2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran Pencemaran adalah masuknya bahan dan senyawa dari kegiatan manusia ke lingkungan sehingga menyebabkan berkurangnya nilai guna, baik ditinjau secara fisik, kimia, biologi dan estetika. Pencemaran memerlukan penilaian yang subjektif. Sebagai contoh pencemaran bahan organik yang menyebabkan terjadinya peningkatan konsentrasi unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman di dalam air. Satu sisi adalah sisi positif, yaitu berupa terjadinya peningkatan kesuburan perairan yang berarti pula peningkatan potensi guna perairan. Di sisi lain, dampak buruk dari peningkatan unsur hara akan menganggu keseimbangan ekosistem perairan dan memerlukan penanganan yang serius (Connel dan Miller 1995; Damar 2004). Sumber pencemaran dapat dibagi menjadi dua, bersumber pada lokasi tertentu (point source) dan yang sumbernya tersebar (non point/diffuse source). Point source memiliki dampak yang ditimbulkan dapat ditentukan berdasarkan karakteristik spasial kualitas air. Volume pencemar dari point source biasanya relatif tetap. Sumber nonpoint source dapat berupa point source dalam jumlah yang banyak. Misalnya: limpasan dari daerah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk, limpasan dari daerah pemukiman (domestik), dan limpasan dari daerah perkotaan (Effendi 2003). Davis dan Cornwell (1991) mengemukakan beberapa jenis pencemar dan sumbernya seperti yang tertera pada Tabel 1. Masalah pencemaran merupakan masalah besar dan pada umumnya merupakan salah satu dampak negatif dari kemajuan bidang industri dan domestik. Limbah industri jika tidak ditangani dengan baik akan berdampak negatif bagi lingkungan, dan berakibat buruk pada organisme-organisme yang hidup di dalam ekosistem tersebut dan pada akhirnya akan berdampak buruk pada manusia. Bahan cemaran logam berat berasal dari berbagai kegiatan, namun kegiatan industri umumnya menghasilkan logam berat dalam limbahnya dalam jumlah yang lebih banyak dibanding kegiatan lainnya. Logam berat ini dapat terakumulasi dalam tubuh ikan, udang dan hasil laut lainnya dan bersifat racun, sehingga dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi hasilhasil laut tersebut (Davis dan Cornwell, 1991 serta Klassen et al. 1991). 10 Tabel 1. Beberapa jenis pencemar dan sumbernya Sumber Tertentu (Point source) Jenis Pencemar X Sumber Tak Tentu (Non Point source) Limpasan Limpasan Daerah Daerah Perkotaan Pertanian X X X X X X X X X X X X X X - Limbah Limbah Domestik Industri 1. Limbah yang dapat X menurunkan kadar oksigen X 2. Nutrien X 3. Patogen X 4. Sedimen 5. Garam-garam 6. Logam yang toksik 7. Bahan organik yang toksik 8. Pencemaran panas Sumber : Davis dan Cornwell (1991) X X X X X - 2.1.1. Pencemaran Laut Bagi sebagian besar organisme, air merupakan bahan terpenting kedua setelah oksigen. Ketersediaan air dengan kualitas yang sesuai peruntukanya harus cukup dan mudah didapatkan. Masuknya bahan, senyawa atau zat lain secara langsung maupun tidak langsung ke air akan mengakibatkan fungsi air sehingga tidak berjalan sebagaimana mestinya. Perubahan kualitas air dapat disebabkan oleh zat pencemar perairan maupun senyawa yang masuk ke aliran air atau tersimpan didasar, berakumulasi (khususnya pada endapan) dan suatu saat dapat terjadi pencucian atau pengenceran. Senyawa tersebut, terutama yang beracun, berakumulasi dan menjadi suatu konsenterasi tertentu yang berbahaya bagi mata rantai kehidupan. Haslam (1992) membagi zat pencemar menjadi: 1. Organisme patogen seperti bakteri, virus, dan protozoa 2. Zat hara tanaman (garam-garam nitrat dan fosfat yang larut dalam air), yang berasal dari penguraian limbah organik jika berlebihan dapat mengakibatkan eutrofikasi. 3. Limbah organik biodegradable (limbah cair domestik, limbah pertanian, limbah peternakan, limbah rumah potong hewan, limbah industri) yang dalam proses dekomposisi oleh mikroorganisme (biasanya bakteri dan jamur untuk kemudian menjadi zat-zat inorganik) memerlukan oksigen sehingga nilai BOD dari suatu badan air tinggi. 11 4. Bahan inorganik yang larut dalam air (asam, garam, logam berat, dan senyawasenyawanya, anion, seperti sulfida, sulfit dan sianida). 5. Bahan-bahan kimia yang larut dan tidak larut (minyak, plastik, pestisida, pelarut, PCB, fenol, formaldehida, dan lain-lain). Zat-zat tersebut merupakan penyebab yang sangat beracun bahkan pada konsentrasi yang rendah (<1 ppm). 6. Zat-zat/bahan-bahan radioaktif. 7. Pencemaran thermal ; biasanya dalam bentuk limbah air panas yang berasal dari kegiatan suatu pembangkit tenaga. Pencemaran ini dapat mengakibatkan naiknya temperatur air, meningkatkan rasio dekomposisi dari limbah organik yang biodegradable dan mengurangi kapasitas air untuk menahan oksigen. 8. Sedimen (suspended solid); merupakan partikel yang tidak larut atau terlalu besar untuk dapat segera larut. Kecenderungan sedimen untuk tinggal di dasar air tergantung pada ukurannya. Rasio aliran (flow rate) dan besarnya turbulensi yang ada pada suatu badan air. Partikel yang berukuran antara 1µm hingga 1nm, tetap dapat “melayang” dalam air, yang disebut colloidal solid. Air yang banyak mengandung colloidal solid terlihat seperti air susu. Jumlah sedimen mempengaruhi turbiditas air, dan kualitasnya mempengaruhi warna. Air dengan kotoran dari masyarakat dan rumah tangga dan juga berasal dari industri, air tanah, air permukaan serta dari buangan lainnya disebut air limbah (Sugiharto 1987). Metcalf dan Eddy (2002) menambahkan air buangan tersebut berasal dari air yang digunakan pada berbagai kegiatan manusia, sehingga terdapat perubahan karakteristik air. Rump (1999) menerangkan lebih lanjut bahwa perubahan karakteristik tersebut berupa perubahan komposisi air setelah digunakan oleh manusia. Kualitas air merupakan indikator kondisi perairan apakah masih dalam keadaan baik atau tercemar (Kupchella dan Hyland 1993). Perubahan komposisi tersebut terjadi karena masuknya substansi unsur yang langsung dapat terdegradasi, unsur yang tidak langsung dapat terdegradasi, nutrisi untuk organisme autotrof, logam berat, garam, air buangan panas dan organisme patogen. Substansi tersebut bila masuk ke badan air dapat memberikan pengaruh pada kehidupan organisme akuatik dan manusia, sehingga kehidupan organisme dan manusia terganggu. Menurut Health Departement of Western Australia, air limbah terdiri dari 99,7% air dan 0,3% bahan lain, sedangkan menurut Mara dan Cairncross (1994) dan Sugiharto (1987) 12 air limbah terdiri dari 99,9% air dan 0,1% bahan lain seperti bahan padat, koloid dan terlarut. Bahan lain tersebut terbagi atas bahan organik dan anorganik. Bahan organik dalam air limbah terbagi atas 65% protein, 25% karbohidrat dan 10% lemak, sedangkan bahan anorganiknya terbagi menjadi butiran, garam dan metal (Sugiharto 1987). Skema pengelompokan bahan yang terkandung dalam air limbah dapat dilihat pada Gambar 2. Air limbah Air (99%) Bahan padat (0.1%) Organik Anorganik Gambar 2. Skema pengelompokan bahan yang terkandung dalam air limbah (Sugiharto 1987) Dahuri (2003) menyatakan pengaruh yang membahayakan bagi kehidupan biota, sumberdaya, kenyamanan ekosistem laut, baik disebabkan secara langsung maupun tidak langsung oleh pembuangan bahan-bahan atau limbah ke dalam laut yang berasal dari kegiatan manusia, merupakan definisi pencemaran laut. GESAMP (Group of Expert on Scientific Aspect on Marine Pollution), dalam Sanusi (2006) mendefenisikan pencemaran laut sebagai masuknya zat-zat (substansi) atau energi ke dalam lingkungan laut dan estuari baik langsung maupun tidak langsung, akibat adanya kegiatan manusia yang menimbulkan kerusakan pada lingkungan laut, kehidupan di laut, kesehatan manusia, mengganggu aktivitas di laut (usaha penangkapan, budidaya, alur pelayaran) serta secara visual mereduksi keindahan (estetika). Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1999, pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu dan/atau fungsinya. Sanusi (2006) menjabarkan sifat toksik dan persistensi dari polutan yang masuk ke laut selain tergantung pada karakter fisik dan kimianya juga dari faktor lingkungan lautnya, yakni 13 1. Kemantapan ekosistem (constancy); terkait dengan besar kecilnya pengaruh perubahan; 2. Persistensi ekosistem (persistent); terkait dengan lamanya waktu untuk kelangsungan proses-proses normal ekosistem; 3. Kelembaman ekosistem (inertia); terkait dengan kemampuan bertahan terhadap gangguan eksternal; 4. Elastisitas ekosistem (elasticity); terkait dengan kekenyalan/kemampuan ekosistem untuk kembali ke keadaan semula setelah mengalami gangguan; 5. Amplitudo ekosistem (amplitude); terkait dengan besarnya skala gangguan namun daya pulih (recovery) masih memungkinkan. 