PL-3002 ASPEK KEBENCANAAN DALAM PERENCANAAN LAPORAN KAJIAN BENCANA TSUNAMI DOSEN MATA KULIAH : Ir. Djoko Santoso Abi Suroso, M.Sc, Ph.D Oleh : Luthfi Anshari 15407040 Maulina Z. 15407050 Desi Larasati W. 15407069 Ophilia Larasati 15408006 Gilang Pamungkas 15408009 Roni Parulian S. 15408022 Roby Dwiputra 15408028 Lutfhi Ahmad 15408036 Ridzki Januar A. 15408038 Ali Akbar Fadallah 15408040 Program Studi Perencanaan Wilayah dan Kota Sekolah Arsitektur, Perencanaan, dan Pengembangan Kebijakan Institut Teknologi Bandung 2011 DAFTAR ISI DAFTAR ISI................................................................................................................................... 2 DAFTAR TABEL ........................................................................................................................... 3 DAFTAR GAMBAR ...................................................................................................................... 4 BAB I PENDAHULUAN ............................................................................................................... 5 1.1 Definisi dan Ciri Tsunami ................................................................................................ 5 1.2 Penyebab Terjadinya Tsunami ......................................................................................... 6 1.3 Jenis Tsunami ................................................................................................................... 9 1.4 Catatan Sejarah Tsunami di Dunia dan Indonesia ......................................................... 10 BAB II KAJIAN BENCANA TSUNAMI .................................................................................... 15 2.1 Kajian Risiko Bencana Tsunami .................................................................................... 15 2.2 Metode Hazard Assessment Tsunami ............................................................................ 20 2.3 Mitigasi Bencana Tsunami ............................................................................................. 21 BAB III STUDI KASUS .............................................................................................................. 24 BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI ...................................................................... 33 4.1 Kesimpulan..................................................................................................................... 33 4.2 Rekomendasi .................................................................................................................. 33 REFERENSI ................................................................................................................................. 34 2 DAFTAR TABEL TABEL 1 DAFTAR NEAR-FIELD TSUNAMI ............................................................................. 9 TABEL 2 DAFTAR FAR-FIELD TSUNAMI ............................................................................. 10 TABEL 3 DATA KORBAN TSUNAMI PANGANDARAN PER KABUPATEN .................... 27 TABEL 4 JUMLAH PRASARANA YANG MENGALAMI KERUSAKAN ............................ 27 3 DAFTAR GAMBAR GAMBAR 1 PERGERAKAN LEMPENG SAMUDERA DAN BENUA ................................... 7 GAMBAR 2 LONGSOR DI BAWAH LAUT .............................................................................. 8 GAMBAR 3 KORBAN BENCANA TSUNAMI ACEH 2004 .................................................... 14 GAMBAR 4 PERTEMUAN LEMPENG DI INDONESIA ......................................................... 16 GAMBAR 5 PETA ZONASI ANCAMAN BENCANA TSUNAMI DI INDONESIA .............. 19 GAMBAR 6 ZONA ANCAMAN BENCANA TSUNAMI DI INDONESIA ............................. 19 GAMBAR 7 MANAJEMEN RESIKO BENCANA .................................................................... 23 GAMBAR 8 SUMBER GEMPA PANGANDARAN .................................................................. 26 GAMBAR 9 SKENARIO KEJADIAN TSUNAMI ..................................................................... 29 GAMBAR 10 ANALISIS KEMUNGKINAN SEBARAN SPASIAL DARI KEJADIAN GEMPA......................................................................................................................................... 30 GAMBAR 11 CONTOH PERHITUNGAN KEMUNGKINAN RENDAMAN ......................... 30 GAMBAR 12 NILAI ETA YANG DITAMPILKAN PADA PETA BAHAYA ......................... 31 GAMBAR 13 PETA KEMUNGKINAN DAMPAK BENCANA TSUNAMI............................ 32 4 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Definisi dan Ciri Tsunami Tsunami berasal dari bahasa Jepang yaitu dari kata „Tsu‟ ( ( ) : Pelabuhan dan „Nami ) : Gelombang, sehingga berdasarkan arti kata tersebut tsunami berarti ombak besar di pelabuhan. Nelayan jepang beranggapan seperti itu dikarenakan ketika tsunami terjadi, nelayan yang sedang berada dilaut tidak merasakan adanya gelombang. Namun ketika berada di tepi pantai, mereka melihat gelombang merusak pelabuhan kapal mereka. Menurut pengertian dari Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) tsunami tsunami adalah gelombang air laut yang sangat besar yang disebabkan oleh pergerakan vertikal permukaan dasar laut disebabkan oleh gempa bumi (sesar vertikal), tanah longsor, atau letusan gunung berapi yang terjadi di bawah laut maupun benda angkasa yang jatuh ke laut. Tanda terjadinya tsunami secara umum dapat dijabarkan sebagai berikut : Merasakan terjadinya gempa. Air laut surut secara drastis dan tiba-tiba. Air laut bisa surut sampai ratusan meter (100300 meter). Surutnya air laut ini bukan bukti berakhirnya bencana akan gempa bumi akan tetapi menandakan akan adanya bencana lain yang terjadi akibat gempa bumi yaitu tsunami. Batas horizon antara lautan dan langit tidak terlihat jelas (seperti terlihat mendung). Ini sebenarnya terjadi karena gelombang tsunami yang ada di lautan sedang menuju ke daratan dan karena gelombang