BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kerajaan Aceh adalah Kerajaan Islam yang berdiri pada awal abad keXVI. Kerajaan Aceh merupakan hasil dari penyatuan kerajaan-kerajaan kecil dari pantai Utara hingga Barat Aceh 1. Kerajaan Aceh juga termasuk ke dalam lima besar kerajaan Islam pada masa itu. Yaitu, Kerajaan Turki Usmaniyah di Istanbul, Kerajaan Islam Maroko di Afrika Utara, Kerajaan Islam Isfaham di Timur Tengah, Kerajaan Islam Ikra di India dan Kerajaan Aceh Darussalam di Asia Tenggara 2. Penguasa tertinggi di kerajaan Aceh adalah seorang sultan. Kerajaan Aceh banyak mengalami kegemilangan, terlebih masa kepemimpinan Sultan Iskandar Muda, antara lain berhasil menaklukkan kerajaan-kerajaan di pantai Timur dan Barat Sumatera. Di bidang pemerintahan, usaha yang dilakukan oleh Sultan Iskandar Muda antara lain membentuk unit-unit pemerintahan 3. Unit pemerintahan terkecil adalah gampong 4 atau desa di Jawa yang dipimpin oleh seorang yang dinamakan keucik. Gabungan dari beberapa gampong disebut Mukim yang dipimpin oleh seorang yang dinamakan imeum mukim, 1 Ismail Sunny, Bunga Rampai Tentang Aceh, Jakarta: Bhratara Karya Aksara, 1980, hlm. 31. 2 Ibid., hlm. 208. 3 K.F.H. Van Langen, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2002, hlm. 11. 4 Zakaria Ahmad, Sekitar Keradjaan Atjeh Dalam Tahun 1520-1675, Medan: Monora, 1972, hlm. 86. Universitas Sumatera Utara sedangkan gabungan mukim disebut nanggroe/kenegerian 5 yang dipimpin oleh seorang uleebalang 6. Uleebalang juga disebut raja kecil, khusus di Aceh Besar nanggroenanggroe ini digabungkan lagi dalam bentuk sagi/sagou 7. Uleebalang diangkat oleh Sultan melalui sarakata (surat pengangkatan) yang telah dibubuhi cap sikureung (cap sembilan) 8. Sarakata berisi batas-batas daerah yang dipimpin dan pemberian kekuasaan yang sangat luas juga sebagai tanda bahwa mereka adalah wakil sultan di daerahnya masing-masing, serta sebagai tanda bahwa mereka 5 Dalam penelitian ini untuk istilah kenegerian penulis akan menggunakan kata nanggroe karena kata tersebut yang lebih sering digunakan rakyat Aceh untuk menyebut kenegerian. 6 Sejauh ini pengertian uleebalang masih memunculkan beragam pendapat. (a). uleebalang adalah gelar yang diberikan kepada kepala atau panglima balatentara yang menunjukkan, bahwa dalam peperangan ia harus bertindak selaku kepala untuk memimpin pasukan-pasukan bersenjata di dalam daerah gabungan Mukimnya. Lihat K.F.H. Van Langen, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2002, hlm. 13. (b). Definisi lain mengenai uleebalang adalah yang dipertuan dinegeri masing-masing dan merupakan kepala wilayah par excellence, maka disebut Raja dari wilayah masing-masing. Snouck juga menambahkan makna uleebalang adalah panglima tentara. Lihat Snouck Hurgronje, Aceh Di Mata Kolonialis, Jakarta:Yayasan Soko Guru, 1985, hlm. 99. (c). Pendapat lain mengatakan uleebalang adalah kepala pemerintahan daerah sendiri otonom dan pemangku hukum adat di daerahnya. Dan beliau menyangkal pendapat yang mengatakan uleebalang adalah kepala laskar. Lihat A.K. Jakobi, Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 Dan Peranan Teuku Hamid Azwar Sebagai Pejuang, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. 1998, hlm. 39. (d). Selain itu definisi uleebalang adalah penguasa lokal yang memerintah secara tradisional di Aceh hingga 1946. Lihat Isa Sulaiman, Sejarah Aceh Sebuah Gugatan Terhadap Tradisi, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1997, hlm. 540. Terlepas dari semua pendapat tersebut yang dimaksud penulis mengenai pengertian uleebalang di sini adalah sebagai kepala-pemimpin nanggroe yang otonom karena fungsi mereka selanjutnya bukan hanya sebagai panglima perang saja melainkan menjadi penguasa di segala bidang 7 Abdul Rani Usman, Sejarah Peradaban Aceh, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2003, hlm. 44. 8 A. J. Piekaar, Aceh dan Peperangan dengan Jepang, Diterjemahkan oleh Abu Bakar. Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 1998, hlm. 6. Universitas Sumatera Utara mengakui berada di bawah kekuasaan sultan. Namun tak jarang juga terdapat permusuhan antar sesama uleebalang mengenai batas daerah kekuasaannya dan juga mengenai merebut hati rakyatnya 9. Sejarah terbentuknya uleebalang disusun berdasarkan adat meukuta alam, atau yang dikenal dengan sebutan adat poteumeureuhom pada masa Sultan Iskandar Muda (1607-1636) 10. Tugas utama uleebalang adalah (a) menjaga negeri/nanggroe. (b) menjalankan segala perintah sultan dalam penangkapan orang-orang yang ingkar akan keputusan hukum dan adat. (c) mengadakan laskar pertahanan negeri 11. Pada masa kesultanan peran uleebalang sangat besar, misalnya dalam hal peperangan, perang penaklukan pada zaman Iskandar Muda yang menaklukkan Asahan, Johor dan Malaka dan juga perang-perang lainnya 12. Uleebalang merupakan wakil sultan di negerinya masing-masing (nanggroe). Ketika seorang uleebalang meninggal dan Sultan mendengar kabar tersebut, maka Sultan mengirimkan uang sejumlah 30-40 real kepada ahli waris uleebalang guna untuk biaya pemakaman, kenduri dan lain sebagainya 13. 9 Ridwan Azward, Aksi Poh Kaphe, Atjeh Moorden Di Aceh, Banda Aceh: Pusat Dokumentasi Dan Informasi Aceh, 2002, hlm. 41. 10 Bachtiar Aly, Dalam Seminar Hari Jadi Provinsi Daerah Istimewa Aceh Yang Ke-36. Banda Aceh 1995. 11 H.M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara Jilid 1, Medan: Pustakan Iskandar Muda, 1961, hlm. 334. 12 Mansyur Amin, Kelompok Elite Dan Hubungan Sosial Dipedesaan, Jakarta: Pustaka Grafika Kita, 1988, hlm. 14. 