COVER

advertisement
COVER
SUSUNAN PENGURUS
Pelindung
Sekretaris Jendral Ikatan Lembaga Mahasiswa
Kebidanan Indonesia (IKAMABI)
Rizqotul Maghfiroh Rojuli
Universitas Airlangga
Penyunting Ahli
Ivon Diah Wittiarika, S.Keb., Bd.
Universitas Airlangga
Yuseva Sariati, SE, SST, M.Keb
Universitas Brawijaya
Board of Director
Farida Fitriana, S.Keb.
Universitas Airlangga
Pimpinan Umum
Penyunting Pelaksana
Nofi Nurul Fadilla Universitas Airlangga
Novi Dwi Ambarsari Universitas Airlangga
Dian Rahma Utari Universitas Brawijaya
Christina Irianti Universitas Brawijaya
Winda Rinawan
Universitas Brawijaya
Humas dan Promosi Himmatul
Pimpinan Redaksi
‘Inayah Universitas Airlangga Bintang Dwita
Dewantari Universitas Airlangga Atika Nadia
Fatimah Nuril Alifah
Universitas Airlangga
Universitas Airlangga
Sauli Nur Laili Universitas Brawijaya
Lisa Diana Putri Universitas Brawijaya
Sekretaris
Zukhaila Salma
Universitas Airlangga
Bendahara
Suci Aji Illahi
Universitas Brawijaya
Tata Letak dan Layout Romadhinniar
Febriana Universitas Airlangga Arintika
Choirunnisa Islami Universitas Airlangga
Mu’adzah Chamidatus S. Universitas Airlangga
Rindang Atikah Kusuma P. Universitas Brawijaya
Puput Maulidah Fatmala Universitas Brawijaya
i
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
ISSN : 2442-9171
DAFTAR ISI
E-ISSN : 2338-6460
Susunan Pengurus............................................................................................................................. ......
i
Daftar Isi............................................................................................................................. ......................... ii
Petunjuk Penulisan ……......................................................................................................................... iii
Sambutan Pimpinan Umum................................................................................................................ viii
Penelitian
Faktor Risiko Yang Berpengaruh Pada Periode Kehamilan, Persalinan Dan Bayi Baru
Lahir Dengan Autisme
Anita Nurbayatin, Sulistiawati, Sunjoto, Dwiyanti Puspitasari
............................................................................................................................. .....................................................................................................
1
Faktor Risiko yang Berhubungan dengan Keterlambatan Perkembangan Global pada
Balita
Dita Rahmaika Arumsari, Muhammad Faizi, Djohar Nuswantoro, Sri Utami
............................................................................................................................. .....................................................................................................
7
Faktor Yang Berpengaruh Terhadap Pelaksanaan Rujukan Terencana Rochjati Pada
Bidan Praktik Mandiri Di Wilayah Surabaya Timur
Zumroh Hasanah, Muhammad Ardian Cahya Laksana, Gadis Meinarsari, Netti Herlina
............................................................................................................................. .....................................................................................................
15
Makna Pacaran Dan Perilaku Seks Pranikah Pada Remaja Usia 15-18 Tahun
Rafi’ana Budiani, Pudji Lestari, Budi Wicaksono, Bambang Trijanto
............................................................................................................................. .....................................................................................................
21
Hubungan Antara Kepatuhan Ibu Hamil Dalam Mengkonsumsi Tablet Fe Dan Vitamin C
Dengan Jumlah Kehamilan Di Desa Mekargalih Kecamatan Jatinangor
Hanifah Fitriani, Anita Yuliani, Rd. Tina D. Judistiani, Ari Indra Susanti
............................................................................................................................. .....................................................................................................
29
Penyegar
Bidan Indonesia dan Tenaga Kesehatan Harus
Siap Menghadapi MEA
Hartini
............................................................................................................................. .....................................................................................................
36
Pendekatan Komunikasi Terapeutik: Solusi Untuk Mengubah Persepsi Ibu Yang Salah
Tentang Asi Eksklusif Guna Mewujudkan Visi Indonesia Sehat 2025
Yuniyarti Arsitasari
............................................................................................................................. .....................................................................................................
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
38
ii
PETUNJUK PENULISAN
Pedoman Penulisan Artikel
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (Bimabi)
Indonesian Midwifery Student Journal
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (BIMABI) adalah publikasi tiap enam bulanan yang
menggunakan sistem seleksi peer-review dan redaktur. Naskah diterima oleh redaksi, mendapat
seleksi validitas oleh peer-reviewer, serta seleksi dan pengeditan oleh redaktur. BIMABI menerima
artikel penelitian asli yang berhubungan dengan bidang ilmu kebidanan, artikel tinjauan pustaka,
laporan kasus, artikel penyegar ilmu kedokteran dan kesehatan, advertorial, petunjuk praktis, serta
editorial. Tulisan merupakan tulisan asli (bukan plagiat) dan sesuai dengan kompetensi mahasiswa
kebidanan.
Petunjuk Bagi Penulis :
1. BIMABI hanya akan memuat tulisan asli yang belum pernah diterbitkan pada jurnal lain.
2.
Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia yang baik, benar, lugas, dan ringkas.Naskah diketik
dalam Microsoft Word, ukuran kertas A4 dengan margin kanan, kiri, atas, bawah berukuran
3433 cm. Naskah menggunakan 1 spasi dengan spacing after before 0 cm, jarak antarbab atau
antarsubbab yaitu 1 spasi (1x enter). Font Arial, size 10, sentence case, justify. Ketikan diberi
nomor halaman mulai dari halaman judul. Naskah terdiri dari maksimal 15 halaman terhitung
mulai dari judul hingga daftar pustaka.
3. Naskah
dikirim
melalui
email
ke
alamat
[email protected]
dan
[email protected] dengan menyertakan identitas penulis beserta alamat dan nomor
telepon yang bisa dihubungi.
4.
Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Penelitian asli harus mengikuti sistematika
sebagai berikut:
1. Judul
2. Nama penulis dan lembaga pengarang
3. Abstrak
4. Naskah (Text), yang terdiri atas:
-
Pendahuluan
-
Metode
-
Hasil
-
Pembahasan
-
Kesimpulan
-
Saran
5. Daftar Rujukan
5.
Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Tinjauan Pustaka dan Advertorial harus
mengikuti sistematika sebagai berikut:
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
iii
1. Judul
2. Nama penulis dan lembaga pengarang
3. Abstrak
4. Naskah (Text), yang terdiri atas:
-
Pendahuluan (termasuk masalah yang akan dibahas)
-
Pembahasan
-
Kesimpulan
-
Saran
5. Daftar Rujukan
6.
Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Artikel Penyegar dan Artikel Editorial harus
mengikuti sistematika sebagai berikut:
1. Pendahuluan
2. Isi
3. Kesimpulan (Penutup)
7.
Untuk keseragaman penulisan, khusus naskah Laporan Kasus harus mengikuti sistematika
sebagai berikut:
1. Judul
2. Nama penulis dan lembaga pengarang
3. Abstrak
4. Naskah (Text), yang terdiri atas:
-
Pendahuluan
-
Laporan kasus
-
Pembahasan
-
Kesimpulan
5. Daftar Rujukan
8.
Judul ditulis secara singkat, jelas, dan padat yang akan menggambarkan isi naskah. Ditulis
dengan Font Arial 14 pt dicetak tebal di bagian tengah atas dengan uppercase (semua huruf
ditulis kapital), tidak digaris bawahi, tidak ditulis di antara tanda kutip, tidak diakhiri tanda titik(.),
tanpa singkatan, kecuali singkatan yang lazim. Penulisan judul diperbolehkan menggunakan
titik dua tapi tidak diperbolehkan menggunakan titik koma. Penggunaan subjudul diperbolehkan
dengan ketentuan ditulis dengan titlecase, Font Arial 12, center, dan dicetak tebal.
9.
Nama penulis yang dicantumkan paling banyak enam orang, dan bila lebih cukup diikuti dengan
kata-kata: dkk atau et al. Nama penulis diketik titlecase, Font Arial 10, center, dan bold yang
dimulai dari pengarang yang memiliki peran terbesar dalam pembuatan artikel. Penulisan asal
instansi dimulai dari terkecil. Nama penulis harus disertai dengan asal fakultas penulis. Alamat
korespondensi ditulis lengkap dengan nomor telepon dan email.
10. Abstrak ditulis dalam Bahasa Indonesia dan Bahasa Inggris dengan panjang abstrak tidak
lebih dari 250 kata dan tidak menuliskan kutipan pustaka. Abstrak Bahasa Indonesia dan kata
kunci ditulis tegak. Abstrak Bahasa Inggris dan keyword ditulis italic (dimiringkan).
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
iv
11. Kata kunci (key words) yang menyertai abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa
Inggris. Kata kunci diletakkan di bawah judul setelah abstrak. Kata kunci sebanyak maksimal
8 kata benda yang ditulis dari umum ke khusus.
12. Kata asing yang belum diubah ke dalam bahasa Indonesia ditulis dengan huruf miring (italic).
13. Setiap tabel gambar dan metode statistika diberi judul dan nomor pemunculan.
14. Ucapan terima kasih
15. Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Diberi
nomor sesuai dengan pemunculan dalam keseluruhan teks, bukan menurut abjad. Contoh cara
penulisan dapat dilihat sebagai berikut:
Contoh cara penulisan daftar pustaka dapat dilihat sebagai berikut :
Penulisan sitasi menggunakan sistem Vancouver dengan penomoran yang runtut. Ditulis
dengan nomor sesuai urutan. Untuk penulisan sitasi yang berasal dari 2 sumber atau lebih,
penomoran dipisahkan menggunakan koma. Nomor kutipan ditulis superskrip dan dibuat dalam
tanda kurung siku […]
Contoh penulisan sitasi :
Cacing tanah termasuk hewan tingkat rendah karena tidak mempunyai tulang
belakang (invertebrata). Cacing tanah termasuk kelas Oligochaeta. Famili
terpenting dari kelas ini adalah Megascilicidae dan Lumbricidae.[1]
Bagi sebagian orang, cacing tanah masih dianggap sebagai makhluk yang
menjijikkan dikarenakan bentuknya, sehingga tidak jarang cacing masih dipandang
sebelah mata. Namun terlepas dari hal tersebut, cacing ternyata masih dicari oleh
sebagian orang untuk dimanfaatkan. Menurut sumber, kandungan protein yang
dimiliki cacing tanah sangatlah tinggi, yakni mencapai 58-78 % dari bobot kering.
Selain protein, cacing tanah juga mengandung abu, serat dan lemak tidak jenuh.
Selain itu, cacing tanah mengandung auxin yang merupakan hormon perangsang
tumbuh untuk tanaman.[2]Manfaat dari cacing adalah sebagai Bahan Baku Obat dan
bahan ramuan untuk penyembuhan penyakit. Secara tradisional cacing tanah
dipercaya dapat meredakan demam, menurunkan tekanan darah, menyembuhkan
bronkitis, reumatik sendi, sakit gigi dan tipus.[1,2]
A. KETENTUAN PENULISAN DAFTAR PUSTAKA
1. BUKU
Penulis Tunggal
Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
Frye, Northrop. Anatomy of Criticism: Four Essays. Princeton: Princeton UP, 1957.
Dengan dua atau tiga orang penulis
Nama penulis 1 (dibalik), Nama penulis 2, dan nama penulis selanjutnya. Judul buku
(italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
Howe, Russell W arren, dan Sarah Hays Trott. The Power Peddlers. Garden City:
Doubleday, 1977.
Marquart, James W., Sheldon Ekland Olson, dan Jonathan R. Sorensen. The Rope,
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
v
the Chair, and the Needle: Capital Punishment in Texas, 1923-1990. Austin: Univ. of
Texas, 1994.
Lebih dari tiga penulis
Nama penulis 1 (dibalik), et al. judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
Edens, W alter, et al., Teaching Shakespeare. Princeton: Princeton UP, 1977.
Editor sebagai penulis
Nama editor (dibalik), editor. Judul Buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
Harari, Josue, editor. Textual Strategies. Ithaca: Cornell UP, 1979.
Penulis dan editor
Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor. Nama editor. Tempat terbit: Penerbit,
Tahun terbit.
Contoh:
Malory, Thomas. King Arthur and his Knights. Editor. Eugene Vinaver. London: Oxford
UP, 1956.
Penulis berupa tim atau lembaga
Nama tim atau lembaga. Judul buku (italic). Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
National Institute for Dispute Resolution. Dispute Resolution Resource Directory.
Washington, D.C.: Natl. Inst. for Dispute Res., 1984.
Karya multi jilid/buku berseri
Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Jilid ke- / edisi ke-. Tempat terbit: Penerbit,
Tahun terbit.
Contoh:
Freedberg, S. J. Andrea del Sarto. Jilid kedua. Cambridge: Harvard UP, 1963.
Terjemahan
Nama penulis (dibalik). Judul buku hasil terjemahan (italic). Penerjemah Nama
penerjemah. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Terjemahan dari Judul buku yang
diterjemah (italic), Tahun terbit buku yang diterjemah.
Contoh:
Foucault, Michel. The Archaeology of Knowledge. Penerjemah A. M. Sheridan
Smith. London: Tavistock Publications, 1972. Terjemahan dari L'Archéologie du
savoir, 1969.
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
vi
Artikel atau bab dalam buku
Nama penulis (dibalik). “judul buku”. Judul bab atau artikel (italic). Editor Nama editor.
Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit. Halaman bab atau artikel dalam buku.
Contoh:
Magny, Claude-Edmonde. "Faulkner or Theological Inversion." Faulkner: A Collection
of Critical Essays. Editor Robert Penn Warren. Englewood Cliffs: Prentice-Hall, 1966.
66-78.
Brosur, pamflet dan sejenisnya
Nama brosur/pamflet/sejenisnya. Tempat terbit: Penerbit, Tahun terbit.
Contoh:
Jawa Timur. Surabaya: Dinas Pariwisata Jawa Timur, 1999.
2. SERIAL
Artikel jurnal dengan volume dan edisi
Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). Volume:Edisi (tahun terbit):
halaman
Contoh:
Dabundo, Laura. “The Voice of the Mute: Wordsworth and the Ideology of Romantic
Silences.” Christiantity and Literature 43:1(1995): 21-35.
3. PUBLIKASI ELEKTRONIK
Buku Online
Nama penulis (dibalik). Judul buku (italic). Editor Nama editor. Tahun terbit buku.
Tanggal dan tahun akses <link online buku>
Contoh:
Austen, Jane. Pride and Prejudice. Editor Henry Churchyard. 1996. 10 September
1998 <http://www.pemberley.com/janeinfo/prideprej.html>.
Artikel jurnal online
Nama penulis (dibalik). “Judul artikel.” Nama jurnal (italic). (tahun terbit artikel). Tanggal
dan tahun akses jurnal <link online jurnal>
Contoh:
Calabrese, Michael. “Between Despair and Ecstacy: Marco Polo‟s Life of the Buddha.”
Exemplaria
9.1
(1997).
22
June
1998
<http://web.english.ufl.edu/english/exemplaria/calax.htm>
Artikel di website
“judul artikel.” Nama website (italic). Tahun terbit artikel. Tanggal dan tahun akses.
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
vii
<link online artikel>
Contoh:
“Using Modern Language Association (MLA) Format.” Purdue Online Writing Lab.
2003.
Purdue
University.
6
Februari
2003.
<http://owl.english.purdue.
edu/handouts/research/r_mla.html>.
Publikasi lembaga
Nama lembaga. Judul artikel (italic). Oleh nama pemulis 1, nama penulis 2, dan
seterusnya. Tanggal publikasi. Tanggal dan tahun akses <link online artikel>
Contoh:
United States. Dept. of Justice. Natl. Inst. Of Justice. Prosecuting Gangs: A National
Assessment. By Claire Johnson, Barbara Webster, dan Edward Connors. Feb 1996.
29 June 1998 <http://www.ncjrs.org/txtfiles/pgang.txt>.
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
viii
viii
viii
SAMBUTAN PIMPINAN UMUM
Assalamu‟alaikum wr. W b.
Alhamdulillah, Puji syukur atas rahmat Tuhan Yang Maha Esa dengan ridhoNya BIMABI
Volume 3 nomor 2 dapat kami terbitkan. Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada seluruh tim
penerbit, penulis,
dan mitra bestari serta seluruh mahasiswa kesehatan Indonesia khususnya
mahasiswa kebidanan yang telah berpartisipasi aktif dalam penerbitan BIMABI edisi pertama pada
tahun 2015. Dukungan dari Asosiasi Institusi Pendidikan Kebidanan Indonesia (AIPKIND) serta Ikatan
Lembaga Mahasiswa Kebidanan Indonesia (IKAMABI) merupakan dorongan besar sekaligus membatu
kami menyelesaikan beberapa hambatan dan rintangan dalam proses pembuatan hingga penerbitan
BIMABI sekaligus beberapa pihak yang ikut terlibat lainnya.
Berkala Ilmiah Mahasiswa Kebidanan Indonesia (BIMABI) merupakan satu-satunya berkala
ilmiah yang memuat hasil tulisan, karya tulis ilmiah dan penelitian dari mahasiswa kebidanan Indonesia.
Tulisan yang termuat dalam BIMABI merupakan tulisan yang telah melalui hasil serangkaian seleksi
dari tim redaksi dan mitra bestari diharapkan dapat meningkatkan dan menjadikan tulisan yang
berkualitas tinggi.
Besar harapan saya untuk BIMABI ini dapat bertahan tetap konsisten menerbitkan hasil tulisan
mahasiswa kebidanan ditengah kurangnya minat publikasi tulisan mahasiswa kebidanan. Semoga
dengan terbitnya BIMABI vol.3 no.2 ini dapat mendorong dam memotivasi mahasiswa kebidanan dalam
meningkatkan kesadaran menulis ilmiah dan mempublikasikan tulisannya. Dengan adanya
peningkatan itu saya yakin bahwa mahasiswa kebidanan dapat turut andil dalam peningkatan ilmu
pengetahuan terlebih untuk profesi Bidan itu sendiri.
Saya dan segenap jajaran pengurus mohon maaf apabila terdapat kesalahan dan kekurangan
dalam penulisan maupun pemilihan kata. Kami dengan terbuka menerima kritik dan saran guna
membuat BIMABI menjadi lebih baik.
Selamat membaca dan semoga bermanfaat.
Wassalamu‟alaikum wr.wb
Malang, 30 Juni 2015
Winda Rinawan
(Pimpinan Umum)
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
ix
Penelitian
FAKTOR RISIKO YANG BERPENGARUH
PADA PERIODE KEHAMILAN, PERSALINAN
DAN BAYI BARU LAHIR DENGAN AUTISME
Anita Nurbayatin1, Sulistiawati2, Sunjoto3, Dwiyanti Puspitasari4
1
Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran,
Universitas Airlangga Surabaya
2 Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat Kedokteran
Pencegahan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya
3 Departemen Obstetri Ginekologi, RSUD Dr.Soetomo Surabaya
4 Departemen Ilmu Kesehatan Anak RSUD Dr.Soetomo Surabaya
ABSTRAK
Pendahuluan : Autisme merupakan gangguan perkembangan pada anak yang mencakup
bidang interaksi sosial, komunikasi dan perilaku. Insidensi dan prevalensi yang cenderung
meningkat dengan faktor risiko yang multifaktoral. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis faktor risiko yang berpengaruh pada periode kehamilan, persalinan dan BBL
dengan kejadian autisme.
Metode : menggunakan desain kasus kontrol dengan melibatkan 50 anak autis (45 anak
laki-laki, 5 anak perempuan, sebagian besar (60%) berusia ≤ 5 tahun) dan 50 anak saudara
kandung dari anak autis yang normal sebagai kontrol (26 anak laki-laki, 22 anak
perempuan dan sebagian besar (58%) berusia ≤ 5 tahun).
Untuk menganalisis 12 faktor risiko pada periode (1). Kehamilan (perdarahan antenatal,
jarak kehamilan ≤13 bulan, usia ibu hamil ≥ 35 tahun, depresi hamil, merokok aktif, perokok
pasif), (2). Persalinan (ketuban pecah dini) dan (3). Usia BBL (BBLR, prematur, BBL tidak
menangis spontan dan tubuh kebiru-biruan segera setelah lahir dan ikterus). Data primer
yang diperoleh dari hasil wawancara semi structured kepada ibu.
Hasil : Pada analisis bivariat dengan uji chi square variabel yang bermakna dengan
autisme adalah perdarahan antenatal (P<0.001), jarak kehamilan ≤13 bulan (P=0.001),
usia ibu hamil ≥ 35 tahun (P=0.019) dan ketuban pecah dini (P=0.006).
Selanjutnya pada analisis multivariat dengan uji regresi logistik ganda, variabel yang
berpengaruh dengan autisme dengan faktor risiko terbesar adalah perdarahan antenatal
(P=0.002, OR=6.436), usia ibu hamil ≥ 35 tahun (P=0.033, OR=3.418) dan ketuban pecah
dini (P=0.048,OR=4.454).
Kesimpulan : Penting dilakukan perencanaan kehamilan terkait usia ibu hamil,
pencegahan terjadinya komplikasi kehamilan dan persalinan untuk menghindari faktor
risiko autisme.
Kata kunci : Autisme , faktor risiko, kehamilan, kehamilan, persalinan, Bayi Baru Lahir
(BBL)
ABSTRACT
Background : Autism is a dissorder in children development of social interraction,
communication and habitual. The incidence and prevalence tend to increase recently with
it’s multifactotal risk factors. This research aims to analyze the risk factors during prenatal,
perinatal dan neonatal period of children that affect autism.
Method : This study was a case control design that involving 50 autistic children (45 male,5
female, 60% ≤ 5 years old) and 50 normal siblings of the autistic children as control (26
male, 22 female and 58% ≤ 5 years old). We analyzed 12 risk factors during (1). Prenatal
(antenatal bleeding, pregnancy distance ≤ 13 month, maternal age ≥ 35 years, depression
in pregnancy, active smoking, passive smoking), (2). Perinatal (premature rupture of the
membrane) and (3).Neonatal (low birth weight (LBW), prematurity, newborn who didn’t cry
spontaneously, cyanosis and icterus). Primary data were obtained from semi-structured
interview to mothers, and analyzed using chi square test and multivariate analysis.
BIMABI Volume 3No.1 | Januari-Juni 2015
1
Result : From bivariate analysis, the significant factors influenced autism were: antenatal
bleeding (P<0.001), pregnancy distance ≤ 13 month (P=0.001), maternal age ≥ 35 years
(P=0.019) and premature rupture of the membrane (P=0.006)
Multivariate analysis furthermore found antenatal bleeding (P=0.002, OR=6.436) , maternal
age ≥ 35 years (P=0.033, OR=3.418) and premature rupture of the membrane (P=0.048,
OR=4.454) as the significant factors.
Conclusion : It is very important to have a planned pregnancy related with the maternal
age, prevention of prenatal and perinatal complication to avoid the risk factors of autism.
Key words : Autism, Risk factor, prenatal, perinatal, neonatal.
1.
PENDAHULUAN
Kejadian
autisme
semakin
meningkat pesat seiring pertambahan
waktu dengan faktor risiko yang luas dan
multifaktoral. Autisme bisa terjadi pada
siapapun tanpa ada perbedaan status
sosial, ekonomi, pendidikan, golongan
etnis, maupun bangsa. Insiden autis
meningkat bila ada gangguan pada masa
kehamilan dan persalinan. Dengan adanya
gangguan saat prenatal, natal dan
postnatal
mengakibatkan
proses
perkembangan otak terganggu, sehingga di
beberapa bagian otak anak autisme
tumbuh tidak sempurna, seperti pada lobus
frontalis, lobus temporalis, serebelum,
hipokampus dan amigdala. Hal ini
mengarahkan pada suatu hipotesis, bahwa
awal terjadinya autisme adalah sebelum
lahir.
Faktor
penyebab
autisme
dikelompokkan dalam beberapa periode,
yaitu periode kehamilan, persalinan dan
usia bayi. Pada periode kehamilan
pertumbuhan dan perkembangan otak janin
sangat pesat. Apabila terjadi gangguan
pada masa kehamilan menyebabkan
pertumbuhan dan perkembangan otak janin
terganggu. Selanjutnya pada periode
persalinan dan neonatus merupakan
periode yang paling menentukan dalam
kehidupan bayi selanjutnya. Oleh karena
itu, sangat penting untuk mengamati dan
mencegah faktor risiko terjadinya gangguan
pada masa kehamilan, persalinan dan BBL.
Penelitian ini
bertujuan untuk
menganalisis hubungan faktor risiko yang
berpengaruh pada periode kehamilan
(perdarahan antenatal, jarak kehamilan ≤
13
bulan
dengan
kelahiran
anak
sebelumnya, depresi ibu hamil, usia ibu
hamil ≥ 35 tahun, aktivitas ibu merokok aktif
dan perokok pasif), periode persalinan
(ketuban pecah dini), periode usia bayi baru
lahir (kelahiran BBLR, prematur, ikterus,
BBL tidak menangis spontan dan tubuh
kebiru-biruan segera setelah lahir) dengan
kejadian autisme.
2.
