AKSES PIHAK NON-PEMERINTAH DALAM SISTEM PENYELESAIAN SENGKETA WTO Nilam Andalia Kurniasari∗ Abstract The World Trade Organization (WTO) dispute settlement system is accessible only by Members. In another word, it is G to G dispute settlement system since most of its Members are States. Non-States and non-Members are excluded from the system. Private parties and Non-Governmental Organizations (NGOs) do not posses direct access to it. However, the system opens two small gaps which enable Non-States and Non-Members to participate through what are called as indirect access and amicus curiae brief. Keywords: WTO law, Amicus curiae brief, Akses pihak ketiga. I. PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Hingga saat ini, WTO adalah salah satu organisasi internasional terbesar di dunia. Organisasi ini beranggotakan 149 negara dan 3 wilayah kepabeanan (customs territory) 1 , yaitu Hongkong, Taipei, dan Macau, sehingga jumlah keseluruhannya adalah 151 anggota2. Titik vital organisasi ini adalah Multilateral dan Plurilateral Trade Agreements yang dinaunginya, sebagaimana jelas disebutkan dalam Pasal II Ayat 1 WTO Agreement yaitu, ”The WTO shall provide the common institutional framework for the conduct of trade relations among its Members in matters ∗ Departemen Hukum Internasional, Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Surabaya. Kritik dan saran dapat disampaikan kepada penulis melalui: [email protected]. 1 Berdasarkan Pasal XII Ayat 1 Marrakesh Agreement Establishing the World Trade Organization (selanjutnya disebut dengan WTO Agreement), jelas bahwa yang bisa menjadi anggota WTO adalah setiap negara atau wilayah kepabeanan terpisah yang memiliki otonomi penuh dalam melakukan hubungan perdagangan luar negeri. 2 World Trade Organization, Understanding the WTO: The Organization, Members and Observers, diakses melalui <http://www.wto.org/english/thewto_e/whatis_e/tif_e/org6_e.htm>, pada 12 Maret 2008. related to the agreements and associated legal instruments included in the Annexes to this Agreement.” Berdasarkan ketentuan tersebut, WTO adalah sebuah wadah institusional yang ibaratnya sebuah payung ia menaungi perjanjian-perjanjian dan instrumeninstrumen hukum perdagangan internasional yang berupa Multilateral dan Plurilateral Trade Agreements, yang menjadi annex atau lampiran dari WTO Agreement tersebut. Namun perlu diingat bahwa sebaik apapun suatu perjanjian internasional tidak akan berguna jika kewajiban-kewajiban yang terkandung di dalamnya tidak dapat ditegakkan ketika salah satu pihak penandatangannya gagal untuk memenuhi kewajiban tersebut. Oleh karenanya, suatu sistem penyelesaian sengketa yang efektif seakan menjadi tuntutan demi meningkatkan nilai praktis (practical value) komitmen-komitmen yang telah disepakati para pihak dalam perjanjian internasional tersebut. Sehubungan dengan hal tersebut, WTO memiliki suatu sistem penyelesaian sengketa yang tergolong paling sering digunakan oleh anggotanya dibandingkan dengan sistem penyelesaian sengketa yang dimiliki oleh organisasi internasional lainnya. Sejak 1 Januari 19953 hingga 12 Maret 2008, telah terdapat 373 kasus4. Bandingkan dengan jumlah kasus yang ditangani oleh International Court of Justice yang sejak 22 Mei 1947 sampai 12 Maret 2008 hanya menangani 137 kasus 5 . Bandingkan pula dengan jumlah kasus yang ditangani the International Tribunal for the Law of the Sea (ITLOS) yang didirikan berdasarkan 3 Tanggal berdirinya WTO. World Trade Organization, Dispute Settlement: The Disputes, Chronological List of Disputes Cases, diakses melalui <http://www.wto.org/english/tratop_e/dispu_e/dispu_status_e.htm>, pada 12 Maret 2008. Jumlah tersebut termasuk kasus-kasus yang bisa diselesaikan dalam proses konsultasi tanpa sampai pada tahap pembentukan panel. 5 International Court of Justice, Cases, diakses melalui <http://www.icjcij.org/docket/index.php?p1=3&PHPSESSID=79b50bc8fc45ff24cc072d47d2edca4b>, pada 12 Maret 2008. 4 2 the United Nations Convention on the Law of the Sea 1982. Sampai tanggal 30 November 2007, ITLOS hanya menangani 15 kasus6. Sistem penyelesaian sengketa WTO hanya bisa diakses oleh anggotanya. Hal ini bisa kita ketahui dari ketentuan Pasal 3 Ayat 2 Understanding on Rules and Procedures Governing the Settlement of Disputes atau yang biasa disebut dengan Dispute Settlement Understanding (DSU) yang berbunyi: The dispute settlement system of the WTO is a central element in providing security and predictability to the multilateral trading system. The Members recognize that it serves to preserve the rights and obligations of Members [huruf tebal dari penulis] under the covered agreements, and to clarify the existing provisions of those agreements in accordance with customary rules of interpretation of public international law. Recommendations and rulings of the DSB cannot add to or diminish the rights and obligations provided in the covered agreements. Ketentuan tersebut menegaskan bahwa sistem penyelesaian sengketa WTO hanya untuk para anggota WTO dalam menegakkan hak dan kewajiban sebagaimana terdapat pada perjanjian-perjanjian yang menjadi ruang lingkup DSU (covered agreements)7 dan untuk memperjelas ketentuan-ketentuan dalam perjanjian-jerjanjian itu sesuai dengan aturan kebiasaan interpretasi dalam Hukum Internasional Publik (customary rules of interpretation of public international law). Selain ketentuan tersebut di atas, WTO Appellate Body (selanjutnya disebut sebagai Badan Banding) dalam kasus United States – Import Prohibition of Certain Shrimp and Shrimp Products (DS58), atau yang dikenal dengan nama lain sebagai kasus US – Shrimp, memutus bahwa: 6 International Tribunal for the Law of the Sea, Proceedings and Judgements – List of Cases, diakses melalui <http://www.itlos.org/start2_en.html>, pada 12 Maret 2008. 