikasian IDAI (2014), penyakit infeksi akut
pada saluran pernafasan atas hingga parenkim paru diantaranya sebagai
berikut :
1) Rinitis / Common cold
Penyakit rinitis ini merupakan golongan infeksi akut ringan
pada pernafasan. Namun, penyakit ini sangat mudah penularannya.
Pada daerah tropis sering terjadi pada pergantian musim bahkan pada
musim hujan. Ditandai dengan hidung tersumpat dan adanya sekret
hidung dikarenakan oleh virus. Pada masa bayi maupun balita pilek
bisa menimbulkan pneumonia.
9
2) Faringitis, tonsilitis, dan tonsilifaringitis akut
Faringitis merupakan infeksi yang menyerang jaringan mukosa
faring dan jaringan disekitarnya seperti tonsil dan hidung sehingga
faringitis
memiliki
beberapa
pengertian
yaitu
tonsilitis,
nasofaringitis, dan tonsilifaringitis. Penyakit ini ditandai dengan
sakit tenggorokan yang disebabkan oleh virus maupun bakteri.
3) Otitis media
Otitis media adalah salah satu infeksi yang menyerang telinga
bagian tengah karena terjadinya penumpukan cairan.
4) Rinosinuitis
Para ahli sepakat dengan penyakit rinosinuitis ataupun
rinosinobronkhitis karena infeksi maupun inflamasi pada rinitis
(radang pada mukosa hidung), sinuitis (radang pada salah satu sinus
di paranasal), dan bronkhitis (radang pada bronkus) sering terjadi
bersamaan dengan pertimbangan penyakit ini menyerang saluran
pernafasan atas (hidung, laring, trakea) dan saluran pernafasan
bawah (bronkus).
5) Epiglotitis
Infeksi yang terjadi pada epiglotis sangat berbahaya jika
dibiarkan. Hal ini ditandai dengan sesak nafas berat dan bunyi nafas
stridor. Penyebabnya adalah Haemophilus influenza tipe b (Hib).
Setelah ada vaksin Hib, epiglotitis jarang terjadi.
10
6) Laringo trakeobronkhitis akut (CROUP)
Sindrom CROUP ini merupakan penyakit heterogen yang
menyerang laring, subglotis, trakea dan bronkus. Berawal dari
laringitis yang menyebar hingga trakea disebut laringotrakeitis, dan
saat
menyebar
hingga
bronkus
maka
terjadilah
laringo
trakeobronkhitis. Diakibatkan oleh beberapa organisme virulen.
7) Bronkhitis akut
Proses inflamasi yang terjadi pada trakea, bronkus utama dan
menengah yang ditandai dengan batuk berdahak. Bronkhitis
disebabkan oleh virus maupun bakteri. Pada beberapa kasus,
bronkhitis akan membaik dalam 2 minggu tanpa pengobatan apapun.
8) Bronkiolitis
Bronkiolitis merupakan proses inflamasi pada saluran
pernafasan bagian bawah yang menyerang bronkiolus. Biasanya
terjadi dengan gejala ISPA pada umumnya hingga nafas wheezing
pada bayi.
9) Pneumonia
Infeksi yang menyerang parenkim paru ini merupakan angka
tertinggi penyebab morbiditas dan mortalitas di negara berkembang.
Terjadi karena pada awalnya disebabkan oleh infeksi virus hingga
menyebabkan komplikasi infeksi bakteri.
11
c. Etiologi
Penyakit ISPA terjadi disebabkan oleh virus dan bakteri. Virus
terbanyak yang menyebabkan ISPA di antaranya adalah Rhinovirus,
Adenovirus, RSV (Respiratory Syncytia Virus), virus Influenza, virus
Parainfluenza. Pada klasifikasi khusus seperti bronkhitis akut
ditemukan virus rubeola dan paramyxavirus. Sedangkan pada
bronkiolitis ditemukan virus Mycoplasma. Virus-virus tersebut paling
banyak ditemukan pada kasus ISPA. Selain virus, penyebab infeksi
pada pernafasan akut juga disebabkan oleh bakteri. Bakteri yang sering
menyerang seperti bakteri Streptococcus, pada kasus penyakit faringitis,
tonsilitis dan tonsilofaringitis adalah bakteri Strepcoccus beta
hemolitikus grup A dan Streptococcus grup A. Golongan Streptococcus
lainnya yang biasanya menyebabkan infeksi adalah Streptococcus
pnemuoniae dan Streptococcus Pyogenes. Bakteri lain seperti
Hemophilus influenzae (beberapa di ataranya tipe B), Staphylococcus
aereus, dan Mycoplasma pneumoniae (Naning et al, 2014).
d. Patofisiologi
Sebagian ISPA disebabkan oleh bakteri dam virus yang
membuat infeksi pada saluran pernafasan atas maupun bawah
(Akhmad, 2008).
Penyebab tersebut membuat perjalanan penyakit dengan cara
kontak antara virus atau bakteri sehingga organ pada pernafasan akan
terserang sehingga akan menimbulkan respon inflamasi atau membuat
12
infeksi pada organ tersebut. Saat infeksi akan terjadi vasodilatasi dan
peningkatan permeabilitas kapiler, hal tersebut akan membuat
manifestasi klinik pada penderita (Naning et al, 2014).