13 H.M. Zainuddin, op.cit., hlm. 326. Universitas Sumatera Utara Uleebalang mempunyai otoritas yang besar terhadap pengelolaan negerinya. Bahkan, uleebalang memonopoli hasil bumi seperti lada, beras dan pinang 14. Uleebalang juga merupakan pemilik modal (peutua pangkai) yang meminjamkan uang kepada para petani (aneuk seunoubok) melalui perantara (peutua seuneubok) 15 yang dipercayai oleh uleebalang. Uleebalang mendapatkan keuntungan dari fungsinya sebagai kepala adat. Yaitu mereka mendapat hak 10% dari warisan yang dibagikan kepada yang berhak, mendapatkan satu ringgit dari setiap perahu yang memasuki sungai di wilayah kekuasaannya 16 dan lain sebagainya. Dengan kedudukan semacam itu uleebalang mempunyai kekayaaan, seperti pada kasus uleebalang di Pidie yang memiliki setengah persawahan dari luas sawah di daerah yang dipimpinnya 17 yang menyebabkan kedudukan ekonomi masyarakat dan uleebalang sangatlah timpang. Perbedaan yang terjadi antara rakyat dan uleebalang seperti yang digambarkan oleh Denys Lombard sebelum kedatangan Belanda “apabila orang Eropa membicarakan soal makanan maka mereka akan sangat heran karena sifatnya yang sederhana, mereka cukup makan sedikit nasi dan hampir setiap hari hanya makan nasi, mereka yang kaya (Orang kaya/uleebalang) makan dengan sedikit ikan dan sedikit sayuran dan memakai 14 Anthony Reid, Sumatera Revolusi dan elite tradisional, Jakarta: Komunitas Bambu, 2012, hlm. 22. 15 Mansyur Amin, op.cit., hlm. 18. 16 Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah Perang Aceh 1873-1912, Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1987, hlm. 41. 17 Anthony Reid, 2012, loc.cit. Universitas Sumatera Utara sepotong kain sutera yang longgar di atas pundak sedangkan orang biasa telanjang dari pinggang ke atas 18 Berbagai perbedaan kehidupan antara uleebalang dan rakyat terlihat semakin jauh berbeda setelah masuk pengaruh Belanda di Aceh. Gambaran kehidupan uleebalang setelah Belanda masuk dituliskan oleh Hamka dam bukunya Kenang-Kenangan Hidup “....Raja-raja (uleebalang) hidup dengan mewah, dengan kereta bagus, dengan rumah indah, memakai alat radio, hidup secara Belanda. Sedangkan rakyat Aceh sendiri karam dalam kebodohan, kekurangan pendidikan dan kemiskinan”. Sebagian uleebalang juga sudah menggunakan sendok dan garpu untuk makan, sedangkan sebelumnya menggunakan tangan 19 Kontak pertama antara orang Belanda dengan kerajaan Aceh terjadi pada 21 Juni 1599. Ketika sebuah kapal dagang Belanda di bawah pimpinan Cornelis de Houtman dan saudaranya Fredrick de Houtman tiba di pelabuhan Aceh dengan 2 buah kapal de leeuw dan de leeuwin 20. Pada tanggal 26 Maret 1873 Belanda menyatakan peperangan dengan Kerajaan Aceh 21. Belum genap satu tahun Belanda memerangi Aceh, Belanda sudah mulai menyusun strateginya untuk 18 Denys Lombard, Kerajaan Aceh Jaman Sultan Iskandar Muda (16071636), Jakarta: Balai Pustaka, 1986. Hlm. 68. 19 Munawiah, Birokrasi Kolonial di Aceh 1903-1942, Banda Aceh: ArRaniry Press, 2007, hlm. 158. 20 Antony Reid, 2012, op.cit., hlm. 23. 21 Paul Van ‘T Veer, Perang Aceh Kisah Kegagalan Snouck Hurgronye, Jakarta: Grafiti, 1985, hlm. 34. Universitas Sumatera Utara menaklukkan Aceh. Salah satunya dengan mengadakan hubungan dengan uleebalang. Hubungan ini dilakukan tepatnya mulai tahun 1874 22. Dengan cara membuat perjanjian dengan Belanda dan mengakui kedaulatan Belanda. Dengan demikian uleebalang tidak akan membantu sultan lagi dalam memerangi Belanda dan Aceh pun dengan mudahnya dapat ditaklukkan, kemudian uleebalang menjadi basis pengaruh Belanda di Aceh 23. Hal ini dilakukan juga karena Belanda menyadari bahwa uleebalang sebagai sumber kekuatan perlawanan rakyat Aceh 24. Secara tidak langsung dan lambat-laun, sebagai akibat dari hubungan Belanda dengan uleebalang, maka uleebalang akan terpengaruh atau bahkan mengikuti kehidupan Belanda. Misalnya, memasukkan anak-anak mereka ke lembaga sekolah milik pemerintahan Hindia-Belanda. Pada tahun 1900 beberapa putra uleebalang dari Idi Rayeuk telah dikirim untuk mengikuti pendidikan di Kuta Raja, sebagian dikirim ke Bukit Tinggi dan sebagian lagi ke Bandung 25. Anak-anak yang bukan keturunan uleebalang menuntut ilmu masih secara tradisional, seperti di dayah (pesantren) yang didirikan oleh ulama. Mereka yang masih menganut nilai tradisi beranggapan dosa hukumnya jika mempelajari hurufhuruf latin yang didapatkan di sekolah milik pemerintahan Hindia-Belanda. Sebagian dari uleebalang juga telah membangun rumah yang besar, memiliki 22 Ismail Sunny, op.cit., hlm. 191 Antony Reid, op.cit., hlm. 19. 24 Departemen pendidikan dan kebudayaan, op.cit., hlm. 102. 25 Munawiah, op.cit., hlm. 138. 23 Universitas Sumatera Utara mobil bagus, memiliki pesawat radio, makan menggunakan sendok garpu, biasanya masyarakat Aceh makan menggunakan tangan dan lain-lain 26. Hal yang sama juga terjadi di nanggroe Samalanga. Masa pemerintahan Hindia-Belanda, keresidenan Aceh dibagi kedalam 5 afdeeling 27. Kelima afdeeling dipecah lagi menjadi onderafdeeling yang terdiri dari beberapa nanggroe atau disebut dengan zelfbestuur. Nanggroe Samalanga berada dibawah onderafdeeling Bireuen. Selain Samalanga, Jeumpa dan Peusangan juga merupakan nanggroe dibawah onderafdeeling Bireuen yang berada di bawah Afdeeling Noordkust van Atjeh 28. Uleebalang pertama yang mengepalai nanggroe Samalanga adalah Tun Seri Lanang 29, Tun Sri Lanang memerintah dari tahun 1615-1659 30. Beliau sangat berperan dalam kesejahteraan rakyat di nanggroe Samalanga, dengan cara mengembangkan perkebunan yang memang telah ia bangun sebelum dianggkat menjadi uleebalang Samalanga 31. Pada masa pemerintahannya, ia berhasil menjadikan Samalanga sebagai pusat pengembangan Islam di kawasan Utara Aceh. Tun Sri Lanang juga dikenal sebagai pujangga Melayu karyanya yang terkenal adalah Sulalatus Salatin (Sejarah Melayu). 