RUU Anti Diskriminasi Menjadi Suatu Keharusan

advertisement
RUU Anti Diskriminasi Menjadi Suatu Keharusan
10-7-2007
Oleh : MUHAMMAD KODIM/SYIRAH
Persoalan Diskriminasi Terhadap Rakyat atau Penduduk Indonesia oleh Pemerintah menjadi
sorotan utama nun serius dalam acara Kongkow Bareng Gus Dur yang digelar pada Sabtu pagi,
16 Juni 2007 di Kedai Tempo Utankayu Jakarta Timur kemarin. Pemunculan masalah ini
sejalan dengan pembahasan RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis yang dilakukan oleh
DPR saat ini.
Perbincangan diskriminasi ini tampak begitu enerjik dan menggairahkan. Tidak hanya menyempit pada
persoalan ras dan etnis semata, namun juga menjelajah pada praktek diskriminasi terhadap penyandang
cacat, rentan, dan jender.
Guntur Romli yang bertindak sebagai moderator beserta KH Wahid Maryanto yang akrab disapa Pak
Acun yang senantiasa memulai acara Kongkow Bareng Gus Dur ini dengan membacakan satu petikan
bait dari kitab Al-Hikam masih tetap setia menemani Gus Dur. Untuk mengurai tema tersebut, acara ini
mengundang Bapak Suma perwakilan dari Komite Anti Diskriminasi di Indonesia (KADI). Selain itu
juga menghadirkan kesaksian dari Ibu Hariyani yang mewakili kelompok penyandang cacat.
Acara ini disiarkan oleh radio Utankayu 89,2 FM dan dipancarluaskan oleh jaringan KBR 68H dari
Aceh sampai Papua ini semakin menarik. Acara ini juga ditayangkan di beberapa televisi lokal, yaitu
JTV (Jawa Timur), Kendari TV (Sulawesi Tenggara), Bengkulu TV (kalimantan Timur)
Untuk lebih lengkapnya, berikut transkip episode awal Kongkow Bareng Gus Dur yang mengusung
tema tentang Perlakuan Diskriminatif Pemerintah Terhadap Rakyat atau Penduduk Indonesia yang
dituangkan dalam Sosok Semar Kuncung Dalam Konteks Yang Modern.
Guntur: Assalamu’alaikum. Anda kembali bersama dengan acara Kongkow Bareng Gus Dur dari KBR
68H Jakarta. Acara ini bekerjasama dengan School for Broadcast Media Jakarta dan dipancarluaskan
oleh radio-radio jaringan KBR 68H di Nusantara dari Aceh hingga Papua, serta beberapa televisi di
kawasan Indonesia.
Saudara, saya Muhammad Guntur Romli akan menemani Anda berbincang-bincang dengan KH.
Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang saat ini sudah bersama dengan kita di Kedai Tempo di Jakarta.
Saya sapa dulu Gus Dur. Assalamu’alaikum Gus Dur.
Gus Dur: Wa’alaikumussalam.
Guntur: Apa kabar Gus?
Gus Dur: Baik-baik.
Guntur: Kemarin kemana saja Gus ceritanya, seminggu kemarin?
Gus Dur: Enggak kemana-mana.
Guntur: Karena.
Gus Dur: Iya, malam minggu jam sepuluh itu pergi ke tempat lahirnya Ki Ageng Mangir.
Guntur: Di Mangir ya Gus?
Gus Dur: Mangir itu ya dekat dengan Wates, 30 kilo dari kota Jogjakarta. Itu mencari kontak atau
hubungan batin, karena saya ingin membina kekuatan rakyat untuk membebaskan diri. Karena
sekarang ini tampaknya keraton-keraton itu untuk bisa berkuasa itu pakai topeng agama.
Guntur: Ada wangsit kontak batin Gus?
Gus Dur: Enggak ada. Ya cuma begitu saja.
Guntur: Terus nonton wayang juga ya Gus, di Jogja?
Gus Dur: Iya, nonton wayang, malamnya. Yaitu Semar Kuncung dengan dalang Ki Timbul Hadi
Prayitno.
Guntur: Kenapa Semar Kuncung yang di..?