2.1.2. Pencemaran di Teluk Jakarta Sutamihardja et al. (1982) menjelaskan bahwa faktor yang menyebabkan pencemaran di Teluk Jakarta merupakan faktor yang sama yang menyebabkan pencemaran di laut, yakni: 1. Penggundulan hutan pada wilayah hulu dan penambangan pasir di daerah aliran sungai akan mengakibatkan erosi dan sedimentasi 2. Penggunaan pupuk kimia dan berbagai macam pestisida untuk intensifikasi pertanian mengakibatkan residu bahan kimia dan pestisida masuk ke aliran sungai dan laut. 3. Pemanfaatan sungai sebagai tempat sampah yang menyebabkan berbagai limbah mengalir ke sungai dan akhirnya ke laut. Sampah padat sudah menimbulkan masalah di kota-kota besar. Limbah padat ini dapat ditemukan di mana-mana, ditimbun di tanah lapang tak terpakai, membusuk, terlarut dan masuk ke selokanselokan menuju ke sungai dan ke laut. Fungsi lain sungai yang kurang tepat, digunakan untuk MCK, misalnya di Sungai Ciliwung. 4. Minyak dapat mencemari lautan melalui dua cara, yakni, (a) sebagai hasil pemeliharaan bangunan di laut dan pecucian kapal dan (b) akibat kecelakaan kapal tangki. Pada tahun 2009 di wilayah Selat Malaka dan Singapura telah terjadi 25 kecelakaan kapal tangki, tubrukan atau terkandas. 14 5. Pengoperasian PLTU memerlukan air pendingin yang diambil air laut. Setelah digunakan air pendingin akan dibuang sebagai limbah panas. Di Teluk Jakarta terdapat dua lokasi PLTU, yakni di Muara Karang dan di Tanjung Priok. 6. Pencemaran dari kegiatan industri yang diakibatkan oleh faktor: a. Perencanaan kompleks industri yang tak teratur. b. Perluasan kota yang masuk ke kawasan industri menyebabkan berbaurnya pemukiman dengan kompleks industri. c. Tak tersedianya atau adanya pengolahan limbah yang tak sempurna. d. Karena kondisi yang miskin, air digunakan untuk industri dan untuk keperluan rumah tangga. e. Kesadaran akan bahaya limbah industri yang kurang atau tak ada. f. Kemampuan pulih-diri sungai-sungai yang menerima limbah yang berbeda. g. Musim kering yang mengakibatkan debit air sangat rendah. Pada wilayah DKI Jakarta, yang sebagian besar daerah pemukiman maupun industrinya membuang limbah ke sungai tanpa diolah terlebih dahulu, akan sangat mempengaruhi kualitas Teluk Jakarta. Japan Internasional Cooperation Agency (JICA), menyatakan tahun 2010 jumlah limbah cair industri dari DKI Jakarta akan mencapai 256,631 m3/hari dengan beban polusi organik 118,600 kg BOD/hari. Kondisi pencemaran tersebut menjadi antara enam (6) sampai dengan sembilan kali (19) lipat dibandingkan pada awal dekade 1990. Masalah lain yang berkaitan dengan kualitas air di Teluk Jakarta pada saat ini adalah terjadinya eutrofikasi, bahkan pada kawasan pesisir telah terjadi kondisi hypereutrofikasi (Damar 2004). Mulyono (2000) menyatakan eutrofikasi pada perairan Teluk Jakarta disebabkan dua hal yakni: (a) beban (load) bahan pencemar yang dibawa melalui sungai dan saluran-saluran pembuangan (out full) yang bermuara ke perairan Teluk Jakarta dan (b) proses fisik, kimia dan biologi yang terjadi di perairan Teluk Jakarta. 2.2. Logam Berat Manahan (1995) dan Vries et al. (2002) menyatakan bahwa logam berat adalah unsur yang termasuk ke dalam logam transisi dan umumnya bersifat trace elements. De 15 Groot, Salomons, Allersma (1976) mengemukakan bahwa yang juga termasuk pada logam berat adalah Cr, Mn, Fr, Co, Ni Cu dan Zn yang berada di baris pertama di logam transisi pada tabel periodik (Gambar 3). Selanjutnya Palar (2004) menambahkan logam berat merupakan istilah untuk mengelompokan ion-ion logam berat dalam tiga kelompok secara biokimia, yakni (1) Logam yang dengan mudah mengalami reaksi dengan unsur oksigen (oxygen seeking metals) (2) Logam yang dengan mudah megalami reaksi kimia bila bertemu dengan unsur nitrogen atau belerang atau sulfur (nitrogen sulfur-seeking metals) (3) Logam antara atau transisi yang memiliki sifat spesifik sebagai logam pengganti (ion pengganti) Palar (2004) menyatakan bahwa logam berat memiliki spesifikasi gravitasi lebih dari 4 dengan nomer atom 22-34 dan 40-50 serta unsur lantanida dan aktinida serta memiliki respon biokimia spesifik (khas) pada mahluk hidup. Mamboya (2007) dan Sanusi (2006) menambahkan, secara umum logam berat merupakan unsur kimia dengan berat jenis lebih besar dari 5 g/cm3 dan densitas lebih dari 5 g/ml. Berdasarkan hal tersebut maka terdapat kurang lebih 53 dari 90 unsur alami yang termasuk pada kategori logam berat, sedangkan menurut Vouk (1986) terdapat 80 jenis dari 109 unsur kimia di muka bumi ini yang telah teridentifikasi sebagai jenis logam berat. Selanjutnya Manahan (1995) menyatakan bahwa sebagian besar logam berat memiliki afinitas (daya tarik atau bergabung) tinggi terhadap sulfur dan akan menonaktifkan enzim dengan cara memutus ikatan sulfur. Vouk (1986) menambahkan logam berat akan bekerja sebagai penghalang kerja enzim, sehingga proses metabolisme tubuh terputus. Manahan (1995) juga menyatakan bahwa logam berat juga dapat mengendapkan fosfat dan mengkatalis penguraian fosfat. Selain itu logam berat dapat melakukan ikatan kimia dengan gugus protein asam karboksilat (-CO2H) dan gugus amino (-NO2 ). 16 Gambar 3. Tabel periodik ( http://www.ptable.com/) Moore dan Ramamoorthy (1984) menjelaskan lebih lanjut sifat logam berat, yakni: 1) Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan); 2) Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan; 3) Memiliki EC10 dan LC50 - 96 jam yang rendah; 4) Memiliki waktu paruh yang tinggi dalam tubuh biota laut; 5) Memiliki nilai faktor konsentrasi (concentration factor atau enrichment factor) yang besar dalam tubuh biota laut. Faktor konsentrasi atau disebut pula koefisien bioakumulasi adalah rasio antara kadar polutan dalam tubuh biota akuatik dan kadar polutan yang bersangkutan dalam kolom air. Alloway (2001) menyatakan bahwa pada dasarnya logam berat dibagi lagi menjadi dua kelompok, yakni logam berat yang bersifat esensial dan logam berat yang bersifat non esensial. Logam berat esensial adalah logam berat yang dibutuhkan oleh tubuh organisme untuk melaksanakan proses-proses fisiologis dalam tubuhnya. Apabila dalam tubuh terjadi kekurangan logam berat esensial, maka akan mengakibatkan munculnya penyakit atau bahkan kematian pada mahluk hidup, baik pada tumbuhan maupun pada hewan. Adapun contoh dari elemen esensial antara lain adalah unsur Co 17 yang merupakan elemen esensial untuk bakteria dan hewan, unsur Cr untuk hewan, unsur Cu untuk tumbuhan dan hewan, unsur Mn untuk tumbuhan dan hewan, unsur Mo untuk tumbuhan, unsur Ni untuk tumbuhan, unsur Se untuk hewan dan unsur Zn untuk tumbuhan dan hewan. Contoh logam berat non esensial antara lain adalah unsur Ag, As, Ba, Cd, Hg, TI, Pb, Sb. Hingga saat ini manfaat unsur-unsur tersebut belum diketahui, sehingga peran unsur-unsur tersebut masih belum jelas apakah sama seperti logam berat esensial atau tidak. Namun demikian logam berat non esensial tersebut di atas sudah terbukti memiliki dampak racun jika terdapat dalam jumlah yang melebihi ambang batas yang sudah ditentukan. Selanjutnya Alloway (1995) menambahkan bahwa logam berat yang berpotensi bahaya (menjadi racun) adalah As, Cd, Cu, Cr, Hg, Pb dan Zn. Pada dasarnya jika suatu jenis logam berat terdapat dalam tanah, maka akan terjadi beberapa kemungkinan, dan salah satu kemungkinan yang akan terjadi adalah terjadinya reaksi kimia dari logam berat tersebut. Adapun reaksi yang mungkin terjadi terhadap logam berat dalam tanah jika dalam tanah tersebut terdapat senyawa organik atau senyawa inorganik antara lain adalah: - membentuk senyawa larut, komleks dari berbagai macam molekul - presipitasi atau kopresipitasi - terinkorporasi ke dalam struktur mineral - terakumulasi atau terfiksasi ke dalam bahan biologi - dikompleks dengan agen pengkhelat - diabsorb dalam mineral liat atau koloid organik Pada dasarnya sifat logam berat tidak hanya ditentukan oleh sifat fisika dan sifat kimia logam berat tersebut, namun juga dipengaruhi oleh unsur eksternal, yakni dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan berbagai faktor lingkungan tempat logam tersebut berada. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi sifat logam berat tersebut antara lain adalah kemasaman lingkungan (misalnya kemasaman tanah atau kemasaman air), bahan organik yang terdapat di lingkungan tempat logam berat tersebut berada, suhu, tekstur, mineral liat serta unsur logam berat lainnya. Sebagai contoh dalam hal kemasaman lingkungan, dapat disitir pendapat Stotzki (1978) dan Klein dan Trayer (1995) yakni, jika logam berat tersebut berada pada lingkungan dengan pH antara 7-7,5, misalnya unsur Cd akan dalam bentuk bebas Cd 2+ dan Cd(OH)+. Namun demikian jika 18 pH lingkungan berada pada nilai 9, maka bentuk Cd akan berubah menjadi Cd(OH)2. Berdasarkan hal tersebut, maka secara umum penurunan pH akan meningkatkan ketersediaan logam berat kecuali Mo dan Sn. Hal ini disebabkan pada pH yang rendah, logam berat akan lepas atau larut dalam air, sehingga konsentrasinya dalam air mengalami peningkatan. 