CONTINUING PROFESSIONAL CONTINUING DEVELOPMENT PROFESSIONAL CONTINUING DEVELOPMENT MEDICAL EDUCATION Akreditasi PP IAI–2 SKP Farmakogenomik dan Terapi Kanker Ratih Dewi Yudhani Bagian Farmakologi, Fakultas Kedokteran Universitas Sebelas Maret, Surakarta, Indonesia ABSTRAK Variabilitas respons terapi dan indeks terapi obat antikanker (kemoterapi) yang sempit sering dijumpai dan masih menjadi tantangan bagi ahli onkologi. Farmakogenomik merupakan studi pewarisan genetik yang berpengaruh pada proses disposisi obat dan juga efeknya yang bertujuan mengoptimalkan pemilihan jenis obat dan penyesuaian dosis pada tiap pasien. Farmakogenomik penting diterapkan di bidang onkologi karena terapi kanker sering ditandai dengan toksisitas sistemik yang berat dan efikasi yang tidak terprediksi sebelumnya. Studi farmakogenomik bertujuan untuk memahami genetik yang mendasari perbedaan respons di antara individu dan memprediksi keamanan, toksisitas dan atau efikasi suatu pengobatan. Tinjauan ini mendiskusikan beberapa contoh penerapan farmakogenomik khususnya terkait polimorfisme genetik yang mempengaruhi hasil dari terapi kanker. Kata kunci: Kanker, farmakogenomik, genetik, kemoterapi ABSTRACT The variability in treatment responses and narrow therapeutic index of anticancer drugs (chemotherapy) are consistently observed across patient populations and still pose challenges for oncologist. Pharmacogenomics is the study of inherited differences in interindividual drug disposition and effects, with the goal of selecting the optimal drug therapy and dosage for each patient. Pharmacogenomics is especially important for oncology as severe systemic toxicity and unpredictable efficacy are hallmarks of cancer therapies. Pharmacogenomics studies are aimed at elucidating the genetic basis of interindividual differences and using such genetic information to predict the safety, toxicity, and/or efficacy of the drugs. This review will discuss several clinical relevant examples of pharmacogenomics use, especially genetic polymorphism, to influence the clinical outcome of cancer therapy. Ratih Dewi Yudhani. Pharmacogenomics and Cancer Therapy. Key words: Cancer, pharmacogenomics, genetic, chemotherapy PENDAHULUAN Kanker merupakan penyakit genetik yang disebabkan oleh mutasi, amplifikasi, delesi maupun ekspresi abnormal gen-gen yang berperan penting pada proses regulasi pertumbuhan sel. Abnormalitas genetik yang menginduksi terjadinya kanker ini bisa merupakan suatu pewarisan genetik maupun akibat perubahan sel-sel somatik setelah terpajan zat-zat karsinogenik. Pemahaman yang terkait dengan komponen genetik kanker dapat mengarah ke pemahaman jalur molekuler yang berhubungan dengan terjadinya keganasan (kanker) dan untuk identifikasi serta validasi target-terget molekuler yang baru sebagai terapi kanker.1 Perkembangan ilmu biologi molekuler dan genetik yang pesat selama 60 tahun terakhir telah memfasilitasi pengembangan berbagai agen kemoterapi yang secara aktif mampu Alamat korespondensi 412 melawan sebagian besar jenis kanker, namun di populasi terdapat heterogenitas yang nyata terkait dengan efikasi dan toksisitas agen kemoterapi tersebut.2 Pemberian obat antikanker dengan dosis sama kepada pasien-pasien di suatu populasi memberikan hasil yang relatif bervariasi dan timbulnya toksisitas dari yang ringan, berat, sampai yang mengancam jiwa.3,4 Beberapa faktor telah