Menurut Mukono (2008), yang diambil dari penelitian Hutagaol
(2014), perjalanan penyakit ISPA berawal dari saluran pernafasan yang
dilapisi oleh mukosa bersilia. Udara yang masuk melalui hidung akan
disaring oleh rambut pada hidung, partikel kecil dari udara akan
menempel pada mukosa. Pada udara yang kotor, partikel udara akan
tertahan pada mukosa sehingga pergerakan silia akan menjadi lambat
yang akan berakibat pada iritasi pada saluran pernafasan. Hal tersebut
membuat peningkatan produksi lendir sehingga saluran pernafasan
menjadi sempit dan makrofage. Akibatnya benda asing akan terarik dan
bakteri atau virus tidak dapat dikeluarkan dari sistem pernafasan.
13
Patofisiologi
Berikut adalah perjalanan penyakit dari ISPA :
Balita
Virus / Bakteri
Masuk saluran
nafas
Sistem imun
buruk
Menempel pada
Faktor risiko :
Usia,
status
gizi,
riwayat
(ASI,
BBLR, imunisasi),
lingkungan, sosial
ekonomi
Menyebar ke
tempat lain
Saluran pernafasan
mukosa
bawah
bersilia
Gerakan silia
Paru terinfeksi
lambat
Pneumonia
Iritasi
Hipertermi
Hidung
Produksi lendir
meningkat
Infeksi Saluran
Pernafasan Akut
Tersumbat
Nyeri
Tenggorokan
atau Nyeri
Telan
Infeksi Selama
14 hari
Bakteri tertahan di
organ
Infeksi Saluran
Pernafasan
Sumber : Depkes RI (2009), Hutagaol (2014), Naning dkk (2014)
Gambar 2.1 Patofisiologi ISPA
14
e. Faktor Predisposisi
1) Gizi Buruk
Seorang anak dengan gizi
yang buruk maka akan
berpengaruh pada respon sistem imun dalam tubuh anak, sehingga
anak mudah sekali terserang bakteri maupun virus (Akhmad, 2008).
2) Anggota Keluarga Merokok
Terdapat 62,22% balita mengalami ISPA karena terpapar
asap rokok oleh anggota keluarga perokok aktif yang serumah
(Arsin, Marhamah, dan Wahiduddin, 2012).
f. Faktor Risiko
Menurut IDAI 2014, beberapa faktor risiko yang berpengaruh
pada angka kejadian ISPA sebagai berikut ini :
1) Usia
Kasus ISPA ditemukan 50% dialami oleh anak berusia
kurang dari 5 tahun, 23% diantaranya mengalami kasus ISPA berat.
Data WHO juga menyebutkan bahwa di negara berkembang, ISPA
termasuk ke dalam empat penyakit terbanyak penyumbang angka
kematian anak terutama pada usia dibawah 1 tahun.
2) Jenis Kelamin
Insiden ISPA terjadi lebih sering pada balita laki-laki,
namun tidak disebutkan perbedaan akibat dari virus maupun bakteri
pada laki-laki dan perempuan.
15
3) Status gizi
Grant menyebutkan bahwa seorang anak dengan defisiensi
vitamin A ringan akan terpapar ISPA 2 kali lebih besar dibanding
anak yang normal tanpa difesiensi vitamin A.
4) Pemberian ASI (Air Susu Ibu)
Penelitian dari Caesar JA mengemukakan bahwa seorang
bayi dan balita yang tidak diberi ASI akan lebih rentan 17 kali
dirawat di rumah sakit akibat ISPA, lamanya pemberian ASI akan
berpengaruh perlindungan terhadap ISPA selama satu tahun
pertama kehidupannya.
5) BBLR (Berat Badan Lahir Rendah)
Pada negara bekembang 22% kematian akibat ISPA
diperkirakan terjadi pada BBLR yakni 6,4 % pada bayi dibawah
usia 6 bulan dan 2,9% pada usia 6-11 bulan.
6) Imunisasi
Campak, pertusis, dan difteri dapat menyumbangkan 1525% angka kematian bayi dan balita yang berhubungan dengan
penyakit ISPA. Vaksin membantu 25% pencegahan penyakit ISPA
7) Pendidikan orang tua, status sosial ekonomi, dan penggunaan
fasilitas kesehatan
Pendidikan orang tua sangat berpengaruh pada sosial
ekonomi dan pengetahuan orang tua terhadap penyakit ISPA yang
sedang diderita anak. Hal ini juga berkaitan pengobatan yang akan
16
dilakukan pada anak. Anak dari keluarga sosial ekonomi rendah
beresiko 3,3 kali lebih rentan terserang penyakit ISPA. Angka
kematian pada semua kasus ISPA yang tidak diobati dan tidak
adanya pengunaan fasilitas kesehatan sebanyak 10-20%.
8) Lingkungan
Seorang anak yang memiliki rumah dengan ventilasi udara
lebih baik akan lebih rendah resiko terpapar penyakit ISPA. Pada
negara berkembang menunjukkan bahwa polusi udara sudah
tercemar sehingga meningkatkan tingginya angka kejadian ISPA.
g. Keluhan subyektif
Keluhan yang terjadi sebagian besar diantaranya klien mengeluh
batuk, sakit kepala, sakit menelan, menggigil, hidung tersumbat, sakit
dan nyeri otot, serta timbul demam. Pada beberapa kasus pada anak
akan mengalami muntah dan nyeri perut (Dodge, Gray, dan Short,
2010).
