jambs - POLTEKKES Mataram

advertisement
Jurnal Analis Medika Bio Sains
(JAMBS)
Susunan Redaksi
Pelindung
H. Awan Dramawan, S.Pd, M.Kes (Direktur Poltekkes Kemenkes Mataram)
Penanggung Jawab
Drs. Urip, M.Kes (Ketua Jurusan Analis Kesehatan Mataram)
Ketua Redaksi
Pancawati Ariami, S.Si, M.Ked Trop.
Sekretaris Redaksi
Zaenal Fikri,SKM,M.Sc
Dewan Redaksi
Iswari Pauzi, SKM, M.Sc
Erlin Yustin Tatontos,SKM,M.Kes
Maruni Wiwin Diarti, S.Si. M.Kes
Mitra Bestari (Peer Group)
Prof. Dr. Dwi Soelystya Dyah Djekti, M.Kes
dr. Ety Retno Setyowati,DSPK
Staff Sekretariat Redaksi
I Gusti Putu Wilusantha, S.Si
Agus Supriadi
Alamat Redaksi
Sub Unit Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Jurusan Analis Kesehatan Mataram
Jalan. Praburangkasari Dasan Cermen Cakranegara;Mobile: 081915982777 (Zaenal Fikri);
Telp. (0370) 622143; Faks: (0370)641937; E-mail: [email protected]
Diterbitkan oleh:
Jurusan Analis Kesehatan Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram terbit 2 kali
(Maret dan September)
Jurnal Analis Medika Bio Sains
(JAMBS)
Daftar Isi
RESISTENSI PRIMER FIRST – LINE ORAL AGENTS ISONIAZID (INH)
PADA PENDERITA TB PARU BTA (+) DENGAN TUJUAN gen katG
MENGGUNAKAN NESTED PCR
Maruni Wiwin Diarti, Pancawati Ariami, Yunan Jiwintarum
1
PENINGKATAN AKTIVITAS KOLINESTERASE DALAM DARAH PETANI YANG
TERPAPAR PESTISIDA GOLONGAN ORGANOFOSFAT YANG DI BERI JUS
STRAWBERI (Fragaria chiloensis)
Haerul Anam, Maruni Wiwin Diarti, Irma Haerani
8
PREVALENSI KANDIDIASIS BERDASARKAN HASIL PEMERIKSAAN
SEDIMEN DAN KULTUR URINE WANITA PENDERITA DIABETES MELLITUS
DI PUSKESMAS WILAYAH KABUPATEN LOMBOK BARAT
I Gusti Ayu Nyoman Danuyanti, Rohmi, Ersandhi Resnhaleksmana
13
PREVALENSI ZOONOTIC HOOKWORM YANG BERPOTENSI MENYEBABKAN
CREEPING ERUPTION DI CAKRANEGARA
Ersandhi Resnhaleksmana, Pancawati Ariami, I Gusti Ayu Nyoman Danuyanti
19
PENGARUH PENAMBAHAN KULIT MANGGIS PADA MINYAK JELANTAH
TERHADAP KADAR BILANGAN PEROKSIDA
Iswari Pauzi, Haerul Anam, Ni Made Uci Pramesthy Dewi
24
PENGARUH EKSTRAK METHANOL KULIT BUAH MANGGIS (Garcina
mangostana L) TERHADAP PERTUMBUHAN KULTUR Mycobacterium tuberculosis
GALUR LOMBOK TIMUR
Pancawati Ariami , Rohmi
31
AKTIVITAS BIOLOGICAL RESPONSE MODIFIERS ALAMI FILTRAT
BUAH BUNI (Antidesma bunius) TERHADAP JUMLAH LIMFOSIT TERAKTIVASI,
SEL MONONUKLEAR DAN POLIMORFONUKLEAR PADA DARAH HEWAN
COBA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR YANG
DIINFEKSI SALMONELLA TYPHIMURIUM
Gunarti, Yunan Jiwintarum, Nurhidayati
39
PENGARUH PENAMBAHAN RAGI TEMPE (Rhizopus sp) PADA PEMBUATAN
MINYAK KELAPA TERHADAP MUTU MINYAK
Ida Bagus Rai Wiadnya, Urip, Eka Minovriyanti
48
FILTRAT Syzygium polyanthum DAN MONOSIT PADA DARAH TEPI TIKUS PUTIH
(Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR DENGAN HIPERLIPIDEMIA
Lina Sundayani, Farida, Maruni Wiwin Diarti
54
STUDY PENDERITA HEPATITIS B (HBsAg) POSITIF (+) PADA HUBUNGAN
ANTAR INDIVIDU DALAM KELUARGA
Yunan Jiwintarum, I Wayan Getas, Marnia
65
PEDOMAN BAGI PENULIS
Jurnal Analis Medika Bio Sains (JAMBS)
merupakan jurnal publikasi ilmiah yang
diterbitkan oleh Jurusan Analis Kesehatan
Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram
menggunakan system peer review untuk
seleksi artikel. Terbit dua kali dalam satu
tahun (Maret dan September).
Jurnal Analis Medika Bio Sains hanya
menerima artikel penelitian asli yang
relevan dengan bidang analis dan ilmu
kesehatan. Format artikel penelitian terdiri
atas halaman judul, abstrak (Indonesia dan
Inggris), pendahuluan, metode, hasil,
pembahasan, dan daftar pustaka. Pedoman
bagi penulis sesuai dengan ketentuan
sebagai berikut :
Petunjuk Umum
JAMBS tidak menerima artikel yang sudah
dipublikasikan atau sedang diajukan
kepada
majalah
lain,
dengan
menandatangani surat pernyataan. Bila
diketahui artikel telah dimuat pada jurnal
lain, maka pada JAMBS edisi selanjutnya
artikel akan dianulir. Semua artikel yang
masuk akan dibahas oleh dewan redaksi
dan mitra bestari yang sesuai dengan
bidang keilmuwan. Artikel yang perlu
perbaikan dikembalikan kepada penulis.
Artikel penelitian yang menggunakan
subyek penelitian hewan coba, dan
manusia harus memperoleh persetujuan
komite etik. Penulis dapat mengirimkan
artikel disertai surat pengantar yang
ditujukan
kepada
penanggungjawab
redaksi dengan alamat :
Redaksi Jurnal Analis Medika Bio Sains
(JAMBS)
Sub Unit Penelitian dan Pengabdian
Masyarakat Jurusan Analis Kesehatan
Mataram.
Jalan Praburangkasari Dasan Cermen
Cakranegara; Mobile:
081915982777
(ZaenalFikri); Telp. (0370) 622143; Faks:
(0270)
641937;
E-mail:
[email protected]
Penulisan artikel
Artikel diketik 1 spasi pada kertas A4,
dengan jarak tepi kiri dan atas 3 cm serta
tepi kanan dan bawah 2 cm. Jumlah
halaman 10 – 14 lembar, jenis huruf Times
New Roman ukuran 12. Setiap halaman
diberi nomor secara berurutan dimulai dari
halaman judul sampai halaman terakhir.
Artikel dikirim dalam bentuk Softcopy
(CD) dengan mencantumkan nama file
dan program yang dipergunakan pada label
CD serta 3 berkas artikel asli.
Halaman Judul
Halaman judul berisi judul artikel, nama
penulis artikel tanpa disertai gelar
akademik atau gelar lain apapun, lembaga
afiliasi penulis, nama dan alamat
korespondensi, nomor telepon, nomor
faksimili, serta alamat e–mail. Judul artikel
harus pendek tidak melebihi 20 kata,
spesifik, tidak boleh disingkat dan
informatif yang ditulis dalam bahasa
Indonesia
dan
bahasa
Inggris
menggunakan huruf Title Case.
Abstrak dan Kata Kunci
Abstrak untuk setiap artikel ditulis dalam
bahasa Indonesia dan Inggris. Abstrak
tidak melebihi 250 kata, dan merupakan
intisari seluruh tulisan, meliputi : Latar
belakang, tujuan, metode, hasil dan
kesimpulan. Kata kunci 3–5 buah kata
kunci yang dapat membantu penyusunan
indeks dan urutan pengetikan berdasarkan
abjad.
Pendahuluan
Pendahuluan meliputi latar belakang
masalah, rumusan masalah serta tujuan
penelitian dan harapan untuk waktu yang
akan datang.
Metode
Metode berisi penjelasan tentang bahan–
bahan dan alat–alat yang digunakan
terutama yang spesifik, waktu, tempat,
teknik, rancangan percobaan, dan analisis
statistik (bila ada).
Hasil
Hasil dikemukakan dengan jelas bila perlu
dengan ilustrasi (lukisan, grafik, tabel,
diagram, dan foto). Hasil yang telah
dijelaskan pada tabel atau grafik tidak
perlu diuraikan kembali dalam teks. Tabel
disusun berurutan yang disampaikan
terpisah dalam bentuk lampiran. Setiap
tabel harus diberi judul singkat. Tempatkan
penjelasan dan singkatan pada keterangan
tabel, bukan pada judul tabel. Jumlah tabel
maksimal 6 buah. Hasil yang memuat
hanya 1 tabel disusun dalam bentuk
kalimat atau di deskripsikan.
Pembahasan
Pembahasan menerangkan arti hasil
penelitian, bagaimana hasil penelitian yang
dilaporkan dapat memecahkan masalah,
perkembangan hasil penelitian untuk
aplikatif atau kemajuan program, dan
perbedaan
atau persamaan dengan
penelitian terdahulu (bila ada).
Kesimpulan
Kesimpulan berisi ringkasan temuan yang
mengarah pada pembuktian hipotesis.
Saran
Saran berupa rekomendasi dari hasil
temuan pada stakeholder, pengelola
program kesehatan, dan pengambil
kebijakan.
Ucapan Terima Kasih
Bila diperlukan ucapan terima kasih dapat
diberikan kepada contributor penelitian
tanpa menuliskan gelar.
Daftar Pustaka
Rujukan ditulis sesuai aturan penulisan
Vancouver, diberi nomor urut sesuai
dengan pemunculan dalam artikel, bukan
menurut abjad. Cantumkan nama penulis
maksimal 6 orang, apabila lebih, tulis
nama 6 orang pertama, selanjutnya dkk.
Jumlah rujukan 10-20 buah dari terbitan 10
tahun terakhir untuk rujukan dari jurnal.
Rujukan diupayakan 60% dari jurnal dan
40% dari buku ajar. Rujukan dari artikel
yang sudah diterima dan menunggu
penerbitan di majalah tertentu harus ditulis
“in press”.
Contoh :
Leishner Al. Molecular mechanism of
cocaine addiction.N Engl J Med.In press
2011.
Contoh cara menuliskan rujukan :
Jurnal Artikel standart
Weisenburger
DD.
Environmental
epidemiology of non-Hodgkin’s lymphoma
in Eastern Nebraska. Am J Ind Med.
1990;18(3):305‒5.
Langan
NP, Pelissier BMM. Gender
differences among prisoners in drug
treatment.J
Subst
Abuse.
2011;13(3):291‒301.
Rujukan lebih dari 6 penulis
Polanco FR, Dominquez DC, Grady C,
Stoll P, ramos C, Mican JM, dkk.
Conducting HIV research in racial and
ethic minority communities: building a
successful interdisciplinary research team.
J
Assoc
Nurse
AIDS
Care.
2011;22(5):388‒96.
Suatu organisasi sebagai sumber
WHO. Rubella vaccines: WHO position
paper-recommendations.
Vaccines.2011;29(48):8767‒8.
Tanpa nama penulis
Role of diagnostic imaging in early
diagnosis and stage determination of
rheumatoid
arthritis.Clin
Calcium.
2011;21(7):949‒53.
Artikel tidak dalam bahasa Inggris
Budiman A, Hilmanto D, Garna H. Musim
hujan sebagai factor risiko kambuh pada
anak penderita sindromnefrotik sensitive
steroid. MKB.2011;43(3):112‒6.
Volume dengan Suplemen
Van Spronsen FJ, Huijbregts SC, Bosch
AM,
Leuzzi
V.
Cognitive,
neurophysiological,
neurological
and
psychosocial outcomes in early-treated
PKU-patients: a start toward standardized
outcome
measurement
across
development. MolMetab. 2011;104 (Suppl
i):S45‒ 51.
Buku dan Monograf lain
Penulis Perorangan
Gatterman M. Whiplash: a patient centered
approach to management. Missouri:
Elsevier Mosby;2011
Editor (Penyunting) sebagai penulis
Nriagu J, Penyunting. Encyclopedia of
environmental health. Michigan: Elsevier
BV;2011.
Disertasi
Suprapto. Penjatuhan pidana mati terhadap
pelaku tindak pidana narkotika dan
psikotropika di Indonesia dalam perspektif
hak asasi manusia berdasarkan UUD 1945
[disertasi].
Bandung:
Universitas
Padjadjaran;2011
Organisasi sebagai penulis
UNAIDS.
Update
on
the
HIV
epidemic,2011.
Global
HIV/AIDS
response ‒ progress report 2011.
Geneva:WHO
Library
Cataloguing
Data;2011
Prosiding konferensi
Nicolai T. Homeopathy. Proceedings of the
Workshop alternative Medicines;2011
November
30;
Brussels.
Belgium.
Belgium: ENVI;2011.
Bab dalam buku
Belott PH, Reynolds DW. Permanent
pacemaker and implantabel cardioverterdefibrillator
implantation.
Dalam:
Ellenbogen K, wilkoff B, Kay GN, Lau
CP, penyunting. Clinical cardiac pacing,
defibrillation
and
resynchronization
therapy. Edisi ke-4. Birmingham: Elsevier
Inc;2011. Hlm. 443‒515.
Materi elektronik
Artikel Jurnal dalam format elektronik
Lipton B, fosha D. Attachment as a
transformative
process
in
AEDP:
operationalizing the intersection of
attachment
theory
and
affective
neuroscience. Journal of psychotherapy
Integration [Online Journal] 2011 [diunduh
25
November
2011].Tersediadari:
http://www.sciencedirect.com.
RESISTENSI PRIMER FIRST – LINE ORAL AGENTS ISONIAZID (INH)
PADA PENDERITA TB PARU BTA (+) DENGAN TUJUAN gen katG
MENGGUNAKAN NESTED PCR
Maruni Wiwin Diarti,1 Pancawati Ariami,1 Yunan Jiwintarum1
1
Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan
Abstrak
Tujuan dari penelitian ini adalah mempelajari dan mengetahui adanya mutasi gen katG
Mycobacterium tuberculosis sebagai sifat resistensi primer first – line oral agents isoniazid
(INH) pada penderita TB paru BTA (+). Penelitian ini merupakan penelitian Observasional
deskriptif yaitu mendeteksi adanya mutasi gen katG Mycobacteium tuberculosis sebagai sifat
resistensi primer first – line oral agents isoniazid (INH) pada penderita TB paru BTA (+).
Jumlah sampel 50 sampel sputum yang diperoleh dari 16 puskesmas, dengan teknik acidental
sampling. Metode pengumpulan data menggunakan Nested PCR dengan target gen katG
Mycobacterium tuberculosis. Hasil dari penelitian ini adalah analisis Nested PCR
membuktikan terjadinya mutasi pada daerah komplementer primer yang merupakan target gen
katG Mycobacterium tuberculosis sebanyak 11 sampel (22%) yang dinyatakan resisten atau
terjadi mutasi dan 39 (78%) dinyatakan sensitif atau tidak terjadi mutasi. Sebelas (11) sampel
yang terdeteksi terjadinya mutasi karena nucleotide mismatch.
Kata Kunci : Gen katG, Mycobacterium tuberculosis, Resistensi primer.
FIRST-LINE ORALAGENTSISONIAZID(INH) PRIMARYRESISTANCE
IN PATIENTSOF AFB(ACID FAST BACILLI)PULMONARY
TUBERCULOSIS(+)BYUSINGkatG GENE NESTED PCR
Abstract
The aim of this research are to learn and find out the katG gene mutation of Mycobacterium
tuberculosis as the primary resistence properties to the first-line oral agents isoniazid ( INH )
in patients with AFB ( Acid Fast Bacilli ) ( + ) pulmonary tuberculosis. This research applies
descriptive observasional mode due to the detection of the presence of katG gene mutation of
Mycobacterium tuberculosis as the primary resitance properties to the first-line oral agents
isoniazid( INH ) in patients with AFB ( Acid Fast Bacilli ) ( + ) pulmonary tuberculosis. Fifty
samples are obtained from 16 community health center by using accidental sampling
technique. Nested PCR is the method to analyze the katG gene of Mycobacterium
tuberculosis as the target in this research to collect data. The result of this research shows that
a mutation presence in the primer complimenter region of katG gene of Mycobacterium
tuberculosis as the target are found in 11 samples ( 22% ) wich are expressed as resistance
and 39 ( 78% ) are expressed as sensitive or have no mutation. All the eleven mutation
detected samples are caused by nucleotide mismatch
Keywords: Primary Resistance, katG gene, Mycobacterium tuberculosis.
1
penelitian yang dilakukan di 15 provinsi di
Indonesia (1979 – 1981) menunjukkan
angka rata- rata kesakitan sebesar 2,55 per
mil bagi seluruh Indonesia. Laporan
Departemen Kesehatan dalam profil
kesehatan Indonesia (1994) tercatat
kematian karena TB paru di rumah sakit
pada penderita rawat inap sebesar 3,6 %
pada tahun 1991, 4 % pada tahun 119 dan
4,9 % pada tahun 1993. Meningkatnya
angka kematian di rumah sakit yang
disebabkan
karena
TB
Paru,
kemungkinannya
karena
bakteri
Mycobacteium
tuberculosis
telah
mengalami resistensi terhadap Obat Anti
Tuberculosis (OAT).
Tiap proses dalam pengobatan yang
tidak tuntas, gagal obat dan kelalaian
dalam jadual minum obat menyebabkan
perubahan pada mutasi kromosom baik
berupa mutasi titik, dilesi ataupun insersi.
Mutasi
kromosom
mengakibatkan
perubahan struktur ribosim yang berfungsi
sebagai target site, perubahan struktur
dinding sel atau membran plasma bakteri
menyebabkan bakteri tidak tertembus obat,
perubahan reseptor permukaan dan
hilangnya dinding bakteri menyebabkan
perubahan bentuk L atau spheroplast dari
basil Mycobacteium tuberculosis yang
bersifat resisten. Resistensi obat primer
dan acquired dapatdisebabkan karena
pengobatan yang tidak adekuat, obatnya
sub – standart, tidak sesuai atau ― mono
terapy‖ (terapi satu obat). Proses biologik
alamiah menyebabkan daya tahan mikroba
melakukan upaya resistensi yang dapat
ditransmisikan secara genetik ketika
diobati dengan suatu antimikroba atau
penolakan (ekspulsi) fisik obat tersebut.7
Program Pemberantasan TB Paru di
Indonesia dilakukan oleh Direktorat
tuberculosis, yang berada dibawah
Direktorat
Pemberantasan
Penyakit
Menular langsung (P2ML). Pengobatan
diberikan secara gatis pada penderita TB
Paru dengan BTA positif pada usia
produktif 15 tahun ke atas. Angka
kesembuhan selama pelita V antara 50 %
s.d 80 %. Sebagian dari hasil penelitian
Pendahuluan
Penyakit TB Paru merupakan penyakit
infeksiyang disebabkan oleh bakteri
Mycobacterium tuberculosis. Penyakit TB
Paru merupakan problema masyarakat
dunia,
khususnya
di
negaranegaraberkembang termasuk Indonesia.
Penyakit tuberculosis sebagai salah satu
penyakit infeksi penyebab kematian
terbesar di Indonesia. Sampai sekarang
penyakit TB Paru belum ada satu negara
yang menyatakan diri bebas dari penyakit
ini.
Belanda
dan
Skandinavia
memperkirakan bahwa TB paru akan
terbasmi pada tahun 2025. Amerika Serikat
telah membuat program pada tahun 1988
untuk bebas TB Paru pada tahun 2010.
Jepang akan membasmi penyakit TB Paru
sampai tahun 2058.2 Menurut laporan
WHO penyakit TB Paru di Indonesia
tercatat 320 kasus per 100.000 penduduk
pada tahun 1991, 300 per 100.000 pada
tahun 1992 dan 247 kasus pada tahun
1993. Perkiraan angka kejadian untuk
semua golongan umur pada tahun 2000
dan 2005 adalah 243 dan 247 per 100.000
penduduk. Selanjutnya berdasarkan hasil
Riskesdas tahun 2010 bahwa periode
prevalence TB Paru 2009/2010 adalah
sebesar 725/ 100.000 penduduk. Lima
provinsi yang memiliki angka prevalensi
TB Paru paling adalah : Papua 1.441 per
100.000 penduduk, Banten 1.282 per
100.000 penduduk, Sulawesi utara 1.221
per 100.000 penduduk, Gorontalo 1.200
per 100.000 penduduk dan DKI Jakarta
1.032 per 100.000 penduduk.2;10
TB saat ini menyebabkan kematian
tertinggi diantara penyakit infeksi dan
merupakan pembunuh utama kelompok
usia produktif. TB kembali merebak di
awal tahun 1990 yang sebelumnya telah
dapat dikontrol dengan menerapkan
strategi DOTS yang diadopsi dari WHO
oleh Program Gerakan Nasional TB
(Gerdunas TB) dimana 98 % populasi telah
dapat dijangkau pada tahun 2001. Di
dalam buku Sistem Kesehatan Nasional
disebutkan bahwa angka kesakitan TB
Paru adalah sebesar 3 per mil. Hasil
2
dengan tes kepekaan terhadap OAT
menyatakan
basil
Mycobacteium
tuberculosis telah mengalami resisten
terhadap obat anti tuberculosis, antara lain
oleh Kosasih yaitu INH 37,5 %, Rifamfisin
5,6%, Kamamisin 48,28 %, Streptomysin
62,5%, PAS 62,5 %, Etambuthol 0.86 %
dan
Pirazinamid
0,54%.
Telenti
melaporkan
adanya
spesies
Mycobacterium yang mengalami resisten
terhadap Rimfapicin yang diamati secara
perubahan mutasi gen yaitu sebanyak
22,7%. Zhang menemukan bahwa gen
katG yang menyandi enzim katalase dan
peroksidase berkaitan langsung dengan
sifat resistensi M.tuberculosis terhadap
isoniazid (INH).
Hasil Penelitian Salim dkk, 2010
yang melakukan penelitian pola kepekaan
kuman M.tuberculosis terhadap OAT
menggunakan teknik PCR dari sampel
sputum dan pleura penderita TB yang
berobat di RSU Provinsi NTB dari 17
isolat M.TBC yang diperiksa diperkirakan
telah mengalami resistensi terhadap
rimfapicin sebanyak 23,53 % (4
isolat),etambuthol 29,4 % (5 isolat) dan
isoniazid 35,3% (6 isolat). Sebanyak 5
isolat (29,4 %) dapat dikatagorikan sebagai
isolat M. Tuberculosis MDR .6;13;11
Isoniazid (INH) termasuk obat lini pertama
pengobatan TB selama lebih dari 40 tahun
dengan cara memblok sintesis asam
mikolat dinding sel yang merupakan
komponen
amplop
Mycobacteium
tuberculosis.
INH
saat
ini
juga
direkomendasikan untuk mencegah TB
pada kelompok pasien HIV dan anak–anak
yang tinggal bersama penderit TB paru.
Bukti-bukti genetik menunjukkan bahwa
mutasi gen-gen katG, merupakan penyebab
kekebalan INH, dengan persentase mutasi
gen katG sebesar 60% - 70%. Modifikasi
katG, baik sebagian atau delesi total, dan
mutasi titik atau insersi menyebabkan
penurunan aktivitas katalase dan tingginya
resistensi terhadap INH. Katalase ini
esensial untuk mengaktifkan INH menjadi
derivat hidrazin yang aktif. Data dari RS
persahabatan tahun 1993 menunjukkan
resistensi Mycobacterium tuberculosis
terhadap INH adalah 7,7 %, sedangkan
penelitian di provinsi DKI, Sumatera Barat
dan Sulawesi Selatan brkisar antara 11,9 %
dan 15,6%.
Hasil penelitian Syaifudin
dkk,
tahun 2005 menemukan dari 70 sampel
yang diuji sifat resistensi INH berdasarkan
mutasi gen katG dengan menggunakan
metode SSCP radioaktif didapatkan 12
sampel (7,1%) telah mengalami mutasi
pada gen katGnya atau bersifat resisten.
Perbedaan angka rersistensi ini disebabkan
karena sifat fenotipe dan genotipe dari
Mycobacterium
tuberculosis
secara
geografis yang berbeda. Frekuensi dan
jenis mutasi pada gen katG juga spesifik
karena perbedaan geografis sehingga
sangat perlu dilakukan pemeriksaan sifat
resistensi gen katG pada setiap daerah,
terutama kasus suspek dan BTA (+) nya
besar.7 Syaifudin dkk,2005, menyatakan
bahwa
resistensi
Mycobacterium
tuberculosis terhadap obat anti INH
disebabkan karena mutasi beberapa gen
seperti katG, inhA,kasA,ahpC, dan oxyR.
Beberapa penelitian menyatakan
bahwa frekuensi strain bakteri yang
resisten INH mengalami mutasi pada gen
katG sebesar 60-70%,selebihnya (30-40%)
resistensi disebabkan mutasi pada gen lain
seperti inhA dan kasA.Stella L,2008 juga
menulis bahwa insiden resistensi terhadap
INH kebanyakan disebabkan pada mutasi
asam amino 135 dari gen katG,inilah
yangmenjadi dasar pemiihan gen katG
untuk dijadikangen target dalam deteksi
keberadaan
resistensi
primerMycobacterium
tuberculosis
dalampenelitian ini.12
Walaupun di Indonesia beberapa
laporan
penelitian
resistensi
Mycobacterium
tuberculosis
telah
dilakukan dengan persentase (%) kasus
yang berbeda setiap daerah. Perbedaan
angka rersistensi ini disebabkan karena
sifat fenotipe dan genotipe dari
Mycobacterium
tuberculosis
secara
geografis yang berbeda. Frekuensi dan
jenis mutasi pada gen katG juga spesifik
3
karena perbedaan geografis sehingga
sangat perlu dilakukan pemeriksaan sifat
resistensi gen katG pada setiap daerah,
terutama kasus suspek dan BTA (+) nya
besar.
Menurut data Riskesdas 2010
periode prevalence TB di NTB 0,927 %
dan periode suspek TB adalah 2,877 %.
Pada
pemeriksaan
setelah
pengobatan sering didapatkan bentuk
fragmented yang sering disebut sebagai
bangkai bakteri, namun walaupun dalam
bentuk fragmented basil Mycobacterium
belum bisa dikatakan mati karena DNA
nya masih aktif atau masih terdapat mRNA
pada intisel, kalau pengobatan dihentikan,
bentuk ini bisa menjadi bentuk vegetatif
basil yang utuh dan menyebabkan
kekambuhan. Hal ini yang memicu
terjadinya resistensi terhadap obat anti
tuberculosis. Bila bentuk resistensi ini
terdapat pada droplet sputum penderita dan
terhirup oleh
orang sehat
dapat
menyebabkan
penularan
infeksi
Mycobacterium tuberculosis yang resisten,
kondisi ini disebut penderita resistensi
primer, karena mendapatkan infeksi
pertama kali oleh bakteri Mycobacterium
tuberkulosis yang resisten. Fenomena
tersebut
bisa
dibuktikan
dengan
pemeriksaan biologi molekuler dengan
menganalisis mutasi gen yang mengalami
mutasi. Mengetahui pola resistensi INH
karena mutasinya gen katG sangatlah
penting, karena dapat menyebabkan
kekambuhan dan sifat kebal bakteri
Mycobacterium tuberculosis terhadap INH
dan bila basil ini menular pada orang lain
dapat menyebabkan resistensi primer.
tuberculosis sebagai
sifat resistensi
primerfirst – line oral agents isoniazid
(INH) pada penderita TB paru BTA (+)
dengan menggunakan metode Nested PCR.
Jumlah sampel yang didapatkan adalah 50
sampel sputum. Pengambilan sampel
menggunakan
teknik
non
random
accidental sampling yaitu sampel sputum
pagi hari dari penderita TB paru baru yang
kebetulan datang memeriksakan diri ke
puskesmas dengan hasil pemeriksaan
mikroskopis BTA (+). Sampel sputum
yang diambil adalah sampel sputum pagi
hari dari penderita, ditampung dalam
copok plastik steril. Dari sampel tersebut
dibuat 2 buah hapusan dan dicat BTA
metode Ziehln – Nelssen dan dilakukan
pembacaan BTA. Sampel yang masih
dalam copok plastik selanjutnya dilakukan
analisa molekuler metode Nested PCR.
Ekstraksi DNA dari sampel sputum
dengan metode DNA-zol dengan cara
dimasukkan 50 µl sampel ke tabung
eppendroff yang telah berisi 200 µl larutan
DNA-zol. Kemudian tabung dibolak-balik
10 kali dan di vorteks 2 menit. Diputar
10.000 g selma 10 menit. Supernatan
dipindahkan ke tabung baru dan
ditambahkan etanol absolut 200 ul dan
diinkubai 1-3 menit suhu kamar. Dicampur
bagian inversi sampel dan diputar 4000 g
selama 5 menit. Supernatan dibuang dan
pellet dicuci 2 kali dengan etanol 80%
kemudian diputar 4000 g selama 5 menit.
Diresuspensikan pellet dengan 50 ul
ddH2O. Dipisahkan supernatan (produk
ekstraksi). Dilakukan amplifikasi hasil
ekstraksi DNA dalam 50 µl volume reaksi
yang terdiri dari :
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian
Observasional deskriptif yaitu mendeteksia
danya mutasi gen katGMycobacteium
4
Komponen
Volume Komponen
Konsentrasi final
ddH20
30,75 µl
1X
Buffer ( - ) Mg 10 X
5 µl
1,5 mM
MgCl2 25 mM
3 µl
@ 200 µM
dNTP @ 10 mM
1 µl
1,0 µM
Forward Primer 50 pmol
2,5 µl
1,0 µM
Reverse Primer 50 pmol
2,5 µl
1,25 U / 50 µl
TaqPolymerase 5 U / µl
0,25 µl
< 0,5 µg / 50 µl
Templete
5 µl
Total
50 µl
Tabel 1. Komposisi reaksi untuk amplifikasi hasilekstraksi DNA
Kontrol positif (+), DNA template sampel
diganti dengan DNA isolat M. tuberculosis
dan kontrol negatif (-) menggunakan
aquabidest steril.Pencampuran bahan –
bahan tersebut dilakukan pada eppendrof
200 ml dalam box pendingin supaya DNA
dan ensim yang digunakan tidak rusak.
Campuran tersebut diatas, kemudian di
spin down dan selanjutnya di masukkan
dalam
1.
2.
3.
mesin PCR. Total volume reaksi menjadi
50 µl dan dimasukkan dalam thermal
cycler. Kondisi PCR dalam amplifikasi ini
dituliskan pada tabel 2. Produk PCR (hasil
amplifikasi) di analisis menggunakan
elektroforesis
gel
agarose
2%
menggunakan
penyelator
ethidium
bromida dan dibaca dibawah sinar ultra
violet.
Hot start
94 oC selama 5 menit
Denaturasi ( pemisahan DNA )
94 oC selama 40 detik
Annealing ( penempelan primer )
64 oC selama 40 detik
Elongasi / Ekstensi ( pemanjangan DNA )
72 oC selama 1 menit
Elongasi post PCR
72 oC selama 10 menit
Tabel 2. Kondisi PCR pada proses amplifikasi
5’- GGAAACTGTTGTCCCATTTCG- 3’
Denganhasilproduk PCR 105 p
Pasangan primer 2 :
KatG2R
5’-GAGCCCGATGAGGTCTATTG - 3’
KatG2F
5’- CTCTTCGTCAGCTCCCACTC- 3’
Denganhasilproduk PCR 464 bp
Kondisi Amplifikasi dan elektroforesis
Nested PCR sama dengan PCR tahap
pertama / pemeriksan TB diagnostik. Data
yang diperoleh dianalisa secara deskriptif
dengan kriteria : Jika sampel PCR positif
(+) baik dengan primer diagnostik TB1-2
dan primer katG1-2 maka isolat M.
Tuberculosis
pada
sampel
sputum
penderita TB tersebut tidak mengalami
mutasi pada daerah komplementer primer
atau urutan basa cocok dari target gen
katGnya, sehingga bersifat sensitif
Keterangan : Hot Start s/d Elongasi
dilakukansebanyak 35 siklus
Susunan primer yang digunakan untuk
mengetahui pola resistensi first – line oral
agents isoniazid (INH) terhadap gen katG
Mycobacterium tuberculosis
pada TB
paru baru dengan BTA (+) menggunakan
teknik
PCR dapat dilihat pada tabel 3. Nested
PCR dilakukan pada sampel yang positif
pada PCR tahap I / pemeriksan TB
diagnostik. Pada Nested PCR ini dilakukan
dua tahap dengan menggunakan 2 pasang
primer gen katG. Adapunpasangan basa
dari 2 pasang primer tersebutadalah :
Pasangan primer 1 :
KatG1R
5’-TGGGCTGGAAGAGCTCGTAT-3’
KatG1F
5
terhadap masing–masing primer yang
bersangkutan. Jika sampel PCR positif (+)
dengan primer diagnostik TB1-2 tetapi
negatif (-) dengan primer katG1-2 atau
positif (+) dengan primer gen katG1 tetapi
negatif (-) dengan primer gen katG2, maka
isolat M. Tuberculosis pada sampel sputum
penderita TB tersebut mengalami mutasi
pada daerah komplomenter primer atau
urutan basa tidak cocok/nucleutida
mismatch dari target gen katGnya,
sehingga bersifat resisten terhadap
masing–masingprimer
yang
bersangkutan.11.
No.
Nama primer dan susunan basa
Panjang Produk (bp)
oligonukleutida
1.
Tb1 5’ – TACTACGACCACATCAACCG
390
– 3’
Tb2 5’ – GGGCTGTGGCCGGATCAGCG
– 3’
2.
KatG1R 5’105
TGGGCTGGAAGAGCTCGTAT- 3’
KatG1F 5’GGAAACTGTTGTCCCATTTCG- 3’
3.
KatG2R 5’464
GAGCCCGATGAGGTCTATTG - 3’
KatG2F 5’CTCTTCGTCAGCTCCCACTC- 3’
Tabel 3.Susunan primer yang digunakan untuk mengetahui pola resistensi first – line oral
agents isoniazid (INH) terhadap gen katG Mycobacterium tuberculosis
Gambar 1. Hasil analisa PCR diagnostik
menggunakan pasangan primer Tb1 dan
Hasil
Tb 2.
1. Hasil PCR diagnostik dari sampel
sputum penderita TB Paru baru.
2. Hasil PCR gen katGMycobacterium
Sampel sputum sebanyak 50 dieksraksi
tuberculosis dengan metode Nested
dengan menggunakan metode DNAzol,
PCR.
dilakukan PCR diagnostik dengan
Nested PCR dilakukan pada 50 sampel
menggunakan pasangan primer Tb 1
yang positif pada PCR tahap I /
dan Tb 2. PCR ini digunakan untuk
pemeriksan TB diagnostik untuk
mendeteksi
DNA
Mycobacterium
mempelajari dan mengetahui adanya
tuberculosis. Hasil analisis PCR TB
mutasi
gen
katGMycobacterium
pada 50 sampel sputum dari penderita
tuberculosis
sebagai
sifat resistensi
TB Paru BTA (+) dinyatakan 50
primer first – line oral agents isoniazid
(100%) positif (+), ini membuktikan
(INH) pada penderita TB paru BTA
bahwa pada sampel sputum tersebut
(+). Nested PCR dilakukan dua tahap
terdapat
DNA
Mycobacterium
dengan menggunakan 2 pasang primer
tuberculosis. Gambar hasil analisis PCR
gen katG. Adapunpasangan basa dari 2
terlihat pada gambar 1.
pasang primer tersebutadalah :
Pasangan primer 1 :
KatG1R
5’-TGGGCTGGAAGAGCTCGTAT-3’
390 BP
KatG1F
5’-GGAAACTGTTGTCCCATTTCG3’
dengan produk PCR 105 bp
Pasangan primer 2 :
6
KatG2R
5’-GAGCCCGATGAGGTCTATTG-3’
KatG2F
5’-CTCTTCGTCAGCTCCCACTC-3’
dengan produk PCR 464 bp
Kondisi
Amplifikasi
dan
elektroforesis Nested PCR sama dengan
PCR tahap pertama / pemeriksan TB
diagnostik. Analisis nested PCR untuk
mengetahui terjadinya mutasi pada
daerah komplemener primer yang
merupakan
target
gen
katGMycobacterium
tuberculosis
terdapat 11 sampel (22%) yang
dinyatakan resisten atau terjadi mutasi
dan 39 (78%) dinyatakan sensitif atau
tidak terjadi mutasi. Sebelas (11)
sampel yang terdeteksi terjadinya
mutasi pada daerah komplementer
primer karena ketidak cocokan urutan
basa
atau
terjadinya
nucleotide
mismatch. Gambar hasil analisis nested
PCR terlihat pada gambar 2 dan3.
Aditama,dkk,1995 melaporkan bahwa
resistensi primer terhadap INH sebesar
2,16%, Streptomycin 1,23%, rifampisin
0,50%,etionamid 0,16%,kanamisin 0,08%
dan pirazinamid 0,04%.1
Resistensi primer adalah keadaan
resistensi terhadap OAT pada penderita
yang belum pernah mendapat pengobatan
dengan OAT sebelumnya. Faktor resiko
terjadinya resistensi primer OAT adalah
kasus infeksi oleh Mycobacterium
tuberculosis yang resistensi OAT. Keadaan
resistensi primer ini dijumpai secara
geografis pada tempat yang mempunyai
resiko tinggi untuk resistensi OAT.
Resistensi obat anti tuberculosis (OAT)
disebabkan oleh mutasi khromosomal
terhadap masing – masing OAT. Pengaruh
terhadap derajat mutasi dalam kasus klinik
terletak pada proporsi kuman yang resisten
dan perkembangbiakan kuman yang
resisten. Proses resistensi ini dimulai
dengan
mutasi
genetik,
diikuti
perkembangbiakan populasi yang resisten,
kemudian menimbulkan bakteri yang
menjadi resisten terhadap OAT. 8
Resistensi obat primer dan acquired dapat
disebabkan karena pengobatan yang tidak
adekuat, obatnya sub – standart, tidak
sesuai atau ― mono terapy‖ (terapi satu
obat).
Proses
biologik
alamiah
menyebabkan daya
tahan mikroba
melakukan upaya resistensi yang dapat
ditransmisikan secara genetik ketika
diobati dengan suatu antimikroba atau
penolakan (ekspulsi) fisik obat tersebut.7
Hasil
penelitian
ini
dengan
menggunakan metode Nested PCR pada
target mutasi gen katGMycobacterium
tuberculosis membuktikan bahwa telah
terdapat resistensi primer Mycobacterium
tuberculosis terhadap obat Isoniazid
(INH). Dari 50 sampel sputum terdapat11
sampel (22%) yang dinyatakan resisten
atau terjadi mutasi pada gen katG dan 39
(78%) dinyatakan sensitif atau tidak terjadi
mutasi. Sebelas (11) sampel yang
terdeteksi terjadinya mutasi pada daerah
komplementer primer karena ketidak
cocokan urutan basa atau terjadinya
Gambar 2. Hasil analisa PCR
menggunakan pasangan primer gen
katG1
Gambar 3. Hasil analisa PCR
menggunakan pasangan primer gen
katG2
Pembahasan
Pengobatan dan kontrol terhadap penyakit
TBC telah dilakukan, tetapi sudah lama
dilaporkan adanya resistensi primer pada
Mycobacterium
tuberculosis.
7
nucleotide mismatch. Timbulnya resistensi
terhadap obat anti tuberculosis di Mataram,
NTB
telah
di
laporkan
oleh
Salim,dkk,2010 yang membuktikan telah
terjadi resistensi terhadap OAT pada
sampel cairan pleura dari pasien dengan
diagnosis TB paru berdasarkan hasil
pemeriksaan radiologi, dari 17 cairan
pleura yang diperiksa dengan teknik PCR
didapatkan 35,5% telah resisten terhadap
isoniazid, 23,5% mengalami resisten
terhadap rifampicin dan 29,4% mengalami
resisten terhadap etambutol dan sebanyak
5 sampel pleura dapat dikatagorikan
sebagai MDR.
Pada
simposium
resistensi
antimikroba di Indonsia, Ida Parwati,dkk
dalam penelitiannya di Jawa Barat
menyatakan bahwa pada kasus tuberculosis
baru (n=644) sebanyak 50 pasien resisten
terhadap isoniazid, 43 pasien (67%)
resisten rifampisin, 28 pasien (4,3%)
resisten terhadap etambutol,44 pasien
(6,8%) resisten terhadap streptomisin dan
24 orang (3,7%) mengalami Multi Drug
Resistant Tuberculosis (MDR TB).12
Isoniazid adalah derivat nikotinamid yang
juga
dikenal
dengan
isonikotinic
acidhydrazide (INH) dengan rumus kimia
4-pyridinecarboxylic
acid
hidrazide.
Target kerja isoniazid sebagai anti
tuberculosis adalah dengan menghambat
enoyl-acyl carrier protein reduktase, yang
diperlukan dalam biosintesa asam mikolat
dinding sel Mycobacterium tuberculosis.
Isoniazid
menghambat
pembentukan
dinding sel bakteri dalam bentuk isoniazid
aktif yaitu setelah mengalami oksidas.
Aktivasi isoniazid memerlukan enzim
catalase – peroksidase (gen katG) dan
hidrogen peroksidase yang dihasilkan
Mycobacterium tuberculosis. Gen katG
adalah satu – satunya enzim yang dapat
mengaktifkan isoniazid, dengan demikian
mutasi gen katG strain Mycobacterium
tuberculosis menyebabkan Mycobacterium
tuberculosis menjadi resisten terhadap
isoniazid. Selain itu masih terdapat gen
lain yang dapat menyebabkan resistensi
terhadap isoniazid seperti gen inhA yang
diperlukan Mycobacterium tuberculosis
dalam pembentukan asam mikolat pada
Mycobacterium
tuberculosis.5Isoniazid
bersifat bakterisidal yang menghinhibisi
sintesa mikolat pada dinding sel
Mycobacterium tuberculosis. Absorbsi
sempurna pada keadaan perut kosong dan
berkurang setelah makan.