26 Ibid., hlm. 158. Kruisheer A., Atjeh, Weltevreden: Visser en Co. 1913. Kelima afdeeling itu adalah Grooet Atjeh, Noordkust Van Atjeh, Oostkust Van Atjeh, Westkust Van Atjeh Dan Alaslanden, hlm. 282-296. 28 Ibid., hlm. 285. 29 Pocut Haslinda Syahrul, Tun Seri Lanang dan Terungkapnya Akar Sejarah Melayu Setelah Empat Abad, Jakarta: Pelita Hidup Insani, 2008, hlm. 93. 30 Ibid., hlm. 5. 31 Ibid., hlm. 34 27 Universitas Sumatera Utara Uleebalang Samalanga yang menandatangani perjanjian dengan Belanda tahun 1877 32 adalah Teuku Chik Raja Bugis. Isi perjanjian itu antara lain: (a) saya menyatakan landschap Samalanga menjadi bagian dari wilayah dari HindiaBelanda di bawah keagungan kerajaan Belanda yang diwakili oleh GubernurJenderal sebagai tuan yang sah. (b) saya akan memerintah negeri saya dengan kebenaran, menjaga perdamaian dan keamanan serta melindungi dan memajukan perdagangan, industri, pertanian dan pelayaran 33 dan lain-lain. Setelah perjanjian tersebut banyak keistimewaan yang diberikan Belanda kepada uleebalang seperti mendapatkan gaji bulanan dari pemerintahan HindiaBelanda. Dan mereka juga diberi otonomi dalam berdagang. Uleebalang di nanggroe Samalanga juga telah menjelma menjadi pengusaha, pada 1934 uleebalang Samalanga juga mendirikan pabrik penggilingan padi sebagai milik pribadi 34. Dalam kegiatan perdangangan, mereka menarik 5% dari ekspor dan impor barang seperti lada dan pinang. Ekspor dari Samalanga berkembang baik karena letak pelabuhannya strategis, hingga cukup menguntungkan keperluan tersebut 35. Hal ini membuat uleebalang sebagai penguasa mengalami keuntungan yang sangat besar dan pada akhirnya berpengaruh terhadap kehidupan mereka. 32 M. Nur El Ibrahimy, TGK. M. Daud Beureueh, Peranannya dalam Pergolakan di Aceh, Jakarta: Gunung Agung, 1982, hlm. 78. 33 Overeenkomsten Met de Zelfbesturen In Het Gouvernement Atjeh En Onderhoorigheden, S.I: Departement van Binnenlandsch Bestuur. 1913. hlm. 1. 34 A.K. Jakobi, op.cit., hlm. 47. 35 Muhammad Said, Aceh Sepanjang Abad jilid 2, Medan: Harian Waspada Medan, 1985, hlm. 141. Universitas Sumatera Utara Sama seperti tempat lain dalam menaklukkan nusantra bukan hanya di Aceh sistem ini dijalankan oleh Belanda namun juga di Jawa, seperti yang diuraikan Denys Lombard. Bahwa Belanda berusaha membina hubungan yang baik dengan mereka (bangsawan), dengan mengangkat mereka menjadi pembantu yang setia, para bangsawan ini akhirnya menjadi pendukung kepentingan Belanda. Sebagai imbalan tertinggi, mereka terpengaruh sampai batas tertentu dan mengikuti gaya hidup/ kebudayaan para penakluk mereka 36. Dari latar belakang yang telah diuraikan di atas adapun permasalahan yang akan diungkapkan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut: 1.2. Rumusan Masalah 1. Bagaimanakah kehidupan sosial uleebalang Samalanga 1873-1946? 2. Bagaimanakah akhir kedudukan uleebalang Samalanga? 1.3. Fokus Penelitian Kajian tentang kehidupan uleebalang masih langka, namun studi tentang Aceh relatif banyak, baik yang dikerjakan oleh sarjana luar negeri maupun sarjana Aceh sendiri. Dengan banyaknya studi tentang Aceh tentunya menambah khasanah kekayaan intelektual untuk menerangkan uleebalang, maka dalam konteks ini penulis akan memfokuskan secara khusus pada penelitian kehidupan sosial uleebalang di nanggroe Samalanga 1873-1946. Tahun 1873 dipilih sebagai skope temporal sebagai awal berkuasanya Belanda di Aceh, yang secara politik dan kultural menyebabkan pergeseran sistem 36 Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya: Batas-Batas PemBaratan, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996, hlm. 103. Universitas Sumatera Utara kehidupan uleebalang. Sementara tahun 1946 merupakan tahun berakhirnya kekuasaan uleebalang di Aceh. 1.4. Tujuan Penelitian 1. Menganalisis kehidupan sosial uleebalang Samalanga 1873-1946 2. Menganalisis akhir kedudukan uleebalang Samalanga 1.5. Manfaat Penelitian Mengingat studi mengenai kehidupan sosial uleebalang Samalanga sama sekali belum ada yang meneliti. Tulisan ini diharapkan bisa menjadi koleksi bagi para pembaca untuk memperkaya khasanah sumber penelitian mengenai kehidupan sosial uleebalang di Aceh. Hasil kajian ini diharapkan juga bisa menjadi acuan bagi peneliti selanjutnya mengenai kehidupan sosial uleebalang Aceh. 1.6. Kajian Sebelumnya Kajian terhadap uleebalang telah banyak dilakukan. Tapi, masih sedikit mengupas secara mendalam kehidupan uleebalang, mulai dari kehidupan keseharian, gaya hidup, pendidikan yang ditempuh dan lain-lain. Dalam kajian tersebut hanya difokuskan pada uleebalang sebagai pemimpin adat ataupun konflik antara uleebalang dan ulama. Dari beberapa studi mengenai uleebalang, karya yang terkait dengan tema ini adalah karya Gazali, Interelasi Umara dan Ulama Dalam Menata Kehidupan Sosio Keagamaan Di Aceh Darussalam Era Sultan Iskandar Muda 1607-1636, (Tesis belum terbit, 2015). Studi ini membahas dua golongan pemimpin Universitas Sumatera Utara tradisional di Aceh. Yaitu, ulama dan uleebalang. Ulama merupakan pemimpin dibidang kerohanian masyarakat Aceh. Banyak ulama Aceh mendirikan dan sekaligus sebagai pengajar di lembaga pendidikan yang disebut dengan dayah atau pesantern di Jawa. Ulama memiliki peran penting dalam perkembangan masyarakat Aceh. Bahkan, di istanana pun ulama berperan sebagai penasihat sultan dalam urusan agama. Uleebalang memiliki peran dalam hal urusan duniawi. Seperti dalam urusan perang maka tugas uleebalang lah yang menyediakan pasukan perang. Dalam segala tindakannya uleebalang haruslah menurut keinginan sultan. Kerjasama antara uleebalang dan ulama terlihat dari struktur pemimpin di Aceh. Uleebalang sebagai pemimpin sebuah nanggroe dan ulama selaku imeum mukim. Kedudukan ulama berada dibawah uleebalang. Uraian