7 Berdasarkan Appendix 1 DSU tentang Agreements Covered by the Understanding, maka perjanjian-perjanjian yang masuk dalam ruang lingkup DSU adalah WTO Agreement dan beberapa annex-nya, yaitu Annex 1A tentang Multilateral Agreements on Trade in Goods, Annex 1B tentang General Agreement on Trade in Services, Annex 1C tentang Agreement on TradeRelated Aspects of Intellectual Property Rights, Annex 2 tentang DSU sendiri, dan Annex 4 tentang Agreement on Trade in Civil Aircraft, Agreementon Government Procurement, International Dairy Agreement, dan International Bovine Meat Agreement. 3 It may be well to stress at the outset that access to the dispute settlement process of the WTO is limited to Members of the WTO. This access is not available, under the WTO Agreement and the covered agreements as they currently exist, to individuals or international organizations, whether governmental or nongovernmental. Only Members may become parties to a dispute of which a panel may be seized, and only Members “having a substantial interest in a matter before a panel” may become third parties in the proceedings before the panel. Thus, under the DSU, only Members who are parties to a dispute, or who have notified their interest in becoming third parties in such a dispute to the DSB, have a legal right to make submissions to, and have a legal right to have those submissions considered by, a panel8. Dari apa yang telah diputus oleh Badan Banding dalam kasus tersebut di atas, jelaslah bahwa sistem penyelesaian sengketa WTO hanya bisa digunakan oleh anggota. Para pihak dalam suatu penyelesaian sengketa WTO, baik complainant9, respondent10, maupun pihak ketiga (third party) haruslah anggota dari organisasi tersebut. Yang menjadi persoalan berkaitan dengan akses eksklusif anggota WTO, yaitu Negara dan wilayah kepabeanan, dalam sistem penyelesaian sengketa organisasi itu adalah bahwa walaupun perdagangan internasional sebagaimana dipahami dalam WTO adalah perpindahan barang dan jasa diantara Negara dan wilyah kepabeanan anggota, tetapi perdagangan internasional tersebut secara umum tidak dilakukan oleh Negara dan wilayah kepabeanan sebagaimana dimaksud, melainkan oleh pihak swasta. Pihak swasta inilah yang sebenarnya merasakan manis dan pahitnya dampak dari diberlakukannya suatu aturan perdagangan internasional oleh anggota WTO. Misalnya dipertengahan 2007 produk perikanan Indonesia, dalam hal ini adalah udang, dilarang masuk ke pasar Cina dengan alasan diduga tercemar logam berat sejenis timbal yang membahayakan kesehatan manusia. Yang pertama kali 8 Appellate Body Report, US – Shrimp, Ayat 101. Dalam kasus perdata di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan ”penggugat”. Namun karena kasus-kasus WTO bukanlah kasus perdata sehingga dalam hal ini tidak sepatutnya ”complainant” diterjemahkan sebagai ”penggugat”, maka penulis memilih untuk memakai terminologi aslinya. 10 Hampir sama dengan alasan yang terdapat pada catatan kaki 10, maka penulis lebih memilih memakai terminologi aslinya, daripada menerjemahkannya sebagai ”tergugat”. 9 4 terkena dampak larangan ini adalah produsen udang Indonesia yang mengekspor produknya ke negara tersebut. Mereka menderita kerugian finansial yang sangat besar. Beberapa bahkan terancam gulung tikar seandainya masalah tersebut tidak segera diatasi oleh pemerintah kita. Sementara Indonesia sebagai anggota WTO secara garis besar hanya dirugikan dalam hal neraca perdagangannya saja yang sedikit tergoncang. Jika seandainya konsultasi11 dengan Cina gagal dan kasus ini diselesaikan dalam forum penyelesaian sengketa WTO yang dalam hal ini dijalankan oleh Badan Penyelesaian Sengketa dengan proses panel sebagai tahapan selanjutnya, maka jelas bahwa setidaknya para pihaknya adalah Indonesia sebagai complainant dan Cina sebagai respondent. Para produsen udang Indonesia yang terkena dampak langsung dari larangan itu tidak mendapatkan tempat dimanapun dalam sistem penyelesaian sengketa organisasi tersebut 12 . Kepentingan pihak swasta akan disuarakan dalam forum tersebut oleh Negaranya, yang merupakan anggota WTO. Yang terlibat secara langsung dalam sistem penyelesaian sengketa tersebut adalah Negara pihak swasta tersebut. Contoh masalah lainnya berkaitan dengan eksklusifitas akses ke sistem penyelesaian sengketa WTO adalah akses non-governmental organizations (NGOs atau di Indonesia lebih dikenal dengan sebutan Lembaga Swadaya Masyarakat, dan untuk selanjutnya dalam tulisan ini akan disebut dengan singkatannya yaitu LSM) ke dalamnya. LSM lingkungan hidup tidak akan bisa duduk sebagai sebagai respondent ataupun pihak ketiga yang mendukung penerapan larangan impor oleh anggota WTO atas produk otomotif tertentu yang ternyata emisi gas buangnya melebihi ambang batas yang ditetapkan ketika 11 Konsultasi atau upaya untuk melakukan konsultasi menjadi suatu keharusan dalam system penyelesaian sengketa WTO. Walaupun tidak satu pasal pun di dalam DSU yang menyatakan demikian namun hal ini bisa dilihat dari ketentuan Pasal 3 Ayat 7 DSU yang menyatakan bahwa, ”A solution mutually acceptable to the parties to a dispute and consistent with the covered agreement is clearly to be preferred.” Selain itu, Terms of Reference of Panels yang standar-nya dimuat dalam Pasal 7 Ayat 1 DSU harus mencantumkan nomor dokumen request for consultations yang biasanya bisa dikenali dengan kode WT/DSnumber/1. 