2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pencemaran

advertisement
2. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pencemaran
Pencemaran adalah masuknya bahan dan senyawa dari kegiatan manusia ke
lingkungan sehingga menyebabkan berkurangnya nilai guna, baik ditinjau secara fisik,
kimia, biologi dan estetika. Pencemaran memerlukan penilaian yang subjektif. Sebagai
contoh pencemaran bahan organik yang menyebabkan terjadinya peningkatan
konsentrasi unsur hara yang sangat dibutuhkan oleh tanaman di dalam air. Satu sisi
adalah sisi positif, yaitu berupa terjadinya peningkatan kesuburan perairan yang berarti
pula peningkatan potensi guna perairan. Di sisi lain, dampak buruk dari peningkatan
unsur hara akan menganggu keseimbangan ekosistem perairan dan memerlukan
penanganan yang serius (Connel dan Miller 1995; Damar 2004).
Sumber pencemaran dapat dibagi menjadi dua, bersumber pada lokasi tertentu
(point source) dan yang sumbernya tersebar (non point/diffuse source). Point source
memiliki dampak yang ditimbulkan dapat ditentukan berdasarkan karakteristik spasial
kualitas air. Volume pencemar dari point source biasanya relatif tetap. Sumber nonpoint source dapat berupa point source dalam jumlah yang banyak. Misalnya: limpasan
dari daerah pertanian yang mengandung pestisida dan pupuk, limpasan dari daerah
pemukiman (domestik), dan limpasan dari daerah perkotaan (Effendi 2003). Davis dan
Cornwell (1991) mengemukakan beberapa jenis pencemar dan sumbernya seperti yang
tertera pada Tabel 1.
Masalah pencemaran merupakan masalah besar dan pada umumnya merupakan
salah satu dampak negatif dari kemajuan bidang industri dan domestik. Limbah industri
jika tidak ditangani dengan baik akan berdampak negatif bagi lingkungan, dan berakibat
buruk pada organisme-organisme yang hidup di dalam ekosistem tersebut dan pada
akhirnya akan berdampak buruk pada manusia. Bahan cemaran logam berat berasal dari
berbagai kegiatan, namun kegiatan industri umumnya menghasilkan logam berat dalam
limbahnya dalam jumlah yang lebih banyak dibanding kegiatan lainnya. Logam berat
ini dapat terakumulasi dalam tubuh ikan, udang dan hasil laut lainnya dan bersifat
racun, sehingga dapat membahayakan kesehatan manusia yang mengkonsumsi hasilhasil laut tersebut (Davis dan Cornwell, 1991 serta Klassen et al. 1991).
10
Tabel 1. Beberapa jenis pencemar dan sumbernya
Sumber Tertentu
(Point source)
Jenis Pencemar
X
Sumber Tak Tentu
(Non Point source)
Limpasan Limpasan
Daerah
Daerah
Perkotaan
Pertanian
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
X
-
Limbah
Limbah
Domestik Industri
1. Limbah
yang
dapat X
menurunkan kadar oksigen
X
2. Nutrien
X
3. Patogen
X
4. Sedimen
5. Garam-garam
6. Logam yang toksik
7. Bahan organik yang toksik 8. Pencemaran panas
Sumber : Davis dan Cornwell (1991)
X
X
X
X
X
-
2.1.1. Pencemaran Laut
Bagi sebagian besar organisme, air merupakan bahan terpenting kedua setelah
oksigen. Ketersediaan air dengan kualitas yang sesuai peruntukanya harus cukup dan
mudah didapatkan. Masuknya bahan, senyawa atau zat lain secara langsung maupun
tidak langsung ke air akan mengakibatkan fungsi air sehingga tidak berjalan
sebagaimana mestinya. Perubahan kualitas air dapat disebabkan oleh zat pencemar
perairan maupun senyawa yang masuk ke aliran air atau tersimpan didasar,
berakumulasi (khususnya pada endapan) dan suatu saat dapat terjadi pencucian atau
pengenceran. Senyawa tersebut, terutama yang beracun, berakumulasi dan menjadi
suatu konsenterasi tertentu yang berbahaya bagi mata rantai kehidupan. Haslam (1992)
membagi zat pencemar menjadi:
1. Organisme patogen seperti bakteri, virus, dan protozoa
2. Zat hara tanaman (garam-garam nitrat dan fosfat yang larut dalam air), yang
berasal dari penguraian limbah organik jika berlebihan dapat mengakibatkan
eutrofikasi.
3. Limbah organik biodegradable (limbah cair domestik, limbah pertanian, limbah
peternakan, limbah rumah potong hewan, limbah industri) yang dalam proses
dekomposisi oleh mikroorganisme (biasanya bakteri dan jamur untuk kemudian
menjadi zat-zat inorganik) memerlukan oksigen sehingga nilai BOD dari suatu
badan air tinggi.
11
4. Bahan inorganik yang larut dalam air (asam, garam, logam berat, dan senyawasenyawanya, anion, seperti sulfida, sulfit dan sianida).
5. Bahan-bahan kimia yang larut dan tidak larut (minyak, plastik, pestisida, pelarut,
PCB, fenol, formaldehida, dan lain-lain). Zat-zat tersebut merupakan penyebab
yang sangat beracun bahkan pada konsentrasi yang rendah (<1 ppm).
6. Zat-zat/bahan-bahan radioaktif.
7. Pencemaran thermal ; biasanya dalam bentuk limbah air panas yang berasal dari
kegiatan suatu pembangkit tenaga. Pencemaran ini dapat mengakibatkan
naiknya temperatur air, meningkatkan rasio dekomposisi dari limbah organik
yang biodegradable dan mengurangi kapasitas air untuk menahan oksigen.
8. Sedimen (suspended solid); merupakan partikel yang tidak larut atau terlalu
besar untuk dapat segera larut. Kecenderungan sedimen untuk tinggal di dasar
air tergantung pada ukurannya. Rasio aliran (flow rate) dan besarnya turbulensi
yang ada pada suatu badan air. Partikel yang berukuran antara 1µm hingga 1nm,
tetap dapat “melayang” dalam air, yang disebut colloidal solid. Air yang banyak
mengandung colloidal solid terlihat seperti air susu.
Jumlah sedimen
mempengaruhi turbiditas air, dan kualitasnya mempengaruhi warna.
Air dengan kotoran dari masyarakat dan rumah tangga dan juga berasal dari
industri, air tanah, air permukaan serta dari buangan lainnya disebut air limbah
(Sugiharto 1987). Metcalf dan Eddy (2002) menambahkan air buangan tersebut berasal
dari air yang digunakan pada berbagai kegiatan manusia, sehingga terdapat perubahan
karakteristik air. Rump (1999) menerangkan lebih lanjut bahwa perubahan karakteristik
tersebut berupa perubahan komposisi air setelah digunakan oleh manusia. Kualitas air
merupakan indikator kondisi perairan apakah masih dalam keadaan baik atau tercemar
(Kupchella dan Hyland 1993).
Perubahan komposisi tersebut terjadi karena masuknya substansi unsur yang
langsung dapat terdegradasi, unsur yang tidak langsung dapat terdegradasi, nutrisi untuk
organisme autotrof, logam berat, garam, air buangan panas dan organisme patogen.
Substansi tersebut bila masuk ke badan air dapat memberikan pengaruh pada kehidupan
organisme akuatik dan manusia, sehingga kehidupan organisme dan manusia terganggu.
Menurut Health Departement of Western Australia, air limbah terdiri dari 99,7% air dan
0,3% bahan lain, sedangkan menurut Mara dan Cairncross (1994) dan Sugiharto (1987)
12
air limbah terdiri dari 99,9% air dan 0,1% bahan lain seperti bahan padat, koloid dan
terlarut. Bahan lain tersebut terbagi atas bahan organik dan anorganik. Bahan organik
dalam air limbah terbagi atas 65% protein, 25% karbohidrat dan 10% lemak, sedangkan
bahan anorganiknya terbagi menjadi butiran, garam dan metal (Sugiharto 1987). Skema
pengelompokan bahan yang terkandung dalam air limbah dapat dilihat pada Gambar 2.
Air limbah
Air (99%)
Bahan padat (0.1%)
Organik
Anorganik
Gambar 2. Skema pengelompokan bahan yang terkandung dalam air limbah
(Sugiharto 1987)
Dahuri (2003) menyatakan pengaruh yang membahayakan bagi kehidupan biota,
sumberdaya, kenyamanan ekosistem laut, baik disebabkan secara langsung maupun
tidak langsung oleh pembuangan bahan-bahan atau limbah ke dalam laut yang berasal
dari kegiatan manusia, merupakan definisi pencemaran laut. GESAMP (Group of
Expert on Scientific Aspect on Marine Pollution), dalam Sanusi (2006) mendefenisikan
pencemaran laut sebagai masuknya zat-zat (substansi) atau energi ke dalam lingkungan
laut dan estuari baik langsung maupun tidak langsung, akibat adanya kegiatan manusia
yang menimbulkan kerusakan pada lingkungan laut, kehidupan di laut, kesehatan
manusia, mengganggu aktivitas di laut (usaha penangkapan, budidaya, alur pelayaran)
serta secara visual mereduksi keindahan (estetika). Berdasarkan Peraturan Pemerintah
Nomor 19 Tahun 1999, pencemaran laut diartikan dengan masuknya atau
dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam
lingkungan laut oleh kegiatan manusia sehingga kualitasnya turun sampai ke tingkat
tertentu yang menyebabkan lingkungan laut tidak sesuai lagi dengan baku mutu
dan/atau fungsinya.
Sanusi (2006) menjabarkan sifat toksik dan persistensi dari polutan yang masuk
ke laut selain tergantung pada karakter fisik dan kimianya juga dari faktor lingkungan
lautnya, yakni
13
1. Kemantapan ekosistem (constancy); terkait dengan besar kecilnya pengaruh
perubahan;
2. Persistensi ekosistem (persistent); terkait dengan lamanya waktu untuk
kelangsungan proses-proses normal ekosistem;
3. Kelembaman ekosistem (inertia); terkait dengan kemampuan bertahan terhadap
gangguan eksternal;
4. Elastisitas ekosistem (elasticity); terkait dengan kekenyalan/kemampuan
ekosistem untuk kembali ke keadaan semula setelah mengalami gangguan;
5. Amplitudo ekosistem (amplitude); terkait dengan besarnya skala gangguan
namun daya pulih (recovery) masih memungkinkan.
2.1.2. Pencemaran di Teluk Jakarta
Sutamihardja et al. (1982) menjelaskan bahwa faktor yang menyebabkan
pencemaran di Teluk Jakarta merupakan faktor yang sama yang menyebabkan
pencemaran di laut, yakni:
1. Penggundulan hutan pada wilayah hulu dan penambangan pasir di daerah aliran
sungai akan mengakibatkan erosi dan sedimentasi
2. Penggunaan pupuk kimia dan berbagai macam pestisida untuk intensifikasi
pertanian mengakibatkan residu bahan kimia dan pestisida masuk ke aliran
sungai dan laut.