Pendapat lain mengatakan keluhan yang biasanya dirasakan oleh
anak adalah demam, mailase, sakit kepala, gelisah, penurunan nafsu
makan, gangguan tidur, bahkan mengalami gastrointestinal contohnya
mual, muntah, dan diare. Keluhan-keluhan tersebut biasa terjadi pada
infeksi umum. Berbeda dengan infeksi pada respiratori memiliki
keluhan khas yaitu batuk, hidung berair dan biasanya menyumbat,
nyeri tenggorok hingga nyeri saat menelan, serta suara serak. Pada
kasus ISPA berat seperti pneumonia dan bronkhitis akan terjadi
17
merintih, sesak nafas, retraksi dada, nafas cuping hidung, serta batuk
keras dan kering. Sedangkan pada otitis media, keluhan yang paling
menonjol adalah nyeri pada telinga (Naning et al, 2014).
h. Tanda klinis/laboratoris
Pada infeksi pernafasan akan keluar sputum, namun pada bayi
dan balita sangat jarang ditemukan karena akan tertelan lagi oleh anak
(Dodge, Gray, dan Short, 2010).
IDAI (2014), menyebutkan bahwa tanda klinis pada ISPA
tergantung pada organ yang terjadi inflamasi, sebagai berikut :
1) Rinitis
Berdasarkan sebuah penelitian 65 anak yang menderita
rinitis menunjukkan 47% memiliki kelainan sinusitis sesuai dengan
pemeriksaan CT Scan mapupun MRI pada kepala.
2)
Faringitis, Tonsilitis, dan Tonsilifaringitis Akut
Pada pemeriksaan konjuntiva akan nampak konjungtivitis,
selain itu disfagia dan rinorea. Pembesaran organ yang inflamsi
seperti pembesaran tonsil dan kelenjar getah bening sering terjadi
pada tonsilitis. Suara serak, mengi, dan ronki di paru juga sering
dialami.
3) Otitis Media
Otitis media biasanya ditunjukkan adanya penimbunan
cairan di telinga dan iritabel.
18
4) Rinosinusitis
Ada 2 pemeriksaan yang dilakukan pada rinosinusitis, yaitu
sebagai berikut :
a) Pemeriksaan Radiologis
Pada penderita baru akan terlihat corakan bronkhial yang
tergantung pada luas dan lamanya penyakit. Sedangkan yang
lama akan ada penebalan mukosa. Pemeriksaan USG akan ada
cairan dalam rongga sinus dan penebalan mukosa. CT Scan
dilakukan jika ada indikasi pembedahan.
b) Pemeriksaan Mikrobiologi
Pada pemeriksaan sekret akan nampak flora normal dan
bakteri patogen ( > 104 u/ml).
5) Epligotitits
Pada awal penyakit akan terjadi gawat nafas dan adanya
stridor inspirasi.
6) Sindrom CROUP atau Laringo trakheobronkhitis
Batuk yang ditimbulkan karena obstruksi pada laring akan
nyaring, suara parau dan kasar. Beberapa hal tersebut menyebabkan
sesak nafas, stridor inspiratorik, retraksi dada, dan adanya
peningkatan leukosit (> 20.000/mm3).
19
7) Bronkhitis
Bronkhitis menunjukkan peningkatan aktivitas kelenjar
mukus dan deskuamsi sel-sel epitel bersilia. Hal tersebut dikuatkan
dengan pemeriksaan seperti berikut :
a) Pemeriksaan Auskultasi
Saat paru berkembang akan ada ronkhi, nafas berat dan
kasar, serta bunyi wheezing.
b) Pemeriksaan Radiologis
Ada corakan bronkhial.
8) Bronkhiolitis
Ada bunyi wheezing.
9) Pneumonia
Tanda klinis yang paling menonjol pada pneumonia adalah
retraksi dada, sesak nafas, takipnea, nafas cuping hidung, sianosis,
pekak, perkusi, suara nafas melemah, dan ronkhi.
i. Prognosis
Pernyataan
Depkes
RI
(2009),
dalam
sebuah
jurnal
menyatakan bahwa ISPA merupakan penyakit yang tidak dapat
dianggap remeh karena penyakit ini merupakan penyebab utama
morbiditas dan mortalitas pada bayi dan balita. Jika tertangani dengan
baik, maka prognosisnya akan baik. Namun jika penanganan yang
diberikan pada pasien kurang baik maka infeksi akan menyebar ke
20
jaringan paru-paru sehingga akan menyebabkan pneumonia dan
infeksi pada paru-paru.
Beberapa klasifikasi menunjukkan prognosis yang berbeda,
prognosis baik ditunjukkan pada rinitis, faringitis, rinosinusitis, dan
CROUP karena bersifat selflimited. Sedangkan pada beberapa
klasifikasi penyakit dibawah ini memiliki komplikasi, yaitu :
1) Rinitis
: otitis media, rinosinusitis, pneumonia dan
eksaserbasi asma.
2) Otitis media : pendengaran akan terganggu dan vertigo.
3) Rinosinusitis : jika penanganan tidak optimal dan menyeluruh
akan mengakibatkan penyakit berulang/kronis.
4) Epiglotitis
: berakibat kematian karena obstruksi jalan nafas
dan komplikasi trakeostomi.
5) Bronkhitis
: penyakit berulang atau kronis, komplikasi pada
penyakit bronkhitis tergantung pada penyebabnya.