12 Perlu ditegaskan bahwa dalam kenyataannya kasus ini tidak pernah sampai pada tahap manapun dalam system penyelesaian sengketa WTO, termasuk konsultasi, karena kasus ini sudah diselesaikan secara diplomatik oleh kedua-belah pihak. Saat ini produk udang Indonesia sudah bisa masuk lagi ke pasar Cina. 5 larangan tersebut diajukan ke Dispute Settlement Body (untuk selanjutnya disebut Badan Penyelesaian Sengketa) oleh negara yang terkena dampak pelarangan tersebut. 2. Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang tersebut di atas, maka dapat ditemukan dua masalah yang akan dibahas dalam tulisan ini, yaitu: a. Jika memang akses secara langsung ke dalam sistem penyelesaian sengketa WTO tidak dimungkinkan, adakah akses tidak langsung yang memungkinkan bagi pihak non-pemerintah untuk terlibat dalam penyelesaian sengketa organisasi tersebut? b. Adakah aturan hukum di Indonesia ataupun di negara-negara lain yang mengatur akses tidak langsung tersebut? Bagian pertama tulisan ini akan membahas mengenai akses yang tersedia bagi pihak non-pemerintah, yang dalam hal ini adalah pihak swasta (pelaku perdagangan), individu, dan LSM, ke dalam sistem penyelesaian sengketa WTO, termasuk diantaranya adalah pembahasan mengenai amicus curiae brief. Bagian kedua tulisan ini akan membahas mengenai ketentuan yang mengatur mengenai akses langsung bagi pihak non-pemerintah di Komunitas Eropa, Amerika Serikat, dan Cina, yaitu EC Trade Barriers Regulation, Section 301 of the US Trade Act of 1947, dan the Chinese Investigation Rules of Foreign Trade Barriers yang mengakomodir akses langsung pihak non-pemerintah di masing-masing Negara tersebut. II. AKSES BAGI PIHAK NON-PEMERINTAH Seperti telah dibahas sebelumnya, akses langsung terhadap sistem penyelesaian sengketa WTO hanya dimiliki secara eksklusif oleh pemerintah negara angggota WTO. Namun, pihak di luar itu ternyata bisa memanfaatkan apa yang disebut sebagai akses tidak langsung. Berikut ini adalah pembahasan mengenai akses tidak langsung tersebut. 6 1. Akses Tidak Langsung bagi Pihak Swasta Sebagaimana telah dibahas di atas, jelas bahwa pihak swasta sama sekali tidak memiliki akses secara langsung dalam sistem penyelesaian sengketa WTO. Namun ketiadaan akses secara langsung ini tidak serta-merta berarti sama sekali tidak ada akses untuk terlibat di dalamnya. Beberapa kasus yang dihadapkan ke Badan Penyelesaian Sengketa oleh anggota WTO adalah hasil ”dorongan” serta ”partisipasi” pihak swasta. Sebut saja kasus Japan – Measures Affecting Consumer Photographic Film and Paper (DS44) atau dikenal juga dengan sebutan kasus Japan – Film. Kasus ini juga memiliki nama lain, yaitu Kodak – Fuji Case. Dari sana jelas siapa yang berada di balik Amerika Serikat sebagai complainant dan siapa yang berada di balik Jepang sebagai respondent. Kedua perusahaan film tersebut, yaitu Kodak dan Fuji, tidak duduk bersama-sama pemerintah negara masing-masing dalam forum penyelesaian sengketa organisasi tersebut karena memang mereka tidak memiliki akses untuk itu. Tetapi perusahaan-perusahaan adalah mastermind atau otak dari delegasi negara masing-masing yang bersengketa dalam kasus tersebut. Dalam kasus European Communities – Regime for the Importation, Sale and Distribution of Bananas (DS27) atau yang biasa dikenal dengan dua nama lain, yaitu kasus EC – Bananas III dan kasus Chiquita Bananas, keterlibatan Amerika Serikat dalam kasus ini tidak steril dari keterlibatan pihak swasta. Dari nama kasus tersebut nyata terlihat bahwa Chiquita Brands International, perusahaan penghasil pisang terbesar di dunia, yang saat kasus ini sedang hangat dibicarakan pada tahun 1998 dipimpin oleh Carl Lindner sebagai chairman sekaligus chief executive, berada di balik Amerika Serikat. Pihak swasta, yang dalam hal ini adalah pelaku perdagangan yang bisa berupa perusahaan atau suatu asosiasi industri tidak hanya melakukan pendekatan, atau yang lebih dikenal dengan istilah lobby, kepada pemerintah mereka untuk mengajukan suatu kasus ke Badan Penyelesaian Sengketa, namun terkadang pihak swasta inilah yang menyiapkan segala ”amunisi” bagi para delegasi pemerintah mereka yang bertugas di Jenewa. Bahkan peran di balik layar inilah yang seringkali sangat penting karena ”amunisi” tersebut bisa termasuk membuatkan 7 submission yang akan diajukan ke forum dan menyewakan private lawyer yang handal. Hal-hal seperti ini bukanlah suatu rahasia lagi di WTO. Bahkan kemitraan (partnership) antara pihak swasta dan pemerintah seperti ini sangatlah dibutuhkan, terutama bagi negara berkembang. Bukanlah tanpa alasan pihak swasta