COVER SUSUNAN PENGURUS Pelindung Sekretaris Jendral Ikatan Lembaga Mahasiswa Kebidanan Indonesia (IKAMABI) Rizqotul Maghfiroh Rojuli Universitas Airlangga Penyunting Ahli Ivon Diah Wittiarika, S.Keb., Bd. Universitas Airlangga Yuseva Sariati, SE, SST, M.Keb Universitas Brawijaya Board of Director Farida Fitriana, S.Keb. Universitas Airlangga Pimpinan Umum Penyunting Pelaksana Nofi Nurul Fadilla Universitas Airlangga Novi Dwi Ambarsari Universitas Airlangga Dian Rahma Utari Universitas Brawijaya Christina Irianti Universitas Brawijaya Winda Rinawan Universitas Brawijaya Humas dan Promosi Himmatul Pimpinan Redaksi ‘Inayah Universitas Airlangga Bintang Dwita Dewantari Universitas Airlangga Atika Nadia Fatimah Nuril Alifah Universitas Airlangga Universitas Airlangga Sauli Nur Laili Universitas Brawijaya Lisa Diana Putri Universitas Brawijaya Sekretaris Zukhaila Salma Universitas Airlangga Bendahara Suci Aji Illahi Universitas Brawijaya Tata Letak dan Layout Romadhinniar Febriana Universitas Airlangga Arintika Choirunnisa Islami Universitas Airlangga Mu’adzah Chamidatus S. Universitas Airlangga Rindang Atikah Kusuma P. Universitas Brawijaya Puput Maulidah Fatmala Universitas Brawijaya i BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 ISSN : 2442-9171 DAFTAR ISI E-ISSN : 2338-6460 Susunan Pengurus............................................................................................................................. ...... i Daftar Isi............................................................................................................................. ......................... ii Petunjuk Penulisan ……......................................................................................................................... iii Sambutan Pimpinan Umum................................................................................................................ viii Penelitian Faktor Risiko Yang Berpengaruh Pada Periode Kehamilan, Persalinan Dan Bayi Baru Lahir Dengan Autisme Anita Nurbayatin, Sulistiawati, Sunjoto, Dwiyanti Puspitasari ............................................................................................................................. ..................................................................................................... 1 Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Keterlambatan Perkembangan Global pada Balita Dita Rahmaika Arumsari, Muhammad Faizi, Djohar Nuswantoro, Sri Utami ............................................................................................................................. ..................................................................................................... 7 Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pelaksanaan Rujukan Terencana Rochjati Pada Bidan Praktik Mandiri Di Wilayah Surabaya Timur Zumroh Hasanah, Muhammad Ardian Cahya Laksana, Gadis Meinarsari, Netti Herlina ............................................................................................................................. ..................................................................................................... 15 Makna Pacaran Dan Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Usia 15-18 Tahun Rafi’ana Budiani, Pudji Lestari, Budi Wicaksono, Bambang Trijanto ............................................................................................................................. ..................................................................................................... 21 Hubungan Antara Kepatuhan Ibu Hamil Dalam Mengkonsumsi Tablet Fe Dan Vitamin C Dengan Jumlah Kehamilan Di Desa Mekargalih Kecamatan Jatinangor Hanifah Fitriani, Anita Yuliani, Rd. Tina D. Judistiani, Ari Indra Susanti ............................................................................................................................. ..................................................................................................... 29 Penyegar Bidan Indonesia dan Tenaga Kesehatan Harus Siap Menghadapi MEA Hartini ............................................................................................................................. ..................................................................................................... 36 Pendekatan Komunikasi Terapeutik: Solusi Untuk Mengubah Persepsi Ibu Yang Salah Tentang Asi Eksklusif Guna Mewujudkan Visi Indonesia Sehat 2025 Yuniyarti Arsitasari ............................................................................................................................. ..................................................................................................... BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 38 ii PETUNJUK PENULISAN Pedoman Penulisan Artikel Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (Bimabi) Indonesian Midwifery Student Journal Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (BIMABI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMABI menerima artikel penelitian asli yang berhubungan dengan bidang ilmu kebidanan, artikel tinjauan pustaka, laporan kasus, artikel penyegar ilmu kedokteran dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa kebidanan. Petunjuk Bagi Penulis : 1. BIMABI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain. 2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, lugas, dan ringkas.Naskah diketik dalam Microsoft Word, ukuran kertas A4 dengan margin kanan, kiri, atas, bawah berukuran 3433 cm. Naskah menggunakan 1 spasi dengan spacing after before 0 cm, jarak antarbab atau antarsubbab yaitu 1 spasi (1x enter). Font Arial, size 10, sentence case, justify. Ketikan diberi nomor halaman mulai dari halaman judul. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman terhitung mulai dari judul hingga daftar pustaka. 3. Naskah dikirim melalui email ke alamat [email protected] dan [email protected] dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor telepon yang bisa dihubungi. 4. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan - Metode - Hasil - Pembahasan - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan 5. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan Pustaka dan Advertorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 iii 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas) - Pembahasan - Kesimpulan - Saran 5. Daftar Rujukan 6. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Artikel Penyegar dan Artikel Editorial harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Pendahuluan 2. Isi 3. Kesimpulan (Penutup) 7. Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Laporan Kasus harus mengikuti sistematika sebagai berikut: 1. Judul 2. Nama penulis dan lembaga pengarang 3. Abstrak 4. Naskah (Text), yang terdiri atas: - Pendahuluan - Laporan kasus - Pembahasan - Kesimpulan 5. Daftar Rujukan 8. Judul ditulis secara singkat, jelas, dan padat yang akan menggambarkan isi naskah. Ditulis dengan Font Arial 14 pt dicetak tebal di bagian tengah atas dengan uppercase (semua huruf ditulis kapital), tidak digaris bawahi, tidak ditulis di antara tanda kutip, tidak diakhiri tanda titik(.), tanpa singkatan, kecuali singkatan yang lazim. Penulisan judul diperbolehkan menggunakan titik dua tapi tidak diperbolehkan menggunakan titik koma. Penggunaan subjudul diperbolehkan dengan ketentuan ditulis dengan titlecase, Font Arial 12, center, dan dicetak tebal. 9. Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis diketik titlecase, Font Arial 10, center, dan bold yang dimulai dari pengarang yang memiliki peran terbesar dalam pembuatan artikel. Penulisan asal instansi dimulai dari terkecil. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email. 10. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan panjang abstrak tidak lebih dari 250 kata dan tidak menuliskan kutipan pustaka. Abstrak Bahasa Indonesia dan kata kunci ditulis tegak. Abstrak Bahasa Inggris dan keyword ditulis italic (dimiringkan). BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 iv 11. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Kata kunci sebanyak maksimal 8 kata benda yang ditulis dari umum ke khusus. 12. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic). 13. Setiap tabel gambar dan metode statistika diberi judul dan nomor pemunculan. 14. Ucapan terima kasih 15. Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Diberi nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara penulisan dapat dilihat sebagai berikut: Contoh cara penulisan daftar pustaka dapat dilihat sebagai berikut : Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Ditulis dengan nomor sesuai urutan. Untuk penulisan sitasi yang berasal dari 2 sumber atau lebih, penomoran dipisahkan menggunakan koma. Nomor kutipan ditulis superskrip dan dibuat dalam tanda kurung siku […] Contoh penulisan sitasi : Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang belakang (invertebrata). Cacing tanah termasuk kelas Oligochaeta. Famili terpenting dari kelas ini adalah Megascilicidae dan Lumbricidae.[1] Bagi sebagian orang, cacing tanah masih dianggap sebagai makhluk yang menjijikkan dikarenakan bentuknya, sehingga tidak jarang cacing masih dipandang sebelah mata. Namun terlepas dari hal tersebut, cacing ternyata masih dicari oleh sebagian orang untuk dimanfaatkan. Menurut sumber, kandungan protein yang dimiliki cacing tanah sangatlah tinggi, yakni mencapai 58-78 % dari bobot kering. Selain protein, cacing tanah juga mengandung abu, serat dan lemak tidak jenuh. Selain itu, cacing tanah mengandung auxin yang merupakan hormon perangsang tumbuh untuk tanaman.[2]Manfaat dari cacing adalah sebagai Bahan Baku Obat dan bahan ramuan untuk penyembuhan penyakit. Secara tradisional cacing tanah dipercaya dapat meredakan demam, menurunkan tekanan darah, menyembuhkan bronkitis, reumatik sendi, sakit gigi dan tipus.[1,2] A. KETENTUAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA 1. BUKU Penulis Tunggal Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Frye, Northrop. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP, 1957. Dengan dua atau tiga orang penulis Nama penulis 1 (dibalik), Nama penulis 2, dan nama penulis selanjutnya. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Howe, Russell W arren, dan Sarah Hays Trott. The Power Peddlers. Garden City: Doubleday, 1977. Marquart, James W., Sheldon Ekland Olson, dan Jonathan R. Sorensen. The Rope, BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 v the Chair, and the Needle: Capital Punishment in Texas, 1923-1990. Austin: Univ. of Texas, 1994. Lebih dari tiga penulis Nama penulis 1 (dibalik), et al. judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Edens, W alter, et al., Teaching Shakespeare. Princeton: Princeton UP, 1977. Editor sebagai penulis Nama editor (dibalik), editor. Judul Buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Harari, Josue, editor. Textual Strategies. Ithaca: Cornell UP, 1979. Penulis dan editor Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor. Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Malory, Thomas. King Arthur and his Knights. Editor. Eugene Vinaver. London: Oxford UP, 1956. Penulis berupa tim atau lembaga Nama tim atau lembaga. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: National Institute for Dispute Resolution. Dispute Resolution Resource Directory. Washington, D.C.: Natl. Inst. for Dispute Res., 1984. Karya multi jilid/buku berseri Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Jilid ke- / edisi ke-. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Freedberg, S. J. Andrea del Sarto. Jilid kedua. Cambridge: Harvard UP, 1963. Terjemahan Nama penulis (dibalik). Judul buku hasil terjemahan (italic). Penerjemah Nama penerjemah. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Terjemahan dari Judul buku yang diterjemah (italic), Tahun terbit buku yang diterjemah. Contoh: Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Penerjemah A. M. Sheridan Smith. London: Tavistock Publications, 1972. Terjemahan dari L'Archéologie du savoir, 1969. BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 vi Artikel atau bab dalam buku Nama penulis (dibalik). “judul buku”. Judul bab atau artikel (italic). Editor Nama editor. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Halaman bab atau artikel dalam buku. Contoh: Magny, Claude-Edmonde. "Faulkner or Theological Inversion." Faulkner: A Collection of Critical Essays. Editor Robert Penn Warren. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966. 66-78. Brosur, pamflet dan sejenisnya Nama brosur/pamflet/sejenisnya. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Contoh: Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur, 1999. 2. SERIAL Artikel jurnal dengan volume dan edisi Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). Volume:Edisi (tahun terbit): halaman Contoh: Dabundo, Laura. “The Voice of the Mute: Wordsworth and the Ideology of Romantic Silences.” Christiantity and Literature 43:1(1995): 21-35. 3. PUBLIKASI ELEKTRONIK Buku Online Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor Nama editor. Tahun terbit buku. Tanggal dan tahun akses <link online buku> Contoh: Austen, Jane. Pride and Prejudice. Editor Henry Churchyard. 1996. 10 September 1998 <http://www.pemberley.com/janeinfo/prideprej.html>. Artikel jurnal online Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). (tahun terbit artikel). Tanggal dan tahun akses jurnal <link online jurnal> Contoh: Calabrese, Michael. “Between Despair and Ecstacy: Marco Polo‟s Life of the Buddha.” Exemplaria 9.1 (1997). 22 June 1998 <http://web.english.ufl.edu/english/exemplaria/calax.htm> Artikel di website “judul artikel.” Nama website (italic). Tahun terbit artikel. Tanggal dan tahun akses. BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 vii <link online artikel> Contoh: “Using Modern Language Association (MLA) Format.” Purdue Online Writing Lab. 2003. Purdue University. 6 Februari 2003. <http://owl.english.purdue. edu/handouts/research/r_mla.html>. Publikasi lembaga Nama lembaga. Judul artikel (italic). Oleh nama pemulis 1, nama penulis 2, dan seterusnya. Tanggal publikasi. Tanggal dan tahun akses <link online artikel> Contoh: United States. Dept. of Justice. Natl. Inst. Of Justice. Prosecuting Gangs: A National Assessment. By Claire Johnson, Barbara Webster, dan Edward Connors. Feb 1996. 29 June 1998 <http://www.ncjrs.org/txtfiles/pgang.txt>. BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 viii viii viii SAMBUTAN PIMPINAN UMUM Assalamu‟alaikum wr. W b. Alhamdulillah, Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa dengan ridhoNya BIMABI Volume 3 nomor 2 dapat kami terbitkan. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada seluruh tim penerbit, penulis, dan mitra bestari serta seluruh mahasiswa kesehatan Indonesia khususnya mahasiswa kebidanan yang telah berpartisipasi aktif dalam penerbitan BIMABI edisi pertama pada tahun 2015. Dukungan dari Asosiasi Institusi Pendidikan Kebidanan Indonesia (AIPKIND) serta Ikatan Lembaga Mahasiswa Kebidanan Indonesia (IKAMABI) merupakan dorongan besar sekaligus membatu kami menyelesaikan beberapa hambatan dan rintangan dalam proses pembuatan hingga penerbitan BIMABI sekaligus beberapa pihak yang ikut terlibat lainnya. Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (BIMABI) merupakan satu-satunya berkala ilmiah yang memuat hasil tulisan, karya tulis ilmiah dan penelitian dari mahasiswa kebidanan Indonesia. Tulisan yang termuat dalam BIMABI merupakan tulisan yang telah melalui hasil serangkaian seleksi dari tim redaksi dan mitra bestari diharapkan dapat meningkatkan dan menjadikan tulisan yang berkualitas tinggi. Besar harapan saya untuk BIMABI ini dapat bertahan tetap konsisten menerbitkan hasil tulisan mahasiswa kebidanan ditengah kurangnya minat publikasi tulisan mahasiswa kebidanan. Semoga dengan terbitnya BIMABI vol.3 no.2 ini dapat mendorong dam memotivasi mahasiswa kebidanan dalam meningkatkan kesadaran menulis ilmiah dan mempublikasikan tulisannya. Dengan adanya peningkatan itu saya yakin bahwa mahasiswa kebidanan dapat turut andil dalam peningkatan ilmu pengetahuan terlebih untuk profesi Bidan itu sendiri. Saya dan segenap jajaran pengurus mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan dalam penulisan maupun pemilihan kata. Kami dengan terbuka menerima kritik dan saran guna membuat BIMABI menjadi lebih baik. Selamat membaca dan semoga bermanfaat. Wassalamu‟alaikum wr.wb Malang, 30 Juni 2015 Winda Rinawan (Pimpinan Umum) BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 ix Penelitian FAKTOR RISIKO YANG BERPENGARUH PADA PERIODE KEHAMILAN, PERSALINAN DAN BAYI BARU LAHIR DENGAN AUTISME Anita Nurbayatin1, Sulistiawati2, Sunjoto3, Dwiyanti Puspitasari4 1 Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga Surabaya 2 Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Kedokteran Pencegahan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya 3 Departemen Obstetri Ginekologi, RSUD Dr.Soetomo Surabaya 4 Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo Surabaya ABSTRAK Pendahuluan : Autisme merupakan gangguan perkembangan pada anak yang mencakup bidang interaksi sosial, komunikasi dan perilaku. Insidensi dan prevalensi yang cenderung meningkat dengan faktor risiko yang multifaktoral. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis faktor risiko yang berpengaruh pada periode kehamilan, persalinan dan BBL dengan kejadian autisme. Metode : menggunakan desain kasus kontrol dengan melibatkan 50 anak autis (45 anak laki-laki, 5 anak perempuan, sebagian besar (60%) berusia ≤ 5 tahun) dan 50 anak saudara kandung dari anak autis yang normal sebagai kontrol (26 anak laki-laki, 22 anak perempuan dan sebagian besar (58%) berusia ≤ 5 tahun). Untuk menganalisis 12 faktor risiko pada periode (1). Kehamilan (perdarahan antenatal, jarak kehamilan ≤13 bulan, usia ibu hamil ≥ 35 tahun, depresi hamil, merokok aktif, perokok pasif), (2). Persalinan (ketuban pecah dini) dan (3). Usia BBL (BBLR, prematur, BBL tidak menangis spontan dan tubuh kebiru-biruan segera setelah lahir dan ikterus). Data primer yang diperoleh dari hasil wawancara semi structured kepada ibu. Hasil : Pada analisis bivariat dengan uji chi square variabel yang bermakna dengan autisme adalah perdarahan antenatal (P<0.001), jarak kehamilan ≤13 bulan (P=0.001), usia ibu hamil ≥ 35 tahun (P=0.019) dan ketuban pecah dini (P=0.006). Selanjutnya pada analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda, variabel yang berpengaruh dengan autisme dengan faktor risiko terbesar adalah perdarahan antenatal (P=0.002, OR=6.436), usia ibu hamil ≥ 35 tahun (P=0.033, OR=3.418) dan ketuban pecah dini (P=0.048,OR=4.454). Kesimpulan : Penting dilakukan perencanaan kehamilan terkait usia ibu hamil, pencegahan terjadinya komplikasi kehamilan dan persalinan untuk menghindari faktor risiko autisme. Kata kunci : Autisme , faktor risiko, kehamilan, kehamilan, persalinan, Bayi Baru Lahir (BBL) ABSTRACT Background : Autism is a dissorder in children development of social interraction, communication and habitual. The incidence and prevalence tend to increase recently with it’s multifactotal risk factors. This research aims to analyze the risk factors during prenatal, perinatal dan neonatal period of children that affect autism. Method : This study was a case control design that involving 50 autistic children (45 male,5 female, 60% ≤ 5 years old) and 50 normal siblings of the autistic children as control (26 male, 22 female and 58% ≤ 5 years old). We analyzed 12 risk factors during (1). Prenatal (antenatal bleeding, pregnancy distance ≤ 13 month, maternal age ≥ 35 years, depression in pregnancy, active smoking, passive smoking), (2). Perinatal (premature rupture of the membrane) and (3).Neonatal (low birth weight (LBW), prematurity, newborn who didn’t cry spontaneously, cyanosis and icterus). Primary data were obtained from semi-structured interview to mothers, and analyzed using chi square test and multivariate analysis. BIMABI Volume 3No.1 | Januari-Juni 2015 1 Result : From bivariate analysis, the significant factors influenced autism were: antenatal bleeding (P<0.001), pregnancy distance ≤ 13 month (P=0.001), maternal age ≥ 35 years (P=0.019) and premature rupture of the membrane (P=0.006) Multivariate analysis furthermore found antenatal bleeding (P=0.002, OR=6.436) , maternal age ≥ 35 years (P=0.033, OR=3.418) and premature rupture of the membrane (P=0.048, OR=4.454) as the significant factors. Conclusion : It is very important to have a planned pregnancy related with the maternal age, prevention of prenatal and perinatal complication to avoid the risk factors of autism. Key words : Autism, Risk factor, prenatal, perinatal, neonatal. 