6) Bronkiolitis : asma
7) Pneumonia : empiema torasis (tersering), perikarditis,
purulenta,
pneumotoraks,
bahkan
infeksi
ekstrapulmoner (meningitis purulenta), dan pada
anak
usia
2-24
bulan
miokarditis (IDAI, 2014).
akan
menimbulkan
21
j. Penatalaksanaan dan pengobatan
Infeksi
Saluran
Pernafasan
Akut
ringan
membutuhkan
perawatan seperti pemberian oksigen untuk membantu pernafasan
lebih mudah, anak ditempatkan pada udara yang lembab, drainase
posturnal (menepuk dada untuk mengeluarkan lendir), istirahat yang
cukup, dan pemberian cukup cairan (Aden, 2010).
Pemberian perawatan terapeutik seperti pemberian antibiotik
dinilai cukup efektif dibanding pemberian terapi simptomatik. Namun,
pada beberapa kasus ISPA yang disebabkan oleh virus dapat sembuh
dengan
sendirinya
tanpa
terapi
terapeutik.
Antibiotik
sangat
dibutuhkan pada penyakit ISPA dengan gejala dahak dan sekret
berwarna hijau. Hal ini karena sudah jelas terkontaminasi oleh bakteri.
Pemberian anibiotik sendiri harus benar-benar diperhatikan agar tidak
menimbulkan resistensi pada bakteri (Akhmad, 2008).
Pada anak yang menderita ISPA, terapi untuk pelaga
tenggorokan dan pereda batuk yang aman sangat diperlukan. Selain itu
diperlukan antibiotik yang sesuai untuk balita adalah Kotrimoksazol
(Trimetoprim dan Sulfametoksazol) dan Amoksisilin. Berikut adalah
dosisnya .
22
Tabel 2.1 Dosis Antibiotik Oral
Umur
Atau
Berat Badan
Kotrimoksazol
(2x1 selama 3 hari)
Tab Dewasa Tab
Sirup per 6 ml
(80 mg
Anak
(40 mg Tmp +
Tmp +
(20 mg
200 mg Smz)
400 mg
Tmp +
Smz)
100 mg
Smz)
2 - < 4 bulan
1/4
1
2,5 ml
(4 - < 6kg)
(1/2 sendok
takar)
4 - < 12 bulan
1/2
2
5 ml
(6 - <10kg)
( 1 sendok
takar)
12 - < 3tahun
3/4
2 1/2
7,5 ml
(10 - < 16 kg)
(1 1/2 sendok
takar)
3 - < 5 tahun
1
3
10 ml
(16 - < 19 kg)
( 2 sendok
takar)
Amoksisilin
(2x1 selama 3 hari)
Tablet
Sirup per 6
(500 mg)
ml
(125 mg)
1/4
1/2
2/3
3/4
5ml
(1 sendok
takar)
10 ml
(2 sendok
takar)
12,5 ml
(2 ½ sendok
takar)
15 ml
(3 sendok
takar)
Sumber : Manajemen Terpadu Balita Sakit (2008)
3. Diare Akut
a. Pengertian Diare Akut
Diare merupakan suatu keadaan saat tubuh kehilangan banyak
cairan dan elektrolit melalui feses, biasanya terjadi karena kelainan
pada penyerapan di usus halus (Sodikin, 2011).
Menurut Marmi dan Rahardjo (2012), diare digambarkan
dengan peningkatan pengeluaran feses dengan konsistensi dari lembek
ke cair hingga cair, dengan atau tanpa darah dan lendir. Diare dibagi
menjadi dua yaitu diare akut yaitu terjadi secara mendadak pada anak
yang sehat, dan diare kronis yang terjadi lebih dari 2 minggu.
Diare akut adalah perubahan konsistensi feses yang terjadi
secara tiba-tiba yang dikarenakan oleh kandungan air pada feses
melebihi normal (10 ml/KgBB/hari) dengan peningkatan defekasi
23
lebih dari 3 kali/24 jam yang berlangsung kurang dari 14 hari (Venita
dan Kadim, 2014).
b. Etiologi
Diare merupakan bukan penyakit, melainkan sebuah tanda adanya
kelainan
pada
saluran
pencernaan
sehingga
usus
berusaha
mengeluarkan kuman tersebut (Fida dan Maya, 2012), hal ini
disebabkan oleh beberapa :
1) Infeksi yang disebabkan oleh virus (rotavirus, adenovirus, dan
norwalk), bakteri (Shigella sp, Salmonella sp, E. Coli, dan Vibrio
sp), parasit (protozoa : E. hystolytica, G. lamblia, Balantidium coli;
cacing : Ascaris sp, Trichuris sp, Strongyloides sp; jamur :
Candida sp), dan infeksi ekstrausus seperti ISPA, campak, dan
malaria.
2) Alergi makanan seperti susu sapi, protein kedelai, dan alergi
multipel.
3) Malabsorbsi kandungan makanan, karbohidrat (laktosa), lemak,
dan protein.
4) Keracunan makanan (akibat Botolinum sp. pada kaleng).
5) Lain-lain seperti obat-obatan (antibiotik atau obat lainnya) dan
kelainan anatomik.
(Venita dan Kadim, 2014)
6) Adanya kelainan primer pada pergerakan usus, yaitu adanya
gelombang peristaltik usus yang menyebabkan waktu transisi
24
makanan di usus halus memendek dan kolon tidak dapat
mengkompensasi.
7) Kronis, terjadi infeksi ringan pada usus halus.
8) Di dalam usus halus terdapat peningkatan sekresi usus halus.