diketahui berhubungan dengan respons pengobatan individu, seperti umur, jenis kelamin, diet, fungsi organ, interaksi obat, dan faktor lingkungan. Selain itu, faktor perbedaan genetik pada gen yang mengkode protein yang terkait dengan disposisi obat (seperti enzim pemetabolisme obat, transporter) dan target obat juga memiliki pengaruh besar terhadap hasil terapi.2,5,6 Gambar 1 memberikan ilustrasi faktor-faktor yang mempengaruhi variabilitas di antara individu terhadap respons obat, khususnya obat antikanker (kemoterapi).6 Farmakogenetik dan farmakogenomik merupakan ilmu yang mempelajari peran genetik dalam memengaruhi timbulnya variasi di antara individu terkait respons obat yang tampak sebagai fenotip, seperti adanya perbedaan tingkat keberhasilan pengobatan dan toksisitas obat.7,8 Farmakogenetik ber- Gambar 1 Faktor-faktor yang berperan pada variabilitas interindividual terkait respons obat6 email: [email protected] CDK-217/ vol. 41 no. 6, th. 2014 CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT kembang pada tahun 1960-an, merupakan ilmu yang mempelajari pengaruh sebuah gen terhadap respons obat dan toksisitas pada individu, sedangkan farmakogenomik merupakan pengembangan farmakogenetik yang lebih modern dengan penerapan teknologi molekular yang canggih untuk menentukan keterkaitan antara gen-gen dengan respon obat pada skala genom dalam lingkup yang luas dan menyeluruh.9 Studi farmakogenomik bertujuan untuk memahami pengaruh genetik yang mendasari variasi di antara individu terhadap respon obat dan penggunaan informasi genetik tersebut untuk memprediksi keamanan, toksisitas dan efikasi suatu pengobatan.6 Polimorfisme adalah modifikasi struktur DNA dengan frekuensi ≥1% pada populasi. Polimorfisme genetik merupakan varianvarian di dalam genom individu dan varian ini terus menetap di sepanjang hidup individu tersebut.7,10 Varian genetik tersebut dapat berupa pengulangan nukleotida, insersi, delesi, maupun single nucleotide polymorphisms (SNPs), yang dapat mengakibatkan perubahan urutan asam amino yang mengkode protein tertentu, mengganggu proses RNA splicing (proses pemotongan intron pada mRNA), dan mengganggu transkripsi gen.6 Di dalam genom manusia diperkirakan terdapat 1,4 juta SNPs yang telah dapat diidentifikasi dan banyak di antaranya turut berperan dalam menentukan variabilitas proses farmakokinetik dan farmakodinamik suatu obat. Varian genetik ini dapat memengaruhi tingkat ekspresi maupun aktivitas proteinprotein yang dikode gen tersebut, meliputi protein transporter dan pemetabolisme obat (enzim), target obat, jalur sinyal dan respons seluler terhadap suatu pengobatan.6,7 Dewasa ini, terdapat beberapa contoh penerapan farmakogenomik di klinik yang menunjukkan adanyan hubungan antara polimorfisme genetik tertentu pada enzim pemetabolisme obat, transporter dan target obat dengan luaran klinis pada pasien yang mendapatkan kemoterapi.11 Pemahaman lebih mendalam terkait faktor genetik yang berperan dalam menentukan respon obat pada individu, berpotensi menghasilkan revolusi pemberian obat, khususnya pengobatan di bidang onkologi, karena akan meningkatkan kemampuan CDK-217/ vol. 41 no. 6, th. 2014 klinisi mengidentifikasi dan memprediksi pasien yang berisiko mengalami toksisitas berat maupun pasien yang cenderung akan berespons baik terhadap agen kemoterapi tertentu. Farmakogenomik memberi harapan mewujudkan