tersebut semakin meninggi maka butir-butir air laut yang terbawa oleh gelombang semakin dominan sehingga batas antara lautan dan langit tidak terlihat jelas. Biasanya akan muncul gelembung-gelembung gas pada permukaan air dan membuat pantai terlihat seperti mendidih. Terdengar gemuruh dari laut lepas yang menandakan adanya gerakan gelombang yang sangat cepat menuju daratan. Penjalaran gelombang ini dari sumber pembangkitannya ke perairan pantai berperilaku sebagai gelombang panjang seperti gelombang alun (Swell), jadi bukan gelombang soliter, tapi setelah naik ke daratan pantai berubah menjadi gelombang soliter. Dengan kata lain, bentukan tsunami ketika di laut tidak setinggi gelombang ketika sudah mencapai daratan. Dalam hal kecepatan, gelombang mencapai ratusan kilometer per jam di lautan dalam dan ketika mencapai daratan kecepatannya berkurang hingga pada 30 km/jam dengan ketinggian gelombang hingga 30 m atau lebih. Ketinggian dan kecepatan tsunami ini dipengaruhi besarnya energi penyebab terjadinya tsunami. Saat tsunami mendekati garis pantai dan daratan, bagian dasar laut yang dangkal bergesekan dengan gelombang sehingga dapat mereduksi atau mengurangi kecepatan rambat gelombang bagian bawah. Semakin mendekati pantai, kecepatan gelombang air laut bagian bawah semakin lambat. sedangkan kecepatan gelombang bagian atas masih tetap tinggi, maka tinggi gelombang laut atau amplitudo semakin tinggi dan panjang gelombang semakin pendek. Semakin cepat terjadi gesekan antara gelombang dengan dasar pantai, maka semakin lambat kecepatan rambat gelombang bagian bawah tapi tinggi amplitudo gelombang bagian atas akan bertambah besar pada saat mendekati pantai. Efek ini sering disebut shoaling. Gelombang tsunami bergerak dengan kecepatan ratusan kilometer per jam di lautan dalam dan dapat melanda daratan dengan ketinggian gelombang mencapai 30 meter atau lebih. Magnitudo Tsunami yang terjadi di Indonesia berkisar antara 1,5-4,5 skala Imamura, dengan tinggi gelombang Tsunami maksimum yang mencapai pantai berkisar antara 4 - 24 meter dan jangkauan gelombang ke daratan berkisar antara 50 sampai 200 meter dari garis pantai. tsunami bukan terdiri dari gelombang tunggal, melainkan terdiri atas rangkaian gelombang dengan satu pusat di tengah, seperti sebuah batu yang dilemparkan ke dalam kolam renang. Jarak antara dua gelombang yang berurutan dapat mencapai 500-650 kilometer. 1.2 Penyebab Terjadinya Tsunami Secara umum, tsunami terjadi dikarenakan adanya gangguan impulsif terhadap air laut akibat terjadinya perubahan bentuk dasar laut secara tiba – tiba. Berdasarkan definisi, ada empat hal yang menyebabkan terjadinya tsunami yaitu sebagai berikut : a) Gempa bumi yang berpusat dibawah laut Gempa bumi bawah laut ini biasanya terjadi didaerah subduksi dimana lempeng samudra menelusup ke bawah lempeng benua. Gempa bumi yang terjadi dibawah laut dan berpotensi menyebabkan tsunami memiliki kriteria sebagai berikut. 6 1. Gempa bumi yang terjadi didasar laut 2. Pusat gempa kirang dari 30 km dari permukaan laut 3. Magnitudo gempa lebih besar dari 7.0 SR 4. Jenis pensesaran gempa tergolong sesar vertikal sesar naik atau turun) 5. Gerakan vertikal ini dapat terjadi pada patahan bumi atau sesar.ketika hal ini terjadi, air laut berupaya untuk kembali pada kondisi ekuilibrium mengikuti gravitasi. Gerakan ini dapat menyebabkan terjadinya enerrgi yang mendorong gelombang laut naik secara vertikal dan memunculkan tsunami. GAMBAR 1 PERGERAKAN LEMPENG SAMUDERA DAN BENUA Sumber : www.image.google.com. Diakses pada tanggal 26 Oktober 2010. b) Aktivitas Vulkanik Bawah Laut Aktifitas ini bisa sebagai akibat dari pergeseran lempeng bumi sehingga menyebabkan guguran lava maupun gunung. Bila guguran lava ini terjadi dalam volume yang cukup besar, maka dapat menyebakan terganggunya kondisi air laut. Air laut yang terdesak dapat mendorong dan memuculkan terjadinya gelombang besar tsunami. Aktivitas vulkanik yang 7 terjadi juga dapat berupa letusan gunung berapi yang menyebabkan gempa vulkanik sehingga dapat mengakibatkan pensesaran gempa. c) Tanah Longsor di Dalam Perairan Ketika terjadi pergerakan massa tanah dalam jumlah besar di dalam perairan, air mencoba mencari equilibrium barunya dan proses tersebutlah yang menyebabkan terjadinya tsunami. Longsor ini merupakan bencana ikutan yang terjadi akibat adanya tabrakan antara lempeng samudra dan lempeng benua. Proses ini mengakibatkan palung laut dan pegunungan. Biasanya dinamakan tsunamic submarine landslide. Tsunami yang disebabkan oleh proses tanah longsor ini memang berbeda dengan tsunami yang terjadi di lautan bebas yang disebabkan oleh gempa bumi. Tsunami jenis ini biasanya cepat menghilang dan jarang sampai berpengaruh ke pantai karena area yang terkena dampaknya juga relatif lebih kecil. Contoh palung siberut di Pulau Siberut Bengkulu. GAMBAR 2 LONGSOR DI BAWAH LAUT Sumber : Pedoman Analisis Bahaya Dan Risiko Bencana Gempa Bumi, 2011 8 d) Hantaman meteor di laut Salah satu tumbukan benda luar angkasa g dimaksud misalnya adalah jatuhnya meteor ke bawah laut. Jika pergerakan lempeng dan tumbukan benda angkasa luar sangat dahsyat, dapat terjadi Megatsunami. 1.3 Jenis Tsunami Berdasarkan jarak antara sumber pembangkit dengan pantai yang diterjangnya, tsunami dikelompokkan menjadi dua jenis, diantaranya : 1. Near-field Tsunami Disebut juga local tsunami. Yaitu tsunami yang jarak antara sumber pembangkit dengan pantai yang diterjangnya dekat. Contohnya adalah Tsunami Flores 1992, Banyuwangi 1994, Biak 1996) TABEL 1 DAFTAR NEAR-FIELD TSUNAMI Tahun Lokasi sumber Korban 1976 Mindanau, Filipina 8.000 1977 Sumba, Indonesia 189 1979 Larantuka, Indonesia 540 1979 Papua New Guinea 100 1979 Colombia 500 1983 Laut Jepang, Jepang 100 1992 Flores, Indonesia 2.100 1994 Banyuwangi, Indonesia 220 1996 Biak, Indonesia 160 1998 Papua New Guinea 2.500 Sumber : Slide Kuliah Mitigasi Bencana, 2011 2. Far-field Tsunami Disebut juga tele tsunami. Yaitu tsunami yang jarak antara sumber pembangkit dengan pantai yang diterjangnya sangat jauh. Contohnya adalah tsunami Aleutian 1957 yang menerjang kepulauan Hawai dan tsunami Chili yang sampai di Kepulauan Jepang. 