Jurnal Analis Medika Bio Sains (JAMBS) Susunan Redaksi Pelindung H. Awan Dramawan, S.Pd, M.Kes (Direktur Poltekkes Kemenkes Mataram) Penanggung Jawab Drs. Urip, M.Kes (Ketua Jurusan Analis Kesehatan Mataram) Ketua Redaksi Pancawati Ariami, S.Si, M.Ked Trop. Sekretaris Redaksi Zaenal Fikri,SKM,M.Sc Dewan Redaksi Iswari Pauzi, SKM, M.Sc Erlin Yustin Tatontos,SKM,M.Kes Maruni Wiwin Diarti, S.Si. M.Kes Mitra Bestari (Peer Group) Prof. Dr. Dwi Soelystya Dyah Djekti, M.Kes dr. Ety Retno Setyowati,DSPK Staff Sekretariat Redaksi I Gusti Putu Wilusantha, S.Si Agus Supriadi Alamat Redaksi Sub Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Jurusan Analis Kesehatan Mataram Jalan. Praburangkasari Dasan Cermen Cakranegara;Mobile: 081915982777 (Zaenal Fikri); Telp. (0370) 622143; Faks: (0370)641937; E-mail: [email protected] Diterbitkan oleh: Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram terbit 2 kali (Maret dan September) Jurnal Analis Medika Bio Sains (JAMBS) Daftar Isi RESISTENSI PRIMER FIRST – LINE ORAL AGENTS ISONIAZID (INH) PADA PENDERITA TB PARU BTA (+) DENGAN TUJUAN gen katG MENGGUNAKAN NESTED PCR Maruni Wiwin Diarti, Pancawati Ariami, Yunan Jiwintarum 1 PENINGKATAN AKTIVITAS KOLINESTERASE DALAM DARAH PETANI YANG TERPAPAR PESTISIDA GOLONGAN ORGANOFOSFAT YANG DI BERI JUS STRAWBERI (Fragaria chiloensis) Haerul Anam, Maruni Wiwin Diarti, Irma Haerani 8 PREVALENSI KANDIDIASIS BERDASARKAN HASIL PEMERIKSAAN SEDIMEN DAN KULTUR URINE WANITA PENDERITA DIABETES MELLITUS DI PUSKESMAS WILAYAH KABUPATEN LOMBOK BARAT I Gusti Ayu Nyoman Danuyanti, Rohmi, Ersandhi Resnhaleksmana 13 PREVALENSI ZOONOTIC HOOKWORM YANG BERPOTENSI MENYEBABKAN CREEPING ERUPTION DI CAKRANEGARA Ersandhi Resnhaleksmana, Pancawati Ariami, I Gusti Ayu Nyoman Danuyanti 19 PENGARUH PENAMBAHAN KULIT MANGGIS PADA MINYAK JELANTAH TERHADAP KADAR BILANGAN PEROKSIDA Iswari Pauzi, Haerul Anam, Ni Made Uci Pramesthy Dewi 24 PENGARUH EKSTRAK METHANOL KULIT BUAH MANGGIS (Garcina mangostana L) TERHADAP PERTUMBUHAN KULTUR Mycobacterium tuberculosis GALUR LOMBOK TIMUR Pancawati Ariami , Rohmi 31 AKTIVITAS BIOLOGICAL RESPONSE MODIFIERS ALAMI FILTRAT BUAH BUNI (Antidesma bunius) TERHADAP JUMLAH LIMFOSIT TERAKTIVASI, SEL MONONUKLEAR DAN POLIMORFONUKLEAR PADA DARAH HEWAN COBA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR YANG DIINFEKSI SALMONELLA TYPHIMURIUM Gunarti, Yunan Jiwintarum, Nurhidayati 39 PENGARUH PENAMBAHAN RAGI TEMPE (Rhizopus sp) PADA PEMBUATAN MINYAK KELAPA TERHADAP MUTU MINYAK Ida Bagus Rai Wiadnya, Urip, Eka Minovriyanti 48 FILTRAT Syzygium polyanthum DAN MONOSIT PADA DARAH TEPI TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR DENGAN HIPERLIPIDEMIA Lina Sundayani, Farida, Maruni Wiwin Diarti 54 STUDY PENDERITA HEPATITIS B (HBsAg) POSITIF (+) PADA HUBUNGAN ANTAR INDIVIDU DALAM KELUARGA Yunan Jiwintarum, I Wayan Getas, Marnia 65 PEDOMAN BAGI PENULIS Jurnal Analis Medika Bio Sains (JAMBS) merupakan jurnal publikasi ilmiah yang diterbitkan oleh Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram menggunakan system peer review untuk seleksi artikel. Terbit dua kali dalam satu tahun (Maret dan September). Jurnal Analis Medika Bio Sains hanya menerima artikel penelitian asli yang relevan dengan bidang analis dan ilmu kesehatan. Format artikel penelitian terdiri atas halaman judul, abstrak (Indonesia dan Inggris), pendahuluan, metode, hasil, pembahasan, dan daftar pustaka. Pedoman bagi penulis sesuai dengan ketentuan sebagai berikut : Petunjuk Umum JAMBS tidak menerima artikel yang sudah dipublikasikan atau sedang diajukan kepada majalah lain, dengan menandatangani surat pernyataan. Bila diketahui artikel telah dimuat pada jurnal lain, maka pada JAMBS edisi selanjutnya artikel akan dianulir. Semua artikel yang masuk akan dibahas oleh dewan redaksi dan mitra bestari yang sesuai dengan bidang keilmuwan. Artikel yang perlu perbaikan dikembalikan kepada penulis. Artikel penelitian yang menggunakan subyek penelitian hewan coba, dan manusia harus memperoleh persetujuan komite etik. Penulis dapat mengirimkan artikel disertai surat pengantar yang ditujukan kepada penanggungjawab redaksi dengan alamat : Redaksi Jurnal Analis Medika Bio Sains (JAMBS) Sub Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Jurusan Analis Kesehatan Mataram. Jalan Praburangkasari Dasan Cermen Cakranegara; Mobile: 081915982777 (ZaenalFikri); Telp. (0370) 622143; Faks: (0270) 641937; E-mail: [email protected] Penulisan artikel Artikel diketik 1 spasi pada kertas A4, dengan jarak tepi kiri dan atas 3 cm serta tepi kanan dan bawah 2 cm. Jumlah halaman 10 – 14 lembar, jenis huruf Times New Roman ukuran 12. Setiap halaman diberi nomor secara berurutan dimulai dari halaman judul sampai halaman terakhir. Artikel dikirim dalam bentuk Softcopy (CD) dengan mencantumkan nama file dan program yang dipergunakan pada label CD serta 3 berkas artikel asli. Halaman Judul Halaman judul berisi judul artikel, nama penulis artikel tanpa disertai gelar akademik atau gelar lain apapun, lembaga afiliasi penulis, nama dan alamat korespondensi, nomor telepon, nomor faksimili, serta alamat e–mail. Judul artikel harus pendek tidak melebihi 20 kata, spesifik, tidak boleh disingkat dan informatif yang ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris menggunakan huruf Title Case. Abstrak dan Kata Kunci Abstrak untuk setiap artikel ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris. Abstrak tidak melebihi 250 kata, dan merupakan intisari seluruh tulisan, meliputi : Latar belakang, tujuan, metode, hasil dan kesimpulan. Kata kunci 3–5 buah kata kunci yang dapat membantu penyusunan indeks dan urutan pengetikan berdasarkan abjad. Pendahuluan Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah serta tujuan penelitian dan harapan untuk waktu yang akan datang. Metode Metode berisi penjelasan tentang bahan– bahan dan alat–alat yang digunakan terutama yang spesifik, waktu, tempat, teknik, rancangan percobaan, dan analisis statistik (bila ada). Hasil Hasil dikemukakan dengan jelas bila perlu dengan ilustrasi (lukisan, grafik, tabel, diagram, dan foto). Hasil yang telah dijelaskan pada tabel atau grafik tidak perlu diuraikan kembali dalam teks. Tabel disusun berurutan yang disampaikan terpisah dalam bentuk lampiran. Setiap tabel harus diberi judul singkat. Tempatkan penjelasan dan singkatan pada keterangan tabel, bukan pada judul tabel. Jumlah tabel maksimal 6 buah. Hasil yang memuat hanya 1 tabel disusun dalam bentuk kalimat atau di deskripsikan. Pembahasan Pembahasan menerangkan arti hasil penelitian, bagaimana hasil penelitian yang dilaporkan dapat memecahkan masalah, perkembangan hasil penelitian untuk aplikatif atau kemajuan program, dan perbedaan atau persamaan dengan penelitian terdahulu (bila ada). Kesimpulan Kesimpulan berisi ringkasan temuan yang mengarah pada pembuktian hipotesis. Saran Saran berupa rekomendasi dari hasil temuan pada stakeholder, pengelola program kesehatan, dan pengambil kebijakan. Ucapan Terima Kasih Bila diperlukan ucapan terima kasih dapat diberikan kepada contributor penelitian tanpa menuliskan gelar. Daftar Pustaka Rujukan ditulis sesuai aturan penulisan Vancouver, diberi nomor urut sesuai dengan pemunculan dalam artikel, bukan menurut abjad. Cantumkan nama penulis maksimal 6 orang, apabila lebih, tulis nama 6 orang pertama, selanjutnya dkk. Jumlah rujukan 10-20 buah dari terbitan 10 tahun terakhir untuk rujukan dari jurnal. Rujukan diupayakan 60% dari jurnal dan 40% dari buku ajar. Rujukan dari artikel yang sudah diterima dan menunggu penerbitan di majalah tertentu harus ditulis “in press”. Contoh : Leishner Al. Molecular mechanism of cocaine addiction.N Engl J Med.In press 2011. Contoh cara menuliskan rujukan : Jurnal Artikel standart Weisenburger DD. Environmental epidemiology of non-Hodgkin’s lymphoma in Eastern Nebraska. Am J Ind Med. 1990;18(3):305‒5. Langan NP, Pelissier BMM. Gender differences among prisoners in drug treatment.J Subst Abuse. 2011;13(3):291‒301. Rujukan lebih dari 6 penulis Polanco FR, Dominquez DC, Grady C, Stoll P, ramos C, Mican JM, dkk. Conducting HIV research in racial and ethic minority communities: building a successful interdisciplinary research team. J Assoc Nurse AIDS Care. 2011;22(5):388‒96. Suatu organisasi sebagai sumber WHO. Rubella vaccines: WHO position paper-recommendations. Vaccines.2011;29(48):8767‒8. Tanpa nama penulis Role of diagnostic imaging in early diagnosis and stage determination of rheumatoid arthritis.Clin Calcium. 2011;21(7):949‒53. Artikel tidak dalam bahasa Inggris Budiman A, Hilmanto D, Garna H. Musim hujan sebagai factor risiko kambuh pada anak penderita sindromnefrotik sensitive steroid. MKB.2011;43(3):112‒6. Volume dengan Suplemen Van Spronsen FJ, Huijbregts SC, Bosch AM, Leuzzi V. Cognitive, neurophysiological, neurological and psychosocial outcomes in early-treated PKU-patients: a start toward standardized outcome measurement across development. MolMetab. 2011;104 (Suppl i):S45‒ 51. Buku dan Monograf lain Penulis Perorangan Gatterman M. Whiplash: a patient centered approach to management. Missouri: Elsevier Mosby;2011 Editor (Penyunting) sebagai penulis Nriagu J, Penyunting. Encyclopedia of environmental health. Michigan: Elsevier BV;2011. Disertasi Suprapto. Penjatuhan pidana mati terhadap pelaku tindak pidana narkotika dan psikotropika di Indonesia dalam perspektif hak asasi manusia berdasarkan UUD 1945 [disertasi]. Bandung: Universitas Padjadjaran;2011 Organisasi sebagai penulis UNAIDS. Update on the HIV epidemic,2011. Global HIV/AIDS response ‒ progress report 2011. Geneva:WHO Library Cataloguing Data;2011 Prosiding konferensi Nicolai T. Homeopathy. Proceedings of the Workshop alternative Medicines;2011 November 30; Brussels. Belgium. Belgium: ENVI;2011. Bab dalam buku Belott PH, Reynolds DW. Permanent pacemaker and implantabel cardioverterdefibrillator implantation. Dalam: Ellenbogen K, wilkoff B, Kay GN, Lau CP, penyunting. Clinical cardiac pacing, defibrillation and resynchronization therapy. Edisi ke-4. Birmingham: Elsevier Inc;2011. Hlm. 443‒515. Materi elektronik Artikel Jurnal dalam format elektronik Lipton B, fosha D. Attachment as a transformative process in AEDP: operationalizing the intersection of attachment theory and affective neuroscience. Journal of psychotherapy Integration [Online Journal] 2011 [diunduh 25 November 2011].Tersediadari: http://www.sciencedirect.com. RESISTENSI PRIMER FIRST – LINE ORAL AGENTS ISONIAZID (INH) PADA PENDERITA TB PARU BTA (+) DENGAN TUJUAN gen katG MENGGUNAKAN NESTED PCR Maruni Wiwin Diarti,1 Pancawati Ariami,1 Yunan Jiwintarum1 1 Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan Abstrak Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari dan mengetahui adanya mutasi gen katG Mycobacterium tuberculosis sebagai sifat resistensi primer first – line oral agents isoniazid (INH) pada penderita TB paru BTA (+). Penelitian ini merupakan penelitian Observasional deskriptif yaitu mendeteksi adanya mutasi gen katG Mycobacteium tuberculosis sebagai sifat resistensi primer first – line oral agents isoniazid (INH) pada penderita TB paru BTA (+). Jumlah sampel 50 sampel sputum yang diperoleh dari 16 puskesmas, dengan teknik acidental sampling. Metode pengumpulan data menggunakan Nested PCR dengan target gen katG Mycobacterium tuberculosis. Hasil dari penelitian ini adalah analisis Nested PCR membuktikan terjadinya mutasi pada daerah komplementer primer yang merupakan target gen katG Mycobacterium tuberculosis sebanyak 11 sampel (22%) yang dinyatakan resisten atau terjadi mutasi dan 39 (78%) dinyatakan sensitif atau tidak terjadi mutasi. Sebelas (11) sampel yang terdeteksi terjadinya mutasi karena nucleotide mismatch. Kata Kunci : Gen katG, Mycobacterium tuberculosis, Resistensi primer. FIRST-LINE ORALAGENTSISONIAZID(INH) PRIMARYRESISTANCE IN PATIENTSOF AFB(ACID FAST BACILLI)PULMONARY TUBERCULOSIS(+)BYUSINGkatG GENE NESTED PCR Abstract The aim of this research are to learn and find out the katG gene mutation of Mycobacterium tuberculosis as the primary resistence properties to the first-line oral agents isoniazid ( INH ) in patients with AFB ( Acid Fast Bacilli ) ( + ) pulmonary tuberculosis. This research applies descriptive observasional mode due to the detection of the presence of katG gene mutation of Mycobacterium tuberculosis as the primary resitance properties to the first-line oral agents isoniazid( INH ) in patients with AFB ( Acid Fast Bacilli ) ( + ) pulmonary tuberculosis. Fifty samples are obtained from 16 community health center by using accidental sampling technique. Nested PCR is the method to analyze the katG gene of Mycobacterium tuberculosis as the target in this research to collect data. The result of this research shows that a mutation presence in the primer complimenter region of katG gene of Mycobacterium tuberculosis as the target are found in 11 samples ( 22% ) wich are expressed as resistance and 39 ( 78% ) are expressed as sensitive or have no mutation. All the eleven mutation detected samples are caused by nucleotide mismatch Keywords: Primary Resistance, katG gene, Mycobacterium tuberculosis. 1 penelitian yang dilakukan di 15 provinsi di Indonesia (1979 – 1981) menunjukkan angka rata- rata kesakitan sebesar 2,55 per mil bagi seluruh Indonesia. Laporan Departemen Kesehatan dalam profil kesehatan Indonesia (1994) tercatat kematian karena TB paru di rumah sakit pada penderita rawat inap sebesar 3,6 % pada tahun 1991, 4 % pada tahun 119 dan 4,9 % pada tahun 1993. Meningkatnya angka kematian di rumah sakit yang disebabkan karena TB Paru, kemungkinannya karena bakteri Mycobacteium tuberculosis telah mengalami resistensi terhadap Obat Anti Tuberculosis (OAT). Tiap proses dalam pengobatan yang tidak tuntas, gagal obat dan kelalaian dalam jadual minum obat menyebabkan perubahan pada mutasi kromosom baik berupa mutasi titik, dilesi ataupun insersi. Mutasi kromosom mengakibatkan perubahan struktur ribosim yang berfungsi sebagai target site, perubahan struktur dinding sel atau membran plasma bakteri menyebabkan bakteri tidak tertembus obat, perubahan reseptor permukaan dan hilangnya dinding bakteri menyebabkan perubahan bentuk L atau spheroplast dari basil Mycobacteium tuberculosis yang bersifat resisten. Resistensi obat primer dan acquired dapatdisebabkan karena pengobatan yang tidak adekuat, obatnya sub – standart, tidak sesuai atau ― mono terapy‖ (terapi satu obat). Proses biologik alamiah menyebabkan daya tahan mikroba melakukan upaya resistensi yang dapat ditransmisikan secara genetik ketika diobati dengan suatu antimikroba atau penolakan (ekspulsi) fisik obat tersebut.7 Program Pemberantasan TB Paru di Indonesia dilakukan oleh Direktorat tuberculosis, yang berada dibawah Direktorat Pemberantasan Penyakit Menular langsung (P2ML). Pengobatan diberikan secara gatis pada penderita TB Paru dengan BTA positif pada usia produktif 15 tahun ke atas. Angka kesembuhan selama pelita V antara 50 % s.d 80 %. Sebagian dari hasil penelitian Pendahuluan Penyakit TB Paru merupakan penyakit infeksiyang disebabkan oleh bakteri Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TB Paru merupakan problema masyarakat dunia, khususnya di negaranegaraberkembang termasuk Indonesia. Penyakit tuberculosis sebagai salah satu penyakit infeksi penyebab kematian terbesar di Indonesia. Sampai sekarang penyakit TB Paru belum ada satu negara yang menyatakan diri bebas dari penyakit ini. Belanda dan Skandinavia memperkirakan bahwa TB paru akan terbasmi pada tahun 2025. Amerika Serikat telah membuat program pada tahun 1988 untuk bebas TB Paru pada tahun 2010. Jepang akan membasmi penyakit TB Paru sampai tahun 2058.2 Menurut laporan WHO penyakit TB Paru di Indonesia tercatat 320 kasus per 100.000 penduduk pada tahun 1991, 300 per 100.000 pada tahun 1992 dan 247 kasus pada tahun 1993. Perkiraan angka kejadian untuk semua golongan umur pada tahun 2000 dan 2005 adalah 243 dan 247 per 100.000 penduduk. Selanjutnya berdasarkan hasil Riskesdas tahun 2010 bahwa periode prevalence TB Paru 2009/2010 adalah sebesar 725/ 100.000 penduduk. Lima provinsi yang memiliki angka prevalensi TB Paru paling adalah : Papua 1.441 per 100.000 penduduk, Banten 1.282 per 100.000 penduduk, Sulawesi utara 1.221 per 100.000 penduduk, Gorontalo 1.200 per 100.000 penduduk dan DKI Jakarta 1.032 per 100.000 penduduk.2;10 TB saat ini menyebabkan kematian tertinggi diantara penyakit infeksi dan merupakan pembunuh utama kelompok usia produktif. TB kembali merebak di awal tahun 1990 yang sebelumnya telah dapat dikontrol dengan menerapkan strategi DOTS yang diadopsi dari WHO oleh Program Gerakan Nasional TB (Gerdunas TB) dimana 98 % populasi telah dapat dijangkau pada tahun 2001. Di dalam buku Sistem Kesehatan Nasional disebutkan bahwa angka kesakitan TB Paru adalah sebesar 3 per mil. Hasil 2 dengan tes kepekaan terhadap OAT menyatakan basil Mycobacteium tuberculosis telah mengalami resisten terhadap obat anti tuberculosis, antara lain oleh Kosasih yaitu INH 37,5 %, Rifamfisin 5,6%, Kamamisin 48,28 %, Streptomysin 62,5%, PAS 62,5 %, Etambuthol 0.86 % dan Pirazinamid 0,54%. Telenti melaporkan adanya spesies Mycobacterium yang mengalami resisten terhadap Rimfapicin yang diamati secara perubahan mutasi gen yaitu sebanyak 22,7%. Zhang menemukan bahwa gen katG yang menyandi enzim katalase dan peroksidase berkaitan langsung dengan sifat resistensi M.tuberculosis terhadap isoniazid (INH). Hasil Penelitian Salim dkk, 2010 yang melakukan penelitian pola kepekaan kuman M.tuberculosis terhadap OAT menggunakan teknik PCR dari sampel sputum dan pleura penderita TB yang berobat di RSU Provinsi NTB dari 17 isolat M.TBC yang diperiksa diperkirakan telah mengalami resistensi terhadap rimfapicin sebanyak 23,53 % (4 isolat),etambuthol 29,4 % (5 isolat) dan isoniazid 35,3% (6 isolat). Sebanyak 5 isolat (29,4 %) dapat dikatagorikan sebagai isolat M. Tuberculosis MDR .6;13;11 Isoniazid (INH) termasuk obat lini pertama pengobatan TB selama lebih dari 40 tahun dengan cara memblok sintesis asam mikolat dinding sel yang merupakan komponen amplop Mycobacteium tuberculosis. INH saat ini juga direkomendasikan untuk mencegah TB pada kelompok pasien HIV dan anak–anak yang tinggal bersama penderit TB paru. Bukti-bukti genetik menunjukkan bahwa mutasi gen-gen katG, merupakan penyebab kekebalan INH, dengan persentase mutasi gen katG sebesar 60% - 70%. Modifikasi katG, baik sebagian atau delesi total, dan mutasi titik atau insersi menyebabkan penurunan aktivitas katalase dan tingginya resistensi terhadap INH. Katalase ini esensial untuk mengaktifkan INH menjadi derivat hidrazin yang aktif. Data dari RS persahabatan tahun 1993 menunjukkan resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap INH adalah 7,7 %, sedangkan penelitian di provinsi DKI, Sumatera Barat dan Sulawesi Selatan brkisar antara 11,9 % dan 15,6%. Hasil penelitian Syaifudin dkk, tahun 2005 menemukan dari 70 sampel yang diuji sifat resistensi INH berdasarkan mutasi gen katG dengan menggunakan metode SSCP radioaktif didapatkan 12 sampel (7,1%) telah mengalami mutasi pada gen katGnya atau bersifat resisten. Perbedaan angka rersistensi ini disebabkan karena sifat fenotipe dan genotipe dari Mycobacterium tuberculosis secara geografis yang berbeda. Frekuensi dan jenis mutasi pada gen katG juga spesifik karena perbedaan geografis sehingga sangat perlu dilakukan pemeriksaan sifat resistensi gen katG pada setiap daerah, terutama kasus suspek dan BTA (+) nya besar.7 Syaifudin dkk,2005, menyatakan bahwa resistensi Mycobacterium tuberculosis terhadap obat anti INH disebabkan karena mutasi beberapa gen seperti katG, inhA,kasA,ahpC, dan oxyR. Beberapa penelitian menyatakan bahwa frekuensi strain bakteri yang resisten INH mengalami mutasi pada gen katG sebesar 60-70%,selebihnya (30-40%) resistensi disebabkan mutasi pada gen lain seperti inhA dan kasA.Stella L,2008 juga menulis bahwa insiden resistensi terhadap INH kebanyakan disebabkan pada mutasi asam amino 135 dari gen katG,inilah yangmenjadi dasar pemiihan gen katG untuk dijadikangen target dalam deteksi keberadaan resistensi primerMycobacterium tuberculosis dalampenelitian ini.12 Walaupun di Indonesia beberapa laporan penelitian resistensi Mycobacterium tuberculosis telah dilakukan dengan persentase (%) kasus yang berbeda setiap daerah. Perbedaan angka rersistensi ini disebabkan karena sifat fenotipe dan genotipe dari Mycobacterium tuberculosis secara geografis yang berbeda. Frekuensi dan jenis mutasi pada gen katG juga spesifik 3 karena perbedaan geografis sehingga sangat perlu dilakukan pemeriksaan sifat resistensi gen katG pada setiap daerah, terutama kasus suspek dan BTA (+) nya besar. Menurut data Riskesdas 2010 periode prevalence TB di NTB 0,927 % dan periode suspek TB adalah 2,877 %. Pada pemeriksaan setelah pengobatan sering didapatkan bentuk fragmented yang sering disebut sebagai bangkai bakteri, namun walaupun dalam bentuk fragmented basil Mycobacterium belum bisa dikatakan mati karena DNA nya masih aktif atau masih terdapat mRNA pada intisel, kalau pengobatan dihentikan, bentuk ini bisa menjadi bentuk vegetatif basil yang utuh dan menyebabkan kekambuhan. Hal ini yang memicu terjadinya resistensi terhadap obat anti tuberculosis. Bila bentuk resistensi ini terdapat pada droplet sputum penderita dan terhirup oleh orang sehat dapat menyebabkan penularan infeksi Mycobacterium tuberculosis yang resisten, kondisi ini disebut penderita resistensi primer, karena mendapatkan infeksi pertama kali oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis yang resisten. Fenomena tersebut bisa dibuktikan dengan pemeriksaan biologi molekuler dengan menganalisis mutasi gen yang mengalami mutasi. Mengetahui pola resistensi INH karena mutasinya gen katG sangatlah penting, karena dapat menyebabkan kekambuhan dan sifat kebal bakteri Mycobacterium tuberculosis terhadap INH dan bila basil ini menular pada orang lain dapat menyebabkan resistensi primer. tuberculosis sebagai sifat resistensi primerfirst – line oral agents isoniazid (INH) pada penderita TB paru BTA (+) dengan menggunakan metode Nested PCR. Jumlah sampel yang didapatkan adalah 50 sampel sputum. Pengambilan sampel menggunakan teknik non random accidental sampling yaitu sampel sputum pagi hari dari penderita TB paru baru yang kebetulan datang memeriksakan diri ke puskesmas dengan hasil pemeriksaan mikroskopis BTA (+). Sampel sputum yang diambil adalah sampel sputum pagi hari dari penderita, ditampung dalam copok plastik steril. Dari sampel tersebut dibuat 2 buah hapusan dan dicat BTA metode Ziehln – Nelssen dan dilakukan pembacaan BTA. Sampel yang masih dalam copok plastik selanjutnya dilakukan analisa molekuler metode Nested PCR. Ekstraksi DNA dari sampel sputum dengan metode DNA-zol dengan cara dimasukkan 50 µl sampel ke tabung eppendroff yang telah berisi 200 µl larutan DNA-zol. Kemudian tabung dibolak-balik 10 kali dan di vorteks 2 menit. Diputar 10.000 g selma 10 menit. Supernatan dipindahkan ke tabung baru dan ditambahkan etanol absolut 200 ul dan diinkubai 1-3 menit suhu kamar. Dicampur bagian inversi sampel dan diputar 4000 g selama 5 menit. Supernatan dibuang dan pellet dicuci 2 kali dengan etanol 80% kemudian diputar 4000 g selama 5 menit. Diresuspensikan pellet dengan 50 ul ddH2O. Dipisahkan supernatan (produk ekstraksi). Dilakukan amplifikasi hasil ekstraksi DNA dalam 50 µl volume reaksi yang terdiri dari : Metode Penelitian ini merupakan penelitian Observasional deskriptif yaitu mendeteksia danya mutasi gen katGMycobacteium 4 Komponen Volume Komponen Konsentrasi final ddH20 30,75 µl 1X Buffer ( - ) Mg 10 X 5 µl 1,5 mM MgCl2 25 mM 3 µl @ 200 µM dNTP @ 10 mM 1 µl 1,0 µM Forward Primer 50 pmol 2,5 µl 1,0 µM Reverse Primer 50 pmol 2,5 µl 1,25 U / 50 µl TaqPolymerase 5 U / µl 0,25 µl < 0,5 µg / 50 µl Templete 5 µl Total 50 µl Tabel 1. Komposisi reaksi untuk amplifikasi hasilekstraksi DNA Kontrol positif (+), DNA template sampel diganti dengan DNA isolat M. tuberculosis dan kontrol negatif (-) menggunakan aquabidest steril.Pencampuran bahan – bahan tersebut dilakukan pada eppendrof 200 ml dalam box pendingin supaya DNA dan ensim yang digunakan tidak rusak. Campuran tersebut diatas, kemudian di spin down dan selanjutnya di masukkan dalam 1. 2. 3. mesin PCR. Total volume reaksi menjadi 50 µl dan dimasukkan dalam thermal cycler. Kondisi PCR dalam amplifikasi ini dituliskan pada tabel 2. Produk PCR (hasil amplifikasi) di analisis menggunakan elektroforesis gel agarose 2% menggunakan penyelator ethidium bromida dan dibaca dibawah sinar ultra violet. Hot start 94 oC selama 5 menit Denaturasi ( pemisahan DNA ) 94 oC selama 40 detik Annealing ( penempelan primer ) 64 oC selama 40 detik Elongasi / Ekstensi ( pemanjangan DNA ) 72 oC selama 1 menit Elongasi post PCR 72 oC selama 10 menit Tabel 2. Kondisi PCR pada proses amplifikasi 5’- GGAAACTGTTGTCCCATTTCG- 3’ Denganhasilproduk PCR 105 p Pasangan primer 2 : KatG2R 5’-GAGCCCGATGAGGTCTATTG - 3’ KatG2F 5’- CTCTTCGTCAGCTCCCACTC- 3’ Denganhasilproduk PCR 464 bp Kondisi Amplifikasi dan elektroforesis Nested PCR sama dengan PCR tahap pertama / pemeriksan TB diagnostik. Data yang diperoleh dianalisa secara deskriptif dengan kriteria : Jika sampel PCR positif (+) baik dengan primer diagnostik TB1-2 dan primer katG1-2 maka isolat M. Tuberculosis pada sampel sputum penderita TB tersebut tidak mengalami mutasi pada daerah komplementer primer atau urutan basa cocok dari target gen katGnya, sehingga bersifat sensitif Keterangan : Hot Start s/d Elongasi dilakukansebanyak 35 siklus Susunan primer yang digunakan untuk mengetahui pola resistensi first – line oral agents isoniazid (INH) terhadap gen katG Mycobacterium tuberculosis pada TB paru baru dengan BTA (+) menggunakan teknik PCR dapat dilihat pada tabel 3. Nested PCR dilakukan pada sampel yang positif pada PCR tahap I / pemeriksan TB diagnostik. Pada Nested PCR ini dilakukan dua tahap dengan menggunakan 2 pasang primer gen katG. Adapunpasangan basa dari 2 pasang primer tersebutadalah : Pasangan primer 1 : KatG1R 5’-TGGGCTGGAAGAGCTCGTAT-3’ KatG1F 5 terhadap masing–masing primer yang bersangkutan. Jika sampel PCR positif (+) dengan primer diagnostik TB1-2 tetapi negatif (-) dengan primer katG1-2 atau positif (+) dengan primer gen katG1 tetapi negatif (-) dengan primer gen katG2, maka isolat M. Tuberculosis pada sampel sputum penderita TB tersebut mengalami mutasi pada daerah komplomenter primer atau urutan basa tidak cocok/nucleutida mismatch dari target gen katGnya, sehingga bersifat resisten terhadap masing–masingprimer yang bersangkutan.11. No. Nama primer dan susunan basa Panjang Produk (bp) oligonukleutida 1. Tb1 5’ – TACTACGACCACATCAACCG 390 – 3’ Tb2 5’ – GGGCTGTGGCCGGATCAGCG – 3’ 2. KatG1R 5’105 TGGGCTGGAAGAGCTCGTAT- 3’ KatG1F 5’GGAAACTGTTGTCCCATTTCG- 3’ 3. KatG2R 5’464 GAGCCCGATGAGGTCTATTG - 3’ KatG2F 5’CTCTTCGTCAGCTCCCACTC- 3’ Tabel 3.Susunan primer yang digunakan untuk mengetahui pola resistensi first – line oral agents isoniazid (INH) terhadap gen katG Mycobacterium tuberculosis Gambar 1. Hasil analisa PCR diagnostik menggunakan pasangan primer Tb1 dan Hasil Tb 2. 1. Hasil PCR diagnostik dari sampel sputum penderita TB Paru baru. 2. Hasil PCR gen katGMycobacterium Sampel sputum sebanyak 50 dieksraksi tuberculosis dengan metode Nested dengan menggunakan metode DNAzol, PCR. dilakukan PCR diagnostik dengan Nested PCR dilakukan pada 50 sampel menggunakan pasangan primer Tb 1 yang positif pada PCR tahap I / dan Tb 2. PCR ini digunakan untuk pemeriksan TB diagnostik untuk mendeteksi DNA Mycobacterium mempelajari dan mengetahui adanya tuberculosis. Hasil analisis PCR TB mutasi gen katGMycobacterium pada 50 sampel sputum dari penderita tuberculosis sebagai sifat resistensi TB Paru BTA (+) dinyatakan 50 primer first – line oral agents isoniazid (100%) positif (+), ini membuktikan (INH) pada penderita TB paru BTA bahwa pada sampel sputum tersebut (+). Nested PCR dilakukan dua tahap terdapat DNA Mycobacterium dengan menggunakan 2 pasang primer tuberculosis. Gambar hasil analisis PCR gen katG. Adapunpasangan basa dari 2 terlihat pada gambar 1. pasang primer tersebutadalah : Pasangan primer 1 : KatG1R 5’-TGGGCTGGAAGAGCTCGTAT-3’ 390 BP KatG1F 5’-GGAAACTGTTGTCCCATTTCG3’ dengan produk PCR 105 bp Pasangan primer 2 : 6 KatG2R 5’-GAGCCCGATGAGGTCTATTG-3’ KatG2F 5’-CTCTTCGTCAGCTCCCACTC-3’ dengan produk PCR 464 bp Kondisi Amplifikasi dan elektroforesis Nested PCR sama dengan PCR tahap pertama / pemeriksan TB diagnostik. Analisis nested PCR untuk mengetahui terjadinya mutasi pada daerah komplemener primer yang merupakan target gen katGMycobacterium tuberculosis terdapat 11 sampel (22%) yang dinyatakan resisten atau terjadi mutasi dan 39 (78%) dinyatakan sensitif atau tidak terjadi mutasi. Sebelas (11) sampel yang terdeteksi terjadinya mutasi pada daerah komplementer primer karena ketidak cocokan urutan basa atau terjadinya nucleotide mismatch. Gambar hasil analisis nested PCR terlihat pada gambar 2 dan3. Aditama,dkk,1995 melaporkan bahwa resistensi primer terhadap INH sebesar 2,16%, Streptomycin 1,23%, rifampisin 0,50%,etionamid 0,16%,kanamisin 0,08% dan pirazinamid 0,04%.1 Resistensi primer adalah keadaan resistensi terhadap OAT pada penderita yang belum pernah mendapat pengobatan dengan OAT sebelumnya. Faktor resiko terjadinya resistensi primer OAT adalah kasus infeksi oleh Mycobacterium tuberculosis yang resistensi OAT. Keadaan resistensi primer ini dijumpai secara geografis pada tempat yang mempunyai resiko tinggi untuk resistensi OAT. Resistensi obat anti tuberculosis (OAT) disebabkan oleh mutasi khromosomal terhadap masing – masing OAT. Pengaruh terhadap derajat mutasi dalam kasus klinik terletak pada proporsi kuman yang resisten dan perkembangbiakan kuman yang resisten. Proses resistensi ini dimulai dengan mutasi genetik, diikuti perkembangbiakan populasi yang resisten, kemudian menimbulkan bakteri yang menjadi resisten terhadap OAT. 8 Resistensi obat primer dan acquired dapat disebabkan karena pengobatan yang tidak adekuat, obatnya sub – standart, tidak sesuai atau ― mono terapy‖ (terapi satu obat). Proses biologik alamiah menyebabkan daya tahan mikroba melakukan upaya resistensi yang dapat ditransmisikan secara genetik ketika diobati dengan suatu antimikroba atau penolakan (ekspulsi) fisik obat tersebut.7 Hasil penelitian ini dengan menggunakan metode Nested PCR pada target mutasi gen katGMycobacterium tuberculosis membuktikan bahwa telah terdapat resistensi primer Mycobacterium tuberculosis terhadap obat Isoniazid (INH). Dari 50 sampel sputum terdapat11 sampel (22%) yang dinyatakan resisten atau terjadi mutasi pada gen katG dan 39 (78%) dinyatakan sensitif atau tidak terjadi mutasi. Sebelas (11) sampel yang terdeteksi terjadinya mutasi pada daerah komplementer primer karena ketidak cocokan urutan basa atau terjadinya Gambar 2. Hasil analisa PCR menggunakan pasangan primer gen katG1 Gambar 3. Hasil analisa PCR menggunakan pasangan primer gen katG2 Pembahasan Pengobatan dan kontrol terhadap penyakit TBC telah dilakukan, tetapi sudah lama dilaporkan adanya resistensi primer pada Mycobacterium tuberculosis. 7 nucleotide mismatch. Timbulnya resistensi terhadap obat anti tuberculosis di Mataram, NTB telah di laporkan oleh Salim,dkk,2010 yang membuktikan telah terjadi resistensi terhadap OAT pada sampel cairan pleura dari pasien dengan diagnosis TB paru berdasarkan hasil pemeriksaan radiologi, dari 17 cairan pleura yang diperiksa dengan teknik PCR didapatkan 35,5% telah resisten terhadap isoniazid, 23,5% mengalami resisten terhadap rifampicin dan 29,4% mengalami resisten terhadap etambutol dan sebanyak 5 sampel pleura dapat dikatagorikan sebagai MDR. Pada simposium resistensi antimikroba di Indonsia, Ida Parwati,dkk dalam penelitiannya di Jawa Barat menyatakan bahwa pada kasus tuberculosis baru (n=644) sebanyak 50 pasien resisten terhadap isoniazid, 43 pasien (67%) resisten rifampisin, 28 pasien (4,3%) resisten terhadap etambutol,44 pasien (6,8%) resisten terhadap streptomisin dan 24 orang (3,7%) mengalami Multi Drug Resistant Tuberculosis (MDR TB).12 Isoniazid adalah derivat nikotinamid yang juga dikenal dengan isonikotinic acidhydrazide (INH) dengan rumus kimia 4-pyridinecarboxylic acid hidrazide. Target kerja isoniazid sebagai anti tuberculosis adalah dengan menghambat enoyl-acyl carrier protein reduktase, yang diperlukan dalam biosintesa asam mikolat dinding sel Mycobacterium tuberculosis. Isoniazid menghambat pembentukan dinding sel bakteri dalam bentuk isoniazid aktif yaitu setelah mengalami oksidas. Aktivasi isoniazid memerlukan enzim catalase – peroksidase (gen katG) dan hidrogen peroksidase yang dihasilkan Mycobacterium tuberculosis. Gen katG adalah satu – satunya enzim yang dapat mengaktifkan isoniazid, dengan demikian mutasi gen katG strain Mycobacterium tuberculosis menyebabkan Mycobacterium tuberculosis menjadi resisten terhadap isoniazid. Selain itu masih terdapat gen lain yang dapat menyebabkan resistensi terhadap isoniazid seperti gen inhA yang diperlukan Mycobacterium tuberculosis dalam pembentukan asam mikolat pada Mycobacterium tuberculosis.5Isoniazid bersifat bakterisidal yang menghinhibisi sintesa mikolat pada dinding sel Mycobacterium tuberculosis. Absorbsi sempurna pada keadaan perut kosong dan berkurang setelah makan. Obat didistribusikan dengan luas dan melewati blood brain barrier. Enzim utama yang mengkatalisasi metabolismenya adalah asetil transferase, yang mempunyai ekspresi yang variabel, menyebabkan variasi yang luas pada masa paruhnya. Obat ini diindikasikan untuk semua bentuk tuberculosis dengan kuman yang sensitif baik untuk pencegahan maupun pengobatan. Insiden resistensi terhadap INH kebanyakan disebabkan pada mutasi asam amino 135 dari gen katG.12 Resistensi terhadap obat anti tuberkulosis (OAT) ada 3 macam yaitu (1) mutan yang resisten, (2) resistensi sekunder/resistensi yang diperoleh, dan (3) resistensi primer. Resistensi terhadap OAT dapat timbul karena beberapa faktor antara lain pemberian terapi TB yang tidak adekuat akan menyebabkan mutants resisten. Hal ini amat ditakuti kaena dapat terjadi resisten terhadap OAT lini pertama, masa infeksius yang terlalu panjang akibat keterlambatan diagnosis akan menyebabkan penyebaran galur resisten obat. Penyebaran ini tidak hanya pada pasien di rumah sakit tetapi juga pada petugas rumah sakit, asrama, penjara dan keluarga pasien, pasien dengan TB –MDR diterapi dengan OAT jangka pendek akan tidak sembuh dan akan menyebarkan kuman yang resisten, pasien dengan OAT yang resisten terhadap kuman tuberkulosis yang mendapat pengobatan jangka pendek dengan monoterapi akan menyebabkan bertambah banyaknya OAT yang resisten hal ini menyebabkan seleksi mutasi resisten karena penambahan obat yang tidak multiple dan tidak efektif .9;13;3 Pada pemeriksaan setelah pengobatan sering didapatkan bentuk fragmented yang sering disebut sebagai 8 bangkai bakteri, namun walaupun dalam bentuk fragmented basil Mycobacterium belum bisa dikatakan mati karena DNA nya masih aktif atau masih terdapat mRNA pada intisel, kalau pengobatan dihentikan, bentuk ini bisa menjadi bentuk vegetatif basil yang utuh dan menyebabkan kekambuhan. Hal ini yang memicu terjadinya resistensi terhadap obat anti tuberculosis. Bila bentuk resistensi ini terdapat pada droplet dahak penderita dan terhirup oleh orang sehat dapat menyebabkan penularan infeksi Mycobacterium tuberculosis yang resisten, kondisi ini disebut penderita resistensi primer, karena mendapatkan infeksi pertama kali oleh bakteri Mycobacterium tuberkulosis yang resisten. Fenomena tersebut bisa dibuktikan dengan pemeriksaan biologi molekuler dengan menganalisis mutasi gen yang mengalami mutasi. Mycobacterium tuberculosis. Cermin dunia kedokteran.Jakarta.1995. 