UNDANG – UNDANG PERBANKAN SYARIAH SEBAGAI HUKUM YANG DICITA-CITAKAN Dipublikasikan pada Jurnal Ilmu Hukum LITIGASI Volume 5 No 2 Juni 2004 halaman 191-203 ISSN : 0853-7100 A. PENDAHULUAN a. Latar Belakang Tidak dapat disangkal lagi bahwa pembangunan memerlukan dana yang tidak sedikit dan berkesinambungan. Dalam hal pengerahan dana masyarakat tidak dapat dikesampingkan peranan lembaga perbankan. Bank sebagai lembaga yang bekerja berdasarkan kepercayaan masyarakat, memiliki peran dan posisi yang sangat strategis dalam pembangunan nasional. Sebagai lembaga perantara keuangan masyarakat ( financial intermediary ), bank menjadi media perantara pihak-pihak yang memiliki kelebihan dana (surplus of fouds) dengan pihakpihak yang kekurangan / memerlukan dana (lack of fouds)1. Di Indonesia, lembaga perbankan memiliki misi dan fungsi sebagai agen pembangunan ( agent of development ), yaitu sebagai lembaga yang bertujuan menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan pemerataan, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan kesejahteraan rakyat banyak.2 Tidak ragu lagi bahwa perbankan menunjukan pelayanan khusus dan bermanfaat terhadap masyarakat dan tidak ada masyarakat modern yang dapat mencapai kemajuan pesat atau bahkan dapat mempertahankan angka pertumbuhannya tanpa bank.3 1 Djumhana, Hukum Perbankan di Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, hal.67, Menurut Muchdarsyah Sinungan, bankir-bankir yang mengelola banknya menurut sistem dan metode yang mengacu pada tingkat produktivitas usaha para nasabah (baik industri, pedagang, maupun petani) akan mampu melihat ke depan dan mengambil keputusan gemilang bagi perkembangan ekonomi negaranya. Manajemen Dana Bank, Bina Usaha, Jakarta, 1993, hal.1. 2 Tujuan Perbankan Nasional seperti yang tertera dalam Pasal 2 UU No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana telah diubah dengan UU No. 10 Tahun 1998. 3 Afzalur Rahman, Economic Doctriness of Islam. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1996, hal. 338. 1 Kaitannya dengan perekonomian nasional, Compton menyatakan ketidakmungkinan memberi gambaran mengenai ekonomi nasional yang berjalan efisien, tumbuh dengan mantap atau bertahan untuk suatu kurun waktu tanpa dukungan sistem perbankan yang kuat.4 Seperti telah dimaklumi, bahwa kasus-kasus perbankan yang terjadi pada masa lalu – yang hingga saat ini akibatnya masih dirasakan - baik langsung maupun tidak langsung telah membawa akibat bagi perkembangan perekonomian negara. Untuk menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan dan sebagai upaya memulihkan krisis perbankan pemerintah harus menyediakan talangan dana yang tidak kecil setidaknya 410 trilyun rupiah harus dikeluarkan oleh pemerintah untuk bantuan kredit likuiditas.5 Kondisi perbankan nasional yang demikian telah memberi andil timbulnya krisis perekonomian nasional. Kondisi ini dikarenakan banyak faktor penyebab, salah satunya adalah kebijakan / policy perbankan. Mengenai hal ini Muladi mengatakan bahwa penyebab timbulnya kondisi perbankan yang sangat parah dewasa ini yang secara signifikan memberi andil dalam krisis ekonomi saat ini, di samping akibat dari anomie of succes atau unfortunate mistake atau business - malpractice atau human errors atau business etchic atau kombinasi faktor-faktor di atas dan sedikit banyak tidak terlepas dari administrative policy failure.Selain itu disadari pula bahwa hal ini disebabkan adanya berbagai kesalahan dalam kebijakan penyelenggaraan pembangunan di masa lalu. Jika dicermati terdapat dua faktor penyebab utama, yakni pembangunan yang dilaksanakan secara terpusat dan pembangunan yang tidak seimbang. Pola pembangunan demikian tercermin dalam proses pembangunan yang tidak melibatkan partisipasi masyarakat dan kurang memperhatikan pemberdayan ekonomi rakyat.6 4 Eric N. Compton. Principle of Banking. (terjemahan Alexander Oey). Jakarta : Akademika Pressindo. 1991, hal. 330. 5 Pada Februari 1999 posisi minus seluruh bank mencapai 198.019.000.000.000 (seratus sembilan puluh delapan trilyun sembilan belas milyar rupiah). Nidyo Pramono. Mengenal Lembaga perbankan di Indonesia Sebuah Pendekatan dari Perspektif Hukum Ekonomi. Makalah pada Penataran Hukum perdata dan Ekonomi, FH. Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. 23-30 Agustus 1999. 6 PROPENAS 2000 – 2004 ( Undang – undang No. 25 Tahun 2000 ) BAB II Tentang Prioritas Pembangunan Nasional angka 1, hlm. 12 - 13. 2 Untuk itu berbagai upaya dilakukan oleh pemerintah untuk memulihkan perbankan nasional, baik melalui rekapitulisasi maupun pengambilalihan kepemilikan bank. Selain itu dilakukan penyesuaian peraturan perbankan nasional. Selain untuk memulihkan perbankan nasional, revisi peraturan perbankan dilakukan karena telah diratifikasinya beberapa perjanjian internasional di bidang perdagangan barang dan jasa, sehingga diperlukan penyesuaian terhadap peraturan perundang-undangan di bidang perekonomian, khususnya sektor perbankan, agar peraturan perbankan mengacu pada komitmen Indonesia dalam berbagai forum internasional.7 Terdapat Lima Pokok Perubahan UU No. 7 Tahun 1992 dalam UU No. 10 Tahun 1998 8, salah satunya berkaitannya dengan keberadaan Bank Syariah, Dengan diaturnya berbagai hal tentang Bank Syariah dalam UU Perbankan, menunjukan bahwa Bank Syariah dewasa ini memiliki kedudukan yang mantap dan berdiri sejajar dengan Bank Konvensional. Dengan dimungkinkannya Bank Umum Konvensional 9 menggunakan prinsip syari’ah dan bukan prinsip syariah sekaligus. Hal ini terbukti dari banyaknya permohonan bank konvensional kepada Bank Indonesia untuk membuka kantor cabang atau kantor di bawah cabang yang akan melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip syari’ah. Di Indonesia, bank yang beroperasi berdasarkan syari’ah Islam telah dimulai sejak tahun 1990-an. Setelah sembilan tahun sejak Bank Syariah yang pertama kali berdiri di Indonesia - yaitu Bank Muamalat Imdonesia – banyak minat bank konvensional menggunakan pola usaha berdasarkan prinsip syariah10. Dua dekade terakhir, perkembangan bank syariah pun mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan baik dilihat dari jumlah maupun penyebarannya di dunia. 11 7 Penjelasan Umum UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 8 Penjelasan Umum UU No. 1 Tahun 1998. 9 Meminjam istilah Muhammad Syafi’i Antonio untuk menunjukkan bank yang beroperasi tidak menggunakan prinsip syari’ah. Istilah ini kini digunakan dalam UU Perbankan. 10 Bank IFI, Bank BSB, BNI, BRI, dan sejumlah Bank Swasta lainnya menunjukkan minatnya mengembangkan Bank Syar’ah, persiapan pembukaan sejumlah kantor cabang syariah di berbagai kota. Republika, 11 November 1999. 11 Perbankan Syariah telah ada di hampir lebih 60 negara, kebanyakan di wilayah Timur Tengah dan Asia. Berdasarkan data yang dikumpulkan oleh International Association pf Islamic Bank pada tahun 3 Indonesia sebagai negara yang merdeka dan berdaulat merupakan bagian dari masyarakat internasional. Sebagai bagian dari masyarakat internasional, Indonesia tidak dapat melepaskan diri dari pranata hukum internasional, termasuk di dalamnya perkembangan di bidang hukum ekonomi internasional. Perkembangan hukum ekonomi internasional yang perlu dicermati, diantaranya adalah hasil – hasil perundingan Uruguay Round yang telah berlangsung dari tahun 1986 dan berakhir pada bulan April 1994 di Marakesh - Maroko. Salah satu hasil perundingan ini adalah disepakatinya pembentukan GATT ( General Agreement on Tariff and Trade ), dan WTO ( World Trade Organization ). WTO merupakan organisasi payung yang membawahi seluruh perjanjian dalam Uruguay Round, dan mengadministrasikan semua perjanjian, menyediakan forum untuk negosiasi di kemudian hari, mengadministrasikan sistem penyelesaian sengketa dan memantau kebijaksanaan perdagangan dan bekerjasama dengan lembaga ekonomi lainnya.12 Arus globalisasi yang ditandai dengan berlakunya persetujuan kerjasama regional dan internasional di bidang perdagangan ( perekonomian ), akan menciptakan peluang sekaligus tantaangan. Peluang dan tantangan perekonomian nasional akan terasa sulit di tahun – tahun mendatang apabila persoalan – persoalan yang timbul tidak mampu diinventarisir, dianalisis dan dipersiapkan. Pembenahan aturan terutama di bidang kerjasama perdagangan dan perusahaan yang direfleksikan pada prinsip – prinsip GATT, dan WTO dan AFTA ( Asia Free Tade Area ), merupakan pantauan awal agar hukum tidak selalu tertinggal sementara aspek perekonomian dan perdagangan melaju pesat jauh ke depan.13 Berkaitan dengan masalah di atas, makalah ini akan mencoba menganalisa masalah pembangunan hukum nasional di era globalisasi, yakni berkaitan dengan hukum perbankan, khususnya bank syariah. Mengingat luasnya ruang lingkup kajian masalah 1977, ada lebih 176 lembaga keuangan di sektor publik dan privat baik di negara – negara muslim dan non muslim. 12 H.S. Kartadjoemena, GATT WTO dan Hasil Uruguay Round, UI-Pres, Jakarta, 1997, hlm. 313 13 Aslan Noor, Peranan hak – hak atas Tanah dalam mengembangkan Bisnis Koperasi dan Usaha Kecil Menengah di Era Globalisasi, Makalah Seminar Kesiapan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah di Jawa 4 perbankan syariah ini, bahasan pada makalah ini dibatasi pada beberapa hal yang dirumuskan pada bagian Identifikasi masalah. b. Identifikasi Masalah 1. Bagaimana Kontribusi Perbankan Syariah dalam Pembangunan Nasional ? 2. Apakah Filosofi dan Prinsip – prinsip Bank Syariah sesuai dengan Filosofi yang melandasi lahirnya Era Globalisasi ? 