2.3. Pencemaran dan Toksisitas Logam Berat Logam berat merupakan bahan buangan hasil kegiatan yang menimbulkan pencemaran terutama perairan laut di negara berkembang. Sumber limbah yang banyak mengandung logam berat biasanya berasal dari aktivitas industri, pertambangan, pertanian dan pemukiman. Bryan dalam Rochayatun et al. (2005) menyatakan 18 jenis logam berat yang dipertimbangkan sebagai bahan pencemar, terutama dalam jumlah berlebih sangat beracun bagi kehidupan organisme. Pada batas dan kadar tertentu, semua logam berat dapat menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap organisme perairan. Bryan (1984) dalam Darmono (2001) menambahkan dampak negatif tersebut dipengaruhi juga oleh jenis logam, interaksi antar logam dan jenis racun lainnya, spesies hewan, daya permeabilitas organisme, dan mekanisme detoksikasi serta pengaruh lingkungan seperti suhu, pH, dan oksigen. Faktor lain yang mempengaruhi toksisitas logam berat adalah suhu dan pH, salinitas dan kesadahan (Hutagalung, 1984). Toksisitas logam berat semakin tinggi saat terjadi penurunan pH dan/atau penurunan salinitas perairan dan/atau meningkatnya suhu. Toksisitas logam berat akan menurun seiring meningkatnya kesadahan. Sanusi (2006) menyatakan saat peningkatan kesadahan, logam berat akan membentuk senyawa komplek dan mengendap pada substrat sehingga toksisitasnya menurun. Moore dan Ramamoorthy (1984) mengelompokan logam berat berdasarkan sifat toksisitasnya, yaitu bersifat toksik tinggi, sedang, dan rendah. Logam berat yang bersifat toksik tinggi terdiri dari unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Logam berat yang bersifat toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co, sedangkan bersifat tosik rendah terdiri atas unsur Mn dan Fe. Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung terhadap kesehatan manusia. 19 Darmono (1995) menyatakan pencemaran logam berat yang terjadi di wilayah estuaria, erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia. Pada air laut dilautan lepas kontaminasi logam berat biasanya terjadi secara langsung dari atmosfer atau karena tumpahan minyak dari kapal-kapal tanker yang melaluinya, sedangkan di daerah sekitar pantai kontaminasi logam kebanyakan berasal dari mulut sungai yang terkontaminasi oleh limbah buangan industri atau pertambangan. Pada daerah-daerah perindustrian, sungai dan laut sekitarnya umumnya berangsur-angsur menerima tekanan terus menerus. Muara sungai umumnya merupakan alur perjalanan bahan cemaran yang dibawa melalui sungai dari aktivitas didarat ke laut (Rochyatun et al. 2005). 2.4. Karakteristik Logam Berat 2.4.1. Merkuri (Hg) Merkuri (hydrargyrum atau Hg) memiliki nomor atom 80 dengan berat atom 200,59 g/mol (Cotton dan Wilkinson 1989). Sumber alami merkuri berasal dari pelapukan batuan dan erosi tanah yang mengandung HgS (cinnabar) (Effendi 2003). Lu (2006) menambahkan kegiatan antropogenik seperti penambangan, peleburan bahan logam, pembakaran bahan bakar fosil, dan proses produksi baja, semen dan fosfat merupakan sumber merkuri yang dapat menambah keberadaannya di alam. Merkuri dan turunannya banyak dipakai dalam pembuatan cat, baterai, komponen listrik, ekstraksi emas dan perak, gigi palsu, senyawa anti karat (anti fouling), serta fotografi dan elektronik. Pada industri kimia yang memproduksi gas klorin dan asam klorida juga menggunakan merkuri. Penggunaan merkuri dan komponen-komponennya juga sering dipakai sebagai pestisida (Baird 1995; Darmono 1995; Effendi 2003; Fardiaz 2005). Logam merkuri sering dipakai sebagai katalis dalam proses di industriindustri kimia, terutama pada industri vinil khlorida yang merupakan bahan dasar dari berbagai plastik. Pada alat-alat pencatat suhu seperti termometer, cairan yang dipakai pada umumnya adalah logam merkuri karena bentuknya yang cair pada kisaran suhu yang luas, uniform, pemuaian serta konduktivitasnya tinggi (Fardiaz 2005). Penggunaan merkuri terkait dengan sifat merkuri yang dijabarkan oleh Darmono (1995); Effendi (2003); Fardiaz (2005): 20 1. Berbentuk cair pada suhu kamar (25oC) dan memiliki titik beku yang paling rendah dibanding logam lainnya (-39oC). Dalam bentuk cair, merkuri memiliki kisaran suhu yang lebar (396 oC) 2. Volatilitas yang tinggi dibanding logam lainnya 3. Konduktor yang baik dengan ketahanan listrik yang rendah 4. Mudah dicampur dengan logam lain menjadi logam campuran yang disebut logam campuran (amalgam/alloy); 5. Toksik terhadap semua makhluk hidup Toksisitas mekuri yang sangat tinggi, mengakibatkan hanya bakteri anaerobik saja yang dapat melakukan mobilisasi terhadap logam ini. Manahan (2001) menyatakan merkuri ditemukan sebagi trace komponen pada banyak mineral, dengan kandungan di bebatuan kurang lebih 80 ppb atau kurang. Cinnabar atau merkuri sulfida merah merupakan salah satu jenis merkuri yang sangat mahal. Fosil batu bara dan lignite mengandung merkuri kurang lebih 100 ppm atau lebih dari itu. Logam merkuri dihasilkan secara alamiah dari pengolahan bijihnya, cinnabar, dengan menggunakan oksigen melalui reaksi (1) dibawah ini: HgS + O2 Hg + SO2 ……….(1) Logam merkuri yang dihasilkan ini, digunakan dalam sintesa senyawa- senyawa anorganik dan organik yang mengandung merkuri. Dalam kehidupan sehari-hari, merkuri berada dalam tiga bentuk dasar, yaitu merkuri metalik, merkuri anorganik dan merkuri organik. Di lingkungan perairan, merkuri organik dan anorganik paling mendominasi (Fardiaz 2005; Lu 2006; Sanusi 2006), seperti dinyatakan sebagai berikut: a. Merkuri anorganik, ion logam merkuri (Hg2+) dan garam-garamnya seperti merkuri klorida (HgCl2) dan merkuri oksida (HgO2); b. Komponen merkuri organik: Aril merkuri, mengandung hidrokarbon aromatik seperti fenil merkuri asetat Alkil merkuri, mengandung hidrokarbon alifatik dan merupakan merkuri yang paling beracun, misalnya metil merkuri dan etil merkuri Alkoksialkil merkuri (R-O-Hg). 21 Pada lingkungan perairan, merkuri dapat ditemui dalam 3 bentuk yaitu Hg0, Hg+ dan Hg2+, bentuk-bentuk ini sangat ditentukan oleh rekasi oksidasi dan reduksi yang ada. Di perairan yang konsentrasi oksigennya rendah atau dalam kondisi tereduksi, maka kebanyakan dari merkuri ini akan terbentuk dalam Hg0 dan Hg+, sedangkan merkuri akan berbentuk Hg2+ dalam kondisi yang kaya akan oksigen atau kondisi oksidasi. Merkuri akan menjadi HgS jika terdapat sulfit dalam perairan (Sanusi dan Putranto, 2009). Di perairan yang tidak tercemar, kadar Hg2+ terlarut sebanyak 0,02–0,1 mg/l (air tawar) dan <0,01–0,03 mg/l (air laut) (Sanusi 2006). Sifat Hg yang sangat reaktif membuat Hg sangat mudah membetuk ikatan- ikatan komplek dengan ligan organik dan inorganik. Ikatan dengan ligan organik seperti grup alkyl dan aryl yang ada dalam perairan seperti CH3-Hg+, (CH3)2-Hg+, CH3(CH2)-Hg+, dsb. Ikatan merkuri dengan ligan inorganik akan menghasilkan sifat amphypilic seperti CH3-HgCl dan hydrophobic seperti CH3-Hg+ dan (CH3)2-Hg. Senyawa organik Hg yang bersifat toksik adalah CH3-Hg+ yang terbentuk akibat proses metilasi dalam perairan. Proses metilasi ini sangat dipengaruhi oleh temperatur, kondisi redoks, kadar, ukuran partikel sedimen, aktivitas metabolisme bakteri dan jumlah ligan organik yang ada. Terdapat beberapa senyawa organik-Hg, namun senyawa yang bersifat toksik adalah CH3-Hg+ yang terbentuk oleh proses metilasi dalam perairan, seperti ditampilkan dalam reaksi (2) (Baird 1995): ……….(2) Moore dan Ramamoorthy (1984) menambahkan bahwa merkuri juga melakukan ikatan kordinasi dengan ligan-ligan yang ada dalam perairan seperti HgCl2 dan Hg(OH)2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ini adalah kandungan kadar Hg, ligan yang tersedia, pH perairan dan oksigen terlarut. Sebagai contoh, pada lingkungan laut yang memiliki kadar salinitas tinggi, ligan Cl- -nya akan tersedia dalam jumlah yang cukup, sehingga kebanyakan dari Hg akan membentuk spesiasi menjadi HgCl42+. HgCl2 dan komplek kloro-merkuri lainnya merupakan jenis merkuri yang dominan di 22 lautan. Pada perairan tawar dan estuaria yang memiliki pH rendah (4,0-6,0), ion Hg2+ nya akan mengalami hidrolisis membentuk Hg(OH)2 dan merupakan jenis yang dominan di lingkungan ini. Hubungan antara pH dan kadar Cl- dalam pembentukan jenis senyawa Hg diperlihatkan pada Gambar 4. Sanusi (2006) menyatakan proses metilasi Hg pada kolom perairan dan sedimen dipengaruhi oleh bahan organik, ketersediaan logam berat donor, ukuran partikel sedimen, temperatur, kondisi reduksi-oksidasi dan aktivitas metabolik bakteri (jenis Clostridium, Methanobacter, Neurospora, Pseudomonas). Pada perairan yang telah tercemar bahan organik, keberadaan Hg dapat mempengaruhi kesuburan dan trophic level-nya. Pada sedimen, proses pembentukan kompleks organik-Hg dipengaruhi oleh ukuran partikel sedimen, kandungan bahan organik pada sedimen, dan pH (Sanusi 2006). Proses adsorpsi Hg efektif pada sedimen halus (luas permukaannya besar) dan efektif pada ketebalan sedimen 1 mm Gambar 4. Hubungan antara pH, kadar Cl- dan pembentukan spesiasi Hg (Moore dan Ramamoorthy 1984) Konsentrasi merkuri jauh lebih tinggi di lingkungan pantai bila dibandingkan dengan laut terbuka. Pantai dan estuari yang belum tercemar mengandung kurang lebih 20 ng/L mekuri. Kandungan merkuri yang lebih tinggi ditemukan di di Estuaria Derwent, Tasmania yang mengandung lebih dari 350 ng/L merkuri, sebagai perbandingan, Tabel 2 menunjukkan konsentrasi merkuri di beberapa tempat. Konsentrasi elemen merkuri organik akan semakin meningkat dengan bertambahnya 23 