2. Asa M,. Harapan dan tantangan aplikasi reaksi rantai polimerase (PCR) Multipleks dalam pemberantasan TB Paru di Indonesia (suatu pendekatan biologi molekuler). Suplement vol 26.2005. 3. Crofton SJ; Horne N; Miller F. Tuberkulosis Klinis, Widya Medika, Jakarta.2002. 4. Dikes Lotim. Profil Bidang P2PL Tahun 2010. 5. Hilaluddin,. Multi-Drug Resistensi (MDR) Pada Penderita tuberculosis Paru Dengan Diabetes Melitus,Laporan Program Pendidikan Dokter Spesialis I Paru.2008. 6. Kosasih,O, Soemantri E.S, dan Soewarno W,. Resistensi Kuman Tuberculosis terhadap beberapa jenis obat anti tuberculosis.Medika. 1989. 7. Syaifudin, Marlina Rosilawati, Harris Irawa, Budiman Bela. Identifikasi Mycobacterium tuberclosis dan analisa mutasi gen rpoB dan katG penyebab resistensi ganda dengan teknik molekuler. 2005. 8. Paul Boekitwetan. Resistensi Multiple Obat Antituberkulosis.Bagian Mikrobiologi Fakultas Kedokteran Universitas Trisakti.Jakarta.1999. 9. Priyanti ZS. Diagnosis Dan Faktor Yang Mempengaruhi Terjadinya TBMDR. Departemen Pulmonologi dan Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS Persahabatan.Jakarta.2008. 10. Riskesdas. Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan R.I. Jakarta 2010. 11. Salim ST, Haris W, Zainul M. Penelitian Pola Kepekan Kuman Mycobacterium Tuberculosis Terhadap Obat Anti – TB Menggunakan Teknik PCR. Jurnal Kedokteran Mataram, Nomor 6 Juni 2010. Kesimpulan 1. Sampel sputum dari penderita TB paru BTA (+) sebanyak 50 (100%) sampel dinyatakan positif dengan menggunakan PCR diagnostik Tb1 dan Tb2. 2. Analisa Nested PCR membuktikan terjadinya mutasi pada daerah komplemener primer yang merupakan target gen katGMycobacterium tuberculosis sebanyak 11 sampel (22%) yang dinyatakan resisten atau terjadi mutasi dan 39 (78%) dinyatakan sensitif atau tidak terjadi mutasi. Saran Perlu dilakukan penelitian pemetaan mutasi gen resisten primer dari Mycobacterium tuberculosis dari berbagai daerah Nusa Tenggara Barat untuk mendapatkan informasi mutasi gen Mycobacterium tuberculosis yang berguna bagi program pemberantasan TBC. Daftar Pustaka. 1. Aditama,T,Y.,Chairil A.S.,dan Herry B.W,. Resistensi primer dan sekunder 9 12. Stella I, tuberculosis 2008. Tinjauan Kepustakaan Paru.FK UI. Jakarta; Zhang, Y, Heym B, Allen B, Young D and Cole S. The catalase – peroxidase gene and isoniazide resistance of Mycobacterium tuberculosis. Nature; 19 10 PENINGKATAN AKTIVITAS KOLINESTERASE DALAM DARAH PETANI YANG TERPAPAR PESTISIDA GOLONGAN ORGANOFOSFAT YANG DI BERI JUS STRAWBERI (Fragaria chiloensis) 1 Haerul Anam1, Maruni Wiwin Diarti 1, Irma Haerani1 Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan Abstrak Penelitian ini bertujuan mengetahui aktivitas enzim kolinesterase dalam darah petani yang terpapar pestisida golongan organofosfat sebelum dan sesudah pemberian jus strawberi (Fragaria chiloensis). Jenis penelitian ini penelitian eksperimental dengan rancangan pre-post design. Subjek penelitian petani penyemprot pestisida golongan organophosphat dengan jumlah 32 orang. Pemeriksaan aktivitas enzim kolinesterase dilakukan menggunakan tintometer kit komparator pembanding warna kolinesterase. Hasil penelitian menunjukkan rerata aktivitas enzim kolinesterase pada petani sebelum pemberian jus strawberi sebesar 71,48% dan sesudah pemberian jus sebesar 82,42%, terjadi peningkatan aktivitas enzim kolinesterase adalah 10,48%. Kesimpulan: terjadi peningkatan aktivitas enzim kolinesterase setelah pemberian jus strawberi. Kata kunci: Jus Strawberi, Kolinesterase, Pestisida THE INCREASE IN BLOOD CHOLINESTERASE ACTIVITY FARMERS GROUP EXPOSED ORGANOPHOSPHATE PESTICIDES WERE GIVEN JUICE STRAWBERRIES (FRAGARIA CHILOENSIS) Abstract The aim of this research is to investigate the activity of the enzyme cholinesterase in the farmer’s blood who had exposed to organophosphate pesticide groups before and after threated with strawberry juice (Fragaria chiloensis). The design of this research is experimental research with pre-post design. Subjects in this research are the farmers who apply pesticides of organophosphate group wich numbered of 32 people. Examination of cholinesterase enzyme activity was performed with Tintometer Color Comparator Cholinesterase kit. The results of this research show a mean activity of the enzyme cholinesterase in the farmer before juice strawberry intake is 71.48% and 82.42% after intake the strawberry juice, this shows an increase of enzyme cholinesterase activity of 10.48%. Conclusion: There is an increase in the enzyme cholinesterase activity after administration of strawberry juice. Keywords: Strawberry Juice, Cholinesterase, Pesticides 11 Enzim kolinesterase memiliki makna patologis yang terletak pada penurunan aktivitas. Enzim kolinesterase dihambat oleh senyawa organofosfat. Penurunan aktivitas enzim kolinesterase dalam darah merupakan petunjuk sensitif terhadap kontaknya seseorang oleh pestisida. Penurunan aktivitas enzim kolinesterase ini dibuktikan juga dengan hasil penelitian4 di Dusun Kembang Kuning desa Gerimax kecamatan Narmada kabupaten Lombok Barat, yang menyatakan bahwa hasil pemeriksaan aktivitas enzim kolinesterase pada darah petani yang terpapar pestisida setelah kontak 24 jam secara rata – rata adalah 56,25%, aktivitas enzim kolinesterase pada darah petani yang kontak setalah 48 jam secara rerata adalah 61,25% dan aktivitas enzim kolinesterase pada darah petani yang kontak setelah 72 jam secara rerata adalah 75,0%. Petani yang mengalami keracunan ringan sebanyak 19 orang, petani yang mengalami keracunan sedang sebanyak 6 orang, petani yang mengalami keracunan berat sebanyak 1 orang, serta petani yang dengan aktivitas normal sebanyak 4 orang, artinya bahwa di dalam darah petani ada kandungan pestisida khususnya dari golongan organofosfat yang menghambat aktivitas enzim kolinesterase sehingga mengalami penurunan aktivitas didalam tubuh 4. Penurunan aktivitas enzim kolinesterase dapat diatasi dengan mengkonsumsi zat yang mengandung antioksidan terutama asam askorbat (vitamin C) dan senyawa fitokimia lain misalnya buah strawberi. Strawberi merupakan tanaman buah yang berupa herba yang ditemukan pertama kali di Chili, Amerika latin. Pemanfaatan buah ini sangat luas baik langsung dimakan sebagai buah segar maupun diolah menjadi berbagai bahan makanan seperti kue, es krim, roti, selai, jus.5Strawberi mengandung senyawa asam elagik, kuersetin, kaempferol, asam fenolat, dan antosianin sebagai antioksidan yang dapat mencegah penggumpalan darah dan memperbaiki fungsi sel. Penelitian ini Pendahuluan Penggunaan pestisida di Indonesia semakin meningkat dari tahun ke tahun. Sebagian besar pestisida ini digunakan dalam sektor pertanian dan perkebunan untuk mengendalikan jasad pengganggu yang dapat menurunkan hasil panen.1 Penggunaan pestisida tersebut pada umumnya memberikan manfaat serta dukungan keberhasilan pembangunan di bidang pertanian, kehutanan, perkebunan, dan kesehatan masyarakat. Di sisi lain penggunaan pestisida dapat berakibat buruk terhadap manusia dan lingkungan. Pestisida umumnya beracun karena mengandung zat kimia berbahaya seperti pestisida golongan organfosfat dan karbamat. Bahaya pestisida sebagian besar menyerang golongan petani karena sering kontak dengan pestisida. Pestisida masuk ke dalam tubuh petani dapat melalui penyerapan kulit, inhalasi, pemakaian kaleng bekas pestisida untuk tempat air, memakai baju tidak tertutup, dan tidak menggunakan alat pelindung diri.2 Hasil penelitian Anam3 membuktikan bahwa persentase terbesar petani yang keracunan pestisida karena tidak menggunakan alat pelindung diri (APD) di Dusun Batu Mediri, Kota Mataram. Sejumlah 9 orang petani penyemprot yang menggunakan APD 4 orang mengalami keracunan ringan, 5 orang tidak mengalami keracunan dan 11 orang tidak mengunakan APD. Dari 11 orang yang tidak menggunakan APD 10 orang mengalami keracunan ringan dan 1 orang mengalami keracunan sedang. Petani yang terpapar pestisida akan mengalami penurunan aktivitas kolinesterase di dalam tubuh. Kolinesterase merupakan katalis biologis yang berperan menjaga agar otot, kelenjar, dan sel saraf bekerja harmonis. Jika aktivitas kolinesterase jaringan tubuh menurun, maka tidak dapat memengaruhi aktivitas asetilkolinesterase saraf, sehingga asetilkolin akan menumpuk di bagian ujung saraf menganggu aliran impuls saraf dan akhirnya terjadi paralisis otot.2 12 bertujuan mengetahui perbedaan aktivitas enzim kolinesterase darah petani yang terpapar pestisida golongan organofosfat sebelum dan sesudah pemberian jus strawberi (Fragaria chiloensis). Metode Penelitian ini merupakan penelitian eksperimental dengan pre-post design. Analisis statistik menggunakan uji Tberpasangan. Subjek penelitian ini adalah petani penyemprot pestisida golongan organofosfat di kecamatan Aikmel, kabupaten Lombok Timur sejumlah 32 orang. Teknik pengambilan sampel menggunakan purposive sampling. Kriteria inklusi meliputi petani yang pernah kontak dengan bahan penyemprot pestisida golongan organofosfat, petani penyemprot pestisida golongan organofosfat yang tidak memakai APD (Masker, sarung tangan, sepatu boot). Kriteria eksklusi yaitu penderita hipertensi, diabetes melitus, dan tuberkulosis. Instrumentasi penelitian : Komparator, Disk pembanding, Botol polietilen, Mikropipet, Pipet tetes atau pipet Pasteur, Yellow dan blue tip, Blood lancet, Autoklik, Kapas, Tabung reaksi dan Rak tabung reaksi. Bahan Penelitian : Aquadest bebas CO2, Indikator Brom Thymol Blue (BTB), Larutan substrat Asetil Kolin Perklorat, Alkohol 70%. Data berupa lamanya kontak petani dengan pestisida dilakukan dengan metode wawancara langsung dan data berupa aktivitas enzim kolinesterase dalam darah petani yang terpapar pestisida sebelum dan sesudah pemberian jus strawberi dikumpulkan dengan menggnakan tintometer kit. Pembuatan jus strawberi, di mana formulanya sebagai berikut: 100 gr strawberi segar di cuci sampai bersih, ditambahkan air matang 100 ml, kemudian diblender sampai halus dan disajikan. Adapun gambar jus strawberi yang di berikan pada petani penyemprot pestisida terlihat pada gambar 1. Gambar 1. Jus Strawberi Berdasarkan dari hasil pemeriksaan darah akan dapat diketahui tingkat keracunan oleh pestisida tersebut yaitu : 1. Kategori Normal yaitu bila > 75% 100% aktifitas enzim kolinesterase dalam darah normal. 2. Kategori keracunan ringan yaitu bila > 50% -75% aktifitas enzim kolinesterase dalam darah normal. Orang yang diperiksa mungkin over exposure oleh karenanya perlu dikaji ulang. Jika responden lemah agar disarankan untuk istirahat (tidak kontak) dengan pestisida jenis organofosfat selama 2 minggu, kemudian uji ulang sampai mencapai kesembuhan. 3. Kategori keracunan sedang yaitu bila > 25% - 50% aktifitas enzim kolinesterase dalam darah normal. Responden mengalami over exposure yang serius, disarankan untuk segera menguji ulang tingkat keracunan. Jika hasilnya benar responden disarankan istirahat dari semua pekerjaan yang berhubungan dengan insektisida. Bila yang bersangkutan sakit harus segera dirujuk pada pelayanan kesehatan terdekat. 4. Kategori keracunan berat yaitu bila 0% - 25% aktifitas enzim kolinesterase dalam darah normal. Over exposure yang sangat serius dan berbahaya. Perlu diuji ulang dan yang bersangkutan harus diistirahatkan dari semua pekerjaan dan perlu segera di rujuk kepada pemeriksa medis (Depkes RI, 1992). Pengumpulan data petani penyemprot pestisida di Kecamatan 13 Aikmel, Kabupaten Lombok Timur. Analisis Data menggunakan uji statistik menggunakan uji T- berpasangan (Paired T Test) dan apabila data yang dihasilkan tidak berdistribusi normal maka dilakukan uji non parametrik wilcoxon signed rank test dengan tingkat kepercayaan 95% (p α 0,05). tingkat keracunan pada petani sebelum pemberian jus strawberi yaitu keracunan ringan sebanyak 30 orang petani (93,8%), dan petani yang tidak mengalami keracunan (normal) sebanyak 2 orang (6,3%), sedangkan tingkat keracunan pada petani setelah pemberian jus strawberi yaitu keracunan ringan sebanyak 12 orang (37,5%) dan petani yang tidak mengalami keracunan (normal) sebanyak 20 orang (62,5 %). Hal tersebut menunjukkan tingkat keracunan ringan sebagian besar pada petani menjadi menurun setelah pemberian jus strawberi. Hasil Sampel yang digunakan adalah darah kapiler sebanyak 32 sampel. Karakteristik responden dalam penelitian ini terlihat pada tabel 1. Tabel 1. menunjukkan bahwa No. 1 2 3 4 5 Tabel 1 Distribusi Karakteristik Responden Karakteristik Responden Jumlah (orang) Jenis Kelamin Laki-Laki Perempuan Umur ( Tahun ) - 25-35 - 36-45 - 46-55 - 56-60 Lama terpapar pestisida - ≤ 5 tahun - > 5 tahun Terakhir kontak dengan pestisida - ≤ 5 hari - > 5 hari Frekuensi penyemprotan - 1 minggu sekali - 2 minggu sekali - 1 bulan sekali Hasil pemeriksaan aktivitas enzim kolinesterase berdasarkan tingkat keracunan pada petani di kecamatan 28 4 8 7 7 10 19 13 24 8 14 12 6 Aikmel sebelum dan sesudah pemberian jus strawberi terdapat pada Tabel 2. Tabel 2. Hasil pemeriksaan aktivitas enzim kolinesterase berdasarkan tingkat keracunan sebelum dan sesudah pemberian jus strawberi pada petani di kecamatan Aikmel Tingkat Keracunan Jumlah Perlakuan Keracunan Ringan Normal (%) (%) Sebelum pemberian jus 30 (93,8) 2 (6,3) 32 (100) strawberi Sesudah pemberian jus 12 (37,5) 20 (62,5) 32 (100) strawberi 14 akan memengaruhi penyerapan pestisida ke dalam tubuh melalui kulit. Arah angin dan kecepatan angin penting diperhatikan pada saat penyemprotan. Apabila penyemprotan dilakukan pada saat kecepatan angin tinggi dan melawan arah angin, justru yang terjadi pestisida akan lebih banyak terpapar saat menyemprot, sehingga pestisida masuk ke dalam tubuh melalui pernapasan dan kulit. Pestisida dapat masuk melalui kulit, mulut dan pernafasan. Keracunan pestisida terjadi bila ada bahan pestisida yang mengenai dan/atau masuk ke dalam tubuh dalam jumlah tertentu. Keracunan akut atau kronis akibat kontak dengan pestisida dapat melalui mulut, penyerapan melalui kulit, dan melalui saluran pernapasan.1 Keracunan ringan pada petani di Kecamatan Aikmel timbul karena rendahnya kesadaran para petani untuk mengenali dengan baik gejala dan tanda keracunan pestisida. Tindakan pencegahan lebih baik dilakukan untuk menghindari keracunan. Sebagai upaya pencegahan keracunan pestisida sampai ke tingkat yang membahayakan kesehatan, orang yang berhubungan dengan pestisida harus memperhatikan membaca semua instruksi dan pengarahan yang ada pada label pestisida, menjaga kemasan pestisida selalu tertutup, menyimpan pestisida dalam wadah aslinya, tidak memindahkan pestisida dalam wadah yang lain, menyimpan pestisida pada tempat yang kering dan mempunyai ventilasi, tidak diperkenankan merokok, makan dan minum selama menangani pestisida, tidak membuka kemasan dengan cara memaksa atau mencongkel, jangan membuka alat semprot bocor.2 Hasil penelitian ini membuktikan bahwa pemberian jus strawberi dapat meningkatkan aktivitas enzim kolinesterase, sehingga dapat menurunkan tingkat keracunan. Hasil ini diduga berdasarkan pengaruh langsung dan tidak langsung senyawa yang terkandung dalam buah strawberi. Senyawa yang terdapat dalam buah strawberi meliputi antisionin, Pembahasan Pemaparan pestisida yang berlebihan dalam tubuh penyemprot akan memengaruhi kerja enzim kolinesterase darah. Penurunan aktivitas enzim ini dapat dikategorikan dalam empat kelompok yaitu normal (>75‒100%), keracunan ringan (>50–75%), sedang (>25–50%), dan berat (0–25%). Kebiasaan petani yang tidak memakai alat pelindung diri secara lengkap pada waktu menggunakan pestisida akan memengaruhi tingkat pemaparan. Tingkat pengetahuan, sikap, dan prilaku petani mengenai bahaya pestisida akan memengaruhi kesediaan petani untuk memakai APD, serta melakukan penanganan dan pengelolaan pestisida dengan baik. Paparan yang berlangsung terus-menerus lebih berbahaya daripada paparan yang terputusputus pada waktu yang sama. Pemaparan yang telah lewat perlu diperhatikan bila terjadi risiko pemaparan baru, karena itu penyemprot yang terpapar berulang kali dan berlangsung lama dapat menimbulkan keracunan kronik. Telah dibuktikan bahwa penggunaan pestisida jangka panjang dapat menyebabkan kanker seperti non Hodgkin’s lymphoma.7 Hasil penelitian nenunjukkan sebagian besar petani telah terpapar pestisida selama ±5-10 tahun. Semakin lama petani terpapar pestisida maka risiko keracunan semakin tinggi, tetapi dari uji kolinesterase didapatkan hasil bahwa petani di kecamatan Aikmel hanya mengalami keracunan ringan. Hal tersebut kemungkinan disebabkan karena petani menggunakan APD yang konvensional seperti handuk atau saputangan sebagai penutup hidung. Faktor lingkungan sangat berperan dalam memengaruhi keracunan pestisida. Faktor lingkungan yang berperan antara lain temperatur dan arah angin, temperatur yang aman dalam menyemprot pestisida pada 24- 30 °C dan waktu penyemprotan pagi hari pukul 06.00-08.00 dan pukul 16.00-18.00. Jika suhu lingkungan tinggi 15 asam ellagik, fenol, vitamin E, vitamin C, kalsium, magnesium, fosphor, natrium, asam linolenik. Komponen ini menjelaskan kandungan zat aktif mempunyai pengaruh aktivitas antioksidan secara in vivo. Selain itu, jus stroberi mempunyai beberapa efek farmakologi dan psikologi sebagai efek antiinflamantori, analgesik, dan kordiotonik.8,9 Flavonoid sebagai salah satu kandungan fitokimia strawberi bekerja baik dengan vitamin C sehingga meningkatkan pertahanan tubuh. Sebagai antioksidan, flavonoid dapat menghalau radikal bebas dan membersihkan tubuh dari racun (detoksifikasi). Kandungan asam lemak berantai panjang, yang terkandung dalam strawberi , asam lemak seperti oleat, linoleat, dan linolenat bekerja memperbaiki fungsi hati. Selain itu, strawberi kaya akan growth factor sehingga dapat memperbaiki sel-sel rusak. Kandungan asam elagik dan senyawa folifenol lain yang memiliki aktivitas sebagai antioksidan adalah katekin, kuersetin, dan kaempferol yang tinggi, ampuh melakukan regenerasi sel secara singkat.8,9 vitamin salah satunya buah strawberi untuk membantu percepatan detoksifikasi racun dari dalam tubuh. 2. Bagi instansi terkait untuk memberikan penyuluhan dan sosialisasi tentang bagaimana proses penyemprotan tanaman dengan baik dan benar. 3. Bagi peneliti lain agar meneliti aktifitas enzim kolinesterase secara kuantitatif. Daftar Pustaka 1. Sastroutomo S. Pestisida dasar-dasar dan dampak penggunannya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama; 1992. 2. Depkes RI. Pedoman pengamanan penggunaan pestisida khusus untuk petani dan operator pestisida.Jakarta: Ditjen PPM & PLP; 2007. 3. Anam H. Pengaruh pemakaian alat pelindung diri terhadap kandungan racun pestisida pada petani penyemprot padi di Dusun Batu Mediri Kelurahan Karang Pule Kecamatan Sekarbela (Karya Tulis Ilmiah). Mataram; Poltekkes Mataram; 2009. 4. Yulthi ES. Pengaruh Kontak Pestisida Terhadap Kadar Enzim kolinesterase dalam Darah Petani di Dusun Kembang Kuning Desa Gerimax Kecamatan Narmada Kabupaten Lombok Barat. KTI. Mataram; 2009. 5. Yuliarti N. 1001 Khasiat buah-buahan. Yogyakarta:Andi Offset;2011. 6. Setiani, A. Budi Daya dan Analisis Usaha Strawberi. Sinar Cemerlang Abadi, Jakarta ; 2007. 7. Weisenburger DD. Environmental epidemiology of non-Hodgkin’s lymphoma in Eastern Nebraska. Am J Ind Med. 1990;18(3):305‒5. 8. Kurnia, A. Petunjuk Praktis budidaya strawberi. Agro Media Pustaka, Depok ; 2005. Kesimpulan 1. Aktifitas enzim kolinestrase rerata pada petani sebelum pemberian jus strawberi sebesar 71,48% 2. Aktifitas enzim kolinestrase rerata pada petani sesudah pemberian jus strawberi sebesar 82,42% 3. Ada perbedaan aktifitas enzim kolinestrase secara signifikan sebelum dan sesudah pemberian jus strawberi. Saran 1. Bagi petani yang terpapar pestisida agar mempergunakan alat pelindung diri serta memperhatikan faktor lingkungan berupa cuaca dan arah angin pada waktu penyemprotan, melakukan tindakan pencegahan keracunan dengan mengenali gejala dan tanda keracunan, dan mengkonsumsi buah-buahan yang banyak mengandung antioksidan dan Nurchasanah. Terapi Jus untuk Kesehatan tanpa Efek Samping. Yogyakarta: Media Pressindo;2012. 16 PREVALENSI KANDIDIASIS BERDASARKAN HASIL PEMERIKSAAN SEDIMEN DAN KULTUR URINE WANITA PENDERITA DIABETES MELLITUS DI PUSKESMAS WILAYAH KABUPATEN LOMBOK BARAT I Gusti Ayu Nyoman Danuyanti¹, Rohmi¹, Ersandhi Resnhaleksmana¹ 1 Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan Abstrak Diabetes mellitus merupakan faktor predisposisi timbulnya kandidiasis genitalis. Wanita penderita diabetes mellitus mempunyai gula ekstra dalam dinding vagina, sehingga pada urine wanita penderita diabetes mellitus kemungkinan besar akan ditemukan Candida albicans. Penyebab kandidiasis berkaitan dengan cara kita merawat organ reproduksi yang artinya status kesehatan dipengaruhi oleh faktor perilaku. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui pola hygiene dan sanitasi wanita penderita diabetes mellitus pada kasus kandidiasis, sehingga dapat diketahui penyebab kandidiasis akibat faktor glukosa berlebih dalam darah atau karena perilaku dari penderita DM tersebut. Metode penelitian yang digunakan observasional analitik dengan pengukuran variabel-variabelnya secara cross sectional terhadap 76 responden yang diambil dari Puskesmas Narmada dan Kediri, Kabupaten Lombok Barat dengan prevalensi kandidiasis 21,05%. Pemeriksaan infeksi kandidiasis diperoleh berdasarkan hasil pemeriksaan sedimentasi dan kultur urin wanita penderita DM. Secara keseluruhan wanita penderita DM dapat berisiko atau bahkan tidak terinfeksi Candida albicans meskipun penyakit tersebut merupakan faktor predisposisi dari kandidiasis vaginitis. Kata kunci: Kandidiasis, Sedimen urine, Kultur urine, Diabetes mellitus Abstract Diabetes mellitus is a predisposing factor for the incidence of genital candidiasis. Women with diabetes mellitus have extra sugar in the vaginal wall, so that the urine of women with diabetes mellitus are likely to be found Candida albicans. The cause of candidiasis related to the way we take care of the reproductive organs, which means he12alth status is influenced by behavioral factors. The purpose of this study to determine patterns of hygiene and sanitation women with diabetes mellitus in the case of thrush, so it can be a known cause of candidiasis due to excess glucose in the blood factors or because the behavior of the diabetic patient. The method used analytic observational with the variables measuring cross sectional against 76 respondents drawn from the health center and Kediri Narmada, West Lombok district with 21.05% prevalence of candidiasis. Examination of candidiasis infection obtained based on the examination of urine sediment and culture of women with DM. Overall women with diabetes could be at risk or infected with Candida albicans even though the disease are predisposing factors of candidiasis vaginitis. Keywords: Candidiasis, Urine sediment, Urine culture, Diabetes mellitus 17 Narmada Kecamatan Narmada Lombok Barat tahun 2012 lebih dari 40 pasien, termasuk pasien rawat jalan dan rawat inap3. Untuk Puskesmas Kediri, pasien yang terdiagnosis diabetes mellitus dari bulan Januari sampai dengan Juni tahun 2014 mencapai 213 orang. Kedua puskesmas ini dipilih berdasarkan jumlah populasi penderita DM yang paling banyak dibandingkan dengan Puskesmas lain di Kab. Lombok Barat pada tahun 2013, tetapi belum ada data di puskesmas tersebut tentang kasus kandidiasis khususnya pada wanita penderita DM 4. Candida albicans merupakan spesies terpatogen yang menjadi etiologi terbanyak dalam kasus infeksi akibat jamur, walaupun dalam kondisi normal jamur ini hidup sebagai saprofit yang tidak menyebabkan kelainan atau gangguan bagi organ tubuh5,6,7. Keputihan atau kandidiasis genetalis sering dianggap sebagai hal yang umum dan dianggap tidak berbahaya bagi wanita. Penyebab keputihan berkaitan dengan cara kita merawat organ reproduksi, karena faktor perilaku merupakan salah satu faktor yang dapat mempengaruhi status kesehatan seseorang8. Faktor terbesar kedua setelah lingkungan yang mempengaruhi kesehatan individu, kelompok, atau masyarakat. Pengetahuan mengenai keputihan sangat diperlukan untuk menentukan sikap yang akan dilakukan, salah satunya ialah perawatan genitalia eksterna yang tidak baik akan menjadi pemicu terjadinya keputihan yang patologis, karena diantara semua jenis personal hygiene, genitalia merupakan organ reproduksi wanita yang harus dijaga kebersihannya. Jika tidak di jaga dapat menimbulkan keputihan, gatalgatal, bau tidak sedap, dan dapat terjadi infeksi pada daerah genitalia. Keputihan tidak normal perlu diwaspadai karena merupakan gejala suatu penyakit 9,10 reproduksi . Berdasarkan uji penyaring menggunakan pemeriksaan sedimentasi urine yang dilakukan terhadap beberapa sampel urine wanita penderita diabetes Pendahuluan Diabetes mellitus adalah gangguan metabolisme yang secara genetis dan klinis termasuk heterogen dengan manifestasi klinis berupa hilangnya toleran karbohidrat. Keadaan ini disebabkan oleh kurangnya hormon insulin yang diproduksi oleh pankreas atau tidak berfungsinya hormon insulin dalam menyerap gula secara maksimal, sehingga penyakit ini juga biasa disebut atau didefinisikan sebagai penyakit gula darah. Adanya diabetes mellitus pada awalnya sering sekali tidak disadari oleh pasien dan baru diketahui sewaktu menjalani pemeriksaan kesehatan1. Beberapa keluhan dan gejala klasik yang perlu mendapat perhatian adalah penurunan berat badan yang tidak dapat dijelaskan penyebabnya, rasa lemah, sering kencing (poliuria), banyak minum (polidipsia), banyak makan (polifagia). Adanya keluhan lain yang sering menyertai diabetes mellitus yaitu gangguan syaraf tepi, atau kesemutan, gangguan penglihatan, gatal dan keputihan pada wanita (kandidiasis). Kondisi diabetes yang belum terdeteksi kemungkinan merupakan sumber kandidiasis yang berulang dan jika tidak dikendalikan maka kandidiasis akan tetap menjadi masalah. Penyakit ini dapat menyerang semua lapisan umur dan sosial ekonomi1. Diabetes mellitus merupakan faktor predisposisi timbulnya kandidiasis genitalis. Wanita penderita diabetes mellitus mempunyai gula ekstra dalam dinding vagina. Gula yang ada di urine tertumpuk pada vulva sehingga menyediakan makanan untuk pertumbuhan jamur. Daerah genetalia wanita adalah tempat subur dan ideal untuk pertumbuhan jamur sehingga pada urine wanita penderita deabetes mellitus kemungkinan besar akan ditemukan Candida albicans2. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar 2010 angka prevalensi nasional penyakit diabetes melitus adalah 1,1%. Jumlah pasien penderita diabetes mellitus khususnya wanita yang ada di Puskesmas 18 mellitus di Puskesmas Narmada, ditemukan adanya sampel urine yang positif terinfeksi Candida albicans, sehingga dapat disimpulkan bahwa diabetes mellitus merupakan faktor predisposisi yang penting untuk terjadinya vulvo vaginitis yang disebabkan oleh Candida albicans. Pemeriksaan urine yang dilakukan dengan metode sedimentasi merupakan screening test untuk mendeteksi adanya infeksi jamur telah banyak diteliti sedangkan penggunaan kultur urine sebagai gold standard untuk mempertegas hasil yang positif dari sampel urine yang terinfeksi jamur Candida albicans dengan jumlah penderita dan lokasi pengambilan sampel yang lebih luas belum pernah dilakukan untuk memperoleh hasil yang lebih representatif. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi kepada masyarakat, terutama wanita penderita diabetes mellitus yang rentan terhadap infeksi Candida albicans, sehingga dapat melakukan pencegahan untuk menghindari terjadinya infeksi. pengambilan sampel secara purposive didasarkan pada suatu pertimbangan tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri, berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi yang sudah diketahui sebelumnya. Seluruh pasien wanita penderita diabetes mellitus yang berkunjung di Puskesmas Narmada dan Kediri selama waktu penelitian merupakan responden atau subjek penelitian hingga jumlah responden mencapai besar sampel 76 responden, dengan kriteria sampel sebagai subjek penelitian adalah : 1. Semua pasien wanita rawat jalan dan rawat inap penderita diabetes mellitus di Puskesmas Narmada dan Kediri. 2. Urine yang digunakan adalah urine sewaktu. 3. Tidak dalam keadaan haid 4. Tidak membedakan usia 5. Bersedia menjadi subjek penelitian Jumlah sampel yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan tabel Krejie Normogram Harry King. Jumlah populasi (N) wanita penderita diabetes mellitus di Puskesmas Narmada dan Kediri pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013 sebanyak 95 orang, sehingga jumlah sampel yang digunakan adalah 76 orang13. Karakteristik responden meliputi umur, pendidikan, dan pekerjaan dikumpulan dengan melakukan wawancara langsung menggunakan alat bantu kuisioner dengan responden pada saat melakukan pemeriksaan. Data hasil pemeriksaan urine wanita penderita DM diperoleh dengan melakukan pemeriksaan sedimen dan kultur urine. Data tentang hasil pemeriksaan Candida albicans pada kultur urine diolah secara deskriptif, disajikan dengan menggunakan tabel distribusi. Kriteria hasilnya : Positif : Ditemukan spora jamur Candida albicans yang membentuk bulat, lonjong atau bulat lonjong dan atau hyfa semu seperti benang-benang halus. Negatif : Tidak ditemukan spora jamur Candida albicans atau hyfa. Metode Penelitian Rancangan penelitian yang digunakan adalah observasional analitik yaitu untuk mengetahui kontribusi suatu resiko tertentu terhadap adanya suatu kejadian tertentu. Berdasarkan waktu penelitian, penelitian ini bersifat cross sectional artinya variabel bebas dan variabel terikat dikumpulkan sekaligus pada satu waktu11. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien rawat jalan dan rawat inap penderita diabetes mellitus di Puskesmas Narmada dan Kediri Kabupaten Lombok Barat yang berjumlah 95 orang12. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah pasien wanita penderita diabetes mellitus yang menjalani rawat jalan dan rawat inap di Puskesmas Narmada dan Kediri Kabupaten Lombok Barat berjumlah 76 orang. Pengambilan sampel yang dilakukan dalam penelitian ini adalah secara Non Random Purposive Sampling yaitu 19 pseudohyfa yang merupakan rangkaian dari jamur Candida albicans. Setelah melakukan identifikasi dari 76 sampel urine wanita penderita diabetes mellitus, ditemukan bentuk spora/pseudohyfa sebanyak 16 sampel, maka prosentasenya adalah 21,05%, sedangkan untuk mengetahui pola hygiene sanitasi dari responden dilakukan wawancara menggunakan kuisioner pada seluruh responden dan hasilnya secara lengkap ditunjukkan pada tabel 1. Hasil Identifikasi infeksi Candida albicans pada urine wanita penderita diabetes mellitus dilakukan secara mikroskopis dengan metode kultur terhadap sampel urine wanita penderita diabetes mellitus yang sebelumnya dilakukan pemeriksaan sedimentasi urin sebagai tes penyaring adanya infeksi kandidiasis di Puskesmas Narmada dan Kediri Kabupaten Lombok Barat. Hasil identifikasi Candida albicans menunjukkan bentuk spora yang berbentuk bulat, lonjong, atau bulat lonjong dan Tabel 1. Hasil pemeriksaan adanya jamur Candida albicans pada wanita penderita diabetes mellitus di Puskesmas Kediri dan Narmada, Kabupaten Lombok Barat No. Umur Kadar Gula Pemeriksaan Pemeriksaan Samp Darah Sewaktu Sedimentasi Kultur Urine el (mg/dl) &Germ tube 1 60 368 Negatif Negatif 2 26 356 Negatif Negatif 3 60 570 Negatif Negatif 4 45 431 Negatif Negatif 5 55 394 Negatif Negatif 6 50 295 Negatif Negatif 7 40 334 Negatif Negatif 8 45 473 Negatif Negatif 9 70 480 Negatif Negatif 10 49 425 Positif Positif 11 45 455 Positif Negatif 12 50 335 Positif Positif 13 40 465 Positif Positif 14 56 298 Negatif Positif 15 60 405 Negatif Negatif 16 39 387 Positif Positif 17 50 375 Negatif Negatif 18 47 335 Negatif Negatif 19 55 539 Positif Positif 20 65 270 Positif Negatif 21 38 287 Positif Positif 22 63 510 Positif Positif 23 46 443 Negatif Negatif 24 42 440 Negatif Negatif 25 51 287 Negatif Negatif 26 70 365 Negatif Negatif 27 49 287 Negatif Negatif 28 45 465 Positif Positif 29 50 298 Positif Positif 30 40 405 Negatif Negatif 20 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 65 66 67 68 69 70 71 72 73 74 75 76 Keterangan : 56 60 39 50 47 55 65 38 63 46 42 51 40 45 70 49 45 50 40 56 60 39 50 47 39 50 47 55 65 38 63 46 42 51 39 28 33 47 29 37 47 39 50 47 55 65 387 394 295 334 473 480 425 265 270 334 325 280 295 300 243 360 226 300 270 287 510 443 440 287 365 287 235 225 236 270 287 510 443 440 287 365 287 235 226 352 235 225 236 270 287 235 Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif : Negatif : Positif 21 Negatif Negatif Negatif Positif Negatif Positif Negatif Negatif Positif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Positif Positif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif Negatif lain faktor eksternal dan faktor internal14. Faktor eksternal meliputi cuaca panas dan tingkat kelembaban sehingga menyebabkan banyak keringat terutama pada lipatan kulit dan kebiasaan berendam dalam air yang terlalu lama menyebabkan maserasi yang mengakibatkan invasi Candida albicans. Pekerjaan yang banyak berhubungan dengan air dan kebersihan pribadi sangat mempengaruhi invasi maupun tingkat infeksi Candida albicans. Faktor internal yang dapat menyebabkan terjadinya infeksi Candida albicans pada wanita penderita diabetes mellitus antara lain kehamilan, karena pada saat hamil terjadi kelebihan glikogen pada epitel vagina yang merubah derajat keasaman di dalam vagina menjadi lebih rendah dan merangsang pertumbuhan jamur Candida albicans menjadi lebih cepat, kemudian faktor obesitas menyebabkan banyak keringat sehingga terjadi maserasi kulit dan ini mempermudah invasi Candida albicans serta penyakit lainnya. Penyakit menahun seperti tuberculosis, karsinoma dan leukimia dengan keadaan umum yang buruk meningkatkan terjadinya Candida albicans14. Hal ini sesuai dengan hasil penelitian sebelumnya, jika seseorang mempunyai sikap baik maka kemungkinan tidak akan mengalami kejadian kandidiasis. Sikap yang baik kemungkinan juga akan memberikan gambaran seseorang berperilaku baik, sehingga lebih memperkecil kemungkinan terjadinya kejadian kandidiasis15. Perilaku mempengaruhi terjadinya vulvo vaginitis karena perilaku hygiene yang tidak baik dapat mempengaruhi derajat keasamaan di daerah vagina. Perubahan derajat keasaaman vagina berkaitan dengan vulvo vaginitis, karena dapat mengakibatkan pH vagina tidak seimbang. Ketidakseimbangan pH dalam vagina akan mengakibatkan tumbuhnya jamur sehingga dapat terinfeksi vulvo vaginitis15. Faktor perilaku hygiene dapat menyebabkan kejadian kandidiasis genitalis dikarenakan Prevalensi kandidiasis berdasarkan hasil pemeriksaan sedimen dan kultur urin wanita penderita diabetes mellitus di Puskesmas Kediri dan Narmada Kabupaten Lombok Barat yang positif terinfeksi Candida albicans sebanyak 16 sampel dari 76 sampel adalah sebagai berikut: = Jumlah sampel positif x 100 % Jumlah sampel = 16 x 100 % = 21, 05 % 76 Dari 21,05% prevalensi kandidiasis yang didapatkan berasal dari total pemeriksaan sedimen dan kultur urine yang positif. Untuk pemeriksaan berdasarkan sedimen urine dari total 76 sampel terdapat 18 sampel positif terinfeksi Candida albicans kemudian dilanjutkan dengan kultur ternyata memberikan hasil 2 sampel negatif, sehingga secara keseluruhan total yang positif dari hasil pemeriksaan sedimen dan kultur urine adalah 16 sampel. Tabel 1. menunjukkan bahwan dari 16 sampel yang positif terinfeksi Candida albicans secara keseluruhan yaitu sebesar 21,05% dan negatif terinfeksi sebanyak 50 orang dengan prosentase 65,79%. Pembahasan Data hasil identifikasi yang telah dilakukan dari 76 sampel urine wanita penderita diabetes mellitus, ditemukan bentuk spora/pseudohyfa sebanyak 16 sampel, maka prosentase kandidiasis pada wanita penderita diabetes mellitus sebesar 21,05%. Dengan demikian wanita penderita diabetes mellitus memiliki kemungkinan terinfeksi jamur Candida albicans. Wanita penderita diabetes mellitus dapat berisiko atau bahkan tidak terinfeksi Candida albicans meskipun diabetes mellitus merupakan faktor predisposisi, yaitu faktor yang dapat mempermudah timbulnya suatu keadaan, dalam hal ini kandidiasis. Infeksi Candida albicans pada wanita penderita diabetes mellitus dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor antara 22 dalam perilaku hygiene dipengaruhi oleh beberapa faktor. Adapun faktor yang dimungkinkan mempengaruhi perilaku hygiene dari hasil penelitian ini yaitu pemilihan pakaian dalam, pemakaian sabun dengan kejadian kandidiaisis genitalis, menjaga kebersihan saat menstruasi, dan menjaga kelembaban vagina. Dari data penelitian secara keseluruhan dapat disimpulkan bahwa wanita penderita diabetes mellitus dapat berisiko atau bahkan tidak terinfeksi Candida albicans meskipun penyakit ini merupakan faktor predisposisi terjadinya kandidiasis genitalis. 6. Kesimpulan 10. 7. 8. 9. Berdasarkan hasil penelitian dan analisis data dapat disimpulkan bahwa prevalensi kandidiasis pada wanita penderita diabetes mellitus di Puskemas Narmada dan Kediri Kabupaten Lombok Barat sebesar 21,05%. Saran 11. 1. Diharapkan dapat melakukan pengkajian lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang dapat menjadi penyebab kandidiasis pada wanita penderita diabetes mellitus. 2. Dilakukan penelitian lanjutan tentang hubungan personal hygiene dan sanitasi terhadap kejadian kandidiaisis pada wanita penderita diabetes mellitus untuk melihat pola infeksi berdasarkan penyakit ataupun lingkungan. 12. 13. 14. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. Susilo J. Parasitologi Kedokteran edisi 3. Balai Penerbit FKUI . Jakarta, 2003 Jiwintarum Y., Agriyanti, Rohmi, Fitria E. Diktat Praktikum Mikologi Medik. Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan,2012 Murphy E.M. Promoting Healthy Behaviour. Population References Bureau 67,2004 Kustriyani M. Perbedaan Pengetahuan dan Sikap Siswi Sebelum dan Sesudah Pemberian Pendidikan Kesehatan Tentang Keputihan di SMA Negeri 4 Semarang. Semarang . Fakultas Kedokteran, Universitas Diponegoro,2009 Donatilla A. Hubungan Antara Pengetahuan Dengan Perilaku Menjaga Kebersihan Genitalia Eksterna Dengan Kejadian Keputihan Pada Siswi SMA Negeri 4 Semarang. Semarang. Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro,2011 Notoatmodjo S. Metode Penelitian Kesehatan. Rineka Cipta.Jakarta,2005 Usman H. Dan Akbar P. S. Pengantar Statistika. Bumi Aksara. Jakarta, 2003 Marwali H. Penyakit menular Seksual. Gramedia. Jakarta,1990 Aristha., Zuhriyah L., Rosita R. Kejadian Keputihan Pada Remaja Putri Yang Tinggal Di Sekitar Sungai Bebadung Desa Gumelar Kecamatan Balung_-Jember. Malang. Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, 2008 Zubier ., Daili SF., Makes ., Judanarso J. Vaginosis Bakterial. Penyakit menular seksual. Edisi kedua. Jakarta. Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, 2002 Price S.A.,Wilson L.M. Patofisiologi Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran. Jakarta, 2006 Clayton C. Keputihan dan infeksi jamur candida lain, seri kesehatan wanita. Arcan. Jakarta,1996 Profil Puskesmas Narmada, 2012 Profil Dinas Kesehatan Kabupaten Lombok Barat, 2013 Suprihatin SD. Candida dan Kandidiasis Pada Manusia. FKUI.Jakata, 1982 23 PREVALENSI ZOONOTIC HOOKWORM YANG BERPOTENSI MENYEBABKAN CREEPING ERUPTION DI CAKRANEGARA Ersandhi Resnhaleksmana1, Pancawati Ariami1, I Gusti Ayu Nyoman Danuyanti1 1 Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan Abstrak Pemeliharaan hewan seperti anjing di Cakranegara tidak diimbangi dengan pemahaman yang baik tentang penyebaran penyakit dapat meningkatkan resiko penularan penyakit dari hewan ke hewan lain atau dari hewan ke manusia. Anjing yang hidup liar mempunyai resiko penularan penyakit yang lebih tinggi dibandingkan dengan anjing yang dipelihara. Salah satu penyakit hewan yang dapat ditularkan ke manusia (zoonosis) adalah kecacingan, seperti infeksi oleh Hookworm. yang dapat menyebabkan creeping eruption. Penelitian ini bersifat observasional deskriptif, dengan tujuan untuk menentukan prevalensi Zoonotic Hookworm pada anjing yang berpotensi menyebabkan creeping eruption di Cakranegara. Pengambilan sampel secara purposive sampling sebanyak 30 sampel dengan pemeriksaan metode cat basah dan Berrman. Hasil penelitian didapatkan Prevalensi zoonotic hook worm adalah 14 dari 30 sampel tinja anjing (46%). Kata kunci : Prevalensi, Zoonotic Hookworm, creeping eruption. Abstract Maintenance of animals like dogs in Cakranegara not matched with a good understanding of the spread of the disease. That Causes increase the risk of disease transmission from animal to animal or from animal to human. A wild dog that lives at risk of disease transmission is higher than the breed. One of the animal diseases that can be transmitted to humans (zoonoses) is a Hookworm. which can cause creeping eruption. This study was an observational descriptive, with the aim to determine the prevalence of Zoonotic Hookworm in dogs that could potentially cause creeping eruption in Cakranegara. Sampling was purposive sampling as many as 30 samples with wet paint (direct) and Berrman methods. Results, the prevalence of zoonotic hook worm was 14 of 30 samples of dog feces (46%). Keywords: Prevalence, Zoonotic Hookworm, Creeping eruption. 24 binatang peliharaan. Anjing telah bekerja dan tinggal bersama manusia dengan banyak peran yang membuat mereka digelari "teman terbaik manusia" (Budiana NS., 2007). Zoonosis yang disebabkan oleh anjing antara lain creeping eruption. Creeping eruption merupakan suatu kondisi di mana larva filariform dari Ancylostoma braziliensis dan Ancylostoma caninum yang berasal dari anjing menembus kedalam lapisan kulit manusia dan melakukan migrasi secara terbatas pada kulit, yang dapat menimbulkan gangguan antara lain, peradangan kulit yang kemudian terjadi penebalan secara lokal yag disertai rasa gatal dan nyeri, infeksi sekunder, susah tidur, dan kehilangan konsentrasi dalam melakukan aktifitas (Soeharsono, 2006). Anjing yang tidak terpelihara dengan baik, hidup di lingkungan yang tidak bersih dan memakan makanan yang terkontaminasi larva atau telur cacing akan menyebabkan kecacingan nematoda usus (Hookworm) yaitu Ancylostoma caninum dan Ancylostoma braziliensis dan berpotensi menyebabkan creeping eruption pada manusia. Infeksi pada anjing terjadi bila telur dan larva cacing yang hidup di kotoran termakan oleh anjing, Kemudian cacing masuk kedalam saluran pencernaan di tubuh anjing. Anak anjing tertular cacing saat mengonsumsi air susu dari induk anjing. Anjing (yang terinfeksi) membuang kotoran sembarang tempat, selanjutnya manusia mendapat infeksi bila larva atau telur cacing tertelan, atau menginjak tinja anijng yang mengandung larva atau telur cacing. Prevalensi kecacingan Ancylostoma braziliensis pada anjing di Indonesia yang telah tercatat sebesar 18% dan Ancylostoma caninum sebesar 68% (Gandahusada dkk., 2006). Lingkungan Kecamatan Cakranegara merupakan salah satu wilayah di Kota Mataram masih banyak warga yang menjadikan anjing sebagai hewan peliharaan, namun sebagian besar anjing Latar Belakang Kesehatan manusia dihadapkan dengan berbagai macam permasalahan yang kompleks, Salah satunya adalah penyakit kecacingan yang disebabkan oleh parasit berupa cacing, yang beraneka ragam jenisnya. Kecacingan berkaitan erat dengan sanitasi lingkungan yang buruk. Disamping itu juga kebersihan pribadi yang tidak terjaga, mengkonsumsi makanan yang diduga terkontaminasi dengan telur cacing, tingkat pengetahuan aspek sosial ekonomi yang masih rendah serta kontak dengan tanah yang diduga terkontaminasi dengan telur cacing (Onggowaluyo, 2002). Penyakit kecacingan tersebar luas, baik di pedesaan maupun di perkotaan. Hasil survei Departemen Kesehatan Republik Indonesia di beberapa provinsi di Indonesia pada tahun 2006 menunjukkan prevalensi kecacingan untuk semua umur berkisar antara 40-60 % (Supari S.F., 2006). Sekurang-kurangnya sejak abad 23 SM, orang telah mulai menyadari adanya penyakit menular pada hewan yang dapat ditularkan kepada manusia, yang disebut zoonosis. Sejak saat itu mulai disadari pula bahwa pengendalian penyakit tersebut baru dapat berhasil bila dalam pelaksanaannya diarahkan pada rantai penularan yang bukan saja pada lingkungan hewan dan habitatnya, tetapi juga pada manusia (Soeharsono, 2006). Anjing dan kucing merupakan hewan sosial sama seperti halnya manusia. Kedekatan pola perilaku anjing dengan manusia menjadikan anjing bisa dilatih, diajak bermain, tinggal bersama manusia, dan diajak bersosialiasi dengan manusia. Anjing memiliki banyak peran dalam masyarakat manusia dan sering dilatih sebagai anjing pekerja. Berbagai anjing pekerja dari segala jenis banyak bekerja sebagai anjing penggembala dan pekerjaan baru seperti anjing pelacak dan anjing penuntun tuna netra atau anjing pelayanan. Peran anjing yang paling umum dan paling penting di banyak negara adalah sebagai 25 yang dipelihara di daerah tersebut tidak terawat dengan baik dan tidak terjaga kesehatannya. Data prevalensi Nematoda usus (Hookworm) di Lingkungan Karang Jasi Kelurahan Cilinaya Kecamatan Cakranegara pada tinja anjing yang berpotensi menyebabkan creeping eruption belum ada, Oleh karena itu perlu di lakukan penelitian mengenai prevalensi Zoonotic Hookworm pada tinja anjing yang berpotensi menyebabkan creeping eruption di Kecamatan Cakranegara dengan tujuan mendapat data mengenai infeksi zoonotic hookworm, yang nantinya menjadi dasar sebagai informasi tambahan bagi instansi terkait dan juga sebagai informasi bagi masyarakat akan pentingnya pengetahuan dan pemahaman mengenai pemeliharaan hewan sehingga trhindar dari infeksi zoonotic hookworm. pada tinja anjing di Lingkungan Karang Jasi Kelurahan Cilinaya Kecamatan Cakranegara adalah sebagai berikut: Gambar Hasil pemeriksaan nematoda usus pada tinja anjing yang berpotensi menyebabkan creeping eruption. Gambar menunjukkan telur hookworm fertile dengan ciri bagian tepi bening dengan bagian dalam terdapat lobus lobus tejadinya pembelahan untuk menjadi fertile Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan desain cross sectional, dalam penelitian ini digunakan 30 sampel tinja anjing di sekitar Cakranegara, dengan ciri sampel adalah masih baru. Pengambilan sampel dilakukan dengan cara mengambil sedikit tinja anjing dengan menggunakan lidi, lalu dimasukkan kedalam wadah copok dengan penutup mencegah agar sampel tinja tidak kering. Penentuan infeksi zoonotic hookworm ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan mikroskopis Tinja langsung menggunakan cat eosin, Sedimentasi dan dilanjutkan dengan meode biakan Beerman untuk mengidentifikasi, melihat perkembangan telur menjadi larva rabditiform - filariform. Data yang diperoleh dalam penelitian ini adalah terdapatnya telur dan larva cacing hookworm yang dapaqt memnyebabkan creeping eruption. Gambar menunjukan telur infektif dan terdapat larva didalamnya. Hasil Berdasarkan hasil pemeriksaan nematoda usus yang berpotensi menyebabkan creeping eruption (Ancylostoma braziliensis dan Ancylostoma caninum) 26 penularan penyakit. Salah satunya adalah zoonotic hookworm. Sebagian besar populasi di dunia dicemari oleh anjing yang terinfeksi Ancylostoma spp., sehingga paparan Ancylostoma spp. pada anjing akan menyebar luas. Prevalensi infeksi 60% sampai 70% dilaporkan pada anjing liar di Amerika Serikat Timur dan Amerika tengah, sedangkan di Amerika Tenggara 86% (43 dari 50 anjing diperiksa di rumah sakit hewan ditemukan terinfeksi Ancylostoma spp.) (schad,1994). Di Argentina dilaporkan dari total sebanyak 400 sampel 50,78% (204 dari 400 anjing) merupakan infeksi dari Ancylostoma spp (Andresuk, dkk 2007). Thailand dengan 78 sampel tinja anjing yang di periksa pada tahun 2010 sebesar 64,1% (49 dari 78 sampel tinja anjing) terinfeksi Ancylostoma spp. Prevalensi kecacingan Ancylostoma braziliensis pada anjing di Indonesia (Jakarta) yang telah tercatat sebesar 18% dan Ancylostoma caninum sebesar 68% (Gandahusada, 2006). Cakranegara merupakan lingkungan dengan suhu berkisar antara 270 - 300C. Dimana biasanya terdapat pepohonan yang dibawahnya terdapat tanah berpasir di badan jalan. anjing-anjing yang berada di sekitarnya sering melakukan defekasi ditempat tersebut. Serta banyaknya tempat pembuangan sampah yang tidak terawat dengan baik sehingga biasanya selain memakan sisa makanan yang terdapat di tempat pembuangan sampah tersebut, anjing-anjing di wilayah ini juga sering menggunakannya sebagai tempat defekasi. Hal inilah yang menyebabkan mudahnya terjadinya penularan Ancylostoma spp. dari anjing ke anjing tersebut. Dengan banyaknya populasi anjing liar dan anjing yang tidak terpelihara dengan baik mempermudah pencemaran lingkungan oleh Ancylostoma spp., sehingga hal ini lah yang menyebabkan tingginya angka kecacingan Ancylostoma spp. Infeksi oleh cacing Ancylostoma spp. umumnya diperoleh melalui kontak larva yang berasal dari tanah yang lembab dan Gambar menunjukan larva rabditiform dari Ancylostoma spp. Grafik infeksi zoonotic hookworm yang diedentifikasi dari sampel tinja anjing di Cakranegara Garfik menunjukkan bahwa infeksi zoonotic hookworm yang disebabkan oleh Ancyloctoma spp. Positif sebesar 46% (14 dari 30 sampel tinja anjing). Sedangkan yang menunjukkan hasil negatif sebesar 54% ( 16 dari 30 sampel tinja anjing). Pembahasan Penelitian ini menunjukkan adanya persentase zoonotic hookworm yang cukup tinggi pada anjing yang terdapat di Cakranegara, yaitu angka infeksi 46%. (54.8%). Pemeliharaan hewan kesayangan seperti anjing jika tidak diimbangi dengan pemahaman yang baik tentang penyebaran penyakit dapat meningkatkan resiko penularan penyakit dari hewan ke hewan lain atau dari hewan ke manusia. Ditambah lagi dengan banyaknya anjing yang hidup liar dan tidak mempunyai majikan, sehingga angka penularan penyakit akan meningkat. Dalam kondisi ini menyebabkan anjing rentan terhadap 27 berpasir, biasanya menjadi tempat anjing melakukan defekasi, sehingga memungkinkan terjadinya infeksi secara kebetulan oleh larva filariform. Telur dan larva cacing hidup ditinja yang termakan anjing, selanjutnya larva cacing tertelan kedalam saluran pencernaan ditubuh anjing. Kemudian Cacing masuk kedalam tubuh anjing diantaranya ke hati. Dalam migrasinya larva dapat mencapai uterus, menembus selaput janin hingga anak anjing yang baru dilahirkan pun telah mengandung larva di dalam tubuhnya. Larva tersebut dapat juga mencapai kelenjar susu dan dapat terlarut dalam air susu hingga anak anjing yang masih menyusu pun dapat terinfeksi melalui air susu yang diminum. Larva stadium ketiga dapat diisolasi dari kelenjar susu induk pada hari ke-20 pasca lahir. Larva tersebut tidak hanya dapat diisolasi dari kolostrum tetapi sudah diekskresikan sejak dua sampai dengan sepuluh hari pasca lahir (sampai periode laktasi berakhir). Periode prepaten cacing A. caninum yang lewat uterus atau kelenjar susu (kolostrum) biasanya 14-16 hari hingga anak anjing yang baru berumur beberapa hari telah dapat mengandung cacing dewasa dalam ususnya. Baik larva stadium dua dan larva stadium tiga sumber makanan sama dengan larva stadium satu. Larva filariform bila menembus kulit manusia akan membentuk alur yang menjalar disertai respon peradangan atau migrasi ke jaringan yang lebih dalam dan siklus perjalanan larva terhenti bila larva mati di dalam jaringan atau disebut juga dengan creeping eruption. Bila larva filariform tadi menembus kulit anjing maka larva filariform dari Ancylostoma spp. ini akan bermigrasi kedalam aliran darah menuju ke jantung, selanjutnya masuk ke dalam alveoli paru-paru. Di dalam paru – paru larva merobek dinding paru – paru dan bermigrasi ke usus kecil melalui trakea selanjutnya larva filariform tadi menuju ke esofagus dan lambung, kemudian kembali menjadi cacing dewasa di dalam usus halus. Manusia mendapatkan infeksi apabila larva infektif dari tanah menembus kulit. Apabila larva menembus kulit, akan menimbulkan papula dengan rasa gatal; dan dalam beberapa hari akan terbentuk alur linier yang menimbul. Pergerakan larva dalam terowongan membuat alur tersebut bertambah beberapa milimeter setiap hari, garukan yang hebat dapat menimbulkan infeksi sekunder (Garcia, dkk 1996). Selain itu Infeksi oleh larva juga dapat juga melalui mulut. Larva stadium tiga yang infektif memasuki tubuh melalui mulut bersamaan dengan makanan atau cairan yang terkonsumsi. Larva tersebut bermigrasi kedalam lapisan atas dari mukosa usus halus dalam beberapa hari setelah tertelan, kemudian kembali kelumen usus halus. Di dalam lumen cacing akan berkembang menjadi stadium dewasa (Subronoto,2006) Telur yang telah diletakkan di usus halus oleh cacing betina keluar bersamaan dengan tinja. Lingkungan yang 0 mendukung (suhu 23 – 30 C tanah berpasir dan basah, kelembaban tinggi) didalam telur akan terbentuk larva stadium satu. Setelah 12-36 jam, telur yang mengandung larva stadium satu akan segera menetas dan terbebaslah larva stadium satu yang mempunyai bentuk esofagus. larva rhabditiform berukuran 275 mikron serta memanfaatkan sisa organik dan bakteri sebagai bahan makanan. Larva stadium satu akan segera memasuki fase lethargi (istirahat) dan selanjutnya berubah menjadi larva stadium dua yang esofagusnya sudah kelihatan lebih langsing, setelah 5-8 hari akan mengalami penyilihan lagi dan menjadi larva stadium tiga (infektif) dengan esofagus filariform. Anjing yang hidup di Cakranegara merupakan kebanyakan anjing yang dipelihara oleh masyarakat sekitarnya dan sisanya merupakan anjing liar. Sebagai penyebab utama adalah sebagian besar dari anjing tersebut tidak di rawat dengan baik, sehingga anjing-anjing tersebut memakan 28 kotoran heawan dan sisa makanan yang terdapat di tempat pembuangan sampah di sekitarnya. Diakibatkan kedekatan kehidupan anjing dengan manusia yang memanfaatkannya sebagai hewaan peliaharaan, sebagai hiburan, hobby maupun penjaga rumah inilah yang berakibat manusia dapat dengan mudah tertular oleh zoonotic hookworm. Sesuai dengan sebuah survei di Brisbane Australia menunjukkan bahwa anjing liar adalah salah satu sumber infeksi yang menyebabkan kontaminasi Ancylostoma spp. di tempat umum (McCarthy dan Moore, 2000). 8. Soeharsono, 2006 Zoonosis 2, Penyakit Menular dari hewan kemanusia; Kanisius 9. Subronto, 2006. Penyakit Infeksi Parasit dan mikroba pada anjing dan kucing. Gajah Mada University Press. Yogyakarta 10. Supari S.F., 2006 Pedoman Pengendalian Cacingan, Depkes RI Kesimpulan Prevalensi zoonotic hookworm pada anjing di Cakranegara adalah 46%, dan disebabkan oleh Ancylostoma spp. Daftar Pustaka 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. Andresiuk V., SardellaN., Denegri G., 2007 Seasonal Fluctations in prevalence of dog intestinal parasites in public square of Mar del Palata city Argentina and risk for Human.revista Argentina de Microbuologia vol 39 no 4 desember 2007 Budiana NS., 2007 Anjing ; Penebar SwadayaDepok Gandahusada, S., Herry D.I., Wita P., 2006 Parasitologi Kedokteran Cetakan Ke VI, FKUI, Jakarta Garcia S., Lynne dan david A. Brucner, 1996 Diagnostic Parasitologi Kedokteran , Buku Kedokteran Jakarta Mc.charty J., dan Moore T., A., 2000 Emerging Helminth Zoonoses, Internasional Journal for Parasitology November 2000, vol. 30 (12): 13511359 Onggowaluyo J.S. (2002) Parasitologi Medik I Helminthologi, pendekatan aspek indentifikasi, diagnosis dan klinik. Jakarta ; EGC Schad G.A., 1994 Hookworm: Pets to Humans. Ann Intern Med. 1 Maret 1994 29 PENGARUH PENAMBAHAN KULIT MANGGIS PADA MINYAK JELANTAH TERHADAP KADAR BILANGAN PEROKSIDA Iswari Pauzi¹, Haerul Anam¹, Ni Made Uci Pramesthy Dewi¹ ¹Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan Abstrak Minyak goreng tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Minyak goreng digunakan sebagai media panas dalam proses penggorengan. Selain bermanfaat minyak goreng dapat menjadi salah satu faktor penyebab penyakit. Minyak goreng yang dipakai pada proses penggorengan secara berulang-ulang, akan mengalami oksidasi dan akan membentuk radikal bebas. Kerusakan minyak akibat proses oksidasi diukur dengan bilangan peroksida. Kerusakan minyak dapat dicegah dengan cara menambahkan antioksidan.Buah manggis selain mengandung vitamin dan mineral juga mengandung antioksidan yang terdapat pada kulitnya.Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah ada pengaruh penambahan kulit manggis pada minyak jelantah terhadap kadar bilangan peroksida. Metode penelitian yang digunakan adalah metode eksperimen dengan rancangan percobaan RAL . Besarnya sampel yang dipergunakan 2600 ml minyak jelantah 240 gr kulit manggis.Dari hasil penelitian yang diuji secara statistik menggunakan uji One Way Anova pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) menunjukkan bahwa ada pengaruh penambahan kulit manggis 5%, 10% dan 15% b/v yang signifikan terhadap kadar bilangan peroksida pada minyak jelantah. Kata Kunci : Minyak Jelantah, Kulit manggis EFFECT OF THE ADDITION OF COOKING OIL MANGOSTEEN SKIN AGAINST PEROXIDE LEVELS NUMBERS Abstract Cooking oil can not be separated from everyday life . Cooking oil is used as a medium heat in a frying process . Helpful addition to cooking oil can be one of the factors that cause disease . Cooking oil used in frying process repeatedly , will oxidize and will form free radicals . Damage due to oil oxidation process was measured with peroxide . Oil damage can be prevented by adding antioxidants.Besides mangosteen fruit contains vitamins and minerals also contain antioxidants found in the skin.The purpose of this study was to determine whether there is the effect of adding mangosteen peel the waste cooking oil on levels of peroxide . The method used is an experimental method to design experiments RAL . The amount of sample used in 2600 ml cooking oil 240 gr mangosteen peel.The research results are statistically tested using One Way Anova test at 95% confidence level ( α = 0.05 ) indicates that there is the effect of mangosteen peel 5 % , 10 % and 15 % w/v significantly to the peroxide concentration on oil cooking. Keywords : Cooking oil , Mangosteen skin 30 (kisaran 0,1-0,6%), dan tertinggi di kota Mataram. Dimana secara nasional angka prevalensi penyakit tumor/kanker sebesar 0.4%. Hal tersebut menunjukkan bahwa di kota Mataram prevalensi penyakit tumor/kanker sangat tinggi. Salah satu penyebab penyakit tumor/kanker adalah menumpuknya radikal bebas akibat mengkonsumsi bahan-bahan pangan yang tidak sehat, diantaranya penggunaan minyak jelantah pada proses penggorengan. Berdasarkan bahaya yang dapat ditimbulkannya, minyak jelantah seharusnya dibuang dan tidak dapat dipergunakan lagi untuk proses penggorengan. Tetapi dengan kemajuan ilmu pengetahuan, minyak jelantah masih dapat dipergunakan untuk proses penggorengan. Salah satu cara yang mudah dan murah untuk mengolah minyak jelantah agar dapat dipergunakan lagi adalah dengan menambahkan suatu zat yang dapat menghambat proses oksidasi asam lemak tak jenuh dalam minyak. Zat ini dikenal sebagai antioksidan. Antioksidan dapat berasal dari sintesis seperti asam askorbat, asam maleat, asam fumarat dan dari alam seperti vit C, kedelai, buah-buahan (Ketaren, 1986). Menurut Heyne (1997), disamping mengandung vitamin dan mineral, buah dan kulit manggis juga mengandung antioksidan. Kulit manggis sangat kaya dengan antioksidan. Jumlah kandungan antioksidan pada kulit buah manggis 27 lebih banyak daripada yang ada pada daging buah manggis. Kandungan antioksidan kulit manggis 66.7 kali wortel, dan 8.3 kali jeruk. Kulit manggis mengandung antioksidan 17.000–20.000 orac per 100 ons. Bandingkan dengan sayur dan buah yang mempunyai kadar antioksidan tinggi seperti wortel dan jeruk masing–masing hanya 300 orac dan 2.400 orac. Orac –(Oxygen radical absorbance capacity) adalah kemampuan antioksidan menetralkan radikal bebas penyebab penyakit degenaratif seperti jantung, strok, dan kanker (Trubus, 2009). Berdasarkan Latar Belakang Minyak goreng memang sulit dipisahkan dari kehidupan masyarakat. Makanan yang digoreng biasanya lebih lezat dan gurih, tanpa membutuhkan tambahan bumbu bermacam-macam. Dengan demikian, menggoreng adalah cara yang paling praktis untuk memasak (Arini, 1999). Dalam proses penggorengan, minyak goreng berperan sebagai media untuk perpindahan panas yang cepat dan merata pada permukaan bahan yang digoreng (Maskan, 2003). Penggunaan minyak goreng secara kontinyu dan berulang-ulang pada suhu tinggi (160-180 oC) disertai adanya kontak dengan udara dan air pada proses penggorengan akan mengakibatkan terjadinya reaksi oksidasi yang komplek dalam minyak dan menghasilkan barbagai senyawa hasil reaksi seperti pembentukan peroksida dalam minyak. Oleh sebab itu kerusakan pada minyak atau lemak akibat reaksi oksidasi dapat ditentukan dengan mengukur bilangan peroksida (Ketaren, 1986). Minyak goreng juga mengalami perubahan warna dari kuning menjadi warna gelap. Reaksi oksidasi ini menurunkan kualitas minyak dan akhirnya minyak tidak dapat dipakai lagi dan harus dibuang (Maskan, 2003). Produk reaksi oksidasi yang terdapat dalam minyak ini juga akan menurunkan kualitas bahan pangan yang digoreng dan menimbulkan pengaruh buruk bagi kesehatan (Lee, 2002). Minyak jelantah (waste cooking oil) adalah minyak goreng bekas yang mengandung senyawa-senyawa yang bersifat karsinogenik. Dimana pemakaian minyak jelantah yang berkelanjutan dapat merusak kesehatan manusia, menimbulkan penyakit kanker, pengendapan lemak pada pembuluh darah, dan akibat selanjutnya dapat mengurangi kecerdasan (Sunjayadi, 2007). Berdasarkan data Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nusa Tenggara Barat tahun 2007, prevalensi penyakit tumor/kanker sebesar 0,3% 31 penelitian, pemakaian antioksidan yang efektif ditambahkan pada bahan-bahan makanan dengan tujuan memperbaiki kualitas bahan pangan adalah dengan konsentrasi 10% (Yuliana, dkk. 2005). Tujuan penelitian adalah menganalisis perbedaan kadar bilangan peroksida sebelum dan setelah penambahan kulit manggis 5%, 10% dan 15% (b/v). Pipet KIO30,01 N sebanyak 10,0 ml masukkan dalam erlenmeyer 250 ml. Tambahkan aquadest 25 ml.Tambahkan 5 ml KI 10% dan 5 ml H2SO4 6 N.Titrasi dengan Na.tiosulfat 0,01 N sampai kuning pucat.Tambahkan indikator amylum 1% sebanyak 5 tetes.Titrasi dilanjutkan dengan Na tiosulfat 0,01 N sampai end point (biru hilang). b. Penetapan Kadar Bilangan Peroksida. Timbang 25 gr sampel masukkan dalam erlenmeyer tutup asah.Ditambahkan 30 ml campuran pelarut (20 ml Asam asetat + 20 ml Alkohol 96% dan 55 ml Cloroform). Digoyang sampai bahan terlarut semua. Ditambahkan 1 gr KI. Diamkan selama 30 menit ditempat gelap kemudian ditambahkan 25 ml aquadest dan 1 ml indikator amylum. Dititrasi dengan larutan Na. Tiosulfat 0,01 N sampai end point (biru hilang). Hitung kadar H2O2. 3. Rumus Perhitungan a. Standarisasi Na2S2O3 N KIO3 x V KIO3 = Metode Penelitian a. Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes Mataram pada bulan Juli 2010. b. Rancangan Penelitian. Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimendengan rancangan penelitian, rancangan acak lengkap (RA). c. Data yang Dikumpulkan Data yang dikumpulkan adalah hasil analisa kimia secara titrasi iodometri yaitu sebagai berikut : 1. Kadar bilangan peroksida pada minyak jelantah sebelum penambahan kulit manggis. 2. Kadar bilangan peroksida pada minyak jelantah setelah penambahan kulit manggis sebanyak 5% b/v 3. Kadar bilangan peroksida pada minyak jelantah setelah penambahan kulit manggis sebanyak 10% b/v 4. Kadar bilangan peroksida pada minyak jelantah setelah penambahan kulit manggis sebanyak 15% b/v d. Cara Pengumpulan Data 1. Persiapan Sampel. Dipipet masing-masing minyak jelantah. Panaskan pada suhu 80 oC. Masukkan kedalam minyak jelantah yang sudah dipanaskan kulit manggis (5%, 10% dan 15% b/v), diamkan selma 30 menit. Masing-masing sampel dikerjakan 8 kali replikasi 2. Prosedur Kerja a.Standarisasi Na thiosulfat 0,01N dengan KIO3 0,01 N. Vt Na 2S2O3 b. Kadar Bilangan peroksida = Vt x Ns Na 2S2 O 3 x 8 x 100% W sampel (g) Keterangan : Vt = Volume titrasi W = Berat sampel Ns = Normalitas Na2S2O3 yang sebenarnya setalah dibakukan e. Pengelolahan dan Analisis Data 1. Pengolahan Data Penelitian ini bersifat eksperimental (percobaan di laboratorium) dengan menggunakan Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan. Data hasil pemeriksaan bilangan 32 peroksida dimasukkan dalam tabel yang digunakan untuk merekap data hasil pemeriksaan kadar bilangan peroksida yang akan diolah untuk uji statistikanova one way. 2. Analisis Data Untukmengetahuipengaruh penambahan kulit manggis terhadap kadar bilangan peroksida, dilakukan analisis statistik yaitu anova one way (analisa satu arah) pada tingkat kepercayaan 95 % (α = 0,05). Uji statistik dilakukan dengan bantuan software.Untuk mengetahui tingkat signifikan dari perlakuan terhadap sampel didasarkan dengan membandingkan probabilitas (p) dengan α.Jika p<α berarti ada pengaruh dari perlakuan terhadap sampel dan data yang didapatkan signifikan, artinya hipotesis alternatif (Ha) diterima.Untuk mengetahui perlakuan penambahan kulit manggis yang memberikan pengaruh terhadap kadar bilangan peroksida dilakukan uji lanjutan dengan uji komparasi ganda dengan metode Tuekey. Kulit manggis yang digunakan adalah kulit dari buah manggis yang sudah matang berwarna hitam keunguan. Buah manggis dikupas dan diambil kulitnya. Penambahan kulit manggis di variasikan menjadi tiga konsentrasi yaitu 5 gr kulit manggis dalam 100 ml minyak jelantah (5%b/v), 10 gr kulit manggis dalam 100 ml minyak jelantah (10%b/v) dan 15 gr kulit manggis dalam 100 ml minyak jelantah (15%b/v). Sebelumnya minyak jelantah dipanaskan terlebih dahulu pada waterbath sampai mencapai suhu 80 oC. Sampel ditempatkan pada botol plastik dan didiamkan selama 30 menit pada suhu kamar. Pemeriksaan kadar bilangan peroksida minyak jelantah dilakukan pada tanggal 8 Juli 2010. Yang diawali dengan standarisasi kemudian dilanjutkan dengan penetapan kadar. Penelitian ini menggunakan metode titrasi Iodometri yang menggunakan Natrium Thiosulfat 0,1 N sebagai titran dengan indikator amylum 1%. Jenis penelitian adalah Eksperimental dengan 8 kali replikasi dan 24 unit percobaan. b. Hasil Penelitian Dari hasil penelitian yang telah dilakukan, diperoleh kadar bilangan peroksida (mg O2/100gr) minyak jelantah, untuk 4 variasi konsentrasi kulit manggis sesuai tabel berikut. Hasil a. Gambaran Umum Penelitian Sampel minyak jelantah yang digunakan adalah minyak jelantah yang dipakai oleh pedagang gorengandi depan Pasar Abiantubuh. Minyak jelantah tersebut sudah dipakai untuk proses penggorengan lebih dari 2 kali. Tabel 1. Kadar bilangan peroksida minyak jelantah sebelum ditambahkan kulit manggis Replikasi Kode Sampel 1 2 0%.1 0%.2 Kadar (mg O2/100 gr) 2,49 2,23 Tidak memenuhi syarat Tidak memenuhi syarat 2,36 Tidak memenuhi syarat Rata-rata PadaTabel 1 menunjukan bahwa kadar bilangan peroksida pada minyak jelantah sebelum ditambahkan kulit manggis cukup tinggi (melebihi nilai Keterangan standar). Nilai standar untuk bilangan peroksida menurut SII adalah < 1 mg O2/100 gr minyak. 