3. Pemanfaatan sungai sebagai tempat sampah yang menyebabkan berbagai limbah
mengalir ke sungai dan akhirnya ke laut. Sampah padat sudah menimbulkan
masalah di kota-kota besar. Limbah padat ini dapat ditemukan di mana-mana,
ditimbun di tanah lapang tak terpakai, membusuk, terlarut dan masuk ke selokanselokan menuju ke sungai dan ke laut. Fungsi lain sungai yang kurang tepat,
digunakan untuk MCK, misalnya di Sungai Ciliwung.
4. Minyak dapat mencemari lautan melalui dua cara, yakni, (a) sebagai hasil
pemeliharaan bangunan di laut dan pecucian kapal dan (b) akibat kecelakaan
kapal tangki. Pada tahun 2009 di wilayah Selat Malaka dan Singapura telah
terjadi 25 kecelakaan kapal tangki, tubrukan atau terkandas.
14
5. Pengoperasian PLTU memerlukan air pendingin yang diambil air laut. Setelah
digunakan air pendingin akan dibuang sebagai limbah panas. Di Teluk Jakarta
terdapat dua lokasi PLTU, yakni di Muara Karang dan di Tanjung Priok.
6. Pencemaran dari kegiatan industri yang diakibatkan oleh faktor:
a. Perencanaan kompleks industri yang tak teratur.
b. Perluasan kota yang masuk ke kawasan industri menyebabkan berbaurnya
pemukiman dengan kompleks industri.
c. Tak tersedianya atau adanya pengolahan limbah yang tak sempurna.
d. Karena kondisi yang miskin, air digunakan untuk industri dan untuk
keperluan rumah tangga.
e. Kesadaran akan bahaya limbah industri yang kurang atau tak ada.
f. Kemampuan pulih-diri sungai-sungai yang menerima limbah yang
berbeda.
g. Musim kering yang mengakibatkan debit air sangat rendah.
Pada wilayah DKI Jakarta, yang sebagian besar daerah pemukiman maupun
industrinya membuang limbah ke sungai tanpa diolah terlebih dahulu, akan sangat
mempengaruhi kualitas Teluk Jakarta.
Japan Internasional Cooperation Agency
(JICA), menyatakan tahun 2010 jumlah limbah cair industri dari DKI Jakarta akan
mencapai 256,631 m3/hari dengan beban polusi organik 118,600 kg BOD/hari. Kondisi
pencemaran tersebut menjadi antara enam (6) sampai dengan sembilan kali (19) lipat
dibandingkan pada awal dekade 1990.
Masalah lain yang berkaitan dengan kualitas air di Teluk Jakarta pada saat ini
adalah terjadinya eutrofikasi, bahkan pada kawasan pesisir telah terjadi kondisi hypereutrofikasi (Damar 2004). Mulyono (2000) menyatakan eutrofikasi pada perairan Teluk
Jakarta disebabkan dua hal yakni: (a) beban (load) bahan pencemar yang dibawa
melalui sungai dan saluran-saluran pembuangan (out full) yang bermuara ke perairan
Teluk Jakarta dan (b) proses fisik, kimia dan biologi yang terjadi di perairan Teluk
Jakarta.
2.2. Logam Berat
Manahan (1995) dan Vries et al. (2002) menyatakan bahwa logam berat adalah
unsur yang termasuk ke dalam logam transisi dan umumnya bersifat trace elements. De
15
Groot, Salomons, Allersma (1976) mengemukakan bahwa yang juga termasuk pada
logam berat adalah Cr, Mn, Fr, Co, Ni Cu dan Zn yang berada di baris pertama di logam
transisi pada tabel periodik (Gambar 3). Selanjutnya Palar (2004) menambahkan logam
berat merupakan istilah untuk mengelompokan ion-ion logam berat dalam tiga
kelompok secara biokimia, yakni
(1) Logam yang dengan mudah mengalami reaksi dengan unsur oksigen (oxygen
seeking metals)
(2) Logam yang dengan mudah megalami reaksi kimia bila bertemu dengan unsur
nitrogen atau belerang atau sulfur (nitrogen sulfur-seeking metals)
(3) Logam antara atau transisi yang memiliki sifat spesifik sebagai logam pengganti
(ion pengganti)
Palar (2004) menyatakan bahwa logam berat memiliki spesifikasi gravitasi lebih
dari 4 dengan nomer atom 22-34 dan 40-50 serta unsur lantanida dan aktinida serta
memiliki respon biokimia spesifik (khas) pada mahluk hidup. Mamboya (2007) dan
Sanusi (2006) menambahkan, secara umum logam berat merupakan unsur kimia dengan
berat jenis lebih besar dari 5 g/cm3 dan densitas lebih dari 5 g/ml. Berdasarkan hal
tersebut maka terdapat kurang lebih 53 dari 90 unsur alami yang termasuk pada kategori
logam berat, sedangkan menurut Vouk (1986) terdapat 80 jenis dari 109 unsur kimia di
muka bumi ini yang telah teridentifikasi sebagai jenis logam berat.
Selanjutnya
Manahan (1995) menyatakan bahwa sebagian besar logam berat memiliki afinitas (daya
tarik atau bergabung) tinggi terhadap sulfur dan akan menonaktifkan enzim dengan cara
memutus ikatan sulfur. Vouk (1986) menambahkan logam berat akan bekerja sebagai
penghalang kerja enzim, sehingga proses metabolisme tubuh terputus. Manahan (1995)
juga menyatakan bahwa logam berat juga dapat mengendapkan fosfat dan mengkatalis
penguraian fosfat. Selain itu logam berat dapat melakukan ikatan kimia dengan gugus
protein asam karboksilat (-CO2H) dan gugus amino (-NO2 ).
16
Gambar 3. Tabel periodik ( http://www.ptable.com/)
Moore dan Ramamoorthy (1984) menjelaskan lebih lanjut sifat logam berat,
yakni:
1) Sulit didegradasi, sehingga mudah terakumulasi dalam lingkungan perairan dan
keberadaannya secara alami sulit terurai (dihilangkan);
2) Dapat terakumulasi dalam organisme termasuk kerang dan ikan;
3) Memiliki EC10 dan LC50 - 96 jam yang rendah;
4) Memiliki waktu paruh yang tinggi dalam tubuh biota laut;
5) Memiliki nilai faktor konsentrasi (concentration factor atau enrichment factor)
yang besar dalam tubuh biota laut. Faktor konsentrasi atau disebut pula koefisien
bioakumulasi adalah rasio antara kadar polutan dalam tubuh biota akuatik dan
kadar polutan yang bersangkutan dalam kolom air.
Alloway (2001) menyatakan bahwa pada dasarnya logam berat dibagi lagi
menjadi dua kelompok, yakni logam berat yang bersifat esensial dan logam berat yang
bersifat non esensial. Logam berat esensial adalah logam berat yang dibutuhkan oleh
tubuh organisme untuk melaksanakan proses-proses fisiologis dalam tubuhnya. Apabila
dalam tubuh terjadi kekurangan logam berat esensial, maka akan mengakibatkan
munculnya penyakit atau bahkan kematian pada mahluk hidup, baik pada tumbuhan
maupun pada hewan. Adapun contoh dari elemen esensial antara lain adalah unsur Co
17
yang merupakan elemen esensial untuk bakteria dan hewan, unsur Cr untuk hewan,
unsur Cu untuk tumbuhan dan hewan, unsur Mn untuk tumbuhan dan hewan, unsur Mo
untuk tumbuhan, unsur Ni untuk tumbuhan, unsur Se untuk hewan dan unsur Zn untuk
tumbuhan dan hewan.
Contoh logam berat non esensial antara lain adalah unsur Ag, As, Ba, Cd, Hg,
TI, Pb, Sb. Hingga saat ini manfaat unsur-unsur tersebut belum diketahui, sehingga
peran unsur-unsur tersebut masih belum jelas apakah sama seperti logam berat esensial
atau tidak. Namun demikian logam berat non esensial tersebut di atas sudah terbukti
memiliki dampak racun jika terdapat dalam jumlah yang melebihi ambang batas yang
sudah ditentukan. Selanjutnya Alloway (1995) menambahkan bahwa logam berat yang
berpotensi bahaya (menjadi racun) adalah As, Cd, Cu, Cr, Hg, Pb dan Zn.
Pada dasarnya jika suatu jenis logam berat terdapat dalam tanah, maka akan
terjadi beberapa kemungkinan, dan salah satu kemungkinan yang akan terjadi adalah
terjadinya reaksi kimia dari logam berat tersebut. Adapun reaksi yang mungkin terjadi
terhadap logam berat dalam tanah jika dalam tanah tersebut terdapat senyawa organik
atau senyawa inorganik antara lain adalah:
-
membentuk senyawa larut, komleks dari berbagai macam molekul
-
presipitasi atau kopresipitasi
-
terinkorporasi ke dalam struktur mineral
-
terakumulasi atau terfiksasi ke dalam bahan biologi
-
dikompleks dengan agen pengkhelat
-
diabsorb dalam mineral liat atau koloid organik
Pada dasarnya sifat logam berat tidak hanya ditentukan oleh sifat fisika dan sifat
kimia logam berat tersebut, namun juga dipengaruhi oleh unsur eksternal, yakni
dipengaruhi oleh kondisi lingkungan dan berbagai faktor lingkungan tempat logam
tersebut berada. Adapun faktor-faktor yang mempengaruhi sifat logam berat tersebut
antara lain adalah kemasaman lingkungan (misalnya kemasaman tanah atau kemasaman
air), bahan organik yang terdapat di lingkungan tempat logam berat tersebut berada,
suhu, tekstur, mineral liat serta unsur logam berat lainnya. Sebagai contoh dalam hal
kemasaman lingkungan, dapat disitir pendapat Stotzki (1978) dan Klein dan Trayer
(1995) yakni, jika logam berat tersebut berada pada lingkungan dengan pH antara 7-7,5,
misalnya unsur Cd akan dalam bentuk bebas Cd 2+ dan Cd(OH)+. Namun demikian jika
18
pH lingkungan berada pada nilai 9, maka bentuk Cd akan berubah menjadi Cd(OH)2.
Berdasarkan hal tersebut, maka secara umum penurunan pH akan meningkatkan
ketersediaan logam berat kecuali Mo dan Sn. Hal ini disebabkan pada pH yang rendah,
logam berat akan lepas atau larut dalam air, sehingga konsentrasinya dalam air
mengalami peningkatan.
2.3. Pencemaran dan Toksisitas Logam Berat
Logam berat merupakan bahan buangan hasil kegiatan yang menimbulkan
pencemaran terutama perairan laut di negara berkembang. Sumber limbah yang banyak
mengandung logam berat biasanya berasal dari aktivitas industri, pertambangan,
pertanian dan pemukiman. Bryan dalam Rochayatun et al. (2005) menyatakan 18 jenis
logam berat yang dipertimbangkan sebagai bahan pencemar, terutama dalam jumlah
berlebih sangat beracun bagi kehidupan organisme. Pada batas dan kadar tertentu,
semua logam berat dapat menimbulkan pengaruh yang negatif terhadap organisme
perairan.
Bryan (1984) dalam Darmono (2001) menambahkan dampak negatif tersebut
dipengaruhi juga oleh jenis logam, interaksi antar logam dan jenis racun lainnya, spesies
hewan, daya permeabilitas organisme, dan mekanisme detoksikasi serta pengaruh
lingkungan seperti suhu, pH, dan oksigen. Faktor lain yang mempengaruhi toksisitas
logam berat adalah suhu dan pH, salinitas dan kesadahan (Hutagalung, 1984).