ini sedemikian antusias mendorong pemerintah mereka untuk membawa suatu kasus ke hadapan WTO, karena memang kepentingan, atau untuk lebih jelasnya lagi adalah bisnis merekalah yang sedang dipertaruhkan. Merekalah ujung tombak perdagangan internasional sehingga tak jarang merekalah yang pertama kali menemukan atau merasakan adanya ketidakadilan dalam suatu kebijakan perdagangan internasional yang diterapkan oleh suatu negara tujuan pasar mereka. Secara umum, Chad P Bown mengidentifikasi beberapa langkah yang mungkin akan ditempuh oleh pihak swasta dalam ber-partner dengan pemerintah. Menurutnya, pertama yang dilakukan oleh pihak swasta sebagai bentuk keterlibatan secara tidak langsungnya dalam proses penyelesaian sengketa WTO adalah, “First, the private sector typically undertakes the pre-litigation economic and legal research necessary to convince its government officials of the legal merits and economic benefits to pursuing a case.”13 Pihak swasta umumnya memulai langkahnya dengan melakukan peneliatian pra-litigasi baik dalam bidang hukum maupun ekonomi yang sangat diperlukan untuk meyakinkan pemerintahnya akan keuntungan dalam bidang hukum dan ekonomi yang akan diperoleh jika mengajukan kasus tersebut ke WTO. Sebagai contoh, pihak swasta, dalam hal ini Sinar Mas Group, pernah berhasil meyakinkan pemerintah Indonesia untuk mengajukan suatu kasus ke hadapan WTO, yaitu pada kasus Korea – Anti-Dumping Duties on Imports of Certain Paper from Indonesia (DS312), atau yang juga dikenal dengan sebutan Korea – Paper Case, di mana Indonesia berkedudukan sebagai complainant. 13 Chad P Bown, WTO Dispute Settlement and the Missing Developing Country Cases: Engaging The Private Sector, Journal of International Economic Law, hal. 6, JIEL 2005.8(861), Oxford University Press, 2005. 8 Langkah selanjutnya yang mungkin akan ditempuh pihak swasta menurut Chad P. Bown adalah: Then it engages its domestic government through access (or a threat of access) under the relevant domestic statutory provisions, such as the Section 301 policy in the United States and the Article 133 Process and the Trade Barrier Regulation (TBR) in the EU, whereby domestic industries can petition the competent government authorities to raise potential market access concerns.14 Dari langkah tersebut kita bisa lihat bahwa ternyata pihak swasta juga bisa memaksa pemerintahnya untuk mengajukan kasus tersebut ke WTO berdasarkan peraturan perundang-undangan negaranya melalui petisi. Tentu saja hal ini hanya bisa terjadi jika Negara tersebut memang memiliki peraturan perundang-undangan mengenai hal tersebut, seperti misalnya Amerika Serikat, Komunitas Eropa, dan Cina.15 Jika kemudian pemerintah yang bersangkutan berkenan untuk mengajukan kasus tersebut ke WTO, maka menurut ahli yang sama ”… the private sector's attorneys and consultants are then likely to assist in the preparation of the formal legal briefs and economic evidence to be used in the litigation in Geneva.”16 Jadi dalam hal ini pemerintah akan sangat diuntungkan karena mendapatkan bantuan dari para konsultan dan private lawyers yang disewa pihak swasta tersebut dalam menyusun dokumen-dokumen dan alat-alat bukti yang akan digunakan dalam forum litigasi WTO. Selanjutnya, langkah terakhir yang dilakukan oleh pihak swasta ketika sudah ada putusan adalah: Finally, the private sector may also help induce foreign compliance with DSU rulings, either through identifying the most effective foreign political targets when retaliation is authorized by the DSU, or through the engagement of a public relations campaign abroad 14 15 16 Ibid. Khusus mengenai langkah ini akan dibahas dalam bagian kedua tulisan ini. Ibid. 9 to increase the political willingness needed to induce removal of foreign market access restrictions.17 Jadi, walaupun sudah ada putusan, peran pihak swasta belum berhenti. Ia juga berperan dalam pengawasan pelaksanaan putusan karena sekali lagi pihak swasta-lah yang langsung bersinggungan dengan suatu kebijakan perdagangan internasional yang diterapkan oleh Negara lain. Memang tidak bisa dipungkiri lagi bahwa pihak swasta bisa terlibat di balik layar dalam proses penyelesaian sengketa WTO. Bahkan kemitraan antara pihak swasta dan pemerintah merupakan suatu hubungan yang saling menguntungkan. Kepentingan pihak swasta akan jelas terwakili dan lebih terjamin dengan adanya kemitraan ini. Sementara bagi pihak pemerintah, tersedianya private lawyers dan konsultan secara gratis merupakan suatu bantuan yang sangat besar dengan asumsi bahwa private lawyers dan konsultan tersebut adalah pihak professional yang menguasai Hukum WTO, termasuk sistem penyelesaian sengketa yang ada di dalamnya, sehingga pemerintah bisa berhemat. Penghematan ini tidak hanya dalam bidang finansial, tetapi juga penghematan sumberdaya manusia, yang dalam kasus Negara berkembang dan kurang berkembang mungkin merupakan bantuan yang luar biasa karena bisa jadi ahli dalam Hukum WTO sangat minim dan bahkan mungkin tidak ada. Khusus mengenai penghematan finansial yang dapat dilakukan oleh suatu negara untuk biaya pra dan pasca litigasi di WTO, Chad P. Bown mengilustrasikannya sebagai sebagai berikut. Taking a conservative estimate of attorney fees in trade litigation cases at a billable