1. PENDAHULUAN Kejadian autisme semakin meningkat pesat seiring pertambahan waktu dengan faktor risiko yang luas dan multifaktoral. Autisme bisa terjadi pada siapapun tanpa ada perbedaan status sosial, ekonomi, pendidikan, golongan etnis, maupun bangsa. Insiden autis meningkat bila ada gangguan pada masa kehamilan dan persalinan. Dengan adanya gangguan saat prenatal, natal dan postnatal mengakibatkan proses perkembangan otak terganggu, sehingga di beberapa bagian otak anak autisme tumbuh tidak sempurna, seperti pada lobus frontalis, lobus temporalis, serebelum, hipokampus dan amigdala. Hal ini mengarahkan pada suatu hipotesis, bahwa awal terjadinya autisme adalah sebelum lahir. Faktor penyebab autisme dikelompokkan dalam beberapa periode, yaitu periode kehamilan, persalinan dan usia bayi. Pada periode kehamilan pertumbuhan dan perkembangan otak janin sangat pesat. Apabila terjadi gangguan pada masa kehamilan menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan otak janin terganggu. Selanjutnya pada periode persalinan dan neonatus merupakan periode yang paling menentukan dalam kehidupan bayi selanjutnya. Oleh karena itu, sangat penting untuk mengamati dan mencegah faktor risiko terjadinya gangguan pada masa kehamilan, persalinan dan BBL. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis hubungan faktor risiko yang berpengaruh pada periode kehamilan (perdarahan antenatal, jarak kehamilan ≤ 13 bulan dengan kelahiran anak sebelumnya, depresi ibu hamil, usia ibu hamil ≥ 35 tahun, aktivitas ibu merokok aktif dan perokok pasif), periode persalinan (ketuban pecah dini), periode usia bayi baru lahir (kelahiran BBLR, prematur, ikterus, BBL tidak menangis spontan dan tubuh kebiru-biruan segera setelah lahir) dengan kejadian autisme. 2. METODE Tempat penelitian ini dilakukan di tiga tempat terapi dan perawatan anak autis, antara lain : (1)“Alejo Academy”, berlokasi di Jl. Klampis Jaya no. 62 Surabaya. (2)“Education Autism Center Harapan Bangsa”, berlokasi di Puri Amerta Regency D-4 Randegansari, Driyorejo, Gresik. (3)”Yayasan Anak Terang”, berlokasi di Jl.Permata Tropodo Regency D-11, W aru, Sidoarjo. Ketiga tempat ini mempunyai jenis penanganan untuk sekolah dan terapi bagi anak – anak penyandang autis di wilayah Surabaya, Sidoarjo dan Gresik. Desain penelitian menggunakan kasus kontrol. Populasi kasus adalah seluruh anak autis di “Alejo Academy, Education Autism Center Harapan Bangsa dan Yayasan Anak Terang”. Dan populasi kontrol yang digunakan adalah saudara kandung dari anak autis. Teknik sampling yang digunakan adalah non probability type total sampling dengan kriteria inklusi yaitu : anak autis baik laki- laki maupun perempuan yang berada di tempat terapi dan perawatan anak autis di Alejo Academy, Education Autism Center Harapan Bangsa dan Yayasan Anak Terang, Ibu dari anak autis yang bersedia menjadi responden dan mempunyai anak yang normal (tidak autis). Dan sebagai kriteria eksklusi adalah : anak autis di Alejo Academy, Education Autism Center Harapan Bangsa dan dan Yayasan Anak Terang yang menderita gangguan penyakit lain, anak tunggal dan anak yang tidak pernah diantar orangtua nya. Pada saat pencarian sampel terdapat 8 anak autis dengan gangguan pendengaran dan cerebral palsy dan 12 anak merupakan anak tunggal. Sehingga didapatkan 61 anak yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. Selanjutnya terdapat 11 anak yang tidak pernah diantar orang tuanya. Pada ahirnya didapatkan jumlah sampel 50 anak autis sebagai kasus dan 50 anak saudara kandung sebagai kontrol. BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 2 Pengumpulan data yang digunakan dengan metode wawancara semi structured kepada ibu, yaitu menanyakan serentetan pertanyaan yang terstruktur, kemudian satu per satu diperdalam untuk mencari keterangan lebih lanjut. Dengan mengukur variabel dependen terlebih dahulu (kejadian anak autis) kemudian variabel independen yaitu: riwayat kehamilan (perdarahan antenatal, jarak kehamilan ≤ 13 bulan dengan kelahiran anak sebelumnya, depresi ibu hamil, usia ibu hamil ≥ 35 tahun, aktivitas ibu merokok aktif dan perokok pasif), riwayat persalinan (ketuban pecah dini), dan riwayat BBL (kelahiran BBLR, prematur, ikterus, BBL tidak menangis spontan dan tubuh kebiru-biruan segera setelah lahir) ditelusuri secara retrospektif untuk menentukan ada tidaknya faktor risiko. Analisis data pada penelitian ini yaitu: (1).Analisis deskriptif, yang menghasilkan presentase dari setiap variabel. (2).Analisis Inferensial, yaitu analisis bivariat dan multivariat. Analisis Bivariat untuk melihat hubungan antara masing-masing variabel independen dengan variabel dependen dengan uji Chi Square dan jika tidak memenuhi syarat dilakukan uji Fisher’s Exact. Selanjutnya, analisis multivariat untuk melihat variabel yang paling berpengaruh terhadap autisme, menggunakan uji regresi logistik ganda metode backward wald. 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1 Karakteristik umum sampel penelitian parameter Kelompok kasus kelompok kontrol n (%) n (%) Usia < 5 th 30 (60%) 29 (58%) 20 (40%) 21 (42%) 6 –11 th Jenis kelamin laki-laki 40 (80%) 26 (52%) 10 (20%) 24 (48%) perempuan Pada tabel 1 dapat diketahui bahwa pada kelompok kasus terdapat sebagian besar (60%) anak autis berusia <5 tahun. Dan pada kelompok kontrol sebagian besar (58%) anak berusia <5 tahun. Selanjutya pada kelompok kasus terdapat hampir seluruhnya (80%) anak berjenis kelamin laki-laki. Dan pada kelompok kontrol juga sebagian besar (52%) anak berjenis kelamin laki-laki. Hasil analisis yang digunakan pada penelitian ini yaitu analisis bivariat dan multivariat, adalah sebagai berikut : ANALISIS BIVARIAT Tabel 2 Hubungan periode prenatal, perinatal dan neonatal dengan autisme Periode Variabel Prenatal Perdarahan antenatal Jarak kehamilan ≤13 bulan dengan kelahiran sebelumnya Depresi ibu saat hamil Usia ibu saat hamil ≥ 35 tahun Ibu perokok aktif saat hamil Ibu perokok pasif saat hamil Komplikasi persalinan (Ketuban pecah dini) BBLR Lahir prematur BBL tidak menangis spontan Perinatal Neonatal Autisme Kasus Kontrol n % n % 21 42% 5 10% 10 20% 0 0% P OR X2 0,001 0,001 6,517 - 11.1 11a 2.211- 19.215 1.786 - 2.835 4 17 8% 34% 1 7 2% 14% 0,362 0,035 4,261 3,165 - 0.459-39.544 1.176 – 8.518 9 18% 5 10% 0,387 1,976 - 0.612 – 6.380 17 34% 16 32% 1,000 1,095 - 0.475 – 2.520 13 26% 3 6% 0,014 5,505 - 1.460 – 20.755 6 6 4 12% 12% 8% 1 2 2 2% 4% 4% 0,112 0,269 0,678 6,682 3,273 2.087 - 0.774 –57.695 0.627 –17.071 0.365 -11.948 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 - 95% CI 3 BBL tubuh kebirubiruan segera setelah lahir Ikterus 6 12% 2 4% 0,269 3.273 - 0,627 – 17,071 6 12% 3 6% 0.487 2.136 - 0.503 – 9.068 Pada variabel perdarahan antenatal dapat dilihat bahwa pada kelompok kasus hampir setengahnya (42%) ibu mempunyai riwayat perdarahan antenatal. Dan pada kelompok kontrol hanya sebagian kecil (10%) ibu dengan riwayat perdarahan antenatal. Pada saat dilakukan uji chi square didapatkan hubungan yang positif dengan nilai p < 0,001 dan OR = 6,517. Hal ini sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa, darah merupakan zat yang penting dalam menyalurkan glukosa dan oksigen dari ibu ke janin. Awal kehamilan merupakan masa terpenting dalam pembentukan otak janin, dimana janin memerlukan suplai darah yang cukup. Apabila ibu hamil mengalami perdarahan antenatal, maka suplai glukosa dan oksigen berkurang yang mengakibatkan terjadinya metabolisme anaerob glukosa + 2 ADP + 2 P1 2 asam laktat + 2 ATP + 2 H2O, berkurangnya ATP dan terjadinya penimbunan asam laktat akan mempercepat proses kerusakan sel-sel otak (neokrosis), disamping dapat menyebabkan kerusakan pompa ion sehingga terjadi depolarisasi anoksik yang mengakibatkan keluarnya ion K+ dan masuknya ion Na+ dan Ca+ ke dalam sel. Bersamaan dengan masuknya ion Na+ dan Ca+ air ikut masuk, akan menimbulkan edema dan mengakibatkan kerusakan sel otak [1]. Dan pada variabel jarak kehamilan ≤13 bulan dengan kelahiran anak sebelumnya, pkelompok kasus terdapat sebagian kecil (20%) jarak kehamilan anak autis ≤ 13 bulan dengan kelahiran anak sebelumnya dan pada kelompok tidak ada satupun (0%) dengan jarak kehamilan ≤ 13 bulan. Dari perhitungan uji chi square didapatkan hubungan yang bermakna dengan nilai p = 0,001. Secara teori menyatakan bahwa hubungan antara jarak kelahiran yang pendek akan terjadi penurunan gizi ibu, khususnya asam folat yang diperlukan selama kehamilan untuk sintesis DNA dan pembelahan sel. Kadar asam folat dan eritrosit akan menurun setidaknya 12 bulan setelah melahirkan, apabila ibu hamil pada masa ini dengan jarak ≤ 13 bulan dari kelahiran sebelumnya maka akan menyebabkan gangguan pada pertumbuhan dan perkembangan anak yang tidak optimal dalam rahim [2]. Kemudian pada variabel depresi ibu saat hamil dapat diketahui bahwa pada kelompok kasus terdapat sebagian kecil (8%) ibu yang mengalami depresi saat hamil. pada kelompok kontrol juga hanya sebagian kecil (2%) ibu yang depresi saat hamil. Dari perhitungan statistik uji Fisher’s Exact tidak didapatkan hubungan yang bermakna positif dengan nilai p = 0,362. Hal yang sama juga diungkapkan pada analisis penelitian oleh Vincent Guinchat (tahun 2011)[3] bahwa kondisi ibu yang stress selama kehamilan tidak memberikan hasil yang bermakna dengan kejadian autisme dengan nilap p>0,5. Oleh karena itu masih membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menentukan adanya faktor risiko. Pada variabel usia ibu saat hamil ≥ 35 tahun dapat diketahui bahwa pada kelompok kasus terdapat hampir setengahnya (34%) ibu hamil berusia ≥ 35 tahun dan pada kelompok kontrol hanya sebagian kecil (14%) ibu hamil berusia ≥ 35 tahun. Dari perhitungan statistik uji chi square didapatkan hubungan yang bermakna dengan nilai p = 0,035 dan OR = 3,165. Hasil penelitian ini sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa pada ibu yang berusia lanjut meningkatkan kemungkinan kelainan kromosom pada keturunannya, dan risiko kerusakan otak janin pada saat kehamilan, menyebabkan down Syndrome, disleksia, keterbelakangan mental, memiliki risiko meningkat untuk mendapatkan anak dengan kelainan genetik yang memegang peran dalam autisme, karena terjadi non disjunction antara sel sperma dan sel telur yang disebabkan karena kualitas dari ovum yang kurang baik dari ibu yang berusia lanjut. Setiap pertambahan lima tahun, risiko wanita memiliki anak autisme meningkat sebesar 18 persen. Artinya, wanita yang berusia diatas 40 tahun memiliki risiko 50 persen untuk mempunyai anak autisme daripada mereka yang melahirkan di usia 25-29 tahun[4]. Dan pada variabel ibu yang merokok aktif saat hamil dapat diketahui bahwa pada BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 4 kelompok kasus terdapat sebagian kecil (18%) ibu yang merokok aktif saat hamil, dan pada kelompok kontrol juga terdapat sebagian kecil (10%) ibu yang merokok aktif saat hamil. Pada saat dilakukan uji chi square didapatkan hubungan yang tidak bermakna dengan nilai p = 0,387. Hal yang sama juga diungkapkan pada penelitian kohort oleh Vincent Guinchat (2011)[3] bahwa ibu yang merokok aktif selama kehamilan tidak memberikan hasil yang bermakna dengan autisme dengan nilap p > 0,2. Selanjutnya pada variabel ibu perokok pasif saat hamil dapat diketahui bahwa pada kelompok kasus terdapat hampir setengahnya (34%) ibu hamil sebagai perokok pasif, dan pada kelompok kontrol juga terdapat hampir setengahnya (32%) ibu sebagai perokok pasif saat hamil. Pada saat dilakukan uji chi square didapatkan hubungan yang tidak bermakna dengan nilai p = 1,000. Hal yang sama juga diungkapkan pada penelitian kohort oleh Vincent Guinchat (tahun 2011)[3] bahwa perokok pasif selama kehamilan tidak memberikan hasil yang bermakna dengan kejadian autisme dengan nilap p> 0,4. Pada variabel komplikasi persalinan yang didapat dalam kasus penelitian adalah ketuban pecah dini, dapat diketahui bahwa pada kelompok kasus terdapat hampir setengahnya (26%) terjadi komplikasi persalinan pada saat kelahiran anak autis, dan pada kelompok kontrol terdapat sebagian kecil (6%) ibu yang mengalami komplikasi persalinan. Jenis komplikasi persalinan yang ditemukan pada data yaitu ketuban pecah dini. Dari perhitungan statistik uji chi square didapatkan hubungan yang bermakna dengan nilai p = 0,014 dan OR = 5,505. Hal ini sesuai dengan teori bahwa KPD menimbulkan beberapa risiko yang dapat membahayakan bila tidak ditangani dengan serius. Diantaranya menyebabkan oligohidramnion yang menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia pada BBL. Terdapat hubungan antara terjadinya gawat janin dan derajat oligohidramnion, semakin sedikit air ketuban, maka semakin gawat kondisi janin. Janin lebih rentan terinfeksi intrauterin. Apabila terjadi infeksi dan gawat janin akan menyebabkan gangguan pada otak anak [5]. Kemudian pada variabel kelahiran BBLR dapat diketahui bahwa pada kelompok kasus terdapat sebagian kecil (12%) anak autis yang lahir BBLR, dan pada kelompok kontrol juga sebagian kecil (2%) anak yang BBLR. Dari perhitungan statistik uji Fisher’s Exact tidak didapatkan hubungan yang bermakna positif dengan nilai p = 0,117. Penelitian yang sama diungkapkan oleh Hexanto berdasarkan riset yang dilakukan di Semarang pada tahun 2004, bahwa kelahiran BBLR tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan kejadian autisme dengan nilai tidak signifikan, yaitu p value = 0,130. Dan pada variabel kelahiran prematur dapat diketahui bahwa pada kelompok kasus sebagian kecil (12%) anak autis lahir prematur, dan pada kelompok kontrol juga terdapat sebagian kecil (4%) anak yang lahir prematur. Pada saat dilakukan uji Fisher’s Exact tidak didapatkan hubungan yang bermakna positif dengan nilai p = 0,269. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Hannah Gardener berdasarkan atas penelitian retrospektif terhadap 100 kelahiran bayi yang dilakukan di Hongkong pada tahun 2011 yaitu hubungan kelahiran prematur dengan autisme didapatkan hasil yang tidak bermakna dengan nilai p = 0,59 dan nilai OR = 1,24. Selanjutnya pada variabel BBL tidak menangis spontan dan tubuh kebiru-biruan segera setelah lahir dapat diketahui bahwa pada kelompok kasus terdapat sebagian kecil (8%) anak autis mempunyai riwayat tidak menangis spontan segera setelah lahir dan juga terdapat sebagian kecil (4%) pada kelompok kontrol. Pada saat dilakukan uji Fisher’s Exact didapatkan hubungan yang tidak bermakna nilai p value = 0,678. Dan pada kelompok kasus terdapat sebagian kecil (12%) anak autis dengan tubuh kebiru-biruan segera setelah lahir dan juga terdapat sebagian kecil (4%) pada kelompok kontrol. Pada saat dilakukan uji Fisher’s Exact didapatkan hubungan yang tidak bermakna nilai p value = 0,269. Hal yang sama juga diungkapkan pada sebuah penelitian prospektif oleh Stein pada tahun 2006[6] tentang “markers of hipoxia lack of first cry, breath or oxygen & blue baby with autism children” tidak memberikan hasil yang bermakna dengan nilai p > 0,55. Dan pada variabel ikterus dapat diketahui bahwa pada kelompok kasus terdapat sebagian kecil (12%) anak autis mempunyai riwayat bayi kuning dan terdapat sebagian kecil (6%) pada BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 5 kelompok kontrol. Pada saat dilakukan uji Fisher’s Exact didapatkan hubungan yang tidak bermakna dengan nilai p value = 0,48. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Williams berdasarkan atas penelitiannya tahun 2008[7] tentang “other specific conditions at birth of hyperbilirubinemia with autism children” tidak mempunyai hubungan yang bermakna dengan nilai p > 0,38. ANALISIS MULTIVARIAT Tabel 3 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian autisme berdasarkan tingkat risiko yang terbesar sampai terkecil Variabel B P value OR (Exp.B) 95 % CI (Exp.B) perdarahan 1.862 0.002 6.436 2.005- 20.662 antenatal komplikasi 1.494 0.048 4.454 1.012 –19.596 persalinan usia ibu hamil ≥ 1.229 0.033 3.418 1.106 – 10.561 35tahun Dari tabel 13 dapat diketahui bahwa faktor risiko yang paling berpengaruh dengan kejadian autisme adalah : perdarahan antenatal, komplikasi persalinan dan usia ibu hamil ≥ 35 tahun. 4. KESIMPULAN DAN SARAN Terdapat hubungan antara perdarahan antenatal, usia ibu hamil ≥ 35 tahun dan terjadinya komplikasi persalinan (ketuban pecah dini) dengan kejadian autisme. Faktor risiko lain yaitu: jarak kehamilan ≤ 13 bulan dengan kelahiran sebelumnya, depresi hamil, perilaku ibu merokok aktif dan paparan pasif yang terjadi selama hamil, kelahiran BBLR, prematur, ikterus, BBL tidak menangis spontan dan tubuh kebiru-biruan segera setelah lahir dalam penelitian ini tidak menunjukkan adanya hubungan dengan kejadian autisme. Untuk menghindari faktor risiko terjadinya autisme pada anak yang dilahirkan, maka sangat diperlukan perencanaan kehamilan terkait usia ibu hamil, pencegahan terjadinya komplikasi kehamilan dan persalinan. Perlu penelitian lebih lanjut terhadap variabel lain yang diduga berpengaruh terhadap kejadian autisme. 3. Guinchat,Vincent, Thorsen,Poul, Laurent,Claudine, Cans,Christine, Bodeau,Nicolas 2011,“Prenatal, Perinatal And Neonatal Risk Factor For Autism”, no.91, pp. 287300 4. D.King, Marissa, Fountain, Christine, Dakhallah, Diana And Bearman,Peter 2009, “Estimated Autism Risk And Older Reproductive Age”, Public Health, vol. 99, no. 9, pp.1673-1679 5. Manuaba, IBG, dkk. 2010. Ilmu Kebidanan Penyakit Kandungan Dan KB. Jakarta : EGC 6. Stein,2006,“Markers Of Hipoxia Lack Of First Cry, Breath Or Oxygen & Blue Baby With Autism Children”, Pediatric. 7. Williams, 2008,” Other Specific Conditions At Birth Of Hyperbilirubinemia With AutismChildren”,retrivied at Maret 12,2013, from Http://Iacc.Hhs.Gov/ Events/2012 DAFTAR PUSTAKA 1. Frase, Diane M And Cooper Margaret A. 2009. Buku Ajar Bidan Myles. Jakarta: EGC 2. Postava kelly, Liu Kayuet, Bearman peter 2011. “Closely Spaced Pregnancies Are Associated With Increased Odds of Autism in California Sibling Births”, vol.127(2): pp 246–253. BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 6 Penelitian Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Keterlambatan Perkembangan Global pada Balita Dita Rahmaika Arumsari1, Muhammad Faizi2, Djohar Nuswantoro3, Sri Utami4 1 Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya 2 Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUD Dr.Soetomo, Surabaya 3 Departemen Ilmu kesehatan Masyarakat Kedokteran Pencegahan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya 4 Sekretaris Jurusan Kebidanan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya ABSTRAK Pendahuluan : Periode terpenting perkembangan anak adalah dibawah umur dua tahun. Keterlambatan perkembangan global (KPG) merupakan bagian dari keterlambatan perkembangan. Di Poli Tumbuh Kembang RSUD dr Soetomo Surabaya, gangguan perkembangan yang paling banyak ditemukan adalah keterlambatan perkembangan global. Tujuan penelitian, untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan global pada balita di Poli Tumbuh Kembang RSUD dr Soetomo Surabaya. Metode : analitik dengan pendekatan case control. Populasi kelompok kasus adalah balita yang didiagnosa Keterlambatan Perkembangan Global pada bulan Maret 2013. Populasi kelompok kontrol adalah balita dengan perkembangan normal pada bulan Januari 2010Maret 2013. Pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling untuk kelompok kasus dan simple random sampling untuk kelompok kontrol. Besar sampel 40 balita dengan perbandingan kasus:kontrol (1:1). Sumber data dari rekam medik. Analisis data menggunakan uji Chi-square dan regresi logistik. Hasil : faktor-faktor yang terbukti berpengaruh: berat badan lahir (ρ=0,012; OR=45,596), penyakit kronis (ρ=0,015; OR=9,021), status gizi balita (ρ=0,029; OR=5,907) dan urutan anak (ρ=0,005; OR=0,076) dengan probabilitas 98,4%. Faktor-faktor yang tidak berpengaruh: paparan rokok dalam kehamilan (ρ=0,108), riwayat komplikasi kehamilan ibu ρ=0,432), infeksi dalam kehamilan ibu (ρ=1,000), jenis persalinan (ρ=1,000), asfiksia (ρ=0,005), dan prematuritas (ρ=0,000). Kesimpulan : keterlambatan perkembangan global pada balita di Poli Tumbuh Kembang RSUD Dr. Soetomo Surabaya dipengaruhi oleh berat badan lahir, penyakit kronis, status gizi balita, dan urutan anak. Kata kunci: Keterlambatan Perkembangan Global, Faktor-Faktor Risiko, berat badan lahir, penyakit kronis, status gizi balita, urutan anak, paparan rokok dalam kehamilan, riwayat komplikasi kehamilan ibu, infeksi dalam kehamilan ibu, jenis persalinan, asfiksia, prematuritas ABSTRACT Background : The most important period of children development is in a term below two years old. The lateness of global development (KPG) is a part of development lateness. In Tumbuh Kembang poly RSUD dr Soetomo Surabaya, the most frequent development interference is the lateness of global development (KPG). The objective of this study is to identify the risk factors which affects the lateness of global development (KPG) to children with age below five years old in Tumbuh Kembang poly RSUD dr Soetomo Surabaya. Method : The research applies analytic method with case control approach. The population of the case group is children with age below five years old diagnosed with the lateness of global development (KPG) in March 2013. The population of the control group is children with age below five years old with normal development in January 2010 – March 2013. The BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 7 sampling technique adopts total sampling technique for the case group and simple random sampling for the control group. The ratio of case: control is 1:1 for 40 sample of children with age below five years old. Result : The data source is the medical record. Data analysis use Chi-square and logistic regression. The findings of the research mention the influenced factors which are: baby born-weight (ρ=0,012; OR=45,596), chronical disease (ρ=0,015; OR=9,021), children nutrient status (ρ=0,029; OR=5,907), and childbirth sequence (ρ=0,005; OR=0,076) with probability about 98.4%. The non-influenced factors are: pregnancy smoking exposure (ρ=0,108), mother pregnancy complication record (ρ=0,432), mother pregnancy infection (ρ=1,000), childbirth type (ρ=1,000), asphyxia (ρ=0,005), and prematurity (ρ=0,000). Conclusion : The research concludes that the lateness of global development (KPG) in Tumbuh Kembang poly RSUD dr Soetomo Surabaya is affected by baby born-weight, chronical disease, children nutrient status, and childbirth sequence. Keywords : the lateness of global development, risk factors, baby born-weight, chronical disease, children nutrient status, and childbirth sequence, pregnancy smoking exposure, mother pregnancy complication record, mother pregnancy infection, childbirth type, asphyxia, and prematurity. 