Toksisitas logam berat semakin tinggi saat terjadi penurunan pH dan/atau penurunan
salinitas perairan dan/atau meningkatnya suhu. Toksisitas logam berat akan menurun
seiring meningkatnya kesadahan.
Sanusi (2006) menyatakan saat peningkatan
kesadahan, logam berat akan membentuk senyawa komplek dan mengendap pada
substrat sehingga toksisitasnya menurun.
Moore dan Ramamoorthy (1984) mengelompokan logam berat berdasarkan sifat
toksisitasnya, yaitu bersifat toksik tinggi, sedang, dan rendah. Logam berat yang bersifat
toksik tinggi terdiri dari unsur-unsur Hg, Cd, Pb, Cu, dan Zn. Logam berat yang bersifat
toksik sedang terdiri dari unsur-unsur Cr, Ni, dan Co, sedangkan bersifat tosik rendah
terdiri atas unsur Mn dan Fe. Adanya logam berat di perairan, berbahaya baik secara
langsung terhadap kehidupan organisme, maupun efeknya secara tidak langsung
terhadap kesehatan manusia.
19
Darmono (1995) menyatakan pencemaran logam berat yang terjadi di wilayah
estuaria, erat hubungannya dengan penggunaan logam tersebut oleh manusia. Pada air
laut dilautan lepas kontaminasi logam berat biasanya terjadi secara langsung dari
atmosfer atau karena tumpahan minyak dari kapal-kapal tanker yang melaluinya,
sedangkan di daerah sekitar pantai kontaminasi logam kebanyakan berasal dari mulut
sungai yang terkontaminasi oleh limbah buangan industri atau pertambangan. Pada
daerah-daerah perindustrian, sungai dan laut sekitarnya umumnya berangsur-angsur
menerima tekanan terus menerus. Muara sungai umumnya merupakan alur perjalanan
bahan cemaran yang dibawa melalui sungai dari aktivitas didarat ke laut (Rochyatun et
al. 2005).
2.4. Karakteristik Logam Berat
2.4.1. Merkuri (Hg)
Merkuri (hydrargyrum atau Hg) memiliki nomor atom 80 dengan berat atom
200,59 g/mol (Cotton dan Wilkinson 1989).
Sumber alami merkuri berasal dari
pelapukan batuan dan erosi tanah yang mengandung HgS (cinnabar) (Effendi 2003). Lu
(2006) menambahkan kegiatan antropogenik seperti penambangan, peleburan bahan
logam, pembakaran bahan bakar fosil, dan proses produksi baja, semen dan fosfat
merupakan sumber merkuri yang dapat menambah keberadaannya di alam.
Merkuri dan turunannya banyak dipakai dalam pembuatan cat, baterai, komponen
listrik, ekstraksi emas dan perak, gigi palsu, senyawa anti karat (anti fouling), serta
fotografi dan elektronik. Pada industri kimia yang memproduksi gas klorin dan asam
klorida juga menggunakan merkuri. Penggunaan merkuri dan komponen-komponennya
juga sering dipakai sebagai pestisida (Baird 1995; Darmono 1995; Effendi 2003;
Fardiaz 2005). Logam merkuri sering dipakai sebagai katalis dalam proses di industriindustri kimia, terutama pada industri vinil khlorida yang merupakan bahan dasar dari
berbagai plastik. Pada alat-alat pencatat suhu seperti termometer, cairan yang dipakai
pada umumnya adalah logam merkuri karena bentuknya yang cair pada kisaran suhu
yang luas, uniform, pemuaian serta konduktivitasnya tinggi (Fardiaz 2005).
Penggunaan merkuri terkait dengan sifat merkuri yang dijabarkan oleh Darmono
(1995); Effendi (2003); Fardiaz (2005):
20
1. Berbentuk cair pada suhu kamar (25oC) dan memiliki titik beku yang paling
rendah dibanding logam lainnya (-39oC). Dalam bentuk cair, merkuri memiliki
kisaran suhu yang lebar (396 oC)
2. Volatilitas yang tinggi dibanding logam lainnya
3. Konduktor yang baik dengan ketahanan listrik yang rendah
4. Mudah dicampur dengan logam lain menjadi logam campuran yang disebut
logam campuran (amalgam/alloy);
5. Toksik terhadap semua makhluk hidup
Toksisitas mekuri yang sangat tinggi, mengakibatkan hanya bakteri anaerobik saja
yang dapat melakukan mobilisasi terhadap logam ini. Manahan (2001) menyatakan
merkuri ditemukan sebagi trace komponen pada banyak mineral, dengan kandungan di
bebatuan kurang lebih 80 ppb atau kurang. Cinnabar atau merkuri sulfida merah
merupakan salah satu jenis merkuri yang sangat mahal. Fosil batu bara dan lignite
mengandung merkuri kurang lebih 100 ppm atau lebih dari itu.
Logam merkuri
dihasilkan secara alamiah dari pengolahan bijihnya, cinnabar, dengan menggunakan
oksigen melalui reaksi (1) dibawah ini:
HgS + O2
Hg + SO2 ……….(1)
Logam merkuri yang dihasilkan ini, digunakan dalam sintesa senyawa- senyawa
anorganik dan organik yang mengandung merkuri. Dalam kehidupan sehari-hari,
merkuri berada dalam tiga bentuk dasar, yaitu merkuri metalik, merkuri anorganik dan
merkuri organik.
Di lingkungan perairan, merkuri organik dan anorganik paling
mendominasi (Fardiaz 2005; Lu 2006; Sanusi 2006), seperti dinyatakan sebagai berikut:
a. Merkuri anorganik, ion logam merkuri (Hg2+) dan garam-garamnya seperti
merkuri klorida (HgCl2) dan merkuri oksida (HgO2);
b. Komponen merkuri organik:

Aril merkuri, mengandung hidrokarbon aromatik seperti fenil merkuri
asetat

Alkil merkuri, mengandung hidrokarbon alifatik dan merupakan merkuri
yang paling beracun, misalnya metil merkuri dan etil merkuri

Alkoksialkil merkuri (R-O-Hg).
21
Pada lingkungan perairan, merkuri dapat ditemui dalam 3 bentuk yaitu Hg0, Hg+ dan
Hg2+, bentuk-bentuk ini sangat ditentukan oleh rekasi oksidasi dan reduksi yang ada. Di
perairan yang konsentrasi oksigennya rendah atau dalam kondisi tereduksi, maka
kebanyakan dari merkuri ini akan terbentuk dalam Hg0 dan Hg+, sedangkan merkuri
akan berbentuk Hg2+ dalam kondisi yang kaya akan oksigen atau kondisi oksidasi.
Merkuri akan menjadi HgS jika terdapat sulfit dalam perairan (Sanusi dan Putranto,
2009). Di perairan yang tidak tercemar, kadar Hg2+ terlarut sebanyak 0,02–0,1 mg/l
(air tawar) dan <0,01–0,03 mg/l (air laut) (Sanusi 2006).
Sifat Hg yang sangat reaktif membuat Hg sangat mudah membetuk ikatan- ikatan
komplek dengan ligan organik dan inorganik. Ikatan dengan ligan organik seperti grup
alkyl dan aryl yang ada dalam perairan seperti CH3-Hg+, (CH3)2-Hg+, CH3(CH2)-Hg+,
dsb. Ikatan merkuri dengan ligan inorganik akan menghasilkan sifat amphypilic
seperti CH3-HgCl dan hydrophobic seperti CH3-Hg+ dan (CH3)2-Hg. Senyawa organik
Hg yang bersifat toksik adalah CH3-Hg+ yang terbentuk akibat proses metilasi dalam
perairan. Proses metilasi ini sangat dipengaruhi oleh temperatur, kondisi redoks, kadar,
ukuran partikel sedimen, aktivitas metabolisme bakteri dan jumlah ligan organik yang
ada. Terdapat beberapa senyawa organik-Hg, namun senyawa yang bersifat toksik
adalah CH3-Hg+ yang terbentuk oleh proses metilasi dalam perairan, seperti ditampilkan
dalam reaksi (2) (Baird 1995):
……….(2)
Moore dan Ramamoorthy (1984) menambahkan bahwa merkuri juga melakukan
ikatan kordinasi dengan ligan-ligan yang ada dalam perairan seperti HgCl2 dan
Hg(OH)2. Faktor-faktor yang mempengaruhi proses ini adalah kandungan kadar Hg,
ligan yang tersedia, pH perairan dan oksigen terlarut. Sebagai contoh, pada lingkungan
laut yang memiliki kadar salinitas tinggi, ligan Cl- -nya akan tersedia dalam jumlah yang
cukup, sehingga kebanyakan dari Hg akan membentuk spesiasi menjadi HgCl42+.
HgCl2 dan komplek kloro-merkuri lainnya merupakan jenis merkuri yang dominan di
22
lautan. Pada perairan tawar dan estuaria yang memiliki pH rendah (4,0-6,0), ion Hg2+
nya akan mengalami hidrolisis membentuk Hg(OH)2 dan merupakan jenis yang
dominan di lingkungan ini. Hubungan antara pH dan kadar Cl- dalam pembentukan
jenis senyawa Hg diperlihatkan pada Gambar 4.
Sanusi (2006) menyatakan proses metilasi Hg pada kolom perairan dan sedimen
dipengaruhi oleh bahan organik, ketersediaan logam berat donor, ukuran partikel
sedimen, temperatur, kondisi reduksi-oksidasi dan aktivitas metabolik bakteri (jenis
Clostridium, Methanobacter, Neurospora, Pseudomonas). Pada perairan yang telah
tercemar bahan organik, keberadaan Hg dapat mempengaruhi kesuburan dan trophic
level-nya. Pada sedimen, proses pembentukan kompleks organik-Hg dipengaruhi oleh
ukuran partikel sedimen, kandungan bahan organik pada sedimen, dan pH (Sanusi
2006). Proses adsorpsi Hg efektif pada sedimen halus (luas permukaannya besar) dan
efektif pada ketebalan sedimen 1 mm
Gambar 4. Hubungan antara pH, kadar Cl- dan pembentukan spesiasi Hg (Moore dan
Ramamoorthy 1984)
Konsentrasi merkuri jauh lebih tinggi di lingkungan pantai bila dibandingkan
dengan laut terbuka. Pantai dan estuari yang belum tercemar mengandung kurang lebih
20 ng/L mekuri. Kandungan merkuri yang lebih tinggi ditemukan di di Estuaria
Derwent, Tasmania yang mengandung lebih dari 350 ng/L merkuri, sebagai
perbandingan, Tabel 2 menunjukkan konsentrasi merkuri di beberapa tempat.
Konsentrasi elemen merkuri organik akan semakin meningkat dengan bertambahnya
23
kedalaman. Konsentrasi merkuri yang berasosiasi dengan suspended material di sungai
dan estuari kurang lebih 12 μg/L. Kurang lebih 0,4-2,7 μg/L merkuti ditemukan di
Sungai Seine, Prancis. Sedimen lautan dan estuaria yang belum tercemar mengandung
kurang lebih 0,2 μg/g merkuri atau bahkan kurang, sedangkan di Teluk Fransisco, Teluk
Belingham dan Teluk Chesapeake yang sudah tercemar mengandung merkuri sebanyak
0,4-10,7 μg/g. Sedimen dari basin Lautan Arctic mengandung 0,034-0,116 μg/g merkuri
(Neff 2002).