(Dodge, Gray, dan Short, 2010)
c. Patofisiologi
Mekanisme yang menyebabkan diare ada beberapa hal yaitu :
1) Diare osmostik yang disebabkan saat bahan makanan tidak dapat
diabsorbsi dengan baik oleh usus halus sehingga tekanan osmotik
interlumen akan meningkat yang menimbulkan tertariknya cairan
plasma lumen. Jika hal tersebut terjadi maka akan menimbulkan
jumlah cairan berlebih yang menimbulkan ketidakmampuan kolon
reabsorbsi cairan yang menyebabkan diare cair. Hal ini disebabkan
oleh intoleransi laktosa, konsumsi laksatif, atau antisida yang
mengandung antisida yang mengandung magnesium.
2) Diare sekretorik diakibatkan oleh toksin bakteri (kolera),
pengunaan laksatif non-osmotik, reseksi usus, penyakit mukosa
usus sehingga gangguan transpor elektrolik dan cairan yang
melewati mukosa enterkolon, hal ini akan membuat sekresi
berlebih yang membuat absorbsi kolon.
3) Diare eksudatif atau inflamatorik terjadi akibat inflamasi oleh
bakteri invasif dan kerusakan usus, serta diakibatkan oleh non
infeksi (gluten sensitive enteropathy, inflamatory bowel disease,
25
dan radiasi). Diare ini biasanya disertai dengan malabsorbsi lemak,
cairan dan elektrolit serta hipersekresi dan hipermotilitas akibat
pelepasan sitokin pro-inflamasi.
4) Diare dismotilitas, diare karena dismotilitas usus sehingga proses
pencernaan di usus memendek dan absorbsi berkurang yang
disebabkan neuoropati yang berkibat pada statis dan overgrowth
bakteri. Pada diare ini biasanya terjadi pada hipertiroidisme,
sindrom karsinoid, obat-obat prokinetik, dan diabetes melitus
(Lilihata dan Syam, 2014).
Bagan patofisiologi diare akut ada pada lampiran no 2.
d. Faktor Predisposisi
Menurut Widoyono (2008), hal-hal yang akan meningkatkan
diare ada beberapa hal :
1) Pemberian ASI eksklusif, jika pada usia 4 bulan sudah tidak
diberikan ASI eksklusif lagi maka akan meningkatkan risiko
kesakitan dan kematian karena diare, ASI memiliki kandungan
kekebalan terhadap infeksi.
2) Pemberian susu formula pada anak dengan menggunakan botol.
Pada pemakaian botol akan meningkatakan pencemaran kuman,
susu juga akan mudah tercemar melalui botol, dan kuman akan
berkembang saat susu tidak segera diminum.
26
3) Menyimpan makanan di suhu kamar, hal tersebut akan membuat
permukaan makanan akan terjadi kontak dengan peralatan
makanan yang sangat baik bagi media perkembangan mikroba.
4) Tidak menjaga kebersihan seperti mencuci tangan sebelum
makan, sebelum masak, dan setelah BAB.
e. Faktor Risiko
Hal-hal yang dapat menyebabkan diare didukung oleh beberapa
faktor risiko seperti tidak memberikan ASI eksklusif pada 6 bulan
pertama kehidupan anak, penyediaan air bersih tidak terpenuhi,
pencemaran air oleh feses, kurangnya sarana kebersihan seperti MCK,
kebersihan diri dan lingkungan yang buruk,
penyiapan dan
penyimpanan makanan yang tidak higienis, serta cara penyapihan
yang tidak baik (Subagyo dan Santoso, 2012).
f. Keluhan Subyektif
Pada anak yang menderita diare akut akan merasa BAB lebih
sering dengan bentuk encer, kram perut, dan muntah. Selain itu anak
juga akan panas yang diakibatkan oleh proses peradangan atau dapat
karena dehidrasi (Subagyo dan Santoso, 2012).
g. Tanda Klinis atau Laboratoris
Pada awalnya anak akan cengeng, gelisah, suhu badan akan
meningkat, nafsu makan berkurang, dan terjadi diare. Feses akan
semakin cair bahkan timbul darah maupun lendir, warna feses akan
kehijauan karena bercampur empedu, karena terlalu sering defekasi
27
maka anus akan lecet yang disebabkan oleh asam dari asam laktat yang
tidak di absorbsi oleh usus. Gejala yang muncul lainnya adalah
muntah, jika hal ini terjadi dalam waktu lama maka tubuh akan
kehilangan air dan elektrolit yang menyebabkan dehidrasi. Gejala
dehidrasi adalah berat badan turun, ubun-ubun besar cekung, tonus dan
turgor kulit berkurang, bibir terlihat kering (Suraatmaja, 2007).
Anak yang terserang diare fesesnya memiliki konsistensi cair
atau seperti bubur, berwarna kuning atau kecoklatan, biasanya terjadi
1-12 kali per hari, dan sering pada pagi hari. Sedangkan pada
pemeriksaan feses tidak mengandung bakteri patogen, parasit, lemak,
dan makanan yang belum dicerna (Dodge, Gray, dan Short, 2010).
Menurut Fida dan Maya (2012), tanda klinis pada anak diare
diawali dengan mual dan muntah, demam, penurunan nafsu makan,
bahkan anak akan nampak lemah dan lesu. Gejala lain yang muncul
adalah flu, nyeri otot dan sakit kepala.
h. Prognosis
Penanganan diare yang baik akan membuat diare terhenti atau
BAB dalam keadaan semula yaitu tidak lebih dari 3 kali sehari dengan
konsistensi lunak. Sedangkan jika penanganan tidak di atasi dengan
baik, pertumbuhan anak akan terganggu karena kurangnya asupan
nutrisi atau gizi untuk tubuh. Selain itu hal terburuk yang terjadi adalah
kematian yang diakibatkan oleh dehidrasi (Fida dan Maya, 2012).