ulama dan uleebalang diatas terbatas hanya pada zaman pemerintahan Iskandar Muda. Atau zaman sebelum masuk pengaruh Belanda ke Aceh. Namun, walau demikian studi ini dapat dijadikan rujukan dalam memahami kedudukan uleebalang pada awal berdirinya. Studi mengenai uleebalang pada zaman setelah kedatangan Belanda pernah diteliti oleh Muhammad Gade Ismail, Seuneubok Lada, Uleebalang dan Kumpeni, Perkembangan Sosial Ekonomi di Daerah Batas Aceh Timur 18401942, (disertasi belum terbit, 1991). Karya ini mengenai perkebunan lada di Aceh Timur. Dan perkebunan juga merupakan awal dari terbentuknya nanggroe di Universitas Sumatera Utara Aceh Timur oleh seorang yang awalnya juga berasal dari masyarakat yang kedudukannya sama dengan masyarakat yang lainnya. Namun lambat laun kedudukannya berubah menjadi uleebalang di daerah yang tadinya dibuka menjadi perkebunan telah memenuhi syarat untuk dijadikan sebagai sebuah nanggroe. Tulisan ini juga mengkaji sistem perekonomian uleebalang. Juga banyak membahas tentang konflik antar uleebalang yang memperebutkan daerah kekuasaan, karena tidak ada tapal batas wilayah yang jelas antara satu nanggroe dengan nanggroe yang lainnya. Penetrasi kekuatan Hindia-Belanda terhadap Aceh Timur, menyebabkan Belanda menguasai nanggroe-nanggroe di Aceh Timur secara politik dan ekonomi. Cara yang digunakan Belanda menguasai nanggroe-nanggroe di luar Aceh Besar termasuk juga Aceh Timur dilakukan dengan berbagai cara yaitu, yang pertama dengan jalan diplomasi, blokade pantai dan menggunakan kekuatan militer. Dalam hal ini Van Switen menggunakan cara penaklukkan dengan mengadakan perjanjian tertulis dengan uleebalang Aceh Timur. Namun tidak semua uleebalang menerima dengan sukarela semua perjanjian tersebut. Uleebalang yang menerima kerjasama dengan Belanda memiliki tujuan tertentu. Yaitu, demi politik ekonomi mereka. Jika mereka tidak mau bekerja sama dengan Belanda secara tertulis, maka pantai di daerah kekuasaan mereka akan di jaga ketat oleh Belanda, sehingga mereka tidak bisa mengekspor hasil bumi mereka seperti lada. Hal-hal seperti inilah yang merupakan awal dari perubahan sosial yang terjadi pada kalangan uleebalang. Universitas Sumatera Utara Terkait dengan karya yang kedua, kajian lain adalah karya Munawiah, Birokrasi Kolonial Di Aceh 1903-1942, (Banda Aceh: Ar-Raniry Press, 2007). Studi ini bertutur tentang uleebalang sebagai kepala nanggroe setelah jatuhnya kerajaan Aceh. Setelah kerajaan Aceh jatuh maka uleebalang mempunyai otoritas yang semakin mengakar dan semakin kuat terhadap daerah kekuasaannya. Karena sesungguhnya daerah yang mereka kuasai itu sebelum ditaklukkan atau dilebur ke dalam kerajaan Aceh merupakan daerah kekuasaan mereka secara sah. Uleebalang tidak bekerja sendiri. Mereka bersekutu dengan pemerintah Hindia Belanda dalam menjalankan kekuasaannya. Persekutuan ini yang membuat uleebalang semakin dianggap oleh rakyat sebagai antek-antek Belanda, karena setelah Belanda mulai menguasai pantai-pantai di luar Aceh Besar, Belanda tidak serta-merta menghancurkan kepemimpinan tradisional yang telah ada, karena uleebalang merupakan kaki tangan Belanda dalam menjalankan roda pemerintahannya di Aceh. Tujuan utama Belanda memasukkan kalangan uleebalang ke dalam struktur pemerintahan kolonial melalui pendidikan. Selain karena program politik etis, juga untuk tujuan agar muncul kalangan elite baru yang menganut sistem nilai Belanda. Artinya mereka akan terpengaruh oleh kehidupan dan kebiasaankebiasaan yang dijalankan Belanda, dalam berbagai hal yang mereka anggap sebagai sesuatu yang modern dan merupakan sebuah kemajuan. Melalui uleebalang juga sedikit demi sedikit memberikan penjelasan kepada masyarakat yang notabennya masih berpikiran tradisional, bahwa Universitas Sumatera Utara pendidikan yang mereka berikan tidak bertentangan dengan hukum atau syari’at Islam. Kajian seperti ini sangat dibutuhkan penulis dalam mengurai perubahan atau pengaruh Barat yang terjadi di nanggroe Samalanga. Studi berikutnya, yaitu yang membahas tentang uleebalang di nanggroe Samalanga yang terdapat dalam buku karya Sudirman. Bireuen Kota Juang 19451949 (Banda Aceh: Balai Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Aceh, 2010). Studi ini menggambarkan keadaan Bireuen yang termasuk ke dalam Afdeeiling Nordkust Van Atjeh masa pemerintahan Belanda dan juga Jepang. Pada masa pemerintahan Jepang juga masih mengikuti pola pemerintahan masa kekuasaan Belanda. Yaitu dengan menggunakan golongan uleebalang, perbedaan hanya saja terletak pada unit pemerintahan yang dalam penyebutannya menggunakan bahasa Jepang. Pada masa Belanda disebut dengan afdeeling Jepang menggantinya dengan sebutan bunshu, onderafdeeling diganti dengan sebutan gun. Tulisan ini juga mengkaji nanggroe-nanggroe yang berada di Onderafdeeling Bireuen, yaitu nanggroe Peusangan, Jeumpa dan nanggroe Samalanga. Namun kajian ini diungkap secara umum saja dan juga tidak membicarakan kehidupan para pemempin nanggroe-nanggroe tersebut. Konsentrasi tulisan ini lebih terpusat pada masa perang kemerdekaan. Uleebalang Samalanga yang berperan penting dalam perang kemerdekaan di Aceh Timur adalah Teuku Hamid Azwar dan T. M. Samalanga, sama halnya seperti dalam buku-buku acuan lain. Kajian mengenai uleebalang hanya sebatas pemimpin Universitas Sumatera Utara perang dan kepala suatu nanggroe saja tanpa mengupas kehidupan sosial uleebalang. Selain itu kajian yang lain yang mengulas mengenai nanggroe Samalanga adalah karya Pocut Haslinda, Tun Sei Lanang dan Terungkapnya Akar Sejarah Melayu Setelah Empat Abad. Penulis adalah keturunan ke-8 dari uleebalang pertama di Samalanga. Beliau banyak mengupas tentang uleebalang Samalanga. Namun, sangat disayangkan