rate of $350 per hour, one estimate of the average number of hours indicates that the bill for hourly legal services could run from $89,950 for a 'low' complexity DSU case to $247,100 for a 'high' complexity case. Nevertheless, these fees would not include the cost of litigation support through necessary data collection, economic analysis and hiring of expert witnesses for testimony, which may lead to another $100,000 to $200,000. Furthermore, there are also substantial overhead costs to the actual litigation process associated with travel, accommodation, 17 Ibid. 10 communication, paralegal and secretarial assistance. Given market rates, a 'litigation only' bill of $500,000 to an exporter for a market access case is likely to be fairly typical. However, this would include neither the resources necessary to investigate potential claims in the pre-litigation phase, nor the resources necessary to engage public relations and/or political lobbying in the postlitigation phase to generate compliance.18 Jika kita ambil saja angka $500,000 tersebut dan mengandaikan nilai tukar mata uang Rupiah terhadap Dollar Amerika Serikat adalah 1 USD = Rp. 8.000,00 saja, maka setidaknya total biaya yang mungkin dikeluarkan untuk beracara di WTO pada kasus market access berdasarkan ilustrasi tersebut di atas adalah sebesar 4 milyar Rupiah, yang di dalamnya belum termasuk biaya-biaya untuk proses pra dan pasca litigasi. Jika dilihat dari jumlah uang yang mungkin dikeluarkan untuk suatu kasus, maka jelaslah kemitraan yang demikian akan menguntungkan pemerintah, terutama pemerintah Negara berkembang, apalagi Negara kurang berkembang. 2. Akses Tidak Langsung bagi Pihak Non-Pemerintah melalui Amicus Curiae Brief19 Dalam praktek beracara di WTO terdapat celah yang bisa digunakan oleh LSM, individu, perusahaan, organisasi internasional, pendek kata pihak-pihak non-pemerintah (non-state entities) untuk mengakses penyelesaian sengketa WTO, yaitu melalui penyerahan amicus curiae brief kepada panel (dalam proses tingkat panel) atau Badan Banding (dalam proses tingkat Banding). 18 Ibid, hal. 6-7. Amicus Curiae berasal dari bahasa latin yang artinya friend of the court atau rekan pengadilan. Dalam Common Law System, yang disebut sebagai amicus curiae adalah seorang counsel atau penasehat hukum yang membantu pengadilan melalui cara pemberian argumentasi yang mendukung suatu kepentingan yang tidak cukup terwakili (misalnya kepentingan umum) oleh para pihak yang bersengketa atau melalui pemberian argumentasi atas nama salah satu pihak yang bersengketa yang mungkin kepentingannya tidak terwakili secarai memadai tanpa kehadiran amicus curiae ini. Dalam konteks WTO, amicus curiae bisa siapa saja asalkan bukan para pihak yang sedang berperkara. Bisa jadi amicus curiae ini adalah LSM, asosiasi pengusaha, pihak swasta, individu, atau yang lainnya. Bahkan anggota WTO yang tidak sedang sedang berperkara pun bisa menjadi amicus curiae. Karena pada sistem penyelesaian sengketa WTO tidak memungkinkan pihak selain yang sedang berperkara untuk hadir di hadapan panel atau Badan Banding untuk menyuarakan kepentingannya, maka kehadiran amicus curiae ini digantikan dengan penyerahan dokumen atau yang disebut juga dengan brief yang berisikan argumentasi-argumentasi sebagaimana tersebut di atas. 19 11 Amicus curiae brief telah lama menjadi perdebatan. Kontroversinya terletak bahwa apakah panel atau Badan Banding dibenarkan untuk menerima amicus curiae brief ini. DSU dan Prosedur Pemeriksaan Banding (Working Procedures for Appellate Review) tidak memberikan jawaban yang jelas atas hal tersebut. Namun demikian, otoritas panel untuk menerima dan mempertimbangkan amicus curiae brief justru dijelaskan dalam putusan Badan Banding, yaitu dalam Applellate Body Report Paragraf 104 – 106 pada kasus US – Shrimp. The comprehensive nature of the authority of a panel to “seek” information and technical advice from “any individual or body” it may consider appropriate, or from “any relevant source”, should be underscored. This authority embraces more than merely the choice and evaluation of the source of the information or advice which it may seek. A panel’s authority includes the authority to decide not to seek such information or advice at all. We consider that a panel also has the authority to accept or reject any information or advice which it may have sought and received, or to make some other appropriate disposition thereof. It is particularly within the province and the authority of a panel to determine the need for information and advice in specific case, to ascertain the acceptability and relevancy of information or advice received, and to decide what weight to ascribe to that information or advice or to conclude that no weight at all should be given to what has been received. It is also pertinent to note that Article 12.1 of the DSU authorizes panels to depart from, or to add to, the Working Procedures set forth in Appendix 3 of the DSU, and in effect to develop their own Working Procedures, after consultation with the parties to the dispute. Article 12.2 goes on to direct that “panel procedures should provide sufficient flexibility so as to ensure high-quality panel reports while not unduly delaying the panel process”. The