SABTU, 5 DESEMBER 2015 Setya Novanto dan Budaya Mundur Berani mengundurkan diri belumlah menjadi budaya di lingkungan pejabat pemerintah. Meski berada dalam situasi ”terjepit”, pejabat negara dan politikus tetap bertahan, bahkan membabi buta mempertahankan diri. Apa pun dilakukan asalkan kursi jabatan tidak berpindah ke orang lain. Bila perlu menempuh jalan irasional. Tetapi, sikap tersebut tidak berlaku bagi Dirjen Pajak Sigit Priadi. Ia memilih mengundurkan diri setelah target tidak tercapai. Mahkamah Kehormatan Dewan tengah menyidangkan rekaman perbincangan antara Ketua DPR Setya Novanto dan petinggi Freeport Maroef Sjamsoeddin. Mahkamah ini dibentuk dengan tujuan menjaga keluhuran martabat anggota Dewan. Martabat terkait dengan persoalan etika, kepatutan, dan nurani. Yang menjadi harapan publik, persidangan ”Papa Minta Saham” lebih banyak menekankan persoalan etis dan tidak etis seorang ketua DPR melakukan permufakatan jahat dan perburuan rente. Akankah kekesatriaan Sigit akan diikuti oleh elite politik yang tengah tersandung persoalan hukum dan etika? Mundur dari jabatan masih jauh dari laku budaya di negeri ini. Lain halnya dengan apa yang terjadi di Jepang. Misalnya Menteri Luar Negeri Seiji Maehara mengundurkan diri karena menerima sumbangan politik 50.000 yen atau sekitar Rp 5,3 juta tiap tahun dari warga Korea. Total ia menerima Rp 26 juta. Sesuai aturan di negara itu, penerimaan sumbangan dari orang asing dilarang. Persidangan malah berbelok arah. Mereka lebih menekankan sikap menyudutkan Sudirman Said selaku pelapor. Pergantian anggota MKD dari sejumlah partai politik menambah kental muatan politis untuk membentengi Novanto. Sementara dalam rekaman menunjukkan Novanto menggunakan kewenangan sebagai pejabat publik untuk kepentingan pribadi. Apalagi adanya alat bukti pencatutan nama Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla. Benar, kita ditunjukkan oleh Andi Mallarangeng yang mengundurkan diri sebagai menteri pemuda dan olahraga setelah ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dalam kasus Hambalang. Selebihnya, kita melihat tontonan dan dagelan politik. Politikus yang disangka terlibat dalam permufakatan jahat menyangkut perpanjangan kontrak PT Freeport Indonesia justru jauh dari sikap kesatria itu. Alih-alih mundur, benteng pembelaan diri justru dipertebal. Budaya mundur pejabat publik telah dimulai dari Andi Mallarangeng lalu Sigit Priadi. Kini desakan agar Novanto mundur semakin kuat disuarakan oleh sejumlah tokoh, akademisi, maupun lembaga kemasyarakatan. Publik semakin kuat mendorong agar ketua DPR mundur lewat petisi di media sosial. Ketika keluhuran wakil rakyat dipertaruhkan dengan sangkaan permufakatan jahat dan perburuan rente, mundur menjadi bukti sikap kekesatriaan Setya Novanto. Menuju Pembangunan Rendah Karbon Konferensi Perubahan Iklim sedang digelar di Paris. Kegiatan itu bertujuan menghasilkan kesepakatan baru dalam penurunan emisi karbon di dunia. Fenomena pemanasan global yang menjadi isu sehari-hari merupakan bukti betapa emisi karbondioksida telah menyusahkan umat manusia. Pembangunan rendah karbon kini harus menjadi semangat baru, seperti dikemukakan Sekretaris Jenderal PBB Ban Ki-moon saat membuka konferensi yang dihadiri perwakilan 195 negara tersebut. Dari sisi konsumen, sektor-sektor tertentu juga bisa berkurang daya belinya. Penurunan kemampuan