1. PENDAHULUAN Perkembangan anak merupakan suatu kesatuan yang utuh yang mengantarkan anak menjadi manusia dewasa dengan fungsi yang optimal. Setiap anak berkembang dengan kecepatan dan ketepatan yang berbeda. Walaupun ada perbedaan individual, tetapi secara keseluruhan tahapan perkembangan dapat diukur dengan patokan yang berlaku[1]. Periode terpenting pertumbuhan dan perkembangan anak adalah umur dibawah 5 tahun[2]. Beberapa domain perkembangan tersebut antara lain motorik halus, motorik kasar, berbahasa/bicara, personal social/interaksi sosial, kognitif, dan aktivitas sehari-hari. Global Developmental Delay (GDD) atau Keterlambatan Perkembangan Global (KPG), merupakan suatu keadaan ditemukannya keterlambatan yang bermakna lebih atau sama dengan 2 domain perkembangan. Keterlambatan bermakna artinya pencapaian kemampuan pasien kurang dari 2 standar deviasi (SD) dibandingkan dengan rerata populasi pada umur yang sesuai[2]. Angka kejadian keterlambatan perkembangan secara umum sekitar 10% anak-anak di seluruh dunia[2]. Di Poli Tumbuh Kembang Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya, pada bulan Januari 2013 sampai Maret 2013, gangguan yang paling panyak ditemukan adalah Global developmental delay (GDD) atau keterlambatan perkembangan global (KPG) yaitu sebesar 39,1%. Tujuan peneneltian ini adalah untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan global pada balita di Poli Tumbuh Kembang Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya. 2. METODE Penelitian ini dilakukan di Poli Tumbuh Kembang Anak RSUD Dr Soetomo Surabaya. Penelitian dilakukan pada tanggal 21-28 Mei 2013. Penelitian menggunakan analitik obsevasional dengan pendekatan Case Control. Populasi kelompok kasus adalah seluruh balita yang memeriksakan diri di Poli Tumbuh Kembang anak RSUD Dr Soetomo dengan diagnosa keterlambatan perkembangan global pada bulan Maret 2013. Populasi pada kelompok kontrol adalah balita dengan diagnosa perkembangan normal yang memeriksakan diri di Poli Tumbuh Kembang anak RSUD Dr Soetomo pada Januari 2010 – Maret 2013. Teknik sample pada kelompok kasus menggunakan total sampling. Jumlah balita dengan diagnosa keterlambatan perkembangan global pada bulan Maret 2013 berjumlah 40 balita. Sampel pada kelompok kontrol menggunakan teknik simple random sampling dengan besar sampel 40 balita (perbandingan 1:1). Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah balita dengan usia 1 - <5 tahun. Sedangkan criteria ekslusi adalah sumber data dalam rekam medis yang tidak lengkap. Variabel bebas adalah berat badan lahir, paparan rokok (aktif/pasif dalam satu rumah) pada waktu kehamilan ibu, riwayat infeksi (TORCH dan IMS) dalam kehamilan ibu, komplikasi kehamilan ibu (DM, Hipertensi, Pre eklamsia/eklamsi), jenis persalinan, asfiksia, prematuritas, status gizi balita, penyakit kronis, dan urutan anak. Variabel BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 8 terikat adalah keterlampabat menggunakan uji statistik regresi logistik perkembangan global. ganda. Data diproses melalui SPSS for Sumber data didapatkan dari rekam Windows 16. medis dan buku register pasien poli tumbuh kembang RSUD dr Soetomo periode 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Januari 2010 - Maret 2013. Responden Pada kelompok kasus sebagian kelompok kasus dan kontrol dicatat nomor besar responden berjenis kelamin perempuan yaitu sebesar 55%, sedangkan rekam mediknya melalui buku register pasien poli tumbuh kembang RSUD dr pada kelompok kontrol sebagian besar Soetomo periode Januari 2010 - Maret berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar 2013. Variabel-variabel yang diteliti dalam 57.5%. Pada kelompok kasus maupun rekam medis responden dicatat pada kelompok kontrol, hampir setengahnya lembar pengumpulan data. berusia 12-23 bulan, yaitu sebesar 45% (18 Analisis data yang diguakan dalam responden) pada kelompok kasus dan penenitian ini yaitu: (1) Analisis Bivariat sebesar 30% (12 responden) pada digunakan untuk melihat hubungan antara keompok kontrol. Pada kelompok kasus masing-masing variabel independen maupun kelompok kontrol, hampir dengan variabel dependen dengan setengahnya ibu berusia 26-30 tahun, yaitu menggunakan analisis uji Chi Square dan sebesar 37.5% pada kelompok kasus dan jika tidak memenuhi syarat dilakukan uji 42.5% pada kelompok kontrol. Hampir Fisher’s Exact. (2) Analisis multivariat untuk setengahnya ibu hamil pada usia 26-30 melihat variabel yang paling berpengaruh tahun, yaitu sebesar 40% baik kelompok terhadap kejadian keterlambatan kontrol maupun kelompok kasus (Tabel 1). perkemabangan global (KPG), yaitu Tabel 1. Karakteristik data umum responden penelitian Karakteristik Kasus Kontrol n = 40 n = 40 F % F % Jenis Kelamin Laki-laki 18 45 23 57.5 Perempuan 22 55 17 42.5 Usia (Bulan) 12-23 18 45 12 30 24-35 8 20 9 22.5 36-47 4 10 8 20 48-59 10 25 11 27.5 Usia Ibu (Tahun) <21 0 0 0 0 21-25 5 12.5 9 22.5 26-30 15 37.5 17 42.5 31-35 12 30 10 25 >35 8 20 4 10 Usia Ibu Saat Hamil (Tahun) <21 2 5 5 12.5 21-25 10 25 15 37.5 26-30 16 40 16 40 31-35 8 20 3 7.5 >35 4 10 1 2.5 Pada kelompok kasus hampir seluruhnya memiliki domain keterlambatan lebih dari 2 aspek, yaitu sebesar 87.5% (Tabel 2). BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 9 Tabel 2. Distribusi balita kelompok kasus berdasarkan doamain keterlambatan Domain Keterlambatan F % 2 5 12.5 >2 35 87.5 Total 40 100 Berdasarkan analisis bivariat, didapatkan hubungan yang bermakna pada berat badan lahir (p = 0,005), asfiksia (p =0,000), prematuritas (p = 0,026), status gizi balita (p = 0,000), penyakit kronis (p = 0,000), dan urutan anak (p = 0,001) (Tabel 3). Tabel 3. Analisis bivariat faktor-faktor yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan global pada balita Perkembangan KPG Total Variabel Kategori Normal p value* ( =0,05) Berat Badan Lahir Paparan rokok dalam kehamilan ibu BBLR BBLN F 11 29 (%) 91,7 42,6 F 1 39 (%) 8,3 57,4 F 12 68 (%) 100 100 0,005 Ya Tidak 6 34 85,7 46,6 1 39 14,3 53,4 7 73 100 100 0,108 Ya 5 71,4 2 28,6 7 100 Tidak 35 47,9 38 52,1 73 100 Ya 0 0 1 100 1 100 Tidak 40 50,6 39 49,4 79 100 Ya Tidak 16 24 100 37,5 0 40 0 62,5 16 64 100 100 0,000 Ya Tidak Pervaginam dengan Tindakan Pervaginam 6 34 100 45,9 0 40 0 54,1 6 74 100 100 0,026 0 0 1 100 1 100 Riwayat Komplikasi Kehamilan (DM, hipertensi, preeklamsia/eklamsia) Ibu Riwayat Infeksi (TORCH dan IMS) dalam Kehamilan Ibu Asfiksia . Prematuritas Jenis Persalinan 0,432 1,000 1,000 40 50,6 39 49,4 79 100 25 80,6 6 19,4 31 100 Gizi Baik 15 30,6 34 69,4 49 100 Ya 22 81,5 5 18,5 27 100 Tidak 18 34 35 66 53 100 atau SC Status Gizi Balita Gizi Kurang/Buruk 0,000 Penyakit Kronis . BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 0,000 10 Urutan Anak Anak Pertama 13 31,7 28 68,3 41 100 69,2 12 30,8 39 100 Anak Kedua 0,001 27 dst Berdasarkan analisis multivariat regresi logistik berganda, menunjukkan adanya hubungan yang bermakna pada berat badan lahir, status gizi balita, penyakit kronis, dan urutan anak. Variabel yang paling berpengaruh adalah berat badan lahir. Balita dengan berat bayi lahir rendah (BBLR) memiliki risiko 45,596 kali lebih besar (95% CI = 2,294 – 906,211) dibandingkan dengan balita dengan berat bayi lahir normal (BBLN). Balita yang pernah atau sedang menderita penyakit kronis memiliki risiko 9,021 kali lebih besar (95% CI = 1,537 – 52,962) dibandingkan dengan balita yang tidak pernah atau tidak sedang menderita penyakit kronis. Balita dengan status gizi kurang/buruk memiliki risiko 5,907 kali lebih besar (95% CI = 1,196 – 29,167) dibandingkan balita dengan status gizi baik. Balita yang merupakan anak pertama memiliki risiko 0,076 kali lebih besar (95% CI = 0,013 – 0,450). Karena nilai OR pada urutan anak 0,076 < 1, maka anak pertama mencegah terjadinya KPG dibandingkan anak kedua dan seterusnya (Tabel 4). Tabel 4. Analisis multivariat faktor-faktor yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan global pada balita 95% CI p value Variabel B OR EXP (B) Berat Badan Lahir 3,820 0,012 45,596 2,294 – 906,211 Penyakit Kronis 2,200 0,015 9,021 1,537 – 52,962 Status Gizi Balita 1,776 0,029 5,907 1,196 – 29,167 Posisi Anak -2,582 0,005 0,076 0,013 – 0,450 Constant -1,002 Variabel yang paling berpengaruh adalah berat badan lahir berdasarkan hasil uji regresi logistik ganda. Balita dengan berat bayi lahir rendah (BBLR) memiliki risiko 45,596 kali lebih besar (95% CI = 2,294 – 906,211) dibandingkan dengan balita dengan berat bayi lahir normal (BBLN). Balita yang pernah atau sedang menderita penyakit kronis memiliki risiko 9,021 kali lebih besar (95% CI = 1,537 – 52,962) dibandingkan dengan balita yang tidak pernah atau tidak sedang menderita penyakit kronis. Balita dengan status gizi kurang/buruk memiliki risiko 5,907 kali lebih besar (95% CI = 1,196 – 29,167) dibandingkan balita dengan status gizi baik. Balita yang merupakan anak pertama memiliki risiko 0,076 kali lebih besar (95% CI = 0,013 – 0,450). Karena nilai OR pada urutan anak 0,076 < 1, maka anak pertama mencegah terjadinya KPG dibandingkan anak kedua dan seterusnya. 0,068 0,367 4. PEMBAHASAN Beberapa penelitian menemukan bahwa bayi dengan Intra Uterine Growth Retardation mengalami tingkat perkembangan yang rendah. IUGR menunjukkan kendala dalam nutrisi janin selama masa kritis perkembangan otak. Anak yang lahir dengan berat badan lahir rendah memiliki risiko 2,6 kali lebih besar untuk terjadinya keterlambatan perkembangan[3]. Penelitian yang sama juga dilakukan oleh Soleimani F pada tahun 2008 di Iran yang menyatakan bahwa ada hubungan antara berat badan lahir rendah dengan keterlambatan perkembangan dengan nilai p 0,006. Masalah perkembangan syaraf terjadi dua sampai lima kali lebih besar pada bayi dengan berat badan lahir rendah. Di negara-negara barat, prevalensi dari gangguan perkembangan syaraf – mental pada bayi dengan berat badan lahir 1500 – 2500 gram sebesar 8% dan naik sampai BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 11 15% pada berat lahir 1001 – 1500 gram [4]. Hasil penelitian tidak sesuai dengan teori yang menyatakan bahwa paparan rokok pada kehamilan dapat mempengaruhi perkembangan anak [5]. Penelitian yang dilakukan oleh Naomi B. pada tahun 2005 menyatakan bahwa pada ibu dengan paparan rokok saat kehamilan, berisiko 6,8 kali mempunyai anak dengan kecerdasan intelektual yang rendah. Penelitian yang dilakukan oleh David L. pada tahun 1994 menyatakan bahwa paparan rokok saat kehamilan dapat mengakibatkan gangguan perkembangan neurologis pada anak. Hasil yang tidak bermakna ini kemungkinan disebabkan oleh jumlah sampel yang terlalu sedikit dan waktu penelitian yang singkat. Pada penelitian ini, terdapat 6 balita yang terapapar rokok dalam kehamilan ibu, namun paparan rokok tersebut adalah p paparan rokok pasif. Pada pemeriksaan antenatal, ibu hamil selalu diberikan konseling oleh tenaga medis tentang bahaya asap rokok terhadap janin dalam kandungan. Oleh sebab itu, ibu hamil yang rutin memeriksakan kehamilannya, cendenrung akan menghindari paparan asap rokok baik aktif maupun pasif. Hal penelitian tidak sesuai dengan teori yang menyebutkan bahwa diabetes gestational bersifat teratogenik sehingga dapat mengakibatkan anomali kongenital dan defek susunan syaraf pusat. Hipertensi dan preeklamsi/eklamsi mempunyai ikatan erat dengan angka kesakitan dan kematian janin[6]. Penelitian yang dilakukan oleh T. Fatemeh pada tahun 2012 di Iran menyatakan bahwa kehamilan dengan resiko tinggi, termasuk diabetes gestational, hipertensi, dan preeklamsia/ekalmsia mempunyai hubungan yang signifikan dengan keterlambatan perkembangan pada anak usia 4 – 60 bulan. Hasil penelitian ini senada dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Bang pada tahun 2008 di Korea yang menyebutkan bahwa komplikasi kehamilan, termasuk diabetes gestational, hipertensi, dan preeklamsia / ekalmsia tidak mempunyai hubungan signifikan dengan perkembangan anak dengan nilai signifikansi ρ value < α (0,080 > 0,05). Hasil yang tidak bermakna ini disebabkan oleh jumlah sampel yang terlalu sedikit dan waktu penelitian yang kurang. Ibu hamil dengan komplikasi kehamilan seperti diabetes, hipertensi, preeklamsi/ekalmsi akan mendapatkan penanganan yang tepat bila rutin memeriksakan kehamilannya. Intervensi yang diberikan oleh dokter spesialis obstetri dan ginekologi, akan meminimalkan kemungkinan morbiditas pada janin yang akan berpengaruh pada perkembangannya kelak. Penelitian ini tidak mendukung teori yang ada dimana infeksi trimester pertama dan kedua oleh TORCH (toxoplasma, Rubella, Sitomegalovirus, herpes Simplex) dan PMS (penyakit menular seksual) dapat mengakibatkan kelainan janin seperti katarak, bisu, tuli, mikrosefali, retardasi mental dan kelainan jantung kongenital[7[. Infeksi TORCH dan PMS dapat mengganggu pertumbuhan dan maturasi otak [2]. Hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh balita yang menderita KPG tidak memiliki riwayat infkesi (TORCH dan IMS) pada kehamilan ibu. Di Indonesia, infeksi intrauterine yang sering ditemui adalah infeksi toxoplasma dan cytomegalovirus. Infeksi tersebut tidak selalu diikuti dengan gejala. Jika diikuti dengan gejala, gejala yang timbul biasanya hanya bersifat ringan. Tidak semua ibu hamil dalam melakukan pemeriksaan antenatal difasilitasi dengan skrining TORCH. Hal ini dapat menjelaskan mengapa hasil penelitian tidak bermakna. Hasil penelitian ini tidak sesuai teori menurut Tanuwidjaya dalam Moersintowarti 2010 yang menyatakan bahwa asfiksia pada bayi baru lahir dapat menyebabkan kerusakan otak. Otak bayi yang mengalami asfiksia membengkak dan aliran darahnya terbendung, sel-sel otak terutama di daerah hipotalamus, ganglion basal, serebelum, dan lapisan III, IV, V, dan korteks serebri banyak yang rusak. Kerusakan otak tersebut akan mempengaruhi perkembangan bayi pada tahap selanjutnya[8]. Penelitian di India yang dilakukan oleh Sachdeva S. pada tahun 2010 menujukkan bahwa asfiksia tidak mempunyai hubungan yang bermakna terhadap keterlambatan perkembangan global pada bayi dan balita. Penelitian randomized control trial pada beberapa tempat termasuk di India, membuktikan bahwa udara ruangan dengan oksigen BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 12 100% untuk resusitasi pada bayi aterm dengan asfiksia tidak menyebabkan gangguan perkembangan syaraf sampai umur dua tahun. Hal ini dapat menjelaskan perkembangan yang normal pada balita dengan riwayat tidak langsung menangis saat lahir[9]. Pada penelitian ini, penilaian asfiksia tidak berdasarkan apgar score, tetapi berdasarkan bayi langsung menangis atau tidak saat lahir. Di Indonesia, setiap tempat persalinan, baik di rumah sakit, di klinik bersalin, maupun di tempat praktek bidan sudah dilengkapi dengan alat resusitasi bayi baru lahir. Tenaga kesehatan penolong persalinan sudah banyak dibekali dengan pelatihan manajemen resusitasi pada bayi baru lahir. Jika saat menolong persalinan didapatkan bayi yang tidak langsung menangis, resusitasi segera dilakukan sesuai prosedur tetap yang sudah ada. Dengan manajemen resusitasi yang baik, bayi dengan asfiksia dapat tertolong dari periode kritis. Hasil penelitian tidak sesuai dengan teori yang menjelaskan bahwa mayoritas bayi prematur mengalami pengurangan volume otak. Kerusakan otak pada bayi premature yang bersifat akut akan menyebabkan kerusakan kronik yang progresif yang berakibat berkurangnya volume white matterotak dan mielenisasi yang terlambat[1]. Studi tentang konsekuensi keterlambatan perkembangan pada bayi premature dilaporkan sebagai faktor risiko utama untuk keterlambatan perkembangan[10]. Hasil yang tidak bermakna mungkin disebabkan karena jumlah sampel yang terlalu sedikit dan waktu penelitian yang singkat. Hal ini dapat dilihat dari data yang menunjukkan hanya terdapat 6 balita yang lahir prematur. Selain itu keterlambatan perkembangan global dipengaruhi oleh multifaktor. Bayi yang dilahirkan prematur bisa jadi mengalami perkembangan yang normal bila faktor-faktor penentu pertumbuhan dan berkembangan yang lain dipenuhi dengan baik. Hasil penelitian tidak sesuai dengan teori bahwa riwayat kelahiran pervaginam dengan tindakan seperti vakum ekstraksi atau forceps dapat menyebabkan terjadinya kerusakan otak [11]. Menurut peneliti, hasil yang tidak bermakna tersebut disebabkan oleh sudah jarangnya penggunaan vakum ekstraksi maupun forceps dalam pertolongan persalinan. Berdasarkan hasil penelitian, hanya terdapat 1 balita dari seluruh responden yang lahir secara pervaginam dengan tindakan (vakum/forcep). Indikasi persalinan dengan vakum ekstraksi antara lain pada ibu yang mempunyai penyakit jantung, penyakit paru fibrotic dan kala II yang memanjang. Sedangkan indikasi persalinan forceps ialah ibu dengan preekalmisa/eklamsia, rupture uteri yang membakat, ibu dengan penyakit jantung dan paru-paru, adanya gawat janin, dan kala II yang memanjang. Saat ini, ibu maupun janin dengan indikasi diatas, biasanya dilakukan operasi caesar (SC) yang sudah direncanakan, maupun yang mendadak. Operasi Caesar (SC) meminimalkan resiko trauma pada kepala bayi, sehingga pemilihan jenis persalinan untuk forcep maupun vakum ekstraksi untuk saat ini sudah jarang dilakukan. Untuk tumbuh dan berkembang, anak mebutuhkan zat gizi esensial mencakup protein, lemak, karbohidrat, vitamin, mineral, dan air yang harus dikonsumsi secara seimbang sesuai dengan tahapan usianya. Anak dapat mengalami hambatan pertumbuhan dan perkembangan hanya karena kurang adekuatnya asupan zat gizi tersebut[12]. Defisiensi nurien tertentu sangat menentukan perkembangan susunan syaraf pusat maupun perifer yang menimbulkan kelainan neurologis (Medina, 2008). Anak dengan malnurisi mempunyai risiko yang lebih besar untuk keterlambatan perkembangan. Sebuah review sistematis menyebutkan bahwa pada balita dan anak-anak, berat badan kurang dan kekerdilan juga berhubungan dengan apatis, kurangnya pengaruh positif, dan rendahnya tingkat bermain. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Sitaresmi pada tahun 2008 yang menyatakan bahwa status gizi pada anak berpengaruh terhadap keterlambatan perkembangan. Status kesehatan anak dapat berpengaruh pada pencapaian pertumbuhan dan perkembangan. Bila anak menderita penyakit kronis, maka pencapaian kemampuan untuk maksimal dalam tumbuh kembang akan terhambat karena anak memiliki masa kritis [5]. Penyimpangan perkembangan yang terjadi akibat dari gejala/kelainan yang menetap, pengobatan yang lama, BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 13 keterbatasan aktivitas atau mobilitas, atau keterbatasan terhadap kegiatan sekolah, rekreasi, bermain, aktivitas keluarga da pekerjaan[7]. Tidak dapat dipungkiri bahwa anak yang berada dalam kondisi sehat, maka percepatan untuk perkembangannya menjadi sangat mudah dan sebaliknya. Balita yang memiliki atau sedang menderita penyakit kronis, masa kritis dalam perkembangannya akan mengalami hambatan. Secara umum, anak pertama atau tunggal memiliki kemampuan intelektual lebih menonjol dan cepat berkembang karena sering berinteraksi dengan orang 5. KESIMPULAN DAN SARAN Keterlambatan perkembangan global (KPG) pada balita di Poli Tumbuh Kembang RSUD Dr. Soetomo Surabaya dipengaruhi oleh berat badan lahir, penyakit kronis, status gizi balita, dan urutan anak. Diharapkan masyarakat dapat menghindari faktor-faktor risiko yang berhubungan dengan keterlambatan perkembangan global. Tenaga medis kuhusnya bidan, diharapkan dapat memebrikan asuhan yang komprehensif pada pasangan yang ingin menikah, ibu hamil, ibu bersalin, bayi dan balita. Disarankan kepada peneliti lain untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor lainnya yang berpengaruh terhadap keterlambatan perkembangan global pada balita yang belum diteliti dalam penelitian ini. dewasa dibandingkan dengan anak kedua dan seterusnya[5]. Orang tua yang merawat hanya satu anak, akan cenderung lebih fokus dan lebih banyak menstimulasi perkembangannya. Hal ini terjadi pada anak pertama maupun anak tunggal. Pada anak kedua dan seterusnya, perhatian orang tua menjadi kurang fokus terhadap pertumbuhan dan perkembangannya, karena orang tua juga merawat saudara yang lain. Hal ini dapat menjelaskan mengapa anak pertama atau anak tunggal lebih mencegah terjadinya keterlambatan perkembangan global. 