kedalaman. Konsentrasi merkuri yang berasosiasi dengan suspended material di sungai dan estuari kurang lebih 12 μg/L. Kurang lebih 0,4-2,7 μg/L merkuti ditemukan di Sungai Seine, Prancis. Sedimen lautan dan estuaria yang belum tercemar mengandung kurang lebih 0,2 μg/g merkuri atau bahkan kurang, sedangkan di Teluk Fransisco, Teluk Belingham dan Teluk Chesapeake yang sudah tercemar mengandung merkuri sebanyak 0,4-10,7 μg/g. Sedimen dari basin Lautan Arctic mengandung 0,034-0,116 μg/g merkuri (Neff 2002). Tabel 2. Konsentrasi merkuri (ng/l) di beberapa tempat Location Dogger Bank, North Sea North Sea, Offshore North Sea, Nearshore Offshore Great Britain English Channel Straits of Dover British Estuaries Lapdev Sea, N. Russia Kara Sea, N. Russia North Atlantic Surface Water Equatorial Pacific Deep Water Halifax harbor, Canada Patuxent River Estuary, MD Scotian Shelf, Surface Water Scotian Shelf, Deep Water Eastern Atlantic Ocean, Surface water Eastern Atlantic Ocean, Deep water North Atlantic Ocean Mediterranean Sea, 1-1500 m South Florida Estuaries Sumber: Neff (2002) Total Mercury Reactive Mercury 0.19-0.42 0.34 0.72 <0.2-6.7 0.19-4.1 0.12-1.3 0.35-19.0 0.80-2.7 0.14-3.4 0.31 0.04-0.30 0.10-0.50 0.16-1.28 3.0-7.4 0.16-0.38 0.19 0.02-1.2 1.2 0.66-0.94 0.24-0.76 0.07-0.14 0.07-0.29 0.05-0.19 - Menurut Neff (2002) pembentukan komplek logam dengan material organik dapat mengurangi pengambilan logam oleh organisme laut. Pengambilan merkuri oleh Uca pugnax dan kerang Modiolus demisscus menurun seiring dengan semakin banyaknya material organik yang masuk ke lingkungannya. Methylmerkuri lebih cepat diakumulasi oleh organisme bila dibandingkan dengan merkuri inorganik dan plankton dapat 24 menyerap kedua jenis merkuri ini. Kebanyakan dari merkuri yang masuk ke dalam tubuh organisme ini akan di akumulasi dalam jaringan tubuh organisme. Cacing polychaeta Capitala capitata, kebanyakan mendapat merkuri dari alga atau detritus yang dimakannya. Pada lobster Nephrops norvegica akumulasi merkuri terjadi di bagian insang dan hepatopankreasnya. Setiap organisme memiliki pebedaan konsentrasi merkuri pada tiap jaringannya (Tabel 3). Organisme sendiri dapat mengasimilasi merkuri yang masung ke dalam tubuhnya (Tabel 4). Tabel 3. Konsentrasi merkuri (mg/l) pada jaringan beberapa organisme laut dari Telyk Terra Nova, Antartica Spesies Scallop (Adamussium colbecki) Fish (Trenuttomus bernacchii) Adelie Penguin (Pygoscells adeliae) Weddell Seal (Leptonychotes weddellii) Sumber: Neff (2002) Otot 0,2 0,83 0,6 1,85 Hati 0,35 0,46 1,6 44 Organ Lain 0,86 (insang) 0,94 (ginjal) 1,20 (ginjal) 24,0 (limfa) Tabel 4. Efisiensi merkuri inorganik dan methyl merkuri dari makanan dan sedimen oleh organisme laut Efisiensi Asimilasi (%) Animal Food Hg(II) CH3Hg Polychaetes Nereis succinia Oxic sediment 7-22 66-75 Mussel Mytilus edulis Oxic sediment 1-9 30-87 Copepod Acartia tonsa Diatoms 15 62 Fish Cyprinodon variegatus Copepods 37 76 Plaice Pleuronectes platessa Polychaetes 5 80 Sumber: Neff (2002) Hasil penelitian Mance (1990) memperlihatkan bahwa pada embrio ikan Fundulus heteroclitus yang terpapar dengan merkuri 0,067 mg/liter akan mengalami kematian populasi 50% (LC50) setelah 4 hari percobaan, setelah 32 hari pemaparan didapatkan bahwa merkuri juga akan mengurangi tingkat kesuksesan penetasan dan proses setelah penetasan. Fase zoea pada krustasea juga memiliki respon yang sensitif terhadap merkuri seperti halnya pada ikan. Percobaan yang dilakukan pada kepiting Cancer magister menunjukkan LC50 setelah terpapar selama 4 hari dengan merkuri sebanyak 0,008 mg/liter. Efek yang sama didapatkan pada Penaeus indicus dengan konsentrasi 25 merkuri yang lebih tinggi yaitu 0,015 mg/liter, namun spesies ini tidak menunjukkan efek yang berarti setelah terpapar dengan merkuri selama 28 hari pada konsetrasi 0,006 mg/liter. Pada larva bivalvia spesies Crassostrea gigas dan Mytilus edulis setelah terpapar dengan Hg dengan median efek konsentrasi (EC50) masing-masing sebanyak 0,0067 dan 0,0058 mg/liter akan menunjukkan perkembangan larva yang tidak normal. 2.4.2. Kadmium (Cd) Kadmium disingkat dengan Cd (cadmium) memiliki nomor atom 49, dengan berat atom 112,41 g/mol, memiliki titik didih dan titik leleh masing-masing 765 oC dan 320,9 o C (Cotton dan Wilkinson 1989). Kadmium hampir selalu ditemukan dalam jumlah yang kecil dalam bijih-bijih seng, seperti sphalerite (ZnS). Greenokcite (CdS) merupakan mineral satu-satunya yang mengandung kadmium. Hampir semua kadmium diambil sebagai hasil produksi dalam persiapan bijih-bijih seng, tembaga dan timbal. Sumber utama polutan kadmium berasal dari aktivitas industri dan sisa-sisa penambangan. Produksi kadmium setiap tahunnya adalah 15.000–20.000 ton, dan kadmium tersebut diproduksi dari hasil penambangan (Paasivirta 2000). Sebagian besar makanan mengandung sejumlah kecil kadmium. Padi-padian dan produk biji-bijian biasanya merupakan sumber utama kadmium. Asap rokok juga menyebabkan meningkatnya kadmium di lingkungan (Baird 1995; Lu 2006). Kadmium mempunyai sifat tahan panas, sehingga baik untuk campuran-campuran bahan-bahan keramik dan plastik, kadmium juga sangat tahan terhadap korosi sehingga cocok untuk melapisi plat besi dan baja (Darmono 1995). Kadmium juga digunakan sebagai pigmen pada keramik, pada penyepuhan listrik, serta dalam pembuatan aloy dan baterai alkali (Baird, 1995; Lu 2006). Baird (1995) mengemukakan bahwa kadmium juga sering di pakai sebagai elektroda pada beterai kalkulator yang dikenal sebagai Ni-Cd (nikel kadmium). Kadmium tergolong logam berat dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap grup sulfhidril daripada enzim dan meningkat kelarutannya dalam lemak. Pada perairan alami yang bersifat basa, kadmium mengalami hidrolisis, teradsorpsi oleh padatan tersuspensi dan membentuk ikatan kompleks dengan bahan organik. Di perairan, kadmium akan melakukan ikatan koordinasi dengan ligan organik dan anorganik seperti CdSO4, Cd-Organik, CdCl+, Cd(OH), dan Cd2+. Kadmium akan menghasilkan produk hidrolisis ketika terlarut oleh air (H2O) melalui reaksi (3): 26 Cd2+ + H2O Cd(OH)+ + H+ ……….(3) Ikatan kompleks tersebut memiliki tingkat kelarutan yang berbeda, yakni: 2+ Cd >CdSO4>CdCl+>CdCO3>Cd(OH)+ (Sanusi 2006). Afinitas Cd terhadap anion klorida dibandingkan dengan logam berat lainnya sesuai urutan adalah Hg > Cd > Pb > Zn, dalam hal ini Cd menempati urutan kedua setelah Hg (Hahne dan Kroontje 1973 dalam Moore dan Ramamoorthy 1984). Bahan organik terlarut dalam perairan (gugus asam amino, sistein, polisakarida dan asam karbosiklik) memiliki kapasitas membentuk ikatan kompleks dengan Cd dan logam berat lainnya. Demikian pula keberadaan asam humus (humic substances) dalam perairan seperti asam fulvik dan asam humik akan membentuk ikatan kompleks (kelasi) dengan Cd. Pada umumnya stabilitas ikatan kompleks logam berat-asam humus mengikuti deret Irving–Williams (Irving–Williams Order) sebagai berikut: Mg<Ca<Cd~Mn<Co<Zn~Ni<Cu<Hg ……….(4) Di perairan tawar kemampuan pembentukan kompleks Cd oleh asam humus kurang lebih 2,7% daripada total Cd terlarut, sementara di perairan estuari lebih rendah dari 1% daripada total Cd terlarut. Berdasarkan hal tersebut maka, selain ditentukan oleh kadar asam humus dan Cd terlarut, parameter pH dan salinitas berperan dalam membentuk ikatan kompleks logam berat-asam humus. Logam berat Cd terlarut dalam air akan mengalami proses adsorpsi oleh partikel tersuspensi dan mengendap di sedimen. Proses adsorpsi akan diikuti oleh proses desorpsi yang mengembalikan Cd dalam bentuk terlarut dalam badan air (Sanusi 2006). Kadmium dalam air laut berbentuk senyawa klorida (CdCl2), sedangkan pada perairan tawar kadmium berbentuk karbonat (CdCO3). Pada perairan payau kedua senyawa tersebut berimbang (Darmono 1995). Kadar Cd di perairan alami berkisar antara 0,29–0,55 ppb dengan rata-rata 0,42 ppb. Konsentrasi kadmium di kolom permukaan air laut terbuka antara 1-100 ng/L. Pada perairan pantai konsentrasinya kurang lebih 200 ng/L, namun konsentrasinya akan meningkat menjadi 5000 ng/L di daerah estuaria yang berada di dekat daerah pertambangan. Tabel 5 menunjukan konsentrasi kadmium terlarut di beberapa perairan. Konsentrasi kadmium di daerah sungai umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah laut. Pada laut terbuka, konsentrasi kadmium terlarut akan semakin meningkat dengan meningkatnya kedalaman, namun sebaliknya konsentrasi partikulat kadmium 27 akan tinggi di permukaan dan menjadi semakin berkurang dengan bertambahnya kedalaman. Sebanyak 0,1-0,6 μg/g kadmium terkandung pada sedimen perairan yang belum mengalami pencemaran. Di daerah Perairan Atlantik dan Teluk Florida mengandung 0,01-0,3 μg/g kadmium dan konsentrasi kadmium ini berkorelasi positif dengan kandungan aluminium. Di daerah Pelabuhan New Bedfor yang sudah tercemar, konsentrasi kadmium dalam sedimen sekitar 52 μg/g dan 460 μg/g di Teluk Spencer Australia Selatan. Kadmium juga ditemukan pada air interstitial dengan konsentrasi 0,002-108 μg/L. Konsentrasi kadmium di Teluk Villefrance, Prancis