PENDAHULUAN Latar belakang. Protein G merupakan salah satu komponen yang berperan dalam transduksi sinyal pada makhluk hidup. GTP-binding regulatory protein atau protein G termasuk dalam famili protein pengikat guanosin trifosfat (GTP). Protein G sendiri terbagi menjadi 2 jenis yaitu protein heterotrimerik G, yang terletak di membran plasma, dan protein G kecil (small G protein ) yang terletak di sitoplasma. Beragam jenis transduksi sinyal pada mamalia telah diketahui melibatkan protein G khususnya protein heterotrimerik G (Ma 1994). Protein heterotrimerik G terbagi menjadi 3 subunit, yaitu subunit α, β dan γ. Protein ini aktif ketika mengikat dan menghidrolisis GTP yang diikatnya. Saat aktif protein ini akan meneruskan sinyal yang diterima reseptor ekstraseluler kepada efektor intraseluler pada sisi membran sel bagian dalam. Setelah GTP yang terikat dihidrolisis menjadi GDP, protein ini kembali ke konformasi semula dan menjadi tidak aktif (Krauss 2001). Protein heterotrimerik G, khususnya subunit α, telah diketahui terlibat dalam transduksi sinyal cekaman biotik, hormon dan lain sebagainya (Assman 2002) Kedelai (Glycine max) merupakan salah satu produk pertanian dengan tingkat permintaan yang tinggi di dunia. Kandungan gizi yang tinggi, karena mengandung beberapa asam amino esensial, serta beragam kegunaan lain selain untuk dikonsumsi mengakibatkan melonjaknya permintaan akan kedelai. Beragam usaha telah dilakukan untuk meningkatkan produksi kedelai dunia, mulai dari cara intensifikasi dengan menggunakan teknik pertanian yang lebih baik, sampai dengan ekstensifikasi lahan oleh negaranegara pengeskpor kedelai terbesar dunia seperti Brazil dan Amerika (USDA 2007). Produksi kedelai Indonesia belum mampu memenuhi kebutuhan dalam negeri sehingga masih perlu mendatangkan dari luar. Produksi kedelai Indonesia pada tahun 2006 baru mencapai 783 554 ton per tahun (BPS 2006), sedangkan kebutuhan dalam negeri mencapai kurang lebih 2 juta ton, sehingga pada tahun 2006 Indonesia mengimpor kedelai sebesar kurang lebih 1 370 000 metrik ton (USDA 2007). Oleh karena itu perlu diupayakan peningkatan produksi kedelai di Indonesia untuk menutupi kekurangan tersebut. Hal ini dapat dilakukan baik melalui intensifikasi yaitu penggunaan kultivar unggul dan perbaikan teknik budidaya maupun ekstensifikasi atau perluasan lahan pertanaman. Di seluruh dunia, tanah dengan pH cukup rendah banyak dijumpai di daerah tropis. Kondisi tanah masam ini dijumpai pada kurang lebih 40% lahan yang dapat ditanami di seluruh dunia (Gardner 1998). Indonesia sebagai negara agraris memiliki 18,2 juta hektar lahan dengan tingkat pH rendah (Mashuda 2006) yang potensial untuk dikembangkan sebagai lahan pertanian, khususnya untuk kedelai. Tantangan yang menghadang untuk ekstensifikasi adalah kondisi pH tanah yang rendah, yang akan meningkatkan kelarutan ion-ion logam di tanah. Tingginya kandungan ion-ion logam tertentu dalam tanah dapat bersifat toksik bagi tanaman. Salah satu ion tersebut adalah Aluminium (Al) dalam bentuk ion Al3+. Beberapa penelitian telah menunjukkan bahwa pada tanah dengan kondisi masam, ion Al3+ yang terakumulasi merupakan faktor penyebab utama yang membatasi tingkat keberhasilan panen (Kochian 1995), karena ion Al3+ menghambat pertumbuhan akar, yang akan berakibat terhadap pertumbuhan tanaman (Gardner 1998). Salah satu solusi terhadap permasalahan tersebut adalah penggunaan kultivar unggul yang tahan terhadap Al3+ tinggi. Usaha untuk menghasilkan kultivar unggul tersebut dapat dicapai dengan teknik pemuliaan konvensional ataupun melalui perakitan genetik tanaman. Namun usaha untuk merakit tanaman yang memiliki sifat ketahanan terhadap Al3+ sebelumnya harus didahului oleh studi mengenai mekanisme pertahanan serta gengen yang terlibat dalam ketahanan terhadap Al3+. Oleh karena itu, usaha untuk memahami mekanisme yang terlibat dalam peristiwa toksisitas Al pada tanaman, khususnya pada kedelai merupakan langkah penting. Cote dan Crain (1993) menunjukkan adanya penghambatan dari Al3+ terhadap pemecahan fosfoinositol menjadi IP3, sehingga mempengaruhi regulasi kanal Ca2+ dan mengakibatkan perubahan kandungan Ca2+ intraseluler, yang berpengaruh terhadap fungsi seluler sel tumbuhan. Legendre et al. (1993) menegaskan bahwa aktivitas protein heterotrimerik Gα meningkatkan kandungan IP3 intraseluler, dan mendorong peningkatan produksi H2O2 pada kultur sel kedelai. Hal ini menunjukkan bahwa IP3 berperan dalam regulasi produksi H2O2 (Legendre et al. 1993b), dan secara tidak langsung regulasi produksi H2O2 dipengaruhi oleh protein 2 heterotrimerik G. Jika transduksi sinyal cekaman Al3+ pada tumbuhan melibatkan protein heterotrimerik G, maka produksi H2O2 pada sel tumbuhan dapat dijadikan indikator untuk melihat keterlibatan protein heterotrimerik G dalam cekaman aluminium. Tujuan penelitian. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis keterlibatan protein heterotrimerik G subunit α pada mekanisme toleransi dari kultivar kedelai toleran asam (Slamet) terhadap cekaman Al3+ melalui identifikasi produksi H2O2. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan April 2005 sampai dengan Desember 2006, bertempat di Laboratorium Biologi Seluler dan Molekuler Tanaman dan Laboratorium Biorin (Biotechnology Research IndonesiaThe Netherland), Pusat Penelitian Sumberdaya Hayati dan Bioteknologi (PPSHB) IPB, Jalan Kamper, Kampus IPB Darmaga. BAHAN DAN METODE Sterilisasi Eksplan Biji kedelai Slamet dipilih yang berkulit mulus dan tidak cacat. Biji dicuci dengan air dan Tween-80 (0.5%) (v/v) dengan agitasi kuat, dan dibilas dengan air dua kali. Biji kemudian disterilisasi dengan alkohol 70% (v/v) selama 30 detik, setelah itu dibilas dengan akuades steril. Biji disterilisasi ulang dengan larutan Natrium Hipoklorit komersial 20% (v/v) (NaClO 5,25%) yang diberi Tween80 (0.5%) (v/v), selama 15 menit dengan agitasi kuat, dilanjutkan pembilasan dengan akuades steril sebanyak tiga kali. Induksi Kalus Biji yang telah steril ditanam pada botol kultur berisi larutan mineral MS dan vitamin B5 (Liu et al. 1997) (Lampiran 1) dengan tambahan ZPT (Zat Pengatur Tumbuh) 2,4-D (2,4-Dichlorophenoxyacetic acid) dan Kinetin (6-Furfurylaminopurin) serta agar 8 g/L. ZPT diberikan dengan kombinasi sebagai berikut (Da Silva et al. 2003): 1. Medium MS 0 (Kontrol) 2. Medium MS+ 1 ppm 2,4-D 3. Medium MS+ 1 ppm 2,4-D+ 0.1 ppm Kinetin 4. Medium MS+ 0.1 ppm Kinetin. Di dalam tiap botol kultur ditanam 5 biji, ditumbuhkan pada suhu 24°C dengan pencahayaan kontinyu dan intensitas cahaya ± 1 000 lux. Eksplan diamati pertumbuhannya selama 3 minggu hingga terbentuk kalus. Perlakuan diulang sebanyak sepuluh kali. Inisiasi dan Pemeliharaan Kultur Suspensi Sel Kedelai Kultur berisi kalus dalam media pemeliharaan MS organik minimal dengan 2 g/L Bacto Tryptone (Becton, Dickinson & Co.) serta 3 ppm 2,4-D dan 0.1 ppm kinetin (pH 5.8) (Legendre et al. 1992) (Lampiran 1), kemudian diinkubasi pada inkubator bergoyang resiprokal (bolak-balik) Certomat WR dengan kecepatan 70 rpm selama 3-4 minggu secara kontinyu, dalam keadaan gelap. Setelah 3-4 minggu sebanyak 20 sampai 30 mL suspensi sel dipindahkan ke dalam media cair baru dengan komposisi yang sama dan diinkubasi pada inkubator goyangan berputar Bench Top Shaker 4622 pada kecepatan 70 rpm secara kontinyu dengan intensitas cahaya 15 lux. Kultur suspensi sel dipelihara selama penelitian, dengan subkultur ke media dengan komposisi yang sama setiap 7 hari sekali. Konsentrasi sel diukur setiap 2 hari sekali dengan metode PCV (Packed Cell Volume) yaitu dengan cara sebanyak 10 mL suspensi sel diendapkan dengan sentrifugasi Jouan BR4i (Jouan) pada kecepatan 200xg selama 5 menit pada suhu 15 ºC. Persentase PCV dihitung dengan rumus : PCV = mL sel yang terendapkan × 100% mL volume total sampel Kultur suspensi sel yang telah mencapai konsentrasi sel 10% PCV digunakan untuk penelitian dengan perlakuan cekaman pH dan Al3+. Perlakuan Cekaman Berbagai Nilai pH dan Al3+ Kultur suspensi sel yang telah mencapai densitas 10% PCV, sebanyak 10 mL suspensi dipindahkan ke dalam botol kultur baru. Kemudian medium diganti dengan medium baru dengan komposisi yang sama dengan media pemeliharaan (pH 5.8) sejumlah 10 mL. Kultur suspensi sel kedelai yang berumur tiga hari setelah pemindahan itu digunakan untuk percobaan. Kultur sel disaring dengan Cell Dissociation–Tissue Grinder Kit (SigmaAldrich) berukuran 200 mesh. Sebanyak 0.2 g sel dipindahkan ke dalam cawan petri berdiameter 6 cm, diberi 2 mL medium segar