9 TABEL 2 DAFTAR FAR-FIELD TSUNAMI Tahun Lokasi sumber Korban 1868 Chili 25.000 1877 Chili 500 1896 Sanriku, Jepang 22.000 1906 Colombia – Ecuador 500 1918 Kuril, Rusia 47 1922 Chili 100 1933 Sanriku, Jepang 3.000 1946 Aleutian, Amerika 179 1960 Chili 2.000 1964 Alaska, Amerika 112 Sumber : Slide Kuliah Mitigasi Bencana, 2011 1.4 Catatan Sejarah Tsunami di Dunia dan Indonesia Dalam sejarahnya, banyak sekali tempat yang dihantam tsunami biasanya adalah tempat- tempat yang berdekatan dengan pantai. Misalnya pada tahun 1960 terjadi tsunami di Chili yang diakibatkan oleh gempa bumi berkekuatan 9,5 skala Richter. Pada tahun 1575 juga terjadi tsunami besar di daerah ini. Terakhir dan terbesar adalah yang terjadi di Aceh – Indonesia yang menimbulkan korban jiwa mencapai 300.000 orang baik yang tewas maupun yang hilang. Menurut sejarahnya peristiwa tsunami pertama kali dapat dicatat adalah ketika tahun 6100 sebelum Masehi terjadi di Lautan Atlantic Utara akibat dari pergeseran dasar laut sehingga menimbulkan pergeseran tanah di dasar laut. Tahun 1650 terjadi letusan gunung berapi Santorini Pulau Yunani yang mengakibatkan tsunami 100 m sampai 150 m yang menghancurkan teluk utara pulau Kreta di Yunani. Tahun 1755, bencana tsunami terjadi di Lisbon Portugal yang didahului setengah jam sebelumnya oleh gempa bumi. Sekitar sepertiga penduduk Lisbon ketika itu menjadi korban keganasan tsunami. Tahun 1883, Gunung Krakatau meletus yang memuntahkan lahar panas sehingga mengakibatkan badai tsunami besar. Diperkirakan tinggi tsunami mencapai 40 meter dari permukaan laut. 10 Bencana ini mengakibatkan jatuhnya ribuan korban jiwa manusia dan musnahnya kehidupan hewan dan tumbuhan untuk jangka waktu lama. Tahun 1960 , tsunami Chili sebagai akibat gempa bumi berkekuatan 9,5 skala Richter. Tinggi gelombang tsunami mencapai 25 meter. Bencana tsunami Chili ini merupakan salah satu bencana tsunami paling besar sepanjang abad 20. Tahun 1964, tsunami Alaska yang disebut sebagai tsunami Jumat Baik karena terjadi pada hari Jumat. Tsunami ini terjadi karena ada gempa bumi yang berkekuatan sekitar 9,2 skala Richter dan tsunami ini memiliki tinggi gelombang setinggi enam meter. Menurut penuturan Profesor Shuto, peneliti senior handal tsunami dari Universitas Tohuku Jepang, Tsunami Sumatra 2004 di Indonesia masih terbilang "baby tsunami" karena masih kalah jauh dengan rekor ketinggian run-up tsunami raksasa lainnya. Tsunami Lituya Bay Alaska 1958 contohnya, run-up tercatat mencapai 520 m yang menghancurkan ekosistem dan vegetasi lereng perbukitan pegunungan St. Elias (Dudley, 1998). Tsunami Chile 1960 tidak hanya menimbulkan gempa bumi terbesar selama abad ke-20 (magnitude Mw 9.5), juga menimbulkan rekor tsunami jarak terjauh (far field tsunami) yang mampu mencapai Hawaii dan Jepang masing-masing dalam hitungan 15 jam dan 23 jam dari waktu asalnya di daerah sumber tsunami. Momentum ini tercatat sebagai peringatan gawat dini tsunami skala internasional. Rekor genangan air laut terjauh mencapai 40 km dari pinggir pantai diraih oleh Tsunami Papua Nugini 1998. Di masa lampau Indonesia juga pernah "menyumbang" bencana tsunami terparah sedunia selama abad ke-20 akibat letusan Gunung Krakatau 27 Agustus 1883 dengan ketinggian gelombang tsunami diperkirakan 41 meter dan korban tewas sebanyak 34.417 jiwa (Verbeek, 1886). Rambatan penjalaran gelombang Tsunami Vulkanik Krakatau dari Selat Sunda tercatat bahkan sampai ke marigram alat pencatat pasang-surut air laut (tide gauge) di San Fransisco, Honolulu, Georgia, dan Panama. Kata tsunami baru populer di Indonesia sejak terjadinya bencana tsunami di Flores, 12 Desember 1992. Dapat dimaklumi kalau tsunami belum dipahami secara benar. Tsunami seringkali disalahartikan sebagai gelombang pasang (tidal wave). Padahal sangat berbeda artinya. Gelombang pasang terjadi karena adanya gaya tarik bulan terhadap bumi. Sedangkan tsunami, berasal dari bahasa Jepang tsu dan nami yang arti harfiahnya adalah gelombang di pelabuhan, terjadi karena adanya gangguan impulsif pada air laut akibat terjadinya perubahan bentuk dasar 11 laut secara tiba-tiba. Penyebabnya dapat berasal dari tiga sumber, yaitu: Gempa, letusan gunung api, dan longsoran yang terjadi di dasar laut. Di kawasan kepulauan Indonesia, gempa-gempa penyebab tsunami biasanya diakibatkan oleh aktivitas penyusupan di kawasan Sunda, Banda, dan Maluku. Salah satu contonya yaitu timbulnya tsunami Aceh sudah pasti diakibatkan oleh dislokasi batuan yang berpusat di dasar laut Aceh. Kecepatan merambat gelombang tsunami akan sangat dipengaruhi oleh kedalaman lautnya. Makin dalam laut, makin cepat gelombang merambatnya. Mengingat dalamnya Samudera Hindia di sebelah barat Sumatera, maka kecepatan rambat tsunami yang melanda sangat cepat hingga menghampiri negara-negara tetangga. Wilayah Indonesia tergolong area berseismisitas (kegempaan) tinggi karena letaknya berada di area berkumpulnya empat lempeng tektonik ; Indo-Australia, Eurasia, Pasifik dan Philiphina. Sejak periode 1801-2006 tercatat 164 kejadian tsunami di Indonesia dan selama kurun tahun 1991-2006 secara signifikan dari 23 kali gempa bumi skala besar telah menyebabkan 10 kejadian tsunami berdampak merusak, seperti terjadi di Flores 1992, Banyuwangi 1994, Biak 1996, Banda Aceh 2004, dan terbaru Pangandaran 2006. Bencana tsunami yang terjadi di Indonesia diakibatkan gempa-gempa dangkal dan kuat yang terjadi di dasar laut. Gempa-gempa tersebut mempunyai kedalaman bervariasi antara 13 sampai 95 km, magnitudo 5.9 sampai 7.5 SR, intensitas gempa antara VII sampai IX dalam skala MMI (Modified Mercalli Intensity), dan jenis pensesaran gempa yang dominan adalah