itu terjadi akibat perubahan-perubahan dalam ekosistem yang memengaruhi hasil. Misalnya saja terjadi gangguan pada budi daya pertanian karena pemanasan global mengubah periode musim dan mengacaukan mata rantai makanan sehingga hama makin sulit dikendalikan. Sektor perikanan dan kelautan pun juga terkena dampaknya, yang membuat pendapatan nelayan dan peternak ikan berkurang. Suhu bumi saat ini lebih panas 1,7 derajat fahrenheit dibanding 135 tahun lalu. Pemanasan global itu disertai perubahan iklim. Ancaman mengerikan pun muncul. Daerah-daerah pantai diperkirakan akan lebih sering banjir mengingat tinggi permukaan laut meningkat. Badai dan kekeringan juga bakal lebih sering muncul. Kondisi alam yang tidak bersahabat itu tentu perlu diubah. Para pakar mengingatkan, bencana ekonomi kemungkinan bakal terjadi bila tingkat kenaikan suhu bumi tidak berkurang. Ribuan ikan yang diketemukan mati di Pantai Ancol beberapa hari lalu bisa jadi juga merupakan dampak lain perubahan iklim, yang dalam jangka panjang diperkirakan makin sering. Risikorisiko itu membuat dalam jangka panjang laut akan berkurang kemampuannya untuk memberikan manfaat ekonomi. Bila diurai pada berbagai bidang perekonomian, pengaruh pemanasan global tentu akan makin panjang dan ujungnya berupa penurunan kemampuan ekonomi, baik di sisi permintaan maupun penawaran. Bencana ekonomi bermula dari ketidaknyamanan hidup. Rangkaian selanjutnya adalah produktivitas yang menurun, akibat tenaga kerja tidak bisa menyumbangkan kemampuan optimalnya. Penelitian terhadap para karyawan di sejumlah pabrik mobildi Amerika Serikat untuk periode 10 tahun menunjukkan penurunan produksi terjadi saat hari-hari ketika suhu panas ekstrem datang. Makin sering panas ekstrem datang, para pekerja akan lebih cepat lelah. Hal itu mengakibatkan kuantitas produksi turun. Pemanasan global memang berdampak luas dalam kehidupan di bumi ini, sehingga Konferensi Perubahan Iklim diharapkan memunculkan kesepakatan yang akan membuat perekonomian ramah lingkungan lebih menonjol. Pembangunan rendah karbon harus jadi komitmen bersama, meskipun harus diakui potensi dan kondisi tiap negara berbeda-beda. Kesepakatan yang menyadari perbedaan itulah yang diharapkan terjadi. Enam tahun lalu kesepakatan baru gagal dicapai saat konferensi digelar di Kopenhagen. Proyek gedung baru DPRD Jateng ditunda. Ah, papa minta gedung... *** Dirut Freeport anggap Novanto calo. Calo kok mewakili ratusan juta rakyat... (Anti-calo berita) Terbit sejak 11 Februari 1950 PT Suara Merdeka Press Pendiri : H Hetami Komisaris Utama : Ir Budi Santoso Pemimpin Umum: Kukrit Suryo Wicaksono Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab : Hendro Basuki Direktur Pemberitaan :Amir Machmud NS Direktur SDM : Sara Ariana Fiestri Efek Siaran Live Sidang MKD Oleh Gunawan Witjaksana MAJELIS Kehormatan Dewan (MKD) DPR akhirnya memutuskan melakukan sidang terbuka ketika memanggil Menteri Energi Sumber Daya Mineral (ESDM) Sudirman Said, dalam kasus pencatutan nama presiden dan wakil presiden oleh Ketua DPR Setya Novanto. Lepas dari plus minus, termasuk kesan kontroversial dari perilaku beberapa anggota MKD ketika sidang berlangsung, setidaknya melalui cara tersebut masyarakat luas menjadi tahu apa yang sebenarnya terjadi. Terlebih ketika rekaman pembicaraan yang melibatkan Ketua DPR Setya Novanto, pengusaha Reza Chalid, dan Presdir