Gus Dur: Dia maunya begitu, dalangnya. Kalau di Solo itu Semar Kuning, tapi di Jogja Semar
Kuncung. Nah bagi orang Jawa yang percaya, ya itu tandanya mau ada ribut.
Guntur: Dari istilah Semar Kuncung itu ya Gus?
Gus Dur: Iya. Karena di situ ceritanya tentang Semar yang kuncungnya dipotong, dan mukanya
diludahi oleh Wisnu. Wisnu dalam diri apa itu..e..
Guntur: Wisnu?
Gus Dur: Enggak-enggak anaknya.
Guntur: Krisna Gus?
Gus Dur: Mantunya. Lalu Semarnya nangis. Karena nangis, maka dewa-dewa di Suloko itu ngamuk,
marah.
Guntur: Semar dalam posisi itu sebagai rakyat ya Gus, yang dihina oleh titisan Wisnu.
Gus Dur: Iya.
Guntur: Suatu cerita yang sebenarnya juga terjadi pada saat ini ketika rakyat dizalimi oleh penguasa
ya?
Gus Dur: Lah iya.
Guntur: Terimakasih Gus.
Gus Dur: Kalau dalam hal ini ada hal yang perlu saya nyatakan, bahwa saya ini tadinya punya calon
untuk Gubernur DKI, Agum Gumelar dan Didik Rachbini, tapi kemudian Presiden ikut-ikutan. Karena
gitu-gituan ya saya lepas, enggak punya calon. Jadi PKB enggak punya calon di DKI. Terserahlah.
Sebab apa? Kalau presiden sudah ikut-ikutan dalam pemilihan lokal, ya susah itu.
Guntur: Jadi bersikap netral ya Gus untuk yang ini. Ya terimakasih Gus Dur. Dan saudara seperti
biasa, acara ini akan dimulai dengan pembacaan kitab Al-Hikam yang akan dibacakan oleh Pak Acun.
Silahkan Pak Acun.
Acun. Bismillahirrahmanirrahim.....Rasa pingin tersohor kamu, yang membawa orang lain pingin
mengetahui tentang kekhususanmu. Itu menunjukkan atas ketidakbenaran kamu tentang ibadah. Ini
lagi-lagi menyangkut masalah riya’ dengan ikhlas itu, Pak.
Gus Dur: Ya di sini orang itu mudah saja kehilangan keikhlasan. Karena ikhlas itu enggak punya
pamrih. Lah kalau yang Anda katakan tadi kan punya pamrih. Pingin diketahui orang lah, pingin
begini, pingin begitu. Dalam Minhajul Abidin, Imam Ghazali, rajanya tasawuf ini, mengatakan bahwa
seorang yang suaranya enak sekali baca al-Quran, itu mendengar di luar ada yang berjalan dengan narik
sandalnya. Dan orang itu adalah pacarnya, cantik jelita, kemudian dia enak-enakan suaranya.
Malamnya dia mimpi bahwa kitab yang semestinya mencatat amal dia itu kosong. Dia bertanya pada
malaikat, kenapa saya kok kosong, enggak ditulis? Ya karena Anda itu membaca al-Quran itu bukan
untuk Tuhan, tapi untuk perempuan. Jadi disitu kita melihat bahwa kata-kata riya’ itu sangat dalam
artinya. Terimakasih.
Guntur: Ya. Terimakasih Gus Dur, terimakasih Pak Acun. Saudara, pada kali ini kita akan berbicara
tentang Sosok Semar Kuncung Dalam Konteks yang Modern, yaitu ketika rakyat ataupun penduduk di
Indonesia mendapat perlakuan yang diskriminatif oleh pemerintah. Dan untuk itu, pagi ini, sudah
datang bersama kita ada Bapak Suma dari KADI (Komite Anti Diskriminasi Indonesia) yang akan
berbicara tentang pentingnya Undang-Undang Anti Diskriminasi di Indonesia, sudah ada rancangan
undang-undang tersebut di DPR. Kita sapa dulu Bapak Suma, selamat datang Bapak Suma di acara
Kongkow Bareng Gus Dur.
Suma: Terimakasih. Selamat pagi menjelang siang juga.