sesar naik. Tinggi gelombang tsunami maksimum yang mencapai pantai berkisar antara tempat sampai 24 meter, dengan magnitudo tsunami berkisar antara 1.5 sampai 4.5 dalam skala Imamura. Sementara itu jangkauan gelombang tsunami ke daratan berkisar antara 50 sampai 200 meter dari garis pantai. Dari tahun 1900 sampai 1996 setidaknya telah terjadi 17 bencana tsunami besar di Indonesia. Lima belas di antaranya terjadi di kawasan timur Indonesia yang memang dikenal sebagai daerah seismotektonik aktip dan kompleks. Tsunami tersebut diakibatkan oleh aktivitas kegempaan yang terdapat pada zona-zona seismmotektonik aktip seperti zona subduksi, zona bukaan, dan zona sesar yang tersebar di hampir seluruh kepulauan Indonesia. Lima bencana tsunami (Banda 1938, Sigli 1967, Bandanaira 1975, Sumba 1977, dan Banyuwangi 1994) diakibatkan aktivitas zona subduksi Sunda-Banda yang terletak memanjang dari kepulauan Andaman sampai ke laut Banda. Aktivitas zona sesar naik yang terletak 12 memanjang dari utara Bali sampai ke Alor menghasilkan tiga tsunami di Ende 1908, Larantuka 1982, dan Flores 1992. Tsunami-tsunami yang terjadi di Tinambung 1967, Sulteng 1968, Majene 1969, dan Mamuju 1984 diakibatkan aktivitas zona bukaan yang terletak di Selat Makassar. Aktivitas zona sesar Palu-Koro dan sesar Sorong yang melalui Palu, utara Pulau Buru sampai ke selatan Biak telah mengakibatkan empat bencana tsunami yang terjadi di Teluk Tomini 1938, Sana Maluku 1965, Sanana Maluku, 1975 dan Toli-Toli 1996. Bencana tsunami yang terjadi di Indonesia diakibatkan gempa-gempa dangkal dan kuat yang terjadi di dasar laut. Gempa-gempa tersebut mempunyai kedalaman bervariasi antara 13 sampai 95 km, magnitudo 5.9 sampai 7.5 SR, intensitas gempa antara VII sampai IX dalam skala MMI (Mo-dified Mercalli Intensity), dan jenis pensesaran gempa yang dominan adalah sesar naik. Tinggi gelombang tsunami maksimum yang mencapai pantai berkisar antara tempat sampai 24 meter, dengan magnitudo tsunami berkisar antara 1.5 sampai 4.5 dalam skala Imamura. Sementara itu jangkauan gelombang tsunami ke daratan berkisar antara 50 sampai 200 meter dari garis pantai. Pada tahun 2004, terjadi tsunami di Aceh yang bahkan menjadi bencana dunia terbesar selama dua dekade terakhir abad ini dengan jumlah korban ditaksir 400.000 orang meninggal dunia. Efek kerusakan akibat gelombang tsunami berimbas sangat luas sampai ke negara Malaysia, Thailand, Myanmar, India, Srilanka, Maldives, dan Somalia di pesisir timur benua Afrika. Tsunami Sumatra memang membuat mata dunia terbelalak. Sebelumnya dugaan tsunami di sekitar Samudera Hindia dipandang sebelah mata oleh para pakar tsunami yang cenderung terkonsentrasi pada daerah Samudera Pasifik. Secara mengejutkan gempa hebat mencapai 9.1 Skala Richter itupun terjadi. Gempa bumi yang terjadi akibat beradunya lempeng-lempeng tektonik Indonesia-Australia dan Eurasia di barat Palung Sumatra telah menimbulkan kerusakan infrastruktur cukup parah di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Sumatra. Tahun 2004, tsunami Lautan India atau dikenal dengan tsunami Aceh Indonesia, karena korban terbesar adalah wilayah Aceh. Bencana tsunami Aceh ini ada juga yang menyebutnya Tsunami Hari Natal (Chrismast Tsunami) terjadi karena terjadi pada tanggal 26 Desember 2004, sehari setelah Hari Natal dimulai dengan gempa bumi dengan kekuatan 9,0 skala Richter. Gelombang tsunami menghantam Indonesia, Malaysia, Thailand, India, Sri Langka, Maldives, Somalia, Kenya dan Tanzania di timur Afrika. Jumlah korban jiwa yang diakibatkan tsunami ini berkisar 300 ribu jiwa. 13 GAMBAR 3 KORBAN BENCANA TSUNAMI ACEH 2004 Sumber : www.ausaid.gov.au Gempa Bumi di NAD ini adalah gempabumi terbesar kelima di dunia sepanjang sejarah pengukuran seismograph serta perulangan kembali peristiwa gempa besar di perairan Padang hingga Bengkulu sejak 150 tahun silam (tahun 1861 magnitude 8.5, tahun 1833 magnitude 8.9). Para seismolog membuat perkiraan total jarak patahan segmen sesar raksasa Tsunami Sumatra 2004 sejauh 1200 km dengan lebar 300 km, menerus dari koordinat geografis perairan Pulau Simeuleu NAD hingga ke utara, Kepulauan Andaman (Yagi, 2005). Gelombang tsunami mampu menghanyutkan seluruh apa-apa yang ada di hadapannya baik itu bongkahan material bangunan gedung, kendaraan berat, terlebih ribuan badan manusia. Semua teraduk jadi satu. Saat gelombang kembali surut maka seluruh benda tersebut terseret hilang ditelan lautan lepas. Di Banda Aceh, ketinggian gelombang muka air laut saat tsunami mencapai daratan (run-up height) terukur setinggi 20 meter, genangan atau rayapan air laut (inundation) bisa menghempas daratan sejauh 8 kilometer jauhnya dari pinggir pantai. Sedangkan di Meulaboh, NAD sebagai daerah terdekat lagi berhadapan dengan pusat patahan gempa (epicenter) run-up mencapai 49 meter. 14 BAB II KAJIAN BENCANA TSUNAMI 2.1 Kajian Risiko Bencana Tsunami Untuk memahami risiko yang mungkin muncu karena bencana tsunami, kita harus memahami terlebih dahulu potensi bahaya tsunami dan kerentanan suatu wilayah terhadap bencana tsunami. Yang akan dibahas pada bagian ini adalah potensi bahaya tsunami di Indonesia. Potensi Bencana Tsunami Tsunami di Indonesia sebagian besar (sebanyak 90% kejadian) disebabkan leh gempa bumi bawah laut. Gempa bumi ini disebabkan oleh pergerakan lempeng tektonik aktif yang pada akhirnya menyebabkan gesekan antarlempeng. Gesekan terjadi karena lempeng tidak kuat menahan tekanan akan pergerakan lempang yang semakin mendekat. Indonesia berada di pertemuan 3 lempeng tektonik aktif, yaitu : 1. Lempeng India-Australia 2. Lempeng Eurasia 3. Lempeng Pasifik Hal ini menyebabkan munculnya potensi gempa bumi yang sangat besar di area pertemuan lempeng tersebut. 