METODE
Tempat penelitian ini dilakukan di
tiga tempat terapi dan perawatan anak
autis, antara lain : (1)“Alejo Academy”,
berlokasi di Jl. Klampis Jaya no. 62
Surabaya. (2)“Education Autism Center
Harapan Bangsa”, berlokasi di Puri Amerta
Regency D-4 Randegansari, Driyorejo,
Gresik.
(3)”Yayasan
Anak
Terang”,
berlokasi di Jl.Permata Tropodo Regency
D-11, W aru, Sidoarjo. Ketiga tempat ini
mempunyai jenis penanganan untuk
sekolah dan terapi bagi anak – anak
penyandang autis di wilayah Surabaya,
Sidoarjo dan Gresik.
Desain penelitian menggunakan
kasus kontrol. Populasi kasus adalah
seluruh anak autis di “Alejo Academy,
Education Autism Center Harapan Bangsa
dan Yayasan Anak Terang”. Dan populasi
kontrol yang digunakan adalah saudara
kandung dari anak autis.
Teknik sampling yang digunakan
adalah non probability type total sampling
dengan kriteria inklusi yaitu : anak autis baik
laki- laki maupun perempuan yang berada
di tempat terapi dan perawatan anak autis
di Alejo Academy, Education Autism Center
Harapan Bangsa dan Yayasan Anak
Terang, Ibu dari anak autis yang bersedia
menjadi responden dan mempunyai anak
yang normal (tidak autis). Dan sebagai
kriteria eksklusi adalah : anak autis di Alejo
Academy, Education Autism
Center
Harapan Bangsa dan dan Yayasan Anak
Terang yang menderita gangguan penyakit
lain, anak tunggal dan anak yang tidak
pernah diantar orangtua nya. Pada saat
pencarian sampel terdapat 8 anak autis
dengan gangguan pendengaran dan
cerebral palsy dan 12 anak merupakan
anak tunggal. Sehingga didapatkan 61
anak yang memenuhi kriteria inklusi dan
eksklusi. Selanjutnya terdapat 11 anak
yang tidak pernah diantar orang tuanya.
Pada ahirnya didapatkan jumlah sampel 50
anak autis sebagai kasus dan 50 anak
saudara kandung sebagai kontrol.
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
2
Pengumpulan data yang digunakan
dengan metode wawancara semi structured
kepada ibu, yaitu menanyakan serentetan
pertanyaan yang terstruktur, kemudian satu
per satu diperdalam untuk mencari
keterangan lebih lanjut. Dengan mengukur
variabel dependen terlebih dahulu (kejadian
anak autis) kemudian variabel independen
yaitu: riwayat kehamilan (perdarahan
antenatal, jarak kehamilan ≤ 13 bulan
dengan kelahiran anak sebelumnya,
depresi ibu hamil, usia ibu hamil ≥ 35 tahun,
aktivitas ibu merokok aktif dan perokok
pasif), riwayat persalinan (ketuban pecah
dini), dan riwayat BBL (kelahiran BBLR,
prematur, ikterus, BBL tidak menangis
spontan dan tubuh kebiru-biruan segera
setelah lahir) ditelusuri secara retrospektif
untuk menentukan ada tidaknya faktor
risiko.
Analisis data pada penelitian ini
yaitu:
(1).Analisis
deskriptif,
yang
menghasilkan presentase dari setiap
variabel. (2).Analisis Inferensial, yaitu
analisis bivariat dan multivariat. Analisis
Bivariat untuk melihat hubungan antara
masing-masing
variabel
independen
dengan variabel dependen dengan uji Chi
Square dan jika tidak memenuhi syarat
dilakukan uji Fisher’s Exact. Selanjutnya,
analisis multivariat untuk melihat variabel
yang paling berpengaruh terhadap autisme,
menggunakan uji regresi logistik ganda
metode backward wald.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Tabel 1 Karakteristik umum sampel penelitian
parameter
Kelompok kasus
kelompok kontrol
n (%)
n (%)
Usia
< 5 th
30 (60%)
29 (58%)
20 (40%)
21 (42%)
6 –11 th
Jenis kelamin
laki-laki
40 (80%)
26 (52%)
10 (20%)
24 (48%)
perempuan
Pada tabel 1 dapat diketahui bahwa
pada kelompok kasus terdapat sebagian
besar (60%) anak autis berusia <5 tahun.
Dan pada kelompok kontrol sebagian besar
(58%) anak berusia <5 tahun.
Selanjutya pada kelompok kasus
terdapat hampir seluruhnya (80%) anak
berjenis kelamin laki-laki. Dan pada
kelompok kontrol juga sebagian besar
(52%) anak berjenis kelamin laki-laki.
Hasil analisis yang digunakan pada
penelitian ini yaitu analisis bivariat dan
multivariat, adalah sebagai berikut :
ANALISIS BIVARIAT
Tabel 2 Hubungan periode prenatal, perinatal dan neonatal dengan autisme
Periode
Variabel
Prenatal
Perdarahan antenatal
Jarak kehamilan ≤13
bulan dengan
kelahiran sebelumnya
Depresi ibu saat hamil
Usia ibu saat hamil ≥
35 tahun
Ibu perokok aktif saat
hamil
Ibu perokok pasif saat
hamil
Komplikasi persalinan
(Ketuban pecah dini)
BBLR
Lahir prematur
BBL tidak menangis
spontan
Perinatal
Neonatal
Autisme
Kasus
Kontrol
n
%
n
%
21
42%
5
10%
10
20%
0
0%
P
OR
X2
0,001
0,001
6,517
-
11.1
11a
2.211- 19.215
1.786 - 2.835
4
17
8%
34%
1
7
2%
14%
0,362
0,035
4,261
3,165
-
0.459-39.544
1.176 – 8.518
9
18%
5
10%
0,387
1,976
-
0.612 – 6.380
17
34%
16
32%
1,000
1,095
-
0.475 – 2.520
13
26%
3
6%
0,014
5,505
-
1.460 – 20.755
6
6
4
12%
12%
8%
1
2
2
2%
4%
4%
0,112
0,269
0,678
6,682
3,273
2.087
-
0.774 –57.695
0.627 –17.071
0.365 -11.948
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
-
95% CI
3
BBL tubuh kebirubiruan segera setelah
lahir
Ikterus
6
12%
2
4%
0,269
3.273
-
0,627 – 17,071
6
12%
3
6%
0.487
2.136
-
0.503 – 9.068
Pada variabel perdarahan antenatal
dapat dilihat bahwa pada kelompok kasus
hampir setengahnya (42%) ibu mempunyai
riwayat perdarahan antenatal. Dan pada
kelompok kontrol hanya sebagian kecil
(10%) ibu dengan riwayat perdarahan
antenatal. Pada saat dilakukan uji chi
square didapatkan hubungan yang positif
dengan nilai p < 0,001 dan OR = 6,517.
Hal ini sesuai dengan teori yang
menyatakan bahwa, darah merupakan zat
yang penting dalam menyalurkan glukosa
dan oksigen dari ibu ke janin. Awal
kehamilan merupakan masa terpenting
dalam pembentukan otak janin, dimana
janin memerlukan suplai darah yang cukup.
Apabila ibu hamil mengalami perdarahan
antenatal, maka suplai glukosa dan oksigen
berkurang yang mengakibatkan terjadinya
metabolisme anaerob glukosa + 2 ADP + 2
P1  2 asam laktat + 2 ATP + 2 H2O,
berkurangnya
ATP
dan
terjadinya
penimbunan
asam
laktat
akan
mempercepat proses kerusakan sel-sel
otak
(neokrosis),
disamping
dapat
menyebabkan kerusakan pompa ion
sehingga terjadi depolarisasi anoksik yang
mengakibatkan keluarnya ion K+ dan
masuknya ion Na+ dan Ca+ ke dalam sel.
Bersamaan dengan masuknya ion Na+ dan
Ca+ air ikut masuk, akan menimbulkan
edema dan mengakibatkan kerusakan sel
otak [1].
Dan pada variabel jarak kehamilan
≤13 bulan dengan kelahiran anak
sebelumnya, pkelompok kasus terdapat
sebagian kecil (20%) jarak kehamilan anak
autis ≤ 13 bulan dengan kelahiran anak
sebelumnya dan pada kelompok tidak ada
satupun (0%) dengan jarak kehamilan ≤ 13
bulan. Dari perhitungan uji chi square
didapatkan hubungan yang bermakna
dengan nilai p = 0,001. Secara teori
menyatakan bahwa hubungan antara jarak
kelahiran yang pendek akan terjadi
penurunan gizi ibu, khususnya asam folat
yang diperlukan selama kehamilan untuk
sintesis DNA dan pembelahan sel. Kadar
asam folat dan eritrosit akan menurun
setidaknya 12 bulan setelah melahirkan,
apabila ibu hamil pada masa ini dengan
jarak ≤ 13 bulan dari kelahiran sebelumnya
maka akan menyebabkan gangguan pada
pertumbuhan dan perkembangan anak
yang tidak optimal dalam rahim [2].
Kemudian pada variabel depresi ibu
saat hamil dapat diketahui bahwa pada
kelompok kasus terdapat sebagian kecil
(8%) ibu yang mengalami depresi saat
hamil. pada kelompok kontrol juga hanya
sebagian kecil (2%) ibu yang depresi saat
hamil. Dari perhitungan statistik uji Fisher’s
Exact tidak didapatkan hubungan yang
bermakna positif dengan nilai p = 0,362. Hal
yang sama juga diungkapkan pada analisis
penelitian oleh Vincent Guinchat (tahun
2011)[3] bahwa kondisi ibu yang stress
selama kehamilan tidak memberikan hasil
yang bermakna dengan kejadian autisme
dengan nilap p>0,5. Oleh karena itu masih
membutuhkan penelitian lebih lanjut untuk
menentukan adanya faktor risiko.
Pada variabel usia ibu saat hamil ≥
35 tahun dapat diketahui bahwa pada
kelompok
kasus
terdapat
hampir
setengahnya (34%) ibu hamil berusia ≥ 35
tahun dan pada kelompok kontrol hanya
sebagian kecil (14%) ibu hamil berusia ≥ 35
tahun. Dari perhitungan statistik uji chi
square
didapatkan
hubungan
yang
bermakna dengan nilai p = 0,035 dan OR =
3,165. Hasil penelitian ini sesuai dengan
teori yang menyebutkan bahwa pada ibu
yang
berusia
lanjut
meningkatkan
kemungkinan kelainan kromosom pada
keturunannya, dan risiko kerusakan otak
janin pada saat kehamilan, menyebabkan
down
Syndrome,
disleksia,
keterbelakangan mental, memiliki risiko
meningkat untuk mendapatkan anak
dengan kelainan genetik yang memegang
peran dalam autisme, karena terjadi non
disjunction antara sel sperma dan sel telur
yang disebabkan karena kualitas dari ovum
yang kurang baik dari ibu yang berusia
lanjut. Setiap pertambahan lima tahun,
risiko wanita memiliki anak autisme
meningkat sebesar 18 persen. Artinya,
wanita yang berusia diatas 40 tahun
memiliki risiko 50 persen untuk mempunyai
anak autisme daripada mereka yang
melahirkan di usia 25-29 tahun[4].
Dan pada variabel ibu yang merokok
aktif saat hamil dapat diketahui bahwa pada
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
4
kelompok kasus terdapat sebagian kecil
(18%) ibu yang merokok aktif saat hamil,
dan pada kelompok kontrol juga terdapat
sebagian kecil (10%) ibu yang merokok
aktif saat hamil. Pada saat dilakukan uji chi
square didapatkan hubungan yang tidak
bermakna dengan nilai p = 0,387. Hal yang
sama juga diungkapkan pada penelitian
kohort oleh Vincent Guinchat (2011)[3]
bahwa ibu yang merokok aktif selama
kehamilan tidak memberikan hasil yang
bermakna dengan autisme dengan nilap p
> 0,2.
Selanjutnya pada variabel ibu
perokok pasif saat hamil dapat diketahui
bahwa pada kelompok kasus terdapat
hampir setengahnya (34%) ibu hamil
sebagai perokok pasif, dan pada kelompok
kontrol juga terdapat hampir setengahnya
(32%) ibu sebagai perokok pasif saat hamil.
Pada saat dilakukan uji chi square
didapatkan hubungan yang tidak bermakna
dengan nilai p = 1,000. Hal yang sama juga
diungkapkan pada penelitian kohort oleh
Vincent Guinchat (tahun 2011)[3] bahwa
perokok pasif selama kehamilan tidak
memberikan hasil yang bermakna dengan
kejadian autisme dengan nilap p> 0,4.
Pada variabel komplikasi persalinan
yang didapat dalam kasus penelitian adalah
ketuban pecah dini, dapat diketahui bahwa
pada kelompok kasus terdapat hampir
setengahnya (26%) terjadi komplikasi
persalinan pada saat kelahiran anak autis,
dan pada kelompok kontrol terdapat
sebagian kecil (6%) ibu yang mengalami
komplikasi persalinan. Jenis komplikasi
persalinan yang ditemukan pada data yaitu
ketuban pecah dini. Dari perhitungan
statistik uji chi square didapatkan hubungan
yang bermakna dengan nilai p = 0,014 dan
OR = 5,505. Hal ini sesuai dengan teori
bahwa KPD menimbulkan beberapa risiko
yang dapat membahayakan bila tidak
ditangani dengan serius. Diantaranya
menyebabkan
oligohidramnion
yang
menekan tali pusat hingga terjadi asfiksia
pada BBL. Terdapat hubungan antara
terjadinya gawat janin dan derajat
oligohidramnion, semakin sedikit air
ketuban, maka semakin gawat kondisi
janin. Janin lebih rentan terinfeksi
intrauterin. Apabila terjadi infeksi dan gawat
janin akan menyebabkan gangguan pada
otak anak [5].
Kemudian pada variabel kelahiran
BBLR dapat diketahui bahwa pada
kelompok kasus terdapat sebagian kecil
(12%) anak autis yang lahir BBLR, dan
pada kelompok kontrol juga sebagian kecil
(2%) anak yang BBLR. Dari perhitungan
statistik uji Fisher’s Exact tidak didapatkan
hubungan yang bermakna positif dengan
nilai p = 0,117. Penelitian yang sama
diungkapkan oleh Hexanto berdasarkan
riset yang dilakukan di Semarang pada
tahun 2004, bahwa kelahiran BBLR tidak
mempunyai hubungan yang bermakna
dengan kejadian autisme dengan nilai tidak
signifikan, yaitu p value = 0,130.
Dan
pada
variabel
kelahiran
prematur dapat diketahui bahwa pada
kelompok kasus sebagian kecil (12%) anak
autis lahir prematur, dan pada kelompok
kontrol juga terdapat sebagian kecil (4%)
anak yang lahir prematur. Pada saat
dilakukan uji
Fisher’s
Exact
tidak
didapatkan hubungan yang bermakna
positif dengan nilai p = 0,269. Hal yang
sama juga diungkapkan oleh Hannah
Gardener berdasarkan atas penelitian
retrospektif terhadap 100 kelahiran bayi
yang dilakukan di Hongkong pada tahun
2011 yaitu hubungan kelahiran prematur
dengan autisme didapatkan hasil yang tidak
bermakna dengan nilai p = 0,59 dan nilai
OR = 1,24.
Selanjutnya pada variabel BBL tidak
menangis spontan dan tubuh kebiru-biruan
segera setelah lahir dapat diketahui bahwa
pada kelompok kasus terdapat sebagian
kecil (8%) anak autis mempunyai riwayat
tidak menangis spontan segera setelah
lahir dan juga terdapat sebagian kecil (4%)
pada kelompok kontrol. Pada saat
dilakukan uji Fisher’s Exact didapatkan
hubungan yang tidak bermakna nilai p
value = 0,678. Dan pada kelompok kasus
terdapat sebagian kecil (12%) anak autis
dengan tubuh kebiru-biruan segera setelah
lahir dan juga terdapat sebagian kecil (4%)
pada kelompok kontrol. Pada saat
dilakukan uji Fisher’s Exact didapatkan
hubungan yang tidak bermakna nilai p
value = 0,269. Hal yang sama juga
diungkapkan pada sebuah penelitian
prospektif oleh Stein pada tahun 2006[6]
tentang “markers of hipoxia lack of first cry,
breath or oxygen & blue baby with autism
children” tidak memberikan hasil yang
bermakna dengan nilai p > 0,55.
Dan pada variabel ikterus dapat
diketahui bahwa pada kelompok kasus
terdapat sebagian kecil (12%) anak autis
mempunyai riwayat bayi kuning dan
terdapat sebagian kecil (6%) pada
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
5
kelompok kontrol. Pada saat dilakukan uji
Fisher’s Exact didapatkan hubungan yang
tidak bermakna dengan nilai p value = 0,48.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh
Williams berdasarkan atas penelitiannya
tahun 2008[7] tentang “other specific
conditions at birth of hyperbilirubinemia with
autism
children”
tidak
mempunyai
hubungan yang bermakna dengan nilai p >
0,38.
ANALISIS MULTIVARIAT
Tabel 3 Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kejadian autisme berdasarkan tingkat
risiko yang terbesar sampai terkecil
Variabel
B
P value
OR (Exp.B)
95 % CI (Exp.B)
perdarahan
1.862
0.002
6.436
2.005- 20.662
antenatal
komplikasi
1.494
0.048
4.454
1.012 –19.596
persalinan
usia ibu hamil ≥
1.229
0.033
3.418
1.106 – 10.561
35tahun
Dari tabel 13 dapat diketahui bahwa
faktor risiko yang paling berpengaruh
dengan kejadian autisme adalah :
perdarahan
antenatal,
komplikasi
persalinan dan usia ibu hamil ≥ 35 tahun.
4.
KESIMPULAN DAN SARAN
Terdapat
hubungan
antara
perdarahan antenatal, usia ibu hamil ≥ 35
tahun dan terjadinya komplikasi persalinan
(ketuban pecah dini) dengan kejadian
autisme. Faktor risiko lain yaitu: jarak
kehamilan ≤ 13 bulan dengan kelahiran
sebelumnya, depresi hamil, perilaku ibu
merokok aktif dan paparan pasif yang
terjadi selama hamil, kelahiran BBLR,
prematur, ikterus, BBL tidak menangis
spontan dan tubuh kebiru-biruan segera
setelah lahir dalam penelitian ini tidak
menunjukkan adanya hubungan dengan
kejadian autisme.
Untuk menghindari faktor risiko
terjadinya autisme pada anak yang
dilahirkan,
maka
sangat
diperlukan
perencanaan kehamilan terkait usia ibu
hamil, pencegahan terjadinya komplikasi
kehamilan dan persalinan. Perlu penelitian
lebih lanjut terhadap variabel lain yang
diduga berpengaruh terhadap kejadian
autisme.
3. Guinchat,Vincent,
Thorsen,Poul,
Laurent,Claudine, Cans,Christine,
Bodeau,Nicolas
2011,“Prenatal,
Perinatal And Neonatal Risk
Factor For Autism”, no.91, pp. 287300
4. D.King,
Marissa,
Fountain,
Christine, Dakhallah, Diana And
Bearman,Peter 2009, “Estimated
Autism
Risk
And
Older
Reproductive Age”, Public Health,
vol. 99, no. 9, pp.1673-1679
5. Manuaba, IBG, dkk. 2010. Ilmu
Kebidanan Penyakit Kandungan
Dan KB. Jakarta : EGC
6. Stein,2006,“Markers Of Hipoxia
Lack Of First Cry, Breath Or
Oxygen & Blue Baby With Autism
Children”, Pediatric.
7. Williams, 2008,” Other Specific
Conditions
At
Birth
Of
Hyperbilirubinemia
With
AutismChildren”,retrivied at Maret
12,2013, from Http://Iacc.Hhs.Gov/
Events/2012
DAFTAR PUSTAKA
1. Frase, Diane M And Cooper
Margaret A. 2009. Buku Ajar Bidan
Myles. Jakarta: EGC
2. Postava kelly, Liu Kayuet, Bearman
peter 2011. “Closely Spaced
Pregnancies Are Associated With
Increased Odds of Autism in
California
Sibling
Births”,
vol.127(2): pp 246–253.
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
6
Penelitian
Faktor Risiko yang Berhubungan dengan
Keterlambatan Perkembangan Global
pada Balita
Dita Rahmaika Arumsari1, Muhammad Faizi2, Djohar Nuswantoro3,
Sri Utami4
1
Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran,
Universitas Airlangga, Surabaya
2 Departemen Ilmu Kesehatan Anak, RSUD Dr.Soetomo, Surabaya
3 Departemen Ilmu kesehatan Masyarakat Kedokteran
Pencegahan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya
4 Sekretaris Jurusan Kebidanan, Politeknik Kesehatan
Kemenkes Surabaya
ABSTRAK
Pendahuluan : Periode terpenting perkembangan anak adalah dibawah umur dua tahun.
Keterlambatan perkembangan global (KPG) merupakan bagian dari keterlambatan
perkembangan. Di Poli Tumbuh Kembang RSUD dr Soetomo Surabaya, gangguan
perkembangan yang paling banyak ditemukan adalah keterlambatan perkembangan
global. Tujuan penelitian, untuk mengetahui faktor risiko yang berhubungan dengan
keterlambatan perkembangan global pada balita di Poli Tumbuh Kembang RSUD dr
Soetomo Surabaya.
Metode : analitik dengan pendekatan case control. Populasi kelompok kasus adalah balita
yang didiagnosa Keterlambatan Perkembangan Global pada bulan Maret 2013. Populasi
kelompok kontrol adalah balita dengan perkembangan normal pada bulan Januari 2010Maret 2013. Pengambilan sampel menggunakan teknik total sampling untuk kelompok
kasus dan simple random sampling untuk kelompok kontrol. Besar sampel 40 balita
dengan perbandingan kasus:kontrol (1:1). Sumber data dari rekam medik. Analisis data
menggunakan uji Chi-square dan regresi logistik.
Hasil : faktor-faktor yang terbukti berpengaruh: berat badan lahir (ρ=0,012; OR=45,596),
penyakit kronis (ρ=0,015; OR=9,021), status gizi balita (ρ=0,029; OR=5,907) dan urutan
anak (ρ=0,005; OR=0,076) dengan probabilitas 98,4%. Faktor-faktor yang tidak
berpengaruh: paparan rokok dalam kehamilan (ρ=0,108), riwayat komplikasi kehamilan ibu
ρ=0,432), infeksi dalam kehamilan ibu (ρ=1,000), jenis persalinan (ρ=1,000), asfiksia
(ρ=0,005), dan prematuritas (ρ=0,000).
Kesimpulan : keterlambatan perkembangan global pada balita di Poli Tumbuh Kembang
RSUD Dr. Soetomo Surabaya dipengaruhi oleh berat badan lahir, penyakit kronis, status
gizi balita, dan urutan anak.
Kata kunci: Keterlambatan Perkembangan Global, Faktor-Faktor Risiko, berat badan
lahir, penyakit kronis, status gizi balita, urutan anak, paparan rokok dalam kehamilan,
riwayat komplikasi kehamilan ibu, infeksi dalam kehamilan ibu, jenis persalinan, asfiksia,
prematuritas
ABSTRACT
Background : The most important period of children development is in a term below two
years old. The lateness of global development (KPG) is a part of development lateness. In
Tumbuh Kembang poly RSUD dr Soetomo Surabaya, the most frequent development
interference is the lateness of global development (KPG). The objective of this study is to
identify the risk factors which affects the lateness of global development (KPG) to children
with age below five years old in Tumbuh Kembang poly RSUD dr Soetomo Surabaya.
Method : The research applies analytic method with case control approach. The population
of the case group is children with age below five years old diagnosed with the lateness of
global development (KPG) in March 2013. The population of the control group is children
with age below five years old with normal development in January 2010 – March 2013. The
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
7
sampling technique adopts total sampling technique for the case group and simple random
sampling for the control group. The ratio of case: control is 1:1 for 40 sample of children
with age below five years old.
Result : The data source is the medical record. Data analysis use Chi-square and logistic
regression. The findings of the research mention the influenced factors which are: baby
born-weight (ρ=0,012; OR=45,596), chronical disease (ρ=0,015; OR=9,021), children
nutrient status (ρ=0,029; OR=5,907), and childbirth sequence (ρ=0,005; OR=0,076) with
probability about 98.4%. The non-influenced factors are: pregnancy smoking exposure
(ρ=0,108), mother pregnancy complication record (ρ=0,432), mother pregnancy infection
(ρ=1,000), childbirth type (ρ=1,000), asphyxia (ρ=0,005), and prematurity (ρ=0,000).
Conclusion : The research concludes that the lateness of global development (KPG) in
Tumbuh Kembang poly RSUD dr Soetomo Surabaya is affected by baby born-weight,
chronical disease, children nutrient status, and childbirth sequence.
Keywords : the lateness of global development, risk factors, baby born-weight, chronical
disease, children nutrient status, and childbirth sequence, pregnancy smoking exposure,
mother pregnancy complication record, mother pregnancy infection, childbirth type,
asphyxia, and prematurity.
1. PENDAHULUAN
Perkembangan anak merupakan
suatu
kesatuan
yang
utuh
yang
mengantarkan anak menjadi manusia
dewasa dengan fungsi yang optimal. Setiap
anak berkembang dengan kecepatan dan
ketepatan yang berbeda. Walaupun ada
perbedaan
individual,
tetapi
secara
keseluruhan tahapan perkembangan dapat
diukur dengan patokan yang berlaku[1].