28
Menurut
Widoyono
(2008),
diare
berkepanjangan
akan
berdampak pada beberapa kondisi seperti berikut :
1) Dehidrasi
Tabel 2.2 Klasifikasi Dehidrasi
Gejala
Klasifikasi
Letargis atau tidak sadar, mata cekung, tidak
Diare
bisa minum atau malas minum, cubitan kulit
Dehidrasi
perut kembali sangat lambat (> 10 detik)
Berat
Gelisah, rewel atau mudah marah, mata
Diare
cekung, minum dengan lahap, cubitan kulit di
Dehidrasi
perut kembali lambat (>2-10 detik)
Ringan atau
Sedang
Tidak
cukup
tanda-tanda
untuk Diare tanpa
diklasifikasikan sebagai dehidrasi
Dehidrasi
Sumber : Manajemen Terpadu Balita Sakit (2008)
2) Gangguan sirkulasi, bila kehilangan cairan lebih dari 10%
dari berat badan akan menyebabkan syok hipovolemia.
3) Gangguan asam-basa yang diakibatkan kehilangan cairan
elektrolit.
4) Hipoglikemia, biasanya terjadi pada anak yang sebelumnya
sudah malnutrisi.
5) Gangguan gizi, hal ini disebabkan oleh asupan makan yang
kurang dan pengeluaran yang lebih dari asupan.
Selain menyebabkan dehidrasi, diare yang tidak diatasi dengan
baik akan menyebabkan infeksi berulang (Widagdo, 2011).
i. Penatalaksanaan dan Pengobatan
Penatalaksanaan dan pengobtana pada diare antara lain :
1) Rehidrasi, pemberian cairan melalui oral maupun infus.
29
2) Pemberian obat seperlunya, sebagian besar diare dapat sembuh
tanpa antibiotik dan antidiare (Fida dan Maya, 2012).
3) Pemberian zinc selama 10 hari
4) Pemberian antibiotik sesuai indikasi (Venita dan Kadim, 2015).
5) Pemberian nutrisi terutama ASI, selama diare hingga masa
penyembuhan.
6) Konseling pada ibu mengenai
a) Cara merawat anak dirumah, terutama pembuatan oralit.
b) Tanda-tanda anak perlu dibawa ke tenaga kesehatan kembali.
c) Metode mencegah kejadian diare.
7) Terapi dengan prebiotik akan sangat berguna pada kasus diare
ringan tanpa dehidrasi karena dapat mempersingkat diare dan
menurunkan frekuensi diare (Widagdo, 2011).
30
Bagan Penatalaksanaan Diare
Dehidrasi Berat
Rencana Terapi C : beri
cairan IV, rujuk
Rencana Terapi B : oralit 3
jam
pertama,
minum
Dehidrasi Sedang
oralit sedikit tapi sering,
Atau Ringan
zinc 10 hari, kaji ulang
dehidrasi setelah 3 jam,
jika berkurang lanjutkan
D
Terapi
I
kunjungan
ulang 5Terapi
hari A : beri
Rencana
A
cairan tambahan (asi dan
R
E
A,
Tanpa Dehidrasi
oralit atau oralit dan
cairan
tajin
sayuran),
6
atau
bungkus
oralit dirumah (200ml),
tablet zinc 10 hari, lanjut
Persisteni Berat
Persisten
beri makan, kunjungan
Rujuk, atasi dehidrasi
ulang 5 hari
Pemberian makan,
kunjungan ulang 5 hari
Antibiotika, kunjungan
Desentri
ulang 2 hari
Sumber : Manajemen Terpadu Balita Sakit (2008)
Gambar 22 Penatalaksanaan Diare
31
B. Teori Manajemen Kebidanan
Helen Varney mengungkapkan bahwa teori manajemen kebidanan
merupakan suatu pola pikir dan tindakan bidan dalam memecahkan suatu kasus
yang berdasarkan pada teori, teori dan pengambilan keputusan yang berfokus
pada klien (Sari, 2012).
1. Langkah I. Pengumpulan/Penyajian Data Dasar Secara Lengkap
Langkah pertama merupakan langkah pengkajian yang ditentukan 2
hal dari data subyektif dan obyektif (Yulifah dan Surachmindari, 2013).
a. Data Subjektif
Faktor resiko dari ISPA antara lain adalah usia, 50% kasus ISPA
terjadi pada usia dibawah 5 tahun. Pada pendidikan dan pekerjaan orang
tua akan berpengaruh pada pengobatan yang akan diberikan pada anak,
anak dengan tingkat sosial ekonomi rendah 3,3 kali rentan terserang
ISPA. Riwayat imunisasi akan membantu 25% pencegahan pada ISPA.
