PENYELESAIAN TINDAK PIDANA ANAK DILUAR PERADILAN DIKAITKAN DENGAN UNDANG-UNDANG NOMOR 3 TAHUN 1997 TENTANG PENGADILAN ANAK Oleh: MUHAMAD HENDRA BAHRUL HIDAYAT ABSTRAK Perlindungan terhadap anak yaitu hak untuk mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan, hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum, tindakan penahanan merupakan upaya terakhir, hak mendapatkan bantuan hukum, hak anak untuk tidak dihukum diatur dalam Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak Pelaksanaan peradilan pidana saat ini masih belum memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana, antara lain adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat hukum dalam menangani kasus anak, belum adanya upaya untuk mengalihkan penyelesaian secara informal yang memperhatikan kepentingan semua pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian tindak pidana. Adapun permasalahan dalam tesis ini Bagaimanakah efektifitas upaya perlindungan anak yangmelakukan tindak pidana seseuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan ana Kendala-kendala apakah yang dihadapi dalam melaksanakan mediasi terhadap anak yang melakukan tindak pidana Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu menetapkan standar norma tertentu terhadap suatu fenomena dengan mengkaji data-data sekunder serta membahas penerapan sanksi pidana kekerasan terhadap anak dan perlindungan bagi anak berdasarkan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang No. 22 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Sedangkan analisis data menggunakan metode yuridis kualitatif, yaitu bersumber dari studi kepustakaan dan studi lapangan, kemudian disusun secara sistematis, setelah dianalisa disajikan secara diskriptif. Penelitian lebih menekankan pada kajian analisis data sekunder atau studi kepustakaan yang ditunjang dengan data primer yaitu studi lapangan. Hasil penelitian tesis ini dapat ditarik kesimpulan Pertama, terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana hendaknya diberikan perlindungan sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002, dengan diberikannya sanksi pidana dengan memasukkan anak ke penjara jelas melanggar ketentuan, sehingga Pasal 2 belum efektif dikarenakan masih adanya pemidanaan terhadap anak. Sanksi pidana anak berdasakan Pasal 7 Undang-Undang No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bukanlah merupakan tujuan utama bagi pemidanaan anak karena pidana penjara merupakan ultimum remidium. Upaya mediasi melalui ADR terhadap anak pelaku tindak pidana merupakan bentuk perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana, akan tetapi belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur dengan tegas tentang ADR, sehingga penegak Hukum sulit menerapkan ini dikarenakan tidak adanya dasar Hukum. Kedua, Kepolisian sudah seharusnya mulai mengembangkan konsep Restorative justice, karena konsep ini merupakan salah satu alternatif bagi konsep peradilan anak di Indonesia yang mengedepankan kepada pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keadilan. Kendala dalam melakukan Restorative justice dikarenakan Undang-Undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang masih memungkinkan bahwa anak sebagai pelaku tindak pidana harus di lakukan pemidanaan, disamping itu ada keragu-raguan penegak hukum dalam melakukan penyelesaian perkara pidana anak di tingkat penyidikan Kata Kunci : Penyelesaian tindak pidana anak di luar pengadilan / mediasi A. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Pada setiap tahunnya jumlah anak Indonesia yang diajukan ke pengadilan atas kejahatan ringan seperti pencurian semakin meningkat. Pada umumnya mereka tidak mendapatkan dukungan dari pengacara maupun dinas sosial. Sehingga tidaklah mengherankan, kalau sembilan dari sepuluh anak yang bermasalah hukum ini akhirnya dijebloskan ke penjara atau rumah tahanan. Lebih menyedihkan lagi, sebagian besar anak-anak ini berada di dalam lembaga penahanan dan pemenjaraan untuk orangorang dewasa dan pemuda. 1) Peningkatan jumlah anak-anak yang ditahan tersebut, tidak termasuk anak-anak yang ditahan dalam kantor polisi seperti di Polsek, Polres, Polda dan Mabes. Kondisi ini tentu saja sangat memprihatinkan, karena banyak anak-anak yang harus berhadapan dengan proses peradilan. Keberadaan anak-anak dalam tempat penahanan dan pemenjaraan bersama orang-orang yang lebih dewasa, menempatkan anak-anak pada situasi rawan menjadi korban berbagai tindak kekerasan. 2) Sehingga anak-anak dalam kondisi demikian disebut dengan anak yang bermasalah dengan hukum (children in conflict with the law). Anak yang bermasalah dengan hukum dapat didefinisikan anak yang disangka, dituduh atau diakui sebagai telah melanggar undang-undang hukum pidana. Kemudian Majelis Umum PBB dalam Standard Minimum Rules for the Administration of Juvenile Justice atau yang dikenal dengan Beijing Rules mendefisinikannya sebagai berikut a child or young person who is alleged to have committed or who has been found to have committed an offence. 3) Seseorang yang melanggar hukum pidana akan berhadapan dengan negara melalui aparatur penegak hukumnya. Sebagai sebuah instrumen pengawasan sosial, hukum pidana menyandarkan diri pada sanksi karena fungsinya memang mencabut hak orang atas kehidupan, kebebasan, atau hak milik mereka. Invasi terhadap hak dasar ini dibenarkan demi melestarikan masyarakat dan melindungi hak-hak fundamental dari gangguan orang lain. Pencabutan kebebasan seseorang dalam doktrin Hukum Hak Asasi Manusia Internasional termasuk rumpun Hak Sipil dan Hak Politik, karena menyangkut pemajuan dan perlindungan martabat dan keutuhan manusia secara individual. Terdapat tiga hak yang bersifat lebih fundamental daripada hak lain untuk mencapai maksud tersebut, yakni hak atas hidup, keutuhan jasmani, dan kebebasan. Pada ketiga hak inilah semua hak lain bergantung, tanpa ketiga hak ini, hak-hak lain sedikit atau sama sekali tidak bermakna. Dalam konteks pencabutan kebebasan seseorang, doktrin Hak Asasi Manusia memberikan legitimasi yakni sepanjang seseorang melakukan tindak pidana.4 Kovenan Internasional Hak Sipil dan Hak Politik (International Covenant Civil and Politic Rights/ICCPR), sebagai instrument Hukum Hak 1) Steven Allen, dalam Purnianti, Ni Made Martini Tinduk, et.all, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003, hlm. 1-2 2) Judth Enew, Difficult Circumstances:Some Reflections on “Street Children” in Africa, Children, Youth and Environments 13(1), Spring 2003, hlm. 7 - 8 3) Myles Ritchie, Children In „Especially Difficult Circumstances‟: Children Living On The Street. Can Their Special Needs Be Met Through Specific Legal Provisioning? Consultative Paper Prepared For The South African Law Commission, 1999, hlm. 12-14 4) N.A. Noor Muhammad, Proses Hukum Bagi Orang yang Didakwa Melakukan Kejahatan, dalam Hak Sipil dan Politik : Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim (Editor), Jakarta, Elsam, 2001, hlm. 180-181 Asasi Manusia Internasional utama (core instrument of human rights) 5) yang memayungi hak sipil dan hak politik, mengatur persoalan pencabutan kebebasan seseorang terkait dengan tindak pidana yang dilakukannya. Menurut Wanjku Kaime-Atterhög dinyatakan bahwa dalam perspektif Konvensi Hak Anak/ KHA (Convention The Rights of The Child/CRC), anak yang bermasalah dengan hukum dikategorikan sebagai anak dalam situasi khusus (children in need of special protection/CNSP)6): “ UNICEF menyebut anak dalam kelompok ini sebagai children in especially difficult circumstances‟ (CEDC) karena kebutuhan-kebutuhannya tidak terpenuhi, rentan mengalami tindak kekerasan, berada di luar lingkungan keluarga (berada pada lingkup otoritas institusi negara), membutuhkan proteksi berupa regulasi khusus, dan membutuhkan perlindungan dan keamanan diri. Kebutuhan-kebutuhan ini tidak dapat dipenuhi karena anak tersebut tidak mendapatkan perlindungan dan perawatan yang layak dari orang dewasa yang berada di lingkungan tempat di mana anak biasanya menjalani hidup.” Pelaksanaan proses peradilan pidana, terdapat larangan dan pembatasan untuk melakukan tindakan sebagai berikut7 : diskriminasi (Pasal 2 ayat (1), Pasal 26), melakukan penyiksaan (Pasal 7), dan menjatuhkan hukuman mati (Pasal 4 ayat (2), Pasal 6 ayat (1-6). Bahkan negara dibebani kewajiban untuk melakukan tindakantindakan berikut : memperlakukan secara manusiawi (Pasal 10 ayat (1)), menyamakan kedudukan di muka hukum (Pasal 14(1)), menerapkan asas praduga tidak bersalah (Pasal 14 ayat (2)), menjamin proses peradilan pidana yang efektif dan imparsial (Pasal 14), dan menerapkan asas retroaktif (Pasal 15). Pasal-pasal ini dapat dielaborasi dan diinterprestasikan dengan merujuk pada ketentuan Hukum Hak Asasi Manusia Internasional lain guna melihat kewajiban negara lebih jauh dalam menghargai, melindungi, dan memenuhi hak asasi seseorang yang tengah menghadapi proses hukum. Rangkaian proses hukum bagi orang yang dituduh melakukan tindak pidana akan melalui tahapan penyelidikan, tahapan penyidikan, tahapan penuntutan, tahapan persidangan, dan tahapan menjalani eksekusi. Instrumen tersebut termanifestasi dalam perangkat hukum pidana. Padahal negara secara definitif berpotensi melakukan pelanggaran hak asasi manusia, oleh karena itu dapat pula dikatakan keseluruhan rangkaian tersebut berpotensi pula melanggar hak asasi manusia. 