1. Lempeng Lautan Hindia dan Australia bergerak ke Utara sekitar 50 – 70 mm/tahun dan menunjam di bawah Palung laut dalam Sumatra – Jawa sampai ke Barat Pulau Timor di NTT. 2. Di sepanjang tepian Lempeng Kepulauan dari P. Timor ke arah Timur dan terus memutar ke Utara berlawanan arah jarum jam menuju wilayah perairan Maluku, Lempeng Benua Australia menabrak dengan kecepatan 70 mm/tahun. 3. Di Utara Indonesia Timur, Lempeng Pacific menabrak sisi Utara Pulau Irian dan Pulaupulau di Utara Maluku dengan kecepatan 120 mm/tahun. 15 GAMBAR 4 PERTEMUAN LEMPENG DI INDONESIA Sumber : Pedoman Analisis Bahaya Dan Risiko Bencana Gempa Bumi, 2011 2.2. Hazard Assessment Tsunami Langkah – langkah yang dapat dilakukan dalam hazard assessment bencana Tsunami, diantaranya : 1. Kajian Tectonic setting Pada langkah ini dilakukan kajian mengenai potensi pergerakan tektonik pada lempeng yang merupakan zona subduksi di wilayah Indonesia. Berdasarkan data tsunami Indonesia, diketahui bahwa 90% tsunami yang terjadi di Indonesia disebabkan oleh gempa di zona subduksi (pertemuan antar lempeng). Melalui kajian terhadappergerakan tektonik lempeng dan melakukan skenario tsunami yang diperoleh, maka akan dapat diprediksi tsunami yang mungkin akan terjadi, baik, dari segi arah datang tsunami, maupun wilayah yang akan terkena dampaknya. Oleh karena itu, kajian mengenai pergerakan tektonik lempeng yang berpotensi tsunami menjadi hal yang penting dilakukan. 2. Kajian mengenai sumber pembangkit tsunami yang berpotensi menuju pesisir baik near field sources maupun far field 16 Kajian mengenai sumber pembangkit ini penting dilakukan karena hal inilah yang menjadi penyebab utama timbulnya bencana tsunami. Sumber pembangkit tsunami sendiri ada tiga, yaitu, pergerakan lempeng tektonik (gempa dengan pusat gempa di bawah laut), letusan gunung api di bawah laut, serta longsor di dasar laut. Sebagian besar tsunami di dunia ini disebabkan oleh pergerakan di zona-zona pertemuan tektonik aktif. Hal tersebut berkaitan dengan letak Indonesia yang dilalui oleh zona pertemuan lempeng aktif, yaitu lempeng Eurasia, lempeng India-Australia, dan lempeng Pacific. Lempeng yang saling mendorong lama – kelamaan akan bergeser dan melepaskan gaya, gaya itulah yang menyebabkan gempa dan berpotensi menghasilkan tsunami yang sangat dahsyat. 3. Pengkajian Bahaya tsunami Hal yang dapat dilakukan dalam pengkajian bahaya tsunami diantaranya adalah : Parameter tsunami Pada pengkajian bahaya tsunami ini, yang dianalisis adalah data historis terjadinya tsunami. Data historis terjadinya tsunami penting untuk memahami fenomena tsunami dan efek yang ditimbulkan yang pernah terjadi di waktu sebelumnya. Data tersebut secara luas digunakan untuk mengevaluasi potensi tsunami wilayah pesisir, untuk penetapan tingkat risiko bahaya tsunami, dan digunakan untuk pengelolaan pesisir serta mitigasi bencana. Selain itu, data historis yang sangat penting untuk evaluasi dalam pembentukan batas untuk mengeluarkan peringatan tsunami dan untuk kriteria desain untuk setiap rekayasa konstruksi pelindung tsunami. Hubungan fungsional Dari overlay peta-peta akan dapat dilihat hubungan fungsional, kita dapat melihat keadaan dan kondisi suatu wilayah yang rentan terhadap tsunami. Dengan adanya informasi tersebut, langkah selanjutnya kita dapat melakukan kajian terhadap hazard tsunami, yang meliputi : 1. Respon pantai atau teluk terhadap tsunami 2. Peta waktu penjalaran tsunami 3. Model Komputasi, contoh Model MOST, Model SHIFT • Pada model MOST dilakukan perhitungan skenario generasi / propagasi untuk database ramalan. Model ini merupakan model beresolusi tinggi nonlinear yang akan 17 memberikan prakiraan genangan. Metodologi ini adalah dasar dari alat ramalan generasi berikutnya yang berfungsi untuk peringatan tsunami dan mitigasi yang sedang dikembangkan dalam kerjasama erat dengan Pusat Peringatan Tsunami dan akademisi. Alat-alat baru ini akan memberikan sites dan ramalan peristiwa-spesifik dengan amplitudo tsunami untuk membantu Pemerintah selama peringatan tsunami dan prosedur mitigasi. • The SIFT (Peramalan Jangka Pendek untuk GenanganTsunami) merupakan sistem yang sedang dikembangkan untuk penggunaan operasional dalam NOAA Pusat Peringatan Tsunami. Ramalan SIFT adalah estimasi numerik amplitudo, waktu tempuh, dan sifat tsunami tambahan menggunakan model genangan dibatasi oleh pengamatan tsunami real-time untuk lokasi pesisir tertentu. Prakiraan produk termasuk perkiraan amplitudo tsunami, kecepatan aliran dan waktu kedatangan untuk daerah lepas pantai, pesisir dan genangan. Prakiraan model genangan sedang dikembangkan untuk menyediakan prediksi tsunami real-time untuk lokasi pesisir yang dipilih yaitu pada saat tsunami merambat melalui laut terbuka, sebelum gelombang telah mencapai garis pantai lebih banyak. Prakiraan model genangan akan dimasukkan ke dalam sistem peringatan tsunami AS SIFT untuk penggunaan di Pasifik dan Pantai Barat-Alaska Pusat Peringatan Tsunami. Dari pemodelan ini dapat diperkirakan dampak negatif yang terjadi dan cara penanggulangannya. 4. Zonasi Bahaya tsunami Hasil kajian terhadap hazard tsunami akan menghasilkan wilayah yang terzonasi. Zonasi ini mempertimbangkan ancaman berupa tinggi gelombang yang mungkin terjadi dan jarak landaan terhadap daratan. Hal terpenting dari penetuan zonasi ini adalah sumber yang mungkin membangunkan tsunami tersebut dan area yang akan terimbas oleh tsunami. Indonesia terbagi kedalam enam zona berdasarkan seismisitasnya, antara lain : 1. Kepulauan busur sunda bagian barat, termasuk pulau Sumatera dan Andaman 2. Kepulauan busur sunda bagian timur, termasuk Jawa bagian timur, Selat Sumba, Bali, Lombok, dan Sumbawa. 3. Kepulauan Banda 18 4. Selat Makasar 5. Laut Molucca, Sangihe dan Halmahera 6. Irian Jaya bagian Utara GAMBAR 5 PETA ZONASI ANCAMAN BENCANA TSUNAMI DI INDONESIA Sumber : Pedoman Analisis Bahaya Dan Risiko Bencana Gempa Bumi, 2011 GAMBAR 6 ZONA ANCAMAN BENCANA TSUNAMI DI INDONESIA Sumber : Pedoman Analisis Bahaya Dan Risiko Bencana Gempa Bumi, 2011 19 2.2 Metode Hazard Assessment Tsunami Saat ini metode hazard assessment untuk bencana tsunami dapat diklasifikasikan dalm tiga kategori utama. 