3. Apa urgensi Undang – undang Perbankan Syariah dalam Pembangunan Nasional di Era Globalisasi ? B. PEMBAHASAN a. Kontribusi Perbankan Syariah dalam Pembangunan Nasional. Perkembangan perekonomian nasional maupun internasional yang begitu cepat menimbulkan tantangan yang tidak sedikit terhadap lembaga-lembaga keuangan. Demikian halnya terhadap lembaga perbankan. Peran strategis lembaga perbankan yang mengemban tugas utama sebagai wahana yang dapat menghimpun dan menyalurkan dana secara efektif dan efisien, memerlukan penyempurnaan yang terus menerus agar mampu memiliki keunggulan komparatif. Lembaga perbankan mempunyai fungsi dan tanggung jawab yang sangat besar, selain memiliki fungsi tradisional, yaitu untuk menghimpun dan menyalurkan dana masyarakat dalam arti sebagai perantara pihak yang berlebihan dana dan kekurangan dana, yakni fungsi financial intermedidiary, juga berfungsi sebagai sarana pembayaran. Seperti telah dikemukakan, perbankan Indonesia mempunyai fungsi yang diarahkan sebagai agent pembangunan (agent of development), yaitu sebagai lembaga yang bertujuan guna mendukung pelaksanaan pembangunan Barat untuk Mengembangkan Bisnis dalam Era Globalisasi, 7 Agustus 2003, Fakultas Hukum Unpad, Bandung, 2003, hlm.1. 5 nasional dalam rangka pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya, pertumbuhan ekonomi dan stabilitas nasional ke arah peningkatan taraf hidup rakyat banyak. 14 Perbankan nasional berfungsi sebagai sarana pemberdayaan masyarakat dan seluruh kekuatan ekonomi nasional, terutama pengusaha kecil, menengah dan koperasi. Untuk mencapainya perbankan Indonesia harus memiliki komitmen. Komitmen ini oleh Nyoman Moena diterjemahkan ke dalam bahasa perbankan, yaitu perbankan Indoensia berfungsi sebagai : 15 Lembaga kepercayaan; Lembaga pendorong pertumbuhan ekonomi; Lembaga pemerataan Jika diterjemahkan ke dalam bentuk-bentuk tanggung jawab, maka bentuk-bentuk tanggung jawab perbankan, adalah : Tanggung jawab prudential (bank harus sehat); Tanggung jawab komersial (bank harus untung); Tanggung jawab finansial (bank harus transparan); Tanggung jawab sosial (kemampuan mengakomodir harapan stake holderes secara adil). Sedangkan menurut Heru Soepraptomo, sebagai agen dari pembangunan, bank diharapkan dapat memberikan kontribusi pada usaha meningkatkan tabungan nasional, menumbuhkan kegiatan-kegiatan menumbuhkan kegiatan usaha usaha dan meningkatkan meningkatkan tabungan alokasi nasional, sumber-sumber perekonomian. 16 Berkaitan dengan hal ini tidak dapat dilepaskan peran perbankan syariah. Embrio fungsi perbankan syariah telah ada sejak awal Islam yakni pada fungsi-fungsi perorangan terutama seperti yang dipraktekkan oleh rasulullah sebagai seorang 14 Muhammad Djumhana, Op.Cit., hal 77. Nyoman Moena, Rangkuman Sajian Analisi Efisiensi dan Efektivitas Hukum Perbankan, Makalah pada pertemuan Ilmiah BPHN, Desember 1996, hal. 1-2. 6 15 pedagang dan penerima titipan dari orang-orang kaya yang ada di Mekkah. Perbankan Islam sebagai institusi mulai dipraktikkan pada tahun 1940-an dan mulai berkembang pada tahun pada awal tahun 1970-an. Bank syariah tumbuh dengan cukup pesat dengan cakupan yang sangat luas tidak hanya di negara-negara muslim, tetapi juga telah dipraktikkan oleh bank-bank konvensional di negara-negara Barat. Hal ini disebabkan disamping faktor layanan keuangan perbankan Islam ada juga faktor besar pangsa pasarnya. Perbankan Syariah di Indonesia memiliki tingkat pertumbuhan yang pesat baik dari segi aset dan jaringan kantor maupun dari dukungan masyarakat, terutama setelah krisis ekonomi tahun 1998. Perbankan syariah terbukti dapat bertahan melewati deraan krisis ekonomi, hal ini disebabkan oleh adanya karakteristik operasional yang menjadi keunggulan kompetitif dan komparatif bagi perbankan syariah sehingga dapat menjadi alternatif sistem perbankan selain perbankan konvensional. Selain itu perbankan syariah secara konsisten menjalankan fungsi intermediasi, hal ini terlihat dalam angka Financing to Deposit Ratio yang cukup tinggi dibanding dengan perbankan konvensional. Tahun 2002 di Indonesia terdapat dua bank umum syariah, enam bank umum konvensional yang memiliki unit syariah, serta 83 BPR yang beroperasi berdasarkan syariah. Penyebaran jaringan terdiri dari 55 Kantor Cabang, 8 Kantor Cabang Pembantu, dan 48 Kantor Kas. Pertumbuhan aset 74 % per tahun selama kurun waktu 1998 – 2001.17 Hal tersebut membuktikan bahwa pada praktiknya perbankan syariah walau dibandingkan dengan total aset perbankan nasional masih relatif kecil, tetapi perbankan syariah memiliki peluang untuk berkembang secara terus menerus. Perbankan syariah telah menunjukkan potensi manfaat yang dapat dikembangkan untuk mendukung perekonomian nasional ke arah yang lebih baik. 16 Heru Soepraptomo, Analisis Ekonomi terhadap Hukum Perbankan, makalah pada pertemuan Ilmiah tentang Analisis Ekonomi terhadap Hukum dalam Menyongsong Era Globalisasi, BPHN – Departemen Kehakiman, Jakarta, 10-11 Desember 1996, hal. 1. 7 Secara internasional, saat ini volume operasi perbankan Islam cukup signifikan. Perkembangan tersebut telah difasilitasi Islamic Development Bank (IDB) dan beberapa negara anggota dengan mendirikan International Islamic Financial Market (IIFM) pada bulan November 2001. Selain itu IMF telah memfasilitasi pembentukan Islamic Financial Service Board (IFSB) pada bulan September 2002. Perkembangan ini telah melengkapi institusi yang dibutuhkan dalam rangka peningkatan kualitas operasi dan efisiensi perbankan syariah secara internasional.18 b. Filosofi dan Prinsip Bank Syariah kaitannya dengan Paham yang Melandasi Lahirnya Era Globalisasi 1.Globalisasi dan Paham Neo Liberalisme Globalisasi menurut bahasa adalah “ Proses masuknya ke dalam ruang lingkup dunia “.19 A. Sandiwan mengungkapkan makna utama globalisasi . Menurutnya Botton line globalisasi tidak lain adalah persaingan dan persekutuan atau competition and cooperation, yang kadar dan intensitasnya benar – benar berkualitas internasional. Tidak lagi berskala serta berkualitas nasional, apalagi lokal.20 Pada dasarnya semua proses pengintegrasian ekonomi nasional menjadi ekonomi global ( globalisasi ) merupakan harapan dan hasil perjuangan dari perusahaan-perusahaan transnasional karena pada dasarnya merekalah yang paling diuntungkan dari proses tersebut. Selama dua dasawarsa menjelang berakhirnya abad Millenium, perusahaan-perusahaan transnasional berskala raksasa tersebut (TNCs) meningkat jumlahnya secara pesat dari sekitar 7000 TNCs pada tahun 1970, dan dalam 17 Sumber data : Naskah Akademik Rancangan Undang – undang tentang Bank Syariah. Law Office of Remy dan Darus, Jakarta, Oktober 2002, Hlm. 64 18 Naskah Akademik Rancangan Undang – undang tentang Bank Syariah. Law Office of Remy dan Darus, Jakarta, Oktober 2002, Hlm. iii 19 Departemen Pendidikan dan Kebudaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, hlm. 320 20 A. Sandiwan, Dari Meja Tanri Abeng Managing atau Chaos ? Tantangan Globalisasi dan Ketidakpastian., Pustaka sinar Harapan, Jakarta, 2000, hlm. 6 8 tahun 1990 jumlah itu mencapai 37.000 TNCs. Selain jumlahnya meningkat, TNCs juga dapat menguasai perekonomian dunia. Kekuatan ekonomi TNCs yang luar biasa tersebut akan semakin bertambah jika globalisasi berjalan. Mereka pada saat yang lalu saja berhasil menguasai 67% dari perdagangan dunia antar TNCs dan menguasai 43,1% total perdagangan global. Lebih lanjut TNCs juga telah menguasai 75% dari total investasi global. Ada 100 TNCs dewasa ini menguasai ekonomi dunia. Mereka mampu mengontrol sampai 75% perdagangan dunia. 21 Dari uraian di atas, tampaklah bahwa aktor yang justru sangat berkuasa dan justru lebih terpenting setelah WTO adalah Transnational Corporations (TNCs). Merekalah yang sebenarnya yang berada di balik semua proses kesepakatan dalam WTO. Mereka adalah perusahaan-perusahaan transnasional yang sangat berkepentingan melalui mekanisme globalisasi sistem poduksi, investasi dan pasar yang pengaturan mekansime dari semua sistem produksi dan pasar tersebut ditetapkan di WTO. Dengan demikian, forum WTO pada hakikatnya menjadi arena perjuangan bagi perusahaan transnasional untuk memperjuangkan cita-cita mereka dalam penguasaan dunia. Hal itu berarti bahwa segala yang melalui proses dan mekansime globalisasi juga merupakan perebutan kekuasaan ekonomi dari kekuasaan negara-negara kepada TNCs.22 Selanjutnya perlu ditelaah konstruksi, konsep, mekansime, maupun anatomi dari globalisasi. Globalisasi sebagai proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam sistem ekonomi dunia pada dasarnya diperankan oleh aktor-aktor utama proses tersebut. Ada tiga aktor utama, pertama, adalah TNCs, yakni perusahaan multinasional yang besar yang dengan dukungan negara-negara yang diuntungkan oleh TNCs tersebut membentuk suatu dewan perserikatan perdagangan global yang dikenal dengan WTO yang menjadi aktor kedua. Ketiga, adalah lembaga keuangan global IMF, dan Bank Dunia. Ketiga aktor globalisasi tersebut menetapkan aturan-aturan seputar investasi. Intellectual Property Rights dan kebijakan internasional. Kewenangan lainnya adalah mendesak atau mempengaruhi serta memaksa negara-negara melakukan penyesuaian 21 Mansour Fakih, Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, 2002. Hlm. 214 9 kebijakan nasionalnya bagi kelancaran proses pengintegrasian ekonomi nasional ke dalam ekonomi global. 