8) Kesemua rangkaian ini jika dianalisis dengan alas pijak ketentuan-ketentuan Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik dengan koridor proses hukum yang semestinya, maka terdiri dari : hak terdakwa dalam prapemeriksaan pengadilan; hak terdakwa atas pemeriksaan pengadilan yang adil; dan pembatasan-pembatasan hukum. Demikian pula halnya jika anak-anak berhadapan dengan hukum, maka potensi hak-haknya 5) Yoram Dinstein, Hak Atas Hidup, Keutuhan Jasmani, dan Kebebasan, dalam Hak Sipil dan Politik : Esai-Esai Pilihan, Jakarta, Basis, 2004, hlm. 128-129 6) Wanjku Kaime-Atterhög, The Social Context of Children in Especially Difficult Circumstances (CEDC), ESCAP HRD Course on Psychosocial and Medical Services for Sexually Abused and Sexually Exploited Children and Youth, 2005, hlm. I- 6, 7 7) Ibid, hlm. 129-130 8) Samuel Gultom, Mengadili Korban : Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan Negara, Jakarta, Elsam, 2003, hal. 7-8 dilanggar oleh negara lebih besar ketimbang orang dewasa yang melakukan tindak pidana. Potensi ini dikarenakan anak merupakan sosok manusia yang dalam hidup kehidupannya masih menggantungkan pada intervensi pihak lain. Patut dihindari anak-anak terpidana dijadikan satu dengan para narapidana dewasa karena hanya akan memiliki sedikit akses terhadap pendidikan dan kesehatan. Mereka tidak bebas dan sangat rentan terhadap pelecehan dan trauma fisik, seksual and emosional. Bila batas umur yang dapat dikenai sanksi hukum, yaitu 8 tahun, sehingga anak yang baru berusia 12 tahun pun dapat dipenjara. Dengan restorative justice maka terdapat solusi untuk menyelesaikan persoalan anak di bawah usia 18 tahun yang berkonflik dengan hukum (AKH) Doktrin Hak Asasi Manusia mengkategorikan kelompok ini sebagai kelompok rentan (vulnerable group), konsekuensi yuridisnya kelompok ini seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari negara. Terkait dengan kelompok tersebut, Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik menegaskan bahwa setiap anak berhak untuk mendapatkan hak atas langkah-langkah perlindungan karena statusnya sebagai anak di bawah umur, terhadap keluarga, masyarakat dan Negara (Pasal 24 (1)). Dalam Deklarasi Universal HAM, Perserikatan Bangsa-Bangsa telah menyatakan bahwa anak-anak berhak atas pengasuhannya dan bantuan khusus. Kemudian mengingat bahwa seperti yang ditunjuk dalam Deklarasi mengenai Hak-hak Anak, "anak, karena alasan ketidakdewasaan fisik dan jiwanya, membutuhkan perlindungan dan pengasuhan khusus, termasuk perlindungan hukum yang tepat, baik sebelum dan juga sesudah kelahiran. Menurut HumanRights Reference disebutkan, bahwa yang tergolong ke dalam Kelompok Rentan adalah: a. Refugees, b, Internally Displaced Persons (IDPs); c. National Minorities, d. Migrant .9) Semua negara di dunia menganggap persoalan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana merupakan hal yang penting, karena anak merupakan generasi penerus bangsa dimasa depan. Oleh karena itu negara-negara di dunia berpikir untuk mencari bentuk alternatif penyelesaian yang terbaik untuk anak. Secara internasional konvensi internasional yang mengatur pelaksanakan peradilan anak dan menjadi standar perlakuan terhadap anak yang berada dalam sistem peradilan pidana. 10 Indonesia telah melakukan upaya memberikan perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum antara lain dengan meratifikasi konvensi intemasional tentang hak anak melalui Kepres No. 36 Tahun 1999, Undang-Undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak dan Undang-Undang No. 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia. Ketentuan tersebut antara lain memberikan perlindungan terhadap anak yaitu hak untuk mendapatkan perlindungan dari tindakan kekerasan, hak memperoleh kebebasan sesuai dengan hukum, tindakan penahanan merupakan upaya terakhir, hak mendapatkan bantuan hukum, hak anak untuk tidak dihukum mati dan hukuman seumur hidup. Beberapa ketentuan Beijing Rules yang belum masuk dalam UndangUndang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak yaitu tindakan untuk menghindarkan penahanan, tindakan diversi terhadap kasus anak, penghindaran kekerasan dalam proses penanganan anak, alternatif untuk mengalihkan ke proses informal sejak awal. 9) Ibid, hlm. 11-12 Rafendi Djamin, Op.Cit, hlm. 34-35 10) Pelaksanaan peradilan pidana saat ini masih belum memberikan perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana, antara lain adanya tindakan kekerasan yang dilakukan oleh aparat hukum dalam menangani kasus anak, belum adanya upaya untuk mengalihkan penyelesaian secara informal yang memperhatikan kepentingan semua pihak-pihak yang terlibat dalam proses penyelesaian tindak pidana. Bentuk pelaksanaan perlindungan dilakukan berdasarkan kebijakan aparat penegak hukum dengan mempertimbangkan prinsip the best interest of the child (kepentingan terbaik untuk anak).11) Tindakan perlindungan yang dilakukan bertujuan untuk menghindarkan anak dari proses penahanan, dan implikasi negatip dari proses peradilan pidana. Institusi kepolisian merupakan institusi negara yang pertama kali melakukan intervensi terhadap anak yang berkonflik dengan hukum. Penangkapan, penahanan, penyelidikan, dan penyidikan merupakan kewenangan kepolisian untuk menegakkan sistem peradilan pidana anak. Mediasi penal (penal mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain : “mediation in criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jer-man disebut ”Der Außergerichtliche Tataus-gleich” (disingkat ATA) dan dalam istilah Perancis disebut ”de mediation pénale”. Karena mediasi penal terutama memperte-mukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah ”Victim-Offender Medi-ation” (VOM), Täter-Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender-victim Arrangement (OVA). Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan isti-lah ADR atau ”Alternative Dispute Reso-lution”; ada pula yang menyebutnya “Apro-priate Dispute Resolution” 12. ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata13, tidak untuk kasuskasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, wa-laupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan. Restorative justice merupakan usaha untuk mencari penyelesaian konflik secara damai di luar pengadilan. Khusus untuk anak berkonflik hukum (AKH), restorative justice penting untuk diterapkan karena faktor psikologi anak harus diperhatikan. Terdapat empat kriteria kasus AKH yang dapat diselesaikan dengan model restorative justice. Pertama, kasus itu tidak mengorbankan kepentingan umum dan bukan pelanggaran lalu lintas. Kedua, anak itu baru pertama kali melakukan kenakalan dan bukan residivis. Ketiga, kasus itu bukan kasus yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia, luka berat, atau cacat seumur hidup, dan keempat, kasus tersebut bukan merupakan kejahatan kesusilaan yang serius yang menyangkut kehormatan. 14 2. Identifikasi Masalah 11) Yoram Dinstein, Loc. Cit. New York State Dispute Resolution Association, Inc., Alternative Dispute Resolution in New York State, An Overview, sbr internet. 13 Lihat UU No. 30/1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa. 14) Manheim, Herman, Comperative Criminology, Boston New York, , 1985, hlm. 56-57 12 Berdasarkan berbagai permasalahan dan latar belakang penelitian yang teruraikan di atas, maka dapatlah ditarik suatu identifikasi masalah sebagai berikut : a. Bagaimanakah efektifitas upaya perlindungan anak yangmelakukan tindak pidana seseuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak ? b. Kendala-kendala apakah yang dihadapi dalam melaksanakan mediasi terhadap anak yang melakukan tindak pidana? 