menurun seiring dengan meningkatnya kedalaman dan meningkat lagi pada kedalaman lebih dari 27 cm (Neff, 2002). Tabel 5. Konsentrasi kadmium terlarut (μg/l) di beberapa perairan Lokasi Rentang Konsentrasi Cd Northwestern Gulf of Mexico 0.001-0.02 San Andres Lagoon, Mexico 0.33 Savannah River Estuary, GA 0.002-0.016 Medway Estuary, Nova Scotia 0.008-0.214 British estuaries 0.007-0.22 British coastal waters 0.004-0.081 British coastal waters 0.02-1.38 North Sea 0.01-0.051 North Sea 0.006-0.025 Dogger Bank, North Sea 0.015-0.025 German Bight 0.016-0.046 English Channel 0.011-0.022 English Channel 0.011-0.063 Irish Sea 0.013-0.081 Eastern Atlantic Ocean 0.001-0.018 South Atlantic Ocean 0.028-0.084 Greenland Sea 0.007-0.028 E. Mediterranean Sea 0.0002- 11 S. China Sea <0.003-0.118 Philippine Sea <0.003-0.119 Pacific Ocean 0.067 Indian Ocean 0.083-0.113 Scotia/Weddell Sea, Antarctica 0.019-0.107 Sumber: Neff (2002) 28 Tabel 6. Konsentrasi kadmium (μg/g) pada jaringan otot beberapa organisme Taksa Jumlah Analisis Rentang Konsentrasi Cd Total 710 0,001-277 Phytoplankton 9 0,04–4,6 Macroalgae 69 0,1–29,8 Seagrasses 2 1,0–4,9 Coelenterates 2 0,37–4,56 Ctenophores 4 0,10–13,1 Nemertines 9 0,04–9,6 Polychaetes 24 0,12–45,0 Zooplankton 11 0,10–7,0 Shrimp 50 0,001–13,3 Lobsters 9 0,05–13,4 Crabs 15 0,03–1,06 Crustaceans 23 0,14–117 Insects 2 16,8–61,6 Clams 44 0,05–26,1 Scallops 7 0,58–36,3 Mussels 108 0,02–65,5 Oysters 99 0,03–144 Snails 32 0,15–277 Squid 4 0,05–3,4 Chaetognaths 2 0,15–1,29 Echinoderms 5 0,14–4,65 Fish 128 0,001–5,80 Sea Turtles 8 0,30–2,85 Marine Birds 20 0,08–3,34 Marine Mammals 22 0,03–2,4 Sumber: Neff (2002) Kadmium termasuk logam berat yang sangat sulit didegradasi oleh organisme, sehingga kalau terabsopsi oleh tubuh organisme laut, maka konsentrasinya akan menjadi semakin meningkat seiring dengan waktu. Biokonsentrasi kadmium dalam tubuh fitoplankton sangat tergantung dari jumlah kadmium yang terlarut dalam kolom perairan. Kebanyakan dari kadmium ini akan terakumulasi pada bagian insang organisme dan beberapa organisme memiliki kemampuan untuk mentransfer kadmium ini ke dalam ephitelliumnya. Setelah masuk ke dalam tubuh, kadmium yang masuk ke dalam tubuh invertebrata, ikan, burung dan mamalia akan membentuk ikatan dengan protein sebagai metallothionin. Pada kima Crasostrea gigas, kadmium kebanyakan 29 diakumulasi pada bagian ginjal. Pada lobster, kadmium dengan jumlah yang paling banyak ditemukan pada organ hepatopankreas (Paasivirta, 2000). Tabel 6 menunjukkan konsentrasi kadmium pada jaringan otot beberapa organisme. Keracunan kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang dapat ditimbulkannya berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada sistem ginjal dan kelenjer pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang (Effendi 2003; Lu 2006). Manahan (2001) menambahkan keracunan akut Cd ke manusia akan menimbulkan efek yang sangat fatal, diantaranya meningkatkan tekanan darah, kerusakan ginjal, perusakan jaringan testis dan merusak sel darah merah. Efek ini hampir mirip apabila manusia mengalami keracunan Cd. Secara spesifik, Cd akan menggantikan Zn yang ada dalam enzim. Toksisitas Cd lebih rendah bila dibandingkan dengan toksisitas Hg dan Cu. Namun demikian, Cd dapat mereduksi klorofil, ATP, dan mengurangi konsumsi O2 fitoplankton dengan konsentarsi 0,01-0,1 mg/l ketika membentuk ikatan komplek CdCl2. Efeknya akan menjadi lebih toksik lagi ketika konsentrasinya menjadi meningkat, misalnya dapat menyebabkan toksistas akut pada ikan estuari pada konsentrasi Cd terlarut sebesar 8–85 mg/l (Mance 1990). 2.4.3. Timbal (Pb) Timbal bernama latin plumbum (Pb), nomor atomnya 82 dan berat atomnya 207,20 g/mol (Cotton dan Wilkinson 1989). Timbal secara alami berasal dari pelapukan batuan dan erosi tanah yang mengandung timbal sulfida (PbS) (Effendi 2003). Lu (2006) menambahkan kegiatan antropogenik seperti penambangan, peleburan bahan logam, pembakaran bahan bakar fosil, dan proses produksi baja, semen dan fosfat merupakan sumber timbal yang dapat menambah keberadaannya di alam. Dalam pertambangan, timbal berbentuk timbal sulfida (PbS) yang disebut galena. Penggunaan Pb yang paling besar adalah untuk baterai kendaraan bermotor. Elektroda dari aki biasanaya mengandung 93% Pb dan 7% Sb (antimoni). Pb sangat baik dalam merangsang arus listrik, yang dalam hal ini Pb berbentuk PbO2 dan Pb logam. Pb juga dipergunakan dalam industri percetakan (tinta), sekering, alat listrik, amunis, kabel dan solder. Sifatnya yang dapat mencegah terjadinya karat, membuat Pb banyak dipergunakan untuk melapisi logam lain seperti untuk melapisi pipa-pipa air atau pipa yang dialiri bahan yang bersifat korosif. Lebih dari 200.000 ton Pb 30 dipergunakan dalam industri kimia yang berbentuk tetra-etil-Pb, yang biasanya dicampur dengan bahan bakar minyak (BBM) dengan tujuan meningkatkan daya tahan mesin. Sifat Pb yang tahan korosif dan sifat yang mudah menyatu dengan bahan lain, mengakibatkan Pb banyak digunakan sebagai campuran cat misalnya Pb putih (Pb(OH)22PbCO3), Pb merah, Pb merah cerah (Pb3O4) dan PbCrO4 untuk warna kuning. Penggunaan lainnya adalah untuk produk-produk logam seperti amunisi, pelapis kabel, pipa, solder, bahan kimia dan pewarna (Fardiaz 2005; Lu 2006; Darmono 1995). Penggunaan timah hitam/timbal tersebut karena timbal memiliki sifat unggul (Darmono 1995; Fardiaz 2005) yakni: 1. Mempunyai titik lebur yang rendah sehingga mudah digunakan dan murah biaya operasinya. 2. Mudah dibentuk karena sifat logamnya yang lunak 3. Mempunyai sifat kimia aktif sehingga dapat dipergunakan untuk melapisi logam untuk mencegah terjadinya perkaratan 4. Kepadatan melebihi logam lain 5. Timbal dapat membentuk alloy dengan logam lainnya, dan alloy yang terbentuk mempunyai sifat yang berbeda dengan timbal murni 6. Memiliki densitas yang tinggi dibanding logam lain; kecuali emas dan merkuri, yaitu 11,34 g/cm3 7. Sifat kimia timbal menyebabkan logam ini dapat berfungsi sebagai pelindung jika kontak dengan udara lembab Seperti logam berat lainnya, Pb juga merupakan unsur yang bersifat reaktif. Di dalam badan perairan, Pb akan membentuk ikatan komplek dengan ligan organik dan inorganik yang ada. Kelarutan timbal dalam air cukup rendah sehingga kadarnya relatif sedikit. Pb akan membentuk ikatan komplek dengan logam organik apabila di ligan organik tersebut mengandung unsur S, N, dan O. Pb sendiri akan membentuk Pb3(PO4)2 dan PbS jika tersedia ligan inorganik berupa fosfat (PO43-) dan sulfida (S2-). Pb juga akan mengalami proses hidrolisis menjadi Pb(OH)+ dan akan terlarut pada saat pH perairan lebih dari 6,0 dan menjadi Pb(OH)+ solid pada saat pH perairan lebih dari 10,0. Berdasarkan hal tersebut, maka di lingkungan laut yang memiliki pH yang cenderung basa (7,5-8,5), kebanyakan dari Pb ini ditemukan dalam bentuk Pb(OH)+ terlarut lebih banyak bila dibandingkan dengan PbCl2 atau PbCO3. Bahan bakar yang mengandung 31 timbal (lead gasoline) memberikan kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal di perairan. Kadar dan toksisitas timbal di perairan dipengaruhi oleh kesadahan, pH, alkalinitas, dan kadar oksigen (Effendi 2003; Neff 2002; Sanusi 2009). Konsetrasi timah hitam (timbal) pada perairan laut terbuka yang belum tercemar kurang lebih 0,002-0,3 μg/L, namun konsetrasinya akan menjadi lebih dari 1 μg/L pada perairan pantai atau perairan teluk. Konsentrasi timbal di Samudra Atlantik Utara pada kondisi terlarut dan tersuspensi masing-masing 0,002-0,029 dan 0,0001-0,0004 μg/L. Tabel 7 di bawah menunjukkan konsentrasi timbal di beberapa perairan. Konsentrasi timbal di sedimen estuari dan pantai yang belum tercemar adalah 5-30 μg/g. Namun konsentrasi timbal ini akan menjadi meningkat pada daerah pantai yang berdekatan dengan pusat-pusat industri, seperti di sedimen Teluk San Francisco mengandung kurang lebih 2900 μg/g timah (Neff, 2002). Tabel 7. Konsentrasi timah terlarut (μg/l) di beberapa perairan Lokasi N. Atlantic Surface Water S. Atlantic Surface Water Bermuda S. North Sea Surface Water S. North Sea Bottom Water Offshore UK Surface Water British Estuaries Bristol Channel & Severn Estuary, UK Greenland Sea Ross Sea, Antarctica East China Sea Gulf of Mexico off LA Galveston Bay, TX S. California Bight Offshore S. California Bight Nearshore San Francisco Bay, CA Sumber: Neff (2002) Pb Terlarut 0,002–0,029 0,003 0,016 0,008–0,20 0,017–0,087 0,021–0,19 0,023–1,1 0,02–10,0 0,004–0,104 0,005–0,027 0,041–0,517 0,02–0,05 0,009–0,02 0,004–0,012 0,009–0,06 0,041 Konsentrasi akumulasi timbal dalam tubuh organisme akan membentuk kurva linier dengan jumlah timbal terlarut. Kebanyakan organisme air mengakumulasi logam ini pada bagian insang dan mantel. Pada bivalvia yang sudah terkontaminasi logam timbal ternyata memiliki kemampuan untuk melepaskan logam ini kembali ke dalam perairan setelah dilepas pada daerah yang tidak terkontaminasi. Akumulasi logam ini 32 dapat melalui rantai makanan seperti Capitela capitata yang mengakumulasi timbal dari detritus dan alga yang dimakannya dan konsentrasinya