PT Freeport Indonesia Maroef Sjamsudin, secara utuh diperdengarkan. Masyarakat yang sebelumnya dibingungkan oleh kontroversi sekaligus kehebohan yang ditimbulkan oleh kasus itu, mulai bisa mengerti serta menilai apa yang sebenarnya terjadi. Berbagai tanggapan muncul. Sudirman sebagai pelapor yang seharusnya dihargai dan dilayani, malah banyak yang memojokkan bak tersangka. Penilaian negatif muncul terhadap anggota pengganti MKD dari partai tertentu, yang terkesan membabi buta membela terlapor atau Setya Novanto, bahkan mendiskreditkan pengadu. Sebaliknya, ada pula anggota MKD yang membela pengadu. Kita layak bertanya; tidak sadar, tidak paham, atau tidak mau tahukah para anggota MKD yang bertugas menjaga marwah DPR itu terhadap kekuatan media yang meliput dan menyiarkan ‘’acara’’ itu secara langsung? Akankah pada sesi-sesi selanjutnya mereka tidak mengubah sikap? Apa yang terjadi ke depan bila anggota MKD tidak mau mengubah sikap atau sebaliknya, mereka berubah sikap? Ketika sidang terbuka MKD diliput langsung (live) oleh beberapa stasiun televisi, kita tentu ingat yang dikatakan George Gebner melalui Cultivation Theory-nya bahwa masyarakat seolah menyaksikan kejadian nyata di dekat mereka. Media massa memiliki kekuatan menghilangkan jarak ruang dan waktu. Masyarakat yang menonton mungkin kurang paham bahwa para politikus MKD itu tampil den g a n memanfaatkan metafora teatrikal alias bermain drama, melalui akting piawai masing-masing, seperti yang dikatakan Burke dan Goffman melalui Teori Dramatismenya. Yang perlu dipahami oleh masyarakat saat menyaksikan sidang MKD secara langsung adalah; siapa pun dia, dari partai mana pun berasal, mereka tentu memiliki kepentingan baik individu ataupun keleompok. Karena itu, aspek dramaturgi dalam berkomunikasi tentu akan mereka lakukan secara maksimal. Sebaliknya, bagi para anggota MKD yang bersidang, meski sekuat tenaga dan pikiran memainkan drama untuk meyakinkan masyarakat, mereka tidak boleh mengabaikan kejujuran dalam berkomunikasi. Terlebih rekaman dan transkrip lengkap telah menyebar luas. Kekuatan televisi sebagai media interaksi dan komunikasi pararasional pun, membuat masyarakat makin mencintai, percaya, dan mendukung yang mereka pandang benar, meski selalu dipojokkan dan terkesan dicari kesalahannya. Sebaliknya, mereka akan antipati kepada anggota MKD yang menggunakan ilmu klasik asal beda (waton sulaya). Berbagai kecaman melalui media sosial merupakan indikator konkret masalah itu. Membela kolega merupakan kewajiban, agar sang kolega tidak dizalimi. Namun, membela secara membabi buta dengan melakukan justifikasi yang bertentangan dengan data yang sesungguhnya, seperti yang kita saksikan saat pemanggilan Sudirman Said, justru memunculkan efek bumerang terhadap diri serta partai yang menaungi. Karena itu, menyampaikan informasi yang jujur, komprehensif, dan informatiflah yang seharusnya mereka lakukan. Melalui cara itu, diharapkan masyarakat bisa mengerti, sehingga akhirnya sang kolega meski mungkin akhirnya dianggap bersalah tetap terhormat, terlebih bila permintaan maaf disampaikan dan bukan justru membela diri secara membabi buta. Meminta maaf bukanlah hal yang tabu, terlebih bila di masa datang yang bersangkutan tidak melakukannya lagi. Harapan ke depan, karena sidang terbuka yang dipilih MKD, maka nawaitunya adalah menjaga marwah DPR melalui sikap serta