Periode terpenting pertumbuhan dan
perkembangan anak adalah umur dibawah
5
tahun[2].
Beberapa
domain
perkembangan tersebut antara lain motorik
halus, motorik kasar, berbahasa/bicara,
personal social/interaksi sosial, kognitif,
dan aktivitas sehari-hari.
Global Developmental Delay (GDD)
atau Keterlambatan Perkembangan Global
(KPG),
merupakan
suatu
keadaan
ditemukannya
keterlambatan
yang
bermakna lebih atau sama dengan 2
domain perkembangan. Keterlambatan
bermakna artinya pencapaian kemampuan
pasien kurang dari 2 standar deviasi (SD)
dibandingkan dengan rerata populasi pada
umur yang sesuai[2]. Angka kejadian
keterlambatan
perkembangan
secara
umum sekitar 10% anak-anak di seluruh
dunia[2].
Di Poli Tumbuh Kembang Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya, pada bulan
Januari 2013 sampai Maret 2013,
gangguan yang paling panyak ditemukan
adalah Global developmental delay (GDD)
atau keterlambatan perkembangan global
(KPG) yaitu sebesar 39,1%. Tujuan
peneneltian ini adalah untuk mengetahui
faktor risiko yang berhubungan dengan
keterlambatan perkembangan global pada
balita di Poli Tumbuh Kembang Anak
RSUD Dr Soetomo Surabaya.
2. METODE
Penelitian ini dilakukan di Poli
Tumbuh Kembang Anak RSUD Dr
Soetomo Surabaya. Penelitian dilakukan
pada tanggal 21-28 Mei 2013. Penelitian
menggunakan
analitik
obsevasional
dengan pendekatan Case Control. Populasi
kelompok kasus adalah seluruh balita yang
memeriksakan diri di Poli Tumbuh
Kembang anak RSUD Dr Soetomo dengan
diagnosa keterlambatan perkembangan
global pada bulan Maret 2013. Populasi
pada kelompok kontrol adalah balita
dengan diagnosa perkembangan normal
yang memeriksakan diri di Poli Tumbuh
Kembang anak RSUD Dr Soetomo pada
Januari 2010 – Maret 2013.
Teknik sample pada kelompok kasus
menggunakan total sampling. Jumlah balita
dengan
diagnosa
keterlambatan
perkembangan global pada bulan Maret
2013 berjumlah 40 balita. Sampel pada
kelompok kontrol menggunakan teknik
simple random sampling dengan besar
sampel 40 balita (perbandingan 1:1).
Kriteria inklusi dalam penelitian ini adalah
balita dengan usia 1 - <5 tahun. Sedangkan
criteria ekslusi adalah sumber data dalam
rekam medis yang tidak lengkap. Variabel
bebas adalah berat badan lahir, paparan
rokok (aktif/pasif dalam satu rumah) pada
waktu kehamilan ibu, riwayat infeksi
(TORCH dan IMS) dalam kehamilan ibu,
komplikasi kehamilan ibu (DM, Hipertensi,
Pre eklamsia/eklamsi), jenis persalinan,
asfiksia, prematuritas, status gizi balita,
penyakit kronis, dan urutan anak. Variabel
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
8
terikat
adalah
keterlampabat menggunakan uji statistik regresi logistik
perkembangan global.
ganda. Data diproses melalui SPSS for
Sumber data didapatkan dari rekam Windows 16.
medis dan buku register pasien poli tumbuh
kembang RSUD dr Soetomo periode 3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Januari 2010 - Maret 2013. Responden
Pada kelompok kasus sebagian
kelompok kasus dan kontrol dicatat nomor besar
responden
berjenis
kelamin
perempuan yaitu sebesar 55%, sedangkan
rekam mediknya melalui buku register
pasien poli tumbuh kembang RSUD dr
pada kelompok kontrol sebagian besar
Soetomo periode Januari 2010 - Maret
berjenis kelamin laki-laki yaitu sebesar
2013. Variabel-variabel yang diteliti dalam 57.5%. Pada kelompok kasus maupun
rekam medis responden dicatat pada kelompok kontrol, hampir setengahnya
lembar pengumpulan data.
berusia 12-23 bulan, yaitu sebesar 45% (18
Analisis data yang diguakan dalam responden) pada kelompok kasus dan
penenitian ini yaitu: (1) Analisis Bivariat
sebesar 30% (12 responden) pada
digunakan untuk melihat hubungan antara keompok kontrol. Pada kelompok kasus
masing-masing
variabel
independen maupun
kelompok
kontrol,
hampir
dengan variabel dependen dengan
setengahnya ibu berusia 26-30 tahun, yaitu
menggunakan analisis uji Chi Square dan
sebesar 37.5% pada kelompok kasus dan
jika tidak memenuhi syarat dilakukan uji 42.5% pada kelompok kontrol. Hampir
Fisher’s Exact. (2) Analisis multivariat untuk setengahnya ibu hamil pada usia 26-30
melihat variabel yang paling berpengaruh tahun, yaitu sebesar 40% baik kelompok
terhadap
kejadian
keterlambatan kontrol maupun kelompok kasus (Tabel 1).
perkemabangan global (KPG), yaitu
Tabel 1. Karakteristik data umum responden penelitian
Karakteristik
Kasus
Kontrol
n = 40
n = 40
F
%
F
%
Jenis Kelamin
Laki-laki
18
45
23
57.5
Perempuan
22
55
17
42.5
Usia (Bulan)
12-23
18
45
12
30
24-35
8
20
9
22.5
36-47
4
10
8
20
48-59
10
25
11
27.5
Usia Ibu (Tahun)
<21
0
0
0
0
21-25
5
12.5
9
22.5
26-30
15
37.5
17
42.5
31-35
12
30
10
25
>35
8
20
4
10
Usia Ibu Saat Hamil (Tahun)
<21
2
5
5
12.5
21-25
10
25
15
37.5
26-30
16
40
16
40
31-35
8
20
3
7.5
>35
4
10
1
2.5
Pada kelompok kasus hampir seluruhnya
memiliki domain keterlambatan lebih dari 2
aspek, yaitu sebesar 87.5% (Tabel 2).
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
9
Tabel 2. Distribusi balita kelompok kasus berdasarkan doamain keterlambatan
Domain Keterlambatan
F
%
2
5
12.5
>2
35
87.5
Total
40
100
Berdasarkan
analisis
bivariat,
didapatkan hubungan yang bermakna
pada berat badan lahir (p = 0,005), asfiksia
(p =0,000), prematuritas (p = 0,026), status
gizi balita (p = 0,000), penyakit kronis (p =
0,000), dan urutan anak (p = 0,001) (Tabel
3).
Tabel 3. Analisis bivariat faktor-faktor yang berhubungan dengan keterlambatan
perkembangan global pada balita
Perkembangan
KPG
Total
Variabel
Kategori
Normal
p value*
( =0,05)
Berat Badan Lahir
Paparan rokok dalam
kehamilan ibu
BBLR
BBLN
F
11
29
(%)
91,7
42,6
F
1
39
(%)
8,3
57,4
F
12
68
(%)
100
100
0,005
Ya
Tidak
6
34
85,7
46,6
1
39
14,3
53,4
7
73
100
100
0,108
Ya
5
71,4
2
28,6
7
100
Tidak
35
47,9
38
52,1
73
100
Ya
0
0
1
100
1
100
Tidak
40
50,6
39
49,4
79
100
Ya
Tidak
16
24
100
37,5
0
40
0
62,5
16
64
100
100
0,000
Ya
Tidak
Pervaginam
dengan
Tindakan
Pervaginam
6
34
100
45,9
0
40
0
54,1
6
74
100
100
0,026
0
0
1
100
1
100
Riwayat Komplikasi
Kehamilan (DM, hipertensi,
preeklamsia/eklamsia) Ibu
Riwayat Infeksi (TORCH dan
IMS) dalam Kehamilan Ibu
Asfiksia
.
Prematuritas
Jenis Persalinan
0,432
1,000
1,000
40
50,6
39
49,4
79
100
25
80,6
6
19,4
31
100
Gizi Baik
15
30,6
34
69,4
49
100
Ya
22
81,5
5
18,5
27
100
Tidak
18
34
35
66
53
100
atau SC
Status Gizi Balita
Gizi
Kurang/Buruk
0,000
Penyakit Kronis
.
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
0,000
10
Urutan Anak
Anak Pertama 13
31,7
28
68,3
41
100
69,2
12
30,8
39
100
Anak Kedua
0,001
27
dst
Berdasarkan analisis multivariat
regresi logistik berganda, menunjukkan
adanya hubungan yang bermakna pada
berat badan lahir, status gizi balita,
penyakit kronis, dan urutan anak. Variabel
yang paling berpengaruh adalah berat
badan lahir. Balita dengan berat bayi lahir
rendah (BBLR) memiliki risiko 45,596 kali
lebih besar (95% CI = 2,294 – 906,211)
dibandingkan dengan balita dengan berat
bayi lahir normal (BBLN). Balita yang
pernah atau sedang menderita penyakit
kronis memiliki risiko 9,021 kali lebih besar
(95% CI = 1,537 – 52,962) dibandingkan
dengan balita yang tidak pernah atau tidak
sedang menderita penyakit kronis. Balita
dengan status gizi kurang/buruk memiliki
risiko 5,907 kali lebih besar (95% CI =
1,196 – 29,167) dibandingkan balita
dengan status gizi baik. Balita yang
merupakan anak pertama memiliki risiko
0,076 kali lebih besar (95% CI = 0,013 –
0,450). Karena nilai OR pada urutan anak
0,076 < 1, maka anak pertama mencegah
terjadinya KPG dibandingkan anak kedua
dan seterusnya (Tabel 4).
Tabel 4. Analisis multivariat faktor-faktor yang berhubungan dengan keterlambatan
perkembangan global pada balita
95% CI
p value
Variabel
B
OR
EXP (B)
Berat Badan Lahir
3,820
0,012
45,596
2,294 – 906,211
Penyakit Kronis
2,200
0,015
9,021
1,537 – 52,962
Status Gizi Balita
1,776
0,029
5,907
1,196 – 29,167
Posisi Anak
-2,582
0,005
0,076
0,013 – 0,450
Constant
-1,002
Variabel yang paling berpengaruh
adalah berat badan lahir berdasarkan hasil
uji regresi logistik ganda. Balita dengan
berat bayi lahir rendah (BBLR) memiliki
risiko 45,596 kali lebih besar (95% CI =
2,294 – 906,211) dibandingkan dengan
balita dengan berat bayi lahir normal
(BBLN). Balita yang pernah atau sedang
menderita penyakit kronis memiliki risiko
9,021 kali lebih besar (95% CI = 1,537 –
52,962) dibandingkan dengan balita yang
tidak pernah atau tidak sedang menderita
penyakit kronis. Balita dengan status gizi
kurang/buruk memiliki risiko 5,907 kali
lebih besar (95% CI = 1,196 – 29,167)
dibandingkan balita dengan status gizi
baik. Balita yang merupakan anak pertama
memiliki risiko 0,076 kali lebih besar (95%
CI = 0,013 – 0,450). Karena nilai OR pada
urutan anak 0,076 < 1, maka anak pertama
mencegah terjadinya KPG dibandingkan
anak kedua dan seterusnya.
0,068
0,367
4. PEMBAHASAN
Beberapa penelitian menemukan
bahwa bayi dengan Intra Uterine Growth
Retardation
mengalami
tingkat
perkembangan yang rendah. IUGR
menunjukkan kendala dalam nutrisi janin
selama masa kritis perkembangan otak.
Anak yang lahir dengan berat badan lahir
rendah memiliki risiko 2,6 kali lebih besar
untuk
terjadinya
keterlambatan
perkembangan[3]. Penelitian yang sama
juga dilakukan oleh Soleimani F pada
tahun 2008 di Iran yang menyatakan
bahwa ada hubungan antara berat badan
lahir rendah dengan keterlambatan
perkembangan dengan nilai p 0,006.
Masalah perkembangan syaraf terjadi dua
sampai lima kali lebih besar pada bayi
dengan berat badan lahir rendah. Di
negara-negara barat, prevalensi dari
gangguan perkembangan syaraf – mental
pada bayi dengan berat badan lahir 1500 –
2500 gram sebesar 8% dan naik sampai
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
11
15% pada berat lahir 1001 – 1500 gram [4].
Hasil penelitian tidak sesuai dengan
teori yang menyatakan bahwa paparan
rokok
pada
kehamilan
dapat
mempengaruhi perkembangan anak [5].
Penelitian yang dilakukan oleh Naomi B.
pada tahun 2005 menyatakan bahwa pada
ibu dengan paparan rokok saat kehamilan,
berisiko 6,8 kali mempunyai anak dengan
kecerdasan intelektual yang rendah.
Penelitian yang dilakukan oleh David L.
pada tahun 1994 menyatakan bahwa
paparan rokok saat kehamilan dapat
mengakibatkan gangguan perkembangan
neurologis pada anak. Hasil yang tidak
bermakna ini kemungkinan disebabkan
oleh jumlah sampel yang terlalu sedikit dan
waktu penelitian yang singkat. Pada
penelitian ini, terdapat 6 balita yang
terapapar rokok dalam kehamilan ibu,
namun paparan rokok tersebut adalah p
paparan rokok pasif. Pada pemeriksaan
antenatal, ibu hamil selalu diberikan
konseling oleh tenaga medis tentang
bahaya asap rokok terhadap janin dalam
kandungan. Oleh sebab itu, ibu hamil yang
rutin
memeriksakan
kehamilannya,
cendenrung akan menghindari paparan
asap rokok baik aktif maupun pasif.
Hal penelitian tidak sesuai dengan
teori yang menyebutkan bahwa diabetes
gestational bersifat teratogenik sehingga
dapat mengakibatkan anomali kongenital
dan defek susunan syaraf pusat.
Hipertensi
dan
preeklamsi/eklamsi
mempunyai ikatan erat dengan angka
kesakitan dan kematian janin[6]. Penelitian
yang dilakukan oleh T. Fatemeh pada
tahun 2012 di Iran menyatakan bahwa
kehamilan dengan resiko tinggi, termasuk
diabetes gestational, hipertensi, dan
preeklamsia/ekalmsia
mempunyai
hubungan
yang
signifikan
dengan
keterlambatan perkembangan pada anak
usia 4 – 60 bulan.
Hasil penelitian ini senada dengan
hasil penelitian yang dilakukan oleh Bang
pada tahun 2008 di Korea yang
menyebutkan
bahwa
komplikasi
kehamilan,
termasuk
diabetes
gestational,
hipertensi,
dan
preeklamsia / ekalmsia tidak
mempunyai hubungan signifikan dengan
perkembangan
anak
dengan
nilai
signifikansi ρ value < α (0,080 > 0,05).
Hasil yang tidak bermakna ini disebabkan
oleh jumlah sampel yang terlalu sedikit dan
waktu penelitian yang kurang. Ibu hamil
dengan komplikasi kehamilan seperti
diabetes, hipertensi, preeklamsi/ekalmsi
akan mendapatkan penanganan yang
tepat
bila
rutin
memeriksakan
kehamilannya. Intervensi yang diberikan
oleh dokter spesialis obstetri dan
ginekologi,
akan
meminimalkan
kemungkinan morbiditas pada janin yang
akan
berpengaruh
pada
perkembangannya kelak.
Penelitian ini tidak mendukung teori
yang ada dimana infeksi trimester pertama
dan kedua oleh TORCH (toxoplasma,
Rubella, Sitomegalovirus, herpes Simplex)
dan PMS (penyakit menular seksual) dapat
mengakibatkan kelainan janin seperti
katarak, bisu, tuli, mikrosefali, retardasi
mental dan kelainan jantung kongenital[7[.
Infeksi
TORCH
dan
PMS
dapat
mengganggu pertumbuhan dan maturasi
otak [2].
Hasil
penelitian
menunjukkan
bahwa seluruh balita yang menderita KPG
tidak memiliki riwayat infkesi (TORCH dan
IMS) pada kehamilan ibu. Di Indonesia,
infeksi intrauterine yang sering ditemui
adalah
infeksi
toxoplasma
dan
cytomegalovirus. Infeksi tersebut tidak
selalu diikuti dengan gejala. Jika diikuti
dengan gejala, gejala yang timbul
biasanya hanya bersifat ringan. Tidak
semua ibu hamil dalam melakukan
pemeriksaan antenatal difasilitasi dengan
skrining
TORCH.
Hal
ini
dapat
menjelaskan mengapa hasil penelitian
tidak bermakna.
Hasil penelitian ini tidak sesuai teori
menurut
Tanuwidjaya
dalam
Moersintowarti 2010 yang menyatakan
bahwa asfiksia pada bayi baru lahir dapat
menyebabkan kerusakan otak. Otak bayi
yang mengalami asfiksia membengkak
dan aliran darahnya terbendung, sel-sel
otak terutama di daerah hipotalamus,
ganglion basal, serebelum, dan lapisan III,
IV, V, dan korteks serebri banyak yang
rusak. Kerusakan otak tersebut akan
mempengaruhi perkembangan bayi pada
tahap selanjutnya[8].
Penelitian di India yang dilakukan
oleh Sachdeva S. pada tahun 2010
menujukkan
bahwa
asfiksia
tidak
mempunyai hubungan yang bermakna
terhadap keterlambatan perkembangan
global pada bayi dan balita. Penelitian
randomized control trial pada beberapa
tempat termasuk di India, membuktikan
bahwa udara ruangan dengan oksigen
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
12
100% untuk resusitasi pada bayi aterm
dengan asfiksia tidak menyebabkan
gangguan perkembangan syaraf sampai
umur dua tahun. Hal ini dapat menjelaskan
perkembangan yang normal pada balita
dengan riwayat tidak langsung menangis
saat lahir[9].
Pada penelitian ini, penilaian
asfiksia tidak berdasarkan apgar score,
tetapi
berdasarkan
bayi
langsung
menangis atau tidak saat lahir. Di
Indonesia, setiap tempat persalinan, baik
di rumah sakit, di klinik bersalin, maupun di
tempat praktek bidan sudah dilengkapi
dengan alat resusitasi bayi baru lahir.
Tenaga kesehatan penolong persalinan
sudah banyak dibekali dengan pelatihan
manajemen resusitasi pada bayi baru lahir.
Jika saat menolong persalinan didapatkan
bayi yang tidak langsung menangis,
resusitasi
segera
dilakukan
sesuai
prosedur tetap yang sudah ada. Dengan
manajemen resusitasi yang baik, bayi
dengan asfiksia dapat tertolong dari
periode kritis.
Hasil penelitian tidak sesuai dengan
teori yang menjelaskan bahwa mayoritas
bayi prematur mengalami pengurangan
volume otak. Kerusakan otak pada bayi
premature yang bersifat akut akan
menyebabkan kerusakan kronik yang
progresif yang berakibat berkurangnya
volume white matterotak dan mielenisasi
yang
terlambat[1].
Studi
tentang
konsekuensi
keterlambatan
perkembangan pada bayi premature
dilaporkan sebagai faktor risiko utama
untuk keterlambatan perkembangan[10].
Hasil yang tidak bermakna mungkin
disebabkan karena jumlah sampel yang
terlalu sedikit dan waktu penelitian yang
singkat. Hal ini dapat dilihat dari data yang
menunjukkan hanya terdapat 6 balita yang
lahir prematur. Selain itu keterlambatan
perkembangan global dipengaruhi oleh
multifaktor. Bayi yang dilahirkan prematur
bisa jadi mengalami perkembangan yang
normal
bila
faktor-faktor
penentu
pertumbuhan dan berkembangan yang lain
dipenuhi dengan baik.
Hasil penelitian tidak sesuai dengan
teori bahwa riwayat kelahiran pervaginam
dengan tindakan seperti vakum ekstraksi
atau
forceps
dapat
menyebabkan
terjadinya kerusakan otak [11]. Menurut
peneliti, hasil yang tidak bermakna
tersebut disebabkan oleh sudah jarangnya
penggunaan vakum ekstraksi maupun
forceps dalam pertolongan persalinan.
Berdasarkan hasil penelitian, hanya
terdapat 1 balita dari seluruh responden
yang lahir secara pervaginam dengan
tindakan
(vakum/forcep).
Indikasi
persalinan dengan vakum ekstraksi antara
lain pada ibu yang mempunyai penyakit
jantung, penyakit paru fibrotic dan kala II
yang memanjang. Sedangkan indikasi
persalinan forceps ialah ibu dengan
preekalmisa/eklamsia, rupture uteri yang
membakat, ibu dengan penyakit jantung
dan paru-paru, adanya gawat janin, dan
kala II yang memanjang. Saat ini, ibu
maupun janin dengan indikasi diatas,
biasanya dilakukan operasi caesar (SC)
yang sudah direncanakan, maupun yang
mendadak.
Operasi
Caesar
(SC)
meminimalkan resiko trauma pada kepala
bayi, sehingga pemilihan jenis persalinan
untuk forcep maupun vakum ekstraksi
untuk saat ini sudah jarang dilakukan.
Untuk tumbuh dan berkembang,
anak mebutuhkan zat gizi esensial
mencakup protein, lemak, karbohidrat,
vitamin, mineral, dan air yang harus
dikonsumsi secara seimbang sesuai
dengan tahapan usianya. Anak dapat
mengalami hambatan pertumbuhan dan
perkembangan hanya karena kurang
adekuatnya asupan zat gizi tersebut[12].
Defisiensi
nurien
tertentu
sangat
menentukan
perkembangan susunan
syaraf pusat maupun perifer yang
menimbulkan kelainan neurologis (Medina,
2008). Anak dengan malnurisi mempunyai
risiko
yang
lebih
besar
untuk
keterlambatan perkembangan. Sebuah
review sistematis menyebutkan bahwa
pada balita dan anak-anak, berat badan
kurang dan kekerdilan juga berhubungan
dengan apatis, kurangnya pengaruh
positif, dan rendahnya tingkat bermain.
Hasil penelitian yang dilakukan oleh
Sitaresmi pada tahun 2008 yang
menyatakan bahwa status gizi pada anak
berpengaruh terhadap
keterlambatan
perkembangan.
Status kesehatan anak dapat
berpengaruh
pada
pencapaian
pertumbuhan dan perkembangan. Bila
anak menderita penyakit kronis, maka
pencapaian kemampuan untuk maksimal
dalam tumbuh kembang akan terhambat
karena anak memiliki masa kritis [5].
Penyimpangan
perkembangan
yang
terjadi akibat dari gejala/kelainan yang
menetap,
pengobatan
yang
lama,
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
13
keterbatasan aktivitas atau mobilitas, atau
keterbatasan terhadap kegiatan sekolah,
rekreasi, bermain, aktivitas keluarga da
pekerjaan[7]. Tidak dapat dipungkiri bahwa
anak yang berada dalam kondisi sehat,
maka percepatan untuk perkembangannya
menjadi sangat mudah dan sebaliknya.
Balita yang memiliki atau sedang
menderita penyakit kronis, masa kritis
dalam perkembangannya akan mengalami
hambatan.
Secara umum, anak pertama atau
tunggal memiliki kemampuan intelektual
lebih menonjol dan cepat berkembang
karena sering berinteraksi dengan orang
5. KESIMPULAN DAN SARAN
Keterlambatan
perkembangan
global (KPG) pada balita di Poli Tumbuh
Kembang RSUD Dr. Soetomo Surabaya
dipengaruhi oleh berat badan lahir,
penyakit kronis, status gizi balita, dan
urutan anak. Diharapkan masyarakat
dapat menghindari faktor-faktor risiko yang
berhubungan
dengan
keterlambatan
perkembangan global. Tenaga medis
kuhusnya
bidan,
diharapkan dapat
memebrikan asuhan yang komprehensif
pada pasangan yang ingin menikah, ibu
hamil, ibu bersalin, bayi dan balita.
Disarankan kepada peneliti lain untuk
melakukan penelitian tentang faktor-faktor
lainnya yang berpengaruh terhadap
keterlambatan perkembangan global pada
balita yang belum diteliti dalam penelitian
ini.
dewasa dibandingkan dengan anak kedua
dan seterusnya[5]. Orang tua yang merawat
hanya satu anak, akan cenderung lebih
fokus dan lebih banyak menstimulasi
perkembangannya. Hal ini terjadi pada
anak pertama maupun anak tunggal. Pada
anak kedua dan seterusnya, perhatian
orang tua menjadi kurang fokus terhadap
pertumbuhan dan perkembangannya,
karena orang tua juga merawat saudara
yang lain. Hal ini dapat menjelaskan
mengapa anak pertama atau anak tunggal
lebih mencegah terjadinya keterlambatan
perkembangan global.
4.
5.
6.
7.
8.
DAFTAR PUSTAKA
1. IDAI, 2010. A journey to
Child
Neurodevelopment:
Application in Daily Practice.
Jakarta: Badan Penerbit
Ikatan
Dokter
Anak
Indonesia.
2. Suwarba, IGN, Widodo, DP,
Handryastuti, RAS, 2008, „Profil
Klinis
dan
Etiologi
Pasien
Keterlambatan
Perkembangan
Global di Rumah Sakit Cipto
Mangunkusumo Jakarta‟,
Sari
Pediatri, vol. 10, no. 4, pp. 255-261.
