HLM A4 KESEHATAN (Page 1)

advertisement
Republika
A4
AHAD
5 September
2010
Prof dr Zubairi Djoerban SpPD KHOM
Kemajuan Pengobatan AIDS
Assalamualaikum wr wb,
Dr Zubairi yth,
Sebagai seorang relawan AIDS, beberapa tahun terakhir ini saya menyaksikan beberapa hal yang kontradiktif. Di satu pihak mendampingi banyak teman
teman ODHA yang meninggal di beberapa rumah sakit
dan di pihak lain, banyak teman saya, ODHA yang
masih sehat wal afiat setelah mengonsumsi obat ARV
(anti retro viral, obat AIDS —ZD), dan tetap sehat
belasan tahun kemudian; bekerja normal.
Mengapa begitu ya, mengapa tidak semua ODHA
bisa bertahan hidup belasan tahun seperti temantemannya yang lain, adakah kemajuan pengobatan
sekarang ini?
MUSIRON/REPUBLIKA
GUNDAH:
Vonis kanker
kerap membuat
penderitanya
merasa sedih dan
cemas yang tak
menentu.
(Foto diperagakan
model).
Pada awalnya benjolan
tak terasa mengganggu.
Tika, Jakarta Selatan
Jawab:
Mbak Tika yang baik,
Waalaikumsalam wr wb,
Benar sekali pengamatan Mbak Tika, sebagian
ODHA datang terlambat, terdiagnosis setelah kondisi
kesehatannya amat parah, dirawat di rumah sakit dan
ada yang tidak bisa ditolong, meninggal. Yang selamat
dari perawatan inap di rumah sakit, sebagian besar
kondisinya pulih sehat, walaupun harus terus minum
obat ARV, maupun obat-obat lain, misalnya obat untuk
jamur di saluran cerna, obat untuk TBC paru atau TBC
kelenjar, melanjutkan obat untuk toksoplasma otak
dan lain lain.
Adapun ODHA yang terdiagnosis sewaktu tahap
lebih awal, misalnya sewaktu general check up atau
sewaktu memeriksakan diri menjelang menikah, atau
tes darah sewaktu suaminya (atau istrinya) diketahui
terinfeksi HIV, hampir semuanya sekarang ini dalam
kondisi sehat wal afiat setelah minum ARV. Tentu ada
kekecualian, yaitu yang putus obat, menghentikan
minum ARV, beberapa bulan atau 1-2 tahun kemudian
kondisinya menurun, ada yang tidak bisa ditolong lagi.
Pengamatan Mbak Tika memberikan kesan bahwa
penyakit AIDS dapat diobati bila ARV diminum terus
jangka panjang apalagi bila pengobatan ARV dimulai
sejak awal penyakit. Adapun yang tidak tertolong,
meninggal bisa terjadi pada sebagian ODHA yang didiagnosis sewaktu kondisinya sudah amat berat atau
terpitus minum obat ARV.
Kesimpulan itu didukung, bahkan dibuktikan, menjadi temuan penting banyak penelitian yang disampaikan sewaktu Konferensi Internasional AIDS di Wina
beberapa minggu yang lalu, tepatnya 18 sampai 23
Juli 2010, yang saya ikuti dan cermati. Rincian
temuan penting konferensi akbar yang diikuti 19.300
peserta tersebut antara lain adalah sebagai berikut.
(1) ARV bila diberikan lebih dini, sewaktu kekebalan
tubuh ODHA masih cukup baik (CD4 kurang dari
350) mengurangi angka kematian HIV/AIDS
sebesar 75 persen, dibandingkan bila kita mulai
pengobatan sewaktu CD4 = 200, seperti yang kita
kerjakan selama ini. Sesuai anjuran badan kesehatan dunia WHO, alhamdulillah kita sudah mengganti kebijakan, memulai pengobatan AEV
sewaktu CD4 kurang dari 350.