perilaku simpatik dan solutif, demi harkat dan martabat negara. (43) — Gunawan Witjaksana, ketua Sekolah Tinggi Ilmu Komunikasi (Stikom) Semarang Mengurangi Laju Pemanasan Global KEKHAWATIRAN akan terjadi peningkatan panas bumi sesungguhnya sudah disuarakan Svante Arrhennius, ilmuwan asal Swedia, tahun 1894. Kekhawatiran itu kini terbukti. Temperatur atmosfer bumi meningkat signifikan hingga menimbulkan global warming (pemanasan global) akibat peningkatan konsentrasi karbondioksida (Co2) di udara. Co2 berasal dari polusi pembakaran minyak bumi dan batu bara yang menumpuk di udara serta membentuk semacam ‘’selimut’’ membalut bumi. Sinar matahari masuk ke bumi dan menghangatkannya, tetapi panas bumi yang seyogyanya kembali ke udara kini ‘’terkurung’’ sehingga menaikkan suhu bumi. Panas bumi ini memicu perubahan iklim global (global climate change) yang memengaruhi kehidupan alami di darat maupun laut. Perubahan iklim global berjalan seiring naiknya kepadatan Co2. Di Indonesia maupun negara berkembang lain, peningkatan Co2 yang mendorong perubahan iklim dipicu oleh deforestasi dan pembukaan lahan serta tanah gambut, yang mengurangi kesanggupan alam menyerap Co2, bahkan melepaskan Co2 di dedaunan tanaman dan tanah gambut. Deforestasi di Indonesia selama ini sangat memprihatinkan. Dalam rentang waktu 1990-2000, perusakan hutan mencapai dua juta hektare, dan terus melaju mengerikan hingga mencapai rata-rata 685.000 hektare per tahun pada periode 2000-2010 (FAO, 2010). Kenyataan ini tentu menjadi gambaran betapa Indonesia turut berkontribusi dalam peningkatan konsentrasi Co2 di udara, yang mendorong menguatnya gejala pemanasan global. Konsentrasi Co2 di udara terus merangkak naik dari masa ke masa. Sebelum Revolusi Industri 1780, terdapat lapisan Co2 setebal 280 part per million (ppm). Setelah revolusi, konsentrasi Co2 meningkat dari 315 ppm tahun 1930 menjadi 330 ppm tahun 1970. Kemudian meningkat lagi menjadi 360 ppm pada 1990, dan 380 ppm 2008. Kalangan meteorolog dan pakar ekosistem percaya fenomena pemanasan global telah mengakibatkan melelehnya sebagian daratan es di Kutub Utara maupun Selatan, serta menimbulkan peningkatan permukaan air laut. Hingga akhir abad ke-19, peningkatan permukaan air laut cenderung berjalan konstan, yakni sekitar 0,2 milimeter per tahun. Namun sejak 1900, permukaan air laut meningkat antara 1-2 milimeter per tahun. Bahkan pada 1993, perhitungan akurat oleh satelit Poseidon milik Amerika Serikat (AS) menyebutkan peningkatan permukaan air laut telah mencapai 3,1 milimeter per tahun. Karena itu, para pakar memperkirakan peningkatan permukaan air laut tahun 2100 akan mencapai antara 280-340 milimeter. Jika perkiraan ini terbukti, dikhawatirkan kota-kota metropolis di dataran rendah semisal New York, Semenanjung Florida, Manhattan, Hong Kong, Tokyo, Rio de Janeiro, serta Buenos Aires akan tenggelam. Oleh Chusnan Maghribi Hingga akhir abad ke-19, peningkatan permukaan air laut cenderung berjalan konstan, yakni sekitar 0,2 milimeter per tahun. Atas dasar itu, pada kurun waktu 43 tahun terakhir masyarakat internasional melalui Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB) serius mengintensifkan upaya mengerem laju pemanasan global. Setelah menggelar Konferensi Internasional tentang Lingkungan Manusia Juni 1972 di Stockholm-Swedia, PBB memprakarsai penyelenggaraan Konferensi Tingkat