4. 5. 6. 7. 8. DAFTAR PUSTAKA 1. IDAI, 2010. A journey to Child Neurodevelopment: Application in Daily Practice. Jakarta: Badan Penerbit Ikatan Dokter Anak Indonesia. 2. Suwarba, IGN, Widodo, DP, Handryastuti, RAS, 2008, „Profil Klinis dan Etiologi Pasien Keterlambatan Perkembangan Global di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta‟, Sari Pediatri, vol. 10, no. 4, pp. 255-261. 3. Sitaresmi, MN, Ismail, D, Wahab, A, 2008, „Risk Factor of Developmental Delay: a community-based study, 9. 10. 11. 12. BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 Paediatrica Indonesiana‟, vol.48, no.3, pp.161-165. Soleimani, F, Vameghi, R, Hemmati, S, Roghani, RS, 2008, „Perinatal and Neonatal Risk Factors for neurodevelopmental Outcome in Infants in Karaj‟, Arch Iranian Med, vol.2, no.2, pp. 135-139 Hidayat, A, Alimul, 2008. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk pendidikan Kebidanan. Jakarta: Salemba Medika. Varney, H, Kriebs, JM, Gegor, CL, 2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan, Edisi 4 Volume 1. Jakarta: EGC. Moersintowarti, BN, Sularyo, TS, Soetjiningsih, Suyitno, H, Ranuh, IGNG, W iradisuria, S (eds), 2010. Tumbuh Kembang Anak dan Remaja. Jakarta: Sagung Seto. Markam, Soemarno, 2011. Penuntun Neurologi. Tangerang: Binanusa Aksara. Ramji, S, Saugstad, OD, 2005, “Use of 100% Oxygen or Room Air in Neonatal Resuscitation‟, Am Acad Pediatr, vol.6, pp 1047-1053. Bang, Kyungsook, 2008, „Analysis of Risk factors in Children with Suspected developmental Delays‟, World Academy of Science, Engineering and Technology, vol.24, pp. 429-434. Nursalam, Susilaningrum, R, Utami, S, 2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan Anak untuk Perawat dan Bidan. Jakarta: Salemba Medika. Supartini, Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep Dasar Keperawatan Anak. Jakarta: EGC. 14 Penelitian FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP PELAKSANAAN RUJUKAN TERENCANA POEDJI ROCHJATI PADA BIDAN PRAKTIK MANDIRI DI WILAYAH SURABAYA TIMUR Zumroh Hasanah1, Muhammad Ardian Cahya Laksana2, Gadis Meinarsari3, Netti Herlina4 1 Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya 2 Departemen Obstetri dan Ginekologi, RSUD Dr.Soetomo, Surabaya 3 Departemen Ilmu Faal, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya 4 Jurusan Kebidanan, Politeknik Kesehatan Kemenkes Surabaya Surabaya ABSTRAK Pendahuluan : Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih relatif lambat, salah satunya disebabkan karena kasus rujukan terlambat yang masih banyak. Rujukan estafet merupakan salah satu penyebab dari rujukan terlambat. Rujukan estafet yang berujung pada kematian ibu di Surabaya tahun 2012 tercatat sebesar 49% rujukan estafet pertama, 38% rujukan estafet kedua dan 13% rujukan estafet ketiga. Kematian ibu akibat rujukan terlambat dapat di turunkan dan diminimalisir dengan rujukan terencana Poedji Rochjati. Permasalahan tersebut mendasari penelitian yang bertujuan mengetahui faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan rujukan terencana Poedji Rochjati pada Bidan Praktik Mandiri (BPM) di W ilayah Surabaya Timur. Metode : metode analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Responden penelitian adalah BPM di Wilayah Surabaya Timur yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi pada bulan Mei 2013. Teknik sampling menggunakan random sampling dengan jumlah sampel 44 responden. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner dan wawancara terpimpin. Variabel independen yang diteliti yakni pengetahuan, motivasi, sikap dan pengalaman. Variabel dependen yang diteliti yakni pelaksanaan rujukan terencana Poedji Rochjati. Analisis data menggunakan Uji Chi-square, Koefisien kontingensi dan Regresi logistik ganda. Hasil : menunjukkan pengetahuan (p=0,675), motivasi (p=0,513), sikap (p=0,402) dan pengalaman (p=0,296) menghasilkan p>α. Kesimpulan : mayoritas responden memiliki pengetahuan kurang, motivasi sangat tinggi, sikap negatif, berpengalaman dan melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati. Tidak terdapat pengaruh pengetahuan, motivasi, sikap dan pengalaman terhadap pelaksanaan rujukan terencana Poedji Rochjati. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi faktor lain yang lebih relevan terkait pelaksanaan rujukan terencana Poedji Rochjati. Kata kunci: pengetahuan, motivasi, sikap, pengalaman, rujukan terencana Poedji Rochjati. ABSTRACT Background : The Decreasing of maternal mortality rate (MMR) in Indonesia relative slowly, it becaused by there are still many late referral case. Estafet referral is one of the caused of late referral. Estafet referral that end by mortality of the woman in Surabaya is 49% first estafet referral, 38% second estafet referral and 13% on the third estafet referral. Maternal mortality because of late referral can decrease minimize with Poedji Rochjati BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 15 planning referral. The objective of this study is to know the factors which affect to the implementation of Poedji Rochjati planning referral in Independent Practical Midwive in East Surabaya Region. Method : analytical methods with cross sectional. Respondent of this study are Independen Practical Midwive who meet the inclusion and exclusion criteria. Consecutive sampling is used to get 44 samples of this study. Independent variables of this study were knowledge, motivation, attitude, and experience. The dependent variable were the implementation of Poedji Rochjati planning referral. The data were collected by questionnaire and interview the being analyzed with chi square, coefficient contingency and double regression linier. Result : The result showed that knowledge ( p=0,675), motivation (p=0,513), attitude (p=0,402) and experience (p=0,296) showed that p higher than α. Conclusion : majority of the respondent have less knowledge, very high motivation, negatif attitude, have experience and doing the Poedji Rochjati planning referral. The level of knowledge, motivation, attitude and the experience about Poedji Rochjati planning referral contribute negatifely with Poedji Rochjati planning referral. Further research is needed to identify other factors related to the implementation of a more relevant reference Poedji Rochjati planning referral. Key words : knowledge, motivation, attitude, experience, Poedji Rochjati planning referral 1. PENDAHULUAN Proses penurunan AKI di Indonesia masih relatif lambat, salah satunya disebabkan karena kasus rujukan terlambat yang masih banyak. Keterlambatan rujukan dipengaruhi salah satunya yakni rujukan estafet. Rujukan estafet yang yang berujung pada kematian ibu di Kota Surabaya tercatat pada tahun 2012 yakni prosentase rujukan estafet pertama sebesar 49%, rujukan estafet kedua sebesar 38% dan rujukan estafet ketiga sebesar 13%. Data kasus kematian ibu di RS DR Soetomo Surabaya tercatat sebesar 50 kasus pada tahun 2012, ditinjau berdasarkan asal rujukan pada kasus yang dirujuk tersebut 18,36% merupakan rujukan yang berasal dari Kota Surabaya.2,8-10 Rujukan terlambat disebabkan karena mekanisme rujukan belum dilaksanakan secara terencana dan optimal. Rujukan terencana ialah rujukan yang dilakukan pada ibu risiko tinggi masih sehat dan ibu komplikasi obstetrik dini dalam persalinan. Tujuan rujukan terencana Poedji Rochjati salah satunya adalah menurunkan dan meminimalisasi rujukan terlambat. Permasalahan mengenai masih tingginya angka rujukan estafet yang merupakan penyebab dari rujukan terlambat ini membutuhkan upaya untuk meningkatkan pelaksanaan rujukan terencana guna menurunkan dan meminimalisir rujukan terlambat. Hal ini mendasari peneliti untuk melakukan penelitian dengan judul “Analisis faktor yang berpengaruh terhadap pelaksanaan rujukan terencana Poedji Rochjati pada Bidan Praktik Mandiri di wilayah Surabaya Timur”. 8-10 2. BAHAN DAN METODE Penelitian menggunakan metode analitik observasional dengan pendekatan cross sectional. Penelitian dilakukan pada bulan Mei 2013 di Bidan Praktik Mandiri (BPM) di W ilayah Surabaya Timur yang melaksanakan rujukan dalam satu tahun terakhir. Jumlah sampel adalah 44 responden dari populasi 81 BPM. Variabel independen yang diteliti yakni pengetahuan, motivasi, sikap dan pengalaman. Variabel dependen yang diteliti yakni pelaksanaan rujukan terencana Poedji Rochjati. Teknik pengumpulan data menggunakan kuesioner untuk pengetahuan, motivasi dan sikap. Teknik pengumpulan data menggunakan wawancara terpimpin untuk pengalaman dan pelaksanaan rujukan terencana Poedji Rochjati. Data hasil penelitian dianalisis menggunakan Uji Chi-square untuk mengetahui pengaruh dari pengetahuan, sikap, motivasi dan pengalaman. Uji Koefisien kontingensi untuk mengetahui kekuatan pengaruh dari pengetahuan, sikap, motivasi dan pengalaman. Uji Regresi logistik ganda untuk mengetahui pengaruh variabel pengetahuan, sikap, motivasi dan pengalaman terhadap pelaksanaan rujukan terencana Poedji Rochjati BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 16 3. HASIL PENELITIAN Tabel 1 Distribusi frekuensi karakteristik data umum dari variabel penelitian pada responden Bidan Praktik Mandiri di wilayah Surabaya Timur tahun 2013 No Karakteristik Jumlah Prosentase (%) Umur 1 ≤ 24 tahun 0 0 25-34 tahun 8 18 35-44 tahun 10 23 ≥45 tahun 26 59 Pendidikan terakhir 2 Sekolah bidan 3 7 D1 kebidanan 0 0 D3 kebidanan 23 52 D4 kebidanan 18 41 Lama praktik mandiri 3 < 1 tahun 1 2 1-5 tahun 11 25 6-10 tahun 7 16 11-15 tahun 4 9 > 15tahun 21 48 Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa sebagian besar berumur ≥45 tahun sebesar 26 responden (59%), sebagian besar sudah berada pada tingkat pendidikan D3 Kebidanan yakni 23 responden (52%), dan hampir setengahnya telah membuka praktik mandiri selama >15 tahun yakni 21 responden (48%). Tabel 2 Distribusi frekuensi karakteristik data khusus dari variabel penelitian pada responden Bidan Praktik Mandiri di wilayah Surabaya Timur tahun 2013 No Karakteristik khusus N Prosentase (%) Pengetahuan 1 Baik 1 2,3 Cukup 14 31,8 Kurang 29 65,9 Motivasi 2 Sangat tinggi 40 90,9 Tinggi 4 9,1 Sikap 3 Positif 17 38,6 Negatif 27 61,4 Pengalaman 4 Berpengalaman 42 95,5 Tidak berpengalaman 2 4,5 Pelaksanaan 5 Ya 37 84,1 tidak 7 15,9 Total 44 100 Tabel 2 dapat dijelaskan bahwa sebagian besar responden berpengetahuan kurang yaitu 29 responden (65,9%). Hampir seluruh responden memiliki motivasi sangat tinggi yakni sebanyak 40 responden (90,9%). Sebagian besar responden memiliki sikap negatif sejumlah 27 responden (61,3%). Hampir seluruh responden berpengalaman sebesar 42 responden (95,5%). Hampir seluruh responden melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati sebanyak 37 responden (84,1%). BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 17 Tabel 3 Distribusi frekuensi karakteristik data khusus berdasarkan kasus rujukan yang terakhir pada Bidan Praktik Mandiri di wilayah Surabaya Timur tahun 2013 No Karakteristik khusus N Prosentase (%) Status penggunaan KSPR 1 Menggunakan 33 80 Tidak menggunakan, karena 4 10 pasien gawat Tidak menggunakan, karena 4 10 pasien tidak gawat 2 Tempat rujukan yang dipilih BPM 27 61 RS pemerintah 17 39 RS swasta Total 17 100 Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa distribusi frekuensi berdasarkan status penggunaan KSPR hampir seluruh responden menggunakan KSPR sejumlah 33 responden (80%). Sebagian besar responden merujuk pada RS Pemerintah yakni sebanyak 27 responden (61%) dan RS Swasta adalah sebesar 17 responden (39%). Data sebesar 39% rujukan pada RS Swasta akan dijabarkan lebih mendetail berdasarkan beberapa karakteristik. Karakteristik tersebut adalah jarak RS Swasta dari lokasi BPM, status lokasi rujukan, dan alasan merujuk ke RS Swasta. Data tersebut akan disajikan pada tabel berikut. Tabel 4 Distribusi frekuensi karakteristik data khusus berdasarkan kasus rujukan yang terakhir di RS Swasta pada Bidan Praktik Mandiri di wilayah Surabaya Timur tahun 2013 No Karakteristik khusus N Prosentase (%) 1 Jarak RS swasta dari lokasi BPM 5 28 0-5 Km 11 61 6-11 Km 2 11 11-16 Km Status lokasi rujukan 2 Rujukan jauh 12 71 Rujukan dekat 5 29 Alasan merujuk ke RS Swasta 3 Permintaan pasien 12 70 Dekat 2 12 Saran bidan 3 18 Total 17 100 Tabel 4 dapat dijelaskan bahwa distribusi frekuensi karakteristik data khusus berdasarkan kasus rujukan yang terakhir di RS Swasta. Sebagian besar merujuk pada RS Swasta yang berjarak 611 km yakni sebanyak 11 (61%). Status lokasi rujukan sebagian besar adalah rujukan jauh sebanyak 12 (71%). Alasan merujuk ke RS Swasta sebagian besar adalah karena permintaan pasien yakni 12 (70%). Rujukan jauh yang dimaksud ialah rujukan yang dilakukan pada RS yang letaknya lebih jauh dibanding RS Swasta maupun RS Pemerintah yang lebih dekat dari lokasi BPM, sedangkan rujukan dekat ialah lokasi rujukan yang dipilih merupakan RS Swasta yang terdekat dari lokasi BPM. BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 18 Tabel 5 Pengaruh pengetahuan, motivasi, sikap dan pengalaman tentang rujukan terencana Poedji Rochjati terhadap pelaksanaan rujukan terencana Poedji Rochjati pada responden Bidan Praktik Mandiri di wilayah Surabaya Timur tahun 2013 Pelaksanaan Total p value No Kriteria Ya Tidak n % n % n % 1. Pengetahuan *0,675 Baik dan cukup 12 80% 3 20% 15 100% Kurang 25 86,2% 4 13,8% 29 100% 2. Motivasi *0,513 Sangat tinggi 34 85% 6 15% 40 100% Tinggi 3 75% 1 25% 4 100% 3. Sikap *0,402 Positif 13 76,5% 4 23,5% 17 100% Negatif 24 88,9% 3 11,1% 27 100% 4. Pengalaman *0,296 Berpengalaman 36 85,7% 6 14,3% 42 100% Tidak berpengalaman 1 50% 1 50% 2 100% *Uji Fisher‟s ExactTabel 5 menunjukkan bahwa responden dengan pengetahuan baik dan cukup hampir seluruhnya melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati (80%) dan pengetahuan kurang hampir seluruhnya melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati (86,2%). Responden dengan motivasi sangat tinggi hampir seluruhnya melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati (85%) dan dengan motivasi tinggi hampir seluruhnya melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati (78,6%). Responden dengan sikap positif hampir seluruhnya melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati (100%) dan sikap negatif hampir seluruhnya melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati (78,6%). Responden berpengalaman sampir seluruhnya melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati (85,7%) dan tidak berpengalaman setengahnya melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati (50%) dan setengahnya tidak melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati (50%). 4. dilakukan bidan dalam melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati.3-7 Ditinjau dari teori Green, selain pengetahuan, motivasi, sikap dan pengalaman yang merupakan faktor predisposisi perilaku juga dipengaruhi oleh adanya faktor lain yakni faktor pendorong dan penguat yang berpengaruh daripada variabel yang diukur. Hasil penelitian terkait sikap ini sesuai dengan teori yang dijabarkan oleh Azwar terkait konsistensi sikap dan perilaku yakni ada yang mengindikasikan hubungan yang kuat dan ada yang menunjukkan betapa lemahnya pengaruh sikap dan perilaku. Hubungan sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh faktor situasional, oleh karena itu sejauh mana prediksi perilaku dapat dihubungkan dengan sikap akan berbeda bergantung waktu dan situasi. 1,3-7 PEMBAHASAN Hasil penelitian ini tidak sesuai dengan teori determinan perilaku Lawrence Green (1980) yang menjelaskan bahwa perilaku dipengaruhi oleh faktor predisposisi seperti pengetahuan, motivasi, sikap dan pengalaman. Pengetahuan terkait pelaksanaan rujukan terencana Poedji Rochjati adalah hasil dari tahu bidan tentang rujukan terencana Poedji Rochjati. Motivasi dalam pelaksanaan rujukan terencana Poedji Rochjati ialah kekuatan dorongan yang menggerakkan bidan untuk melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati. Sikap terkait pelaksanaan rujukan terencana yang dimaksud adalah pendapat, persepsi, reaksi atau respon bidan terhadap pasien yang perlu di lakukan rujukan. Pengalaman terkait pelaksanaan rujukan terencana Poedji Rochjati ialah hal serupa yang pernah BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 19 Pada proses pengkajian melalui wawancara terpimpin dengan pertanyaan mengenai kategori kasus yang dirujuk sesuai konsep rujukan terencana Poedji Rochjati melalui, mayoritas bidan yang menjawab salah atau tidak dapat mengkategorikan sesuai konsep pengkategorian rujukan terencana oleh Poedji Rochjati. Hal ini berbanding lurus dengan hasil penelitian bahwa mayoritas responden berpengetahuan kurang. Fakta lapangan dari hasil wawancara terpimpin mengenai pelaksanaan rujukan yang dilakukan oleh responden, hampir seluruhnya responden merujuk menggunakan lembar penapisan yang dibuat oleh IBI sebagai pedoman dan menggunakan KSPR dalam merujuk pasien. Lembar penapisan IBI merupakan lembar yang berisi 18 pertanyaan yang dijawab ya atau tidak. Secara umum lembar penapisan ini isinya sama dengan konsep rujukan terencana Poedji Rochjati, hanya saja pada konsep Poedji Rochjati lebih lengkap dan mendetail. Konsep rujukan terencana Poedji Rochjati dimulai dengan skrining dengan KSPR untuk menggolongkan ibu hamil berisiko dalam tiga kelompok. Kelompok-kelompok ini akan mengarahkan pada macam rujukan terencana Poedji Rochjati. Golongan risiko pada konsep rujukan terencana Poedji Rochjati yakni Ada Potensi Gawat Obstetri (APGO), Ada Gawat Obstetri (AGO), dan Ada Gawat Darurat Obstetri (AGDO). APGO dan AGO merupakan rujukan dengan jenis rujukan dini berencana (rujukan dalam rahim) dan AGDO merupakan rujukan dengan jenis rujukan tepat waktu. Pada lembar penapisan IBI tidak digolongkan pada risiko seperti pada konsep Poedji Rochjati, langsung mencentang pada kolom ya atau tidak sehingga mungkin ini dipandang lebih simpel oleh responden.8-10 Hal yang mungkin berpengaruh terhadap hasil penelitian bahwa tidak terdapat pengaruh dapat disimpulkan yakni disebabkan oleh adanya dualisme dalam pedoman rujukan yang dilakukan oleh responden. Penggunaan lembar penapisan yang mirip dengan konsep kategori rujukan terencana Poedji Rochjati ini membuat kesan semua responden telah melaksanakan rujukan terencana, namun ketika rujukan terencana yang dilakukan di cocokkan dengan kriteria rujukan terencana Poedji Rochjati ada beberapa responden yang ternyata rujukan terencana yang dilakukan bukan merupakan rujukan terencana Poedji Rochjati. Hal inilah yang mungkin dapat menjabarkan bahwa ada ketimpangan antara pengetahuan dengan pelaksanaan yang secara teori harusnya pelaksanaan ditunjang dengan pengetahuan yang baik. Hasil tidak berhubungan dapat juga disebabkan faktor situasional. Faktor situasional berupa kemungkinan responden gugup atau grogi maupun terburu-buru dalam mengisi kuesioner yang digunakan sebagai alat ukur dalam penelitian ini. Data terkait pelaksanaan rujukan pada kasus terakhir yang dirujuk ditemukan bahwa mayoritas responden menggunakan KSPR dan hampir setengahnya melakukan rujukan ke RS Swasta (39%). Data rujukan ke RS Swasta ni kemudian dikaji lebih lanjut pada jarak antara BPM ke RS Swasta, status lokasi rujukan dan alasan merujuk ke RS Swasta. Sebagian besar merujuk pada RS Swasta yang berjarak 6-11 km (61%), status lokasi rujukan sebagian besar adalah rujukan jauh (71%) dan alasan merujuk ke RS Swasta sebagian besar adalah karena permintaan pasien (70%). Alasan BPM merujuk ke RS swasta mayoritas adalah karena permintaan pasien. Pada proses pengkajian saat wawancara terpimpin, mayoritas permintaan pasien dikarenakan pasien jamsostek dengan RS tertentu dan pasien yang dokter SPOG nya berada di RS yang diminta tersebut. Hasil ini memerlukan kajian lebih lanjut mengenai pola rujukan yang dilakukan oleh BPM. 5. KESIMPULAN Kesimpulan pada penelitian ini adalah sebagian besar responden memiliki pengetahuan yang kurang tentang rujukan terencana Poedji Rochjati, motivasi yang sangat tinggi untuk melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati, sebagian besar responden memiliki sikap yang negatif dalam menghadapi pasien yang membutuhkan rujukan, hampir seluruh responden memiliki pengalaman dalam melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati, dan hampir seluruh responden melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati. Tidak terdapat pengaruh pengetahuan tentang rujukan terencana Poedji Rochjati, motivasi untuk melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati, tidak terdapat pengaruh sikap BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 20 dalam menghadapi pasien yang membutuhkan rujukan, dan tidak terdapat pengaruh pengalaman dalam melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati terhadap pelaksanaan rujukan terencana Poedji Rochjati. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi faktor lain yang lebih relevan terkait pelaksanaan rujukan terencana Poedji Rochjati. DAFTAR PUSTAKA 1. Azwar, S 2011, Sikap Manusia, Pustaka Pelajar, Yogyakarta 2. Irawan, A 2013, Perbandingan Pengaruh Determinan Dekat, Antara, Dan Jauh Terhadap Kematian Maternal Di Kota Surabaya Tahun 2011-2012, Karya ilmiah, Universitas Airlangga Surabaya 3. Notoatmodjo, S 2007, Kesehatan Masyarakat, Ilmu dan Seni, Rineke Cipta, Jakarta 4. Notoatmodjo, S 2007, Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rineke Cipta, Jakarta 5. Notoatmodjo, S 2007, Promosi Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Rineke Cipta, Jakarta 6. Notoatmodjo, S 2010, Ilmu Perilaku Kesehatan, Rineke Cipta, Jakarta 7. Notoatmodjo, S 2010, Promosi Kesehatan Teori Dan Aplikasi, Rineke Cipta, Jakarta 8. Rochjati, P 2003, Rujukan Terencana Dalam Sistem Rujukan Paripurna Terpadu Kabupaten/Kota, Airlangga University Press, Surabaya 9. Rochjati, P 2005, “Sistem Rujukan Dalam Pelayanan Kesehatan Reproduksi”, dalam Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial, eds Martadisoebrata D. dk, Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo, Jakarta 10. Rochjati, P 2011, Skrining Antenatal Pada Ibu Hamil, Airlangga University Press, Surabaya BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 21 Penelitian MAKNA PACARAN DAN PERILAKU SEKS PRANIKAH PADA REMAJA USIA 15-18 TAHUN Rafi‟ana Budiani1 , Pudji Lestari2 , Budi Wicaksono3 , Bambang Trijanto4 1 Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya 2 Departemen Ilmu kesehatan Masyarakat Kedokteran Pencegahan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya 3 Departemen Obstetri Ginekologi, RSUD Dr.Soetomo, Surabaya 4 Departemen Obstetri Ginekologi, RSUD Dr.Soetomo, Surabaya ABSTRAK Pendahuluan : Masa remaja merupakan masa dimana terjadi berbagai perubahan yang sangat mencolok, penuh dengan gejolak perasaan, keinginan dan dorongan yang dapat tersalur dalam perilakunya. Banyak remaja yang melakukan perilaku seks pranikah ketika berpacaran. Masalah dalam penelitian ini adalah apakah fenomena pacaran dan perilaku seks pranikah pada remaja saat ini sudah dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Tujuan dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis makna pacaran dan perilaku seks pranikah pada remaja. Metode : penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif fenomenologi. Subjek penelitian terdiri dari remaja berusia 15-18 tahun yang pernah berpacaran dan melakukan perilaku seks pranikah serta berada di wilayah kota Surabaya. Subjek penelitian sebanyak 8 orang yang ditentukan secara snowball sampling. Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni 2013. Analisis data menggunakan model analisis interaktif. Hasil : Didapatkan pemahaman remaja mengenai pacaran yaitu hubungan yang terjalin berdasarkan rasa suka sama suka. Pengalaman berpacaran yang dimiliki mulai dari pertama kali sampai lebih dari dua puluh kali berpacaran. Hubungan tersebut dimaknai sebagai cara untuk mendapatkan kasih sayang, tambahan semangat dan motivasi, serta untuk mendapatkan kesenangan. Perilaku seks pranikah yang dipahami remaja adalah berhubungan seks sebelum menikah. Pengalaman terhadap perilaku seks pranikah yang dimiliki subjek penelitian mulai dari kissing sampai melakukan intercourse, oral seks, anal seks dan onani/masturbasi. Perilaku tersebut dimaknai sebagai trend masa kini, bukti cinta dan pelampiasan nafsu. Kesimpulan : Makna pacaran dan perilaku seks pranikah bagi remaja diperoleh dari lingkungan pergaulan yang permisif terhadap pacaran dan perilaku seks pranikah, kurangnya pengendalian diri serta adanya tuntutan pasangan untuk membuktikan cinta. Hal ini dilatarbelakangi oleh keadaan keluarga yang kurang baik, lingkungan pergaulan yang permisif terhadap perilaku seks pranikah serta seringnya terpapar dengan hal-hal yang berkaitan dengan pacaran dan perilaku seks pranikah. Kata kunci : pacaran, perilaku seks pranikah, remaja ABSTRACT Background : Adolescence is a period when the changes happend very striking, full of turmoil feelings, desires and impluses that can flow in their behavior. Many adolescents do premarital sex behavior in their dating. The problem in this research is whether the phenomena of dating and premarital sex behavior in adolescence regarded as normal. The purpose of this research is analyzing the meaning of dating and premarital sex behavior in adolescence. Method : This research method is descriptive qualitative with phenomenological approach. Research subjects consisted of adolescents in 15-18 years who have been or ever dating and do premarital sex behavior, in the area of the city of Surabaya. Subject of this research 22 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 were 8 people who determined by snowball sampling. This research used interactive model analysis and implemented in May-June 2013. Result : Showed understanding adolescents dating is a relationship based of love. The dating experiences of adolecents are about one to over twenty times. Dating means the way to get an affection, additional passion and motivation, as well as for fun. Premarital sex behavior is understood by adolescents as having sex before marriage. Their experiences are started from kissing to intercourse, oral sex, anal sex and masturbation. These behaviors are defined as trends, proof of love and satisfation of sexual desire. Conclusion : is meaning of dating and premarital sex behavior for adolescents obtained from permissive society of dating and premarital sex behavior, lack of self-control and wants to prove love. This is motivated by the unfavorable family condition, permissive society of premarital sex behavior and exposed things related about dating and premarital sex behavior. It is necessary for fulfillment of attention and affection as well as controlling adolescents, and also improves adolescents to understand and control their feelings and sexual desire with positive activities. Keywords : dating, premarital sex behavior, adolescence 1. PENDAHULUAN Masa remaja merupakan masa peralihan menuju masa dewasa dimana banyak terjadi perubahan mencolok secara biologis, psikologis maupun sosial[1]. Perubahan hormonal yang terjadi juga menimbulkan perubahan emosional yang menyebabkan timbulnya perasaan tertarik dan mendorong remaja untuk saling memikat lawan jenisnya, yang sering kali diwujudkan dengan pacaran[2]. Pacaran sering kali gagal dikelola remaja dalam batasan yang patut, sehingga menjerumuskan mereka pada pergaulan bebas[3]. Data Komnas Perlindungan Anak dari Januari-Juni 2008 di 33 provinsi menunjukkan 93,7% remaja SMP dan SMA pernah berciuman, melakukan rangsangan genital dan oral seks, 62,7% remaja putri tidak perawan dan 21,2% remaja melakukan aborsi. BKKBN pada akhir 2008 menyatakan, 63% remaja di beberapa kota besar di Indonesia melakukan seks pranikah[4]. Survei yang dilakukan oleh Hotline Pendidikan bekerja sama dengan Yayasan Embun Surabaya (YES), Telpon Sahabat Anak (TESA) dan Lembaga Perlindungan Anak Jawa Timur menunjukkan 44% pelajar setingkat SMA di Surabaya mempunyai pandangan bahwa berhubungan intim dengan pacar adalah boleh, sementara 16% justru sudah pernah melakukan hubungan badan layaknya suami istri[5]. Remaja menengah, dalam rentang usia 15-18 tahun, banyak melakukan perilaku seks pranikah[6]. Pada perkembangan moral, remaja menengah mulai terjadi hubungan interpersonal yang mutualistik, kebenaran mereka ditinjau dari sudut pandang berbagi perasaan dan kesepakatan melebihi kepentingan pribadi, sementara pada perkembangan psikososial mulai terjadi eksistensi pergaulan dengan lawan jenis dan mulai bergaul secara berpasangan[1]. Penelitian-penelitian sebelumnya menyebutkan mayoritas remaja melakukan hubungan seksual pranikah pertama kali saat di bangku SMA, yaitu pada usia antara 15-18 tahun[6]. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis makna pacaran dan perilaku seks pranikah pada remaja usia 15-18 tahun. Perilaku seks pranikah tidak hanya bertentangan dengan norma-norma kehidupan, tetapi juga dapat menyebabkan penularan penyakit seksual, penyebaran HIV/AIDS, penyimpangan perilaku seksual, kehamilan yang tidak diinginkan, dan aborsi[4]. Angka aborsi di Indonesia mencapai 2,3-2,6 juta/ tahun, 30 % diantaranya dilakukan oleh remaja, dan tidak sedikit dari tindakan aborsi tersebut menyumbangkan angka kematian ibu. Di Jawa Timur, 60% dari total kasus aborsi dilakukan oleh remaja[7]. 2. METODE Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif dengan pendekatan deskriptif fenomenologi. Subjek penelitian merupakan remaja 15-18 tahun di kota Surabaya yang pernah berpacaran dan pernah melakukan perilaku seks pranikah. Subjek penelitian sebanyak 8 orang yang ditentukan secara snowball sampling. Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni 2013. Fokus dalam penelitian ini adalah makna pacaran (pemahaman, pengalaman serta hal yang diinginkan remaja dari hubungan tersebut) dan perilaku seks 23 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 pranikah (pemahaman, pengalaman serta hal yang melatarbelakangi remaja melakukan perilaku tersebut). Pengumpulan data dilakukan dengan menggunkan tekhnik wawancara mendalam (Indepth Interview) secara terbuka. Analisis data yang digunakan adalah model analisis data interaktif yang terdiri dari reduksi data, data display dan verifikasi. Untuk menjamin tingat keparcayaan penelitian (trustworthiness) dilakukan beberapa cara yaitu Kredibilitas (Credibility), Dependability dan Konfirmabilitas (Confirmability). Kredibilitas dilakukan dengan meingkatkan ketekunan selama penelitian berlangsung, melakukan triangulasi sumber dan teori, serta mendiskusikan hasil sementara temuan penelitian dengan teman sejawat. Dependability dilakukan dengan melakukan kegiatan auditing (pemeriksaan) oleh pembimbing penelitian. Konfirmabilitas (Confirmability) dilakukan dengan membicarakan hasil penelitian dengan orang yang tidak ikut dan tidak berkepentingan dalam penelitian . 3. HASIL DAN PEMBAHASAN Subjek penelitian terdiri dari 4 orang perempuan dan 4 orang laki-laki (1 orang berusia 15 tahun, 3 orang berusia 16 tahun, dan 4 orang berusia 17 tahun) dengan latar belakang pendidikan 5 orang sedang menempuh pendidikannya di SMA/SMK dan 3 orang subjek masih berada di bangku SMP. Hubungan beberapa subjek dengan keluarga cenderung bermasalah dan kurang baik, sementara 2 orang subjek sudah menjadi yatim sejak beberapa tahun yang lalu. Seperti remaja pada umumnya, subjek penelitian memilki hubungan baik dengan teman-temannya. Mereka cenderung lebih dekat, lebih sering berbicara dan terbuka dengan teman sepergaulannya. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh pemahaman mengenai pacaran yang sering dilakukan oleh remaja usia 15-18 tahun, pacaran bagi mereka adalah sebuah hubungan yang terjalin berdasarkan rasa suka sama suka. Hal ini selaras dengan pendapat yang dikemukakan oleh Syarif (2011)[8] yang mengatakan bahwa pacaran merupakan model hubungan pria dan wanita yang dibangun atas dasar saling memiliki, saling suka, saling mencintai, saling mengasihi dalam rangka memperturutkan gejolak jiwa berupa cinta dan asmara yang membara di dalam hati yang dilakukan secara intim. Remaja mengartikan pacaran secara pragmatis dengan memaknai hubungan tersebut adalah cara untuk mendapatkan kasih sayang, memperoleh semangat dan tambahan motivasi dalam menjalani hidup. Beberapa remaja juga mengartikan pacaran sebagai media untuk memperoleh kesenangan semata. Syarif (2011)[8] menjelaskan beberapa alasan pacaran, diantaranya yaitu sebagai motivasi, berbagi rasa dan mencari kesenangan. Pacar dapat dijadikan objek dalam melampiaskan hawa nafsu untuk mencari kesenangan dan kepuasan seksual. Berikut penuturan beberapa subjek penelitian tentang alasan mereka pacaran ; “Pengen dapet ciuman ... pengen cari ini lah... cium-cium.” (SP3L) “Buat semangat hidup, buat semangat, motivasi, kalau ndak ada itu rasane hambar gitu.” (SP5L) “Buat senang-senang aja sih.. soalnyakan tanpa pacaran hidup ini hampa ... Yah.. terutama kesenangan aja sih, happy-happy aja.” (SP8P) Pemahaman remaja tentang perilaku seks pranikah adalah berhubungan seks sebelum memiliki ikatan pernikahan. Pengetahuan dan pemahaman tersebut sering didapatkan dalam pergaulan dengan teman-teman, melalui video porno, internet dan media massa seperti televisi, koran, majalah serta melalui pembelajaran yang diperoleh di sekolah dan melalui kegiatan posyandu remaja. Dalam arti sebenarnya, perilaku seks pranikah adalah segala tingkah laku seksual yang didorong oleh hasrat seksual yang dilakukan sebelum menikah, diantaranya yaitu kissing, necking, petting, intercourse, oral seks, anal seks, dan masturbasi[6]. Berdasarkan penelitian yang pernah dilakukan di makasar pada tahun 2006 menunjukan 474 remaja pernah melakukan hubungan seksual dan 40% diantaramya melakukan hubungan seks pertama kali dengan pacar mereka[9]. Hasil penelitian ini menunjukkan pengalaman perilaku seks pranikah yang telah dimiliki remaja sangat beragam, mulai dari kissing, necking, petting, sampai melakukan intercourse, oral seks, anal seks dan onani/ masturbasi. Perilaku tersebut dimaknai remaja sebagai trend dimasa sekarang, mereka juga memaknainya 24 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 sebagai bukti dari kesungguhan perasaan cinta yang dimiliki kepada pasangannya, namun tidak sedikit juga remaja yang mengartikanya sebagai pelampiasan nafsu semata. Subjek penelitian mengutarakan pendapat dan pengalamannya sebagai berikut; “Kayak pegangan tangan, ciuman,... Ciuman itu boleh-boleh aja sih, kan memang remaja zaman sekarang gitu mbak...” (SP1P) “Apa ya...kalau sayang minta ciumnya, gitu hehe, bukti lah intinya... pernah ceweknya yang minta ML,saya nggak mau, takut masihan hehe...” (SP2L) “Ya pegangan tangan...ciuman sama pegang itu lah...Dada hehe...Kepingin.” (SP3L) “ya tadinya sih pegangan tangan, habis itu ya ciuman ... di pipi, di bibir, di leher, meluk-meluk, habis itu minta yang aneh-aneh...ya kayak minta pegang payudara gitu...Kan biasane kalo cowok nggak dikasih gitu bilangnya nggak sayang,..ya termasuk itu tadi...”(SP4P) “Ya sampai berhubungan intim gitu... pertama ragu-ragu, terus dia juga mau saja ya gimana lagi.. dari pihak ceweknya juga nggak papa... Ya bisa memuaskan diri lah.” (SP5L) “Ya biasa, ya dicium pipi, ya dirabaraba bagian atas sini (menunjuk payudara), dipeluk, dicium di bibir, di leher sampai ke daerah dada juga... bagian bawah juga pernah dirabaraba,... Soalnyakan sama-sama sayang... Ya bikin aku senang, dia ya juga senang... Sebenarnya masih ada perasaan bersalah, tapi kalau dipikir lagi senang” (SP6P) “Biasanya ya omong-omongan biasa, kalau nggak ngopi-ngopi ... Yaa.. ciuman ... Pegang-pegangan tangan, pegang-pegang payudara hehe... Pingin aja, kepingin coba...” (SP7L) “Gimana ya mbak... kadang kita ngobrol, terus kayak di sayangsayang lah mbak pertama, terus nanti dicium-cium, terus dibelai,diraba-raba, dipegangpegang... Semuanya dari atas sampai bawah...Ngelakuin ML... Maknanya ya karena kita saling mencintai aja sih, sama-sama suka.... Waktu pertama kita ngelakuin kan berani-berani aja, nah habis ngelakuin itu terus ada perasaan nyesel, tapi lama kelamaan kok ketagihan, malah enak, ngono mbak, hehe...pertama-pertama nderedeg lama kelamaan ya biasa aja, enak gitu kan...yah pengen ngulangin lagi... ya buat senangsenang aja sih.” (SP8P) Perilaku seks pranikah dimaknai remaja sebagai trend masa kini sesuai dengan hasil penelitian yang dilakukan di Bojonegoro oleh Kisriyati (2010)[10] yang mengatakan bahwa pacaran dan perilaku seks yang menyertainya adalah suatu trend yang menandakan bahwa remaja tersebut mengikuti pergaulan dan perkembangan zaman. Sebagian remaja mengartikan perilaku seks pranikah merupakan wujud dari kesungguhan rasa cinta yang dimiliki terhadap pasangannya. Hasil penelitian yang pernah dilakukan Chronika (2011)[11] pada pelajar SMP di Padang juga menunjukkan hal yang sama, perilaku seks pranikah yang dilakukan pelajar diartikan sebagai cara untuk menunjukkan rasa cinta dalam berpacaran, dengan demikian hubungan pasangan menjadi lebih intim dan merasa tidak berpacaran dengan gaya yang ketingalan zaman. Surbakti (2008)[12] mengungkapkan bahwa makna perilaku seks adalah sebagai ekspresi cinta yang terdalam dari sepasang anak manusia, namun totalitas relasi hanya dapat tercapai dalam ikatan pernikahan yang sah, sependapat dengan Subiyanto (2012)[13] yang mengatakan perilaku seks pranikah sebagai bukti cinta merupakan sebuah kebohongan. Cinta tidak dapat dibuktikan melalui perilaku seks pranikah, tetapi melalui kesediaan untuk membiarkan orang lain tetap mandiri dan bebas. Melalui perilaku seks akan menghilangkan kemandirian dan terjadi ketergantungan secara emosional, sehingga memerlukan komitmen dan tanggung jawab dalam ikatan pernikahan. Pemahaman yang salah mengenai makna perilaku seks menjerumuskan remaja pada pergaulan yang bertentangan dengan norma kehidupan. Hal ini dapat disebabkakn karena kurangnya keterbukaan terhadap hal yang berkaitan dengan perilaku seks khususnya dari orang tua. Anggapan tabu membuat remaja mencari sendiri apa yang ingin diketahuinya secara diam-diam, sayangnya jawaban yang diperoleh tidak terjamin kebenarannya 25 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 dan sering kali salah. Pengetahuan yang sempit dan pemahaman yang salah merupakan salah satu penyebab maraknya perilaku seks pranikah pada remaja. Tidak sedikit remaja yang mengungkapkan perilaku seks pranikah yang mereka lakukan dimaknai sebagai pemuas dorongan nafsu yang bergejolak. Selaras dengan hasil penelitian pada remaja SMA di Bojonegoro (Kisriyati, 2010)[10] dan beberapa pelajar SMP di padang yang pernah menjadi subjek penelitian juga mengartikan perilaku seks pranikah yang mereka lakukan sebagai pemuasan hasrat seksual[11]. Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, hampir seluruh subjek mengalami hubungan yang kurang baik dalam keluarganya. Kurangnya perhatian, kepedulian dan kasih sayang dari keluarga membuat subjek berkeinginan untuk mencari perhatian dan kasih sayang di luar rumah. Pacaran merupakan cara yang ditempuh subjek dalam upaya memenuhi kebutuhan tersebut. Secara biologis, pengaruh hubungan keluarga terhadap perkembangan pubertas dapat terjadi melalui feromon (pheromones), zat kimia berbau yang dikeluarkan dari keringat laki-laki dan bau air seni perempuan yang mengaktifkan hipotalamus, bagian otak yang mengendalikan perilaku seksual pada lawan jenis. Sebagai pencegahan incest alami, perkembangan seksual dapat terhambat pada anak perempuan yang sering terpapar feromon dari ayahnya, yang mungkin terjadi pada hubungan ayah dan anak yang dekat. Sebaliknya, sering terpapar feromon laki-laki dewasa yang tidak memiliki hubungan sedarah dapat mempercepat perkembangan pubertas [14]. Secara sosio-emosional, Joseph Allen dan koleganya[15] mengemukakan bahwa remaja yang memiliki kelekatan hubungan dengan keluarga lebih sedikit terlibat dalam perilaku yang bermasalah seperti kenakalan remaja, penyalahgunaan obat terlarang dan perilaku seks pranikah. Hasil penelitian yang dilakukan pada 398 siswa SMA usia 15-18 tahun di Yogyakarta, 79% perilaku seks pranikah pada remaja disebabkan oleh buruknya hubungan orangtua dengan remaja, harga diri (self esteem), religiusitas, tekanan sebaya, dan eksposur media pornografi[6]. Mulyana dan Purnamasari (2010)[16] dalam penelitiannya yang mengkaji hubungan harga diri dengan sikap terhadap perilaku seks pranikah pada remaja dari keluarga broken home mengungkapkan bahwa ada hubungan yang signifikan antara keduanya. Kondisi keluarga seperti ini akan menyebabkan remaja mengalami stres atau tekanan dalam dirinya yang dapat memicu terjadinya kenakalan remaja, termasuk perilaku seks pranikah. Remaja memerlukan kemampuan dalam pengendalian terhadap dorongan seksual yang terdapat dalam dirinya, dengan demikan diharapkan dapat mencegah timbulnya perilaku seks pranikah yang rentan terjadi pada masa remaja. Melakukan berbagai aktivitas yang bernilai positif merupakan salah satu cara untuk mengendalikan dan mengalihkan tingginya dorongan seksual yang dimiliki oleh remaja. Dalam beberapa kasus remaja yang sering berolahraga cenderung kurang terlibat dalam penggunaan obat terlarang atau kenakalan lain jika dibandingkan dengan remaja lainnya. Sebuah studi pada murid SMA yang sering melakukan aktifitas fisik lebih jarang mengkonsumsi obat terlarang, kurang deperesi dan lebih rukun dengan orangtuanya dibandingkan dengan mereka yang jarang melakukan ativitas fisik. Kegiatan positif lainnya yaitu aktif dalam organisasi atau dalam beragam kegiatan ekstrakulikuler sekolah[17]. Sayangnya dalam peneitian ini peneliti tidak menggali hobi ataupun kebiasaan yang sering dilakukan oleh subjek penelitian. Menurut teori Behaviour Intention yang dikembangkan oleh Snehendu Kar (1980), perilaku seseorang ditentukan oleh niat terhadap perilaku tersebut, dukungan dari sekitar, informasi mengenai perilaku tersebut, adanya kebebasan dari individu untuk mengambil keputusan/bertindak dan situasi yang memungkinkan untuk berprilaku/bertindak [18]. Perilaku seks pranikah yang sering kali menghiasi aktivitas pacaran remaja dimulai dari adanya dorongan dan niat atas perilaku tersebut. Perubahan fisik dan emosional akibat pubertas tidak hanya menyebabkan perubahan tubuh, melainkan juga konflik dan keinginan seksual yang kuat sehingga menuntut penyaluran. Keinginantahuan dan rasa penasaran atas perilaku seks yang sering dilihat dan didengar remaja juga menjadi pemicu timbulnya niat untuk melakukan hal tersebut. Lingkungan pergaulan merupakan salah satu penyebab terbesar remaja 26 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 melakukan perilaku seks pranikah. Berpacaran dan atau bergaul dengan teman-teman yang permisif terhadap perilaku seks pranikah akan menjadi pendorong remaja untuk ikut melakukan perilaku seks pranikah. Hal ini juga diperkuat dengan maraknya informasi dan video yang berkaitan dengan perilaku seks pranikah yang mudah diakses remaja. Faktor lain yang turut mendukung adalah adanya kebebasan individu untuk mengambil keputusan / bertindak. Remaja cenderung mencoba hal-hal baru tanpa memikirkan dampaknya terhadap diri mereka sendiri ataupun orang lain. Rendahnya kemampuan untuk mengendalikan diri menyebabkan remaja mudah memutuskan untuk melakukan perilaku seks pranikah. Faktor penentu terakhir yang memungkinkan terjadinya perikau seks pranikah pada remaja adalah adanya situasi yang memungkinkan. Beberapa tempat yang dijadikan tempat berpacaran remaja diantaranya yaitu Kenpark, pantai Kenjeran dan di bawah jembatan Suramadu. Tempat tersebut memberikan suasana dan situasi yang mendukung bagi terlaksananya perilaku seks pranikah. Beberapa masyarakat justru terlihat mengambil kesempatan pada situasi ini dengan memberikan fasilitas tempat yang cukup memungkinkan untuk berlangsungnya perilaku seks pranikah, seperti tersedianya tenda-tenda tanpa lampu di daerah watu-watu, sepanjang pantai kenjeran, juga kios berbilik-bilik yang terdapat di Kenpark. Berpacaran di dalam rumah dengan keadaan rumah yang sedang kosong juga menjadi salah satu situasi yang mendukung terjadinya perilaku tersebut. Perilaku seks pranikah pada remaja dapat berdampak pada meningkatnya risiko terjangkit infeksi menular seksual (IMS) dan HIV/AIDS. Remaja perempuan memiliki risiko kesehatan yang lebih besar, diantaranya yaitu risiko kehamilan yang tidak dikehendaki, risiko kesehatan sehubungan dengan kehamilan terlalu dini, aborsi/pengguguran yang tidak aman, serta meningkatnya risiko kanker serviks di kemudian hari karena usia pertama kali berhubungan seksual (coitarche) yang terlau dini[19]. Tenaga kesehatan dapat mengoptimalkan penyuluhan kesehatan mengenai kesehatan reproduksi melalui penyelenggaraan posyandu remaja dengan mengikutsertakan remaja sebagai kader, serta pengadaan klinik remaja yang melayani berbagai masalah remaja, termasuk masalah kesehatan reproduksi remaja. Pencegahan dini terhadap kejadian kanker serviks dapat dilakukan dengan pemberian imunisasi/vaksin HPV (Human Papiloma Virus) pada remaja perempuan. Program untuk remaja akan mencapai hasil terbaik jika memberikan pendidikan keterampilan untuk menghadapi kehidupan selain memberikan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi. Program tersebut harus dapat membantu remaja untuk mengembangkan keterampilan dan bakat mereka, sehingga akan menawarkan kesempatan bagi remaja mancapai kempanan ekonomi dan mengembangkan rasa percaya diri bahwa mereka memiliki potensi untuk mencapai masa dewasa yang sukses. Kesempatan-kesempatan seperti itu yang dikombinasikan dengan informasi dan pelayanan kesehatan reproduksi dapat membantu memotivasi remaja menunda aktivitas seksual dengan membuat mereka mengerti pengaruh jangka panjang dari perilaku seks pranikah dan pentingnya merencanakan masa depan mereka[20]. 4. SIMPULAN DAN SARAN Pacaran dimaknai remaja sebagai cara untuk mendapatkan kasih sayang, semangat dan motivasi dalam menjalani hidup, juga sebagai hubungan yang dilakukan untuk memperoleh kesenangan. Perilaku seks pranikah yang pernah dilakukan oleh remaja dimaknai sebagai trend dimasa sekarang, mereka juga memaknai perilaku seks pranikah sebagai bukti dari kesungguhan perasaan cinta yang dimiliki kepada pasangannya, selain itu juga dimaknai sebagai pelampiasan dari dorongan nafsu yang menggebu. Nilai-nilai tersebut diperoleh dari lingkungan pergaulan dengan teman-teman yang juga permisif terhadap pacaran dan perilaku seks pranikah. Pengetahuan mereka tidak mampu menghalangi perilaku tersebut dikarenakan kurangnya pengendalian diri yang dimiliki oleh remaja serta tuntutan pasangan dalam membuktikan perasaan cintanya. Dilatarbelakangi oleh keadaan keluarga yang kurang baik, seperti hubungan yang kurang harmonis dengan orang tua, perceraian dan tidak adanya figur seorang ayah dalam keluarga. Selain itu juga dikarenakan oleh lingkungan 27 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 pergaulan yang permisif terhadap perilaku seks pranikah dan seringnya terpapar dengan hal-hal yang berkaitan dengan pacaran dan perilaku seks pranikah. Berdasarkan hasil penelitian yang diperoleh perlu adanya perhatian dan pengendalian khusus terhadap remaja dan perkembangannya, baik oleh orang tua, tenaga kesehatan, masyarakat sekitar dan remaja itu sendiri. 9. DAFTAR PUSTAKA 1. Narendra, M, B,dkk. 2010, Tumbuh Kembang Anak dan Remaja, Jakarta: CV. Sagung Setyo 2. Surbakti, E B, 2009, Kenalilah Anak Remaja Anda, Jakarta: PT. Elex Media Komputindo. 3. Himawan, Anang Haris, 2007, Bukan Salah Tuhan Mengazab, Solo: Tiga Serangkai. 4. Magdalena, Merry, 2010, Melindungi Anak dari Seks Bebas, Jakarta: Grasindo. 5. Surabaya Pagi, 5 Januari 2013, “Pacaran Boleh Berhubungan Intim”, Retrieved: March 4, 2013 from http://surabayapagi.com/index.php ?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298 2962a05e3092f6d3b2754829af16 a6ebeeb5 6. Soetjiningsih, 2008, “Remaja Usia 15 - 18 Tahun Banyak Lakukan Perilaku Seksual Pranikah”, Retrieved: March 19, 2013 from http://www.ugm.ac.id/index.php?p age=rilis&artikel=1659 7. BKKBN, 2010, “30 Persen Remaja Lakukan Seks Bebas”, Retrieved: March 4, 2013 from http://www.kumbang.net/index.php ?option=com_content&view=article &id=11:30-persen-remaja-lakukanseksbebas&catid=10:home&Itemid=13 8. Syarif, Bung, 2011, Menyingkap Rahasia Pacaran, Solo: Era Adicitra Intermedia. 11. 10. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Setiawan, Rony dan Nurhidayah, Siti, 2008, “Pengaruh Pacaran terhadap Perilaku Seks Pranikah”, Jurnal Soul, Vol.1, No.2, pp 59-72. Kisriyati, 2010, “Makna Hubungan Seksual dalam Pacaran bagi remaja di Kecamatan Baureno Kabupaten Bojonegoro”, Retrieved : March 4, 2013 from http://ejournal.unesa.ac.id/index.ph p/paradigma/.../1682 Chronika, Roy, 2011, “Makna Seks Bebas Bagi Pelajar SMP di Kota Padang”, Skripsi, Universitas Andalas. Surbakti, E B, 2008, Kenakalan Orang Tua Penyebab Kenakalan Remaja, Jakarta : PT. Elex Media Komputindo. Subiyanto, Paulus, 2012, Love, Sex, and Dating, Jakarta: Fidei Press. Papalia, Diane E, et.al., 2009, Human Development, ed. 10 Buku 2, Jakarta: Salemba Humanika. Santrock, John W, 2010, Perkembangan Anak Buku 2 edisi 11, Jakarta: Salemba Humanika. Purnamasari, Santi dan Mulyana, Haesty, 2010, “Hubungan antara Harga Diri dengan Sikap terhadap Perilaku Seksual Pranikah pada Remaja dari Keluarga Broken Home”, Psycho Idea, pp 41-53. Santrock, John W, 2007, Remaja edisi 1, Jakarta : Erlangga. Notoatmodjo, Soekidjo, 2010, Ilmu Perilaku Kesehatan, Jakarta: Rineka Cipta. Kusmiran, Eny, 2011, Kesehatan Reproduksi Remaja dan Wanita, Jakarta: Salemba Medika. Waspodo, Djoko, 2005, Bunga Rampai Obstetri dan Ginekologi Sosial, Jakarta: Yayasan Bina Pustaka Sarwono Prawirohardjo 28 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 Penelitian HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN IBU HAMIL DALAM MENGKONSUMSI TABLET Fe DAN VITAMIN C DENGAN JUMLAH KEHAMILAN DI DESA MEKARGALIH KECAMATAN JATINANGOR Hanifah Fitriani1, Anita Yuliani2, Rd. Tina D. Judistiani3, Ari Indra Susanti4 1 Program Diploma Kebidanan, Fakultas Kedokteran, Universitas Padjadjaran, Sumedang 2 Departemen Ilmu Gizi Medik, Rumah Sakit Pendidikan Universitas Padjadjaran, Bandung 3 Departemen Ilmu Epidemiologi dan Biostatistik, Rumah Sakit Pendidikan Universitas Padjadjaran, Bandung 4 Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat, Rumah Sakit Pendidikan Universitas Padjadjaran, Bandung ABSTRAK Pendahuluan : Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012 Angka kematian Ibu (AKI) mengalami kenaikan yaitu 359 per 100.000 kelahiran hidup. Kematian ibu di negara berkembang seperti Indonesia berkaitan dengan anemia kehamilan yang disebabkan oleh defesiensi besi. Agar anemia defesiensi zat besi pada ibu hamil dapat dicegah, maka diperlukan kepatuhan konsumsi tablet Fe dan tablet vitamin C secara teratur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) dan tablet vitamin C di Desa Mekargalih Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang. Metode : metode analitik dengan pendekatan cross-sectional. Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan kuisioner dan teknik total sampling yang berjumlah 50 orang dan menggunakan analisis bivariat Hasil : kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) dalam kategori patuh (52%), kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet vitamin C dalam kategori tidak patuh (78%), dan tidak terdapat hubungan antara responden ibu hamil yang patuh dalam mengkonsumsi tablet Fe (p > 0,005) dan vitamin C (p > 0,005). Kesimpulan : masih terdapat ibu hamil yang tidak patuh mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) dan tablet vitamin C secara teratur sehingga perlu dilakukan penyuluhan secara kontinue kepada ibu hamil untuk mengkonsumsi tablet Fe secara teratur setiap hari dan mengkonsumsi bersamaan dengan tablet vitamin C. Kata Kunci: Kepatuhan, Tablet Zat Besi (Fe), Tablet Vitamin C. ABSTRACT Background : Based on Indonesian Demographic and Health Survey (IDHS) 2012, mortality rate (MMR) was increased 359 per 100,000 live births. Maternal mortality in developing countries such as Indonesia is related to pregnancy anemia caused by iron deficiency. In order to prevent iron deficiency anemia in pregnant women, a compliance in iron (Fe) tablets and vitamin C tablets consumption is needed on a regularly. This research’s aims to describe the compliance of pregnant women in consuming iron (Fe) tablets and vitamin C tablets in Mekargalih Village District Of jatinangor Sumedang. Method : the quantitative of descriptive method using cross-sectional approach. Data were collectedusing questionnairesandtotal sampling techniquewith a sample of 50 people and using bivariate analysis. 29 BIMABI Volume 3No.1 | Januari-Juni 2015 Result : the compliance of pregnant women in consuming iron (Fe) tablets categorized as compliant (52%), the compliance of pregnant women in consuming vitamin C tablets categorized as noncompliant (78%), and there is no correlation between the compliace and grividity are pregnant woman respondents in consuming iron tablets (p > 0,005) and vitamin c tablets (p > 0,005) Conclusion : there are pregnant womans in Mekargalih Village that noncompliant cetegorized consuming iron (Fe) tablets and vitamin C tablets a regularity so that needs to counseling to pregnant women consume iron (Fe) tablets every day regularly and consume iron tablets with vitamin c tablets. Keywords: Compliance, Iron (Fe) Tablets, Vitamin C Tablets 1. PENDAHULUAN Pembangunan kesehatan merupakan bagian dari pembangunan nasional. Kesehatan merupakan hak dasar manusia yang diatur dalam UU no 23 tahun 1992. Salah satu indikator status kesehatan masyarakat adalah angka kematian. Angka Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi (AKB), dan Angka Kematian Balita (AKABA). Dibandingkan dengan Negara Asean Lainnya, AKI, AKB, dan AKABA di indonesia termasuk tinggi. Rendahnya indikator kesehatan di Indonesia ditandai dengan masih tingginya angka kematian pada ibu. Hasil SDKI tahun 2012 mencatat angka kematian ibu (AKI) 359 per 100.000 kelahiran hidup. Angka ini melonjak tinggi dibandingkan dengan hasil SDKI 2007 yang hanya 228 per 100.000 kelahiran hidup. Hal ini merupakan gambaran kondisi derajat kesehatan di Indonesia yang masih harus ditingkatkan kembali.[2] Menurut WHO, 40% kematian ibu di negara berkembang berkaitan dengan anemia dalam kehamilan. Mayoritas anemia dalam kehamilan disebabkan oleh defesiensi besi dan perdarahan akut. Saat ini anemia defisiensi besi pada ibu hamil menjadi salah satu masalah kesehatan di Indonesia karena prevalensinya cukup tinggi yaitu sebesar 63,5%. Berdasarkan hasil Riskesdas 2013, prevalensi anemia pada ibu hamil di Indonesia sebesar 37,1% yaitu ibu hamil dengan kadar Hb kurang dari 11,0 gram/dl.Penyebab utama anemia ini adalah kekurangan zat besi (fe) yang diperlukan untuk pembentukan hemoglobin. Selama kehamilan terjadi peningkatan kebutuhan zat besi hampir tiga kali lipat untuk pertumbuhan janin dan keperluan ibu hamil. Sekitar 50 % dari kematian di negara-negara berkembang disebabkan oleh anemia defisiensi besi.[3,5,6] Indonesia adalah salah satu negara berkembang dimana hanya sedikit ibu hamil yang dapat memenuhi kebutuhan zat besi selama kehamilannya yaitu dengan makanan yang dikonsumsi setiap hari. Hal imidikarenakan sumber utama zat besi yang mudah diserap oleh tubuh yaitu berasal dari protein hewani seperti ikan dan daging harganya relatif mahal dan belum sepenuhnya terjangkau oleh masyarakat. Untuk menanggulangi masalah tersebut maka pemerintah melalui departemen kesehatan (Depkes RI) melaksanakan suatu program dalam pemberiam tablet zat besi pada ibu hamil. Pemberian suplementasi tablet zat besi dan peningkatan gizi merupakan upaya-upaya dalam mencegah dan menanggulangi anemia.Meskipun program pemberian suplementasi zat besi pada ibu hamil sudah dijalankan sejak tahun 1970, namun masih terdapat beberapa kasus perdarahan yang disebabkan karena anemia pada masa kehamilan.[4] Kebutuhan wanita hamil akan zat besi meningkat sebesar 200-300% yang digunakan untuk pembentukan plasenta dan sel darah merah. Oleh karena itu suplementasi zat besi sangat penting sekali, bahkan pada wanita yang status gizinya sudah baik. Suplementasi tablet zat besi merupakan pemberian zat besi yang berbentuk tablet.[7] Penyerapan zat besi sangat dipengaruhi oleh ketersediaan vitamin C dalam tubuh ibu. Konsumsi buahbuahan yang mengandung vitamin C sangat berperan dalam absorbsi zat besi.[8] Menurut hasil penelitian pada tahun 2004 menyatakan rata-rata faktor dominan yang menentukan kadar Hb wanita usia 20-35 tahun yaitu konsumsi vitamin C.[9] Kebutuhan akan vitamin C seorang ibu hamil meningkat dari ibu yang tidak hamil, dimana seorang ibu hamil membutuhkan 85 mg vitamin C per hari. Salah satu upaya yang dijalankan pemerintah untuk mencegah dan mengatasi anemia defisiensi pada ibu hamil yaitu dengan pemberian suplementasi besifolat dan tablet vitamin C secara rutin 30 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 selama jangka waktu tertentu dengan Ibu Hamil Dalam Mengkonsumsi Tablet Zat tujuan untuk meningkatkan kadar Besi (Fe) dan Tablet Vitamin C dengan Jumlah Kehamilan Di Desa Mekargalih Hemoglobin secara cepat.[10,11] Jatinangor Kabupaten Setelah dilakukan studi pendahuluan Kecamatan dengan melakukan wawancara kepada Sumedang”. sepuluh ibu hamil pada saat kegiatan pemeriksaan kehamilan di Balai Desa METODE PENELITIAN Mekargalih tanggal 22 Febuari 2014 2. Metode yang digunakan pada diperoleh hasil sebanyak tujuh ibu hamil penelitian ini adalah metode analitik dengan mengkonsumsi tablet Fe namun tidak pendekatan cross sectional (potong lintang) teratur setiap hari dan sepuluh ibu hamil tidak mendapatkan tablet vitamin C selama yaitu dengan cara pendekatan, observasi pada menjalani kehamilannya sampai dengan atau pengumpulan data sekaligus [12] Pada suatu saat (point time approach). saat ini. Sedangkan untuk ibu hamil yang mengkonsumsi tablet Fe, tiga orang penelitian ini pengumpulan data dilakukan diantaranya sering merasakan mual setelah hanya pada satu waktu selama penelitian. meminum tablet tersebut sehingga karena Populasi dan sampel dalam penelitian ini hal tersebut ibu hamil tidak mengkonsumsi adalah semua ibu hamil di desa Mekargalih setiap hari. Berdasarkan berbagai data di sebanyak 50 orang. Pengambilan sampel atas, maka penulis tertarik untuk dengan teknik total sampling. melakukan penelitian yang berkaitan mengenai “Hubungan antara Kepatuhan 3. HASIL PENELITIAN Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Ibu Hamil Dalam Mengkonsumsi Tablet Zat Besi (Fe) di Desa Mekargalih Kecamatan Jatinangor KabupatenSumedang ( n=42) Kepatuhan konsumsi tablet Fe % f Patuh 26 52 Tidak patuh 24 48 Total 50 100 Berdasarkan tabel di atas didapatkan bahwa responden ibu hamil di Desa Mekargalih Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang, dalam mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) sebanyak 26 orang (52%) dikategorikan Patuh. Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Ibu Hamil Dalam MengkonsumsiTablet Vitamin C di Desa Mekargalih Kecamatan JatinangorKabupaten Sumedang ( n=13) Kepatuhan konsumsi tablet vitamin C % f Patuh 11 22 Tidak patuh 39 78 Total 50 100 Berdasarkan table 2. didapatkan bahwa responden ibu hamil di Desa Mekargalih Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang, dalam mengkonsumsi tablet vitamin C sebanyak 39 orang (78%) dikategorikan tidak patuh. 31 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 Tabel 3. Hubungan antara Kepatuhan Ibu Hamil Dalam Mengkonsumsi Tablet Zat Besi (Fe) dengan Jumlah Kehamilan Responden di Desa Mekargalih KecamatanJatinangor KabupatenSumedang Kepatuhan konsumsi tablet Fe Nilai p Graviditas Patuh Tidak patuh f % f % Primigravida (n=12) 6 50 6 50 0,567 Multigravida (n=38) 20 63 18 47 Berdasarkan tabel 3. didapatkan mengkonsumsi tablet Fe dengan nilai p= hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara 0,567. responden ibu hamil yang patuh dalam Tabel 4. Hubungan antara Kepatuhan Ibu Hamil Dalam Mengkonsumsi Vitamin C dengan Jumlah Kehamilan Responden di Desa Mekargalih KecamatanJatinangor Kabupaten Sumedang Kepatuhan konsumsi tablet vitamin C Nilai p Graviditas Patuh Tidak patuh f % f % Primigravida (n=12) 3 25 9 75 0,528 Multigravida (n=38) 8 16 30 79 Berdasarkan tabel 4. didapatkan hasil bahwa tidak terhadap hubungan antara responden ibu hamil yang patuh dalam mengkonsumsi tablet vitamin C dengan nilai p= 0,528. 4. PEMBAHASAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan pada 50 responden ibu hamil diketahui bahwa kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) di Desa Mekargalih Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang, ibu hamil yang dikategorikan patuh mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) sebanyak 26 responden (52%). Suplementasi besi-folat secara rutin selama jangka waktu tertentu, bertujuan untuk meningkatkan kadar Hb secara cepat[10] . Dalam penelitian ini kepatuahan mengkonsumsi tablet Fe dapat diukur jika responden mulai memasuki usia kehamilan 16 minggu. Hal ini mengikuti Pedoman Pemberian Tablet Zat Besi (Fe) pada ibu hamil bagi tenaga Kesehatan dari Depkes RI tahun 2001. Namun menurut WHO pemberian suplementasi besi-folat dapat diberikan pada ibu hamil dimulai sedini mungkin.Kemudian hal lain seperti cara mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) yang kurang tepat yaitu masih adanya ibu minum menggunakan air teh maupun susu dan tidak menggunakan air putih atau air jeruk sesuai anjuran, padahal yang membantu proses penyerapan zat besi dalam tubuh yaitu minuman yang mengandung vitamin C salah satunya air jeruk atau bersamaan dengan tablet vitamin C.