3. Sitaresmi,
MN,
Ismail,
D,
Wahab, A, 2008, „Risk Factor of
Developmental
Delay:
a
community-based
study,
9.
10.
11.
12.
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Paediatrica Indonesiana‟, vol.48,
no.3, pp.161-165.
Soleimani, F, Vameghi, R, Hemmati,
S, Roghani, RS, 2008, „Perinatal and
Neonatal
Risk
Factors
for
neurodevelopmental Outcome in
Infants in Karaj‟, Arch Iranian Med,
vol.2, no.2, pp. 135-139
Hidayat, A, Alimul, 2008. Pengantar
Ilmu
Kesehatan
Anak
untuk
pendidikan
Kebidanan.
Jakarta:
Salemba Medika.
Varney, H, Kriebs, JM, Gegor, CL,
2007. Buku Ajar Asuhan Kebidanan,
Edisi 4 Volume 1. Jakarta: EGC.
Moersintowarti, BN, Sularyo, TS,
Soetjiningsih, Suyitno, H, Ranuh,
IGNG, W iradisuria, S (eds), 2010.
Tumbuh Kembang Anak dan Remaja.
Jakarta: Sagung Seto.
Markam, Soemarno, 2011. Penuntun
Neurologi.
Tangerang:
Binanusa
Aksara.
Ramji, S, Saugstad, OD, 2005, “Use of
100% Oxygen or Room Air in Neonatal
Resuscitation‟, Am Acad Pediatr, vol.6,
pp 1047-1053.
Bang, Kyungsook, 2008, „Analysis of
Risk factors in Children with Suspected
developmental
Delays‟,
World
Academy of Science, Engineering and
Technology, vol.24, pp. 429-434.
Nursalam, Susilaningrum, R, Utami, S,
2005. Asuhan Keperawatan Bayi dan
Anak untuk Perawat dan Bidan. Jakarta:
Salemba Medika.
Supartini, Yupi. 2004. Buku Ajar Konsep
Dasar Keperawatan Anak. Jakarta:
EGC.
14
Penelitian
FAKTOR YANG BERPENGARUH TERHADAP
PELAKSANAAN RUJUKAN TERENCANA
POEDJI ROCHJATI PADA BIDAN PRAKTIK
MANDIRI DI WILAYAH SURABAYA TIMUR
Zumroh Hasanah1, Muhammad Ardian Cahya Laksana2,
Gadis Meinarsari3, Netti Herlina4
1
Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran,
Universitas Airlangga, Surabaya
2 Departemen Obstetri dan Ginekologi, RSUD Dr.Soetomo,
Surabaya
3 Departemen Ilmu Faal, Fakultas Kedokteran,
Universitas Airlangga, Surabaya
4 Jurusan Kebidanan, Politeknik Kesehatan
Kemenkes Surabaya Surabaya
ABSTRAK
Pendahuluan : Penurunan Angka Kematian Ibu (AKI) di Indonesia masih relatif lambat,
salah satunya disebabkan karena kasus rujukan terlambat yang masih banyak. Rujukan
estafet merupakan salah satu penyebab dari rujukan terlambat. Rujukan estafet yang
berujung pada kematian ibu di Surabaya tahun 2012 tercatat sebesar 49% rujukan estafet
pertama, 38% rujukan estafet kedua dan 13% rujukan estafet ketiga. Kematian ibu akibat
rujukan terlambat dapat di turunkan dan diminimalisir dengan rujukan terencana Poedji
Rochjati. Permasalahan tersebut mendasari penelitian yang bertujuan mengetahui faktor
yang berpengaruh terhadap pelaksanaan rujukan terencana Poedji Rochjati pada Bidan
Praktik Mandiri (BPM) di W ilayah Surabaya Timur.
Metode : metode analitik observasional dengan pendekatan cross sectional.
Responden penelitian adalah BPM di Wilayah Surabaya Timur yang memenuhi kriteria
inklusi dan eksklusi pada bulan Mei 2013. Teknik sampling menggunakan random
sampling dengan jumlah sampel 44 responden. Teknik pengumpulan data menggunakan
kuesioner dan wawancara terpimpin. Variabel independen yang diteliti yakni pengetahuan,
motivasi, sikap dan pengalaman. Variabel dependen yang diteliti yakni pelaksanaan
rujukan terencana Poedji Rochjati. Analisis data menggunakan Uji Chi-square, Koefisien
kontingensi dan Regresi logistik ganda.
Hasil : menunjukkan pengetahuan (p=0,675), motivasi (p=0,513), sikap (p=0,402) dan
pengalaman (p=0,296) menghasilkan p>α.
Kesimpulan : mayoritas responden memiliki pengetahuan kurang, motivasi sangat tinggi,
sikap negatif, berpengalaman dan melaksanakan rujukan terencana Poedji Rochjati. Tidak
terdapat pengaruh pengetahuan, motivasi, sikap dan pengalaman terhadap pelaksanaan
rujukan terencana Poedji Rochjati. Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk mengidentifikasi
faktor lain yang lebih relevan terkait pelaksanaan rujukan terencana Poedji Rochjati.
Kata kunci: pengetahuan, motivasi, sikap, pengalaman, rujukan terencana Poedji
Rochjati.
ABSTRACT
Background : The Decreasing of maternal mortality rate (MMR) in Indonesia relative
slowly, it becaused by there are still many late referral case. Estafet referral is one of the
caused of late referral. Estafet referral that end by mortality of the woman in Surabaya is
49% first estafet referral, 38% second estafet referral and 13% on the third estafet referral.
Maternal mortality because of late referral can decrease minimize with Poedji Rochjati
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
15
planning referral. The objective of this study is to know the factors which affect to the
implementation of Poedji Rochjati planning referral in Independent Practical Midwive in
East Surabaya Region.
Method : analytical methods with cross sectional. Respondent of this study are
Independen Practical Midwive who meet the inclusion and exclusion criteria. Consecutive
sampling is used to get 44 samples of this study. Independent variables of this study were
knowledge, motivation, attitude, and experience. The dependent variable were the
implementation of Poedji Rochjati planning referral. The data were collected by
questionnaire and interview the being analyzed with chi square, coefficient contingency
and double regression linier.
Result : The result showed that knowledge ( p=0,675), motivation (p=0,513), attitude
(p=0,402) and experience (p=0,296) showed that p higher than α.
Conclusion : majority of the respondent have less knowledge, very high motivation, negatif
attitude, have experience and doing the Poedji Rochjati planning referral. The level of
knowledge, motivation, attitude and the experience about Poedji Rochjati planning referral
contribute negatifely with Poedji Rochjati planning referral. Further research is needed to
identify other factors related to the implementation of a more relevant reference Poedji
Rochjati planning referral.
Key words : knowledge, motivation, attitude, experience, Poedji Rochjati planning referral
1.
PENDAHULUAN
Proses penurunan AKI di Indonesia
masih relatif lambat, salah satunya
disebabkan karena kasus rujukan terlambat
yang masih banyak. Keterlambatan rujukan
dipengaruhi salah satunya yakni rujukan
estafet. Rujukan estafet yang yang
berujung pada kematian ibu di Kota
Surabaya tercatat pada tahun 2012 yakni
prosentase rujukan estafet pertama
sebesar 49%, rujukan estafet kedua
sebesar 38% dan rujukan estafet ketiga
sebesar 13%. Data kasus kematian ibu di
RS DR Soetomo Surabaya tercatat sebesar
50 kasus pada tahun 2012, ditinjau
berdasarkan asal rujukan pada kasus yang
dirujuk tersebut 18,36% merupakan rujukan
yang berasal dari Kota Surabaya.2,8-10
Rujukan
terlambat
disebabkan
karena
mekanisme
rujukan
belum
dilaksanakan secara terencana dan
optimal. Rujukan terencana ialah rujukan
yang dilakukan pada ibu risiko tinggi masih
sehat dan ibu komplikasi obstetrik dini
dalam
persalinan.
Tujuan
rujukan
terencana Poedji Rochjati salah satunya
adalah menurunkan dan meminimalisasi
rujukan
terlambat.
Permasalahan
mengenai masih tingginya angka rujukan
estafet yang merupakan penyebab dari
rujukan terlambat ini membutuhkan upaya
untuk meningkatkan pelaksanaan rujukan
terencana
guna
menurunkan
dan
meminimalisir rujukan terlambat. Hal ini
mendasari peneliti untuk melakukan
penelitian dengan judul “Analisis faktor
yang berpengaruh terhadap pelaksanaan
rujukan terencana Poedji Rochjati pada
Bidan Praktik Mandiri di wilayah Surabaya
Timur”. 8-10
2.
BAHAN DAN METODE
Penelitian menggunakan metode
analitik observasional dengan pendekatan
cross sectional. Penelitian dilakukan pada
bulan Mei 2013 di Bidan Praktik Mandiri
(BPM) di W ilayah Surabaya Timur yang
melaksanakan rujukan dalam satu tahun
terakhir. Jumlah sampel adalah 44
responden dari populasi 81 BPM. Variabel
independen
yang
diteliti
yakni
pengetahuan,
motivasi,
sikap
dan
pengalaman. Variabel dependen yang
diteliti yakni pelaksanaan rujukan terencana
Poedji Rochjati. Teknik pengumpulan data
menggunakan
kuesioner
untuk
pengetahuan, motivasi dan sikap. Teknik
pengumpulan
data
menggunakan
wawancara terpimpin untuk pengalaman
dan pelaksanaan rujukan terencana Poedji
Rochjati.
Data hasil penelitian dianalisis
menggunakan Uji
Chi-square untuk
mengetahui pengaruh dari pengetahuan,
sikap, motivasi dan pengalaman.
Uji
Koefisien kontingensi untuk mengetahui
kekuatan pengaruh dari pengetahuan,
sikap, motivasi dan pengalaman. Uji
Regresi logistik ganda untuk mengetahui
pengaruh variabel pengetahuan, sikap,
motivasi
dan
pengalaman terhadap
pelaksanaan rujukan terencana Poedji
Rochjati
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
16
3.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1 Distribusi frekuensi karakteristik data umum dari variabel penelitian pada
responden Bidan Praktik Mandiri di wilayah Surabaya Timur tahun 2013
No
Karakteristik
Jumlah
Prosentase (%)
Umur
1
≤ 24 tahun
0
0
25-34 tahun
8
18
35-44 tahun
10
23
≥45 tahun
26
59
Pendidikan terakhir
2
Sekolah bidan
3
7
D1 kebidanan
0
0
D3 kebidanan
23
52
D4 kebidanan
18
41
Lama praktik mandiri
3
< 1 tahun
1
2
1-5 tahun
11
25
6-10 tahun
7
16
11-15 tahun
4
9
> 15tahun
21
48
Tabel 1 dapat dijelaskan bahwa sebagian
besar berumur ≥45 tahun sebesar 26
responden (59%), sebagian besar sudah
berada pada tingkat pendidikan D3
Kebidanan yakni 23 responden (52%), dan
hampir setengahnya telah membuka praktik
mandiri selama >15 tahun yakni 21
responden (48%).
Tabel 2 Distribusi frekuensi karakteristik data khusus dari variabel penelitian pada
responden Bidan Praktik Mandiri di wilayah Surabaya Timur tahun 2013
No
Karakteristik khusus
N
Prosentase (%)
Pengetahuan
1
Baik
1
2,3
Cukup
14
31,8
Kurang
29
65,9
Motivasi
2
Sangat tinggi
40
90,9
Tinggi
4
9,1
Sikap
3
Positif
17
38,6
Negatif
27
61,4
Pengalaman
4
Berpengalaman
42
95,5
Tidak berpengalaman
2
4,5
Pelaksanaan
5
Ya
37
84,1
tidak
7
15,9
Total
44
100
Tabel 2 dapat dijelaskan bahwa
sebagian
besar
responden
berpengetahuan kurang yaitu 29 responden
(65,9%). Hampir seluruh responden
memiliki motivasi sangat tinggi yakni
sebanyak 40 responden (90,9%). Sebagian
besar responden memiliki sikap negatif
sejumlah 27 responden (61,3%). Hampir
seluruh
responden
berpengalaman
sebesar 42 responden (95,5%). Hampir
seluruh responden melaksanakan rujukan
terencana Poedji Rochjati sebanyak 37
responden (84,1%).
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
17
Tabel 3 Distribusi frekuensi karakteristik data khusus berdasarkan kasus rujukan yang
terakhir pada Bidan Praktik Mandiri di wilayah Surabaya Timur tahun 2013
No
Karakteristik khusus
N
Prosentase (%)
Status penggunaan KSPR
1
Menggunakan
33
80
Tidak menggunakan, karena
4
10
pasien gawat
Tidak menggunakan, karena
4
10
pasien tidak gawat
2
Tempat rujukan yang dipilih
BPM
27
61
RS pemerintah
17
39
RS swasta
Total
17
100
Tabel 3 dapat dijelaskan bahwa
distribusi frekuensi berdasarkan status
penggunaan
KSPR
hampir
seluruh
responden menggunakan KSPR sejumlah
33 responden (80%). Sebagian besar
responden merujuk pada RS Pemerintah
yakni sebanyak 27 responden (61%) dan
RS Swasta adalah sebesar 17 responden
(39%).
Data sebesar 39% rujukan pada RS
Swasta akan dijabarkan lebih mendetail
berdasarkan
beberapa
karakteristik.
Karakteristik tersebut adalah jarak RS
Swasta dari lokasi BPM, status lokasi
rujukan, dan alasan merujuk
ke RS
Swasta. Data tersebut akan disajikan pada
tabel berikut.
Tabel 4 Distribusi frekuensi karakteristik data khusus berdasarkan kasus rujukan yang
terakhir di RS Swasta pada Bidan Praktik Mandiri di wilayah Surabaya Timur tahun 2013
No
Karakteristik khusus
N
Prosentase (%)
1
Jarak RS swasta dari lokasi
BPM
5
28
0-5 Km
11
61
6-11 Km
2
11
11-16 Km
Status lokasi rujukan
2
Rujukan jauh
12
71
Rujukan dekat
5
29
Alasan merujuk ke RS Swasta
3
Permintaan pasien
12
70
Dekat
2
12
Saran bidan
3
18
Total
17
100
Tabel 4 dapat dijelaskan bahwa
distribusi frekuensi karakteristik data
khusus berdasarkan kasus rujukan yang
terakhir di RS Swasta. Sebagian besar
merujuk pada RS Swasta yang berjarak 611 km yakni sebanyak 11 (61%). Status
lokasi rujukan sebagian besar adalah
rujukan jauh sebanyak 12 (71%). Alasan
merujuk ke RS Swasta sebagian besar
adalah karena permintaan pasien yakni 12
(70%).
Rujukan jauh yang dimaksud ialah
rujukan yang dilakukan pada RS yang
letaknya lebih jauh dibanding RS Swasta
maupun RS Pemerintah yang lebih dekat
dari lokasi BPM, sedangkan rujukan dekat
ialah lokasi rujukan yang dipilih merupakan
RS Swasta yang terdekat dari lokasi BPM.
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
18
Tabel 5 Pengaruh pengetahuan, motivasi, sikap dan pengalaman tentang rujukan
terencana Poedji Rochjati terhadap pelaksanaan rujukan terencana Poedji Rochjati pada
responden Bidan Praktik Mandiri di wilayah Surabaya Timur tahun 2013
Pelaksanaan
Total
p value
No
Kriteria
Ya
Tidak
n
%
n
%
n
%
1.
Pengetahuan
*0,675
Baik dan cukup
12
80%
3
20%
15
100%
Kurang
25
86,2% 4
13,8% 29
100%
2.
Motivasi
*0,513
Sangat tinggi
34
85%
6
15%
40
100%
Tinggi
3
75%
1
25%
4
100%
3.
Sikap
*0,402
Positif
13
76,5% 4
23,5% 17
100%
Negatif
24
88,9% 3
11,1% 27
100%
4.
Pengalaman
*0,296
Berpengalaman
36
85,7% 6
14,3% 42
100%
Tidak berpengalaman
1
50%
1
50%
2
100%
*Uji Fisher‟s ExactTabel 5 menunjukkan
bahwa responden dengan pengetahuan
baik dan cukup hampir seluruhnya
melaksanakan rujukan terencana Poedji
Rochjati (80%) dan pengetahuan kurang
hampir seluruhnya melaksanakan rujukan
terencana
Poedji
Rochjati
(86,2%).
Responden dengan motivasi sangat tinggi
hampir seluruhnya melaksanakan rujukan
terencana Poedji Rochjati (85%) dan
dengan motivasi tinggi hampir seluruhnya
melaksanakan rujukan terencana Poedji
Rochjati (78,6%). Responden dengan sikap
positif hampir seluruhnya melaksanakan
rujukan terencana Poedji Rochjati (100%)
dan sikap negatif hampir seluruhnya
melaksanakan rujukan terencana Poedji
Rochjati
(78,6%).
Responden
berpengalaman
sampir
seluruhnya
melaksanakan rujukan terencana Poedji
Rochjati (85,7%) dan tidak berpengalaman
setengahnya
melaksanakan
rujukan
terencana Poedji Rochjati (50%) dan
setengahnya tidak melaksanakan rujukan
terencana Poedji Rochjati (50%).
4.
dilakukan bidan dalam melaksanakan
rujukan terencana Poedji Rochjati.3-7
Ditinjau dari teori Green, selain
pengetahuan,
motivasi,
sikap
dan
pengalaman yang merupakan faktor
predisposisi perilaku juga dipengaruhi oleh
adanya faktor lain yakni faktor pendorong
dan penguat yang berpengaruh daripada
variabel yang diukur. Hasil penelitian terkait
sikap ini sesuai dengan teori yang
dijabarkan oleh Azwar terkait konsistensi
sikap dan perilaku yakni ada yang
mengindikasikan hubungan yang kuat dan
ada yang menunjukkan betapa lemahnya
pengaruh sikap dan perilaku. Hubungan
sikap dan perilaku sangat ditentukan oleh
faktor situasional, oleh karena itu sejauh
mana prediksi perilaku dapat dihubungkan
dengan sikap akan berbeda bergantung
waktu dan situasi. 1,3-7
PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini tidak sesuai
dengan teori determinan perilaku Lawrence
Green (1980) yang menjelaskan bahwa
perilaku
dipengaruhi
oleh
faktor
predisposisi seperti pengetahuan, motivasi,
sikap dan pengalaman. Pengetahuan
terkait pelaksanaan rujukan terencana
Poedji Rochjati adalah hasil dari tahu bidan
tentang rujukan terencana Poedji Rochjati.
Motivasi dalam pelaksanaan rujukan
terencana Poedji Rochjati ialah kekuatan
dorongan yang menggerakkan bidan untuk
melaksanakan rujukan terencana Poedji
Rochjati. Sikap terkait pelaksanaan rujukan
terencana
yang
dimaksud
adalah
pendapat, persepsi, reaksi atau respon
bidan terhadap pasien yang perlu di
lakukan rujukan. Pengalaman terkait
pelaksanaan rujukan terencana Poedji
Rochjati ialah hal serupa yang pernah
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
19
Pada proses pengkajian melalui
wawancara terpimpin dengan pertanyaan
mengenai kategori kasus yang dirujuk
sesuai konsep rujukan terencana Poedji
Rochjati melalui, mayoritas bidan yang
menjawab salah atau tidak dapat
mengkategorikan
sesuai
konsep
pengkategorian rujukan terencana oleh
Poedji Rochjati. Hal ini berbanding lurus
dengan hasil penelitian bahwa mayoritas
responden berpengetahuan kurang. Fakta
lapangan dari hasil wawancara terpimpin
mengenai pelaksanaan rujukan yang
dilakukan
oleh
responden,
hampir
seluruhnya
responden
merujuk
menggunakan lembar penapisan yang
dibuat oleh IBI sebagai pedoman dan
menggunakan KSPR dalam merujuk
pasien.
Lembar penapisan IBI merupakan
lembar yang berisi 18 pertanyaan yang
dijawab ya atau tidak. Secara umum lembar
penapisan ini isinya sama dengan konsep
rujukan terencana Poedji Rochjati, hanya
saja pada konsep Poedji Rochjati lebih
lengkap dan mendetail. Konsep rujukan
terencana Poedji Rochjati dimulai dengan
skrining
dengan
KSPR
untuk
menggolongkan ibu hamil berisiko dalam
tiga kelompok. Kelompok-kelompok ini
akan mengarahkan pada macam rujukan
terencana Poedji Rochjati. Golongan risiko
pada konsep rujukan terencana Poedji
Rochjati yakni Ada Potensi Gawat Obstetri
(APGO), Ada Gawat Obstetri (AGO), dan
Ada Gawat Darurat Obstetri
(AGDO).
APGO dan AGO merupakan
rujukan
dengan jenis rujukan dini berencana
(rujukan dalam rahim) dan AGDO
merupakan rujukan dengan jenis rujukan
tepat waktu. Pada lembar penapisan IBI
tidak digolongkan pada risiko seperti pada
konsep
Poedji
Rochjati,
langsung
mencentang pada kolom ya atau tidak
sehingga mungkin ini dipandang lebih
simpel oleh responden.8-10
Hal yang mungkin berpengaruh
terhadap hasil penelitian bahwa tidak
terdapat pengaruh dapat disimpulkan yakni
disebabkan oleh adanya dualisme dalam
pedoman rujukan yang dilakukan oleh
responden. Penggunaan lembar penapisan
yang mirip dengan konsep kategori rujukan
terencana Poedji Rochjati ini membuat
kesan
semua
responden
telah
melaksanakan rujukan terencana, namun
ketika rujukan terencana yang dilakukan di
cocokkan dengan kriteria rujukan terencana
Poedji Rochjati ada beberapa responden
yang ternyata rujukan terencana yang
dilakukan bukan merupakan rujukan
terencana Poedji Rochjati. Hal inilah yang
mungkin dapat menjabarkan bahwa ada
ketimpangan antara pengetahuan dengan
pelaksanaan yang secara teori harusnya
pelaksanaan
ditunjang
dengan
pengetahuan yang baik. Hasil tidak
berhubungan dapat juga disebabkan faktor
situasional. Faktor situasional berupa
kemungkinan responden gugup atau grogi
maupun terburu-buru dalam mengisi
kuesioner yang digunakan sebagai alat
ukur dalam penelitian ini.
Data terkait pelaksanaan rujukan
pada kasus terakhir yang dirujuk ditemukan
bahwa mayoritas responden menggunakan
KSPR dan hampir setengahnya melakukan
rujukan ke RS Swasta (39%). Data rujukan
ke RS Swasta ni kemudian dikaji lebih lanjut
pada jarak antara BPM ke RS Swasta,
status lokasi rujukan dan alasan merujuk ke
RS Swasta. Sebagian besar merujuk pada
RS Swasta yang berjarak 6-11 km (61%),
status lokasi rujukan sebagian besar adalah
rujukan jauh (71%) dan alasan merujuk ke
RS Swasta sebagian besar adalah karena
permintaan pasien (70%). Alasan BPM
merujuk ke RS swasta mayoritas adalah
karena permintaan pasien. Pada proses
pengkajian saat wawancara terpimpin,
mayoritas permintaan pasien dikarenakan
pasien jamsostek dengan RS tertentu dan
pasien yang dokter SPOG nya berada di
RS yang diminta tersebut.
Hasil ini
memerlukan kajian lebih lanjut mengenai
pola rujukan yang dilakukan oleh BPM.
5.
KESIMPULAN
Kesimpulan pada penelitian ini
adalah sebagian besar responden memiliki
pengetahuan yang kurang tentang rujukan
terencana Poedji Rochjati, motivasi yang
sangat tinggi untuk melaksanakan rujukan
terencana Poedji Rochjati, sebagian besar
responden memiliki sikap yang negatif
dalam
menghadapi
pasien
yang
membutuhkan rujukan, hampir seluruh
responden memiliki pengalaman dalam
melaksanakan rujukan terencana Poedji
Rochjati, dan hampir seluruh responden
melaksanakan rujukan terencana Poedji
Rochjati.
Tidak
terdapat
pengaruh
pengetahuan tentang rujukan terencana
Poedji
Rochjati,
motivasi
untuk
melaksanakan rujukan terencana Poedji
Rochjati, tidak terdapat pengaruh sikap
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
20
dalam
menghadapi
pasien
yang
membutuhkan rujukan, dan tidak terdapat
pengaruh
pengalaman
dalam
melaksanakan rujukan terencana Poedji
Rochjati terhadap pelaksanaan rujukan
terencana Poedji Rochjati. Diperlukan
penelitian
lebih
lanjut
untuk
mengidentifikasi faktor lain yang lebih
relevan terkait pelaksanaan rujukan
terencana Poedji Rochjati.
DAFTAR PUSTAKA
1. Azwar, S 2011, Sikap Manusia,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta
2. Irawan,
A
2013,
Perbandingan
Pengaruh Determinan Dekat, Antara,
Dan
Jauh
Terhadap
Kematian
Maternal Di Kota Surabaya Tahun
2011-2012, Karya ilmiah, Universitas
Airlangga Surabaya
3. Notoatmodjo, S 2007, Kesehatan
Masyarakat, Ilmu dan Seni, Rineke
Cipta, Jakarta
4.