Tabel 2. Konsentrasi merkuri (ng/l) di beberapa tempat
Location
Dogger Bank, North Sea
North Sea, Offshore
North Sea, Nearshore
Offshore Great Britain
English Channel
Straits of Dover
British Estuaries
Lapdev Sea, N. Russia
Kara Sea, N. Russia
North Atlantic Surface Water
Equatorial Pacific Deep Water
Halifax harbor, Canada
Patuxent River Estuary, MD
Scotian Shelf, Surface Water
Scotian Shelf, Deep Water
Eastern Atlantic Ocean, Surface water
Eastern Atlantic Ocean, Deep water
North Atlantic Ocean
Mediterranean Sea, 1-1500 m
South Florida Estuaries
Sumber: Neff (2002)
Total
Mercury
Reactive
Mercury
0.19-0.42
0.34
0.72
<0.2-6.7
0.19-4.1
0.12-1.3
0.35-19.0
0.80-2.7
0.14-3.4
0.31
0.04-0.30
0.10-0.50
0.16-1.28
3.0-7.4
0.16-0.38
0.19
0.02-1.2
1.2
0.66-0.94
0.24-0.76
0.07-0.14
0.07-0.29
0.05-0.19
-
Menurut Neff (2002) pembentukan komplek logam dengan material organik dapat
mengurangi pengambilan logam oleh organisme laut. Pengambilan merkuri oleh Uca
pugnax dan kerang Modiolus demisscus menurun seiring dengan semakin banyaknya
material organik yang masuk ke lingkungannya. Methylmerkuri lebih cepat diakumulasi
oleh organisme bila dibandingkan dengan merkuri inorganik dan plankton dapat
24
menyerap kedua jenis merkuri ini. Kebanyakan dari merkuri yang masuk ke dalam
tubuh organisme ini akan di akumulasi dalam jaringan tubuh organisme.
Cacing
polychaeta Capitala capitata, kebanyakan mendapat merkuri dari alga atau detritus
yang dimakannya.
Pada lobster Nephrops norvegica akumulasi merkuri terjadi di
bagian insang dan hepatopankreasnya.
Setiap organisme memiliki pebedaan
konsentrasi merkuri pada tiap jaringannya (Tabel 3). Organisme sendiri dapat
mengasimilasi merkuri yang masung ke dalam tubuhnya (Tabel 4).
Tabel 3. Konsentrasi merkuri (mg/l) pada jaringan beberapa organisme laut dari Telyk
Terra Nova, Antartica
Spesies
Scallop (Adamussium colbecki)
Fish (Trenuttomus bernacchii)
Adelie Penguin (Pygoscells adeliae)
Weddell Seal (Leptonychotes weddellii)
Sumber: Neff (2002)
Otot
0,2
0,83
0,6
1,85
Hati
0,35
0,46
1,6
44
Organ Lain
0,86 (insang)
0,94 (ginjal)
1,20 (ginjal)
24,0 (limfa)
Tabel 4. Efisiensi merkuri inorganik dan methyl merkuri dari makanan dan sedimen
oleh organisme laut
Efisiensi Asimilasi (%)
Animal
Food
Hg(II)
CH3Hg
Polychaetes Nereis succinia
Oxic sediment
7-22
66-75
Mussel Mytilus edulis
Oxic sediment
1-9
30-87
Copepod Acartia tonsa
Diatoms
15
62
Fish Cyprinodon variegatus
Copepods
37
76
Plaice Pleuronectes platessa
Polychaetes
5
80
Sumber: Neff (2002)
Hasil penelitian Mance (1990) memperlihatkan bahwa pada embrio ikan Fundulus
heteroclitus yang terpapar dengan merkuri 0,067 mg/liter akan mengalami kematian
populasi 50% (LC50) setelah 4 hari percobaan, setelah 32 hari pemaparan didapatkan
bahwa merkuri juga akan mengurangi tingkat kesuksesan penetasan dan proses setelah
penetasan.
Fase zoea pada krustasea juga memiliki respon yang sensitif terhadap
merkuri seperti halnya pada ikan. Percobaan yang dilakukan pada kepiting Cancer
magister menunjukkan LC50 setelah terpapar selama 4 hari dengan merkuri sebanyak
0,008 mg/liter. Efek yang sama didapatkan pada Penaeus indicus dengan konsentrasi
25
merkuri yang lebih tinggi yaitu 0,015 mg/liter, namun spesies ini tidak menunjukkan
efek yang berarti setelah terpapar dengan merkuri selama 28 hari pada konsetrasi 0,006
mg/liter. Pada larva bivalvia spesies Crassostrea gigas dan Mytilus edulis setelah
terpapar dengan Hg dengan median efek konsentrasi (EC50) masing-masing sebanyak
0,0067 dan 0,0058 mg/liter akan menunjukkan perkembangan larva yang tidak normal.
2.4.2. Kadmium (Cd)
Kadmium disingkat dengan Cd (cadmium) memiliki nomor atom 49, dengan berat
atom 112,41 g/mol, memiliki titik didih dan titik leleh masing-masing 765 oC dan 320,9
o
C (Cotton dan Wilkinson 1989). Kadmium hampir selalu ditemukan dalam jumlah
yang kecil dalam bijih-bijih seng, seperti sphalerite (ZnS). Greenokcite (CdS)
merupakan mineral satu-satunya yang mengandung kadmium. Hampir semua kadmium
diambil sebagai hasil produksi dalam persiapan bijih-bijih seng, tembaga dan timbal.
Sumber utama polutan kadmium berasal dari aktivitas industri dan sisa-sisa
penambangan.
Produksi kadmium setiap tahunnya adalah 15.000–20.000 ton, dan
kadmium tersebut diproduksi dari hasil penambangan (Paasivirta 2000). Sebagian besar
makanan mengandung sejumlah kecil kadmium. Padi-padian dan produk biji-bijian
biasanya merupakan sumber utama kadmium.
Asap rokok juga menyebabkan
meningkatnya kadmium di lingkungan (Baird 1995; Lu 2006). Kadmium mempunyai
sifat tahan panas, sehingga baik untuk campuran-campuran bahan-bahan keramik dan
plastik, kadmium juga sangat tahan terhadap korosi sehingga cocok untuk melapisi plat
besi dan baja (Darmono 1995).
Kadmium juga digunakan sebagai pigmen pada
keramik, pada penyepuhan listrik, serta dalam pembuatan aloy dan baterai alkali (Baird,
1995; Lu 2006). Baird (1995) mengemukakan bahwa kadmium juga sering di pakai
sebagai elektroda pada beterai kalkulator yang dikenal sebagai Ni-Cd (nikel kadmium).
Kadmium tergolong logam berat dan memiliki afinitas yang tinggi terhadap grup
sulfhidril daripada enzim dan meningkat kelarutannya dalam lemak. Pada perairan
alami yang bersifat basa, kadmium mengalami hidrolisis, teradsorpsi oleh padatan
tersuspensi dan membentuk ikatan kompleks dengan bahan organik.
Di perairan,
kadmium akan melakukan ikatan koordinasi dengan ligan organik dan anorganik seperti
CdSO4, Cd-Organik, CdCl+, Cd(OH), dan Cd2+. Kadmium akan menghasilkan produk
hidrolisis ketika terlarut oleh air (H2O) melalui reaksi (3):
26
Cd2+ + H2O
Cd(OH)+ + H+ ……….(3)
Ikatan kompleks tersebut memiliki tingkat kelarutan yang berbeda, yakni:
2+
Cd >CdSO4>CdCl+>CdCO3>Cd(OH)+ (Sanusi 2006).
Afinitas Cd terhadap anion
klorida dibandingkan dengan logam berat lainnya sesuai urutan adalah Hg > Cd > Pb >
Zn, dalam hal ini Cd menempati urutan kedua setelah Hg (Hahne dan Kroontje 1973
dalam Moore dan Ramamoorthy 1984). Bahan organik terlarut dalam perairan (gugus
asam amino, sistein, polisakarida dan asam karbosiklik) memiliki kapasitas membentuk
ikatan kompleks dengan Cd dan logam berat lainnya. Demikian pula keberadaan asam
humus (humic substances) dalam perairan seperti asam fulvik dan asam humik akan
membentuk ikatan kompleks (kelasi) dengan Cd.
Pada umumnya stabilitas ikatan
kompleks logam berat-asam humus mengikuti deret Irving–Williams (Irving–Williams
Order) sebagai berikut:
Mg<Ca<Cd~Mn<Co<Zn~Ni<Cu<Hg ……….(4)
Di perairan tawar kemampuan pembentukan kompleks Cd oleh asam humus
kurang lebih 2,7% daripada total Cd terlarut, sementara di perairan estuari lebih rendah
dari 1% daripada total Cd terlarut. Berdasarkan hal tersebut maka, selain ditentukan
oleh kadar asam humus dan Cd terlarut, parameter pH dan salinitas berperan dalam
membentuk ikatan kompleks logam berat-asam humus. Logam berat Cd terlarut dalam
air akan mengalami proses adsorpsi oleh partikel tersuspensi dan mengendap di
sedimen. Proses adsorpsi akan diikuti oleh proses desorpsi yang mengembalikan Cd
dalam bentuk terlarut dalam badan air (Sanusi 2006).
Kadmium dalam air laut
berbentuk senyawa klorida (CdCl2), sedangkan pada perairan tawar kadmium berbentuk
karbonat (CdCO3). Pada perairan payau kedua senyawa tersebut berimbang (Darmono
1995).
Kadar Cd di perairan alami berkisar antara 0,29–0,55 ppb dengan rata-rata 0,42
ppb. Konsentrasi kadmium di kolom permukaan air laut terbuka antara 1-100 ng/L.
Pada perairan pantai konsentrasinya kurang lebih 200 ng/L, namun konsentrasinya akan
meningkat menjadi 5000 ng/L di daerah estuaria yang berada di dekat daerah
pertambangan. Tabel 5 menunjukan konsentrasi kadmium terlarut di beberapa perairan.
Konsentrasi kadmium di daerah sungai umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan
daerah laut. Pada laut terbuka, konsentrasi kadmium terlarut akan semakin meningkat
dengan meningkatnya kedalaman, namun sebaliknya konsentrasi partikulat kadmium
27
akan tinggi di permukaan dan menjadi semakin berkurang dengan bertambahnya
kedalaman. Sebanyak 0,1-0,6 μg/g kadmium terkandung pada sedimen perairan yang
belum mengalami pencemaran. Di daerah Perairan Atlantik dan Teluk Florida
mengandung 0,01-0,3 μg/g kadmium dan konsentrasi kadmium ini berkorelasi positif
dengan kandungan aluminium. Di daerah Pelabuhan New Bedfor yang sudah tercemar,
konsentrasi kadmium dalam sedimen sekitar 52 μg/g dan 460 μg/g di Teluk Spencer
Australia Selatan. Kadmium juga ditemukan pada air interstitial dengan konsentrasi
0,002-108 μg/L. Konsentrasi kadmium di Teluk Villefrance, Prancis menurun seiring
dengan meningkatnya kedalaman dan meningkat lagi pada kedalaman lebih dari 27 cm
(Neff, 2002).