3. Metode Penelitian Metode penelitian yang digunakan adalah metode pendekatan yuridis normatif, yaitu menetapkan standar norma tertentu terhadap suatu fenomena dengan mengkaji data-data sekunder serta membahas penerapan sanksi pidana kekerasan terhadap anak dan perlindungan bagi anak berdasarkan Undang-Undang No.3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak dan Undang-Undang No. 22 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak. Sedangkan analisis data menggunakan metode yuridis kualitatif, yaitu bersumber dari studi kepustakaan dan studi lapangan, kemudian disusun secara sistematis, setelah dianalisa disajikan secara diskriptif. Penelitian lebih menekankan pada kajian analisis data sekunder atau studi kepustakaan yang ditunjang dengan data primer yaitu studi lapangan. TINJAUAN PUSTAKA 1. Pengertian Anak Menurut Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang No 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak, definisi anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk yang masih ada dalam kandungan. Sedangkan menurut undang-undang pengadilan anak, anak adalah orang yang dalam perkara pidana telah mencapai delapan tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin. 15) Pengertian anak pada Pasal 1 angka 1 Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak adalah seseorang yang terlibat dalam perkara anak nakal. Yang dimaksud anak nakal dalam Pasal 1 angka 2 mempunyai dua pengertian, yaitu: 16) 1. Anak yang melakukan tindak pidana Perbuatan yang dilakukan anak tidak terbatas pada perbuatan-perbuatan yang melanggar peraturan KUHP saja melainkan juga melanggar peraturan-peraturan di luar KUHP misalnya ketentuan pidana dalam Undang-undang Narkotika, Undang-undang Hak Cipta, Undang-undang Pengelolaan Lingkungan Hidup, dan sebagainya. 2. Anak yang melakukan perbuatan yang dinyatakan terlarang bagi anak Perbuatan yang terlarang bagi anak adalah baik menurut peraturan perundangundangan maupun peraturan hukum lain yang hidup dan berlaku dalam masyarakat. Anak yang melakukan tindak pidana ini juga dikenai sanksi pidana. Berbicara mengenai pemidanaan terhadap anak sering menimbulkan perdebatan yang ramai dan panjang, karena masalah ini mempunyai konsekuensi yang sangat luas baik menyangkut diri pelaku maupun masyarakat. Pemidanaan merupakan unsur dari hukum pidana, dimana pemidanaan itu mempunyai akibat negatif bagi yang dikenai pidana, sehingga dalam penjatuhan pidana terhadap anak hakim harus menggunakan dasar pertimbangan yang rasional sehingga dapat dipertanggungjawabkan. Bagi sebagian orang, menjatuhkan pidana bagi anak dianggap tidak bijak, akan tetapi ada 15) Arief Gosita, Pengembangan Hak-Hak Anak Indonesia Dalam Proses Peradilan Pidana, Rajawali, Jakarta, 1986. hlm.5 16) Ibid. hlm.27 sebagian yang beranggapan bahwa pemidanaan terhadap anak tetap penting dilakukan, agar sikap buruk anak tidak terus menjadi permanen sampai ia dewasa. Bagir Manan berpendapat bahwa anak-anak di lapangan hukum pidana diperlakukan sebagai “orang dewasa kecil”, sehingga seluruh proses perkaranya kecuali di Lembaga Pemasyarakatan dilakukan sama dengan perkara orang dewasa. 17) Perlakuan yang berbeda hanya pada waktu pemeriksaan di sidang pengadilan, sidang untuk perkara anak dilakukan secara tertutup (Pasal 153 ayat (3) KUHAP) dan petugasnya (hakim dan jaksa) tidak memakai toga. Semua itu terkait dengan kepentingan fisik, mental dan sosial anak yang bersangkutan. Pemeriksaan perkara anak dilakukan secara tertutup sesuai dengan ketentuan Pasal 42 ayat (3) Undangundang Nomor 3 Tahun 1997 tentang Pengadilan Anak (selanjutnya disebut Undangundang Pengadilan Anak) menyatakan bahwa proses penyidikan anak wajib dirahasiakan. Oleh karena itu semua tindakan penyidik dalam rangka penyidikan anak wajib dirahasiakan, dan tanpa ada kecualinya. 18) Penilaian hakim pendidikan dan pembinaan terhadap anak nakal tidak dapat lagi dilakukan di lingkungan keluarga Pasal 24 ayat 1 huruf b Undang-Undang No. 3 Tahun 1997, maka anak itu diserahkan kepada negara dan disebut sebagai Anak Negara. Untuk itu si anak ditempatkan di Lembaga Pemasyarakatan Anak dan wajib mengikuti Pendidikan, pembinaan dan Latihan Kerja. Tujuannya untuk memberi bekal keterampilan kepada anak, dengan memberikan ketrampilan mengenai : Pertukangan menjalankan tindakan si anak diharapkam mampu hidup mandiri. Diserahkan kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial, tindakan lain yang mungkin dijatuhkan hakim kepada anak nakal adalah menyerahkannya kepada Departemen Sosial atau Organisasi Sosial kemasyarakatan yang bergerak di bidang pendidikan, pembinaan, dan latihan kerja untuk dididik dan dibina. Walaupun pada prinsipnya pendidikan, pembinaan dan latihan kerja itu diselenggarakan oleh Pemerintah di Lembaga Pemasyarakatan Anak atau oleh Departemen Sosial. Akan tetapi dalam hal kepentingan si anak menghendaki, maka hakim dapat menetapkan anak tersebut diserahkan kepada organisasi Sosial Kemasyarakatan, seperti : pesantren, panti sosial, dan lembaga sosial lainnya Pasal 24 ayat 1 huruf c Undang-Undang No. 3 Tahun 1997. Apabila anak diserahkan kepada Organisasi Sosial Kemasyarakatan, maka harus diperhatikan agama dari anak bersangkutan. Disamping tindakan yang dikenakan kepada anak nakal, juga disertai dengan teguran dan sarat-sarat tambahan yang ditetapkan oleh kahim sesuai Pasal 24 (2) Undang-Undang No. 3 Tahun 1997. Teguran itu, berupa peringatan dari hakim baik secara langsung terhadap anak, atau tidak langsung melalui orang tuanya, walinya atau orang tua asuhnya. Maksud dari teguran ini, agar anak nakal tidak lagi mengulangi perbuatan yang mengakibatkan ia dijatuhi tindakan. Sementara syarat tembahan, misalnya kewajiban untuk melapor secara periodik kepada Pembimbing Kemasyarakatan. Hukuman yang dijatuhkan kepada anak yang melakukan tindak pidana pencurian, lebih ringan dibandingkan dengan hukuman pencurian untuk orang dewasa. Hal ini sudah sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang hanya menentukan 17) Bagir Manan dalam Gatot Suparmono, Hukum Acara Pengadilan Anak, Djambatan, Jakarta, 2000.hlm.40 18) Ibid.hlm.29 pidana bagi anak adalah sepertiga dari hukuman orang dewasa. Hukuman ini dianggap sudah cukup sebagai bentuk pendidikan bagi anak agar tidak mengulang lagi perbuatan yang sama dikemudian hari, dan tetap dapat berkembang sebagaimana anak-anak lain seusianya. 2. Pengertian Tindak Pidana Anak Asal mula tindak pidana lahir dari pengertian hukum pidana yaitu 19) bagian dari seluruh hukum yang berlaku dalam negara, dimana terdapat batasan dari hukum pidana, yaitu harus ada perbuatan yang termasuk perbuatan pidana, dapat dipertanggungjawabkan dan adanya proses penuntutan di muka pengadilan terhadap tersangkanya. Perbuatan pidana dalam Wetboek van Strafrecht (WvS) dikenal istilah strafbaar feit yang dipakai untuk menyebutkan pelanggaran terhadap hukum pidana dan di Indonesia diterjemahkan menjadi; perbuatan yang dapat dihukum, peristiwa pidana, pelanggaran pidana, perbuatan pidana, dan tindak pidana. Kemudian dalam perkembangannya yang sering dijumpai adalah tindak pidana dan perbuatan pidana, karena istilah ini disamping mendukung pengertian yang tepat sebagai suatu istilah hukum, juga mudah untuk diucapkan. Pengertian tindak pidana adalah20) pelanggaran norma dalam 3 (tiga) bidang hukum, yaitu hukum perdata, hukum ketatanegaraan, dan hukum tata usaha pemerintahan, yang oleh pembentuk undang-undang ditanggapi dengan suatu pidana, sedangkan perbuatan pidana adalah21) perbuatan yang oleh aturan hukum pidana dilarang dan diancam dengan sanksi, dan menurut wujud atau sifatnya perbuatan ini adalah perbuatan melawan hukum dan merugikan masyarakat. Ada perbedaan yang mendasar antara hukum pidana dengan bidang hukum lainnya, yaitu terletak pada sanksinya, dimana sanksi pada hukum pidana bersifat memaksa, tegas bila dibanding dengan sanksi bidang hukum lainnya. Sanksi bagi pelanggar merupakan akibat hukum sebagai pembalasan bagi pelakunya. Jadi dasar pembenaran pidana terletak pada terjadinya kejahatan itu sendiri. Pada dasarnya tindakan pembalasan itu mempunyai 2 (dua) sudut, yaitu : 22) 1. Sudut subjektif, yang pembalasannya ditujukan kepada orang lain yang berbuat salah. 2. Sudut Objektif, yang pembalasannya ditujukan untuk memenuhi perasaan balas dendam masyarakat. Adapun tujuan dari hukum pidana dan pemidanaan adalah sebagai berikut : Tujuan hukum pidana23) adalah : 1. Untuk menakut-nakuti orang jangan sampai melakukan kejahatan, baik secara menakut-nakuti orang banyak (generale preventie) maupun secara menakut-nakuti orang tertentu yang sudah melakukan kejahatan, agar dikemudian hari tidak melakukan kejahatan lagi (speciale preventie) ; atau 19) 20) Sofyan Sastrawidjaja, Hukum Pidana I , Armico, Bandung, 1990, hlm.10-11. Wirjono Prodjodikoro, Tindak Tindak Pidana Tertentu Di Indonesia, Eresco, Bandung, 1986, hlm.1. 21) Mulyatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987, hlm.54. K.Wantjik Saleh, Hukum Pidana Indonesia, PT.Ikhtiar Bary, Jakarta, hlm.131. 23 ) Wirjono Prodjodikoro, Asas-asas Hukum Pidana Di Indonesia, Op.cit, hlm.18. 