Obat didistribusikan dengan luas dan
melewati blood brain barrier. Enzim
utama
yang
mengkatalisasi
metabolismenya adalah asetil transferase,
yang mempunyai ekspresi yang variabel,
menyebabkan variasi yang luas pada masa
paruhnya. Obat ini diindikasikan untuk
semua bentuk tuberculosis dengan kuman
yang sensitif baik untuk pencegahan
maupun pengobatan. Insiden resistensi
terhadap INH kebanyakan disebabkan pada
mutasi asam amino 135 dari gen katG.12
Resistensi terhadap obat anti tuberkulosis
(OAT) ada 3 macam yaitu (1) mutan yang
resisten, (2) resistensi sekunder/resistensi
yang diperoleh, dan (3) resistensi primer.
Resistensi terhadap OAT dapat timbul
karena beberapa faktor antara lain
pemberian terapi TB yang tidak adekuat
akan menyebabkan mutants resisten. Hal
ini amat ditakuti kaena dapat terjadi
resisten terhadap OAT lini pertama, masa
infeksius yang terlalu panjang akibat
keterlambatan
diagnosis
akan
menyebabkan penyebaran galur resisten
obat. Penyebaran ini tidak hanya pada
pasien di rumah sakit tetapi juga pada
petugas rumah sakit, asrama, penjara dan
keluarga pasien, pasien dengan TB –MDR
diterapi dengan OAT jangka pendek akan
tidak sembuh dan akan menyebarkan
kuman yang resisten, pasien dengan OAT
yang resisten terhadap kuman tuberkulosis
yang mendapat pengobatan jangka pendek
dengan monoterapi akan menyebabkan
bertambah banyaknya OAT yang resisten
hal ini menyebabkan seleksi mutasi
resisten karena penambahan obat yang
tidak multiple dan tidak efektif .9;13;3
Pada
pemeriksaan
setelah
pengobatan sering didapatkan bentuk
fragmented yang sering disebut sebagai
8
bangkai bakteri, namun walaupun dalam
bentuk fragmented basil Mycobacterium
belum bisa dikatakan mati karena DNA
nya masih aktif atau masih terdapat mRNA
pada intisel, kalau pengobatan dihentikan,
bentuk ini bisa menjadi bentuk vegetatif
basil yang utuh dan menyebabkan
kekambuhan. Hal ini yang memicu
terjadinya resistensi terhadap obat anti
tuberculosis. Bila bentuk resistensi ini
terdapat pada droplet dahak penderita dan
terhirup oleh
orang sehat
dapat
menyebabkan
penularan
infeksi
Mycobacterium tuberculosis yang resisten,
kondisi ini disebut penderita resistensi
primer, karena mendapatkan infeksi
pertama kali oleh bakteri Mycobacterium
tuberkulosis yang resisten. Fenomena
tersebut
bisa
dibuktikan
dengan
pemeriksaan biologi molekuler dengan
menganalisis mutasi gen yang mengalami
mutasi.
Mycobacterium tuberculosis. Cermin
dunia kedokteran.Jakarta.1995.
2. Asa M,.
Harapan dan tantangan
aplikasi reaksi rantai polimerase
(PCR)
Multipleks
dalam
pemberantasan TB Paru di Indonesia
(suatu pendekatan biologi molekuler).
Suplement vol 26.2005.
3. Crofton SJ; Horne N; Miller F.
Tuberkulosis Klinis, Widya Medika,
Jakarta.2002.
4. Dikes Lotim. Profil Bidang P2PL
Tahun 2010.
5. Hilaluddin,. Multi-Drug Resistensi
(MDR) Pada Penderita tuberculosis
Paru
Dengan
Diabetes
Melitus,Laporan Program Pendidikan
Dokter Spesialis I Paru.2008.
6. Kosasih,O, Soemantri E.S, dan
Soewarno W,. Resistensi Kuman
Tuberculosis terhadap beberapa jenis
obat anti tuberculosis.Medika. 1989.
7. Syaifudin, Marlina Rosilawati, Harris
Irawa, Budiman Bela. Identifikasi
Mycobacterium
tuberclosis
dan
analisa mutasi gen rpoB dan katG
penyebab resistensi ganda dengan
teknik molekuler. 2005.
8. Paul Boekitwetan. Resistensi Multiple
Obat
Antituberkulosis.Bagian
Mikrobiologi Fakultas Kedokteran
Universitas Trisakti.Jakarta.1999.
9. Priyanti ZS. Diagnosis Dan Faktor
Yang Mempengaruhi Terjadinya TBMDR. Departemen Pulmonologi dan
Ilmu Kedokteran Respirasi FKUI-RS
Persahabatan.Jakarta.2008.
10. Riskesdas. Badan Penelitian dan
Pengembangan
Kesehatan
Kementerian Kesehatan R.I. Jakarta
2010.
11. Salim ST, Haris W, Zainul M.
Penelitian Pola Kepekan Kuman
Mycobacterium
Tuberculosis
Terhadap
Obat
Anti
–
TB
Menggunakan Teknik PCR. Jurnal
Kedokteran Mataram, Nomor 6 Juni
2010.
Kesimpulan
1. Sampel sputum dari penderita TB paru
BTA (+) sebanyak 50 (100%) sampel
dinyatakan positif dengan menggunakan
PCR diagnostik Tb1 dan Tb2.
2. Analisa Nested PCR membuktikan
terjadinya
mutasi
pada
daerah
komplemener primer yang merupakan
target
gen
katGMycobacterium
tuberculosis sebanyak 11 sampel (22%)
yang dinyatakan resisten atau terjadi
mutasi dan 39 (78%) dinyatakan sensitif
atau tidak terjadi mutasi.
Saran
Perlu dilakukan penelitian pemetaan
mutasi
gen
resisten primer dari
Mycobacterium tuberculosis dari berbagai
daerah Nusa Tenggara Barat untuk
mendapatkan informasi mutasi gen
Mycobacterium tuberculosis yang berguna
bagi program pemberantasan TBC.
Daftar Pustaka.
1.
Aditama,T,Y.,Chairil A.S.,dan Herry
B.W,. Resistensi primer dan sekunder
9
12. Stella I,
tuberculosis
2008.
Tinjauan Kepustakaan
Paru.FK UI. Jakarta;
Zhang, Y, Heym B, Allen B, Young D and
Cole S. The catalase – peroxidase gene and
isoniazide resistance of Mycobacterium
tuberculosis. Nature; 19
10
PENINGKATAN AKTIVITAS KOLINESTERASE DALAM DARAH PETANI YANG
TERPAPAR PESTISIDA GOLONGAN ORGANOFOSFAT YANG DI BERI JUS
STRAWBERI (Fragaria chiloensis)
1
Haerul Anam1, Maruni Wiwin Diarti 1, Irma Haerani1
Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan
Abstrak
Penelitian ini bertujuan mengetahui aktivitas enzim kolinesterase dalam darah petani yang
terpapar pestisida golongan organofosfat sebelum dan sesudah pemberian jus strawberi
(Fragaria chiloensis). Jenis penelitian ini penelitian eksperimental dengan rancangan pre-post
design. Subjek penelitian petani penyemprot pestisida golongan organophosphat dengan
jumlah 32 orang. Pemeriksaan aktivitas enzim kolinesterase dilakukan menggunakan
tintometer kit komparator pembanding warna kolinesterase. Hasil penelitian menunjukkan
rerata aktivitas enzim kolinesterase pada petani sebelum pemberian jus strawberi sebesar
71,48% dan sesudah pemberian jus sebesar 82,42%, terjadi peningkatan aktivitas enzim
kolinesterase adalah 10,48%. Kesimpulan: terjadi peningkatan aktivitas enzim kolinesterase
setelah pemberian jus strawberi.
Kata kunci: Jus Strawberi, Kolinesterase, Pestisida
THE INCREASE IN BLOOD CHOLINESTERASE ACTIVITY FARMERS GROUP
EXPOSED ORGANOPHOSPHATE PESTICIDES WERE GIVEN JUICE
STRAWBERRIES (FRAGARIA CHILOENSIS)
Abstract
The aim of this research is to investigate the activity of the enzyme cholinesterase in the
farmer’s blood who had exposed to organophosphate pesticide groups before and after
threated with strawberry juice (Fragaria chiloensis). The design of this research is
experimental research with pre-post design. Subjects in this research are the farmers who
apply pesticides of organophosphate group wich numbered of 32 people. Examination of
cholinesterase enzyme activity was performed with Tintometer Color Comparator
Cholinesterase kit. The results of this research show a mean activity of the enzyme
cholinesterase in the farmer before juice strawberry intake is 71.48% and 82.42% after intake
the strawberry juice, this shows an increase of enzyme cholinesterase activity of 10.48%.
Conclusion: There is an increase in the enzyme cholinesterase activity after administration of
strawberry juice.
Keywords: Strawberry Juice, Cholinesterase, Pesticides
11
Enzim kolinesterase memiliki makna
patologis yang terletak pada penurunan
aktivitas. Enzim kolinesterase dihambat
oleh senyawa organofosfat. Penurunan
aktivitas enzim kolinesterase dalam darah
merupakan petunjuk sensitif terhadap
kontaknya seseorang oleh pestisida.
Penurunan aktivitas enzim kolinesterase ini
dibuktikan juga dengan hasil penelitian4 di
Dusun Kembang Kuning desa Gerimax
kecamatan Narmada kabupaten Lombok
Barat, yang menyatakan bahwa hasil
pemeriksaan aktivitas enzim kolinesterase
pada darah petani yang terpapar pestisida
setelah kontak 24 jam secara rata – rata
adalah
56,25%,
aktivitas
enzim
kolinesterase pada darah petani yang
kontak setalah 48 jam secara rerata adalah
61,25% dan aktivitas enzim kolinesterase
pada darah petani yang kontak setelah 72
jam secara rerata adalah 75,0%. Petani
yang mengalami keracunan ringan
sebanyak 19 orang, petani yang mengalami
keracunan sedang sebanyak 6 orang, petani
yang mengalami keracunan berat sebanyak
1 orang, serta petani yang dengan aktivitas
normal sebanyak 4 orang, artinya bahwa di
dalam darah petani ada kandungan
pestisida khususnya dari golongan
organofosfat yang menghambat aktivitas
enzim kolinesterase sehingga mengalami
penurunan aktivitas didalam tubuh 4.
Penurunan
aktivitas
enzim
kolinesterase
dapat
diatasi
dengan
mengkonsumsi zat yang mengandung
antioksidan terutama asam askorbat
(vitamin C) dan senyawa fitokimia lain
misalnya buah strawberi. Strawberi
merupakan tanaman buah yang berupa
herba yang ditemukan pertama kali di
Chili, Amerika latin. Pemanfaatan buah
ini sangat luas baik langsung dimakan
sebagai buah segar maupun diolah menjadi
berbagai bahan makanan seperti kue, es
krim,
roti,
selai,
jus.5Strawberi
mengandung senyawa asam elagik,
kuersetin, kaempferol, asam fenolat, dan
antosianin sebagai antioksidan yang dapat
mencegah penggumpalan darah dan
memperbaiki fungsi sel. Penelitian ini
Pendahuluan
Penggunaan pestisida di Indonesia
semakin meningkat dari tahun ke tahun.
Sebagian besar pestisida ini digunakan
dalam sektor pertanian dan perkebunan
untuk mengendalikan jasad pengganggu
yang dapat menurunkan hasil panen.1
Penggunaan pestisida tersebut pada
umumnya memberikan manfaat serta
dukungan keberhasilan pembangunan di
bidang pertanian, kehutanan, perkebunan,
dan kesehatan masyarakat. Di sisi lain
penggunaan pestisida dapat berakibat
buruk terhadap manusia dan lingkungan.
Pestisida umumnya beracun karena
mengandung zat kimia berbahaya seperti
pestisida golongan organfosfat dan
karbamat. Bahaya pestisida sebagian besar
menyerang golongan petani karena sering
kontak dengan pestisida. Pestisida masuk
ke dalam tubuh petani dapat melalui
penyerapan kulit, inhalasi, pemakaian
kaleng bekas pestisida untuk tempat air,
memakai baju tidak tertutup, dan tidak
menggunakan alat pelindung diri.2
Hasil
penelitian
Anam3
membuktikan bahwa persentase terbesar
petani yang keracunan pestisida karena
tidak menggunakan alat pelindung diri
(APD) di Dusun Batu Mediri, Kota
Mataram. Sejumlah 9 orang petani
penyemprot yang menggunakan APD 4
orang mengalami keracunan ringan, 5
orang tidak mengalami keracunan dan 11
orang tidak mengunakan APD. Dari 11
orang yang tidak menggunakan APD 10
orang mengalami keracunan ringan dan 1
orang mengalami keracunan sedang.
Petani yang terpapar pestisida akan
mengalami
penurunan
aktivitas
kolinesterase
di
dalam
tubuh.
Kolinesterase merupakan katalis biologis
yang berperan menjaga agar otot, kelenjar,
dan sel saraf bekerja harmonis. Jika
aktivitas kolinesterase jaringan tubuh
menurun, maka tidak dapat memengaruhi
aktivitas asetilkolinesterase saraf, sehingga
asetilkolin akan menumpuk di bagian
ujung saraf menganggu aliran impuls saraf
dan akhirnya terjadi paralisis otot.2
12
bertujuan mengetahui perbedaan aktivitas
enzim kolinesterase darah petani yang
terpapar pestisida golongan organofosfat
sebelum dan sesudah pemberian
jus
strawberi (Fragaria chiloensis).
Metode
Penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental dengan pre-post design.
Analisis statistik menggunakan uji Tberpasangan. Subjek penelitian ini adalah
petani penyemprot pestisida golongan
organofosfat di kecamatan Aikmel,
kabupaten Lombok Timur sejumlah 32
orang.
Teknik pengambilan sampel
menggunakan
purposive sampling.
Kriteria inklusi meliputi petani yang
pernah kontak dengan bahan penyemprot
pestisida golongan organofosfat, petani
penyemprot
pestisida
golongan
organofosfat yang tidak memakai APD
(Masker, sarung tangan, sepatu boot).
Kriteria eksklusi yaitu penderita hipertensi,
diabetes
melitus,
dan
tuberkulosis.
Instrumentasi penelitian : Komparator, Disk
pembanding, Botol polietilen, Mikropipet,
Pipet tetes atau pipet Pasteur, Yellow dan
blue tip, Blood lancet, Autoklik, Kapas,
Tabung reaksi dan Rak tabung reaksi.
Bahan Penelitian : Aquadest bebas CO2,
Indikator Brom Thymol Blue (BTB),
Larutan substrat Asetil Kolin Perklorat,
Alkohol 70%.
Data berupa lamanya kontak petani
dengan pestisida dilakukan dengan metode
wawancara langsung dan data berupa
aktivitas enzim kolinesterase dalam darah
petani yang terpapar pestisida sebelum dan
sesudah
pemberian
jus
strawberi
dikumpulkan
dengan
menggnakan
tintometer kit. Pembuatan jus strawberi, di
mana formulanya sebagai berikut: 100 gr
strawberi segar di cuci sampai bersih,
ditambahkan air matang 100 ml, kemudian
diblender sampai halus dan disajikan.
Adapun gambar jus strawberi yang di
berikan pada petani penyemprot pestisida
terlihat pada gambar 1.
Gambar 1. Jus Strawberi
Berdasarkan dari hasil pemeriksaan
darah akan dapat diketahui tingkat
keracunan oleh pestisida tersebut yaitu :
1. Kategori Normal yaitu bila > 75% 100% aktifitas enzim kolinesterase
dalam darah normal.
2. Kategori keracunan ringan yaitu bila >
50% -75% aktifitas enzim kolinesterase
dalam darah normal. Orang yang
diperiksa mungkin over exposure oleh
karenanya perlu dikaji ulang. Jika
responden lemah agar disarankan untuk
istirahat (tidak kontak) dengan pestisida
jenis organofosfat selama 2 minggu,
kemudian uji ulang sampai mencapai
kesembuhan.
3. Kategori keracunan sedang yaitu bila >
25% - 50% aktifitas enzim kolinesterase
dalam darah normal. Responden
mengalami over exposure yang serius,
disarankan untuk segera menguji ulang
tingkat keracunan. Jika hasilnya benar
responden disarankan istirahat dari
semua pekerjaan yang berhubungan
dengan
insektisida.
Bila
yang
bersangkutan sakit harus segera dirujuk
pada pelayanan kesehatan terdekat.
4. Kategori keracunan berat yaitu bila 0%
- 25% aktifitas enzim kolinesterase
dalam darah normal. Over exposure
yang sangat serius dan berbahaya. Perlu
diuji ulang dan yang bersangkutan harus
diistirahatkan dari semua pekerjaan dan
perlu segera di rujuk kepada pemeriksa
medis (Depkes RI, 1992).
Pengumpulan
data
petani
penyemprot pestisida di
Kecamatan
13
Aikmel, Kabupaten Lombok Timur.
Analisis Data menggunakan uji statistik
menggunakan uji T- berpasangan (Paired
T Test) dan apabila data yang dihasilkan
tidak berdistribusi normal maka dilakukan
uji non parametrik wilcoxon signed rank
test dengan tingkat kepercayaan 95% (p α
0,05).
tingkat keracunan pada petani sebelum
pemberian jus strawberi yaitu keracunan
ringan sebanyak 30 orang petani (93,8%),
dan petani yang tidak mengalami
keracunan (normal) sebanyak 2 orang
(6,3%), sedangkan tingkat keracunan pada
petani setelah pemberian jus strawberi
yaitu keracunan ringan sebanyak 12 orang
(37,5%) dan petani yang tidak mengalami
keracunan (normal) sebanyak 20 orang
(62,5 %).
Hal tersebut menunjukkan
tingkat keracunan ringan sebagian besar
pada petani menjadi menurun setelah
pemberian jus strawberi.
Hasil
Sampel yang digunakan adalah darah
kapiler sebanyak 32 sampel. Karakteristik
responden dalam penelitian ini terlihat
pada tabel 1. Tabel 1. menunjukkan bahwa
No.
1
2
3
4
5
Tabel 1 Distribusi Karakteristik Responden
Karakteristik Responden
Jumlah (orang)
Jenis Kelamin
Laki-Laki
Perempuan
Umur ( Tahun )
- 25-35
- 36-45
- 46-55
- 56-60
Lama terpapar pestisida
- ≤ 5 tahun
- > 5 tahun
Terakhir kontak dengan pestisida
- ≤ 5 hari
- > 5 hari
Frekuensi penyemprotan
- 1 minggu sekali
- 2 minggu sekali
- 1 bulan sekali
Hasil pemeriksaan aktivitas enzim
kolinesterase
berdasarkan
tingkat
keracunan pada petani di kecamatan
28
4
8
7
7
10
19
13
24
8
14
12
6
Aikmel sebelum dan sesudah pemberian
jus strawberi terdapat pada Tabel 2.
Tabel 2. Hasil pemeriksaan aktivitas enzim kolinesterase berdasarkan tingkat keracunan
sebelum dan sesudah pemberian jus strawberi pada petani di kecamatan Aikmel
Tingkat Keracunan
Jumlah
Perlakuan
Keracunan Ringan
Normal (%)
(%)
Sebelum pemberian jus
30
(93,8)
2
(6,3)
32 (100)
strawberi
Sesudah pemberian jus
12
(37,5)
20
(62,5)
32 (100)
strawberi
14
akan memengaruhi penyerapan pestisida
ke dalam tubuh melalui kulit. Arah angin
dan kecepatan angin penting diperhatikan
pada
saat
penyemprotan.
Apabila
penyemprotan dilakukan pada saat
kecepatan angin tinggi dan melawan arah
angin, justru yang terjadi pestisida akan
lebih banyak terpapar saat menyemprot,
sehingga pestisida masuk ke dalam tubuh
melalui pernapasan dan kulit. Pestisida
dapat masuk melalui kulit, mulut dan
pernafasan. Keracunan pestisida terjadi
bila ada bahan pestisida yang mengenai
dan/atau masuk ke dalam tubuh dalam
jumlah tertentu. Keracunan akut atau
kronis akibat kontak dengan pestisida
dapat melalui mulut, penyerapan melalui
kulit, dan melalui saluran pernapasan.1
Keracunan ringan pada petani di
Kecamatan
Aikmel
timbul
karena
rendahnya kesadaran para petani untuk
mengenali dengan baik gejala dan tanda
keracunan pestisida.
Tindakan
pencegahan lebih baik dilakukan untuk
menghindari keracunan.
Sebagai upaya
pencegahan keracunan pestisida sampai ke
tingkat yang membahayakan kesehatan,
orang yang berhubungan dengan pestisida
harus memperhatikan membaca semua
instruksi dan pengarahan yang ada pada
label pestisida, menjaga kemasan pestisida
selalu tertutup,
menyimpan pestisida
dalam wadah aslinya, tidak memindahkan
pestisida dalam wadah yang lain,
menyimpan pestisida pada tempat yang
kering dan mempunyai ventilasi, tidak
diperkenankan merokok,
makan dan
minum selama menangani pestisida, tidak
membuka kemasan dengan cara memaksa
atau mencongkel, jangan membuka alat
semprot bocor.2
Hasil penelitian ini membuktikan
bahwa pemberian jus strawberi dapat
meningkatkan
aktivitas
enzim
kolinesterase, sehingga dapat menurunkan
tingkat keracunan.
Hasil ini diduga
berdasarkan pengaruh langsung dan tidak
langsung senyawa yang terkandung dalam
buah strawberi. Senyawa yang terdapat
dalam buah strawberi meliputi antisionin,
Pembahasan
Pemaparan pestisida yang berlebihan
dalam
tubuh
penyemprot
akan
memengaruhi kerja enzim kolinesterase
darah. Penurunan aktivitas enzim ini dapat
dikategorikan dalam empat kelompok yaitu
normal (>75‒100%), keracunan ringan
(>50–75%), sedang (>25–50%), dan berat
(0–25%). Kebiasaan petani yang tidak
memakai alat pelindung diri secara
lengkap pada waktu menggunakan
pestisida akan memengaruhi tingkat
pemaparan. Tingkat pengetahuan, sikap,
dan prilaku petani mengenai bahaya
pestisida akan memengaruhi kesediaan
petani untuk memakai APD, serta
melakukan penanganan dan pengelolaan
pestisida dengan baik.
Paparan yang
berlangsung
terus-menerus
lebih
berbahaya daripada paparan yang terputusputus pada waktu yang sama. Pemaparan
yang telah lewat perlu diperhatikan bila
terjadi risiko pemaparan baru, karena itu
penyemprot yang terpapar berulang kali
dan berlangsung
lama dapat menimbulkan keracunan
kronik.
Telah
dibuktikan
bahwa
penggunaan pestisida jangka panjang dapat
menyebabkan
kanker
seperti
non
Hodgkin’s lymphoma.7
Hasil
penelitian
nenunjukkan
sebagian besar petani telah terpapar
pestisida selama ±5-10 tahun. Semakin
lama petani terpapar pestisida maka risiko
keracunan semakin tinggi, tetapi dari uji
kolinesterase didapatkan hasil bahwa
petani di kecamatan Aikmel hanya
mengalami keracunan ringan.
Hal
tersebut kemungkinan disebabkan karena
petani
menggunakan
APD
yang
konvensional
seperti
handuk
atau
saputangan sebagai penutup hidung.
Faktor lingkungan sangat berperan dalam
memengaruhi keracunan pestisida. Faktor
lingkungan yang berperan antara lain
temperatur dan arah angin, temperatur
yang aman dalam menyemprot pestisida
pada 24- 30 °C dan waktu penyemprotan
pagi hari pukul 06.00-08.00 dan pukul
16.00-18.00. Jika suhu lingkungan tinggi
15
asam ellagik, fenol, vitamin E, vitamin C,
kalsium, magnesium, fosphor, natrium,
asam
linolenik.
Komponen
ini
menjelaskan
kandungan
zat
aktif
mempunyai pengaruh aktivitas antioksidan
secara in vivo.
Selain itu, jus stroberi
mempunyai beberapa efek farmakologi dan
psikologi sebagai efek antiinflamantori,
analgesik, dan kordiotonik.8,9 Flavonoid
sebagai salah satu kandungan fitokimia
strawberi bekerja baik dengan vitamin C
sehingga meningkatkan pertahanan tubuh.
Sebagai antioksidan, flavonoid dapat
menghalau
radikal
bebas
dan
membersihkan
tubuh
dari
racun
(detoksifikasi). Kandungan asam lemak
berantai panjang, yang terkandung dalam
strawberi , asam lemak seperti oleat,
linoleat,
dan
linolenat
bekerja
memperbaiki fungsi hati.
Selain itu,
strawberi kaya akan growth factor
sehingga dapat memperbaiki sel-sel rusak.
Kandungan asam elagik dan senyawa
folifenol lain yang memiliki aktivitas
sebagai antioksidan adalah katekin,
kuersetin, dan kaempferol yang tinggi,
ampuh melakukan regenerasi sel secara
singkat.8,9
vitamin salah satunya buah strawberi
untuk
membantu
percepatan
detoksifikasi racun dari dalam tubuh.
2. Bagi instansi terkait untuk memberikan
penyuluhan dan sosialisasi tentang
bagaimana
proses
penyemprotan
tanaman dengan baik dan benar.
3. Bagi peneliti lain agar meneliti aktifitas
enzim kolinesterase secara kuantitatif.
Daftar Pustaka
1. Sastroutomo S. Pestisida dasar-dasar
dan dampak penggunannya. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama; 1992.
2. Depkes RI. Pedoman pengamanan
penggunaan pestisida khusus untuk
petani dan operator pestisida.Jakarta:
Ditjen PPM & PLP; 2007.
3. Anam H. Pengaruh pemakaian alat
pelindung diri terhadap kandungan
racun pestisida pada petani penyemprot
padi di Dusun Batu Mediri Kelurahan
Karang Pule Kecamatan Sekarbela
(Karya Tulis Ilmiah). Mataram;
Poltekkes Mataram; 2009.
4. Yulthi ES. Pengaruh Kontak Pestisida
Terhadap Kadar Enzim kolinesterase
dalam Darah Petani di Dusun Kembang
Kuning Desa Gerimax Kecamatan
Narmada Kabupaten Lombok Barat.
KTI. Mataram; 2009.
5. Yuliarti N. 1001 Khasiat buah-buahan.
Yogyakarta:Andi Offset;2011.
6. Setiani, A. Budi Daya dan Analisis
Usaha Strawberi. Sinar Cemerlang
Abadi, Jakarta ; 2007.
7. Weisenburger DD.
Environmental
epidemiology
of
non-Hodgkin’s
lymphoma in Eastern Nebraska. Am J
Ind Med. 1990;18(3):305‒5.
8. Kurnia, A. Petunjuk Praktis budidaya
strawberi. Agro Media Pustaka, Depok ;
2005.
Kesimpulan
1. Aktifitas enzim kolinestrase rerata pada
petani sebelum pemberian jus strawberi
sebesar 71,48%
2. Aktifitas enzim kolinestrase rerata pada
petani sesudah pemberian jus strawberi
sebesar 82,42%
3. Ada perbedaan aktifitas
enzim
kolinestrase secara signifikan sebelum
dan sesudah pemberian jus strawberi.
Saran
1. Bagi petani yang terpapar pestisida agar
mempergunakan alat pelindung diri
serta memperhatikan faktor lingkungan
berupa cuaca dan arah angin pada waktu
penyemprotan, melakukan tindakan
pencegahan
keracunan
dengan
mengenali gejala dan tanda keracunan,
dan mengkonsumsi buah-buahan yang
banyak mengandung antioksidan dan
Nurchasanah. Terapi Jus untuk Kesehatan
tanpa Efek Samping. Yogyakarta: Media
Pressindo;2012.
16
PREVALENSI KANDIDIASIS BERDASARKAN HASIL PEMERIKSAAN SEDIMEN
DAN KULTUR URINE WANITA PENDERITA DIABETES MELLITUS
DI PUSKESMAS WILAYAH KABUPATEN LOMBOK BARAT
I Gusti Ayu Nyoman Danuyanti¹, Rohmi¹, Ersandhi Resnhaleksmana¹
1
Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan
Abstrak
Diabetes mellitus merupakan faktor predisposisi timbulnya kandidiasis genitalis. Wanita
penderita diabetes mellitus mempunyai gula ekstra dalam dinding vagina, sehingga pada urine
wanita penderita diabetes mellitus kemungkinan besar akan ditemukan Candida albicans.
Penyebab kandidiasis berkaitan dengan cara kita merawat organ reproduksi yang artinya
status kesehatan dipengaruhi oleh faktor perilaku. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui
pola hygiene dan sanitasi wanita penderita diabetes mellitus pada kasus kandidiasis, sehingga
dapat diketahui penyebab kandidiasis akibat faktor glukosa berlebih dalam darah atau karena
perilaku dari penderita DM tersebut. Metode penelitian yang digunakan observasional
analitik dengan pengukuran variabel-variabelnya secara cross sectional terhadap 76
responden yang diambil dari Puskesmas Narmada dan Kediri, Kabupaten Lombok Barat
dengan prevalensi kandidiasis 21,05%. Pemeriksaan infeksi kandidiasis diperoleh berdasarkan
hasil pemeriksaan sedimentasi dan kultur urin wanita penderita DM. Secara keseluruhan
wanita penderita DM dapat berisiko atau bahkan tidak terinfeksi Candida albicans meskipun
penyakit tersebut merupakan faktor predisposisi dari kandidiasis vaginitis.
Kata kunci: Kandidiasis, Sedimen urine, Kultur urine, Diabetes mellitus
Abstract
Diabetes mellitus is a predisposing factor for the incidence of genital candidiasis. Women
with diabetes mellitus have extra sugar in the vaginal wall, so that the urine of women with
diabetes mellitus are likely to be found Candida albicans. The cause of candidiasis related to
the way we take care of the reproductive organs, which means he12alth status is influenced by
behavioral factors. The purpose of this study to determine patterns of hygiene and sanitation
women with diabetes mellitus in the case of thrush, so it can be a known cause of candidiasis
due to excess glucose in the blood factors or because the behavior of the diabetic patient. The
method used analytic observational with the variables measuring cross sectional against 76
respondents drawn from the health center and Kediri Narmada, West Lombok district with
21.05% prevalence of candidiasis. Examination of candidiasis infection obtained based on the
examination of urine sediment and culture of women with DM. Overall women with diabetes
could be at risk or infected with Candida albicans even though the disease are predisposing
factors of candidiasis vaginitis.
Keywords: Candidiasis, Urine sediment, Urine culture, Diabetes mellitus
17
Narmada Kecamatan Narmada Lombok
Barat tahun 2012 lebih dari 40 pasien,
termasuk pasien rawat jalan dan rawat
inap3. Untuk Puskesmas Kediri, pasien
yang terdiagnosis diabetes mellitus dari
bulan Januari sampai dengan Juni tahun
2014 mencapai 213 orang. Kedua
puskesmas ini dipilih berdasarkan jumlah
populasi penderita DM yang paling banyak
dibandingkan dengan Puskesmas lain di
Kab. Lombok Barat pada tahun 2013,
tetapi belum ada data di puskesmas
tersebut
tentang
kasus
kandidiasis
khususnya pada wanita penderita DM 4.
Candida albicans merupakan spesies
terpatogen yang menjadi etiologi terbanyak
dalam kasus infeksi akibat jamur,
walaupun dalam kondisi normal jamur ini
hidup sebagai saprofit yang tidak
menyebabkan kelainan atau gangguan bagi
organ tubuh5,6,7. Keputihan atau kandidiasis
genetalis sering dianggap sebagai hal yang
umum dan dianggap tidak berbahaya bagi
wanita. Penyebab keputihan berkaitan
dengan cara kita merawat organ
reproduksi,
karena
faktor
perilaku
merupakan salah satu faktor yang dapat
mempengaruhi
status
kesehatan
seseorang8. Faktor terbesar kedua setelah
lingkungan yang mempengaruhi kesehatan
individu, kelompok, atau masyarakat.
Pengetahuan mengenai keputihan sangat
diperlukan untuk menentukan sikap yang
akan dilakukan, salah satunya ialah
perawatan genitalia eksterna yang tidak
baik akan menjadi pemicu terjadinya
keputihan yang patologis, karena diantara
semua jenis personal hygiene, genitalia
merupakan organ reproduksi wanita yang
harus dijaga kebersihannya. Jika tidak di
jaga dapat menimbulkan keputihan, gatalgatal, bau tidak sedap, dan dapat terjadi
infeksi pada daerah genitalia. Keputihan
tidak normal perlu diwaspadai karena
merupakan gejala suatu
penyakit
9,10
reproduksi .
Berdasarkan
uji
penyaring
menggunakan pemeriksaan sedimentasi
urine yang dilakukan terhadap beberapa
sampel urine wanita penderita diabetes
Pendahuluan
Diabetes mellitus adalah gangguan
metabolisme yang secara genetis dan klinis
termasuk heterogen dengan manifestasi
klinis
berupa
hilangnya
toleran
karbohidrat. Keadaan ini disebabkan oleh
kurangnya hormon insulin yang diproduksi
oleh pankreas atau tidak berfungsinya
hormon insulin dalam menyerap gula
secara maksimal, sehingga penyakit ini
juga biasa disebut atau didefinisikan
sebagai penyakit gula darah. Adanya
diabetes mellitus pada awalnya sering
sekali tidak disadari oleh pasien dan baru
diketahui sewaktu menjalani pemeriksaan
kesehatan1.
Beberapa keluhan dan gejala klasik
yang perlu mendapat perhatian adalah
penurunan berat badan yang tidak dapat
dijelaskan penyebabnya, rasa lemah, sering
kencing (poliuria), banyak minum
(polidipsia), banyak makan (polifagia).
Adanya keluhan lain yang sering
menyertai diabetes mellitus yaitu gangguan
syaraf tepi, atau kesemutan, gangguan
penglihatan, gatal dan keputihan pada
wanita (kandidiasis). Kondisi diabetes
yang belum terdeteksi kemungkinan
merupakan sumber kandidiasis yang
berulang dan jika tidak dikendalikan maka
kandidiasis akan tetap menjadi masalah.
Penyakit ini dapat menyerang semua
lapisan umur dan sosial ekonomi1.
Diabetes mellitus merupakan faktor
predisposisi
timbulnya
kandidiasis
genitalis. Wanita penderita diabetes
mellitus mempunyai gula ekstra dalam
dinding vagina. Gula yang ada di urine
tertumpuk
pada
vulva
sehingga
menyediakan makanan untuk pertumbuhan
jamur. Daerah genetalia wanita adalah
tempat subur dan ideal untuk pertumbuhan
jamur sehingga pada urine wanita
penderita deabetes mellitus kemungkinan
besar akan ditemukan Candida albicans2.
Berdasarkan data Riset Kesehatan
Dasar 2010 angka prevalensi nasional
penyakit diabetes melitus adalah 1,1%.
Jumlah pasien penderita diabetes mellitus
khususnya wanita yang ada di Puskesmas
18
mellitus
di
Puskesmas
Narmada,
ditemukan adanya sampel urine yang
positif terinfeksi Candida albicans,
sehingga dapat disimpulkan bahwa
diabetes mellitus merupakan faktor
predisposisi yang penting untuk terjadinya
vulvo vaginitis yang disebabkan oleh
Candida albicans. Pemeriksaan urine yang
dilakukan dengan metode sedimentasi
merupakan
screening
test
untuk
mendeteksi adanya infeksi jamur telah
banyak diteliti sedangkan penggunaan
kultur urine sebagai gold standard untuk
mempertegas hasil yang positif dari sampel
urine yang terinfeksi jamur Candida
albicans dengan jumlah penderita dan
lokasi pengambilan sampel yang lebih luas
belum
pernah
dilakukan
untuk
memperoleh hasil yang lebih representatif.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat
memberikan informasi kepada masyarakat,
terutama wanita penderita diabetes mellitus
yang rentan terhadap infeksi Candida
albicans, sehingga dapat melakukan
pencegahan untuk menghindari terjadinya
infeksi.
pengambilan sampel secara purposive
didasarkan pada suatu pertimbangan
tertentu yang dibuat oleh peneliti sendiri,
berdasarkan ciri atau sifat-sifat populasi
yang sudah diketahui sebelumnya. Seluruh
pasien wanita penderita diabetes mellitus
yang berkunjung di Puskesmas Narmada
dan Kediri selama waktu penelitian
merupakan
responden
atau
subjek
penelitian hingga jumlah responden
mencapai besar sampel 76 responden,
dengan kriteria sampel sebagai subjek
penelitian adalah :
1. Semua pasien wanita rawat jalan dan
rawat inap penderita diabetes mellitus di
Puskesmas Narmada dan Kediri.
2. Urine yang digunakan adalah urine
sewaktu.
3. Tidak dalam keadaan haid
4. Tidak membedakan usia
5. Bersedia menjadi subjek penelitian
Jumlah sampel yang digunakan
dalam penelitian ini berdasarkan tabel
Krejie Normogram Harry King. Jumlah
populasi (N) wanita penderita diabetes
mellitus di Puskesmas Narmada dan Kediri
pada bulan Mei sampai dengan Juli 2013
sebanyak 95 orang, sehingga jumlah
sampel yang digunakan adalah 76 orang13.
Karakteristik responden meliputi
umur,
pendidikan,
dan
pekerjaan
dikumpulan dengan melakukan wawancara
langsung menggunakan
alat
bantu
kuisioner dengan responden pada saat
melakukan pemeriksaan. Data hasil
pemeriksaan urine wanita penderita DM
diperoleh dengan melakukan pemeriksaan
sedimen dan kultur urine. Data tentang
hasil pemeriksaan Candida albicans pada
kultur urine diolah secara deskriptif,
disajikan dengan menggunakan tabel
distribusi. Kriteria hasilnya :
 Positif : Ditemukan spora jamur
Candida albicans yang membentuk
bulat, lonjong atau bulat lonjong dan
atau hyfa semu seperti benang-benang
halus.
 Negatif : Tidak ditemukan spora jamur
Candida albicans atau hyfa.
Metode Penelitian
Rancangan penelitian yang digunakan
adalah observasional analitik yaitu untuk
mengetahui kontribusi suatu resiko tertentu
terhadap adanya suatu kejadian tertentu.
Berdasarkan waktu penelitian, penelitian
ini bersifat cross sectional artinya variabel
bebas dan variabel terikat dikumpulkan
sekaligus pada satu waktu11.
Populasi dalam penelitian ini adalah
semua pasien rawat jalan dan rawat inap
penderita diabetes mellitus di Puskesmas
Narmada dan Kediri Kabupaten Lombok
Barat yang berjumlah 95 orang12. Sampel
yang digunakan dalam penelitian ini
adalah pasien wanita penderita diabetes
mellitus yang menjalani rawat jalan dan
rawat inap di Puskesmas Narmada dan
Kediri
Kabupaten
Lombok
Barat
berjumlah 76 orang.
Pengambilan sampel yang dilakukan
dalam penelitian ini adalah secara Non
Random Purposive Sampling yaitu
19
pseudohyfa yang merupakan rangkaian
dari jamur Candida albicans.
Setelah melakukan identifikasi dari
76 sampel urine wanita penderita diabetes
mellitus,
ditemukan
bentuk
spora/pseudohyfa sebanyak 16 sampel,
maka prosentasenya adalah 21,05%,
sedangkan untuk mengetahui pola hygiene
sanitasi
dari
responden
dilakukan
wawancara menggunakan kuisioner pada
seluruh responden dan hasilnya secara
lengkap ditunjukkan pada tabel 1.
Hasil
Identifikasi infeksi Candida albicans pada
urine wanita penderita diabetes mellitus
dilakukan secara mikroskopis dengan
metode kultur terhadap sampel urine
wanita penderita diabetes mellitus yang
sebelumnya
dilakukan
pemeriksaan
sedimentasi urin sebagai tes penyaring
adanya infeksi kandidiasis di Puskesmas
Narmada dan Kediri Kabupaten Lombok
Barat. Hasil identifikasi Candida albicans
menunjukkan bentuk spora yang berbentuk
bulat, lonjong, atau bulat lonjong dan
Tabel 1. Hasil pemeriksaan adanya jamur Candida albicans pada wanita penderita diabetes
mellitus di Puskesmas Kediri dan Narmada, Kabupaten Lombok Barat
No.
Umur
Kadar Gula
Pemeriksaan
Pemeriksaan
Samp
Darah Sewaktu
Sedimentasi
Kultur Urine
el
(mg/dl)
&Germ tube
1
60
368
Negatif
Negatif
2
26
356
Negatif
Negatif
3
60
570
Negatif
Negatif
4
45
431
Negatif
Negatif
5
55
394
Negatif
Negatif
6
50
295
Negatif
Negatif
7
40
334
Negatif
Negatif
8
45
473
Negatif
Negatif
9
70
480
Negatif
Negatif
10
49
425
Positif
Positif
11
45
455
Positif
Negatif
12
50
335
Positif
Positif
13
40
465
Positif
Positif
14
56
298
Negatif
Positif
15
60
405
Negatif
Negatif
16
39
387
Positif
Positif
17
50
375
Negatif
Negatif
18
47
335
Negatif
Negatif
19
55
539
Positif
Positif
20
65
270
Positif
Negatif
21
38
287
Positif
Positif
22
63
510
Positif
Positif
23
46
443
Negatif
Negatif
24
42
440
Negatif
Negatif
25
51
287
Negatif
Negatif
26
70
365
Negatif
Negatif
27
49
287
Negatif
Negatif
28
45
465
Positif
Positif
29
50
298
Positif
Positif
30
40
405
Negatif
Negatif
20
31
32
33
34
35
36
37
38
39
40
41
42
43
44
45
46
47
48
49
50
51
52
53
54
55
56
57
58
59
60
61
62
63
64
65
66
67
68
69
70
71
72
73
74
75
76
Keterangan :
56
60
39
50
47
55
65
38
63
46
42
51
40
45
70
49
45
50
40
56
60
39
50
47
39
50
47
55
65
38
63
46
42
51
39
28
33
47
29
37
47
39
50
47
55
65
387
394
295
334
473
480
425
265
270
334
325
280
295
300
243
360
226
300
270
287
510
443
440
287
365
287
235
225
236
270
287
510
443
440
287
365
287
235
226
352
235
225
236
270
287
235
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
: Negatif
: Positif
21
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Negatif
Positif
Negatif
Negatif
Positif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Positif
Positif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
Negatif
lain faktor eksternal dan faktor internal14.
Faktor eksternal meliputi cuaca panas dan
tingkat
kelembaban
sehingga
menyebabkan banyak keringat terutama
pada lipatan kulit dan kebiasaan berendam
dalam air yang terlalu lama menyebabkan
maserasi yang mengakibatkan invasi
Candida albicans. Pekerjaan yang banyak
berhubungan dengan air dan kebersihan
pribadi sangat mempengaruhi invasi
maupun tingkat infeksi Candida albicans.