thrust of Articles 12 and 13, taken together, is that the DSU accords to a panel established by the DSB, and engaged in a dispute settlement proceeding, ample and extensive authority to undertake and to control the process by which it informs itself both of the relevant facts of the dispute and of the legal norms and principles applicable to such facts. That authority, and the breadth thereof, is indispensably necessary to enable a panel to discharge its duty imposed by Article 11 of the DSU to “make an objective assessment of the matter before it, including an objective 12 assessment of the facts of the case and the applicability of and conformity with the relevant covered agreements…. Dari Paragraf 104 tersebut di atas dapat kita ketahui bahwa panel memiliki wewenang untuk: 1. mencari informasi dan masukan teknis dari individu atau badan manapun yang menurutnya pantas maupun dari sumber manapun, termasuk untuk memutuskan tidak mencari informasi dan masukan teknis apapun; 2. menerima atau menolak informasi maupun masukan teknis yang sudah dicari dan diterimanya tersebut, ataupun untuk membuat disposisi yang sesuai atas informasi dan masukan tersebut; 3. memutuskan penting atau tidaknya mencari informasi maupun masukan, termasuk menilai relevansi serta bisa atau tidak diterimanya informasi atau masukan yang ada di hadapannya; 4. memutuskan memberikan bobot tertentu maupun untuk tidak memberikan bobot sama sekali atas apa yang sudah diterimanya tersebut. Sehingga, dari Paragraf tersebut dapat disimpulkan bahwa panel memiliki wewenang untuk menerima ataupun menolak amicus curiae brief yang memang merupakan informasi dan masukan teknis yang berkaitan dengan perkara yang sedang diperiksanya. Lebih lanjut lagi, dari Paragraf 105 di atas dapat kita simpulkan bahwa jika memang DSU dan Prosedur Pemeriksaan Panel tidak memberikan otoritas kepada panel untuk menerima atau menolak amicus curiae brief, maka sebenarnya berdasarkan Pasal 12 Ayat 1 dan 2 DSU panel dapat menciptakan Prosedur Pemeriksaannya sendiri yang memberikan jawaban atas isu amicus curiae brief sebagaimana tersebut di atas, setelah berkonsultasi dengan para pihak yang sedang berperkara sepanjang prosedur tersebut tidak memperlambat proses panel itu sendiri. Sedangkan dari Paragraf 106 kita dapat menarik kesimpulan bahwa berdasarkan Pasal 12 dan 13 DSU panel memiliki kewenang untuk melaksanakan dan mengendalikan proses pemeriksaan, yang mana melalui proses tersebut panel memberikan informasi kepada dirinya sendiri tentang fakta yang relevan dalam 13 kasus yang sedang diperiksanya dan tentang norma serta prinsip hukum yang bisa diterapkan atas fakta tersebut. Wewenang tersebut sangat penting agar panel bisa menunaikan kewajibannya berdasarkan Pasal 11 DSU, yaitu untuk memberikan penilaian obyektif atas kasus yang sedang diperiksanya. Jadi, dalam kasus US – Shrimp tersebut, Badan Banding menyimpulkan bahwa panel memiliki kewenangan untuk menerima dan mempertimbangkan amicus curiae brief. Walaupun Badan Banding telah membuat keputusan seperti itu, isu amicus curiae brief masih tetap menjadi kontroversi. Hanya sedikit panel pada kasuskasus pasca US – Shrimp yang menerima dan mempertimbangkan amicus curiae brief, diantaranya adalah kasus Australia – Measures Affecting Importation of Salmon (DS18) atau yang dikenal juga dengan nama kasus Australia – Salmon di mana panel menerima dan mempertimbangkan amicus curiae brief dari “Concerned Fishermen and Processors” di Australia Selatan20. Banyak diantara anggota WTO yang kukuh pada pendirian bahwa DSU tidak memperbolehkan panel untuk menerima amicus curiae brief submission yang tidak diminta tersebut. Mereka berpendirian bahwa system penyelesaian sengketa WTO hanya untuk anggota saja sehingga amicus curiae brief tersebut tidak dibenarkan untuk diberikan21. Untuk memperjelas mengenai posisi panel dalam kaitannya dengan amicus curiae brief Badan Banding menginterpretasikan bahwa,“…, panels have no obligation whatsoever to accept and consider these briefs. Accordingly, interested entities, which are neither parties nor third parties to the dispute, have no legal right to be heard by a panel.22 Atau dengan kata lain, memang panel tidak memiliki kewajiban apapun untuk menerima dan mempertimbangkan amicus curiae brief, tetapi panel memiliki kebebasan (discretion) untuk menerima dan mempertimbangkannya. 20 Lihat Peter Van den Bossche, The Law and Policy of the World Trade Organization, Text Cases and Materials, 2005, Cambridge University Press, halaman 197-198. 21 WT/GC/M/60. 22 WTO, A Handbook on the WTO Dispute Settlement System, A WTO Secretariat Publication prepared for publication by the Legal Affairs Division and the Appellate Body, Cambridge University Press, 2005. 