22) 2. Untuk mendidik atau memperbaiki orang-orang yang sudah menandakan suka melakukan kejahatan agar menjadi orang yang baik-baik tabiatnya sehingga bermanfaat bagi masyarakat. Tujuan pemidanaan secara umumnya adalah :24) 1. Mempengaruhi perikelakuan si pembuat agar tidak melakukan tindak pidana lagi, yang biasanya disebut prevensi spesial; 2. Mempengaruhi perikelakuan anggota masyarakat pada umumnya agar tidak melakukan tindak pidana seperti yang dilakukan oleh si terhukum; 3. Mendatangkan suasana damai/penyelesaian konflik; 4. Pembalasan atau pengimbalan dari kesalahan si pembuat". Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) adalah segala unsur sistem peradilan pidana yang terkait di dalam penanganan kasus-kasus kenakalan anak. Pertama, polisi sebagai institusi formal ketika anak nakal pertama kali bersentuhan dengan sistem peradilan, yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses lebih lanjut. Kedua, jaksa dan lembaga pembebasan bersyarat yang juga akan menentukan apakah anak akan dibebaskan atau diproses ke pengadilan anak. Ketiga, Pengadilan Anak, tahapan ketika anak akan ditempatkan dalam pilihan-pilihan, mulai dari dibebaskan sampai dimasukkan dalam institusi penghukuman. Yang terakhir institusi penghukuman. 25) Ada 2 (dua) kategori perilaku anak yang membuat ia berhadapan dengan hukum, yaitu:26) 1. Status Offender adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa tidak dianggap sebagai kejahatan, seperti tidak menurut, membolos sekolah atau kabur dari rumah; 2. Juvenile Delinquency adalah perilaku kenakalan anak yang apabila dilakukan oleh orang dewasa dianggap kejahatan atau pelanggaran hukum Sehubungan dengan hal ini, Muladi yang menyatakan bahwa criminal justice system memiliki tujuan untuk : (i) resosialisasi dan rehabilitasi pelaku tindak pidana; (ii) pemberantasan kejahatan; (iii) dan untuk mencapai kesejahteraan sosial.27) Berangkat dari pemikiran ini, maka tujuan sistem peradilan pidana anak terpadu lebih ditekankan kepada upaya pertama (resosialiasi dan rehabilitasi) dan ketiga (kesejahteraan sosial). Kemudian fungsi yang seharusnya dijalankan oleh sistem peradilan pidana terpadu adalah : 1. Melindungi masyarakat melalui upaya penanganan dan pencegahan kejahatan, merehabilitasi pelaku kejahatan, dan melakukan upaya inkapasiti terhadap orang yang merupakan ancaman terhadap masyarakat. 2. Menegakkan dan memajukan the rule of law dan penghormatan pada hukum, dengan menjamin adanya due process of law dan perlakuan yang wajar bagi 24) Soedarto, Hukum dan Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 1977, hlm.195-196. Steven Allen, Kata Pengantar, dalam Purnianti, Mamik Sri Supatmi, dan Ni Made Martini Tinduk, Analisa Situasi Sistem Peradilan Pidana Anak (Juvenile Justice System) di Indonesia, UNICEF, Indonesia, 2003, hlm. I 26) Mappi FH UI, Pengadilan Anak, www.pemantauperadilan.com 27 ) Ariffani, Anak Nakal: Dari Terminoligi sampai Implementasi, Majalah Kalingga, Edisi November-Desember 2003, PKPA-UNICEF, hlm. 8 25) tersangka, terdakwa, dan terpidana, melakukan penuntutan dan membebaskan orang yang tidak bersalah yang dituduh melakukan kejahatan. 3. Menjaga hukum dan ketertiban. 4. Menghukum pelaku kejahatan sesuai falsafah pemidanaan yang dianut. 5. Membantu dan memberi nasihat pada korban kejahatan. Berkaitan dengan implementasi fungsi sistem peradilan pidana di atas, dalam menangani anak, maka pemenuhan dan perlindungan hak-hak anak menjadi tujuan utama sistem tersebut. Fungsi tersebut harus dilandasi prinsip kepentingan terbaik untuk anak (the principle of the best interests of the child). KHA menandaskan kewajiban tersebut sebagaimana diatur dalam Pasal 3 sebagai berikut : (1) Dalam semua tindakan mengenai anak, yang dilakukan oleh lembaga-lembaga kesejahteraan sosial negara atau swasta, pengadilan hukum, penguasa administratif atau badan legislatif, kepentingan-kepentingan terbaik anak harus merupakan pertimbangan utama. (2)Negara-negara Pihak berusaha menjamin perlindungan dan perawatan anakanak seperti yang diperlukan untuk kesejahteraannya, dengan memperhatikan hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang tuanya, wali hukumnya atau orangorang lain yang secara sah atas dia, dan untuk tujuan ini, harus mengambil semua tindakan legislatif dan administratif yang tepat. (3) Negara-negara Pihak harus menjamin bahwa berbagai lembaga, pelayanan, dan fasilitas yang bertanggung jawab atas perawatan dan perlindungan tentang anak, harus menyesuaikan diri dengan standar-standar yang ditentukan oleh para penguasa yang berwenang, terutama di bidang keselamatan, kesehatan, dalam jumlah dan kesesuaian staf, mereka dan juga pengawasan yang berwenang. Ketentuan Kovenan sepanjang yang mengatur persoalan pencabutan kebebasan seseorang secara umum mutatis mutandis berlaku pada seorang anak yang melakukan tindak pidana.28) Namun, apabila terdapat ketentuan yang ruang lingkup berlakunya secara khusus ditujukan bagi anak-anak, maka ketentuan tersebut mempunyai implikasi hukum yang berbeda. Kovenan mengatur jaminan perlindungan hak asasi anak yang dicabut hak-haknya29) dengan menggunakan legal term ”terdakwa/terpidana/orang di bawah umur” (Pasal 10 ayat (3) dan (4), Pasal 14 ayat (1) dan (4)). Artinya legal term ini harus dibaca dengan menginterpretasikan dengan merujuk pada ketentuan KHA dalam mendefinisikan anak. Dengan kata lain, anak-anak harus mendapatkan jaminan yang sama dalam pemenuhan hak-haknya sebagaimana semua prosedur dan pentahapan yang relavan yang diberlakukan bagi pelaku kriminal dewasa. Konsekuensi logis dan yuridisnya, negara dibebani kewajiban untuk memberikan perlakuan yang berbeda antara orang dewasa dan anak yang melakukan suatu tindak pidana (Pasal 14 ayat (1)). Dalam perspektif penafsiran Ilmu Hukum, karena kedua instrumen ini telah diratifikasi dengan demikian menjadi hukum positif (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia), maka Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik menjadi lex generalis, sedangkan KHA menjadi lex specialis. Meskipun hukum pidana menjadi legitimasi untuk mengurangi 28) Melani, Setop Penayangan rakyat.com/cetak/0603/16/teropong 29) Ibid & Hindari Pemenjaraan Anak, www.pikiran dan membatasi penikmatan hak asasi seseorang, namun terdapat sejumlah hak dan kebebasan yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun. Sejumlah hak ini dikenal dengan hak-hak non derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Terkait dengan seseorang yang berkonflik dengan hukum, h: (i) hak atas hidup; (ii) hak bebas dari penyiksaan; (iii) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; dan (iv) hak sebagai subyek hukum, termasuk hak non derogable (Pasal 4 ayat (2) Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik) mutlak mendapatkan perlindungan dari negara. Dengan demikian, ketentuan Kovenan sepanjang yang mengatur persoalan pencabutan kebebasan seseorang secara umum mutatis mutandis “perubahan yang penting telah dilakukan” berlaku pada seorang anak yang melakukan tindak pidana. 30) Namun, apabila terdapat ketentuan yang ruang lingkup berlakunya secara khusus ditujukan bagi anak-anak, maka ketentuan tersebut mempunyai implikasi hukum yang berbeda. Kovenan mengatur jaminan perlindungan hak asasi anak yang dicabut hakhaknya dengan menggunakan legal term ”terdakwa/terpidana/orang di bawah umur” (Pasal 10 ayat (3) dan (4), Pasal 14 ayat (1) dan (4)). Artinya legal term ini harus dibaca dengan menginterpretasikan dengan merujuk pada ketentuan KHA dalam mendefinisikan anak. Dengan kata lain, anak-anak harus mendapatkan jaminan yang sama dalam pemenuhan hak-haknya sebagaimana semua proseder dan pentahapan yang relavan yang diberlakukan bagi pelaku kriminal dewasa. Konsekuensi logis dan yuridisnya, negara dibebani kewajiban untuk memberikan perlakuan yang berbeda antara orang dewasa dan anak yang melakukan suatu tindak pidana (Pasal 14 ayat (1)). Dalam perspektif penafsiran Ilmu Hukum, karena kedua instrumen ini telah diratifikasi dengan demikian menjadi hukum positif (Pasal 7 ayat (2) Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia), 31) maka Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik menjadi lex generalis, sedangkan KHA menjadi lex specialis. Meskipun hukum pidana menjadi legitimasi untuk mengurangi dan membatasi penikmatan hak asasi seseorang, namun terdapat sejumlah hak dan kebebasan yang tidak boleh dikurangi dalam kondisi apapun. Sejumlah hak ini dikenal dengan hak-hak non derogable, yaitu hak-hak yang bersifat absolut yang tidak boleh dikurangi pemenuhannya oleh negara, walaupun dalam keadaan darurat sekalipun. Terkait dengan seseorang yang berkonflik dengan hukum, (i) hak atas hidup; (ii) hak bebas dari penyiksaan; (iii) hak bebas dari pemidanaan yang berlaku surut; dan (iv) hak sebagai subyek hukum, termasuk hak non derogable (Pasal 4 ayat (2) Kovenan Hak Sipil dan Hak Politik) mutlak mendapatkan perlindungan dari negara. 