23 Proses memperlicin jalan pengintegrrasian tersebut ditempuh dengan cara mengubah semua aturan kebijakan yang menghalangi ketiga aktor-aktor globalisasi, terutama TNCs untuk beroperasi dalam bentuk ekspansi produksi, pasar maupun ekspansi investasi. Dengan demikian, sesungguhnya globalisasi tidak ada sangkut pautnya dengan kesejahteraan rakyat ataupun keadilan sosial di negara-negara Dunia Ketiga, melainkan lebih didorong demi motif kepentingan pertumbuhan dan akumulasi kapital berskala global.24 Semua mekanisme dan proses globalisasi yang diperjuangkan oleh aktor-aktor globalisai melalui kesepakatan yang dibuat di WTO sesungguhnya dilandaskan pada suatu ideologi yang dikenal dengan neo liberalisme. Paham neo liberalisme yang lama, hanya saja karena waktu, konteks pemunculannya kembali serta skala dan strateginya yang berbeda sudah tentu jawabannya berlainan. Dengan demikian neo liberalisme merupakan kembalinya paham liberalisme lama di era yang baru.25 Apa yang menjadi pendirian neo liberalisme dicirikan sebagai berikut : kebijakan pasar bebas yang mendorong perusahaan-perusahaan swasta dan pilihan konsumen, penghargaan atas tanggung jawab personal dan inisiatif kewiraswastaan, serta menyingkirkan birokrasi dan “parasit” pemerintah yang tidak akan pernah mampu, meskipun dikembangkan. Aturan dasar kaum neo liberal adalah, “liberalisasikan perdagangan dan finansial, biarkan pasar menentukan harga. Akhiri inflasi, (stabilisasi ekonomi-makro,dan privatisasi) kebijakan pemerintah haruslah “menyingkir dari penghalang jalan” (Chomsky, 1999). Paham inilah yang saat ini mengglobal dengan mengembangkan “konsensus” yang dipaksakan yang dikenal dengan globalisasi sehingga terciptalah suatu tata dunia. 26 b.Filosofi dan Prinsip Perbankan Syariah 22 Mansour Fakih, Op.Cit., hlm 215 Mansour Fakih, ibid 24 Mansour Fakih, Op.Cit., hlm 216 25 Mansour Fakih, Ibid 23 10 Kegiatan perbankan sebagai salah satu institusi perekonomian Islam, sebagaimana halnya seluruh aspek kehidupan manusia mengacu dan berlandaskan syariah Islam, yaitu Al-Qur’an dan Sunnah. Oleh karenanya perbankan tidak dapat dilepaskan dan tercerabut dari nilai-nilai ajaran Islam. Ajaran Islam terdiri dari tiga komponen, yaitu : Aqidah, Syariah, dan Akhlaq. Aqidah sifatnya konstan dan tidak mengalami perubahan dengan berbedanya waktu dan tempat. Syari’ah senantiasa diubah menurut kebutuhan dan taraf peradaban ummat di mana seorang Rosul diutus. Asas penetapan syraiah Islam adalah menghilangkan keberatan dan tidak menyulitkan, menciptakan kemaslahatan dan menciptakan keadilan. 27 Syariah Islam sebagai suatu syariat yang dibawa oleh Rosul terakhir memiliki sifat yang comprehensif dan universal. Comprehensif berarti merangkum seluruh aspek kehidupan manusia baik ritual (ibadah) maupun sosial (muamalah). Universal artinya dapat diterapkan dalam setiap waktu dapat tepat.28 Menurut ajaran Islam, lembaga perbankan adalah suatu institusi perekonomian yang merupakan wujud dari muamalah. Perbankan sebagai salah satu institusi ekonomi dalam sistem ekonomi Islam. Sistem ekonomi Islam itu sendiri menurut Amin Aziz, 29 adalah sistem ekonomi yang kebijakan-kebijakan atau keputusan-keputusan yang diambil dalam melaksanakan kebijakan ekonomi dipengaruhi / dilandasi oleh syariah Islam. Perekonomian Islam berpedoman pada prinsip-prinsip ekonomi Islam, antara lain : 30 Manusia adalah makhluk pengemban amanat Allah untuk memakmurkan kehidupan di bumi, dan diberi kedudukan sebagai khalifah (wakilnya) yang wajib melaksanakan petunjuk-Nya; Kerja adalah yang sesungguhnya menghasilkan (produktif); Islam 26 Mansour Fakih, Op.Cit., hlm 218 Muhammad Djafar, Pengantar Ilmu Fiqh : Suatu Pengantar tentang Ilmu Hukum Islam dalam berbagai Mahzab, Jakarta, Kalam Mulia, 1993, hal. 30-42. 28 M. Syafi’i Antonio, Potensi dan Peranan Ekonomi Islam dalam Upaya Pembangunan Umat Islam Nasional, makalah tanpa tahun, hlm.2. 29 Amin Aziz, Tantangan, Prospek dan Strategi Sistem Perekonomian syariah di Indonesia dilihat dari pengalaman pengembangan BMT, PINBUK, Jakarta, 1996, hal. 2. 30 Ahmad Ashar Basyir, artikel pada Berbagai Aspek Ekonomi Islam (editor M. Rusli Karim), P3EI – FE UII bekerjasama dengan Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992, hlm. 13-14. 11 27 menentukan berbagai macam bentuk kerja yang halal dan yang haram, kerja yang halal saja yang dipandang sah; Hak milik manusia dibebani kewajiban-kewajiban yang diperuntukan bagi kepentingan masyarakat. Hak milik berfungsi sosial; Harta jangan beredar di kalangan kaum kaya saja, tetapi diratakan dengan jalan memenuhi kewajiban-kewajiban kebendaan yang telah ditetapkan dan menumbuhkan keperdulian sosial berupa anjuran berbagai macam shodaqoh; Harta difungsikan bagi kemakmuran bersama tidak hanya ditimbun tanpa menghasilkan sesuatu dengan jalan diperkembangkan secara sah; Kerjasama kemanusiaan yang bersifat saling menolong dalam usaha memenuhi kebutuhan ditegakkan; Nilai keadilan dalam kerjasama kemanusia ditegakkan; Campur tangan negara dibenarkan dalam rangka penertiban kegiatan ekonomi menuju tercapainya tujuan; Secara filosofis, orientasi dasar ekonomi Islam dilandaskan pada asas ketuhanan ( tauhid ), yaitu adanya hubungan dari aktivitas ekonomi, tidak saja dengan sesama manusia, tetapi juga dengan tuhan sebagai pencipta. Dari landasan tauhid ini timbul prinsip – prinsip dasar bangunan kerangka sosial, hukum, dan tingkah laku, yang di antaranya adalah prinsip khilafah, keadilan ( ‘adalah ), kenabian ( nubuwwah ), persaudaraan ( ukhuwwah ), kebebasan yang bertanggung jawab ( Al huriyah wal mas’uliyyah ). Disamping itu ada nilai – nilai instrumental, yaitu larangan riba, zakat, kerjasama ekonomi, jaminan sosial dan peran negara.31 Berdasarkan landasan filosofis dan prinsip-prinsip syariah dalam ekonomi bank syariah dijalankan dengan tidak mendasarkan kepada prinsip bunga karena dianggap riba dan dilarang, transaksi yang digunakan adalah transaksi bagi hasil pengembangan zakat dan usaha yang halal dan thoyib, serta adanya prinsip kesesuaian kehendak dalam perjanjian-perjanjian ( arridha’iyyah ).32 Dengan memperhatikan prinsip-prinsip utama dalam operasionalisasi perbankan syariah, yang memiliki keunikan (khas) dalam opersionalnya, sesuai dengan karakter 31 Ahmad Ashar Basyir, Ibid Law Office of Remy & Darus, Naskah Akademik Rencana Undang – undang tentang Perbankan Syariah, Jakarta, Oktober 2002, hlm. 60 32 12 dari ajaran Islam itu, dalam opersionalisasi perbankan syariah diperlukan pengaturan yang khusus agar berjalan sesuai dengan sifat dan kekhususannya tersebut dengan tidak mengurangi prinsip universal dari ajaran Islam itu sendiri, yaitu bertujuan membawa kebaikan bagi semua pihak ( rahmatan lil ‘alamin ).33 c.Urgensi Undang – undang Perbankan Syariah dalam Pembangunan Nasional di Era Globalisasi Paradigma pembangunan yang sudah berjalan secara mendunia dengan pendekatan teori – teori ekonomi liberal kapitalistik dan marxist berikut teori pengembangannya yang bertentangan dengan nilai kemaunian dan ketuhanan ( agama ), dianggap telah gagal membawa tujuan dari pembangunan ekonomi untuk memakmurkan dan menyejahterakan masyarakat. Oleh karenanya perlu paradigma baru yang dapat memberikan alternatif atas kekurangan dan kegagalan teori yang sudah ada. Paradigma ini berdasarkan pada konsep ajaran agama samawi yang mendasarkan pada prinsip ketuhanan. 34 Sebelum diuraikan tentang urgensi Undang – undang Perbankan Syariah dalam Pembangunan nasional pada Era globalisasi, penting untuk terlebih dahulu dikaji tentang Pembangunan Hukum Nasional. Menurut Artidjo Alkostar, pembangunan hukum senantiasa menuntut adanya visi dari proses yang secara sadar diarahkan kepada pertumbuhan dan pembangunan hukum. Pembangunan hukum tidak mungkin hanya dipercayakan dan tergantung pada penguasa saja karena eksistensi hukum tidak bisa dilepaskan dari dinamika sosial. Prioritas “political will” penguasa pemerintahan akan lebih mudah dicurahkan pada pembangunan ekonomi dan teknologi dibandingkan dengan pembangunan hukum dan keadilan. 35 33 Law Office of Remy & Darus ibid. Law Office of Remy & Darus ibid. 35 Mochtar Mas’oed ( editor ), Kritik Sosial dalam Wacana Pembangunan,UII Pres, Jogjakarta, 1997, hlm. 340 - 344 34 13 Lebih jauh Alkostar mengatakan bahwa Pembangunan hukum yang dirancangbangun oleh dan dengan desain dominasi kebijaksanaan pemerintah, maka akan muncul bangunan hukum yang hanya memberi naungan bagi kekuasaan dan birokrasi. Dalam hubungan ini, jika pemerintahan Orde Lama banyak memberlakukan hukum warisan Kolonial dan hukum buatan Indonesia yang represif serta otorioter sebenarnya merupakan refleksi dari pola pembangunan yang lebih menekankan pada ideologi stabilitas. Pembentukan undang-undang terkait dengan proses politik. Proses-proses politik antaranya terlihat pada pembuatan hukum (undang-undang, peraturan). Di sini pembuatan hukum tidak kita lihat sebagai proses hukum melainkan sebagai manifestasi dari kegiatan politik yaitu membuat deskripsi mengenai keadaan ideal dan memobilisasi sumber-sumber daya untuk mencapainya melalui pembangunan kekuasaan, 36 Sedangkan negara yang menyatakan dirinya sebagai negara demokrasi menyaratkan adanya partisipasi penuh masyarakat secara politik serta keterkaitan maksimal dari rakyat dalam menentukan kebijaksanaan yang menyangkut kepentingan publik. Begitu pula dalam pembangunan hukum nasional, nilai-nilai yang ada dan berkembang dalam kehidupan masyarakat mutlak harus dijadikan fondasi bangunan, agar hukum yang berlaku tidak tercabut dari bumi budaya masyarakatnya. Alkostar memahami kritik – kritik yang dilontarkan terhadap ilmu hukum. Menurutnya dalam realita pelaksanaan hukum banyak fenomena yang mengundang insinuasi-insinuasi sinis dan mempertanyakan Visi pengembangan Ilmu Hukum saat ini. Alkostar sendiri mengkritik perkembangan hukum di Indonesia. Menurutnya perkembangan hukum di Indonesia saat ini