Faktor
internal
yang
dapat
menyebabkan terjadinya infeksi Candida
albicans pada wanita penderita diabetes
mellitus antara lain kehamilan, karena pada
saat hamil terjadi kelebihan glikogen pada
epitel vagina yang merubah derajat
keasaman di dalam vagina menjadi lebih
rendah dan merangsang pertumbuhan
jamur Candida albicans menjadi lebih
cepat,
kemudian
faktor
obesitas
menyebabkan banyak keringat sehingga
terjadi
maserasi
kulit
dan
ini
mempermudah invasi Candida albicans
serta penyakit lainnya. Penyakit menahun
seperti tuberculosis, karsinoma dan
leukimia dengan keadaan umum yang
buruk meningkatkan terjadinya Candida
albicans14.
Hal ini sesuai dengan hasil penelitian
sebelumnya, jika seseorang mempunyai
sikap baik maka kemungkinan tidak akan
mengalami kejadian kandidiasis. Sikap
yang baik kemungkinan juga akan
memberikan
gambaran
seseorang
berperilaku
baik,
sehingga
lebih
memperkecil kemungkinan terjadinya
kejadian
kandidiasis15.
Perilaku
mempengaruhi terjadinya vulvo vaginitis
karena perilaku hygiene yang tidak baik
dapat mempengaruhi derajat keasamaan di
daerah
vagina.
Perubahan
derajat
keasaaman vagina berkaitan dengan vulvo
vaginitis, karena dapat mengakibatkan pH
vagina
tidak
seimbang.
Ketidakseimbangan pH dalam vagina akan
mengakibatkan tumbuhnya jamur sehingga
dapat terinfeksi vulvo vaginitis15. Faktor
perilaku hygiene dapat menyebabkan
kejadian kandidiasis genitalis dikarenakan
Prevalensi kandidiasis berdasarkan hasil
pemeriksaan sedimen dan kultur urin
wanita penderita diabetes mellitus di
Puskesmas Kediri dan Narmada Kabupaten
Lombok Barat yang positif terinfeksi
Candida albicans sebanyak 16 sampel dari
76 sampel adalah sebagai berikut:
= Jumlah sampel positif x 100 %
Jumlah sampel
= 16 x 100 % = 21, 05 %
76
Dari 21,05% prevalensi kandidiasis yang
didapatkan berasal dari total pemeriksaan
sedimen dan kultur urine yang positif.
Untuk pemeriksaan berdasarkan sedimen
urine dari total 76 sampel terdapat 18
sampel positif terinfeksi Candida albicans
kemudian dilanjutkan dengan kultur
ternyata memberikan hasil 2 sampel
negatif, sehingga secara keseluruhan total
yang positif dari hasil pemeriksaan
sedimen dan kultur urine adalah 16
sampel.
Tabel 1. menunjukkan bahwan dari 16
sampel yang positif terinfeksi Candida
albicans secara keseluruhan yaitu sebesar
21,05% dan negatif terinfeksi sebanyak 50
orang dengan prosentase 65,79%.
Pembahasan
Data hasil identifikasi yang telah dilakukan
dari 76 sampel urine wanita penderita
diabetes mellitus, ditemukan bentuk
spora/pseudohyfa sebanyak 16 sampel,
maka prosentase kandidiasis pada wanita
penderita diabetes mellitus sebesar
21,05%.
Dengan
demikian
wanita
penderita diabetes mellitus memiliki
kemungkinan terinfeksi jamur Candida
albicans.
Wanita penderita diabetes mellitus
dapat berisiko atau bahkan tidak terinfeksi
Candida albicans meskipun diabetes
mellitus merupakan faktor predisposisi,
yaitu faktor yang dapat mempermudah
timbulnya suatu keadaan, dalam hal ini
kandidiasis. Infeksi Candida albicans pada
wanita penderita diabetes mellitus dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor antara
22
dalam perilaku hygiene dipengaruhi oleh
beberapa faktor. Adapun faktor yang
dimungkinkan mempengaruhi perilaku
hygiene dari hasil penelitian ini yaitu
pemilihan pakaian dalam, pemakaian
sabun dengan kejadian kandidiaisis
genitalis,
menjaga
kebersihan saat
menstruasi, dan menjaga kelembaban
vagina.
Dari
data
penelitian
secara
keseluruhan dapat disimpulkan bahwa
wanita penderita diabetes mellitus dapat
berisiko atau bahkan tidak terinfeksi
Candida albicans meskipun penyakit ini
merupakan faktor predisposisi terjadinya
kandidiasis genitalis.
6.
Kesimpulan
10.
7.
8.
9.
Berdasarkan hasil penelitian dan analisis
data dapat disimpulkan bahwa prevalensi
kandidiasis pada wanita penderita diabetes
mellitus di Puskemas Narmada dan Kediri
Kabupaten Lombok Barat sebesar 21,05%.
Saran
11.
1. Diharapkan dapat melakukan pengkajian
lebih lanjut mengenai faktor-faktor yang
dapat menjadi penyebab kandidiasis
pada wanita penderita diabetes mellitus.
2. Dilakukan penelitian lanjutan tentang
hubungan personal hygiene dan sanitasi
terhadap kejadian kandidiaisis pada
wanita penderita diabetes mellitus untuk
melihat pola infeksi berdasarkan
penyakit ataupun lingkungan.
12.
13.
14.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
Susilo J. Parasitologi Kedokteran edisi
3. Balai Penerbit FKUI . Jakarta, 2003
Jiwintarum Y., Agriyanti, Rohmi,
Fitria E. Diktat Praktikum Mikologi
Medik.
Politeknik
Kesehatan
Kemenkes Mataram Jurusan Analis
Kesehatan,2012
Murphy E.M. Promoting Healthy
Behaviour. Population References
Bureau 67,2004
Kustriyani M. Perbedaan Pengetahuan
dan Sikap Siswi Sebelum dan Sesudah
Pemberian Pendidikan Kesehatan
Tentang Keputihan di SMA Negeri 4
Semarang. Semarang . Fakultas
Kedokteran,
Universitas
Diponegoro,2009
Donatilla A. Hubungan Antara
Pengetahuan
Dengan
Perilaku
Menjaga
Kebersihan
Genitalia
Eksterna Dengan Kejadian Keputihan
Pada Siswi SMA Negeri 4 Semarang.
Semarang.
Fakultas
Kedokteran
Universitas Diponegoro,2011
Notoatmodjo S. Metode Penelitian
Kesehatan. Rineka Cipta.Jakarta,2005
Usman H. Dan Akbar P. S. Pengantar
Statistika. Bumi Aksara. Jakarta, 2003
Marwali H. Penyakit menular Seksual.
Gramedia. Jakarta,1990
Aristha., Zuhriyah L., Rosita R.
Kejadian Keputihan Pada Remaja
Putri Yang Tinggal Di Sekitar Sungai
Bebadung Desa Gumelar Kecamatan
Balung_-Jember. Malang. Fakultas
Kedokteran Universitas Brawijaya,
2008
Zubier ., Daili SF., Makes ., Judanarso J.
Vaginosis Bakterial. Penyakit menular
seksual. Edisi kedua. Jakarta. Fakultas
Kedokteran Universitas Indonesia, 2002
Price S.A.,Wilson L.M. Patofisiologi
Edisi 6. Penerbit Buku Kedokteran.
Jakarta, 2006
Clayton C. Keputihan dan infeksi
jamur candida lain, seri kesehatan
wanita. Arcan. Jakarta,1996
Profil Puskesmas Narmada, 2012
Profil Dinas Kesehatan Kabupaten
Lombok Barat, 2013
Suprihatin
SD.
Candida
dan
Kandidiasis
Pada
Manusia.
FKUI.Jakata, 1982
23
PREVALENSI ZOONOTIC HOOKWORM YANG BERPOTENSI MENYEBABKAN
CREEPING ERUPTION DI CAKRANEGARA
Ersandhi Resnhaleksmana1, Pancawati Ariami1, I Gusti Ayu Nyoman Danuyanti1
1
Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan
Abstrak
Pemeliharaan hewan seperti anjing di Cakranegara tidak diimbangi dengan pemahaman yang
baik tentang penyebaran penyakit dapat meningkatkan resiko penularan penyakit dari hewan
ke hewan lain atau dari hewan ke manusia. Anjing yang hidup liar mempunyai resiko
penularan penyakit yang lebih tinggi dibandingkan dengan anjing yang dipelihara. Salah satu
penyakit hewan yang dapat ditularkan ke manusia (zoonosis) adalah kecacingan, seperti
infeksi oleh Hookworm. yang dapat menyebabkan creeping eruption. Penelitian ini bersifat
observasional deskriptif, dengan tujuan untuk menentukan prevalensi Zoonotic Hookworm
pada anjing yang berpotensi menyebabkan creeping eruption di Cakranegara. Pengambilan
sampel secara purposive sampling sebanyak 30 sampel dengan pemeriksaan metode cat basah
dan Berrman. Hasil penelitian didapatkan Prevalensi zoonotic hook worm adalah 14 dari 30
sampel tinja anjing (46%).
Kata kunci : Prevalensi, Zoonotic Hookworm, creeping eruption.
Abstract
Maintenance of animals like dogs in Cakranegara not matched with a good understanding of
the spread of the disease. That Causes increase the risk of disease transmission from animal to
animal or from animal to human. A wild dog that lives at risk of disease transmission is
higher than the breed. One of the animal diseases that can be transmitted to humans
(zoonoses) is a Hookworm. which can cause creeping eruption. This study was an
observational descriptive, with the aim to determine the prevalence of Zoonotic Hookworm in
dogs that could potentially cause creeping eruption in Cakranegara. Sampling was purposive
sampling as many as 30 samples with wet paint (direct) and Berrman methods. Results, the
prevalence of zoonotic hook worm was 14 of 30 samples of dog feces (46%).
Keywords: Prevalence, Zoonotic Hookworm, Creeping eruption.
24
binatang peliharaan. Anjing telah bekerja
dan tinggal bersama manusia dengan
banyak peran yang membuat mereka
digelari "teman terbaik manusia" (Budiana
NS., 2007).
Zoonosis yang disebabkan oleh
anjing antara lain creeping eruption.
Creeping eruption merupakan suatu
kondisi di mana
larva filariform dari
Ancylostoma braziliensis dan Ancylostoma
caninum yang berasal dari anjing
menembus kedalam lapisan kulit manusia
dan melakukan migrasi secara terbatas
pada kulit, yang dapat menimbulkan
gangguan antara lain, peradangan kulit
yang kemudian terjadi penebalan secara
lokal yag disertai rasa gatal dan nyeri,
infeksi sekunder, susah tidur, dan
kehilangan konsentrasi dalam melakukan
aktifitas (Soeharsono, 2006).
Anjing yang tidak terpelihara dengan
baik, hidup di lingkungan yang tidak
bersih dan memakan makanan yang
terkontaminasi larva atau telur cacing akan
menyebabkan kecacingan nematoda usus
(Hookworm) yaitu Ancylostoma caninum
dan
Ancylostoma
braziliensis
dan
berpotensi menyebabkan creeping eruption
pada manusia.
Infeksi pada anjing terjadi bila telur
dan larva cacing yang hidup di kotoran
termakan oleh anjing, Kemudian cacing
masuk kedalam saluran pencernaan di
tubuh anjing. Anak anjing tertular cacing
saat mengonsumsi air susu dari induk
anjing. Anjing (yang terinfeksi) membuang
kotoran sembarang tempat, selanjutnya
manusia mendapat infeksi bila larva atau
telur cacing tertelan, atau menginjak tinja
anijng yang mengandung larva atau telur
cacing.
Prevalensi
kecacingan
Ancylostoma braziliensis pada anjing di
Indonesia yang telah tercatat sebesar 18%
dan Ancylostoma caninum sebesar 68%
(Gandahusada dkk., 2006).
Lingkungan Kecamatan Cakranegara
merupakan salah satu wilayah di Kota
Mataram masih banyak warga yang
menjadikan
anjing
sebagai
hewan
peliharaan, namun sebagian besar anjing
Latar Belakang
Kesehatan manusia dihadapkan dengan
berbagai macam permasalahan yang
kompleks, Salah satunya adalah penyakit
kecacingan yang disebabkan oleh parasit
berupa cacing, yang
beraneka ragam
jenisnya. Kecacingan berkaitan erat
dengan sanitasi lingkungan yang buruk.
Disamping itu juga kebersihan pribadi
yang tidak terjaga, mengkonsumsi
makanan yang diduga terkontaminasi
dengan telur cacing, tingkat pengetahuan
aspek sosial ekonomi yang masih rendah
serta kontak dengan tanah yang diduga
terkontaminasi dengan telur cacing
(Onggowaluyo, 2002).
Penyakit kecacingan tersebar luas,
baik di pedesaan maupun di perkotaan.
Hasil survei Departemen Kesehatan
Republik Indonesia di beberapa provinsi di
Indonesia pada tahun 2006 menunjukkan
prevalensi kecacingan untuk semua umur
berkisar antara 40-60 % (Supari S.F.,
2006).
Sekurang-kurangnya sejak abad 23
SM, orang telah mulai menyadari adanya
penyakit menular pada hewan yang dapat
ditularkan kepada manusia, yang disebut
zoonosis. Sejak saat itu mulai disadari pula
bahwa pengendalian penyakit tersebut baru
dapat berhasil bila dalam pelaksanaannya
diarahkan pada rantai penularan yang
bukan saja pada lingkungan hewan dan
habitatnya, tetapi juga pada manusia
(Soeharsono, 2006).
Anjing dan kucing merupakan hewan
sosial sama seperti halnya manusia.
Kedekatan pola perilaku anjing dengan
manusia menjadikan anjing bisa dilatih,
diajak bermain, tinggal bersama manusia,
dan diajak bersosialiasi dengan manusia.
Anjing memiliki banyak peran dalam
masyarakat manusia dan sering dilatih
sebagai anjing pekerja. Berbagai anjing
pekerja dari segala jenis banyak bekerja
sebagai anjing penggembala dan pekerjaan
baru seperti anjing pelacak dan anjing
penuntun tuna netra atau anjing pelayanan.
Peran anjing yang paling umum dan paling
penting di banyak negara adalah sebagai
25
yang dipelihara di daerah tersebut tidak
terawat dengan baik dan tidak terjaga
kesehatannya. Data prevalensi Nematoda
usus (Hookworm) di Lingkungan Karang
Jasi Kelurahan Cilinaya Kecamatan
Cakranegara pada tinja anjing yang
berpotensi menyebabkan creeping eruption
belum ada, Oleh karena itu perlu di
lakukan penelitian mengenai prevalensi
Zoonotic Hookworm pada tinja anjing yang
berpotensi menyebabkan creeping eruption
di Kecamatan Cakranegara dengan tujuan
mendapat data mengenai infeksi zoonotic
hookworm, yang nantinya menjadi dasar
sebagai informasi tambahan bagi instansi
terkait dan juga sebagai informasi bagi
masyarakat akan pentingnya pengetahuan
dan pemahaman mengenai pemeliharaan
hewan sehingga trhindar dari infeksi
zoonotic hookworm.
pada tinja anjing di Lingkungan Karang
Jasi Kelurahan Cilinaya Kecamatan
Cakranegara adalah sebagai berikut:
Gambar Hasil pemeriksaan nematoda usus
pada tinja anjing
yang berpotensi
menyebabkan creeping eruption.
Gambar menunjukkan telur hookworm
fertile dengan ciri bagian tepi bening
dengan bagian dalam terdapat lobus lobus
tejadinya pembelahan untuk menjadi fertile
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
observasional analitik dengan desain cross
sectional, dalam penelitian ini digunakan
30 sampel tinja anjing di sekitar
Cakranegara, dengan ciri sampel adalah
masih
baru.
Pengambilan
sampel
dilakukan dengan cara mengambil sedikit
tinja anjing dengan menggunakan lidi, lalu
dimasukkan kedalam wadah copok dengan
penutup mencegah agar sampel tinja tidak
kering. Penentuan infeksi zoonotic
hookworm ditegakkan berdasarkan hasil
pemeriksaan mikroskopis Tinja langsung
menggunakan cat eosin, Sedimentasi dan
dilanjutkan dengan meode biakan Beerman
untuk
mengidentifikasi,
melihat
perkembangan telur menjadi larva
rabditiform - filariform. Data yang
diperoleh dalam penelitian ini adalah
terdapatnya telur dan larva cacing
hookworm yang dapaqt memnyebabkan
creeping eruption.
Gambar menunjukan telur infektif dan
terdapat larva didalamnya.
Hasil
Berdasarkan hasil pemeriksaan nematoda
usus yang berpotensi menyebabkan
creeping
eruption
(Ancylostoma
braziliensis dan Ancylostoma caninum)
26
penularan penyakit. Salah satunya adalah
zoonotic hookworm.
Sebagian besar populasi di dunia
dicemari oleh anjing yang terinfeksi
Ancylostoma spp., sehingga paparan
Ancylostoma spp. pada anjing akan
menyebar luas. Prevalensi infeksi 60%
sampai 70% dilaporkan pada anjing liar di
Amerika Serikat Timur dan Amerika
tengah, sedangkan di Amerika Tenggara
86% (43 dari 50 anjing diperiksa di rumah
sakit
hewan
ditemukan
terinfeksi
Ancylostoma spp.) (schad,1994). Di
Argentina dilaporkan dari total sebanyak
400 sampel 50,78% (204 dari 400 anjing)
merupakan infeksi dari Ancylostoma spp
(Andresuk, dkk 2007). Thailand dengan 78
sampel tinja anjing yang di periksa pada
tahun 2010 sebesar 64,1% (49 dari 78
sampel tinja anjing) terinfeksi Ancylostoma
spp. Prevalensi kecacingan Ancylostoma
braziliensis
pada anjing di Indonesia
(Jakarta) yang telah tercatat sebesar 18%
dan Ancylostoma caninum sebesar 68%
(Gandahusada, 2006).
Cakranegara merupakan lingkungan
dengan suhu berkisar antara 270 - 300C.
Dimana biasanya terdapat pepohonan yang
dibawahnya terdapat tanah berpasir di
badan jalan. anjing-anjing yang berada di
sekitarnya sering melakukan defekasi
ditempat tersebut. Serta banyaknya tempat
pembuangan sampah yang tidak terawat
dengan baik sehingga biasanya selain
memakan sisa makanan yang terdapat di
tempat pembuangan sampah tersebut,
anjing-anjing di wilayah ini juga sering
menggunakannya sebagai tempat defekasi.
Hal inilah yang menyebabkan mudahnya
terjadinya penularan Ancylostoma spp. dari
anjing ke anjing tersebut. Dengan
banyaknya populasi anjing liar dan anjing
yang tidak terpelihara dengan baik
mempermudah pencemaran lingkungan
oleh Ancylostoma spp., sehingga hal ini lah
yang menyebabkan tingginya angka
kecacingan Ancylostoma spp.
Infeksi oleh cacing Ancylostoma spp.
umumnya diperoleh melalui kontak larva
yang berasal dari tanah yang lembab dan
Gambar menunjukan larva rabditiform dari
Ancylostoma spp.
Grafik infeksi zoonotic hookworm yang
diedentifikasi dari sampel tinja anjing di
Cakranegara
Garfik menunjukkan bahwa infeksi
zoonotic hookworm yang disebabkan oleh
Ancyloctoma spp. Positif sebesar 46% (14
dari 30 sampel tinja anjing). Sedangkan
yang menunjukkan hasil negatif sebesar
54% ( 16 dari 30 sampel tinja anjing).
Pembahasan
Penelitian ini menunjukkan adanya
persentase zoonotic hookworm yang cukup
tinggi pada anjing yang terdapat di
Cakranegara, yaitu angka infeksi 46%.
(54.8%). Pemeliharaan hewan kesayangan
seperti anjing jika tidak diimbangi dengan
pemahaman yang baik tentang penyebaran
penyakit dapat meningkatkan resiko
penularan penyakit dari hewan ke hewan
lain atau dari hewan
ke manusia.
Ditambah lagi dengan banyaknya anjing
yang hidup liar dan tidak mempunyai
majikan, sehingga angka penularan
penyakit akan meningkat. Dalam kondisi
ini menyebabkan anjing rentan terhadap
27
berpasir, biasanya menjadi tempat anjing
melakukan
defekasi,
sehingga
memungkinkan terjadinya infeksi secara
kebetulan oleh larva filariform.
Telur dan larva cacing hidup ditinja
yang termakan anjing, selanjutnya larva
cacing
tertelan
kedalam
saluran
pencernaan ditubuh anjing. Kemudian
Cacing masuk kedalam tubuh anjing
diantaranya ke hati. Dalam migrasinya
larva dapat mencapai uterus, menembus
selaput janin hingga anak anjing yang baru
dilahirkan pun telah mengandung larva di
dalam tubuhnya. Larva tersebut dapat juga
mencapai kelenjar susu dan dapat terlarut
dalam air susu hingga anak anjing yang
masih menyusu pun dapat terinfeksi
melalui air susu yang diminum. Larva
stadium ketiga dapat diisolasi dari kelenjar
susu induk pada hari ke-20 pasca lahir.
Larva tersebut tidak hanya dapat diisolasi
dari kolostrum tetapi sudah diekskresikan
sejak dua sampai dengan sepuluh hari
pasca lahir (sampai periode laktasi
berakhir). Periode prepaten cacing A.
caninum yang lewat uterus atau kelenjar
susu (kolostrum) biasanya 14-16 hari
hingga anak anjing yang baru berumur
beberapa hari telah dapat mengandung
cacing dewasa dalam ususnya.
Baik larva stadium dua dan larva stadium
tiga sumber makanan sama dengan larva
stadium satu.
Larva filariform bila menembus kulit
manusia akan membentuk alur yang
menjalar disertai respon peradangan atau
migrasi ke jaringan yang lebih dalam dan
siklus perjalanan larva terhenti bila larva
mati di dalam jaringan atau disebut juga
dengan creeping eruption. Bila larva
filariform tadi menembus kulit anjing
maka larva filariform dari Ancylostoma
spp. ini akan bermigrasi kedalam aliran
darah menuju ke jantung, selanjutnya
masuk ke dalam alveoli paru-paru. Di
dalam paru – paru larva merobek dinding
paru – paru dan bermigrasi ke usus kecil
melalui trakea selanjutnya larva filariform
tadi menuju ke esofagus dan lambung,
kemudian kembali menjadi cacing dewasa
di dalam usus halus.
Manusia
mendapatkan
infeksi
apabila larva infektif dari tanah menembus
kulit. Apabila larva menembus kulit, akan
menimbulkan papula dengan rasa gatal;
dan dalam beberapa hari akan terbentuk
alur linier yang menimbul. Pergerakan
larva dalam terowongan membuat alur
tersebut bertambah beberapa milimeter
setiap hari, garukan yang hebat dapat
menimbulkan infeksi sekunder (Garcia,
dkk 1996).
Selain itu Infeksi oleh larva juga
dapat juga melalui mulut. Larva stadium
tiga yang infektif memasuki tubuh melalui
mulut bersamaan dengan makanan atau
cairan yang terkonsumsi. Larva tersebut
bermigrasi kedalam lapisan atas dari
mukosa usus halus dalam beberapa hari
setelah tertelan, kemudian kembali
kelumen usus halus. Di dalam lumen
cacing akan berkembang menjadi stadium
dewasa (Subronoto,2006)
Telur yang telah diletakkan di usus
halus oleh cacing betina keluar bersamaan
dengan
tinja.
Lingkungan
yang
0
mendukung (suhu 23 – 30 C tanah
berpasir dan basah, kelembaban tinggi)
didalam telur akan terbentuk larva stadium
satu. Setelah 12-36 jam, telur yang
mengandung larva stadium satu akan
segera menetas dan terbebaslah larva
stadium satu yang mempunyai bentuk
esofagus. larva rhabditiform berukuran 275
mikron serta memanfaatkan sisa organik
dan bakteri sebagai bahan makanan. Larva
stadium satu akan segera memasuki fase
lethargi (istirahat) dan selanjutnya berubah
menjadi larva stadium dua yang
esofagusnya sudah kelihatan lebih
langsing, setelah 5-8 hari akan mengalami
penyilihan lagi dan menjadi larva stadium
tiga (infektif) dengan esofagus filariform.
Anjing yang hidup di Cakranegara
merupakan kebanyakan anjing yang
dipelihara oleh masyarakat sekitarnya dan
sisanya merupakan anjing liar. Sebagai
penyebab utama adalah sebagian besar dari
anjing tersebut tidak di rawat dengan baik,
sehingga anjing-anjing tersebut memakan
28
kotoran heawan dan sisa makanan yang
terdapat di tempat pembuangan sampah di
sekitarnya.
Diakibatkan
kedekatan
kehidupan anjing dengan manusia yang
memanfaatkannya
sebagai
hewaan
peliaharaan, sebagai hiburan, hobby
maupun penjaga rumah inilah yang
berakibat manusia dapat dengan mudah
tertular oleh zoonotic hookworm. Sesuai
dengan
sebuah
survei di
Brisbane
Australia menunjukkan bahwa anjing liar
adalah salah satu sumber infeksi yang
menyebabkan kontaminasi Ancylostoma
spp. di tempat umum (McCarthy dan
Moore, 2000).
8.
Soeharsono, 2006
Zoonosis 2,
Penyakit
Menular
dari
hewan
kemanusia; Kanisius
9. Subronto, 2006. Penyakit Infeksi
Parasit dan mikroba pada anjing dan
kucing. Gajah Mada University Press.
Yogyakarta
10. Supari
S.F.,
2006
Pedoman
Pengendalian Cacingan, Depkes RI
Kesimpulan
Prevalensi zoonotic hookworm pada anjing
di Cakranegara adalah 46%, dan
disebabkan oleh Ancylostoma spp.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
Andresiuk V., SardellaN., Denegri G.,
2007
Seasonal
Fluctations
in
prevalence of dog intestinal parasites
in public square of Mar del Palata city
Argentina and risk for Human.revista
Argentina de Microbuologia vol 39 no
4 desember 2007
Budiana NS., 2007 Anjing ; Penebar
SwadayaDepok
Gandahusada, S., Herry D.I., Wita P.,
2006 Parasitologi Kedokteran Cetakan
Ke VI, FKUI, Jakarta
Garcia S., Lynne dan david A.
Brucner, 1996 Diagnostic Parasitologi
Kedokteran , Buku Kedokteran Jakarta
Mc.charty J., dan Moore T., A., 2000
Emerging
Helminth
Zoonoses,
Internasional Journal for Parasitology
November 2000, vol. 30 (12): 13511359
Onggowaluyo J.S. (2002) Parasitologi
Medik I Helminthologi, pendekatan
aspek indentifikasi, diagnosis dan
klinik. Jakarta ; EGC
Schad G.A., 1994 Hookworm: Pets to
Humans. Ann Intern Med. 1 Maret
1994
29
PENGARUH PENAMBAHAN KULIT MANGGIS PADA MINYAK JELANTAH
TERHADAP KADAR BILANGAN PEROKSIDA
Iswari Pauzi¹, Haerul Anam¹, Ni Made Uci Pramesthy Dewi¹
¹Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan
Abstrak
Minyak goreng tidak bisa dipisahkan dari kehidupan sehari-hari. Minyak goreng digunakan
sebagai media panas dalam proses penggorengan. Selain bermanfaat minyak goreng dapat
menjadi salah satu faktor penyebab penyakit. Minyak goreng yang dipakai pada proses
penggorengan secara berulang-ulang, akan mengalami oksidasi dan akan membentuk radikal
bebas. Kerusakan minyak akibat proses oksidasi diukur dengan bilangan peroksida.
Kerusakan minyak dapat dicegah dengan cara menambahkan antioksidan.Buah manggis
selain mengandung vitamin dan mineral juga mengandung antioksidan yang terdapat pada
kulitnya.Tujuan penelitian ini adalah mengetahui apakah ada pengaruh penambahan kulit
manggis pada minyak jelantah terhadap kadar bilangan peroksida. Metode penelitian yang
digunakan adalah metode eksperimen dengan rancangan percobaan RAL . Besarnya sampel
yang dipergunakan 2600 ml minyak jelantah 240 gr kulit manggis.Dari hasil penelitian yang
diuji secara statistik menggunakan uji One Way Anova pada tingkat kepercayaan 95% (α =
0,05) menunjukkan bahwa ada pengaruh penambahan kulit manggis 5%, 10% dan 15% b/v
yang signifikan terhadap kadar bilangan peroksida pada minyak jelantah.
Kata Kunci : Minyak Jelantah, Kulit manggis
EFFECT OF THE ADDITION OF COOKING OIL MANGOSTEEN SKIN AGAINST
PEROXIDE LEVELS NUMBERS
Abstract
Cooking oil can not be separated from everyday life . Cooking oil is used as a medium heat in
a frying process . Helpful addition to cooking oil can be one of the factors that cause disease .
Cooking oil used in frying process repeatedly , will oxidize and will form free radicals .
Damage due to oil oxidation process was measured with peroxide . Oil damage can be
prevented by adding antioxidants.Besides mangosteen fruit contains vitamins and minerals
also contain antioxidants found in the skin.The purpose of this study was to determine
whether there is the effect of adding mangosteen peel the waste cooking oil on levels of
peroxide . The method used is an experimental method to design experiments RAL . The
amount of sample used in 2600 ml cooking oil 240 gr mangosteen peel.The research results
are statistically tested using One Way Anova test at 95% confidence level ( α = 0.05 )
indicates that there is the effect of mangosteen peel 5 % , 10 % and 15 % w/v significantly to
the peroxide concentration on oil cooking.
Keywords : Cooking oil , Mangosteen skin
30
(kisaran 0,1-0,6%), dan tertinggi di kota
Mataram. Dimana secara nasional angka
prevalensi penyakit tumor/kanker sebesar
0.4%. Hal tersebut menunjukkan bahwa di
kota Mataram
prevalensi penyakit
tumor/kanker sangat tinggi. Salah satu
penyebab penyakit tumor/kanker adalah
menumpuknya radikal bebas akibat
mengkonsumsi bahan-bahan pangan yang
tidak sehat, diantaranya penggunaan
minyak
jelantah
pada
proses
penggorengan.
Berdasarkan bahaya yang dapat
ditimbulkannya,
minyak
jelantah
seharusnya dibuang dan tidak dapat
dipergunakan
lagi
untuk
proses
penggorengan. Tetapi dengan kemajuan
ilmu pengetahuan, minyak jelantah masih
dapat
dipergunakan
untuk
proses
penggorengan. Salah satu cara yang mudah
dan murah untuk mengolah minyak
jelantah agar dapat dipergunakan lagi
adalah dengan menambahkan suatu zat
yang dapat menghambat proses oksidasi
asam lemak tak jenuh dalam minyak. Zat
ini dikenal sebagai antioksidan.
Antioksidan dapat berasal dari
sintesis seperti asam askorbat, asam
maleat, asam fumarat dan dari alam seperti
vit C, kedelai, buah-buahan (Ketaren,
1986). Menurut Heyne (1997), disamping
mengandung vitamin dan mineral, buah
dan kulit
manggis juga mengandung
antioksidan. Kulit manggis sangat kaya
dengan antioksidan. Jumlah kandungan
antioksidan pada kulit buah manggis 27
lebih banyak daripada yang ada pada
daging buah manggis.
Kandungan
antioksidan kulit manggis 66.7 kali wortel,
dan 8.3 kali jeruk. Kulit manggis
mengandung antioksidan 17.000–20.000
orac per 100 ons. Bandingkan dengan
sayur dan buah yang mempunyai kadar
antioksidan tinggi seperti wortel dan jeruk
masing–masing hanya 300 orac dan 2.400
orac. Orac –(Oxygen radical absorbance
capacity) adalah kemampuan antioksidan
menetralkan radikal bebas penyebab
penyakit degenaratif seperti jantung, strok,
dan kanker (Trubus, 2009). Berdasarkan
Latar Belakang
Minyak goreng memang sulit dipisahkan
dari kehidupan masyarakat. Makanan yang
digoreng biasanya lebih lezat dan gurih,
tanpa membutuhkan tambahan bumbu
bermacam-macam. Dengan demikian,
menggoreng adalah cara yang paling
praktis untuk memasak (Arini, 1999).
Dalam proses penggorengan, minyak
goreng berperan sebagai media untuk
perpindahan panas yang cepat dan merata
pada permukaan bahan yang digoreng
(Maskan, 2003).
Penggunaan minyak goreng secara
kontinyu dan berulang-ulang pada suhu
tinggi (160-180 oC) disertai adanya kontak
dengan udara dan air pada proses
penggorengan
akan
mengakibatkan
terjadinya reaksi oksidasi yang komplek
dalam minyak dan menghasilkan barbagai
senyawa hasil reaksi seperti pembentukan
peroksida dalam minyak. Oleh sebab itu
kerusakan pada minyak atau lemak akibat
reaksi oksidasi dapat ditentukan dengan
mengukur bilangan peroksida (Ketaren,
1986). Minyak goreng juga mengalami
perubahan warna dari kuning menjadi
warna gelap. Reaksi oksidasi ini
menurunkan kualitas minyak dan akhirnya
minyak tidak dapat dipakai lagi dan harus
dibuang (Maskan, 2003). Produk reaksi
oksidasi yang terdapat dalam minyak ini
juga akan menurunkan kualitas bahan
pangan yang digoreng dan menimbulkan
pengaruh buruk bagi kesehatan (Lee,
2002).
Minyak jelantah (waste cooking
oil) adalah minyak goreng bekas yang
mengandung
senyawa-senyawa
yang
bersifat karsinogenik. Dimana pemakaian
minyak jelantah yang berkelanjutan dapat
merusak kesehatan manusia, menimbulkan
penyakit kanker, pengendapan lemak pada
pembuluh darah, dan akibat selanjutnya
dapat mengurangi kecerdasan (Sunjayadi,
2007).
Berdasarkan data Hasil Riset
Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Nusa
Tenggara Barat tahun 2007, prevalensi
penyakit tumor/kanker sebesar 0,3%
31
penelitian, pemakaian antioksidan yang
efektif ditambahkan pada bahan-bahan
makanan dengan tujuan memperbaiki
kualitas bahan pangan adalah dengan
konsentrasi 10% (Yuliana, dkk. 2005).
Tujuan
penelitian
adalah
menganalisis perbedaan kadar bilangan
peroksida
sebelum
dan
setelah
penambahan kulit manggis 5%, 10% dan
15% (b/v).
Pipet KIO30,01 N sebanyak 10,0
ml masukkan dalam erlenmeyer
250 ml. Tambahkan aquadest 25
ml.Tambahkan 5 ml KI 10% dan 5
ml H2SO4 6 N.Titrasi dengan
Na.tiosulfat 0,01 N sampai kuning
pucat.Tambahkan
indikator
amylum
1%
sebanyak
5
tetes.Titrasi dilanjutkan dengan
Na tiosulfat 0,01 N sampai end
point (biru hilang).
b. Penetapan Kadar
Bilangan
Peroksida.
Timbang 25 gr sampel masukkan
dalam
erlenmeyer
tutup
asah.Ditambahkan
30
ml
campuran pelarut (20 ml Asam
asetat + 20 ml Alkohol 96% dan
55 ml Cloroform). Digoyang
sampai bahan terlarut semua.
Ditambahkan 1 gr KI. Diamkan
selama 30 menit ditempat gelap
kemudian ditambahkan 25 ml
aquadest dan 1 ml indikator
amylum. Dititrasi dengan larutan
Na. Tiosulfat 0,01 N sampai end
point (biru hilang). Hitung kadar
H2O2.
3. Rumus Perhitungan
a. Standarisasi Na2S2O3
N KIO3 x V KIO3
=
Metode Penelitian
a. Lokasi dan Waktu Penelitian. Penelitian
ini dilaksanakan di Laboratorium Kimia
Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes
Mataram pada bulan Juli 2010.
b. Rancangan Penelitian. Jenis penelitian
ini
merupakan
penelitian
eksperimendengan
rancangan
penelitian, rancangan acak lengkap
(RA).
c. Data yang Dikumpulkan
Data yang dikumpulkan adalah hasil
analisa kimia secara titrasi iodometri
yaitu sebagai berikut :
1. Kadar bilangan peroksida pada
minyak
jelantah
sebelum
penambahan kulit manggis.
2. Kadar bilangan peroksida pada
minyak jelantah setelah penambahan
kulit manggis sebanyak 5% b/v
3. Kadar bilangan peroksida pada
minyak jelantah setelah penambahan
kulit manggis sebanyak 10% b/v
4. Kadar bilangan peroksida pada
minyak jelantah setelah penambahan
kulit manggis sebanyak 15% b/v
d. Cara Pengumpulan Data
1. Persiapan Sampel.
Dipipet masing-masing minyak
jelantah. Panaskan pada suhu 80 oC.
Masukkan kedalam minyak jelantah
yang sudah dipanaskan kulit manggis
(5%, 10% dan 15% b/v), diamkan
selma 30 menit. Masing-masing
sampel dikerjakan 8 kali replikasi
2. Prosedur Kerja
a.Standarisasi Na thiosulfat 0,01N
dengan KIO3 0,01 N.
Vt Na 2S2O3
b. Kadar Bilangan peroksida
= Vt x Ns Na 2S2 O 3 x 8 x 100%
W sampel (g)
Keterangan :
Vt
=
Volume
titrasi
W
= Berat sampel
Ns
= Normalitas
Na2S2O3 yang sebenarnya setalah
dibakukan
e. Pengelolahan dan Analisis Data
1. Pengolahan Data
Penelitian ini bersifat eksperimental
(percobaan di laboratorium) dengan
menggunakan Rancangan Acak
Lengkap (RAL) dengan 3 perlakuan.
Data hasil pemeriksaan bilangan
32
peroksida dimasukkan dalam tabel
yang digunakan untuk merekap data
hasil pemeriksaan kadar bilangan
peroksida yang akan diolah untuk uji
statistikanova one way.
2. Analisis Data
Untukmengetahuipengaruh
penambahan kulit manggis terhadap
kadar bilangan peroksida, dilakukan
analisis statistik yaitu anova one way
(analisa satu arah) pada tingkat
kepercayaan 95 % (α = 0,05). Uji
statistik dilakukan dengan bantuan
software.Untuk mengetahui tingkat
signifikan dari perlakuan terhadap
sampel
didasarkan
dengan
membandingkan probabilitas (p)
dengan α.Jika p<α berarti ada
pengaruh dari perlakuan terhadap
sampel dan data yang didapatkan
signifikan, artinya hipotesis alternatif
(Ha) diterima.Untuk mengetahui
perlakuan penambahan kulit manggis
yang memberikan pengaruh terhadap
kadar bilangan peroksida dilakukan
uji lanjutan dengan uji komparasi
ganda dengan metode Tuekey.
Kulit manggis yang digunakan
adalah kulit dari buah manggis yang
sudah
matang
berwarna
hitam
keunguan. Buah manggis dikupas dan
diambil kulitnya. Penambahan kulit
manggis di variasikan menjadi tiga
konsentrasi yaitu 5 gr kulit manggis
dalam 100 ml minyak jelantah (5%b/v),
10 gr kulit manggis dalam 100 ml
minyak jelantah (10%b/v) dan 15 gr
kulit manggis dalam 100 ml minyak
jelantah (15%b/v). Sebelumnya minyak
jelantah dipanaskan terlebih dahulu
pada waterbath sampai mencapai suhu
80 oC. Sampel ditempatkan pada botol
plastik dan didiamkan selama 30 menit
pada suhu kamar.
Pemeriksaan
kadar
bilangan
peroksida minyak jelantah dilakukan
pada tanggal 8 Juli 2010. Yang diawali
dengan
standarisasi
kemudian
dilanjutkan dengan penetapan kadar.
Penelitian ini menggunakan metode
titrasi Iodometri yang menggunakan
Natrium Thiosulfat 0,1 N sebagai titran
dengan indikator amylum 1%. Jenis
penelitian adalah Eksperimental dengan
8 kali replikasi dan 24 unit percobaan.
b. Hasil Penelitian
Dari hasil penelitian yang telah
dilakukan, diperoleh kadar bilangan
peroksida (mg O2/100gr) minyak
jelantah, untuk 4 variasi konsentrasi
kulit manggis sesuai tabel berikut.
Hasil
a. Gambaran Umum Penelitian
Sampel
minyak
jelantah
yang
digunakan adalah minyak jelantah yang
dipakai oleh pedagang gorengandi
depan Pasar Abiantubuh. Minyak
jelantah tersebut sudah dipakai untuk
proses penggorengan lebih dari 2 kali.
Tabel 1. Kadar bilangan peroksida minyak jelantah sebelum ditambahkan kulit manggis
Replikasi
Kode Sampel
1
2
0%.1
0%.2
Kadar
(mg O2/100 gr)
2,49
2,23
Tidak memenuhi syarat
Tidak memenuhi syarat
2,36
Tidak memenuhi syarat
Rata-rata
PadaTabel 1 menunjukan bahwa
kadar bilangan peroksida pada minyak
jelantah sebelum ditambahkan kulit
manggis cukup tinggi (melebihi nilai
Keterangan
standar). Nilai standar untuk bilangan
peroksida menurut SII adalah < 1 mg
O2/100 gr minyak.
33
Tabel 2. Kadar bilangan peroksida minyak jelantah dengan penambahan kulitmanggis 5% b/v
Konst
Replikasi
KuliManggis
5%
1
2
3
4
5
6
7
8
Rata - rata
KodeSampel
1
2
3
4
5
6
7
8
Tabel2 menunjukan bahwa kadar bilangan
peroksida pada minyak jelantah dengan
penambahan kulit manggis 5% mengalami
KadarMg
O2/100 gr
1.97
1.71
1.83
2.22
2.10
1.83
1.97
1.96
1.95
%
Penurunan
0.39
0.65
0.53
0.14
0.26
0.53
0.39
0.40
0.41
penurunan sebesar 0.41 % dari kadar
bilangan peroksida awal (0%).
Tabel 3. Kadar bilangan peroksida minyak jelantah dengan penambahan kulit manggis
10% b/v
Konst Kulit
Replikasi KodeSampel
KadarMg
% Penurunan
Manggis
O2/100 gr
10 %
1
1
1.57
0.79
2
2
1.57
0.79
3
3
1.31
1.05
4
4
1.70
0.66
5
5
1.05
1.31
6
6
1.57
0.79
7
7
1.70
0.66
8
8
1.84
0.52
Rata - rata
1.54
0.82
Tabel3 menunjukan bahwa kadar bilangan
peroksida pada minyak jelantah dengan
penambahan
kulit
manggis
10%
mengalami penurunan sebesar 0.82 % dari
kadar bilangan peroksida awal (0%).