Sekadar untuk diketahui banyak negara maju
(Amerika, Eropa, Inggris, Australia, dan Kanada),
membuat lebijakan yang lebih progresif lagi, yaitu
memulai pengobatan ARV sewaktu CD4 kurang
dari 500. Kebijakan ini juga berdasarkan penelitian yang disampaikan di konferensi tersebut.
(2) Dengan memberikan ARV, berarti kita dapat
mencegah penularan sebesar 92 persen. Jadi,
bila ODHA diobati, ia nyaris tidak bisa menularkan
lagi. Treatment is Prevention. Artinya seperti juga
kalau kita mengobati pasien TBC paru, atau
gonore, setelah diobati, tidak menularkan lagi.
(3) Gel intravagina Tenofovir efektif cegah penularan
virus HIV sebesar 54 persen, perempuan bisa lebih
terlindungi. Konferensi tersebut juga menekankan
kembali pentingnya sunat (sirkumsisi) sebagai
upaya pencegahan penularan yang efektif.
(4) Deklarasi Wina, yang menekankan agar kita
semua menghormati hak asasi manusia, khususnya HAM pengguna narkotika, juga yang sakit
HIV/AIDS. Kita diingatkan kembali, bahwa stigma
dan diskriminasi thd ODHA, menghambat upaya
pencegahan dan pengobatan AIDS. ■
Saat Teraba Benjolan
Reiny Dwinanda
ak menentu rasanya. Begitu komentar
banyak wanita ketika pertama kali mendapati ada benjolan yang teraba. Entah di
ketiak, leher, ataupun payudara.
Sebagian wanita ada juga yang memilih
untuk membiarkan benjolan itu bersarang di
tubuhnya. Mereka menganggap benjolan tersebut tidak mengganggu. “Saya pun demikian,”
ucap Nita, sebut saja demikian.
Nita tak merasakan gejala apa pun saat sel
pertama di salah satu payudaranya berubah
menjadi kanker. Dua tahun berikutnya, benjolan
mulai teraba. “Saat sedang mandi, saya rasakan
ada benjolan di payudara kanan.”
Temuan itu dibiarkan saja oleh Nita. Apalagi,
tak ada rasa nyeri yang membuatnya perlu mengaduh. “Kesibukan pekerjaan juga membuat
saya tak pernah fokus terhadap keberadaan benjolan itu,” kata perempuan berusia 39 tahun ini.
Nita mulai menganggap serius benjolan tersebut ketika mendapati adanya keganjilan saat becermin. Permukaan payudara kanannya tampak
aneh. “Kulitnya terlihat keriput seperti kulit
jeruk purut,” katanya.
Begitu keindahan payudaranya terganggu, Nita
cepat ke dokter. Ia ingin memeriksakan diri. “Saya
penasaran apa yang membuat kulit jadi seperti
itu. Jangan-jangan ada hubungannya dengan benjolan yang saya temukan bertahun silam.”
Penjelasan dokter sungguh membuat Nita terhenyak. Ia menyesal melewatkan waktu tanpa ada
upaya apa pun untuk mencegah kanker merajalela
di tubuhnya. “Saat itu, kankernya sudah stadium
IIID,” kenang perempuan yang bekerja di bidang
konstruksi ini.
Nomor dua
Agar pasien kanker tak separah itu, Dr
Ramadhan SpOnk mengimbau perempuan agar
tidak meremehkan benjolan yang mungkin suatu
saat mereka temukan. Langkah awal terbaik,
periksakan diri ke dokter. “Selanjutnya, patuhlah terhadap pengobatan agar penyakit yang ada
tidak menjadi beban bagi kehidupan,” sarannya.
Kanker payudara, lanjut Ramadhan, sebelumnya tercatat sebagai penyakit mematikan nomor
dua terkait kanker. Berada di posisi puncak adalah
kanker serviks. “Kini, berdasarkan data Kementerian Kesehatan RI, kanker payudara terkoreksi di urutan teratas penyebab kematian.”