33 Tabel 2. Kadar bilangan peroksida minyak jelantah dengan penambahan kulitmanggis 5% b/v Konst Replikasi KuliManggis 5% 1 2 3 4 5 6 7 8 Rata - rata KodeSampel 1 2 3 4 5 6 7 8 Tabel2 menunjukan bahwa kadar bilangan peroksida pada minyak jelantah dengan penambahan kulit manggis 5% mengalami KadarMg O2/100 gr 1.97 1.71 1.83 2.22 2.10 1.83 1.97 1.96 1.95 % Penurunan 0.39 0.65 0.53 0.14 0.26 0.53 0.39 0.40 0.41 penurunan sebesar 0.41 % dari kadar bilangan peroksida awal (0%). Tabel 3. Kadar bilangan peroksida minyak jelantah dengan penambahan kulit manggis 10% b/v Konst Kulit Replikasi KodeSampel KadarMg % Penurunan Manggis O2/100 gr 10 % 1 1 1.57 0.79 2 2 1.57 0.79 3 3 1.31 1.05 4 4 1.70 0.66 5 5 1.05 1.31 6 6 1.57 0.79 7 7 1.70 0.66 8 8 1.84 0.52 Rata - rata 1.54 0.82 Tabel3 menunjukan bahwa kadar bilangan peroksida pada minyak jelantah dengan penambahan kulit manggis 10% mengalami penurunan sebesar 0.82 % dari kadar bilangan peroksida awal (0%). Tabel 4. Kadar bilangan peroksida minyak jelantah dengan penambahan kulit manggis 15% b/v Konst Kulit Replikasi KodeSampel KadarMg % Manggis O2/100 gr Penurunan 1 1 1.18 1.18 15% 2 2 1.31 1.05 3 3 0.92 1.44 4 4 1.70 0.66 5 5 1.18 1.18 6 6 1.57 0.79 7 7 1.70 0.66 8 8 0.79 1.57 Rata - rata 1.29 1.07 34 Tabel 4 menunjukan bahwa kadar bilangan peroksida pada minyak jelantah dengan penambahan kulit manggis 15% mengalami penurunan sebesar 1.07 % dari kadar bilangan peroksida awal (0%). Dari tabel 2, 3 dan 4 menunjukan bahwa kadar bilangan peroksida pada minyak jelantah menurun dengan penambahan kulit manggis pada variasi konsentrasi (5%, 10% dan 15% b/v). Tabel 5. Kadar bilangan peroksida minyak jelantah dengan penambahan kulit manggis pada berbagai konsentrasi (5%, 10% dan 15% b/v). 1 2 3 4 5 6 7 8 Jumlah Total Jumlah Ratarata Perlakuan T2 (10%b/v) 1.57 1.57 1.31 1.7 1.05 1.57 1.7 1.84 12.31 1.54 T1 (5%b/v) 1.97 1.71 1.83 2.22 2.1 1.83 1.97 1.96 15.59 1.95 Tabel5 bahwa kadar bilangan peroksida pada minyak jelantah dengan penambahan kulit manggis dari konsentrasi terkecil 5% ke konsentrasi 10% dan 15% terjadi penurunan. T3 (15%b/v) 1.18 1.31 0.92 1.7 1.18 1.57 1.7 0.79 10.35 1.29 Tabel 6. Uji Normalitas Data (syarat p>0.05) Levene df1 df2 Sig. Statistic 2,276 2 21 ,12 7 c. Hasil uji statistik Data penelitian diolah menggunakan Uji statistik Anova One Way pada tingkat kepercayaan 95% (α = 0,05) dan dilanjutkandengan uji Tukey HSD (Highly Significance Difference). Tabel 6 dapat dilihat bahwa p = 0,127 > 0,05 yang berarti bahwa data homogen. Tabel 7. Dependen Variable : Bilangan Peroksida (Syarat p < 0,05) Sum of Squares df Mean Square F Sig. Between Groups 1,752 2 ,876 Within Groups 1,446 21 ,069 Total 3,198 23 35 12,72 9 ,000 Tabel 7 menunjukkan bahwa penambahan kulit manggis , mempunyai pengaruh yang signifikan terhadap kadar bilangan peroksida pada minyak jelantah (p = 0,000 < 0,005). Tabel 8. Uji Tukey HSD berdasarkan Konsentrasi Kulit Manggis Multiple Comparisons Dependent Variable: Kadar Peroksida (%) Tukey HSD (I) (J) Mean Penambaha Penambahan Std. 95% Confidence Differen Sig. n Kulit Kulit Error Interval ce (I-J) Manggis Manggis Lower Upper Boun Bound d 5% 10% ,4100(*) ,1311 ,014 ,0793 ,7407 8 15% ,6550(*) ,1311 ,000 ,3243 ,9857 8 10% 5% -,4100(*) ,1311 ,014 -,7407 -,0793 8 15% ,2450 ,1311 ,173 -,0857 ,5757 8 15% 5% -,6550(*) ,1311 ,000 -,9857 -,3243 8 10% -,2450 ,1311 ,173 -,5757 ,0857 8 Tabel 8 menunjukkan adanya perbedaan pengaruh pada konsentrasi 5% dengan konsentrasi 10% dan 15%. Tetapi pada konsentrasi 10% dan 15% tidak menunjukkan adanya perbedaan pengaruh. Pembahasan Pengaruh Konsentrasi Kulit manggis Terhadap Bilangan Peroksida Pada Minyak Jelantah Hasil penelitian menunjukan bahwa minyak jelantah tanpa penambahan kulit manggis (0%) yang menjadi kontrol mempunyai kadar bilangan peroksida paling tinggi dibandingkan dengan bilangan peroksida pada minyak jelantah yang ditambahkan kulit manggis pada konsentrasi 5%, 10% dan 15%. Perbedaan kadar bilangan peroksida disebabkan karena adanya zat antioksidan dalam kulit manggis. Antioksidan dapat menghambat proses oksidasi asam lemak tak jenuh dalam minyak sehingga dapat menurunkan kadar bilangan peroksida. Zat antioksidan yang terdapat pada kulit manggis adalah senyawa Xanthone yang meliputi mangostin, mangostenol, mangostinon A dan B, trapezifolixanthone, tovophylin B, Alfa mangostin, beta mangostin, garcinon B, mangostanol, flavonoid epicatechin dan gartanin. Mekanisme antioksidan dalam menghambat oksidasi atau menghentikan reaksi berantai pada radikal bebas dari lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan oleh 4 macam mekanisme reaksi, yaitu 1) pelepasan hidrogen dari anti oksidan, 2) pelepasan elektron dari antioksidan, 3) addisi lemak ke dalam cincin aromatik pada antioksidan, dan 4) pembentukan senyawa kompleks antara lemak dan cincin aromatik dari antioksidan. Antioksidan dapat menghambat setiap tahap proses oksidasi. Dengan penambahan antioksidan, 36 maka energi dalam persenyawaan aktif diikat oleh antioksidan, sehingga reaksi oksidasi terhenti (Ketaren, 1986). Antioksidan memperlambat pembentukan senyawa peroksida dengan cara menginaktifkan radikal-radikal bebas ROO∙dan R∙ dalam reaksi oksidasi minyak. Menurut Sakidja (1089), antioksidan bertindak sebagai pemberi hidrogen pada radikal bebas seperti ROO∙dan R∙. Minyak jelantah yang ditambahkan kulit manggis menunjukkan semakin besar konsentrasi antioksidan semakin kecil kadar bilangan peroksida pada minyak jelantah dibandingkan dengan kadar bilangan peroksida minyak jelantah tanpa penambahan kulit manggis. a. Interaksi Antara Konsentrasi Kulit Manggis Terhadap Kadar Bilangan Peroksida Pada Minyak Jelantah. Berdasarkan hasil analisis Anova One Way menunjukkan bahwa penambahan kulit manggis pada minyak jelantah memberikan pengaruh yang signifikan (p = 0,000 < 0,05) artinya ada pengaruh penambahan kulit manggis pada minyak jelantah terhadap kadar bilangan peroksida. Pada penelitian, penambahan kulit manggis dengan konsentrasi 10 % dan 15 % yang dapat menurunkan kadar bilangan peroksida paling maksimum. Berdasarkan hasil analisis Tukey HSD menunjukkan bahwa ada perbedaan pengaruh pada penambahan kulit manggis konsentrasi 5% dengan konsentrasi 10% dan 15%. Tetapi pada konsentrasi 10% dengan 15% tidak menunjukkan adanya perbedaan pengaruh. Hal ini sesuai dengan pendapat Yuliana, dkk (2005), bahwa pemakaian antioksidan yang efektif ditambahkan pada bahan-bahan makanan dengan tujuan memperbaiki kualitas bahan pangan adalah dengan konsentrasi 10%. bilangan peroksida pada minyak jelantah setelah penambahan kulit manggis 5% adalah 1,95 mg O2 / 100 g.Kadar bilangan peroksida pada minyak jelantah setelah penambahan kulit manggis 10% adalah 1,54 mg O2 / 100 g.Kadar bilangan peroksida pada minyak jelantah setelah penambahan kulit manggis 15% adalah 1,29 mg O2 / 100 g.Ada pengaruh yang signifikan antara konsentrasi penambahan kulit manggis pada minyak jelantah terhadap kadar bilangan peroksida. Saran Untuk peneliti selanjutnya dapat diteliti tentang pengaruh penambahan kulit manggis dengan lama penyimpanan 0 hari, 10 hari dan 20 hari dengan konsentrasi 10% terhadap kadar bilangan peroksida. Bagi masyarakat, kulit manggis dapat dijadikan alternatif untuk digunakan sebagai penghambat proses ketengikan yang merupakan indikator kenaikan bilangan peroksida pada minyak jelantah. Daftar Pustaka 1. Arini, (1999), ―Minyak Jelantah, Amankah?― , Jurnal LP POM MUI, No. 25 2. Azeredo, H.M.C., Faria, J.A.F., dan M.A.A.P. da Silva, (2004), ―Minimization of Proxide Formation Rate in Soybean Oil by Antioxidant Combinations“ , Food Research International, 37, hal. 689-694 3. Anonim, 2002.‖Dibalik Gurihnya Minyak Goreng Jelantah Merangsang Kanker Kolon”. Rakyat.com 4. Effendi, U AS dan Satia Wihardja, dr. 2010. Minyak Jelantah. IPB 5. Hermann J. Roth dan Blaschke Gottfried, 1998.Analisis Farmasi, Gadjah Mada University Press. 6. Heyne, K., 1987, Tumbuhan Berguna Indonesia III, Penerjemah : Badan 7. Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Yayasan Sarana Wahajaya,Jakarta, pp 1385 –1386 Kesimpulan Kadar bilangan peroksida sebelum penambahan kulit manggis pada minyak jelantah adalah 2,36 mg O2 / 100 g.Kadar 37 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. 18. 19. 20. Hasil Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nusa Tenggara Barat. 2007 Ketaren. S, 1986. Pengantar Teknologi Minyak dan lemak Pangan Lawson, Harry W., (1985), “Standards for Fats and Oil“ , The AVI Publishing company, Inc., Weat Port, Connecticut, hal 12-18. Lee, J., Lee, S., Lee, H., Park, K. dan E. Choe, (2002), ―Spinach (spinacia oleracea) as a Natural Food Grade Antioxidant in Deep Fat Fried Products― , Journal of Agricultural and Food Chemistry, 50, hal. 56645669 Maskan, M. dan H.I. Bagci., (2003), ―Effect of Different Adsorbents On Purification of Used Sunflower Seed Oil Utilized For Frying― , Journal of Food Research Technology, 217, hal. 215-218 Maskan, M. dan H.I. Bagci., (2003), ―The Recovery of Used Sunflower Seed Oil Utilized in Repeated Deep Fat Frying Process― , European Food Research and Technology, 218, hal. 26-31 Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta Jakarta Qosim dan Plantus, 2007. Kulit Buah manggis Sebagai Antioksidan Sunjayadi, A. 2007. Nasi Goreng. Achmadsunjayadi.wordpress.com Trubus, 2009. Dicari Kulit Manggis untuk eksport. Majalah Pertanian Winarno, 1984. Kimia pangan dan Gizi, PT.Gramedia, Jakarta. Winarno, 1995. Kimia pangan dan Gizi, PT.Gramedia, Jakarta. Yuliana, dkk., (2005), ―Penggunaan Adsorben Untuk Mengurangi Kadar Free Fatty Acid, Peroxide Value dan Warna Minyak Goreng Bekas“ , Jurnal Teknik Kimia Indonesia, Vol. 4., No. 2., hal.212-218 38 PENGARUH EKSTRAK METHANOL KULIT BUAH MANGGIS (Garcina mangostana L) TERHADAP PERTUMBUHAN KULTUR Mycobacterium tuberculosis GALUR LOMBOK TIMUR Pancawati Ariami¹ , Rohmi¹ 1 Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan Abstrak Manggis (Garcinia mangostana L) mengandung bahan antioksidan tertinggi, salah satunya diperoleh dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut methanol. Kulit manggis dan hasil olahnya telah dimanfaatkan dan dibuktikan menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk TB paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penelitian tentang ekstrak methanol kulit manggis melawan M tuberculosis masih terbatas, dan yang menggunakan galur lokal Lombok Timur belum ada. Penelitian ditujukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak methanol kulit manggis terhadap pertumbuhan kulturM tuberculosis galur Lombok Timur. Penelitian pre-eksperimen di laboratorium dengan menggunakan tiga sampel M tuberculosis galur Lombok Timur dan kontrol kuman virulen M tuberculosis H37Rv, diuji secara deskriptif.Isolasi kulit buah manggis menggunakan methahol menghasilkan 12 senyawa dengan 6 senyawa utama berupa Cyclopentadecanone,2-hidroxy- (C15H28O2);9-octadecanoic acid (Z)-, 2-hydroxy-1-(hydroxymethyl) ethylester (CAS) -2-monoolein (C21H40O4); octadecanoic acid (CAS) Stearic acid(C18H36O2); hexadecanoic acid (C16H32O2); hexadecanoic acid, 2-hydroxy-1hidroxymethyl)ethyl-ester(CAS) 2-monopalmitin (C19H38O4); dan (R)-(-)-14-methyl-8-hexadecyn-1-ol (C17H32O). Identifikasi hasil pertumbuhan M tuberculosis pada media LJ dan M tuberculosisdalam Middlebrook 7H9 broth yang diberi ekstrak methanol kulit manggis ditanam pada Middlebrook 7H10 agar. Sebanyak dua sampel terdapat pertumbuhan M tuberculosis (Resisten) sedangkan satu sampel tidak ditemukan (Sensitif) terhadap ekstrak methanol kulit manggis baik pada konsentrasi 100, 200, maupun 300 µg/mL. Kata kunci : Ekstrak Methanol Kulit Manggis, Kultur M Tuberculosis Galur Lombok Timur EFFECT OF METHANOL EXTRACT SKIN FRUIT Mangosteen (Garcina mangostana L) ON THE GROWTH CULTURE Mycobacterium tuberculosis STRAIN EAST LOMBOK Abstract Mangosteen (Garcinia mangostana L) contain the highest antioxidant Xanthones, one of which is obtained by solvent extraction using methanol .Processed methanol extract of mangosteen peel have been used and proven to cure various diseases, including pulmonary tuberculosis caused by Mycobacterium tuberculosis . Research on the methanol extract of mangosteen peel against M tuberculosis is still limited , and the use of local strain Lombok Timur no . The study aimed to determine the effect of the methanol extract of mangosteen peel on the growth of M tuberculosis strains East Lombok cultured. Pre - experimental research in the laboratory using three samples of M tuberculosis strains East Lombok and controls germs M tuberculosis H37Rv , tested descriptively.Isolation mangosteen rind using methahol produce compound 12 with 6 main compound in the form of Cyclopentadecanone ,2 - hidroxy - (C15H28O2) ; 9 - octadecanoic acid (Z)-, 2-hydroxy-1-(hydroxymethyl) ethylester (CAS)-2-monoolein (C21H40O4), octadecanoic acid ( CAS ) Stearic acid ( C18H36O2 ), hexadecanoic acid ( C16H32O2 ), hexadecanoic acid , 2 - hydroxy - 1hidroxymethyl ) - ethyl 39 ester ( CAS ) 2 - monopalmitin ( C19H38O4 ) and ( R ) - ( - ) - 14 - methyl - 8 - hexadecyn - 1 - ol ( C17H32O ) . Identify the growth of M tuberculosis results on LJ medium and M tuberculosis in Middlebrook 7H9 broth fed methanol extract of mangosteen peel grown on Middlebrook 7H10 agar. A total of two samples contained the growth of M tuberculosis (Resistant), whereas one sample was not found growing M tuberculosis (Sensitive) of the methanol extract of mangosteen peel well at concentrations of 100, 200, and 300 ug / ml. Keywords : methanol extract of mangosteen peel , culture M tuberculosis, strains East Lombok 40 mengandung bioaktif yang merupakan sekumpulan molekul biologi yang sangat aktif. Lebih dari 200 xanthone terdapat di alam dan 50 diantaranya terdapat dalam buah manggis, terutama dibagian kulit buah. Manggis, telah digunakan dalam pengobatan tradisional kuno yang tercatat dalam sejarah Dinasti Ming (Redaksi Trubus, 2011). Beberapa penelitian kulit buah manggis dalam berbagai keperluan telah dibuktikan. Senyawa utama pada kulit yaitu αmangostin, γ-mangostin dan garcinone B. Suksamrarn et al., (2002) mengisolasi 3 xanthone baru dari kulit manggis yang berwarna hijau yaitu mangostenol, mangostenone A, dan mangostenone B. Tahun 2003, tim ini melaporkan tentang aktivitas antimycobacterial xanthone dari kulit manggis, juga seperti yang ditulis oleh Mardiana (2012) bahwa α-mangostin, γ-mangostin dangarcinone B pada senyawa Xanthone menghambat pertumbuhan M tuberculosis . Hal ini penting karena antibiotika untuk pengobatan penyakit ini semakin lama menjadi tidak efektif dengan timbulnya MDR (multi drug resistance). Penelitian xanthone di Indonesia juga telah berhasil mengisolasi xanthone dari manggis (G.mangostana) dan Garcinia sp dari kulit buah manggis diantaranya mangostanol dan α-mangostin (Cahyana, 2006). Vaksin dan kemoterapi efektif melawan tuberkulosis (TB) selama lebih dari setengah abad, namun WHO menyatakan TB dalam darurat global pada tahun 1993. Data WHO tahun 2004, jumlah orang yang terinfeksi hampir 9 juta dan sekitar1, 7juta orang meninggal karena TB. Kedua jumlah tertinggi kematian dan angka kematian tertinggi perkapita d iwilayah Afrika (Szkaradek et.al., 2008). Di Indonesia, penanggulangan TB secara nasional dimulai sejak 1969 dengan pengobatan jangka panjang. Sejak tahun 1987 digunakan obat jangka pendek. Sampai tahun 1994 jumlah Puskesmas yang menanggulangi TB 3995 dari 6000, Pendahuluan Tuberkulosis (Tbc) merupakan suatu penyakit yang terjadi karena adanya infeksi oleh Mycobakterium tuberkulosis. Bakteri tersebut sering tumbuh di dalam organ paru paru, juga dapat menyerang organ tubuh lainnya, bahkan berpotensi menyebabkan kematian. Pengobatan dapat diberikan obat sintetis maupun obat herbal sebagai alternatif dalam mengobati penyakit tbc. Manggis (Garcinia mangostana L) memiliki antioksidan yang menangkal radikal bebas dan mencegah kerusakan sel. Manggis mengandung antioksidan (Xanthone) yang paling banyak terdapat pada kulit buah. Kadarnya mencapai 123,97 mg/ml. Manggis merupakan salah satu buah yang memiliki kadar antioksidan tertinggi (Redaksi Trubus, 2011). Xanthone sebagai antioksidan melebihi vitamin E dan vitamin C. Xanthone yang terdapat di manggis merupakan subtansi kimia alami yang tergolong senyawa polyphenolic. Peneliti dari Universitas Taichung di Taiwan telah mengisolasi xanthone dan deviratnya dari kulit buah manggis (pericarp) di antaranya yang diketahui adalah 3-isomangoestein, alpha mangostin, gamma-mangostin, garcinone A, garcinone B, C, D dan garcinone E, maclurin, mangostenol (Redaksi Trubus, 2011). Xanthone berfungsi sebagai obat kanker, menetralkan radikal bebas. Di dalam Xanthone juga mempunyai sifat sebagai anti inflammasi, anti mikroba, menurunkan cholesterol, antiviral, antifungal, antiparasit, antiallergen, membantu menurunkan tekanan darah, membantu melawan kelelahan, mencegah sakit maag, menolong menurunkan berat badan, membentuk kekebalan terhadap penyakit, pelindung jantung, memerangi diare, peredam sakit, analgesik, antiparkinson, anti-Alzheimer, antidepressant, menurunkan demam. Xanthone dalam kulit manggis juga ampuh mengatasi penyakit tuberculosis. Selain vitamin, polisakarida, stilbenes, manggis 41 dengan angka kesembuhan 40-60%. Tahun 1995 diterapkan strategi DOTS dengan angka sukses pengobatan 86,8%. Dari laporan para klinisi, kasus MDR maupun XDR sudah timbul, tapi besarannya belum jelas (Sjahrurachman, 2008). WHO memperkirakan sepertiga penduduk dunia terinfeksi M. tuberculosis, dan pada tahun 2009 diperkirakan terdapat 9,27 juta kasus baru. TB merupakan penyakit infeksi terbesar nomor dua penyumbang angka mortalitas dewasa yang menyebabkan sekitar 1,7 juta kematian (WHO 2008). Negara dengan prevalensi TB terbesar adalah India, Cina, Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia. Di Indonesia, diperkirakan terdapat 528.000 kasus baru TB per tahun. TB juga menduduki peringkat 3 dari 10 penyebab kematian yang menyebabkan 146.000 kematian setiap tahun (Burhan, 2010). Terapimodern yangdirekomendasikan untukTBterdiridariisoniazid, rifampisin, pirazinamid, etambutolatau streptomisin, kadang-kadang diberikan obatalternatif lebih beracuntermasuk menggunakan etionamid, asamaminosalisilat danofloksasin. Efeksamping berupa hepatitis, intoleransigastrointestinal, gagal ginjal, dermatologis, reaksihematologi merupakan salah satu penyebab kegagalan OAT dan resistensi obat meluas. Evaluasiaktivitas beberapa derivat xanthone melawan M.tuberculosisdalam ujimikrobiologiprimer danatau sekunder. Aktivitassitotoksikdari tiga senyawa utama jugadievaluasi dan menunjukan 98%, 98% dan94% menghambatpertumbuhanM. Tuberculosis (Szkaradek et.al., 2008) G. mangostana dari kulit buah segar diekstraksi dan diisolasi dengan methanol, menghasilkan empat senyawa xanthone dan diidentifikasi lebih lanjut. Prosedur aktivitas bioassay antimycobacterial dinilai terhadap M. tuberculosis H37Ra menggunakan Microplate Alamar Blue Assay. Konsentrasi obat terendah yang mempengaruhi penghambatan sebesar 90% dianggap MIC. MICdengan nilai antara 6,25 – 200 µg/ml. Sedangkan obat standar rifampisin, isoniazid dan sulfat kanamisin masing-masing menunjukkan MIC 0,0030,0047; 0,025-0,05 dan 1,25-2,5 µg/ml (Suksamrarn et. al., 2003). Penelitian tentang manfaat xanthone telah banyak dilakukan. Hambatan pertumbuhan M tuberculosismenggunakan senyawa xanthone telah dilakukan oleh Suksamrarn et.al. danSzkaradek et.al.Tuberculosis di Nusa Tenggara Barat masih menjadi salah satu program utama pemberantasan penyakit. Salah satu kabupaten yang menduduki penderita tuberculosis cukup tinggi adalah Lombook Timur. Hanafi, dkk tahun 2011 menemukan adanya resistensi OAT di Lombok Timur, hal ini mendesak para klinisi maupun peneliti untuk segera bertindak dalam mengatasi resistensi OAT baik dengan menggunakan obat baru maupun bahan yang berkhasiat obat. Penelitian tentang efek penghambatan xanthone yang berasal dari ekstrak kulit manggis terhadap M tuberculosis masih sangat terbatas, apalagi kultur yang berasal dari galur lokal, Lombok Timur. Berdasarkan kenyataan ini, kami ingin melakukan penelitian tentang ―Pengaruh ekstrak methanol kulit manggis (Garcinia mangostana L) terhadap pertumbuhan kultur Mycobacterium tuberculosis galur Lombok Timur ‖. Penelitian ini ditujukan untuk mencari bahan aktif dalam ekstrak methanol kulit manggis dan menentukan pengaruh ekstrak methanol kulit manggis terhadap pertumbuhan kultur M tuberculosis galur Lombok Timur. Metode Penelitian a. Tempat dan waktu penelitian Tempat penelitian untuk ekstraksi kulit buah manggis dilakukandi laboratorium Kimia Analitik Fakultas MIPA Universitas Mataram. Kultur M tuberculosis untuk mendapatkan kultur murni dilakukan di ruang Mikrobiologi Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes 42 Kemenkes Mataram. Pengaruh ekstrak methanol kulit manggis terhadap pertumbuhan M tuberculosis dilakukan di laboratorium Mikrobiologi (Laboratorium TB) Tropical Disease Center Universitas Airlangga Surabaya.Waktu penelitian berlangsung selama 8 bulan yaitu dari bulan Maret s.d bulan Nopember 2013. b. Jenis dan rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian preeksperimen laboratorium dengan rancang penelitian yang digunakan adalah Rancang Acak kelompok (RAK). Penentuan konsentrasi yang digunakan pada perlakuan dalam penelitian ini yaitu berdasarkan penelitian Suksamrarn, 2003 yang menemukan MIC antara 6,25 – 200 µg/ml pada kuman sensitif M tuberculosis H37Ra. Untuk uji kuman M tuberculosisgalur Lombok Timur, maka dosis yang diberikan untuk pengujian adalah dosis maksimal tertinggi karena kandungan hasil ektraksi dengan methanol masih merupakan ekstrak kasar. Konsentrasi ekstrak methanol kulit manggis yang digunakan adalah 100, 200, dan 300 µg/ml. Pemeriksaan dilakukan duplo. c. Alat dan bahan penelitian Alat penelitian: tabung dan plate untuk pembiakan, rak tabung, Autoclave, inkubator, lampu bunsen, Yellow tip, Blue ti, mikropipet, jarum penanam, Laminar flow, Vortex. Bahan-bahan: ekstrak methanol kulit manggis, Isolat M tuberculosis galur Lombok Timur, Isolat virulent M tuberculosis H37Rv untuk kontrol, Media Middlebrook 7H9 broth dan Middlebrook 7H10 agar, air garam fisiologis steril, Standart kekeruhan 1 Mc. Farland. d. Rincian cara kerja : 1) Pembuatan ekstrak methanol kulit buah manggis dengan cara ekstraksi kulit buah manggis dengan menggunakan pelarut Methanol a) Alat dan Bahan: Rotafavor (Merk:Heidolph), Neraca analitik, gelas ukur 250 mL, Erlenmeyer 250 mL, gelas kimia 500 mL, Wadah maserasi (toples), Corong dan kain kasa, Methanol absolut, 95% (p.a) b) Prosedur Kerja. Sampel kulit manggis dipotong kecil-kecil, dikeringkan pada suhu 600C selama 4 jam. Sampel dimasukkan ke dalam wadah maserasi dan ditambahkan pelarut methanol sebanyak 1000 mL, direndam dalam methanol selama 1 x 24 jam. Sampel kulit manggis disaring menggunakan kain kasa kemudian ekstrak sampel kulit manggis dipisahkan. Ekstrak methanol dimasukkan dalam labu evaporator kemudian dievaporasi sampai diperoleh ekstrak kental. Ekstrak yang diperoleh disebut sebagai ekstrak kasar xanthone. Ekstrak kental yang diperoleh disimpan untuk dilanjutkan pada identifikasi menggunakan kromatografi gas. 2) Pembuatan Media Middlebrook 7H9 broth. Suspensikan 4,7g serbuk media dalam900mL aquadest yang mengandung5mlTween80. Aduk rata. Sterilasi pada Autoclave, 121°Cselama 20menit. Tambahkan secara aseptik 100mLenrichment ADCMiddlebrookke media pada saat suhu media 45-50°C (Difco, 2012). 3) Pembuatan standart kekeruhan 1Mc. Farland. Standart Mc. Farland dibuat dari campuran Asam Sulfat 1% sebanyak 9,90 ml dengan Barium Chlorida 1% sebanyak 0,10 mL.Diperkirakan jumlah kuman setara dengan 300 juta/mL (Soemarno, 2002). 4) Pembuatan Suspensi Isolat Murni M tuberculosis dengan kekeruhan 1 unit Mc. Farland, Isolat murni M tuberculosisdiperbanyak dengan cara menanamnya pada media LJ, 43 mL methanol absolute 95% (Aisya, 2013). Dipipet 100 µL,200 µL dan 300 µL masingmasing ditambahkan aquadest steril sampai 1000 µL, sehingga kadar larutan menjadi 100,200dan 300 µg/mL . b) Disiapkan masing-masing 4 pengenceran dengan 4 deret tabung (untuk 3 sampel dan 1 kontrol). c) Disusun tabung masing-masing pada tabung I berisi 5 ml mediaMiddlebrook 7H9 Broth. Tabung II, III, dan IV masingmasing berisi 4,5 ml media Middlebrook 7H9 Broth. d) Dibuat standart 1McFarland untuk sampel dan standar,pengenceran 105. Ringkasan uji ekstrak methanol kulit buah manggis, dapat diamati pada skema berikut: inkubasi suhu 37C selama 4-8 minggu. Diambil 1 ujung ose, koloni kuman yang tumbuh dan disuspensikan pada air garam fisiologis sampai kekeruhanya 1Mc. Farland. Salah satu cara untuk membandingkan kekeruhan suspensi dengan standar yaitu dengan memegang kedua tabung kemudian dibandingkan kekeruhan kedua tabung dengan latar belakang kertas putih yang diberi garis tebal dengan spidol berwarna. Bila kurang keruh tambahkan koloni dan bila terlalu keruh tambahkan garam fisiologis. 5) Uji ekstrak kasar kulit manggis pada biakan kuman M tuberculosis Prosedur kerja: a) Dibuat larutan induk ekstrak methanol kulit manggis dengan menimbang masing-masing sejumlah 10 mg ekstrak methanol kulit manggis dilarutkan dalam 1 1mata ose Isolat 500µL 500µl+100µL ekstrak 500µL 108 107 106 5ml 7H9 4,5ml 7H9 4,5ml 7H9 105 4,5ml 7H9 100µL 7H10 Skema pengujian ekstrak methanol kulit buah manggis terhadap pertumbuhan M tuberculosis galur Lombok Timur e) Dimasukkan masing-masing 1 mata ose isolat kuman dimasukkan ke dalam deret tabung I, dicampurkan merata. Kemudian dipipet secara aseptik 500 µL dari campuran di tabung deret I, dipindahkan ke dalam tabung deret II; begitu seterusnya sampai tabung deret IV. f) Ke dalam tabung deret IV untuk sampel masing-masing ditambahkan 100 µL konsentrasi 100,200 dan 300 µg/mL. g) Dibiarkan selama 30 menit. 44 h) Disiapkan media Middlebrook 7H10 agar dan dibuat sumuran, diberi label masing-masing petridish dengan no sampel 3, 6, dan 49, disertai konsentrasi ekstrak kasar kulit manggis 100, 200, dan 300 µg/mL. i)Dimasukkan kedalam sumuran masing-masing sejumlah 100 µL dari tabung deret IV pada point f). j)Dibuat juga sumuran untuk kontrol positif berisi isolat kuman sensitif M tuberculosis H27Rv, dan kontrol negatif berisi isolat kuman virulen M tuberculosis H27Rv dan Etambutol sebagai obat anti tuberculosis (OAT) k) Inkubasi pada inkubator CO2 selama 3minggu. l)Hasil inkubasi dari masing-masing sumuran diambil dan dibuat preparat untuk dilakukan pengecatan BTA. m) Penemuan BTA positif berarti resisten karena ekstrak methanol kulit manggis tidak mampu menghambat pertumbuhan M tuberculosis. Dan tidak adanya pertumbuhan kuman M tuberculosis, berarti uji dinyatakan sensitif. e. Cara Pengolahan dan Analisa Data Data yang diperoleh dari hasil penelitian di laboratorium kemudian dianalisis. Perlakuan dalam penelitian ini adalah konsentrasi 100, 200, dan 300 µg/mL ekstrak methanol kulit manggis.Data tentang hasil uji ekstrak methanol kulit manggis terhadap pertumbuhan M tuberculosis galur Lombok Timur yang diperoleh diolah secara deskriptif. manggis yang dipakai untuk diekstraksi adalah buah manggis segar dengan kematangan yang baik, warna kulit merata, tidak cacat, tidak tergores sehingga mengeluarkan getah.Buahmanggis dibelah, daging kulit buah manggis dipisahkan dengan menggunakan sendok. Ekstraksi kulit manggis menggunakan pelarut metanol dilakukan di laboratorium Kimia Analitik F-MIPA Universitas Mataram dilanjutkan dengan identifikasi ekstrak kasar menggunakan Gas Chromatography (GC) menghasilkan ekstrak methanol kulit manggis berwarna kekuningan. Kromatogram yang diperoleh diperjelas dengan Massa Spectroscopy (MS). Enam senyawa utama yang diketahui dihasilkan dari ekstrak methanol kulit manggis diperoleh berturut-turut dari konsentrasi tertinggi yaitu a. line-4 adalah Cyclopentadecanone,2hidroxy- (C15H28O2) b. line-9 adalah 9-octadecanoic acid (Z)-, 2-hydroxy-1-(hydroxymethyl)ethylester (CAS)-2-monoolein (C21H40O4) c. line-5 adalah octadecanoic acid (CAS) Stearic acid (C18H36O2) d. line-1 adalah hexadecanoic acid (C16H32O2) e. line-8 adalah hexadecanoic acid, 2hydroxy-1hidroxymethyl)ethylester(CAS) 2-monopalmitin (C19H38O4) f. line-7 adalah (R)-(-)-14-methyl-8hexadecyn-1-ol (C17H32O). Laporan hasil uji dan kromatogram GC dan MS dapat diamati pada Lampiran 1. Pendataan dan pengumpulan isolat Mycobacterium tuberculosis. Pendataan dan pengumpulan kuman Mycobacterium tuberculosis, koleksi tahun 2011 dari kultur kuman M tuberculosis yang dapat dilakukan kultur ulang adalah sebanyak 18 sampel. Kuman dikultur pada media LJ dan diinkubasi pada 37°C sampai 8 minggu. Hasil kultur ulang kuman M tuberculosis pada media Lowestein Jensen (LJ) sejak minggu I sampai minggu ke-5 tidak menunjukkan perkembangan pertumbuhan yang berarti dan banyak Hasil Persiapan dan pembuatan ekstrak kulit manggis. Pengumpulan dan pemilihan buah manggis dilakukan pada minggu ke-2 sampai minggu ke-3 bulan Maret 2013. Buah 45 timbul kontaminan. Untuk mengantisipasi keberhasilan kultur ulang M tuberculosis galur Lombok Timur, maka sampel baru dikumpulkan dari sputum penderita tuberculosis paru yang dinyatakan positif secara mikroskopis. Pengumpulan sampel dilakukan selama 2 minggu dan diperoleh sebanyak 8 (delapan) sampel. Persiapan pembuatan media LJ dilakukan lagi untuk mengkultur 8 sampel yang diperoleh. Sampel sputum dihomogenisasi menggunakan NaOH 4 N. Hasil pengolahan sputum, diisolasi pada media LJ.Kultur diinkubasi pada 37°C sampai 8 minggu. Pada minggu III bulan Agustus, kultur yang dilakukan saat ini sudah berjalan 2 minggu dan belum ditemukan adanya pertumbuhan koloni kuman M tuberculosis. M tuberculosis termasuk pada kuman dengan pertumbuhan lambat, diperlukan waktu 4 – 8 minggu untuk dapat mengamati adanya pertumbuhan koloni kuman. Hasil kultur ulang yang pertama sebanyak 18 sampel diperoleh isolat yang tumbuh adalah 5 sampel, dua diantaranya tumbuh subur. Delapan sampel baru yang dikultur sampai minggu ke-6, sebanyak 6 sampel tumbuh.Dari dua kali kultur, diambil tiga sampel yang paling baik pertumbuhannya, dikirim ke TDC Unair. Penelitian dilanjutkan pada uji sensitivitas zat aktif ekstrak methanol kulit manggis pada konsentrasi 100, 200, dan 300 µg/mL terhadap pertumbuhan M tuberculosis galur Lombok Timur yang dilarutkan dalam media Middlebrook 7H9 broth kemudian dipindahkan ke dalam media Middlebrook 7H10 agar di Laboratorium Mikrobiologi (laboratorium Tuberkulosis) di Tropical Disease Center Universitas Airlangga Surabaya. Untuk kontrol digunakan kuman virulen M tuberculosis H37Rv (kontrol positif). Kontrol negatif kuman virulen M tuberculosis H37Rv ditambahkan dengan Etambutol untuk menghambat pertumbuhan kuman. Hasil uji pengaruh ekstrak methanol kulit manggis terhadap pertumbuhan kultur M tuberculosis galur Lombok Timur Hasil uji pengaruh ekstrak methanol kulit manggis pada konsentrasi 100, 200, dan 300 µg/mL terhadap pertumbuhan kultur M tuberculosis galur Lombok Timur (OAT) adalah sebagai berikut: Kode isolate/ Kosentrasi 100 200 300 3 6 49 R R R R R R S S S Keterangan: K (+) = Positif (+), diberi kultur kuman M tuberculosis H37Rv K (-) = Negatif (-), diberi kultur kuman M tuberculosis H37Rv ditambah Etambutol R = Resisten, dinyatakan adanya pertumbuhan kuman M tuberculosis yang dibuktikan dengan membuat sediaan dari hasil pertumbuhan dan diamati dibawah mikroskop. S = Sensitif, dinyatakan dengan tidak ditemukan adanya pertumbuhan M tuberculosis dengan penambahan Etambutol. Pembahasan Kulit buah manggis diekstraksi menggunakan pelarut methanol menghasilkan ekstrak yang mengandung senyawa-senyawa utama berturut-turut dari peak tertinggi yang timbul dengan menggunakan gas chromatography-mass spectrophotometry (GC-MS) yaitu pada line-4 adalah Cyclopentadecanone,2hidroxy- (C15H28O2), pada line-9 adalah 9octadecanoic acid (Z)-, 2-hydroxy-1(hydroxymethyl)ethylester (CAS)-2monoolein (C21H40O4), pada line-5 adalah octadecanoic acid (CAS) Stearic acid(C18H36O2), pada line-1 adalah hexadecanoic acid (C16H32O2), pada line-8 adalah hexadecanoic acid, 2-hydroxy1hidroxymethyl) ethyl-ester(CAS) 2monopalmitin (C19H38O4), dan pada line-7 adalah (R)-(-)-14-methyl-8-hexadecyn-1-ol (C17H32O). Senyawa-senyawa ini diperoleh dari instrument parameter dengan suhu 46 column oven 400C, suhu akhir oven pada 3000C, dan suhu injeksi 2800C, serta tekanan 149,6 kPa. Senyawa–senyawa dalam ekstrak methanol kulit manggis ini dibuat pada konsentrasi 100, 200, maupun 300 µg/mL untuk dilakukan uji terhadap pertumbuhan M tuberculosis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dari 3 sampel (no 3, 6, dan 49) galur Lombok Timur yang diujikan, sampel no 3 dan 6 kuman M tuberculosis galur Lombok Timur masih tumbuh pada media Middlebrook 7H10 agar. Sedangkan sampel no 49 yang telah diberi ekstrak methanol kulit manggis baik konsentrasi 100, 200, maupun 300 µg/mL tidak ada pertumbuhan M tuberculosis galur Lombok Timur, sehingga sampel no 49 dinyatakan sensitif. Mangostin merupakan kristal padat kuning, rumus molekul C24H26O6 dengan struktur inti mangostin, seperti dibawah ini larut dalam alkohol dan eter (Dweck, 2013). Xanthone adalah senyawa organik dengan rumus molekul dasar C13H8O2. Turunan senyawa xanthone banyak terdapat di alam dan berdasarkan penelitian telah terbukti memiliki aktivitas antioksidan. Xanthone terbuat dari ekstra kulit buah manggis yang bermanfaat sebagai obat karena mengandung xanthone yang sangat tinggi. Xanthone adalah kelompok senyawa bioaktif yang mempunyai struktur cincin 6 karbon dengan kerangka karbon