walaupun beliau berada dalam ranah kaum yang berkuasa tersebut, beliau tidak sedikitpun menulis tentang kehidupan sosial kelompoknya, dan hanya menulis dalam konteks uleebalang sebagai pemimpin perang di nanggroe Samalanga. Tulisan ini juga memberitakan uleebalang pertama yang berkuasa di Samalanga yang berasal dari tanah melayu bernama Tun Sri Lanang. Tanah Melayu ini sebagai daerah taklukan kerajaan Aceh masa pemerintahan sultan Iskandar Muda. Politik yang dijalankan Iskandar Muda yang menyebabkan banyak orang-orang melayu dipindahkan ke Aceh, istri dari Iskandar Muda juga berasal dari tanah melayu, yaitu dari daerah Pahang. Yang di Aceh dikenal dengan nama Putroe Phang. Inilah sebagai asal-usul uleebalang Samalanga yang berkebangsaan Melayu. Selain karya-karya di atas karya lain yang juga mengupas tentang uleebalang yang bisa dijadikan acuan dalam kajian ini yaitu, karya Ibrahim Alfian, Perang di Jalan Allah 1873-1912, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan 1987). Karya tersebut menjelaskan keberadaan uleebalang di tengah-tengah masyarakat Universitas Sumatera Utara Aceh. Secara umum juga mengupas partisipasi uleebalang dalam menghadapi perang dengan Belanda. Misalnya menjadi pemimpin dalam mengadakan perlawanan terhadap Belanda. Buku ini juga menguraikan sistem pemerintahan tradisional di Aceh mulai dari bentuk gampong hingga nanggroe. Khusus di Aceh Besar ditambah dengan adanya bentuk atau unit pemerintahan yang dinamakan Sago. Masing-masing dari semua unit pemerintahan tersebut memiliki pemimpinnya dan urutan terbesar dan yang paling berkuasa adalah Sultan yang membawahi uleebalang, namun uleebalang mempunyai otoritas yang sangat besar dalam wilayah pemerintahan yang disebut nanggroe. Dalam karya ini juga banyak dikisahkan kedudukan uleebalang sebagai panglima perang. Namun, setelah dalam/kraton/istana dikuasai oleh Belanda. Maka timbul keberagaman sikap dan perbuatan dari nanggroe-nanggroe yang dipimpin oleh uleebalang. Di samping uleebalang yang turut melawan Belanda terdapat juga uleebalang yang mengangkat bendera Belanda dengan masksud supaya dalam menjalankan ekspor-impor tidak mendapat gangguan. Demikianlah gambaran dalam buku tersebut dengan tidak sedikitpun mengkaji gaya hidup uleebalang. Terakhir studi yang terkait dengan tema ini adalah karya K.F.H Van Langen, Susunan Pemerintahan Aceh Semasa Kesultanan (Banda Aceh: Pusat Dokumentasi dan Informasi Aceh, 2002). Karya ini menjelaskan secara rinci sistem pemerintahan dan lebih tertuju kepada sistem di daerah Aceh Besar sebagai Universitas Sumatera Utara pusat pemerintahan kerajaan Aceh. Sistem pemerintahan masa kesultanan Aceh relatif hirarkis dengan kekuasaan terbesar berada di tangan sultan. Dimana Aceh besar dibagi kepada tiga sagi/sagoe 37 yang dipimpin oleh panglima sagoe. Mengenai pengangkatan dan pergantian uleebalang juga dijelaskan disini. Sedikit banyaknya semua yang berlaku di Aceh Besar juga berlaku di seluruh daerah Aceh dan bisa dijadikan penulis sebagai dasar untuk meneliti uleebalang di nanggroe Samalanga, selain menguraikan uleebalang Langen juga menguraikan pemimpin yang lain yaitu pemimpin keagamaan atau disebut dengan ulama. 1.7. Landasan Teoritis dan Pendekatan Penelitian ini selain memakai ilmu sejarah juga memakai pendekatan antropologi dan juga sosiologi. Pendekatan antropologi diperlukan karena pendekatan ini dapat menyingkap nilai-nilai yang mendasari prilaku tokoh sejarah, status dan gaya hidup, sistem kepercayaan yang mendasari pola hidup dan lain sebagainya 38. Ditinjau secara sosiologis, kehidupan sosial berlangsung dalam suatu wadah yang disebut masyarakat 39. Pandangan ini selain menunjuk pada suatu satuan masyarakat yang besar, misalnya masyarakat desa, masyarakat kota atau 37 Sagi/sagoe merupakan federasi dari beberapa mukim dan sebutan ini khusus hanya untuk daerah Aceh Besar 38 Sartono Kartodirdjo, Pendekatan Ilmu Sosial Dalam Metodologi Sejarah, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1993, hlm. 4. 39 J. Dwi Narwoko dan Bagong Suyanto, Sosiologi: Teks Pengantar dan Terapan, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2010. Hlm. 124. Universitas Sumatera Utara masyarakat Indonesia. Dan di sisi lain, juga bisa menunjuk pada satuan masyarakat yang kecil, misalnya keluarga, sekolah, organisasi dan lain-lain. Menurut Talcott Parsons, kehidupan sosial itu harus dipandang sebagai sebuah sistem sosial 40. Artinya, kehidupan tersebut harus dilihat sebagai suatu keseluruhan atau totalitas dari bagian-bagian atau unsur-unsur yang saling berhubungan satu sama lain, saling tergantung dan berada dalam suatu kesatuan. Dan kemudian akan tumbuh hubungan timbal balik antar individu dan antar kelompok atau sebaliknya 41. Kehidupan sosial juga diartikan sebagai suatu sistem. Maka, kehidupan tersebut diibaratkan sebagai suatu lingkaran yang mencakup pada tiga bidang. Yaitu: bidang politik, ekonomi dan sosial. Di dalam bidang sosial tersebut, termasuk bidang pendidikan, kesehatan dan lain-lain yang tidak dapat dimasukkan kedalam bidang politik dan ekonomi 42. Kehidupan sosial juga didefenisikan sebagai interaksi sosial. Interaksi sosial hanya akan terjadi apabila terdapat kontak sosial dan komunikasi 43. Proses interaksi sosial akan menimbulkan kelompokkelompok sosial, kebudayaan, lembaga-lembaga sosial, stratifikasi sosial, kekuasaan dan wewenang 44. 40 Ibid., 124 Soerjono Soekanto, Beberapa Teori Sosiologi Tentang Struktur Masyarakat, Jakarta: Raja Grafindo Persada 1993, hlm. 45. 42 Ibid., hlm. 46. 43 Zainul Pelly, Sosiologi, Medan: Fakultas Hukun Universitas Sumatera Utara: 1985, hlm. 77. 44 Soerjono Soekanto, op.cit., hlm. 46. 