individualized cancer therapy.5 Hal ini sejalan dengan tujuan utama studi farmakogenomik untuk mengembangkan personalized medicine, yaitu pemberian jenis obat dan penentuan dosis didasarkan pada profil genetik pasien secara individual. Di bidang onkologi, farmakogenetik dan farmakogenomik telah diterapkan untuk memprediksi kerentanan individu terhadap kanker, progresivitas dan rekurensi kanker, kemampuan pasien bertahan dari kanker (patient survival), serta untuk memprediksi respons dan adverse event pada pemberian kemoterapi.7 Penerapan farmakogenetik dan farmakogenomik di klinik melalui diagnostik molekuler (genotyping) mengarahkan klinisi dalam memberikan regimen kemoterapi dengan kombinasi dan dosis yang optimal, sesuai dengan profil genetik pasien.6 Artikel ini berfokus pada contoh-contoh di klinik terkait polimorfisme genetik yang menentukan respons obat pada individu, untuk memberikan ilustrasi yang relevan terkait penerapan farmakogenomik pada terapi kanker sebagai upaya optimalisasi pemberian kemoterapi dengan meningkatkan efikasi dan keamanan kemoterapi tersebut. TIOPURIN Tiopurin merupakan golongan obat yang terdiri dari 6-merkaptopurin (komponen terapi pemeliharaan acute lymphocytic leukemia [ALL] pada anak), tioguanin (sebagai terapi acute myeloblastic leukemia [AML]), dan azatioprin (komponen yang sering diberikan sebagai imunosupresi pada transplantasi organ, penyakit reumatik, dan gangguan kulit). Prinsip mekanisme sitotoksik agen ini adalah penyatuan nukleotida tioguanin (TGN) ke dalam DNA. 6-merkaptopurin merupakan prodrug yang inaktif dan perlu dimetabolisme menjadi TGN agar bisa berfungsi sebagai agen sitotoksik. Proses aktivasi ini dikatalisis oleh enzim hypoxanthine phosphoribosyl transferase (HPRT). Selain itu, 6-merkaptopurin bisa mengalami inaktivasi melalui oksidasi oleh enzim xantin oksidase (XO) maupun melalui metilasi oleh enzim tiopurin metiltransferase (TPMT) menjadi metabolit inaktif, yaitu 6-metilmerkaptopurin (6-MeMP).5,6,12 Gambar 2 memberi ilustrasi terkait proses metabolisme 6-merkaptopurin.5 Adanya variasi genetik pada gen yang mengkode enzim TPMT memengaruhi bioavailabilitas, efikasi dan toksisitas terapi 6-merkaptopurin. Pasien dengan polimorfisme TPMT berisiko mengalami toksisitas hematologis yang berat karena polimorfisme tersebut menurunkan kecepatan metabolisme inaktivasi 6-merkaptopurin sehingga pajanan DNA oleh nukleotida tioguanin (TGN) meningkat. Hal ini meningkatkan kerusakan DNA, baik DNA sel kanker maupun sel sehat sehingga akan berisiko terjadi toksisitas.12,13 Berdasarkan studi skala luas, di populasi terdapat variasi aktivitas enzim TPMT yang relatif tinggi. Sekitar 90% individu mempunyai enzim TPMT dengan aktivitas tinggi, 10% individu dengan aktivitas enzim TPMT sedang dan 0,3% individu mempunyai enzim TPMT yang aktivitasnya sangat rendah sampai tidak terdeteksi.5 Karakteristik molekuler polimorfisme TPMT yang berpengaruh pada aktivitas enzim tersebut telah dapat diidentifikasi. Terdapat 8 jenis varian alel pada gen TPMT yang telah diidentifikasi dan tiga di antaranya (TPMT*2, TPMT*3A, dan TPMT*3C) ditemukan pada hampir 95% kasus defisiensi enzim TPMT. Enzim TPMT yang diekspresikan oleh ketiga varian alel pada gen TPMT ini (TPMT*2, TPMT*3A, dan TPMT*3C) terkait dengan menurunnya aktivitas enzim tersebut karena lebih rentan untuk mengalami degradasi proteosomal.12,13 Terdapat