rangkap. Struktur ini membuat xanhtone sangat stabil dan serba guna. Xanthone tergolong derivat dari difenil-γ-pyron, yang memiliki nama IUPAC 9H-xanthin-9-on (Repository IPB, 2010). Penentuan α-mangostin dan jumlah xanthones menurut Aisya, et.al (2011), analisis ekstrak menggunakan Thin Layer Chromatography (TLC) dilakukan dengan 10 uL α-mangostin atau ekstrak xanthone pada 1 mg / mL dalam metanol menimbulkan bercak dan bercak dikeringkan. Kromatogram dibuat dengan kondisi saturasi ruang dengan n-heksana: etil asetat: metanol pada 7:3:0.5 v / v Setelah kering, plate divisualisasikan pada 254 dan 366 nm. Identitas pita kromatografi sesuai dengan α-mangostin dalam sampel adalah dikonfirmasi dengan membandingkan nilai Rf yang sama dengan senyawa referensi. Peneltian lain oleh tim di IPB, bahwa pengeringan kulit buah manggis dilakukan dengan menggunakan oven pada suhu 60 °C hingga bobot kulit konstan. Kulit manggis yang telah kering ditumbuk dan diblender kemudian disimpan ke dalam plastik kering, dirapatkan dan dapat disimpan. Sebanyak 10 gram serbuk diekstraksi dengan methanol p.a .sebanyak dua kali dengan perbandingan sampel bahan dan metanol 1:1. Ekstrak yang dihasilkan dipanaskan dengan waterbath pada suhu 40°C agar metanol pelarut sampai membentuk karamel atau crude ekstract (CE).CE untuk analisis kandungan Nama IUPAC3,6,8-Trihidroksi-2-metoksi1,7-bis(3-metilbut-2-enil)xanten-9-on. Kecuali dinyatakan sebaliknya, data di atas berlaku pada suhu dan tekanan standar, yaitu pada25°C, 100 kPa(Wikipedia, 2007). Kulit buah manggis mengandung tanin dan resin serta kristal kuning sangat pahit , mangostin (C20H22O5) atau mangosim. Mangostin diperoleh dengan merebus kulit dalam air, dan tannin dihilangkan dengan direbus lama dalam alkohol dan menguap.Produk yang dihasilkan adalah mangostin dan resin, resin diendapkan dengan redissolving dalam alkohol dan air, dan menguapkan air. Hal ini terjadi dalam skala kecil menghasilkan warna kuning, hambar netral, tidak larut dalam air, tetapi mudah 47 fenol dan aktivitas antioksidan dengan menggunakan Spektrofotometer (Repository IPB, 2010). Ekstrak kulit manggis mengandung senyawa polifenol. Analisis senyawa fenolik hasil analisis sampel dibandingkan dengan asam galat sebagai standard dan dianalisis dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 765 nm. Analisis senyawa fenolik digunakan reagen FolinCiocalteus dengan metode modifikasi dari Javanmardi et.al.2003 (Repository IPB, 2010). Ekstrak kulit buah manggis merupakan antioksidan yang paling tinggi diantara jenis buah-buah yang ada. Penentuan aktivitas antioksidan ekstrak kulit buah dilakukan dengan menggunakan metode DPPH. Dilakukan juga pengukuran absorbansi blanko. Hasil penetapan antioksidan dibandingkan dengan vitamin C sebagai standar secara spektrofotometer dan dinyatakan dengan nilai Inhibition Corelation (IC). Pengujian antioksidan dengan metode DPPH warna dari larutan sampel awal adalah ungu, reaksi penghambatan terhadap radikal bebas oleh zat antioksidan akan mereduksi DPPH sehingga menurunkan kepekatan warna ungu hingga berubah menjadi kuning (Repository IPB, 2010) Pada jurnal lain juga ditemukan bahwa pembuatan ekstraksi kulit buah manggis dilakukan dengan cara maserasi sampel menggunakan 200 mL methanol, kemudian perlakuan yang sama terhadap pelarut air panas. Ekstrak disimpan pada suhu 400C. Masing-masing ekstrak kemudian dilarutkan dalam methanol untuk ditentukan kandungan total fenolik dan antioksidan metode DPPH, seperti yang dilakukan pada Repository IPB (Stevi, et.al., 2013) Senyawa- senyawa pada penelitian ini, yaitu yang ditemukan pada line 4, 9, 5, 1, 8, dan line 7 tidak sama seperti senyawa-senyawa xanthone dan derivatnya yang disebut dalam literatur di atas, sehingga belum diketahui apakah termasuk dalam xanthone atau derivatnya atau senyawa yang sama sekali berbeda. Untuk menguji adanya senyawa polifenol dan antioksidan yang merupakan bagian dari xanthone perlu dilakukan uji seperti yang dilakukan IPB dan Stevi et.al. Proses ekstraksi dengan methanol kemungkinan sudah diperoleh seperti yang dilakukan pada penelitian yang telah dipublikasi, namun identifikasi senyawa polifenol dan antioksidan diakukan secara spektrofotometri, bukan dengan GC-MS. Pada penelitian yang dilakukan oleh Suksamrarn dan Szkaradek, isolasi xanthone menggunakan pelarut methanol dilanjutkan dengan GC-MS, namun tidak diuraikan conditioning yang digunakan. Perbedaan yang timbul dapat disebabkan adanya perbedaan proses pengeringan suhu column oven, suhu akhir oven dan suhu injeksi yang terlalu tinggi atau tekanan yang digunakan, yaitu pada 149,6 kPa sedangkan yang disebutkan dalam Wikipedia (berlaku pada suhu dan tekanan standar, yaitu pada25°C, 100 kPa). Penelitian lain yang pernah dilakukan adalah penelitian dari Suksamrarn, penelitian tentang potensi antimycobacterial xanthone terprenilasi. Sejumlah xanthone prenilasi dikumpulkan dan diisolasi dari kulit buah manggis. Kami melaporkan aktivitas penghambatan dari santon terprenilasi yang diperoleh dari buah G. mangostana terhadap Mycobacterium tuberculosis di dalam percobaan in vitro. Santon terprenilasi yang terisolasi dari kulit buah hijau G. Mangostana, antara lain menghasilkan senyawa-senyawa. Aktivitas penghambatan pada 15 senyawa Xanthone terhadap Mycobacterium tuberculosis galur H37Ra ditentukan dengan menggunakan lempeng Microplate Alamar Blue Assay (MABA). Isolasi dengan cara ekstraksi pada penelitian skala lebih besar yang diekstrak menggunakan methanol diperoleh dari kulit buah manggis segar hijau, dikenal empat senyawa xanthoneyaitu γ-mangostin, garcinone-D, mangostanin dan 1,7-dihidroksi-2(methylbut-2-enil) -3-methoxyxanthone 48 diidentifikasi lebih lanjut, selain yang diperoleh sebelumnya. Semua senyawa diidentifikasi oleh perbandingan data spektroskopi (NMR dan MS). Konsentrasi obat terendah mempengaruhi suatu penghambatan 90% adalah dianggap MIC. Percobaan biasanya diselesaikan dalam waktu 10 hari. Obat standar yang digunakan adalah rifampisin, isoniazid dan sulfat kanamisin masing-masing menunjukkan MIC 0,003-0,0047, 0,0250,05 dan 1,25-2,5 mg / ml (Suksamran, 2003). tuberculosis (OAT) karena masa inkubasi kuman yang panjang. Daftar Pustaka 1. Kesimpulan Isolasi kulit buah manggis menggunakan methahol menghasilkan 12 senyawa dengan 6 senyawa utama, yaitu Cyclopentadecanone,2-hidroxy (C15H28O2);9-octadecanoic acid (Z)-, 2hydroxy-1-(hydroxymethyl)ethylester (CAS)-2-monoolein (C21H40O4); octadecanoic acid (CAS) Stearic acid(C18H36O2); hexadecanoic acid (C16H32O2); hexadecanoic acid, 2-hydroxy1hidroxymethyl)ethyl-ester(CAS) 2monopalmitin (C19H38O4); dan (R)-(-)-14methyl-8-hexadecyn-1-ol (C17H32O). Mycobacterium tuberculosis galur Lombok Timur dapat diperoleh dengan mengisolasi pada media LJ untuk mendapatkan biakan murni. M tuberculosis galur Lombok Timur yang diberi ekstrak methanol kulit manggis baik pada konsentrasi 100, 200, maupun 300 µg/mL pada dua sampel Resisten dan satu sampel Sensitif. 2. 3. 4. 5. 6. Saran 7. Pada konsentrasi terkecil, 100 µg/mL pada semua sampel masih ditemukan adanya pertumbuhan, sehingga konsentrasi hambatan minimal (MIC) dapat diketahui dengan melanjutkan penelitian sampai konsentrasi terkecil yang masih memberi pertumbuhan kuman M tuberculosis. Diharapkan penelitian (tahap II) dilanjutkan untuk menentukan apakah ketiga sampel yang diujikan termasuk sampel resisten terhadap obat anti 8. 49 Aisha Abdalrahim F.A, Khalid M. Abu-Salah, Zeyad D.Nassar, Mohammad J. Siddiqui, Zhari Ismail, Amin Malik Shah Abdul Majid. 2011. Antitumorigenicity of xanthones-rich extract from Garcinia mangostana fruit rinds on HCT 116 human colorectal carcinoma cells.Revista Brasileira de Farmacognosia Brazilian Journal of Pharmacognosy 21(6): 1025-1034, Nov./Dec. 2011 Burhan, E. 2010. Tuberkulosis Multi Drug Resistance (TB-MDR). Majalah Kedokteran Indonesia, Volum: 60, Nomor: 12, Desember 2010. Chantarasriwong O, Ayse Batova, Warinthorn Chavasiri, and Emmanuel A. Theodorakis. 2011. Chemistry and Biology of the Caged Garcinia Xanthones. Chemistry. NIH Public Access. Author manuscript; available in PMC 2011 September 3. Diffco, 2012. ™Middlebrook 7H9 Broth, AOAC SMWW, Cat.No.271310 Dweck, Anthony C FLS FRSH FRSC. 2013. A review of Mangosteen (Garcinia mangostana) Linn.www.dweckdata.com/Published_ papers/Garcinia_mangostana.pdf.Diun ggah tanggal 4 Oktober 2013. Hanafiah AK. 2010. Rancangan Percobaan: Teori dan Aplikasi. Edisi III. PT Rajawali Pers. Jakarta. Mardiana, Lina dan Tim Penulis PS. 2012. Ramuan dan khasiat kulit manggis. Cetakan 3. Penebar Swadaya, Jakarta. Mukherjee KL, 1989. Medical Labolatory Teknology, Vol II. Tata Mc Garw Hill. New Delhi. Dalam : Mahendra K. 2004. Uji Aktivitas Penghambatan Pertumbuhan Senyawa Bioaktif Ekstrak Sambiloto terhadap Staphylococcus aureus. Mataram. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17. Notoatmojo S, 2002. Metedologi Penelitian Kesehatan. Rienaka Cipta Jakarta. Redaksi Trubus. 2011. Kulit Manggis v.s Penyakit Maut. Pt Trubus Swadaya. Jakarta. Repository IPB, 2010. Pengaruh efek residu dan aktivitas antioksidan kulit buah manggis.IPB.ac.id. Dikutip dari http://repository.ipb.ac.id. Sjahrurachman, Agus. 2008. ModulKultur dan Uji Kepekaan M tuberculosis terhadap OAT lini pertama. Departemen Kesehatan R I. Soemarno. 2000. Isolasi dan Identifikasi Bakteri Klinik. AAK Yogyakarta. Yogyakarta. Stevi G. Dungir, Dewa G. Katja, Vanda S. Kamu. 2013. Aktivitas Antioksi dan Ekstrak Fenolik dari Kulit Buah Manggis (Garcinia mangostana L.). Jurnal MIPA UNSRAT online1 (1) 11-15. Dikutip dari http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/j muo Suksamrarn S, Narisara Suwannapoch, Wong Phakhodee, Janthana Thanuhiranlert, Piniti Ratananukul, Nitirat Chimnoi, and Apichasrt . 2003. Antimycobacterial Activity of Prenylated Xanthones from the Fruits of Garcinia mangostana. Notes Chem. Pharm. Bull. 51(7) 857—859 (2003) 857 Szkaradek N, Karolina Stachura, Anna M Waszkielewicz, Marek Cegla, Edward Szneler, and Henryk Marona. 2008. Synthesis and antimycrobial assay of some xanthone derivatives. Acta Poloniae Pharmaceutica n Drug Research, Vol. 65 No. 1 pp. 21-28, 2008 Wikipedia, 2007. Mangostin.http://en.wikipedia.org/wik i/Mangostin 50 AKTIVITAS BIOLOGICAL RESPONSE MODIFIERS ALAMI FILTRAT BUAH BUNI (Antidesma bunius) TERHADAP JUMLAH LIMFOSIT TERAKTIVASI, SEL MONONUKLEAR DAN POLIMORFONUKLEAR PADA DARAH HEWAN COBA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR YANG DIINFEKSI SALMONELLA TYPHIMURIUM Gunarti1, Yunan Jiwintarum1, Nurhidayati2 1 Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Mataram Jurusan Analis 2 Program Studi Kedokteran Universitas Mataram Abstrak Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas alami filtrat buah buni (Antidesma bunius) sebagai imunostimulan. Parameter penelitian ini adalah jumlah limfosit teraktivasi, sel mononuklear dan polimofonuclear pada dara putih strain wistar yang terinfeksi oleh Salmonella typhimurium. Kelompok penelitian terdiri dari 2 kelompok kontrol, dan 4 kelompok perlakuan yang diberikan 25 % , 50 % , 75 % , 100 % dosis filtrat buah buni selama 7 hari . Data hasil diuji dengan uji statistik Kruskal - Wallis dan uji Mann-Whitney . Hasil penelitian menunjukkan jumlah limfosit diaktifkan pada kelompok kontrol 1 dan 2 , dan dalam kelompok perlakuan konsekutif 1,5 , 6,4 , 8,4 , 8,8 dan 7,6. Analisis hipotesis dengan uji Kruskall_Wallis hasil p = 0,000 (p < 0,05), dan uji Mann-Whitney menunjukkan ada signifikan membedakan antara kelompok kontrol dan kelompok treatmen dengan p < 0,05. Tidak ditemukan efek pada jumlah basofil , tetapi ada pengaruh yang signifikan filtrat buah buni (Antidesma bunis) terhadap jumlah netrofil, eosinofil, jumlah sel polimorphonuclear, limfosit , monosit, dan jumlah sel mononuclear (p < 0,05) . Kesimpulan filtrat buah buni (Antidesma bunius) mampu meningkatkan jumlah limphosit teraktivasi, PMN dan mononuclear leukocytes pada darah hewan coba tikus putih jantan terinfeksi Salmonella typhimurium secara signifikan . Kata kunci : Aktivitas biologis respon, buah buni, limfosit diaktifkan, sel mononuclear, polimorphonuclear, Salmonella typhimurium . BIOLOGICAL RESPONSE MODIFIERS ACTIVITIES OF BUNI (ANTIDESMA BUNIUS)FRUITS FILTRATE TO ACTIVATED LYMPHOCYTES, MONONUCLEAR AND POLIMORPHONUCLEAR CELLS IN MALE MICE (RATTUS NORVEGICUS) WISTAR’S STRAIN INFECTED BY SALMONELLA TYPHIMURIUM Abstract This study aimed to know the natural activity of filtrate buni(Antidesma bunis)fruit as immunostimulant. Parameter of this activities was the number of activated lymphocytes, mononuclear and polimorphonuclear cells of mice wistar’s strain that infected by Salmonella typhimurium. The group of study consisted of 2 control groups, and 4 experiment group which given 25%, 50%, 75%, 100% dose of buni (Antidesma bunis)fruits filtrate for 7 days. The data resulted were statically calculated by Kruskal-Wallis test dan Mann-Whitney test. The result as number of activated lymphocytes in control group 1 and 2, and in treatment groups consecutivelly 1,5; 6,4; 8,4; 8,8 and 7,6. The analysis of hyphotesis by Kruskall_Wallis test resulted p= 0,000 (p<0,05), and the Mann-Whitney test showedthere was a significant differentiate among the control group and treatmen groups with p< 0,05.While, 51 the number of PMN and MN cells, find no effect in basophils, but there is a significant effect of buni (Antidesma bunis)fruits filtrateto amount of netrofil, eosinofil, total polimorphonuclear cells; and lymphocyte, monocyte, and total mononuclear cells (p<0,05). Conclusion the filtrate of buni (Antidesma bunius) fruits was able to increase the number of activated lyphocytes; polymorphonuclear and mononuclearleukocytes in the male mice infected by Salmonella typhimurium significantly. Keywords: Biological Response Modifiers Activities, Buni (Antidesma Bunius)Fruits, Activated Lymphocytes, Mononuclear And Polimorphonuclear Cells, Salmonella Typhimurium. 52 proses ekstrasi, seperti bahan – bahan alam yang berasal dari buah – buahan antara lain adalah buah Buni (Antidesma bunius). Indonesia kaya akan berbagai tanaman buah. Buah merupakan produk yang berdaya guna untuk menunjang gizi masyarakat dan mengandung zat-zat vital untuk pencegahan terhadap berbagai penyakit dan zat pengatur fisiologis tubuh seperti vitamin dan mineral. Dengan mengkonsumsi buah-buahan segar dapat menurunkan resiko terkena kanker, penyakit infeksi dan terhindar dari resiko berbagai penyakit degeneratif. Tumbuhan buah-buahan merupakan sumber senyawasenyawa kimia yang berkhasiat sebagai obat.6 Salah satu tanaman buah yang banyak khasiatnya dan dapat digunakan sebagai obat alternative penyakit-penyakit infeksi adalah buah buni. Buah buni mengandung senyawa-senyawa kimia kelompok antioksidan antara lain polifenol, asam fenolat, kelompok senyawa bioflavanoid seperti antosianain, katekin, kaemferol, dan kuersetin serta vitamin C .2 Polifenol merupakan jenis senyawa turunan fenol yang mempunyai aktivitas sebagai antioksidan. Fungsi polifenol sebagai penangkap dan pengikat radikal bebas dari rusaknya ion-ion logam. Kelompok tersebut sangat mudah larutdalam air dan lemak, serta dapat bereaksi dengan vitamin C dan E. Kelompok-kelompok senyawa fenolik terdiri dari asam-asam fenolat dan flavanoid. Tanaman mempunyai potensi yang cukup baik sebagai penghasil senyawa fenolik.6 Bioflavanoid kelompok ini terdiri dari kumpulan senyawa polifenol dengan aktivitas antioksidan cukup tinggi. Dengan kata lain, senyawa flavanoid mempunyai ikatan gula yang disebut glikosida. Senyawa induk atau senyawa utamanya disebut aglikon yang berikatan dengan berbagai gula dan sangat mudah terhidrolisis atau mudah terlepas dari gugus gulanya. Kelompok flavanoid merupakan antioksidan yang potensial untuk mencegah pembentukan radikal Pendahuluan Biological response modifiers (BRM) merupakan bahan yang dapat menstimulasi sistem imun atau molekul yang fungsinya seperti sitokin dalam klinik digunakan untuk memodulasi inflamasi, imunitas dan hematopoiesis. Efek Biological response modifiers suatu bahan imunomodulator atau imunostimulator yang meningkatkan mekanisme pertahanan tubuh baik secara spesifik maupun non spesifik.8;11 Imunomodulator atau imunostimulator tampak menjadi bagian terpenting dalam pencegahan dan pengobatan. Membantu tubuh untuk mengoptimalkan fungsi sistem imun yang merupakan sistem utama yang berperan dalam pertahanan tubuh terhadap benda asing yang masuk kedalam tubuh, termasuk infeksi oleh mikroorganisme. Pemakaian imunostimulator bertujuan menekan atau mengurangi infeksi virus dan bakteri intra dan ekstra seluler, mengatasi imunodefisiensi atau sebagai perangsang pertumbuhan sel – sel pertahanan dalam sistim imunitas.3 Bahan Biological response modifiers yang populer dalam bidang ilmu kedokteran berasal dari bahan biologis dan sintetik. Yang termasuk dalam bahan biologis diantaranya adalah sitokin (interferon), hormon yang dihasilkan kelenjar endokrin timus dan antibodi monoklonal, bahan sintetik antara lain adalah senyawa muramil dipeptida (MDP) dan levamisol.13 Sedangkan bahan dari alam pada saat ini sedang aktif di ekspolorasi pada berbagai penelitian, antara lain ekstrak tanaman meniran (Phyllanthus niruri L). Bahan – bahan tersebut memerlukan berbagai tahap pengolahan sebelum dikomsumsi masyarakat. Untuk memudahkan masyarakat mendapatkan bahan – bahan yang memiliki aktivitas Biological response modifiers terutama yang dapat bersifat imunomodulator dan imunostimulator maka perlu dilakukan eksplorisasi bahan – bahan alam yang mudah diolah dan bisa dikomsumsi langsung oleh masyarakat tanpa melalui 53 bebas. Selain itu senyawa tersebut mempunyai sifat antibacterial dan antiviral .6 Hasil penelitian Gunarti dkk (2012) dan Yunan dkk (2012) menunjukan bahwa filtrat buah buni ungu mampu menghambat dan merusak integritas DNA Streptococcus pneumonia positip Streptococcus pneumonia positip gen lytA, dan nanA dan Staphylococcus aureus. Beberapa teori dan hasil – hasil penelitian membuktikan bahwa senyawa polifenol dan flavonoid sangat potensial sebagai imunostimulan sehingga dapat menurunkan jumlah koloni kuman pada organ yang terinfeksi, terutama hepar dan bertindak sebagai imunopotensiator yaitu menaikkan aktifitas makrofag, sel blast dan limfosit sitotoksisitas.5;14 Penelitian ini menggunakan bahan induksi atau infeksi Salmonella typhimurium karena merupakan penyebab penyakit sistemik pada binatang yang menyerupai tifoid pada manusia sehingga lazim digunakan untuk penelitian yang mempelajari patogenitas dan pengobatan infeksi. Perjalanan infeksi sistemik Salmonella typhimurium terjadi beberapa fase, fase I terjadi 1 jam setelah diinfeksi secara intravena atau intraperitonial. Fase II dimulai sejak 1 hari infeksi yang disebut tahap pertumbuhan eksponensial, bakteri masuk ke dalam sirkulasi darah melalui pembuluh limfe melakukan invasi ke hepar dan limpa untuk selanjutnya melakukan multiplikasi. Fase III terjadi 3-7 hari, pertumbuhan bakteri pesat dihati dan limpa serta menjadi pertumbuhan yang menetap. 9 Infeksi Salmonella typhimurium digunakan sebagai model infeksi intraseluler yang dapat memacu imunitas seluler. Pada fase III hari 3-7 infeksi Salmonella typhimurium, terjadi pertumbuhan bakteri yang akan memacu makrpfag memproduksi sitokinnya, sehingga akan mengaktivasi sistem imun baik alami maupun adatif terutama system imun selular. Infeksi intraseluler pada gambaran darah tepi sering ditemukan sel limfosit yang teraktivasi. Limfosit teraktivasi memiliki ciri limfosit yang lebih besar dan reaktif, sitoplasma lebih lebar, warna lebih biru atau abu-abu, inti oval, bentuk ginjal atau lobulated, kadang – kadang terdapat anak inti dengan kromatin kasar.1 Aktivitas filtrat buah buni (Antidesma bunius) sebagai bahan Biological response modifiers belum banyak di gali, terutama pengaruhnya terhadap jumlah limphosit teraktivasi, sel mononuklear (limfosit, monosit dan basofil) dan polimorfonuklear ( neutrofil dan eosinofil), karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai aktivitas Biological Response Modifiers (BRM) alami filtrat buah Buni (Antidesma bunius) terhadap jumlah limfosit teraktivasi, sel mononuklear dan polimorfonuklear pada darah hewan coba tikus putih jantan (Rattus norvegicus) strain wistar yang diinfeksi Salmonella typhimurium. Metode Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental di laboratorium dengan rancangan penelitian menggunakan the post test-only control group. Populasi dalam penelitian ini adalah hewan coba tikus putih jantan strain wistar. Sampel dalam penelitian ini adalah darah hewan coba tikus putih jantan strain wistar. Variabel bebas : Filtrat buah Buni (Antidesma bunius), Variabel terikat: Jumlah limfosit teraktivasi, Jumlah sel Mononuklear dan Polimorfonuklear. Cara pengambilan sampel : Menggunakan non random purpusive sampling. Kriteria inklusi hewan coba adalah : Tikus putih jantan strain wistar, Berumur 2-3 bulan, Berat badan 200 – 250 gram, Secara fisik berbadan sehat dan aktif sebelum diinfeksi Salmonella typhimurium, Jumlah sel leukosit 5.0 – 13.0 x 103/mm3, Neutrofil 934%, limfosit 63-84%, Monosit 0-5%, Eosinofil 0-6% dan Basofil 0-1%. Kriteria eksklusi hewan coba adalah : Tikus putih jantan strain wistar mati sebelum waktu observasi. Kriteria buah Buni (Antidesma bunius) adalah buah matang dengan warna 54 merah gelap atau ungu tua. Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan pendapat Weill bahwa sampel minimal untuk pemakaian hewan coba adalah 4 ekor dan dengan faktor koreksi 25% dari unit eksperiment, maka pada penelitian ini digunakan (6 x 4 = 24 ekor), faktor koreksi 24 x 25% = 6 ekor. Total hewan coba yang digunakan adalah 24 ekor + 6 ekor = 30 ekor. Hewan coba tersebut ditempatkan pada kandang terpisah, masing – masing kandang berisi 5 ekor tikus, sesuai dengan pembagian perlakuannya dan faktor koreksinya. Instrumentasi penelitian : Photometer Humanalyzer, Hemositometer ImrovedNeubauer, Elisa reader (Humman), Centrifuge , Inkubator, Autoklaf, Kandang tikus putih, Timbangan kualitatif, Timbangan kuantitatif, Blender kecil (blender untuk bumbu), Beaker glass, Dispenser 100-1000 mikron, Blue tip, Gunting, Pinset, Centrifuge, Tabung reaksi 5 ml, Eppendrof tubes. Bahan penelitian: Reagen ELISA Ig M dan Ig G (Sigma), Antikoagulan EDTA,Natrium Citrat 3,8%, Buah Buni (Antidesma bunius), Salmonella typhmurium dan Cat Rapid Hematologi. Cara Kerja : 1. Persiapan dan aklimatisasi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus). strain wistar Penelitian ini menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar karena beberapa alasan antara lain, mudah dikembang biakan, mudah diperlihara, mudah diambil darahnya cukup melalui ekor untuk mendapatkan darah kapiler, fisiologinya diperkirakan identik dengan manusia (Harmita & Maksum 2008). Aklimatasi hewan coba selama 7 hari terhadap air, makanan, udara, dan kondisi laboratorium. Pakan yang diberikan selama aklimatasi adalah pakan standar tikus putih (Rattus norvegicus) dan Aquadest untuk air minum. 2. Pembagian hewan coba berdasarkan kelompok perlakuan dan faktor koreksi. Hewan coba yang digunakan adalah tikus putih jantan strain wistar, jumlah sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan pendapat Weill bahwa sampel minimal untuk pemakaian hewan coba adalah 4 ekor dan dengan faktor koreksi 25% dari unit eksperiment, maka pada penelitian ini digunakan (6 x 4 = 24 ekor), faktor koreksi 24 x 25% = 6 ekor. Total hewan coba yang digunakan adalah 24 ekor + 6 ekor = 30 ekor. (Harmita & Maksum, 2008). Hewan coba tersebut ditempatkan pada kandang terpisah, masing – masing kandang berisi 5 ekor tikus, sesuai dengan pembagian perlakuannya dan faktor koreksinya. 3. Pembuatan filtrat buah Buni . 100 gram buah Buni yang matang dengan kriteria buah ungu kehitaman dipisahkan dari kelompok tandan buah. Buah buni sesuai kriteria ditimbang 100 gram. Buah tersebut dihancurkan dengan menggunakan blender khusus untuk biji – bijian, kemudian disaring dengan menggunakan kain kassa steril atau kertas saring steril, hasil saringan berupa filtrat ditampung pada botol steril, filtrat ini diasumsikan konsentrasinya 100 % atau merupakan filtrat murni dari filtrat buah Buni. Filtrat yang sudah jadi disimpan dalam lemari es suhu 4 – 8 derajat celsius bila belum digunakan. 4. Pengelompokkan hewan coba dan jenis perlakuannya Adapun pengelompokkan hewan coba dan jenis perlakuannya adalah : a. Kelompok kontrol 1 (K1) : Kontrol negatif atau kontrol sehat tanpa perlakuan hanya diberikan pakan standart dan aquadest selama 7 hari, dan hari ke – 7 diambil darahnya untuk pemeriksaan jumlah limfosit teraktivasi, jumlah sel Mononuklear dan Polimorfonuklear. b. Kelompok kontrol 2 (K2) : Kontrol positif diinfeksi Salmonella typhimurium secara intraperitoneal dengan dosis 105 CFU/ 1 kali / 55 c. d. e. f. perekor hewan coba pada hari pertama, 12 jam setelah diinfeksii hanya diberi pakan standart dan aguadest dan tidak diberi filtrat buah Buni 100% sampai hari ke-7. Pada hari ke – 7 diambil darahnya untuk pemeriksaan jumlah limfosit teraktivasi, jumlah sel Mononuklear dan Polimorfonuklear. Kelompok Perlakuan (P1) : Kelompok perlakuan diinfeksi Salmonella typhimurium secara intraperitoneal dengan dosis 105 CFU/ 1 kali / perekor hewan coba pada hari pertama, 12 jam setelah infeksi kelompok ini diberi pakan standart, aguadest dan filtrat buah Buni 25% 3 kali sehari sampai hari ke-7. Pada hari ke – 7 diambil darahnya untuk pemeriksaan jumlah limfosit teraktivasi, jumlah sel Mononuklear dan Polimorfonuklear. Kelompok Perlakuan (P2) : Kelompok perlakuan diinfeksi Salmonella typhimurium secara intraperitoneal dengan dosis 105 CFU/ 1 kali / perekor hewan coba pada hari pertama, 12 jam setelah infeksi kelompok ini diberi pakan standart, aguadest dan filtrat buah Buni 50% 3 kali sehari sampai hari ke-7. Pada hari ke – 7 diambil darahnya untuk pemeriksaan jumlah limfosit teraktivasi, jumlah sel Mononuklear dan Polimorfonuklear. Kelompok Perlakuan (P3) : Kelompok perlakuan diinfeksi Salmonella typhimurium secara intraperitoneal dengan dosis 105 CFU/ 1 kali / perekor hewan coba pada hari pertama, 12 jam setelah infeksi kelompok ini diberi pakan standart, aguadest dan filtrat buah Buni 75% 3 kali sehari sampai hari ke-7. Pada hari ke – 7 diambil darahnya untuk pemeriksaan jumlah limfosit teraktivasi, jumlah sel Mononuklear dan Polimorfonuklear. Kelompok Perlakuan (P4) : Kelompok perlakuan diinfeksi Salmonella typhimurium secara intraperitoneal dengan dosis 105 CFU/ 1 kali / perekor hewan coba pada hari pertama, 12 jam setelah infeksi kelompok ini diberi pakan standart, aguadest dan filtrat buah Buni 100% 3 kali sehari sampai hari ke-7. Pada hari ke – 7 diambil darahnya untuk pemeriksaan jumlah limfosit teraktivasi, jumlah sel Mononuklear dan Polimorfonuklear. 5. Cara perlakuan pemberian filtrate buah Buni 100% Sebelum perlakuan tikus putih yang sudah diaklimatisasi dipuasakan selama 5 jam dan ditimbang, kemudian diberi tanda pada ekor, telinga dan kaki untuk menghindari kesalahan pengambilan pada saat pengukuran dan pemberian perlakuan. Masing – masing hewan coba tersebut selanjutnya dimasukkan dalam kandang – kandang hewan coba sesuai dengan jenis perlakuan. Pemberian filtrat buah Buni sesuai kelompok perlakuan dengan volume sesuai berat badan hewan coba yang dihitung dengan rumus : BB (s) x V BB (std) F Keterangan: BB (s) : berat badan tikus putih yang sebenarnya BB (std) : berat badan standar (200 gram) V : jumlah yang diberikan (5 ml) F : frekuensi pemberian 3 kali 6. Pemeriksaan jumlah limfosit teraktivasi, sel mononuclear dan sel polimorfonuklear. Langkah – langkah dalam pemeriksaan hitung jenis sel mononuclear dan polimorfonuklear serta gambaran dan jumlah sel limfosit teraktivasi pada sediaan apus darah tepi, dengan prosedur pembuatan preparat sebagai berikut : 56 a. Meneteskan darah pada garis tengah kaca objek kira – kira 1 cm dari ujung. b. Dengan tangan kanan diletakkan kacaobjek lain disebelah kiri tetesan dan gerakkan ke kanan sampai menyentuh tetesan darah. c. Darah akan menyebar pada sisi penggeser. d. Menggeserkan kaca ke kiri dengan memegangnya miring 45 derajat. e. Preparat dibiarkan kering di udara dan diberi label. f. Preparat yang telah kering difiksasi dengan methanol 90%, dikeringkan kembali. g. Preparat diberi pewarnaan larutan Giemsa dan didiamkan selama 20-50 menit atau dapat menggunakan zat rapid hema. h. Preparat dicuci dengan air mengalir dan selanjutnya preparat dikeringkan. i. Preparat sediaan apus darah tepi yang sudah kering dibaca di bawah mikroskop cahaya untuk menghitung prosentase sel mononuclear dan polimorfonuklear serta jumlah dan morfologi sel limfosit teraktivasi dalam 100 sel leukosit. Analisa Data : Data hasil pemeriksaan jumlah limfosit teraktivasi dan Perhitungan jumlah sel Mononuklear dan Polimorfonuklear pada kelompok K1, K2, dan K3 dianalisa menggunakan uji statistik One Way anova, pada tingkat kepercayaan 95% Pα = 0.05, dilanjutkan dengan uji post hoc. lebih besar, sitoplasma lebar dengan vakuolisasi halus sampai sangat nyata, inti terletak pada salah satu tepi sel, berbentuk bulat oval atau seperti ginal, inti bentuk atipikal dengan kromatin agak longgar, terdapat/tidak ada anak inti. Adapun hasil perhitungan limfosit teraktivasi dan gambar limfosit teraktivasidapat dilihat pada grafik 1 berikut ini. Grafik1. Hasil Analisis Deskriptif Jumlah Limfosit Teraktivasi per 100 sel Keterangan : a. Kelompok K1: kontrol negatif (kontrol sehat tanpa perlakuan) b. Kelompok K2:kontrol positif diinfeksi Salmonella typhimurium tanpa pemberian filtrat buah buni c. Kelompok P1 :Kelompok perlakuan diinfeksi Salmonella typhimurium dan diberi filtrat buah Buni 25% . d. Kelompok P2 :Kelompok perlakuan diinfeksi Salmonella typhimurium dan diberi filtrat buah Buni 50% . e. Kelompok P3 :Kelompok perlakuan diinfeksi Salmonella typhimurium dan diberi filtrat buah Buni 75% . f. Kelompok P4 :Kelompok perlakuan diinfeksi Salmonella typhimurium dan diberi filtrat buah Buni 100% . Berdasarkan data pada grafik 1, pada mencit yang terinfeksi Salmonella typhimurium, terjadi peningkatan jumlah limfosit yang teraktivasi. Setelah diberikan filtrat buah buni (Antidesma bunius) selama 7 hari, terjadi peningkatan jumlah limfosit yang teraktivasi. Peningkatan paling tinggi didapatkan pada kelopompok perlakuan 3 yang diberikan filtrat 75 %. Hasil 1. Hasil hitung jumlah limfosit teraktivasi. Limfosit teraktivasi dihitung dengan cara hitung sediaan apus darah tepi yang diwarnai dengan cat rapid hema atau cat giemsa, banyaknya limfosit teraktivasi dihitung dalam 100 leukosit. Gambaran morfologi limfosit teraktivasi yaitu mempunyai sitoplasma lebar, warna lebih biru atau biru tua yang berukuran 57 dinyatakan dalam prosentase. Sel PMN meliputi Basofil, Eosinofil, Stab netrofil, dan Segmen netrofil, sedangkan sel MN meliputi limfosit dan Monosit. Adapun jumlah sel PMN dan MN pada masing – masing kelompok perlakuan dapat dilihat pada tabel1. 2. Hasil hitung jumlah sel PMN dan MN. Sel polimorfonuklear (PMN) dan sel mononuclear (MN) di hitung dalam 100 leukosit menggunakan sediaan apus darah tepi yang diwarnai dengan cat rapid hema atau cat giemsa. Jumlah sel PMN dan MN Kelompo k K1 K2 P1 P2 P3 P4 Tabel 1. Hasil Analisis Deskriptif Jumlah Sel PMN dan MN Replika PMN PMN PMN Total MN MN si (N) Basofi Eosinofi Netrofi PMN Limfosi Monosi l l l t t 5 0.0 2.8 36.4 39.2 57.6 3.2 5 0.0 4.6 50.8 55.4 35.0 9.6 5 0.0 2.4 43.0 45.4 49.8 4.8 5 0.0 2.4 36.6 39.0 58.4 2.6 5 0.0 1.2 26.6 27.8 70.0 2.2 5 0.0 2.4 37.2 39.6 57.2 3.2 Total MN 60.8 44.6 54.6 61.0 72.2 60.4 dilakukan analisis lebih lanjut data penelitian. 1. Uji Hipotesis efek buah buni (Antidesma bunius) terhadap jumlah limfosit yang teraktivasi Hasil uji hipotesis efek buah buni (Antidesma bunius) terhadap jumlah limfosit yang teraktivasi didapatkan nilai p= 0,000 (p<0.05). Hal ini berarti buah buni (Antidesma bunius) mempunyai efek yang signifikan dalam mempengaruhi jumlah limfosit yang teraktivasi. Setelah dilakukan uji beda dengan uji Mann-Whitney, diperoleh data terdapat perbedaan yang signifikan anatara kelompok kontrol positif dengan kelompok perlakuan dengan nilai p <0,05. Hal ini membuktikan filtrat buah buni (Antidesma bunius) mampu meningkatkan aktifitas limfosit pada mencit yang diinfeksi Salmonella typhimurium. Untuk melihat efek masing-masing dosis perlakukan, diadapatkan hasil ada perbedaan yang signifikan jumlah limfosit yang teraktivasi antara kelompok P1 (25 %) dan P 4 (100%) dengan kelompok P2 ( 50 %) dan P3 (75%). Tidak ada perbedaan yang bermakna antara kelompok P2 ( 50 %) dan P3 (75%), dan antara kelompok P1 (25 %) dan P 4 Keterangan : a. Kelompok K1 :kontrol negatif (kontrol sehat tanpa perlakuan) b. Kelompok K2:kontrol positif diinfeksi Salmonella typhimurium tanpa pemberian filtrat buah buni c. Kelompok P1 :Kelompok perlakuan diinfeksi Salmonella typhimurium dan diberi filtrat buah Buni 25% . d. Kelompok P2 :Kelompok perlakuan diinfeksi Salmonella typhimurium dan diberi filtrat buah Buni 50% . e. Kelompok P3 :Kelompok perlakuan diinfeksi Salmonella typhimurium dan diberi filtrat buah Buni 75% . f. Kelompok P4 :Kelompok perlakuan diinfeksi Salmonella typhimurium dan diberi filtrat buah Buni 100% . Data pada tabel 1 menunjukkan bahwa, secara umum gambaran jumlah lekosit polimorfonuklear (PMN) dan mononuclear (MN) masih dalam batas noral, kecuali, pada kelompok kontrol positif (K2), terjadi peningkatan jumlah Netrofil dan Monosit yang melewati batas normal yaitu secara berturut-turut 50,8 (normal 9-35 %), dan 9,6 % (normal 0-5 %). Analisis Penelitian Untuk melihat efek dari filtrat buah buni (Antidesma bunius) pada penelitian ini 58 (100%). Hal ini berarti dosis efektif terdapat pada konsentrasi 50 % dan 75 %. 