41 Universitas Sumatera Utara Masyarakat sebagai wadah dari sistem kehidupan sosial bersifat dinamis. Artinya unsur-unsur dalam kehidupan sering berubah-ubah. More (1967), dalam (J. Dwi Narwoko) berpendapat, perubahan sosial sebagai suatu perubahan penting dalam struktur sosial, pola-pola perilaku dan sistem interaksi sosial, termasuk didalamnya perubahan norma, nilai dan fenomena kultural 45. (Herbert spencer, Agust Comte dan emile durkhem) berpendapat bahwa, pada dasarnya setiap masyarakat, walau secara lambat laun pasti akan bergerak, berkembang dan akhirnya berubah dari struktur sosial yang sederhana menuju ke yang lebih kompleks maju dan modern 46. Penyebab terjadinya perubahan sosial antara lainmekanisme konflik, adanya elite kreatif, kekuatan internal/eksternal dan lainlain. Kehidupan sosial yang tergambar pada masyarakat Samalanga, merupakan sistem sosial yang saling berkaitan antara politik sosial dan ekonomi. Hubungan timbal balik tersebut terjalin antar berbagai kelompok, individu dan juga golongan penguasa. Agar dapat memenuhi kebutuhan hidup, maka antar kelompok saling ketergantungan. Kelompok masyarakat yang memiliki mata pencarian sebagai nelayan memiliki hubungan ekonomi dengan masyarakat yang berladang. Nelayan yang menghasilkan ikan akan menjual hasil tangkapannya kepada masyarakat yang membutuhkan ikan. Begitu juga sebaliknya, beras yang merupakan hasil ladang akan dijual kepada nelayan. Hubungan timbal balik antar sesama masyarakat juga terbangun dalam bidang lain. Seperti, gotong royong 45 46 J. Dwi Narwoko, op.cit., hlm. 362. Ibid., hlm. 397. Universitas Sumatera Utara mengerjakan/menggarap ladang, gotong royong membangun tempat tinggal (rumah), juga dalam upacara adat (kenduri) dan lain sebagainya. Hubungan sosial seperti ini diatur dalam hukum dan adat Aceh 47. Hubungan timbal balik juga terjadi antara masyarakat dan penguasa, yaitu uleebalang. Uleebalang merupakan elit tradisional Aceh yang memimpin secara turun temurun. Lester G. Seligman dalam buku Elite dan Modernisasi mengatakan bahwa di dalam sistem yang sangat tradisional seperti Yaman dan Arab Saudi faktor-faktor yang sedemikian ascriptif seperti hubungan kekeluargaan dan tata urutannya menjadi syarat untuk memerintah dan melegitimasi seleksi suatu peranan 48. Hal ini terbukti pada sistem pada pemerintahan uleebalang secara turun-menurun. Jika seorang uleebalang meninggal dunia, maka kedudukannya digantikan oleh anak sulungnya (laki-laki). Begitu juga seterusnya hingga anak cucu. Sejalan dengan hal di atas pada masyarakat tradisional terdapat hubungan patron-client yang menempatkan seorang pemimpin sebagai patron dan client. Hubungan patron-client bersifat tradisional dan biasanya bersifat konservatif dan loyal 49. Dalam studi ini uleebalang dianggap sebagai patron dan rakyat sebagai client. Rakyat menambatkan loyalitasnya kepada uleebalang dan acap kali masyarakat Aceh bergotong-royong mengerjakan pekerjaan pribadi uleebalang (di 47 Muhammad Husen, Adat Aceh, Banda Aceh: Dinas Pendidikan Dan Kebudayaan Propinsi Daerah Istimewa Aceh, 1970. hlm. 116. 48 Lester G. Seligman, Elit dan Modernisasi, Yogyakarta: Liberty Yogyakarta, 1989, hlm. 20. 49 Leo Agung S, Sejarah Intelektual, Yogyakarta: Ombak, 2013, hlm. 14. Universitas Sumatera Utara luar tugasnya sebagai pemimpin adat). Seperti mengerjakan/membajak sawah pribadi milik uleebalang 50 dan membuat pagar rumah uleebalang. Sebagai client rakyat tidak bisa menolak semua perintah uleebalang. Karena mereka menganggap bahwa uleebalang adalah pemimpinnya dan harus memenuhi segala keinginannya. Di dalam tradisi Jawa klasik dikenal dengan hubungan kawula-gusti yang merupakan suatu ikatan antara perintah dan kepatuhan tanpa syarat 51. Hubungan patron-client juga tergambar pada loyalitas masyarakat Jawa terhadap raja bagaikan anak panah dan si pemanah 52. Yang si pemanah bebas memanahkan anak panah kearah yang dikehendakinya. Hubungan sosial lainnya juga terbangun antara masyarakat dan uleebalang. Seseorang yang bisa mendapatkan kedudukan sebagai uleebalang juga tidak terlepas dari dukungan rakyatnya. Uleebalang yang dianggap sukses dan berhasil adalah uleebalang yang memiliki banyak pengikut. Uleebalang juga memerlukan rakyatnya untuk membantunya menyelesaikan tugasnya sebagai pemimpin, uleebalang akan menunjuk beberapa orang sebagai perwakilannya pada tingkat gampong dan mukim. Hubungan sosial lainnya yang erat antara uleebalang dan rakyat adalah pada sistem ekonomi. Masyarakat Samalanga yang menggantungkan hidupnya pada sawah-sawah yang terdapat di Samalanga, memiliki kewajiban untuk 50 Antony Reid, 2012, op.cit., hlm. 23. Heater Sutherland, Terbentuknya Sebuah Elite Birokrasi, Jakarta: Sinar Harapan, 1983, hlm. 76. 52 Soemarsaid Moertono, Negara dan Usaha Bina-Negara di Jawa Masa Lampau, Studi Tentang Mataram II, Abad XVI Sampai XIX, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1985, hlm. 110. 51 Universitas Sumatera Utara memberikan pajak sawahnya kepada uleebalang, jika tidak maka mereka tidak diberikan izin untuk menggarap dan mengerjakan sawah. Dan disisi lain, uleebalang juga bergantung kepada pajak yang diberikan oleh rakyatnya. Karena banyak orang yang menggantungkan hidupnya pada uleebalang. seperti jandajanda, fakir-miskin, yatim-piatu dan juga para musafir yang tinggal (menumpang) di kediaman uleebalang. Selain sebagai pemimpin tradisional yang memiliki hak keistimewaannya sebagai pemangku adat, uleebalang juga sebagai seorang pengusaha di nanggroenya masing-masing. Segala sektor perekonomian dikuasai oleh uleebalang, seperti ekpor-impor barang, penjualan hasil bumi (lada dan pinang) dan berbagai kegitan lainnya yang mendatangkan hasil bagi uleebalang. Dan dapat disimpulkan bahwa golongan uleebalang adalah golongan yang memiliki