Notoatmodjo, S 2007, Ilmu Kesehatan
Masyarakat, Rineke Cipta, Jakarta
5. Notoatmodjo, S
2007,
Promosi
Kesehatan Dan Ilmu Perilaku, Rineke
Cipta, Jakarta
6. Notoatmodjo, S 2010, Ilmu Perilaku
Kesehatan, Rineke Cipta, Jakarta
7. Notoatmodjo, S
2010,
Promosi
Kesehatan Teori Dan Aplikasi, Rineke
Cipta, Jakarta
8. Rochjati, P 2003, Rujukan Terencana
Dalam Sistem Rujukan Paripurna
Terpadu Kabupaten/Kota, Airlangga
University Press, Surabaya
9. Rochjati, P 2005, “Sistem Rujukan
Dalam Pelayanan
Kesehatan
Reproduksi”, dalam Bunga Rampai
Obstetri dan Ginekologi Sosial, eds
Martadisoebrata D. dk, Yayasan Bina
Pustaka
Sarwono
Prawirohardjo,
Jakarta
10. Rochjati, P 2011, Skrining Antenatal
Pada Ibu Hamil, Airlangga University
Press, Surabaya
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
21
Penelitian
MAKNA PACARAN DAN PERILAKU
SEKS PRANIKAH PADA REMAJA
USIA 15-18 TAHUN
Rafi‟ana Budiani1 , Pudji Lestari2 , Budi Wicaksono3 , Bambang Trijanto4
1
Program Studi Pendidikan Bidan, Fakultas Kedokteran,
Universitas Airlangga, Surabaya
2 Departemen Ilmu kesehatan Masyarakat Kedokteran
Pencegahan, Fakultas Kedokteran, Universitas Airlangga, Surabaya
3 Departemen Obstetri Ginekologi, RSUD Dr.Soetomo, Surabaya
4 Departemen Obstetri Ginekologi, RSUD Dr.Soetomo, Surabaya
ABSTRAK
Pendahuluan : Masa remaja merupakan masa dimana terjadi berbagai perubahan yang
sangat mencolok, penuh dengan gejolak perasaan, keinginan dan dorongan yang dapat
tersalur dalam perilakunya. Banyak remaja yang melakukan perilaku seks pranikah ketika
berpacaran. Masalah dalam penelitian ini adalah apakah fenomena pacaran dan perilaku
seks pranikah pada remaja saat ini sudah dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Tujuan
dari penelitian ini yaitu untuk menganalisis makna pacaran dan perilaku seks pranikah
pada remaja.
Metode : penelitian yang digunakan adalah kualitatif dengan pendekatan deskriptif
fenomenologi. Subjek penelitian terdiri dari remaja berusia 15-18 tahun yang pernah
berpacaran dan melakukan perilaku seks pranikah serta berada di wilayah kota Surabaya.
Subjek penelitian sebanyak 8 orang yang ditentukan secara snowball sampling. Penelitian
dilakukan pada bulan Mei-Juni 2013. Analisis data menggunakan model analisis interaktif.
Hasil : Didapatkan pemahaman remaja mengenai pacaran yaitu hubungan yang terjalin
berdasarkan rasa suka sama suka. Pengalaman berpacaran yang dimiliki mulai dari
pertama kali sampai lebih dari dua puluh kali berpacaran. Hubungan tersebut dimaknai
sebagai cara untuk mendapatkan kasih sayang, tambahan semangat dan motivasi, serta
untuk mendapatkan kesenangan. Perilaku seks pranikah yang dipahami remaja adalah
berhubungan seks sebelum menikah. Pengalaman terhadap perilaku seks pranikah yang
dimiliki subjek penelitian mulai dari kissing sampai melakukan intercourse, oral seks, anal
seks dan onani/masturbasi. Perilaku tersebut dimaknai sebagai trend masa kini, bukti cinta
dan pelampiasan nafsu.
Kesimpulan : Makna pacaran dan perilaku seks pranikah bagi remaja diperoleh dari
lingkungan pergaulan yang permisif terhadap pacaran dan perilaku seks pranikah,
kurangnya pengendalian diri serta adanya tuntutan pasangan untuk membuktikan cinta.
Hal ini dilatarbelakangi oleh keadaan keluarga yang kurang baik, lingkungan pergaulan
yang permisif terhadap perilaku seks pranikah serta seringnya terpapar dengan hal-hal
yang berkaitan dengan pacaran dan perilaku seks pranikah.
Kata kunci : pacaran, perilaku seks pranikah, remaja
ABSTRACT
Background : Adolescence is a period when the changes happend very striking, full of
turmoil feelings, desires and impluses that can flow in their behavior. Many adolescents do
premarital sex behavior in their dating. The problem in this research is whether the
phenomena of dating and premarital sex behavior in adolescence regarded as normal. The
purpose of this research is analyzing the meaning of dating and premarital sex behavior in
adolescence.
Method : This research method is descriptive qualitative with phenomenological approach.
Research subjects consisted of adolescents in 15-18 years who have been or ever dating
and do premarital sex behavior, in the area of the city of Surabaya. Subject of this research
22
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
were 8 people who determined by snowball sampling. This research used interactive model
analysis and implemented in May-June 2013.
Result : Showed understanding adolescents dating is a relationship based of love. The
dating experiences of adolecents are about one to over twenty times. Dating means the
way to get an affection, additional passion and motivation, as well as for fun. Premarital
sex behavior is understood by adolescents as having sex before marriage. Their
experiences are started from kissing to intercourse, oral sex, anal sex and masturbation.
These behaviors are defined as trends, proof of love and satisfation of sexual desire.
Conclusion : is meaning of dating and premarital sex behavior for adolescents obtained
from permissive society of dating and premarital sex behavior, lack of self-control and
wants to prove love. This is motivated by the unfavorable family condition, permissive
society of premarital sex behavior and exposed things related about dating and premarital
sex behavior. It is necessary for fulfillment of attention and affection as well as controlling
adolescents, and also improves adolescents to understand and control their feelings and
sexual desire with positive activities.
Keywords : dating, premarital sex behavior, adolescence
1.
PENDAHULUAN
Masa remaja merupakan masa
peralihan menuju masa dewasa dimana
banyak terjadi perubahan mencolok secara
biologis, psikologis maupun sosial[1].
Perubahan hormonal yang terjadi juga
menimbulkan perubahan emosional yang
menyebabkan timbulnya perasaan tertarik
dan mendorong remaja untuk saling
memikat lawan jenisnya, yang sering kali
diwujudkan dengan pacaran[2]. Pacaran
sering kali gagal dikelola remaja dalam
batasan
yang
patut,
sehingga
menjerumuskan mereka pada pergaulan
bebas[3]. Data Komnas Perlindungan Anak
dari Januari-Juni 2008 di 33 provinsi
menunjukkan 93,7% remaja SMP dan SMA
pernah berciuman, melakukan rangsangan
genital dan oral seks, 62,7% remaja putri
tidak perawan dan 21,2% remaja
melakukan aborsi. BKKBN pada akhir 2008
menyatakan, 63% remaja di beberapa kota
besar di Indonesia melakukan seks
pranikah[4]. Survei yang dilakukan oleh
Hotline Pendidikan bekerja sama dengan
Yayasan Embun Surabaya (YES), Telpon
Sahabat Anak (TESA) dan Lembaga
Perlindungan
Anak
Jawa
Timur
menunjukkan 44% pelajar setingkat SMA di
Surabaya mempunyai pandangan bahwa
berhubungan intim dengan pacar adalah
boleh, sementara 16% justru sudah pernah
melakukan hubungan badan layaknya
suami istri[5].
Remaja menengah, dalam rentang
usia 15-18 tahun, banyak melakukan
perilaku
seks
pranikah[6].
Pada
perkembangan moral, remaja menengah
mulai terjadi hubungan interpersonal yang
mutualistik, kebenaran mereka ditinjau dari
sudut pandang berbagi perasaan dan
kesepakatan melebihi kepentingan pribadi,
sementara pada perkembangan psikososial
mulai terjadi eksistensi pergaulan dengan
lawan jenis dan mulai bergaul secara
berpasangan[1].
Penelitian-penelitian
sebelumnya
menyebutkan
mayoritas
remaja melakukan hubungan seksual
pranikah pertama kali saat di bangku SMA,
yaitu pada usia antara 15-18 tahun[6].
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menganalisis makna pacaran dan perilaku
seks pranikah pada remaja usia 15-18
tahun.
Perilaku seks pranikah tidak hanya
bertentangan
dengan
norma-norma
kehidupan, tetapi juga dapat menyebabkan
penularan penyakit seksual, penyebaran
HIV/AIDS, penyimpangan perilaku seksual,
kehamilan yang tidak diinginkan, dan
aborsi[4]. Angka aborsi di Indonesia
mencapai 2,3-2,6 juta/ tahun, 30 %
diantaranya dilakukan oleh remaja, dan
tidak sedikit dari tindakan aborsi tersebut
menyumbangkan angka kematian ibu. Di
Jawa Timur, 60% dari total kasus aborsi
dilakukan oleh remaja[7].
2.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian
kualitatif dengan pendekatan deskriptif
fenomenologi.
Subjek
penelitian
merupakan remaja 15-18 tahun di kota
Surabaya yang pernah berpacaran dan
pernah melakukan perilaku seks pranikah.
Subjek penelitian sebanyak 8 orang yang
ditentukan secara snowball sampling.
Penelitian dilakukan pada bulan Mei-Juni
2013. Fokus dalam penelitian ini adalah
makna pacaran (pemahaman, pengalaman
serta hal yang diinginkan remaja dari
hubungan tersebut) dan perilaku seks
23
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
pranikah (pemahaman, pengalaman serta
hal
yang
melatarbelakangi
remaja
melakukan perilaku tersebut).
Pengumpulan data dilakukan dengan
menggunkan
tekhnik
wawancara
mendalam (Indepth Interview) secara
terbuka. Analisis data yang digunakan
adalah model analisis data interaktif yang
terdiri dari reduksi data, data display dan
verifikasi.
Untuk
menjamin
tingat
keparcayaan penelitian (trustworthiness)
dilakukan beberapa cara yaitu Kredibilitas
(Credibility),
Dependability
dan
Konfirmabilitas (Confirmability). Kredibilitas
dilakukan dengan meingkatkan ketekunan
selama penelitian berlangsung, melakukan
triangulasi sumber dan teori, serta
mendiskusikan hasil sementara temuan
penelitian
dengan
teman
sejawat.
Dependability dilakukan dengan melakukan
kegiatan auditing (pemeriksaan) oleh
pembimbing penelitian. Konfirmabilitas
(Confirmability)
dilakukan
dengan
membicarakan hasil penelitian dengan
orang yang tidak ikut dan tidak
berkepentingan dalam penelitian
.
3.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Subjek penelitian terdiri dari 4 orang
perempuan dan 4 orang laki-laki (1 orang
berusia 15 tahun, 3 orang berusia 16 tahun,
dan 4 orang berusia 17 tahun) dengan latar
belakang pendidikan 5 orang sedang
menempuh pendidikannya di SMA/SMK
dan 3 orang subjek masih berada di bangku
SMP. Hubungan beberapa subjek dengan
keluarga cenderung bermasalah dan
kurang baik, sementara 2 orang subjek
sudah menjadi yatim sejak beberapa tahun
yang lalu. Seperti remaja pada umumnya,
subjek penelitian memilki hubungan baik
dengan
teman-temannya.
Mereka
cenderung lebih dekat, lebih sering
berbicara dan terbuka dengan teman
sepergaulannya.
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, diperoleh pemahaman
mengenai pacaran yang sering dilakukan
oleh remaja usia 15-18 tahun, pacaran bagi
mereka adalah sebuah hubungan yang
terjalin berdasarkan rasa suka sama suka.
Hal ini selaras dengan pendapat yang
dikemukakan oleh Syarif (2011)[8] yang
mengatakan bahwa pacaran merupakan
model hubungan pria dan wanita yang
dibangun atas dasar saling memiliki, saling
suka, saling mencintai, saling mengasihi
dalam rangka memperturutkan gejolak jiwa
berupa cinta dan asmara yang membara di
dalam hati yang dilakukan secara intim.
Remaja mengartikan pacaran secara
pragmatis dengan memaknai hubungan
tersebut adalah cara untuk mendapatkan
kasih sayang, memperoleh semangat dan
tambahan motivasi dalam menjalani hidup.
Beberapa remaja juga mengartikan
pacaran sebagai media untuk memperoleh
kesenangan semata. Syarif (2011)[8]
menjelaskan beberapa alasan pacaran,
diantaranya yaitu sebagai motivasi, berbagi
rasa dan mencari kesenangan. Pacar dapat
dijadikan objek dalam melampiaskan hawa
nafsu untuk mencari kesenangan dan
kepuasan seksual. Berikut penuturan
beberapa subjek penelitian tentang alasan
mereka pacaran ;
“Pengen dapet ciuman ... pengen
cari ini lah... cium-cium.” (SP3L)
“Buat
semangat
hidup,
buat
semangat, motivasi, kalau ndak ada
itu rasane hambar gitu.” (SP5L)
“Buat senang-senang aja sih..
soalnyakan tanpa pacaran hidup ini
hampa
...
Yah..
terutama
kesenangan aja sih, happy-happy
aja.” (SP8P)
Pemahaman remaja tentang perilaku
seks pranikah adalah berhubungan seks
sebelum memiliki ikatan pernikahan.
Pengetahuan dan pemahaman tersebut
sering didapatkan dalam pergaulan dengan
teman-teman, melalui video porno, internet
dan media massa seperti televisi, koran,
majalah serta melalui pembelajaran yang
diperoleh di sekolah dan melalui kegiatan
posyandu remaja. Dalam arti sebenarnya,
perilaku seks pranikah adalah segala
tingkah laku seksual yang didorong oleh
hasrat seksual yang dilakukan sebelum
menikah,
diantaranya
yaitu
kissing,
necking, petting, intercourse, oral seks,
anal seks, dan masturbasi[6]. Berdasarkan
penelitian yang pernah dilakukan di
makasar pada tahun 2006 menunjukan 474
remaja pernah melakukan hubungan
seksual dan 40% diantaramya melakukan
hubungan seks pertama kali dengan pacar
mereka[9].
Hasil penelitian ini menunjukkan
pengalaman perilaku seks pranikah yang
telah dimiliki remaja sangat beragam, mulai
dari kissing, necking, petting, sampai
melakukan intercourse, oral seks, anal seks
dan onani/ masturbasi. Perilaku tersebut
dimaknai remaja sebagai trend dimasa
sekarang, mereka juga memaknainya
24
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
sebagai bukti dari kesungguhan perasaan
cinta yang dimiliki kepada pasangannya,
namun tidak sedikit juga remaja yang
mengartikanya sebagai pelampiasan nafsu
semata. Subjek penelitian mengutarakan
pendapat dan pengalamannya sebagai
berikut;
“Kayak pegangan tangan, ciuman,...
Ciuman itu boleh-boleh aja sih, kan
memang remaja zaman sekarang
gitu mbak...” (SP1P)
“Apa
ya...kalau sayang minta
ciumnya, gitu hehe, bukti lah
intinya... pernah ceweknya yang
minta ML,saya nggak mau, takut
masihan hehe...” (SP2L)
“Ya pegangan tangan...ciuman sama
pegang
itu
lah...Dada
hehe...Kepingin.” (SP3L)
“ya tadinya sih pegangan tangan,
habis itu ya ciuman ... di pipi, di bibir,
di leher, meluk-meluk, habis itu minta
yang aneh-aneh...ya kayak minta
pegang payudara gitu...Kan biasane
kalo cowok nggak dikasih gitu
bilangnya
nggak
sayang,..ya
termasuk itu tadi...”(SP4P)
“Ya sampai berhubungan intim gitu...
pertama ragu-ragu, terus dia juga
mau saja ya gimana lagi.. dari pihak
ceweknya juga nggak papa... Ya bisa
memuaskan diri lah.” (SP5L)
“Ya biasa, ya dicium pipi, ya dirabaraba bagian atas sini (menunjuk
payudara), dipeluk, dicium di bibir, di
leher sampai ke daerah dada juga...
bagian bawah juga pernah dirabaraba,... Soalnyakan sama-sama
sayang... Ya bikin aku senang, dia ya
juga senang... Sebenarnya masih
ada perasaan bersalah, tapi kalau
dipikir lagi senang” (SP6P)
“Biasanya ya omong-omongan
biasa, kalau nggak ngopi-ngopi ...
Yaa.. ciuman ... Pegang-pegangan
tangan, pegang-pegang payudara
hehe... Pingin aja, kepingin coba...”
(SP7L)
“Gimana ya mbak... kadang kita
ngobrol, terus kayak di sayangsayang lah mbak pertama, terus
nanti
dicium-cium,
terus
dibelai,diraba-raba,
dipegangpegang... Semuanya dari atas
sampai bawah...Ngelakuin ML...
Maknanya ya karena kita saling
mencintai aja sih, sama-sama
suka....
Waktu
pertama
kita
ngelakuin kan berani-berani aja, nah
habis ngelakuin itu terus ada
perasaan nyesel, tapi lama kelamaan
kok ketagihan, malah enak, ngono
mbak,
hehe...pertama-pertama
nderedeg lama kelamaan ya biasa
aja, enak gitu kan...yah pengen
ngulangin lagi... ya buat senangsenang aja sih.” (SP8P)
Perilaku seks pranikah dimaknai
remaja sebagai trend masa kini sesuai
dengan hasil penelitian yang dilakukan di
Bojonegoro oleh Kisriyati (2010)[10] yang
mengatakan bahwa pacaran dan perilaku
seks yang menyertainya adalah suatu trend
yang menandakan bahwa remaja tersebut
mengikuti pergaulan dan perkembangan
zaman. Sebagian remaja mengartikan
perilaku seks pranikah merupakan wujud
dari kesungguhan rasa cinta yang dimiliki
terhadap pasangannya. Hasil penelitian
yang pernah dilakukan Chronika (2011)[11]
pada pelajar SMP di Padang juga
menunjukkan hal yang sama, perilaku seks
pranikah yang dilakukan pelajar diartikan
sebagai cara untuk menunjukkan rasa cinta
dalam berpacaran, dengan demikian
hubungan pasangan menjadi lebih intim
dan merasa tidak berpacaran dengan gaya
yang ketingalan zaman. Surbakti (2008)[12]
mengungkapkan bahwa makna perilaku
seks adalah sebagai ekspresi cinta yang
terdalam dari sepasang anak manusia,
namun totalitas relasi hanya dapat tercapai
dalam ikatan pernikahan yang sah,
sependapat dengan Subiyanto (2012)[13]
yang mengatakan perilaku seks pranikah
sebagai bukti cinta merupakan sebuah
kebohongan. Cinta tidak dapat dibuktikan
melalui perilaku seks pranikah, tetapi
melalui kesediaan untuk membiarkan orang
lain tetap mandiri dan bebas. Melalui
perilaku
seks
akan
menghilangkan
kemandirian dan terjadi ketergantungan
secara emosional, sehingga memerlukan
komitmen dan tanggung jawab dalam
ikatan pernikahan.
Pemahaman yang salah mengenai
makna perilaku seks menjerumuskan
remaja pada pergaulan yang bertentangan
dengan norma kehidupan. Hal ini dapat
disebabkakn
karena
kurangnya
keterbukaan terhadap hal yang berkaitan
dengan perilaku seks khususnya dari orang
tua. Anggapan tabu membuat remaja
mencari sendiri apa yang ingin diketahuinya
secara diam-diam, sayangnya jawaban
yang diperoleh tidak terjamin kebenarannya
25
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
dan sering kali salah. Pengetahuan yang
sempit dan pemahaman yang salah
merupakan salah satu penyebab maraknya
perilaku seks pranikah pada remaja.
Tidak
sedikit
remaja
yang
mengungkapkan perilaku seks pranikah
yang mereka lakukan dimaknai sebagai
pemuas dorongan nafsu yang bergejolak.
Selaras dengan hasil penelitian pada
remaja SMA di Bojonegoro (Kisriyati,
2010)[10] dan beberapa pelajar SMP di
padang yang pernah menjadi subjek
penelitian juga mengartikan perilaku seks
pranikah yang mereka lakukan sebagai
pemuasan hasrat seksual[11].
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan, hampir seluruh subjek
mengalami hubungan yang kurang baik
dalam keluarganya. Kurangnya perhatian,
kepedulian dan kasih sayang dari keluarga
membuat subjek berkeinginan untuk
mencari perhatian dan kasih sayang di luar
rumah. Pacaran merupakan cara yang
ditempuh subjek dalam upaya memenuhi
kebutuhan tersebut.
Secara biologis, pengaruh hubungan
keluarga terhadap perkembangan pubertas
dapat
terjadi
melalui
feromon
(pheromones), zat kimia berbau yang
dikeluarkan dari keringat laki-laki dan bau
air seni perempuan yang mengaktifkan
hipotalamus,
bagian
otak
yang
mengendalikan perilaku seksual pada
lawan jenis. Sebagai pencegahan incest
alami, perkembangan seksual dapat
terhambat pada anak perempuan yang
sering terpapar feromon dari ayahnya, yang
mungkin terjadi pada hubungan ayah dan
anak yang dekat. Sebaliknya, sering
terpapar feromon laki-laki dewasa yang
tidak memiliki hubungan sedarah dapat
mempercepat perkembangan pubertas [14].
Secara sosio-emosional, Joseph
Allen dan koleganya[15] mengemukakan
bahwa remaja yang memiliki kelekatan
hubungan dengan keluarga lebih sedikit
terlibat dalam perilaku yang bermasalah
seperti kenakalan remaja, penyalahgunaan
obat terlarang dan perilaku seks pranikah.
Hasil penelitian yang dilakukan pada 398
siswa SMA usia 15-18 tahun di Yogyakarta,
79% perilaku seks pranikah pada remaja
disebabkan oleh buruknya hubungan
orangtua dengan remaja, harga diri (self
esteem), religiusitas, tekanan sebaya, dan
eksposur media pornografi[6]. Mulyana dan
Purnamasari (2010)[16] dalam penelitiannya
yang mengkaji hubungan harga diri dengan
sikap terhadap perilaku seks pranikah pada
remaja dari keluarga broken home
mengungkapkan bahwa ada hubungan
yang signifikan antara keduanya. Kondisi
keluarga seperti ini akan menyebabkan
remaja mengalami stres atau tekanan
dalam dirinya yang dapat memicu
terjadinya kenakalan remaja, termasuk
perilaku seks pranikah.
Remaja memerlukan kemampuan
dalam pengendalian terhadap dorongan
seksual yang terdapat dalam dirinya,
dengan
demikan
diharapkan
dapat
mencegah
timbulnya
perilaku
seks
pranikah yang rentan terjadi pada masa
remaja. Melakukan berbagai aktivitas yang
bernilai positif merupakan salah satu cara
untuk mengendalikan dan mengalihkan
tingginya dorongan seksual yang dimiliki
oleh remaja. Dalam beberapa kasus remaja
yang sering berolahraga cenderung kurang
terlibat dalam penggunaan obat terlarang
atau kenakalan lain jika dibandingkan
dengan remaja lainnya. Sebuah studi pada
murid SMA yang sering melakukan aktifitas
fisik lebih jarang mengkonsumsi obat
terlarang, kurang deperesi dan lebih rukun
dengan orangtuanya dibandingkan dengan
mereka yang jarang melakukan ativitas
fisik. Kegiatan positif lainnya yaitu aktif
dalam organisasi atau dalam beragam
kegiatan
ekstrakulikuler
sekolah[17].
Sayangnya dalam peneitian ini peneliti tidak
menggali hobi ataupun kebiasaan yang
sering dilakukan oleh subjek penelitian.
Menurut teori Behaviour Intention
yang dikembangkan oleh Snehendu Kar
(1980), perilaku seseorang ditentukan oleh
niat terhadap perilaku tersebut, dukungan
dari sekitar, informasi mengenai perilaku
tersebut, adanya kebebasan dari individu
untuk mengambil keputusan/bertindak dan
situasi
yang
memungkinkan
untuk
berprilaku/bertindak [18].
Perilaku
seks
pranikah yang sering kali menghiasi
aktivitas pacaran remaja dimulai dari
adanya dorongan dan niat atas perilaku
tersebut. Perubahan fisik dan emosional
akibat pubertas tidak hanya menyebabkan
perubahan tubuh, melainkan juga konflik
dan keinginan seksual yang kuat sehingga
menuntut penyaluran. Keinginantahuan
dan rasa penasaran atas perilaku seks
yang sering dilihat dan didengar remaja
juga menjadi pemicu timbulnya niat untuk
melakukan hal tersebut.
Lingkungan pergaulan merupakan
salah satu penyebab terbesar remaja
26
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
melakukan
perilaku
seks
pranikah.
Berpacaran dan atau bergaul dengan
teman-teman yang permisif terhadap
perilaku seks pranikah akan menjadi
pendorong remaja untuk ikut melakukan
perilaku seks pranikah. Hal ini juga
diperkuat dengan maraknya informasi dan
video yang berkaitan dengan perilaku seks
pranikah yang mudah diakses remaja.