3. Mediasi Mediasi penal (penal mediation) sering juga disebut dengan berbagai istilah, antara lain : “mediation in criminal cases” atau ”mediation in penal matters” yang dalam istilah Belanda disebut strafbemiddeling, dalam istilah Jer-man disebut ”Der **) Aubergerichtliche Tataus-gleich” (disingkat ATA ) dan dalam istilah Perancis disebut ”de mediation pénale”. Karena mediasi penal terutama memperte-mukan antara pelaku tindak pidana dengan korban, maka mediasi penal ini sering juga dikenal dengan istilah 30) www.kompas.com/27 Juli 2011 tanggal Akses 19 September 2012 Vermont Agency of Human Services, Promoting Youth Justice Through Restorative Alternatives Planning Division September, 2003 31) ”Victim-Offender Medi-ation” (VOM), Täter-Opfer-Ausgleich (TOA), atau Offender-victim Arrangement (OVA). Mediasi penal merupakan salah satu bentuk alternatif penyelesaian sengketa di luar pengadilan (yang biasa dikenal dengan isti-lah ADR atau ”Alternative Dispute Reso-lution”; ada pula yang menyebutnya “Apro-priate Dispute Resolution”32). ADR pada umumnya digunakan di lingkungan kasus-kasus perdata tidak untuk kasus-kasus pidana. Berdasarkan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia saat ini (hukum positif) pada prinsipnya kasus pidana tidak dapat diselesaikan di luar pengadilan, walaupun dalam hal-hal tertentu, dimungkinkan adanya penyelesaian kasus pidana di luar pengadilan. Walaupun pada umumnya penyelesaian sengketa di luar pengadilan hanya ada dalam sengketa perdata, namun dalam praktek sering juga kasus pidana diselesai-kan di luar pengadilan melalui berbagai diskresi aparat penegak hukum atau melalui mekanisme musyawarah atau perdamaian atau lembaga permaafan yang ada di dalam masyarakat (musyawarah keluarga; musyawarah desa; musyawarah adat dan sebagainya). Praktek penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan selama ini tidak ada landasan hukum formalnya, sehingga sering terjadi suatu kasus yang secara informal telah ada penyelesaian damai (walaupun melalui mekanisme hukum adat), namun tetap saja diproses ke pengadilan sesuai hukum yang berlaku. Dalam perkembangan wacana teoritik maupun perkembangan pembaharuan hukum pidana di berbagai negara, ada kecende-rungan kuat untuk menggunakan mediasi pidana/penal sebagai salah satu alternatif penyelesaian masalah di bidang hukum pidana. Menurut Detlev Frehsee, meningkatnya penggunaan restitusi dalam proses pidana menunjukkan, bahwa perbedaan antara hukum pidana dan perdata tidak begitu besar dan perbedaan itu menjadi tidak berfungsi. 33)Mediasi pidana yang dikembangkan itu bertolak dari ide dan prinsip kerja (working principles) sebagai berikut : 34) a. Penanganan konflik (Conflict Handling/ Konfliktbearbeitung): Tugas mediator adalah membuat para pihak melupakan kerangka hukum dan mendorong mereka terlibat dalam proses komunikasi. Hal ini didasarkan pada ide, bahwa kejahatan telah menimbulkan konflik interpersonal. Konflik itulah yang dituju oleh proses mediasi. b. Berorientasi pada proses (Process Orientation; Prozessorientierung): Mediasi penal lebih berorientasi pada kualitas proses daripada hasil, yaitu: menyadarkan pelaku tindak pidana akan kesalahannya, kebutuhan-kebutuhan konflik terpecahkan, ketenangan korban dari rasa takut dan sebagainya. c. Proses informal (Informal Proceeding - Informalität): Mediasi penal merupakan suatu proses yang informal, tidak bersifat birokratis, menghindari prosedur hukum yang ketat. 32) New York State Dispute Resolution Association, Inc., Alternative Dispute Resolution in New York State, An Overview, sbr internet. 33) Detlev Frehsee (Professor of Criminology and Criminal Law, University of Bielefeld, Germany), “Restitution and Offender-Victim Arrangement in German Criminal Law: Development and Theoretical Implications”, http://wings.buffalo.edu/law/ bclc/bclr.htm tgl akses 15 Desember 2012 64) Stefanie Tränkle, The Tension between Judicial Control and Autonomy in Victim-Offender Media-tion - a Microsociological Study of a Paradoxical Procedure Based on Examples of the Mediation Process in Germany and France, http://www. iuscrim.mpg.de/forsch/krim/traenkle. Tanggal akses 15 Desember 2012 d. Ada partisipasi aktif dan otonom para pihak (Active and Autonomous Participation - Parteiautonomie/Subjektivie-rung) Para pihak (pelaku dan korban) tidak dilihat sebagai objek dari prosedur hukum pidana, tetapi lebih sebagai subjek yang mempunyai tanggungjawab pribadi dan kemampuan untuk berbuat. Mereka diharapkan berbuat atas kehendaknya sendiri. Dalam hal tindak pidana dilakukan oleh anak di bawah usia 8 tahun. Menurut Undang-Undang No. 3 tahun 1997 (Pengadilan Anak), batas usia anak nakal yang dapat diajukan ke pengadilan sekurang-kurangnya 8 tahun dan belum mencapai 18 tahun. Terha-dap anak di bawah 8 tahun, penyidik dapat menyerahkan kembali anak ter-sebut kepada orang tua, wali, atau orang tua asuhnya apabila dipandang masih dapat dibina atau diserahkan kepada Departemen Sosial apabila dipandang tidak dapat lagi dibina oleh orang tua/ wali/orang tua asuh (Pasal 5 Undang-Undang No. 3 tahun 1997). Ketentuan di atas hanya memberi kemung-kinan adanya penyelesaian perkara pidana di luar pengadilan, namun belum merupakan ”mediasi penal” seperti yang diuraikan di atas. Penyelesaian di luar pengadilan berdasar Pasal 82 KUHP di atas belum meng-gambarkan secara tegas adanya kemung-kinan penyelesaian damai atau mediasi antara pelaku dan korban (terutama dalam masalah pemberian ganti rugi atau kompen-sasi) yang merupakan ”sarana pengalihan/ diversi” (means of diversion)” untuk dihen-tikannya penuntutan maupun penjatuhan pidana. Walaupun Pasal 82 KUHP merupa-kan alasan penghapus penuntutan, namun bukan karena telah adanya ganti rugi/ kompensasi terhadap korban, tetapi hanya karena telah membayar denda maksimum yang diancamkan. Penyelesaian kasus pidana dengan memberi ganti rugi kepada korban, dimungkinkan dalam hal hakim akan menjatuhkan pidana bersyarat (Pasal 14c KUHP). Patut dicatat, ketentuan pidana bersyarat dalam KUHP inipun masih tetap berorientasi pada kepentingan pelaku (offender oriented), tidak ”victim oriented”. PEMBAHASAN A. Upaya perlindungan anak yang melakukan tindak pidana seseuai dengan ketentuan Undang-Undang No. 3 tahun 1997 tentang pengadilan anak Sudah banyak cara yang dilakukan oleh pemerintah dan pihak pihak terkait, namun cukup memprihatinkan kenyataan yang ada bukan semakin berkurang tetapi semakin bertambah dan merajalela dengan beraneka ragam modus operandinya. Anak-anak yang diciptakan oleh Tuhan dengan segala keindahan dan kesempurnaannya, mereka memiliki masa depan, hak apapun yang ada didunia dan mereka hadir untuk dicintai. Sehingga mereka melakukan tindakan-tindakan yang terkadang mereka tidak mengetahui bahwa tindakan itu sangatlah berbahaya bagi mereka. Oleh karenanya masalah anak merupakan salah satu masalah pokok yang harus diperhatikan dan dipikirkan dalam kaitannya dengan pembinaan generasi penerus bangsa yang terampil dan bertanggungjawab. Anak-anak baik yang menjadi korban ataupun mereka sebagai pelaku tindak kejahatan sudah barang tentu semuanya berurusan dengan hukum dan mereka pasti akan memperoleh cap ataupun lebel sebagai penjahat cilik dan tidak mustahil masa depan cerah mereka akan berubah menjadi masa depan yang suram. Sebelum seseorang beranjak dewasa tentunya terlebih dahulu mereka akan melalui masa masa yang disebut dengan anak-anak. Berdasarkan undang-undang perlindungan anak, yang dimaksudkan dengan anak adalah mereka yang belum berusia 18 tahun termasuk anak yang masih dalam kandungan (UU No. 23 Tahun 2002). Sedangkan menurut undang-undang pengadilan anak yang dimaksudkan dengan anak adalah orang yang dalam perkara anak nakal telah mencapai umur 8 tahun tetapi belum mencapai umur 18 tahun dan belum pernah kawin (UU No. 3 Tahun 1997). Terhadap mereka yang disebut dengan anak nakal dapat dijatuhi sanksi yang berupa tindakan dan pidana. Mencegah kejahatan adalah lebih baik daripada mendidik penjahat untuk menjadi lebih baik kembali. Tindakan ini jauh lebih bermanfaat (baik dari segi biaya dan pencapaian tujuannya). Banyak faktor yang mendorong munculnya kejahatan yang dilakukan oleh anak anak yaitu adanya faktor intern dan faktor ekstern. Oleh karena itu apabila kita menginginkan kasus kriminal yang dilakukan oleh anakanak dapat berkurang dan bila memungkinkan dapat terhapus, maka titik fokus pencegahan dan penanggulangannya harus diarahkan sepenuhnya pada anak karena kemerosotan mental orang dewasa telah diawali dengan kemerosotan mental sejak kecil (masih anak anak). Upaya untuk memahami dan menjelaskan gejala yang yang sedang terjadi dengan maraknya pelaku tindak kejahatan oleh anak-anak tentunya banyak tantangan yang harus dihadapi. Sebagai kunci utamanya adalah sesering mungkin