per- TPMT 6-Mercaptopurine 6-Methyl Mercaptopurine (Inactive) HPRT Thioguanine Nucleotida (TGN) Incorporation into DNA • Anticancer effect • Myelosuppression Gambar 2 Metabolisme 6-merkaptopurin5 Keterangan: Obat antikanker 6-merkaptopurin (6-MP) oleh enzim hypoxanthine phosphoribosyl transferase (HPRT) diubah menjadi metabolit aktif, yaitu nukleotida tioguanin (TGN) yang memiliki aktivitas antikanker dan mielotoksisitas melalui penyatuan TGN ke dalam DNA. 6-MP diinaktivasi melalui metilasi oleh enzim tiopurin metiltransferase (TPMT) menjadi bentuk metabolit inaktif, yaitu 6-metilmerkaptopurin (6-MeMP). Polimorfisme gen TPMT berhubungan dengan toksisitas hematologis berat pada terapi tiopurin. 413 CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT bedaan substansial terkait frekuensi varian TPMT di antara kelompok populasi. Pada populasi Asia Tenggara dan Afrika, TPMT*3C merupakan varian TPMT yang paling banyak ditemukan, dengan frekuensi alel sebesar 2,3-1% pada populasi Asia Tenggara dan 2,4% pada populasi Afrika, sedangkan pada populasi Kaukasia, varian TPMT yang terbesar adalah TPMT*3A dengan frekuensi alel sebesar 4,4%.13 Beberapa studi menunjukkan bahwa pasien defisiensi TPMT berisiko sangat tinggi mengalami toksisitas hematologis berat jika diberi preparat tiopurin dosis konvensional. Oleh karena itu, pasien golongan ini memerlukan pengurangan dosis 6-merkaptopurin agar tingkat toksisitas dan hasil terapinya mirip dengan pasien yang memiliki TPMT normal.5,6 Diagnosis molekuler mutasi gen TPMT penyebab defisiensi enzim TPMT ini melalui metode genotyping dapat membantu menentukan dosis 6-merkaptopurin yang aman dan sesuai dengan profil genetik pasien; saat ini perlu dilakukan genotyping gen TPMT untuk optimasi dosis 6-merkaptopurin pada terapi anak dengan ALL.6 5-FLUOROURASIL Obat ini merupakan analog urasil yang digunakan secara luas sebagai terapi tumor solid, meliputi kanker kolorektal dan payudara.5 5-FU merupakan prodrug, sekitar 5% 5-FU yang diberikan akan mengalami aktivasi (anabolisme) menjadi 5-fluoro-2-deoksiuridin monofosfat (5-FdUMP), nukleotida sitotoksik yang berperan sebagai antitumor. 5-FdUMP menghambat replikasi sel tumor melalui penghambatan aktivitas enzim timidilat sintase (TS/TYMS) yang diperlukan untuk sintesis pirimidin de novo. Sedangkan 80-95% 5-FU akan mengalami katabolisme menjadi bentuk metabolit inaktif (dihidro 5-FU) yang akan diekskresikan melalui urin dan cairan empedu. Proses inaktivasi ini dikatalisis oleh enzim dihidropirimidin dehidrogenase (DPD).5,6 Terdapat lebih dari 20 variasi tingkat aktivitas enzim ini di antara individu dalam populasi. Adanya variabilitas aktivitas enzim ini merupakan salah satu faktor utama yang mempengaruhi paparan sistemik 5-FdUMP dan akan meningkatkan risiko efek samping. Pasien dengan aktivitas enzim DPD rendah, tidak mampu menginaktivasi 5-FU secara 414 efektif sehingga kadar 5-FdUMP di darah menjadi berlebihan, mengakibatkan toksisitas gastrointestinal, hematopoetik, dan neurologis yang berpotensi fatal.5,6 Dasar genetik molekuler yang mendasari defisiensi enzim DPD sangat kompleks dan belum sepenuhnya dipahami. Sampai saat ini telah ditemukan lebih dari 30 mutasi dan SNPs pada gen yang mengkode enzim DPD (gen DPYD), dan beberapa di antaranya terkait dengan penurunan aktivitas enzim DPD. Pada populasi umum, terdapat 3-5% individu yang membawa alel mutan