Faktor lain yang turut mendukung adalah
adanya
kebebasan
individu
untuk
mengambil keputusan / bertindak. Remaja
cenderung mencoba hal-hal baru tanpa
memikirkan dampaknya terhadap diri
mereka sendiri ataupun orang lain.
Rendahnya
kemampuan
untuk
mengendalikan diri menyebabkan remaja
mudah memutuskan untuk melakukan
perilaku seks pranikah.
Faktor
penentu terakhir
yang
memungkinkan terjadinya perikau seks
pranikah pada remaja adalah adanya
situasi yang memungkinkan. Beberapa
tempat yang dijadikan tempat berpacaran
remaja diantaranya yaitu Kenpark, pantai
Kenjeran dan di bawah jembatan
Suramadu. Tempat tersebut memberikan
suasana dan situasi yang mendukung bagi
terlaksananya perilaku seks pranikah.
Beberapa masyarakat justru terlihat
mengambil kesempatan pada situasi ini
dengan memberikan fasilitas tempat yang
cukup
memungkinkan
untuk
berlangsungnya perilaku seks pranikah,
seperti tersedianya tenda-tenda tanpa
lampu di daerah watu-watu, sepanjang
pantai kenjeran, juga kios berbilik-bilik yang
terdapat di Kenpark. Berpacaran di dalam
rumah dengan keadaan rumah yang
sedang kosong juga menjadi salah satu
situasi yang mendukung terjadinya perilaku
tersebut.
Perilaku seks pranikah pada remaja
dapat berdampak pada meningkatnya risiko
terjangkit infeksi menular seksual (IMS) dan
HIV/AIDS. Remaja perempuan memiliki
risiko kesehatan yang lebih besar,
diantaranya yaitu risiko kehamilan yang
tidak dikehendaki, risiko kesehatan
sehubungan dengan kehamilan terlalu dini,
aborsi/pengguguran yang tidak aman, serta
meningkatnya risiko kanker serviks di
kemudian hari karena usia pertama kali
berhubungan seksual (coitarche) yang
terlau dini[19].
Tenaga
kesehatan
dapat
mengoptimalkan penyuluhan kesehatan
mengenai kesehatan reproduksi melalui
penyelenggaraan posyandu remaja dengan
mengikutsertakan remaja sebagai kader,
serta pengadaan
klinik remaja yang
melayani berbagai masalah remaja,
termasuk masalah kesehatan reproduksi
remaja. Pencegahan dini terhadap kejadian
kanker serviks dapat dilakukan dengan
pemberian imunisasi/vaksin HPV (Human
Papiloma Virus) pada remaja perempuan.
Program untuk remaja akan mencapai hasil
terbaik
jika memberikan pendidikan
keterampilan untuk menghadapi kehidupan
selain
memberikan
informasi
dan
pelayanan kesehatan reproduksi. Program
tersebut harus dapat membantu remaja
untuk mengembangkan keterampilan dan
bakat mereka, sehingga akan menawarkan
kesempatan
bagi
remaja
mancapai
kempanan ekonomi dan mengembangkan
rasa percaya diri bahwa mereka memiliki
potensi untuk mencapai masa dewasa yang
sukses. Kesempatan-kesempatan seperti
itu yang dikombinasikan dengan informasi
dan pelayanan kesehatan reproduksi dapat
membantu memotivasi remaja menunda
aktivitas seksual dengan membuat mereka
mengerti pengaruh jangka panjang dari
perilaku seks pranikah dan pentingnya
merencanakan masa depan mereka[20].
4.
SIMPULAN DAN SARAN
Pacaran dimaknai remaja sebagai
cara untuk mendapatkan kasih sayang,
semangat dan motivasi dalam menjalani
hidup, juga sebagai hubungan yang
dilakukan untuk memperoleh kesenangan.
Perilaku seks pranikah yang pernah
dilakukan oleh remaja dimaknai sebagai
trend dimasa sekarang, mereka juga
memaknai perilaku seks pranikah sebagai
bukti dari kesungguhan perasaan cinta
yang dimiliki kepada pasangannya, selain
itu juga dimaknai sebagai pelampiasan dari
dorongan nafsu yang menggebu. Nilai-nilai
tersebut
diperoleh
dari
lingkungan
pergaulan dengan teman-teman yang juga
permisif terhadap pacaran dan perilaku
seks pranikah. Pengetahuan mereka tidak
mampu menghalangi perilaku tersebut
dikarenakan kurangnya pengendalian diri
yang dimiliki oleh remaja serta tuntutan
pasangan dalam membuktikan perasaan
cintanya. Dilatarbelakangi oleh keadaan
keluarga yang kurang baik, seperti
hubungan yang kurang harmonis dengan
orang tua, perceraian dan tidak adanya
figur seorang ayah dalam keluarga. Selain
itu juga dikarenakan oleh lingkungan
27
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
pergaulan yang permisif terhadap perilaku
seks pranikah dan seringnya terpapar
dengan hal-hal yang berkaitan dengan
pacaran dan perilaku seks pranikah.
Berdasarkan hasil penelitian yang
diperoleh perlu adanya perhatian dan
pengendalian khusus terhadap remaja dan
perkembangannya, baik oleh orang tua,
tenaga kesehatan, masyarakat sekitar dan
remaja itu sendiri.
9.
DAFTAR PUSTAKA
1. Narendra, M, B,dkk. 2010, Tumbuh
Kembang Anak dan Remaja,
Jakarta: CV. Sagung Setyo
2. Surbakti, E B, 2009, Kenalilah Anak
Remaja Anda, Jakarta: PT. Elex
Media Komputindo.
3. Himawan, Anang Haris, 2007,
Bukan Salah Tuhan Mengazab,
Solo: Tiga Serangkai.
4. Magdalena, Merry,
2010,
Melindungi Anak dari Seks Bebas,
Jakarta: Grasindo.
5. Surabaya Pagi, 5 Januari 2013,
“Pacaran Boleh Berhubungan
Intim”, Retrieved: March 4, 2013
from
http://surabayapagi.com/index.php
?3b1ca0a43b79bdfd9f9305b81298
2962a05e3092f6d3b2754829af16
a6ebeeb5
6. Soetjiningsih, 2008, “Remaja Usia
15 - 18 Tahun Banyak Lakukan
Perilaku
Seksual
Pranikah”,
Retrieved: March 19, 2013 from
http://www.ugm.ac.id/index.php?p
age=rilis&artikel=1659
7. BKKBN, 2010, “30 Persen Remaja
Lakukan Seks Bebas”, Retrieved:
March
4,
2013
from
http://www.kumbang.net/index.php
?option=com_content&view=article
&id=11:30-persen-remaja-lakukanseksbebas&catid=10:home&Itemid=13
8. Syarif, Bung, 2011, Menyingkap
Rahasia Pacaran,
Solo: Era
Adicitra Intermedia.
11.
10.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Setiawan, Rony dan Nurhidayah,
Siti, 2008, “Pengaruh Pacaran
terhadap Perilaku Seks Pranikah”,
Jurnal Soul, Vol.1, No.2, pp 59-72.
Kisriyati, 2010, “Makna Hubungan
Seksual dalam Pacaran bagi
remaja di Kecamatan Baureno
Kabupaten Bojonegoro”, Retrieved
:
March
4,
2013
from
http://ejournal.unesa.ac.id/index.ph
p/paradigma/.../1682
Chronika, Roy, 2011, “Makna Seks
Bebas Bagi Pelajar SMP di Kota
Padang”,
Skripsi,
Universitas
Andalas.
Surbakti, E B, 2008, Kenakalan
Orang Tua Penyebab Kenakalan
Remaja, Jakarta : PT. Elex Media
Komputindo.
Subiyanto, Paulus, 2012, Love,
Sex, and Dating, Jakarta: Fidei
Press.
Papalia, Diane E, et.al., 2009,
Human Development, ed. 10 Buku
2, Jakarta: Salemba Humanika.
Santrock,
John
W,
2010,
Perkembangan Anak Buku 2 edisi
11, Jakarta: Salemba Humanika.
Purnamasari, Santi dan Mulyana,
Haesty, 2010, “Hubungan antara
Harga Diri dengan Sikap terhadap
Perilaku Seksual Pranikah pada
Remaja dari Keluarga Broken
Home”, Psycho Idea, pp 41-53.
Santrock, John W, 2007, Remaja
edisi 1, Jakarta : Erlangga.
Notoatmodjo, Soekidjo, 2010, Ilmu
Perilaku
Kesehatan,
Jakarta:
Rineka Cipta.
Kusmiran, Eny, 2011, Kesehatan
Reproduksi Remaja dan Wanita,
Jakarta: Salemba Medika.
Waspodo, Djoko, 2005, Bunga
Rampai Obstetri dan Ginekologi
Sosial, Jakarta: Yayasan Bina
Pustaka Sarwono Prawirohardjo
28
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Penelitian
HUBUNGAN ANTARA KEPATUHAN IBU HAMIL
DALAM MENGKONSUMSI TABLET Fe DAN
VITAMIN C DENGAN JUMLAH KEHAMILAN
DI DESA MEKARGALIH KECAMATAN
JATINANGOR
Hanifah Fitriani1, Anita Yuliani2, Rd. Tina D. Judistiani3, Ari Indra Susanti4
1 Program Diploma Kebidanan, Fakultas Kedokteran,
Universitas Padjadjaran, Sumedang
2 Departemen Ilmu Gizi Medik, Rumah Sakit Pendidikan
Universitas Padjadjaran, Bandung
3 Departemen Ilmu Epidemiologi dan Biostatistik,
Rumah Sakit Pendidikan Universitas Padjadjaran, Bandung
4 Departemen Ilmu Kesehatan Masyarakat,
Rumah Sakit Pendidikan Universitas Padjadjaran, Bandung
ABSTRAK
Pendahuluan : Berdasarkan Survei Demografi Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2012
Angka kematian Ibu (AKI) mengalami kenaikan yaitu 359 per 100.000 kelahiran hidup.
Kematian ibu di negara berkembang seperti Indonesia berkaitan dengan anemia
kehamilan yang disebabkan oleh defesiensi besi. Agar anemia defesiensi zat besi pada
ibu hamil dapat dicegah, maka diperlukan kepatuhan konsumsi tablet Fe dan tablet vitamin
C secara teratur. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran kepatuhan ibu hamil
dalam mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) dan tablet vitamin C di Desa Mekargalih
Kecamatan Jatinangor Kabupaten Sumedang.
Metode : metode analitik dengan pendekatan cross-sectional. Pengambilan data dilakukan
dengan menggunakan kuisioner dan teknik total sampling yang berjumlah 50 orang dan
menggunakan analisis bivariat
Hasil : kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) dalam kategori patuh
(52%), kepatuhan ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet vitamin C dalam kategori tidak
patuh (78%), dan tidak terdapat hubungan antara responden ibu hamil yang patuh dalam
mengkonsumsi tablet Fe (p > 0,005) dan vitamin C (p > 0,005).
Kesimpulan : masih terdapat ibu hamil yang tidak patuh mengkonsumsi tablet zat besi
(Fe) dan tablet vitamin C secara teratur sehingga perlu dilakukan penyuluhan secara
kontinue kepada ibu hamil untuk mengkonsumsi tablet Fe secara teratur setiap hari dan
mengkonsumsi bersamaan dengan tablet vitamin C.
Kata Kunci: Kepatuhan, Tablet Zat Besi (Fe), Tablet Vitamin C.
ABSTRACT
Background : Based on Indonesian Demographic and Health Survey (IDHS) 2012,
mortality rate (MMR) was increased 359 per 100,000 live births. Maternal mortality in
developing countries such as Indonesia is related to pregnancy anemia caused by iron
deficiency. In order to prevent iron deficiency anemia in pregnant women, a compliance in
iron (Fe) tablets and vitamin C tablets consumption is needed on a regularly. This
research’s aims to describe the compliance of pregnant women in consuming iron (Fe)
tablets and vitamin C tablets in Mekargalih Village District Of jatinangor Sumedang.
Method : the quantitative of descriptive method using cross-sectional approach. Data were
collectedusing questionnairesandtotal sampling techniquewith a sample of 50 people and
using bivariate analysis.
29
BIMABI Volume 3No.1 | Januari-Juni 2015
Result : the compliance of pregnant women in consuming iron (Fe) tablets categorized as
compliant (52%), the compliance of pregnant women in consuming vitamin C tablets
categorized as noncompliant (78%), and there is no correlation between the compliace and
grividity are pregnant woman respondents in consuming iron tablets (p > 0,005) and vitamin
c tablets (p > 0,005)
Conclusion : there are pregnant womans in Mekargalih Village that noncompliant
cetegorized consuming iron (Fe) tablets and vitamin C tablets a regularity so that needs to
counseling to pregnant women consume iron (Fe) tablets every day regularly and consume
iron tablets with vitamin c tablets.
Keywords: Compliance, Iron (Fe) Tablets, Vitamin C Tablets
1.
PENDAHULUAN
Pembangunan
kesehatan
merupakan bagian dari pembangunan
nasional. Kesehatan merupakan hak dasar
manusia yang diatur dalam UU no 23 tahun
1992. Salah satu indikator status kesehatan
masyarakat adalah angka kematian. Angka
Kematian Ibu (AKI), Angka Kematian Bayi
(AKB), dan Angka Kematian Balita
(AKABA). Dibandingkan dengan Negara
Asean Lainnya, AKI, AKB, dan AKABA di
indonesia termasuk tinggi. Rendahnya
indikator kesehatan di Indonesia ditandai
dengan masih tingginya angka kematian
pada ibu. Hasil SDKI tahun 2012 mencatat
angka kematian ibu (AKI) 359 per 100.000
kelahiran hidup. Angka ini melonjak tinggi
dibandingkan dengan hasil SDKI 2007 yang
hanya 228 per 100.000 kelahiran hidup. Hal
ini merupakan gambaran kondisi derajat
kesehatan di Indonesia yang masih harus
ditingkatkan kembali.[2]
Menurut WHO, 40% kematian ibu di
negara berkembang berkaitan dengan
anemia dalam kehamilan. Mayoritas
anemia dalam kehamilan disebabkan oleh
defesiensi besi dan perdarahan akut. Saat
ini anemia defisiensi besi pada ibu hamil
menjadi salah satu masalah kesehatan di
Indonesia karena prevalensinya cukup
tinggi yaitu sebesar 63,5%. Berdasarkan
hasil Riskesdas 2013, prevalensi anemia
pada ibu hamil di Indonesia sebesar 37,1%
yaitu ibu hamil dengan kadar Hb kurang
dari 11,0 gram/dl.Penyebab utama anemia
ini adalah kekurangan zat besi (fe) yang
diperlukan
untuk
pembentukan
hemoglobin. Selama kehamilan terjadi
peningkatan kebutuhan zat besi hampir tiga
kali lipat untuk pertumbuhan janin dan
keperluan ibu hamil. Sekitar 50 % dari
kematian di negara-negara berkembang
disebabkan
oleh
anemia
defisiensi
besi.[3,5,6]
Indonesia adalah salah satu negara
berkembang dimana hanya sedikit ibu
hamil yang dapat memenuhi kebutuhan zat
besi selama kehamilannya yaitu dengan
makanan yang dikonsumsi setiap hari. Hal
imidikarenakan sumber utama zat besi
yang mudah diserap oleh tubuh yaitu
berasal dari protein hewani seperti ikan dan
daging harganya relatif mahal dan belum
sepenuhnya terjangkau oleh masyarakat.
Untuk menanggulangi masalah tersebut
maka pemerintah melalui departemen
kesehatan (Depkes RI) melaksanakan
suatu program dalam pemberiam tablet zat
besi
pada
ibu
hamil.
Pemberian
suplementasi
tablet
zat
besi
dan
peningkatan gizi merupakan upaya-upaya
dalam mencegah dan menanggulangi
anemia.Meskipun
program
pemberian
suplementasi zat besi pada ibu hamil sudah
dijalankan sejak tahun 1970, namun masih
terdapat beberapa kasus perdarahan yang
disebabkan karena anemia pada masa
kehamilan.[4]
Kebutuhan wanita hamil akan zat
besi meningkat sebesar 200-300% yang
digunakan untuk pembentukan plasenta
dan sel darah merah. Oleh karena itu
suplementasi zat besi sangat penting
sekali, bahkan pada wanita yang status
gizinya sudah baik. Suplementasi tablet zat
besi merupakan pemberian zat besi yang
berbentuk tablet.[7] Penyerapan zat besi
sangat dipengaruhi oleh ketersediaan
vitamin C dalam tubuh ibu. Konsumsi buahbuahan yang mengandung vitamin C
sangat berperan dalam absorbsi zat besi.[8]
Menurut hasil penelitian pada tahun 2004
menyatakan rata-rata faktor dominan yang
menentukan kadar Hb wanita usia 20-35
tahun yaitu konsumsi vitamin C.[9]
Kebutuhan akan vitamin C seorang
ibu hamil meningkat dari ibu yang tidak
hamil,
dimana
seorang
ibu
hamil
membutuhkan 85 mg vitamin C per hari.
Salah satu upaya yang dijalankan
pemerintah
untuk
mencegah
dan
mengatasi anemia defisiensi pada ibu hamil
yaitu dengan pemberian suplementasi besifolat dan tablet vitamin C secara rutin
30
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
selama jangka waktu tertentu dengan Ibu Hamil Dalam Mengkonsumsi Tablet Zat
tujuan
untuk
meningkatkan
kadar Besi (Fe) dan Tablet Vitamin C dengan
Jumlah Kehamilan Di Desa Mekargalih
Hemoglobin secara cepat.[10,11]
Jatinangor
Kabupaten
Setelah dilakukan studi pendahuluan Kecamatan
dengan melakukan wawancara kepada Sumedang”.
sepuluh
ibu hamil pada saat kegiatan
pemeriksaan kehamilan di Balai Desa
METODE PENELITIAN
Mekargalih tanggal 22 Febuari 2014 2.
Metode yang digunakan pada
diperoleh hasil sebanyak tujuh ibu hamil
penelitian
ini adalah metode analitik dengan
mengkonsumsi tablet Fe namun tidak
pendekatan
cross sectional (potong lintang)
teratur setiap hari dan sepuluh ibu hamil
tidak mendapatkan tablet vitamin C selama yaitu dengan cara pendekatan, observasi
pada
menjalani kehamilannya sampai dengan atau pengumpulan data sekaligus
[12] Pada
suatu
saat
(point
time
approach).
saat ini. Sedangkan untuk ibu hamil yang
mengkonsumsi tablet Fe, tiga orang penelitian ini pengumpulan data dilakukan
diantaranya sering merasakan mual setelah hanya pada satu waktu selama penelitian.
meminum tablet tersebut sehingga karena Populasi dan sampel dalam penelitian ini
hal tersebut ibu hamil tidak mengkonsumsi adalah semua ibu hamil di desa Mekargalih
setiap hari. Berdasarkan berbagai data di sebanyak 50 orang. Pengambilan sampel
atas,
maka penulis
tertarik
untuk dengan teknik total sampling.
melakukan penelitian yang berkaitan
mengenai “Hubungan antara Kepatuhan
3.
HASIL PENELITIAN
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Ibu Hamil Dalam Mengkonsumsi Tablet Zat Besi
(Fe) di Desa Mekargalih Kecamatan Jatinangor KabupatenSumedang ( n=42)
Kepatuhan konsumsi tablet Fe
%
f
Patuh
26
52
Tidak patuh
24
48
Total
50
100
Berdasarkan tabel di atas didapatkan
bahwa responden ibu hamil di Desa
Mekargalih
Kecamatan
Jatinangor
Kabupaten
Sumedang,
dalam
mengkonsumsi tablet zat besi (Fe)
sebanyak 26 orang (52%) dikategorikan
Patuh.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Kepatuhan Ibu Hamil Dalam MengkonsumsiTablet Vitamin
C di Desa Mekargalih Kecamatan JatinangorKabupaten Sumedang ( n=13)
Kepatuhan konsumsi tablet vitamin C
%
f
Patuh
11
22
Tidak patuh
39
78
Total
50
100
Berdasarkan table 2. didapatkan
bahwa responden ibu hamil di Desa
Mekargalih
Kecamatan
Jatinangor
Kabupaten
Sumedang,
dalam
mengkonsumsi tablet vitamin C sebanyak
39 orang (78%) dikategorikan tidak patuh.
31
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Tabel 3. Hubungan antara Kepatuhan Ibu Hamil Dalam Mengkonsumsi Tablet Zat Besi
(Fe) dengan Jumlah Kehamilan Responden di Desa Mekargalih KecamatanJatinangor
KabupatenSumedang
Kepatuhan konsumsi tablet Fe
Nilai p
Graviditas
Patuh
Tidak patuh
f
%
f
%
Primigravida (n=12)
6
50
6
50
0,567
Multigravida (n=38)
20
63
18
47
Berdasarkan tabel 3. didapatkan mengkonsumsi tablet Fe dengan nilai p=
hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara 0,567.
responden ibu hamil yang patuh dalam
Tabel 4. Hubungan antara Kepatuhan Ibu Hamil Dalam Mengkonsumsi Vitamin C
dengan Jumlah Kehamilan Responden di Desa Mekargalih KecamatanJatinangor
Kabupaten Sumedang
Kepatuhan konsumsi tablet vitamin C
Nilai p
Graviditas
Patuh
Tidak patuh
f
%
f
%
Primigravida (n=12)
3
25
9
75
0,528
Multigravida (n=38)
8
16
30
79
Berdasarkan tabel 4. didapatkan
hasil bahwa tidak terhadap hubungan
antara responden ibu hamil yang patuh
dalam mengkonsumsi tablet vitamin C
dengan nilai p= 0,528.
4.
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil penelitian yang
telah dilakukan pada 50 responden ibu
hamil diketahui bahwa kepatuhan ibu hamil
dalam mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) di
Desa Mekargalih Kecamatan Jatinangor
Kabupaten Sumedang, ibu hamil yang
dikategorikan patuh mengkonsumsi tablet
zat besi (Fe) sebanyak 26 responden
(52%). Suplementasi besi-folat secara rutin
selama jangka waktu tertentu, bertujuan
untuk meningkatkan kadar Hb secara
cepat[10] . Dalam penelitian ini kepatuahan
mengkonsumsi tablet Fe dapat diukur jika
responden mulai memasuki usia kehamilan
16 minggu. Hal ini mengikuti Pedoman
Pemberian Tablet Zat Besi (Fe) pada ibu
hamil bagi tenaga Kesehatan dari Depkes
RI tahun 2001. Namun menurut WHO
pemberian suplementasi besi-folat dapat
diberikan pada ibu hamil dimulai sedini
mungkin.Kemudian hal lain seperti cara
mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) yang
kurang tepat yaitu masih adanya ibu minum
menggunakan air teh maupun susu dan
tidak menggunakan air putih atau air jeruk
sesuai anjuran, padahal yang membantu
proses penyerapan zat besi dalam tubuh
yaitu minuman yang mengandung vitamin
C salah satunya air jeruk atau bersamaan
dengan tablet vitamin C.[4] Akan tetapi
sebagian besar responden yang termasuk
kategori tidak patuh tersebut, waktu dalam
mengkonsumsi tablet zat besi (Fe) yaitu
setelah 2 jam makan sehingga apabila ibu
mengkonsumsi makanan seperti daging
atau ikan dan mengkonsumsi tablet zat besi
bersamaan dengan vitamin C dapat
menstimulasi produksi asam lambung dan
dapat meningkatkan absorbsi zat besi.[13]
Penyerapan besi dapat maksimal apabila
saat minum tablet zat besi (Fe) dengan
memakai air minum yang sudah masak.
Selain itu tablet zat besi sebaiknya diminum
pada malam hari setelah makan sebelum
tidur untuk mengurangi efek mual. Tablet
zat besi (Fe) baik dikonsumsi bersamaan
dengan vitamin C untuk membantu
penyerapan
dari
zat
besi.13Seperti
dikatakan dalam teori yang ada terdapat
beberapa faktor yang mempengaruhi
kepatuhan pasien yaitu pendidikan, faktor
sosial ekonomi, interaksi profesional
kesehatan dengan pasien dan usia.[14,15]
Tingkat pendidikan merupakan salah satu
faktor yang mempengaruhi kepatuhan ibu
hamil dalam mengkonsumsi tablet zat besi
(Fe). Hal ini didukung oleh penelitian yang
dilakukan oleh puspasari (2008) di Desa
Sokaraja Tengah, Kecamatan Sokaraja,
Kabupaten Banyumas tentang faktor-faktor
yang mempengaruhi kepatuhan ibu hamil
32
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
dalam
mengkonsumsi
tablet
besi
mengungkapkan bahwa pengetahuan,
pendidikan,
dan
peranan
petugas
kesehatan
merupakan
faktor
yang
mempengaruhi kepatuhan ibu hamil dalam
mengkonsumsi tablet besi.[16]
Berdasarkan tabel 2. diketahui
bahwa kepatuhan ibu hamil dalam
mengkonsumsi tablet vitamin C di Desa
Mekargalih
Kecamatan
Jatinangor
Kabupaten Sumedang, ibu hamil yang
patuh mengkonsumsi tablet vitamin C
sebanyak 11 responden (22%) dan
responden yang tidak patuh mengkonsumsi
tablet vitamin C sebanyak 39responden
(78%). Dalam peneltian ini untuk menilai
kepatuhan konsumsi tablet vitamin C dapat
diukur dari jumlah tablet vitamin C yang
dikonsumsi,
waktu
atau
cara
mengkonsumsi karena tablet vitamin C
dikonsumsi bersamaan dengan tablet zat
besi (Fe) sesuai dengan anjuran sebagai
upaya pencegahan dan penanggulangan
anemia zat besi pada ibu hamil yaitu
dengan memberikan suplementasi besifolat dan tablet vitamin C secara rutin
selama jangka waktu tertentu dengan
tujuan untuk meningkatkan kadar Hb
secara cepat.[7]Dalam penelitian ini terdapat
14 responden (28%) yang mengkonsumsi
tablet zat besi (Fe) tidak bersamaan
dengan tablet vitamin c namun bersamaan
dengan vitamin B dan suplemen lainnya.