Tabel 5. Konsentrasi kadmium terlarut (μg/l) di beberapa perairan
Lokasi
Rentang Konsentrasi Cd
Northwestern Gulf of Mexico
0.001-0.02
San Andres Lagoon, Mexico
0.33
Savannah River Estuary, GA
0.002-0.016
Medway Estuary, Nova Scotia
0.008-0.214
British estuaries
0.007-0.22
British coastal waters
0.004-0.081
British coastal waters
0.02-1.38
North Sea
0.01-0.051
North Sea
0.006-0.025
Dogger Bank, North Sea
0.015-0.025
German Bight
0.016-0.046
English Channel
0.011-0.022
English Channel
0.011-0.063
Irish Sea
0.013-0.081
Eastern Atlantic Ocean
0.001-0.018
South Atlantic Ocean
0.028-0.084
Greenland Sea
0.007-0.028
E. Mediterranean Sea
0.0002- 11
S. China Sea
<0.003-0.118
Philippine Sea
<0.003-0.119
Pacific Ocean
0.067
Indian Ocean
0.083-0.113
Scotia/Weddell Sea, Antarctica
0.019-0.107
Sumber: Neff (2002)
28
Tabel 6. Konsentrasi kadmium (μg/g) pada jaringan otot beberapa organisme
Taksa
Jumlah Analisis Rentang Konsentrasi Cd
Total
710
0,001-277
Phytoplankton
9
0,04–4,6
Macroalgae
69
0,1–29,8
Seagrasses
2
1,0–4,9
Coelenterates
2
0,37–4,56
Ctenophores
4
0,10–13,1
Nemertines
9
0,04–9,6
Polychaetes
24
0,12–45,0
Zooplankton
11
0,10–7,0
Shrimp
50
0,001–13,3
Lobsters
9
0,05–13,4
Crabs
15
0,03–1,06
Crustaceans
23
0,14–117
Insects
2
16,8–61,6
Clams
44
0,05–26,1
Scallops
7
0,58–36,3
Mussels
108
0,02–65,5
Oysters
99
0,03–144
Snails
32
0,15–277
Squid
4
0,05–3,4
Chaetognaths
2
0,15–1,29
Echinoderms
5
0,14–4,65
Fish
128
0,001–5,80
Sea Turtles
8
0,30–2,85
Marine Birds
20
0,08–3,34
Marine Mammals
22
0,03–2,4
Sumber: Neff (2002)
Kadmium termasuk logam berat yang sangat sulit didegradasi oleh organisme,
sehingga kalau terabsopsi oleh tubuh organisme laut, maka konsentrasinya akan
menjadi semakin meningkat seiring dengan waktu. Biokonsentrasi kadmium dalam
tubuh fitoplankton sangat tergantung dari jumlah kadmium yang terlarut dalam kolom
perairan. Kebanyakan dari kadmium ini akan terakumulasi pada bagian insang
organisme dan beberapa organisme memiliki kemampuan untuk mentransfer kadmium
ini ke dalam ephitelliumnya. Setelah masuk ke dalam tubuh, kadmium yang masuk ke
dalam tubuh invertebrata, ikan, burung dan mamalia akan membentuk ikatan dengan
protein sebagai metallothionin. Pada kima Crasostrea gigas, kadmium kebanyakan
29
diakumulasi pada bagian ginjal. Pada lobster, kadmium dengan jumlah yang paling
banyak ditemukan pada organ hepatopankreas (Paasivirta, 2000). Tabel 6 menunjukkan
konsentrasi kadmium pada jaringan otot beberapa organisme.
Keracunan kadmium dapat bersifat akut dan kronis. Efek keracunan yang dapat
ditimbulkannya berupa penyakit paru-paru, hati, tekanan darah tinggi, gangguan pada
sistem ginjal dan kelenjer pencernaan serta mengakibatkan kerapuhan pada tulang
(Effendi 2003; Lu 2006).
Manahan (2001) menambahkan keracunan akut Cd ke
manusia akan menimbulkan efek yang sangat fatal, diantaranya meningkatkan tekanan
darah, kerusakan ginjal, perusakan jaringan testis dan merusak sel darah merah. Efek
ini hampir mirip apabila manusia mengalami keracunan Cd. Secara spesifik, Cd akan
menggantikan Zn yang ada dalam enzim. Toksisitas Cd lebih rendah bila dibandingkan
dengan toksisitas Hg dan Cu. Namun demikian, Cd dapat mereduksi klorofil, ATP, dan
mengurangi konsumsi O2 fitoplankton dengan konsentarsi 0,01-0,1 mg/l ketika
membentuk ikatan komplek CdCl2. Efeknya akan menjadi lebih toksik lagi ketika
konsentrasinya menjadi meningkat, misalnya dapat menyebabkan toksistas akut pada
ikan estuari pada konsentrasi Cd terlarut sebesar 8–85 mg/l (Mance 1990).
2.4.3. Timbal (Pb)
Timbal bernama latin plumbum (Pb), nomor atomnya 82 dan berat atomnya
207,20 g/mol (Cotton dan Wilkinson 1989). Timbal secara alami berasal dari pelapukan
batuan dan erosi tanah yang mengandung timbal sulfida (PbS) (Effendi 2003). Lu
(2006) menambahkan kegiatan antropogenik seperti penambangan, peleburan bahan
logam, pembakaran bahan bakar fosil, dan proses produksi baja, semen dan fosfat
merupakan sumber timbal yang dapat menambah keberadaannya di alam.
Dalam
pertambangan, timbal berbentuk timbal sulfida (PbS) yang disebut galena.
Penggunaan Pb yang paling besar adalah untuk baterai kendaraan bermotor.
Elektroda dari aki biasanaya mengandung 93% Pb dan 7% Sb (antimoni). Pb sangat
baik dalam merangsang arus listrik, yang dalam hal ini Pb berbentuk PbO2 dan Pb
logam. Pb juga dipergunakan dalam industri percetakan (tinta), sekering, alat listrik,
amunis, kabel dan solder. Sifatnya yang dapat mencegah terjadinya karat, membuat Pb
banyak dipergunakan untuk melapisi logam lain seperti untuk melapisi pipa-pipa air
atau pipa yang dialiri bahan yang bersifat korosif.
Lebih dari 200.000 ton Pb
30
dipergunakan dalam industri kimia yang berbentuk tetra-etil-Pb, yang biasanya
dicampur dengan bahan bakar minyak (BBM) dengan tujuan meningkatkan daya tahan
mesin. Sifat Pb yang tahan korosif dan sifat yang mudah menyatu dengan bahan lain,
mengakibatkan Pb banyak digunakan sebagai campuran cat misalnya Pb putih
(Pb(OH)22PbCO3), Pb merah, Pb merah cerah (Pb3O4) dan PbCrO4 untuk warna kuning.
Penggunaan lainnya adalah untuk produk-produk logam seperti amunisi, pelapis kabel,
pipa, solder, bahan kimia dan pewarna (Fardiaz 2005; Lu 2006; Darmono 1995).
Penggunaan timah hitam/timbal tersebut karena timbal memiliki sifat unggul
(Darmono 1995; Fardiaz 2005) yakni:
1. Mempunyai titik lebur yang rendah sehingga mudah digunakan dan murah biaya
operasinya.
2. Mudah dibentuk karena sifat logamnya yang lunak
3. Mempunyai sifat kimia aktif sehingga dapat dipergunakan untuk melapisi logam
untuk mencegah terjadinya perkaratan
4. Kepadatan melebihi logam lain
5. Timbal dapat membentuk alloy dengan logam lainnya, dan alloy yang terbentuk
mempunyai sifat yang berbeda dengan timbal murni
6. Memiliki densitas yang tinggi dibanding logam lain; kecuali emas dan merkuri,
yaitu 11,34 g/cm3
7. Sifat kimia timbal menyebabkan logam ini dapat berfungsi sebagai pelindung jika
kontak dengan udara lembab
Seperti logam berat lainnya, Pb juga merupakan unsur yang bersifat reaktif. Di
dalam badan perairan, Pb akan membentuk ikatan komplek dengan ligan organik dan
inorganik yang ada. Kelarutan timbal dalam air cukup rendah sehingga kadarnya relatif
sedikit. Pb akan membentuk ikatan komplek dengan logam organik apabila di ligan
organik tersebut mengandung unsur S, N, dan O. Pb sendiri akan membentuk Pb3(PO4)2
dan PbS jika tersedia ligan inorganik berupa fosfat (PO43-) dan sulfida (S2-). Pb juga
akan mengalami proses hidrolisis menjadi Pb(OH)+ dan akan terlarut pada saat pH
perairan lebih dari 6,0 dan menjadi Pb(OH)+ solid pada saat pH perairan lebih dari 10,0.
Berdasarkan hal tersebut, maka di lingkungan laut yang memiliki pH yang cenderung
basa (7,5-8,5), kebanyakan dari Pb ini ditemukan dalam bentuk Pb(OH)+ terlarut lebih
banyak bila dibandingkan dengan PbCl2 atau PbCO3. Bahan bakar yang mengandung
31
timbal (lead gasoline) memberikan kontribusi yang berarti bagi keberadaan timbal di
perairan. Kadar dan toksisitas timbal di perairan dipengaruhi oleh kesadahan, pH,
alkalinitas, dan kadar oksigen (Effendi 2003; Neff 2002; Sanusi 2009).
Konsetrasi timah hitam (timbal) pada perairan laut terbuka yang belum tercemar
kurang lebih 0,002-0,3 μg/L, namun konsetrasinya akan menjadi lebih dari 1 μg/L pada
perairan pantai atau perairan teluk. Konsentrasi timbal di Samudra Atlantik Utara pada
kondisi terlarut dan tersuspensi masing-masing 0,002-0,029 dan 0,0001-0,0004 μg/L.
Tabel 7 di bawah menunjukkan konsentrasi timbal di beberapa perairan. Konsentrasi
timbal di sedimen estuari dan pantai yang belum tercemar adalah 5-30 μg/g. Namun
konsentrasi timbal ini akan menjadi meningkat pada daerah pantai yang berdekatan
dengan pusat-pusat industri, seperti di sedimen Teluk San Francisco mengandung
kurang lebih 2900 μg/g timah (Neff, 2002).
Tabel 7. Konsentrasi timah terlarut (μg/l) di beberapa perairan
Lokasi
N. Atlantic Surface Water
S. Atlantic Surface Water
Bermuda
S. North Sea Surface Water
S. North Sea Bottom Water
Offshore UK Surface Water
British Estuaries
Bristol Channel & Severn Estuary, UK
Greenland Sea
Ross Sea, Antarctica
East China Sea
Gulf of Mexico off LA
Galveston Bay, TX
S. California Bight Offshore
S. California Bight Nearshore
San Francisco Bay, CA
Sumber: Neff (2002)
Pb Terlarut
0,002–0,029
0,003
0,016
0,008–0,20
0,017–0,087
0,021–0,19
0,023–1,1
0,02–10,0
0,004–0,104
0,005–0,027
0,041–0,517
0,02–0,05
0,009–0,02
0,004–0,012
0,009–0,06
0,041
Konsentrasi akumulasi timbal dalam tubuh organisme akan membentuk kurva
linier dengan jumlah timbal terlarut. Kebanyakan organisme air mengakumulasi logam
ini pada bagian insang dan mantel. Pada bivalvia yang sudah terkontaminasi logam
timbal ternyata memiliki kemampuan untuk melepaskan logam ini kembali ke dalam
perairan setelah dilepas pada daerah yang tidak terkontaminasi. Akumulasi logam ini
32
dapat melalui rantai makanan seperti Capitela capitata yang mengakumulasi timbal dari
detritus dan alga yang dimakannya dan konsentrasinya dalam tubuh akan semakin
meningkat seiring dengan semakin banyaknya alga yang dimakan.