terkait dengan mutasi DPYD secara heterozigot yang menyebabkan individu ini berisiko mengalami defisiensi parsial enzim DPD, sedangkan 0,1 % individu di populasi membawa allel mutan tersebut secara homozigot sehingga mungkin akan mengalami defisiensi enzim DPD absolut.5,6,9 Polimorfisme DPYD*2A merupakan polimorfisme yang paling umum terkait dengan toksisitas berat dan fatal setelah terapi 5-FU; 1 dari 4 pasien dengan polimorfisme ini mengalami toksisitas berat setelah terapi 5-FU. Frekuensi allel DPYD*2A pada populasi Kaukasia sebesar 1,8%, sedangkan pada populasi Mesir dan Jepang tidak terdeteksi.13 Polimorfisme DPYD*2A tampaknya bukan merupakan satu-satunya mekanisme yang terkait dengan timbulnya toksisitas tersebut. Sepertiga sampai dua per tiga pasien yang mengalami toksisitas setelah terapi 5-FU tidak memiliki polimorfisme DPYD*2A pada ekson gen DPYD.5,9 Kompleksnya mekanisme molekuler yang mengontrol aktivitas enzim DPD dan juga rendahnya sensitivitas dan spesifisitas genotyping DPYD sebagai marker dUMP 5-FU 5-FdUMP MTHF TS DHF DPD dTMP Dihydro 5-FU (inactive) DNA toksisitas terapi 5-FU mempersulit aplikasi farmakogenetik DPYD di bidang klinis.5.13 Karena itu, untuk mendukung kepentingan klinis, variasi gen DPYD dan kombinasinya dengan marker lain seharusnya dieksplorasi lebih jauh agar dapat digunakan untuk identifikasi pasien yang berisiko tinggi toksisitas berat jika mendapatkan terapi 5-FU.6 Telah diketahui sebelumnya bahwa mekanisme aktivitas antikanker 5-FU adalah melalui penghambatan enzim timidilat sintase (TS/TYMS) oleh 5-fluoro-2-deoksiuridin monofosfat (5-FdUMP) dengan membentuk kompleks stabil dengan enzim TS. Enzim TS mengkatalisis metilasi deoksiuridin monofosfat (dUMP) menjadi deoksitimidin monofosfat (dTMP) yang merupakan satusatunya sumber timidilat intraseluler yang penting untuk replikasi dan perbaikan DNA.6,13 Enzim TS merupakan target utama 5-FU dan ekspresi TS yang tinggi berhubungan dengan resistensi terapi 5-FU. Tingkat ekspresi TS diregulasi oleh sejumlah polimorphic tandem repeat pada TS enhacer region (TSER). Alel yang terdiri dari dua, tiga, empat, lima, dan sembilan salinan tandem repeat dikenal sebagai TSER*2, TSER*3, TSER*4, TSER*5, dan TSER*9; TSER*2 dan TSER*3 merupakan alel yang dominan pada sebagian besar populasi. Berdasarkan penelitian, makin banyak salinan polimorphic tandem repeat pada TSER akan makin meningkatkan ekspresi TS dan aktivitas enzim ini. Pasien yang membawa TSER*3 homozigot memiliki aktivitas enzim TS lebih tinggi dan berespons lebih buruk pada terapi 5-FU dibandingkan dengan pasien yang membawa TSER*2 homozigot.5,6 Berdasarkan uraian di atas, kombinasi genotyping gen DPYD dan TSER mungkin bisa sangat membantu menyeleksi pasien yang toleran dan berespon baik maupun pasien yang memiliki risiko tinggi mengalami toksisitas berat dengan terapi 5-FU. Untuk mendapat gambaran yang lebih jelas terkait metabolisme 5-FU dapat dilihat Gambar 3.5 Gambar 3 Metabolisme 5-fluorourasil (5-FU)5 Keterangan: 5-FU merupakan prodrug yang perlu diaktivasi menjadi 5-fluoro-2-deoksiuridin monofosfat (5-FdUMP) agar bisa berperan sebagai antikanker dengan menghambat aktivitas enzim thymidylate sintase (ts), merupakan enzim yang berperan pada sintesis pirimidin yang diperlukan untuk replikasi dan perbaikan DNA. 5-FU diinaktivasi oleh enzim dehidropirimidin (DPD) membentuk dihidro-5-FU yang merupakan