Hal ini menunjukkan masih sedikit ibu hamil
yang mengkonsumsi tablet zat besi (Fe)
tidak bersamaan dengan Tablet vitamin C.
Responden yang tidak patuh tersebut
diantaranya tidak mendapatkan tablet
vitamin C dari tenaga kesehatan dimana
responden
melakukan
pemeriksaan
kehamilandan adapula responden yang
mendapatkan tablet vitamin C dari bidan
praktik mandiri namun belum mematuhi
tentang aturan mengkonsumsi tablet Fe
yang dikonsumsi bersamaan dengan
konsumsi tablet
vitamin C
dalam
tubuhsehingga masih ditemukannya ibu
hamil yang hanya mengkonsumsi tablet
vitamin C saja tanpa mengkonsumsi tablet
vitamin zat besi (Fe). Seperti dikatakan
dalam teori yang ada terdapat beberapa
faktor yang mempengaruhi kepatuhan
pasien
yaitu
tingkat
pendidikan,
pengetahuan, sosial ekonomi, serta
interaksi profesional kesehatan dengan
pasien.[14]
Berdasarkan tabel 3. didapatkan
hasil bahwa tidak terdapat hubungan antara
responden ibu hamil yang patuh dalam
mengkonsumsi tablet Fe dengan nilai p=
0,567. Seperti yang telah dijelaskan dalam
pembahasan kepatuhan tablet zat besi (Fe)
jika tingkat pendidikan, peranan interaksi
tenaga kesehatan, faktor sosial ekonomi
dan
usia
merupakan
faktor
yang
mempengaruhi kepatuhan ibu hamil dalam
mengkonsumsi tablet zat besi dan tablet
vitamin C.[16] Hal ini didukung pada
penelitian Mardhatillah (2009) tentang
hubungan pengetahuan ibu hamil tentang
anemia defisiensi besi terhadap kepatuhan
mengkonsumsi
tablet
zat
besi
mengungkapkan bahwa
pengetahuan
berpengaruh terhadap kepatuhan ibu hamil
dalam mengkonsumsi tablet zat besi (Fe)
sehingga perlu ditingkatkan lagi edukasi ibu
hamil mengenai anemia defisiensi besi
pada ibu hamil.[19] Penelitian yang lain yang
dilakukan oleh Rumiyanti dkk (2014)
tentang faktor-faktor yang mempengaruhi
tingkat kepatuhan ibu multigravidan dalam
mengkonsumsi tablet Fe di puskesmas
pulanharjo Klaten mengungkapkan yaitu
faktor yang mempengaruhi ibu multigravida
dalam mengkonsumsi tablet Fe adalah
tingkat pengetahuan.[18]
Berdasarkan tabel 4. didapatkan
hasil bahwa tidak terhadap hubungan
antara responden ibu hamil yang patuh
dalam mengkonsumsi tablet vitamin C
dengan nilai p= 0,528. Pengetahuan
memegang
peranan
penting
dalam
menentukan sikap dan perilaku responden
untuk mengkonsumsi dan mematuhinya.
Dengan adanya pengetahuan tentang zat
besi dan vitamin C ibu hamil akan mengerti
jika konsumsi tablet Fe dan tablet vitamin C
salah satu bantuan terpenting yang dapat
dilakukan untuk meningkatkan kualitas
status gizi pada ibu hamil.[16] Penelitian ini
mempunyai hasil yang sesuai dengan
penelitian yang dilakukan oleh Dyah
Susanti (2013) di Puskesmas Polanharjo
Kabupaten
Klaten
tentang
tingkat
kepatuhan ibu multigravida mengkonsumsi
tablet Fe mengungkapkan bahwa pada ibu
hamil multigravida dalam mengkonsumsi
tablet Fe lebih banyak yang patuh.[17]
Namun
untuk
kepatuhan
dalam
33
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
mengkonsumsi vitamin C dalam kategori
tidak patuh. Dalam memberikan edukasi
dapat dilakukan oleh petugas kesehatan,
dimana dalam penelitian ini semua
responden yang patuh mengkonsumsi
tablet zat besi (Fe) dan vitamin C
disarankan oleh tenaga kesehatan. Hal ini
sesuai dengan teori yang telah ada yaitu
interaksi profesional kesehatan merupakan
suatu hal yang penting untuk memberikan
umpan balik pada pasien setelah
memperoleh informasi tentang diagnosis
yang diterimanya. Hasil penelitian yang
dilakukan di makassar pada tahun 2013
peranan petugas kesehatan menjadi faktor
yang mendominasi dalam kepatuhan ibu
hamil mengkonsumsi tablet zat besi karena
petugas
kesehatan
selalu
memberi
motivasi untuk mengonsumsi tablet besi
sampai habis.[14,20] Dalam melakukan
promosi kesehatan khususnya promosi
anemia ibu hamil dan cara meminum tablet
besi salah satunya dengan sosialisasi
pentingnya konsumsi tablet zat besi (Fe)
yang tepat, makan makanan yang
mengandung sumber zat besi dan
pentingnya vitamin C untuk meningkatkan
penyerapan tablet zat besi di dalam
tubuh.[4]
DAFTAR PUSTAKA
1. Kemenkes
RI.
Profil
kesehatan
indonesia 2010. Jakarta: Kemenkes RI,
2011
2. Depkes RI. AKI tinggi, Menkes tak puas
hasil SDKI 2012. BKKBN, 2013
Diperoleh dari http/www.depkes.go.id.
Diakses tanggal 08 maret 2014.
3. Saifudin AB, W iknjosastro H, Affandi.
Buku acuan nasional pelayanan
kesehatan maternal dan neonatal.
Jakarta:JNPKK, 2000 Hal: 8-9
4. Varney
H.
Buku
ajar
asuhan
kebidanan. Volume ke-2. 4th. Jakarta:
EGC, 2006
5. Sofyan MB, dkk. 50 Tahun Ikatan Bidan
indonesia bidan menyongsong masa
depan. Pengurus pusat Ikatan Bidan
Indonesia (IBI). Et all (ed). Jakarta: PP
IBI, 2006
6. Hasil
Riskesdas
2013
Terkait
Kesehatan. Depkes. 2013
Diperoleh
dari
http://www.kesehatanibu.depkes.go.id/
archives/
5.
KESIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
berdasarkan
hasil
penelitian ini adalah kepatuhan ibu hamil
dalam mengkonsumsi tablet zat besi (Fe)
dalam kategori patuh (52%), kepatuhan ibu
hamil dalam mengkonsumsi tablet vitamin
C dalam kategori tidak patuh (78%), dan
tidak terdapat hubungan hubungan antara
responden ibu hamil yang patuh dalam
mengkonsumsi tablet Fe (p > 0,005) dan
vitamin C (p > 0,005).
Oleh karena itu disarankan kepada
petugas kesehatan di Jatinangor Petugas
kesehatan di puskesmas diharapkan dapat
mengoptimalkan
peranannya
dengan
memberikan konseling atau motovasi dan
pada saat penyuluhan kesehatan tentang
pemberian tablet zat besi (Fe) bersamaan
dengan pemberian tablet vitamin C pada
ibu hamil dan petugas juga harus
mengembangkan
strategi
program
pengawasan minum tablet zat besi (Fe)
dengan melibatkan kader dan keluarga
terdekat serta memberikan informasi
mengenai kepada tenaga kesehatan
mengenai anjuran mengkonsumsi tablet Fe
sesuai pedoman DepKes RI.
diakses 03 mei 2014
7.
8.
9.
10.
11.
Department of Nutrition for Health and
Development. Daily iron and folic acid
supplementation in pregnant women.
WHO. Switzerland. 2012
Diperoleh
dari
http://www.who.int/nutrition/publication
s/micronutrients/guidelines/daily_ifa_s
upp_pregnant_women/en/
diakses
pada 21 agustus 2014
Argana G. Vitamin C sebagai faktor
dominan untuk kadar hemoglobin pada
wanita usia 20 – 35 tahun.Jurnal
kedokteran trisakti vol 23, 2004
Depkes RI. Pedoman pemberian tablet
besi-folat dan sirup besi bagi petugas.
Jakarta:
Departemen
Kesehatan
Republik Indonesia, 2001
Nainggolan E. Perilaku Ibu Hamil
Dalam Mengkonsumsi tablet zat besi
(Fe) di Desa Tanjung Rejo Kec.percut
Kab,Deli Serdang tahun 2012.
Harahap
I.
Pengaruh
program
konsumsi
jambu
biji
terhadap
34
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
perubahan kadar hemoglobin pada ibu
hamil
anemia
yang
mendapat
suplementasi tablet Fe. Repository
Universitas Sumatera Utara 2005
12. Sugiyono. Metode penelitian kuantitatif
kualitatif . Bandung: Alfabeta, 2008
13. Jordan S. Farmakologi kebidanan.
Jakarta: EGC, 2004
14. Niven N. Psikologi Kesehatan. Jakarta:
EGC, 2002
15. Bart S. Psikologi Kesehatan. Jakarta:
PT. Gramedia W idiasarana Indonesia,
1994
16. Puspasari, Fida, Rahmawati. Faktorfaktor yang mempengaruhi kepatuhan
ibu hamil dalam mengkonsumsi tablet
besi
di
Desa
Sokaraja
Tengah,Kecamatan
Sokaraja,
Kabupaten Banyumas. Jurnal Volume
3 No.1, 2008
17. Susanti D. Tingkat kepatuhan ibu
multigravida mengkonsumsi tablet Fe
di Puskesmas Polanharjo Klaten.
Jurnal KesMasDaSKa 2013
18. Rumiyati E. Handayani D. Faktor-faktor
yang
Mempengaruhi
Tingkat
Kepatuhan Ibu Multigravida dalam
Mengkonsumsi
Tablet
Fe
di
Puskesmas Polanharjo, Klaten. Jurnal
KesMasDaSKa Januari 2014
19. Mardhatillah F, Datten B. Hubungan
pengetahuan ibu hamil tentang anemia
defisiensi besi terhadap kepatuhan
mengkonsumsi tablet zat besi di
Puskesmas Merbabu Magelang. Jurnal
Kedokteran Indonesia Volume 4 2009
20. Bobak. Buku ajar
keperawatan
maternitas. 4nd Jakarta: EGC, 2005
35
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Penyegar
BIDAN INDONESIA DAN TENAGA KESEHATAN HARUS
SIAP MENGHADAPI MEA
Hartini1
1 Prodi
DIII Kebidanan, Fakultas Ilmu Kesehatan, UNIPDU, Jombang
PENGERTIAN TENTANG MEA
Masyarakat Ekonomi Asean adalah
persaingan di bursa tenaga kerja Indonesia
dengan Asean akan semakin meningkat
menjelang pemberlakuan pasar bebas Asean
pada akhir 2015 mendatang. Ini akan
mempengaruhi banyak orang, terutama pekerja
yang berkesinambungan pada sektor keahlian
khusus. Lima hal yang harus kita ketahui dalam
mengantisipasi menghadapi pasar bebas Asia
Tenggara.
Para pemimpin Asean sepakat membentuk
sebuah pasar tunggal di kawasan Asia Tenggara
pada akhir 2015 mendatang. Agar daya saing
Asean meningkat serta bisa menyaingi Cina dan
India untuk menarik investasi asing. Penanaman
modal asing di wilayah ini sangat dibutuhkan
untuk meningkatkan lapangan pekerjaan dan
meningkatkan kesejahteraan.
Pembentukan
pasar
tunggal
yang
diistilahkan dengan sebutan MEA ini nantinya
akan memungkinkan satu negara menjual barang
dan jasa dengan mudah ke negara-negara lain di
seluruh Asia Tenggara sehingga kompetensi
akan semakin ketat. Masyarakat Ekonomi Asian
tidak hanya membuka arus perdagangan barang
atau jasa, tetapi juga pasar tenaga kerja
profesional, seperti dokter, pengacara, akuntan,
dan lainnya. Staf Khusus Menteri Tenaga Kerja
dan Transmigrasi, (Dita Indah Sari), menjelaskan
bahwa MEA mensyaratkan adanya penghapusan
aturan-aturan yang sebelumnya menghalangi
perekrutan tenaga kerja asing. ”Pembatasan,
terutama dalam sektor tenaga kerja profesional,
didorong untuk dihapuskan, sehingga pada
intinya, MEA akan lebih membuka peluang untuk
tenaga kerja asing serta mengisi jabatan dan
profesi di Indonesia yang tertutup atau minim
tenaga asingnya”.
Menyiapkan strategi dalam menghadapi
pasar bebas tenaga kerja yaitu jabatan dibuka,
sektor diperluas, tetapi syrat diperketat. Jadi buka
itu tidak asal buka saja, dan bebas tidak asal
bebas. Ujar (Dita Indah Sari). Sejumlah syarat
yang ditentukan antara lain yaitu kewajiban
berbahasa Indonesia dan sertifikasi lembaga
profesi terkait di dalam negeri. Kita tidak mau
tenaga kerja lokal yang sebetulnya berkualitas
dan mampu tetapi karena adanya tenaga kerja
asing jadi tergeser.
Masyarakat Indonesia sekarang ini akan
menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA)
atau ASEAN Economic Community (AEC). Bagi
tenaga kesehatan khususnya bidan yang ada di
Indonesia akan dihadapkan dengan persaingan
dari sembilan negara yang akan masuk ke
Indonesia sebagai tenaga kesehatan yang
bekerja di Indonesia. Maka yang akan
mengahadpi persaingan ASEAN sendiri adalah
bidan. Apakah bidan indonesia siap menghadapi
MEA?. Dalam Acara Workshop Nasional tentang
mengenai isu kebidanan dunia yang digelar oleh
Ikatan Bidan Indonesia (IBI) dan United Nations
Population Fund (UNFPA) pada awal september
lalu (tahun 2014), Ketua Ikatan Bidan Indonesia[1]
mengakui kualitas bidan di Indonesia sendiri itu
masaih rendah di bandingkan dengan beberapa
negara ASEAN lainnya.
Dari segi jumlah bidan yang ada di
Indonesia sendiri itu jumlah bidannya banyak, dari
jumlah sekolah yang terlalu banyak juga. Tetapi
kita bicara kualitas yang masing-masing sekolah
beragam. Mungkin dengan kedepannya kualitas
bidan yang ada di Indonesia sendiri bisa
meningkat[1], dalam acara yang diselenggarakan
di Hotel J.S Luwansa, Jakarta.
Menurut (Emi Nurjasmi) masalah kualitas
bidan tidak hanya bisa dilakukan oleh bidan
sendiri atau mandiri. Diperlukannya kerjasama
dengan sektor-sektor yang terkait. Terutama dari
segi pendidikan.
Kerjasama ini sangat diperlukan supaya
pendidikan yang diberikan pada bidan bisa sesuai
standar kebidanan. Agar bidan-bidan yang lulus
juga bisa sesuai dengan standar IBI. Indonesia
sendiri memfokuskan agar mempersiapkan
kualitas bidan. Indonesia
untuk menargetkan
pada tahun 2030 itu adalah memiliki bidan yang
berkualitas semuanya, ujar (Emi Nurjasmi).
Pendapat yang serupa juga disampaikan
perwakilan dari Maternal and Reproductive Health
WHO, Rustini Floranita. Menurutnya kualitas
bidan di Indonesia ini masih menjadi tantangan
serius. Salah satu bentuk kerjasama yang telah
36
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
dilakukan adalah perbaiakan kualitas melalui uji
kompetensi dan sertifikasi untuk bidan, yang telah
menjadi kesepakatan bersama oleh Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan serta Kementrian
Kesehatan.
Mulai
dari
menata
hingga
memfasilitaskan suatu standar kompetensi dan
pendidikan.
Meskipun terdapat sedikit kendala, namun
sejak November 2013, IBI telah melakukan uji
kompetensi bagi para calon bidan. Uji kompetensi
ini menjadi syarat wajib untuk menjadi lulusan
bidan. Kemendikbud dan Kemenkes sedang
merancang kebijakan nasional yang terbaru untuk
mengenai uji kompetensi lagi.
“Bagaimana cara menghadapi MEA untuk
para bidan di indonesia sendiri apakah mampu
bersaing dengan sembilan negara ASEAN, dan
mampukah bidan Indonesia itu agar tetap unggul
dalam aspek pendidikannya untuk mendapatkan
lapangan pekerjaan yang mestinya di dapatkan di
negara indonesia sendiri?”.
Untuk mengetahui bagaiman kompetensi
pendidikan dari sembilan negara ASEAN yang
sangat berkualitas dalam menjalankan tenaga
kerjanya di Indonesia dan meningkatkan kualitas
pendidikan bidan yang terdapat pada sekitar 270
institusi pendidikan kebidanan di Indonesia.
Meningkatkan kompetensi pendidikan kebidanan
di Indonesia serta memfasilitasi standar
kompetensi dan pendidikan. Meningkatakan
standar profesi kebidanan di Indonesia serta
menjalankan etika dan moral kebidanan.
Melakukan uji kompetensi bagi para calon bidan
agar tidak terjadi praktek yang ilegal tanpa
adanya Surat Tanda Registrasi (STR),serta uji
kompetensi itu adalah sebagai syarat wajib untuk
lulus menjadi bidan.
BIDAN INDONESIA MENGHADAPI MEA
Tenaga kerja bidan Indonesia yang
berkualitas adalah yang bisa mewujudkan dan
meningkatkan
kualitas
pendidikan
bidan.
Mendidik para bidan dengan kurikulum yang baik
atau sesuai dengan KKNI. Apabila bidan
menerima pendidikan sesuai dengan standar
internasional dan berkualitas maka dapat
mengurangi resiko kematian ibu dan anak,
kualitas yang memadai bidan indonesia adalah
justru yang dapat mengisi pasar luar negeri dan
bidan Indonesia tidak perlu takut menghadapi
MEA, kalau bidan Indonesia berkualitas maka
dapat menyerap pasar luar negeri, ujar (Emi
Nurjasmi).
Dana
Kependudukan
Perserikatan
Bangsa-bangsa (UNFPA) bekerja sama dengan
Konfederasi Bidan Internasional (ICM) dan
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) serta
meriliskan Situasi Kebidanan Dunia Tahun 2014.
Dan laporan tersebut memaparkan suatu
tantangan yang dihadapi tenaga kerja kebidanan
di 73 negara di benua afrika, asia dan amerika
latin, di mana layanan kebidanan itu sangat
dibutuhkan.
Negara-negara
tersebut
menyumbang 96 persen dari kematian ibu
melahirkan secara global, 91 persen bayi lahir
dalam keadaan mati, dan 93 persen kematian
bayi baru lahir.
Tantangan bidan Indonesia atau tenaga
kesehatan lainnya untuk menghadapi MEA
adalah dari negara-negara tersebut hanya
memiliki 42 persen dari keseluruhan jumlah
dokter, bidan, dan perawat di dunia, “kata Jose
Ferraris selaku perwakilan UNFPA untuk
Indonesia di Jakarta. Hanya 22 persen negara
yang secara potensial memiliki cukup bidan yang
kompeten untuk memenuhi kebutuhan dasar baik
itu perempuan dan bayi yang baru lahir.
Sementara itu, 78 persen negara juga akan
menghadapi
kekurangan
dalam
bidang
kebidanan yang akan mengakibatkan kematian
ibu dan bayi,
yang sebenarnya bisa dapat
dicegah.
KEMENKES MENYUSUN REGULASI UNTUK
MENGHADAPI MEA
Kementrian Kesehatan mengantisipasi
derasnya arus tenaga kerja asing (TKA) yang
masuk ke indonesia saat diberlakukannya MEA
2015 dengan adanya penyusunan regulasi
domestik. Regulasi domestik terkait dengan
tenaga kerja asing tersebut akan berisi tentang
syarat kemampuan bahasa indonesia yang baik,
harus lolos kualifikasi dan uji kompetensi, serta
diprioritaskan pada bidang ilmu pengetahuan dan
teknologi.
Persyaratan umum yang terkait dengan
pemanfaatan TKA medis telah diatur dalam
Permenkes 67/2013 yang mengacu pada UU
39/2004 tentang ketenaga kerjaan. “Rumah sakit
dapat mempekerjakan WNA, tetapi yang harus
ahli IPTEK. Tidak boleh dokter umum, harus
dokter spesialis. Kriterianya itu harus tepat, dan
yang tidak bisa disediakan oleh Indonesi”, kata
kepala
pusat
Perencanaan
dan
Pemberdayagunaan SDM Kemetrian Kesehatan
Tritarayati.
Tenaga medis asing itu bisa masuk ke
dalam empat sektor, yakni pelayanan kesehatan,
pendidikan kesehatan, panti sosial di bidang
kesehatan dan penelitian di bidang kesehatan.
Tenaga medis asing tersebut harus memiliki Surat
Tanda Registrasi (STR) dari Konsil Kedokteran
untuk dokter atau perawat yang dikeluarkan oleh
Majelis Tenaga Kesehatan Indonesia.
Sementara pihak rumah sakit, harus
mendapatkan izin dari kolegium kedokteran jika
hendak menggunakan TKA. Apabila tenaga
medis yang dibutuhkan oleh sebuah rumah sakit
itu masih bisa ditangani oleh tenaga lokal maka
permintaan itu tidak akan dipenuhi. Tenaga kerja
37
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
asing yang masuk harus diseleksi terlebih dahulu
oleh pihak kolegium untuk mendapatkan STR.
Kolegiumlah yang menentukan apakah sebuah
rumah sakit itu bisa menggunakan jasa tenaga
medis asing.
DAFTAR PUSTAKA
1. Nurjasmi, Emi. 2014, Siapkah Bidan
Hadapi MEA.
2. www.unand.ic.id/id/berita/universitas/299
5_louncing_buku_masyarakat_ekonomi
ASEAN 2015
38
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Penyegar
PENDEKATAN KOMUNIKASI TERAPEUTIK:
SOLUSI UNTUK MENGUBAH PERSEPSI IBU
YANG SALAH TENTANG ASI EKSKLUSIF
GUNA MEWUJUDKAN VISI
INDONESIA SEHAT 2025
Yuniyarti Arsitasari1
1 Program
Studi D3 Kebidanan, Universitas Sebelas Maret, Surakarta
Kesehatan Ibu dan Anak telah
menjadi perhatian masyarakat secara
global. Di Indonesia sendiri Kesehatan Ibu
dan Anak dipusatkan salah satunya kepada
program pemberian pemberian ASI (Air
Susu Ibu) eksklusif dari pemerintah yang
sesuai dengan
program
Millennium
Development Goals (MDGs) dari World
Health Organizations (WHO). Salah satu
rencana strategis Dinas Kesehatan adalah
mengembangkan kesehatan masyarakat
melalui salah satunya adalah pemberian
ASI eksklusif yang juga dikukuhkan oleh
Kementrian
Kesehatan
RI
dengan
menerbitkan Surat Keputusan Menteri
Kesehatan
no.450/MENKES/SK/IV/2004
tentang Pemberian Air Susu Ibu (ASI)
secara
Eksklusif
pada
Bayi
di
Indonesia.[1,2,3] ASI eksklusif adalah bayi
hanya diberi ASI saja tanpa ada pemberian
makanan atau minuman lainnya, bahkan air
putih sekali pun sampai bayi berusia 6
bulan.[4,5]
Keunggulan ASI eksklusif adalah ASI
mengandung semua zat gizi yang
diperlukan oleh bayi, termasuk hormonhormon dan senyawa-senyawa kekebalan
yang tidak terdapat pada susu formula; zat
gizi yang terdapat pada ASI dapat
menyesuaikan
kebutuhan
untuk
pertumbuhan dan perkembangan bayi;
mencegah bayi terkena penyakit saluran
pencernaan, saluran pernapasan, dan
infeksi telinga; dan bayi yang diberi ASI
eksklusif memiliki kemungkinan lebih kecil
terkena penyakit daripada yang tidak diberi
ASI eksklusif.[4]
Program ASI eksklusif ini dihadirkan
untuk mendorong jumlah anak-anak yang
hidup
melewati
usia
5
tahun [1]
dikarenakan apabila bayi dibawah usia 6
bulan sudah diberi makanan atau minuman
selain ASI maka akan berpengaruh negatif
pada proses tumbuh kembang bayi yang
akhirnya mempengaruhi usia hidup bayi
tersebut. Pengaruh buruk yang dimaksud,
meliputi zat-zat gizi yang terdapat pada
makanan atau minuman selain ASI yang
diberikan kepada bayi tidak mampu diserap
oleh tubuh bayi karena sistem pencernaan
bayi yang belum mampu zat makanan
selain pada ASI; meningkatkan risiko alergi
dan kelebihan berat badan pada bayi; dan
meningkatkan risiko bayi terkena infeksi
saluran pencernaan atau pernapasan.[5]
ASI sudah diakui keunggulannya,
tetapi kecenderungan ibu untuk tidak
menyusui bayinya secara eksklusif semakin
besar. Hal ini dapat dibuktikan dengan
semakin banyaknya ibu yang memberikan
makanan tambahan pengganti ASI lebih
awal.[3] Persentase pemberian ASI eksklusif
di Indonesia berdasarkan data Riset
Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2010,
hanya 15,3% dari seluruh bayi per tahun. [3,6]
Banyak penelitian dan pengamatan
yang dilakukan di berbagai daerah di
Indonesia juga menunjukkan adanya
kecenderungan jumlah ibu di Indonesia
yang tidak menyusui bayinya. Salah
satunya berdasarkan Survey Demografi
Kesehatan Indonesia (SDKI) periode 19972007, hanya 14% ibu di Tanah Air yang
memberikan Air Susu Ibu (ASI) eksklusif
kepada bayinya sampai 6 bulan dengan
detail data, hanya 3,7% bayi yang
memperoleh ASI pada hari pertama,
sedangkan pemberian ASI pada bayi
berumur kurang dari 2 bulan sebesar 64%,
antara 2-3 bulan 45,5%, antara 4-5 bulan
13,9%, dan antara 6-7 bulan 7,8%. Bayi
yang berusia di bawah 2 bulan, 13%
diantaranya telah diberikan susu formula
dan satu dari tiga bayi usia 2-3 bulan telah
diberi makanan tambahan. Bayi berusia
dibawah 6 bulan yang menggunakan susu
39
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
formula sejumlah 76,6% pada bayi yang
tidak disusui dan 18,1% pada bayi yang
disusui.[3,7,8] Hasil
SDKI
2012
menunjukkan bahwa bayi umur 0-1 bulan
yang diberikan ASI dan susu lain sebesar
31,5%, umur 2 – 3 bulan sebesar 18%
dan umur 4 – 5 bulan sebesar 7,6%. Ini
adalah merupakan angka yang cukup
penting untuk diwaspadai dan diperhatikan.