Kerang
Scrobicularia plana dan Polychaeta Nereis diversicolor memiliki kemampuan
mengakumulasi timbal dari sedimen yang anoksik. Konsentrasi timbal pada jaringan
beberapa organisme dapat dilihat pada Tabel 8.
Tabel 8. Konsentrasi timah pada jaringan (μg/g) beberapa organisme
Spesies
Phytoplankton
Green Alga Caulerpa taxifolia
Brown Alga Fucus vesiculosus
Red Algae (several spp.)
Sea Grass Posidonia oceanica
Sponges (several spp.)
Reef Corals (2 spp.)
Benthic Nematodes
Nemerteans (2 spp.)
Polychaetes (several spp.)
Trough Shell Spisula subtruncata
Mussels Mytilus spp.
Oysters Crassostrea gigas
Oysters C. gigas
Bivalves (3 spp.)
Bivalves (4 spp.)
Scallops
Shrimp (several spp.)
Swimming Crabs Liocarcinus holsatus
Benthic Crustaceans
Barnacles (3 spp.)
Echinoid Paracentrotus lividus
Sharks (several spp.)
Sharks (4 spp.)
Teleost Fish (12 spp.)
Teleost Fish (26 spp.)
Deep-Sea Fish (6 spp.)
Tuna Thunnus thynnus
Lokasi
Central Pacific
French Mediterranean
W. Greenland
Greece
NW Mediterranean
Portugal
Australia
French Atlantic
N. Wales, UK
NY Bight
Belgian Coast
French Coasts
French Coasts
Hawaii
NY Bight
Philippines
Antarctica
Kuwait
Belgian Coast
NY Bight
Hong Kong
Naples, Italy
Great Britain
E. Australia
E. Australia
W. Mediterranean
N. Atlantic
NW Atlantic
Konsentrasi Pb
0,53–1,8
0,8–21,8
0,47–0,70
10,7–340
5,96–15,4
<5–187
0,5–2,2
25,1–55,5
17,4–54,9
0,89–82,1
0,5–8,0
<0,10–21,4
<0,10–8,9
0,10–1,76
5,07–10,6
0,64–2,24
1,0–2,6
0,03–7,23
0,34–4,4
0,05–17,5
1,7–39,2
0,28–14
<0,1–9,4
<0,04–0,15
0,03–0,30
0,05–55,9
0,015–12,0
<0,03
Sumber: Neff (2002)
Menurut Neff (2002) pemaparan Pb dengan konsentrasi 476-758 μg/L pada
Mytilus edulis, Crasostrea gigas dan Cancer magister menyebabkan pertumbuhan larva
menjadi abnormal, sedangkan
konsentrasi akut dan kronik pada Mysidopsis bahia
masing-masing adalah 3130 dan 25 μg/L. Konsentrasi timbal terlarut sebesar 23,3 μg/L
dapat menyebabkan efek subletal pada makroalga Champia parvula. Hasil penelitian
33
Paasivirta (2000) memperlihatkan bahwa sebanyak 10-24% timbal (lead) yang
ditemukan pada daging ikan dalam bentuk tetrametyl lead (TML). Efek toksik timbal
pada burung dan mamalia disebabkan logam ini memiliki kemampuan untuk berikatan
dengan sel dan biomolekul seperti enzim dan hormon.
Soetrisno (2008) menyatakan timbal menjadi beracun dengan menggantikan
kation-kation logam yang aktif biologis, seperti kalsium dan seng (zink), dari proteinproteinnya. Calmodulin misalnya, mengikat dan mengangkut empat kation kalsium.
Jika kation-kation timbal menggantikan keempat kation kalsium tersebut, efisiensi
enzim ini akan berkurang. Timbal menghambat total aktivitas enzim biosintetik heme,
yakni asam delta-aminolevulinat dehidratase (delta-ALAD), ketika logam ini
menggantikan kation seng tunggalnya, sehingga mengganggu pembentukan darah dan
menghasilkan anemia parah. Darmono (1995) menambahkan timbal dapat menghambat
aktifitas enzim yang terlibat dalam pembentukan hemoglobin yang dapat menyebabkan
penyakit anemia. Gejala yang diakibatkan dari keracunan logam timbal adalah
kurangnya nafsu makan, kejang, lesu dan lemah, muntah serta pusing-pusing. Timbal
dapat juga menyerang susunan saraf, saluran pencernaan serta dapat mengakibatkan
terjadinya depresi.
2.5. Logam berat pada sedimen laut
Supangat dan Muawanah (NA) menyatakan semua senyawa yang masuk ke
perairan akan menjadi sedimen. Proses fisik, kimia dan biologi yang terjadi di kolom
air akan mempengaruhi komposisi dan kualitas sedimen.
Proses fisik yang
mempengaruhi yakni faktor arus (hidrodinamika) yang merupakan energi sortasi
sedimen. Sanusi (2006) menyatakan perairan yang memiliki kondisi arus yang dinamis
(high energy environment–dynamic waters), memiliki tekstur sedimen yang kasar
(kerikil, pasir). Sementara perairan yang kondisi arusnya tenang atau tidak dinamis
(low energy environment–sluggish waters) memiliki tekstur sedimen yang lebih halus
(lumpur, liat). Perairan yang sering terjadi deposisi material tersuspensi (organik dan
anorganik) umumnya memiliki tekstur sedimen yang halus. Saat masih di kolom air,
terjadi reaksi kimia antara berbagai calon sedimen, reaksi tersebut tetap berlangsung
setelah senyawa menjadi sedimen. Saat mencapai dasar, senyawa tersebut mengalami
turbulensi akibat aktivitas biota (bio-turbulensi).
34
Berdasarkan penyebarannya sedimen laut dapat dibagi menjadi dua kelompok
(Supangat dan Muawanah NA; Sanusi 2006).
Kelompok pertama, sedimen yang
tersebar sampai batas paparan benua (continental shelf margin) yang disebut sedimen
laut dangkal (near shore sediment) dan sedimen laut dalam (deep sea sediment) yang
tersebar di bawah paparan benua. Sedimen laut dangkal khususnya di perairan pesisir
dan estuari diketahui merupakan ”storage system” berbagai unsur dan senyawa kimia
(Supangat dan Muawanah; Sanusi 2006).
Logam berat yang masuk ke dalam lingkungan perairan akan mengalami
pengendapan, pengenceran dan dispersi, kemudian diserap oleh organisme yang hidup
di perairan tersebut. Pengendapan logam berat di suatu perairan terjadi karena adanya
anion karbonat hidroksil dan klorida (Hutagalung 1984). Hutagalung (1991)
menyatakan logam berat memiliki sifat mudah mengikat bahan organik dan setelah
mengalami proses fisik-kimia akan mengendap di dasar perairan dan bersatu dengan
sedimen, hal ini sejalan dengan penelitian Harahap (1991) dan Rochyatun, Kaisupy dan
Rozak (2006) (Tabel 9) yang menyatakan kadar logam berat dalam sedimen lebih tinggi
dibandingkan di air. Konsentrasi logam berat pada sedimen tergantung pada beberapa
faktor yang berinteraksi. Faktor-faktor tersebut adalah :
1. Sumber dari mineral sedimen antara sumber alami atau hasil aktivitas manusia.
Melalui partikel pada lapisan permukaan atau lapisan dasar sedimen.
2. Melalui partikel yang terbawa sampai ke lapisan dasar.
3. Melalui penyerapan dari logam berat terlarut dari air yang bersentuhan.
Tabel 9. Hasil analisis kisaran kadar logam berat (ppm) dalam air laut dan sedimen di
perairan muara Sungai Cisadane Bulan Juli dan Nopember 2005
No
Parameter
I
2
3
4
5
Pb
Cd
Cu
Zn
Ni
Air Laut
Juli
<0,001-0,005
<0,001-0,001
<0,001-0,001
<0,001
<0,001-0,003
Nopember
<0,001-0,003
<0,001-0,001
<0,001-0,004
<0,001-0,003
0,001-0,003
Sedimen
Juli
Nopember
9,42-34,40
10,32-37,50
0,02-0,03
0,04-0,150
8,15-34,59
5,08-34,30
33,96-115,40
43,88-172,78
4,44-8,46
3,80-8,60
Sumber: Rochyatun, Kaisupy dan Rozak (2006)
Sanusi (2006) mengemukakan sifat fisik dan kimia material padatan tersuspensi
yang memiliki kemampuan mengadsorpsi logam berat terlarut dalam kolom air.
35
Selanjutnya dikatakan bahwa deposisi padatan tersuspensi dalam perairan selain
mengakibatkan mengendapnya material organik dalam sedimen juga akan menyebabkan
akumulasi logam berat tersebut dalam sedimen. Semakin tinggi polutan organik dan
anorganik dalam kolom air, makin tinggi pula akumulasi polutan tersebut dalam
sedimen.
Penjelasan tersebut, memperlihatkan bahwa kualitas fisik kimia sedimen
suatu perairan dapat dijadikan indikator baik buruknya kualitas suatu perairan. Menurut
Hutagalung (1984) pengendapan logam berat dalam suatu perairan terjadi karena
adanya anion karbonat hidroksil dan klorida. Menurut Hutagalung (1991) besarnya
konsentrasi logam berat pada sedimen tergantung pada beberapa faktor yang
berinteraksi yakni:
1. Sumber dari mineral sedimen baik sumber alami maupun sumber yang berasal
dari aktivitas manusia
2. Melalui partikel pada lapisan permukaan atau lapisan dasar sedimen
3. Melalui partikel yang terbawa sampai ke lapisan dasar
4. Melalui penyerapan dari logam berat terlarut dari air yang bersentuhan
Tabel 10. Kadar alamiah logam berat dalam sedimen
Parameter
Hg
Cd
Pb
Kadar alamiah (ppm)
RNO1
EPA2
0,002-0.35
0,2
0,1-2
1
10-70
5
Sumber: 1 RNO 1981 dalam Razak 1986; 2 Environmental Protection Agency, 1990 dalam Novotny dan
Olem 1994.
Tabel 11. Baku mutu logam berat dalam sedimen
Level Level Level Level
Level
Parameter target limit tes
intervensi bahaya
Hg
Cd
Pb
0,3
0,8
85
0,5
2
530
1,6
7,5
530
10
12
530
15
30
1000
Sumber: IADC (International Association of Drilling Contractors) / CEDA (Central Dredging Association) (1997)
Keterangan :
a.
b.
Level target. Jika konsentrasi kontaminan yang ada pada sedimen memiliki nilai yang lebih kecil
dari nilai level target, maka substansi yang ada pada sedimen tidak terlalu berbahaya bagi
lingkungan.