terbelenggu oleh “kapsul” positivisme hukum Eropa Kontinental abad 18. Positivisme hukum tidak peduli dengan keadilan, karena masalah keadilan bukan urusan hukum positif. Aliran positivisme hukum menekankan pada kepastian hukum. Akibatnya, pertumbuhan hukum Indonesia berjalan tanpa Visi dan tidak jelas Paradigmanya. Watak hukum Eropa Kontinental bertradisi tanpa paradigma sosiologi, karena memakai metode berfikir deduktif seperti kebiasaan 36 Satjipto Rahardjo, 1991, hlm. 144 14 Hukum Romawi. Sedangkan karakter Hukum Anglo-Amerika lebih realistis karena memberi perhatian kepada apa yang berkembang dalam dinamika sosial. Dari pemaparan tersebut di atas, terlihat bahwa sistem hukum kita belum terpola, jalinan hubungan antara sub sistem hukum tidak terjalin, dan paradigmanya tidak jelas dan tidak utuh. Oleh karena itu diperlukan pemikiran yang serius mau seperti apa dan mau dibawa ke mana pembangunan hukun saat ini ? bagaimana pula dengan tatanan dan pembangunan hukum ekonomi, khususnya perbankan nasional ? Kembali ke masalah Perbankan syariah, dewasa ini konsep Bank Syariah, khususnya dan sistem ekonomi Islam umumnya telah menarik banyak negara bahkan negara-negara di mana umat Islam sebagai golongan minoritas seperti Amerika Serikat dan Inggris, gencar melakukan penelitian dan pertemuan ilmiah untuk memperbincangkan sistem ekonomi Islam, seperti Islamic Finance, Syariah Issues in Islamic Finance, Islamic Economic and Finance, selain diperbincangkan di kampus, juga lembaga-lembaga seperti Masyarakat Islam Amerika Utara (Islamic Society of North Amerika – ISNA) secara berkesinambungan melakukan rangkaian panjang pembicaraan tentang ekonomi Islam. 37 Di Indonesia sesuai dengan Sistem Ekonomi Kerakyatan, dalam tatanan perekonomian masyarakat madani yang dicita-citakan, Perbankan Syariah bukan saja memberikan kemungkinan terbelanya golongan masyarakat yang rentan, tetapi juga terjaganya dengan baik solidaritas sosial. 38 Secara ekonomis perbakan syariah memiliki potensi manfaat yang dapat dikembangkan dalam mendukung percepatan dan kokohnya ketahanan ekonomi nasional. Perbankan syariah memiliki karakteristik dari perspektif mikro yang menekankan aspek kompetensi / professionalisme dan sikap amanah dalam nilai-nilai shiddiq ( kejujuran dalam mengelola ), tabligh (kemampuan sosialisasi dan edukasi masyarakat), amanah (kemampuan mengelola perbankan secara hati-hati dan terpercaya), dan fathonah (professionalisme) ri’ayah (kecermatan, kesantunan dan mas’uliyah ( penuh rasa tanggung jawab). 37 38 Harian Umum Republika, 12 November 1999. Law Office of Remy dan Darus op.cit., hlm 72, 104, dan 163. 15 Dari perspektif makro perbankan syariah menekankan aspek kontribusi perbankan syariah bagi kesejahteraan masyarakat dengan kaidah pelarangan riba, kaidah zakat, kaedah pelarangan transaksi spekulatif, kaidah pelarangan gharar. Kekhususan operasional bank syariah akan memberi dampak pada pertumbuhan pemerataan dan stablitas ekonomi nasional. Secara yuridis, eksistensi perbankan syariah di Indonesoa telah memiliki dasardasar hukum kuat yang dapat dijadikan landasan bagi pendirian, kegiatan, aturan perilaku dan sanksi-sanksi yang dapat dikenakan kepada pihak-pihak yang melakukan pelanggaran. Namun pengaturan operasional perbankan syariah di dalam UndangUndang No. 10 tahun 1998, masih sangat sumir dan mengandung aturan yang tidak tegas dan saling bertentangan, hal itu terjadi karena antara perbankan syariah dengan paerbankan konvensional memiliki karakrteristik yuridis yang sangat berbeda sehingga tidak mungkin hanya diatur dalam satu undang-undang untuk subjek yang berbeda tersebut. Dari tinjauan sosial politik, dukungan masyarakat terhadap pentingnya pengaturan perbankan syariah tersendiri sangat tinggi, hal ini ditinjau dari persepsi masyarakat yang berdasarkan alasan keagamaan tidak menerima bank yang berdasarkan prinsip bunga. Penelitian menunjukkan bahwa regulasi yang mengatur perbankan syariah secara tersendiri mutlak diperlukan karena adanya karakteristik yang berbeda pada bank syariah dengan bank konvensional. Selain itu keinginan politik para pembuat kebijakan juga cukup kondusif untuk pengembangan bank syariah sebagai bagian sistem perbankan nasional. Dari perbandingan praktik pengaturan di berbagai negara yang terdapat bank syariah, terbukti bahwa kebanyakan negara-negara yang diteliti telah memiliki pengaturan perbankan syariah tersendiri dengan tujuan mendorong pertumbuhan dan perkembangan perbankan syariah yang sehat dan sesuai dengan prinsip-prinsip syariah. Dengan memperhatikan prinsip-prinsip utama dalam operasionalisasi perbankan syariah, yang memiliki keunikan (khas) dalam opersionalnya, sesuai dengan karakter dari ajaran Islam itu, dalam opersionalisasi perbankan syariah diperlukan pengaturan 16 yang khusus agar berjalan sesuai dengan sifat dan kekhususannya tersebut dengan tidak mengurangi prinsip universal dari ajaran Islam itu sendiri, yaitu bertujuan membawa ( rahmatan lil ‘alamin ).39 kebaikan bagi semua pihak Seperti telah diuraikan di muka, bahwa globalisasi liberalisme. Pendirian neo liberalisme dicirikan dengan dilandasi paham neo kebijakan pasar bebas, menyingkirkan peran birokrasi dan “parasit” pemerintah. Hal ini sangat bertentangan dengan prinsip – prinsip ekonomi Islam. Secara filosofis, orientasi dasar ekonomi Islam dilandaskan pada asas ketuhanan ( tauhid ), yaitu adanya hubungan dari aktivitas ekonomi, tidak saja dengan sesama manusia, tetapi juga dengan tuhan sebagai pencipta. Dari landasan tauhid ini timbul prinsip – prinsip dasar bangunan kerangka sosial, hukum, dan tingkah laku, yang di antaranya adalah prinsip khilafah, keadilan ( ‘adalah ), kenabian ( nubuwwah ), persaudaraan ( ukhuwwah ), kebebasan yang bertanggung jawab ( Al huriyah wal mas’uliyyah ). Disamping itu ada nilai – nilai instrumental, yaitu larangan riba, zakat, kerjasama ekonomi, jaminan sosial dan peran negara. Urgensi penyusunan Undang – undang Perbankan Syariah dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu aspek yuridis, ekonomis ( baik ekonomi mikro maupun makro ), dan sosial politis. Mengembangkan perbankan syariah di Indonesia antara lain melalui penyusunan Undang – undang Perbankan Syariah, merupakan salah satu upaya membendung arus liberalisme dan kapitalisme gaya baru yang dibungkus melalui globalisasi dalam bidang perbankan. C. PENUTUP a. Kesimpulan 1. Perbankan syariah memiliki karaktiristik operasional yang menjadi keunggulan kompetitif dan komparatif sehingga dapat menjadi alternatif sistem perbankan selain perbankan konvensional. Perbankan Syariah bukan saja memberikan kemungkinan 39 Law Office of Remy dan Darus , ibid. 17 terbelanya golongan masyarakat yang rentan, tetapi juga terjaganya dengan baik solidaritas sosial. Walaupun dibandingkan dengan total aset perbankan nasional masih relatif kecil, tetapi perbankan syariah memiliki peluang untuk berkembang secara terus menerus sehingga dapat menunjukkan potensi manfaat yang dapat dikembangkan untuk mendukung dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan nasional, khususnya pembangunan perekonomian. 2. Bank Syariah dilandasi oleh ajaran Islam sebagai landasan filosofis, teoritis dan operasional. Dari landasan ini timbul prinsip – prinsip dasar bangunan kerangka sosial, hukum, dan tingkah laku, yang di antaranya adalah prinsip khilafah, keadilan ( ‘adalah ), kenabian ( nubuwwah ), persaudaraan ( ukhuwwah ), kebebasan yang bertanggung jawab ( Al huriyah wal mas’uliyyah ). Di samping itu terdapat nilai – nilai instrumental, yaitu larangan riba, zakat, kerjasama ekonomi, jaminan sosial dan peran negara. Hal ini tidak sesuai dengan Filosofi yang melandasi lahirnya Era Globalisasi karena globalisasi yang terjadi dewasa ini pada hakekatnya merupakan upaya untuk menumbuhkan kembali aliran liberalisme – kapitalisme dengan menggunakan hukum internasional sebagai instrumennya. 3. Dalam pembangunan hukum nasional, perlu dikembangkan nilai – nilai yang hidup dalam masyarakat sebagai fondasi bangunan agar hukum yang berlaku tidak tercabut dari bumi dan budaya masyarakatnya. Secara filosofis , orientasi dasar ekonomi Islam yang menjadi pijakan Perbankan Syariah dilandaskan pada asas ketuhanan ( tauhid ). Hal ini sesuai dengan nilai – nilai yang tumbuh pada masyarakat Indonesia yang berketuhanan. Oleh karena itu Perbankan Syariah perlu didukung agar dapat eksis sebagai salah satu upaya meminimalisir dampak negatif paham liberalis – kapitalis melalui globalisasi yang tidak sesuai dengan masyarakat Indonesia. Urgensi penyusunan Undang – undang Perbankan Syariah pada era globalisasi dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu aspek ekonomis, yuridis dan sosio politis. b. Saran 1. Diperlukan penelitian dan pengkajian yang mendalam oleh para pakar ilmu hukum tentang arah pembanguan hukum nasional yang berlandaskan pada nilai - nilai yang 18 tumbuh dan berkembang pada masyarakat. Demikian halnya dalam bidang hukum Ekonomi. Peraturan perundang – undangan warisan kolonial Belanda yang tidak sesuai dengan falsafah Bangsa Indonesia menjadi prioritas pembangunan hukum. 2. Perbankan syariah yang memiliki karakter yang khas perlu dikembangkan dengan dukungan peraturan perundang – undangan yang memadai. 19 DAFTAR PUSTAKA - Basyir, Ahmad Asyhar. 1992. Berbagai Aspek Ekonomi Islam. (Editor : M. Rusli Karim). Yogyakarta : P3EI – FE UII Kerjasama dengan Tiara Wacana. - Compton, Eric. 1991. Principle of Banking. (terjemahan Alexander Oey). Jakarta : Akademika Pressindo. - Djumhana, Muhammad. 1993. Hukum Perbankan di Indonsia. Bandung : Citra Aditya Bakti. - Departemen Pendidikan dan Kebudaan. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Balai Pustaka. Jakarta. - Fakih, Mansour. ( editor ). 2002. Runtuhnya Teori Pembangunan dan Globalisasi. Pustaka Pelajar. Jogjakarta. - Jafar, Muhammad. 1993. Pengantar Ilmu Fiqh : Suatu pengantar Tentang Ilmu Hukum Islam dalam berbagai Mazhab. Jakarta : Kalam Hidup. - Kartadjoemena, H.S. 1997, GATT WTO dan Hasil Uruguay Round. UI-Pres. Jakarta. - Law Office of Remy dan Darus. 2002. Naskah Akademik Rancangan Undang – undang tentang Bank Syariah. Jakarta. - Rahman. Afzaur. 1995. Economi Doctrines of Islam. Yogyakarta : Dana Bhakti Wakaf. Peraturan Perundang-undangan - Undang-undang Dasar 1945. - TAP MPR No. IV/TAP/MPR/1998 Tentang Garis-Garis Besar Haluan Negara. - PROPENAS 2000 – 2004 ( Undang – undang No. 25 Tahun 2000 ) - Undang-undang No. 10 Tahun 1998 tentang perubahan Undang-undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan. 20 Makalah-Makalah - Muladi. Perkembangan Hukum Perbankan di Indonesia dan permasalahannya. Makalah Pada Seminar Perkembangan Hukum Perbankan di Indonesia dan permasalahannya. Fakultas Hukum Trisakti. Jakarta. 31 Agustus 1998. - Nidyo Pramono. Sebuah Pendekatan dari Perspektif Hukum ekonomi. Makalah pada Penataran Hukum Perdata dan Ekonomi. Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada. Jogjakarta. 23-30 Agustus 1999. - Zainul Arifin. Perkembangan Lembaga Keuangan Syari’ah di Indonesia Menghadapi Era Globalisasi. Disampaikan pada Seminar Nasional Perkembangan Lembaga Keuangan Syari’ah di Indonesia dalam Menghadapi Era Globalisasi. ICMI ORWIL Jawa Barat. Bandung 7 September 1996. - Muhammad Syafi’i Antonio. Bank Muamalat Indonesia sebagai Alternatif Usaha Perbankan dalam Menghimpun dan Pemberian kredit. Badan Pembinaan Hukum Nasional – Departemen Kehakiman RI. - ----------------------- Tanpa Tahun. Potensi dan peranan Ekonomi Islam dalam upaya Pembangunan Ekonomi Islam Nasional. - Nyoman Moena. 1996. Rangkuman Sajian Analisis Efisiensi dan Efektifitas Hukum Perbankan. Disampaikan pada pertemuan ilmiah Analisis Ekonomi terhadap Hukum. BPHN – Departemen Kehakiman R.I. - Amin Azis. 1996. Tantangan, Prospek dan Strategi Perekonomian Syariah di Indonesia dilihat dari Pengalaman pengembangan BMT – PINBUK. Jakarta. - Aslan, Noor. 2003.Peranan Hak – hak atas Tanah dalam Mengembangkan Bisnis Koperasi dan Usaha Kecil Menengah di Era Globalisasi, Makalah Seminar Kesiapan Koperasi dan Usaha Kecil Menengah di Jawa Barat untuk Mengembangkan Bisnis dalam Era Globalisasi, 7 Agustus 2003, Fakultas Hukum Unpad. Bandung. Surat Kabar 21 - Harian Umum Republika, 11 dan 12 November 1999 URGENSI UNDANG – UNDANG PERBANKAN SYARIAH DALAM PEMBANGUNAN HUKUN NASIONAL PADA ERA GLOBALISASI Penyusun Neni Sri Imaniyati FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS ISLAM BANDUNG 2004 22 ABSTRAK Di Indonesia, bank yang beroperasi berdasarkan syari’ah Islam telah dimulai sejak tahun 1990-an. Setelah sembilan tahun sejak Bank Syariah yang pertama kali berdiri di Indonesia, banyak minat bank konvensional menggunakan pola usaha berdasarkan prinsip syariah Dua dekade terakhir, perkembangan bank syariah pun mengalami pertumbuhan yang sangat signifikan baik dilihat dari jumlah maupun penyebarannya di dunia. Bank Syariah dilandasi oleh ajaran Islam sebagai landasan filosofis, teoritis dan operasional. Dari landasan ini timbul prinsip – prinsip dasar bangunan kerangka sosial, hukum, dan tingkah laku, yang di antaranya adalah prinsip khilafah, keadilan ( ‘adalah ), kenabian ( nubuwwah ), persaudaraan ( ukhuwwah ), kebebasan yang bertanggung jawab ( Al huriyah wal mas’uliyyah ). Di samping itu terdapat nilai – nilai instrumental, yaitu larangan riba, zakat, kerjasama ekonomi, jaminan sosial dan peran negara. Hal ini tidak sesuai dengan filosofi yang melandasi lahirnya Era Globalisasi karena globalisasi yang terjadi dewasa ini pada hakekatnya merupakan upaya untuk menumbuhkan kembali aliran liberalisme – kapitalisme dengan menggunakan hukum internasional sebagai instrumennya. Oleh karena itu Perbankan Syariah perlu didukung agar dapat eksis sebagai salah satu upaya meminimalisir dampak negatif liberalis – kapitalis melalui globalisasi. Urgensi penyusunan Undang – undang Perbankan Syariah pada era globalisasi dapat dilihat dari berbagai aspek, yaitu aspek ekonomis, yuridis dan sosio politis. 23 PERLINDUNGAN KONSUMEN DALAM PERSPEKTIF ETIKA BISNIS ISLAM A. PENDAHULUAN Pembangunan, khususnya pembangunan perekonomian di bidang perindustrian dan perdagangan telah membawa manfaat bagi konsumen, yaitu semakin banyaknya pilihan barang dan jasa yang ditawarkan, dengan aneka jenis, dan kualitas. Di era globalisasi dan perdagangan bebas, dengan dukungan ilmu pengetahuan, teknologi dan informasi, semakin luas arus keluar dan masuknya barang dan jasa melintasi batas-batas negara. Hal ini mempermudah masyarakat untuk memenuhi kebutuhan akan produk barang dan jasa. Kondisi demikian telah memberi banyak manfaat bagi konsumen. Namin di sisi lain konsumen menjadi objek aktivitas bisnis para pelaku usaha yang mengharapkan keuntungan secara besar-besaran melalui promosi maupun penjualan yang sering kali merugikan konsumen. Tidak dapat dipungkiri, bahwa saat ini kedudukan konsumen sangat lemah, antara lain disebabkan oleh karena tingkat kesadaran dan tingkat pendidikan konsumen yang relatif masih rendah. Hal ini semakin diperparah oleh etos-etos bisnis yang tidak benar, seperti bisnis harus bertujuan memperoleh keuntungan semata-mata, bisnis tidak memiliki nurani, dan lain sebagainya. Perhatian terhadap perlindungan konsumen sangat diperlukan mengingat setiap oang, pada suatu waktu, apakah sendiri, atau berkelompok bersama orang lain, dalam keadaan apapun pasti menjadi konsumen untuk suatu produk barang atau jasa tertentu. Oleh karena itu diperlukan pemberdayaan konsumen. Dewasa ini, telah tumbuh kesadaran masyarakat tentang perlunya perlindungan konsumen yang dimulai di negara-negara maju. Apabila di masa-masa lalu pihak industriawan yang dipandang sangat berjasa bagi perkembangan perekonomian negara mendapat perahtian sangat besar, maka dewasa ini perlindungan terhadap konsumen lebih mendapat perhatian sesuai dengan semakin meningkatnya perlindungan terhadap Hak Asasi manusia. 40 Perlindungan terhadap konsumen berkaitan dengan kegiatan bisnis, yaitu perdagangan barang dan jasa dalam lingkup kegiatan ekonomi, namun demikian tidak dapat dilepaskan dari aspek-aspek lain seperti hukum, agama, pendidikan, sosial dan budaya. Oleh karenanya, berkaitan dengan perlindungan konsumen, perlu ditelaah dari berbagai sudut pandang. 40 E. Saefullah, Product Liability Tanggung Jawab Produsen di Era Perdagangan Bebas. Jurnal Bisnis Volume 5, 1998, hal 34. 24 Beberapa hal penting yang perlu penelaah adalah masalah perlindungan konsumen dalam perspektif ekonomi Islam. Hal ini penting karena penduduk Indonesia mayoritas beragama Islam, dengan demikian semestinya nilai-nilai ajaran islam melandasi peraturan perundang-undangan yang mengatur kegiatan perekonomian masyarakat sehingga pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku masyarakat dalam berbagai bidang, demikian halnya dalam kegiatan perekonomian. Oleh karena itu perlu ditelaah apakah Islam memberikan rambu-rambu mengenai perlindungan konsumen ?. Selanjutnya perlu pula ditelaah bagaimana peraturan perundangan-undangan yang mengatur perlindungan konsumen di Indonesia ? Apakah peraturan tersebut telah memberikan perlindungan hukum yang cukup memadai bagi konsumen dalam era globalisasi ? Apakah peraturan tersebut sesuai dengan nilai-nilai etika bisnis Islam ? B. PANDANGAN PELAKU USAHA TERHADAP ETIKA BISNIS Konsumen yang keberadaannya sangat tidak terbatas, dengan strata yang sangat bervariasi menyebabkan produsen melakukan kegiatan pemasaran dan distribusi produk barang atau jasa dengan cara-cara yang seefektif mungkin agar dapat mencapai konsumen yang sangat majemuk tersebut. 41 Oleh karena itu berbagai upaya dilaksanakan untuk mencapai sasaran tersebut di atas. Upaya-upaya yang dilakukan tersebut kadang kala menjurus pada hal yang negatif, bahkan dari sejak awal dimulai dengan itikad tidak baik, antara lain memberikan informasi yang tidak benar, informasi yang menyesatkan, mutu atau kualitas barang yang rendah, bahkan dalam cara-cara penjualan yang bersifat memaksakan. Upaya-upaya yang dilakukan tersebut seringkali lebih diperburuk oleh pandanganpandangan atau lebih dikenal dengan istilah “mitos-mitos” bisnis itu sendiri, seperti “bisnis adalah kotor”, “sedikit bohong dalam bisnis adalah wajar”, “bisnis dengan jujur tidak akan untng”, dan lain sebagainya. Oleh karena mitos-mitos bisnis seperti itu, maka menurut sebagian pelaku bisnis, bisnis tidak perlu etika. Sebagai pelaku bisnis menyatakan, bahwa dalam berbisnis disertai berpikir dan berbuat moral adalah mustahil. Hal ini akan membuang-buang waktu saja. Bahkan bisa-bisa bangkrut. Ada beberapa pandangan yang pro-kontra tentang perlunya etika dalam berbisnis : Pendapat yang kontra, antara lain beranggapan bahwa : 42 1. Bisnis adalah persaingan : semua pelaku dalam persaingan ingin ke luar sebagai pemenang. Setiap persaingan itu adalah pertarungan mempunyai aturan sendiri. 2. Bisnis adalah sosial : Aturan bisnis tidak bisa dikawinkan dengan aturan moral sosial. Ia mempunyai kawasan tersendiri yang tidak mungkin dicampuradukan. Pikiran sosial bila dituangkan dalam perjanjian bisnis akan menganggu dan membuat lemah bisnis itu sendiri. Bisnis yang kuat harus dituangkan dengan power, bukan dengan kasih sayang. 41 Sri Redjeki Hartono, Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas. Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era Perdagangan Bebas, Fakultas Hukum UNISBA, Bandung, 9 Mei 1998, hal. 2. 42 Es. Mahmoedin, Etika Bisnis Perbankan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hal. 72-76. 25 3. Bisnis campur moral akan tersingkir, pelaku bisnis yang “bodoh” yang berlaku moralis. Jika masih ada manusia berbasi-basi dan masih menggunakan ukuran moral, maka ia akan tersingkirkan. 4. Bisnis harus bertujuan utama keuntungan. Karena tujuan bisnis adalah keuntungan, maka tanggung jawab sosial adalah tidak relevan dan bertentangan dengan efisiensi. 5. Bisnis harus berkonsentrasi. Jika ada tujuan rangkap, yaitu tujuan ekonomi dan tujuan sosial, maka akan membigungkan manajer. 6. Bisnis itu makan biaya. Untuk menggerakan kegiatan bisnis diperlukan biaya yang besar, apalagi jika harus dibebani biaya sosial. Sony Keraf 43 memberikan contoh tentang pendapat para pelaku bisnis yang berpandangan bahwa bisnis itu amoral, menurut pandangan tersebut “Bisnis adalah bisnis”. “Bisnis jangan dicampuradukan dengan etika”. Menurut beberapa ungkapan sering didengar yang menggambarkan hubungan antara bisnis dan etika. Inilah ungkapan-ungkapan yang oleh de Goerge disebut sebagai “Mitos Bisnis Amoral”. Demikian pendapat-pendapat yang mendukung kegiatan bisnis tidak memerlukan etika. Namun demikian, tidak semua pelaku bisnis memiliki pandangan yang sama. Sebagian pelaku bisnis memiliki pandangan bahwa kaum bisnis harus menumbuhkan kepekaan etika dalam menjalankan bisnisnya. hAl ini merupakan sesuatu yang tumbuh dari dalam tidak diharuskan dari luar. Di bawah ini akan dikemukakan beberapa alasan yang mendukung perlunya etika dalam melakukan kegiatan bisnis. 44 1. Bisnis mempertaruhkan segalanya 2. Bisnis menyangkut hubungan antara manusia 3. Bisnis adalah persaingan yang bermoral 4. Legalitas berkaitan dengan moralitas 5. Bisnis harus mengikuti kemauan masyarakat 6. Bisnis harus disertai kewajiban moral 7. Bisnis harus mengingat sumber daya yang terbatas 8. Bisnis harus menjaga lingkungan sosial 9. Bisnis harus menjaga keseimbangan, tanggung jawab, dan sosial 10. Bisnis harus menggali sumber daya yang berguna 11. Bisnis memberi keuntungan jangka panjang Oleh karena menurut pandangan di atas, kegiatan bisnis memerlukan dan harus menggunakan etika, maka disusun Prinsip Etika Bisnis. Mahmoedin 45 menyatakan bahwa prinsip etika bisnis berkaitan dengan sistem nilai masyarakat. Oleh karena itu prinsip etika bisnis yang berlaku di Indonesia berkaitan dengan sistem nilai masyarakat kita. Hal ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh 43 Sonny Keraf dan Robert Haryono Imam, Etika Bisnis Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur, Pustaka Filsafat Yogyakarta. 1995, hal. 56. 44 Mahmoedin, ibid.hal. 76-80. 45 Mahmoedin, ibid, hal. 81-85. 26 Sony Keraf 46. Menurutnya secara umum prinsip-prinsip yang berlaku dalam kegiatan bisnis yang baik sesungguhnya tidak bisa dilepaskan dari kehidupan kita sebagai manusia pada umumnya. Demikian pula, prinsip-prinsip itu sangat erta terkait dengan sistem nilai yang dianut oleh masyarakat masing-masing. Mahfudin mengemukakan prinsip-prinsip etika bisnis sebagai berikut : a. Bersifat bebas, yaitu para pengusaha tahu apa yang baik dan apa yang buruk, serta tahu mengenai bidang kegiatannya, situasi yang dihadapinya dan aturan yang berlaku baginya. Kebebasan adalah syarat yang harus ada agar manusia bisa bertindak secara etis, manajer harus memiliki kebebasan untuk mengembangan kegiatan bisnisnya. b. Bertanggung Jawab : Bertanggung jawab kepada dirinya sendiri, kepada pemberi amanah, kepada orang yang terlibat, kepada masyarakat / konsumen. c. Bersikap jujur d. Berbuat baik e. Bersikap adil (contohnya dalam pemberian upah, pekerjaan perseritan, perlindungan, persamaan) f. Bersikap hormat g. Bersikap inovatif 1. 2. 3. 4. 5. 46 47 Sementara menurut Sony Keraf 47 prinsip-prinsip etika bisnis adalah : Prinsip otonomi. Otonomi adalah sikap dan kemauan manusia untuk bertindak berdasarkan kesadarannya sendiri tentang apa yang dianggap baik untuk dilakukan. Untuk bertindak secara otonom diandaikan ada kebebasan untuk mengambil keputusan dan bertindak berdasarkan keputusan itu. Otonom juga mengandaikan adanya tanggung jawab. Tanggung jawab kepada diri sendiri, kepada nuraninya, tanggung jawab kepada orang yang mempercayakan seluruh kegiatan bisnis dan manajemen itu kepadanya, termasuk tanggung jawab kepada pihak-pihak yang terlibat dengannya dalam urusan bisnis. Prinsip kejujuran. Prinsip kejujuran terwujud dalam pemenuhan syarat-syarat perjanjian dan kontrak, penawaran barang dan jasa dengan mutu baik, hubungan kerja perusahaan. Prinsip tidak bertabiat jahat (non maleficence) dan prinsip berbuat baik (beneficence). Perwujudan prinsip ini mengambil dua bentuk. Pertama, prinsip baik menuntut agar orang secara aktif dan maksimal berbuat hal yang baik kepada orang lain. Kedua dalam wujudnya yang minimal pasif, sikap ini menuntut agar kita tidak berbuat jahat kepada orang lain. Prinsip keadilan. Prinsip keadilan menuntut agar memperlakukan orang lain sesuai dengan haknya. Prinsip hormat kepada diri sendiri. Arti tertentu prinsip ini sudah tercakup dalam prinsip pertama dan kedua di atas. Tetapi di sini dirumuskan secara khusus untuk Sonny Keraf, Op.Cit, hal. 70. Sonny Keraf, ibid, hal. 70-76. 27 menunjukkan bahwa kita semua mempunyai kewajiban moral yang sama bobotnya untuk menghargai diri sendiri. Dari uraian di atas, tampak bahwa pelaku bisnis memiliki pandangan yang berbeda tentang perlu tidaknya etika dalam kegiatan bisnis. Pandangan tersebut tentu dipengaruhi oleh berbagai faktor. Baik faktor intern yang terdapat dalam diri pelaku bisnis itu sendiri seperti pemahaman terhadap agama dan kepercayaan yang dianutnya, maupun faktor ekstern di luar pelaku bisnis tersebut, misalnya faktor keluarga dan lingkungan. Selain itu telah diuraikan pendapat pakar mengenai prinsip-prinsip etika bisnis yang semestinya dilakukan oleh para pelaku bisnis. Perlu untuk diperhatikan apa yang dikatakan Mahatma Gandhi, menurut ada tujuh dosa sosial, yaitu politik tanpa prinsip, kekayaan tanpa kerja, kenikmatan tanpa nurani, pengetahuan tanpa watak, ilmu tanpa kemanusiaan, ibadah tanpa pengorbanan dan bisnis tanpa moral48. C. ETIKA BISNIS DALAM PANDANGAN ISLAM Islam merupakan agama yang komprehensif dan universal. Dikatakan komprehensif, karena Islam mengatur seluruh aspek kehidupan manusia. Universal karena daya berlakunya tidak terbatas oleh waktu dan tempat. Masalah bisnis, perdagangan, atau perniagaan, atau perekonomian merupakan salah satu bidang muamalah. Islam telah menyediakan rambu-rambunya. Dalam bidang ibadah, Islam menetapkan hukum “Tidak ada ibadah kecuali yang diatur dalam Al-Qur’an dan Sunnah”. Oleh karena itu ibadah yang dilakukan di luar AlQur’an dan Sunnah termasuk bid’ah. Sedangkan untuk kegiatan muamalah Islam hanya mengatur prinsip-prinsipnya saja, semua kegiatan muamalah dapat dilakukan asalkan tidak bertentang dengan prinsip-prinsip tersebut. Berbicara tentang etika bisnis, maka harus merujuk ke prinsip-prinsip ekonomi Islam. Islam menetapkan prinsip-prinsip perekonomian, antara lain sebagai berikut 49 : 1. Islam menentukan berbagai macam kerja yang halal dan yang haram. Kerja yang halal saja yang dipandang sah. 2. Kerjasama kemanusiaan yang bersifat gotong royong dalam usaha memenuhi kebutuhan harus ditegakkan. 3. Nilai keadilan dalam kerjasama kemanusiaan ditegakkan. Secara khusus Islam menetapkan nilai-nilai atau etika yang harus dipatuhi dalam kegiatan bisnis. Salah satunya adalah etika atau moral dalam berdagang yang merupakan salah satu bentuk kegiatan ekonomi. Prinsip dasar yang telah ditetapkan Islam mengenai perdagangan dan niaga adalah tolok ukur kejujuran, kepercayaan dan ketulusan. Menurut Abdul Manan, 50 Dewasa ini 48 Es. Mahmudin, Etika Bisnis Perbankan, Pustaka Sinar Harapan, Jakarta, 1994, hal. 67. Ahmad Aghar Basyir, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam dalam berbagai Aspek Ekonomi Islam, P3EI-FE UII Bekerjasama dengan Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta, 1992, hal. 13-14. 50 Abdul Manan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Seri Ekonomi Islam) No. 2 Edisi Liensi. Dana Bhakti Wakaf, Yogyakarta, 1995, Hal. 288-289. 28 49 banyak ketidaksempurnaan pasar yang seharusnya dapat dilenyapkan bila prinsip ini diterima oleh masyarakat bisnis dari bangsa-bangsa berada di dunia. Prinsip perdagangan dan niaga ini telah ada dalam Al-Qur’an dan Sunnah, seperti mengenai larangan melakukan sumpah palsu, larangan memberikan takaran yang tidak benar dan keharusan menciptakan itikad baik dalam transaksi bisnis. 1. Larangan Sumpah Palsu Salah satu hadist nabi yang melarang sumpah palsu, Abu Hurairah berkata : “Aku mendengar Rasulullah SAW berkata : “Dengan menggunakan sumpah palsu barang-barang jadi terjual, tapi menghilangkan berkah (yang terkandung didalamnya). 2. Takaran Yang benar Dalam perdagangan, nilai timbangan dan ukuran yang tepat dan standar benar-benar harus diutamkan. Islam meletakkan penekanan penting dari faedah yang memberikan timbangan dan ukuran yang benar seribu empat ratus tahun yang lalu. Terdapat perintah tegas baik dalam Al-Qur’an maupun dalam hadist mengenai timbangan dan ukuran yang sepenuhnya. Demikianlah dalam Al-Qur’an dinyatakan (Q.S. Al-Mutaffiffin, (83) : 2-7). “kecelakaan besarlah bagi orang yang curang, yaitu orang yang apabila menerima takaran dari orang lain, mereka meminta dipenuhi. Dan apabila mereka menukar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi …”. 