Guntur: Ya. Pak Suma, apa sih pentingnya dari RUU Anti Diskriminasi terhadap Penduduk di
Indonesia ini Pak Suma?
Suma: Kalau saya lihat sih ada dua ya. Pertama, dari sisi sosial. Kita mencoba menghilangkan stigmastigma negatif yang khususnya melekat pada mereka yang termarjinal, atau kelompok-kelompok yang
rentan.
Kedua, dari sisi hukum. Kita juga hendak memberi perlindungan kepada mereka yang selama ini
terdiskriminasi. Enggak usah jauh-jauh, dalam satu bulan belakangan ini saja, bahkan di ibu kota DKI
Jakarta, sudah ada dua orang anak yang dianggap cacat yang tidak melanjutkan pendidikan.
Satu itu karena sudah lulus, tapi karena tangannya kidal, dia tidak boleh meneruskan dengan alasan
tidak mungkin mengusasi multimedia. Padahal mouse tangan kiri kan banyak beredar, dan dengan satu
tangan pun bisa. Kasus yang lain itu yang menimpa seorang yang standarnya disamakan dengan orangorang yang katakanlah dalam tanda kutip itu “normal”.
Ini kan jelas sebuah bentuk diskriminasi, karena bagaimana pun harus ada perhatian yang lebih pada
kalangan yang termarjinal. Ini baru dua kasus dan di Jakarta. Saya sangat yakin bahwa kasus-kasus
seperti ini juga banyak terjadi di seluruh Indonesia, cuma mungkin karena keterbatasan akses mereka
tidak bisa mengungkapkannya ke media. Atau dalam hal lain mungkin mereka juga merasa ya mengadu
pun tidak ada tanggapan apa-apa.
Apalagi kalau yang saya lihat, dari sisi hukum misalnya, di Undang-undang tentang penyandang cacat
di sana hanya dikatakan: kalau ada orang yang mengurangi aksesibilitas atau menghalangi seseorang
untuk menempuh pendidikan karena kecatatannya itu, dia hanya kena sanksi administratif.
Jadi dalam hal ini sebenarnya kami juga mencoba menitipkan pesan ke DPR, RUU yang sedang
dibahas sekarang ini adalah RUU Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Bagi kami, ras dan etnis itu
terlalu sempit. Padahal persoalan-persoalan diskriminasi di Indonesia itu sangat luas dan sangat
banyak.
Sebagai contoh misalnya persoalan agama dan kepercayaan sampai saat ini masih menggantung.
Korbannya sangat banyak. Antara agama yang dianggap agama sesat, agama tidak resmi, sampai pada
termasuk kepada penghayat kepercayaan yang bahkan menurut aturan itu sudah bisa melakukan
perkawinan penghayat kepercayaan. Tapi ternyata PP yang diperintahkan yang harusnya selesai bulan
kemarin sampai sekarang belum selesai.
Nah ini baru dua ya, yang cacat dan yang agama. Juga kita masih bisa lihat diskriminasi terhadap
perempuan itu masih terus terjadi, diskriminasi dalam jabatan, diskriminasi di dalam misalnya
penerimaan di dalam iklan, itu terus saja terjadi. Padahal harusnya yang dikembangkan oleh
masyarakat Indonesia itu kan kemampuan. Kita masih lihat sampai sekarang iklan-iklan yang berbunyi:
dicari wanita di bawah umur 25 tahun, penampilan menarik. Padahal saya pikir yang hendak
ditonjolkan kan harusnya kemampuan orang tersebut untuk menjalankan suatu pekerjaan, bukan sebuah
tampilan kosmetik seperti itu.
Guntur: Ya. Jadi menurut Pak Suma ada berapa kelompok sih selama ini yang mendapatkan perlakuan
diskriminasi? Ada ras, etnis, kemudian agama dan kepercayaan.
Suma: Ada yang karena jendernya, usia, status sosial-ekonomi, orang-orang miskin sampai saat ini
belum dapat akses, dan juga yang terkait dengan keyakinan politik.
Guntur: Itu yang menjadi perlakuan?
Suma: Iya.