Lingkungan rumah yang memiliki polusi udara yang tercemar akan
meningkatkan angka kejadian ISPA. Faktor resiko yang terakhir adalah
nutrisi dalam kebiasaan sehari-hari yang berhubungan dengan status gizi,
anak dengan defisiensi vitamin A akan mudah terserang ISPA (Wantania,
Naning, dan Wahani., 2014). Keluhan utama pada waktu datang adalah
batuk, sakit kepala, sakit menelan, menggigil, hidung tersumbat, nyeri
otot, demam menurut Short, Gray, Dodge (2010)
Pada diare data subyektif yang sangat mencolok adalah pola
kebiasaan sehari-hari sebagai tanda klinis seperti penururnan nafsu
32
makan, perubahan pada BAB pada frekuensi dan konsistensinnya
(Suraatmaja, 2007). Sedangkan pada faktor resiko bisa dilihat dari
lingkungan, gizi, pendidikan, dan sosial ekonomi yang bersangkutan
dengan orang tua (Widoyono, 2008). Keluhan yang dirasakan adalah
demam, BAB lebih sering dengan bentuk encer, nyeri perut, dan muntah
(Subagyo dan Santoso, 2012).
b. Data Objektif
1) Pemeriksaan Umum, meliputi :
a) Keadaan Umum
Pada anak yang ISPA dan DCA, cenderung akan rewel dan
lemas (Naning, 2014), (Fida dan Maya, 2012).
b) Tanda-tanda vital
Menurut Wijayaningsih (2013), tanda dari ISPA biasanya
demam yang akan meningkatkan suhu tubuh (diatas 37,50 C),
sementara pada pernafasan akan cepat (40 x atau lebih per menit
untuk usia 12 bulan - < 5 tahun dan 50 kali atau lebih untuk usia 2
bulan- <12bulan), dan denyut jantung akan cepat (120 x/menit).
Anak diare dengan dehidrasi, akan tejadi penurunan berat
badan (Suraatmaja, 2007). Tanda vital pada anak diare dengan
dehidrasi, denyut jantung akan meningkat, dan pernafasan akan
normal hingga melemah (Subagyo dan Santoso, 2012).
33
2) Pemeriksaan Fisik
a) Ubun – ubun : Pada diare, jika disertai dengan dehidrasi ubunubun besar cekung (Suraatmaja, 2007).
b) Mata
: Pada diare dengan dehidrasi kelopak mata akan
cekung (Suraatmaja, 2007).
c) Telinga
: Pada otitis media akan ada penumpukan cairan di
telinga (Dadiyanto, 2014).
d) Hidung
: Pada ISPA hidung akan tersumbat, dan beberapa
akan mengeluarkan sekret (Naning, 2014).
e) Mulut
: Diare dengan dehidrasi menyebabkan bibir kering
(Suraatmaja, 2007).
f) Dada
: Pada pneumonia, brokhiolitis, dan ISPA lainnya
akan terjadi retraksi dada, selain itu saat diperiksa
menggunakan
stetoskop
(auskultasi)
akan
terdengar stridor dan ronkhi (Zain dan Said, 2014).
g) Perut
: Pada diare akan nampak perut kembung (Putra,
2012), bising usus meningkat ( Widoyono, 2008),
kram perut (Subagyo dan Santoso, 2012), tonus
dan turgo kulit berkurang (Suraatmaja, 2007).
h) Anus
: Pengeluran feses yang sering pada diare akan
menyebabkan anus lecet (Suraatmaja, 2007).
34
3) Pemeriksaan Penunjang
Beberapa klasifikasi dari ISPA membutuhkan pemeriksaan
penunjang seperti rinosinusitis, akan terlihat corakan bronkhial
pada penderita baru dan penebalan mukosa bagi yang sudah kronis
pada pemeriksaan radiologis, serta adanya peningkatan leukosit (>
20.000/mm3). Pemeriksaan feses tidak mengandung bakteri
patogen, parasit, lemak, dan makanan yang belum dicerna (Dodge,
Gray, dan Short, 2010).
2. Langkah II. Intepretasi Data Dasar
Data dasar diintepretasikan agar bisa menentukan diagnosis
kebidanan, masalah, dan kebutuhan yang berfokus pada klien (Yulifah dan
Surachmindari, 2013).
a. Diagnosis Kebidanan
Diagnosis pada studi kasus ini adalah Balita N umur 19 bulan
dengan ISPA dan DCA berdasarkan data subjektif dan objektif.
b. Masalah
Masalah yang terjadi saat menderita ISPA adalah anak akan
rewel, hidung tersumbat, sakit saat menelan dan demam yang
mengakibatkan ketidaknyamanan (Short, Grey, dan Dodge., 2010).
Pada anak yang diare akan sangat rentan kehilangan cairan atau
dehidrasi (Fida dan Maya, 2012).
35
c. Kebutuhan
Saat anak menderita ISPA dan DCA yang bisa dilakukan adalah
tempatkan pada udara yang lembab, istirahat yang cukup, dan
pemberian cukup cairan (Aden, 2010). Sedangkan menurut Akhmad
(2008), anak dengan ISPA yang sudah terkontaminasi bakteri perlu
diberi antibiotik.
3. Langkah III. Identifikasi Diagnosa atau Masalah Potensial / Diagnosa
Potensial dan Antisipasi Penanganan
Menurut Depkes RI (2009), anak dengan ISPA jika tidak tertangani
dengan baik menyebabkan pneumonia atau infeksi pada paru-paru.
Sedangkan antisipasi yang dapat dilakukan oleh bidan adalah memberikan
terapi antibotik dengan berkolaborasi dengan dokter Spesialis Anak. Hal ini
karena antibiotik lebih efektif dibanding dengan terapi simptomatik
(Akhmad, 2008). Selain terapi antibiotik bidan perlu memantau tanda vital,
pemenuhan istirahat dan cairan (Aden, 2010).