bentuk metabolit inaktif. Polimorfisme pada TS maupun DPD memengaruhi hasil terapi 5-FU. IRINOTEKAN Irinotekan merupakan inhibitor topoisomerase I, yang telah diterima oleh FDA sebagai terapi kanker kolorektal stadium lanjut. Irinotekan merupakan prodrug yang memerlukan aktivasi oleh enzim karboksilesterase menjadi 7-etil-10- CDK-217/ vol. 41 no. 6, th. 2014 CONTINUING PROFESSIONAL DEVELOPMENT hidroksikamptoesin (SN-38) yang merupakan metabolit aktifnya. Detoksifikasi SN-38 terjadi di hepar oleh enzim UDP-glukuronosiltransferase 1A1 (UGT1A1) menjadi SN38 glukuronid (SN38G) yang merupakan glukuronid inaktif yang bersifat lebih polar sehingga lebih mudah dieliminasi melalui empedu dan urin.5,6,9 Gambar 4 memberikan ilustrasi terkait metabolisme irinotekan.5 Dosis irinotekan yang berlebihan menyebabkan toksisitas berupa diare dan leukopenia. Toksisitas ini berhubungan dengan peningkatan kadar SN-38 di darah. Penelitian farmakogenetik klinik yang terkait dengan irinotekan berfokus pada polimorfisme UGT1A1, enzim yang berperan pada proses glukoronidasi SN-38 menjadi SN38G (bentuk metabolit inaktif ).5,6 Variabilitas ekspresi UGT1A1 sangat tinggi dan mengakibatkan lebih dari 50 variasi terkait dengan kecepatan proses glukoronidase SN38 di antara individu.9 CE Irinotecan SN-38 (active) Anticancer activity UGT1A1 SN38G (inactive) Gambar 4 Metabolisme irinotekan5 Keterangan: Irinotecan merupakan prodrug yang memerlukan aktivasi oleh enzim karboksilesterase (CE) untuk menjadi SN-38 yang merupakan metabolit aktif sehingga bisa berperan sebagai antikanker (inhibitor topoisomerase I). Enzim UDP-glukuronosil-transferase 1A1 (UGT1A1) menginaktivasi SN-38 menjadi SN-38 glukuronid (SN38G) yang merupakan metabolit inaktif, bersifat lebih polar sehingga mempermudah eliminasi melalui empedu dan urine. Toksisitas irinotekan terkait kadar SN-38 yang tinggi sehingga polimorfisme UGT1A1 terkait dengan toksisitas pada terapi irinotekan. Variasi aktivitas enzim UGT1A1 pada umumnya terjadi karena adanya polimorfisme gen UGT1A1 pada promoter region yang berisi beberapa pengulangan (repeat) elemen TA (Timin-Adenin). Alel wild-type (allel normal di populasi) adalah pengulangan elemen TA pada promoter region sebanyak 6 kali. Pengulangan elemen TA`sebanyak 7 kali, dikenal sebagai UGT1A1*28 menurunkan tingkat ekspresi dan aktivitas UGT1A1. Beberapa penelitian menyatakan bahwa alel UGT1A1*28 terkait dengan penurunan proses glukoronidasi (inaktivasi) SN-38, meningkatkan pajanan tubuh terhadap SN-38 dan meningkatkan toksisitas terapi irinotekan pada pasien yang membawa alel tersebut.5,6 Frekuensi allel UGT1A1*28 sangat bervariasi di antara kelompok etnis yang berbeda. Pada populasi Kaukasia dan Afrika-Amerika diperkirakan frekuensi alel UGT1A1*28 sebesar 35% dan pada populasi Asia frekuensinya lebih rendah.6 Uraian di atas memberikan gambaran pentingnya farmakogenetik (penentuan genotip) gen UGT1A1 sebelum pemberian terapi irinotekan sebagai prediktor risiko toksisitas irinotekan pada individu.6 SIMPULAN Kemoterapi pada pasien kanker memiliki indeks terapi yang sempit dan respons pasien terhadap terapi ini ternyata sangat bervariasi, dari berespons baik sampai toksisitas berat dan fatal pada kemoterapi dosis standar. Pemahaman lebih baik terkait pengaruh genetik terhadap perbedaan respons pengobatan di antara individu ini berpotensi meningkatkan efikasi dan