Tingggi (KTT) Bumi di Rio de Janeiro, Brasil, Juni 1992. KTT Bumi mengusung konsep pembangunan berkelanjutan. Sesudah itu PBB rutin menyelenggarakan konferensi para pihak (Conference of Parties/COP). COP I di Berlin-Jerman, Desember 1995, menyepakati negaranegara maju menurunkan emisi karbondioksida (gas rumah kaca). Kesepakatan ini dimatangkan dalam dua COPberikutnya. Pada COP III di Tokyo-Jepang, Desember 1997, lahir Protokol Kyoto yang salah satu ketentuannya adalah mewajibkan 37 negara industri maju mengurangi emisi gas rumah kaca sampai 5,0 persen di bawah tingkat emisi tahun 1990. Persoalan serius muncul, karena tidak semua negara industri maju menerima dan mengimplementasikan Protokol Kyoto. AS selaku penyumbang emisi terbesar (5,96 miliar ton) tidak mau meratifikasi Protokol Kyoto sampai masa pemberlakuan protokol tersebut berakhir Desember 2012. Itu sebabnya, negara-negara peserta COP Ke-18 di Doha-Qatar Desember 2012 menyepakati komitmen untuk memberlakukan Protokol Kyoto II selama delapan tahun (2012-2020) sembari berharap negara industri maju selevel AS mau meratifikasi sekaligus menaati, terutama terkait keharusan menurunkan emisi gas rumah kaca. Namun, setelah tiga tahun Protokol Kyoto II ditetapkan, belum muncul tengara pemerintah Negeri Paman Sam itu bakal meratifikasi. Lebih memprihatinkan, sampai penyelenggaraan COP Ke-20 di Bonn-Jerman Desember 2014, baru 11 negara yang meratifikasi, yaitu Uni Emirat Arab, Barbados, Mauritius, Bangladesh, Monako, Negara Federasi Mikronesia, Kenya, Honduras, Cile, Tiongkok, dan Norwegia. Lantas, bagaimana upaya masyarakat internasional untuk mengerem laju pemanasan global kalau respon mayoritas negara terhadap penetapan dan pemberlakuan Protokol Kyoto Periode Kedua tampak ‘’santai’’seperti itu? Tentu upaya ke depan tidak akan mudah. Keengganan sebagian negara maju menurunkan emisi gas rumah kaca, dengan misalnya tidak mau mengurangi penggunaan bahan bakar fosil maupun batu bara dalam kegiatan industri, serta pelanggaran negara berkembang dengan misalnya tidak serius menghentikan laju deforestasi, agaknya masih akan menjadi tantangan berat. COPKe-21 di Paris, Prancis (30 November- 11 Desember 2015) tentu menjadi sebuah momen penting untuk menguji kesanggupan dunia mengatasi tantangan tersebut. (43) — Chusnan Maghribi, alumnus Hubungan Internasional FISIP Universitas Muhammadiyah Yogyakarta Kirimkan artikel wacana nasional ke: [email protected]. dan: [email protected]. Panjang maksimal 7.000 karakter with space, sertakan pasfoto pose santai dan untuk wacana lokal ke: [email protected]. dan: [email protected]. Panjang maksimal 6.000 karakter with space, sertakan pasfoto pose santai.. (Red) Wakil Pemimpin Redaksi : Ananto Pradono, Agus Toto Widyatmoko. Redaktur Senior: Sasongko Tedjo, AZaini Bisri, Heryanto Bagas Pratomo, Prie GS. Redaktur Pelaksana : Murdiyat Moko, Triyanto Triwikromo, Hartono, Rukardi. Koordinator Liputan: Edy Muspriyanto, Saroni Asikin. Sekretaris Redaksi : Eko Hari MudjihartoStaf Redaksi :Soesetyowati, Cocong Arief Priyono, ZaenalAbidin, Eko Riyono, Darjo Soyat , Ghufron Hasyim, MuhammadAli, Bambang Tri Subeno, Simon Dodit, Budi Surono, Renny Martini, Diah Irawati, Agustadi,Gunarso, Ahmad Muhaimin, Bina Septriono, Edi Indarto, Nasrudin, M.Asmu’i, Ali Arifin, Sri Syamsiyah LS, Gunawan Budi Susanto, Imam Nuryanto, Arwan Pursidi, Arie