dalam tubuh akan semakin meningkat seiring dengan semakin banyaknya alga yang dimakan. Kerang Scrobicularia plana dan Polychaeta Nereis diversicolor memiliki kemampuan mengakumulasi timbal dari sedimen yang anoksik. Konsentrasi timbal pada jaringan beberapa organisme dapat dilihat pada Tabel 8. Tabel 8. Konsentrasi timah pada jaringan (μg/g) beberapa organisme Spesies Phytoplankton Green Alga Caulerpa taxifolia Brown Alga Fucus vesiculosus Red Algae (several spp.) Sea Grass Posidonia oceanica Sponges (several spp.) Reef Corals (2 spp.) Benthic Nematodes Nemerteans (2 spp.) Polychaetes (several spp.) Trough Shell Spisula subtruncata Mussels Mytilus spp. Oysters Crassostrea gigas Oysters C. gigas Bivalves (3 spp.) Bivalves (4 spp.) Scallops Shrimp (several spp.) Swimming Crabs Liocarcinus holsatus Benthic Crustaceans Barnacles (3 spp.) Echinoid Paracentrotus lividus Sharks (several spp.) Sharks (4 spp.) Teleost Fish (12 spp.) Teleost Fish (26 spp.) Deep-Sea Fish (6 spp.) Tuna Thunnus thynnus Lokasi Central Pacific French Mediterranean W. Greenland Greece NW Mediterranean Portugal Australia French Atlantic N. Wales, UK NY Bight Belgian Coast French Coasts French Coasts Hawaii NY Bight Philippines Antarctica Kuwait Belgian Coast NY Bight Hong Kong Naples, Italy Great Britain E. Australia E. Australia W. Mediterranean N. Atlantic NW Atlantic Konsentrasi Pb 0,53–1,8 0,8–21,8 0,47–0,70 10,7–340 5,96–15,4 <5–187 0,5–2,2 25,1–55,5 17,4–54,9 0,89–82,1 0,5–8,0 <0,10–21,4 <0,10–8,9 0,10–1,76 5,07–10,6 0,64–2,24 1,0–2,6 0,03–7,23 0,34–4,4 0,05–17,5 1,7–39,2 0,28–14 <0,1–9,4 <0,04–0,15 0,03–0,30 0,05–55,9 0,015–12,0 <0,03 Sumber: Neff (2002) Menurut Neff (2002) pemaparan Pb dengan konsentrasi 476-758 μg/L pada Mytilus edulis, Crasostrea gigas dan Cancer magister menyebabkan pertumbuhan larva menjadi abnormal, sedangkan konsentrasi akut dan kronik pada Mysidopsis bahia masing-masing adalah 3130 dan 25 μg/L. Konsentrasi timbal terlarut sebesar 23,3 μg/L dapat menyebabkan efek subletal pada makroalga Champia parvula. Hasil penelitian 33 Paasivirta (2000) memperlihatkan bahwa sebanyak 10-24% timbal (lead) yang ditemukan pada daging ikan dalam bentuk tetrametyl lead (TML). Efek toksik timbal pada burung dan mamalia disebabkan logam ini memiliki kemampuan untuk berikatan dengan sel dan biomolekul seperti enzim dan hormon. Soetrisno (2008) menyatakan timbal menjadi beracun dengan menggantikan kation-kation logam yang aktif biologis, seperti kalsium dan seng (zink), dari proteinproteinnya. Calmodulin misalnya, mengikat dan mengangkut empat kation kalsium. Jika kation-kation timbal menggantikan keempat kation kalsium tersebut, efisiensi enzim ini akan berkurang. Timbal menghambat total aktivitas enzim biosintetik heme, yakni asam delta-aminolevulinat dehidratase (delta-ALAD), ketika logam ini menggantikan kation seng tunggalnya, sehingga mengganggu pembentukan darah dan menghasilkan anemia parah. Darmono (1995) menambahkan timbal dapat menghambat aktifitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin yang dapat menyebabkan penyakit anemia. Gejala yang diakibatkan dari keracunan logam timbal adalah kurangnya nafsu makan, kejang, lesu dan lemah, muntah serta pusing-pusing. Timbal dapat juga menyerang susunan saraf, saluran pencernaan serta dapat mengakibatkan terjadinya depresi. 2.5. Logam berat pada sedimen laut Supangat dan Muawanah (NA) menyatakan semua senyawa yang masuk ke perairan akan menjadi sedimen. Proses fisik, kimia dan biologi yang terjadi di kolom air akan mempengaruhi komposisi dan kualitas sedimen. Proses fisik yang mempengaruhi yakni faktor arus (hidrodinamika) yang merupakan energi sortasi sedimen. Sanusi (2006) menyatakan perairan yang memiliki kondisi arus yang dinamis (high energy environment–dynamic waters), memiliki tekstur sedimen yang kasar (kerikil, pasir). Sementara perairan yang kondisi arusnya tenang atau tidak dinamis (low energy environment–sluggish waters) memiliki tekstur sedimen yang lebih halus (lumpur, liat). Perairan yang sering terjadi deposisi material tersuspensi (organik dan anorganik) umumnya memiliki tekstur sedimen yang halus. Saat masih di kolom air, terjadi reaksi kimia antara berbagai calon sedimen, reaksi tersebut tetap berlangsung setelah senyawa menjadi sedimen. Saat mencapai dasar, senyawa tersebut mengalami turbulensi akibat aktivitas biota (bio-turbulensi). 34 Berdasarkan penyebarannya sedimen laut dapat dibagi menjadi dua kelompok (Supangat dan Muawanah NA; Sanusi 2006). Kelompok pertama, sedimen yang tersebar sampai batas paparan benua (continental shelf margin) yang disebut sedimen laut dangkal (near shore sediment) dan sedimen laut dalam (deep sea sediment) yang tersebar di bawah paparan benua. Sedimen laut dangkal khususnya di perairan pesisir dan estuari diketahui merupakan ”storage system” berbagai unsur dan senyawa kimia (Supangat dan Muawanah; Sanusi 2006). Logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami pengendapan, pengenceran dan dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang hidup di perairan tersebut. Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida (Hutagalung 1984). Hutagalung (1991) menyatakan logam berat memiliki sifat mudah mengikat bahan organik dan setelah mengalami proses fisik-kimia akan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan sedimen, hal ini sejalan dengan penelitian Harahap (1991) dan Rochyatun, Kaisupy dan Rozak (2006) (Tabel 9) yang menyatakan kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi dibandingkan di air. Konsentrasi logam berat pada sedimen tergantung pada beberapa faktor yang berinteraksi. Faktor-faktor tersebut adalah : 1. Sumber dari mineral sedimen antara sumber alami atau hasil aktivitas manusia. Melalui partikel pada lapisan permukaan atau lapisan dasar sedimen. 2. Melalui partikel yang terbawa sampai ke lapisan dasar. 3. Melalui penyerapan dari logam berat terlarut dari air yang bersentuhan. Tabel 9. Hasil analisis kisaran kadar logam berat (ppm) dalam air laut dan sedimen di perairan muara Sungai Cisadane Bulan Juli dan Nopember 2005 No Parameter I 2 3 4 5 Pb Cd Cu Zn Ni Air Laut Juli <0,001-0,005 <0,001-0,001 <0,001-0,001 <0,001 <0,001-0,003 Nopember <0,001-0,003 <0,001-0,001 <0,001-0,004 <0,001-0,003 0,001-0,003 Sedimen Juli Nopember 9,42-34,40 10,32-37,50 0,02-0,03 0,04-0,150 8,15-34,59 5,08-34,30 33,96-115,40 43,88-172,78 4,44-8,46 3,80-8,60 Sumber: Rochyatun, Kaisupy dan Rozak (2006) Sanusi (2006) mengemukakan sifat fisik dan kimia material padatan tersuspensi yang memiliki kemampuan mengadsorpsi logam berat terlarut dalam kolom air. 35 Selanjutnya dikatakan bahwa deposisi padatan tersuspensi dalam perairan selain mengakibatkan mengendapnya material organik dalam sedimen juga akan menyebabkan akumulasi logam berat tersebut dalam sedimen. Semakin tinggi polutan organik dan anorganik dalam kolom air, makin tinggi pula akumulasi polutan tersebut dalam sedimen. Penjelasan tersebut, memperlihatkan bahwa kualitas fisik kimia sedimen suatu perairan dapat dijadikan indikator baik buruknya kualitas suatu perairan. Menurut Hutagalung (1984) pengendapan logam berat dalam suatu perairan terjadi karena adanya anion karbonat hidroksil dan klorida. Menurut Hutagalung (1991) besarnya konsentrasi logam berat pada sedimen tergantung pada beberapa faktor yang berinteraksi yakni: 1. Sumber dari mineral sedimen baik sumber alami maupun sumber yang berasal dari aktivitas manusia 2. Melalui partikel pada lapisan permukaan atau lapisan dasar sedimen 3. Melalui partikel yang terbawa sampai ke lapisan dasar 4. Melalui penyerapan dari logam berat terlarut dari air yang bersentuhan Tabel 10. Kadar alamiah logam berat dalam sedimen Parameter Hg Cd Pb Kadar alamiah (ppm) RNO1 EPA2 0,002-0.35 0,2 0,1-2 1 10-70 5 Sumber: 1 RNO 1981 dalam Razak 1986; 2 Environmental Protection Agency, 1990 dalam Novotny dan Olem 1994. Tabel 11. Baku mutu logam berat dalam sedimen Level Level Level Level Level Parameter target limit tes intervensi bahaya Hg Cd Pb 0,3 0,8 85 0,5 2 530 1,6 7,5 530 10 12 530 15 30 1000 Sumber: IADC (International Association of Drilling Contractors) / CEDA (Central Dredging Association) (1997) Keterangan : a. b. Level target. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi lingkungan. Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen memiliki nilai maksimum yang dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem. 36 c. d. e. Level tes. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level limit dan level tes, maka dikategorikan sebagai tercemar ringan. Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai tercemar sedang. Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan berada pada nilai yang lebih besar dari baku mutu level bahaya, maka harus dengan segera dilakukan pembersihan sedimen. Logam berat dalam substrat/sedimen secara alami menggambarkan hubungannya dengan partikel tersuspensi dan sedimen, karena sedimen lebih stabil atau kurang mobile dibandingkan dengan kolom air. Kadar alamiah logam berat dalam sedimen menurut RNO (1981) dalam Razak (1986) dan EPA (1990) dalam Novotny dan Olem (1994) dapat dilihat pada Tabel 10. Baku mutu logam berat di dalam lumpur atau sedimen di Indonesia belum ditetapkan, sehingga sebagai acuan dapat digunakan baku mutu yang dikeluarkan oleh IADC/CEDA (1997) mengenai kandungan logam yang dapat ditoleransi keberadaannya dalam sedimen berdasarkan standar kualitas Belanda, dapat dilihat pada Tabel 11. 