Tabel 4. Kadar bilangan peroksida minyak jelantah dengan penambahan
kulit manggis 15% b/v
Konst Kulit
Replikasi KodeSampel KadarMg
%
Manggis
O2/100 gr
Penurunan
1
1
1.18
1.18
15%
2
2
1.31
1.05
3
3
0.92
1.44
4
4
1.70
0.66
5
5
1.18
1.18
6
6
1.57
0.79
7
7
1.70
0.66
8
8
0.79
1.57
Rata - rata
1.29
1.07
34
Tabel 4 menunjukan bahwa kadar bilangan
peroksida pada minyak jelantah dengan
penambahan
kulit
manggis
15%
mengalami penurunan sebesar 1.07 % dari
kadar bilangan peroksida awal (0%).
Dari tabel 2, 3 dan 4 menunjukan bahwa
kadar bilangan peroksida pada minyak
jelantah menurun dengan penambahan
kulit manggis pada variasi konsentrasi
(5%,
10%
dan
15%
b/v).
Tabel 5. Kadar bilangan peroksida minyak jelantah dengan penambahan kulit manggis
pada berbagai konsentrasi (5%, 10% dan 15% b/v).
1
2
3
4
5
6
7
8
Jumlah Total
Jumlah Ratarata
Perlakuan
T2
(10%b/v)
1.57
1.57
1.31
1.7
1.05
1.57
1.7
1.84
12.31
1.54
T1
(5%b/v)
1.97
1.71
1.83
2.22
2.1
1.83
1.97
1.96
15.59
1.95
Tabel5 bahwa kadar bilangan peroksida
pada minyak jelantah dengan penambahan
kulit manggis dari konsentrasi terkecil 5%
ke konsentrasi 10% dan 15% terjadi
penurunan.
T3
(15%b/v)
1.18
1.31
0.92
1.7
1.18
1.57
1.7
0.79
10.35
1.29
Tabel 6. Uji Normalitas Data (syarat
p>0.05)
Levene
df1 df2 Sig.
Statistic
2,276
2
21 ,12
7
c. Hasil uji statistik
Data penelitian diolah menggunakan Uji
statistik Anova One Way pada tingkat
kepercayaan 95% (α = 0,05) dan
dilanjutkandengan uji Tukey HSD (Highly
Significance Difference).
Tabel 6 dapat dilihat bahwa p = 0,127 >
0,05 yang berarti bahwa data homogen.
Tabel 7. Dependen Variable : Bilangan Peroksida (Syarat p < 0,05)
Sum of Squares
df
Mean Square
F
Sig.
Between Groups
1,752
2
,876
Within Groups
1,446
21
,069
Total
3,198
23
35
12,72
9
,000
Tabel 7 menunjukkan bahwa penambahan
kulit manggis , mempunyai pengaruh yang
signifikan terhadap kadar bilangan
peroksida pada minyak jelantah (p = 0,000
< 0,005).
Tabel 8. Uji Tukey HSD berdasarkan Konsentrasi Kulit Manggis
Multiple Comparisons
Dependent Variable: Kadar Peroksida (%)
Tukey HSD
(I)
(J)
Mean
Penambaha Penambahan
Std.
95% Confidence
Differen
Sig.
n Kulit
Kulit
Error
Interval
ce (I-J)
Manggis
Manggis
Lower
Upper
Boun
Bound
d
5%
10%
,4100(*) ,1311
,014
,0793
,7407
8
15%
,6550(*) ,1311
,000
,3243
,9857
8
10%
5%
-,4100(*) ,1311
,014 -,7407
-,0793
8
15%
,2450
,1311
,173 -,0857
,5757
8
15%
5%
-,6550(*) ,1311
,000 -,9857
-,3243
8
10%
-,2450
,1311
,173 -,5757
,0857
8
Tabel 8 menunjukkan adanya perbedaan
pengaruh pada konsentrasi 5% dengan
konsentrasi 10% dan 15%. Tetapi pada
konsentrasi 10% dan 15% tidak
menunjukkan adanya perbedaan pengaruh.
Pembahasan
Pengaruh Konsentrasi Kulit manggis
Terhadap Bilangan Peroksida Pada Minyak
Jelantah
Hasil penelitian menunjukan bahwa
minyak jelantah tanpa penambahan kulit
manggis (0%) yang menjadi kontrol
mempunyai kadar bilangan peroksida
paling tinggi dibandingkan dengan
bilangan peroksida pada minyak jelantah
yang ditambahkan kulit manggis pada
konsentrasi 5%, 10% dan 15%. Perbedaan
kadar bilangan peroksida disebabkan
karena adanya zat antioksidan dalam kulit
manggis. Antioksidan dapat menghambat
proses oksidasi asam lemak tak jenuh
dalam minyak sehingga dapat menurunkan
kadar bilangan peroksida.
Zat antioksidan yang terdapat pada kulit
manggis adalah senyawa Xanthone yang
meliputi
mangostin,
mangostenol,
mangostinon A dan B, trapezifolixanthone,
tovophylin B, Alfa mangostin, beta
mangostin, garcinon B, mangostanol,
flavonoid epicatechin dan gartanin.
Mekanisme
antioksidan
dalam
menghambat oksidasi atau menghentikan
reaksi berantai pada radikal bebas dari
lemak yang teroksidasi, dapat disebabkan
oleh 4 macam mekanisme reaksi, yaitu 1)
pelepasan hidrogen dari anti oksidan, 2)
pelepasan elektron dari antioksidan, 3)
addisi lemak ke dalam cincin aromatik
pada antioksidan, dan 4) pembentukan
senyawa kompleks antara lemak dan cincin
aromatik dari antioksidan. Antioksidan
dapat menghambat setiap tahap proses
oksidasi. Dengan penambahan antioksidan,
36
maka energi dalam persenyawaan aktif
diikat oleh antioksidan, sehingga reaksi
oksidasi terhenti (Ketaren, 1986).
Antioksidan
memperlambat
pembentukan senyawa peroksida dengan
cara menginaktifkan radikal-radikal bebas
ROO∙dan R∙ dalam reaksi oksidasi minyak.
Menurut Sakidja (1089), antioksidan
bertindak sebagai pemberi hidrogen pada
radikal bebas seperti ROO∙dan R∙.
Minyak jelantah yang ditambahkan kulit
manggis menunjukkan semakin besar
konsentrasi antioksidan semakin kecil
kadar bilangan peroksida pada minyak
jelantah dibandingkan dengan kadar
bilangan peroksida minyak jelantah tanpa
penambahan kulit manggis.
a. Interaksi Antara Konsentrasi Kulit
Manggis Terhadap Kadar Bilangan
Peroksida Pada Minyak Jelantah.
Berdasarkan hasil analisis Anova One
Way menunjukkan bahwa penambahan
kulit manggis pada minyak jelantah
memberikan pengaruh yang signifikan
(p = 0,000 < 0,05) artinya ada pengaruh
penambahan kulit manggis pada minyak
jelantah terhadap kadar bilangan
peroksida. Pada penelitian, penambahan
kulit manggis dengan konsentrasi 10 %
dan 15 % yang dapat menurunkan kadar
bilangan peroksida paling maksimum.
Berdasarkan hasil analisis Tukey HSD
menunjukkan bahwa ada perbedaan
pengaruh pada penambahan kulit
manggis konsentrasi 5% dengan
konsentrasi 10% dan 15%. Tetapi pada
konsentrasi 10% dengan 15% tidak
menunjukkan
adanya
perbedaan
pengaruh. Hal ini sesuai dengan
pendapat Yuliana, dkk (2005), bahwa
pemakaian antioksidan yang efektif
ditambahkan
pada
bahan-bahan
makanan dengan tujuan memperbaiki
kualitas bahan pangan adalah dengan
konsentrasi 10%.
bilangan peroksida pada minyak jelantah
setelah penambahan kulit manggis 5%
adalah 1,95 mg O2 / 100 g.Kadar bilangan
peroksida pada minyak jelantah setelah
penambahan kulit manggis 10% adalah
1,54 mg O2 / 100 g.Kadar bilangan
peroksida pada minyak jelantah setelah
penambahan kulit manggis 15% adalah
1,29 mg O2 / 100 g.Ada pengaruh yang
signifikan antara konsentrasi penambahan
kulit manggis pada minyak jelantah
terhadap kadar bilangan peroksida.
Saran
Untuk peneliti selanjutnya dapat diteliti
tentang pengaruh penambahan kulit
manggis dengan lama penyimpanan 0 hari,
10 hari dan 20 hari dengan konsentrasi
10% terhadap kadar bilangan peroksida.
Bagi masyarakat, kulit manggis dapat
dijadikan alternatif untuk digunakan
sebagai penghambat proses ketengikan
yang merupakan indikator kenaikan
bilangan peroksida pada minyak jelantah.
Daftar Pustaka
1. Arini, (1999), ―Minyak Jelantah,
Amankah?― , Jurnal LP POM MUI,
No. 25
2. Azeredo, H.M.C., Faria, J.A.F., dan
M.A.A.P.
da
Silva,
(2004),
―Minimization of Proxide Formation
Rate in Soybean Oil by Antioxidant
Combinations“ , Food Research
International, 37, hal. 689-694
3. Anonim, 2002.‖Dibalik Gurihnya
Minyak Goreng Jelantah Merangsang
Kanker Kolon”. Rakyat.com
4. Effendi, U AS dan Satia Wihardja, dr.
2010. Minyak Jelantah. IPB
5. Hermann J. Roth dan Blaschke
Gottfried, 1998.Analisis Farmasi,
Gadjah Mada University Press.
6. Heyne, K., 1987, Tumbuhan Berguna
Indonesia III, Penerjemah : Badan
7. Penelitian
dan
Pengembangan
Kehutanan,
Yayasan
Sarana
Wahajaya,Jakarta, pp 1385 –1386
Kesimpulan
Kadar bilangan peroksida sebelum
penambahan kulit manggis pada minyak
jelantah adalah 2,36 mg O2 / 100 g.Kadar
37
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
18.
19.
20.
Hasil
Riset
Kesehatan
Dasar
(RISKESDAS) Nusa Tenggara Barat.
2007
Ketaren.
S,
1986.
Pengantar
Teknologi Minyak dan lemak Pangan
Lawson,
Harry
W.,
(1985),
“Standards for Fats and Oil“ , The
AVI Publishing company, Inc., Weat
Port, Connecticut, hal 12-18.
Lee, J., Lee, S., Lee, H., Park, K. dan
E. Choe, (2002), ―Spinach (spinacia
oleracea) as a Natural Food Grade
Antioxidant in Deep Fat Fried
Products― , Journal of Agricultural
and Food Chemistry, 50, hal. 56645669
Maskan, M. dan H.I. Bagci., (2003),
―Effect of Different Adsorbents On
Purification of Used Sunflower Seed
Oil Utilized For Frying― , Journal of
Food Research Technology, 217, hal.
215-218
Maskan, M. dan H.I. Bagci., (2003),
―The Recovery of Used Sunflower
Seed Oil Utilized in Repeated Deep
Fat Frying Process― , European Food
Research and Technology, 218, hal.
26-31
Notoatmodjo, S. 2002. Metodologi
Penelitian Kesehatan, Rineka Cipta
Jakarta
Qosim dan Plantus, 2007. Kulit Buah
manggis Sebagai Antioksidan
Sunjayadi, A. 2007. Nasi Goreng.
Achmadsunjayadi.wordpress.com
Trubus, 2009. Dicari Kulit Manggis
untuk eksport. Majalah Pertanian
Winarno, 1984. Kimia pangan dan
Gizi, PT.Gramedia, Jakarta.
Winarno, 1995. Kimia pangan dan
Gizi, PT.Gramedia, Jakarta.
Yuliana, dkk., (2005), ―Penggunaan
Adsorben Untuk Mengurangi Kadar
Free Fatty Acid, Peroxide Value dan
Warna Minyak Goreng Bekas“ ,
Jurnal Teknik Kimia Indonesia, Vol.
4., No. 2., hal.212-218
38
PENGARUH EKSTRAK METHANOL KULIT BUAH MANGGIS
(Garcina mangostana L) TERHADAP PERTUMBUHAN KULTUR
Mycobacterium tuberculosis GALUR LOMBOK TIMUR
Pancawati Ariami¹ , Rohmi¹
1
Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan
Abstrak
Manggis (Garcinia mangostana L) mengandung bahan antioksidan tertinggi, salah satunya
diperoleh dengan cara ekstraksi menggunakan pelarut methanol. Kulit manggis dan hasil
olahnya telah dimanfaatkan dan dibuktikan menyembuhkan berbagai penyakit, termasuk TB
paru yang disebabkan oleh Mycobacterium tuberculosis. Penelitian tentang ekstrak methanol
kulit manggis melawan M tuberculosis masih terbatas, dan yang menggunakan galur lokal
Lombok Timur belum ada. Penelitian ditujukan untuk mengetahui pengaruh ekstrak methanol
kulit manggis terhadap pertumbuhan kulturM tuberculosis galur Lombok Timur. Penelitian
pre-eksperimen di laboratorium dengan menggunakan tiga sampel M tuberculosis galur
Lombok Timur dan kontrol kuman virulen M tuberculosis H37Rv, diuji secara
deskriptif.Isolasi kulit buah manggis menggunakan methahol menghasilkan 12 senyawa
dengan 6 senyawa utama berupa Cyclopentadecanone,2-hidroxy- (C15H28O2);9-octadecanoic
acid (Z)-, 2-hydroxy-1-(hydroxymethyl) ethylester (CAS) -2-monoolein (C21H40O4);
octadecanoic acid (CAS) Stearic acid(C18H36O2); hexadecanoic acid (C16H32O2);
hexadecanoic acid, 2-hydroxy-1hidroxymethyl)ethyl-ester(CAS) 2-monopalmitin (C19H38O4);
dan (R)-(-)-14-methyl-8-hexadecyn-1-ol (C17H32O). Identifikasi hasil pertumbuhan M
tuberculosis pada media LJ dan
M tuberculosisdalam Middlebrook 7H9 broth yang diberi
ekstrak methanol kulit manggis ditanam pada Middlebrook 7H10 agar. Sebanyak dua sampel
terdapat pertumbuhan M tuberculosis (Resisten) sedangkan satu sampel tidak ditemukan
(Sensitif) terhadap ekstrak methanol kulit manggis baik pada konsentrasi 100, 200, maupun
300 µg/mL.
Kata kunci : Ekstrak Methanol Kulit Manggis, Kultur M Tuberculosis Galur Lombok Timur
EFFECT OF METHANOL EXTRACT SKIN FRUIT Mangosteen
(Garcina mangostana L) ON THE GROWTH CULTURE
Mycobacterium tuberculosis STRAIN EAST LOMBOK
Abstract
Mangosteen (Garcinia mangostana L) contain the highest antioxidant Xanthones, one of
which is obtained by solvent extraction using methanol .Processed methanol extract of
mangosteen peel have been used and proven to cure various diseases, including pulmonary
tuberculosis caused by Mycobacterium tuberculosis . Research on the methanol extract of
mangosteen peel against M tuberculosis is still limited , and the use of local strain Lombok
Timur no . The study aimed to determine the effect of the methanol extract of mangosteen
peel on the growth of M tuberculosis strains East Lombok cultured. Pre - experimental
research in the laboratory using three samples of M tuberculosis strains East Lombok and
controls germs M tuberculosis H37Rv , tested descriptively.Isolation mangosteen rind using
methahol produce compound 12 with 6 main compound in the form of Cyclopentadecanone ,2
- hidroxy - (C15H28O2) ; 9 - octadecanoic acid (Z)-, 2-hydroxy-1-(hydroxymethyl) ethylester
(CAS)-2-monoolein (C21H40O4), octadecanoic acid ( CAS ) Stearic acid ( C18H36O2 ),
hexadecanoic acid ( C16H32O2 ), hexadecanoic acid , 2 - hydroxy - 1hidroxymethyl ) - ethyl
39
ester ( CAS ) 2 - monopalmitin ( C19H38O4 ) and ( R ) - ( - ) - 14 - methyl - 8 - hexadecyn - 1
- ol ( C17H32O ) . Identify the growth of M tuberculosis results on LJ medium and M
tuberculosis in Middlebrook 7H9 broth fed methanol extract of mangosteen peel grown on
Middlebrook 7H10 agar. A total of two samples contained the growth of M tuberculosis
(Resistant), whereas one sample was not found growing M tuberculosis (Sensitive) of the
methanol extract of mangosteen peel well at concentrations of 100, 200, and 300 ug / ml.
Keywords : methanol extract of mangosteen peel , culture M tuberculosis, strains East
Lombok
40
mengandung bioaktif yang merupakan
sekumpulan molekul biologi yang sangat
aktif. Lebih dari 200 xanthone terdapat di
alam dan 50 diantaranya terdapat dalam
buah manggis, terutama dibagian kulit
buah. Manggis, telah digunakan dalam
pengobatan tradisional kuno yang tercatat
dalam sejarah Dinasti Ming (Redaksi
Trubus, 2011).
Beberapa penelitian kulit buah manggis
dalam berbagai keperluan telah dibuktikan.
Senyawa utama pada kulit yaitu αmangostin, γ-mangostin dan garcinone B.
Suksamrarn et al., (2002) mengisolasi 3
xanthone baru dari kulit manggis yang
berwarna hijau yaitu mangostenol,
mangostenone A, dan mangostenone B.
Tahun 2003, tim ini melaporkan tentang
aktivitas antimycobacterial xanthone dari
kulit manggis, juga seperti yang ditulis
oleh Mardiana (2012) bahwa α-mangostin,
γ-mangostin dangarcinone B pada senyawa
Xanthone menghambat pertumbuhan M
tuberculosis . Hal ini penting karena
antibiotika untuk pengobatan penyakit ini
semakin lama menjadi tidak efektif dengan
timbulnya MDR (multi drug resistance).
Penelitian xanthone di Indonesia juga telah
berhasil mengisolasi xanthone dari
manggis (G.mangostana) dan Garcinia sp
dari kulit buah manggis diantaranya
mangostanol dan α-mangostin (Cahyana,
2006).
Vaksin dan kemoterapi efektif
melawan tuberkulosis (TB) selama lebih
dari setengah abad, namun WHO
menyatakan TB dalam darurat global pada
tahun 1993. Data WHO tahun 2004,
jumlah orang yang terinfeksi hampir 9 juta
dan sekitar1, 7juta orang meninggal
karena TB. Kedua jumlah tertinggi
kematian dan angka kematian tertinggi
perkapita d iwilayah Afrika (Szkaradek
et.al.,
2008).
Di
Indonesia,
penanggulangan TB secara nasional
dimulai sejak 1969 dengan pengobatan
jangka panjang. Sejak tahun 1987
digunakan obat jangka pendek. Sampai
tahun 1994 jumlah Puskesmas yang
menanggulangi TB 3995 dari 6000,
Pendahuluan
Tuberkulosis (Tbc) merupakan suatu
penyakit yang terjadi karena adanya
infeksi oleh Mycobakterium tuberkulosis.
Bakteri tersebut sering tumbuh di dalam
organ paru paru, juga dapat menyerang
organ tubuh lainnya, bahkan berpotensi
menyebabkan kematian. Pengobatan dapat
diberikan obat sintetis maupun obat herbal
sebagai alternatif dalam mengobati
penyakit tbc.
Manggis (Garcinia mangostana L)
memiliki antioksidan yang menangkal
radikal bebas dan mencegah kerusakan sel.
Manggis
mengandung
antioksidan
(Xanthone) yang paling banyak terdapat
pada kulit buah. Kadarnya mencapai
123,97 mg/ml. Manggis merupakan salah
satu buah yang memiliki kadar antioksidan
tertinggi (Redaksi Trubus, 2011).
Xanthone
sebagai
antioksidan
melebihi vitamin E dan vitamin C.
Xanthone yang terdapat di manggis
merupakan subtansi kimia alami yang
tergolong senyawa polyphenolic. Peneliti
dari Universitas Taichung di Taiwan telah
mengisolasi xanthone dan deviratnya dari
kulit buah manggis (pericarp) di antaranya
yang diketahui adalah 3-isomangoestein,
alpha mangostin, gamma-mangostin,
garcinone A, garcinone B, C, D dan
garcinone E, maclurin, mangostenol
(Redaksi Trubus, 2011).
Xanthone berfungsi sebagai obat
kanker, menetralkan radikal bebas. Di
dalam Xanthone juga mempunyai sifat
sebagai anti inflammasi, anti mikroba,
menurunkan
cholesterol,
antiviral,
antifungal,
antiparasit,
antiallergen,
membantu menurunkan tekanan darah,
membantu melawan kelelahan, mencegah
sakit maag, menolong menurunkan berat
badan, membentuk kekebalan terhadap
penyakit, pelindung jantung, memerangi
diare, peredam sakit, analgesik, antiparkinson, anti-Alzheimer, antidepressant,
menurunkan demam. Xanthone dalam
kulit manggis juga ampuh mengatasi
penyakit tuberculosis. Selain vitamin,
polisakarida,
stilbenes,
manggis
41
dengan angka kesembuhan 40-60%.
Tahun 1995 diterapkan strategi DOTS
dengan angka sukses pengobatan 86,8%.
Dari laporan para klinisi, kasus MDR
maupun XDR sudah timbul, tapi
besarannya belum jelas (Sjahrurachman,
2008).
WHO memperkirakan sepertiga
penduduk dunia terinfeksi M. tuberculosis,
dan pada tahun 2009 diperkirakan terdapat
9,27 juta kasus baru. TB merupakan
penyakit infeksi terbesar nomor dua
penyumbang angka mortalitas dewasa
yang menyebabkan sekitar 1,7 juta
kematian (WHO 2008). Negara dengan
prevalensi TB terbesar adalah India, Cina,
Afrika Selatan, Nigeria dan Indonesia. Di
Indonesia, diperkirakan terdapat 528.000
kasus baru TB per tahun. TB juga
menduduki peringkat 3 dari 10 penyebab
kematian yang menyebabkan 146.000
kematian setiap tahun (Burhan, 2010).
Terapimodern
yangdirekomendasikan
untukTBterdiridariisoniazid,
rifampisin,
pirazinamid, etambutolatau streptomisin,
kadang-kadang diberikan obatalternatif
lebih beracuntermasuk menggunakan
etionamid,
asamaminosalisilat
danofloksasin.
Efeksamping
berupa
hepatitis, intoleransigastrointestinal, gagal
ginjal, dermatologis, reaksihematologi
merupakan salah satu penyebab kegagalan
OAT dan resistensi obat meluas.
Evaluasiaktivitas
beberapa
derivat
xanthone melawan M.tuberculosisdalam
ujimikrobiologiprimer danatau sekunder.
Aktivitassitotoksikdari tiga senyawa utama
jugadievaluasi dan menunjukan 98%, 98%
dan94%
menghambatpertumbuhanM.
Tuberculosis (Szkaradek et.al., 2008)
G. mangostana dari kulit buah segar
diekstraksi dan diisolasi dengan methanol,
menghasilkan empat senyawa xanthone
dan diidentifikasi lebih lanjut. Prosedur
aktivitas
bioassay
antimycobacterial
dinilai terhadap M. tuberculosis H37Ra
menggunakan Microplate Alamar Blue
Assay. Konsentrasi obat terendah yang
mempengaruhi penghambatan sebesar 90%
dianggap MIC. MICdengan nilai antara
6,25 – 200 µg/ml. Sedangkan obat standar
rifampisin, isoniazid dan sulfat kanamisin
masing-masing menunjukkan MIC 0,0030,0047; 0,025-0,05 dan 1,25-2,5 µg/ml
(Suksamrarn et. al., 2003).
Penelitian tentang manfaat xanthone
telah banyak dilakukan. Hambatan
pertumbuhan M tuberculosismenggunakan
senyawa xanthone telah dilakukan oleh
Suksamrarn
et.al.
danSzkaradek
et.al.Tuberculosis di Nusa Tenggara Barat
masih menjadi salah satu program utama
pemberantasan penyakit. Salah satu
kabupaten yang menduduki penderita
tuberculosis cukup tinggi adalah Lombook
Timur. Hanafi, dkk tahun 2011
menemukan adanya resistensi OAT di
Lombok Timur, hal ini mendesak para
klinisi maupun peneliti untuk segera
bertindak dalam mengatasi resistensi OAT
baik dengan menggunakan obat baru
maupun bahan yang berkhasiat obat.
Penelitian tentang efek penghambatan
xanthone yang berasal dari ekstrak kulit
manggis terhadap M tuberculosis masih
sangat terbatas, apalagi kultur yang berasal
dari galur lokal, Lombok Timur.
Berdasarkan kenyataan ini, kami ingin
melakukan penelitian tentang ―Pengaruh
ekstrak methanol kulit manggis (Garcinia
mangostana L) terhadap pertumbuhan
kultur Mycobacterium tuberculosis galur
Lombok Timur ‖.
Penelitian ini ditujukan untuk
mencari bahan aktif dalam ekstrak
methanol kulit manggis dan menentukan
pengaruh ekstrak methanol kulit manggis
terhadap
pertumbuhan
kultur
M
tuberculosis galur Lombok Timur.
Metode Penelitian
a. Tempat dan waktu penelitian
Tempat penelitian untuk ekstraksi kulit
buah manggis dilakukandi laboratorium
Kimia
Analitik
Fakultas
MIPA
Universitas Mataram. Kultur M
tuberculosis untuk mendapatkan kultur
murni dilakukan di ruang Mikrobiologi
Jurusan Analis Kesehatan Poltekkes
42
Kemenkes Mataram. Pengaruh ekstrak
methanol kulit manggis terhadap
pertumbuhan M tuberculosis dilakukan
di
laboratorium
Mikrobiologi
(Laboratorium TB) Tropical Disease
Center
Universitas
Airlangga
Surabaya.Waktu penelitian berlangsung
selama 8 bulan yaitu dari bulan Maret
s.d bulan Nopember 2013.
b. Jenis dan rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian preeksperimen
laboratorium
dengan
rancang penelitian yang digunakan
adalah Rancang Acak kelompok
(RAK).
Penentuan
konsentrasi
yang
digunakan pada perlakuan dalam
penelitian ini yaitu berdasarkan
penelitian Suksamrarn, 2003 yang
menemukan MIC antara 6,25 – 200
µg/ml pada kuman sensitif M
tuberculosis H37Ra. Untuk uji kuman
M tuberculosisgalur Lombok Timur,
maka dosis yang diberikan untuk
pengujian adalah dosis maksimal
tertinggi karena kandungan hasil
ektraksi dengan methanol masih
merupakan ekstrak kasar. Konsentrasi
ekstrak methanol kulit manggis yang
digunakan adalah 100, 200, dan 300
µg/ml. Pemeriksaan dilakukan duplo.
c. Alat dan bahan penelitian
Alat penelitian: tabung dan plate untuk
pembiakan, rak tabung, Autoclave,
inkubator, lampu bunsen, Yellow tip,
Blue ti, mikropipet, jarum penanam,
Laminar flow, Vortex.
Bahan-bahan: ekstrak methanol kulit
manggis, Isolat M tuberculosis galur
Lombok Timur, Isolat virulent M
tuberculosis H37Rv untuk kontrol,
Media Middlebrook 7H9 broth dan
Middlebrook 7H10 agar, air garam
fisiologis steril, Standart kekeruhan 1
Mc. Farland.
d. Rincian cara kerja :
1) Pembuatan ekstrak methanol kulit
buah manggis dengan cara ekstraksi
kulit
buah
manggis
dengan
menggunakan pelarut Methanol
a) Alat dan Bahan: Rotafavor
(Merk:Heidolph), Neraca analitik,
gelas ukur 250 mL, Erlenmeyer
250 mL, gelas kimia 500 mL,
Wadah maserasi (toples), Corong
dan kain kasa, Methanol absolut,
95% (p.a)
b) Prosedur Kerja. Sampel kulit
manggis dipotong kecil-kecil,
dikeringkan pada suhu 600C
selama
4
jam.
Sampel
dimasukkan ke dalam wadah
maserasi dan ditambahkan pelarut
methanol sebanyak 1000 mL,
direndam dalam methanol selama
1 x 24 jam. Sampel kulit manggis
disaring menggunakan kain kasa
kemudian ekstrak sampel kulit
manggis dipisahkan. Ekstrak
methanol dimasukkan dalam labu
evaporator kemudian dievaporasi
sampai diperoleh ekstrak kental.
Ekstrak yang diperoleh disebut
sebagai ekstrak kasar xanthone.
Ekstrak kental yang diperoleh
disimpan untuk dilanjutkan pada
identifikasi
menggunakan
kromatografi gas.
2) Pembuatan Media Middlebrook 7H9
broth. Suspensikan 4,7g serbuk
media dalam900mL aquadest yang
mengandung5mlTween80.
Aduk
rata. Sterilasi pada Autoclave,
121°Cselama 20menit. Tambahkan
secara aseptik 100mLenrichment
ADCMiddlebrookke media pada saat
suhu media 45-50°C (Difco, 2012).
3) Pembuatan standart kekeruhan 1Mc.
Farland. Standart Mc. Farland dibuat
dari campuran Asam Sulfat 1%
sebanyak 9,90 ml dengan Barium
Chlorida
1%
sebanyak
0,10
mL.Diperkirakan jumlah kuman
setara
dengan
300
juta/mL
(Soemarno, 2002).
4) Pembuatan Suspensi Isolat Murni M
tuberculosis dengan kekeruhan 1 unit
Mc. Farland, Isolat murni M
tuberculosisdiperbanyak dengan cara
menanamnya pada media LJ,
43
mL methanol absolute 95%
(Aisya, 2013). Dipipet 100
µL,200 µL dan 300 µL masingmasing ditambahkan aquadest
steril sampai 1000 µL, sehingga
kadar larutan menjadi 100,200dan
300 µg/mL .
b) Disiapkan
masing-masing
4
pengenceran dengan 4 deret
tabung (untuk 3 sampel dan 1
kontrol).
c) Disusun tabung masing-masing
pada tabung I berisi 5 ml
mediaMiddlebrook 7H9 Broth.
Tabung II, III, dan IV masingmasing berisi 4,5 ml media
Middlebrook 7H9 Broth.
d) Dibuat standart 1McFarland untuk
sampel dan standar,pengenceran
105.
Ringkasan uji ekstrak methanol
kulit buah manggis, dapat diamati
pada skema berikut:
inkubasi suhu 37C selama 4-8
minggu. Diambil 1 ujung ose, koloni
kuman
yang
tumbuh
dan
disuspensikan pada air garam
fisiologis sampai kekeruhanya 1Mc.
Farland. Salah satu cara untuk
membandingkan kekeruhan suspensi
dengan standar yaitu dengan
memegang kedua tabung kemudian
dibandingkan
kekeruhan
kedua
tabung dengan latar belakang kertas
putih yang diberi garis tebal dengan
spidol berwarna. Bila kurang keruh
tambahkan koloni dan bila terlalu
keruh tambahkan garam fisiologis.
5) Uji ekstrak kasar kulit manggis pada
biakan kuman M tuberculosis
Prosedur kerja:
a) Dibuat larutan induk ekstrak
methanol kulit manggis dengan
menimbang
masing-masing
sejumlah 10 mg ekstrak methanol
kulit manggis dilarutkan dalam 1
1mata
ose
Isolat
500µL
500µl+100µL
ekstrak
500µL
108
107
106
5ml
7H9
4,5ml
7H9
4,5ml
7H9
105
4,5ml
7H9
100µL
7H10
Skema pengujian ekstrak methanol kulit buah manggis
terhadap pertumbuhan M tuberculosis galur Lombok Timur
e) Dimasukkan masing-masing 1
mata
ose
isolat
kuman
dimasukkan ke dalam deret
tabung I, dicampurkan merata.
Kemudian dipipet secara aseptik
500 µL dari campuran di tabung
deret I, dipindahkan ke dalam
tabung deret II; begitu seterusnya
sampai tabung deret IV.
f) Ke dalam tabung deret IV untuk
sampel
masing-masing
ditambahkan 100 µL konsentrasi
100,200 dan 300 µg/mL.
g) Dibiarkan selama 30 menit.
44
h) Disiapkan media Middlebrook
7H10 agar dan dibuat sumuran,
diberi
label
masing-masing
petridish dengan no sampel 3, 6,
dan 49, disertai konsentrasi
ekstrak kasar kulit manggis 100,
200, dan 300 µg/mL.
i)Dimasukkan kedalam sumuran
masing-masing sejumlah 100 µL
dari tabung deret IV pada point f).
j)Dibuat juga sumuran untuk kontrol
positif berisi isolat kuman sensitif
M tuberculosis H27Rv, dan
kontrol negatif
berisi isolat
kuman virulen
M
tuberculosis
H27Rv
dan
Etambutol sebagai obat anti
tuberculosis (OAT)
k) Inkubasi pada inkubator CO2
selama 3minggu.
l)Hasil inkubasi dari masing-masing
sumuran diambil dan dibuat
preparat
untuk
dilakukan
pengecatan BTA.
m) Penemuan BTA positif berarti
resisten karena ekstrak methanol
kulit manggis tidak mampu
menghambat pertumbuhan M
tuberculosis. Dan tidak adanya
pertumbuhan
kuman
M
tuberculosis,
berarti
uji
dinyatakan sensitif.
e. Cara Pengolahan dan Analisa Data
Data yang diperoleh dari hasil
penelitian di laboratorium kemudian
dianalisis. Perlakuan dalam penelitian
ini adalah konsentrasi 100, 200, dan 300
µg/mL
ekstrak
methanol
kulit
manggis.Data tentang hasil uji ekstrak
methanol kulit manggis
terhadap
pertumbuhan
M tuberculosis galur
Lombok Timur yang diperoleh diolah
secara deskriptif.
manggis yang dipakai untuk diekstraksi
adalah buah manggis segar dengan
kematangan yang baik, warna kulit merata,
tidak cacat, tidak tergores sehingga
mengeluarkan getah.Buahmanggis dibelah,
daging kulit buah manggis dipisahkan
dengan menggunakan sendok.
Ekstraksi
kulit
manggis
menggunakan pelarut metanol dilakukan di
laboratorium Kimia Analitik F-MIPA
Universitas Mataram dilanjutkan dengan
identifikasi ekstrak kasar menggunakan
Gas Chromatography (GC) menghasilkan
ekstrak methanol kulit manggis berwarna
kekuningan. Kromatogram yang diperoleh
diperjelas dengan Massa Spectroscopy
(MS). Enam senyawa utama yang
diketahui dihasilkan dari ekstrak methanol
kulit manggis diperoleh berturut-turut dari
konsentrasi tertinggi yaitu
a. line-4 adalah Cyclopentadecanone,2hidroxy- (C15H28O2)
b. line-9 adalah 9-octadecanoic acid (Z)-,
2-hydroxy-1-(hydroxymethyl)ethylester
(CAS)-2-monoolein (C21H40O4)
c. line-5 adalah octadecanoic acid (CAS)
Stearic acid (C18H36O2)
d. line-1 adalah hexadecanoic acid
(C16H32O2)
e. line-8 adalah hexadecanoic acid, 2hydroxy-1hidroxymethyl)ethylester(CAS) 2-monopalmitin (C19H38O4)
f. line-7 adalah
(R)-(-)-14-methyl-8hexadecyn-1-ol (C17H32O).
Laporan hasil uji dan kromatogram GC
dan MS dapat diamati pada Lampiran 1.
Pendataan dan pengumpulan isolat
Mycobacterium tuberculosis.
Pendataan dan pengumpulan kuman
Mycobacterium tuberculosis, koleksi tahun
2011 dari kultur kuman M tuberculosis
yang dapat dilakukan kultur ulang adalah
sebanyak 18 sampel. Kuman dikultur pada
media LJ dan diinkubasi pada 37°C sampai
8 minggu. Hasil kultur ulang kuman M
tuberculosis pada media Lowestein Jensen
(LJ) sejak minggu I sampai minggu ke-5
tidak
menunjukkan
perkembangan
pertumbuhan yang berarti dan banyak
Hasil
Persiapan dan pembuatan ekstrak kulit
manggis.
Pengumpulan dan pemilihan buah manggis
dilakukan pada minggu ke-2 sampai
minggu ke-3 bulan Maret 2013. Buah
45
timbul kontaminan. Untuk mengantisipasi
keberhasilan kultur ulang M tuberculosis
galur Lombok Timur, maka sampel baru
dikumpulkan dari sputum penderita
tuberculosis paru yang dinyatakan positif
secara mikroskopis. Pengumpulan sampel
dilakukan selama 2 minggu dan diperoleh
sebanyak 8 (delapan) sampel.
Persiapan pembuatan media LJ
dilakukan lagi untuk mengkultur 8 sampel
yang
diperoleh.
Sampel
sputum
dihomogenisasi menggunakan NaOH 4 N.
Hasil pengolahan sputum, diisolasi pada
media LJ.Kultur diinkubasi pada 37°C
sampai 8 minggu. Pada minggu III bulan
Agustus, kultur yang dilakukan saat ini
sudah berjalan 2 minggu dan belum
ditemukan adanya pertumbuhan koloni
kuman M tuberculosis. M tuberculosis
termasuk
pada
kuman
dengan
pertumbuhan lambat, diperlukan waktu 4 –
8 minggu untuk dapat mengamati adanya
pertumbuhan koloni kuman.
Hasil kultur ulang yang pertama
sebanyak 18 sampel diperoleh isolat yang
tumbuh adalah 5 sampel, dua diantaranya
tumbuh subur. Delapan sampel baru yang
dikultur sampai minggu ke-6, sebanyak 6
sampel tumbuh.Dari dua kali kultur,
diambil tiga sampel yang paling baik
pertumbuhannya, dikirim ke TDC Unair.
Penelitian dilanjutkan pada uji sensitivitas
zat aktif ekstrak methanol kulit manggis
pada konsentrasi 100, 200, dan 300 µg/mL
terhadap pertumbuhan M tuberculosis
galur Lombok Timur yang dilarutkan
dalam media Middlebrook 7H9 broth
kemudian dipindahkan ke dalam media
Middlebrook 7H10 agar di Laboratorium
Mikrobiologi (laboratorium Tuberkulosis)
di Tropical Disease Center Universitas
Airlangga Surabaya. Untuk kontrol
digunakan kuman virulen M tuberculosis
H37Rv (kontrol positif). Kontrol negatif
kuman virulen M tuberculosis H37Rv
ditambahkan dengan Etambutol untuk
menghambat pertumbuhan kuman.
Hasil uji pengaruh ekstrak methanol kulit
manggis terhadap pertumbuhan kultur M
tuberculosis galur Lombok Timur
Hasil uji pengaruh ekstrak methanol kulit
manggis pada konsentrasi 100, 200, dan
300 µg/mL terhadap pertumbuhan kultur
M tuberculosis galur Lombok Timur
(OAT) adalah sebagai berikut:
Kode isolate/
Kosentrasi
100
200
300
3
6
49
R
R
R
R
R
R
S
S
S
Keterangan:
K (+) = Positif (+), diberi kultur kuman M
tuberculosis H37Rv
K (-) = Negatif (-), diberi kultur kuman M
tuberculosis H37Rv ditambah Etambutol
R
= Resisten, dinyatakan adanya
pertumbuhan
kuman
M
tuberculosis
yang
dibuktikan
dengan membuat sediaan dari hasil
pertumbuhan dan diamati dibawah
mikroskop.
S
= Sensitif, dinyatakan dengan tidak
ditemukan adanya pertumbuhan M
tuberculosis dengan penambahan
Etambutol.
Pembahasan
Kulit
buah
manggis
diekstraksi
menggunakan
pelarut
methanol
menghasilkan ekstrak yang mengandung
senyawa-senyawa utama berturut-turut dari
peak tertinggi yang timbul dengan
menggunakan gas chromatography-mass
spectrophotometry (GC-MS) yaitu pada
line-4 adalah Cyclopentadecanone,2hidroxy- (C15H28O2), pada line-9 adalah 9octadecanoic acid (Z)-, 2-hydroxy-1(hydroxymethyl)ethylester
(CAS)-2monoolein (C21H40O4), pada line-5 adalah
octadecanoic
acid
(CAS)
Stearic
acid(C18H36O2),
pada line-1 adalah
hexadecanoic acid (C16H32O2), pada line-8
adalah hexadecanoic acid, 2-hydroxy1hidroxymethyl)
ethyl-ester(CAS)
2monopalmitin (C19H38O4), dan pada line-7
adalah (R)-(-)-14-methyl-8-hexadecyn-1-ol
(C17H32O). Senyawa-senyawa ini diperoleh
dari instrument parameter dengan suhu
46
column oven 400C, suhu akhir oven pada
3000C, dan suhu injeksi 2800C, serta
tekanan 149,6 kPa.
Senyawa–senyawa dalam ekstrak
methanol kulit manggis ini dibuat pada
konsentrasi 100, 200, maupun 300 µg/mL
untuk dilakukan uji terhadap pertumbuhan
M
tuberculosis.
Hasil
penelitian
menunjukkan bahwa dari 3 sampel (no 3,
6, dan 49) galur Lombok Timur yang
diujikan, sampel no 3 dan 6 kuman M
tuberculosis galur Lombok Timur masih
tumbuh pada media Middlebrook 7H10
agar. Sedangkan sampel no 49 yang telah
diberi ekstrak methanol kulit manggis baik
konsentrasi 100, 200, maupun 300 µg/mL
tidak ada pertumbuhan
M
tuberculosis galur Lombok Timur,
sehingga sampel no 49 dinyatakan sensitif.
Mangostin merupakan kristal padat
kuning, rumus molekul C24H26O6 dengan
struktur inti mangostin, seperti dibawah ini
larut dalam alkohol dan eter (Dweck,
2013).
Xanthone adalah senyawa organik
dengan rumus molekul dasar C13H8O2.
Turunan senyawa xanthone banyak
terdapat di alam dan berdasarkan
penelitian telah terbukti memiliki aktivitas
antioksidan. Xanthone terbuat dari ekstra
kulit buah manggis yang bermanfaat
sebagai obat karena mengandung xanthone
yang sangat tinggi. Xanthone adalah
kelompok
senyawa
bioaktif
yang
mempunyai struktur cincin 6 karbon
dengan kerangka karbon rangkap. Struktur
ini membuat xanhtone sangat stabil dan
serba guna. Xanthone tergolong derivat
dari difenil-γ-pyron, yang memiliki nama
IUPAC 9H-xanthin-9-on (Repository IPB,
2010).
Penentuan α-mangostin dan jumlah
xanthones menurut Aisya, et.al (2011),
analisis ekstrak menggunakan Thin Layer
Chromatography (TLC) dilakukan dengan
10 uL α-mangostin atau ekstrak xanthone
pada 1 mg / mL dalam metanol
menimbulkan
bercak
dan
bercak
dikeringkan. Kromatogram dibuat dengan
kondisi saturasi ruang dengan n-heksana:
etil asetat: metanol pada 7:3:0.5 v / v
Setelah kering, plate divisualisasikan pada
254 dan 366 nm. Identitas pita
kromatografi sesuai dengan α-mangostin
dalam sampel adalah dikonfirmasi dengan
membandingkan nilai Rf yang sama
dengan senyawa referensi.