untuk mensosialisakan undang undang dan peraturan peraturan yang terkait dengan perlindungan anak keseluruh komponen masyarakat. Mengupayakan setiap kegiatan kegiatan yang berkaitan dengan kepedulian dan kebutuhan pada anak-anak secara proposional. Menjauhkan dan menghindarkan anak-anak dari konflik hukum yang pasti akan menyulitkan bagi mereka dimasa depannya, karena siapapun yang telah melanggar hukum pasti mendapatkan sanksi. Apabila mereka pernah masuk penjara dan tecatat sebagai pelaku tindak kriminal maka tidak menutup kemungkinan mereka akan mendapatkan perlakuan diskriminasi dari masyarakat. Para penyelenggara perlindungan anak terutama penegak hukum untuk berhati hati dalam menjatuhkan sanksi karena dapat berakibat fatal terhadap kehidupan anak-anak. (kenyataan dengan penjatuhan sanksi penjara yang terlalu lama serta didikan yang “keras dan kasar“ bukan membuat mereka jera tetapi akan menimbulkan hal-hal yang semakin mencemaskan bagi mereka yaitu mencetak penjahat penjahat dimasa depan). Didik mereka dengan cinta kasih yang tak bersyarat bukan dengan kekerasan karena apa yang dilakukan oleh anak anak merupakan cerminan dan produk dari kita yang membinanya. Sedangkan dalam rangka memperbaiki/rehabilitasi terhadap anak-anak pelaku tindak kejahatan maka haruslah melibatkan orang tua sebagai pihak pertama yang memberikan dasar kepribadian dalam perkembangan/pembentukan sifat dan sikapnya. Selanjutnya dalam rangka mengembalikan dan memberikan perlindungan terhadap anak anak perlu adanya kerjasama pada semua pihak (baik pemerintah ataupun swasta) serta didukung oleh penyediaan dana yang telah terencana dan melaksanakan tujuan dari konvensi anak yang telah diratifikasi sebagai dasar dalam melaksanakan upaya perlindungan, pencegahan dan pemulihan pada anak anak pelaku tindak kejahatan, agar mereka dapat diterima dilingkungan keluarga serta komunitasnya dan hidup normal. Alternative Dispute Resolution (ADR) suatu rangkaian proses yang bertujuan untuk menyelesaikan perselisihan antara pihak-pihak yang pada mulanya perselisihan atau persengketaan itu hanya bisa diselesaikan lewat badan peradilan artinya melalui suatu pengadilan. Dalam mekanisme kerjanya Alternative Dispute Resolution (ADR) ini biasanya melibatkan penengah yang adil, dalam arti kata tidak memihak, dan bertindak sebagai pihak-pihak ketiga yang netral. Dengan adanya Alternative Dispute Resolution (ADR) ini peradilan itu akan meringankan beban pengadilan, di samping itu juga tujuannya untuk memperoleh adanya solusi yang saling menguntungkan. Dari perkembangan semula ini merupakan suatu pertanggungan badan yang belum merupakan suatu bentuk yang mandiri tapi sekarang sudah diakui bahwa ADR itu merupakan disiplin yang independen (mandiri), artinya disiplin yang mempunyai metode-metode dan prosedur-prosedur penyelesaian, dalam rangka mengkafer proses penyelesaian sengketa yang begitu baik ataupun tidak cukup penyelesaian sengketa serta mendesain sistem penyelesaian sengketa. Tujuan Alternative Dispute Resolution (ADR) menyediakan suatu proses yang sangat berharga untuk membantu di dalam penyelesaian pihak-pihak perselisihan yang bersengketa, terutama dalam proses atau terhadap penarikan sengketa dan pihakpihak yang bersengketa untuk mendesain bagaimana cara penyelesaian sengketa tersebut. Bagaimana penyelesaiannya bisa melalui Negosiasi, dan Mediasi. Ciri utama dari masalah ADR ini adalah para pihaklah yang memberikan hasil dari yang disengketakan, dan para pihaklah yang menentukan yang mereka kehendaki bersama, mereka yang menentukan semuanya. Jadi dalam hubungannya dengan kasus penganiayaan tersebut di atas, maka sudah tepat apa yang dilakukan oleh para pihak tersebut menyelesaikan persoalannya. Prosesnya dapat dalam bentuk-bentuk yang tersetruktur seperti Negosiasi atau Mediasi, dimana pihak ketiga atau penengah, yang dihormati, dan diharapkan dapat bertindak adil akan menengahi sengketa itu. Pihak ketiga atau penengah ini, tidak mengambil putusan, tetapi memfasilitasi pihak-pihak untuk dapat mencapai apa yang menjadi solusi terhadap persengketaan yang dihadapi. Ini berarti bahwa kontrol atau pengendalian atau putusan diambil dari bentuk-bentuk penyelesaian dari persengketaan itu berada di tangan para pihak. Bagi masing-masing pihak yang terpenting adalah menerima kesepakatan yang telah diputuskan bersama tersebut. Dan untuk lebih mempunyai kekuatan hukum yang tetap, maka para pihak membuat Surat Pernyataan yang ditulis di atas kertas segel. Berdasarkan surat pernyataan yang dibuat oleh kedua belah pihak dan saksi-saksi, maka kasus penganiayaan yang terjadi telah diselesaikan dengan cara kekeluargaan, dimana kedua belah pihak telah bersepakat untuk Sama-sama minta maaf dan memaafkan. Pihak pertama (pelaku) memberi bantuan uang dan pihak kedua (korban) menerima bantuan tersebut. Sama-sama berjanji tidak akan mengulangi lagi per-buatan tersebut, baik kepada yang bersangkutan maupun kepada orang lain. Sama-sama berjanji apabila mengulangi lagi perbuatan tersebut, bersedia dituntut sesuai hukum yang berlaku. Di sinilah letak mengapa Polri tidak melakukan penyidikan lebih lanjut. Sebab yang paling utama dan terutama adalah pihak korban, yang telah menerima tawaran berdamai dari pihak tersangka, dan sekaligus menyatakan bahwa masalah penganiayaan tersebut telah diselesaikan dengan cara kekeluargaan (damai) antara para pihak. Dengan demikian masalah tersebut dianggap tidak ada atau tidak pernah ada dengan adanya Surat Pernyataan tersebut. Apalagi pihak korban telah menyetujui dan disaksikan oleh para saksi. Lagi pula budaya Indonesia yang cenderung mementingkan harmoni, keselarasan, kerukunan, dan kurang begitu mau dan mampu melihat suatu konflik dalam kenyataan yang wajar. Alternatif penyelesaian sengketa hanya mencakup bentuk-bentuk penyelesaian sengketa berdasarkan pendekatan konsensus, seperti negosiasi, fasilitasi, mediasi, konsiliasi, konsultasi, dan koordinasi. Arbitrasi tidak dimasukkan ke dalam bentuk alternatif, karena arbitrasi berlangsung atas dasar pendekatan adversarial (pertikaian) yang menyerupai proses peradilan sehingga menghasilkan adanya pihak yang menang dan kalah. Kepastian hukum merupakan konsepsi tentang cita-cita hukum disamping keadilan dan kegunaan hukum. Kepastian hukum dalam praktek sejak masa lalu merupakan fatamorgana dan unik. Sekalipun demikian, kepastian hukum tetap menjadi harapan semua lapisan masyarakat, baik kelas bawah, menengah maupun kelas atas, baik untuk orang yang baik juga diperlukan oleh orang yang telah berbuat jahat. Kepastian hukum memang sangat menjanjikan rakyat karena dalam kalimat ini terkandung banyak harapan untuk terciptanya ketertiban dan pada giliran terakhir akan memperoleh keadilan yang diharapkan oleh masing-masing orang, dimana keadilan itu tentunya sudut pandangnya berbeda-beda, tergantung individu masing-masing, walaupun sebenarnya keadilan itu untuk semua orang tanpa kecuali, yaitu semua sama dihadapan hukum (equality before the law). Dalam kehidupan sehari-hari sering mendengar kalimat kepastian, orang banyak mengharap namun pada akhirnya sering berakhir dengan kekecewaan. Tampak kalimat kepastian dan kepastian hukum bersaudara dalam hal mengecewakan para penggemarnya. Rakyat sebaiknya menyadari bahwa dalam kehidupan sehari-hari kita sering mengukur idialisme dengan keadaan nyata, sedangkan dalam praktek justru keduanya sering bertentangan satu sama lain, oleh karena itu, anggota kepolisian dalam melakukan tugas menangkap orang harus sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan. Pelaksanaan tugas yang sesuai dengan prosedur saja kadang menuai protes atau meminta kebijakan karena dianggap langkah yang telah dilakukan kurang bijak, apalagi tindakan yang melanggar ketentuan, tentunya hal ini akan menuai protes, salah satunya mengajukan upaya pra-peradilan. Dalam perkara yang penulis teliti ini, memang perkaranya tidak dimajukan ke meja hijau, namun penyimpangan atau pelanggaran prosedur penangkapan yang dilakukan oleh anggota kepolisian telah melukai hati anak dan tidak sesuai dengan ketentaun sanksi pidana anak berdasakan Pasal 7 UU Pengadilan Anak, keluarganya, orang yang mengamati atau pemerhati pelaksanaan penegakan hukum, yang akhirnya bermuara pada tumpukan kebencian orang terhadap aksi kekerasan yang dilakukan oleh anggota kepolisian. Aksi balasan yang amat mudah dilihat yaitu pada saat terjadi aksi sosial yang brutal terhadap ketidakpercayaan orang atau masyarakat terhadap aparat penegak hukum, khususnya terhadap institusi kepolisian. Perlindungan terhadap anak yang berkonflik dengan hukum sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 diberikannya sanksi pidana dengan memasukkan anak ke penjara jelas melanggar ketentuan, sehingga sudah sangat mendesak, dengan demikian