Guntur: Iya. Oke, kita ke Gus Dur sekarang. Gus Dur terkenal sebagai seorang yang membela
diskriminasi di Indonesia. Nah, bagaimana Gus Dur melihat persoalan ini Gus?
Gus Dur: Apa enggak salah itu? Membela orang-orang korban diskriminasi, bukan diskriminasinya.
Saya sendiri sebagai korban diskriminasi oleh KPU (Komisi Pemilihan Umum), saya dilarang menjadi
calon presiden pada tahun 2004 karena saya buta, tidak melihat. Padahal undang-undang itu lima buah
pelanggaran dari empat buah undang-undang jelas saya ini memang enggak lihat, tapi bukannya berarti
saya ini sakit. Jadi karena itu, antara cacat dan sakit itu mereka enggak mau tahu. Enggak mau tahu
karena maunya KPUnya kan inginnya supaya dia bisa curang. Kalau ada saya kan cecer.
Guntur: Ya, Gus Dur dan Pak suma, di Kedai Tempo sudah ada seorang korban dari diskriminasi, ada
Ibu Hariyani, mungkin akan memberikan beberapa pengakuan dan testimoni terhadap beliau.
Gus Dur: Silahkan.
Hariyani: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya senang sekali bisa hadir di sini
karena saya mewakili kelompok penyandang cacat. Memang sampai saat ini masih banyak sekali
diskriminasi terhadap penyandang cacat, jadi mulai dari akses kehidupan keluarga pun kita sudah
dibedakan, kemudian adanya isolasilah di dalam keluarga itu.
Kebanyakan para penyandang cacat itu diisolir, apalagi di daerah-daerah masih dipasung juga masih
ada. Kemudian juga di dalam pendidikan seperti Bapak Suma tadi sudah menyatakan. Dan juga di
bidang tenaga kerja.
Jadi ketenagakerjaan itu juga seperti terjadi di Surabaya dan masih banyak lagi, dan sekarang ini terjadi
di Riau, seorang sarjana SH sudah magang di Dinas Sosial di Pekan Baru itu sudah hampir lima tahun,
tetapi sekarang ini dia tidak dimasukkan ke dalam tenaga kerja yang bisa mendapatkan honorarium.
Padahal harusnya sudah mendapatkan (status) Pegawai Negeri Sipil, karena kesempatan yang lalu kan
pemerintah merekrut banyak tenaga-tenaga kerja yang baru. Harusnya memenuhi, tapi sampai sekarang
ini malah justeru terkatung-katung, bahkan sudah tidak menerima gaji sejak bulan Januari sampai
sekarang.
Guntur: Ibu Hariyani mungkin saya bisa bertanya apa pengalaman pribadi yang dialami ibu Hariyani
sendiri, mungkin bisa cerita.
Hariyani: Iya. Kalau kami ya aksesibilitaslah. Karena kebetulan kami dari keluarga yang sosialekonominya lumayan, jadi saya itu tidak banyak mendapatkan diskriminasi karena status sosial dari
orang tua saya. Kebetulan orang tua saya itu dokter, jadi saya selama mulai dari tahun 1952 saya sudah
sekolah inklusif.
Saya sekolah di (Universitas) Gajah Mada. Kemudian saya lulus S1 sarjana antropologi. Tapi saya juga
heran, kenapa baru satu dua tahun ini Gajah Mada menolak mahasiswa penyandang cacat. Padahal
setelah setelah saya ada teman saya, Pak Zaki Mubarok (namanya), itu adalah S1 sastra Inggris, itu
tidak ada masalah. Malah justeru barusan ini ada masalah bahwa tidak menerima mahasiswa cacat itu.
Guntur: Mungkin itu dulu ya bu Haryani ya, mungkin nanti kita akan (lanjutkan). Ada komentar Gus
Dur?
Gus Dur: Enggak ada.
Guntur: Enggak. Dan saya mau nanya pada bapak Suma, apakah Anda punya optimisme tersendiri,
ada masukan dari LSM pada Rancangan Undang-Undang Anti Diskriminasi di DPR itu diperluas?