tingkat ekonomi yang paling tinggi pada masing-masing nanggroe-nya. Uleebalang yang memiliki tingkat ekonomi yang lebih tinggi dari pada masyarakatnya membuat mereka memiliki kehidupan yang lebih mewah dari pada masyarakatnya. Sebagai golongan penguasa, mereka juga mudah mengakses halhal yang dianggap baru dan dengan mudah mereka bisa mengaplikasikan hal baru tersebut ke dalam kehidupannya. Pendidikan misalnya, golongan uleebalang memberikan pendidikan yang lebih modern kepada putra-putrinya. Yaitu sekolah modern yang didirikan oleh pemerintahan Hindia-Belanda. Jalur pendidikan modern yang menyebabkan banyak terjadi pergeseran sistem kehidupan sosial pada golongan uleebalang. Perubahan juga terjadi dalam Universitas Sumatera Utara bidang politik dan ekonomi. Setelah Belanda berkuasa di Samalanga, Belanda mulai merubah sistem pemerintahannya dan mengikut sertakan uleebalang sebagai bagian dari pemerintahan Hindia-Belanda. Dalam sistem pemerintahan yang baru, uleebalang tidak memiliki kewajiban yang penuh lagi terhadadap Sultan Aceh. Sistem ekonomi dibenahi oleh pemerintah Hindia-Belanda. Mereka mendirikan kas-kas keuangan pada beberapa onderafdeling, dan mewajibkan kepada setiap uleebalang untuk bekerja sama mengelola hasil bumi dari nanggroe-nya. Uleebalang akan diberika gaji oleh pemerintah Hindia Belanda setiap bulan. Sarana dan prasarana yang menunjang tujuan pemerintah HindiaBelanda juga mulai di bagun di Aceh dan juga di Samalanga. Perubahan bukan hanya terjadi pada bidang politik dan ekonomi saja. Namun, terjadi juga pada kehidupan pribadi atau tatanan hidup uleebalang. misalnya, uleebalang Samalanga memiliki rumah yang berbentuk seperti rumah orang-orang Belanda. bukan seperti rumah panggung atau rumah adat Aceh. perabotan-perabotan di dalam rumah uleebalang Samalanga juga menyerupai perabotan orang-orang Belanda, yang terdiri dari lampu hias, bangku, meja dan lain sebagainya. Uleebalang juga telah mengenal alas kaki, berupa sepatu. Jika dibandingkan dengan masyarakat pada masa itu tidak menggunakan alas kaki sama sekali. Uleebalang Samalanga juga memiliki transportasi berupa sepede motor dan mobil. Bahkan ketika putera-puteri mereka masih kecil, mereka Universitas Sumatera Utara menaiki sepeda untuk sekedar bermain-main dengan anak-anak lain yang seusianya. Pada dasarnya perubahan sosial yang terjadi pada kalangan uleebalang berpengaruh positif bagi perkembangan masyarakat Aceh secara umum. Namun, di sisi lain masyarakat menganggap bahwa budaya yang baru dan modern itu akan menghilangkan adat istiadat dan budaya bangsa Aceh. Dengan demikian penjelasan teoritikal di atas dapat digunakan menganalisa kehidupan sosial uleebalang di Samalanga. 1.8. Metodelogi Penelitian Metode penelitian yang digunakan untuk menyelesaikan tulisan ini yaitu menggunakan metode sejarah. Terdiri dari heuristik, kritik atau verifikasi, interpretasi atau penafsiran dan historiografi 53. Heuristik yaitu tahap sebagai pengumpulan data yang dikumpulkan oleh penulis dari berbagai tempat. Sumber data penelitian terbagi kepada dua yaitu sumber primer dan sumber sekunder 54. Sumber-sumber primer diperoleh oleh peneliti dari Arsip Nasional Republik Indonesia. Dari penelusuran sumber arsip dan dokumen, penelitian ini menempatkan tulisan berikut sebagai sumber primer. Antara lain: Memori van Overgave (MvO) dari Jongejans: Land en Volk van Atjeh Vroeger en Nu. MvO tersebut menjelaskan keadaan Aceh secara umum. Misalnya pendidikan, perkebunan, sistem keagamaan dan juga pemerintahan tradisional yang dikuasai 53 Sugeng Priyadi, Sejarah Lokal, Konsep Metode dan Tantangannya, Yogyakarta: Ombak, 2012, hlm. 67. 54 Etta Mamang Mangadji, Metodologi Penelitian, Pendekatan Praktis dalam Penelitian, Yogyakarta: Andi, 2010, hlm. 44. Universitas Sumatera Utara oleh uleebalang.Tulisan di atas menarasikan keadaan seluruh Aceh, dan juga termasuk Samalanga. Sehingga tulisan ini dapat dijadikan rujukan dalam menulis mengenai kehidupan sosial uleebalang Samalanga. De Expeditie Naar Samalanga, tulisan tersebut memberikan informasi mengenai penaklukan Samalanga. Kemudian menggambarka peranan uleebalang sebagai pemimpin dan juga sebagai komando pasukan perang. Uleebalang Samalanga mampu mengatur pasukan perang Samalanga tidak terlepas dari kerjasama uleebalang dengan ulama Samalanga. Keduanya mampu bekerjasama melawan kolonial Belanda. Algemeene Secretarie Grote Bundel No. 2431 dan No.8850 memberikan informasi mengenai kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh uleebalang Samalanga. Atjeh Zaken No. 01168, 01242 dan 01942 juga menginformasikan mengenai keadaan uleebalang Samalanga. Overeenkomsten Met De Zelfbesturen In Het Gouvernement Atjeh En Onderhoorigheden. Tulisan ini merupakan penjelasan tentang kerajaan-kerajaan kecil atau Nanggroe di Aceh yang mengadakan perjanjian dengan pihak Belanda. Sumber lain karya Kruisheer A. Atjeh 1896. Tulisan ini berisikan mengenai mukim-mukim dan nanggroe-nanggroe yang ada di Aceh, mulai dari cakupan wilayahnya dan juga bagi nanggroe-nanggroe yang terjadi peperangan dengan Belanda dan juga jumlah pasukan yang berperang juga terdapat dalam tulisan ini. Nanggroe Samalanga termasuk dalam nanggroe yang terjadi peperangan tersebut. Universitas Sumatera Utara Julius Jacob, Het Familie En Kampongleven Op GrootAtjeh: Eene Bijdrage Tot De Ethnografie Vaan Noord Sumatra. Tulisan ini menguraikan tentang keluarga dan kehidupan di kampung atau desa. Dan cukup lengkap mengupas tentang kebiasaan atau adat orang Aceh dan juga karakter orang Aceh, yang dianggap bisa memberikan membantu sedikit jawaban terhadap isu penelitian penulis. J. J. W. E. Verstege, De Samalangan-Schilderij Te Amsterdam: Beschouwd In Hare Wordingsgeschhiedenis, Hare