keamanan pemberian agen kemoterapi pada pasien kanker. Studi farmakogenetik dan farmakogenomik telah memberikan bukti kuat pengaruh genetik terhadap respons obat dan tingkat toleransi individu pada pengobatan, khususnya kemoterapi pada pasien kanker. Penemuan SNPs maupun polimorfisme genetik lain pada individu dapat digunakan untuk memprediksi hasil pengobatan dan berpotensi mengakibatkan revolusi kemoterapi pasien kanker. Pemeriksaan profil genetik dapat digunakan sebagai pedoman pemilihan agen kemoterapi dan juga penentuan dosis yang sesuai dengan profil genetik individu untuk meningkatkan efikasi dan menurunkan toksisitas kemoterapi. Di samping itu, pemeriksaan profil genetik dapat membantu klinisi mengidentifikasi pasien yang akan berespons baik maupun pasien yang berisiko mengalami toksisitas berat pada pemberian agen kemoterapi sehingga terapi bisa lebih aman dan dari sudut biaya lebih efektif. Meskipun pemeriksaan profil genetik individu sebelum kemoterapi masih sangat terbatas, prospeknya di masa mendatang sebagai pedoman pemberian regimen kemoterapi secara individual (individualized cancer therapy) merupakan hal yang menjanjikan. Berdasarkan tes ini, pemilihan kombinasi regimen kemoterapi dan dosisnya dapat dilakukan secara optimal berdasarkan profik genetik individu sehingga dapat mengupayakan respons pengobatan lebih maksimal. DAFTAR PUSTAKA 1. Workman P. The impact of genomics and proteomic technologies on the development of new cancer drugs. Ann Oncol. 2003;13:115-24. 2. Evan WE, Relling MV. Pharmacogenomics: translating fuctional genomics into rational therapeutics. Science. 1999;286:487-91. 3. Sargent DJ, Niedzwiecki D, O’Connell MJ, Schilsky RL. Recommendation for caution with irinotecan, fluorouracil, and leucovorin for colorectal cancer. N Engl J Med. 2001;345:144-6. 4. Rothenberg ML, Meropol NJ, Poplin EA, Van Cutsem E, Wadler S. Mortality associated with irinotecan plus bolus fluorouracil/lecovorin: summary findings of an independent panel. J Clin Oncol. 2001;19:3801-7. 5. Watters JW, McLeod HL. Cancer pharmacogenomics: current and future applications. Biochimica et Biophysica Acta. 2003;1603:99-111. 6. Lee W, Lockhart C, Kim RB, Rothenberg ML. Cancer Pharmacogenomics: powerful tool in cancer chemotherapy and drug development. The Oncol Clin Phar. 2005;10:104-11. 7. Yan L, Beckman R. Pharmacogenetics and pharmacogenomics in oncology therapeutic antibody development. Biotechniques. 2005;39:S565-8. 8. Freedman AN, Sansbury LB, Figg WD, et al. Cancer pharmacogenomics and pharmacoepidemiology setting a research agenda to accelerate translation. J Natl Cancer Inst. 2010;102:1698705. 9. Miller CR, McLeod HL. Pharmacogenomics of cancer chemotherapy-induced toxicity. J Support Oncol. 2007;5:009-14. 10. Gasparini G. Pharmacogenetics in breast cancer. OOTR fifth-annual conference anticancer strategy. 2009. 11. Ayoub N, Lucas C, Kaddoumi A. Genomics and pharmacogenomics of breast cancer: current knowledge and trends. Asian Pacific J Cancer Prev. 2011;12:1127-40. 12. McLeod HL, Krynetski EY, Relling MV, Evans WE. Genetic polymorphism of thiopurine methyltransferase and its clinical relevance for childhood acute lymphoblastic leukemia. Leukemia. 2000;14:567-72. 13. Young WP, Innocenti F, Ratain MJ. The role of pharmacogenetics in cancer therapeutics. Br J Clin Pharmacol. 2006;62(1):35-46. CDK-217/ vol. 41 no. 6, th. 2014 415