[4] Akan tetapi sebagian besar responden yang termasuk kategori tidak patuh tersebut, waktu dalam mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) yaitu setelah 2 jam makan sehingga apabila ibu mengkonsumsi makanan seperti daging atau ikan dan mengkonsumsi tablet zat besi bersamaan dengan vitamin C dapat menstimulasi produksi asam lambung dan dapat meningkatkan absorbsi zat besi.[13] Penyerapan besi dapat maksimal apabila saat minum tablet zat besi (Fe) dengan memakai air minum yang sudah masak. Selain itu tablet zat besi sebaiknya diminum pada malam hari setelah makan sebelum tidur untuk mengurangi efek mual. Tablet zat besi (Fe) baik dikonsumsi bersamaan dengan vitamin C untuk membantu penyerapan dari zat besi.13Seperti dikatakan dalam teori yang ada terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien yaitu pendidikan, faktor sosial ekonomi, interaksi profesional kesehatan dengan pasien dan usia.[14,15] Tingkat pendidikan merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet zat besi (Fe). Hal ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh puspasari (2008) di Desa Sokaraja Tengah, Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas tentang faktor-faktor yang mempengaruhi kepatuhan ibu hamil 32 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 dalam mengkonsumsi tablet besi mengungkapkan bahwa pengetahuan, pendidikan, dan peranan petugas kesehatan merupakan faktor yang mempengaruhi kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi.[16] Berdasarkan tabel 2. diketahui bahwa kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet vitamin C di Desa Mekargalih Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang, ibu hamil yang patuh mengkonsumsi tablet vitamin C sebanyak 11 responden (22%) dan responden yang tidak patuh mengkonsumsi tablet vitamin C sebanyak 39responden (78%). Dalam peneltian ini untuk menilai kepatuhan konsumsi tablet vitamin C dapat diukur dari jumlah tablet vitamin C yang dikonsumsi, waktu atau cara mengkonsumsi karena tablet vitamin C dikonsumsi bersamaan dengan tablet zat besi (Fe) sesuai dengan anjuran sebagai upaya pencegahan dan penanggulangan anemia zat besi pada ibu hamil yaitu dengan memberikan suplementasi besifolat dan tablet vitamin C secara rutin selama jangka waktu tertentu dengan tujuan untuk meningkatkan kadar Hb secara cepat.[7]Dalam penelitian ini terdapat 14 responden (28%) yang mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) tidak bersamaan dengan tablet vitamin c namun bersamaan dengan vitamin B dan suplemen lainnya. Hal ini menunjukkan masih sedikit ibu hamil yang mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) tidak bersamaan dengan Tablet vitamin C. Responden yang tidak patuh tersebut diantaranya tidak mendapatkan tablet vitamin C dari tenaga kesehatan dimana responden melakukan pemeriksaan kehamilandan adapula responden yang mendapatkan tablet vitamin C dari bidan praktik mandiri namun belum mematuhi tentang aturan mengkonsumsi tablet Fe yang dikonsumsi bersamaan dengan konsumsi tablet vitamin C dalam tubuhsehingga masih ditemukannya ibu hamil yang hanya mengkonsumsi tablet vitamin C saja tanpa mengkonsumsi tablet vitamin zat besi (Fe). Seperti dikatakan dalam teori yang ada terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi kepatuhan pasien yaitu tingkat pendidikan, pengetahuan, sosial ekonomi, serta interaksi profesional kesehatan dengan pasien.[14] Berdasarkan tabel 3. didapatkan hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara responden ibu hamil yang patuh dalam mengkonsumsi tablet Fe dengan nilai p= 0,567. Seperti yang telah dijelaskan dalam pembahasan kepatuhan tablet zat besi (Fe) jika tingkat pendidikan, peranan interaksi tenaga kesehatan, faktor sosial ekonomi dan usia merupakan faktor yang mempengaruhi kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet zat besi dan tablet vitamin C.[16] Hal ini didukung pada penelitian Mardhatillah (2009) tentang hubungan pengetahuan ibu hamil tentang anemia defisiensi besi terhadap kepatuhan mengkonsumsi tablet zat besi mengungkapkan bahwa pengetahuan berpengaruh terhadap kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) sehingga perlu ditingkatkan lagi edukasi ibu hamil mengenai anemia defisiensi besi pada ibu hamil.[19] Penelitian yang lain yang dilakukan oleh Rumiyanti dkk (2014) tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan ibu multigravidan dalam mengkonsumsi tablet Fe di puskesmas pulanharjo Klaten mengungkapkan yaitu faktor yang mempengaruhi ibu multigravida dalam mengkonsumsi tablet Fe adalah tingkat pengetahuan.[18] Berdasarkan tabel 4. didapatkan hasil bahwa tidak terhadap hubungan antara responden ibu hamil yang patuh dalam mengkonsumsi tablet vitamin C dengan nilai p= 0,528. Pengetahuan memegang peranan penting dalam menentukan sikap dan perilaku responden untuk mengkonsumsi dan mematuhinya. Dengan adanya pengetahuan tentang zat besi dan vitamin C ibu hamil akan mengerti jika konsumsi tablet Fe dan tablet vitamin C salah satu bantuan terpenting yang dapat dilakukan untuk meningkatkan kualitas status gizi pada ibu hamil.[16] Penelitian ini mempunyai hasil yang sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Dyah Susanti (2013) di Puskesmas Polanharjo Kabupaten Klaten tentang tingkat kepatuhan ibu multigravida mengkonsumsi tablet Fe mengungkapkan bahwa pada ibu hamil multigravida dalam mengkonsumsi tablet Fe lebih banyak yang patuh.[17] Namun untuk kepatuhan dalam 33 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 mengkonsumsi vitamin C dalam kategori tidak patuh. Dalam memberikan edukasi dapat dilakukan oleh petugas kesehatan, dimana dalam penelitian ini semua responden yang patuh mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) dan vitamin C disarankan oleh tenaga kesehatan. Hal ini sesuai dengan teori yang telah ada yaitu interaksi profesional kesehatan merupakan suatu hal yang penting untuk memberikan umpan balik pada pasien setelah memperoleh informasi tentang diagnosis yang diterimanya. Hasil penelitian yang dilakukan di makassar pada tahun 2013 peranan petugas kesehatan menjadi faktor yang mendominasi dalam kepatuhan ibu hamil mengkonsumsi tablet zat besi karena petugas kesehatan selalu memberi motivasi untuk mengonsumsi tablet besi sampai habis.[14,20] Dalam melakukan promosi kesehatan khususnya promosi anemia ibu hamil dan cara meminum tablet besi salah satunya dengan sosialisasi pentingnya konsumsi tablet zat besi (Fe) yang tepat, makan makanan yang mengandung sumber zat besi dan pentingnya vitamin C untuk meningkatkan penyerapan tablet zat besi di dalam tubuh.[4] DAFTAR PUSTAKA 1. Kemenkes RI. Profil kesehatan indonesia 2010. Jakarta: Kemenkes RI, 2011 2. Depkes RI. AKI tinggi, Menkes tak puas hasil SDKI 2012. BKKBN, 2013 Diperoleh dari http/www.depkes.go.id. Diakses tanggal 08 maret 2014. 3. Saifudin AB, W iknjosastro H, Affandi. Buku acuan nasional pelayanan kesehatan maternal dan neonatal. Jakarta:JNPKK, 2000 Hal: 8-9 4. Varney H. Buku ajar asuhan kebidanan. Volume ke-2. 4th. Jakarta: EGC, 2006 5. Sofyan MB, dkk. 50 Tahun Ikatan Bidan indonesia bidan menyongsong masa depan. Pengurus pusat Ikatan Bidan Indonesia (IBI). Et all (ed). Jakarta: PP IBI, 2006 6. Hasil Riskesdas 2013 Terkait Kesehatan. Depkes. 2013 Diperoleh dari http://www.kesehatanibu.depkes.go.id/ archives/ 5. KESIMPULAN DAN SARAN Simpulan berdasarkan hasil penelitian ini adalah kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) dalam kategori patuh (52%), kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet vitamin C dalam kategori tidak patuh (78%), dan tidak terdapat hubungan hubungan antara responden ibu hamil yang patuh dalam mengkonsumsi tablet Fe (p > 0,005) dan vitamin C (p > 0,005). Oleh karena itu disarankan kepada petugas kesehatan di Jatinangor Petugas kesehatan di puskesmas diharapkan dapat mengoptimalkan peranannya dengan memberikan konseling atau motovasi dan pada saat penyuluhan kesehatan tentang pemberian tablet zat besi (Fe) bersamaan dengan pemberian tablet vitamin C pada ibu hamil dan petugas juga harus mengembangkan strategi program pengawasan minum tablet zat besi (Fe) dengan melibatkan kader dan keluarga terdekat serta memberikan informasi mengenai kepada tenaga kesehatan mengenai anjuran mengkonsumsi tablet Fe sesuai pedoman DepKes RI. diakses 03 mei 2014 7. 8. 9. 10. 11. Department of Nutrition for Health and Development. Daily iron and folic acid supplementation in pregnant women. WHO. Switzerland. 2012 Diperoleh dari http://www.who.int/nutrition/publication s/micronutrients/guidelines/daily_ifa_s upp_pregnant_women/en/ diakses pada 21 agustus 2014 Argana G. Vitamin C sebagai faktor dominan untuk kadar hemoglobin pada wanita usia 20 – 35 tahun.Jurnal kedokteran trisakti vol 23, 2004 Depkes RI. Pedoman pemberian tablet besi-folat dan sirup besi bagi petugas. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia, 2001 Nainggolan E. Perilaku Ibu Hamil Dalam Mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) di Desa Tanjung Rejo Kec.percut Kab,Deli Serdang tahun 2012. Harahap I. Pengaruh program konsumsi jambu biji terhadap 34 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 perubahan kadar hemoglobin pada ibu hamil anemia yang mendapat suplementasi tablet Fe. Repository Universitas Sumatera Utara 2005 12. Sugiyono. Metode penelitian kuantitatif kualitatif . Bandung: Alfabeta, 2008 13. Jordan S. Farmakologi kebidanan. Jakarta: EGC, 2004 14. Niven N. Psikologi Kesehatan. Jakarta: EGC, 2002 15. Bart S. Psikologi Kesehatan. Jakarta: PT. Gramedia W idiasarana Indonesia, 1994 16. Puspasari, Fida, Rahmawati. Faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet besi di Desa Sokaraja Tengah,Kecamatan Sokaraja, Kabupaten Banyumas. Jurnal Volume 3 No.1, 2008 17. Susanti D. Tingkat kepatuhan ibu multigravida mengkonsumsi tablet Fe di Puskesmas Polanharjo Klaten. Jurnal KesMasDaSKa 2013 18. Rumiyati E. Handayani D. Faktor-faktor yang Mempengaruhi Tingkat Kepatuhan Ibu Multigravida dalam Mengkonsumsi Tablet Fe di Puskesmas Polanharjo, Klaten. Jurnal KesMasDaSKa Januari 2014 19. Mardhatillah F, Datten B. Hubungan pengetahuan ibu hamil tentang anemia defisiensi besi terhadap kepatuhan mengkonsumsi tablet zat besi di Puskesmas Merbabu Magelang. Jurnal Kedokteran Indonesia Volume 4 2009 20. Bobak. Buku ajar keperawatan maternitas. 4nd Jakarta: EGC, 2005 35 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 Penyegar BIDAN INDONESIA DAN TENAGA KESEHATAN HARUS SIAP MENGHADAPI MEA Hartini1 1 Prodi DIII Kebidanan, Fakultas Ilmu Kesehatan, UNIPDU, Jombang PENGERTIAN TENTANG MEA Masyarakat Ekonomi Asean adalah persaingan di bursa tenaga kerja Indonesia dengan Asean akan semakin meningkat menjelang pemberlakuan pasar bebas Asean pada akhir 2015 mendatang. Ini akan mempengaruhi banyak orang, terutama pekerja yang berkesinambungan pada sektor keahlian khusus. Lima hal yang harus kita ketahui dalam mengantisipasi menghadapi pasar bebas Asia Tenggara. Para pemimpin Asean sepakat membentuk sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara pada akhir 2015 mendatang. Agar daya saing Asean meningkat serta bisa menyaingi Cina dan India untuk menarik investasi asing. Penanaman modal asing di wilayah ini sangat dibutuhkan untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan meningkatkan kesejahteraan. Pembentukan pasar tunggal yang diistilahkan dengan sebutan MEA ini nantinya akan memungkinkan satu negara menjual barang dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di seluruh Asia Tenggara sehingga kompetensi akan semakin ketat. Masyarakat Ekonomi Asian tidak hanya membuka arus perdagangan barang atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja profesional, seperti dokter, pengacara, akuntan, dan lainnya. Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, (Dita Indah Sari), menjelaskan bahwa MEA mensyaratkan adanya penghapusan aturan-aturan yang sebelumnya menghalangi perekrutan tenaga kerja asing. ”Pembatasan, terutama dalam sektor tenaga kerja profesional, didorong untuk dihapuskan, sehingga pada intinya, MEA akan lebih membuka peluang untuk tenaga kerja asing serta mengisi jabatan dan profesi di Indonesia yang tertutup atau minim tenaga asingnya”. Menyiapkan strategi dalam menghadapi pasar bebas tenaga kerja yaitu jabatan dibuka, sektor diperluas, tetapi syrat diperketat. Jadi buka itu tidak asal buka saja, dan bebas tidak asal bebas. Ujar (Dita Indah Sari). Sejumlah syarat yang ditentukan antara lain yaitu kewajiban berbahasa Indonesia dan sertifikasi lembaga profesi terkait di dalam negeri. Kita tidak mau tenaga kerja lokal yang sebetulnya berkualitas dan mampu tetapi karena adanya tenaga kerja asing jadi tergeser. Masyarakat Indonesia sekarang ini akan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) atau ASEAN Economic Community (AEC). Bagi tenaga kesehatan khususnya bidan yang ada di Indonesia akan dihadapkan dengan persaingan dari sembilan negara yang akan masuk ke Indonesia sebagai tenaga kesehatan yang bekerja di Indonesia. Maka yang akan mengahadpi persaingan ASEAN sendiri adalah bidan. Apakah bidan indonesia siap menghadapi MEA?. Dalam Acara Workshop Nasional tentang mengenai isu kebidanan dunia yang digelar oleh Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan United Nations Population Fund (UNFPA) pada awal september lalu (tahun 2014), Ketua Ikatan Bidan Indonesia[1] mengakui kualitas bidan di Indonesia sendiri itu masaih rendah di bandingkan dengan beberapa negara ASEAN lainnya. Dari segi jumlah bidan yang ada di Indonesia sendiri itu jumlah bidannya banyak, dari jumlah sekolah yang terlalu banyak juga. Tetapi kita bicara kualitas yang masing-masing sekolah beragam. Mungkin dengan kedepannya kualitas bidan yang ada di Indonesia sendiri bisa meningkat[1], dalam acara yang diselenggarakan di Hotel J.S Luwansa, Jakarta. Menurut (Emi Nurjasmi) masalah kualitas bidan tidak hanya bisa dilakukan oleh bidan sendiri atau mandiri. Diperlukannya kerjasama dengan sektor-sektor yang terkait. Terutama dari segi pendidikan. Kerjasama ini sangat diperlukan supaya pendidikan yang diberikan pada bidan bisa sesuai standar kebidanan. Agar bidan-bidan yang lulus juga bisa sesuai dengan standar IBI. Indonesia sendiri memfokuskan agar mempersiapkan kualitas bidan. Indonesia untuk menargetkan pada tahun 2030 itu adalah memiliki bidan yang berkualitas semuanya, ujar (Emi Nurjasmi). Pendapat yang serupa juga disampaikan perwakilan dari Maternal and Reproductive Health WHO, Rustini Floranita. Menurutnya kualitas bidan di Indonesia ini masih menjadi tantangan serius. Salah satu bentuk kerjasama yang telah 36 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 dilakukan adalah perbaiakan kualitas melalui uji kompetensi dan sertifikasi untuk bidan, yang telah menjadi kesepakatan bersama oleh Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementrian Kesehatan. Mulai dari menata hingga memfasilitaskan suatu standar kompetensi dan pendidikan. Meskipun terdapat sedikit kendala, namun sejak November 2013, IBI telah melakukan uji kompetensi bagi para calon bidan. Uji kompetensi ini menjadi syarat wajib untuk menjadi lulusan bidan. Kemendikbud dan Kemenkes sedang merancang kebijakan nasional yang terbaru untuk mengenai uji kompetensi lagi. “Bagaimana cara menghadapi MEA untuk para bidan di indonesia sendiri apakah mampu bersaing dengan sembilan negara ASEAN, dan mampukah bidan Indonesia itu agar tetap unggul dalam aspek pendidikannya untuk mendapatkan lapangan pekerjaan yang mestinya di dapatkan di negara indonesia sendiri?”. Untuk mengetahui bagaiman kompetensi pendidikan dari sembilan negara ASEAN yang sangat berkualitas dalam menjalankan tenaga kerjanya di Indonesia dan meningkatkan kualitas pendidikan bidan yang terdapat pada sekitar 270 institusi pendidikan kebidanan di Indonesia. Meningkatkan kompetensi pendidikan kebidanan di Indonesia serta memfasilitasi standar kompetensi dan pendidikan. Meningkatakan standar profesi kebidanan di Indonesia serta menjalankan etika dan moral kebidanan. Melakukan uji kompetensi bagi para calon bidan agar tidak terjadi praktek yang ilegal tanpa adanya Surat Tanda Registrasi (STR),serta uji kompetensi itu adalah sebagai syarat wajib untuk lulus menjadi bidan. BIDAN INDONESIA MENGHADAPI MEA Tenaga kerja bidan Indonesia yang berkualitas adalah yang bisa mewujudkan dan meningkatkan kualitas pendidikan bidan. Mendidik para bidan dengan kurikulum yang baik atau sesuai dengan KKNI. Apabila bidan menerima pendidikan sesuai dengan standar internasional dan berkualitas maka dapat mengurangi resiko kematian ibu dan anak, kualitas yang memadai bidan indonesia adalah justru yang dapat mengisi pasar luar negeri dan bidan Indonesia tidak perlu takut menghadapi MEA, kalau bidan Indonesia berkualitas maka dapat menyerap pasar luar negeri, ujar (Emi Nurjasmi). Dana Kependudukan Perserikatan Bangsa-bangsa (UNFPA) bekerja sama dengan Konfederasi Bidan Internasional (ICM) dan Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta meriliskan Situasi Kebidanan Dunia Tahun 2014. Dan laporan tersebut memaparkan suatu tantangan yang dihadapi tenaga kerja kebidanan di 73 negara di benua afrika, asia dan amerika latin, di mana layanan kebidanan itu sangat dibutuhkan. Negara-negara tersebut menyumbang 96 persen dari kematian ibu melahirkan secara global, 91 persen bayi lahir dalam keadaan mati, dan 93 persen kematian bayi baru lahir. Tantangan bidan Indonesia atau tenaga kesehatan lainnya untuk menghadapi MEA adalah dari negara-negara tersebut hanya memiliki 42 persen dari keseluruhan jumlah dokter, bidan, dan perawat di dunia, “kata Jose Ferraris selaku perwakilan UNFPA untuk Indonesia di Jakarta. Hanya 22 persen negara yang secara potensial memiliki cukup bidan yang kompeten untuk memenuhi kebutuhan dasar baik itu perempuan dan bayi yang baru lahir. Sementara itu, 78 persen negara juga akan menghadapi kekurangan dalam bidang kebidanan yang akan mengakibatkan kematian ibu dan bayi, yang sebenarnya bisa dapat dicegah. KEMENKES MENYUSUN REGULASI UNTUK MENGHADAPI MEA Kementrian Kesehatan mengantisipasi derasnya arus tenaga kerja asing (TKA) yang masuk ke indonesia saat diberlakukannya MEA 2015 dengan adanya penyusunan regulasi domestik. Regulasi domestik terkait dengan tenaga kerja asing tersebut akan berisi tentang syarat kemampuan bahasa indonesia yang baik, harus lolos kualifikasi dan uji kompetensi, serta diprioritaskan pada bidang ilmu pengetahuan dan teknologi. Persyaratan umum yang terkait dengan pemanfaatan TKA medis telah diatur dalam Permenkes 67/2013 yang mengacu pada UU 39/2004 tentang ketenaga kerjaan. “Rumah sakit dapat mempekerjakan WNA, tetapi yang harus ahli IPTEK. Tidak boleh dokter umum, harus dokter spesialis. Kriterianya itu harus tepat, dan yang tidak bisa disediakan oleh Indonesi”, kata kepala pusat Perencanaan dan Pemberdayagunaan SDM Kemetrian Kesehatan Tritarayati. Tenaga medis asing itu bisa masuk ke dalam empat sektor, yakni pelayanan kesehatan, pendidikan kesehatan, panti sosial di bidang kesehatan dan penelitian di bidang kesehatan. Tenaga medis asing tersebut harus memiliki Surat Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran untuk dokter atau perawat yang dikeluarkan oleh Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia. Sementara pihak rumah sakit, harus mendapatkan izin dari kolegium kedokteran jika hendak menggunakan TKA. Apabila tenaga medis yang dibutuhkan oleh sebuah rumah sakit itu masih bisa ditangani oleh tenaga lokal maka permintaan itu tidak akan dipenuhi. Tenaga kerja 37 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 asing yang masuk harus diseleksi terlebih dahulu oleh pihak kolegium untuk mendapatkan STR. Kolegiumlah yang menentukan apakah sebuah rumah sakit itu bisa menggunakan jasa tenaga medis asing. DAFTAR PUSTAKA 1. Nurjasmi, Emi. 2014, Siapkah Bidan Hadapi MEA. 2. www.unand.ic.id/id/berita/universitas/299 5_louncing_buku_masyarakat_ekonomi ASEAN 2015 38 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 Penyegar PENDEKATAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK: SOLUSI UNTUK MENGUBAH PERSEPSI IBU YANG SALAH TENTANG ASI EKSKLUSIF GUNA MEWUJUDKAN VISI INDONESIA SEHAT 2025 Yuniyarti Arsitasari1 1 Program Studi D3 Kebidanan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta Kesehatan Ibu dan Anak telah menjadi perhatian masyarakat secara global. Di Indonesia sendiri Kesehatan Ibu dan Anak dipusatkan salah satunya kepada program pemberian pemberian ASI (Air Susu Ibu) eksklusif dari pemerintah yang sesuai dengan program Millennium Development Goals (MDGs) dari World Health Organizations (WHO). Salah satu rencana strategis Dinas Kesehatan adalah mengembangkan kesehatan masyarakat melalui salah satunya adalah pemberian ASI eksklusif yang juga dikukuhkan oleh Kementrian Kesehatan RI dengan menerbitkan Surat Keputusan Menteri Kesehatan no.450/MENKES/SK/IV/2004 tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) secara Eksklusif pada Bayi di Indonesia.