Fakta tersebut rupanya terjadi menyusul
meningkatnya kepedulian perempuan akan kesehatannya. Banyak wanita yang mulai rutin
memastikan diri bebas dari benjolan apa pun.
“Mereka melakukan pemeriksaan payudara
sendiri tiap sebulan sekali, seminggu setelah
periode menstruasi berakhir,” tutur dokter spesialis onkologi ini.
Ramadhan memaparkan, kanker payudara
merupakan kanker yang paling sering dialami
perempuan dibandingkan jenis kanker lainnya.
“Perlu diingat, benjolan belum tentu kanker,”
imbuhnya.
Kanker payudara merupakan keganasan yang
berasal dari sel kelenjar, saluran kelenjar, dan
jaringan penunjang payudara. Benjolan yang
teraba harus ditelusuri terlebih dulu untuk
memastikan ganas-jinaknya. “Paling sering
hanya kista, bukan kanker.”
Pertumbuhan jaringan di luar program tersebut belum diketahui secara pasti penyebabnya.
Namun, asupan makanan tertentu disinyalir
menjadi pemicunya. “Faktor hormonal, lingkungan, dan makanan diduga berperan besar
dalam mencetuskan kanker,” jelas Ramadhan,
beberapa waktu lalu.
Takut vonis
Sebagai sel tubuh yang mengalami mutasi, sel
kanker dapat tumbuh dan membelah lebih cepat
dari sel normal. Bahkan, prosesnya tak terken-
Tak Melulu Kemoterapi
i masyarakat, kanker masih sering dijuluki
penyakit kutukan. Kanker juga disebut
tidak ada obatnya. “Sesungguhnya,
kendala terbesar di masyarakat dalam deteksi
dini ialah ketidaktepatan informasi yang mereka
peroleh,” ungkap Ramadhan.
Selain itu, faktor biaya juga menjadi penghalang langkah perempuan memeriksakan benjolannya. Kabar baiknya, di lima wilayah DKI
Jakarta sejak tahun 2004, telah tersedia unit
Onkologi Sosial yang dioperasikan RS Kanker
Dharmais bersama Dinas Kesehatan DKI Jakarta
dan Suku Dinas Kesehatan per wilayah. Unit ini
aktif memberikan penyuluhan tentang kanker.
Setahun sekali, diadakan pemeriksaan gratis
mamografi untuk deteksi dini kanker payudara.
Namun, vonis kanker tetap akan berdampak
besar pada kehidupan. Sebab, ada terapi
seumur hidup yang perlu dijalani. “Orang paling
takut dengan efek kemoterapi,” tutur Ramadhan.
Apalagi, di masyarakat beredar kabar tak
mengenakkan tentang kemoterapi. Kebotakan,
mual, dan muntah merupakan efek paling
populer yang dikenal masyarakat. “Padahal,
sesungguhnya, tidak semua pasien kanker
membutuhkannya,” kata Ramadhan.
D
Radioterapi juga mungkin tidak diperlukan
oleh pasien kanker. Andaikan dideteksi dini,
kemoterapi ataupun radioterapi bisa disingkirkan. “Dalam stadium nol, ketika kanker
besarnya baru satu cm, cukup dengan terapi
hormonal,” papar Ramadhan.
Kata stadium, dalam kanker, digunakan untuk menggambarkan kondisi kanker. Baik letaknya, luasan penyebarannya, dan sejauh mana
pengaruhnya terhadap organ tubuh yang lain.
Tes untuk melacak stadium penting dijalankan
untuk menentukan langkah pengobatan.
Secara umum, tata laksana kanker dapat
berupa operasi, kemoterapi, hormonal, dan
radioterapi. Tidak semuanya mesti dijalani
pasien. “Tergantung kondisi pasien dan pilihan
mereka,” ungkap Ramadhan.