3. Itikad Baik Itikad baik dalam bisnis merupakan hakekat dari bisnis itu sendiri hakekatnya. Itikad baik menimbulkan hubungan baik dalam usaha. Oleh karenanya Islam menganjurkan, jika melakukan transaksi sebaiknya dinyatakan secara tertulis dengan menguraikan syarat-syaratnya. Seperti yang dikemukan Abdul manan, Hamzah 51 lebih memerinci prinsip-prinsip moral dagang menurut Islam, yaitu : 1. Jujur dalam takaran 2. Menjual barang yang halal : dalam salah satu hadist nabi dinyatakan bahwa apabila Allah mengharamkan sesuatu barang, maka haram pula harganya (diperjualbelikan). 3. Menjual barang yang baik mutunya : dalam berbagai hadist Rasulullah SAW melarang menjual buah-buahan hingga jelas baiknya. 4. Jangan menyembunyikan barang yang cacat. Salah satu sumber hilangnya keberkahan jual beli, jika seseorang menjual barang yang bercacat yang disembunyikan cacatnya. 5. Jangan main sumpah Sabda Rasulullah : “Sumpah itu melariskan dagangan, tetapi menghapuskan keberkahan”. (HR. Bukhari) 6. Longgar dan bermurah hati Rasulullah bersabda : 51 Hamzah, Ya’kub, Etika Islam : Pembinaan Akhlaqulkarimah (suatu Pengantar), CV. Diponegoro, Bandung, 1996, hal. 161-164. 29 “Allah mengasihi orang bermurah hati waktu menjual, waktu membeli dan waktu menagih hutang.” (HR. Bukhari) 7. Jangan menyaingi kawan Rasulullah bersabda : “Janganlah kamu menjual dengan menyaingi dagangan saudarany.” (HR. Bukhari) Maksudnya meyaingi kawan dengan cara yang tidak dibenarkan. 8. Mencatat hutang piutang (Q.S. Al-Baqarah ayat 282) 9. Larangan riba (Q.S. Al-Baqarah ayat 276) 10. Zakat 2 ½ % sebagai pembersih harta. Perintah zakat tersebar dalam Al-Qur’an dan hadist. D. PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN YANG MENGATUR PERLINDUNGAN KONSUMEN DI INDONESIA Satjipto Rahardjo 52 mengemukan bahwa dimensi sosial dari hukum dewasa ini kian hari kian tampak menonjol. Keterlibatan hukum pada persoalan-persoalan sosial dan ekonomi bangsa serta tuntutan agar hukum mampu berperan sebagi sarana untuk memecahkan berbagai problem sosial yang demikian itu menampilkan kisi-kisi yang lain dari hukum yang tidak hanya yuridis dogmatis. Di lingkungan masyarakat telah tumbuh etika bisnis – khususnya berkaitan dengan perlindungan konsumen – yang pada pokoknya telah cukup memberikan perlindungan kepada konsumen dari tindakan-tindakan pelaku bisnis/pelaku usaha. Namun demikian etika saja masih dianggap kurang tanpa hukum. 53 Muladi mengatakan bahwa hal ini dikarenakan hubungan antara etika dan hukum adalah hubungan gradual, artinya sebuah etika yang belum disahkan oleh pembuat undang-undang sebagai hukum yang mengikat, maka pelanggaran atasnya tidak dapat dijatuhi sanksi yang bersifat otonom (dipaksankan oleh kekuatan di luar si pelanggar). Etika, seperti halnya norma kesusilaan, norma kesopanan dan norma agama, sebelum diterima sebagai hukum norma-norma tersebut, sanksi atas pelanggarannya lebih bersifat heteronom atau datang dari diri dan hatinya sendiri dalam bentuk penyesalan, rasa malu, rasa berdosa, dan sebagainya. 54 Oleh karena itu agar memiliki daya pengikat sehingga sanksi kepada para pelanggar dapat dipaksakan – maka diperlukan hukum (dalam hal ini adalah Undang-undang). Hingga tahun 1999 telah banyak peraturan perundang-undangan yang memberikan perlindungan pada konsumen. Peraturan ini tersebar pada berbagai undang-undang, antara lain 55 : 52 Satjipto Rahardjo, Pembangunan Hukum yang Dirahkan Kepada Tujuan Nasional, Artikel pada Majalah masalah-masalah Hukum, FH. UNDIP, No. 5-6 tahun XII, 1982, hal. 2. 53 Hukum di sini diartikan secara sempit sebagai undang-undang 54 Moh. Mahfud MD dalam Pewadahan Etika Keilmuan didalam UU Hak Cipta, Artikel pada Jurnal Hukum Ius Quiaiustum UII Yogyakarta. No. 12 Vol 6 – 1999 hal. 36. 55 Nurmardjito, Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan Tentang Perlindungan Konsumen dalam Menghadapi Era perdagangan Bebas, Makalah pada Seminar Nasional Perspektif Hukum 30 a. Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP) Pasal 202, 203, 204, 205, 263, 264, 382 bis, 383, 388. Pasal-pasal tersebut mengatur pemidanaan dari perbuatanperbuatan seperti memasukkan bahan berbahaya ke dalam sumber air minum, menjual, menawarkan, menerimakan, membagikan barang yang membahayakan jiwa, memalsukan surat, melakukan persaingan curang. b. KUH Perdata : Pasal 1473, 1512, 1320, 1338 : Intinya mengatur perbuatan yang berkaitan dengan perlindungan kepada pembeli dan pihak-pihak yang terkait dalam perjanjian. c. Ordinansi bahan-bahn berbahaya tahun 1949, UU tentang Obat Keras tahun 1949, UU No. 23 tahun 1992 tentang Kesehatan, UU No. 10 tahun 61 tentang Barang. Dilihat dari konsep perlindungan konsumen, peraturan-peraturan tersebut belum mampu memberikan perlindungan khusus kepada konsumen, sehingga diperlukan undang-undang tersendiri. Lahirnya undang-undang perlindungan konsumen, tidak dapat dipisahkan dari perjalanan panjang gerakan perlindungan konsumen di dunia. 56 Dalam perjalanan gerakan perlindungan konsumen dikenal dua macam adagium, yaitu caveat emptor (waspadalah konsumen) yang kemudian menjadi caveat venditor (waspadalah produsen). Kedua caveat ini erat kaitannya dengan strategi bisnis pelaku usaha. Pada masa strategi bisnis pelaku usaha berorientasi terutama pada kemampuannya untuk menghasilkan produk (production oriented / produc-out policy), maka pada masa itu konsumen harus waspada dalam mengkonsumsikan barang dan jasa yang ditawarkan oleh pelaku usaha. Pada masa ini konsumen tidak banyak memiliki peluang untuk memilih barang atau jasa yang akan dikonsumsikan sesuai dengan selera, daya beli dan kebutuhannya. Konsumen “didikte” oleh produsen. Seiring dengan perkembangan ilmu dan teknologi serta peningkatan dan pemerataan kesempatan memperoleh pendidikan dalam masyarakat, konsumen mengalami peningkatan daya kritis dalam memilih barang dan/atau jasa untuk memenuhi kebutuhannya. Oleh karena itu pelaku usaha tidak lagi bertahan pada strategi bisnisnya yang lama dengan resiko barang dan jasa yang ditawarkannya tidak laku di pasaran tetapi merubah strategi bisnisnya ke arah pemenuhan kebutuhan, selera dan daya beli pasar (market oriented/market-in policy). Pada masa ini produsenlah yang harus waspada (caveat venditor) dalam memenuhi kebutuhan barang dan / atau jasa dari konsumen. Seperti telah dikatakn bahwa gerakan atau upaya memebrikan perlindungan terhadap konsumen diawali dari negara-negara maju, yaitu berkaitan erat dengan pembangunan yang ditempuh oleh negara-negara maju tersebut. Hal ini dikemukakan Perlindungan Konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era perdagangan Bebas, FH. UNISBA, bandung, 9 Mei 1998, hal. 4-5. 56 Johanes Gunawan, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perleindungan Konsumen, Semniar Sehari “ Penerapan Undang-undang Anti Monopoli dan Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam kegiatan Perekonomian Guna Menghinadri Praktek Bisnis Curang”, Bandung, 25 Februari 2000, hal. 1. 31 Erman Radjagukguk 57. Menurutnya negeri-negeri sekarang ini yang disebut negaranegara maju telah menempuh pembangunan melalui tiga tingkat : Unifikasi, industrialisai, dan negara kesejahteraan. Pada tingkat yang pertama yang menjadi masalah berat adalah bagaimana mencapai integrasi politik untuk menciptakan persatuan dan kesatuan nasional. Tingkat kedua, perjuangan untuk pembangunan ekonomi dan modernisasi politik. Akhirnya dalam tingkat ketiga, tugas negara yang terutama adalah melindungi rakyat dari sisi negatif industrialisasi, membetulkan kesalahan-kesalahan pada tahap-tahap sebelumnya, dengan menekan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu pada tingkatan pembangunan inilah maka diperlukan undangundang yang dapat melindungi masyarakat dari tindakan yang dirugikan. Tahun 1999 telah disahkan UU No. 8 tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tujuan disusunnya undang-undang ini adalah : a. menciptakan sistem perlindungan konsumen yang mengandung unsur keterbukaan akses dan informasi, serta menjamin kepastian hukum b. melindungi kepentingan konsumen pada khususnya dan kepentingan seluruh pelaku usaha c. meningkatkan kualitas barang dan pelayanan jasa d. memberikan perlidnungan kepada konsumen dari praktek usaha yang menipu dan menyesatkan e. memadukan penyelenggaraan, pengembangan dan pengaturan perlindungan konsumen dengan bidang-bidang perlindungan pada bidang-bidang lain. Walaupun undang-undang tersebut berjudul UU Perlindungan Konsumen, namun ketentuan didalamnya lebih banyak mengatur tentang perilaku pelaku usaha. Hal ini dapat dipahami, karena kerugian yang diderita oleh konsumen sering kali akibat dari pelaku usaha, sehingga perilaku pelaku usaha ini perlu diatur dan bagi para pelanggar dikenakan sanksi yang setimpal. Esensi dari undang-undang ini adalah mengatur perilaku pelaku usaha dengan tujuan agar konsumen terlindungi secara hukum. 58 Undang-undang Perlindungan Konsumen menetapkan lima pokok materi yang menjadi muatan undang-undang ini, yaitu mengenai : 1. Larangan-larangan Larangan-larangan ini berkaitan dengan : a. produk barang atau jasa yang akan diproduksi, diperdagangkan atau dipromosikan b. pengusaha yang akan memproduksi, menawarkan, memperdagangkan atau mempromosikan. 2. Tanggung Jawab Produsen dan Tanggung Gugat produk, mengenai tanggung jawab ini dapat dilihat pada sekma berikut 59 : 57 Erman Radjagukguk, Pentingnya Perlindungan Konsumen Dalam Era Perdagangan Bebas, makalah pada Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era Perdagangan bebas, FH. UNISBA, bandung, 9 mei 1998, hal. 58 Johanes Gunawan, Op. Cit.,hal.3. 