Peneltian lain oleh tim di IPB, bahwa
pengeringan kulit buah manggis dilakukan
dengan menggunakan oven pada suhu 60
°C hingga bobot kulit konstan. Kulit
manggis yang telah kering ditumbuk dan
diblender kemudian disimpan ke dalam
plastik kering, dirapatkan dan dapat
disimpan. Sebanyak 10 gram serbuk
diekstraksi dengan methanol p.a .sebanyak
dua kali dengan perbandingan sampel
bahan dan metanol 1:1. Ekstrak yang
dihasilkan dipanaskan dengan waterbath
pada suhu 40°C agar metanol pelarut
sampai membentuk karamel atau crude
ekstract (CE).CE untuk analisis kandungan
Nama IUPAC3,6,8-Trihidroksi-2-metoksi1,7-bis(3-metilbut-2-enil)xanten-9-on.
Kecuali dinyatakan sebaliknya, data di atas
berlaku pada suhu dan tekanan standar,
yaitu
pada25°C,
100 kPa(Wikipedia,
2007).
Kulit buah manggis mengandung
tanin dan resin serta kristal kuning sangat
pahit , mangostin (C20H22O5) atau
mangosim. Mangostin diperoleh dengan
merebus kulit dalam air, dan tannin
dihilangkan dengan direbus lama dalam
alkohol dan menguap.Produk yang
dihasilkan adalah mangostin dan resin,
resin diendapkan dengan redissolving
dalam alkohol dan air, dan menguapkan
air. Hal ini terjadi dalam skala kecil
menghasilkan warna kuning, hambar
netral, tidak larut dalam air, tetapi mudah
47
fenol dan aktivitas antioksidan dengan
menggunakan
Spektrofotometer
(Repository IPB, 2010).
Ekstrak kulit manggis mengandung
senyawa polifenol. Analisis senyawa
fenolik hasil analisis sampel dibandingkan
dengan asam galat sebagai standard dan
dianalisis dengan spektrofotometer pada
panjang gelombang 765 nm. Analisis
senyawa fenolik digunakan reagen FolinCiocalteus dengan metode modifikasi dari
Javanmardi et.al.2003 (Repository IPB,
2010).
Ekstrak
kulit
buah
manggis
merupakan antioksidan yang paling tinggi
diantara jenis buah-buah yang ada.
Penentuan aktivitas antioksidan ekstrak
kulit buah dilakukan dengan menggunakan
metode DPPH. Dilakukan juga pengukuran
absorbansi blanko. Hasil penetapan
antioksidan dibandingkan dengan vitamin
C sebagai standar secara spektrofotometer
dan dinyatakan dengan nilai Inhibition
Corelation (IC). Pengujian antioksidan
dengan metode DPPH warna dari larutan
sampel awal adalah ungu, reaksi
penghambatan terhadap radikal bebas oleh
zat antioksidan akan mereduksi DPPH
sehingga menurunkan kepekatan warna
ungu hingga berubah menjadi kuning
(Repository IPB, 2010)
Pada jurnal lain juga ditemukan
bahwa pembuatan ekstraksi kulit buah
manggis dilakukan dengan cara maserasi
sampel menggunakan 200 mL methanol,
kemudian perlakuan yang sama terhadap
pelarut air panas. Ekstrak disimpan pada
suhu 400C. Masing-masing ekstrak
kemudian dilarutkan dalam methanol
untuk ditentukan kandungan total fenolik
dan antioksidan metode DPPH, seperti
yang dilakukan pada Repository IPB
(Stevi, et.al., 2013)
Senyawa- senyawa pada penelitian
ini, yaitu yang ditemukan pada line 4, 9, 5,
1, 8, dan line 7 tidak sama seperti
senyawa-senyawa xanthone dan derivatnya
yang disebut dalam literatur di atas,
sehingga belum diketahui apakah termasuk
dalam xanthone atau derivatnya atau
senyawa yang sama sekali berbeda. Untuk
menguji adanya senyawa polifenol dan
antioksidan yang merupakan bagian dari
xanthone perlu dilakukan uji seperti yang
dilakukan IPB dan Stevi et.al. Proses
ekstraksi dengan methanol kemungkinan
sudah diperoleh seperti yang dilakukan
pada penelitian yang telah dipublikasi,
namun identifikasi senyawa polifenol dan
antioksidan
diakukan
secara
spektrofotometri, bukan dengan GC-MS.
Pada penelitian yang dilakukan oleh
Suksamrarn dan Szkaradek, isolasi
xanthone menggunakan pelarut methanol
dilanjutkan dengan GC-MS, namun tidak
diuraikan conditioning yang digunakan.
Perbedaan yang timbul dapat disebabkan
adanya perbedaan proses pengeringan suhu
column oven, suhu akhir oven dan suhu
injeksi yang terlalu tinggi atau tekanan
yang digunakan, yaitu pada 149,6 kPa
sedangkan
yang disebutkan dalam
Wikipedia (berlaku pada suhu dan tekanan
standar, yaitu pada25°C, 100 kPa).
Penelitian
lain
yang
pernah
dilakukan
adalah
penelitian
dari
Suksamrarn, penelitian tentang potensi
antimycobacterial xanthone terprenilasi.
Sejumlah xanthone prenilasi dikumpulkan
dan diisolasi dari kulit buah manggis.
Kami melaporkan aktivitas penghambatan
dari santon terprenilasi yang diperoleh dari
buah
G.
mangostana
terhadap
Mycobacterium tuberculosis di dalam
percobaan in vitro. Santon terprenilasi
yang terisolasi dari kulit buah hijau G.
Mangostana, antara lain menghasilkan
senyawa-senyawa.
Aktivitas
penghambatan pada 15 senyawa Xanthone
terhadap Mycobacterium tuberculosis
galur
H37Ra
ditentukan
dengan
menggunakan lempeng Microplate Alamar
Blue Assay (MABA). Isolasi dengan cara
ekstraksi pada penelitian skala lebih besar
yang diekstrak menggunakan methanol
diperoleh dari kulit buah manggis segar
hijau,
dikenal
empat
senyawa
xanthoneyaitu γ-mangostin, garcinone-D,
mangostanin
dan
1,7-dihidroksi-2(methylbut-2-enil)
-3-methoxyxanthone
48
diidentifikasi lebih lanjut, selain yang
diperoleh sebelumnya. Semua senyawa
diidentifikasi oleh perbandingan data
spektroskopi (NMR dan MS). Konsentrasi
obat terendah mempengaruhi suatu
penghambatan 90% adalah dianggap MIC.
Percobaan biasanya diselesaikan dalam
waktu 10 hari. Obat standar
yang
digunakan adalah rifampisin, isoniazid dan
sulfat
kanamisin
masing-masing
menunjukkan MIC 0,003-0,0047, 0,0250,05 dan 1,25-2,5 mg / ml (Suksamran,
2003).
tuberculosis (OAT) karena masa inkubasi
kuman yang panjang.
Daftar Pustaka
1.
Kesimpulan
Isolasi kulit buah manggis menggunakan
methahol menghasilkan 12 senyawa
dengan 6 senyawa utama, yaitu
Cyclopentadecanone,2-hidroxy
(C15H28O2);9-octadecanoic acid (Z)-, 2hydroxy-1-(hydroxymethyl)ethylester
(CAS)-2-monoolein
(C21H40O4);
octadecanoic
acid
(CAS)
Stearic
acid(C18H36O2);
hexadecanoic
acid
(C16H32O2); hexadecanoic acid, 2-hydroxy1hidroxymethyl)ethyl-ester(CAS)
2monopalmitin (C19H38O4); dan (R)-(-)-14methyl-8-hexadecyn-1-ol
(C17H32O).
Mycobacterium tuberculosis galur Lombok
Timur dapat diperoleh dengan mengisolasi
pada media LJ untuk mendapatkan biakan
murni. M tuberculosis galur Lombok
Timur yang diberi ekstrak methanol kulit
manggis baik pada konsentrasi 100, 200,
maupun 300 µg/mL pada dua sampel
Resisten dan satu sampel Sensitif.
2.
3.
4.
5.
6.
Saran
7.
Pada konsentrasi terkecil, 100 µg/mL pada
semua sampel masih ditemukan adanya
pertumbuhan, sehingga
konsentrasi
hambatan minimal (MIC) dapat diketahui
dengan melanjutkan penelitian sampai
konsentrasi terkecil yang masih memberi
pertumbuhan kuman
M tuberculosis.
Diharapkan
penelitian
(tahap
II)
dilanjutkan untuk menentukan apakah
ketiga sampel yang diujikan termasuk
sampel resisten terhadap obat anti
8.
49
Aisha Abdalrahim F.A, Khalid M.
Abu-Salah,
Zeyad
D.Nassar,
Mohammad J. Siddiqui, Zhari Ismail,
Amin Malik Shah Abdul Majid. 2011.
Antitumorigenicity of xanthones-rich
extract from Garcinia mangostana
fruit rinds on HCT 116 human
colorectal carcinoma cells.Revista
Brasileira de Farmacognosia Brazilian
Journal of Pharmacognosy 21(6):
1025-1034, Nov./Dec. 2011
Burhan, E. 2010. Tuberkulosis Multi
Drug Resistance (TB-MDR). Majalah
Kedokteran Indonesia, Volum: 60,
Nomor: 12, Desember 2010.
Chantarasriwong O, Ayse Batova,
Warinthorn Chavasiri, and Emmanuel
A. Theodorakis. 2011. Chemistry and
Biology of the Caged Garcinia
Xanthones. Chemistry. NIH Public
Access. Author manuscript; available
in PMC 2011 September 3.
Diffco, 2012. ™Middlebrook 7H9
Broth,
AOAC
SMWW,
Cat.No.271310
Dweck, Anthony C FLS FRSH FRSC.
2013.
A review of Mangosteen
(Garcinia
mangostana)
Linn.www.dweckdata.com/Published_
papers/Garcinia_mangostana.pdf.Diun
ggah tanggal 4 Oktober 2013.
Hanafiah AK. 2010. Rancangan
Percobaan: Teori dan Aplikasi. Edisi
III. PT Rajawali Pers. Jakarta.
Mardiana, Lina dan Tim Penulis PS.
2012. Ramuan dan khasiat kulit
manggis.
Cetakan
3.
Penebar
Swadaya, Jakarta.
Mukherjee KL, 1989. Medical
Labolatory Teknology, Vol II. Tata
Mc Garw Hill. New Delhi. Dalam :
Mahendra K. 2004. Uji Aktivitas
Penghambatan Pertumbuhan Senyawa
Bioaktif Ekstrak Sambiloto terhadap
Staphylococcus aureus. Mataram.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
15.
16.
17.
Notoatmojo S, 2002. Metedologi
Penelitian Kesehatan. Rienaka Cipta
Jakarta.
Redaksi Trubus. 2011. Kulit Manggis
v.s Penyakit Maut. Pt Trubus
Swadaya. Jakarta.
Repository IPB, 2010. Pengaruh efek
residu dan aktivitas antioksidan kulit
buah manggis.IPB.ac.id. Dikutip dari
http://repository.ipb.ac.id.
Sjahrurachman, Agus. 2008. ModulKultur dan Uji Kepekaan M
tuberculosis terhadap OAT lini
pertama. Departemen Kesehatan R I.
Soemarno.
2000.
Isolasi
dan
Identifikasi Bakteri Klinik. AAK
Yogyakarta. Yogyakarta.
Stevi G. Dungir, Dewa G. Katja,
Vanda S. Kamu. 2013. Aktivitas
Antioksi dan Ekstrak Fenolik dari
Kulit Buah Manggis (Garcinia
mangostana L.). Jurnal MIPA
UNSRAT online1 (1) 11-15. Dikutip
dari
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/j
muo
Suksamrarn
S,
Narisara
Suwannapoch, Wong Phakhodee,
Janthana
Thanuhiranlert,
Piniti
Ratananukul, Nitirat Chimnoi, and
Apichasrt . 2003. Antimycobacterial
Activity of Prenylated Xanthones from
the Fruits of Garcinia mangostana.
Notes Chem. Pharm. Bull. 51(7)
857—859 (2003) 857
Szkaradek N, Karolina Stachura, Anna
M Waszkielewicz, Marek Cegla,
Edward Szneler, and Henryk Marona.
2008. Synthesis and antimycrobial
assay of some xanthone derivatives.
Acta Poloniae Pharmaceutica n Drug
Research, Vol. 65 No. 1 pp. 21-28,
2008
Wikipedia,
2007.
Mangostin.http://en.wikipedia.org/wik
i/Mangostin
50
AKTIVITAS BIOLOGICAL RESPONSE MODIFIERS ALAMI FILTRAT
BUAH BUNI (Antidesma bunius) TERHADAP JUMLAH LIMFOSIT TERAKTIVASI,
SEL MONONUKLEAR DAN POLIMORFONUKLEAR PADA DARAH HEWAN
COBA TIKUS PUTIH JANTAN (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR YANG
DIINFEKSI SALMONELLA TYPHIMURIUM
Gunarti1, Yunan Jiwintarum1, Nurhidayati2
1
Politeknik Kesehatan Kementerian Kesehatan Mataram Jurusan Analis
2
Program Studi Kedokteran Universitas Mataram
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas alami filtrat buah buni (Antidesma
bunius) sebagai imunostimulan. Parameter penelitian ini adalah jumlah limfosit teraktivasi,
sel mononuklear dan polimofonuclear pada dara putih strain wistar yang terinfeksi oleh
Salmonella typhimurium. Kelompok penelitian terdiri dari 2 kelompok kontrol, dan 4
kelompok perlakuan yang diberikan 25 % , 50 % , 75 % , 100 % dosis filtrat buah buni selama
7 hari . Data hasil diuji dengan uji statistik Kruskal - Wallis dan uji Mann-Whitney . Hasil
penelitian menunjukkan jumlah limfosit diaktifkan pada kelompok kontrol 1 dan 2 , dan
dalam kelompok perlakuan konsekutif 1,5 , 6,4 , 8,4 , 8,8 dan 7,6. Analisis hipotesis dengan
uji Kruskall_Wallis hasil p = 0,000 (p < 0,05), dan uji Mann-Whitney menunjukkan ada
signifikan membedakan antara kelompok kontrol dan kelompok treatmen dengan p < 0,05.
Tidak ditemukan efek pada jumlah basofil , tetapi ada pengaruh yang signifikan filtrat buah
buni (Antidesma bunis) terhadap jumlah netrofil, eosinofil, jumlah sel polimorphonuclear,
limfosit , monosit, dan jumlah sel mononuclear (p < 0,05) . Kesimpulan filtrat buah buni
(Antidesma bunius) mampu meningkatkan jumlah limphosit teraktivasi, PMN dan
mononuclear leukocytes pada darah hewan coba tikus putih jantan terinfeksi Salmonella
typhimurium secara signifikan .
Kata kunci : Aktivitas biologis respon, buah buni, limfosit diaktifkan, sel mononuclear,
polimorphonuclear, Salmonella typhimurium .
BIOLOGICAL RESPONSE MODIFIERS ACTIVITIES OF BUNI (ANTIDESMA
BUNIUS)FRUITS FILTRATE TO ACTIVATED LYMPHOCYTES,
MONONUCLEAR AND POLIMORPHONUCLEAR CELLS IN MALE MICE
(RATTUS NORVEGICUS) WISTAR’S STRAIN INFECTED
BY SALMONELLA TYPHIMURIUM
Abstract
This study aimed to know the natural activity of filtrate buni(Antidesma bunis)fruit as
immunostimulant. Parameter of this activities was the number of activated lymphocytes,
mononuclear and polimorphonuclear cells of mice wistar’s strain that infected by Salmonella
typhimurium. The group of study consisted of 2 control groups, and 4 experiment group
which given 25%, 50%, 75%, 100% dose of buni (Antidesma bunis)fruits filtrate for 7 days.
The data resulted were statically calculated by Kruskal-Wallis test dan Mann-Whitney test.
The result as number of activated lymphocytes in control group 1 and 2, and in treatment
groups consecutivelly 1,5; 6,4; 8,4; 8,8 and 7,6. The analysis of hyphotesis by
Kruskall_Wallis test resulted p= 0,000 (p<0,05), and the Mann-Whitney test showedthere was
a significant differentiate among the control group and treatmen groups with p< 0,05.While,
51
the number of PMN and MN cells, find no effect in basophils, but there is a significant effect
of buni (Antidesma bunis)fruits filtrateto amount of netrofil, eosinofil, total
polimorphonuclear cells; and lymphocyte, monocyte, and total mononuclear cells (p<0,05).
Conclusion the filtrate of buni (Antidesma bunius) fruits was able to increase the number of
activated lyphocytes; polymorphonuclear and mononuclearleukocytes in the male mice
infected by Salmonella typhimurium significantly.
Keywords: Biological Response Modifiers Activities, Buni (Antidesma Bunius)Fruits,
Activated Lymphocytes, Mononuclear And Polimorphonuclear Cells, Salmonella
Typhimurium.
52
proses ekstrasi, seperti bahan – bahan alam
yang berasal dari buah – buahan antara lain
adalah buah Buni (Antidesma bunius).
Indonesia kaya akan berbagai tanaman
buah. Buah merupakan produk yang
berdaya guna untuk menunjang gizi
masyarakat dan mengandung zat-zat vital
untuk pencegahan terhadap berbagai
penyakit dan zat pengatur fisiologis tubuh
seperti vitamin dan mineral. Dengan
mengkonsumsi buah-buahan segar dapat
menurunkan resiko terkena kanker,
penyakit infeksi dan terhindar dari resiko
berbagai penyakit degeneratif. Tumbuhan
buah-buahan merupakan sumber senyawasenyawa kimia yang berkhasiat sebagai
obat.6
Salah satu tanaman buah yang
banyak khasiatnya dan dapat digunakan
sebagai obat alternative penyakit-penyakit
infeksi adalah buah buni. Buah buni
mengandung senyawa-senyawa kimia
kelompok
antioksidan
antara
lain
polifenol, asam fenolat, kelompok senyawa
bioflavanoid seperti antosianain, katekin,
kaemferol, dan kuersetin serta vitamin C .2
Polifenol merupakan jenis senyawa
turunan fenol yang mempunyai aktivitas
sebagai antioksidan. Fungsi polifenol
sebagai penangkap dan pengikat radikal
bebas dari rusaknya ion-ion logam.
Kelompok
tersebut
sangat
mudah
larutdalam air dan lemak, serta dapat
bereaksi dengan vitamin C dan E.
Kelompok-kelompok senyawa fenolik
terdiri dari asam-asam fenolat dan
flavanoid. Tanaman mempunyai potensi
yang cukup baik sebagai penghasil
senyawa fenolik.6 Bioflavanoid kelompok
ini terdiri dari kumpulan senyawa polifenol
dengan aktivitas antioksidan cukup tinggi.
Dengan kata lain, senyawa flavanoid
mempunyai ikatan gula yang disebut
glikosida. Senyawa induk atau senyawa
utamanya disebut aglikon yang berikatan
dengan berbagai gula dan sangat mudah
terhidrolisis atau mudah terlepas dari
gugus gulanya.
Kelompok flavanoid
merupakan antioksidan yang potensial
untuk mencegah pembentukan radikal
Pendahuluan
Biological response modifiers (BRM)
merupakan bahan yang dapat menstimulasi
sistem imun atau molekul yang fungsinya
seperti sitokin dalam klinik digunakan
untuk memodulasi inflamasi, imunitas dan
hematopoiesis. Efek Biological response
modifiers suatu bahan imunomodulator
atau imunostimulator yang meningkatkan
mekanisme pertahanan tubuh baik secara
spesifik
maupun
non
spesifik.8;11
Imunomodulator atau imunostimulator
tampak menjadi bagian terpenting dalam
pencegahan dan pengobatan. Membantu
tubuh untuk mengoptimalkan fungsi sistem
imun yang merupakan sistem utama yang
berperan dalam pertahanan tubuh terhadap
benda asing yang masuk kedalam tubuh,
termasuk infeksi oleh mikroorganisme.
Pemakaian imunostimulator bertujuan
menekan atau mengurangi infeksi virus
dan bakteri intra dan ekstra seluler,
mengatasi imunodefisiensi atau sebagai
perangsang pertumbuhan sel – sel
pertahanan dalam sistim imunitas.3
Bahan Biological response modifiers
yang populer dalam bidang ilmu
kedokteran berasal dari bahan biologis dan
sintetik. Yang termasuk dalam bahan
biologis diantaranya adalah sitokin
(interferon), hormon yang dihasilkan
kelenjar endokrin timus dan antibodi
monoklonal, bahan sintetik antara lain
adalah senyawa muramil dipeptida (MDP)
dan levamisol.13 Sedangkan bahan dari
alam pada saat ini sedang aktif di
ekspolorasi pada berbagai penelitian,
antara lain ekstrak tanaman meniran
(Phyllanthus niruri L). Bahan – bahan
tersebut memerlukan berbagai tahap
pengolahan
sebelum
dikomsumsi
masyarakat.
Untuk
memudahkan
masyarakat mendapatkan bahan – bahan
yang memiliki aktivitas Biological
response modifiers terutama yang dapat
bersifat
imunomodulator
dan
imunostimulator maka perlu dilakukan
eksplorisasi bahan – bahan alam yang
mudah diolah dan bisa dikomsumsi
langsung oleh masyarakat tanpa melalui
53
bebas. Selain itu senyawa tersebut
mempunyai sifat antibacterial dan antiviral
.6
Hasil penelitian Gunarti dkk (2012)
dan Yunan dkk (2012) menunjukan bahwa
filtrat buah buni ungu mampu menghambat
dan merusak integritas DNA Streptococcus
pneumonia
positip
Streptococcus
pneumonia positip gen lytA, dan nanA dan
Staphylococcus aureus. Beberapa teori dan
hasil – hasil penelitian membuktikan
bahwa senyawa polifenol dan flavonoid
sangat potensial sebagai imunostimulan
sehingga dapat menurunkan jumlah koloni
kuman pada organ yang terinfeksi,
terutama hepar dan bertindak sebagai
imunopotensiator yaitu menaikkan aktifitas
makrofag, sel blast dan limfosit
sitotoksisitas.5;14
Penelitian
ini
menggunakan bahan induksi atau infeksi
Salmonella
typhimurium
karena
merupakan penyebab penyakit sistemik
pada binatang yang menyerupai tifoid pada
manusia sehingga lazim digunakan untuk
penelitian yang mempelajari patogenitas
dan pengobatan infeksi. Perjalanan infeksi
sistemik Salmonella typhimurium terjadi
beberapa fase, fase I terjadi 1 jam setelah
diinfeksi
secara
intravena
atau
intraperitonial. Fase II dimulai sejak 1 hari
infeksi yang disebut tahap pertumbuhan
eksponensial, bakteri masuk ke dalam
sirkulasi darah melalui pembuluh limfe
melakukan invasi ke hepar dan limpa
untuk selanjutnya melakukan multiplikasi.
Fase III terjadi 3-7 hari, pertumbuhan
bakteri pesat dihati dan limpa serta
menjadi pertumbuhan yang menetap. 9
Infeksi Salmonella typhimurium
digunakan
sebagai
model
infeksi
intraseluler yang dapat memacu imunitas
seluler. Pada fase III hari 3-7 infeksi
Salmonella
typhimurium,
terjadi
pertumbuhan bakteri yang akan memacu
makrpfag
memproduksi
sitokinnya,
sehingga akan mengaktivasi sistem imun
baik alami maupun adatif terutama system
imun selular. Infeksi intraseluler pada
gambaran darah tepi sering ditemukan sel
limfosit
yang teraktivasi.
Limfosit
teraktivasi memiliki ciri limfosit yang
lebih besar dan reaktif, sitoplasma lebih
lebar, warna lebih biru atau abu-abu, inti
oval, bentuk ginjal atau lobulated, kadang
– kadang terdapat anak inti dengan
kromatin kasar.1
Aktivitas filtrat buah
buni (Antidesma bunius) sebagai bahan
Biological response modifiers belum
banyak di gali, terutama pengaruhnya
terhadap jumlah limphosit teraktivasi, sel
mononuklear (limfosit, monosit dan
basofil) dan polimorfonuklear ( neutrofil
dan eosinofil), karena itu perlu dilakukan
penelitian mengenai aktivitas Biological
Response Modifiers (BRM) alami filtrat
buah Buni (Antidesma bunius) terhadap
jumlah
limfosit
teraktivasi,
sel
mononuklear dan polimorfonuklear pada
darah hewan coba tikus putih jantan
(Rattus norvegicus) strain wistar yang
diinfeksi Salmonella typhimurium.
Metode Penelitian
Jenis penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental di laboratorium dengan
rancangan penelitian menggunakan the
post test-only control group.
Populasi
dalam penelitian ini adalah hewan coba
tikus putih jantan strain wistar. Sampel
dalam penelitian ini adalah darah hewan
coba tikus putih jantan strain wistar.
Variabel bebas :
Filtrat buah Buni
(Antidesma bunius), Variabel terikat:
Jumlah limfosit teraktivasi, Jumlah sel
Mononuklear dan Polimorfonuklear. Cara
pengambilan sampel : Menggunakan non
random purpusive sampling.
Kriteria
inklusi hewan coba adalah : Tikus putih
jantan strain wistar, Berumur 2-3 bulan,
Berat badan 200 – 250 gram, Secara fisik
berbadan sehat dan aktif sebelum diinfeksi
Salmonella typhimurium, Jumlah sel
leukosit 5.0 – 13.0 x 103/mm3, Neutrofil 934%, limfosit 63-84%, Monosit 0-5%,
Eosinofil 0-6% dan Basofil 0-1%. Kriteria
eksklusi hewan coba adalah : Tikus putih
jantan strain wistar mati sebelum waktu
observasi.
Kriteria buah Buni (Antidesma
bunius) adalah buah matang dengan warna
54
merah gelap atau ungu tua. Besar sampel
dalam
penelitian
ini
ditentukan
berdasarkan pendapat Weill bahwa sampel
minimal untuk pemakaian hewan coba
adalah 4 ekor dan dengan faktor koreksi
25% dari unit eksperiment, maka pada
penelitian ini digunakan (6 x 4 = 24 ekor),
faktor koreksi 24 x 25% = 6 ekor. Total
hewan coba yang digunakan adalah 24
ekor + 6 ekor = 30 ekor.
Hewan coba
tersebut ditempatkan pada kandang
terpisah, masing – masing kandang berisi 5
ekor tikus, sesuai dengan pembagian
perlakuannya dan faktor koreksinya.
Instrumentasi penelitian : Photometer
Humanalyzer, Hemositometer ImrovedNeubauer, Elisa reader (Humman),
Centrifuge , Inkubator, Autoklaf, Kandang
tikus
putih,
Timbangan
kualitatif,
Timbangan kuantitatif, Blender kecil
(blender untuk bumbu), Beaker glass,
Dispenser 100-1000 mikron, Blue tip,
Gunting, Pinset, Centrifuge, Tabung reaksi
5 ml, Eppendrof tubes. Bahan penelitian:
Reagen ELISA Ig M dan Ig G (Sigma),
Antikoagulan EDTA,Natrium Citrat 3,8%,
Buah Buni (Antidesma bunius), Salmonella
typhmurium dan Cat Rapid Hematologi.
Cara Kerja :
1. Persiapan dan aklimatisasi hewan
coba tikus putih (Rattus norvegicus).
strain wistar
Penelitian ini menggunakan tikus putih
(Rattus norvegicus) strain wistar karena
beberapa alasan antara lain, mudah
dikembang biakan, mudah diperlihara,
mudah diambil darahnya cukup melalui
ekor untuk mendapatkan darah kapiler,
fisiologinya
diperkirakan
identik
dengan manusia (Harmita & Maksum
2008). Aklimatasi hewan coba selama 7
hari terhadap air, makanan, udara, dan
kondisi laboratorium.
Pakan yang
diberikan selama aklimatasi adalah
pakan standar
tikus putih (Rattus
norvegicus) dan Aquadest untuk air
minum.
2. Pembagian hewan coba berdasarkan
kelompok perlakuan dan faktor
koreksi.
Hewan coba yang digunakan adalah
tikus putih jantan strain wistar, jumlah
sampel dalam penelitian ini ditentukan
berdasarkan pendapat Weill bahwa
sampel minimal untuk pemakaian
hewan coba adalah 4 ekor dan dengan
faktor koreksi 25% dari unit
eksperiment, maka pada penelitian ini
digunakan (6 x 4 = 24 ekor), faktor
koreksi 24 x 25% = 6 ekor. Total hewan
coba yang digunakan adalah 24 ekor + 6
ekor = 30 ekor. (Harmita & Maksum,
2008).
Hewan
coba
tersebut
ditempatkan pada kandang terpisah,
masing – masing kandang berisi 5 ekor
tikus, sesuai dengan pembagian
perlakuannya dan faktor koreksinya.
3. Pembuatan filtrat buah Buni .
100 gram buah Buni yang matang
dengan kriteria buah ungu kehitaman
dipisahkan dari kelompok tandan buah.
Buah buni sesuai kriteria ditimbang 100
gram. Buah tersebut dihancurkan
dengan menggunakan blender khusus
untuk biji – bijian, kemudian disaring
dengan menggunakan kain kassa steril
atau kertas saring steril, hasil saringan
berupa filtrat ditampung pada botol
steril,
filtrat
ini
diasumsikan
konsentrasinya 100 % atau merupakan
filtrat murni dari filtrat buah Buni.
Filtrat yang sudah jadi disimpan dalam
lemari es suhu 4 – 8 derajat celsius bila
belum digunakan.
4. Pengelompokkan hewan coba dan
jenis perlakuannya
Adapun pengelompokkan hewan coba
dan jenis perlakuannya adalah :
a. Kelompok kontrol 1 (K1) : Kontrol
negatif atau kontrol sehat tanpa
perlakuan hanya diberikan pakan
standart dan aquadest selama 7 hari,
dan hari ke – 7 diambil darahnya
untuk pemeriksaan jumlah limfosit
teraktivasi, jumlah sel Mononuklear
dan Polimorfonuklear.
b. Kelompok kontrol 2 (K2)
:
Kontrol positif diinfeksi Salmonella
typhimurium secara intraperitoneal
dengan dosis 105 CFU/ 1 kali /
55
c.
d.
e.
f.
perekor hewan coba
pada hari
pertama, 12 jam setelah diinfeksii
hanya diberi pakan standart dan
aguadest dan tidak diberi filtrat buah
Buni 100% sampai hari ke-7. Pada
hari ke – 7 diambil darahnya untuk
pemeriksaan
jumlah
limfosit
teraktivasi, jumlah sel Mononuklear
dan Polimorfonuklear.
Kelompok Perlakuan (P1)
:
Kelompok
perlakuan
diinfeksi
Salmonella typhimurium secara
intraperitoneal dengan dosis 105
CFU/ 1 kali / perekor hewan coba
pada hari pertama, 12 jam setelah
infeksi kelompok ini diberi pakan
standart, aguadest dan filtrat buah
Buni 25% 3 kali sehari sampai hari
ke-7. Pada hari ke – 7 diambil
darahnya untuk pemeriksaan jumlah
limfosit teraktivasi, jumlah sel
Mononuklear dan Polimorfonuklear.
Kelompok Perlakuan (P2)
:
Kelompok
perlakuan
diinfeksi
Salmonella typhimurium secara
intraperitoneal dengan dosis 105
CFU/ 1 kali / perekor hewan coba
pada hari pertama, 12 jam setelah
infeksi kelompok ini diberi pakan
standart, aguadest dan filtrat buah
Buni 50% 3 kali sehari sampai hari
ke-7. Pada hari ke – 7 diambil
darahnya untuk pemeriksaan jumlah
limfosit teraktivasi, jumlah sel
Mononuklear dan Polimorfonuklear.
Kelompok Perlakuan (P3)
:
Kelompok
perlakuan
diinfeksi
Salmonella typhimurium secara
intraperitoneal dengan dosis 105
CFU/ 1 kali / perekor hewan coba
pada hari pertama, 12 jam setelah
infeksi kelompok ini diberi pakan
standart, aguadest dan filtrat buah
Buni 75% 3 kali sehari sampai hari
ke-7. Pada hari ke – 7 diambil
darahnya untuk pemeriksaan jumlah
limfosit teraktivasi, jumlah sel
Mononuklear dan Polimorfonuklear.
Kelompok Perlakuan (P4)
:
Kelompok
perlakuan
diinfeksi
Salmonella typhimurium secara
intraperitoneal dengan dosis 105
CFU/ 1 kali / perekor hewan coba
pada hari pertama, 12 jam setelah
infeksi kelompok ini diberi pakan
standart, aguadest dan filtrat buah
Buni 100% 3 kali sehari sampai hari
ke-7. Pada hari ke – 7 diambil
darahnya untuk pemeriksaan jumlah
limfosit teraktivasi, jumlah sel
Mononuklear dan Polimorfonuklear.
5. Cara perlakuan pemberian filtrate
buah Buni 100%
Sebelum perlakuan tikus putih yang
sudah diaklimatisasi dipuasakan selama
5 jam dan ditimbang, kemudian diberi
tanda pada ekor, telinga dan kaki untuk
menghindari kesalahan pengambilan
pada saat pengukuran dan pemberian
perlakuan. Masing – masing hewan
coba tersebut selanjutnya dimasukkan
dalam kandang – kandang hewan coba
sesuai
dengan
jenis
perlakuan.
Pemberian filtrat buah Buni sesuai
kelompok perlakuan dengan volume
sesuai berat badan hewan coba yang
dihitung dengan rumus :
BB (s) x V
BB (std) F
Keterangan:
BB (s)
: berat badan tikus putih
yang
sebenarnya
BB (std) : berat badan standar (200
gram)
V
: jumlah yang diberikan (5
ml)
F
: frekuensi pemberian 3 kali
6. Pemeriksaan
jumlah
limfosit
teraktivasi, sel mononuclear dan sel
polimorfonuklear.
Langkah – langkah dalam pemeriksaan
hitung jenis sel mononuclear dan
polimorfonuklear serta gambaran dan
jumlah sel limfosit teraktivasi pada
sediaan apus darah tepi, dengan
prosedur pembuatan preparat sebagai
berikut :
56
a. Meneteskan darah pada garis tengah
kaca objek kira – kira 1 cm dari
ujung.
b. Dengan tangan kanan diletakkan
kacaobjek lain disebelah kiri tetesan
dan gerakkan ke kanan sampai
menyentuh tetesan darah.
c. Darah akan menyebar pada sisi
penggeser.
d. Menggeserkan kaca ke kiri dengan
memegangnya miring 45 derajat.
e. Preparat dibiarkan kering di udara
dan diberi label.
f. Preparat yang telah kering difiksasi
dengan methanol 90%, dikeringkan
kembali.
g. Preparat diberi pewarnaan larutan
Giemsa dan didiamkan selama 20-50
menit atau dapat menggunakan zat
rapid hema.
h. Preparat dicuci dengan air mengalir
dan
selanjutnya
preparat
dikeringkan.
i. Preparat sediaan apus darah tepi
yang sudah kering dibaca di bawah
mikroskop cahaya untuk menghitung
prosentase sel mononuclear dan
polimorfonuklear serta jumlah dan
morfologi sel limfosit teraktivasi
dalam 100 sel leukosit.
Analisa Data : Data hasil pemeriksaan
jumlah limfosit teraktivasi dan Perhitungan
jumlah
sel
Mononuklear
dan
Polimorfonuklear pada kelompok K1, K2,
dan K3 dianalisa menggunakan uji statistik
One Way anova, pada tingkat kepercayaan
95% Pα = 0.05, dilanjutkan dengan uji post
hoc.
lebih besar, sitoplasma lebar dengan
vakuolisasi halus sampai sangat nyata,
inti terletak pada salah satu tepi sel,
berbentuk bulat oval atau seperti ginal,
inti bentuk atipikal dengan kromatin
agak longgar, terdapat/tidak ada anak
inti. Adapun hasil perhitungan limfosit
teraktivasi
dan
gambar limfosit
teraktivasidapat dilihat pada grafik 1
berikut ini.
Grafik1. Hasil Analisis Deskriptif
Jumlah Limfosit Teraktivasi per 100 sel
Keterangan :
a. Kelompok K1: kontrol negatif
(kontrol sehat tanpa perlakuan)
b. Kelompok
K2:kontrol
positif
diinfeksi Salmonella typhimurium
tanpa pemberian filtrat buah buni
c. Kelompok P1 :Kelompok perlakuan
diinfeksi Salmonella typhimurium
dan diberi filtrat buah Buni 25% .
d. Kelompok P2 :Kelompok perlakuan
diinfeksi Salmonella typhimurium
dan diberi filtrat buah Buni 50% .
e. Kelompok P3 :Kelompok perlakuan
diinfeksi Salmonella typhimurium
dan diberi filtrat buah Buni 75% .
f. Kelompok P4 :Kelompok perlakuan
diinfeksi Salmonella typhimurium
dan diberi filtrat buah Buni 100% .
Berdasarkan data pada grafik 1, pada
mencit
yang terinfeksi
Salmonella
typhimurium, terjadi peningkatan jumlah
limfosit yang teraktivasi. Setelah diberikan
filtrat buah
buni (Antidesma bunius) selama 7 hari,
terjadi peningkatan jumlah limfosit yang
teraktivasi. Peningkatan paling tinggi
didapatkan pada kelopompok perlakuan 3
yang diberikan filtrat 75 %.
Hasil
1. Hasil
hitung
jumlah
limfosit
teraktivasi.
Limfosit teraktivasi dihitung dengan
cara hitung sediaan apus darah tepi yang
diwarnai dengan cat rapid hema atau cat
giemsa, banyaknya limfosit teraktivasi
dihitung dalam 100 leukosit. Gambaran
morfologi limfosit teraktivasi yaitu
mempunyai sitoplasma lebar, warna
lebih biru atau biru tua yang berukuran
57
dinyatakan dalam prosentase. Sel PMN
meliputi Basofil, Eosinofil, Stab netrofil,
dan Segmen netrofil, sedangkan sel MN
meliputi limfosit dan Monosit. Adapun
jumlah sel PMN dan MN pada masing –
masing kelompok perlakuan dapat dilihat
pada tabel1.
2. Hasil hitung jumlah sel PMN dan
MN.
Sel polimorfonuklear (PMN) dan sel
mononuclear (MN) di hitung dalam 100
leukosit menggunakan sediaan apus darah
tepi yang diwarnai dengan cat rapid hema
atau cat giemsa. Jumlah sel PMN dan MN
Kelompo
k
K1
K2
P1
P2
P3
P4
Tabel 1. Hasil Analisis Deskriptif Jumlah Sel PMN dan MN
Replika PMN
PMN
PMN Total
MN
MN
si (N)
Basofi Eosinofi Netrofi PMN Limfosi Monosi
l
l
l
t
t
5
0.0
2.8
36.4
39.2
57.6
3.2
5
0.0
4.6
50.8
55.4
35.0
9.6
5
0.0
2.4
43.0
45.4
49.8
4.8
5
0.0
2.4
36.6
39.0
58.4
2.6
5
0.0
1.2
26.6
27.8
70.0
2.2
5
0.0
2.4
37.2
39.6
57.2
3.2
Total
MN
60.8
44.6
54.6
61.0
72.2
60.4
dilakukan analisis lebih lanjut data
penelitian.
1. Uji Hipotesis efek buah buni
(Antidesma bunius) terhadap jumlah
limfosit yang teraktivasi
Hasil uji hipotesis efek buah buni
(Antidesma bunius) terhadap jumlah
limfosit yang teraktivasi didapatkan
nilai p= 0,000 (p<0.05). Hal ini berarti
buah
buni
(Antidesma
bunius)
mempunyai efek yang signifikan dalam
mempengaruhi jumlah limfosit yang
teraktivasi. Setelah dilakukan uji beda
dengan uji Mann-Whitney, diperoleh
data terdapat perbedaan yang signifikan
anatara kelompok kontrol positif
dengan kelompok perlakuan dengan
nilai p <0,05. Hal ini membuktikan
filtrat buah buni (Antidesma bunius)
mampu meningkatkan aktifitas limfosit
pada mencit yang diinfeksi Salmonella
typhimurium. Untuk melihat efek
masing-masing
dosis
perlakukan,
diadapatkan hasil ada perbedaan yang
signifikan jumlah limfosit yang
teraktivasi antara kelompok P1 (25 %)
dan P 4 (100%) dengan kelompok P2 (
50 %) dan P3 (75%). Tidak ada
perbedaan yang bermakna antara
kelompok P2 ( 50 %) dan P3 (75%),
dan antara kelompok P1 (25 %) dan P 4
Keterangan :
a. Kelompok K1 :kontrol negatif (kontrol
sehat tanpa perlakuan)
b. Kelompok K2:kontrol positif diinfeksi
Salmonella
typhimurium
tanpa
pemberian filtrat buah buni
c. Kelompok P1 :Kelompok perlakuan
diinfeksi Salmonella typhimurium dan
diberi filtrat buah Buni 25% .
d. Kelompok P2 :Kelompok perlakuan
diinfeksi Salmonella typhimurium dan
diberi filtrat buah Buni 50% .
e. Kelompok P3 :Kelompok perlakuan
diinfeksi Salmonella typhimurium dan
diberi filtrat buah Buni 75% .
f. Kelompok P4 :Kelompok perlakuan
diinfeksi Salmonella typhimurium dan
diberi filtrat buah Buni 100% .
Data pada tabel 1 menunjukkan bahwa,
secara umum gambaran jumlah lekosit
polimorfonuklear (PMN) dan mononuclear
(MN) masih dalam batas noral, kecuali,
pada kelompok kontrol positif (K2), terjadi
peningkatan jumlah Netrofil dan Monosit
yang melewati batas normal yaitu secara
berturut-turut 50,8 (normal 9-35 %), dan
9,6 % (normal 0-5 %).
Analisis Penelitian
Untuk melihat efek dari filtrat buah buni
(Antidesma bunius) pada penelitian ini
58
(100%). Hal ini berarti dosis efektif
terdapat pada konsentrasi 50 % dan 75
%.
2. Uji Hipotesis efek buah buni
(Antidesma
bunius)
terhadap
peningkatan jumlah limfosit PMN dan
MN
Hasil uji hipotesis efek buah buni
(Antidesma bunius) terhadap jumlah
lekosit polimorfonuklear (PMN), baik
basofil, eosinofil dan netrofil, dan
lekosit mononuklear (MN), yaitu
limfost dan monosit dapat dilihat pada
tabel 2 berikut ini.