Bagaimana dengan pasien kanker stadium III
dan IV? Ramadhan menjelaskan, saat itu yang
dibutuhkan terapi yang sifatnya paliatif. “Semata untuk menjaga agar pasien nyaman dengan
kondisinya hingga waktu berpulang tiba.”
Pada pasien kanker dengan luka terbuka,
misalnya, dokter hanya mengatasi bau yang
timbul ataupun lukanya. “Tidak untuk mengobati kankernya,” tandas Ramadhan. ■
dali. “Sel kanker tidak mati setelah usianya
cukup, melainkan tumbuh terus dan bersifat
invasif sehingga mendesak sel normal tumbuh,”
papar Ramadhan.
Faktor genetik menyumbang sepuluh persen
dalam kejadian kanker. Mereka yang mendapatinya akibat faktor keturunan biasanya berusia
30 tahunan. “Waspadai jika mengalami benjolan
tak wajar yang menetap meski periode haid telah
usai, ada kelainan pada kulit, atau ada kelainan
di bagian puting,” kata Ramadhan mengingatkan.
RS Kanker Dharmais memantau sebagian
besar pasien kanker datang sudah dalam stadium
lanjut. Inilah yang membuat angka kematian
akibat kanker menjadi signifikan. “Banyak orang
yang takut ke dokter, takut divonis kanker,”
ungkap Ramadhan.
Faktanya, delapan dari 10 wanita memiliki
benjolan kista di payudaranya. Ramadhan menyarankan, agar terhindar dari masalah kesehatan
ini, tiap ibu harus menyusui dalam waktu yang
cukup lama. “Bertentangan dengan program Keluarga Berencana, ternyata banyak anak juga
dapat menurunkan angka kejadian benjolan.”
■ ed: nina chairani
Mari Lakukan Sadari!
iap perempuan harus bisa melakukan
pemeriksaan payudara secara mandiri.
Pastikan itu rutin dijalankan tiap bulan.
“Kalau bulan lalu tidak ada, lalu sekarang
ada, lanjutkan dengan memeriksakan diri ke
dokter,” ujar Dr Ramadhan SpOnk.
Belum tahu cara pemeriksaan payudara
sendiri (Sadari) yang benar? Jangan malu,
jangan sungkan bertanya. “Prinsipnya, kita
cek tiap batas terluar dari payudara,” kata
Ramadhan memandu.
Memandu dengan pemeriksaan payudara
kanan, Ramadhan mengungkapkan batas terluar kiri ada pada tulang tengah dada. Sedangkan, batas bawah ada pada ruas tulang
rusuk terdekat dengan payudara. Batas atas
teraba dari tulang clavicula alias selangka
yang menonjol di bahu depan. “Lalu, batas
samping kanan ada di sepanjang tepi rusuk,
sepanjang bawah ketiak,” urainya.
Pemahaman batas payudara merupakan
kunci sukses Sadari. Payudara kiri rabalah
dengan tangan kanan. “Begitu sebaliknya,”
kata Ramadhan.
Untuk memastikan, ulangi Sadari hingga
beberapa kali. Bukan dengan menekan
payudara dengan jari. “Tetapi, merabanya
dengan sedikit tekanan, dari tengah ke
luar,” kata Ramadhan.
Kapan waktu terbaik untuk memeriksakan
payudara? Ramadhan menyebutkan, mandi
adalah momen paling pas. “Ketika tubuh
masih terbalur sabun dan cukup licin, lebih
mudah untuk meraba ada-tidaknya kelainan.”
Sadari merupakan gerbang pertama
pemeriksaan dini terhadap kanker payudara.
Lakukan dengan tepat demi kesehatan.
Terlebih, menurut rilis yang dilansir RS Kanker
Dharmais, 200 ribu kasus kanker baru
diperkirakan akan terjadi setiap tahun di
Indonesia. Seperlimanya, sekitar 40 ribu
orang, akan meninggal akibat kankernya. ■
T
Download