32 Barang Ada (privity of contract) Jasa Hubungan Pelaku Usaha Dengan Konsumen CONTRACTUAL LIABILITY (tanggungjawab kontraktual) PROFESSIONAL LIABILITY (tanggungjawab pemberi jasa) STRICY LIABLITY (tanggungjawab langsung) Tidak ada Barang (no privity of contract) Hubungan Pelaku Usaha dengan Negara PRODUCT LIABILITY (tanggungjawab produsen) CRIMINAL LIABILITY (tanggungjawab pidana) 3. Perjanjian atau klausula baku Masalah Perjanjian atau pencantuman klausula baku dalam perjanjian baku diatur dalam Pasal 18. Mengingat posisi konsumen yang lemah, maka undang-undang memandang perlu untuk mengatur perjanjian baku yang mencantumkan exoneration clause atau exemption clause (pengalihan kewajiban-kewajiban, yang seharusnya menjadi tanggung jawab pelaku kepada konsumen). 4. Penyelesaian sengketa Undang-undang Perlindungan Konsumen mengenai dua macam institusi dalam penyelesaian sengketa ganti rugi antara pelaku usaha dengan konsumen, yaitu : a. pengadilan, atau 59 Johanes Gunawan, ibid, hal. 5. 33 b. di luar pengadilan oleh Badan penyelesaian sengketa Konsumen (BPSK), berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. 5. Ketentuan pidana Ketentuan pidana yang diatur dalam undang-undang ini meliputi : a. penetapan bahwa perusahaan adalah subjek hukum pidana b. jenis pidana yang ditentukan terdiri dari pidana kurungan, denda, dan pidana tambahan berupa : perampasan barang tertentu, pengumuman keputusan hakim, pembayaran ganti kerugian, pencabutan ijin usaha, perintah penghentian kegiatan tertentu, penarikan barang dari peredaran. c. Penyidik yang diberikan kewenagan untuk melakukan pemeriksaan atau penyidikan tindak pidana adalah penyidik umum sebagaimana diatur dalam UU No. 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana. E. PENEGAKAN ETIKA BISNIS ISLAM PADA MASYARAKAT INDONESIA DALAM ERA GLOBALISASI Setelah diuraikan Etika Bisnis dalam pandangan Islam, khususnya yang menyangkut perlindungan terhadap konsumen, serta undang-undang yang mengatur/memuat perlindungan konsumen di Indonesia, perlu dikaji. Apakah Undang-undang perlindungan Konsumen tersebut sesuai dengan nilai-nilai/ etika bisnis Islam ? dan bagaiman upaya law enforcement (penegakan hukumnya). Perlindungan konsumen dalam era globalisasi menjadi sagat penting, karena konsumen disamping mempunyai hak-hak yang bersifat universal juga mempunyai hakhak yang bersifat spesifik (baik situasi maupun kondisi). Dengan demikian peraturan perundang-undangan harus memuat niali-nilai yang universal dan niali-nilai yang spesifik sesuai dengan nilai-nilai yang tumbuh dalam masyarakat. Dengan mengkaji pasal demi pasal dalam Undang-undang perlindungan Konsumen, tampak bahwa beberapa ketentuan yang tertera dalam undang-undang tersebut seseuai dengan nilai-nilai etika bisnis Islam – walaupun dengan redaksi yang berbeda akan tetapi substansi dan tujuannya adalah sama - yaitu untuk melindungi konsumen, hal ini dapat terlihat dari aturan-aturan mengenai keharusan beritikad baik dalam melakukan usaha (Pasal 7 huruf a), jujur (Pasal 7 huruf b), jujur dalam takaran atau timbangan (Pasal 8 ayat (1) huruf a,b,c,d,e) menjual barang yang baik mutunya (Pasal 8 ayat (2,3,4), larangan menyembunyikan barang yang cacat (Pasal 8), tidak main sumpah (memberikan informasi, iklan yang tidak benar), jangan menyaingi kawan dengan cara mengelabui konsumen dengan hadiah. Namun demikian dalam beberapa hal etika bisnis Islam tidak ter “cover” dalam Undang-undang Perlindungan Konsumen tersebut, seperti : larangan memperjualbelikan barang/jasa yang haram, dam larangan riba dan keharusan zakat. Untuk hal-hal yang belum tercover tersebut, perlu dukungan dari masyarakat – yang nota bene mayoritas Islam – untuk mendesak pemerintah agar membuat aturan yang mengandung nilai-nilai tersebut. 34 Walaupun dalam belum seluruhnya sesuai dengan etika bisnis Islam, selanjutnya perlu dipikirkan bagaiman upaya penegakan hukum – yaitu peraturan yang telah sesuai dengan etika bisnis Islam tersebut. Sesuai dengan fungsi hukum dalam masyarakat, hukum berfungsi untuk mengintegrasikan proses-proses sosial, politik, ekonomi dan sebagainya sehingga tercipta suatu pola-pola hubungan yang jelas dan mapan, yang umumnya disebut dengan ketertiban itu. 60 Namun hukum bukan merupakan sarana atau instrumen yang sudah siap belaka, hukum bukan sebagai sarana yang utuh, “solid” sehingga tinggal melihat hasilnya saja. Hukum dipengaruhi oleh unsur-unsur dan berbagai faktor. Lebih jauh Satjipto Rahardjo mengemukakan bahwa agar hukum dapat bekerja sesuai dengan harapan masyarakat, maka diperlukan pembangunan hukum itu sendiri. Pembangunan hukum tersebut meliputi : 1. Pembuatan hukum yang baik. Tolok ukur adalah : Pembuatan hukum suatu peraturan yang memiliki efektivitas tinggi untuk tujuan yang hendak dicapainya. Untuk hal ini diperlukan banyak fasilitas pendukungnya. 2. Manusia-manusia yang berhubungan dengan pelaksanaan hukum. Di sini diperlukan mentalitas manusia-manusia (aparat penegak hukum dan masyarakat itu sendiri). 3. Dukungan kekuatan-kekuatan di luar hukum yang memadai yang memungkinkan hukum itu dijalankan dengan baik, yaitu kemauan politik dari pemerintah untuk menjalankan hukum dengan seksama. F. PENUTUP a. Kesimpulan Dari uraian di atas dapat diambil beberapa kesimpulan : a. Terdapat pendapat yang berbeda dari para pelaku bisnis tentang perlu tidaknya etika dalam kegaiatan bisnis. Satu pihak berpendapat bahwa dalam kegiatan bisnis tidak diperlukan etika. Pendapat lain mengatakan bahwa bisnis perlu beretika. b. Islam telah menentukan nilai-nilai etika bisnis yang bertujuan antara lain memberikan perlindungan kepada konsumen melalui keharusan beritikad baik, larangan sumpah palsu, larangan mengurangi takaran, larangan menjual barang yang buruk, larangan riba, dan keharusan berzakat. c. Undang-undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dalam beberapa hal sesuai dengan etika bisnis Islam, namun beberapa larangan dan keharusan dalam etika bisnis Islam masih belum tercover, yaitu mengenai larangan jual beli barang/jasa yang haram, larangan riba dan keharusan berzakat. d. Upaya penegakan etika bisnis Islam diperlukan berbagai langkah, yaitu penyusunan peraturan yang baik yang ditunjang oleh sarana dan fasilitas, mental manusia-manusia, termasuk aparat penegak hukum dan dukungan di luar hukum, yaitu dukungan berupa kemauan politik dari pemerintah. b. Saran-saran 60 Satjipto Rahardjo, Op.Cit.,hal. 7. 35 Sesuai dengan arus reformasi dan tumbuh-kembangnya kesadaran masyarakat untuk membentuk masyarakat madani, maka diperlukan upaya yang sungguhsungguh dalam menagakan etika bisnis Islam, salah satunya bertujuan untuk memberikan perlindungan kepada konsumen. Oleh karena itu diperlukan langkahlangkah : a. Perlu segera dibuat Peraturan Pemerintah dan Peraturan pelaksana lainnya agar masyarakat mengetahui dan mempunyai kejelasan mengenai mekanisme pengaduan. b. Perlu dibentuk Lembaga Perlidnungan/Pengaduan Konsumen untuk memberikan informasi mengenai hak-hak konsumen dan membantu masyarakat dalam menyampaikan pengaduan jika merasa dirugikan oleh perilaku pelaku usaha. c. Etika Bisnis Islam perlu menjiwai seluruh peraturan perundang-undangan, khususnya peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan perekonomian dan perdagangan. d. Diperlukan kemauan politik dari pemerintah untuk melaksanakan undangundang dengan seksama. DAFTAR PUSTAKA - Ahmad Aghar Basyir, Prinsip-prinsip Ekonomi Islam dalam berbagai Aspek Ekonomi Islam, P3EI-FE UII Bekerjasama dengan Penerbit Tiara Wacana, Yogyakarta. - Johanes Gunawan, Tanggung Jawab Pelaku Usaha Menurut Undang-undang No. 8 Tahun 1999 Tentang Perleindungan Konsumen, Seminar Sehari “Penerapan Undangundang Anti Monopoli dan Undang-undang Perlindungan Konsumen dalam kegiatan Perekonomian Guna Menghindari Praktek Bisnis Curang”, Bandung, 25 Februari 2000. - Hartono, Sri Redjeki. Aspek-aspek Hukum Perlindungan Konsumen dalam Menghadapi Era Perdagangan Bebas. Makalah pada seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era Perdagangan Bebas. Fakultas Hukum UNISBA. Bandung. - Keraf, Sonny dan Robert Haryono Imam. 1995. Etika Bisnis Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur. Pustaka Filsafat Yogyakarta. - Mahmoedin, Es. 1994. Etika Bisnis Perbankan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta. - Manan, Abdul. 1995. Teori dan Praktek Ekonomi Islam (Seri Ekonomi Islam) No. 2 Edisi Liensi. Dana Bhakti Wakaf. Yogyakarta. - Mahfud, Moch, MD. Pewadahan Etika Keilmuan didalam UU Hak Cipta, Artikel pada Jurnal Hukum Ius Quiaiustum UII Yogyakarta. No : 12 Vol 6– 1999. - Nurmardjito. Kesiapan Perangkat Peraturan Perundang-undangan Tentang Perlindungan Konsumen dalam Menghadapi Era perdagangan Bebas. Makalah pada Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era perdagangan Bebas, FH. UNISBA, Bandung, 9 Mei 1998. - Radjagukguk, Erman. Pentingnya Perlindungan Konsumen Dalam Era Perdagangan Bebas. Makalah pada Seminar Nasional Perspektif Hukum Perlindungan Konsumen 36 dalam Sistem Hukum Nasional Menghadapi Era Perdagangan bebas. FH. UNISBA. Bandung, 9 Mei 1998. - Rahardjo, Satjipto, Pembangunan Hukum yang Diarahkan Kepada Tujuan Nasional. Artikel pada Majalah Masalah-masalah Hukum. FH. UNDIP. No. 5-6 tahun XII. 1982. - Saefullah, Product Liability Tanggung Jawab Produsen di Era Perdagangan Bebas. Jurnal Bisnis Volume 5. 1998. - Ya’kub, Hamzah. Etika Islam : Pembinaan Akhlaqulkarimah (suatu Pengantar). CV. Diponegoro. Bandung. 1996. - Sonny Keraf dan Robert Haryono Imam, Etika Bisnis Membangun Citra Bisnis sebagai Profesi Luhur. Pustaka Filsafat Yogyakarta. 1995. 37