[1,2,3] ASI eksklusif adalah bayi hanya diberi ASI saja tanpa ada pemberian makanan atau minuman lainnya, bahkan air putih sekali pun sampai bayi berusia 6 bulan.[4,5] Keunggulan ASI eksklusif adalah ASI mengandung semua zat gizi yang diperlukan oleh bayi, termasuk hormonhormon dan senyawa-senyawa kekebalan yang tidak terdapat pada susu formula; zat gizi yang terdapat pada ASI dapat menyesuaikan kebutuhan untuk pertumbuhan dan perkembangan bayi; mencegah bayi terkena penyakit saluran pencernaan, saluran pernapasan, dan infeksi telinga; dan bayi yang diberi ASI eksklusif memiliki kemungkinan lebih kecil terkena penyakit daripada yang tidak diberi ASI eksklusif.[4] Program ASI eksklusif ini dihadirkan untuk mendorong jumlah anak-anak yang hidup melewati usia 5 tahun [1] dikarenakan apabila bayi dibawah usia 6 bulan sudah diberi makanan atau minuman selain ASI maka akan berpengaruh negatif pada proses tumbuh kembang bayi yang akhirnya mempengaruhi usia hidup bayi tersebut. Pengaruh buruk yang dimaksud, meliputi zat-zat gizi yang terdapat pada makanan atau minuman selain ASI yang diberikan kepada bayi tidak mampu diserap oleh tubuh bayi karena sistem pencernaan bayi yang belum mampu zat makanan selain pada ASI; meningkatkan risiko alergi dan kelebihan berat badan pada bayi; dan meningkatkan risiko bayi terkena infeksi saluran pencernaan atau pernapasan.[5] ASI sudah diakui keunggulannya, tetapi kecenderungan ibu untuk tidak menyusui bayinya secara eksklusif semakin besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan semakin banyaknya ibu yang memberikan makanan tambahan pengganti ASI lebih awal.[3] Persentase pemberian ASI eksklusif di Indonesia berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010, hanya 15,3% dari seluruh bayi per tahun. [3,6] Banyak penelitian dan pengamatan yang dilakukan di berbagai daerah di Indonesia juga menunjukkan adanya kecenderungan jumlah ibu di Indonesia yang tidak menyusui bayinya. Salah satunya berdasarkan Survey Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) periode 19972007, hanya 14% ibu di Tanah Air yang memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif kepada bayinya sampai 6 bulan dengan detail data, hanya 3,7% bayi yang memperoleh ASI pada hari pertama, sedangkan pemberian ASI pada bayi berumur kurang dari 2 bulan sebesar 64%, antara 2-3 bulan 45,5%, antara 4-5 bulan 13,9%, dan antara 6-7 bulan 7,8%. Bayi yang berusia di bawah 2 bulan, 13% diantaranya telah diberikan susu formula dan satu dari tiga bayi usia 2-3 bulan telah diberi makanan tambahan. Bayi berusia dibawah 6 bulan yang menggunakan susu 39 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 formula sejumlah 76,6% pada bayi yang tidak disusui dan 18,1% pada bayi yang disusui.[3,7,8] Hasil SDKI 2012 menunjukkan bahwa bayi umur 0-1 bulan yang diberikan ASI dan susu lain sebesar 31,5%, umur 2 – 3 bulan sebesar 18% dan umur 4 – 5 bulan sebesar 7,6%. Ini adalah merupakan angka yang cukup penting untuk diwaspadai dan diperhatikan. [9] Faktor-faktor yang menyebabkan masih rendahnya jumlah ibu di Indonesia yang menyusui bayinya secara eksklusif adalah belum semua rumah sakit yang menerapkan 10 LMKM (Langkah Menuju Keberhasilan Menyusui), belum semua bayi memperoleh IMD (Inisiasi Menyusu Dini), jumlah konselor menyusui masih sedikit, promosi susu formula masih gencar, belum semua fasilitas kantor dan umum terdapat tempat khusus menyusui, pendidikan ibu, pekerjaan ibu, persepsi tentang ASI eksklusif, dan lain-lain. [6,10,11] Dari semua faktor, faktor yang paling mendasar adalah persepsi masyarakat, terutama persepsi ibu yang salah tentang ASI eksklusif. Ada ibu yang berpendapat bahwa ASI eksklusif, tidak hanya ASI saja yang diberikan, tetapi juga makanan yang lain karena ASI saja belum cukup untuk memenuhi gizi bayi dan meskipun bayi diberikan makanan lain selain ASI, bayi tidak ada kelainan. Pendapat itu menjadi persepsi yang bersifat turun-temurun.[12] Ibu-ibu juga berpersepsi takut mengendong bayinya dan memberikan ASI eksklusif karena mungkin melahirkan anak yang pertama. Oleh sebab itu, banyak ibu-ibu khawatir menggendong karena menurut nenek moyang mereka tulang bayi masih seperti tulang burung, salahsalah dalam menggendong tulang bayi bisa patah.[13] Selain itu, juga persepsi seorang ibu yang menyakini bahwa produksi ASInya kurang atau ibu merasa ASI-nya tidak mencukupi kebutuhan bayi. Padahal apabila ibu merasa yakin bahwa sebenarnya ASI-nya cukup dapat membantu meningkatkan keberhasilan dalam pemberian ASI eksklusif.[14] Untuk itu, diperlukan suatu solusi untuk mengubah persepsi ibu tentang ASI Eksklusif yang salah sehingga dapat meningkatkan keberhasilan dalam pemberian ASI eksklusif dan akhirnya mampu mewujudkan visi Indonesia Sehat 2025 dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat. Persepsi Persepsi bisa dimaknai sebagai “proses internal yang memungkinkan kita memilih, mengorganisasikan, dan menafsirkan rangsangan dari lingkungan kita, dan proses tersebut mempengaruhi perilaku kita”. Sedangkan menurut Rahmat (2009), persepsi adalah memberikan makna pada stimuli indrawi. Menurut W ood (1997) menjelaskan bahwa persepsi adalah proses aktif dari seleksi, organisasi dan interpretasi terhadap manusia, objek, peristiwa dan aktivitas.Persepsi merupakan proses aktif dimana manusia fokus lalu mengorganisasikan dan menginterpretasi apa yang telah diperhatikannya secara selektif tersebut.[1] Menurut Wood (1997) proses persepsi ditentukan oleh empat faktor, yakni prototypes (pengategorian fenomena dalam benak seseorang), personal construct (faktor yang mempengaruhi penilaian), stereotypes (generalisasi mengenai kondisi atau orang tertentu), dan scripts (panduan untuk mengorganisasi persepsi), yang kesemuanya berhubungan dengan diri seseorang dan orang lain disekitarnya.[1] Persepsi sangat ditentukan oleh banyak hal, yaitu melalui faktor personal dan faktor situasional. Faktor personal adalah faktor-faktor yang ada di dalam diri orang tersebut seperti kesukaan, kondisi fisik dan lain sebagainya. Sedangkan faktor situasional adalah faktor di luar diri orang tersebut yang mempengaruhinya antara lain pendapat maupun pengaruh orang lain ketika orang tersebut berada pada satu proses untuk mempersepsi. Persepsi adalah inti komunikasi.[1] Sehingga dapat dirumuskan bahwa persepsi seseorang terhadap sesuatu dapat diubah oleh orang lain (eksternal) dengan mempengaruhi faktor personal seseorang tersebut dengan komunikasi. Dalam hal ini adalah persepsi ibu yang salah mengenai ASI eksklusif dapat diubah oleh orang lain, terutama orang terdekat dengan mempengaruhi faktor personal ibu melalui komunikasi.[15] Persepsi positif tentang ASI eksklusif tidak cukup dimiliki oleh ibu saja. Namun, suami juga harus mempunyai persepsi positif sehingga mendukung dalam pemberian ASI eksklusif. Ketidaktahuan dan kepedulian suami bisa jadi menjadi faktor penghambat dalam penerapan 40 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 pemberian ASI ekslusif. Jadi, antara suami dan istri harus bersama-sama mempunyai kesadaran dan saling mendukung.[11] Pendekatan Komunikasi Terapeutik Pendekatan melalui komunikasi terapeutik adalah pendekatan dengan melakukan proses interaktif antara pasien dan perawat yang membantu pasien mengatasi stress sementara untuk hidup harmonis dengan orang lain, menyesuaikan dengan sesuatu yang tidak dapat diubah, dan mengatasi hambatan psikologis yang menghalangi realisasi. Komunikasi terapeutik berbeda dari komunikasi sosial, yaitu pada komunikasi terapeutik selalu terdapat tujuan atau arah yang spesifik untuk komunikasi; oleh karena itu, komunikasi terapeutik adalah komunikasi yang terencana.[16] Pendekatan komunikasi terapeutik sudah terbukti keefektifannya dalam ilmu kesehatan dalam mengubah persepsi seseorang ke arah positif. Menurut peneliti UCLA, pendekatan terapeutik mampu mencegah penolakan terhadap transplantasi dan penyabotasean pertumbuhan kanker di Amerika Serikat.[17] Tidak menutup kemungkinan komunikasi terapeutik bisa dikembangkan untuk mengubah persepsi ibu yang salah mengenai ASI eksklusif di Indonesia. Visi Indonesia Sehat 2025 Dalam Indonesia Sehat 2025, lingkungan strategis pembangunan kesehatan yang diharapkan adalah lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya keadaan sehat jasmani, rohani maupun sosial, yaitu lingkungan yang bebas dari kerawanan sosial budaya dan polusi, tersedianya air minum dan sarana sanitasi lingkungan yang memadai, perumahan dan pemukiman yang sehat, perencanaan kawasan yang berwawasan kesehatan, serta terwujudnya kehidupan masyarakat yang memiliki solidaritas sosial dengan memelihara nilai-nilai budaya bangsa.[18] Perilaku masyarakat yang diharapkan dalam Indonesia Sehat 2025 adalah perilaku yang bersifat proaktif untuk memelihara dan meningkatkan kesehatan; mencegah risiko terjadinya penyakit; melindungi diri dari ancaman penyakit dan masalah kesehatan lainnya; sadar hukum; serta berpartisipasi aktif dalam gerakan kesehatan masyarakat, termasuk menyelenggarakan masyarakat sehat dan aman (safe community). [18] Selain itu, dalam Indonesia Sehat 2025 diharapkan masyarakat memiliki kemampuan menjangkau pelayanan kesehatan yang bermutu dan juga memperoleh jaminan kesehatan, yaitu masyarakat mendapatkan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatannya. Pelayanan kesehatan bermutu yang dimaksud adalah pelayanan kesehatan termasuk pelayanan kesehatan dalam keadaan darurat dan bencana, pelayanan kesehatan yang memenuhi kebutuhan masyarakat serta diselenggarakan sesuai dengan standar dan etika profesi.[18] Diharapkan dengan terwujudnya lingkungan dan perilaku hidup sehat, serta meningkatnya kemampuan masyarakat dalam memperoleh pelayanan kesehatan yang bermutu, maka akan dapat dicapai derajat kesehatan individu, keluarga dan masyarakat yang setinggi-tingginya. [18] Implementasi Pendekatan Komunikasi Terapeutik dalam Mengubah Persepsi Ibu yang Salah tentang ASI Eksklusif Implementasi pendekatan komunikasi terapeutik dalam mengubah persepsi ibu yang salah tentang ASI eksklusif dilakukan dengan menggabungkan pendekatan komunikasi terapeutik dengan peer-counseling. PeerCounseling adalah konseling yang dilakukan oleh orang terdekat.[1] Jadi, komunikasi terapeutik tidak hanya dilakukan oleh tenaga kesehatan saja, tetapi juga oleh terdekat dari ibu. Sebuah penelitian menyatakan bahwa komunikasi kesehatan yang dilakukan oleh terdekat ataupun oleh lembaga secara intensif dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap kesehatan.[1] Teknik dalam komunikasi teraupetik adalah menunjukkan penerimaan, menawarkan informasi, mengklasifikasi, dan menanyakan pertanyaan yang berkaitan.[16] Menunjukkan penerimaan dalam hal ini adalah komunikator berusaha mengerti komunikan dengan cara mendengarkan apa yang disampaikan komunikan, tentu saja dalam hal ini adalah tentang ASI eksklusif. Mendengar merupakan dasar utama dalam komunikasi. Dengan mendengar komunikator mengetahui perasaan komunikan. Memberikan kesempatan lebih banyak pada komunikan untuk berbicara. komunikator harus menjadi pendengar yang aktif. 41 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 Ketrampilan mendengarkan dengan sepenuh perhatian meliputi pandang komunikan ketika berbicara, pertahankan kontak mata yang memancarkan keinginan untuk mendengarkan, sikap tubuh yang menunjukkan perhatian dengan tidak menyilangkan kaki atau tangan, hindarkan gerakan yang tidak perlu, anggukkan kepala jika pasien membicarakan hal penting atau memerlukan umpan balik, condongkan tubuh ke arah lawan bicara. Menerima tidak berarti menyetujui, menerima berarti bersedia untuk mendengarkan orang lain tanpa menunjukkan keraguan atau ketidaksetujuan. Jadi, komunikator harus menghindari ekspresi yang menunjukkan ketidaksetujuan terhadap komunikan.[16] Tujuan komunikator bertanya adalah untuk mendapatkan informasi yang spesifik mengenai apa yang disampaikan oleh komunikan. Selama pengkajian ajukan pertanyaan secara berurutan. Mengulangi ucapan komunikan dengan menggunakan kata-kata sendiri. Melalui pengulangan kembali kata-kata komunikan, komunikator memberikan umpan balik bahwa komunikator mengerti pesan komunikan dan berharap komunikasi dilanjutkan. Klasifikasi terjadi saat komunikator berusaha untuk menjelaskan dalam kata-kata ide atau pikiran yang tidak jelas dikatakan oleh komunikan. Agar pesan dapat sampai dengan benar, komunikator perlu memberikan contoh yang kongkret dan mudah dimengerti komunikan.[16] Tahap-tahap untuk melakukan komunikasi terapeutik dalam mengubah persepsi ibu yang salah mengenai ASI eksklusif yang dapat dilakukan oleh tenaga kesehatan maupun orang dekat ibu, meliputi:[15,16] 1. tahap persiapan/ tahap prainteraksi Tahap persiapan/ tahap prainteraksi adalah tahap pertama yang tentunya akan berpengaruh ke tahap selanjutnya. Sehingga harus dilakukan dengan baik. Tahap persiapan/ tahap prainteraksi dimulai dengan mempersiapkan kondisi komunikan (ibu) dan komunikator (tenaga kesehatan dan orang dekat ibu), baik fisik maupun psikologis; situasi yang nyaman; tempat dan waktu yang sesuai. 2. tahap perkenalan/ tahap orientasi Tahap perkenalan/tahap orientasi adalah tahap kedua setelah tahap persiapan/tahap pra-interaksi. Tahap perkenalan/tahap orientasi meliputi, memberikan salam dan tersenyum pada komunikan; memperkenalkan diri dan menanyakan nama pasien bila ini dilakukan oleh tenaga kesehatan, tetapi bila yang melakukan komunikasi adalah orang terdekat ibu, langkah ini tidak perlu dilakukan; menentukan mengapa ibu mencari tidak memberikan ASI Eksklusif; menyediakan kepercayaan, penerimaan, dan komunikasi terbuka terhadap komunikan, dalam hal ini adalah ibu. Selain itu, membuat kontrak timbal balik, mengeksplorasi perasaan ibu, pikiran dan tindakan. Selanjutnya mengidentifikasi masalah ibu, mendefinisikan tujuan dengan ibu, dan menjaga kerahasiaan. 3. tahap kerja Pada tahap kerja, komunikator (tenaga kesehatan dan orang dekat ibu) memberikan arahan kepada ibu mengenai ASI eksklusif yang benar secara perlahan-lahan, komunikatif, dan intensif. Sehingga, dengan perlahan-lahan pula, ibu dapat menerima arahan dan akhirnya mengubah persepsinya yang salah mengenai ASI eksklusif. Selain memberikan arahan, komunikator (tenaga kesehatan dan orang dekat ibu), juga memberi kesempatan ibu untuk bertanya sebelum tindakan dilaksanakan. Kemudian, setelah selesai tindakan, dilakukan evaluasi kerja dan disampaikan kepada ibu. 4. tahap terminasi Tahap terminasi adalah tahap perpisahan atau juga bisa dikatakan tahap akhir. Pada tahap ini, yang dilakukan oleh komunikator (tenaga kesehatan dan orang dekat ibu) adalah menciptakan realitas perpisahan, menyimpulkan hasil kegiatan; evaluasi hasil dan proses. Selain itu, antara komunikator (tenaga kesehatan dan orang dekat ibu) 42 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 dan ibu juga saling mengeksplorasi perasaan penolakan, kehilangan, sedih, marah dan perilaku lain. Lalu, komunikator (tenaga kesehatan dan orang dekat ibu) juga memberikan reinforcement (penguatan) positif dan merencanakan tindaklanjut dengan ibu, melakukan kontrak untuk pertemuan selanjutnya (waktu, tempat, topik), serta mengakhiri kegiatan dengan baik. Tahap ini merupakan tahap yang sulit dan penting, karena hubungan saling percaya sudah terbina dan berada pada tingkat optimal. Untuk melalui tahap ini dengan sukses dan bernilai terapeutik, komunikator (tenaga kesehatan dan orang dekat ibu) menggunakan konsep kehilangan yang artinya apabila berpisah dengan ibu, komunikator (tenaga kesehatan dan orang dekat ibu) merasa kehilangan, meskipun itu hanya perpisahan dalam melakukan komunikasi. Pendekatan komunikasi terapeutik adalah jenis pendekatan yang dapat dijadikan salah satu solusi efektif untuk mengubah persepsi ibu yang salah mengenai ASI Eksklusif karena menggunakan pendekatan-pendekatan yang bersifat empatik terhadap sisi internal ibu. Pendekatan komunikasi terapeutik tidak hanya bisa dilakukan oleh tenaga kesehatan saja, tetapi juga orang dekat ibu karena digabungkan dengan konsep peercounceling yaitu konseling dengan orang yang dekat. Komunikasi kesehatan yang dilakukan oleh terdekat ataupun oleh lembaga secara intensif dapat mengubah persepsi masyarakat terhadap kesehatan. Namun, apabila ingin mengubah persepsi seseorang dalam hal ini adalah ibu menjadi mempunyai persepsi yang positif dalam hal ini terhadap ASI eksklusif, tentu saja komunikator harus memiliki pengetahuan yang benar mengenai ASI eksklusif. Untuk itu, diperlukan juga peran dari pemerintah untuk menyebarluaskan pengetahuan tentang ASI eksklusif baik melalui media massa atau media yang lain. Sehingga terciptalah sinergi yang kuat antara tenaga kesehatan, masyarakat, dan pemerintah untuk mewujudkan visi Indonesia Sehat 2025, yang intinya adalah meningkatkan derajat kesehatan masyarakat Indonesia. DAFTAR PUSTAKA 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Sari YD, Vidyarini TN, Indrayani II. “Persepsi Ibu Menyusui Mengenai Kampanye ASI Eksklusif di Puskesmas Jagir Surabaya”. Seminar Nasional Pascasarjana UMB. (2014). 2 Mei 2015 <http://repository.petra.ac.id/16715 /1/Publikasi1_09003_1616.pdf> Kementerian Kesehatan Republik Indonesia. Program Indonesia Sehat untuk Atasi Masalah Kesehatan. Pusat Komunikasi Publik Sekretariat Jenderal Kementerian Kesehatan RI. 3 Februari 2015. 3 Mei 2015 <http://www.depkes.go.id/article/vi ew/15020400002/programindonesia-sehat-untuk-atasimasalah-kesehatan.html> Saleh, LOA. “Faktor-faktor yang Menghambat Praktik ASI Eksklusif pada Bayi Usia 0-6 Bulan (Studi Kualitatif di Desa Triada Mulya, Kecamatan Landono, Kabupaten Kanowe Selatan, Sulawesi Tenggara)”. Artikel Penelitian. (2011). 2 Mei 2015 <http://eprints.undip.ac.id/35946/1/ 424_La_Ode_Amal_Saleh_G2C30 9009.pdf> Nazarina, M. Menu Sehat dan Aman untuk Bayi 6-12 Bulan. 2008. 2 Mei 2015 <https://books.google.com/books?i sbn=9791142351> Damayanti, D. Asyiknya Minum ASI 2010. 2 Mei 2015 <https://books.google.com/books?i sbn=9792253742> Kadir, NA. “Menelusuri Akar Masalah Rendahnya Presentase Pemberian ASI Eksklusif di Indonesia”. Al-Hikmah 15:1 (2014): 106-118. 2 Mei 2015 <http://www.uinalauddin.ac.id/downloadPages%20from%20jurnal%20alhikmah%202014-2.pdf> BabI.Pendahuluan. Universitas Sumatera Utara. 2 Mei 2015 <http://repository.usu.ac.id/bitstrea m/123456789/19509/5/Chapter%2 0I.pdf> Haryani. “Alasan Tidak Diberikannya ASI Eksklusif oleh Ibu Bekerja di Kota Mataram Nusa Tenggara Barat”. Thesis. (2014). 2 Mei 2015 43 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 9. 10. 11. 12. <http://www.pps.unud.ac.id/thesis/ pdf_thesis/unud-10721921112073tesis%20haryani%20(1292161024 ).pdf> Fikawati, S & Syafiq, A. “Penyebab Keberhasilan dan Kegagalan Praktik Pemberian ASI Eksklusif”. Kesehatan Masyarakat Nasional 4:3 (2009): 120-131. 2 Mei 2015 <http://download.portalgaruda.org/ article.php?article=164425&val=59 59&title=Pengaruh%20Globalisasi %20Terhadap%20Perkembangan %20Hak%20Asasi%20Manusia%2 0Bidang%20Ekonomi,%20Sosial, %20Budaya%20(HESB)%20Di%2 0Indonesia> “5 Penyebab Rendahnya Pemberian ASI Eksklusif.” Kompas.com . 2012. 2 Mei 2015.<http://health.kompas.com/re ad/2012/06/08/17055699/5.Penye bab.Rendahnya.Pemberian.ASI.Ek sklusif> Hermawati, D. “Persepsi Keluarga tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI) Eksklusif (Tinjauan Perspektif Gender untuk Mengatasi Kasus Gizi Buruk) . Saintika Medika (2012). 2 Mei 2015 <ejournal.umm.ac.id> Hasan, H & K, Baharuddin H. “Studi Eksplorasi Persepsi Ibu tentang Pemberian ASI Eksklusif DI. Media Keperawatan 1:2 (2013). 2 Mei 2015 <http://www.poltekkesmks.ac.id/index.php/tutorialsmainmenu-48/mediakeperawatan/vol-i-no-2/545-studi- 13. 14. 15. 16. 17. 18. eksplorasi-persepsi-ibu-tentangpemberian-asi-ekslusif-di> Palimbo, A, dkk. “Gambaran Persepsi Ibu Menyusui tentang Pemebrian ASI Eksklusif”. Jurnal Kedokteran Trisakti. (2003). 2 Mei 2015 <univmed.org> Hidayanti, L & Lina, N. “Kontribusi Persepsi dan Motivasi Ibu dalam Meningkatkan Keberhasilan Pemberian ASI Eksklusif di Wilayah Pedesaan”. Kesehatan Komunitas Indonesia 10:1 (2014): 962-971. 5 Mei 2015 <http://lppm.unsil.ac.id/files/2014/1 0/07.-Lilik-Hidayanti.pdf> Arsitasari, Y. “Analisis Pribadi”. 2015 Hermawan, AH. “Persepsi Pasien Tentang Pelaksanaan Komunikasi Terapeutik Perawat dalam Asuhan Keperawatan pada Pasien di Unit Gawat Darurat RS. Mardi Rahayu Kudus November, 2009”. Thesis. (2009). 2 Mei 2015 <http://eprints.undip.ac.id/10473/1/ ARTIKEL.pdf> “Penelitian Menunjukkan Pendekatan Terapeutik Baru untuk Mencegah Penolakan Transplantasi.” UCLA. 2013. 3 Mei 2015.< http://www.newsmedical.net/news/20101119/8424/I ndonesian.aspx> Departemen Kesehatan RI. Renacan Pembangunan Jangka Panjang Bidan Kesehatan 20052025. 2009. 7 Mei 2015 <www.kmpk.ugm.ac.id> 44 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015 45 BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015