2. Uji Hipotesis efek buah buni (Antidesma bunius) terhadap peningkatan jumlah limfosit PMN dan MN Hasil uji hipotesis efek buah buni (Antidesma bunius) terhadap jumlah lekosit polimorfonuklear (PMN), baik basofil, eosinofil dan netrofil, dan lekosit mononuklear (MN), yaitu limfost dan monosit dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini. Tabel 2 Hasil Uji Hipotesis Kruskal Wallis ― Jumlah Lekosit Polimorfonuklear (PMN) dan Mononuklear (MN) ChiSquare df Asymp. Sig. PMN Basofi l .000 PMN Eosinofi l 19.108 PMN Netrofil Total PMN MN Limfosit MN Monosit Total MN 22.902 23.463 24.821 20.842 23.463 5 1.000 5 .002 5 .000 5 .000 5 .000 5 .001 5 .000 Hasil Uji hiptesis sebagaimana yang tersaji pada tabel 3.4 di atas menunjukkan bahwa filtrat buah buni (Antidesma bunius) mampu mempunyai efek yang signifikan dalam mempengaruhi jumlah lekosit jumlah polimorfonuklear yaitu eosinofil, Netrofil, dan lekosit mononuklear (MN), yaitu limfost dan monosit. Tidak ditemukan efek filtrat buah buni(Antidesma bunius) terhadap basofil. Tabel 3 Setelah itu dilakukan uji beda dengan uji Mann-Whitney, diperoleh data terdapat perbedaan yang signifikan antara kelompok kontrol positif dengan semua kelompok perlakuan (p< 0,05). Untuk melihat perbedaan efek antara kelompok perlakuan, juga dilakukan uji yang sama, hasilnya dapat dilihat pada tabel 3 berikut ini Hasil Uji Mann - Whitney ― Jumlah Lekosit Polimorfonuklear (PMN) dan Mononuklear (MN)‖ Kelompo k PMN Eosinofil PMN Netrofil P1-P2 P1-P3 P1-P4 P2-P3 P2-P4 P3-P4 1.000 .033 1.000 .033 1.000 .033 .093 .009 .011 .012 .343 .009 Tota MN l MN Limfosi PM Monosit t N .070 .020 .008 .009 .009 .008 .009 .009 .068 .008 .009 .419 .340 .168 .504 .009 .009 .230 Total MN .070 .009 .009 .008 .340 .009 Imunomodulator atau imunostimulator tampak menjadi bagian terpenting dalam pencegahan dan pengobatan. Senyawa dengan efek immunostimulan atau disebut juga Biological response modifiers (BRM) Pembahasan Penelitian ini secara umum ingin membuktikan efek immunostimulan dari senyawa yang terkandung dalam filtrat buah buni (Antidesma bunius). 59 dapat membantu tubuh untuk mengoptimalkan fungsi sistem imun yang merupakan sistem utama yang berperan dalam pertahanan tubuh terhadap benda asing yang masuk kedalam tubuh, termasuk infeksi oleh mikroorganisme.Pemakaian imunostimulator bertujuan menekan atau mengurangi infeksi virus dan bakteri intra dan ekstra seluler, mengatasi imunodefisiensi atau sebagai perangsang pertumbuhan sel – sel pertahanan dalam sistim imunitas.3 Untuk menginduksi peningkatan aktivitas dan jumlah lekosit pada hewan coba pada penelitian ini digunakan bakteri Salmonella typhimurium. Pemilihan filtrat buah buni disebabkan oleh mudahnya prose pembuatan sehingga dapat dimanfaatkan secara langsung oleh masyarakat, dan buah buni sendiri mudah ditemukan di pulau Lombok dan telah dipercayai secara turun temurun meiliki manfaat bagi kesehatan, disamping telah dibuktikan kandungan dan manfaatnya melalaui penelitian. Buah buni mengandung senyawa-senyawa kimia kelompok antioksidan antara lain polifenol, asam fenolat, kelompok senyawa bioflavanoid seperti antosianain, katekin, kaemferol, dan kuersetin serta vitamin C (Anonim, 2010). Polifenol merupakan antioksidan yang potensial untuk mencegah pembentukan radikal bebas. Selain itu senyawa tersebut mempunyai sifat antibacterial dan antiviral.6 Hasil penelitian Gunarti dkk (2012) menunjukan bahwa filtrat buah buni mampu menghambat dan merusak integritas DNA Streptococcus pneumonia positip Streptococcus pneumonia positip gen lytA, dan nanA dan Staphylococcus aureus.5 Beberapa teori dan hasil – hasil penelitian membuktikan bahwa senyawa polifenol dan flavonoid sangat potensial sebagai imunostimulan sehingga dapat menurunkan jumlah koloni kuman pada organ yang terinfeksi, terutama hepar dan bertindak sebagai imunopotensiator yaitu menaikkan aktifitas makrofag, sel blast dan limfosit sitotoksisitas. Pada penelitian, konsentrasi filtrat buah buni yang digunakan adalah 25 %, 50 %, 75 % dan 100%. Pemilihan dosis ini berdasarkan hasil penelitian sebelumnya tentang efek filtrat buah buni terhadap integritas DNA Streptococcus pneumonia positip Streptococcus pneumonia positip gen lytA, dan nanA dan Staphylococcus aureus oleh Gunarti dkk (2012). Lama pemberian selama 7 hari sesuai dengan gambaran fase-fase yang terjadi pada infeksi bakteri salmonella. 5;7 a. Jumlah Lekost PMN dan MN Respons imun terhadap salmonella meliputi sistem imun natural (innate) dan sistem imun adaptif (acquired). Untuk menilai efek dari pemberian filtrat buah buni (Antidesma bunius) terhadap sistem imun sistem imun natural (innate), maka dilakukan pengukuran jumlah polimorfonuklear (PMN) yaitu Basofil, Eosinofil, Netrofil, dan lekosit mononuklear (MN), yaitu limfost dan monosit. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, secara umum gambaran jumlah lekosit polimorfonuklear (PMN) dan mononuklear (MN) masih dalam batas noral, kecuali pada kelompok kontrol positif (K2), terjadi peningkatan jumlah Netrofil dan Monosit yang melewati batas normal yaitu secara berturut-turut 50,8 (normal 9-35 %), dan 9,6 % (normal 0-5 %). Namun, setelah dilakukan analisis, terdapat perbedaan yang signifikan antara jumlah total sel polimorfonuklear maupun komponen sel yang termasuk dalam sel PMN (eosinofil dan netrofil), serta jumlah total sel Mononuklear maupun komponen sel yang termasuk dalam sel MN (limfosit dan monosit) pada kelompok kontrol 1 (K1) dan kontrol 2 (K2). Perjalanan infeksi sistemik Salmonella typhimurium terjadi 3 fase. Fase I terjadi 1 jam setelah diinfeksi secara intravena atau intraperitonial. Fase II dimulai sejak 1 hari infeksi yang disebut tahap pertumbuhan 60 eksponensial, bakteri masuk ke dalam sirkulasi darah melalui pembuluh limfe melakukan invasi ke hepar dan limpa untuk selanjutnya melakukan multiplikasi. Neutrofil sangat penting pada fase ini sebagai pertahanan host dalam menghambat pertumbuhan 9 bakteri pada fase ini. Gambaran efek dari pemberian buah buni (Antidesma bunius) dalam meningkatkan sistem imun innate, secara tidak langsung dapat dilihat dengan kesenderungan semakin mengingkatnya jumlah sel mononuklear. Tidak terjadinya peningkatan jumlah netrofil seperti pada kelompok kontrol 2 (K2), diduga juga merupakan indikator telah terlewatinya fase 2 secara lebih efektif pada kelompok perlakuan, mengingat pengambilan sampel darah dilakukan setelah fase 2, dan mulai memasuki fase pembersihan, dimana yang berperan adalah sistem imun adaptif, yang diperantarai oleh Limfosit. Namun, untuk membuktikan hal tersebut, perlu dilakukan penelitian lebih lanjut. b. Limfosit teraktivasi Respons imun terhadap salmonella meliputi sistem imun natural (innate) dan sistem imun adaptif (acquired). Sementara itu pada imun adaptif sel yang perperan adalah APC, sel Limfosit T dan sel limfosit B. Sel dendritik merupakan APC yang penting dalam inisiasi respons imun yang diperantarai sel T dan bersama dengan makrofag mempresentasikan antigen yang diproses dari bakteri intrasel gram negatif seperti Salmonella. Pada fase III hari 3-7 infeksi Salmonella typhimurium, terjadi pertumbuhan bakteri yang akan memacu makrofag memproduksi sitokinnya, sehingga akan meningkatkan kapasiatas kerja sel NK. Fase pembersihan terjadi setelah minggu ketiga infeksi yang melibatkan imun adaptif khususnya sel limfosit T. Pada kejadian infeksi intraseluler seperti oleh Salmonella typhimurium pada gambaran darah tepi sering ditemukan sel limfosit yang teraktivasi. Limfosit teraktivasi memiliki ciri limfosit yang lebih besar dan reaktif, sitoplasma lebih lebar, warna lebih biru atau abu-abu, inti oval, bentuk ginjal atau lobulated, kadang – kadang terdapat anak inti dengan kromatin kasar.1 Pada penelitian terbukti bahwa infeksi Salmonella typhimurium mampu merangsang sistem imun adaptif pada hewan coba sebagai bagian dari proses pertahanan tubuh dari hewan coba. Pada Kelompok kontrol 2 (K2) yang diinfeksi dengan Salmonella typhimurium, terjadi peningkatan jumlah limfosit yang teraktivasi dri 1 % sebelum terinfeksi menjadi 5 % pada kelompok yang terinfeksi. Untuk meningkatkan sistem imun, dengan meningkatkan jumlah limfosit yang teraktifitas, maka diujicobakan pemberian filtrat buah buni (Antidesma bunius). Hasil dari pemberian filtrat buah buni (Antidesma bunius), ternyata mamapu meningkatkan jumlah limfosit yang teraktivasi. Jumlah lekosit yang teraktivasi pada kelompok perlakuan secara berturut-turut adalah 6,4; 8,4; 8,8; dan 7,2, lebih tinggi dari kelompok kontrol 2. Setelah dilakukan analisis lebih lanjut, didapatkan peningkatan jumlah limfosit yang teraktivasi secara signifikan, baik jika dibandingkan dengan kelompok K 1 maupun dengan K2 (p =0,008; p<0,05). Namun, setelah dieksplorasi lebih lanjut, semakin tinggi konsentrasi filtrat buah, kemampuan meningkatkan jumah limfosit yang teraktivasi cenderung makin meningkat. Setelah dilakukan uji beda dengan uji Mann-Whitney, didapatkan hasil kemampuan meningkatkan jumlah limfosit yang teraktivasi paling tinggi dicapai oleh kelompok P3 (75%) yaitu mencapai 8,8, namun tidak berbeda secara signifikan dengan yang dicapai oleh kelompok P 2 (50 %). Oleh karena itu, berdasarkan penelitian ini, untuk mendapatkan efek immunostimulan dari 61 buah buni, konsentrasi yang dianjurkan adalah 50%-75%. 4. Kesimpulan 1. Filtrat buah buni (Antidesma bunius) mempunyai mampu meningkatkan jumlah limfosit teraktivasi pada hewan coba secara signifikan. 2. Konsentrasi filtrat buah buni (Antidesma bunius) 50% dan 70 % mempunyai efetivitas paling tinggi meningkatkan jumlah limfosit teraktivasi pada hewan coba. 3. Pemberian filtrat buah buni (Antidesma bunius) memberikan efek terhadap jumlah lekosit polimorfonuklear dan monuklear pada hewan coba secara signifikan 4. Pemberian filtrat buah buni (Antidesma bunius) tidak mempunyai efek terhadap jumlah sel polimorfonuklear basofil. 5. 6. 7. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan melihat kemampuan fagositosis dan morfologi limfosit yang teraktifasi serta parameter aktivitas Biological Response Modifiers (BRM) lainnya. 2. Perlu dilakukan penelitian efektifitas filtrat buah buni (Antidesma bunius) dalam mencegah infeksi salmonella. 3. Perlu dilakukan penelitian untuk menentukan dosis efektif dan dosis letal dan membandingkan efektifitas filtrat buah buni (Antidesma bunius) dengan Biological Response Modifiers (BRM) lainnya 8. 9. 10. 11. Daftar Pustaka 1. 2. 3. Abbas AK, Litchman AH, Pober JS, 2003. Celluler and molecular immunology. Fourt edition. Philadelphia: WB Saunders Co. Anonim. 2010. Antosianin Zat Fungsi onal Filtrat buah http//yissaprayogo.wordpress.com. Block,K.I and M.N.Mead, 2003. Immune System Effects Of Echinacea, Ginseng and Astragalus : A review. 12. 13. 62 Integrative cancer therapies. 2(3):247267. Ening Wiedosari, 2007. Peranan Imunomodulator Alami (Aloe vera) dalam Sistem Imunitas Seluler dan Humoral. Wartazoa vol 17 N0 4. Gunarti dan Yunan J, 2012. Kadar Hambatan Minimal (KHM), Kadar Bunuh Minimal (KBM) dan Integritas DNA Streptococcus pneumonia lytA, dan nanA yang terpapar filtrate buah buni (Antidesma bunius). Laporan Risbinakes Tahun 2012. Hernani dan Mono Raharjo. 2004. Tanaman Berkhasiat Antioksidan. Jakarta: Penebar Swadaya. Ima Arum Lestari, 2008. Pengaruh Pemberian Phyllanthus niruri L terhadap respon imunitas seluler mencit balb/c yang diinfeksi dengan Salmonella typhimurium. Tesis Magister Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Diponegoro Semarang. Karnen Garna Baratawidjaja, 2006. Imunologi dasar. Edisi -7. Balai penerbit FKUI Jakarta. Kresno SB,2001. Imunologi: Diagnosis dan prosedur laboratorium. Edisi ke-4. Balai Penerbit FKUI Jakarta. Nurhidayati, 2009. Efek Protektif Teripang Pasir (Holothuria scabra) terhadap Hepatotoksis yang diinduksi Karbon Tetraklorida (CCL4) Penelitian Eksperimental Pada Tikus Putih (Rattus novergicus). Tesis farmakologi. Universitas Airlangga. Roitt Ivan,2002. Imunologi. Essential Immunology. Edisi 8. Penerbit Widya Medika. Jakarta. Sunarno,2007. Efek Phyllanthus niruri L pada Prosentase Neutrofil, Koloni bakteri limpa, dan Histopatologi Hepar Mencit balb/C yang diinfeksi Salmonella Typhimurium. Tesis Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Diponogoro Semarang. Tizard,I.R.2000. Immunology : An Indroduction.6th Ed. New York: Saunders College Publishing.pp.98161 14. Yunan J dan Iswidhani, 2012. Pengaruh Filtrat Buah Buni (Antidesma bunius) terhadap Kadar Hambatan Minimal (KHM), Kadar Bunuh Minimal (KBM) dan Perubahan Profil Resisten Methicillin. Laporan Risbinakes 2012. 63 PENGARUH PENAMBAHAN RAGI TEMPE (Rhizopus sp) PADA PEMBUATAN MINYAK KELAPA TERHADAP MUTU MINYAK 1 Ida Bagus Rai Wiadnya¹, Urip¹, Eka Minovriyanti1 Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan Abstrak Minyak kelapa fermentasi adalah minyak yang diekstrak dari buah kelapa dan di olah secara fermentasi yang dikatalisis oleh suatu mikroorganisme dalam proses pemisahan minyak dari karbohidrat dan protein yang terdapat pada sel-sel endosperm biji kelapa. Pembuatan minyak kelapa dengan cara fermentasi dilakukan tanpa pemanasan, tetapi dengan penambahan ragi pada krim santan kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 300C sampai terbentuk lapisan endapan dan lapisan minyak yang ada di permukaan.Untuk mengetahui pengaruh penambahan ragi tempe(Rhizopus sp) terhadap mutu minyak dilakukan penentuan kadar bilangan asam dan bilangan penyabunan dengan metode titrasi asidi–alkalimetri.Penelitian bersifat Pre experimental dengan pendekatan post test only design. Dengan rancangan penelitian rancangan acak lengkap (RAL), dengan 5 perlakuan dan 5 pengulangan.Rata – rata kadar bilangan asam terendahyang diperoleh pada penambahan 2 gram ragi/liter krim santan sebesar 0,2968 mg KOH/gram dan yang tertinggi pada penambahan 6 gram ragi per liter krim santan sebesar 0,4562 mg KOH/gram, sedangkanrata – rata kadar bilangan penyabunan terendah diperoleh pada penambahan 2 gram ragi/liter krim santan sebesar 261,106 mg KOH/gram dan tertinggi pada penambahan 6 gram ragi/liter krim santan sebesar 262,804 mg KOH/gram. Dari hasil uji statistik, diperoleh nilai untuk bilangan asam p = 0,034 < α = 0,05, artinya ada pengaruh peambahan ragi tempe (Rhizopus sp) terhadap bilangan asam. Dan untuk bilangan penyabunan p = 0,06> α = 0,05 artinya tidak ada pengaruh peambahan ragi tempe (Rhizopus sp) terhadap bilangan penyabunan. Kata Kunci : Ragi Tempe, Minyak Kelapa Fermentasi, Mutu Minyak Abstract Fermented coconut oil is the oil extracted from coconuts and if the fermentation is catalyzed by the microorganisms in the process of separating the oil from carbohydrates and protein found in the endosperm cells of seeds coconut. Making coconut oil by fermentation is done without heating, but with the addition of yeast in cream coconut and then incubated for 24 hours at a temperature of 300C to precipitate and form a layer of oil on the surface. To determine the effect of tempe (Rhizopus sp) on the quality of oil is the determination of the levels of acid number and saponification-titration method asidi alkalimetry. Research is Pre experimental post-test only design approach. By study design completely randomized design (CRD) with 5 treatments and 5 replications. The average level of lowest acid number obtained on the addition of 2 grams of yeast / liter of coconut cream at 0.2968 mg KOH / grams and the highest in the addition of 6 grams of yeast / liter of coconut cream at 0.4562 mg KOH / grams, while the the average level of lowest saponification obtained on addition of yeast 2 grams / liter of coconut cream at 261.106 mg KOH / grams and the highest in the addition of 6 grams of yeast / liter of coconut cream at 262.804 mg KOH / g From the results of statistical tests, values obtained for acid number p = 0.034 <α = 0.05, meaning that there is the effect of adding tempe (Rhizopus sp) to the acid number. And for saponification p = 0.06> α = 0.05 means that there is no effect of the addition of tempe (Rhizopus sp) on saponification. Keywords: Yeast Tempe, Fermented Coconut Oil, Oil Quality 64 (Saccaromyces cereviciae) (Alamsyah, 2005). Rhizopus sp. merupakan salah satu mikroorganisme yang dapat digunakan dalam pembuatan minyak kelapa secara fermentasi. Hal ini dikarenakan Rhizopus sp. menghasilkan enzim protease. Enzim protease tersebut merupakan golongan hidrolase yang dapat memecah protein menjadi molekul yang lebih sederhana. Protein dalam ikatan lipoprotein santan dipecah dengan menggunakan enzim protease, dengan rusaknya lipoprotein tersebut maka ikatan lipoprotein dalam santan juga akan terputus dengan sendirinya, kemudian minyak yang diikat oleh ikatan tersebut akan keluar dan mengumpul menjadi satu (Setiaji, 2006). Kelebihan proses secara fermentasi dibandingkan cara lain adalah kemudahannya sehingga dapat diproduksi secara praktis, hemat bahan bakar, tingkat ketengikan rendah dengan daya simpan lebih lama, dan aroma lebih harum (Rosenthal dan Niranjan, 1996: Sulistyo dkk, 1999). Mikroorganisme merupakan kunci keberhasilan atau kegagalan suatu fermentasi. Penggunaan ragi tempe untuk fermentasi minyak telah diteliti oleh Laras dan Adi (2009) dengan penambahan ragi tempe sebanyak 4 gr per liter krim santan menghasilkan rendemen minyak sebesar 33,2% dengan warna bening. Melihat hasil penelitian tersebut, peneliti ingin memberikan perlakuan yang berbeda dalam pembuatan minyak fermentasi oleh jamur Rhizopus sp untuk melihat pengaruh penambahan ragi tempe (Rhizopus sp) pada pembuatan minyak kelapa secara fermentasi terhadap mutu minyak kelapa dilihat dari bilangan asam dan bilangan penyabunannya. Metode Penelitian Alat Alat-alat yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah timbangan, mesin parut, toples plastik transparan, saringan, kertas saring, kain saring, waterbath,buret makro, gelas ukur, gelas beaker, labu Pendahuluan Minyak kelapa sudah dikenal di Indonesia sejak lama. Penggunaan minyak kelapa dalam kehidupan sehari-hari sangat luas seperti untuk minyak goreng / bahan makanan, obat – obatan, bahan pembuat sabun dan lain sebagainya. Pada umumnya minyak kelapa diproduksi dengan cara tradisional, dengan cara santan diuapkan airnya sehingga terbentuk minyak kelapa dan gumpalan protein, tetapi masih ditemukan kelemahan-kelemahan antara lain: kadar air masih cukup tinggi yaitu sekitar 1,6% dan asam lemak bebas 1,9% sehingga minyak cepat menjadi tengik, dan warna minyak agak kekuningan serta daya simpan kurang dari dua bulan (Lay dan Rindengan, 1989). Pada proses ini juga protein akan cenderung terdenaturasi karena penggunaan energi panas yang cukup tinggi dalam proses penguapan tersebut. Pemanasan yang cukup tinggi juga akan merubah warna minyak menjadi cokelat. Dewasa ini telah ditemukan suatu metode pembuatan minyak kelapa yang dapat mengurangi beberapa kelemahan – kelemahan tersebut. Metode ini didasarkan pada penemuan bioteknologi sederhana. Dalam bioteknologi pembuatan minyak kelapa ini dibantu oleh suatu mikroorganisme dalam pemisahan minyak dari karbohidrat dan protein yang terdapat pada sel-sel endosperm biji kelapa. Metode ini lebih dikenal dengan nama pembuatan minyak kelapa dengan ragi atau juga disebut pembuatan minyak kelapa secara fermentasi. Metode yang menggunakan proses fermentasi agak berbeda dengan cara tradisional. Proses pembuatan minyak kelapa dengan cara fermentasi dilakukan tanpa pemanasan, yaitu dengan penambahan ragi pada krim santan kemudian diinkubasi sampai terbentuk lapisan endapan dan lapisan minyak yang ada di permukaan. Beberapa ragi (yeast) dapat digunakan dalam fermentasi minyak, seperti ragi tape dan ragi roti 65 indikator penolpthalin 3 – 5 tetes. dititrasi dengan larutan KOH 0,1N sampai terbentuk berwarna merah muda. erlenmeyer, pipet volume, pipet tetes, corong, pengaduk gelas dan pendingin balik. Bahan dan reagensia Bahan dan reagensia yang digunakan dalam penelitian ini adalah kelapa, ragi tempe, asam oksalat 0,1 N, KOH 0,1 N dan 0,5 N, alkohol eter (2 : 1), indikator Penolphthalin, HCl 0,5N, Natrium tetraborat 0,5 N dan indikator methyl orange Penetapan Kadar Bilangan asam Ditimbang 5 gr sampel, larutkan dengan 30 ml campuran alkohol eter (50 ml alkohol 95% : 25 ml Dietil eter ). Dipanaskan sampai larut di atas waterbath. Dinginkan, tambahkan indikator penolpthalin. dititrasi dengan KOH 0,1N sampai berwarna merah muda. Cara kerja Pembuatan krim santan Daging kelapa yang sudah diparut ditambahkan air dengan perbandingan 1 liter air untuk 1 kg kelapa lalu mengambil santannya. Kemudian diperas daging kelapa parut diatas saringan hingga diperoleh santan. Kemudian disaring semua santan yang dihasilkan. Diendapkan santan yang telah disaring selama 1 jam, sehingga terbentuk dua lapisan yaitu: lapisan bawah berupa air dan lapisan atas berupa krim. Dipisahkan krim dan air dengan membuang air yang tidak diperlukan. Persiapan Ragi tempe Menyiapkan ragi tempe dengan perbandingan 2 g, 3 g, 4 g, 5 g dan 6 g per liter krim santan Standarisasi KOH 0,5N dengan Asam oksalat 0,5N Dipipet 10,0 ml Asam oksalat 0,5 N kemudian dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml. Ditambahkan aquadest 25 – 50 ml. Ditambahkan indikator penolphthalin 3 – 5 tetes. Dititrasi sampai berwarna merah muda. Standarisasi HCl 0,5N dengan Natrium tetraboraks 0,5N Dipipet 10,0 ml Natrium tetraboraks 0,5N kemudian dimasukkan ke dalam labu erlenmeyer 250 ml, ditambahkan aquadest 25 – 50 ml, ditambahkan indikator metil orange 3 – 5 tetes. Dititrasi sampai sampai berwarna jingga Penetapan kadar bilangan penyabunan itimbang secara seksama 1,5 – 5 gr minyak/lemak masukkan ke dalam labu erlenmeyer. Ditambahkan 50 ml larutan KOH Alkohol 0,5N kocok hingga homogen. Dihubungkan erlenmeyer dengan pendingin balik. Didihkan hati – hati selama 30 menit. Didinginkan, tambahkan penolpthalin beberapa tetes. Dititrasi kelebihan KOH dengan baku HCL 0,5N. Dilakukan titrasi blanko dengan aquadest Fermentasi dan inkubasi Ditampung krim yang terbentuk ke dalam toples transparan ditambahkan ragi tempe dengan perbandingan 2 g, 3g, 4 g, 5 g, 6 g per liter krim santa, diinkubasi selama 24 jam suhu 300C, hingga terbentuk tiga lapisan. Lapisan paling atas merupakan minyak kelapa, lapisan tengah adalah blondo (ampas krim) dan lapisan paling bawah adalah air. dipisahkan minyak kelapa tersebut dari air dan blondo dan melakukan penyaringan pada minyak. Penentuan bilangan asam dan bilangan penyabunan Standarisasi larutan KOH 0,1N dengan asam oksalat 0,1N Dipipet 10,0 ml asam oksalat, tambahkan aquadest 25 – 50 ml. ditambahkan Hasil Gambaran Umum Penelitian Kegiatan penelitian diawali dengan pemilihan buah kelapa yang akan digunakan untuk pembuatan minyak yang memiliki kriteria yaitu kelapa yang sudah 66 tua, sabut berwarna cokelat, belum bertunas, masih mengandung air kelapa, dan melalui proses sortasi untuk mendapatkan buah kelapa yang baik, tidak busuk, serta verietas yang sama dimana bahan baku tersebut diperoleh dari pasar. Kelapa tersebut kemudian di parut dengan mesin parut dan diambil santannya lalu diakukan pemisahan krim santan dari air. krim santan yang terbentuk dimasukkan ke dalam 5 wadah dan masing – masing ditambahkan ragi tempe (Rhizopus sp) yang diperoleh dari pasar dengan variasi konsentrasi tertentu secara acak. Krim tersebut kemudian diinkubasi untuk melakukan proses fermentasi. Minyak yang dihasilkan diambil dan dilakukan pemeriksaan mutu minyak di Laboratorium Kimia Jurusan Analis Kesehatan Mataram. Uji mutu yang dilakukan terdiri dari bilangan asam dan bilangan penyabunan Hasil Setelah dilakukan penetapan kadar bilangan asam dan bilangan penyabunan pada sampel minyak kelapa dengan menggunakan metode titrasi asidi– alkalimetri, diperoleh hasil pemeriksaan seperti pada tabel 4.1 dan tabel 4.2 di bawah ini Tabel 4.1 Hasil Penetapan Kadar Bilangan Asam Pada Minyak Kelapa Fermentasi No Penambahan Pengulangan Kadar Bilangan Asam Rerata ragi tempe (mg KOH/g) (mgKOH/ 1 2 3 4 5 g) 1 2 3 4 5 2 gram 3 gram 4 gram 5 gram 6 gram 0,3972 0,1981 0,1978 0,3970 0,3971 0,1980 0,2972 0,3975 0,2974 0,4964 Dari tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa kadar Bilangan Asam rata – rata pada penambahan ragi tempe (Rhizopus sp) 2 gram per liter krim santan adalah sebesar 0,2968 mg KOH/g, pada penambahan 3 gram per liter krim santan kadar bilangan asam rata - ratanya sebesar 0,2974 mg KOH/g, pada penambahan ragi tempe 4 gram per liter krim santan kadar bilangan asam rata - ratanya sebesar 0,3574 mg KOH/g, pada penambahan ragi tempe 5 0,2954 0,2970 0,2981 0,3975 0,5943 0,2981 0,3975 0,3969 0,4962 0,3970 0,2955 0,2975 0,4969 0.3962 0,3926 0,2968 0,2974 0,3574 0,3968 0,4562 gram per liter krim santan bilangan asam rata - ratanya sebesar 0,3968 mg KOH/g dan pada penambahan ragi tempe 6 gram per liter krim santan kadar bilangan asam rata - ratanya sebesar 0,4562 mg KOH/g Untuk lebih jelasnya, pengaruh penambahan ragi tempe (Rhizopus sp) terhadap kadar Bilangan Asam pada minyak kelapa fermentasi dapat dilihat pada gambar grafik 4.1 di bawah ini. Gambar 4.1 Penambahan Ragi Tempe (Rhizopus sp) pada proses Fermentasi Minyak 67 Dari grafik di atas terlihat bahwa kadar Bilangan Asam terendah pada penambahan 2 gram per liter krim santan dan tertinggi pada penambahan 6 gram per liter krim santan Tabel 4.2 Hasil Penetapan Kadar Bilangan Penyabunan Pada Minyak Kelapa Fermentasi No 1 2 3 4 5 Penamba han ragi (g) 2 3 4 5 6 Pengulangan Kadar Bilangan Penyabunan (mg KOH/g) 1 2 3 4 5 260,69 261,35 262,14 259,44 261,91 261,06 260,23 260,93 262,78 262,29 262,22 261,45 261,23 262,20 260,81 262.15 261,41 263,68 263,01 261,82 263,80 262,23 263,51 261,66 262,82 Dari tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa kadar Bilangan Penyabunan rata – rata pada penambahan ragi tempe (Rhizopus sp) 2 gram per liter krim santan adalah sebesar 261,106 mg KOH/g, pada penambahan 3 gram per liter krim santan kadar bilangan Penyabunan rata - ratanya sebesar 261,458 mg KOH/g, pada penambahan ragi tempe 4 gram per liter krim santan kadar bilangan Penyabunan rata – ratanya sebesar 261,582 mg KOH/g, pada penambahan ragi tempe 5 Rerata (mgKOH/ g) 261,106 261,458 261,582 262,414 262,804 gram per liter krim santan bilangan Penyabunan rata – ratanya sebesar 262,414 mg KOH/g dan pada penambahan ragi tempe 6 gram per liter krim santan kadar bilangan Penyabunan rata - ratanya sebesar 262,804mg KOH/g. Untuk lebih jelasnya, pengaruh penambahan ragi tempe (Rhizopus sp) terhadap kadar Bilangan Penyabunan pada minyak kelapa fermentasi dapat dilihat pada gambar grafik 4.2 di bawah ini : Gambar 4.2 Penambahan Ragi Tempe (Rhizopus sp) Pada Proses Fermentasi Minyak Dari grafik di atas terlihat bahwa kadar Bilangan Penyabunan pada penambahan ragi tempe (Rhizopus sp) terjadi sedikit peningkatan. Hasil Uji Satistik Uji Anova Satu Arah Uji Anova Satu Arah digunakan untuk mengetahui adanya pengaruh yang ditunjukan dari data hasil penelitian. Berdasarkan hasil uji ini, jika nilai p > α = (0,05) maka tidak ada pengaruh 68 penambahan ragi tempe terhadap mutu minyak kelapa fermentasi dan bila p < α = (0,05) maka ada pengaruh yang signifikan. Berdasarkan hasil uji Anova Satu Arah menunjukkan ada pengaruh penambahan ragi tempe terhadap bilangan asam dibuktikan dengan nilai p (0,034) < α = (0,05) dan tidak ada pengaruh penambahan ragi tempe terhadap bilangan penyabunan dibuktikan dengan nilai p (0,060) > α = (0,05). Pembahasan Hasil Penetapan Bilangan Asam Bilangan asam dinyatakan sebagai jumlah miligram KOH yang diperlukan untuk menetralkan asam lemak bebas yang terdapat dalam satu gram minyak atau lemak. Bilagan asam adalah ukuran dari jumlah asam lemak bebas, asam lemak bebas terdapat di dalam minyak atau lemak, jumlahnya akan terus bertambah selama proses pengolahan dan penyimpanan. Keberadaan asam lemak bebas biasanya dijadikan indikator awal terjadinya kerusakan minyak. Asam lemak bebas adalah asam lemak yang sudah terlepas dari trigliserida karena proses hidrolisis. Asam lemak bebas ini dapat dioksidasi secara autooksidasi atau oleh enzim yang dinamakan Lypooksigenase. Oksidasi khususnya terjadi pada asam lemak tidak jenuh, yaitu asam oleat, linoleat, dan linolenat yang merupakan asam – asam yang banyak terkandung dalam lemak atau minyak. Dalam reaksi hidrolisa, minyak akan diubah menjadi asam – asam lemak bebas dan gliserol. Hasil akhir pada reaksi tersebut adalah ketengikan hidrolisa yang menghasilkan flavor dan bau tengik pada minyak. Asam lemak bebas ditunjukkan dengan bilangan asam, semakin tinggi bilangan asam maka semakin tinggi jumlah asam lemak bebasnya (Ketaren, 2008). Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan ragi tempe (Rhizopus sp) berpengaruh terhadap bilangan asam minyak kelapa, dibuktikan dengan nilai probabilitas 0,034 < 0,05, dimana semakin tinggi konsentrasi penambahan ragi tempe terlihat semakin tinggi juga bilangan asamnya. Hal ini dikarenakan minyak atau lemak terhidrolisis oleh enzim yang dikeluarkan oleh mikroorganisme menjadi asam – asam lemak, gliserol, air, dan energy (Andriani, dkk, 1992). Terbentuknya asam lemak bebas oleh reaksi hidrolisis juga dapat dipercepat oleh adanya kandungan air di dalam bahan (Sumitro, dkk.,2000). Hasil penelitian tersebut menegaskan bahwa peningkatan konsentrasi ragi yang ditambahkan memicu peningkatan kadar asam lemak bebas yang dilihat dari penigkatan bilangan asam. Oleh karena itu semakin banyak konsentrasi ragi maka semakin banyak asam – asam lemak yang terbentuk dan bilangan asam yang diperoleh semakin meningkat. Penelitian ini didukung dengan pernyataan Arnela (2012) yang menggunakan enzim bromelin pada sari bonggol nanas dalam pembuatan minyak kelapa. Pada penelitian tersebut dikatakan bahwa, bertambahnya volume sari bonggol nanas yang ditambahkan pada krim santan, mengakibatkan semakin meningkatnya bilangan asam. Hal ini dikarenakan semakin banyak enzim yang digunakan dalam fermentasi, semakin besar hidrolisis trigliserida yang terjadi akibat kerusakan minyak atau lemak. Peningkatan bilangan asam juga terkait dengan peningkatan kadar air., Kadar air yang semakin tinggi mempercepat hidrolisis minyak kelapa menghasilkan asam – asam lemak bebas sehingga bilangan asam akan semakin meningkat. Tingginya konsentrasi enzim yang ditambahkan ke dalam media fermentasi menyebabkan molekul – molekul air yang mengelilingi minyak semakin banyak yang pecah sehingga kadar air menjadi tinggi. Kadar air berperan dalam proses oksidasi dan hidrolisis minyak yang akhirnya dapat menyebabkan ketengikan (Sumarni, 2012). Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) bahwa bilangan asam maksimal untuk minyak goreng adalah 2 mg KOH/g, 69 maka hasil penetapan kadar bilangan asam menunjukkan bahwa minyak dari setiap perlakuan tersebut mempunyai angka asam di bawah standar yang telah ditetapkan dan menunjukkan bahwa kualitas dari minyak tersebut baik. angka penyabunan dalam minyak dipengaruhi oleh adanya senyawa yang tak tersabunkan dalam minyak seperti sterol, pigmen, hidrokarbon, dan tokoferol yang dapat mengurangi kekuatan oksidasi terhadap ikatan tidak jenuh asam lemak. Karena bilangan penyabunan memiliki nilai yang relativ sama, berarti minyak hasil fermentasi tersusun dari trigliserida dengan berat molekul yang relatif sama. Menurut Standar Nasional Indonesia (SNI) bahwa bilangan penyabunan maksimal untuk minyak goreng adalah 196 - 206 mg KOH/g, maka hasil penetapan kadar bilangan Penyabunan menunjukkan bahwa minyak dari setiap perlakuan tersebut lebih besar dari standar yang ditetapkan, tetapi untk Standar Industri Indoesia (SII) minyak kelapa tersebut masih memiliki kualitas yag baik Kesimpulan Sesuai dengan tujuan khusus penelitian ini, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut : Pada penambahan ragi tempe (Rhizopus sp) 2 gram per liter krim santan, rata – rata kadar bilangan asam sebesar 0,2968 dan rata - rata bilangan penyabunan sebesar 261,106 mg KOH/g. Pada penambahan ragi tempe (Rhizopus sp) 3 gram per liter krim santan, rata – rata kadar bilangan asam sebesar 0,2974 dan rata – rata bilangan penyabunan sebesar 261,458 mg KOH/g. Pada penambahan ragi tempe (Rhizopus sp) 4 gram per liter krim santan, rata – rata kadar bilangan asam sebesar 0,3574 dan rata – rata bilangan penyabunan sebesar 261,582 mg KOH/g. Pada penambahan ragi tempe (Rhizopus sp) 5 gram per liter krim santan, rata – rata kadar bilangan asam sebesar 0,3968 dan rata – rata bilangan penyabunan sebesar 262,414 mg KOH/g. Pada penambahan ragi tempe (Rhizopus sp) 6 gram per liter krim santan, rata – rata kadar bilangan asam sebesar 0,4562 dan rata – rata bilangan penyabunan sebesar 262,804 mg KOH/g. Hasil Penetapan Kadar Bilangan Penyabunan. Bilangan penyabunan dapat dinyatakan dalam jumlah milligram KOH yang dibutuhkan untuk menyabunkan 1 gram minyak atau lemak. Bilangan penyabunan merupakan indeks rata – rata berat molekul triasilgliserol dalam sampel. Minyak yang mempunyai berat molekul rendah akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih tinggi, begitu sebaliknya minyak yang mempunyai berat molekul tinggi akan mempunyai bilangan penyabunan yang lebih rendah (Ketaren, 1986). Analisis bilangan penyabunan pada minyak kelapa yang dibuat dengan fermentasi enzim digunakan untuk menentukan berat molekul dari minyak kelapa itu sendiri. Berdasarkan hasil analisis statistik menunjukkan bahwa penambahan ragi tempe (Rhizopus sp) tidak berpengaruh terhadap bilangan penyabunan, dibuktikan dengan nilai probabilitas (0,060 > 0,05). Ini menandakan bahwa minyak hasil fermentasi tersusun dari trigliserida dengan berat molekul yang sama. Hal ini bisa juga disebabkan oleh proses pembuatan minyak kelapa yang tidak melalui proses pemanasan dimana pemanasan dengan suhu tinggi akan memutuskan rantai karbon sehingga berpengaruh terhadap bilangan penyabunannya, dimana angka penyabunan dapat digunakan untuk penentuan berat molekul minyak secara kasar. Besar kecilnya bilangan penyabunan tergantung pada panjang pendeknya rantai karbon asam lemak. Minyak yang disusun oleh asam lemak berantai karbon pendek akan mempunyai bobot molekul kecil, sedangkan minyak dengan rantai karbon panjang akan mempunyi bobot molekul yang lebih besar. Menurut Ketaren (1986), 70 Ada pengaruh penambahan ragi tempe (Rhizopus sp) pada pembuatan minyak kelapa secara fermentasi terhadap bilangan asam (p = 0,034 < α = 0,05) dan tidak ada pengaruh penambahan ragi tempe (Rhizopus sp) pada pembuatan minyak kelapa secara fermentasi terhadap bilangan penyabunan (p = 0,060 > α = 0,05 10. Lay, A dan R. Barlina. 