Suma: kami tetap mengusulkan untuk tetap diperluas. Kami juga sebenarnya sudah banyak
berhubungan dengan DPR, pernah juga memasukkan daftar isian masukan, kami juga pernah ikut
mengurusi persoalan Adminduk yang juga masih mengandung sisi diskriminasi.
Tapi dalam hal ini sih terus terang, meskipun kami agak pesimis kami tetap berharap mendorong DPR
untuk mau mendengarkan masukan-masukan dari kelompok termarjinal dan rentan ini yang jumlahnya
sangat besar di Indonesia.
Saya bicara ini tidak mengada-ada. Soalnya dari kelompok tujuh ini, misalnya masyarakat agama,
kepercayaan, itu banyak mengalami diskriminasi di daerah-daerah. Kita masih dengar kasus-kasusnya
terjadi sampai sekarang, perusakan, pengejaran, stigmatisasi, bahkan sampai ada korban luka-luka,
korban harta yang cukup besar jumlahnya. Belum dari sisi jender. Masih banyak dari mereka yang
dikejar-kejar karena misalnya memiliki orientasi yang berbeda.
Terus, kita juga bisa melihat kondisi ekonomi-sosial masyarakat kita makin memarjinalkan kelompok
miskin. Katanya mereka didorong untuk pindah ke elpiji. Tapi program tabufikasikanya tidak jalan,
tahu-tahu minyaknya dikurangi. Ketika minyak goreng naik misalnya, tidak ada akses yang layak pada
mereka. Sampai di daerah-daerah pedalaman minyak goreng itu mencapai harga mungkin belasan atau
puluhan ribu satu liter.
Terakhir malahan susu. Pemerintah malahan bilang susu adalah bukan kebutuhan pokok, jadi tidak
perlu diakan operasi pasar. Karena kita hendak mencerdaskan bangsa. Malnutrisi sudah terjadi dimanamana. Jadi saya belum melihat langkah-langkah yang lebih konkrit. Itu yang kami sayangkan.
Guntur: Ya, baik Bang Suma. Kita akan mencoba menerima sapaan dari pendengar yang ada di rumah,
maupun pembacaan SMS oleh Bung Taufik di studio atas. Silahkan Bung Taufik.
Taufik: Ya, Bung Guntur, kita tentu masih mengundang pendengar radio Utankayu dan radio lainnya
untuk bergabung dalam diskusi kita kali ini. Silahkan Anda hubungi di sambungan telepon bebas pulsa
di 08001403131 atau 85909947. Anda juga bisa menghubungi kami melalui pesan pendek ke
08121188181.
Sudah ada pesan pendek yang masuk, pertama dari Pak Ahmad di Bekasi: Gus saya melihat Anda
adalah Semar yang bisa menjembatani antar suku dan agama dengan toleransi. Kemudian SMS lainnya
dikirimkan Pak Alfa dari Pondok Cabe: Gus Dur, apa makna sesungguhnya dari Bhineka Tunggal Ika
Tanhana Dharma Mangrua? Dan apakah ini sejalan dengan La Ilaha Illahlah? Kemudian dari Pak
Rumi di Cibinong: Gus Dur tolong jelaskan tentang Islamnya Isa Bugis yang saya lihat komunitasnya
di Cikarang pulau Kukun. Dan Guntur, sudah bersama kita pendengar di Rawamangun Jakarta dengan
Bapak Permas. Silahkan Pak Permas.
Pak Permas: Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh. Saya ingin bertanya dengan Gus Dur,
ada pernyataan dari Gus Dur yang menarik tadi mengenai Pilkada, Gus Dur mencalonkan Pak Jendral
Purnawirawan Agum Gumelar dari PKB. Yang mau saya tanyakan, saya orang awam, gimana itu
ceritanya kok Pak SBY bisa cawe-cawe itu, Gus? Kita pingin dengar ceritanya itu. Terimakasih, Gus.
Wassalamualaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Gus Dur: Saya ini kan korban. Apa namanya diskriminasi atau tidak, saya enggak tahu.
Guntur: Mungkin dari pesan yang pertama itu. Gus Dur adalah sosok Semar yang bisa menjembatani
itu.