Pada diare cair akut jika dilakukan penanganan baik diare akan
berhenti, namun bila tidak teratasi dengan baik pertumbuhan akan terganggu
dan bisa berakibat fatal yaitu kematian karena dehidrasi. Antisipasi yang
dapat dilakukan oleh bidan adalah rehidrasi per oral maupun infus dan
pemberian nutrisi (Fida dan Maya, 2012).
36
4. Kebutuhan Terhadap Tindakan Segera
Menurut Permenkes No. 1464/X/Menkes/2010 bidan berwenang
untuk melakukan pelayanan pada bayi, balita, dan anak prasekolah namun
pemberian antibiotik tidak boleh dilakukan oleh bidan, sehingga bidan perlu
berkolaborasi dengan dokter Spesialis Anak.
Pada diare untuk mencegah kejadian fatal maka dilakukan rehidrasi
(Widagdo, 2011).
5. Perencanaan Asuhan yang Menyeluruh
Rencana yang diberikan mencakup aspek asuhan kesehatan yang akan
diberikan pada klien dan disetujui oleh kedua belak pihak yaitu bidan dan
klien (Marmi dan Rahardjo, 2012).
Rencana Asuhan pada anak dengan ISPA dan DCA, diantaranya
adalah :
a. Pemberian oksigen.
b. Penempatan anak pada udara yang lembab.
c. Lakukan drainase posturnal untuk pengeluaran lendir.
d. Anjurkan istirahat cukup.
e. Anjurkan pemberian cairan cukup.
(Aden, 2010).
f. Lakukan kolaborasi dengan dr. SpA untuk pemberian terapi
berupa :
1) Antibiotik (Akhmad, 2008).
37
2) Pereda batuk (MTBS, 2008).
3) Zinc selama 10 hari ( Venita dan Kadim, 2014).
4) Pribiotik (Widagdo, 2011).
g. Berikan nutrisi terutama ASI, selama diare hingga masa
penyembuhan ( Widagdo, 2011).
h. Anjurkan sering mengganti popok agar tidak lembab (Suriadi dan
Yuliani, 2011).
6. Pelaksanaan Langsung Asuhan dengan Efisien dan Aman
Langkah keenam merupakan pelaksanaan asuhan dengan efisien dan
aman menurut dengan perencanaan pada langkah kelima (Sari, 2012).
Pelaksanaan yang dilakukan sesuai dengan perencanaan pada
langkah kelima.
7. Evaluasi
Pada langkah evaluasi ini merupakan langkah terakhir, evaluasi
dikatakan efektif saat evaluasi tersebut sesuai dengan masalah dan
kebutuhan (Sari, 2012).
Hasil evaluasi asuhan yang dilakukan pada balita sesuai dengan
pelaksanaan yang langsung dan optimal, maka keadaan balita akan segera
sembuh dan sehat (IDAI, 2014) dan diare akan berhenti, BAB akan normal
kembali (Fida dan Maya, 2012).
38
C. Data Perkembangan SOAP (Subyektif, Obyektif, Assesment, dan Plan)
Menurut Marmi dan Rahardjo (2012) SOAP besifat sederhana, jelas,
logis dan singkat berdasarkan oleh pemikiran penatalaksanaan kebidanan
dipakai untuk catatan kemajuan pada rekam medis pasien.
1. Subyektif
Penggambaran dari langkah 1 Varney yaitu pengumpulan data dari
pasien melalui anamnesa. Pada bayi dan balita data ini berasal dari orang tua
(data sekunder). Data subyektif berhubungan dengan sudut pandang pasien
dan bisa menjadi penguat sebuah diagnosa.
Pada kasus ISPA dan DCA ini, anamnesa dilakukan kembali pada
anak maupun keluarga setelah evaluasi untuk mengetahui perubahan.
2. Obyektif
Data
obyektif
merupakan
penguat
data
subyektif
yang
menggambarkan langkah 1 Varney.
Data yang diambil pada balita dengan ISPA dan DCA antara lain
keadaan umum, vital sign, hasil pemeriksaan fisik, hasil pemeriksaan
penunjang, BAB anak, dan terapi dari dokter Spesialis Anak.
3. Assesment
Hasil analisa dan intepretasi data subyektif dan obyektif akan
memberikan diagnosa atau masalah, sehingga masalah yang timbul akan
dicari diagnosa potensial dan antisipasi masalah. Pada langkah ini bidan
juga diharapkan menganalisa apakah membutuhkan tindakan segera atau
tidak. Assesment menggambarkan langkah Varney ke 2, 3, dan 4.
39
Pada kasus anak dengan ISPA dan DCA berdasarkan dari data
subyektif dan obyektif adalah Balita N umur 19 bulan dengan ISPA dan
DCA.
4.
Plan
Plan berisi perencanaan dari SOAP, implentasi dan evaluasi sesuai
dengan langkah ke 5, 6, dan 7 pada langkah Varney. Langkah-langkah
tersebut dilakukan hinggga mencapai kondisi pasien yang baik dalam batas
waktu tertentu.
Menurut Varney (2007), evaluasi didokumentasikan sebagai
pertimbangan efektifitas asuhan pada balita yang diberikan berdasarkan
hasil planning yang telah dilaksanakan. Setelah dilakukan asuhan yang
menyeluruh dan optimal, diharapkan balita akan sembuh dan sehat.
Download