Tabel 2 Hasil Uji Hipotesis Kruskal Wallis ― Jumlah Lekosit
Polimorfonuklear (PMN) dan Mononuklear (MN)
ChiSquare
df
Asymp.
Sig.
PMN
Basofi
l
.000
PMN
Eosinofi
l
19.108
PMN
Netrofil
Total
PMN
MN
Limfosit
MN
Monosit
Total
MN
22.902
23.463
24.821
20.842
23.463
5
1.000
5
.002
5
.000
5
.000
5
.000
5
.001
5
.000
Hasil Uji hiptesis sebagaimana yang tersaji
pada tabel 3.4 di atas menunjukkan bahwa
filtrat buah buni (Antidesma bunius)
mampu mempunyai efek yang signifikan
dalam mempengaruhi jumlah lekosit
jumlah polimorfonuklear yaitu eosinofil,
Netrofil, dan lekosit mononuklear (MN),
yaitu limfost dan monosit. Tidak
ditemukan
efek
filtrat
buah
buni(Antidesma bunius) terhadap basofil.
Tabel 3
Setelah itu dilakukan uji beda dengan uji
Mann-Whitney, diperoleh data terdapat
perbedaan
yang
signifikan
antara
kelompok kontrol positif dengan semua
kelompok perlakuan (p< 0,05). Untuk
melihat perbedaan efek antara kelompok
perlakuan, juga dilakukan uji yang sama,
hasilnya dapat dilihat pada tabel 3 berikut
ini
Hasil Uji Mann - Whitney ― Jumlah Lekosit Polimorfonuklear (PMN) dan
Mononuklear (MN)‖
Kelompo
k
PMN
Eosinofil
PMN
Netrofil
P1-P2
P1-P3
P1-P4
P2-P3
P2-P4
P3-P4
1.000
.033
1.000
.033
1.000
.033
.093
.009
.011
.012
.343
.009
Tota
MN
l
MN
Limfosi
PM
Monosit
t
N
.070
.020
.008
.009
.009
.008
.009
.009
.068
.008
.009
.419
.340
.168
.504
.009
.009
.230
Total MN
.070
.009
.009
.008
.340
.009
Imunomodulator atau imunostimulator
tampak menjadi bagian terpenting dalam
pencegahan dan pengobatan. Senyawa
dengan efek immunostimulan atau disebut
juga Biological response modifiers (BRM)
Pembahasan
Penelitian ini secara umum ingin
membuktikan efek immunostimulan dari
senyawa yang terkandung dalam filtrat
buah
buni
(Antidesma
bunius).
59
dapat
membantu
tubuh
untuk
mengoptimalkan fungsi sistem imun yang
merupakan sistem utama yang berperan
dalam pertahanan tubuh terhadap benda
asing yang masuk kedalam tubuh,
termasuk
infeksi
oleh
mikroorganisme.Pemakaian
imunostimulator bertujuan menekan atau
mengurangi infeksi virus dan bakteri intra
dan
ekstra
seluler,
mengatasi
imunodefisiensi atau sebagai perangsang
pertumbuhan sel – sel pertahanan dalam
sistim imunitas.3
Untuk menginduksi peningkatan
aktivitas dan jumlah lekosit pada hewan
coba pada penelitian ini digunakan bakteri
Salmonella typhimurium. Pemilihan filtrat
buah buni disebabkan oleh mudahnya
prose
pembuatan
sehingga
dapat
dimanfaatkan secara langsung oleh
masyarakat, dan buah buni sendiri mudah
ditemukan di pulau Lombok dan telah
dipercayai secara turun temurun meiliki
manfaat bagi kesehatan, disamping telah
dibuktikan kandungan dan manfaatnya
melalaui
penelitian.
Buah
buni
mengandung senyawa-senyawa kimia
kelompok
antioksidan
antara
lain
polifenol, asam fenolat, kelompok senyawa
bioflavanoid seperti antosianain, katekin,
kaemferol, dan kuersetin serta vitamin C
(Anonim, 2010). Polifenol merupakan
antioksidan
yang
potensial
untuk
mencegah pembentukan radikal bebas.
Selain itu senyawa tersebut mempunyai
sifat antibacterial dan antiviral.6
Hasil penelitian Gunarti dkk (2012)
menunjukan bahwa
filtrat buah buni
mampu menghambat dan merusak
integritas DNA Streptococcus pneumonia
positip Streptococcus pneumonia positip
gen lytA, dan nanA dan Staphylococcus
aureus.5 Beberapa teori dan hasil – hasil
penelitian membuktikan bahwa senyawa
polifenol dan flavonoid sangat potensial
sebagai imunostimulan sehingga dapat
menurunkan jumlah koloni kuman pada
organ yang terinfeksi, terutama hepar dan
bertindak sebagai imunopotensiator yaitu
menaikkan aktifitas makrofag, sel blast dan
limfosit sitotoksisitas. Pada penelitian,
konsentrasi filtrat buah buni
yang
digunakan adalah 25 %, 50 %, 75 % dan
100%. Pemilihan dosis ini berdasarkan
hasil penelitian sebelumnya tentang efek
filtrat buah buni terhadap integritas DNA
Streptococcus
pneumonia
positip
Streptococcus pneumonia positip gen lytA,
dan nanA dan Staphylococcus aureus oleh
Gunarti dkk (2012). Lama pemberian
selama 7 hari sesuai dengan gambaran
fase-fase yang terjadi pada infeksi bakteri
salmonella. 5;7
a. Jumlah Lekost PMN dan MN
Respons imun terhadap salmonella
meliputi sistem imun natural (innate)
dan sistem imun adaptif (acquired).
Untuk menilai efek dari pemberian
filtrat buah buni (Antidesma bunius)
terhadap sistem imun sistem imun
natural (innate), maka dilakukan
pengukuran jumlah polimorfonuklear
(PMN) yaitu Basofil, Eosinofil,
Netrofil, dan lekosit mononuklear
(MN), yaitu limfost dan monosit. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa, secara
umum gambaran jumlah lekosit
polimorfonuklear
(PMN)
dan
mononuklear (MN) masih dalam batas
noral, kecuali pada kelompok kontrol
positif (K2), terjadi peningkatan jumlah
Netrofil dan Monosit yang melewati
batas normal yaitu secara berturut-turut
50,8 (normal 9-35 %), dan 9,6 %
(normal 0-5 %). Namun, setelah
dilakukan analisis, terdapat perbedaan
yang signifikan antara jumlah total sel
polimorfonuklear maupun komponen
sel yang termasuk dalam sel PMN
(eosinofil dan netrofil), serta jumlah
total
sel
Mononuklear
maupun
komponen sel yang termasuk dalam sel
MN (limfosit dan monosit) pada
kelompok kontrol 1 (K1) dan kontrol 2
(K2).
Perjalanan infeksi sistemik
Salmonella typhimurium terjadi 3 fase.
Fase I terjadi 1 jam setelah diinfeksi
secara intravena atau intraperitonial.
Fase II dimulai sejak 1 hari infeksi yang
disebut
tahap
pertumbuhan
60
eksponensial, bakteri masuk ke dalam
sirkulasi darah melalui pembuluh limfe
melakukan invasi ke hepar dan limpa
untuk
selanjutnya
melakukan
multiplikasi. Neutrofil sangat penting
pada fase ini sebagai pertahanan host
dalam
menghambat
pertumbuhan
9
bakteri pada fase ini. Gambaran efek
dari pemberian buah buni (Antidesma
bunius) dalam meningkatkan sistem
imun innate, secara tidak langsung
dapat dilihat dengan kesenderungan
semakin mengingkatnya jumlah sel
mononuklear.
Tidak
terjadinya
peningkatan jumlah netrofil seperti pada
kelompok kontrol 2 (K2), diduga juga
merupakan indikator telah terlewatinya
fase 2 secara lebih efektif pada
kelompok
perlakuan,
mengingat
pengambilan sampel darah dilakukan
setelah fase 2, dan mulai memasuki fase
pembersihan, dimana yang berperan
adalah sistem imun adaptif, yang
diperantarai oleh Limfosit. Namun,
untuk membuktikan hal tersebut, perlu
dilakukan penelitian lebih lanjut.
b. Limfosit teraktivasi
Respons imun terhadap salmonella
meliputi sistem imun natural (innate)
dan sistem imun adaptif (acquired).
Sementara itu pada imun adaptif sel
yang perperan adalah APC, sel Limfosit
T dan sel limfosit B. Sel dendritik
merupakan APC yang penting dalam
inisiasi respons imun yang diperantarai
sel T dan bersama dengan makrofag
mempresentasikan
antigen
yang
diproses dari bakteri intrasel gram
negatif seperti Salmonella. Pada fase
III hari 3-7 infeksi Salmonella
typhimurium,
terjadi
pertumbuhan
bakteri yang akan memacu makrofag
memproduksi sitokinnya, sehingga akan
meningkatkan kapasiatas kerja sel NK.
Fase pembersihan terjadi setelah
minggu ketiga infeksi yang melibatkan
imun adaptif khususnya sel limfosit T.
Pada kejadian infeksi intraseluler seperti
oleh Salmonella typhimurium
pada
gambaran darah tepi sering ditemukan
sel limfosit yang teraktivasi. Limfosit
teraktivasi memiliki ciri limfosit yang
lebih besar dan reaktif, sitoplasma lebih
lebar, warna lebih biru atau abu-abu,
inti oval, bentuk ginjal atau lobulated,
kadang – kadang terdapat anak inti
dengan kromatin kasar.1
Pada
penelitian terbukti bahwa infeksi
Salmonella
typhimurium
mampu
merangsang sistem imun adaptif pada
hewan coba sebagai bagian dari proses
pertahanan tubuh dari hewan coba. Pada
Kelompok kontrol 2 (K2) yang diinfeksi
dengan Salmonella typhimurium, terjadi
peningkatan jumlah limfosit yang
teraktivasi dri 1 % sebelum terinfeksi
menjadi 5 % pada kelompok yang
terinfeksi. Untuk meningkatkan sistem
imun, dengan meningkatkan jumlah
limfosit
yang teraktifitas, maka
diujicobakan pemberian filtrat buah
buni (Antidesma bunius). Hasil dari
pemberian filtrat buah buni (Antidesma
bunius),
ternyata
mamapu
meningkatkan jumlah limfosit yang
teraktivasi. Jumlah lekosit yang
teraktivasi pada kelompok perlakuan
secara berturut-turut adalah 6,4; 8,4;
8,8; dan 7,2, lebih tinggi dari kelompok
kontrol 2. Setelah dilakukan analisis
lebih lanjut, didapatkan peningkatan
jumlah limfosit yang teraktivasi secara
signifikan, baik jika dibandingkan
dengan kelompok K 1 maupun dengan
K2 (p =0,008; p<0,05). Namun, setelah
dieksplorasi lebih lanjut, semakin tinggi
konsentrasi filtrat buah, kemampuan
meningkatkan jumah limfosit yang
teraktivasi
cenderung
makin
meningkat. Setelah dilakukan uji beda
dengan uji Mann-Whitney, didapatkan
hasil kemampuan meningkatkan jumlah
limfosit yang teraktivasi paling tinggi
dicapai oleh kelompok P3 (75%) yaitu
mencapai 8,8, namun tidak berbeda
secara signifikan dengan yang dicapai
oleh kelompok P 2 (50 %). Oleh karena
itu, berdasarkan penelitian ini, untuk
mendapatkan efek immunostimulan dari
61
buah buni, konsentrasi yang dianjurkan
adalah 50%-75%.
4.
Kesimpulan
1. Filtrat buah buni (Antidesma bunius)
mempunyai mampu meningkatkan
jumlah limfosit teraktivasi pada hewan
coba secara signifikan.
2. Konsentrasi
filtrat
buah
buni
(Antidesma bunius) 50% dan 70 %
mempunyai efetivitas paling tinggi
meningkatkan
jumlah
limfosit
teraktivasi pada hewan coba.
3. Pemberian filtrat buah buni (Antidesma
bunius) memberikan efek terhadap
jumlah lekosit polimorfonuklear dan
monuklear pada hewan coba secara
signifikan
4. Pemberian filtrat buah buni (Antidesma
bunius) tidak mempunyai efek terhadap
jumlah sel polimorfonuklear basofil.
5.
6.
7.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan
dengan melihat kemampuan fagositosis
dan morfologi limfosit yang teraktifasi
serta parameter aktivitas Biological
Response Modifiers (BRM) lainnya.
2. Perlu dilakukan penelitian efektifitas
filtrat buah buni (Antidesma bunius)
dalam mencegah infeksi salmonella.
3. Perlu dilakukan penelitian untuk
menentukan dosis efektif dan dosis
letal dan membandingkan efektifitas
filtrat buah buni (Antidesma bunius)
dengan Biological Response Modifiers
(BRM) lainnya
8.
9.
10.
11.
Daftar Pustaka
1.
2.
3.
Abbas AK, Litchman AH, Pober JS,
2003.
Celluler and molecular
immunology.
Fourt
edition.
Philadelphia: WB Saunders Co.
Anonim. 2010. Antosianin Zat Fungsi
onal Filtrat
buah
http//yissaprayogo.wordpress.com.
Block,K.I and M.N.Mead, 2003.
Immune System Effects Of Echinacea,
Ginseng and Astragalus : A review.
12.
13.
62
Integrative cancer therapies. 2(3):247267.
Ening Wiedosari, 2007. Peranan
Imunomodulator Alami (Aloe vera)
dalam Sistem Imunitas Seluler dan
Humoral. Wartazoa vol 17 N0 4.
Gunarti dan Yunan J, 2012. Kadar
Hambatan Minimal (KHM), Kadar
Bunuh Minimal (KBM) dan Integritas
DNA Streptococcus pneumonia lytA,
dan nanA yang terpapar filtrate buah
buni (Antidesma bunius). Laporan
Risbinakes Tahun 2012.
Hernani dan Mono Raharjo. 2004.
Tanaman Berkhasiat Antioksidan.
Jakarta: Penebar Swadaya.
Ima Arum Lestari, 2008. Pengaruh
Pemberian Phyllanthus niruri L
terhadap respon imunitas seluler
mencit balb/c yang diinfeksi dengan
Salmonella
typhimurium.
Tesis
Magister Ilmu Biomedik Program
Pascasarjana Universitas Diponegoro
Semarang.
Karnen Garna Baratawidjaja, 2006.
Imunologi dasar. Edisi -7. Balai
penerbit FKUI Jakarta.
Kresno
SB,2001.
Imunologi:
Diagnosis dan prosedur laboratorium.
Edisi ke-4. Balai Penerbit FKUI
Jakarta.
Nurhidayati, 2009. Efek Protektif
Teripang Pasir (Holothuria scabra)
terhadap Hepatotoksis yang diinduksi
Karbon
Tetraklorida
(CCL4)
Penelitian Eksperimental Pada Tikus
Putih (Rattus novergicus). Tesis
farmakologi. Universitas Airlangga.
Roitt Ivan,2002. Imunologi. Essential
Immunology. Edisi 8. Penerbit Widya
Medika. Jakarta.
Sunarno,2007. Efek Phyllanthus niruri
L pada Prosentase Neutrofil, Koloni
bakteri limpa, dan Histopatologi
Hepar Mencit balb/C yang diinfeksi
Salmonella Typhimurium. Tesis Ilmu
Biomedik
Program
Pascasarjana
Universitas Diponogoro Semarang.
Tizard,I.R.2000. Immunology : An
Indroduction.6th Ed. New York:
Saunders College Publishing.pp.98161
14. Yunan J dan Iswidhani, 2012.
Pengaruh
Filtrat
Buah
Buni
(Antidesma bunius) terhadap Kadar
Hambatan Minimal (KHM), Kadar
Bunuh
Minimal
(KBM)
dan
Perubahan Profil Resisten Methicillin.
Laporan Risbinakes 2012.
63
PENGARUH PENAMBAHAN RAGI TEMPE (Rhizopus sp) PADA PEMBUATAN
MINYAK KELAPA TERHADAP MUTU MINYAK
1
Ida Bagus Rai Wiadnya¹, Urip¹, Eka Minovriyanti1
Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan
Abstrak
Minyak kelapa fermentasi adalah minyak yang diekstrak dari buah kelapa dan di olah secara
fermentasi yang dikatalisis oleh suatu mikroorganisme dalam proses pemisahan minyak dari
karbohidrat dan protein yang terdapat pada sel-sel endosperm biji kelapa. Pembuatan minyak
kelapa dengan cara fermentasi dilakukan tanpa pemanasan, tetapi dengan penambahan ragi
pada krim santan kemudian diinkubasi selama 24 jam pada suhu 300C sampai terbentuk
lapisan endapan dan lapisan minyak yang ada di permukaan.Untuk mengetahui pengaruh
penambahan ragi tempe(Rhizopus sp) terhadap mutu minyak dilakukan penentuan kadar
bilangan asam dan bilangan penyabunan dengan metode titrasi asidi–alkalimetri.Penelitian
bersifat Pre experimental dengan pendekatan post test only design. Dengan rancangan
penelitian rancangan acak lengkap (RAL), dengan 5 perlakuan dan 5 pengulangan.Rata – rata
kadar bilangan asam terendahyang diperoleh pada penambahan 2 gram ragi/liter krim santan
sebesar 0,2968 mg KOH/gram dan yang tertinggi pada penambahan 6 gram ragi per liter krim
santan sebesar 0,4562 mg KOH/gram, sedangkanrata – rata kadar bilangan penyabunan
terendah diperoleh pada penambahan 2 gram ragi/liter krim santan sebesar 261,106 mg
KOH/gram dan tertinggi pada penambahan 6 gram ragi/liter krim santan sebesar 262,804 mg
KOH/gram. Dari hasil uji statistik, diperoleh nilai untuk bilangan asam p = 0,034 < α = 0,05,
artinya ada pengaruh peambahan ragi tempe (Rhizopus sp) terhadap bilangan asam. Dan untuk
bilangan penyabunan p = 0,06> α = 0,05 artinya tidak ada pengaruh peambahan ragi tempe
(Rhizopus sp) terhadap bilangan penyabunan.
Kata Kunci : Ragi Tempe, Minyak Kelapa Fermentasi, Mutu Minyak
Abstract
Fermented coconut oil is the oil extracted from coconuts and if the fermentation is catalyzed
by the microorganisms in the process of separating the oil from carbohydrates and protein
found in the endosperm cells of seeds coconut. Making coconut oil by fermentation is done
without heating, but with the addition of yeast in cream coconut and then incubated for 24
hours at a temperature of 300C to precipitate and form a layer of oil on the surface.
To determine the effect of tempe (Rhizopus sp) on the quality of oil is the determination of
the levels of acid number and saponification-titration method asidi alkalimetry.
Research is Pre experimental post-test only design approach. By study design completely
randomized design (CRD) with 5 treatments and 5 replications.
The average level of lowest acid number obtained on the addition of 2 grams of yeast / liter of
coconut cream at 0.2968 mg KOH / grams and the highest in the addition of 6 grams of yeast /
liter of coconut cream at 0.4562 mg KOH / grams, while the the average level of lowest
saponification obtained on addition of yeast 2 grams / liter of coconut cream at 261.106 mg
KOH / grams and the highest in the addition of 6 grams of yeast / liter of coconut cream at
262.804 mg KOH / g
From the results of statistical tests, values obtained for acid number p = 0.034 <α = 0.05,
meaning that there is the effect of adding tempe (Rhizopus sp) to the acid number. And for
saponification p = 0.06> α = 0.05 means that there is no effect of the addition of tempe
(Rhizopus sp) on saponification.
Keywords: Yeast Tempe, Fermented Coconut Oil, Oil Quality
64
(Saccaromyces cereviciae) (Alamsyah,
2005).
Rhizopus sp. merupakan salah satu
mikroorganisme yang dapat digunakan
dalam pembuatan minyak kelapa secara
fermentasi. Hal ini dikarenakan Rhizopus
sp. menghasilkan enzim protease. Enzim
protease tersebut merupakan golongan
hidrolase yang dapat memecah protein
menjadi molekul yang lebih sederhana.
Protein dalam ikatan lipoprotein santan
dipecah dengan menggunakan enzim
protease, dengan rusaknya lipoprotein
tersebut maka ikatan lipoprotein dalam
santan juga akan terputus dengan
sendirinya, kemudian minyak yang diikat
oleh ikatan tersebut akan keluar dan
mengumpul menjadi satu (Setiaji, 2006).
Kelebihan proses secara fermentasi
dibandingkan
cara
lain
adalah
kemudahannya sehingga dapat diproduksi
secara praktis, hemat bahan bakar, tingkat
ketengikan rendah dengan daya simpan
lebih lama, dan aroma lebih harum
(Rosenthal dan Niranjan, 1996: Sulistyo
dkk, 1999).
Mikroorganisme merupakan kunci
keberhasilan
atau
kegagalan
suatu
fermentasi. Penggunaan ragi tempe untuk
fermentasi minyak telah diteliti oleh Laras
dan Adi (2009) dengan penambahan ragi
tempe sebanyak 4 gr per liter krim santan
menghasilkan rendemen minyak sebesar
33,2% dengan warna bening.
Melihat hasil penelitian tersebut,
peneliti ingin memberikan perlakuan yang
berbeda dalam pembuatan minyak
fermentasi oleh jamur Rhizopus sp untuk
melihat pengaruh penambahan ragi tempe
(Rhizopus sp) pada pembuatan minyak
kelapa secara fermentasi terhadap mutu
minyak kelapa dilihat dari bilangan asam
dan bilangan penyabunannya.
Metode Penelitian
Alat
Alat-alat yang dipergunakan dalam
penelitian ini adalah timbangan, mesin
parut, toples plastik transparan, saringan,
kertas saring, kain saring, waterbath,buret
makro, gelas ukur, gelas beaker, labu
Pendahuluan
Minyak kelapa sudah dikenal di Indonesia
sejak lama. Penggunaan minyak kelapa
dalam kehidupan sehari-hari sangat luas
seperti untuk minyak goreng / bahan
makanan, obat – obatan, bahan pembuat
sabun dan lain sebagainya. Pada umumnya
minyak kelapa diproduksi dengan cara
tradisional, dengan cara santan diuapkan
airnya sehingga terbentuk minyak kelapa
dan gumpalan protein, tetapi masih
ditemukan kelemahan-kelemahan antara
lain: kadar air masih cukup tinggi yaitu
sekitar 1,6% dan asam lemak bebas 1,9%
sehingga minyak cepat menjadi tengik, dan
warna minyak agak kekuningan serta daya
simpan kurang dari dua bulan (Lay dan
Rindengan, 1989). Pada proses ini juga
protein akan cenderung terdenaturasi
karena penggunaan energi panas yang
cukup tinggi dalam proses penguapan
tersebut. Pemanasan yang cukup tinggi
juga akan merubah warna minyak menjadi
cokelat.
Dewasa ini telah ditemukan suatu
metode pembuatan minyak kelapa yang
dapat mengurangi beberapa kelemahan –
kelemahan tersebut. Metode ini didasarkan
pada penemuan bioteknologi sederhana.
Dalam bioteknologi pembuatan minyak
kelapa
ini
dibantu
oleh
suatu
mikroorganisme dalam pemisahan minyak
dari karbohidrat dan protein yang terdapat
pada sel-sel endosperm biji kelapa. Metode
ini lebih dikenal dengan nama pembuatan
minyak kelapa dengan ragi atau juga
disebut pembuatan minyak kelapa secara
fermentasi.
Metode yang menggunakan proses
fermentasi agak berbeda dengan cara
tradisional. Proses pembuatan minyak
kelapa dengan cara fermentasi dilakukan
tanpa
pemanasan,
yaitu
dengan
penambahan ragi pada krim santan
kemudian diinkubasi sampai terbentuk
lapisan endapan dan lapisan minyak yang
ada di permukaan. Beberapa ragi (yeast)
dapat digunakan dalam fermentasi minyak,
seperti ragi tape dan ragi roti
65
indikator penolpthalin 3 – 5 tetes. dititrasi
dengan larutan KOH 0,1N sampai
terbentuk berwarna merah muda.
erlenmeyer, pipet volume, pipet tetes,
corong, pengaduk gelas dan pendingin
balik.
Bahan dan reagensia
Bahan dan reagensia yang digunakan
dalam penelitian ini adalah kelapa, ragi
tempe, asam oksalat 0,1 N, KOH 0,1 N dan
0,5 N, alkohol eter (2 : 1), indikator
Penolphthalin, HCl 0,5N, Natrium
tetraborat 0,5 N dan indikator methyl
orange
Penetapan Kadar Bilangan asam
Ditimbang 5 gr sampel, larutkan dengan 30
ml campuran alkohol eter (50 ml alkohol
95% : 25 ml Dietil eter ). Dipanaskan
sampai
larut
di
atas
waterbath.
Dinginkan,
tambahkan
indikator
penolpthalin. dititrasi dengan KOH 0,1N
sampai berwarna merah muda.
Cara kerja
Pembuatan krim santan
Daging kelapa yang sudah diparut
ditambahkan air dengan perbandingan 1
liter air untuk 1 kg kelapa lalu mengambil
santannya.
Kemudian diperas daging
kelapa parut diatas saringan hingga
diperoleh santan. Kemudian disaring
semua santan yang dihasilkan. Diendapkan
santan yang telah disaring selama 1
jam, sehingga terbentuk dua lapisan
yaitu: lapisan bawah berupa air dan
lapisan atas berupa krim. Dipisahkan krim
dan air dengan membuang air yang tidak
diperlukan.
Persiapan Ragi tempe
Menyiapkan
ragi
tempe
dengan
perbandingan 2 g, 3 g, 4 g, 5 g dan 6 g per
liter krim santan
Standarisasi KOH 0,5N dengan Asam
oksalat 0,5N
Dipipet 10,0 ml Asam oksalat 0,5 N
kemudian dimasukkan ke dalam labu
erlenmeyer 250 ml. Ditambahkan aquadest
25 – 50 ml.
Ditambahkan indikator
penolphthalin 3 – 5 tetes. Dititrasi sampai
berwarna merah muda.
Standarisasi HCl 0,5N dengan Natrium
tetraboraks 0,5N
Dipipet 10,0 ml Natrium tetraboraks 0,5N
kemudian dimasukkan ke dalam labu
erlenmeyer 250 ml, ditambahkan aquadest
25 – 50 ml, ditambahkan indikator metil
orange 3 – 5 tetes.
Dititrasi sampai
sampai berwarna jingga
Penetapan kadar bilangan penyabunan
itimbang secara seksama 1,5 – 5 gr
minyak/lemak masukkan ke dalam labu
erlenmeyer. Ditambahkan 50 ml larutan
KOH Alkohol 0,5N kocok hingga
homogen.
Dihubungkan
erlenmeyer
dengan pendingin balik. Didihkan hati –
hati selama 30 menit.
Didinginkan,
tambahkan penolpthalin beberapa tetes.
Dititrasi kelebihan KOH dengan baku
HCL 0,5N. Dilakukan titrasi blanko
dengan aquadest
Fermentasi dan inkubasi
Ditampung krim yang terbentuk ke dalam
toples transparan ditambahkan ragi tempe
dengan perbandingan 2 g, 3g, 4 g, 5 g, 6 g
per liter krim santa, diinkubasi selama 24
jam suhu 300C, hingga terbentuk tiga
lapisan. Lapisan paling atas merupakan
minyak kelapa, lapisan tengah adalah
blondo (ampas krim) dan lapisan paling
bawah adalah air. dipisahkan minyak
kelapa tersebut dari air dan blondo dan
melakukan penyaringan pada minyak.
Penentuan bilangan asam dan bilangan
penyabunan
Standarisasi larutan KOH 0,1N dengan
asam oksalat 0,1N
Dipipet 10,0 ml asam oksalat, tambahkan
aquadest 25 – 50 ml. ditambahkan
Hasil
Gambaran Umum Penelitian
Kegiatan penelitian diawali dengan
pemilihan buah kelapa yang akan
digunakan untuk pembuatan minyak yang
memiliki kriteria yaitu kelapa yang sudah
66
tua, sabut berwarna cokelat, belum
bertunas, masih mengandung air kelapa,
dan melalui proses sortasi untuk
mendapatkan buah kelapa yang baik, tidak
busuk, serta verietas yang sama dimana
bahan baku tersebut diperoleh dari pasar.
Kelapa tersebut kemudian di parut dengan
mesin parut dan diambil santannya lalu
diakukan pemisahan krim santan dari air.
krim santan yang terbentuk dimasukkan ke
dalam 5 wadah dan masing – masing
ditambahkan ragi tempe (Rhizopus sp)
yang diperoleh dari pasar dengan variasi
konsentrasi tertentu secara acak. Krim
tersebut kemudian diinkubasi untuk
melakukan proses fermentasi. Minyak
yang dihasilkan diambil dan dilakukan
pemeriksaan mutu minyak di Laboratorium
Kimia Jurusan Analis Kesehatan Mataram.
Uji mutu yang dilakukan terdiri dari
bilangan asam dan bilangan penyabunan
Hasil
Setelah dilakukan penetapan kadar
bilangan asam dan bilangan penyabunan
pada sampel minyak kelapa dengan
menggunakan metode titrasi asidi–
alkalimetri, diperoleh hasil pemeriksaan
seperti pada tabel 4.1 dan tabel 4.2 di
bawah ini
Tabel 4.1 Hasil Penetapan Kadar Bilangan Asam Pada Minyak Kelapa Fermentasi
No
Penambahan
Pengulangan Kadar Bilangan Asam
Rerata
ragi tempe
(mg KOH/g)
(mgKOH/
1
2
3
4
5
g)
1
2
3
4
5
2 gram
3 gram
4 gram
5 gram
6 gram
0,3972
0,1981
0,1978
0,3970
0,3971
0,1980
0,2972
0,3975
0,2974
0,4964
Dari tabel 4.1 di atas dapat dilihat bahwa
kadar Bilangan Asam rata – rata pada
penambahan ragi tempe (Rhizopus sp) 2
gram per liter krim santan adalah sebesar
0,2968 mg KOH/g, pada penambahan 3
gram per liter krim santan kadar bilangan
asam rata - ratanya sebesar 0,2974 mg
KOH/g, pada penambahan ragi tempe 4
gram per liter krim santan kadar bilangan
asam rata - ratanya sebesar 0,3574 mg
KOH/g, pada penambahan ragi tempe 5
0,2954
0,2970
0,2981
0,3975
0,5943
0,2981
0,3975
0,3969
0,4962
0,3970
0,2955
0,2975
0,4969
0.3962
0,3926
0,2968
0,2974
0,3574
0,3968
0,4562
gram per liter krim santan bilangan asam
rata - ratanya sebesar 0,3968 mg KOH/g
dan pada penambahan ragi tempe 6 gram
per liter krim santan kadar bilangan asam
rata - ratanya sebesar 0,4562 mg KOH/g
Untuk
lebih
jelasnya,
pengaruh
penambahan ragi tempe (Rhizopus sp)
terhadap kadar Bilangan Asam pada
minyak kelapa fermentasi dapat dilihat
pada gambar grafik 4.1 di bawah ini.
Gambar 4.1 Penambahan Ragi Tempe (Rhizopus sp) pada proses Fermentasi Minyak
67
Dari grafik di atas terlihat bahwa kadar
Bilangan Asam terendah pada penambahan
2 gram per liter krim santan dan tertinggi
pada penambahan 6 gram per liter krim
santan
Tabel 4.2 Hasil Penetapan Kadar Bilangan Penyabunan Pada Minyak Kelapa Fermentasi
No
1
2
3
4
5
Penamba
han ragi
(g)
2
3
4
5
6
Pengulangan Kadar Bilangan Penyabunan
(mg KOH/g)
1
2
3
4
5
260,69 261,35 262,14 259,44 261,91
261,06 260,23 260,93 262,78 262,29
262,22 261,45 261,23 262,20 260,81
262.15 261,41 263,68 263,01 261,82
263,80 262,23 263,51 261,66 262,82
Dari tabel 4.2 di atas dapat dilihat bahwa
kadar Bilangan Penyabunan rata – rata
pada penambahan ragi tempe (Rhizopus
sp) 2 gram per liter krim santan adalah
sebesar
261,106 mg KOH/g, pada
penambahan 3 gram per liter krim santan
kadar bilangan Penyabunan rata - ratanya
sebesar 261,458 mg KOH/g, pada
penambahan ragi tempe 4 gram per liter
krim santan kadar bilangan Penyabunan
rata – ratanya sebesar 261,582
mg KOH/g, pada penambahan ragi tempe
5
Rerata
(mgKOH/
g)
261,106
261,458
261,582
262,414
262,804
gram per liter krim santan bilangan
Penyabunan rata – ratanya sebesar 262,414
mg KOH/g dan pada penambahan ragi
tempe 6 gram per liter krim santan kadar
bilangan Penyabunan rata - ratanya sebesar
262,804mg KOH/g. Untuk lebih jelasnya,
pengaruh
penambahan
ragi
tempe
(Rhizopus sp) terhadap kadar Bilangan
Penyabunan
pada
minyak
kelapa
fermentasi dapat dilihat pada gambar
grafik 4.2 di bawah ini :
Gambar 4.2 Penambahan Ragi Tempe (Rhizopus sp) Pada Proses Fermentasi Minyak
Dari grafik di atas terlihat bahwa kadar
Bilangan Penyabunan pada penambahan
ragi tempe (Rhizopus sp) terjadi sedikit
peningkatan.
Hasil Uji Satistik
Uji Anova Satu Arah
Uji Anova Satu Arah digunakan untuk
mengetahui adanya pengaruh yang
ditunjukan dari data hasil penelitian.
Berdasarkan hasil uji ini, jika nilai p > α =
(0,05) maka tidak ada pengaruh
68
penambahan ragi tempe terhadap mutu
minyak kelapa fermentasi dan bila p < α =
(0,05) maka ada pengaruh yang signifikan.
Berdasarkan hasil uji Anova Satu Arah
menunjukkan ada pengaruh penambahan
ragi tempe terhadap bilangan asam
dibuktikan dengan nilai p (0,034) < α =
(0,05) dan tidak ada pengaruh penambahan
ragi tempe terhadap bilangan penyabunan
dibuktikan dengan nilai p (0,060) > α =
(0,05).
Pembahasan
Hasil Penetapan Bilangan Asam
Bilangan asam dinyatakan sebagai jumlah
miligram KOH yang diperlukan untuk
menetralkan asam lemak bebas yang
terdapat dalam satu gram minyak atau
lemak. Bilagan asam adalah ukuran dari
jumlah asam lemak bebas, asam lemak
bebas terdapat di dalam minyak atau
lemak, jumlahnya akan terus bertambah
selama
proses
pengolahan
dan
penyimpanan. Keberadaan asam lemak
bebas biasanya dijadikan indikator awal
terjadinya kerusakan minyak.
Asam lemak bebas adalah asam
lemak yang sudah terlepas dari trigliserida
karena proses hidrolisis. Asam lemak
bebas ini dapat dioksidasi secara
autooksidasi atau oleh enzim yang
dinamakan Lypooksigenase.
Oksidasi
khususnya terjadi pada asam lemak tidak
jenuh, yaitu asam oleat, linoleat, dan
linolenat yang merupakan asam – asam
yang banyak terkandung dalam lemak atau
minyak. Dalam reaksi hidrolisa, minyak
akan diubah menjadi asam – asam lemak
bebas dan gliserol. Hasil akhir pada reaksi
tersebut adalah ketengikan hidrolisa yang
menghasilkan flavor dan bau tengik pada
minyak. Asam lemak bebas ditunjukkan
dengan bilangan asam, semakin tinggi
bilangan asam maka semakin tinggi jumlah
asam lemak bebasnya (Ketaren, 2008).
Berdasarkan hasil analisis statistik
menunjukkan bahwa penambahan ragi
tempe (Rhizopus sp) berpengaruh terhadap
bilangan asam minyak kelapa, dibuktikan
dengan nilai probabilitas 0,034 < 0,05,
dimana semakin tinggi konsentrasi
penambahan ragi tempe terlihat semakin
tinggi juga bilangan asamnya. Hal ini
dikarenakan
minyak
atau
lemak
terhidrolisis oleh enzim yang dikeluarkan
oleh mikroorganisme menjadi asam – asam
lemak, gliserol, air, dan energy (Andriani,
dkk, 1992). Terbentuknya asam lemak
bebas oleh reaksi hidrolisis juga dapat
dipercepat oleh adanya kandungan air di
dalam bahan (Sumitro, dkk.,2000).
Hasil penelitian tersebut menegaskan
bahwa peningkatan konsentrasi ragi yang
ditambahkan memicu peningkatan kadar
asam lemak bebas yang dilihat dari
penigkatan bilangan asam. Oleh karena itu
semakin banyak konsentrasi ragi maka
semakin banyak asam – asam lemak yang
terbentuk dan bilangan asam yang
diperoleh semakin meningkat.
Penelitian ini didukung dengan
pernyataan
Arnela
(2012)
yang
menggunakan enzim bromelin pada sari
bonggol nanas dalam pembuatan minyak
kelapa. Pada penelitian tersebut dikatakan
bahwa, bertambahnya volume sari bonggol
nanas yang ditambahkan pada krim santan,
mengakibatkan semakin meningkatnya
bilangan asam.
Hal ini dikarenakan
semakin banyak enzim yang digunakan
dalam fermentasi, semakin besar hidrolisis
trigliserida yang terjadi akibat kerusakan
minyak atau lemak. Peningkatan bilangan
asam juga terkait dengan peningkatan
kadar air., Kadar air yang semakin tinggi
mempercepat hidrolisis minyak kelapa
menghasilkan asam – asam lemak bebas
sehingga bilangan asam akan semakin
meningkat. Tingginya konsentrasi enzim
yang ditambahkan ke dalam media
fermentasi menyebabkan molekul –
molekul air yang mengelilingi minyak
semakin banyak yang pecah sehingga
kadar air menjadi tinggi.
Kadar air
berperan dalam proses oksidasi dan
hidrolisis minyak yang akhirnya dapat
menyebabkan
ketengikan (Sumarni,
2012).
Menurut Standar Nasional Indonesia
(SNI) bahwa bilangan asam maksimal
untuk minyak goreng adalah 2 mg KOH/g,
69
maka hasil penetapan kadar bilangan asam
menunjukkan bahwa minyak dari setiap
perlakuan tersebut mempunyai angka asam
di bawah standar yang telah ditetapkan dan
menunjukkan bahwa kualitas dari minyak
tersebut baik.
angka
penyabunan
dalam
minyak
dipengaruhi oleh adanya senyawa yang tak
tersabunkan dalam minyak seperti sterol,
pigmen, hidrokarbon, dan tokoferol yang
dapat
mengurangi kekuatan oksidasi
terhadap ikatan tidak jenuh asam lemak.
Karena bilangan penyabunan memiliki
nilai yang relativ sama, berarti minyak
hasil fermentasi tersusun dari trigliserida
dengan berat molekul yang relatif sama.
Menurut Standar Nasional Indonesia
(SNI) bahwa bilangan penyabunan
maksimal untuk minyak goreng adalah 196
- 206 mg KOH/g, maka hasil penetapan
kadar bilangan Penyabunan menunjukkan
bahwa minyak dari setiap perlakuan
tersebut lebih besar dari standar yang
ditetapkan, tetapi untk Standar Industri
Indoesia (SII) minyak kelapa tersebut
masih memiliki kualitas yag baik
Kesimpulan
Sesuai dengan tujuan khusus penelitian ini,
maka dapat ditarik kesimpulan sebagai
berikut :
Pada penambahan ragi tempe (Rhizopus
sp) 2 gram per liter krim santan, rata – rata
kadar bilangan asam sebesar 0,2968 dan
rata - rata bilangan penyabunan sebesar
261,106 mg KOH/g.
Pada penambahan ragi tempe (Rhizopus
sp) 3 gram per liter krim santan, rata – rata
kadar bilangan asam sebesar 0,2974 dan
rata – rata bilangan penyabunan sebesar
261,458 mg KOH/g.
Pada penambahan ragi tempe (Rhizopus
sp) 4 gram per liter krim santan, rata – rata
kadar bilangan asam sebesar 0,3574 dan
rata – rata bilangan penyabunan sebesar
261,582 mg KOH/g.
Pada penambahan ragi tempe (Rhizopus
sp) 5 gram per liter krim santan, rata – rata
kadar bilangan asam sebesar 0,3968 dan
rata – rata bilangan penyabunan sebesar
262,414 mg KOH/g.
Pada penambahan ragi tempe (Rhizopus
sp) 6 gram per liter krim santan, rata – rata
kadar bilangan asam sebesar 0,4562 dan
rata – rata bilangan penyabunan sebesar
262,804 mg KOH/g.
Hasil Penetapan Kadar Bilangan
Penyabunan.
Bilangan penyabunan dapat dinyatakan
dalam jumlah milligram KOH yang
dibutuhkan untuk menyabunkan 1 gram
minyak atau lemak. Bilangan penyabunan
merupakan indeks rata – rata berat molekul
triasilgliserol dalam sampel. Minyak yang
mempunyai berat molekul rendah akan
mempunyai bilangan penyabunan yang
lebih tinggi, begitu sebaliknya minyak
yang mempunyai berat molekul tinggi
akan mempunyai bilangan penyabunan
yang lebih rendah (Ketaren, 1986).
Analisis bilangan penyabunan pada
minyak kelapa yang dibuat dengan
fermentasi enzim digunakan untuk
menentukan berat molekul dari minyak
kelapa itu sendiri.
Berdasarkan hasil
analisis statistik menunjukkan bahwa
penambahan ragi tempe (Rhizopus sp)
tidak berpengaruh terhadap bilangan
penyabunan, dibuktikan dengan nilai
probabilitas (0,060 > 0,05).
Ini
menandakan
bahwa
minyak
hasil
fermentasi tersusun dari trigliserida dengan
berat molekul yang sama. Hal ini bisa juga
disebabkan oleh proses pembuatan minyak
kelapa yang tidak melalui proses
pemanasan dimana pemanasan dengan
suhu tinggi akan memutuskan rantai
karbon sehingga berpengaruh terhadap
bilangan penyabunannya, dimana angka
penyabunan dapat digunakan untuk
penentuan berat molekul minyak secara
kasar. Besar kecilnya bilangan penyabunan
tergantung pada panjang pendeknya rantai
karbon asam lemak. Minyak yang disusun
oleh asam lemak berantai karbon pendek
akan mempunyai bobot molekul kecil,
sedangkan minyak dengan rantai karbon
panjang akan mempunyi bobot molekul
yang lebih besar. Menurut Ketaren (1986),
70
Ada pengaruh penambahan ragi tempe
(Rhizopus sp) pada pembuatan minyak
kelapa secara fermentasi terhadap bilangan
asam (p = 0,034 < α = 0,05) dan tidak ada
pengaruh
penambahan
ragi
tempe
(Rhizopus sp) pada pembuatan minyak
kelapa secara fermentasi terhadap bilangan
penyabunan (p = 0,060 > α = 0,05
10. Lay, A dan R. Barlina. 1989.
Pengaruh Tingkat Kematangan Buah
Terhadap Sifat Santan dan Mutu
Minyak Kelapa. Laporan Tahunan.