semua pihak hendaknya duduk bersama untuk merumuskan langkah apa yang harus dilakukan dalam rangka mengatasi fenomena tersebut guna menyelamatkan anak-anak sebagai generasi muda penerus dalam pembangunan bangsa dan negara. Upaya ini lebih dikenal dengan istilah ”Restorative Justice” yang mana semua komponen duduk bersama guna merumuskan secara kolektif cara mengatasi konsekuensi pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak dan implikasinya di masa mendatang, upaya ini dibangun di atas dasar nilai-nilai tradisional komunitas yang positif dan sanksi-sanksi yang diterapkan atau dilaksanakan selalu menghargai hak asasi manusia. B. Kendala-kendala dalam pelaksanaan mediasi terhadap anak yang melakukan tindak pidana Pada dasarnya anak tidak dapat dimintai tanggung jawab karena dia belum dewasa. Namun kerugian yang timbul karena perbuatan anak harus ada yang menanggungnya, yaitu orang tua atau kerabat si anak. Begitu juga ketika terjadi ”kecelakaan” atas diri anak harus ada yang bertanggung jawab, termasuk ke dalamnya orang tua atau kerabat anak itu sendiri (misalnya kecelakaan karena memperkerjakan anak di bawah umur). Sekiranya dikaitkan dengan keadaan sekarang, upaya menyusun dan menata ulang kebijakan, peraturan dan kegiatan mengenai anak yang berhadapan dengan hukum, menurut penulis dapat saja dilakukan sesuai dengan adat istiadat dan kebutuhan nyata masyarakat kita sekarang, asalkan memperhatikan prinsip-prinsip di atas tadi, terutama sekali tidak ada pihak yang dirugikan (anak itu sendiri, orang tua atau kerabat anak, korban perbuatan pidana) dan setelah itu tanggung jawab atas perbatan pidana yang dilakukan anak (orang yang masih di bawah umur, belum dewasa) berada pada orang tua dan atau kerabatnya. Menurut penulis memberikan kesempatan ”berdamai” untuk menyelesaikan sengketa (dalam upaya menghindari kerugian para ihak) kepada kerabat anak yang menjadi pelaku kejahatan (perbuatan pidana) dengan korban kejahatan atau keluarganya tidaklah salah atau barangkali lebih tepat adalah sejalan dengan prinsip-prinsip yang ada. Kalau hal ini dapat diterima barangkali kita perlu menyusun bagaimana bentuk ”perdamaian” musyawarah atau mediasi tersebut, persoalan yang dapat dimediasikan, jenis, bentuk dan besaran ganti rugi yang dapat diminta atau wajib ditanggung, langkah-langkah yang harus ditempuh, tata cara pengesahan atau pemberlakukan hasil perdamaian dan yang terakhir adalah pengawasannya agar dapat berlaku efektif. Upaya alternatif yang dimaksud disini adalah menyelesaikan masalah anak yang berkonflik dengan hukum akan tetapi tidak melalui mekanisme Sistem Peradilan Pidana Anak. Bila dibandingkan diantara institusi yang memperaktekan 'diversi' ternyata adalah Kepolisian, yang dilakukan dengan menggunakan kewenangan diskresioner yang dimilikinya. Dalam kasus-kasus anak, institusi penegak hukum lainnya seperti Kejaksaan dan Pengadilan, dengan sebab-sebab tertentu, seakan-akan memiliki kecenderungan untuk memilih pidana badan daripada jenis pidana lainnya. Kenyataan ini tampak dari data skunder yang diperoleh sebagaimana yang peneliti uraikan di atas. Prinsip yang sama juga sesungguhnya telah diadopsi dalam Pasal 16 ayat 3 UndangUndang No. 22 tahun 2003 tentang Perlindungan Anak.. Kreteria yang tidak terbuka ini membuka peluang adanya praktek diskriminasi maupun penyalahgunaan wewenang. Dengan alasan yang sama (kekhawatiran adanya kesulitan untuk menghadirkan) serta pertimbangan tentang status terdakwa anak yang telah berada dalam tahanan, menyebabkan Jaksa Penuntut Umum (JPU) untuk melakukan penahanan lanjutan. Sesungguhnya keadaan terdakwa dalam status penahanan, akan menimbulkan kesulitan dalam kaitan dengan penuntutan. Dalam arti bahwa JPU dipaksa untuk mempertimbangkan masa penahanan yang telah dijalani terdakwa anak tersebut dalam hal ia menyusun surat tuntutan. Karena itu pula dapat dimengerti, sekalipun tidak berarti kita menyetujui, latar belakang yang menyebabkan adanya fakta bahwa JPU cenderung untuk tidak melakukan "diversi" atau memiliki kecenderungan untuk memilih pidana penjara/kurungan daripada jenis pidana lainnya. Pengadilan dengan pertimbangan keadaan terdakwa anak yang sudah dalam status penahanan anak dan untuk menghindari munculnya tanggung jawab moral dalam menghadirkan terdakwa, maka Pengadilan juga cenderung untuk melakukan penahanan lanjutan untuk kepentingan pemeriksaan pengadilan. Sekalipun Penahanan terhadap terdakwa anak juga telah menimbulkan kesulitan bagi Pengadilan dalam memutus perkara, khususnya ketika Pengadilan hendak menjatuhkan 'tindakan' selain daripada "pidana" atau ketika Pengadilan hendak menjatuhkan pidana lain selain dari pada pidana penjara/kurungan. Karena apabila dijatuhkan putusan lain selain daripada pidana perampasan kemerdekaan, maka dikhawatirkan terpidana akan menuntut ganti rugi sebagai akibat dari penahanan yang pernah dialaminya.Oleh karena itu seringkali masa pidana sekedar disesuaikan dengan masa penahanan. Dengan demikian dari kasus-kasus yang ditemukan, masa pidana sesungguhnya adalah sekedar masa penahanan yang telah dijalaninya, dan yang bersangkutan segera meninggalkan rutan sebagai akibat dari keharusan mengurangi masa pidana dengan masa penahanan. Dengan demikian maka fakta yang menunjukan Pengadilan cenderung menjatuhkan pidana penjara/kurungan dalam kasus-kasus anak, tidak dapat disimpulkan sebagai tidak adanya kemauan untuk melakukan "diversi" pada tingkat Pengadilan. Salah satu penghambat "diversi" pada tingkat Pengadilan adalah penahanan yang dilakukan oleh Penyidik (Polisi) terhadap tersangka anak. Dengan demikian, maka Kepolisian sebagai institusi yang telah melakukan "diversi" ternyata juga merupakan salah satu faktor yang menghambat. Berdasarkan pada kenyataan sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka diperlukan berbagai langkah guna mendorong dilakukannya diversi. Dalam rangka mendorong diversi pada tingkat Penyidikan oleh Polisi, diperlukan beberapa langkah sebagai berikut: Peningkatan pengetahuan Polisi khususnya Penyidik Anak tentang ekses-ekses negatif dari SPP anak serta manfaat dari pendekatan non penal terhadap masalah kenakalan anak. Dengan demikian diharapkan tumbuhnya keyakinan dikalangan Penyidik Anak bahwa prosedur hukum bukanlah satu-satunya cara penyelesaian kasus anak. Diperlukan adanya pedoman tentang prosedur penangkapan maupun penahanan terhadap tersangka anak yang berorientasi pada UU Pengadilan Anak, UU Perlindungan Anak, maupun instrumen-instrumen internasional lainnya Diperlukan adanya pedoman bagi Penyidik Anak yang berisi kreteria maupun prosedur dalam menggunakan kewenangan diskretionernya untuk melakukan diversi. Manajemen Kepolisian perlu mengembangkan nilai yang memandang penggunaan kewenangan diskretioner yang tepat sebagai langkah positip, daripada sebagai langkah yang perlu dimintakan pertanggung-jawaban. Dengan kata lain, diversi hendaknya dipandang sebagai "kewajaran" dan bukan sebagai "pengecualian " (eksepsional). Diperlukan upaya untuk menjalin kerjasama, baik dengan instansi pemerintah terkait maupun dengan LSM, sebagai bagian dari upaya Polisi dalam melakukan diversi. Dalam hal ini perlu dipromosikan dan dikembangkan model restorative justice (konsep keadilan pemulihan) sebagai solusi. Kesulitan yang diperkirakan akan dihadapi Pengadilan dalam melakukan diversi adalah adanya kewajiban untuk memperhatikan pula kepentingan maupun perasaan keadilan dari korban atau keluarganya. Untuk mengakomodasi kepentingan korban/keluarganya, maka kiranya dapat digunakan dan dikembangkan lembaga "penggabungan perkara perdata ke dalam perkara pidana" sebagaimana yang telah diperkenalkan dalam KUHAP, namun hamper-hampir tidak pernah dilaksanakan. Penggabungan perkara dimaksud adalah menggabungkan tuntutan ganti rugi perdata ke dalam perkara pidana dengan maksud agar korban dapat secepatnya mendap atkan ganti rugi yang dibutuhkan. Selain itu juga dimaksudkan agar Hakim dapat secara sekaligus menggabungkan dua konsep keadilan dalam suatu putusan yaitu konsep keadilan pidana dan konsep keadilan perdata. Sangat disesalkan gagasan yang sangat baik ini ternyata tidak berjalan dalam praktek dikarenakan adanya beberapa kelemahan yang membatasi tuntutan ganti rugi yaitu dibatasinya tuntutan ganti rugi pada kerugian yang bersifat materiel dan yang telah dikeluarkan. Dengan demikian kerugian-kerugian yang bersifat imateriel dan kerugian materiel yang belum dikeluarkan tidak dapat dimintakan dalam penggabungan perkara dimaksud. Kelemahan ini telah menyebabkan korban kejahatan lebih memilih pengajuan gugatan perdata biasa yang dapat menampung keseluruhan kerugian baik materil (telah dikeluarkan maupun belum dikeluarkan) maupun imateril. Perlu pemikiran bersama bahwa persoalan pemidanaan anak sangat