1989. Pengaruh Tingkat Kematangan Buah Terhadap Sifat Santan dan Mutu Minyak Kelapa. Laporan Tahunan. Balitka Manado. 11. Rosenthal, P.D.L dan K. Niranjan. 1996. Aqueous and Enzymatic Processes for Edible Oil Extraction. Enzyme Microbial Technology 19: 402 – 420. 12. Setiaji, B. dan Prayugo, S. 2006. Membuat VCO Berkualias tinggi. Penebar Swadaya. Depok 13. Sulistyo, J., Y.S. Soeka, E. Triana dan N.R.R. Napitupulu. 1999. Penerapan teknologi fermentasi pada bioproses fermentasi minyak kelapa (fermikel). Berita Biologi 4 (5): 273-279. Daftar Pustaka 1. Alamsyah, Andi Nur. 2005. Virgin Coconut Oil Minyak Penakluk Aneka Penyakit. Agro Media Pustaka. Jakarta 2. Andriani, M., Setyaningrum, A., Godras,J.M., 1992 Pengaruh Variasi Perlakuan Enzimatis Terhadap Rendeman dan Mutu Virgin Coconut Oil. Jurnal Kimia dan Teknilogi UNS. Solo 3. Anonim, 2013. http://hijrohmustika.blogspot.com/201 3/12/makalah-mikrobiologi.html 4. Anonim, 2012. http://duniakefir.blogspot.com/2012/1 1/fermentasi.html 5. Ansori, R. 1992. Teknologi Fermentasi. Arcan, Kerja Sama dengan Pusat Antar Universitas Pangan dan Gizi. Institut Pertanian Bogor. Bogor 6. Cristianti Laras dan Adi H.P. 2009. Pembuatan Minyak Kelapa Murni (Virgin Coconut Oil) Menngunakan Fermentasi Ragi Tempe. Universitas Sebelas Maret. Surakarta 7. Effendi, A. 2012 Optimalisasi Penggunaan Enzim Bromelin Dari Sari Bonggol Nanas Dalam Pembuatan Minyak Kelapa. Universitas Negri Semarang. Semarang 8. Hanafiah, K.A. 2010. Rancangan Percobaan Teori dan Aplikasi. Rajawali Press. Jakarta 9. Ketaren, S. 2008. Pengantar Teknologi Minyak dan Lemak Pangan. Universitas Indonesia (UIPress). Jakarta 71 FILTRAT Syzygium polyanthum DAN MONOSIT PADA DARAH TEPI TIKUS PUTIH (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR DENGAN HIPERLIPIDEMIA 1 Lina Sundayani1, Farida1, Maruni Wiwin Diarti1 Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan Abstrak Syzygium polyanthum mengandung senyawa yang mampu menurunkan kadar kolesterol sehingga dapat menghambat terbentuknya radikal bebas dan menekan respon inflamasi dari cedera endotel. Hitung jenis monosit merupakan parameter progresivitas dari aterosklerosis. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui potensi dari sediaan filtrate Syzygium polyanthum terhadap jumlah monosit pada darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar yang mengalami hiperlipidemia. Penelitian ini bersifat eksperimental di laboratorium dengan rancangan penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL). Besar sampel dalam penelitian ini 30 ekor, dibagi manjadi 6 kelompok perlakuan K1: Kelompok I (kontrol negatif), K2: Kelompok 2 (kontrol positif), K3,K4,K5 dan K6 merupakan kelompok perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan rerata kadar kolesterol total 87.5 ± 13.9 mg/dl dan jumlah monosit 6 pada darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar sebelum mengalami hiperlipidemia. Rerata kadar kolesterol total 199.7 ± 22.1 mg/dl dan jumlah monosit 4 pada darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar setelah mengalami hiperlipidemia. Rerata kadar kolesterol total 91.6 ± 11.8 mg/dl dan jumlah monosit 3 pada darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar yang mengalami hiperlipidemia setelah pemberian filtrate Syzygium polyanthum konsentrasi 25%, 50%, 75%, 100 %. Hasil uji statistik One Way Anova menghasilkan nilai p=0.000<α0.05. Kesimpulan terdapat efek pemberian sediaan filtrate Syzygium polyanthum terhadap jumlah monosit pada darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar yang mengalami hiperlipidemia. Kata Kunci : Hyperlipidemia, Monosit, Syzygium polyanthum FILTRATE Syzygium polyanthum AND MONOCYTES OF PERIPHERAL BLOOD WHITE RAT (Rattus norvegicus) WISTAR’S STRAIN WITH HYPERLIPIDEMIA Abstract Syzygium polyanthu) contain cumpounds that can lower cholesterol leavels and then inhibit the formation of free radicals and suppress the inflammatory response of injured endotel. In this study, monocyte count is the parameter of progression of atherosclerosis. The purpose of this study is to determine the potential of the leaves preparation filtrate (Syzygium polyanthum) to the number of monocytes in the blood wistar strain (Rattus norvegicus) rat with hyperlipidemia. This research design using a completely randomized design. The sample size in this study were 30 mice and devided into 6 treatment groups, K1: negatif control,K2: positive control, K3,K4,K5 and K6 is the treatment group. The result shown the average cholesterol level 87.5 ± 13.9 mg/dl and the number of monocytes 6 in peripheral blood of white rat wistar strain (Rattus norvegicus) before having hyperlipidemia. The mean cholesterol level 199.7 ± 22.1 mg/dl and the number of monocytest 4 in peripheral blood of white rat wistar strain (Rattus norvegicus) after hyperlipidemia. The mean cholesterol 91.6 ± 72 11.8 mg/dl and the number of monocytes 3 in peripheral blood of white rat wistar strain (Rattus norvegicus) in hyperlipidemia and after had treated with preparation filtrate concentration 25%, 50%, 75%, 100 %. The One Way Anova statistic result generate value p=0.000<α0.05. The conclution of this study is filtrate of Syzygium polyanthum has effect to the number of peripheral blood monocytes in experimental animals wistar strain white (Rattus norvegicus) rat with hyperlipidemia. Key woods : Hyperlipidemia, Monocytes, Syzygium polyanthum 73 meningkatnya permeabilitas endotel dinding arteri menyebabkan terjadinya oksidasi LDL-C, yang berperan dan mempercepat timbulnya plak ateromatosa. Kolesterol total merupakan salah satu profil lipid yang berpengaruh besar terhadap lipid plasma. Penelitian menunjukkan bahwa setiap penurunan kolesterol 1% dapat menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler sebesar 2%, sehingga pemantauan dan penurunan kadar kolesterol total adalah penting.1;19 Pengobatan hyperkolesternemia biasanya menggunakan bahan kimia sintetik golongan Statin atau inhibitor HMG-CoA reduktase merupakan salah satu obat golongan hipolipidemik yang bersifat menurunkan kadar kolesterol, terutama pada kasus penyakit jantung koroner (PJK). Kadar kolesterol diturunkan dengan cara penghambatan enzim HMGCoA reduktase, yang merupakan enzim kunci dalam sintesis kolesterol melalui jalur mevalonat. Penghambatan enzim tersebut di hepar akan menstimulasi reseptor LDL (low density lipoprotein), sehingga akan meningkatkan ambilan LDL dari sirkulasi. Statin mampu menurunkan kadar kolesterol-LDL hingga 30-50%, namun kemampuan statin dalam menurunkan trigliserida dan meningkatkan kolesterol-HDL, masih rendah bila dibandingkan dengan golongan fibrat. Efek samping penggunaan statin telah banyak dilaporkan antara lain myalgia, muscle cramps, gangguan gastrointestinal, gangguan enzimatik hepar. Dari semua efek samping pemberian statin, yang paling diwaspadai adalah terjadinya myositis, miopati dan rhabdomiolisis (kerusakan patologis otot rangka) yang selanjutnya dapat menghasilkan berbagai produk yang mampu merusak ginjal. Pemanfaatan tumbuhan sebagai alternatif bahan obat merupakan warisan nenek moyang, pada saat ini pengembangan produksi tanaman obat semakin pesat, hal ini dipengaruhi oleh kesadaran masyarakat yang tinggi akan arti pentingnya menjaga kesehatan dan Pendahuluan Pola makan masyarakat yang sebelumnya tinggi karbohidrat, tinggi serat kasar dan rendah lemak berubah ke pola makan baru yakni rendah karbohidrat, rendah serat dan tinggi lemak, sehingga menggeser mutu makanan menjadi tidak seimbang. Perubahan pola makan berakibat semakin banyaknya masyarakat golongan tertentu mengalami peningkatan kadar lipid dalam darah atau hyperlipidemia. Hyperlipidemia yang salah satu cirinya adalah terjadinya peningkatan kadar kolesterol total di dalam darah. Hyperlipidemia dapat menyebabkan penyempitan pada pembuluh darah.14 Kadar kolesterol yang tinggi di dalam darah mempunyai peran penting dalam proses arteriosklerosis yang selanjutnya akan menyebabkan kelainan kardiovaskuler. Dari banyak penelitian kasus kohort menunjukkan bahwa makin tinggi kadar kolesterol darah, makin tinggi angka kejadian kelainan kardiovaskuler. Hiperlipidemia merupakan salah satu faktor resiko penyebab penyakit jantung koroner. Di Indonesia saja, terdapat sekitar 36 juta penduduk dan sekitar 18% dari total penduduk Indonesia menderita penyakit karena hyperlipidemia.16 Diet tinggi lemak akan meningkatkan profil lipid seperti lipoprotein yang dapat menyebabkan cedera endotel karena peningkatan infiltrasi, retensi dan oksidasi dari lipoprotein.18 Salah satu hyperlipidemia yaitu hyperkolesterolemia adalah salah satu keadaan dimana kadar lemak dalam darah terjadi peningkatan (dislipidemia) yang mana kadar kolesteorol dalam darah lebih dari 240 mg/dl. Hiperkolesterolemia berhubungan erat dengan kadar kolesterol LDL di dalam darah. Hiperkolesterolemia diyakini mengganggu fungsi endotel dengan meningkatkan produksi radikal bebas oksigen. Radikal bebas ini menonaktifkan oksida nitrat, yaitu faktor endhotelialrelaxing utama. Apabila terjadi hyperlipidemia kronis, lipoprotein tertimbun di dalam lapisan intima ditempat 74 meningkatkan sistim immun untuk mencegah tubuh terkena infeksi dari luar. Pada saat ini upaya pengobatan dan pencegahan penyakit diarahkan pada pemanfaatan tanaman herbal berkhasiat obat, salah satunya adalah tanaman daun salam (Syzygium polyanthum.) Daun salam (Syzygium polyanthum, selain dikenal sebagai campuran pada bumbu masakan ternyata memiliki khasiat yang besar dalam dunia kedokteran seperti bagian akar digunakan untuk obat gatal dan daun digunakan untuk menurunkan kolestrol tinggi, kencing manis (diabetes), gastritis, diare dan asam urat.21 Berbagai penelitian telah dilakukan untuk mengetahui kandungan sebenarnya dari daun salam (Syzygium polyanthum) secara ilmiah yaitu telah ditemukannya beberapa kandungan pada daun salam seperti minyak atsiri, flavonoid, tannin, seskuiterpen, triterpenoid, fenol, steroid, sitral, lakton, vitamin C, vitamin A, thiamin, Riboflavin, Niacin, vitamin B6, vitamin B12, folat dan selenium. Diduga kandungan flavonoid ini berkontribusi pada kemampuannya untuk melindungi tubuh terhadap penyakit jantung.10 Hasil penelitian Utami Ni Luh, 2008 dan Riansari A,2008, membuktikan pemberian ekstrak daun salam dengan dosis 0,18 gr/hari, 0,36 gr/hari dan 0,75 gram/hari selama 15 hari pada hewan coba tikus putih strain wistar hyperlipidemia dapat menurunkan kadar LDL-kolesterol dan kolesterol total secara bermakana.20;15 Penelitian Rushaliyati putri (2011), membuktikan bahwa rata – rata penurunan kadar kolesterol sebelum dan setelah pemberian Filtrat daun salam (Syzygium polyanthum) pada hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar selama 9 hari adalah 64,6 mg/dl.17 Dari hasil penelitian – penelitian tersebut hanya melihat efek penurunan kadar kolesterol, tidak melihat efeknya terhadap jumlah monosit sebagai sel imun yang sangat berperan dalam peristiwa cedera endotel sebagai akibat dari oksidasi lipoprotein LDL, yang mengakibatkan infiltrasi dan akumulasi monosit ke bawah jaringan subendotel dan kemudian berubah menjadi sel makrofag. Makrofag dan LDL terakumulasi di daerah injuri dinama LDL teroksidasi dimakan oleh makrofag atau makrofag sendiri juga teroksidasi membentuk sel busa (foam cell) yang dapat berkembang menjadi plak aterosklerosis. Hitung jenis monosit merupakan parameter progresivitas dari aterosklerosis. Monosit adalah kelompok sel darah putih yang menjadi bagian dari sistim kekebalan. Monosit diproduksi di dalam sumsum tulang dari sistim RES. ungsi normal monosit adalah sebagai kemotaksis (mobilisasi dan migrasi sel) diamana fagosit ditarik ke bakteri atau tempat peradangan oleh zat kemotaktik yang dilepaskan dari jaringan rusak atau oleh komponen komplemen, monosit berguna juga sebagai fagositosis zat asing (jamur, bakteri, virus, protozoa dll) atau sel tubuh hospes yang mati atau rusak. Pengenalan partikel asing dibantu oleh opsonisasi dengan immunoglobulin atau komplemen melalui reseptor pada monosit, dalam membunuh dan mencerna benda asing. 7 Berdasarkan uraian latar belakang diatas maka untuk mengetahui efek dari sediaan filtrat daun salam (Syzygium polyanthum) terhadap jumlah monosit pada darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar yang mengalami hiperlipidemia maka perlu dilakukan penelitian mengenai pemanfaatan sediaan filtrat daun salam (Syzygium polyanthum) terhadap jumlah monosit pada darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar yang mengalami hiperlipidemia. Metode Jenis penelitian ini merupakan penelitian eksperimental di laboratorium dengan rancangan penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL) . Variabel bebas: filtrat daun salam. Variabel terikat : Jumlah sel Monosit darah tepi hewan coba tikus putih. Populasi dalam penelitian ini adalah hewan coba tikus putih. Sampel 75 dalam penelitian ini adalah darah hewan coba tikus putih. Besar sampel dalam penelitian ini ditentukan berdasarkan pendapat Weill bahwa sampel minimal untuk pemakaian hewan coba adalah 4 ekor dan dengan faktor koreksi 25% dari unit eksperiment, maka pada penelitian ini digunakan (6 x 4 = 24 ekor), faktor koreksi 24 x 25% = 6 ekor. Total hewan coba yang digunakan adalah 24 ekor + 6 ekor = 30 ekor.6 Hewan coba tersebut ditempatkan pada kandang terpisah, masing – masing kandang berisi 4 ekor tikus, sesuai dengan pembagian perlakuannya. Cara pengambilan sampel purposive sampling dengan kriteria hewan coba adalah tikus jantan, umur 2-3 bulan, berat badan 200250 gram dengan kondisi sehat. Instrumentasi : kandang tikus putih, alat pemeriksaan kolesterol Nesco Multicheck blood cholesterol test strips, timbangan kualitatif, timbangan kuantitatif, blender kecil (blender untuk bumbu), kain nylon, beaker glass, dispenser 100-1000 mikron, blue tip, gunting, pinset, objek glass, cover glass, bak pewarnaan, pipet Pasteur dan mikroskop. Bahan penelitian : Aquadest, alkohol 70%, methanol, giemsa 1 %, oil emersi, pakan tikus standar, kuning telur puyuh (pakan tikus hyperlipidemia), daun salam dan pewarna cepat Hematologi. Cara Pengumpulan data : 1. Persiapan dan aklimatisasi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar Penelitian ini menggunakan tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar karena beberapa alasan antara lain, mudah dikembang biakan, mudah diperlihara, mudah diambil darahnya cukup melalui ekor untuk mendapatkan darah kapiler, fisiologinya diperkirakan identik dengan manusia (Harmita & Maksum 2008). Aklimatasi hewan coba selama 7 hari terhadap air, makanan, udara, dan kondisi laboratorium. Pakan yang diberikan selama aklimatasi adalah pakan standar tikus putih (Rattus norvegicus) dan Aquadest untuk air minum. 2. Pembagian hewan coba berdasarkan kelompok perlakuan dan faktor koreksi. Hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar yang sudah diaklimatisasi, dan sesuai dengan kriteria penelitian dimasukkan dalam kandang sesuai dengan kelompok perlakuannya. Jumlah hewan coba yang digunakan setiap perlakuan sesuai dengan pendapat Weill yaitu 4 ekor dan ditambah masing – masing 1 ekor untuk faktor koreksinya, sehingga masing – masing perlakuan menggunakan 5 ekor hewan coba. Adapun rincian 6 kelompok perlakuan dalam penelitian ini adalah : 1. K1 Kelompok I (kontrol negatif) sebanyak 5 ekor : pemberian hanya pakan standart rata – rata sebanyak 5 gram/hari/ekor + Aguadest. 2. K2 Kelompok 2 (kontrol positif) sebanyak 5 ekor : pemberian diet kuning telur puyuh 500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30 hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan standart rata – rata 5 gram / hari + Aquadest. 3. K3 Kelompok 3 (perlakuan 25%) sebanyak 5 ekor : pemberian pemberian diet kuning telur puyuh 500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30 hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan standart rata – rata 5 gram / hari + Aquadest dan dilanjutkan dengan pemberian filtrat daun salam konsentrasi 25% selama 9 hari ad labitium. 4. K4 Kelompok 4 (perlakuan 50%) sebanyak 5 ekor : pemberian pemberian diet kuning telur puyuh 500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30 hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan standart rata – rata 5 gram / hari + Aquadest dan dilanjutkan dengan pemberian filtrat daun salam konsentrasi 50% selama 9 hari ad labitium. 5. K5 Kelompok 5 (perlakuan 75%) sebanyak 5 ekor : pemberian 76 pemberian diet kuning telur puyuh 500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30 hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan standart rata – rata 5 gram / hari + Aquadest dan dilanjutkan dengan pemberian filtrat daun salam konsentrasi 75% selama 9 hari ad labitium. 6. K6 Kelompok 6 (perlakuan100%) sebanyak 5 ekor : pemberian pemberian diet kuning telur puyuh 500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30 hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan standart rata – rata 5 gram / hari + Aquadest dan dilanjutkan dengan pemberian filtrat daun salam konsentrasi 100% selama 9 hari ad labitium. 3. Penimbangan berat badan, pengukuran kadar kolesterol total dan jumlah monosit hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar sebelum kondisi hyperlipidemia. Masing – masing hewan coba yang telah dikelompokkan berdasarkan kelompok perlakuan dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran kadar kolesterol total dan perhitungan jumlah monosit sebelum pemberian kuning telur puyuh untuk membuat kondisi hiperlipidemia. Adapun cara kerja perhitungan jumlah monosit adalah : 1. Membuat hapusan darah tepi dari hewan coba mencit. 2. Memfiksasi dengan metanol 90% selama 10 menit, menggenangi preparat dengan larutan Giemsa 1 % selama 15 menit, setelah itu mencuci dengan air mengalir dan mengeringkan sediaan tersebut di udara. 3. Preparat atau sediaan yang telah kering diperiksa dibawah mikroskop dengan perbesaran lensa obyektif 40 X. 4. Dihitung jumlah monosit dalam 100 sel leukosit. Sedangkan pemeriksaan kadar kolesterol total menggunakan alat Nesco multicheck blood cholesterol test strips. 4. Pembuatan kondisi hyperlipidemia pada hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar Hasil pemeriksaan kadar kolesterol hewan coba sebelum kondisi hyperlipidemia dengan kadar dibawah 75 mg/dl diambil 5 ekor untuk kelompok kontrol negatif, selanjutnya 25 ekor sisanya dibuat kondisi hiperlipidemia. Pembuatan kondisi hyperlipidemia pada hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar dengan cara memberi makanan kaya akan lemak yaitu kuning telur puyuh. Dasar pemberian kuning telur puyuh sesuai dengan pendapat Adik, 2009 bahwa kuning telur puyuh memiliki kadar kolesterol terbesar dari makanan yaitu 3640 mg / 10 gr. Setiap ekor tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar diberi makanan kuning telur burung puyuh 500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari (pagi, siang, dan sore) selama 30 hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan standart rata – rata 5 gram / hari + Aquadest . Setelah 30 hari diambil darah tikus putih untuk diukur kadar kolesterol darahnya. Tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar dipuasakan selama 12 jam sebelum dilakukan pemeriksaan kadar kolesterol darahnya. Kriteria hyperlipidemia pada hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar dengan kolesterolnya diatas 100 mg / dl. 5. Penimbangan berat badan, pengukuran kadar kolesterol total dan jumlah monosit hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar setelah kondisi hyperlipidemia. Masing – masing hewan coba yang telah mengalami hyperlipidemia sesuai dengan kelompok perlakuan dilakukan penimbangan berat badan, pengukuran 77 kadar kolesterol total dan perhitungan jumlah monosit. Hewan coba yang menunjukkan kadar kolesterol lebih dari 100 mg/dl selanjutnya diberikan filtrat daun salam. 6. Persiapan dan pembuatan Filtrat daun salam Daun salam yang digunakan dalam penelitian ini dalah daun salam yang baru dipetik di daerah pegunungan Desa Kekait Kecamatan Gunung Sari Lombok Barat dan masih segar dan dicuci bersih menggunakan aquadest. Daun yang digunakan ialah daun nomer 5 dan seterusnya yang dihitung dari atas pucuk tangkai tanaman salam dengan kriteria tidak cacat (robek, kering, ditumbuhi hama). Kemudian ditimbang sebanyak 100 gram dan diblender dengan blender bumbu. Hasil blender kemudian diperas menggunakan kain nylon. Ditampung dalam wadah menggunakan beaker glass. Filtrat daun salam tersebut di asumsikan merupakan filtrat daun salam dengan konsentarsi 100 % b/v, dari konsentrasi stok di buat pengnceran filtrat daun salam 25%,50%, dan 75% . 7. Penentuan volume pemberian Filtrat daun salam (Syzygium polyanthum) Volume pemberian Filtrat daun salam konsentrasi 100%, 75%,50%,25%, kontrol positif dan kontrol negatif pada masing – masing hewan coba berbeda tergantung dari berat badan hewan coba. Untuk mengetahui volume efektif filtrat daun salam terhadap kadar kolesterol darah tikus putih maka digunakan perhitungan sebagai berikut : BB (s) x V BB (std) F Keterangan : BB(s) : berat badan tikus yang sebenarnya BB (std): berat badan standar (200 gram) V : volume maksimum yang diberikan (5 ml) F : frekuensi pemberian Filtrat daun salam (2x sehari) Pemberian filtrat daun salam pada hewan coba sesuai kelompoknya diberikan selama 9 hari (Utami,Ni Luh, 2008). Data hasil perhitungan jumlah monosit pada kelompok K1, K2, K3,K4,K5 dan K6 dianalisa menggunakan uji statistik One Way anova pada tingkat kepercayaan 95% Pα = 0.05. Hasil Data kadar kolesterol hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar. Tabel 1. Deskripsi data kadar kolesterol dalam darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar. Kadar kolesterol (mg/dl) Kelompok No Perlakuan N Standar Perlakuan Rerata deviasi 1. Sebelum kondisi K1 5 67.4 4.8 hyperlipid K2 5 93.4 12.4 (diet kuning telur) K3 5 93.0 10.1 K4 5 98.4 8.5 K5 5 91.6 14.5 K6 5 81.2 5.7 Total 30 87.5 13.9 2. Setelah kondisi hyperlipid K1 5 71.2 1.7 (pemberian diet K2 5 129.8 1.4 kuning telur) K3 5 128.8 2.5 K4 5 128.8 2.0 K5 5 130.2 1.1 78 K6 3. Total Setelah kondisi Hyperlipid dan setelah pemberian filtrat daun salam K1 K2 K3 K4 K5 K6 Total Keterangan : K1 : kontrol negatif pemberian hanya pakan standart rata – rata sebanyak 5 gram/ hari/ekor + Aguadest. K2 : kontrol positif pemberian diet kuning telur puyuh 500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30 hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan standart rata – rata 5 gram / hari + Aquadest. K3 : perlakuan 25% pemberian pemberian diet kuning telur puyuh 500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30 hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan standart rata – rata 5 gram / hari + Aquadest dan dilanjutkan dengan pemberian filtrat daun salam konsentrasi 25% selama 9 hari ad labitium. K4 : perlakuan 50% pemberian pemberian diet kuning telur puyuh 500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30 hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan standart rata – rata 5 gram / hari + Aquadest dan dilanjutkan dengan pemberian filtrat daun salam konsentrasi 50% selama 9 hari ad labitium. K5 : perlakuan 75% pemberian pemberian diet kuning telur puyuh 500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30 hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan standart rata – rata 5 gram / hari + Aquadest dan dilanjutkan dengan pemberian filtrat daun salam konsentrasi 75% selama 9 hari ad labitium. K6 : perlakuan100% pemberian pemberian diet kuning telur puyuh 500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30 hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan standart rata – rata 5 gram / hari + Aquadest dan dilanjutkan dengan 5 30 5 5 5 5 5 5 30 130.2 199.7 70.8 100.0 90.0 98.0 98.0 92.2 91.6 1.7 22.1 1.7 7.9 5.6 10.3 5.7 7.6 11.8 pemberian filtrat daun salam konsentrasi 100% selama 9 hari ad labitium. Tabel 1 menunjukkan bahwa rerata masing – masing kadar kolesterol darah tepi hewan coba tikus putih sebelum pemberian kuning telur puyuh (kondisi hyperlipidemia) adalah K1 kontrol negatif 67.4±4.8 mg/dl, K2 kontrol positif 93.4± 12.4 mg/dl, K3 93.0± 10.1 mg/dl, K4 98.4± 8.5 mg/dl, K5 91.6± 14.5 mg/dl, dan K6 81.2±5.7 mg/dl. Total rerata kadar kolesterol hewan coba tikus putih pada perlakuan sebelum kondisi hyperlipid adalah 87.5± 13.9 mg/dl. Rerata masing – masing kadar kolesterol darah tepi hewan coba tikus putih setelah pemberian kuning telur puyuh (kondisi hyperlipidemia) adalah K1 kontrol negatif 71.2±1.7 mg/dl, K2 kontrol positif 129.8± 1.4 mg/dl, K3 128.8± 2.5 mg/dl, K4 128.8±2.0 mg/dl, K5 130.2± 1.1 mg/dl, dan K6 130.2±1.7mg/dl. Total rerata kadar kolesterol hewan coba tikus putih pada perlakuan setelah kondisi hyperlipid adalah 199.7 ± 22.1 mg/dl. Rerata masing – masing kadar kolesterol darah tepi hewan coba tikus putih setelah pemberian kuning telur puyuh (kondisi hyperlipidemia) dan setelah pemberian filtrat daun salam adalah K1 kontrol negatif 70.8±1.7 mg/dl, K2 kontrol positif 100.0 ±7.9 mg/dl, K3 90.0± 5.6 mg/dl, K4 98.0± 10.3 mg/dl, K5 98.0± 5.7 mg/dl, dan K6 92.2±7.6 mg/dl. Total rerata kadar kolesterol hewan coba tikus putih pada perlakuan setelah kondisi hyperlipid dan setelah pemberian filtrat daun salam 91.6± 11.8 mg/dl. 1. Data jumlah Monosit dalam darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar 79 Tabel 2 Deskripsi jumlah Monosit dalam darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar No Perlakuan Kelompok N Jumlah Monosit Perlakuan Rerata Standar deviasi 1. Sebelum kondisi K1 5 8 1.9 hyperlipid (diet kuning K2 5 8 2.5 telur) K3 5 7 2.4 K4 5 4 2.2 K5 5 4 0.8 K6 5 5 1.6 Total 30 6 2.3 2. Setelah kondisi K1 5 9 1.3 hyperlipid (pemberian K2 5 4 1.5 diet kuning telur) K3 5 3 1.5 K4 5 3 1.3 K5 5 2 0.5 K6 5 3 1.0 Total 30 4 2.6 3. Setelah kondisi K1 5 8 1.9 Hyperlipid dan setelah K2 5 2 1.8 pemberian filtrat daun K3 5 2 1.1 salam K4 5 2 1.3 K5 5 2 0.7 K6 5 2 1.3 Total 30 3 2.6 Keterangan : K1 : kontrol negatif pemberian hanya pakan standart rata – rata sebanyak 5 gram/ hari/ekor + Aguadest. K2 : kontrol positif pemberian diet kuning telur puyuh 500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30 hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan standart rata – rata 5 gram / hari + Aquadest. K3 : perlakuan 25% pemberian pemberian diet kuning telur puyuh 500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30 hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan standart rata – rata 5 gram / hari + Aquadest dan dilanjutkan dengan pemberian filtrat daun salam konsentrasi 25% selama 9 hari ad labitium. K4 : perlakuan 50% pemberian pemberian diet kuning telur puyuh 500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30 hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan standart rata – rata 5 gram / hari + Aquadest dan dilanjutkan dengan pemberian filtrat daun salam konsentrasi 50% selama 9 hari ad labitium. K5 : perlakuan 75% pemberian pemberian diet kuning telur puyuh 500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30 hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan standart rata – rata 5 gram / hari + Aquadest dan dilanjutkan dengan pemberian filtrat daun salam konsentrasi 75% selama 9 hari ad labitium. K6 : perlakuan100% pemberian pemberian diet kuning telur puyuh 500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30 hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan standart rata – rata 5 gram / hari + Aquadest dan dilanjutkan dengan pemberian filtrat daun salam konsentrasi 100% selama 9 hari ad labitium. 80 Rerata masing – masing jumlah monosit darah tepi hewan coba tikus putih setelah pemberian kuning telur puyuh (kondisi hyperlipidemia) dan setelah pemberian filtrat daun salam adalah K1 kontrol negatif 8 ±1.9 , K2 kontrol positif 2 ±1.8, K3 2 ± 1.1, K4 2 ± 1.3, K5 2 ± 0.7 mg/dl, dan K6 2 ±1.3. Total rerata jumlah monosit darah tepi hewan coba tikus putih pada perlakuan setelah kondisi hyperlipid dan setelah pemberian filtrat daun salam 3.4± 2.6 mg/dl. 2. Analisis hasil penelitian Hasil uji One Way Anova untuk data kadar kolesterol dan jumlah monosit dari hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar dapat dilihat pada tabel 3 Tabel 2 menunjukkan bahwa rerata masing – masing jumlah monosit darah tepi hewan coba tikus putih sebelum pemberian kuning telur puyuh (kondisi hyperlipidemia) adalah K1 kontrol negatif 8 ±1.9, K2 kontrol positif 6 ± 2.5, K3 7.0± 2.4, K4 4 ± 2.2 , K5 4 ± 0.8 , dan K6 5 ±1.6. Total rerata jumlah monosit hewan coba tikus putih pada perlakuan sebelum kondisi hyperlipid adalah 6 ± 2.3. Rerata masing – masing jumlah monosit darah tepi hewan coba tikus putih setelah pemberian kuning telur puyuh (kondisi hyperlipidemia) adalah K1 kontrol negatif 9 ±1.3 , K2 kontrol positif 4 ± 1.5l, K3 3 ± 1.5 , K4 3 ±1.3, K5 2 ± 0.5, dan K6 3 ±1.0. Total rerata jumlah monosit darah tepi hewan coba tikus putih pada perlakuan setelah kondisi hyperlipid adalah 4± 2.6. Tabel 3. Hasil uji One Way Anova data kadar kolesterol total darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar Sum of df Mean F Sig Squares Square . Kadar kolesterol Between 3221.900 5 644.38 6.47 .00 sebelum hyperlipid Groups 0 7 1 Within 2387.600 2 99.483 Groups 4 Total 5609.500 2 9 Kadar kolesterol Between 14166.16 5 2833.2 817. .00 setelah hyperlipidemia Groups 7 33 279 0 Within 83.200 2 3.467 Groups 4 Total 14249.36 2 7 9 Kadar kolesterol Between 2932.400 5 586.48 12.0 .00 setelah hyperlipidemia Groups 0 63 0 dan pemberian filtrat Within 1166.800 2 48.617 daun salam Groups 4 Total 4099.200 2 9 Tabel 3 menunjukkan Hasil uji One Way Anova kadar kolesterol hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar sebelum hyperlipid antar perlakuan berbeda bermakna yang dibuktikan dengan nilai p=0.001>α 0.05, kadar kolesterol hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar setelah hyperlipid antar perlakuan berbeda bermakna yang dibuktikan dengan nilai p=0.000<α 0.05 dan kadar kolesterol hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar setelah hyperlipid dan setelah pemberian filtrat daun salam antar perlakuan berbeda 81 bermakna yang dibuktikan dengan nilai p=0.000>α 0.05. Hasil uji One Way Anova untuk data kadar kolesterol dan jumlah monosit dari hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar dapat dilihat pada tabel 4. Tabel 4 menunjukkan Hasil uji One Way Anova data jumlah monosit hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar sebelum hyperlipid antar perlakuan berbeda bermakna yang dibuktikan dengan nilai p=0.033>α 0.05,jumlah monosit hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar setelah hyperlipid antar perlakuan berbeda bermakna yang dibuktikan dengan nilai p=0.000<α 0.05 dan jumlah monosit hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar setelah hyperlipid dan setelah pemberian filtrat daun salam antar perlakuan berbeda bermakna yang dibuktikan dengan nilai p=0.000>α 0.05 Tabel 4 . Hasil uji One Way Anova data jumlah monosit hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar Sum of Squares Jumlah Monosit darah tepi hewan coba sebelum hyperlipid Between Groups Within Groups Total Jumlah Monosit Between darah tepi hewan Groups coba setelah Within hyperlipidemia Groups Total Jumlah Monosit Between darah tepi hewan Groups coba setelah Within hyperlipidemia dan Groups pemberian filtrat Total daun salam 61.100 99.600 160.700 159.867 38.800 198.667 159.867 df Mean Squar e 5 12.220 24 24 209.467 29 2.945 .03 3 19.77 7 .00 0 15.47 1 .00 0 1.617 29 5 31.973 49.600 Sig. 4.150 29 5 31.973 24 F 2.067 pembentukan sel busa (Foam cells) dan apoptosis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata masing – masing kadar kolesterol darah tepi hewan coba tikus putih sebelum pemberian kuning telur puyuh (kondisi hyperlipidemia) adalah K1 kontrol negatif 67.4±4.8 mg/dl, K2 kontrol positif 93.4± 12.4 mg/dl, K3 93.0± 10.1 mg/dl, K4 98.4± 8.5 mg/dl, K5 91.6± 14.5 mg/dl, dan K6 81.2±5.7 mg/dl. Total rerata kadar kolesterol hewan coba tikus putih pada perlakuan sebelum kondisi hyperlipid adalah 87.5± 13.9 mg/dl. Rerata Pembahasan Lipid memiliki banyak peran yang berguna bagi tubuh antara lain pembentuk struktur membran sel, bantalan organ – organ tubuh dan sebagai cadangan energi jangka panjang, namun bila kadar lipid berlebihan, akan menimbulkan kerusakan membran sel endotel pembuluh darah. Kolesterol bebas di dalam tubuh akan mengatifkan jalur stress oksidatif melalui retikulum endoplasma dari makrofag dan mencetuskan apoptosis, sedangkan radikal bebas dan nitrit oksida memodulasi 82 masing – masing kadar kolesterol darah tepi hewan coba tikus putih setelah pemberian kuning telur puyuh (kondisi hyperlipidemia) adalah K1 kontrol negatif 71.2±1.7 mg/dl, K2 kontrol positif 129.8± 1.4 mg/dl, K3 128.8± 2.5 mg/dl, K4 128.8±2.0 mg/dl, K5 130.2± 1.1 mg/dl, dan K6 130.2±1.7mg/dl. Total rerata kadar kolesterol hewan coba tikus putih pada perlakuan setelah kondisi hyperlipid adalah 199.7± 22.1 mg/dl., hasil ini menunjukkan bahwa pemberian diet kuning telur puyuh 500 ul/ 1.5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30 hari pada hewan coba tikus putih pada kelompok kontrol positif dan kelompok perlakuan sebelum diberikan filtrat daun salam dapat meningkatkan kadar kolesterol total pada darah tepi hewan coba, hasil penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian.20;15 Utami Ni Luh, 2008 dan Riansari A,2008 yang menyatakan bahwa pemberian diet kuning telur selama 15 hari pada tikus putih terjadi kenaikkan kadar kolesterol total rerata 35.74 ±4.7 mg/dl. Kenaikkan kolesterol total pada hewan coba yang diberi diet kuning telur disebabkan karena kuning telur merupakan bagian dari telur dengan komposisi kimia lengkap dengan kandungan tinggi lemak. Lemak dari kuning telur menaikkan profil lipid terutama kolesterol total dan trigliserida.13 Hasil penelitian juga menunjukkan Rerata masing – masing kadar kolesterol darah tepi hewan coba tikus putih setelah pemberian kuning telur puyuh (kondisi hyperlipidemia) dan setelah pemberian filtrat daun salam adalah K1 kontrol negatif 70.8±1.7 mg/dl, K2 kontrol positif 100.0±7.9 mg/dl, K3 90.0± 5.6 mg/dl, K4 98.0± 10.3 mg/dl, K5 98.0± 5.7 mg/dl, dan K6 92.2±7.6 mg/dl. Total rerata kadar kolesterol hewan coba tikus putih pada perlakuan setelah kondisi hyperlipid dan setelah pemberian filtrat daun salam 91.6± 11.8 mg/dl. Terdapat perbedaan kadar kolesterol total setelah pemberian filtrat daun salam pada kelompok kontrol positif (K2) hyperlipidemia dengan kelompok perlakuan K3 (filtrat daun salam 25%), K4 (filtrat daun salam 50%), K5 (filtrat daun salam 75%) dan K6 (filtrat daun salam 100%). Pada kelompok kontrol positif tidak terjadi penurunan kadar kolesterol sedangkan pada kelompok perlakuan yang diberikan filtrat daun salam terdapat penurunan kadar kolesterol total darah tepi hewan coba antara 22 -42 mg/dl. Hasil ini dibuktikan juga dengan hasil uji One Way Anova menunjukkan hasil p=0.000 (p<α0.05), hal ini membuktikan terdapat efek filtrat daun salam terhadap kadar kolesterol pada hewan coba tikus putih. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian Riansari A, 2008 yang membuktikan pemberian ekstrak daun salam dengan dosis 0,18 gram, 0,36 gram dan 0,72 gram menggunakan daun segar mampu menurunkan kadar kolesterol total serum secara bermakna, dan terdapat hubungan antara besar dosis ekstrak daun segar daun salam dengan penurunan kadar kolesterol total.15 Penelitian Utami Ni Luh 2008 juga membuktikan pemberian diet ekstrak daun salam peroral pada tikus putih strain wistar yang mengalami hyperlipidemia dengan dosis 0.18 gr daun salam segar/hari; 0,36 gram daun salam segar/hari;dan 0,72 gram daun salam segar/hari selama 15 hari dapat menurunkan kadar LDL kolesterol serum tikus secara bermakna.20 Semakin tinggi dosis yang diberikan semakin tinggi penurunan kadar LDL kolesterol serum tikus. Penurunan kadar kolesterol dalam darah tepi hewan coba tikus putih yang hyperlipid dengan pemberian filtrat daun salam diduga karena daun salam mengandung flavonoid yang berfungsi sebagai antioksidan. Flavonoid mempunyai efek terhadap perbaikan lipid serum dan modifikasi LDL teroksidasi. Salah satu kandungan flavonoid pada filtrat daun salam adalah Quercetin, yang dapat menghambat oksidasi LDL yang telah dimodifikasi makrofag. Selain itu filtrat daun salam mengandung tannin yang berfungsi sebagai antioksidan, astringent, dan hipokolesterolemi. Tanin bekerja dengan cara bereaksi dengan protein 83 mukosa dan sel epitel usus sehingga menghambat penyerapan lemak. Daun salam mengandung saponin yang berfungsi mengikat kolesterol dengan asam empedu sehingga dapat menurunkan kadar kolesterol. Kandungan serat dalam daun salam bermanfaat untuk menghambat absorbsi kolesterol di usus sehingga berpotensi menurunkan kadar kolesterol. Kandungan vitamin C dalam daun salam mempunyai efek membantu reaksi hidroksilasi dalam pembentukan asam empedu sehingga meningkatkan ekskresi kolesterol dan sebagai antioksidan. Kandungan vitamin B3 (niacin) dalam daun salam menurunkan produksi VLDL, sehingga kadar IDL dan LDL menurun. Kandungan vitamin A dan selenium berfungsi sebagai antioksidan.15 Hasil penelitian terhadap hitung jumlah monosit menunjukkan bahwa rerata masing – masing jumlah monosit darah tepi hewan coba tikus putih sebelum pemberian kuning telur puyuh (kondisi hyperlipidemia) adalah K1 kontrol negatif 8±1.9, K2 kontrol positif 6± 2.5, K3 7± 2.4, K4 4± 2.2 , K5 4± 0.8 , dan K6 5±1.6. Total rerata jumlah monosit hewan coba tikus putih pada perlakuan sebelum kondisi hyperlipid adalah 6± 2.3. Rerata masing – masing jumlah monosit darah tepi hewan coba tikus putih setelah pemberian kuning telur puyuh (kondisi hyperlipidemia) adalah K1 kontrol negatif 9±1.3 , K2 kontrol positif 4± 1.5l, K3 3± 1.5 , K4 3±1.3, K5 2± 0.5, dan K6 3±1.0. Total rerata jumlah monosit darah tepi hewan coba tikus putih pada perlakuan setelah kondisi hyperlipid adalah 4± 2.6. Rerata masing – masing jumlah monosit darah tepi hewan coba tikus putih setelah pemberian kuning telur puyuh (kondisi hyperlipidemia) dan setelah pemberian filtrat daun salam adalah K1 kontrol negatif 8±1.9 , K2 kontrol positif 2±1.8, K3 2± 1.1, K4 2± 1.3, K5 2± 0.7 , dan K6 2±1.3. Total rerata jumlah monosit darah tepi hewan coba tikus putih pada perlakuan setelah kondisi hyperlipid dan setelah pemberian filtrat daun salam 3± 2.6 mg/dl. Hasil ini membuktikan bahwa jumlah monosit antara kelompok kontrol negatif (K1) dengan kelompok kontrol positif (K2) yang hyperlipid terjadi penurunan. Ini mengindikasikan bahwa pemberian diet kuning telur puyuh 500 ul/ 1.5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30 hari pada hewan coba tikus putih untuk membuat kondisi hyperlipid dapat menurunkan jumlah monosit. Hasil dari penelitian ini di dukung oleh teori bahwa pemberian diet kolesterol kepada hewan coba ditujukan agar terjadi peningkatan LDL yang memicu peningkatan radikal bebas anion superoksida oleh endotel. Dampak negatif radikal bebas membran sel terutama endotel pembuluh darah akan meningkatkan ekspresi Intercellullar Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan molekul adhesi lainnya yang akan menarik monosit dari sirkulasi darah menuju lesi.12 Monosit merupakan parameter progresivitas dari arteroskeloris, yang berawal dari cedera endotel karena hyperlipid. Cedera endotel terjadi karena infiltrasi dan retensi dari lipoprotein plasma, terutama LDL di dalam celah subendotel dari dinding pembuluh darah. Cedera endotel akan meningkatkan perlekatan leukosit dan platelet pada endotel, permeabilitas endotel, produksi sitokin, perubahan antikoagulan menjadi prokoagulan dan vasodilator menjadi vasokonstriktor. Retensi LDL di subendotel akan menghasilkan proses oksidasi dan selanjutnya internalisasi oleh makrofag melalui reseptor scavenger. Internalisasi LDL oleh makrofag akan merangsang pembentukan lipid peroksid dan akumulasi kolesterol ester di dalam makrofag. LDL termodifikasi juga merupakan kemotatik bagi monosit lain dan dapat meningkatkan ekspresi gen dari macrophage colony-stimulating factor (MCSF) pada sel endotel yang meningkatkan replikasi monosit menjadi makrofag dan monocyte chemotactic protein (MCP) yang menarik monosit baru pada darah tepi menuju lesi. 12;16 84 Hasil penelitian antara kelompok kontrol positif (K2) dengan kelompok perlakuan K3,K4,K5 dan K6, serta antara masing – masing kelompok perlakuan K3,K4,K5 dan K6 cenderung tetap atau terdapat sedikit penurunan, ini membuktikan bahwa pemberian filtrat daun salam konsentrasi 25%,50%,75% dan 75% belum dapat meningkatkan jumlah monosit secara bermakna seperti yang diharapkan, artinya jumlah sel monosit pada darah tepi hewan coba tikus putih pada kelompok K2 kontrol positif yang hyperlipid dengan perlakuan yang diberikan filtrat daun salam selama 9 hari tetap menurun. Walaupun secara uji statistik antara perlakuan menggunakan uji statistik One Way Anova menghasilkan nilai p=0.000<α0.05 yang membuktikan bahwa Ho ditolak Ha diterima, artinya terdapat efek filtrat daun salam (Syzygium polyanthum) terhadap jumlah monosit pada darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar yang mengalami hiperlipidemia, dan hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa jumlah monosit antara kelompok kontrol negatif (K1) dengan kontrol positif (K2) dan kelompok perlakuan K3.K4,K5 dan K6 nilai p=0.000<α0.05, hal ini menunjukkan terdapat perbedaan bermakna jumlah monosit antara kelompok kontrol negatif (K1) dengan kelompok kontrol positif (K2) dan perlakuan (K3,K4,K5 dan K6). Sedangkan jumlah monosit antara kelompok kontrol positif (K2) dengan masing – masing kelompok perlakuan dan jumlah monosit antara masing – masing kelompok perlakuan menunjukkan tidak berbeda bermakna hal ini dibuktikan dengan nilai p>α0.05. Faktor yang mempengaruhi hasil penelitian belum dapat meningkatkan jumlah monosit secara bermakna seperti yang diharapkan, diduga terdapat respon inflamasi dari endotel pembuluh darah membuat endotel mengekspresikan mediator inflamasi seperti Intercellular Adhesion Molecule – 1 (ICAM-1). Ekspresi ICAM banyak terjadi pada endotel dan makrofag pada proses pembentukan aterosklerosis. Peningkatan ICAM-I akan mengundang monosit, leukosit dan bioaktif darah lainnya menuju lesi. Faktor kemoatraktan maupun molekul adhesi seperti ICAM-I dan MCP –I memicu terjadinya akumulasi monosit pada endotel pembuluh darah . 12 Faktor lainnya adalah adanya mediator selain MCP-1 dan ICAM-1 yaitu MCSF yang menginduksi replikasi monosit, walaupun proses inflamasi sudah ditekan dengan adanya zat – zat aktif yang terdapat dalam filtrat daun salam dengan berbagai mekanismenya yang dapat menurunkan kadar kolesterol total darah tepi hewan coba, namun pada tempat lesi dimana monosit telah tertarik tetap akan bereplikasi dan mengeluarkan sinyal – sinyal kemoatraktan yang lain untuk menarik monosit dari sirkulasi darah ke tempat lesi. 3 Tanin yang dikandung dalam filtrat daun salam yang berfungsi sebagai antioksidan, astringent, dan hipokolesterolnemia. Tanin bekerja dengan cara bereaksi dengan protein mukosa dan sel epitel usus sehingga menghambat penyerapan lemak. Efek hipokolesterolnemia dengan menghambat enzim sterol 4α-methyl oksidase. Diperkirakan efek hipokolesterolnemia tidak berpengaruh banyak terhadap penurunan jumlah LDL sehingga LDL teroksidasi tetap ada mengakibatkan proses inflamasi terus berlanjut yang mengakibatkan terus berlangsungnya akumulasi monosit dan replikasi monosit menjadi makrofag. Faktor lainnya yang mempengaruhi hasil penelitian pada kelompok perlakuan yang diberikan filtrat daun salam pada hewan coba yang hyperlipidemia tetap mengalami penurunan adalah diduga antioksidan dalam filtrat daun salam walaupun memiliki kemampuan dalam menurunkan kadar kolesterol, namun antioksidan tersebut hanya mengurangi dampak negatif dari radikal bebas dan menurunkan kemungkinan sel untuk teroksidasi. 85 Antioksidan tersebut tidak mampu menahan LDL yang terlanjur teroksidasi, sehingga cedera endotel yang memicu ekspresi MCP-1 sehingga proses akumulasi monosit terus berlanjut. Kandungan daun salam (Syzygium polyanthum) seperti minyak atsiri, flavonoid, tannin, seskuiterpen, triterpenoid, fenol, steroid, sitral, lakton, vitamin C, vitamin A, thiamin, Riboflavin, Niacin, vitamin B6, vitamin B12, folat dan selenium sebenarnya cukup potensial untuk menurunkan progresivitas aterosklerosis melalui efek antioksidan dan hipokolesternemia, namun dalam penelitiaan ini pernyataan tersebut belum bisa dibuktikan pada kelompok perlakuan yang diberikan filtrat daun salam konsentrasi 25%,50%,75% dan 100%, hasil ini diperkirakan karena waktu pemberian filtrat daun salam yang relatif singkat hanya 9 hari, sehingga belum cukup lama dalam mengendalikan kondisi hyperlipid pada hewan coba. (Rattus norvegicus) strain wistar yang mengalami hiperlipidemia. Hasil uji lanjut LSD menunjukkan bahwa jumlah monosit antara kelompok kontrol negatif (K1) dengan kontrol positif (K2),K3.K4,K5 dan K6 nilai p=0.000<α0.05, menunjukkan terdapat perbedaan bermakna jumlah monosit antara perlakuan, sedangkan jumlah monosit antara kelompok kontrol positif (K2) dengan masing – masing kelompok perlakuan dan jumlah monosit antara masing – masing kelompok perlakuan menunjukkan tidak berbeda bermakna hal ini dibuktikan dengan nilai p>α0.05. Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan efek pemberian daun salam dengan waktu yang lebih lama untuk membuktikan terdapatnya peningkatan jumlah monosit pada sirkulasi darah untuk menekan peran monosit dalam progresivitas terjadinya aterosklerosis pada kondisi hyperlipid, dengan variabel penelitian yang lebih lengkap terutama terhadap efek kenaikan semua profil lipid. 2. Untuk melihat efek langsung pemberian fltrat daun salam sebagai antihyperlipidemia pada cedera endotel pembuluh darah perlu dilakukan penelitian lanjutan dengan pemeriksaan histopatologi pada pembuluh darah dan pemeriksaan molekuler untuk melihat peningkatan ekspresi dari ICAM-1, MCSF dan MCP pada sel endotel pembuluh darah dalam kondisi hyperlipidemia. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang manfaat daun salam sebagai antikoagulan, antioksidan dan aggregasi platelet. Kesimpulan 1. Rerata kadar kolesterol total 87.5 ± 13.9 mg/dl dan jumlah monosit 6.1±2.3 pada darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar sebelum mengalami hiperlipidemia. 2. Rerata kadar kolesterol total 199.7 ± 22.1 mg/dl dan jumlah monosit 4.3±2.6 pada darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar setelah mengalami hiperlipidemia. 3. Rerata kadar kolesterol total 91.6 ± 11.8 mg/dl dan jumlah monosit 3.4±2.6 pada darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar yang mengalami hiperlipidemia setelah pemberian filtrat daun salam (Syzygium polyanthum) konsentrasi 25%, 50%, 75%, 100 %. 4. Hasil uji statistik One Way Anova menghasilkan nilai p=0.000<α0.05 yang membuktikan terdapat efek pemberian sediaan filtrat daun salam (Syzygium polyanthum) terhadap jumlah monosit pada darah tepi hewan coba tikus putih Daftar Pustaka 1. Adam JM, Soegondo S, Soemiardji G, Adriansyah H, 2004. Petunjuk praktis penatalaksanaan dislipidemia. Jakarta:PB.PERKENI. 86 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. Departemen Kesehatan R.I , 1996. Informasi tentang penyakit Kardiovaskuler. Pusat penyuluhan Kesehatan Masyarakat Gestana Andru.2009. Efek minyak atsiri Bawang Putih (Allium sativum) terhadap jumlah Monosit pada darah tepi tikus wistar yang diberi diet kuning telur. KTI Fakultas Kedokteran Universitas Diponogoro Semarang. Goodman & Gillman, 2008. Dasar farmakologi terapi edisi 10. Kedokteran EGC. Jakarta. Guyton & Hall, 2007. Buku ajar fisiologi kedokteran edisi 11. Kedokteran EGC. Jakar Harmita & Maksum Radji, 2008. Buku ajar analisis hayati. Kedokteran EGC. Jakarta Hoffbrand AV, Pettti JE 1996. Kapita Selekta Hematologi (Essensial Hematologi) Edisi Kedua Jakarta EGC. Khomsan, Ali, 2004. Pangan dan gizi untuk kesehatan . Rajagrafindo Persada. Jakarta Lanang, Gusti, 2006. Tekhnik pemilihan alat analisis dan interpretasi hasil uji statistika. Metode Statistik. Universitas Nusa Tenggara Barat. Mataram. Mangoting, Daniel, Irawan Imang, Abdullah Said, 2005 . Tanaman lalap berkhasiat obat . Penebar Swadaya . Jakarta. Maryani, Herti & Suharmiati, 2003 . Tanaman obat untuk mengatasi penyakit pada usia lanjut . Agromedia pusataka. Jakarta. Purnomo Suryohudoyo,2000. Kapita Selekta Ilmu Kedokteran Molekuler.CV. Sagung Seto.Jakarta Prasetyo A, Sadhana U, Miranti IP,2000. Profil lipid dan ketebalan dinding arteri abdominalis tikus wistar pada injeksi inisial adrenalin intra vena (IV) dan diet kuning telur intermitten. Media Medika Indonesiana. 14. Price, Sylvia A,Wilson Lorraine M, 2005. Patofisiologi konsep klinis proses – proses penyakit edisi 6 . Kedokteran EGC . Jakarta . 15. Riansari Anugrah. 2008. Pengaruh pemberian ekstrak daun salam (Eugenia polyantha) terhadap kadar kolesterol total serum tikus jantan galur wistar hiperlipidemia.KTI Fakultas Kedokteran Universitas Diponogoro Semarang. 16. Robert K.Murray, Daryl K.Granner,Peter A.Mayes dan Victor W.Rodwell,2003. Biokimia Harper Edisi 25. Penerbit EGC.Jakarta. 17. Rushaliyati putri, 2011. Perbedaan kadar kolesterol pada darah hewan coba tikus putih (Rattus norvegius) strain wistar sebelum dan setelah pemberian Filtrat daun salam (Syzgium polyanthum). Dalam KTI Jurusan Analis Kesehatan Mataram. 18. Siswono.2003. Peran Gizi untuk cegah penyakit cardiovaskuler. URL: http://www.kompas.com/kompascetak/0307/08/iptek/425079.htm 19. Soeharto I,2004. Penyakit jantung korener dan serangan jantung, edisi ketiga. Penerbit PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 20. Utami, Ni Luh, 2008. Pengaruh pemberian ekstark daun salam (Eugenia polyantha) terhadap kadar LDL kolesterol serum tikus jantan galur wistar hiperlipidemia. Skripsi. Universitas Diponegoro. Semarang. 21. Wahyu, Indah Utami, 2008. Efek fraksi air ekstra etanol daun salam (Syzygium polyanthum) terhadap penurunan kadar asam urat pada mencit putih (Mus musculus) jantan galur BALB-C yang diinduksi dengan kalium oksanat. Skripsi. Universitas Muhammadiyah Surakarta . 87 STUDY PENDERITA HEPATITIS B (HBsAg) POSITIF (+) PADA HUBUNGAN ANTAR INDIVIDU DALAM KELUARGA Yunan Jiwintarum¹, I Wayan Getas¹, Marnia² ¹Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan ²Laboratorium Hepatika Mataram Abstrak Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B. Hepatitis B dapat menyebabkan penyakit akut maupun kronis, serta dapat berkembang menjadi sirosis hepatitis dan karsinoma primer hati. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui terjadinya penularan HBsAg Positif (+) padahubungan antar individu dalam keluarga. Penelitian ini bersifat observasi laboratorik yaitu penelitian yang dilakukan dengan pengamatan melalui pemeriksaan laboratorium dan pengambilan sampel secara Non Random dengan tehnik Purposive Sampling. Hasil dari pemeriksaan HBsAg pada anggota keluarga penderita Hepatitis B ditemukan 4 orang (8,33%) HBsAg Positif (+) dan 44 orang (91,67%) HBsAg Negatif (-) dari 48 orang yang diperiksa.[JAMBS,2014;1(1) :........ -......] Kata kunci: HBsAg Positif (+), Keluarga, Penderita Hepatitis B. STUDYPATIENT WITHHEPATITISB(HBsAg) POSITIVE(+) ON THERELATIONSHIPBETWEENINDIVIDUALIN THE FAMILY Abstrak Hepatitis B is a disease causedbyHepatitisB.HepatitisBviruscancauseacute orchronicillness, andhepatitiscan progress tocirrhosisandprimarylivercarcinoma. The purposeofthis studywas to determinethe occurrence ofHBsAgPositive(+) onthe relationshipbetween individualsin the family. This study isthe observationthatlaboratoryresearch conductedbyobservationthrough laboratory testsandNon-Randomsamplingwithpurposive samplingtechnique.The resultsofexamination ofHBsAg inpatients with hepatitisBfamilymembersfound4people(8.33%) HBsAgpositive(+) and44(91.67%) of HBsAgnegative (-) of48 wereexamined. [JAMBS,2014;1(1) :........ -......] Keywords: PositiveHBsAg(+), Family, Patients with HepatitisB 88 Infeksi tersembunyi dari penyakit ini membuat sebagian besar orang merasa sehat dan tidak menyadari bahwa mereka terinfeksi dan berpotensi menularkan virus tersebut kepada orang lain. Penderita penyakit itu umumnya tidak mengalami gejala tertentu yang khas, dan baru bisa diketahui melalui tes kesehatan.2Virus Hepatitis B stabil dalam darah, plasma, dan serum, serta dapat bertahan lama di luar tubuh manusia dalam berbagai tingkat kelembaban udara dan temperatur yang tinggi. Virus Hepatitis B sangat menular, bahkan 100 kali lebih mudah menular dibandingkan dengan virus HIV.5Penularan Hepatitis B terjadi pada kelompok risiko tinggi yaitu lingkungan pengidap/penderita dengan HBsAg positif terutama pada anggota keluarga/mereka yang serumah selalu berhubungan langsung. Di dalam keluarga penularan HBV dapat terjadi secara vertikal dan horisontal.4 Pendahuluan Hepatitis B merupakan penyebab utama kesakitan dan kematian yang penting di dunia.Hepatitis B menjadi makin penting karena dapat menyebabkan penyakit hati kronik termasuk hepatitis aktif kronik, sirosis hepatitis dan karsinoma primer hati. Paling tidak Hepatitis B akan menjadi carrier dan menyebabkan kerusakan sel hati.1;8 Diperkirakan sekitar 400 juta orang di dunia mengidap infeksi HBV (Hepatitis B Virus) kronik, dengan 500.000 diantaranya meninggal. Prevalensinya antar negara bervariasi antara 0,1%-20%. Sekitar 30% pengidap HBV kronik merupakan pengidap asimtomatik dan sebagian besar (70%) pengidap HBV kronik akan berkembang menjadi penderita penyakit hati kronik. Sekitar 2%-10% dari penderita Hepatitis kronik ini akan berkembang menjadi sirosis hati dalam setahun, dan sekitar 2%-8% akan menjurus menjadi kanker hati dalam tempo satu tahun.7 Berdasarkan data laporan kunjungan pasien di Laboratorium Hepatika pada Tahun 2010, jumlah pasien positif HBsAg di Pulau Lombok pada bulan Januari sampai dengan bulan Juni 2010 sebanyak 295 orang dimana 95 orang berasal dari kota Mataram, 60 orang dari Lombok Barat, 42 orang dari Lombok Utara, 61 orang dari Lombok Tengah dan 37 orang dari Lombok Timur. Pasien HBsAg positif terbanyak adalah kota Mataram (95 orang) dan terendah Kabupaten Lombok Utara (42 orang).6Pada saat ini di dunia diperkirakan terdapat kira-kira 350 juta orang pengidap (carrier) HBsAg dan 220 juta (78%) diantaranya terdapat di Asia termasuk Indonesia.Di negara dengan tingkat prevalensi tinggi (HBsAg >8%), penularan banyak terjadi pada bayi baru lahir dan anak yang masih usia muda. Di negara dengan tingkat prevalensi sedang (HBsAg 2-7%) penularan bisa terjadi pada semua golongan umur. Di negara dengan prevalensi rendah (HBsAg<2%) infeksi sering terjadi pada kelompok umur dewasa.2 Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian observasi laboratorik yang bersifat deskriptif yaitu pengamatan dengan melakukan pemeriksaan laboratorium dimaksudkan untuk mengetahui apakah terjadi penularan HBsAg pada anggota keluarga penderita Hepatitis B (HBsAg) Positif (+). Populasi dalam penelitian ini adalah warga yang kontak dengan penderita Hepatitis B (HBsAg) Positif (+) yang bertempat tinggal di Lingkungan Karang Tapen, Kelurahan Cilinaya, Kecamatan Cakranegara, Mataram. Sampel dalam penelitian ini adalah anggota keluarga yang kontak dengan penderita Hepatitis B (HBsAg) Positif (+).Besar sampel adalah 50 orang anggota keluarga dari 10 orang yang diketahui menderita Hepatitis B dan tinggal di lingkungan Karang Tapen, Kelurahan Cilinaya, Kecamatan Cakranegara, Mataram. Kriteria anggota keluarga yang akan dijadikan sampel dalam penelitian ini adalah:Bapak, ibu, anak (bukan balita) dan 89 anggota keluarga yang kontak dengan penderita Hepatitis B serta bersedia dijadikan sampel. Instrumentasi penelitian : Alkohol, Spuit, Torniquet, Tabung dan rak tabung, Dispenser 100 ul, Centrifuge. Bahan :Darah, HBsAg Strip dan EDTA (Ethylene Diamine Tetra Acetate). Cara pengumpulan data : Darah dengan EDTA dicentrifuge dengan kecepatan 3000 rpm selama 5 menit, sehingga terbentuk plasma.Plasma yang terbentuk dipisahkan dari sel darah ke dalam tabung lain.Dimasukkan 100 ul sampel plasma ke dalam tabung reaksi. Diinkubasikan strip Hepatitis B (HBsAg) sesuaiarah panah ke bawah dalam sampel plasma sebatas garis selama 10 menit. Dibaca hasil tepat 10 menit. Pembacaan Hasil : 1. Hasil positif apabila ada dua garis merah yang terlihat pada area T (Tes) dan C (Kontrol). 2. Hasil negatif apabila ada satu garis merah yang terlihat pada area C (Kontrol). 3. Tes dinyatakan invalid apabila garis C (Kontrol) tidak terlihat. 4. Data hasil penelitian dianalisis secara deskriptif dalam bentuk tabel dan dihitung persentase (%) Positif (+) dan Negatif (-) dengan rumus : Positif = P x 100% T Negatif =Q x100% T Keterangan: P= Jumlah sampel Positif Q = Jumlah sampel Negatif T= Jumlah keseluruhan sampel Tabel 1. Persentase hasil pemeriksaan HBsAg pada keluarga penderita GBsAg (+) Kode Sampel Persentase Hasil Pemeriksaan HBsAg T P % Q % X1 48 1 2,1 47 97,9 X2 48 3 6,3 45 93,7 Keterangan: X1 = penularan vertikal. X2 = penularan horisontal P = Jumlah sampel Positif Q = Jumlah sampel Negatif T = Jumlah keseluruhan sampel P = P x 100% T Q = Q x100% T P X1= 1 x 100%=2,1% 48 Q X1= 47 x100%=97,9% 48 P X2= 3 x 100%=6,3% 48 Q X2= 45 x100%=93,7% 48 Tabel 2. Persentase HBsAg Positif dan Negatif dari hasil pemeriksaan darah padaanggota keluarga penderita Hepatitis B Positif secara keseluruhan. Persentase Hasil Pemeriksaan HBsAg Hasil 1. Hasil pemeriksaan Hepatitis B pada anggota keluarga yang tinggal di lingkungan Karang Tapen, Kelurahan Cilinaya, Kecamatan Cakranegara, Mataram, menggunakan HBsAg Strip metode IC. Positif T P Negatif % T Q % Jumlah T % 48 4 8,33 48 44 91,67 48 100 Keterangan: P= Jumlah sampel Positif Q= Jumlah sampel Negatif T= Jumlah keseluruhan sampel 90 P = P x 100% T Q = Q x100% T P = 4 X 100% 48 Q = 44 x100% 48 P = 8,33% Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui adanya penularan virus Hepatitis B pada anggota keluarga penderita Hepatitis B tanpa melihat adanya gejala dan kelainan hati.Diagnosa ditegakkan dengan ditemukannya antigen pada plasma manusia.Dalam skrining petanda yang sering digunakan untuk diagnostik dan dicari dalam darah adalah permukaan Hepatitis B (HBsAg).Adanya HBsAg Positif pada individu dianggap individu tersebut terinfeksi HBV dan karena itu berpotensi menular.11 Metode yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Immunochromatography (IC) secara kualitatif pada plasma dengan alat pemeriksaan HBsAg Strip.Alat ini digunakan dengan pertimbangan keterbatasan sumber daya (biaya) dan hasilnya bisa dibaca dengan mata telanjang (secara visual) hanya dalam waktu 10 menit tampak sebagai garis merah muda pada posisi garis tes dengan kepekaan/sensitivitas 1-5 ng/ml. Sebaiknya metode yang digunakan adalah ELISA yang mempunyai sensitivitas di bawah 1 ng/ml dan lebih spesifik. Penelitian ini berdasarkan dari 10 orang yang diketahui menderita HBsAg Positif, masing-masing anggota keluarga diambil sampel darahnya sebanyak 5 orang. Karena 2 orang penderita Hepatitis B, anggota keluarganya tidak tinggal dengan penderita, maka jumlah sampel yang diteliti menjadi 48 orang. Persentase penularan vertikal adalah sebanyak 1 orang (2,1%) dari 48 orang yang diteliti. Dimana penularan terjadi dari ibu yang HBsAg Positif kepada anaknya.Riwayat ibu dengan HBsAg Positif merupakan faktor dominan dalam keluarga untuk menularkan HBV.Hal ini dapat dipahami bahwa ibu secara alamiah lebih dekat dengan anggota keluarga lainnya sehingga secara tidak langsung sering terjadi hubungan/kontak dengan anggota keluarga lainnya.Dan berdasarkan hasil wawancara, bahwa mereka pernah menggunakan peralatan pribadi seperti Q =91,67% Hasil pemeriksaan HBsAg pada anggota keluarga ditemukan 4 orang (8,33%) HBsAg Positif (+) dan 44 orang (91,67%) HBsAg Negatif (-). Diagram persentase pemeriksaanHbsAgPositif/Negatif. Pembahasan Hepatitis B adalah penyakit serius yang mempengaruh liver.Penyebabnya adalah virus Hepatitis B (HBV).Hepatitis B dapat menyebabkan penyakit baik akut dan kronis. HBV ditemukan dalam konsentrasi tinggi dalam darah dan dalam konsentrasi yang lebih rendah dalam cairan tubuh lainnya (misalnya, air mani, cairan vagina, dan eksudat lainnya). Infeksi HBV dapat bersifat akut dan kronis.Seseorang di ketahui terinfeksi virus Hepatitis B atau tidak, ditunjukkan dengan hasil pemeriksaan darah dengan petanda serologis HBsAg (Hepatitis B surface Antigen) yaitu suatu protein selubung luar dari partikel HBV yang apabila positif pada individu (anggota keluarga) menunjukkan yang bersangkutan terdapat virus Hepatitis B, infeksi virus Hepatitis B sedang berlangsung, dan potensial untuk menularkan .10 91 handuk/selimut, pemotong kuku, alat makan/minum secara bersamaan serta kurangnya pemahaman tentang penyakit Hepatitis.Persentase penularan horisontal adalah sebanyak 3 orang (6,3%) dari 48 orang yang diteliti. Hal ini disebabkan karena penularan terjadi dari suami yang HBsAg Positif kepada istrinya, dan dua lainnya penularan antara saudara (kakak kepada adiknya atau sebaliknya).Penularan yang terjadi dari suami yang HBsAg Positif kepada istrinya, kemungkinan besar infeksi terjadi melalui selaput lendir alat kelamin. Infeksi melalui selaput lendir alat kelamin dapat terjadi dengan cara hubungan kelamin. Walaupun hubungan kelamin tidak selalu disertai kontak dengan darah tetapi dalam hubungan kelamin kemungkinan untuk terjadi pertukaran sekret antar kedua pasangan sangat besar.Dan berdasarkan hasil wawancara, bahwa responden pernah menggunakan peralatan pribadi seperti handuk/selimut, alat makan dan minum secara bersamaan serta kurangnya pemahaman tentang penyakit Hepatitis. Pasangan suami istri berperan dalam penularan HBV dan penularan infeksi HBV dapat terjadi melalui hubungan erat antar individu diantaranya hubungan seks antara pasangan yang sudah menikah (suami-istri).12Penularan dari adik perempuan kepada kakak perempuannya kemungkinan besar infeksi terjadi melalui kulit, karena orang tersebut pernah menderita penyakit kulit (seperti: korengan/gatal-gatal), sehingga dapat terjadi kontak antara bahan yang infektif pada kulit yang sudah tidak utuh atau sudah terdapat lesi (cara penularan melalui kulit yang tidak jelas).9;10 Dan berdasarkan hasil wawancara bahwa mereka pernah menggunakan handuk/selimut, alat makan/minum, dan pemotong kuku secara bersamaan. Sedangkan penularan dari kakak laki-laki kepada adik lakilakinya,kemungkinan besar infeksi terjadi karena adanya luka akibat menggunakan alat cukur dan pemotong kuku yang terkontaminasi virus Hepatitis B. Dan berdasarkan hasil wawancara bahwa mereka pernah menggunakan handuk/selimut, alat makan/minum, alat cukur dan pemotong kuku secara bersamaan. Penularan melalui alat cukur terjadi karena alat cukur tercemar/kontak dengan infeksius dikarenakan kebiasaan digunakan secara bergantian menjadi faktor risiko terkena HBV.2 Peran penularan horisontal dengan terbentuknya pengidap dalam populasi sangat berbeda antara satu tempat dengan tempat lainnya dan dipengaruhi berbagai faktor diantaranya faktor hygiene dan sanitasi serta kebiasaan-kebiasaan yang dapat menularkan infeksi 12;13 HBV. Penularan melalui alat pribadi terjadi karena alat pribadi terkontaminasi darah, saliva atau bentuk cairan lainnya oleh HBV yang bersumber dari HBV. Penularan melalui mulut terjadi karena infeksius mengenai selaput lendir mulut dimana terdapat luka di dalamnya. Penularan infeksi melalui selaput lendir mulut dipermudah bila terdapat lesi atau luka pada selaput lendir mulut. Penularan HBV melalui handuk terjadi karena kontaminasi virus hepatitis B melalui kulit yang mengalami kelainan dermatologik (misalnya eksim, borok, garukan) pajanan pada darah dan cairan tubuh pada semua peralatan yang terkontaminasi oleh darah atau cairan tubuh yang dapat menularkan secara horisontal.Penularan melalui kontak peralatan pribadi seperti alat makan/minum, alat cukur dan handuk secara bergantian diduga berhubungan dengan penularan HBV, dimana personal hygiene yang kurang baik menjadi faktor yang dipertimbangkan dalam penularan HBV.Dimungkinkan juga karena lesi, goresan maupun peradangan pada kulit bilamana terjadi kontak dengan bahan yang infektif .9;10 Mencegah terjadinya penularan horisontal dalam penggunaan alat pribadi perlu dilakukan pendidikan kesehatan masyarakat terutama personal hygiene tentang perilaku kebiasaan penggunaan alat pribadi bersama.Hindari penggunaan 92 alat-alat pribadi seperti pisau cukur, pemotong kuku, dan sikat gigi secara bersama untuk menghindari penularan virus hepatitis.5Dalam penelitian ini ditemukan anggota keluarga yang menderita HBsAg Positif. Hal ini menunjukkan bahwa anggota keluarga merupakan kelompok yang berisiko dalam penularan Hepatitis B yaitu selalu berhubungan langsung dengan penderita/pengidap HbsAg Positif. Terjadinya pajanan dari penderita HBsAg Positif, diantaranya dapat melalui hubungan perilaku hidup anggota keluarga dengan penderita yang terinfeksi HBV melalui kontak penggunaan alat pribadi, kebiasaan perilaku anggota keluarga dalam penggunaan alat pribadi, termasuk hubungan seksual. Diketahuinya penderita HBsAg Positif pada ayah, ibu, suami, istri, adik/kakak dan anggota keluarga dekat lainnya menggambarkan bahwa penularan HBV dapat terjadi secara vertikal dan horisontal.4 sehingga dapat mengurangi terjadinya penularan Virus Hepatitis B pada masyarakat. 2. Anggota keluarga yang HBsAg Positif diharapkan memeriksakan diri ke tempat pelayanan kesehatan (Rumah Sakit atau Poliklinik). 3. Anggota keluarga yang HBsAg Negatif melakukan pemeriksaan Anti-HBs dan vaksinasi ke tempat pelayanan kesehatan (Rumah Sakit atau Poliklinik) untuk mencegah terjadinya penularan Hepatitis B dan menghindari kontak dengan bahan-bahan yang berpotensi menularkan virus Hepatitis B. 4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut dengan menggunakan metode yang lebih sensitif (ELISA). Daftar Pustaka 1. Abdoerrachman, M. H. (1985) Buku Kuliah 2 Ilmu Kesehatan Anak.Infomedika. Jakarta. 2. Fazidah, S. A. (2001) Hepatitis B Ditinjau dari kesehatan masyarakat dan upayaPencegahan. http://repostory.usu.ac.id./ 14/08/2012. 17.43 3. Gunawan S., Soewignjo S., Mulyanto (1991) Petanda Serologik Infeksi Virus Hepatitis B. Jurnal RSU Mataram 4. Hadi, S. (1991) Hepatitis B di dalam keluarga, Tinjauan Kasus. Cermin Dunia Kedokteran. Jakarta. 5. Hembing Wijayakusuma (2008) Tumpas Hepatitis Dengan Ramuan Herbal. Pustaka Bunda. Jakarta. 6. Laboratorium Hepatika (2010) Petunjuk Pengunaan entebe HBsAg Strip. Mataram-Indonesia. 7. Mulyanto (2009) Epidemiologi Hepatitis B di Indonesia. Simposium ― Pendekatan Terkini Hepatitis B dan C Dalam Praktik Klinis Sehari-hari‖. Jakarta. Laboratorium Hepatitis B NTB Mataram dan Laboratorium Imunologi Fakultas Kedokteran Mataram. Kesimpulan 1. Persentase HBsAg Positif (+) untuk penularan vertikal adalah sebanyak 1 orang (2,1%) dari 48 orang yang diperiksa, yaitu penularan terjadi dari ibu yang HBsAg Positif kepada anaknya. 2. Persentase HBsAg Positif (+) untuk penularan horisontal adalah sebanyak 3 orang (6,3%) dari 48 orang yang diperiksa, yaitu penularan terjadi dari suami yang HBsAg Positif kepada istrinya, dan dua lainnya penularan antara saudara (adik perempuan kepada kakanya dan kakak laki-laki kepada adiknya). 3. Persentase total dari 48 orang yang diperiksa HBsAg-nya adalah 4 orang (8,33%) HBsAg Positif (+) dan 44 orang (91,67%) HBsAg Negatif (-). Saran 1. Bagi Instansi kesehatan memberikan penyuluhan secara berkala kepada masyarakat tentang Virus Hepatitis B 93 8. Mulyanto (2010) Genotipe Virus Hepatitis B dan Maknanya SecaraKlinis. Laboratorium Hepatitis B NTB Mataram dan Laboratorium Imunologi Fakultas Kedokteran Mataram. 9. Soewignjo S. (1991) Pengidap Virus Hepatitis B. Jurnal RSU Mataram. 10. Soewignjo S., Mulyanto, Gunawan S., dan Sumarsidi D., (1991) Epidemiologi Infeksi Virus Hepatitis B. Jurnal RSU Mataram. 11. Soewignjo S., Sumarsidi D., Wenny A. A., Hidayatul F., Santy P., (2002) Mengenal Lebih Dekat Virus Hepatitis. Dr. Kanai Memorial Liver Foundation. Mataram. 94 95