1. Kategori yang pertama adalah menggunakan metode determinis berdasarkan catatan kejadian dalam sejarah yang pada umumnya hanya memetakan kejadian-kejadian tersebut. Metode ini melakukan pemetaan efek run-up dalam sejarah yang telah dketahui untuk daerah pesisir tertentu.Hasil pemetaan ini dapat menunjukkan kemungkinan run-up tertinggi yang perlu diantisipasi di masa yang akan datang. 2. Kategori yang kedua adalah pendekatan stokastik data-data sejarah yang merupakan konstruksi model statistik untuk menghasilkan kembali kejadian berdasarkan observasi kejadian sejarah. Metode ini secara keseluruhan hanya menggunakan data statistik run-up yang tersedia dan tidak mempertimbangkan seismotektonik di daerah sumber kejadian. Aplkasi dari metode ini terdiri atas beberapa langkah: a) Mengumpulkan semua catatan observasi kejadian tsunami dalam sejarah (run-up dan perhitungan gauge air pasang) untuk tempat-tempat tertentu; b) Mengasumsikan tipe statistik dan pehitungan untuk fungsi frekuensi run-up tsunami (frekuensi kemunculan kembali secara empiris); c) Perhitungan “fungsi bahaya tsunami‟ (fungsi tingkat exceedance (kemungkinan gempa yang meghasilkan getaran di level ground yang melebihi data yang ada dalam waktu tertentu); d) Mendapatkan probabilitas tahunan dari exceedance untuk nilai run-up yang berbedabeda. Kelemahan utama dari metode stokastik adalah metode ini kurang dapat diandalkan untuk probabiitas tahunan yang lebih rendah dari periode invers dari katalog kejadian sejarah. Keterbatasan lain dari metode ini yang cukup serius adalah metode ini tidap dapat digunakan untuk area dengan catatan kejadian sejarah yang terbatas atau tidak ada sama sekali (hal yang sangat umum terjadi di sebagian besar daerah barat dan utara Samudra Hindia dan keseluruhan daerah pesisir Australia. 3. Kategori ketiga adalah metode dengan menggunakan metode yang seluruhnya menggunakan pendekatan “skenario” deterministik dan aplikasi intensif model numerik untuk perhitungan timbulnya tsunami, propagasi dan banjir. Metode ini menggunakan kejadian nilai tunggal 20 (gempa yang didesain) untuk terjadi di tempat yang paling mungkin terjadi (atau yang paling berbahaya). Parameter dari kejadian ini ditentukan dengan basis “pendapat ahli” dan ketidakyakinan mereka jarang diperhitungkan. Ketinggian run-up tsunami yang terjadi di tempat yang diperhatikan kemudian dihitung. Frekuensi dari munculnya kejadian biasanya tidak diperhitungkan (atau dieavaluasi), dan tidak ada cara formal dan terbuka untuk memperlakukan ketidakpastian. Metode ini digunakan secara luas untuk perhitungan peta kenaikan badan air laut tsunami untuk kota di daerah pesisir dan fasilitas-fasilitas penting yang terletak di dekat daerah pesisir. Pendekatan modern untuk masalah yang sama untuk perhitungan bahaya seismik jangka panjang didasarkan pada pertimbangan seismotektonik dari struktur seismogenik (faults dan block) dan proses (siklus seismik, celah,migrasi, dll) dan aplikasi model numerik untuk memperhitungkan getaran permukaan tanah yang dihasilkan oleh gempa dengan parameter sumber yang sudah dantisipasi. Perkembangan lebih lanjut dari pendekatan ini menggunakan kemunculan kembali gempa non-Poissonian (ketergantungan pada waktu) mengevolusi properti spasial-temporal penuh dari aktivitas gempa. 2.3 Mitigasi Bencana Tsunami Secara umum, tindakan mitigasi bencana tsunami yang dapat dilakukan dapat dibagi ke dalam dua jenis mitigasi, yaitu : 1. Mitigasi Struktural a. Memperkuat bangunan dan infrastruktur agar bangunan tidak mudah hancur saat terkena tsunami. Selain itu diperlukan juga perbaikan building code. b. Membangun beberapa teknologi pemecah gelombang untuk mengurangi energi gelombang saat mencapai daratan sehingga saat terjadi tsunami dampak yang ditimbulkan akan menjadi lebih kecil dari yang seharusnya. c. Meminimalkan kerusakan dengan melakukan upaya perbaikan lingkungan seperti penanaman mangrove sepanjang pantai agar dapat menyerap energi dari gelombang tsunami. 21 d. Membangun tempat evakuasi yang mudah dijangkau dan memiliki daya tampung tinggi. Contoh tempat evakuasi yang mudah dijangkau adalah membangun tempat evakuasi di atas perempatan, dimana tempat ini mudah dijangkau dari berbagai arah dan tidak membuat kemacetan karena kendaraan di bawahnya masih dapat bergerak. e. Perencanaan lokasi dan pengaturan penempatan penduduk agar tidak ada penduduk yang bertempat tinggal di dekat lokasi rawan tsunami. f. Merelokasi aktifitas yang tinggi ke daerah yang lebih aman dengan mengembangkan mikro zonasi 2. Mitigasi Non-struktural a. Mensosialisasikan dan melakukan simulasi evakuasi yang intensif bagi penduduk di daerah rawan tsunami. b. Membuat early warning system sepanjang daerah pantai atau perkotaan yang rawan tsunami. c. Membuat sistem informasi yang efektif untuk menyebarkan berita bencana. d. Pemantauan bencana gempa yang terjadi di laut melalui sejarah dan metode skenario gempa bumi. e. Perencanaan tata ruang wilayah. f. Meminimalisir bahaya dan meningkatkan ketahanan terhadap daerah rawan tsunami. g. Manajemen resiko bencana. 22 GAMBAR 7 MANAJEMEN RESIKO BENCANA Pencegahan & Mitigasi Bencana Manajemen kedaruratan Manajemen Resiko Reduksi kondisi rawan Kesiapsiagaan untuk kedaruratan Sumber : Slide Kuliah Manajemen Pesisir, Andi Oetomo, 2011. Gambar diatas merupakan siklus manajemen resiko bencana dengan menggunakan pendekatan pembangunan berkelanjutan. Apabila siklus ini gagal, maka akan terjadi bencana dengan resiko yang besar. Sedangkan saat siklus ini dikatakan berhasil maka akan mengarah pada pembangunan berkelanjutan (sustainable development). 