Gus Dur: Kalau saya sih lebih senang Kumbokarno. Kumbokarno itu adiknya Rahwana. Selamanya
enggak mau ribut-ribut. Senangannya tidur dan makan. Pada saat terakhir, dia bangun, pakai kain putih
dilubangi di leher. Lah itu dia mati dalam peperangan. Lah dia bilang sama Rahwana: Aku tidak
melakukan ini karena kamu, tapi karena cinta tanah air. Jadi cinta tanah airnya itu, kesenengan saya
Kumbokarno. Lah kalau dibilang jelmaan dari Semar ya terserah saja. Menjelmanya jam berapa?
Guntur: Yang kedua, Gus? Tentang Bhineka Tunggal Ika.
Gus Dur: Oh ya. Itu sebetulnya lain-lain penggunaannya. Lailaha Illallah Muhammadurrasulullah,
tiada Tuhan Selain Allah, jadi tunggal dan kekuasaan-Nya di atas segala-galanya. Dan Nabi
Muhammad itu utusannya. Jadi lain dengan Bhineka Tunggal Eka itu. Bhineka itu cuma menunjukkan
keragaman gitu saja. Itu lebih tepat kalau ayat al-Quran ya: Bismillâhirrahmânirrahîm, innâ
kholaqnâkum min dzakarin wa untsa waja’alnakum syu’uba waqobâila lita’ârafu. Ku ciptakan kalian
sebagai lelaki dan perempuan, loh kan berbeda itu, jadi Bhineka-nya ada di situ. Waja’alnâkum dan
kubuat kalian, syu’uba waqobâila sebagai bangsa mupun sebagai suku, lita’arafû untuk saling
mengenal satu sama lain. Itu yang cocok dengan Pancasila.
Guntur: Dengan Bhineka Tunggal Ika. Dan tanpa diskrimanasi keragaman itu ya Gus?
Gus Dur: Ya jelas.
Guntur: Ya, yang ketiga Pak?
Acun: Kemudian Isa Bugis.
Gus Dur: Saya enggak tahu sampai mendalam. Tapi sepanjang yang saya tahu, Islam Bugis itu
mencoba menerapkan Islam menurut pemahamannya dia. Ya silahkan itu. Nanti kan dimarahi orang
banyak.
Guntur: Iya Gus, bagaimana menyadarkan pada masayarakat tentang pembelaan terhadap korban
diskriminasi ini Gus?
Gus Dur: Ya kita ngomong terus terang saja. Seperti saya dulu, itu dokter Ciptane itu ketua umum
Pakorba (Paguyuban Korban Orde Baru), itu eks PKI itu. Lah itu kan kena diskriminasi. Mentangmentang eks PKI dilarang ini, dilarang itu.
Saya membela dalam arti tidak banyak ngomong, tapi apa kerjaannya, apa keinginannya dari Dokter
Ciptane saya ikuti.
Guntur: Ya, Gus Dur dan Pak Suma kita coba buka dari pendengar di Kedai Tempo yang ingin
memberikan komentar, mungkin ada? Ya, silahkan pak. Sebutkan nama ya, Pak.
Ema Lailiyah: Saya namanya Ema Lailiyah, saya tinggal di Kerawang. Masalah rencana UndangUndang Anti diskriminasi sangat kita butuhkan. Karena kalau bisa selesai sebelum pemilihan presiden
tahun 2009, menurut saya hasil bicara sama teman-teman, kita mau calonkan Pak Gus Dur. Alasan
saya, Pak Gus Dur masih eksis, baik bicara agama tidak melebihkan tidak mengurangi dalam al-Quran,
berarti dia tegas. Walaupun dimusuhi oleh manusia, tapi dia tidak takut dimusuhi manusia, tapi takut
dimusuhi Allah.
Lah ini eksis, selama saya mengikuti selama ini komentar Pak Gus Dur. Jadi mudah-mudahan Tuhan
Yan Maha Esa mendukung rencana kita tentang undang-undang anti diskriminasi. Sekian dan
terimaksih.
Guntur: Ya, satu lagi.