Level limit. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen memiliki nilai maksimum yang
dapat ditolerir bagi kesehatan manusia maupun ekosistem.
36
c.
d.
e.
Level tes. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai antara
level limit dan level tes, maka dikategorikan sebagai tercemar ringan.
Level intervensi. Jika konsentrasi kontaminan yang ada di sedimen berada pada kisaran nilai
antara level tes dan level intervensi, maka dikategorikan sebagai tercemar sedang.
Level bahaya. Jika konsentrasi kontaminan berada pada nilai yang lebih besar dari baku mutu
level bahaya, maka harus dengan segera dilakukan pembersihan sedimen.
Logam berat dalam substrat/sedimen secara alami menggambarkan
hubungannya
dengan partikel tersuspensi dan sedimen, karena sedimen lebih stabil atau kurang
mobile dibandingkan dengan kolom air. Kadar alamiah logam berat dalam sedimen
menurut RNO (1981) dalam Razak (1986) dan EPA (1990) dalam Novotny dan Olem
(1994) dapat dilihat pada Tabel 10. Baku mutu logam berat di dalam lumpur atau
sedimen di Indonesia belum ditetapkan, sehingga sebagai acuan dapat digunakan baku
mutu yang dikeluarkan oleh IADC/CEDA (1997) mengenai kandungan logam yang
dapat ditoleransi keberadaannya dalam sedimen berdasarkan standar kualitas Belanda,
dapat dilihat pada Tabel 11.
2.6. Beban Pencemaran
Beban pencemar didefinisikan sebagai jumlah total bahan pencemar yang masuk
ke dalam lingkungan perairan, baik langsung maupun tidak langsung, dalam kurun
waktu tertentu.
Beban pencemar berasal dari berbagai aktivitas manusia misalnya
industri dan rumah tangga. Besarnya beban masukan limbah sangat tergantung pada
aktivitas manusia di sekitar perairan dan di bagian hulu sungai yang mengalir ke arah
laut (Suharsono 2005).
Selain dipengaruhi oleh aktivitas di sekitar sungai, nilai beban pencemar juga
sangat tergantung pada keadaan pasang dan surut. Pada kondisi pasang, beban masukan
limbah kecil karena aliran sungai akan tertahan oleh peningkatan massa air di pantai,
sedangkan pada saat surut, beban masukan limbah ke kawasan pantai akan lebih besar,
karena aliran sungai yang membawa bahan pencemar dapat masuk ke perairan estuaria
atau pantai tanpa terhalang oleh massa air laut (Rafni 2004).
Perhitungan beban pencemar dilakukan dengan mengalikan konsentrasi dengan
aliran debit sungai dalam satuan waktu tertentu. Sebelumnya debit aliran sungai dapat
diperoleh dengan mengalikan luas penampang aliran sungai dengan kecepatan aliran
sungai (Mezuan 2007).
37
2.7. Kerang Hijau
Kerang hijau (Gambar 5) merupakan organisme yang termasuk golongan biota
yang bertubuh lunak (mollusca), bercangkang dua (bivalvia), insang berlapis
(lamellibrachiata), berkaki lapak (pelecypoda) dan hidup di laut (Asikin 1982).
Taksonomi kerang hijau menurut Asikin (1982)
Filum
: Mollusca
Kelas
: Pelecypoda (Lamellibranchia, Bivalvia)
Ordo
: Filibrachia
Famili
: Pernaidae
Genus
: Perna
Spesies
: Perna viridis L.
Gambar 5. Kerang hijau (Perna viridis L.)
(http://greenmussel.ifas.ufl.edu/gm-pviridis.jpg)
Kerang hijau (Perna viridis L) merupakan biota yang hidup pada wilayah litoral
(pasang surut) dan sub litoral yang dangkal. Kerang hijau dapat tumbuh pada perairan
teluk, estuari, sekitar mangrove dan muara, dengan kondisi perairan yang memiliki
subtrat pasir berlumpur, dengan cahaya dan pegerakan yang cukup, serta kadar garam
yang tidak telalu tinggi (Setyobudiandi 2000). Perna memiliki empat baris insang yang
bermanfaat sebagai organ respirasi dan organ filter feeder. Perna memakan fitplankton,
zooplankton dan detritus (Korringa 1976; Sivalingam 1977; Yap et al. 1983 dalam
Vakily 1989). Sivalingam (1977) dalam Vakily (1989) menyatakan bahwa kerang hijau
38
merupakan selective filter feeder, hal ini ditandai dengan spesies plankton yang
mendominasi (99%) pada perut kerang hijau, yaitu Coscinodiscus nodilufer. Menurut
Bryan (1976) karena sifatnya yang sessile dan cara makan yang filterfeeder, kelas
bivalvia telah digunakan sebagai bioindikator dari limbah berat, organochlorin dan
minyak hidrokarbon. Perna viridis merupakan salah satu kerang yang terbaik untuk
dijadikan biota tes dalam biopollution (Phillips 1980).
Goldberg et al. 1978 dalam Jose dan Deepthi (2005) menyatakan bahwa bivalva
seperti kerang hijau memiliki keunggukan sebagai bioindikator untuk memonitor
substansi organik yang terdapat di laut karena memiliki distribusi yang luas, hidup
menetap, mudah disampling, memiliki toleransi terhadap salinitas yang luas, resisten
terhadap stress dan berbagai bahan kimia yang terakumulasi dengan jumlah besar
merupakan konsep ‘mussel watch’. Kerang hijau memiliki distribusi yang luas pada
Wilayah Asia Pasifik dan memiliki nilai komersial sebagai seafood yang telah terkenal
di belahan dunia (Vakily 1989). Jose dan Deepthi (2005) dan Boonyatumanond et al.
(2002) menambahkan kerang hijau telah digunakan sebagai biological indocator untuk
memonitor kandungan residu pestisida organochlorine pada beberapa Negara Asia
seperti Thailand (Siriwong et al. 1991; Ruangwises et al. 1994), India (Ramesh et al.
1990) dan Hong Kong (Phillips 1985).
Verlecar et al. 2006a lebih mendalam menyatakan bivalva moluska P.viridis
digunakan sebagai bioindikator dan atau bio monitoring karena insangnya yang
merupakan organ respirasi dan kelenjar digestif dipergunakan sebagai spesimen
eksperimen pengukur respon perubahan oksidatif.
Verlecar et al. (2006b) juga
menyatakan bivalva termasuk kerang hijau memiliki kemampuan ketahanan terhadap
perubahan suhu dan kandungan logam beracun yang terkandung dalam perairan,
sehingga dapat disimpulkan, bivalva merupakan model yang representatif untuk studi
pengaruh dalam mekanisme pertahanan menggunakan antioksidan. Penelitian Phillips
(1985) menggunakan P.viridis menghasilkan kesimpulan, kerang hijau merupakan
excellent bioindikator untuk studi tembaga (Cu) dan timah (Pb). P.viridis digunakan
untuk mengamati kandungan kadmium, merkuri dan seng.
Pada jaringan insang
P.viridis, terjadi regulasi metabolisme parsial sehingga mengakumulasi seng. Hal yang
sama terjadi pada akumulasi logam berat lain (Phillips 1985).
39
Faktor lingkungan yang mempengaruhi kelangsungan hidup kerang hijau adalah
suhu, salinitas, tipe dasar perairan, kedalaman, kekeruhan, arus dan oksigen terlarut
(Setyobudiandi 2000). Asikin (1982) menyatakan bahwa kerang hijau tumbuh baik
pada perairan yang memiliki salinitas 27-35 o/oo, temperatur antara 27-32ºC, arus yang
tidak begitu keras dan hidup pada kedalaman 1-7 m serta mengambil protein nabati
sebagai makanannya. Rainbow (1995) dalam Wong et al. (2000) menyatakan P.viridis
menyebar luas di perairan laut dan toleran terhadap perairan yang terkontaminasi logam
serta dapat bertahan terhadap fluktuasi salinitas dan suhu.
Vakily (1989) menyatakan umumnya mussel hidup menempel di substratnya
dengan menggunakan benang byssus. Byssus terdapat pada bagian kaki kerang yang
diadaptasikan untuk menempel pada substratnya.
Kumpulan benang byssus ini
disekresikan oleh hewan tersebut dan memiliki kekuatan-tarik, sehingga berfungsi
sebagai penambat kerang dengan substratnya.
Beberapa jenis kerang yang tergolong dalam golongan mussel dan daerah
distribusinya antara lain M. Edulis (Eropa, pantai barat-timur Amerika Utara, dan
Jepang), M. Gallopravincialis (Mediterranian Species, Eropa), M. Aeoteanus (Perairan
Selandia Baru), M. edulis planulatus (Perairan Australia), M. Californianus ( perairan
Pantai Pasifik dan Amerika Utara), Perna viridis (Perairan Asia), dan P. Canaliculus
(Selandia Baru).
Kerang hijau, Perna viridis L. memiliki beberapa nama sinonim antara lain
(Siddal, 1980 dalam Vakily, 1989) Mytilus viridis Linnaeus (1758),
Mytilus
smaragdinus Chemnitz (1785), Mytilus opalus Lamarck (1819), Mytilus viridis L.
Hanley (1855), Mytilus (Chloromya) viridis L. Lamy (1936), Mytilus viridis L. Suvatti
(1950), Chloromya viridis L. Dodge (1952), Mytilus viridis L. Cherian 1968), Perna
viridis L. Dance (1974). Yap et al. (2002) lebih jauh menyatakan taksonomi Perna
viridis membingungkan dan status dari Perna viridis masih dalam diskusi para ahli.
Kerang hijau mempunyai wilayah distribusi yang luas, yakni dari Samudera
Hindia sampai Fillipina dan Samudera Pasifik sebelah barat (Vakily 1989). Benson et
al. (2001) menyatakan kerang hijau ataupun anggota bivalva lainnya, umumnya bersifat
sedentary, dengan bagian kaki, visceral mass, rongga mantelnya mendominasi tubuh,
dan bagian kepalanya tidak berkembang. Bivalva tidak memiliki radula, mayoritas
ciliary feeder dengan bagian insang berkembang untuk mengumpulkan makanan
40
(ctenidid). Perluasan mantel ke seluruh bagian tubuh dalam bentuk dua katup simetris
yang pada akhirnya mensekresikan hinge dan membentuk kedua belah cangkang. Pada
semua bivalva Lamellibranch, insang atau ctenidium berbentuk huruf-W. Insang terdiri
atas banyak filamen yang berhubungan untuk membentuk lembaran atau lamellae.
Masing-masing insang memiliki empat lamellae dan diposisikan dalam rongga mantel
sedemikian rupa, sehingga satu cabang dari bagian yang berbentuk huruf-W tadi
berhubungan dengan mantel dan cabang lainnya berhubungan dengan bagian kaki atau
visceral mass. Oleh karena itu maka insang secara efektif membagi rongga mantel ke
dalam beberapa rongga. Rongga yang besar di bawah insang disebut rongga inhalent;
sedangkan rongga di atas insang merupakan rongga exhalent.