23 BAB III STUDI KASUS Studi Kasus : Peta Bahaya Tsunami Cilacap Kabupaten Cilacap merupakan salah satu daerah berisiko tinggi terhadap bahaya tsunami di Indonesia karena jika tsunami besar terjadi di wilayah Cilacap dan sekitarnya akan membawa dampak yang parah pada daerah sepanjang pantai yang dihuni penduduk dengan kepadatan yang tinggi. Banyak wilayah utama pembangunan Cilacap, terutama industri pertambangan minyak terletak langsung menghadap garis pantai Samudra Hindia. Di bawah dasar laut Samudra Hindia tersebut, beberapa ratus kilometer sebelah selatan Cilacap, terletak salah satu zona utama tumbukan lempeng tektonik bumi, yang merupakan sumber utama gempa bumi pencetus tsunami. Dengan demikian, para ahli geologi dan ilmuwan tsunami menggolongkan Cilacap sebagai daerah beresiko tinggi tsunami. Cilacap telah mengalami gempa bumi besar dan tsunami di masa lalu. Karena dekatnya jarak ke zona subduksi dan sejarah gempa, kalangan ilmuwan memperkirakan tsunami bisa terjadi lagi di masa yang akan datang dan mempengaruhi Cilacap, meskipun prediksi yang tepat belum mungkin ditetapkan. Langkah-langkah persiapan adalah kunci untuk menanggulangi bahaya tsunami, dan pengembangan strategi kesiapsiagaan lokal sangat penting dilakukan. Hal ini memerlukan pemahaman yang baik tentang bahaya tersebut. Sebuah peta resmi bahaya tsunami menyediakan referensi penting bagi pengembangan strategi kesiapsiagaan kepada semua pemangku kepentingan. Keberadaan peta resmi bahaya tsunami diperlukan sebagai acuan dasar dan alat perencanaan yang paling penting untuk mengembangkan strategi evakuasi dan peta untuk kabupaten Cilacap. Peta bahaya juga sangat diperlukan untuk perencanaan penggunaan lahan dan pengembangan langkah-langkah jangka menengah untuk mengurangi kemungkinan dampak tsunami. Publikasi dari peta bahaya tsunami resmi di tingkat kabupaten menjadi tanggung jawab pemerintah daerah. 24 Ringkasan Kejadian Pada hari Senin tanggal 17 Juli 2006 pukul 15:19:22 WIB, Indonesia kembali dilanda bencana gempa bumi tektonik yang diikuti gelombang tsunami dengan kekuatan 6,8 Skala Richter. Berdasarkan data dari BMG dicatat bahwa pusat gempa berada pada posisi 9,46 LS – 107,19 BT di laut sejauh 286 km Selatan Bandung pada kedalaman 33 km. Kawasan di sepanjang pantai selatan mulai dari Kabupaten Garut di Provinsi Jawa Barat sampai dengan pantai selatan Provinsi D.I. Yogyakarta merupakan daerah yang mengalami dampak kerusakan cukup parah. Tercatat kawasan yang mengalami kerusakan akibat bencana ini, yaitu: – Kecamatan Pangandaran (Kabupaten Ciamis) – Kecamatan Pameungpeuk (Kabupaten Garut) – Kecamatan Cipatujah (Kabupaten Tasikmalaya) – Pantai Selatan Cilacap (Kabupaten Cilacap) – Pantai Ayah (Kabupaten Kebumen) – Pantai Puger – Pantai Trenggalek – Pantai Samas (Provinsi Yogyakarta) 25 GAMBAR 8 SUMBER GEMPA PANGANDARAN Sumber : Identifikasi program/kegiatan pendanaan dalam rangka rehabilitasi pasca gempa bumi dan tsunami pangandaran dan sekitarnya, 2011 26 TABEL 3 DATA KORBAN TSUNAMI PANGANDARAN PER KABUPATEN Sumber : Identifikasi program/kegiatan pendanaan dalam rangka rehabilitasi pasca gempa bumi dan tsunami pangandaran dan sekitarnya, 2011 TABEL 4 JUMLAH PRASARANA YANG MENGALAMI KERUSAKAN Sumber : Identifikasi program/kegiatan pendanaan dalam rangka rehabilitasi pasca gempa bumi dan tsunami pangandaran dan sekitarnya, 2011 27 Proses Pembuatan Peta bahaya tsunami umumnya menggambarkan daerah yang terkena tsunami di suatu wilayah. Terdapat berbagai jenis peta bahaya yang berbeda. Dalam beberapa kasus, ada peta yang hanya menampilkan peta wilayah tergenang tsunami yang dianggap sebagai skenario yang paling mungkin. Pada kasus yang lain, ada juga peta yang menunjukkan wilayah yang terkena dampak yang dihasilkan dari sejumlah (hipotetik) peristiwa tsunami. Ini disebut sebagai pendekatan multi-skenario karena menggabungkan daerah tergenang dari berbagai tsunami (atau skenario) dalam satu peta. Peta bahaya tsunami yang disajikan di sini adalah peta multi-skenario berdasarkan model tsunami. Peta ini menggambarkan dampak yang mungkin terjadi di pantai Cilacap dari sejumlah potensi besar tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi dari berbagai besaran yang berasal dari berbagai lokasi dalam zona subduksi. Penting untuk dicatat bahwa peta ini tidak memperhitungkan bahaya tsunami terkait dengan tanah longsor bawah laut dan aktivitas gunung berapi sebagai informasi mengenai probabilitas, kejadian dan dampak yang mungkin timbul dari jenis tsunami yang sangat langka. Informasi Bahaya tsunami untuk Cilacap diarahkan untuk perencanaan kebutuhan khusus dalam manajemen bencana karena merupakan prasyarat dalam evakuasi dan perencanaan tata ruang. Banyak lembaga nasional dan internasional telah melakukan pengkajian bahaya untuk Cilacap dalam tahun terakhir. Hasil dari usaha ini adalah berbagai produk pemetaan berdasarkan pendekatan yang berbeda dan meliputi area yang berbeda. Pendekatan yang digunakan untuk menghasilkan probabilitas peta bahaya tsunami yang komprehensif meliputi enam langkah: 1. Menentukan skenario tsunami yang relevan dengan daerah sasaran. Semua skenario yang relevan untuk daerah sasaran dipilih dari basis data skenario tsunami. Dalam langkah ini dilakukan query data spasial dan pemilihan semua skenario yang mengakibatkan genangan minimal satu titik di daratan pada daerah sasaran (misalnya menggunakan peta). Skenario yang dipilih memberikan dasar untuk kajian selanjutnya. 2. Mengelompokkan skenario berdasarkan tingkat peringatan. - Mengelompokkan semua skenario yang dipilih ke dalam dua kategori tingkat peringatan. Dalam langkah ini dilakukan query basis data dengan kondisi: "skenario mana saja yang 28 menghasilkan ketinggian gelombang di pantai lebih dari 3 m?". Garis luar dari rendaman yang digabung dengan kelas menghasilkan peta pertama yang menunjukkan daerah genangan maksimum untuk setiap tingkat peringatan. - Pada peta bahaya akhir, hanya zona yang dihasilkan oleh "kelas ketinggian gelombang di pantai ≤ 3 m" yang akan ditampilkan. Zona lainnya diganti dengan perhitungan kemungkinan menyambung (continuous probability) dari dampak tsunami yang dijelaskan dalam langkah-langkah di bawah ini. GAMBAR 9 SKENARIO KEJADIAN TSUNAMI Sumber : Dokumentasi teknis Peta Bahaya Tsunami untuk Kabupaten Cilacap, 2011 3. Mengestimasi probabilitas terdistribusi secara spasial gempa bumi dari magnitudo tertentu sepanjang Palung Sunda. Berdasar pada kenyataan bahwa gempa bumi bawah laut dengan besaran tinggi terjadi jauh lebih jarang daripada besaran gempa bumi yang lebih rendah, skenario dengan besaran gempa lebih tinggi (moment magnitude Mw) harus diberi bobot yang lebih rendah dalam analisis. Hal ini dikarenakan kemungkinan gempa bumi berkekuatan tinggi terjadi lebih rendah. 