Ali Masykuri: Terimakasih. Saya Ali Masykuri, ketepatan saya tingal di Lebak Bulus. Saya mau
menanyakan kemarin saya membaca koran bahwa di dalam Undang-Undang (Anti Diskriminasi) ini
agama akan dimasukkan dalam kelompok etnis. Nah, saya mengira kalau seandainya nanti ada orang
yang berbeda agamanya dan etnisnya nanti itu gimana? Oleh karenanya saya berharap Undang-Undang
ini tidak kemudian mengebiri agama yang saya kira hak seseorang untuk memilih etnis apapun. Saya
kira itu pertanyaan untuk Gus Dur. Terimakasih.
Guntur: Ya, Gus Dur silahkan yang pertama.
Gus Dur: Ya. Agama tidak dikaitkan dengan etnis saja sudah diskriminatif, apalagi kalau di kaitkan.
Jadi saya enggak setuju kalau itu berkaitan.
Guntur: Yang pertama itu Gus? Calon presiden?
Gus Dur: Ya apa katanya orang-orang tua. Saya begini ya, dulu diperintahkan orang tua-tua, termasuk
Kiai Abbas Buntet, sekarang umurnya 93 tahun. Diperintahkan menjadi calon presiden, ya saya jalani,
tanpa pakai tim sukses, tanpa pakai biaya. Satu sen pun tidak.
Lah sekarang juga gitu, kalau diperintahkan yang tua-tua, ya saya jalani. Kalau enggak, ya enggak.
Wong saya enggak pingin jadi presiden ini.
Guntur: Untuk Pak Suma, apa yang perlu kami lakukan Pak suma untuk membantu agar RUU Anti
Diskriminasi atau program yang Anda lakukan itu bisa terdengar atau sukses itu?
Suma: Sebenarnya acara-acara seperti ini juga bisa menyadarkan dan menyosialisasikan pada
masyarakat luas tentang pentingnya pemahaman atas keberagaman yang juga sudah tersimbol dalam
semboyan Bhineka Tunggal Ika.
Di dalam Bhineka itu kan ada keberagamaan, kita bukan mengharapkan adanya peleburan. Bukan
semuanya dijadikan sama menjadi homogen, kita mengakui perbedaan. Di dalam Tunggal Ika kita
mengakui adanya persatuan, bukan pemaksaan.
Dalam hal ini, semboyan tersebut harusnya menjadi jiwa dari masyrakat Indonesia dan juga tentunya
harus menjadi jiwa dari wakil-wakil rakyat tersebut. Itu harapannya. Jadi dalam hal ini, peran radio
khususnya, adalah untuk menyebarluaskan dan juga kalau memungkinkan juga menggalang dukungan
agar kerja-kerja pembuatan undang-undang DPR itu bukan hanya karena kepentingan sepihak atau
karena kepentingan sempit, tapi harus melihat persoalan yang lebih besar yang menimpa bangsa ini.
Kita sudah menjadi bangsa yang gemar dengan kekerasan. Malah ada yang mengatakan sudah menjadi
budaya.
Kenapa? Karena kita memelihara konflik-konflik laten, kita memelihara kotak-kotak yang memisahkan
antar satu kelompok dengan kelompok yang lain. Bukan menjadi sebuah mozaik yang menyatu, tapi
memaksakan supaya kelompok-kelompok itu makin mengeras menjadi konflik dan akhirnya benarbenar terjadi kekerasan diantara mereka. Itu yang saya khawatirkan.
Guntur: Ya, Gus Dur, ada komentar terakhir Gus Dur?
Gus Dur: Saya rasa kalau manusia itu benar-benar memiliki rasa kasih sayang kepada seluruh umat
manusia, dia tidak akan mau ada diskriminasi.
Guntur: Itu kuncinya Gus ya?
Gus Dur: Ya.
Guntur: Ya, terimakasih Pak Suma dan Ibu Hariyani atas kehadirannya ke Kedai Tempo, dan mungkin
kita akan ketemu dalam kesempatan lain. Dan kami berdoa semoga Rancangan Undang-Undang
tersebut sukses dan bisa melakukan pembelaan terhadap korban yang ada di Indonesia.
Ya saudara, Anda jangan kemana-mana karena kami akan kembali dan tema yang kedua tentang Tanah
Untuk Rakyat. Itu tema kita yang kedua. []
Download