2.6. Beban Pencemaran Beban pencemar didefinisikan sebagai jumlah total bahan pencemar yang masuk ke dalam lingkungan perairan, baik langsung maupun tidak langsung, dalam kurun waktu tertentu. Beban pencemar berasal dari berbagai aktivitas manusia misalnya industri dan rumah tangga. Besarnya beban masukan limbah sangat tergantung pada aktivitas manusia di sekitar perairan dan di bagian hulu sungai yang mengalir ke arah laut (Suharsono 2005). Selain dipengaruhi oleh aktivitas di sekitar sungai, nilai beban pencemar juga sangat tergantung pada keadaan pasang dan surut. Pada kondisi pasang, beban masukan limbah kecil karena aliran sungai akan tertahan oleh peningkatan massa air di pantai, sedangkan pada saat surut, beban masukan limbah ke kawasan pantai akan lebih besar, karena aliran sungai yang membawa bahan pencemar dapat masuk ke perairan estuaria atau pantai tanpa terhalang oleh massa air laut (Rafni 2004). Perhitungan beban pencemar dilakukan dengan mengalikan konsentrasi dengan aliran debit sungai dalam satuan waktu tertentu. Sebelumnya debit aliran sungai dapat diperoleh dengan mengalikan luas penampang aliran sungai dengan kecepatan aliran sungai (Mezuan 2007). 37 2.7. Kerang Hijau Kerang hijau (Gambar 5) merupakan organisme yang termasuk golongan biota yang bertubuh lunak (mollusca), bercangkang dua (bivalvia), insang berlapis (lamellibrachiata), berkaki lapak (pelecypoda) dan hidup di laut (Asikin 1982). Taksonomi kerang hijau menurut Asikin (1982) Filum : Mollusca Kelas : Pelecypoda (Lamellibranchia, Bivalvia) Ordo : Filibrachia Famili : Pernaidae Genus : Perna Spesies : Perna viridis L. Gambar 5. Kerang hijau (Perna viridis L.) (http://greenmussel.ifas.ufl.edu/gm-pviridis.jpg) Kerang hijau (Perna viridis L) merupakan biota yang hidup pada wilayah litoral (pasang surut) dan sub litoral yang dangkal. Kerang hijau dapat tumbuh pada perairan teluk, estuari, sekitar mangrove dan muara, dengan kondisi perairan yang memiliki subtrat pasir berlumpur, dengan cahaya dan pegerakan yang cukup, serta kadar garam yang tidak telalu tinggi (Setyobudiandi 2000). Perna memiliki empat baris insang yang bermanfaat sebagai organ respirasi dan organ filter feeder. Perna memakan fitplankton, zooplankton dan detritus (Korringa 1976; Sivalingam 1977; Yap et al. 1983 dalam Vakily 1989). Sivalingam (1977) dalam Vakily (1989) menyatakan bahwa kerang hijau 38 merupakan selective filter feeder, hal ini ditandai dengan spesies plankton yang mendominasi (99%) pada perut kerang hijau, yaitu Coscinodiscus nodilufer. Menurut Bryan (1976) karena sifatnya yang sessile dan cara makan yang filterfeeder, kelas bivalvia telah digunakan sebagai bioindikator dari limbah berat, organochlorin dan minyak hidrokarbon. Perna viridis merupakan salah satu kerang yang terbaik untuk dijadikan biota tes dalam biopollution (Phillips 1980). Goldberg et al. 1978 dalam Jose dan Deepthi (2005) menyatakan bahwa bivalva seperti kerang hijau memiliki keunggukan sebagai bioindikator untuk memonitor substansi organik yang terdapat di laut karena memiliki distribusi yang luas, hidup menetap, mudah disampling, memiliki toleransi terhadap salinitas yang luas, resisten terhadap stress dan berbagai bahan kimia yang terakumulasi dengan jumlah besar merupakan konsep ‘mussel watch’. Kerang hijau memiliki distribusi yang luas pada Wilayah Asia Pasifik dan memiliki nilai komersial sebagai seafood yang telah terkenal di belahan dunia (Vakily 1989). Jose dan Deepthi (2005) dan Boonyatumanond et al. (2002) menambahkan kerang hijau telah digunakan sebagai biological indocator untuk memonitor kandungan residu pestisida organochlorine pada beberapa Negara Asia seperti Thailand (Siriwong et al. 1991; Ruangwises et al. 1994), India (Ramesh et al. 1990) dan Hong Kong (Phillips 1985). Verlecar et al. 2006a lebih mendalam menyatakan bivalva moluska P.viridis digunakan sebagai bioindikator dan atau bio monitoring karena insangnya yang merupakan organ respirasi dan kelenjar digestif dipergunakan sebagai spesimen eksperimen pengukur respon perubahan oksidatif. Verlecar et al. (2006b) juga menyatakan bivalva termasuk kerang hijau memiliki kemampuan ketahanan terhadap perubahan suhu dan kandungan logam beracun yang terkandung dalam perairan, sehingga dapat disimpulkan, bivalva merupakan model yang representatif untuk studi pengaruh dalam mekanisme pertahanan menggunakan antioksidan. Penelitian Phillips (1985) menggunakan P.viridis menghasilkan kesimpulan, kerang hijau merupakan excellent bioindikator untuk studi tembaga (Cu) dan timah (Pb). P.viridis digunakan untuk mengamati kandungan kadmium, merkuri dan seng. Pada jaringan insang P.viridis, terjadi regulasi metabolisme parsial sehingga mengakumulasi seng. Hal yang sama terjadi pada akumulasi logam berat lain (Phillips 1985). 39 Faktor lingkungan yang mempengaruhi kelangsungan hidup kerang hijau adalah suhu, salinitas, tipe dasar perairan, kedalaman, kekeruhan, arus dan oksigen terlarut (Setyobudiandi 2000). Asikin (1982) menyatakan bahwa kerang hijau tumbuh baik pada perairan yang memiliki salinitas 27-35 o/oo, temperatur antara 27-32ºC, arus yang tidak begitu keras dan hidup pada kedalaman 1-7 m serta mengambil protein nabati sebagai makanannya. Rainbow (1995) dalam Wong et al. (2000) menyatakan P.viridis menyebar luas di perairan laut dan toleran terhadap perairan yang terkontaminasi logam serta dapat bertahan terhadap fluktuasi salinitas dan suhu. Vakily (1989) menyatakan umumnya mussel hidup menempel di substratnya dengan menggunakan benang byssus. Byssus terdapat pada bagian kaki kerang yang diadaptasikan untuk menempel pada substratnya. Kumpulan benang byssus ini disekresikan oleh hewan tersebut dan memiliki kekuatan-tarik, sehingga berfungsi sebagai penambat kerang dengan substratnya. Beberapa jenis kerang yang tergolong dalam golongan mussel dan daerah distribusinya antara lain M. Edulis (Eropa, pantai barat-timur Amerika Utara, dan Jepang), M. Gallopravincialis (Mediterranian Species, Eropa), M. Aeoteanus (Perairan Selandia Baru), M. edulis planulatus (Perairan Australia), M. Californianus ( perairan Pantai Pasifik dan Amerika Utara), Perna viridis (Perairan Asia), dan P. Canaliculus (Selandia Baru). Kerang hijau, Perna viridis L. memiliki beberapa nama sinonim antara lain (Siddal, 1980 dalam Vakily, 1989) Mytilus viridis Linnaeus (1758), Mytilus smaragdinus Chemnitz (1785), Mytilus opalus Lamarck (1819), Mytilus viridis L. Hanley (1855), Mytilus (Chloromya) viridis L. Lamy (1936), Mytilus viridis L. Suvatti (1950), Chloromya viridis L. Dodge (1952), Mytilus viridis L. Cherian 1968), Perna viridis L. Dance (1974). Yap et al. (2002) lebih jauh menyatakan taksonomi Perna viridis membingungkan dan status dari Perna viridis masih dalam diskusi para ahli. Kerang hijau mempunyai wilayah distribusi yang luas, yakni dari Samudera Hindia sampai Fillipina dan Samudera Pasifik sebelah barat (Vakily 1989). Benson et al. (2001) menyatakan kerang hijau ataupun anggota bivalva lainnya, umumnya bersifat sedentary, dengan bagian kaki, visceral mass, rongga mantelnya mendominasi tubuh, dan bagian kepalanya tidak berkembang. Bivalva tidak memiliki radula, mayoritas ciliary feeder dengan bagian insang berkembang untuk mengumpulkan makanan 40 (ctenidid). Perluasan mantel ke seluruh bagian tubuh dalam bentuk dua katup simetris yang pada akhirnya mensekresikan hinge dan membentuk kedua belah cangkang. Pada semua bivalva Lamellibranch, insang atau ctenidium berbentuk huruf-W. Insang terdiri atas banyak filamen yang berhubungan untuk membentuk lembaran atau lamellae. Masing-masing insang memiliki empat lamellae dan diposisikan dalam rongga mantel sedemikian rupa, sehingga satu cabang dari bagian yang berbentuk huruf-W tadi berhubungan dengan mantel dan cabang lainnya berhubungan dengan bagian kaki atau visceral mass. Oleh karena itu maka insang secara efektif membagi rongga mantel ke dalam beberapa rongga. Rongga yang besar di bawah insang disebut rongga inhalent; sedangkan rongga di atas insang merupakan rongga exhalent. Setyobudiandi (2000) menyatakan bahwa kerang hjau digolongkan dalam kelompok filter feeder, karena kerang hijau memperoleh makanan dengan cara menyaring partikel-partikel atau organisme mikro yang berada dalam air dengan menggunakan_sistem_sirkulasi_(http://dictionary.reference.com/browse/Filter%20feede r). Hal ini sesuai dengan pernyataan Vakily (1989) dan Brusca dan Brusca (1990) yang menyatakan bahwa semua bivalva lamellibranch termasuk filter feeder. Cilia khusus terletak antara filamen insang yang berfungsi menghasilkan aliran air yang memindahkan air ke dalam bagian inhalent pada mantle cavity (rongga mantel) dan ke arah atas ke dalam rongga exhalent. Partikel makanan atau material tersuspensi lainnya yang berukuran lebih besar dari ukuran tertentu disaring dari air oleh cilia insang dan dihimpun pada bagian rongga inhalent berhadapan dengan lamellae insang. Material ini kemudian dipindahkan oleh cilia lainnya ke arah tepi bagian ventral insang atau di bagian dasar organ yang berbentuk huruf-W tempat letaknya alur makanan (food grooves). Setelah berada di food grooves, makanan bergerak ke arah depan hingga mencapai palps, yang berada di sisi mulut. Material berukuran halus dibawa oleh cilia ke dalam mulut. Material tersebut akan disaring sebelumnya pada hepatopankreas sebelum menuju saluran pencernaan. Partikel yang lebih kasar dihimpun di tepi palps dan secara periodik dikeluarkan oleh proses kontraksi otot ke dinding mantel. 