14 Begitu pula sebaliknya, pengirim amicus curiae brief tidak memiliki hak apapun agar amicus curiae brief-nya diterima dan dipertimbangkan panel. Sementara itu, amicus curiae brief tidak hanya diserahkan pada proses panel saja, tetapi beberapa kali submission ini muncul pada saat proses beracara di Badan Banding. Badan Banding dalam Appellate Body Report pada kasus US – Shrimp, Paragraf 89 dan 91 memandang bahwa amicus curiae brief yang dilampirkan dalam submission, contohnya sebagai lampiran, salah satu pihak dalam proses beracara, mungkin appellant 23 , appellee 24 , maupun pihak ketiga, sebagai suatu bagian tak terpisahkan dari submission pihak tersebut yang juga diasumsikan bertanggung jawab atas isinya. Dalam hal ini Badan Banding berkewajiban untuk menerima dan mempertimbangkannya. Lain halnya dengan amicus curiae brief yang diserahakan oleh pihak di luar proses beracara pada Badan Banding. Amicus curiae brief ini tidak memiliki hak untuk diterima ataupun dipertimbangkan oleh Badan Banding. Hal ini diperjelas oleh Badan Banding dalam United States – Imposition of Countervailing Duties on Certain Hot-Rolled Lead and Bismuth Carbon Steel Products Originating in the United Kingdom (DS138) atau yang lebih dikenal dengan nama kasus US – Lead and Bismuth II: In considering this matter, we first note that nothing in the DSU or the Working Procedures specifically provides that the Appellate Body may accept and consider submissions or briefs from sources other than participants and third participants in an appeal. On the other hand, neither the DSU nor the Working Procedures explicitly prohibit acceptance or consideration of such briefs. However, Article 17.9 of the DSU provides: Working procedures shall be drawn up by the Appellate Body in consultation with the Chairman of the DSB and the Director-General, and communicated to the Members for their information. This provision makes clear that the Appellate Body has broad authority to adopt procedural rules which do not conflict 23 Hampir sama dengan alasan yang terdapat pada catatan kaki 10 dan 11, maka penulis lebih memilih memakai terminologi aslinya, daripada menerjemahkannya sebagai ”pemohon banding”. 24 Hampir sama dengan alasan yang terdapat pada catatan kaki 10, 11, dan 23, maka penulis lebih memilih memakai terminologi aslinya, daripada menerjemahkannya sebagai ”termohon banding”. 15 with any rules and procedures in the DSU or the covered agreements. Therefore, we are of the opinion that as long as we act consistently with the provision of the DSU and the covered agreements, we have the legal authority to decide whether or not to accept and consider information that we believe is pertinent and useful in an appeal25. Dari putusan tersebut bisa kita simpulkan bahwa walaupun DSU dan Prosedur Pemeriksaan Banding tidak secara tegas melarang diterima ataupun dipertimbangkannya amicus curiae brief oleh Badan Banding, namun Pasal 17 Ayat 9 DSU menegaskan bahwa Badan Banding bisa membuat Prosedur Pemeriksaannya sendiri, sepanjang tidak bertentangan dengan DSU dan perjanjian-perjanjian yang menjadi ruang lingkupnya, untuk menjawab isu tersebut setelah berkonsultasi dengan Ketua Badan Penyelesaian Sengketa dan Direktur Jenderal WTO, yang kemudian dikomunikasikan kepada seluruh Anggota WTO. Benang merah yang dapat ditarik dari uraian-uraian di atas adalah bahwa sistem penyelesaian sengketa WTO memberikan celah bagi pihak non-pemerintah untuk secara tidak langsung masuk ke dalam proses beracara pada tingkat panel maupun banding melalui penyerahan amicus curiae brief. III. KERANGKA HUKUM BAGI AKSES TIDAK LANGSUNG PIHAK SWASTA Di dalam Pasal 5 China Investigation Rules of Foreign Trade Barriers disebutkan bahwa, “Domestic enterprises and industries or natural persons, legal persons on behalf of domestic enterprises and industries or other organizations (hereinafter referred to as “the applicants”) may make an application for trade barrier investigation to Ministry of Commerce.”26 25 Appellate Body Report, US – Lead and Bismuth II, Paragraf 39. Terjemahan dalam bahasa Inggris dari Bahasa Cina bisa dilihat di website resmi Ministry of Commerce of China di: <http://english.mofcom.gov.cn/aarticle/policyrelease/domesticpolicy/200503/20050300029640.ht ml>, diakses pada 28 February 2008. 26 16 Jelaslah bahwa di Cina, pihak-pihak non-pemerintah, termasuk pihak swasta-nya bisa mengajukan investigasi, melalui Kementerian Perdagangan-nya, atas kemungkinan adanya halangan perdagangan (trade barrier) yang diterapkan oleh negara lain. Bahkan Kementerian Perdagangan Negara tersebut diwajibkan untuk memutuskan apakah akan memulai investigasi atau tidak hanya dalam waktu 60 hari sejak surat permintaan investigasi beserta bukti-bukti terkait diterima sebagaimana terdapat dalam Pasal 10 ketentuan tersebut, yang berbunyi, “Ministry of Commerce should examine the application materials and makes the decision on starting an investigation or not within 60 days at the receipt of the application letter and relevant evident materials.” Jika Cina memiliki Investigation Rules of Foreign Trade Barriers yang mulai berlaku sejak 1 Maret 2005, maka Amerika Serikat jauh telah lebih dulu memiliki ketentuan serupa, yaitu Section 301 of the Trade Act of 197427. Berdasarkan Section 301 tersebut inisiasi investigasi bisa dilakukan oleh: 1. Pihak yang berkepentingan melalui penyerahan petisi kepada U.S. Trade Representative (USTR) untuk meminta investigasi terhadap praktek perdagangan yang dilakukan oleh Negara lain. Selanjutnya USTR memutuskan dalam waktu 45 hari sejak penyerahan petisi itu mengenai perlu tidaknya dilakukan investigasi; atau 2. USTR sendiri. Sehingga jelaslah, bahwa sistem hukum Amerika Serikat telah memberikan tempat bagi akses tidak