29 GAMBAR 10 ANALISIS KEMUNGKINAN SEBARAN SPASIAL DARI KEJADIAN GEMPA Sumber : Dokumentasi teknis Peta Bahaya Tsunami untuk Kabupaten Cilacap, 2011 4. Menentukan probabilitas genangan spasial diferensial. Dalam langkah ini dilakukan diferensiasi spasial untuk kemungkinan dari sebuah titik di darat yang tergenang (kemungkinan genangan spasial). Hasil dari pemodelan skenario tsunami mencakup dampak tsunami di darat, yaitu daerah di atas lahan yang akan dibanjiri sebagai akibat dari tsunami yang berasal dari lokasi tertentu dan dengan besaran tertentu. GAMBAR 11 CONTOH PERHITUNGAN KEMUNGKINAN RENDAMAN Sumber : Dokumentasi teknis Peta Bahaya Tsunami untuk Kabupaten Cilacap, 2011 30 5. Menggabungkan kemungkinan bersambung dengan zona “tingkat peringatan“. Pada tahap ini, zona “tingkat peringatan” yang dihasilkan dari langkah 2 ditumpang susun (dioverlay) dengan kemungkinan bersambung dampak tsunami pada peta bahaya. 6. Tambahkan parameter tambahan ke dalam peta. Untuk melengkapi informasi tentang daerah rendaman, parameter tambahan dimasukkan ke dalam peta bahaya yang mencirikan potensi bahaya tsunami dari wilayah pantai. Setiap skenario yang dimodelkan mencakup perkiraan waktu kedatangan (ETA) dari gelombang pertama tsunami yang menghantam pantai. ETA sangat bervariasi, secara umum tergantung pada jarak dari pantai ke sumber tsunamigenic dan besarnya gempa GAMBAR 12 NILAI ETA YANG DITAMPILKAN PADA PETA BAHAYA Sumber : Dokumentasi teknis Peta Bahaya Tsunami untuk Kabupaten Cilacap, 2011 Hasil Akhir Peta ini menggambarkan dampak yang mungkin terjadi di pantai Cilacap dari sejumlah potensi besar tsunami yang disebabkan oleh gempa bumi dari berbagai besaran yang berasal dari berbagai lokasi dalam zona subduksi. Penting untuk dicatat bahwa peta ini tidak memperhitungkan bahaya tsunami terkait dengan tanah longsor bawah laut dan aktivitas gunung berapi sebagai informasi mengenai probabilitas, kejadian dan dampak yang mungkin timbul dari jenis tsunami yang sangat langka. 31 GAMBAR 13 PETA KEMUNGKINAN DAMPAK BENCANA TSUNAMI Sumber : Dokumentasi teknis Peta Bahaya Tsunami untuk Kabupaten Cilacap, 2011 Warna merah dan kuning menunjukkan daerah yang terkena oleh perhitungan skenario. Daerah kuning hanya dipengaruhi oleh tsunami lebih besar, sedangkan zona merah dapat dipengaruhi oleh tsunami yang lebih kecil. IDENTIFIKASI PROGRAM/KEGIATAN DAN USULAN PENDANAAN DALAM RANGKA REHABILITASI WILAYAH PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI PANGANDARAN DAN SEKITARNYA17 JULI 2006 IDENTIFIKASI PROGRAM/KEGIATAN DAN USULAN PENDANAAN DALAM RANGKA REHABILITASI WILAYAH PASCA GEMPA BUMI DAN TSUNAMI PANGANDARAN DAN SEKITARNYA17 JULI 2006 32 BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI 4.1 Kesimpulan Dari hasil penjabaran tentang bencana tsunami di atas, dapat disimpulkan bahwa tsunami adalah gelombang air laut yang sangat besar yang disebabkan oleh pergerakan vertikal permukaan dasar laut disebabkan oleh gempa bumi (sesar vertikal), tanah longsor, atau letusan gunung berapi yang terjadi di bawah laut maupun benda angkasa yang jatuh ke laut. Mitigasi bencana tsunami terdiri atas mitigasi structural dan mitigasi non-struktural. Mitigasi structural adalah mitigasi dalam bentuk fisik, misalnya memperkuat bangunan dan infrastruktur dan memperbaiki building code yang sesuai, membangun beberapa teknologi pemecah gelombang untuk mengurangi energi gelombang saat mencapai daratan, dan lainnya. Sedangkan mitigasi non-struktural adalah mitigasi yang berbentu non-fisik, seperti mensosialisasikan diri melakukan simulasi evakuasi yang intensif bagi penduduk di daerah rawan bencana, dan membuat early warning system sepanjang daerah pantai atau perkotaan yang rawan tsunami, dan lain-lain. Langkah-langkah yang dilakukan dalam Hazard Assessment Tsunami adalah sebagai berikut. 1. Kajian Tectonic setting 2. Kajian mengenai sumber pembangkit tsunami yang berpotensi menuju pesisir baik near field sources maupun far field 3. Pengkajian Bahaya tsunami 4. Zonasi Bahaya tsunami 4.2 Rekomendasi Setelah melakukan kajian tentang bencana tsunami seperti yang telah dijelaskan di atas, maka penulis dapat member rekomendasi kepada para perencana agar melihat wilayah dari berbagai aspek, termasuk aspek kebencanaan, dalam merencanakan wilayah dan kota. Selain itu, sebelum melakukan proses perencanaan, para perencana harus melakukan analisis penilaian bencana, sehingga upaya mitigasi bencana (non-struktural) dapat berjalan dengan optimal melalui proses perencanaan. 33 REFERENSI 1. Natawidjaja, Danny Hilman. 2008. Pedoman Analisis Bahaya Dan Risiko Bencana Gempa Bumi. 2. International Strategy for Disaster Reduction. 2004. Living with Risk a Global Review, Volume II. United Nations. 3. Tsunami Hazard Assessment Program For The Indian Ocean 4. Puspito, Nanang. 2011. Slide Kuliah Mitigasi Bencana. ITB 5. Oetomo, Andi. 2011. Slide Kuliah Manajemen Pesisisr. ITB 6. bgl.esdm.go.id 7. Geotek.lipi.go.id 8. Geodesy.gd.itb.ac.id 9. Identifikasi program/kegiatan pendanaan dalam rangka rehabilitasi pasca gempa bumi dan tsunami pangandaran dan sekitarnya. Bappenas, 2006. 10. Dokumentasi teknis Peta Bahaya Tsunami untuk Kabupaten Cilacap. Kelompok kerja Cilacap untuk pemetaan bahaya tsunami bersama DLR/GTZ. Juni 2006. 34