2.7.1. Malformasi Kerang Hijau Malformasi merupakan perkembang struktur tubuh organisme secara tidak teratur dan abnormal. Penyebab kejadian malformasi adalah mutasi genetik, infeksi, 41 pengaruh obat-obatan, pengaruh lingkungan atau interaksi dari berbagai penyebab tersebut (Encyclopædia Britannica 2011). Rainbow (1995) dalam Wong et al. (2000) menyatakan P.viridis toleran terhadap perairan yang terkontaminasi logam serta dapat bertahan terhadap fluktuasi salinitas dan suhu, tetapi pertumbuhannya tidak optimal. Kerusakan DNA dapat terjadi pada sel gonad jantan Perna viridis akibat terkena sisa produk rokok, terutama ekstrak rokok tembakau yang telah digunakan (Nagarappa 2000). Kondisi kerang hijau yang berada di Teluk Jakarta telah mengalami perubahan, dari 300 kerang yang dijadikan sampel pada penelitian tim gabungan dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah (BPLHD) DKI Jakarta, 50 persennya ternyata telah mengalami kelainan bentuk fisik (malformasi). Sekitar 70 persen sampel kerang hijau itu pun mengidap berbagai kelainan. Kerusakan jaringan dan kelainan bentuk fisik biota akuatik (ikan dan kerang). Hal ini diduga berkaitan erat dengan tingginya kandungan logam berat seperti Sn pada tributiltin (TBT), merkuri (Hg), kadmium (Cd), timah hitam (Pb), dan arsen (As) di perairan (Riani, 2004). Logam berat tersebut terdapat di perairan dalam bentuk ion-ion, kemudian akan masuk ke dalam tubuh melalui insang dan saluran pencernaan. Dalam perairan, logam berat walaupun dalam konsentrasi yang kecil dapat terabsorpsi dan terakumulasi dalam hewan air, terutama benthos, dalam hal ini adalah kerang hijau, dan akan terlibat dalam proses rantai makanan (food chain) (Darmono 1995). Rainbow dan Furness (1990) dalam Wong et al. (2000) menyatakan logam berat akan terakumulasi dalam tubuh kerang dan dapat membahayakan kesehatan manusia. Hal tersebut didukung pernyataan Yaqin (2004) kerang hijau mempunyai kemampuan yang sangat menakjubkan dalam menumpuk (bioaccumulation) logam berat, seperti tributiltin, di dalam tubuhnya. Tumpukan tributiltin di dalam tubuh kerang mungkin tidak bisa dideteksi dengan alat kromatografi biasa sebab kandungannya sangat rendah dari sisi kuantitas. Akan tetapi, mengingat daya rusak tributiltin yang bersifat jangka panjang, maka bahaya tributiltin itu seperti bom waktu. Hal ini akan berdampak pada pertumbuhahan yang menyimpang (malgrowth) atau deformitas atau malformasi. (Gambar 6) 42 Gambar 6. Perbedaan insang kerang hijau normal (kiri) dan Kerang Hijau dengan insang yang mengalami malformasi (kanan) (Jose dan Deepthi 2005) Yaqin (2004) menambahkan Page, Dassayanake, Eisenbrand, dan Phelps pada tahun 1996-1997 melakukan penelitian tentang hubungan antara deformitas dan pencemaran tributiltin di Portugis. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang sangat erat antara kandungan tributiltin pada daging kerang dan perairan dengan fenomena deformitas. Di Marina Norsmind Fjord, Denmark, yang tercemar dengan tributiltin, peneliti menemukan adanya korelasi yang erat antara deformitas dan kerusakan DNA kerang biru (Mytilus edulis). Penelitian Claudia alzieu dalam Yaqin (2004) menduga tributiltin mengganggu enzim yang membantu sistem pembentukan kapur (klasifikasi) sehingga kalsifikasinya tidak berjalan dengan normal. Kerang yang proses kalsifikasinya tidak normal cenderung menggelembungkan cangkangnya. Selanjutnya pada tingkatan yang serius, klasifikasi yang tidak normal itu akan menyebabkan terbentuknya alur-alur pertumbuhan acak pada cangkang sehingga permukaan cangkang kelihatan dipenuhi oleh alur-alur pertumbuhan yang tampak seperti pelapisan yang kasar. Claudia alzieu menambahkan kandungan tributiltin di perairan sebesar 1 ng/l sudah cukup untuk menyebabkan kecacatan atau deformitas pada cangkang kerang dan imposex (perubahan kelamin betina menjadi kelamin jantan karena munculnya penis palsu) pada keong. Sementara konsentrasi tributiltin di kolom air laut Teluk Jakarta 2-15 ng/l dan sedimennya mengandung 119-506 ng/l. Hal ini diduga berdampak negatif pada perubahan morfologi kerang hijau. 43 2.8. Pemodelan Sistem Sistem merupakan interaksi antara unsur dari sebuah objek dalam lingkungan tertentu yang berkerja untuk mencapai tujuan (Muhammadi, Aminullah dan Soesilo 2001). Hatrisari (2007) menambahkan sistem adalah gugus atau kumpulan dari komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka membentuk tujuan tertentu. Sistem dapat dikatakan sebagai situasi aktual atau realitas, sehingga sistem sangat kompleks; untuk mengkaji sistem tersebut maka diperlukan model. Model menurut Grant, Pederson dan Marin (1997) dan Ford (1999), merupakan suatu representasi atau substitusi atau abstaksi dari sebuah objek atau situasi aktual yang terjadi. Hatrisari (2007) menambahkan model adalah penyederhanaan sistem, sehingga model dikatakan lengkap jika dapat mewakili berbagai aspek situasi aktual. Hatrisari (2007) juga menyatakan penggunaan model memudahkan pengkajian sistem, karena hampir tidak mungkin bekerja dalam keadaan sebenarnya, selain itu model juga dapat menjelaskan perilaku sistem. Model dapat dikelompokan menjadi dua kategori model fisik dan model abstrak (Hatrisari 2007). Model fisik merupakan miniatur replika dari kondisi sebenarnya, sehingga variabel yang digunakan sama persis dengan sistem nyata, sedangkan model abstrak hanya menjelaskan kinerja dari sistem. Model fisik dan model abstrak terbagi menjadi dua, model statis dan model dinamik. Model statis merupakan model yang tidak memperhitungkan waktu yang selalu berubah, sedangkan model dinamik memberikan gambaran nilai peubah terhadap perubahan waktu. Proses pemodelan merupakan proses yang kreatif dan tidak linier, namun harus mematuhi disiplin ilmiah dan pemikiran yang logis. Hatrisari (2007) menyatakan prosedur dalam pemodelan adalah: 1. menyatakan permasalahan atau sistem yang dikaji sesuai dengan tujuan kajian, 2. menyusun hipotesis, 3. memformulasikan model, 4. menguji serta menganalisis model. Muhammadi, Aminullah dan Soesilo (2001) menambahkan pembuatan model dimulai dari 1. penjabaran konsep, 2. pembuatan diagram sebab akibat, 3. pembuatan diagram alir, 4. simulasi model untuk melihat perilaku yang diakhiri dengan 4. uji sensitivitas. Pembuatan sistem pemodelan berakar pada cara pandang dan berpikir secara sistem. Forrester (1968) menyatakan proses berpikir mengkaji dan memecahkan masalah membutuhkan pemahaman lebih lanjut antara elemen dalam masalah tersebut, 44 bahwa hubungan antara elemen lebih penting dari elemen itu sendiri. Forrester (1968) melanjutkan cara perpikir sistem mencoba mengidentifikasi masalah yang muncul dan melihat hubungan antara masalah, sehingga muncul pola sebab-akibat yang lebih jelas. Berbeda dengan pola berpikir mekanistik yang menganggap hubungan sebab-akibat linier, dan masalah hanya disebabkan oleh satu hingga dua penyebab. Hariani (2005) menambahkan berpikir sistem merupakan suatu pendekatan baru yang dianggap mampu menganalisis masalah kompleks. 2.9. Sistem Dinamik Luo et al. (2005) menyatakan sistem dinamik merupakan teori struktur dan alat untuk merepresentasikan sistem nyata yang kompleks dan menganalisis perilaku dinamikanya. Simonovic (2002) menyatakan sistem dinamik dapat menguraikan struktur asal dari suatu sistem dan mengkaji perbedaan antar sistem ketika diberikan kebijakan yang berbeda, sehingga sistem dinamik dikenal sebagai metoda yang dapat mengilustrasikan dinamika yang kompleks. Zhang et al. (2009) menambahkan metode sistem dinamik didasarkan atas model simulasi yang mencakup feedback (umpan balik) untuk membangun interaksi pada sistem yang dikaji. Umpan balik dari kontol menjadi dasar hubungan antara struktur dan perilaku sistem (Simonovic 2002), sehingga model sistem dinamik dapat memberikan informasi yang lebih mendetail untuk mengungkap mekanisme dan memperbaiki kinerja sistem secara keseluruhan. Simonovic (2002) menambahkan pengembangan metode sistem dinamik mencakup tahap 1. Pemahaman dan batasan dari sistem 2. Identifikasi variabel kunci 3. Representasi proses fisik menjadi variabel melalui hubungan matematik 4. Pemetaan struktur dan simulasi model untuk memahami sifat sistem 5. Interpretasi hasil simulasi