langsung pihak swasta ke sistem penyelesaian sengketa WTO. 27 Ketentuan pada Section 301 yang memberikan Pemerintah Amerika Serikat wewenang untuk mengenakan sanksi perdagangan secara sepihak (unilateral) terhadap negara lain yang memberlakukan peraturan perundang-undangan, kebijakan, dan praktek-praktek perdagangan yang bertentangan atau merugikan Amerika Serikat sangat bertentangan dengan filosofi dasar WTO, yaitu multilateralisme. Sudah ada putusan Panel GATT (General Agreement on Tariff and Trade), cikal bakal Badan Penyelesaian Sengketa WTO, yang menyatakan tentang pertentangan ini dan oleh karenanya Section 301 yang mengatur wewenang pemberian sanksi perdagangan secara unilateral itu sudah tidak berlaku lagi. Namun ketentuan yang mengatur mengenai inisiasi investigasi terhadap praktek perdagangan Negara lain tetap berlaku. 17 Kerangka hukum akses tidak langsung tersebut juga dimiliki oleh sistem hukum Komunitas Eropa dalam Council Regulation (EC) No 356/95 of 20 February 1995 yang merubah Regulation (EC) No 3286/94 tentang prosedur yang dimiliki Komunitas tersebut dalam bidang kebijakan perdagangan umum untuk menjamin pelaksanaan hak-hak Komunitas dalam aturan perdagangan internasional, khususnya hak-hak dalam WTO. Di dalam regulasi tersebut terdapat ketentuan yang menciptakan suatu mekanisme dimana individu dan perusahaan yang terkena dampak negatif dari diberlakukannya peraturan perundang-undangan Negara lain yang tidak sejalan dengan WTO, bisa mengajukan keberatan dan meminta Komunitas Eropa untuk melakukan tindakan yang bisa dilakukan, termasuk diantaranya adalah mengajukan kasus tersebut ke WTO. Indonesia masih belum memiliki aturan hukum yang secara formal mengatur keterlibatan atau akses pihak swasta dalam sistem penyelesaian sengketa sebagaimana dimiliki oleh Cina, Komunitas Eropa, dan Amerika Serikat. Apa yang telah dilakukan oleh Sinar Mas Group pada Korea – Paper Case yang telah berhasil meyakinkan pemerintah Indonesia untuk mengajukan kasus tersebut ke WTO terbatas hanya pada tindakan lobby yang dilakukan secara informal. Berbeda sekali dengan apa yang dilakukan Chiquita Brands Internasional terhadap pemerintah Amerika Serikat dalam EC – Bananas III. Perusahaan ini melakukannya dalam kerangka Section 301. IV. PENUTUP 1. Kesimpulan a. Sistem penyelesaian sengketa melalui WTO memungkinkan pihak swasta untuk terlibat di dalamnya, yaitu melalui apa yang dinamakan sebagai indirect access atau akses tidak langsung di mana pihak swasta berpartner dengan pihak pemerintah dalam proses litigasi di forum WTO melalui dukungan di balik layar. Lebih lanjut lagi walaupun pihak swasta dan LSM tidak mungkin menjadi pihak dalam litigasi di WTO, namun pihak-pihak non pemerintah ini 18 bisa mengajukan amicus curiae brief baik dalam proses panel maupun proses beracara pada Badan Banding. b. Cina, Komunitas Eropa, dan Amerika Serikat, adalah sedikit dari anggota WTO yang memiliki peraturan perundang-undangan dalam sistem hukumnya yang mengatur mengenai akses tidak langsung pihak swasta terhadap penyelesaian sengketa WTO. Indonesia adalah salah satu dari sebagian besar Negara anggota WTO yang tidak memiliki peraturan-perundang-undangan yang mengatur hal tersebut. 2. Saran a. Dilihat dari salingmenguntungkannya kemitraan antara pihak swasta dan pemerintah dalam proses litigasi di WTO, maka sebaiknya pemerintah Indonesia membuka diri dan mendorong terjadinya kemitraan tersebut. b. Salah satu bentuk pendorong terjadinya kemitraan tersebut, yang sekaligus pemberi jaminan kepastian hukum terhadap akses tidak langsung pihak nonpemerintah adalah adanya suatu peraturan perundang-undangan yang mengatur hal tersebut. Jika demikian, maka sudah seharusnya Indonesia segera membuatnya. 19 DAFTAR PUSTAKA Van den Bossche, Peter, The Law and Policy of the World Trade Organization, Text, Cases and Materials, Cambridge University Press, 2005. World Trade Organization, A Handbook on the WTO Dispute Settlement System, A WTO Secretariat Publication prepared for publication by the Legal Affairs Division and the Appellate Body, Cambridge University Press, 2005. , The Legal Texts, The Result of the Uruguay Round of Multilateral Trade Negotiations, Cambridge University Press, 1999. Bown, Chad P., WTO Dispute Settlement and the Missing Developing Country Cases: Engaging The Private Sector, the Journal of International Economic Law 2005.8(861), Oxford University Press, 2005 Appellate Body Report, United States – Import Prohibition of Certain Shrimp and Shrimp Products (DS58), Appellate Body Report, United States – Imposition of Countervailing Duties on Certain Hot-Rolled Lead and Bismuth Carbon Steel Products Originating in the United Kingdom (DS138) China Investigation Rules of Foreign Trade Barriers, <http://english.mofcom.gov.cn/aarticle/policyrelease/domesticpolicy/200503/200 50300029640.html> Council Regulation (EC) No 356/95 of 20 February 1995 amending Regulation (EC) No 3286/94 laying down Community procedures in the field of the common commercial policy in order to ensure the exercise of the Community's rights under international trade rules, in particular those established under the auspices of the World Trade Organization (WTO) United States Section 301 of The 1974 Trade Act. 20