Widiarto, Zulkifli Masruch, Agus Fathudin Yusuf, Petrus Heru Subono, Tavif Rudiyanto, M Jokomono, Purwoko Adi Seno, Karyadi, Arswinda Ayu Rusmaladewi, Mohammad Saronji, Maratun Nashihah, Sarby SB Wietha, Mohamad Annas, Kunadi Ahmad, Ida Nursanti, Aris Mulyawan, Setyo Sri Mardiko, Budi Winarto, Sasi Pujiati, Hasan Hamid, Rony Yuwono, Sumaryono HS, M Norman Wijaya, Noviar Yudho P, YunantyoAdi S, Fahmi Z Mardizansyah, Saptono Joko S, Roosalina, Dicky Priyanto, Hasan Fikri, Budi Cahyono, Tri Budianto, Wahyu Wijayanto, LeonardoAgung Budi Prasetya,Adhitia Amitrianto. Litbang :Djurianto Prabowo ( Kepala ),DadangAribowo. Pusat Data,Analisa dan Produksi: DwiAni Retnowulan (Kepala). Personalia: Dyah Anggarini. RedakturArtistik: Toto Tri Nugroho (Koordinator), Joko Sunarto, Djoko Susilo, Sigit Anugroho. Kepala Pracetak: Putut Wahyu Widodo. Reporter Biro Semarang : Nugroho DwiAdiseno ( Kepala), Surya Yuli Purwariyanto (wakil), Sutomo, IrawanAryanto, Moh. Kundori, Dian Chandra TB, Rosyid Ridho, Yuniarto Hari Santosa, Maulana M Fahmi, FaniAyudea, Hartatik, Modesta Fiska Diana, Royce Wijaya Setya Putra. Biro Jakarta : Hartono Harimurti, ( Kepala), Wahyu Atmadji, Fauzan Djazadi, Budi Yuwono, Sumardi, Tresnawati, Budi Nugraha, RM Yunus Bina Santosa, Saktia Andri Susilo, Kartika Runiasari, Mahendra Bungalan Dharmabrata, Wisnu Wijarnako. Biro Surakarta : Anindito Adi Nugroho (Kepala ), Won Poerwono, Joko Dwi Hastanto, Bambang Purnomo, Sri Wahyudi, Setyo Wiyono, Merawati Sunantri, Sri Hartanto, Wisnu Kisawa,Achmad Husain, Djoko Murdowo, Langgeng Widodo, Yusuf Gunawan, Evi Kusnindya, Budi Santoso, Irfan Salafudin, Heru Susilowibowo, Basuni Hariwoto, Khalid Yogi Putranto. Biro Banyumas: Sigit Oediarto (Kepala), Khoerudin Islam, Budi Hartono, Agus Sukaryanto, RPArief Nugroho, Agus Wahyudi, M Syarif SW, Mohammad Sobirin, Bahar Ibnu Hajar, Budi Setyawan. Biro Pantura :Trias Purwadi (Kepala), Wahidin Soedja, Saiful Bachri, Nuryanto Aji, Arif Suryoto, Riyono Toepra, Dwi Ariadi, MAchid Nugroho, Wawan Hudiyanto, Cessna Sari, Bayu Setiawan, Teguh Inpras Tribowo, Nur Khoerudin. Biro Muria :Muhammadun Sanomae (Kepala), Prayitno Alman Eko Darmo, DjamalAG, Urip Daryanto, Sukardi,Abdul Muiz,Anton Wahyu Hartono, Mulyanto Ari Wibowo, Ruli Aditio, Moch Noor Efendi, A Adib. Biro Kedu/DIY: Komper Wardopo (Kepala), Doddy Ardjono, Tuhu Prihantoro, Sudarman, Eko Priyono, Henry Sofyan, Nur Kholiq, Supriyanto, Sony Wibisono. Daerah Istimewa Yogyakarta: Sugiarto, Agung Priyo, Amelia Hapsari. Bandung :Dwi Setiadi. Koresponden : Ainur Rohim (Surabaya). Alamat Redaksi : Jl Raya Kaligawe KM 5 Semarang 50118.Telepon : (024) 6580900 ( 3 saluran ), 6581925. Faks : (024) 6580605.Alamat Redaksi Kota : Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon : (024) 8412600. Manajer Iklan :Bambang Pulunggono. Manajer Pemasaran: Berkah Yuliarto, Manajer Markom: Yoyok Gumulyo. Manajer Riset dan Pengembangan : Adi Ekopriyono. Manajer TU :Amir AR. Manajer Keuangan : Dimas Satrio W. Manajer Pembukuan : Kemad Suyadi. Manajer Logistik/Umum : Adi P. Manajer HRD: Budi Susanto. Alamat Iklan/Sirkulasi/Tata Usaha: Jl Pandanaran No 30 Semarang 50241. Telepon: (024) 8412600. Faks : (024) 8411116, 8447858. ■HOT LINE 24 JAM 024-8454333 ■REDAKSI: (024) 6580900 Faks (024) 6580605 ■ EMAILREDAKSI: redaksi _ [email protected] Dicetak oleh PTMasscom Graphy, isi di luar tanggung jawab percetakan.