Setyobudiandi (2000) menyatakan bahwa kerang hjau digolongkan dalam
kelompok filter feeder, karena kerang hijau memperoleh makanan dengan cara
menyaring partikel-partikel atau organisme mikro yang berada dalam air dengan
menggunakan_sistem_sirkulasi_(http://dictionary.reference.com/browse/Filter%20feede
r). Hal ini sesuai dengan pernyataan Vakily (1989) dan Brusca dan Brusca (1990) yang
menyatakan bahwa semua bivalva lamellibranch termasuk filter feeder. Cilia khusus
terletak antara filamen insang yang berfungsi menghasilkan aliran air yang
memindahkan air ke dalam bagian inhalent pada mantle cavity (rongga mantel) dan ke
arah atas ke dalam rongga exhalent. Partikel makanan atau material tersuspensi lainnya
yang berukuran lebih besar dari ukuran tertentu disaring dari air oleh cilia insang dan
dihimpun pada bagian rongga inhalent berhadapan dengan lamellae insang. Material ini
kemudian dipindahkan oleh cilia lainnya ke arah tepi bagian ventral insang atau di
bagian dasar organ yang berbentuk huruf-W tempat letaknya alur makanan (food
grooves). Setelah berada di food grooves, makanan bergerak ke arah depan hingga
mencapai palps, yang berada di sisi mulut. Material berukuran halus dibawa oleh cilia
ke dalam mulut. Material tersebut akan disaring sebelumnya pada hepatopankreas
sebelum menuju saluran pencernaan. Partikel yang lebih kasar dihimpun di tepi palps
dan secara periodik dikeluarkan oleh proses kontraksi otot ke dinding mantel.
2.7.1. Malformasi Kerang Hijau
Malformasi merupakan perkembang struktur tubuh organisme secara tidak
teratur dan abnormal. Penyebab kejadian malformasi adalah mutasi genetik, infeksi,
41
pengaruh obat-obatan, pengaruh lingkungan atau interaksi dari berbagai penyebab
tersebut (Encyclopædia Britannica 2011). Rainbow (1995) dalam Wong et al. (2000)
menyatakan P.viridis toleran terhadap perairan yang terkontaminasi logam serta dapat
bertahan terhadap fluktuasi salinitas dan suhu, tetapi pertumbuhannya tidak optimal.
Kerusakan DNA dapat terjadi pada sel gonad jantan Perna viridis akibat terkena sisa
produk rokok, terutama ekstrak rokok tembakau yang telah digunakan (Nagarappa
2000).
Kondisi kerang hijau yang berada di Teluk Jakarta telah mengalami perubahan,
dari 300 kerang yang dijadikan sampel pada penelitian tim gabungan dari Institut
Pertanian Bogor (IPB), Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), dan Badan Pengelolaan Lingkungan Hidup Daerah
(BPLHD) DKI Jakarta, 50 persennya ternyata telah mengalami kelainan bentuk fisik
(malformasi). Sekitar 70 persen sampel kerang hijau itu pun mengidap berbagai
kelainan. Kerusakan jaringan dan kelainan bentuk fisik biota akuatik (ikan dan kerang).
Hal ini diduga berkaitan erat dengan tingginya kandungan logam berat seperti Sn pada
tributiltin (TBT), merkuri (Hg), kadmium (Cd), timah hitam (Pb), dan arsen (As) di
perairan (Riani, 2004).
Logam berat tersebut terdapat di perairan dalam bentuk ion-ion, kemudian akan
masuk ke dalam tubuh melalui insang dan saluran pencernaan. Dalam perairan, logam
berat walaupun dalam konsentrasi yang kecil dapat terabsorpsi dan terakumulasi dalam
hewan air, terutama benthos, dalam hal ini adalah kerang hijau, dan akan terlibat dalam
proses rantai makanan (food chain) (Darmono 1995). Rainbow dan Furness (1990)
dalam Wong et al. (2000) menyatakan logam berat akan terakumulasi dalam tubuh
kerang dan dapat membahayakan kesehatan manusia.
Hal tersebut didukung pernyataan Yaqin (2004) kerang hijau mempunyai
kemampuan yang sangat menakjubkan dalam menumpuk (bioaccumulation) logam
berat, seperti tributiltin, di dalam tubuhnya. Tumpukan tributiltin di dalam tubuh kerang
mungkin tidak bisa dideteksi dengan alat kromatografi biasa sebab kandungannya
sangat rendah dari sisi kuantitas. Akan tetapi, mengingat daya rusak tributiltin yang
bersifat jangka panjang, maka bahaya tributiltin itu seperti bom waktu. Hal ini akan
berdampak pada pertumbuhahan yang menyimpang (malgrowth) atau deformitas atau
malformasi. (Gambar 6)
42
Gambar 6. Perbedaan insang kerang hijau normal (kiri) dan Kerang Hijau dengan
insang yang mengalami malformasi (kanan) (Jose dan Deepthi 2005)
Yaqin (2004) menambahkan Page, Dassayanake, Eisenbrand, dan Phelps pada
tahun 1996-1997 melakukan penelitian tentang hubungan antara deformitas dan
pencemaran tributiltin di Portugis. Hasilnya menunjukkan bahwa terdapat korelasi yang
sangat erat antara kandungan tributiltin pada daging kerang dan perairan dengan
fenomena deformitas. Di Marina Norsmind Fjord, Denmark, yang tercemar dengan
tributiltin, peneliti menemukan adanya korelasi yang erat antara deformitas dan
kerusakan DNA kerang biru (Mytilus edulis). Penelitian Claudia alzieu dalam Yaqin
(2004) menduga tributiltin mengganggu enzim yang membantu sistem pembentukan
kapur (klasifikasi) sehingga kalsifikasinya tidak berjalan dengan normal. Kerang yang
proses kalsifikasinya tidak normal cenderung menggelembungkan cangkangnya.
Selanjutnya pada tingkatan yang serius, klasifikasi yang tidak normal itu akan
menyebabkan terbentuknya alur-alur pertumbuhan acak pada cangkang sehingga
permukaan cangkang kelihatan dipenuhi oleh alur-alur pertumbuhan yang tampak
seperti pelapisan yang kasar. Claudia alzieu menambahkan kandungan tributiltin di
perairan sebesar 1 ng/l sudah cukup untuk menyebabkan kecacatan atau deformitas pada
cangkang kerang dan imposex (perubahan kelamin betina menjadi kelamin jantan
karena munculnya penis palsu) pada keong. Sementara konsentrasi tributiltin di kolom
air laut Teluk Jakarta 2-15 ng/l dan sedimennya mengandung 119-506 ng/l. Hal ini
diduga berdampak negatif pada perubahan morfologi kerang hijau.
43
2.8. Pemodelan Sistem
Sistem merupakan interaksi antara unsur dari sebuah objek dalam lingkungan
tertentu yang berkerja untuk mencapai tujuan (Muhammadi, Aminullah dan Soesilo
2001).
Hatrisari (2007) menambahkan sistem adalah gugus atau kumpulan dari
komponen yang saling terkait dan terorganisasi dalam rangka membentuk tujuan
tertentu. Sistem dapat dikatakan sebagai situasi aktual atau realitas, sehingga sistem
sangat kompleks; untuk mengkaji sistem tersebut maka diperlukan model.
Model
menurut Grant, Pederson dan Marin (1997) dan Ford (1999), merupakan suatu
representasi atau substitusi atau abstaksi dari sebuah objek atau situasi aktual yang
terjadi. Hatrisari (2007) menambahkan model adalah penyederhanaan sistem, sehingga
model dikatakan lengkap jika dapat mewakili berbagai aspek situasi aktual. Hatrisari
(2007) juga menyatakan penggunaan model memudahkan pengkajian sistem, karena
hampir tidak mungkin bekerja dalam keadaan sebenarnya, selain itu model juga dapat
menjelaskan perilaku sistem.
Model dapat dikelompokan menjadi dua kategori model fisik dan model abstrak
(Hatrisari 2007). Model fisik merupakan miniatur replika dari kondisi sebenarnya,
sehingga variabel yang digunakan sama persis dengan sistem nyata, sedangkan model
abstrak hanya menjelaskan kinerja dari sistem. Model fisik dan model abstrak terbagi
menjadi dua, model statis dan model dinamik. Model statis merupakan model yang
tidak memperhitungkan waktu yang selalu berubah, sedangkan model dinamik
memberikan gambaran nilai peubah terhadap perubahan waktu.
Proses pemodelan merupakan proses yang kreatif dan tidak linier, namun harus
mematuhi disiplin ilmiah dan pemikiran yang logis.
Hatrisari (2007) menyatakan
prosedur dalam pemodelan adalah: 1. menyatakan permasalahan atau sistem yang dikaji
sesuai dengan tujuan kajian, 2. menyusun hipotesis, 3. memformulasikan model, 4.
menguji serta menganalisis model. Muhammadi, Aminullah dan Soesilo (2001)
menambahkan pembuatan model dimulai dari 1. penjabaran konsep, 2. pembuatan
diagram sebab akibat, 3. pembuatan diagram alir, 4. simulasi model untuk melihat
perilaku yang diakhiri dengan 4. uji sensitivitas.
Pembuatan sistem pemodelan berakar pada cara pandang dan berpikir secara
sistem. Forrester (1968) menyatakan proses berpikir mengkaji dan memecahkan
masalah membutuhkan pemahaman lebih lanjut antara elemen dalam masalah tersebut,
44
bahwa hubungan antara elemen lebih penting dari elemen itu sendiri. Forrester (1968)
melanjutkan cara perpikir sistem mencoba mengidentifikasi masalah yang muncul dan
melihat hubungan antara masalah, sehingga muncul pola sebab-akibat yang lebih jelas.
Berbeda dengan pola berpikir mekanistik yang menganggap hubungan sebab-akibat
linier, dan masalah hanya disebabkan oleh satu hingga dua penyebab. Hariani (2005)
menambahkan berpikir sistem merupakan suatu pendekatan baru yang dianggap mampu
menganalisis masalah kompleks.
2.9. Sistem Dinamik
Luo et al. (2005) menyatakan sistem dinamik merupakan teori struktur dan alat
untuk merepresentasikan sistem nyata yang kompleks dan menganalisis perilaku
dinamikanya.
Simonovic (2002) menyatakan sistem dinamik dapat menguraikan
struktur asal dari suatu sistem dan mengkaji perbedaan antar sistem ketika diberikan
kebijakan yang berbeda, sehingga sistem dinamik dikenal sebagai metoda yang dapat
mengilustrasikan dinamika yang kompleks. Zhang et al. (2009) menambahkan metode
sistem dinamik didasarkan atas model simulasi yang mencakup feedback (umpan balik)
untuk membangun interaksi pada sistem yang dikaji. Umpan balik dari kontol menjadi
dasar hubungan antara struktur dan perilaku sistem (Simonovic 2002), sehingga model
sistem dinamik dapat memberikan informasi yang lebih mendetail untuk mengungkap
mekanisme dan memperbaiki kinerja sistem secara keseluruhan. Simonovic (2002)
menambahkan pengembangan metode sistem dinamik mencakup tahap
1. Pemahaman dan batasan dari sistem
2. Identifikasi variabel kunci
3. Representasi proses fisik menjadi variabel melalui hubungan matematik
4. Pemetaan struktur dan simulasi model untuk memahami sifat sistem
5. Interpretasi hasil simulasi
Download