[9]
Faktor-faktor yang menyebabkan
masih rendahnya jumlah ibu di Indonesia
yang menyusui bayinya secara eksklusif
adalah belum semua rumah sakit yang
menerapkan 10 LMKM (Langkah Menuju
Keberhasilan Menyusui), belum semua bayi
memperoleh IMD (Inisiasi Menyusu Dini),
jumlah konselor menyusui masih sedikit,
promosi susu formula masih gencar, belum
semua fasilitas kantor dan umum terdapat
tempat khusus menyusui, pendidikan ibu,
pekerjaan ibu, persepsi tentang ASI
eksklusif, dan lain-lain. [6,10,11]
Dari semua faktor, faktor yang paling
mendasar adalah persepsi masyarakat,
terutama persepsi ibu yang salah tentang
ASI eksklusif. Ada ibu yang berpendapat
bahwa ASI eksklusif, tidak hanya ASI saja
yang diberikan, tetapi juga makanan yang
lain karena ASI saja belum cukup untuk
memenuhi gizi bayi dan meskipun bayi
diberikan makanan lain selain ASI, bayi
tidak ada kelainan. Pendapat itu menjadi
persepsi yang bersifat turun-temurun.[12]
Ibu-ibu
juga
berpersepsi
takut
mengendong bayinya dan memberikan
ASI eksklusif karena mungkin melahirkan
anak yang pertama. Oleh sebab itu, banyak
ibu-ibu khawatir menggendong karena
menurut nenek moyang mereka tulang
bayi masih seperti tulang burung, salahsalah dalam menggendong tulang bayi bisa
patah.[13] Selain itu, juga persepsi seorang
ibu yang menyakini bahwa produksi ASInya kurang atau ibu merasa ASI-nya
tidak mencukupi kebutuhan bayi. Padahal
apabila
ibu
merasa
yakin
bahwa
sebenarnya
ASI-nya cukup dapat
membantu meningkatkan keberhasilan
dalam pemberian ASI eksklusif.[14] Untuk
itu, diperlukan suatu solusi untuk
mengubah persepsi ibu tentang ASI
Eksklusif yang salah sehingga dapat
meningkatkan
keberhasilan
dalam
pemberian ASI eksklusif dan akhirnya
mampu mewujudkan visi Indonesia Sehat
2025 dalam upaya peningkatan derajat
kesehatan masyarakat.
Persepsi
Persepsi bisa dimaknai sebagai
“proses internal yang memungkinkan kita
memilih,
mengorganisasikan,
dan
menafsirkan rangsangan dari lingkungan
kita, dan proses tersebut mempengaruhi
perilaku kita”. Sedangkan
menurut
Rahmat (2009),
persepsi
adalah
memberikan makna pada stimuli indrawi.
Menurut W ood (1997) menjelaskan bahwa
persepsi adalah proses aktif dari seleksi,
organisasi dan
interpretasi
terhadap
manusia,
objek,
peristiwa
dan
aktivitas.Persepsi merupakan proses aktif
dimana manusia fokus
lalu
mengorganisasikan dan menginterpretasi
apa yang telah diperhatikannya secara
selektif tersebut.[1]
Menurut Wood (1997) proses
persepsi ditentukan oleh empat faktor,
yakni
prototypes
(pengategorian
fenomena dalam benak seseorang),
personal
construct
(faktor
yang
mempengaruhi penilaian), stereotypes
(generalisasi mengenai kondisi atau orang
tertentu), dan scripts (panduan untuk
mengorganisasi
persepsi),
yang
kesemuanya berhubungan dengan diri
seseorang dan orang lain disekitarnya.[1]
Persepsi sangat ditentukan oleh
banyak hal, yaitu melalui faktor personal
dan faktor situasional. Faktor personal
adalah faktor-faktor yang ada di dalam diri
orang tersebut seperti kesukaan, kondisi
fisik dan lain
sebagainya. Sedangkan
faktor situasional adalah faktor di luar diri
orang
tersebut yang mempengaruhinya
antara lain pendapat maupun pengaruh
orang lain ketika orang tersebut berada
pada satu proses untuk mempersepsi.
Persepsi adalah inti komunikasi.[1]
Sehingga dapat dirumuskan bahwa
persepsi seseorang terhadap sesuatu
dapat diubah oleh orang lain (eksternal)
dengan mempengaruhi faktor personal
seseorang tersebut dengan komunikasi.
Dalam hal ini adalah persepsi ibu yang
salah mengenai ASI eksklusif dapat diubah
oleh orang lain, terutama orang terdekat
dengan mempengaruhi faktor personal ibu
melalui komunikasi.[15]
Persepsi positif tentang ASI eksklusif
tidak cukup dimiliki oleh ibu saja. Namun,
suami juga harus mempunyai persepsi
positif
sehingga
mendukung
dalam
pemberian ASI eksklusif. Ketidaktahuan
dan kepedulian suami bisa jadi menjadi
faktor penghambat dalam penerapan
40
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
pemberian ASI ekslusif. Jadi, antara suami
dan istri harus bersama-sama mempunyai
kesadaran dan saling mendukung.[11]
Pendekatan Komunikasi Terapeutik
Pendekatan melalui komunikasi
terapeutik adalah pendekatan dengan
melakukan proses interaktif antara pasien
dan perawat yang membantu pasien
mengatasi stress sementara untuk hidup
harmonis dengan orang
lain,
menyesuaikan dengan sesuatu yang tidak
dapat diubah, dan mengatasi hambatan
psikologis yang menghalangi realisasi.
Komunikasi terapeutik berbeda dari
komunikasi sosial, yaitu pada komunikasi
terapeutik selalu terdapat tujuan atau
arah yang spesifik untuk komunikasi; oleh
karena itu, komunikasi terapeutik adalah
komunikasi yang terencana.[16]
Pendekatan komunikasi terapeutik
sudah terbukti keefektifannya dalam ilmu
kesehatan dalam mengubah persepsi
seseorang ke arah positif. Menurut peneliti
UCLA, pendekatan terapeutik mampu
mencegah
penolakan
terhadap
transplantasi
dan
penyabotasean
pertumbuhan kanker di Amerika Serikat.[17]
Tidak menutup kemungkinan komunikasi
terapeutik bisa dikembangkan untuk
mengubah persepsi ibu yang salah
mengenai ASI eksklusif di Indonesia.
Visi Indonesia Sehat 2025
Dalam Indonesia Sehat 2025,
lingkungan
strategis
pembangunan
kesehatan yang
diharapkan adalah
lingkungan yang kondusif bagi terwujudnya
keadaan sehat jasmani, rohani maupun
sosial, yaitu lingkungan yang bebas dari
kerawanan sosial budaya dan polusi,
tersedianya air minum dan sarana sanitasi
lingkungan yang memadai, perumahan dan
pemukiman yang sehat, perencanaan
kawasan yang berwawasan kesehatan,
serta terwujudnya kehidupan masyarakat
yang memiliki solidaritas sosial dengan
memelihara nilai-nilai budaya bangsa.[18]
Perilaku
masyarakat
yang
diharapkan dalam Indonesia Sehat 2025
adalah perilaku yang bersifat proaktif untuk
memelihara dan meningkatkan kesehatan;
mencegah risiko terjadinya penyakit;
melindungi diri dari ancaman penyakit dan
masalah kesehatan lainnya; sadar hukum;
serta berpartisipasi aktif dalam gerakan
kesehatan
masyarakat,
termasuk
menyelenggarakan masyarakat sehat dan
aman (safe community). [18]
Selain itu, dalam Indonesia Sehat
2025 diharapkan masyarakat memiliki
kemampuan
menjangkau
pelayanan
kesehatan yang bermutu dan juga
memperoleh jaminan kesehatan, yaitu
masyarakat mendapatkan perlindungan
dalam
memenuhi
kebutuhan
dasar
kesehatannya.
Pelayanan
kesehatan
bermutu yang dimaksud adalah pelayanan
kesehatan termasuk pelayanan kesehatan
dalam keadaan darurat dan bencana,
pelayanan kesehatan yang memenuhi
kebutuhan
masyarakat
serta
diselenggarakan sesuai dengan standar
dan etika profesi.[18]
Diharapkan dengan terwujudnya
lingkungan dan perilaku hidup sehat, serta
meningkatnya kemampuan masyarakat
dalam memperoleh pelayanan kesehatan
yang bermutu, maka akan dapat dicapai
derajat kesehatan individu, keluarga dan
masyarakat yang setinggi-tingginya. [18]
Implementasi Pendekatan Komunikasi
Terapeutik dalam Mengubah Persepsi
Ibu yang Salah tentang ASI Eksklusif
Implementasi
pendekatan
komunikasi terapeutik dalam mengubah
persepsi ibu yang salah tentang ASI
eksklusif
dilakukan
dengan
menggabungkan pendekatan komunikasi
terapeutik dengan peer-counseling. PeerCounseling
adalah
konseling
yang
dilakukan oleh orang terdekat.[1] Jadi,
komunikasi
terapeutik
tidak
hanya
dilakukan oleh tenaga kesehatan saja,
tetapi juga oleh terdekat dari ibu. Sebuah
penelitian menyatakan bahwa komunikasi
kesehatan yang dilakukan oleh terdekat
ataupun oleh lembaga secara intensif dapat
mengubah persepsi masyarakat terhadap
kesehatan.[1] Teknik dalam komunikasi
teraupetik
adalah
menunjukkan
penerimaan,
menawarkan
informasi,
mengklasifikasi,
dan
menanyakan
pertanyaan yang berkaitan.[16]
Menunjukkan penerimaan dalam hal
ini adalah komunikator berusaha mengerti
komunikan dengan cara mendengarkan
apa yang disampaikan komunikan, tentu
saja dalam hal ini adalah tentang ASI
eksklusif. Mendengar merupakan dasar
utama
dalam komunikasi.
Dengan
mendengar
komunikator
mengetahui
perasaan
komunikan.
Memberikan
kesempatan
lebih
banyak
pada
komunikan untuk berbicara. komunikator
harus menjadi pendengar yang aktif.
41
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Ketrampilan
mendengarkan
dengan
sepenuh
perhatian meliputi
pandang
komunikan ketika berbicara, pertahankan
kontak
mata
yang memancarkan
keinginan untuk mendengarkan, sikap
tubuh
yang
menunjukkan perhatian
dengan tidak menyilangkan kaki atau
tangan, hindarkan gerakan yang tidak
perlu, anggukkan kepala jika pasien
membicarakan
hal
penting
atau
memerlukan umpan balik, condongkan
tubuh ke arah lawan bicara. Menerima
tidak berarti menyetujui, menerima berarti
bersedia untuk mendengarkan orang lain
tanpa
menunjukkan
keraguan
atau
ketidaksetujuan. Jadi, komunikator harus
menghindari ekspresi yang menunjukkan
ketidaksetujuan terhadap komunikan.[16]
Tujuan
komunikator
bertanya
adalah untuk mendapatkan informasi
yang
spesifik mengenai apa yang
disampaikan oleh komunikan. Selama
pengkajian ajukan pertanyaan secara
berurutan. Mengulangi ucapan komunikan
dengan menggunakan kata-kata sendiri.
Melalui pengulangan kembali kata-kata
komunikan,
komunikator
memberikan
umpan balik bahwa komunikator mengerti
pesan
komunikan
dan
berharap
komunikasi dilanjutkan. Klasifikasi terjadi
saat
komunikator
berusaha
untuk
menjelaskan
dalam kata-kata ide atau
pikiran yang tidak jelas dikatakan oleh
komunikan. Agar pesan dapat sampai
dengan
benar,
komunikator
perlu
memberikan contoh yang kongkret dan
mudah dimengerti komunikan.[16]
Tahap-tahap
untuk
melakukan
komunikasi terapeutik dalam mengubah
persepsi ibu yang salah mengenai ASI
eksklusif yang dapat dilakukan oleh tenaga
kesehatan maupun orang dekat ibu,
meliputi:[15,16]
1. tahap persiapan/ tahap prainteraksi
Tahap persiapan/ tahap prainteraksi adalah tahap pertama
yang tentunya akan berpengaruh
ke tahap selanjutnya. Sehingga
harus dilakukan dengan baik.
Tahap persiapan/ tahap prainteraksi
dimulai
dengan
mempersiapkan kondisi komunikan
(ibu) dan komunikator (tenaga
kesehatan dan orang dekat ibu),
baik fisik maupun psikologis; situasi
yang nyaman; tempat dan waktu
yang sesuai.
2. tahap perkenalan/ tahap orientasi
Tahap perkenalan/tahap orientasi
adalah tahap kedua setelah tahap
persiapan/tahap
pra-interaksi.
Tahap perkenalan/tahap orientasi
meliputi, memberikan salam dan
tersenyum
pada
komunikan;
memperkenalkan
diri
dan
menanyakan nama pasien bila ini
dilakukan oleh tenaga kesehatan,
tetapi bila
yang melakukan
komunikasi adalah orang terdekat
ibu, langkah ini tidak perlu
dilakukan; menentukan mengapa
ibu mencari tidak memberikan ASI
Eksklusif;
menyediakan
kepercayaan, penerimaan, dan
komunikasi
terbuka
terhadap
komunikan, dalam hal ini adalah
ibu. Selain itu, membuat kontrak
timbal
balik,
mengeksplorasi
perasaan ibu, pikiran dan tindakan.
Selanjutnya
mengidentifikasi
masalah
ibu,
mendefinisikan
tujuan dengan ibu, dan menjaga
kerahasiaan.
3. tahap kerja
Pada tahap kerja, komunikator
(tenaga kesehatan dan orang dekat
ibu) memberikan arahan kepada
ibu mengenai ASI eksklusif yang
benar
secara
perlahan-lahan,
komunikatif,
dan
intensif.
Sehingga, dengan perlahan-lahan
pula, ibu dapat menerima arahan
dan
akhirnya
mengubah
persepsinya yang salah mengenai
ASI eksklusif. Selain memberikan
arahan,
komunikator
(tenaga
kesehatan dan orang dekat ibu),
juga memberi kesempatan
ibu
untuk bertanya sebelum tindakan
dilaksanakan. Kemudian, setelah
selesai
tindakan,
dilakukan
evaluasi kerja dan disampaikan
kepada ibu.
4. tahap terminasi
Tahap terminasi adalah tahap
perpisahan
atau
juga
bisa
dikatakan tahap akhir. Pada tahap
ini,
yang
dilakukan
oleh
komunikator (tenaga kesehatan
dan orang dekat ibu) adalah
menciptakan realitas perpisahan,
menyimpulkan
hasil
kegiatan;
evaluasi hasil dan proses. Selain
itu, antara komunikator (tenaga
kesehatan dan orang dekat ibu)
42
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
dan ibu juga saling mengeksplorasi
perasaan penolakan, kehilangan,
sedih, marah dan perilaku lain.
Lalu,
komunikator
(tenaga
kesehatan dan orang dekat ibu)
juga memberikan
reinforcement
(penguatan) positif
dan
merencanakan
tindaklanjut
dengan ibu, melakukan kontrak
untuk
pertemuan
selanjutnya
(waktu,
tempat,
topik), serta
mengakhiri kegiatan dengan baik.
Tahap ini merupakan tahap yang
sulit dan penting, karena hubungan saling
percaya sudah terbina dan berada pada
tingkat optimal. Untuk melalui tahap ini
dengan sukses dan bernilai terapeutik,
komunikator (tenaga kesehatan dan orang
dekat ibu) menggunakan
konsep
kehilangan yang artinya apabila berpisah
dengan
ibu,
komunikator
(tenaga
kesehatan dan orang dekat ibu) merasa
kehilangan, meskipun itu hanya perpisahan
dalam melakukan komunikasi.
Pendekatan komunikasi terapeutik
adalah jenis pendekatan yang dapat
dijadikan salah satu solusi efektif untuk
mengubah persepsi ibu yang salah
mengenai
ASI
Eksklusif
karena
menggunakan
pendekatan-pendekatan
yang bersifat empatik terhadap sisi internal
ibu. Pendekatan komunikasi terapeutik
tidak hanya bisa dilakukan oleh tenaga
kesehatan saja, tetapi juga orang dekat ibu
karena digabungkan dengan konsep peercounceling yaitu konseling dengan orang
yang dekat. Komunikasi kesehatan yang
dilakukan oleh terdekat ataupun oleh
lembaga secara intensif dapat mengubah
persepsi masyarakat terhadap kesehatan.
Namun, apabila ingin mengubah persepsi
seseorang dalam hal ini adalah ibu menjadi
mempunyai persepsi yang positif dalam hal
ini terhadap ASI eksklusif, tentu saja
komunikator harus memiliki pengetahuan
yang benar mengenai ASI eksklusif. Untuk
itu, diperlukan juga peran dari pemerintah
untuk
menyebarluaskan
pengetahuan
tentang ASI eksklusif baik melalui media
massa atau media yang lain. Sehingga
terciptalah sinergi yang kuat antara tenaga
kesehatan, masyarakat, dan pemerintah
untuk mewujudkan visi Indonesia Sehat
2025, yang intinya adalah meningkatkan
derajat kesehatan masyarakat Indonesia.
DAFTAR PUSTAKA
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
Sari YD, Vidyarini TN, Indrayani II.
“Persepsi Ibu Menyusui Mengenai
Kampanye
ASI
Eksklusif
di
Puskesmas
Jagir
Surabaya”.
Seminar Nasional Pascasarjana
UMB. (2014). 2 Mei 2015
<http://repository.petra.ac.id/16715
/1/Publikasi1_09003_1616.pdf>
Kementerian Kesehatan Republik
Indonesia. Program Indonesia
Sehat
untuk
Atasi
Masalah
Kesehatan. Pusat Komunikasi
Publik
Sekretariat
Jenderal
Kementerian Kesehatan RI. 3
Februari 2015. 3 Mei 2015
<http://www.depkes.go.id/article/vi
ew/15020400002/programindonesia-sehat-untuk-atasimasalah-kesehatan.html>
Saleh, LOA. “Faktor-faktor yang
Menghambat Praktik ASI Eksklusif
pada Bayi Usia 0-6 Bulan (Studi
Kualitatif di Desa Triada Mulya,
Kecamatan Landono, Kabupaten
Kanowe
Selatan,
Sulawesi
Tenggara)”. Artikel Penelitian.
(2011).
2
Mei
2015
<http://eprints.undip.ac.id/35946/1/
424_La_Ode_Amal_Saleh_G2C30
9009.pdf>
Nazarina, M. Menu Sehat dan
Aman untuk Bayi 6-12 Bulan. 2008.
2
Mei
2015
<https://books.google.com/books?i
sbn=9791142351>
Damayanti, D. Asyiknya Minum ASI
2010.
2
Mei
2015
<https://books.google.com/books?i
sbn=9792253742>
Kadir, NA. “Menelusuri Akar
Masalah Rendahnya Presentase
Pemberian
ASI
Eksklusif
di
Indonesia”. Al-Hikmah 15:1 (2014):
106-118.
2
Mei
2015
<http://www.uinalauddin.ac.id/downloadPages%20from%20jurnal%20alhikmah%202014-2.pdf>
BabI.Pendahuluan.
Universitas
Sumatera Utara. 2 Mei 2015
<http://repository.usu.ac.id/bitstrea
m/123456789/19509/5/Chapter%2
0I.pdf>
Haryani.
“Alasan
Tidak
Diberikannya ASI Eksklusif oleh Ibu
Bekerja di Kota Mataram Nusa
Tenggara Barat”. Thesis. (2014). 2
Mei
2015
43
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
9.
10.
11.
12.
<http://www.pps.unud.ac.id/thesis/
pdf_thesis/unud-10721921112073tesis%20haryani%20(1292161024
).pdf>
Fikawati, S & Syafiq, A. “Penyebab
Keberhasilan
dan
Kegagalan
Praktik Pemberian ASI Eksklusif”.
Kesehatan Masyarakat Nasional
4:3 (2009): 120-131. 2 Mei 2015
<http://download.portalgaruda.org/
article.php?article=164425&val=59
59&title=Pengaruh%20Globalisasi
%20Terhadap%20Perkembangan
%20Hak%20Asasi%20Manusia%2
0Bidang%20Ekonomi,%20Sosial,
%20Budaya%20(HESB)%20Di%2
0Indonesia>
“5
Penyebab
Rendahnya
Pemberian
ASI
Eksklusif.”
Kompas.com . 2012. 2 Mei
2015.<http://health.kompas.com/re
ad/2012/06/08/17055699/5.Penye
bab.Rendahnya.Pemberian.ASI.Ek
sklusif>
Hermawati, D. “Persepsi Keluarga
tentang Pemberian Air Susu Ibu
(ASI) Eksklusif (Tinjauan Perspektif
Gender untuk Mengatasi Kasus
Gizi Buruk) . Saintika Medika
(2012).
2
Mei
2015
<ejournal.umm.ac.id>
Hasan, H & K, Baharuddin H. “Studi
Eksplorasi Persepsi Ibu tentang
Pemberian ASI Eksklusif DI. Media
Keperawatan 1:2 (2013). 2 Mei
2015
<http://www.poltekkesmks.ac.id/index.php/tutorialsmainmenu-48/mediakeperawatan/vol-i-no-2/545-studi-
13.
14.
15.
16.
17.
18.
eksplorasi-persepsi-ibu-tentangpemberian-asi-ekslusif-di>
Palimbo, A, dkk. “Gambaran
Persepsi Ibu Menyusui tentang
Pemebrian ASI Eksklusif”. Jurnal
Kedokteran Trisakti. (2003). 2 Mei
2015 <univmed.org>
Hidayanti, L & Lina, N. “Kontribusi
Persepsi dan Motivasi Ibu dalam
Meningkatkan
Keberhasilan
Pemberian
ASI
Eksklusif
di
Wilayah Pedesaan”. Kesehatan
Komunitas Indonesia 10:1 (2014):
962-971.
5
Mei
2015
<http://lppm.unsil.ac.id/files/2014/1
0/07.-Lilik-Hidayanti.pdf>
Arsitasari, Y. “Analisis Pribadi”.
2015
Hermawan, AH. “Persepsi Pasien
Tentang Pelaksanaan Komunikasi
Terapeutik Perawat dalam Asuhan
Keperawatan pada Pasien di Unit
Gawat Darurat RS. Mardi Rahayu
Kudus November, 2009”. Thesis.
(2009).
2
Mei
2015
<http://eprints.undip.ac.id/10473/1/
ARTIKEL.pdf>
“Penelitian
Menunjukkan
Pendekatan Terapeutik Baru untuk
Mencegah
Penolakan
Transplantasi.” UCLA. 2013. 3 Mei
2015.<
http://www.newsmedical.net/news/20101119/8424/I
ndonesian.aspx>
Departemen
Kesehatan
RI.
Renacan Pembangunan Jangka
Panjang Bidan Kesehatan 20052025.
2009.
7
Mei
2015
<www.kmpk.ugm.ac.id>
44
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
45
BIMABI Volume 3 No.2 | Juli-Desember 2015
Download