Warden En Betekenis, Vooral Voor Het Nederlandsch-Indische Leger. Doup. A. Generaal J.B Van Heutsz In 1900-1901, Peusangan, Samalanga, Bateeilek. Atjeh: Verzameling Van Bulletins Loopende Van 13 April 1873 Tot 27 Februari 1880. Ketiga sumber ini berisi tentang peranan uleebalang dalam peristiwa penaklukan yang dilakukan oleh pihak Belanda terhadap benteng-benteng yang berada di sekitar kenegerian Samalanga. Mededeelingen Betreffende De Atjehsche Onderhoorigheden, tulisan ini banyak menginformasikan tentang silsilah keluarga uleebalang yang memimpin di Samalanga. Perselisihan antara keluarga uleebalang, dimana di antara kerabat dekat uleebalang Samalanga saling memperebutkan kepemimpinan mukim yang berada di bawah kekuasaan nanggroe Samalanga, bahkan untuk mendapatkan mukim yang diinginkan, jalan kerjasama dengan Belanda pun terpaksa ditempuh. Selain sumber-sumber primer, penulis juga memerlukan sumber sekunder, sebagai landasan atau tambahan sumber untuk tulisan ini. Sumber-sumber Universitas Sumatera Utara sekunder dikumpulkan oleh penulis dengan mengunjungi beberapa perpustakaan seperti: Perpustakaan Tengku Luckman Sinar, Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, Perpustakaan Kota Medan, Perpustakaan Ali-Hasjmy, Badan Pelestarian Sejarah dan Nilai Tradisional Aceh, Pusat dokumentasi Dan Informasi Aceh. Sumber yang diperoleh berupa buku, koran, jurnal dan lain sebagainya. Buku-buku yang penulis temukan dari beberapa tempat diatas antara lain: karya Van ‘T Veer, Paul. Perang Aceh Kisah Kegagalan Snouck Hurgronye, Jakarta: Grafiti. Gade Ismail, Muhammad. Seuneubok Lada, Uleebalang dan Kumpeni, Perkembangan Sosial Ekonomi di Daerah Batas Aceh Timur 18401942. A. K. Jakobi. Aceh Dalam Perang Mempertahankan Proklamasi Kemerdekaan 1945-1949 Dan Peranan Teuku Hamid Azwsar Sebagai Pejuang, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama dan buku-buku lainnya yang memberikan informasi mengenai uleebalang. Selain buku tersebut, masih banyak lagi bukubuku lainnya yang bisa membantu penulis menyempurnakan penelitian ini. Di samping sumber primer dan sekunder, penelitian ini juga melakukan studi lapangan dengan tekhnik wawancara. Wawancara merupakan tekhnik pengumpulan data dengan menggunakan pertanyaan secara lisan kepada subyek penelitian 55. Wawancara dilakukan kepada tiga orang keturunan uleebalang Samalanga. Informasi yang didapatkan dari wawancara ini antara lain: uleebalang memiliki rumah khas Aceh dan juga rumah yang berbentuk sama dengan rumah milik orang-orang Belanda. silsilah keluarga uleebalang juga penulis dapatkan dari wawancara. 55 Ibid., hlm. 171. Universitas Sumatera Utara Setelah data dan sumber telah terkumpul, maka tahap selanjutnya adalah melakukan kritik terhadap kumpulan sumber tersebut. Kritik terbagi ke dalam dua bagian, yaitu kritik interen dan kritik eksteren. Kritik eksteren merupakan aktivitas untuk menganalisis sumber yang berkenaan dengan judul dan mempertanyakan keotentikan sumber 56. Sejauh analisa yang dilakukan oleh penulis terhadap sumber-sumber yang telah diperoleh, penulis menyimpulkan bahwa sumber tersebut cukup kuat untuk dijadikan sumber penulisan. Selanjutnya, kritik interen yaitu mencermati sumber dengan membandingkan dengan sumber atau dengan data yang lain dan selanjutnya mempertanyakan kredibilitas sumber 57. tahap selanjutnya yaitu Historiografi. Merupakan penulisan sejarah dari sumber-sumber yang telah dikumpulkan. Penulisan dilakukan secara sistematis, sesuai dengan teori-teori penulisan ilmiah. Keseluruhan tulisan ini akan dirangkai kedalam beberapa bagian sebagai berikut: 1.9. Sistematika Penulisan Hasil penelitian ini disusun ke dalam enam (6) bab. Bab 1 merupakan pendahuluan, latar belakang masalah, rumusan masalah, fokus penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, kajian sebelumnya, landasan teoritis dan pendekatan dan metodelogi penelitian. Bab II akan menjelaskan mengenai kondisi Samalanga pada masa kerajaan, baik itu mengenai geografi dan demografi. Sistem pemerintahan juga dibahas dalam bab ini. Mengingat Samalanga adalah salah satu daerah yang telah 56 57 Sugeng Priyadi, op.cit., hlm. 68. Ibid., hlm. 69. Universitas Sumatera Utara dijadikan sebagai bagian dari kerajaan Aceh, Samalanga sebuah nanggroe yang dipimpin oleh seorang uleebalang, maka sosial ekonomi dan juga simbol-simbol yang melekat pada uleebalang juga perlu kiranya dibahas. Bab III akan mengkaji tentang awal Belanda memasuki daerah Samalanga, Belanda menggunkan cara blokade pantai dan juga dengan cara peperangan. Hingga akhirnya uleebalang menyerah dengan menandatangani perjanjian mengakui kedaulatan Belanda, kemudian Belanda mulai merubah sistem pemerintahan di Aceh dan juga membangun sarana prasarana, yang akhirnya akan mempengaruhi kehidupan uleebalang. Bab IV akan mengkaji kehidupan uleebalang Samalanga dan juga keturunannya. Mulai dari pendidikan yang diberikan uleebalang kepada puteraputerinya, dan juga bagaimanakah rumah tinggal uleebalang, setelah Belanda masuk, dan segala kebiasan-kebiasaa uleebalang setiap harinya, karena sesungguhnya uleebalanglah yang ikut dalam arus modernisasi yang dibawa oleh Belanda. Bab V akan mengkaji mengenai akhir dari kepemimpinan uleebalang di Aceh. Dimulai dari hubungan antara uleebalang dan ulama yang berselisih, dan karena uleebalang sudah memimpin secara tidak adil dan menyakiti hati rakyatnya, hingga akhirnya kekuasaannya pun diturunkan hingga pengurusan harta milik uleebalang. Universitas Sumatera Utara Bab VI merupakan bagian terakhir yang akan menyimpulkan hasil penelitian tesis dan akan menjawab semua permasalahan pada rumusan masalah yang telah dipaparkan pada awal tulisan ini. Universitas Sumatera Utara