Balitka Manado.
11. Rosenthal, P.D.L dan K. Niranjan.
1996. Aqueous and Enzymatic
Processes for Edible Oil Extraction.
Enzyme Microbial Technology 19:
402 – 420.
12. Setiaji, B. dan Prayugo, S. 2006.
Membuat VCO Berkualias tinggi.
Penebar Swadaya. Depok
13. Sulistyo, J., Y.S. Soeka, E. Triana dan
N.R.R. Napitupulu. 1999. Penerapan
teknologi fermentasi pada bioproses
fermentasi minyak kelapa (fermikel).
Berita Biologi 4 (5): 273-279.
Daftar Pustaka
1. Alamsyah, Andi Nur. 2005. Virgin
Coconut Oil Minyak Penakluk Aneka
Penyakit.
Agro Media Pustaka.
Jakarta
2. Andriani, M., Setyaningrum, A.,
Godras,J.M., 1992 Pengaruh Variasi
Perlakuan
Enzimatis
Terhadap
Rendeman dan Mutu Virgin Coconut
Oil. Jurnal Kimia dan Teknilogi UNS.
Solo
3. Anonim,
2013.
http://hijrohmustika.blogspot.com/201
3/12/makalah-mikrobiologi.html
4. Anonim,
2012.
http://duniakefir.blogspot.com/2012/1
1/fermentasi.html
5. Ansori,
R.
1992.
Teknologi
Fermentasi. Arcan, Kerja Sama
dengan Pusat Antar Universitas
Pangan dan Gizi. Institut Pertanian
Bogor. Bogor
6. Cristianti Laras dan Adi H.P. 2009.
Pembuatan Minyak Kelapa Murni
(Virgin Coconut Oil) Menngunakan
Fermentasi Ragi Tempe. Universitas
Sebelas Maret. Surakarta
7. Effendi, A.
2012 Optimalisasi
Penggunaan Enzim Bromelin Dari
Sari
Bonggol
Nanas
Dalam
Pembuatan
Minyak
Kelapa.
Universitas
Negri
Semarang.
Semarang
8. Hanafiah, K.A. 2010. Rancangan
Percobaan Teori dan Aplikasi.
Rajawali Press. Jakarta
9. Ketaren,
S.
2008. Pengantar
Teknologi Minyak dan Lemak
Pangan. Universitas Indonesia (UIPress). Jakarta
71
FILTRAT Syzygium polyanthum DAN MONOSIT PADA DARAH TEPI TIKUS
PUTIH (Rattus norvegicus) STRAIN WISTAR DENGAN HIPERLIPIDEMIA
1
Lina Sundayani1, Farida1, Maruni Wiwin Diarti1
Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan
Abstrak
Syzygium polyanthum mengandung senyawa yang mampu menurunkan kadar kolesterol
sehingga dapat menghambat terbentuknya radikal bebas dan menekan respon inflamasi dari
cedera endotel. Hitung jenis monosit merupakan parameter progresivitas dari aterosklerosis.
Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui potensi dari sediaan filtrate Syzygium
polyanthum terhadap jumlah monosit pada darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus
norvegicus) strain wistar yang mengalami hiperlipidemia. Penelitian ini bersifat eksperimental
di laboratorium dengan rancangan penelitian menggunakan rancangan acak lengkap (RAL).
Besar sampel dalam penelitian ini 30 ekor, dibagi manjadi 6 kelompok perlakuan K1:
Kelompok I (kontrol negatif), K2: Kelompok 2 (kontrol positif), K3,K4,K5 dan K6
merupakan kelompok perlakuan. Hasil penelitian menunjukkan rerata kadar kolesterol total
87.5 ± 13.9 mg/dl dan jumlah monosit 6 pada darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus
norvegicus) strain wistar sebelum mengalami hiperlipidemia. Rerata kadar kolesterol total
199.7 ± 22.1 mg/dl dan jumlah monosit 4 pada darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus
norvegicus) strain wistar setelah mengalami hiperlipidemia. Rerata kadar kolesterol total 91.6
± 11.8 mg/dl dan jumlah monosit 3 pada darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus
norvegicus) strain wistar yang mengalami hiperlipidemia setelah pemberian filtrate Syzygium
polyanthum konsentrasi 25%, 50%, 75%, 100 %. Hasil uji statistik One Way Anova
menghasilkan nilai p=0.000<α0.05. Kesimpulan terdapat efek pemberian sediaan filtrate
Syzygium polyanthum terhadap jumlah monosit pada darah tepi hewan coba tikus putih
(Rattus norvegicus) strain wistar yang mengalami hiperlipidemia.
Kata Kunci : Hyperlipidemia, Monosit, Syzygium polyanthum
FILTRATE Syzygium polyanthum AND MONOCYTES OF PERIPHERAL BLOOD
WHITE RAT (Rattus norvegicus) WISTAR’S STRAIN WITH HYPERLIPIDEMIA
Abstract
Syzygium polyanthu) contain cumpounds that can lower cholesterol leavels and then inhibit
the formation of free radicals and suppress the inflammatory response of injured endotel. In
this study, monocyte count is the parameter of progression of atherosclerosis. The purpose of
this study is to determine the potential of the leaves preparation filtrate (Syzygium
polyanthum) to the number of monocytes in the blood wistar strain (Rattus norvegicus) rat
with hyperlipidemia. This research design using a completely randomized design. The sample
size in this study were 30 mice and devided into 6 treatment groups, K1: negatif control,K2:
positive control, K3,K4,K5 and K6 is the treatment group. The result shown the average
cholesterol level 87.5 ± 13.9 mg/dl and the number of monocytes 6 in peripheral blood of
white rat wistar strain (Rattus norvegicus) before having hyperlipidemia. The mean
cholesterol level 199.7 ± 22.1 mg/dl and the number of monocytest 4 in peripheral blood of
white rat wistar strain (Rattus norvegicus) after hyperlipidemia. The mean cholesterol 91.6 ±
72
11.8 mg/dl and the number of monocytes 3 in peripheral blood of white rat wistar strain
(Rattus norvegicus) in hyperlipidemia and after had treated with preparation filtrate
concentration 25%, 50%, 75%, 100 %. The One Way Anova statistic result generate value
p=0.000<α0.05. The conclution of this study is filtrate of Syzygium polyanthum has effect to
the number of peripheral blood monocytes in experimental animals wistar strain white (Rattus
norvegicus) rat with hyperlipidemia.
Key woods : Hyperlipidemia, Monocytes, Syzygium polyanthum
73
meningkatnya
permeabilitas
endotel
dinding arteri menyebabkan terjadinya
oksidasi LDL-C, yang berperan dan
mempercepat timbulnya plak ateromatosa.
Kolesterol total merupakan salah satu
profil lipid yang berpengaruh besar
terhadap
lipid
plasma.
Penelitian
menunjukkan bahwa setiap penurunan
kolesterol 1% dapat menurunkan resiko
penyakit kardiovaskuler sebesar 2%,
sehingga pemantauan dan penurunan kadar
kolesterol total adalah penting.1;19
Pengobatan
hyperkolesternemia
biasanya menggunakan bahan kimia
sintetik golongan Statin atau inhibitor
HMG-CoA reduktase merupakan salah satu
obat golongan hipolipidemik yang bersifat
menurunkan kadar kolesterol, terutama
pada kasus penyakit jantung koroner
(PJK).
Kadar kolesterol diturunkan
dengan cara penghambatan enzim HMGCoA reduktase, yang merupakan enzim
kunci dalam sintesis kolesterol melalui
jalur mevalonat. Penghambatan enzim
tersebut di hepar akan menstimulasi
reseptor LDL (low density lipoprotein),
sehingga akan meningkatkan ambilan LDL
dari sirkulasi. Statin mampu menurunkan
kadar kolesterol-LDL hingga 30-50%,
namun
kemampuan
statin
dalam
menurunkan trigliserida dan meningkatkan
kolesterol-HDL, masih rendah bila
dibandingkan dengan golongan fibrat.
Efek samping penggunaan statin telah
banyak dilaporkan antara lain myalgia,
muscle cramps, gangguan gastrointestinal,
gangguan enzimatik hepar. Dari semua
efek samping pemberian statin, yang
paling diwaspadai adalah terjadinya
myositis, miopati dan rhabdomiolisis
(kerusakan patologis otot rangka) yang
selanjutnya dapat menghasilkan berbagai
produk yang mampu merusak ginjal.
Pemanfaatan tumbuhan sebagai
alternatif bahan obat merupakan warisan
nenek
moyang,
pada
saat
ini
pengembangan produksi tanaman obat
semakin pesat, hal ini dipengaruhi oleh
kesadaran masyarakat yang tinggi akan
arti pentingnya menjaga kesehatan dan
Pendahuluan
Pola makan masyarakat yang sebelumnya
tinggi karbohidrat, tinggi serat kasar dan
rendah lemak berubah ke pola makan baru
yakni rendah karbohidrat, rendah serat dan
tinggi lemak, sehingga menggeser mutu
makanan menjadi
tidak seimbang.
Perubahan pola makan berakibat semakin
banyaknya masyarakat golongan tertentu
mengalami peningkatan kadar lipid dalam
darah
atau
hyperlipidemia.
Hyperlipidemia yang salah satu cirinya
adalah terjadinya peningkatan kadar
kolesterol total
di dalam darah.
Hyperlipidemia
dapat
menyebabkan
penyempitan pada pembuluh darah.14
Kadar kolesterol yang tinggi di
dalam darah mempunyai peran penting
dalam proses arteriosklerosis yang
selanjutnya akan menyebabkan kelainan
kardiovaskuler.
Dari banyak penelitian
kasus kohort menunjukkan bahwa makin
tinggi kadar kolesterol darah, makin tinggi
angka kejadian kelainan kardiovaskuler.
Hiperlipidemia merupakan salah satu
faktor resiko penyebab penyakit jantung
koroner.
Di Indonesia saja, terdapat
sekitar 36 juta penduduk dan sekitar 18%
dari total penduduk Indonesia menderita
penyakit karena hyperlipidemia.16 Diet
tinggi lemak akan meningkatkan profil
lipid seperti lipoprotein yang dapat
menyebabkan cedera endotel karena
peningkatan infiltrasi, retensi dan oksidasi
dari
lipoprotein.18
Salah
satu
hyperlipidemia yaitu hyperkolesterolemia
adalah salah satu keadaan dimana kadar
lemak dalam darah terjadi peningkatan
(dislipidemia) yang mana kadar kolesteorol
dalam darah lebih dari 240 mg/dl.
Hiperkolesterolemia
berhubungan
erat dengan kadar kolesterol LDL di dalam
darah.
Hiperkolesterolemia
diyakini
mengganggu fungsi endotel dengan
meningkatkan produksi radikal bebas
oksigen. Radikal bebas ini menonaktifkan
oksida nitrat, yaitu faktor endhotelialrelaxing utama.
Apabila terjadi
hyperlipidemia
kronis,
lipoprotein
tertimbun di dalam lapisan intima ditempat
74
meningkatkan sistim immun untuk
mencegah tubuh terkena infeksi dari luar.
Pada saat ini upaya pengobatan dan
pencegahan penyakit diarahkan pada
pemanfaatan tanaman herbal berkhasiat
obat, salah satunya adalah tanaman daun
salam (Syzygium polyanthum.)
Daun
salam (Syzygium polyanthum, selain
dikenal sebagai campuran pada bumbu
masakan ternyata memiliki khasiat yang
besar dalam dunia kedokteran seperti
bagian akar digunakan untuk obat gatal
dan daun digunakan untuk menurunkan
kolestrol tinggi, kencing manis (diabetes),
gastritis, diare dan asam urat.21
Berbagai penelitian telah dilakukan
untuk mengetahui kandungan sebenarnya
dari daun salam (Syzygium polyanthum)
secara ilmiah yaitu telah ditemukannya
beberapa kandungan pada daun salam
seperti minyak atsiri, flavonoid, tannin,
seskuiterpen, triterpenoid, fenol, steroid,
sitral, lakton, vitamin C, vitamin A,
thiamin, Riboflavin, Niacin, vitamin B6,
vitamin B12, folat dan selenium. Diduga
kandungan flavonoid ini berkontribusi
pada kemampuannya untuk melindungi
tubuh terhadap penyakit jantung.10
Hasil penelitian Utami Ni Luh, 2008
dan Riansari A,2008, membuktikan
pemberian ekstrak daun salam dengan
dosis 0,18 gr/hari, 0,36 gr/hari dan 0,75
gram/hari selama 15 hari pada hewan coba
tikus putih strain wistar hyperlipidemia
dapat menurunkan kadar LDL-kolesterol
dan kolesterol total secara bermakana.20;15
Penelitian Rushaliyati putri (2011),
membuktikan bahwa rata – rata penurunan
kadar kolesterol sebelum dan setelah
pemberian Filtrat daun salam (Syzygium
polyanthum) pada hewan coba tikus putih
(Rattus norvegicus) strain wistar selama 9
hari adalah 64,6 mg/dl.17 Dari hasil
penelitian – penelitian tersebut hanya
melihat efek penurunan kadar kolesterol,
tidak melihat efeknya terhadap jumlah
monosit sebagai sel imun yang sangat
berperan dalam peristiwa cedera endotel
sebagai akibat dari oksidasi lipoprotein
LDL, yang mengakibatkan infiltrasi dan
akumulasi monosit ke bawah jaringan
subendotel dan kemudian berubah menjadi
sel makrofag.
Makrofag dan LDL terakumulasi di
daerah injuri dinama LDL teroksidasi
dimakan oleh makrofag atau makrofag
sendiri juga teroksidasi membentuk sel
busa (foam cell) yang dapat berkembang
menjadi plak aterosklerosis. Hitung jenis
monosit
merupakan
parameter
progresivitas dari aterosklerosis. Monosit
adalah kelompok sel darah putih yang
menjadi bagian dari sistim kekebalan.
Monosit diproduksi di dalam sumsum
tulang dari sistim RES. ungsi normal
monosit adalah sebagai kemotaksis
(mobilisasi dan migrasi sel) diamana
fagosit ditarik ke bakteri atau tempat
peradangan oleh zat kemotaktik yang
dilepaskan dari jaringan rusak atau oleh
komponen komplemen, monosit berguna
juga sebagai fagositosis zat asing (jamur,
bakteri, virus, protozoa dll) atau sel tubuh
hospes yang mati atau rusak. Pengenalan
partikel asing dibantu oleh opsonisasi
dengan immunoglobulin atau komplemen
melalui reseptor pada monosit, dalam
membunuh dan mencerna benda asing. 7
Berdasarkan uraian latar belakang
diatas maka untuk mengetahui efek dari
sediaan filtrat daun salam (Syzygium
polyanthum) terhadap jumlah monosit pada
darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus
norvegicus) strain wistar yang mengalami
hiperlipidemia maka perlu dilakukan
penelitian mengenai pemanfaatan sediaan
filtrat daun salam (Syzygium polyanthum)
terhadap jumlah monosit pada darah tepi
hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus)
strain
wistar
yang
mengalami
hiperlipidemia.
Metode
Jenis penelitian ini merupakan penelitian
eksperimental di laboratorium dengan
rancangan
penelitian
menggunakan
rancangan acak lengkap (RAL) . Variabel
bebas: filtrat daun salam. Variabel terikat :
Jumlah sel Monosit darah tepi hewan coba
tikus putih. Populasi dalam penelitian ini
adalah hewan coba tikus putih. Sampel
75
dalam penelitian ini adalah darah hewan
coba tikus putih. Besar sampel dalam
penelitian ini ditentukan berdasarkan
pendapat Weill bahwa sampel minimal
untuk pemakaian hewan coba adalah 4
ekor dan dengan faktor koreksi 25% dari
unit eksperiment, maka pada penelitian ini
digunakan (6 x 4 = 24 ekor), faktor koreksi
24 x 25% = 6 ekor. Total hewan coba yang
digunakan adalah 24 ekor + 6 ekor = 30
ekor.6 Hewan coba tersebut ditempatkan
pada kandang terpisah, masing – masing
kandang berisi 4 ekor tikus, sesuai dengan
pembagian
perlakuannya.
Cara
pengambilan sampel purposive sampling
dengan kriteria hewan coba adalah tikus
jantan, umur 2-3 bulan, berat badan 200250 gram dengan kondisi sehat.
Instrumentasi : kandang tikus putih, alat
pemeriksaan kolesterol Nesco Multicheck
blood cholesterol test strips, timbangan
kualitatif, timbangan kuantitatif, blender
kecil (blender untuk bumbu), kain nylon,
beaker glass, dispenser 100-1000 mikron,
blue tip, gunting, pinset, objek glass, cover
glass, bak pewarnaan, pipet Pasteur dan
mikroskop. Bahan penelitian : Aquadest,
alkohol 70%, methanol, giemsa 1 %, oil
emersi, pakan tikus standar, kuning telur
puyuh (pakan tikus hyperlipidemia), daun
salam dan pewarna cepat Hematologi.
Cara Pengumpulan data :
1. Persiapan dan aklimatisasi hewan
coba tikus putih (Rattus norvegicus)
strain wistar
Penelitian ini menggunakan tikus putih
(Rattus norvegicus) strain wistar karena
beberapa alasan antara lain, mudah
dikembang biakan, mudah diperlihara,
mudah diambil darahnya cukup melalui
ekor untuk mendapatkan darah kapiler,
fisiologinya
diperkirakan
identik
dengan manusia (Harmita & Maksum
2008). Aklimatasi hewan coba selama 7
hari terhadap air, makanan, udara, dan
kondisi laboratorium. Pakan yang
diberikan selama aklimatasi adalah
pakan standar
tikus putih (Rattus
norvegicus) dan Aquadest untuk air
minum.
2. Pembagian hewan coba berdasarkan
kelompok perlakuan dan faktor
koreksi.
Hewan coba tikus putih (Rattus
norvegicus) strain wistar yang sudah
diaklimatisasi, dan sesuai dengan
kriteria penelitian dimasukkan dalam
kandang sesuai dengan kelompok
perlakuannya. Jumlah hewan coba yang
digunakan setiap perlakuan sesuai
dengan pendapat Weill yaitu 4 ekor dan
ditambah masing – masing 1 ekor untuk
faktor koreksinya, sehingga masing –
masing perlakuan menggunakan 5 ekor
hewan coba. Adapun rincian 6
kelompok perlakuan dalam penelitian
ini adalah :
1. K1 Kelompok I (kontrol negatif)
sebanyak 5 ekor : pemberian hanya
pakan standart rata – rata sebanyak 5
gram/hari/ekor + Aguadest.
2. K2 Kelompok 2 (kontrol positif)
sebanyak 5 ekor
: pemberian
diet kuning telur puyuh 500 ul/1,5
gram sebanyak 3 x sehari selama 30
hari (membuat kondisi hyperlipid) +
pakan standart rata – rata 5 gram /
hari + Aquadest.
3. K3 Kelompok 3 (perlakuan 25%)
sebanyak 5 ekor :
pemberian
pemberian diet kuning telur puyuh
500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari
selama 30 hari (membuat kondisi
hyperlipid) + pakan standart rata –
rata 5 gram / hari + Aquadest dan
dilanjutkan dengan pemberian filtrat
daun salam konsentrasi 25% selama
9 hari ad labitium.
4. K4 Kelompok 4 (perlakuan 50%)
sebanyak 5 ekor :
pemberian
pemberian diet kuning telur puyuh
500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari
selama 30 hari (membuat kondisi
hyperlipid) + pakan standart rata –
rata 5 gram / hari + Aquadest dan
dilanjutkan dengan pemberian filtrat
daun salam konsentrasi 50% selama
9 hari ad labitium.
5. K5 Kelompok 5 (perlakuan 75%)
sebanyak 5 ekor :
pemberian
76
pemberian diet kuning telur puyuh
500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari
selama 30 hari (membuat kondisi
hyperlipid) + pakan standart rata –
rata 5 gram / hari + Aquadest dan
dilanjutkan dengan pemberian filtrat
daun salam konsentrasi 75% selama
9 hari ad labitium.
6. K6 Kelompok 6 (perlakuan100%)
sebanyak 5 ekor :
pemberian
pemberian diet kuning telur puyuh
500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari
selama 30 hari (membuat kondisi
hyperlipid) + pakan standart rata –
rata 5 gram / hari + Aquadest dan
dilanjutkan dengan pemberian filtrat
daun salam konsentrasi 100% selama
9 hari ad labitium.
3. Penimbangan
berat
badan,
pengukuran kadar kolesterol total
dan jumlah monosit hewan coba tikus
putih (Rattus norvegicus) strain
wistar
sebelum
kondisi
hyperlipidemia.
Masing – masing hewan coba yang
telah
dikelompokkan
berdasarkan
kelompok
perlakuan
dilakukan
penimbangan berat badan, pengukuran
kadar kolesterol total dan perhitungan
jumlah monosit sebelum pemberian
kuning telur puyuh untuk membuat
kondisi hiperlipidemia. Adapun cara
kerja perhitungan jumlah monosit
adalah :
1. Membuat hapusan darah tepi dari
hewan coba mencit.
2. Memfiksasi dengan metanol 90%
selama 10 menit, menggenangi
preparat dengan larutan Giemsa 1 %
selama 15 menit, setelah itu mencuci
dengan
air
mengalir
dan
mengeringkan sediaan tersebut di
udara.
3. Preparat atau sediaan yang telah
kering diperiksa dibawah mikroskop
dengan perbesaran lensa obyektif 40
X.
4. Dihitung jumlah monosit dalam 100
sel leukosit.
Sedangkan
pemeriksaan
kadar
kolesterol total menggunakan alat
Nesco multicheck blood cholesterol test
strips.
4. Pembuatan kondisi hyperlipidemia
pada hewan coba tikus putih (Rattus
norvegicus) strain wistar
Hasil pemeriksaan kadar kolesterol
hewan
coba
sebelum
kondisi
hyperlipidemia dengan kadar dibawah
75
mg/dl diambil 5 ekor untuk
kelompok kontrol negatif, selanjutnya
25 ekor sisanya dibuat kondisi
hiperlipidemia. Pembuatan kondisi
hyperlipidemia pada hewan coba tikus
putih (Rattus norvegicus) strain wistar
dengan cara memberi makanan kaya
akan lemak yaitu kuning telur puyuh.
Dasar pemberian kuning telur puyuh
sesuai dengan pendapat Adik, 2009
bahwa kuning telur puyuh memiliki
kadar kolesterol terbesar dari makanan
yaitu 3640 mg / 10 gr. Setiap ekor tikus
putih (Rattus norvegicus) strain wistar
diberi makanan kuning telur burung
puyuh 500 ul/1,5 gram sebanyak 3 x
sehari (pagi, siang, dan sore) selama 30
hari (membuat kondisi hyperlipid) +
pakan standart rata – rata 5 gram / hari
+ Aquadest . Setelah 30 hari diambil
darah tikus putih untuk diukur kadar
kolesterol darahnya. Tikus putih (Rattus
norvegicus) strain wistar dipuasakan
selama 12 jam sebelum dilakukan
pemeriksaan kadar kolesterol darahnya.
Kriteria hyperlipidemia pada hewan
coba tikus putih (Rattus norvegicus)
strain wistar dengan
kolesterolnya
diatas 100 mg / dl.
5. Penimbangan
berat
badan,
pengukuran kadar kolesterol total
dan jumlah monosit hewan coba tikus
putih (Rattus norvegicus) strain
wistar
setelah
kondisi
hyperlipidemia.
Masing – masing hewan coba yang
telah mengalami hyperlipidemia sesuai
dengan kelompok perlakuan dilakukan
penimbangan berat badan, pengukuran
77
kadar kolesterol total dan perhitungan
jumlah monosit. Hewan coba yang
menunjukkan kadar kolesterol lebih dari
100 mg/dl selanjutnya diberikan filtrat
daun salam.
6. Persiapan dan pembuatan Filtrat
daun salam
Daun salam yang digunakan dalam
penelitian ini dalah daun salam yang
baru dipetik di daerah pegunungan Desa
Kekait Kecamatan Gunung Sari
Lombok Barat dan masih segar dan
dicuci bersih menggunakan aquadest.
Daun yang digunakan ialah daun nomer
5 dan seterusnya yang dihitung dari atas
pucuk tangkai tanaman salam dengan
kriteria tidak cacat (robek, kering,
ditumbuhi hama). Kemudian ditimbang
sebanyak 100 gram dan diblender
dengan blender bumbu. Hasil blender
kemudian diperas menggunakan kain
nylon. Ditampung
dalam
wadah
menggunakan beaker glass. Filtrat daun
salam tersebut di asumsikan merupakan
filtrat daun salam dengan konsentarsi
100 % b/v, dari konsentrasi stok di buat
pengnceran
filtrat
daun
salam
25%,50%, dan 75% .
7. Penentuan volume pemberian Filtrat
daun salam (Syzygium polyanthum)
Volume pemberian Filtrat daun salam
konsentrasi 100%, 75%,50%,25%,
kontrol positif dan kontrol negatif pada
masing – masing hewan coba berbeda
tergantung dari berat badan hewan coba.
Untuk mengetahui volume efektif filtrat
daun salam terhadap kadar kolesterol
darah tikus putih maka digunakan
perhitungan sebagai berikut :
BB (s) x V
BB (std)
F
Keterangan :
BB(s) : berat badan tikus yang
sebenarnya
BB (std): berat badan standar (200
gram)
V
: volume maksimum yang
diberikan (5 ml)
F
: frekuensi pemberian Filtrat
daun salam (2x sehari)
Pemberian filtrat daun salam pada
hewan coba sesuai kelompoknya
diberikan selama 9 hari (Utami,Ni Luh,
2008). Data hasil perhitungan jumlah
monosit pada kelompok K1, K2,
K3,K4,K5 dan K6
dianalisa
menggunakan uji statistik One Way
anova pada tingkat kepercayaan 95%
Pα = 0.05.
Hasil
Data kadar kolesterol hewan coba tikus
putih (Rattus norvegicus) strain wistar.
Tabel 1. Deskripsi data kadar kolesterol dalam darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus
norvegicus) strain wistar.
Kadar kolesterol (mg/dl)
Kelompok
No
Perlakuan
N
Standar
Perlakuan
Rerata
deviasi
1.
Sebelum
kondisi
K1
5
67.4
4.8
hyperlipid
K2
5
93.4
12.4
(diet kuning telur)
K3
5
93.0
10.1
K4
5
98.4
8.5
K5
5
91.6
14.5
K6
5
81.2
5.7
Total
30
87.5
13.9
2.
Setelah kondisi hyperlipid
K1
5
71.2
1.7
(pemberian diet
K2
5
129.8
1.4
kuning telur)
K3
5
128.8
2.5
K4
5
128.8
2.0
K5
5
130.2
1.1
78
K6
3.
Total
Setelah kondisi Hyperlipid
dan setelah pemberian
filtrat daun salam
K1
K2
K3
K4
K5
K6
Total
Keterangan :
K1
: kontrol negatif  pemberian
hanya pakan standart rata – rata sebanyak
5 gram/ hari/ekor + Aguadest.
K2
: kontrol positif  pemberian diet
kuning telur puyuh 500 ul/1,5 gram
sebanyak 3 x sehari selama 30 hari
(membuat kondisi hyperlipid) + pakan
standart rata – rata 5 gram / hari +
Aquadest.
K3
: perlakuan 25%  pemberian
pemberian diet kuning telur puyuh 500
ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30
hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan
standart rata – rata 5 gram / hari +
Aquadest
dan
dilanjutkan
dengan
pemberian filtrat daun salam konsentrasi
25% selama 9 hari ad labitium.
K4
: perlakuan 50%  pemberian
pemberian diet kuning telur puyuh 500
ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30
hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan
standart rata – rata 5 gram / hari +
Aquadest
dan
dilanjutkan
dengan
pemberian filtrat daun salam konsentrasi
50% selama 9 hari ad labitium.
K5
: perlakuan 75%  pemberian
pemberian diet kuning telur puyuh 500
ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30
hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan
standart rata – rata 5 gram / hari +
Aquadest
dan
dilanjutkan
dengan
pemberian filtrat daun salam konsentrasi
75% selama 9 hari ad labitium.
K6
: perlakuan100%  pemberian
pemberian diet kuning telur puyuh 500
ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30
hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan
standart rata – rata 5 gram / hari +
Aquadest
dan
dilanjutkan
dengan
5
30
5
5
5
5
5
5
30
130.2
199.7
70.8
100.0
90.0
98.0
98.0
92.2
91.6
1.7
22.1
1.7
7.9
5.6
10.3
5.7
7.6
11.8
pemberian filtrat daun salam konsentrasi
100% selama 9 hari ad labitium. Tabel 1
menunjukkan bahwa rerata masing –
masing kadar kolesterol darah tepi hewan
coba tikus putih sebelum pemberian
kuning
telur
puyuh
(kondisi
hyperlipidemia) adalah K1 kontrol negatif
67.4±4.8 mg/dl, K2 kontrol positif 93.4±
12.4 mg/dl, K3 93.0± 10.1 mg/dl, K4
98.4± 8.5 mg/dl, K5 91.6± 14.5 mg/dl, dan
K6 81.2±5.7 mg/dl. Total rerata kadar
kolesterol hewan coba tikus putih pada
perlakuan sebelum kondisi hyperlipid
adalah 87.5± 13.9 mg/dl. Rerata masing –
masing kadar kolesterol darah tepi hewan
coba tikus putih setelah pemberian kuning
telur puyuh (kondisi hyperlipidemia)
adalah K1 kontrol negatif 71.2±1.7 mg/dl,
K2 kontrol positif 129.8± 1.4 mg/dl, K3
128.8± 2.5 mg/dl, K4 128.8±2.0 mg/dl, K5
130.2± 1.1 mg/dl, dan K6 130.2±1.7mg/dl.
Total rerata kadar kolesterol hewan coba
tikus putih pada perlakuan setelah kondisi
hyperlipid adalah 199.7 ± 22.1 mg/dl.
Rerata masing – masing kadar kolesterol
darah tepi hewan coba tikus putih setelah
pemberian kuning telur puyuh (kondisi
hyperlipidemia) dan setelah pemberian
filtrat daun salam adalah K1 kontrol
negatif 70.8±1.7 mg/dl, K2 kontrol positif
100.0 ±7.9 mg/dl, K3 90.0± 5.6 mg/dl, K4
98.0± 10.3 mg/dl, K5 98.0± 5.7 mg/dl, dan
K6 92.2±7.6 mg/dl. Total rerata kadar
kolesterol hewan coba tikus putih pada
perlakuan setelah kondisi hyperlipid dan
setelah pemberian filtrat daun salam 91.6±
11.8 mg/dl.
1. Data jumlah Monosit dalam darah tepi
hewan coba tikus putih (Rattus
norvegicus) strain wistar
79
Tabel 2
Deskripsi jumlah Monosit dalam darah tepi hewan coba tikus putih
(Rattus norvegicus) strain wistar
No
Perlakuan
Kelompok
N
Jumlah Monosit
Perlakuan
Rerata
Standar
deviasi
1. Sebelum
kondisi
K1
5
8
1.9
hyperlipid (diet kuning
K2
5
8
2.5
telur)
K3
5
7
2.4
K4
5
4
2.2
K5
5
4
0.8
K6
5
5
1.6
Total
30
6
2.3
2. Setelah
kondisi
K1
5
9
1.3
hyperlipid (pemberian
K2
5
4
1.5
diet kuning telur)
K3
5
3
1.5
K4
5
3
1.3
K5
5
2
0.5
K6
5
3
1.0
Total
30
4
2.6
3. Setelah
kondisi
K1
5
8
1.9
Hyperlipid dan setelah
K2
5
2
1.8
pemberian filtrat daun
K3
5
2
1.1
salam
K4
5
2
1.3
K5
5
2
0.7
K6
5
2
1.3
Total
30
3
2.6
Keterangan :
K1
: kontrol negatif  pemberian
hanya pakan standart rata – rata sebanyak
5 gram/ hari/ekor + Aguadest.
K2
: kontrol positif  pemberian diet
kuning telur puyuh 500 ul/1,5 gram
sebanyak 3 x sehari selama 30 hari
(membuat kondisi hyperlipid) + pakan
standart rata – rata 5 gram / hari +
Aquadest.
K3
: perlakuan 25%  pemberian
pemberian diet kuning telur puyuh 500
ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30
hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan
standart rata – rata 5 gram / hari +
Aquadest
dan
dilanjutkan
dengan
pemberian filtrat daun salam konsentrasi
25% selama 9 hari ad labitium.
K4
: perlakuan 50%  pemberian
pemberian diet kuning telur puyuh 500
ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30
hari (membuat kondisi hyperlipid)
+ pakan standart rata – rata 5 gram / hari +
Aquadest
dan
dilanjutkan
dengan
pemberian filtrat daun salam konsentrasi
50% selama 9 hari ad labitium.
K5
: perlakuan 75%  pemberian
pemberian diet kuning telur puyuh 500
ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30
hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan
standart rata – rata 5 gram / hari +
Aquadest
dan
dilanjutkan
dengan
pemberian filtrat daun salam konsentrasi
75% selama 9 hari ad labitium.
K6
: perlakuan100%  pemberian
pemberian diet kuning telur puyuh 500
ul/1,5 gram sebanyak 3 x sehari selama 30
hari (membuat kondisi hyperlipid) + pakan
standart rata – rata 5 gram / hari +
Aquadest
dan
dilanjutkan
dengan
pemberian filtrat daun salam konsentrasi
100% selama 9 hari ad labitium.
80
Rerata masing – masing jumlah monosit
darah tepi hewan coba tikus putih setelah
pemberian kuning telur puyuh (kondisi
hyperlipidemia) dan setelah pemberian
filtrat daun salam adalah K1 kontrol
negatif 8 ±1.9 , K2 kontrol positif 2 ±1.8,
K3 2 ± 1.1, K4 2 ± 1.3, K5 2 ± 0.7 mg/dl,
dan K6 2 ±1.3. Total rerata jumlah monosit
darah tepi hewan coba tikus putih pada
perlakuan setelah kondisi hyperlipid dan
setelah pemberian filtrat daun salam 3.4±
2.6 mg/dl.
2. Analisis hasil penelitian
Hasil uji One Way Anova untuk data
kadar kolesterol dan jumlah monosit
dari hewan coba tikus putih (Rattus
norvegicus) strain wistar dapat dilihat
pada tabel 3
Tabel 2 menunjukkan bahwa rerata
masing – masing jumlah monosit darah
tepi hewan coba tikus putih sebelum
pemberian kuning telur puyuh (kondisi
hyperlipidemia) adalah K1 kontrol negatif
8 ±1.9, K2 kontrol positif 6 ± 2.5, K3 7.0±
2.4, K4 4 ± 2.2 , K5 4 ± 0.8 , dan K6 5
±1.6. Total rerata jumlah monosit hewan
coba tikus putih pada perlakuan sebelum
kondisi hyperlipid adalah 6 ± 2.3. Rerata
masing – masing jumlah monosit darah
tepi
hewan coba tikus putih setelah
pemberian kuning telur puyuh (kondisi
hyperlipidemia) adalah K1 kontrol negatif
9 ±1.3 , K2 kontrol positif 4 ± 1.5l, K3 3 ±
1.5 , K4 3 ±1.3, K5 2 ± 0.5, dan K6 3
±1.0. Total rerata jumlah monosit darah
tepi hewan coba tikus putih pada perlakuan
setelah kondisi hyperlipid adalah 4± 2.6.
Tabel 3. Hasil uji One Way Anova data kadar kolesterol total darah
tepi hewan coba tikus putih (Rattus norvegicus) strain wistar
Sum of df Mean
F
Sig
Squares
Square
.
Kadar
kolesterol Between
3221.900 5 644.38 6.47 .00
sebelum hyperlipid
Groups
0
7
1
Within
2387.600 2 99.483
Groups
4
Total
5609.500 2
9
Kadar
kolesterol Between
14166.16 5 2833.2 817. .00
setelah hyperlipidemia Groups
7
33 279
0
Within
83.200 2
3.467
Groups
4
Total
14249.36 2
7 9
Kadar
kolesterol Between
2932.400 5 586.48 12.0 .00
setelah hyperlipidemia Groups
0
63
0
dan pemberian filtrat Within
1166.800 2 48.617
daun salam
Groups
4
Total
4099.200 2
9
Tabel 3 menunjukkan Hasil uji One Way
Anova kadar kolesterol hewan coba tikus
putih (Rattus norvegicus) strain wistar
sebelum hyperlipid antar perlakuan
berbeda bermakna yang dibuktikan dengan
nilai p=0.001>α 0.05, kadar kolesterol
hewan coba tikus putih
(Rattus
norvegicus) strain wistar setelah hyperlipid
antar perlakuan berbeda bermakna yang
dibuktikan dengan nilai p=0.000<α 0.05
dan kadar kolesterol hewan coba tikus
putih (Rattus norvegicus) strain wistar
setelah hyperlipid dan setelah pemberian
filtrat daun salam antar perlakuan berbeda
81
bermakna yang dibuktikan dengan nilai
p=0.000>α 0.05. Hasil uji One Way Anova
untuk data kadar kolesterol dan jumlah
monosit dari hewan coba tikus putih
(Rattus norvegicus) strain wistar dapat
dilihat pada tabel 4. Tabel
4
menunjukkan Hasil uji One Way Anova
data jumlah monosit hewan coba tikus
putih (Rattus norvegicus) strain wistar
sebelum hyperlipid
antar perlakuan berbeda bermakna yang
dibuktikan dengan nilai p=0.033>α
0.05,jumlah monosit hewan coba tikus
putih (Rattus norvegicus) strain wistar
setelah hyperlipid antar perlakuan berbeda
bermakna yang dibuktikan dengan nilai
p=0.000<α 0.05 dan jumlah monosit
hewan coba tikus putih
(Rattus
norvegicus) strain wistar setelah hyperlipid
dan setelah pemberian filtrat daun salam
antar perlakuan berbeda bermakna yang
dibuktikan dengan nilai p=0.000>α 0.05
Tabel 4 . Hasil uji One Way Anova data jumlah monosit hewan coba tikus putih
(Rattus norvegicus) strain wistar
Sum of
Squares
Jumlah Monosit
darah tepi hewan
coba sebelum
hyperlipid
Between
Groups
Within
Groups
Total
Jumlah Monosit
Between
darah tepi hewan
Groups
coba setelah
Within
hyperlipidemia
Groups
Total
Jumlah Monosit
Between
darah tepi hewan
Groups
coba setelah
Within
hyperlipidemia dan Groups
pemberian filtrat
Total
daun salam
61.100
99.600
160.700
159.867
38.800
198.667
159.867
df
Mean
Squar
e
5 12.220
24
24
209.467
29
2.945
.03
3
19.77
7
.00
0
15.47
1
.00
0
1.617
29
5 31.973
49.600
Sig.
4.150
29
5 31.973
24
F
2.067
pembentukan sel busa (Foam cells) dan
apoptosis.
Hasil penelitian
menunjukkan
bahwa rerata masing – masing kadar
kolesterol darah tepi hewan coba tikus
putih sebelum pemberian kuning telur
puyuh (kondisi hyperlipidemia) adalah K1
kontrol negatif
67.4±4.8 mg/dl, K2
kontrol positif 93.4± 12.4 mg/dl, K3 93.0±
10.1 mg/dl, K4 98.4± 8.5 mg/dl, K5 91.6±
14.5 mg/dl, dan K6 81.2±5.7 mg/dl. Total
rerata kadar kolesterol hewan coba tikus
putih pada perlakuan sebelum kondisi
hyperlipid adalah 87.5± 13.9 mg/dl. Rerata
Pembahasan
Lipid memiliki banyak peran yang berguna
bagi tubuh antara lain pembentuk struktur
membran sel, bantalan organ – organ tubuh
dan sebagai cadangan energi jangka
panjang, namun bila kadar lipid
berlebihan, akan menimbulkan kerusakan
membran sel endotel pembuluh darah.
Kolesterol bebas di dalam tubuh akan
mengatifkan jalur stress oksidatif melalui
retikulum endoplasma dari makrofag dan
mencetuskan apoptosis, sedangkan radikal
bebas dan nitrit oksida memodulasi
82
masing – masing kadar kolesterol darah
tepi
hewan coba tikus putih setelah
pemberian kuning telur puyuh (kondisi
hyperlipidemia) adalah K1 kontrol negatif
71.2±1.7 mg/dl, K2 kontrol positif 129.8±
1.4 mg/dl, K3 128.8± 2.5 mg/dl, K4
128.8±2.0 mg/dl, K5 130.2± 1.1 mg/dl,
dan K6 130.2±1.7mg/dl. Total rerata
kadar kolesterol hewan coba tikus putih
pada perlakuan setelah kondisi hyperlipid
adalah 199.7± 22.1 mg/dl., hasil ini
menunjukkan bahwa pemberian diet
kuning telur puyuh 500 ul/ 1.5 gram
sebanyak 3 x sehari selama 30 hari pada
hewan coba tikus putih pada kelompok
kontrol positif dan kelompok perlakuan
sebelum diberikan filtrat daun salam dapat
meningkatkan kadar kolesterol total pada
darah tepi hewan coba, hasil penelitian ini
sesuai dengan hasil penelitian.20;15 Utami
Ni Luh, 2008 dan Riansari A,2008 yang
menyatakan bahwa pemberian diet kuning
telur selama 15 hari pada tikus putih terjadi
kenaikkan kadar kolesterol total rerata
35.74 ±4.7 mg/dl. Kenaikkan kolesterol
total pada hewan coba yang diberi diet
kuning telur disebabkan karena kuning
telur merupakan bagian dari telur dengan
komposisi
kimia
lengkap
dengan
kandungan tinggi lemak. Lemak dari
kuning telur menaikkan profil lipid
terutama kolesterol total dan trigliserida.13
Hasil penelitian juga menunjukkan
Rerata masing – masing kadar kolesterol
darah tepi hewan coba tikus putih setelah
pemberian kuning telur puyuh (kondisi
hyperlipidemia) dan setelah pemberian
filtrat daun salam adalah K1 kontrol
negatif 70.8±1.7 mg/dl, K2 kontrol positif
100.0±7.9 mg/dl, K3 90.0± 5.6 mg/dl, K4
98.0± 10.3 mg/dl, K5 98.0± 5.7 mg/dl, dan
K6 92.2±7.6 mg/dl. Total rerata kadar
kolesterol hewan coba tikus putih pada
perlakuan setelah kondisi hyperlipid dan
setelah pemberian filtrat daun salam 91.6±
11.8 mg/dl. Terdapat perbedaan kadar
kolesterol total setelah pemberian filtrat
daun salam pada kelompok kontrol positif
(K2) hyperlipidemia dengan kelompok
perlakuan K3 (filtrat daun salam 25%), K4
(filtrat daun salam 50%), K5 (filtrat daun
salam 75%) dan K6 (filtrat daun salam
100%). Pada kelompok kontrol positif
tidak terjadi penurunan kadar kolesterol
sedangkan pada kelompok perlakuan yang
diberikan filtrat daun salam terdapat
penurunan kadar kolesterol total darah tepi
hewan coba antara 22 -42 mg/dl. Hasil ini
dibuktikan juga dengan hasil uji One Way
Anova menunjukkan hasil p=0.000
(p<α0.05), hal ini membuktikan terdapat
efek filtrat daun salam terhadap kadar
kolesterol pada hewan coba tikus putih.
Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil
penelitian Riansari A, 2008 yang
membuktikan pemberian ekstrak daun
salam dengan dosis 0,18 gram, 0,36 gram
dan 0,72 gram menggunakan daun segar
mampu menurunkan kadar kolesterol total
serum secara bermakna, dan terdapat
hubungan antara besar dosis ekstrak daun
segar daun salam dengan penurunan kadar
kolesterol total.15
Penelitian Utami Ni Luh 2008 juga
membuktikan pemberian diet ekstrak daun
salam peroral pada tikus putih strain wistar
yang mengalami hyperlipidemia dengan
dosis 0.18 gr daun salam segar/hari; 0,36
gram daun salam segar/hari;dan 0,72 gram
daun salam segar/hari selama 15 hari dapat
menurunkan kadar LDL kolesterol serum
tikus secara bermakna.20 Semakin tinggi
dosis yang diberikan semakin tinggi
penurunan kadar LDL kolesterol serum
tikus. Penurunan kadar kolesterol dalam
darah tepi hewan coba tikus putih yang
hyperlipid dengan pemberian filtrat daun
salam diduga karena daun salam
mengandung flavonoid yang berfungsi
sebagai antioksidan. Flavonoid mempunyai
efek terhadap perbaikan lipid serum dan
modifikasi LDL teroksidasi. Salah satu
kandungan flavonoid pada filtrat daun
salam adalah Quercetin, yang dapat
menghambat oksidasi LDL yang telah
dimodifikasi makrofag. Selain itu filtrat
daun salam mengandung tannin yang
berfungsi sebagai antioksidan, astringent,
dan hipokolesterolemi. Tanin bekerja
dengan cara bereaksi dengan protein
83
mukosa dan sel epitel usus sehingga
menghambat penyerapan lemak. Daun
salam mengandung saponin yang berfungsi
mengikat kolesterol dengan asam empedu
sehingga dapat menurunkan kadar
kolesterol. Kandungan serat dalam daun
salam bermanfaat untuk menghambat
absorbsi kolesterol di usus sehingga
berpotensi menurunkan kadar kolesterol.
Kandungan vitamin C dalam daun salam
mempunyai efek membantu reaksi
hidroksilasi dalam pembentukan asam
empedu sehingga meningkatkan ekskresi
kolesterol dan sebagai antioksidan.
Kandungan vitamin B3 (niacin) dalam
daun salam menurunkan produksi VLDL,
sehingga kadar IDL dan LDL menurun.
Kandungan vitamin A dan selenium
berfungsi sebagai antioksidan.15
Hasil penelitian terhadap hitung
jumlah monosit menunjukkan bahwa rerata
masing – masing jumlah monosit darah
tepi hewan coba tikus putih sebelum
pemberian kuning telur puyuh (kondisi
hyperlipidemia) adalah K1 kontrol negatif
8±1.9, K2 kontrol positif 6± 2.5, K3 7±
2.4, K4 4± 2.2 , K5 4± 0.8 , dan K6 5±1.6.
Total rerata jumlah monosit hewan coba
tikus putih pada perlakuan sebelum kondisi
hyperlipid adalah 6± 2.3. Rerata masing –
masing jumlah monosit darah tepi hewan
coba tikus putih setelah pemberian kuning
telur puyuh (kondisi hyperlipidemia)
adalah K1 kontrol negatif 9±1.3 , K2
kontrol positif 4± 1.5l, K3 3± 1.5 , K4
3±1.3, K5 2± 0.5, dan K6 3±1.0. Total
rerata jumlah monosit darah tepi hewan
coba tikus putih pada perlakuan setelah
kondisi hyperlipid adalah 4± 2.6. Rerata
masing – masing jumlah monosit darah
tepi
hewan coba tikus putih setelah
pemberian kuning telur puyuh (kondisi
hyperlipidemia) dan setelah pemberian
filtrat daun salam adalah K1 kontrol
negatif 8±1.9 , K2 kontrol positif 2±1.8,
K3 2± 1.1, K4 2± 1.3, K5 2± 0.7 , dan K6
2±1.3.
Total rerata jumlah monosit darah
tepi hewan coba tikus putih pada perlakuan
setelah kondisi hyperlipid dan setelah
pemberian filtrat daun salam 3± 2.6 mg/dl.
Hasil ini membuktikan bahwa jumlah
monosit antara kelompok kontrol negatif
(K1) dengan kelompok kontrol positif (K2)
yang hyperlipid terjadi penurunan. Ini
mengindikasikan bahwa pemberian diet
kuning telur puyuh 500 ul/ 1.5 gram
sebanyak 3 x sehari selama 30 hari pada
hewan coba tikus putih untuk membuat
kondisi hyperlipid dapat menurunkan
jumlah monosit. Hasil dari penelitian ini di
dukung oleh teori bahwa pemberian diet
kolesterol kepada hewan coba ditujukan
agar terjadi peningkatan LDL yang
memicu peningkatan radikal bebas anion
superoksida oleh endotel. Dampak negatif
radikal bebas membran sel terutama
endotel
pembuluh
darah
akan
meningkatkan
ekspresi
Intercellullar
Adhesion Molecule-1 (ICAM-1) dan
molekul adhesi lainnya yang akan menarik
monosit dari sirkulasi darah menuju lesi.12
Monosit
merupakan
parameter
progresivitas dari arteroskeloris, yang
berawal dari cedera endotel karena
hyperlipid. Cedera endotel terjadi karena
infiltrasi dan retensi dari lipoprotein
plasma, terutama LDL di dalam celah
subendotel dari dinding pembuluh darah.
Cedera endotel akan meningkatkan
perlekatan leukosit dan platelet pada
endotel, permeabilitas endotel, produksi
sitokin, perubahan antikoagulan menjadi
prokoagulan dan vasodilator menjadi
vasokonstriktor.
Retensi
LDL
di
subendotel akan menghasilkan proses
oksidasi dan selanjutnya internalisasi oleh
makrofag melalui reseptor scavenger.
Internalisasi LDL oleh makrofag akan
merangsang pembentukan lipid peroksid
dan akumulasi kolesterol ester di dalam
makrofag. LDL termodifikasi juga
merupakan kemotatik bagi monosit lain
dan dapat meningkatkan ekspresi gen dari
macrophage colony-stimulating factor
(MCSF)
pada
sel
endotel
yang
meningkatkan replikasi monosit menjadi
makrofag dan monocyte chemotactic
protein (MCP) yang menarik monosit baru
pada darah tepi menuju lesi. 12;16
84
Hasil penelitian antara kelompok
kontrol positif (K2) dengan kelompok
perlakuan K3,K4,K5 dan K6, serta antara
masing – masing kelompok perlakuan
K3,K4,K5 dan K6 cenderung tetap atau
terdapat
sedikit
penurunan,
ini
membuktikan bahwa pemberian filtrat
daun salam konsentrasi 25%,50%,75% dan
75% belum dapat meningkatkan jumlah
monosit secara bermakna seperti yang
diharapkan, artinya jumlah sel monosit
pada darah tepi hewan coba tikus putih
pada kelompok K2 kontrol positif yang
hyperlipid
dengan
perlakuan
yang
diberikan filtrat daun salam selama 9 hari
tetap menurun. Walaupun secara uji
statistik antara perlakuan menggunakan uji
statistik One Way Anova menghasilkan
nilai p=0.000<α0.05 yang membuktikan
bahwa Ho ditolak Ha diterima, artinya
terdapat efek filtrat daun salam (Syzygium
polyanthum) terhadap jumlah monosit pada
darah tepi hewan coba tikus putih (Rattus
norvegicus) strain wistar yang mengalami
hiperlipidemia, dan hasil uji lanjut LSD
menunjukkan bahwa jumlah monosit
antara kelompok kontrol negatif (K1)
dengan kontrol positif (K2) dan kelompok
perlakuan K3.K4,K5 dan K6 nilai
p=0.000<α0.05,
hal ini menunjukkan
terdapat perbedaan bermakna jumlah
monosit antara kelompok kontrol negatif
(K1) dengan kelompok kontrol positif
(K2) dan perlakuan (K3,K4,K5 dan K6).
Sedangkan
jumlah
monosit
antara
kelompok kontrol positif (K2) dengan
masing – masing kelompok perlakuan dan
jumlah monosit antara masing – masing
kelompok perlakuan menunjukkan tidak
berbeda bermakna hal ini dibuktikan
dengan nilai p>α0.05.
Faktor yang mempengaruhi hasil
penelitian belum dapat meningkatkan
jumlah monosit secara bermakna seperti
yang diharapkan, diduga terdapat respon
inflamasi dari endotel pembuluh darah
membuat
endotel
mengekspresikan
mediator inflamasi seperti Intercellular
Adhesion Molecule – 1 (ICAM-1).
Ekspresi ICAM banyak terjadi pada
endotel dan makrofag pada proses
pembentukan aterosklerosis. Peningkatan
ICAM-I akan mengundang monosit,
leukosit dan bioaktif darah lainnya menuju
lesi. Faktor kemoatraktan maupun molekul
adhesi seperti ICAM-I dan MCP –I
memicu terjadinya akumulasi monosit
pada endotel pembuluh darah . 12 Faktor
lainnya adalah adanya mediator selain
MCP-1 dan ICAM-1 yaitu MCSF yang
menginduksi replikasi monosit, walaupun
proses inflamasi sudah ditekan dengan
adanya zat – zat aktif yang terdapat dalam
filtrat daun salam dengan berbagai
mekanismenya yang dapat menurunkan
kadar kolesterol total darah tepi hewan
coba, namun pada tempat lesi dimana
monosit telah tertarik tetap akan
bereplikasi dan mengeluarkan sinyal –
sinyal kemoatraktan yang lain untuk
menarik monosit dari sirkulasi darah ke
tempat lesi. 3
Tanin yang dikandung dalam filtrat
daun salam yang berfungsi sebagai
antioksidan,
astringent,
dan
hipokolesterolnemia. Tanin bekerja dengan
cara bereaksi dengan protein mukosa dan
sel epitel usus sehingga menghambat
penyerapan
lemak.
Efek
hipokolesterolnemia dengan menghambat
enzim
sterol
4α-methyl
oksidase.
Diperkirakan efek hipokolesterolnemia
tidak berpengaruh banyak terhadap
penurunan jumlah LDL sehingga LDL
teroksidasi tetap ada mengakibatkan proses
inflamasi
terus
berlanjut
yang
mengakibatkan
terus
berlangsungnya
akumulasi monosit dan replikasi monosit
menjadi makrofag. Faktor lainnya yang
mempengaruhi hasil penelitian pada
kelompok perlakuan yang diberikan filtrat
daun salam pada hewan coba yang
hyperlipidemia
tetap
mengalami
penurunan adalah diduga antioksidan
dalam filtrat daun salam walaupun
memiliki kemampuan dalam menurunkan
kadar kolesterol, namun antioksidan
tersebut hanya mengurangi dampak negatif
dari radikal bebas dan menurunkan
kemungkinan sel untuk teroksidasi.
85
Antioksidan tersebut tidak mampu
menahan LDL yang terlanjur teroksidasi,
sehingga cedera endotel yang memicu
ekspresi
MCP-1
sehingga
proses
akumulasi monosit terus berlanjut.
Kandungan daun salam (Syzygium
polyanthum) seperti minyak atsiri,
flavonoid,
tannin,
seskuiterpen,
triterpenoid, fenol, steroid, sitral, lakton,
vitamin C, vitamin A, thiamin, Riboflavin,
Niacin, vitamin B6, vitamin B12, folat dan
selenium sebenarnya cukup
potensial
untuk
menurunkan
progresivitas
aterosklerosis melalui efek antioksidan dan
hipokolesternemia,
namun
dalam
penelitiaan ini pernyataan tersebut belum
bisa dibuktikan pada kelompok perlakuan
yang diberikan filtrat daun salam
konsentrasi 25%,50%,75% dan 100%,
hasil ini diperkirakan karena waktu
pemberian filtrat daun salam yang relatif
singkat hanya 9 hari, sehingga belum
cukup lama dalam mengendalikan kondisi
hyperlipid pada hewan coba.
(Rattus norvegicus) strain wistar yang
mengalami hiperlipidemia. Hasil uji
lanjut LSD menunjukkan bahwa jumlah
monosit antara kelompok kontrol
negatif (K1) dengan kontrol positif
(K2),K3.K4,K5
dan
K6
nilai
p=0.000<α0.05, menunjukkan terdapat
perbedaan bermakna jumlah monosit
antara perlakuan, sedangkan jumlah
monosit antara kelompok kontrol positif
(K2) dengan masing – masing
kelompok perlakuan dan jumlah
monosit antara masing – masing
kelompok perlakuan menunjukkan tidak
berbeda bermakna hal ini dibuktikan
dengan nilai p>α0.05.
Saran
1. Perlu dilakukan penelitian lanjutan efek
pemberian daun salam dengan waktu
yang lebih lama untuk membuktikan
terdapatnya
peningkatan
jumlah
monosit pada sirkulasi darah untuk
menekan
peran
monosit
dalam
progresivitas terjadinya aterosklerosis
pada kondisi hyperlipid, dengan
variabel penelitian yang lebih lengkap
terutama terhadap efek kenaikan semua
profil lipid.
2. Untuk
melihat
efek
langsung
pemberian fltrat daun salam sebagai
antihyperlipidemia pada cedera endotel
pembuluh darah perlu dilakukan
penelitian lanjutan dengan pemeriksaan
histopatologi pada pembuluh darah dan
pemeriksaan molekuler untuk melihat
peningkatan ekspresi dari ICAM-1,
MCSF dan MCP pada sel endotel
pembuluh
darah
dalam
kondisi
hyperlipidemia.
3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
tentang manfaat daun salam sebagai
antikoagulan, antioksidan dan aggregasi
platelet.
Kesimpulan
1. Rerata kadar kolesterol total 87.5 ± 13.9
mg/dl dan jumlah monosit 6.1±2.3 pada
darah tepi hewan coba tikus putih
(Rattus norvegicus) strain wistar
sebelum mengalami hiperlipidemia.
2. Rerata kadar kolesterol total 199.7 ±
22.1 mg/dl dan jumlah monosit 4.3±2.6
pada darah tepi hewan coba tikus putih
(Rattus norvegicus) strain wistar setelah
mengalami hiperlipidemia.
3. Rerata kadar kolesterol total 91.6 ± 11.8
mg/dl dan jumlah monosit 3.4±2.6 pada
darah tepi hewan coba tikus putih
(Rattus norvegicus) strain wistar yang
mengalami
hiperlipidemia
setelah
pemberian filtrat daun salam (Syzygium
polyanthum) konsentrasi 25%, 50%,
75%, 100 %.
4. Hasil uji statistik One Way Anova
menghasilkan nilai p=0.000<α0.05 yang
membuktikan terdapat efek pemberian
sediaan filtrat daun salam (Syzygium
polyanthum) terhadap jumlah monosit
pada darah tepi hewan coba tikus putih
Daftar Pustaka
1. Adam JM, Soegondo S, Soemiardji G,
Adriansyah H, 2004. Petunjuk praktis
penatalaksanaan
dislipidemia.
Jakarta:PB.PERKENI.
86
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
Departemen Kesehatan R.I , 1996.
Informasi
tentang
penyakit
Kardiovaskuler. Pusat penyuluhan
Kesehatan Masyarakat
Gestana Andru.2009. Efek minyak
atsiri Bawang Putih (Allium sativum)
terhadap jumlah Monosit pada darah
tepi tikus wistar yang diberi diet
kuning telur. KTI Fakultas Kedokteran
Universitas Diponogoro Semarang.
Goodman & Gillman, 2008. Dasar
farmakologi
terapi
edisi
10.
Kedokteran EGC. Jakarta.
Guyton & Hall, 2007. Buku ajar
fisiologi
kedokteran
edisi
11.
Kedokteran EGC. Jakar
Harmita & Maksum Radji, 2008.
Buku ajar analisis hayati. Kedokteran
EGC. Jakarta
Hoffbrand AV, Pettti JE 1996. Kapita
Selekta
Hematologi
(Essensial
Hematologi) Edisi Kedua Jakarta
EGC.
Khomsan, Ali, 2004. Pangan dan gizi
untuk kesehatan .
Rajagrafindo
Persada. Jakarta
Lanang, Gusti, 2006.
Tekhnik
pemilihan
alat
analisis
dan
interpretasi hasil uji statistika.
Metode Statistik. Universitas Nusa
Tenggara Barat. Mataram.
Mangoting, Daniel, Irawan Imang,
Abdullah Said, 2005 . Tanaman lalap
berkhasiat obat . Penebar Swadaya .
Jakarta.
Maryani, Herti & Suharmiati, 2003 .
Tanaman obat untuk mengatasi
penyakit pada usia lanjut . Agromedia
pusataka. Jakarta.
Purnomo Suryohudoyo,2000. Kapita
Selekta
Ilmu
Kedokteran
Molekuler.CV. Sagung Seto.Jakarta
Prasetyo A, Sadhana U, Miranti
IP,2000. Profil lipid dan ketebalan
dinding arteri abdominalis tikus
wistar pada injeksi inisial adrenalin
intra vena (IV) dan diet kuning telur
intermitten.
Media
Medika
Indonesiana.
14. Price, Sylvia A,Wilson Lorraine M,
2005. Patofisiologi konsep klinis
proses – proses penyakit edisi 6 .
Kedokteran EGC . Jakarta .
15. Riansari Anugrah. 2008. Pengaruh
pemberian ekstrak daun salam
(Eugenia polyantha) terhadap kadar
kolesterol total serum tikus jantan
galur
wistar
hiperlipidemia.KTI
Fakultas
Kedokteran
Universitas
Diponogoro Semarang.
16. Robert
K.Murray,
Daryl
K.Granner,Peter A.Mayes dan Victor
W.Rodwell,2003. Biokimia Harper
Edisi 25. Penerbit EGC.Jakarta.
17. Rushaliyati putri, 2011. Perbedaan
kadar kolesterol pada darah hewan
coba tikus putih (Rattus norvegius)
strain wistar sebelum dan setelah
pemberian Filtrat daun salam
(Syzgium polyanthum). Dalam KTI
Jurusan Analis Kesehatan Mataram.
18. Siswono.2003. Peran Gizi untuk
cegah penyakit cardiovaskuler. URL:
http://www.kompas.com/kompascetak/0307/08/iptek/425079.htm
19. Soeharto I,2004. Penyakit jantung
korener dan serangan jantung, edisi
ketiga. Penerbit PT Gramedia Pustaka
Utama. Jakarta.
20. Utami, Ni Luh, 2008. Pengaruh
pemberian ekstark daun salam
(Eugenia polyantha) terhadap kadar
LDL kolesterol serum tikus jantan
galur wistar hiperlipidemia. Skripsi.
Universitas Diponegoro. Semarang.
21. Wahyu, Indah Utami, 2008. Efek
fraksi air ekstra etanol daun salam
(Syzygium polyanthum)
terhadap
penurunan kadar asam urat pada
mencit putih (Mus musculus) jantan
galur BALB-C yang diinduksi dengan
kalium oksanat. Skripsi. Universitas
Muhammadiyah Surakarta .
87
STUDY PENDERITA HEPATITIS B (HBsAg) POSITIF (+) PADA HUBUNGAN
ANTAR INDIVIDU DALAM KELUARGA
Yunan Jiwintarum¹, I Wayan Getas¹, Marnia²
¹Politeknik Kesehatan Kemenkes Mataram Jurusan Analis Kesehatan
²Laboratorium Hepatika Mataram
Abstrak
Hepatitis B adalah penyakit yang disebabkan oleh Virus Hepatitis B. Hepatitis B dapat
menyebabkan penyakit akut maupun kronis, serta dapat berkembang menjadi sirosis hepatitis
dan karsinoma primer hati. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui terjadinya
penularan HBsAg Positif (+) padahubungan antar individu dalam keluarga. Penelitian ini
bersifat observasi laboratorik yaitu penelitian yang dilakukan dengan pengamatan melalui
pemeriksaan laboratorium dan pengambilan sampel secara Non Random dengan tehnik
Purposive Sampling. Hasil dari pemeriksaan HBsAg pada anggota keluarga penderita
Hepatitis B ditemukan 4 orang (8,33%) HBsAg Positif (+) dan 44 orang (91,67%) HBsAg
Negatif (-) dari 48 orang yang diperiksa.[JAMBS,2014;1(1) :........ -......]
Kata kunci: HBsAg Positif (+), Keluarga, Penderita Hepatitis B.
STUDYPATIENT WITHHEPATITISB(HBsAg) POSITIVE(+) ON
THERELATIONSHIPBETWEENINDIVIDUALIN THE FAMILY
Abstrak
Hepatitis B is a disease causedbyHepatitisB.HepatitisBviruscancauseacute orchronicillness,
andhepatitiscan progress tocirrhosisandprimarylivercarcinoma. The purposeofthis studywas to
determinethe occurrence ofHBsAgPositive(+) onthe relationshipbetween individualsin the
family. This study isthe observationthatlaboratoryresearch conductedbyobservationthrough
laboratory
testsandNon-Randomsamplingwithpurposive
samplingtechnique.The
resultsofexamination
ofHBsAg
inpatients
with
hepatitisBfamilymembersfound4people(8.33%) HBsAgpositive(+) and44(91.67%) of
HBsAgnegative (-) of48 wereexamined. [JAMBS,2014;1(1) :........ -......]
Keywords: PositiveHBsAg(+), Family, Patients with HepatitisB
88
Infeksi tersembunyi dari penyakit ini
membuat sebagian besar orang merasa
sehat dan tidak menyadari bahwa mereka
terinfeksi dan berpotensi menularkan virus
tersebut kepada orang lain. Penderita
penyakit itu umumnya tidak mengalami
gejala tertentu yang khas, dan baru bisa
diketahui melalui tes kesehatan.2Virus
Hepatitis B stabil dalam darah, plasma, dan
serum, serta dapat bertahan lama di luar
tubuh manusia dalam berbagai tingkat
kelembaban udara dan temperatur yang
tinggi. Virus Hepatitis B sangat menular,
bahkan 100 kali lebih mudah menular
dibandingkan
dengan
virus
HIV.5Penularan Hepatitis B terjadi pada
kelompok risiko tinggi yaitu lingkungan
pengidap/penderita dengan HBsAg positif
terutama pada anggota keluarga/mereka
yang serumah
selalu
berhubungan
langsung. Di dalam keluarga penularan
HBV dapat terjadi secara vertikal dan
horisontal.4
Pendahuluan
Hepatitis B merupakan penyebab
utama kesakitan dan kematian yang
penting di dunia.Hepatitis B menjadi
makin penting karena dapat menyebabkan
penyakit hati kronik termasuk hepatitis
aktif kronik, sirosis hepatitis dan
karsinoma
primer hati. Paling tidak
Hepatitis B akan menjadi carrier dan
menyebabkan kerusakan sel hati.1;8
Diperkirakan sekitar 400 juta orang di
dunia mengidap infeksi HBV (Hepatitis B
Virus) kronik, dengan 500.000 diantaranya
meninggal. Prevalensinya antar negara
bervariasi antara 0,1%-20%. Sekitar 30%
pengidap
HBV
kronik
merupakan
pengidap asimtomatik dan sebagian besar
(70%) pengidap HBV kronik akan
berkembang menjadi penderita penyakit
hati kronik. Sekitar 2%-10% dari penderita
Hepatitis kronik ini akan berkembang
menjadi sirosis hati dalam setahun, dan
sekitar 2%-8% akan menjurus menjadi
kanker hati dalam tempo satu tahun.7
Berdasarkan data laporan kunjungan
pasien di Laboratorium Hepatika pada
Tahun 2010, jumlah pasien positif HBsAg
di Pulau Lombok pada bulan Januari
sampai dengan bulan Juni 2010 sebanyak
295 orang dimana 95 orang berasal dari
kota Mataram, 60 orang dari Lombok
Barat, 42 orang dari Lombok Utara, 61
orang dari Lombok Tengah dan 37 orang
dari Lombok Timur. Pasien HBsAg positif
terbanyak adalah kota Mataram (95 orang)
dan terendah Kabupaten Lombok Utara
(42 orang).6Pada saat ini di dunia
diperkirakan terdapat kira-kira 350 juta
orang pengidap (carrier) HBsAg dan 220
juta (78%) diantaranya terdapat di Asia
termasuk Indonesia.Di negara dengan
tingkat prevalensi tinggi (HBsAg >8%),
penularan banyak terjadi pada bayi baru
lahir dan anak yang masih usia muda. Di
negara dengan tingkat prevalensi sedang
(HBsAg 2-7%) penularan bisa terjadi pada
semua golongan umur. Di negara dengan
prevalensi rendah (HBsAg<2%) infeksi
sering terjadi pada kelompok umur
dewasa.2
Metode Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian
observasi laboratorik yang bersifat
deskriptif yaitu pengamatan dengan
melakukan pemeriksaan laboratorium
dimaksudkan untuk mengetahui apakah
terjadi penularan HBsAg pada anggota
keluarga penderita Hepatitis B (HBsAg)
Positif (+).
Populasi dalam penelitian ini adalah
warga yang kontak dengan penderita
Hepatitis B (HBsAg) Positif (+) yang
bertempat tinggal di Lingkungan Karang
Tapen, Kelurahan Cilinaya, Kecamatan
Cakranegara, Mataram. Sampel dalam
penelitian ini adalah anggota keluarga
yang kontak dengan penderita Hepatitis B
(HBsAg) Positif (+).Besar sampel adalah
50 orang anggota keluarga dari 10 orang
yang diketahui menderita Hepatitis B dan
tinggal di lingkungan Karang Tapen,
Kelurahan
Cilinaya,
Kecamatan
Cakranegara, Mataram.
Kriteria anggota keluarga yang akan
dijadikan sampel dalam penelitian ini
adalah:Bapak, ibu, anak (bukan balita) dan
89
anggota keluarga yang kontak dengan
penderita Hepatitis B serta
bersedia
dijadikan sampel.
Instrumentasi penelitian : Alkohol, Spuit,
Torniquet, Tabung dan rak tabung,
Dispenser 100 ul, Centrifuge. Bahan
:Darah, HBsAg Strip dan EDTA (Ethylene
Diamine Tetra Acetate).
Cara pengumpulan data : Darah dengan
EDTA dicentrifuge dengan kecepatan
3000 rpm selama 5 menit, sehingga
terbentuk plasma.Plasma yang terbentuk
dipisahkan dari sel darah ke dalam tabung
lain.Dimasukkan 100 ul sampel plasma ke
dalam tabung reaksi. Diinkubasikan strip
Hepatitis B (HBsAg) sesuaiarah panah ke
bawah dalam sampel plasma sebatas garis
selama 10 menit. Dibaca hasil tepat 10
menit.
Pembacaan Hasil :
1. Hasil positif apabila ada dua garis
merah yang terlihat pada area T (Tes)
dan C (Kontrol).
2. Hasil negatif apabila ada satu garis
merah yang terlihat pada area
C
(Kontrol).
3. Tes dinyatakan invalid apabila garis C
(Kontrol) tidak terlihat.
4. Data hasil penelitian dianalisis secara
deskriptif dalam bentuk tabel dan
dihitung persentase (%) Positif (+) dan
Negatif (-) dengan rumus :
Positif = P x 100%
T
Negatif =Q x100%
T
Keterangan:
P= Jumlah sampel Positif
Q = Jumlah sampel Negatif
T= Jumlah keseluruhan sampel
Tabel 1. Persentase hasil pemeriksaan
HBsAg pada keluarga penderita GBsAg
(+)
Kode
Sampel
Persentase Hasil
Pemeriksaan HBsAg
T
P
%
Q
%
X1
48
1
2,1
47
97,9
X2
48
3
6,3
45
93,7
Keterangan:
X1
= penularan vertikal.
X2
= penularan horisontal
P
= Jumlah sampel Positif
Q
= Jumlah sampel Negatif
T
= Jumlah keseluruhan sampel
P = P x 100%
T
Q = Q x100%
T
P X1= 1 x 100%=2,1%
48
Q X1= 47 x100%=97,9%
48
P X2= 3 x 100%=6,3%
48
Q X2= 45 x100%=93,7%
48
Tabel 2. Persentase HBsAg Positif dan
Negatif dari hasil pemeriksaan darah
padaanggota keluarga penderita Hepatitis
B Positif secara keseluruhan.
Persentase Hasil Pemeriksaan HBsAg
Hasil
1. Hasil pemeriksaan Hepatitis B pada
anggota keluarga
yang tinggal di
lingkungan Karang Tapen, Kelurahan
Cilinaya, Kecamatan Cakranegara,
Mataram, menggunakan HBsAg Strip
metode IC.
Positif
T
P
Negatif
%
T
Q
%
Jumlah
T
%
48 4 8,33 48 44 91,67 48 100
Keterangan:
P= Jumlah sampel Positif
Q= Jumlah sampel Negatif
T= Jumlah keseluruhan sampel
90
P = P x 100%
T
Q = Q x100%
T
P = 4 X 100%
48
Q = 44 x100%
48
P = 8,33%
Penelitian ini dilakukan untuk
mengetahui adanya penularan virus
Hepatitis B pada anggota keluarga
penderita Hepatitis B tanpa melihat adanya
gejala
dan
kelainan
hati.Diagnosa
ditegakkan dengan ditemukannya antigen
pada plasma manusia.Dalam skrining
petanda yang sering digunakan untuk
diagnostik dan dicari dalam darah adalah
permukaan Hepatitis B (HBsAg).Adanya
HBsAg Positif pada individu dianggap
individu tersebut terinfeksi HBV dan
karena itu berpotensi menular.11
Metode yang digunakan dalam
penelitian
ini
yaitu
Immunochromatography
(IC)
secara
kualitatif pada plasma dengan alat
pemeriksaan
HBsAg
Strip.Alat
ini
digunakan
dengan
pertimbangan
keterbatasan sumber daya (biaya) dan
hasilnya bisa dibaca dengan mata telanjang
(secara visual) hanya dalam waktu 10
menit tampak sebagai garis merah muda
pada
posisi
garis
tes
dengan
kepekaan/sensitivitas 1-5 ng/ml. Sebaiknya
metode yang digunakan adalah ELISA
yang mempunyai sensitivitas di bawah 1
ng/ml dan lebih spesifik.
Penelitian ini
berdasarkan dari 10 orang yang diketahui
menderita HBsAg Positif, masing-masing
anggota keluarga diambil sampel darahnya
sebanyak 5 orang. Karena 2 orang
penderita Hepatitis
B,
anggota
keluarganya
tidak
tinggal
dengan
penderita, maka jumlah sampel yang
diteliti menjadi 48 orang.
Persentase penularan vertikal adalah
sebanyak 1 orang (2,1%) dari 48 orang
yang diteliti. Dimana penularan terjadi dari
ibu yang HBsAg Positif kepada
anaknya.Riwayat ibu dengan HBsAg
Positif merupakan faktor dominan dalam
keluarga untuk menularkan HBV.Hal ini
dapat dipahami bahwa ibu secara alamiah
lebih dekat dengan anggota keluarga
lainnya sehingga secara tidak langsung
sering terjadi hubungan/kontak dengan
anggota keluarga lainnya.Dan berdasarkan
hasil wawancara, bahwa mereka pernah
menggunakan peralatan pribadi seperti
Q =91,67%
Hasil pemeriksaan HBsAg pada anggota
keluarga ditemukan 4 orang (8,33%)
HBsAg Positif (+) dan 44 orang (91,67%)
HBsAg Negatif (-). Diagram persentase
pemeriksaanHbsAgPositif/Negatif.
Pembahasan
Hepatitis B adalah penyakit serius yang
mempengaruh liver.Penyebabnya adalah
virus Hepatitis B (HBV).Hepatitis B dapat
menyebabkan penyakit baik akut dan
kronis. HBV ditemukan dalam konsentrasi
tinggi dalam darah dan dalam konsentrasi
yang lebih rendah dalam cairan tubuh
lainnya (misalnya, air mani, cairan vagina,
dan eksudat lainnya). Infeksi HBV dapat
bersifat akut dan kronis.Seseorang di
ketahui terinfeksi virus Hepatitis B atau
tidak,
ditunjukkan
dengan
hasil
pemeriksaan darah dengan petanda
serologis HBsAg (Hepatitis B surface
Antigen) yaitu suatu protein selubung luar
dari partikel HBV yang apabila positif
pada
individu
(anggota
keluarga)
menunjukkan yang bersangkutan terdapat
virus Hepatitis B, infeksi virus Hepatitis B
sedang berlangsung, dan potensial untuk
menularkan .10
91
handuk/selimut, pemotong kuku, alat
makan/minum secara bersamaan serta
kurangnya pemahaman tentang penyakit
Hepatitis.Persentase penularan horisontal
adalah sebanyak 3 orang (6,3%) dari 48
orang yang diteliti. Hal ini disebabkan
karena penularan terjadi dari suami yang
HBsAg Positif kepada istrinya, dan dua
lainnya penularan antara saudara (kakak
kepada adiknya atau sebaliknya).Penularan
yang terjadi dari suami yang HBsAg
Positif kepada istrinya, kemungkinan besar
infeksi terjadi melalui selaput lendir alat
kelamin. Infeksi melalui selaput lendir alat
kelamin dapat terjadi dengan cara
hubungan kelamin. Walaupun hubungan
kelamin tidak selalu disertai kontak dengan
darah tetapi dalam hubungan kelamin
kemungkinan untuk terjadi pertukaran
sekret antar kedua pasangan sangat
besar.Dan berdasarkan hasil wawancara,
bahwa responden pernah menggunakan
peralatan pribadi seperti handuk/selimut,
alat makan dan minum secara bersamaan
serta kurangnya pemahaman tentang
penyakit Hepatitis.
Pasangan suami istri berperan dalam
penularan HBV dan penularan infeksi
HBV dapat terjadi melalui hubungan erat
antar individu diantaranya hubungan seks
antara pasangan yang sudah menikah
(suami-istri).12Penularan
dari
adik
perempuan kepada kakak perempuannya
kemungkinan besar infeksi terjadi melalui
kulit, karena orang tersebut pernah
menderita
penyakit
kulit
(seperti:
korengan/gatal-gatal), sehingga dapat
terjadi kontak antara bahan yang infektif
pada kulit yang sudah tidak utuh atau
sudah terdapat lesi (cara penularan melalui
kulit yang tidak jelas).9;10 Dan berdasarkan
hasil wawancara bahwa mereka pernah
menggunakan
handuk/selimut,
alat
makan/minum, dan pemotong kuku secara
bersamaan. Sedangkan penularan dari
kakak laki-laki kepada adik lakilakinya,kemungkinan besar infeksi terjadi
karena adanya luka akibat menggunakan
alat cukur dan pemotong kuku yang
terkontaminasi virus Hepatitis B. Dan
berdasarkan hasil wawancara bahwa
mereka
pernah
menggunakan
handuk/selimut, alat makan/minum, alat
cukur dan pemotong kuku secara
bersamaan. Penularan melalui alat cukur
terjadi karena alat cukur tercemar/kontak
dengan infeksius dikarenakan kebiasaan
digunakan secara bergantian menjadi
faktor risiko terkena HBV.2
Peran penularan horisontal dengan
terbentuknya pengidap dalam populasi
sangat berbeda antara satu tempat dengan
tempat lainnya dan dipengaruhi berbagai
faktor diantaranya faktor hygiene dan
sanitasi serta kebiasaan-kebiasaan yang
dapat
menularkan
infeksi
12;13
HBV.
Penularan melalui alat pribadi
terjadi karena alat pribadi terkontaminasi
darah, saliva atau bentuk cairan lainnya
oleh HBV yang bersumber dari HBV.
Penularan melalui mulut terjadi karena
infeksius mengenai selaput lendir mulut
dimana terdapat luka di dalamnya.
Penularan infeksi melalui selaput lendir
mulut dipermudah bila terdapat lesi atau
luka pada selaput lendir mulut. Penularan
HBV melalui handuk terjadi karena
kontaminasi virus hepatitis B melalui kulit
yang mengalami kelainan dermatologik
(misalnya eksim, borok, garukan) pajanan
pada darah dan cairan tubuh pada semua
peralatan yang terkontaminasi oleh darah
atau cairan tubuh yang dapat menularkan
secara horisontal.Penularan melalui kontak
peralatan
pribadi
seperti
alat
makan/minum, alat cukur dan handuk
secara bergantian diduga berhubungan
dengan penularan HBV, dimana personal
hygiene yang kurang baik menjadi faktor
yang dipertimbangkan dalam penularan
HBV.Dimungkinkan juga karena lesi,
goresan maupun peradangan pada kulit
bilamana terjadi kontak dengan bahan
yang infektif .9;10
Mencegah terjadinya penularan
horisontal dalam penggunaan alat pribadi
perlu dilakukan pendidikan kesehatan
masyarakat terutama personal hygiene
tentang perilaku kebiasaan penggunaan
alat pribadi bersama.Hindari penggunaan
92
alat-alat pribadi seperti pisau cukur,
pemotong kuku, dan sikat gigi secara
bersama untuk menghindari penularan
virus hepatitis.5Dalam penelitian ini
ditemukan
anggota
keluarga
yang
menderita HBsAg Positif. Hal ini
menunjukkan bahwa anggota keluarga
merupakan kelompok yang berisiko dalam
penularan Hepatitis B yaitu selalu
berhubungan
langsung
dengan
penderita/pengidap
HbsAg
Positif.
Terjadinya pajanan dari penderita HBsAg
Positif,
diantaranya
dapat
melalui
hubungan perilaku hidup anggota keluarga
dengan penderita yang terinfeksi HBV
melalui kontak penggunaan alat pribadi,
kebiasaan perilaku anggota keluarga dalam
penggunaan alat pribadi, termasuk
hubungan seksual. Diketahuinya penderita
HBsAg Positif pada ayah, ibu, suami, istri,
adik/kakak dan anggota keluarga dekat
lainnya menggambarkan bahwa penularan
HBV dapat terjadi secara vertikal dan
horisontal.4
sehingga dapat mengurangi terjadinya
penularan Virus Hepatitis B pada
masyarakat.
2. Anggota keluarga yang HBsAg Positif
diharapkan memeriksakan diri ke
tempat pelayanan kesehatan (Rumah
Sakit atau Poliklinik).
3. Anggota keluarga yang HBsAg Negatif
melakukan pemeriksaan Anti-HBs dan
vaksinasi
ke
tempat
pelayanan
kesehatan (Rumah Sakit atau Poliklinik)
untuk mencegah terjadinya penularan
Hepatitis B dan menghindari kontak
dengan bahan-bahan yang berpotensi
menularkan virus Hepatitis B.
4. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut
dengan menggunakan metode yang
lebih sensitif (ELISA).
Daftar Pustaka
1. Abdoerrachman, M. H. (1985) Buku
Kuliah
2
Ilmu
Kesehatan
Anak.Infomedika. Jakarta.
2. Fazidah, S. A. (2001) Hepatitis B
Ditinjau dari kesehatan masyarakat
dan
upayaPencegahan.
http://repostory.usu.ac.id./
14/08/2012. 17.43
3. Gunawan S., Soewignjo S., Mulyanto
(1991) Petanda Serologik Infeksi
Virus Hepatitis B. Jurnal RSU
Mataram
4. Hadi, S. (1991) Hepatitis B di dalam
keluarga, Tinjauan Kasus. Cermin
Dunia Kedokteran. Jakarta.
5. Hembing
Wijayakusuma
(2008)
Tumpas Hepatitis Dengan Ramuan
Herbal. Pustaka Bunda. Jakarta.
6. Laboratorium
Hepatika
(2010)
Petunjuk Pengunaan entebe HBsAg
Strip. Mataram-Indonesia.
7. Mulyanto
(2009)
Epidemiologi
Hepatitis B di Indonesia. Simposium ―
Pendekatan Terkini Hepatitis B dan C
Dalam Praktik Klinis Sehari-hari‖.
Jakarta. Laboratorium Hepatitis B
NTB Mataram dan Laboratorium
Imunologi
Fakultas
Kedokteran
Mataram.
Kesimpulan
1. Persentase HBsAg Positif (+) untuk
penularan vertikal adalah sebanyak 1
orang (2,1%) dari 48 orang yang
diperiksa, yaitu penularan terjadi dari
ibu yang HBsAg Positif kepada
anaknya.
2. Persentase HBsAg Positif (+) untuk
penularan horisontal adalah sebanyak 3
orang (6,3%) dari 48 orang yang
diperiksa, yaitu penularan terjadi dari
suami yang HBsAg Positif kepada
istrinya, dan dua lainnya penularan
antara saudara (adik perempuan kepada
kakanya dan kakak laki-laki kepada
adiknya).
3. Persentase total dari 48 orang yang
diperiksa HBsAg-nya adalah 4 orang
(8,33%) HBsAg Positif (+) dan 44
orang (91,67%) HBsAg Negatif (-).
Saran
1. Bagi Instansi kesehatan memberikan
penyuluhan secara berkala kepada
masyarakat tentang Virus Hepatitis B
93
8.
Mulyanto (2010) Genotipe Virus
Hepatitis
B
dan
Maknanya
SecaraKlinis. Laboratorium Hepatitis
B NTB Mataram dan Laboratorium
Imunologi
Fakultas
Kedokteran
Mataram.
9. Soewignjo S. (1991) Pengidap Virus
Hepatitis B. Jurnal RSU Mataram.
10. Soewignjo S., Mulyanto, Gunawan S.,
dan
Sumarsidi
D.,
(1991)
Epidemiologi Infeksi Virus Hepatitis
B. Jurnal RSU Mataram.
11. Soewignjo S., Sumarsidi D., Wenny
A. A., Hidayatul F., Santy P., (2002)
Mengenal
Lebih
Dekat
Virus
Hepatitis. Dr. Kanai Memorial Liver
Foundation. Mataram.
94
95
Download