serius karena : (1) dalam proses peradilan cenderung terjadi pelanggaran hak asasi manusia bahkan banyak bukti menunjukkan ada praktek kekerasan dan penyiksaan terhadap anak yang masuk dalam mesin peradilan, (2) perspektif anak belum mewarnai proses peradilan, (3) penjara yang menjadi tempat penghukuman anak terbukti bukan merupakan tempat yang tepat untuk membina anak mencapai proses pendewasaan yang diharapkan, (4) selama proses peradilan anak yang berhadapan dengan hukum kehilangan hak-hak dasarnya seperti komunikasi dengan orang tua, hak memperoleh pendidikan, dan hak kesehatan, dan ada stigma yang melekat pada anak setelah selesai proses peradilan sehingga akan menyulitkan dalam perkembangan psikis dan sosial ke depannya. Keadilan bagi anak yang berkonflik dengan hukum adalah dipastikannya semua anak untuk memperoleh layanan dan perlindungan secara optimal dari sistem peradilan dan proses hukum. Anak berhadapan dengan hukum diartikan ketika anak dalam posisi sebagai korban, sedangkan anak berkonflik dengan hukum ketika anak diposisikan sebagai tersangka atau terdakwa pelaku tindak pidana. Sesuai dengan esensi yang terkandung dalam tujuan Undang-Undang Pengadilan Anak yaitu ”Untuk memberikan perlindungan kepada anak dan menjamin kesejahteraan anak, meskipun ia berkonflik dengan hukum”. Komisi Perlindungan Anak selain bertujuan memberikan perlindungan dan memberikan kesejahteraan kepada anak, juga bertujuan agar dalam penjatuhan sanksi hukum terhadap anak harus benarbenar secara proporsionalitas, tidak hanya memberi sanksi yang berorientasi pada penghukuman (pidana penjara) semata, akan tetapi juga memberikan alternatif lain dalam bentuk pembinaan (tredment) yaitu sanksi pidana non penal (tindakan) dengan menerapkan konsep restorative justice. Oleh karena itu advokasi oleh Komisi Perlindungan Anak terhadap anak sebagai bentuk upaya perlindungan anak yang sedang berkonflik dengan hukum melalui sosialisasi tentang pelaksanaan restorative justice perlu terus dilakukan dalam rangka mencari alternatif lain selain pidana penjara sebagai tujuan pemidanaan di Indonesia. Berbagai latar belakang penyebab anak berkonflik dengan hukum sering kali tidak menjadi fokus perhatian. Fokus media masa biasanya hanya pada macam kasus-kasus pelanggaran hukum yang dilakukan oleh anak. Berdasarkan fakta Hukum yang dibahas dalam bab sebelumnya dapat dilihat kasus yang diprose Hukum oleh Pengadilan Negeri Bandung Sebanyak 87 kasus pidana anak, banyaknya anak pelaku tindak pidana yang diproses secara pidana sampai kepada putusan pengadilan dan pemidanaan, sehingga penyelesaian perkara di luar jalur Hukum atau ADR masih belum efektif dikarenakan penyidik Polri masih melanjutkan perkara pidana tersebut, adapun perkara pidana anak yang dihentikan oleh penyidik Polri dikarenakan orang tua anak bersangkutan merupakan orang yang mampu atau mempunyai financial yang bagus seperti orang tua Prananda Dwi Firdaus, Ado (7 tahun), Arif (8 tahun) dan Titen Rosada yang mempunyai financial yang cukup bagus sehingga dapat menyelesaikan perkara tanpa harus melalui proses Hukum. Disamping itu tidak adanya landasan Hukum yang dapat digunakan oleh penyidik Polri untuk melakukan penghentian penyidikan atau proses pidana terhadap anak pelaku tindak pidana. PENUTUP A. Kesimpulan Berdasarkan pembahasan pada bab-bab sebelumnya maka penulis menarik kesimpulan sebagai berikut Terhadap anak sebagai pelaku tindak pidana hendaknya diberikan perlindungan sesuai dengan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002, dengan diberikannya sanksi pidana dengan memasukkan anak ke penjara jelas melanggar ketentuan, sehingga Pasal 2 belum efektif dikarenakan masih adanya pemidanaan terhadap anak. Sanksi pidana anak berdasakan Pasal 7 Undang-Undang No 3 tahun 1997 tentang Pengadilan Anak bukanlah merupakan tujuan utama bagi pemidanaan anak karena pidana penjara merupakan ultimum remidium. Upaya mediasi melalui ADR terhadap anak pelaku tindak pidana merupakan bentuk perlindungan terhadap anak pelaku tindak pidana, akan tetapi belum adanya peraturan perundang-undangan yang mengatur dengan tegas tentang ADR, sehingga penegak Hukum sulit menerapkan ini dikarenakan tidak adanya dasar Hukum. Kepolisian sudah seharusnya mulai mengembangkan konsep Restorative justice, karena konsep ini merupakan salah satu alternatif bagi konsep peradilan anak di Indonesia yang mengedepankan kepada pendekatan kesejahteraan dan pendekatan keadilan. Kendala dalam melakukan Restorative justice dikarenakan Undang-Undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang masih memungkinkan bahwa anak sebagai pelaku tindak pidana harus di lakukan pemidanaan, disamping itu ada keraguraguan penegak hukum dalam melakukan penyelesaian perkara pidana anak di tingkat penyidikan B. Saran Perlu adanya perubahan Pasal 7 Undang-Undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak, penerapan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 Perlindungan Anak, perbaikan Pasal 1 butur 5 KUHAP mengenai penanganan perkara dan perbaikan Pasal 11 Undang-Undang No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Supaya adanya Pasal dalam Undang-Undang No. 3 tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak yang mengatur mengenai mediasi pidana atau Restorative justice terhadap anak pelaku tindak pidana supaya adanya dasar hukum sehingga tidak menimbulkan masalah dikemudian hari DAFTAR PUSTAKA Buku Arief Gosita, Pengembangan Hak-Hak Anak Indonesia Dalam Proses Peradilan Pidana. Rajawali. Jakarta 1986. Bagir Manan dalam Gatot Suparmono, Hukum Acara Pengadilan Anak,Djambatan, Jakarta, 2000. Daud Silalahi, Metode Penelitian Hukum, Lawencon Bindind Centre, Bandung, 2001 Goodpaster, Gary, Negosiasi dan Mediasi Sebuah Pedoman Negosiasi dan Penyelesain Sengketa Melalui Negosiasi, Elips Project, Jakarta, 1993 H. R. Otje Salman S, Filsafat Hukum (Perkembangan & Dinamika Masalah), Cet. Pertama Refika Aditama, Bandung, 2009, Judth Enew, Difficult Circumstances: Some Reflections on “Street Children” in Africa, Children, Youth and Environments 13 (1), Spring 2003 Kadhis Sanford H, Fear of Crime ,Encyclopedia of Crime and Juctice London the free Press, 1973, K.Wantjik Saleh, HukumPidana Indonesia, PT.Ikhtiar Bary, Jakarta, Lilik Mulyadi, Pengadilan Anak di Indonesia Teori, Praktik dan Permasalahannya, Mandar Maju, Bandung 2005 Mas Achmad Santosa dan Wiwiek Awiati, Tahapan Mediasi dalam Mediasi dan Perdamaian, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2005 Michael King dan Christine Piper, How the Law Thinks About Children, Arena Ashgate. Publishing Hants 1955 Muladi dan Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Hukum Pidana Alumni, Bandung,1992 Mulyatno, Asas-asas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1987 Muhammad Joni dan Zulchaina Z. Tanamas, Aspek Hukum Perlindungan Anak Dalam Perspektif Konvensi HakAnak, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999 Manheim, Herman, Comperative Criminology, Boston New York, , 1985 Myles Ritchie, Children In „Especially Difficult Circumstances‟: Children Living On The Street. Can Their Special Needs Be Met Through Specific Legal Provisioning? Consultative Paper Prepared For The South African Law Commission, 1999 M.Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, Sinar Grafika, Jakarta, 2000, N.A. Noor Muhammad, Proses Hukum Bagi Orang yang Didakwa Melakukan Kejahatan, dalam Hak Sipi ldan Politik : Esai-Esai Pilihan, Ifdhal Kasim (Editor), Jakarta, Elsam, 2001 Poentang Moerad.B.M Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana Alumni, Bandung, Cetk 1 / 2005 Samuel Gultom, Mengadili Korban : Praktek Pembenaran Terhadap Kekerasan Negara, Jakarta, Elsam, 2003 Sellin, Thorsten, Culture Conflik and Crime, Social Sciences Research Council, New York, 1993 PeraturanPerundang-undangan Undang-Undang No. 8 tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1997 Tentang Pengadilan Anak Undang-Undang Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Sumber Lain Mappi FH UI, PengadilanAnak, www.pemantauperadilan.co Ariffani, Anak Nakal: Dari Terminoligi sampai Implementasi, Majalah Kalingga, Edisi November-Desember 2003, PKPA-UNICEF, Melani,Setop Penayangan & Hindari Pemenjaraan Anak ,www.pikiran rakyat.com/cetak/0603/16/teropong www.kompas.com/27 Juli 2013 Vermont Agency of Human Services, Promoting Youth Justice Through Restorative Alternatives Planning Division September, 2002 Nitibaskara, Etnograf iKejahatan di Indonesia,PidatoPengukuhanJabatan Guru BesarTetapMadyapada FISIP UI Jakarta, TB.Ronny 1999 Wanjku Kaime Atterhög, The Social Context of Children in Especially Difficult Circumstances (CEDC), ESCAP HRD Course on Psychosocial and Medical Services for Sexually Abused and Sexually Exploited Children and Youth, 2005