SKRIPSI DIEN KALPIKA KASIH

advertisement
KETERANGAN SAKSI VIDEO CONFERENCE PADA KASUS CEBONGAN,
YOGYAKARTA
(Tinjauan Yuridis Putusan No. 48-K/PM II-11/AD/VI/2013)
SKRIPSI
Oleh :
DIEN KALPIKA KASIH
EIA010031
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
KETERANGAN SAKSI VIDEO CONFERENCE PADA KASUS CEBONGAN,
YOGYAKARTA
(Tinjauan Yuridis Putusan No. 48-K/PM II-11/AD/VI/2013)
SKRIPSI
Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada
Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
DIEN KALPIKA KASIH
EIA010031
KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
FAKULTAS HUKUM
PURWOKERTO
2014
i
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, yang telah
melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan skripsi yang berjudul:
“KETERANGAN SAKSI VIDEO CONFERENCE PADA KASUS CEBONGAN,
YOGYAKARTA (Tinjauan Yuridis Putusan No.48-K/PM II-11/AD/VI/2013)”
dapat terselesaikan dengan baik.
Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari
sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan terbatasnya literatur. Oleh
karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun akan diterima dengan ketulisan
hati.
Dari penulisan sripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai
pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, maka pada kesempatan ini
perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal
Soedirman.
2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing I sekaligus Dosen
Penguji I dan Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing II
sekaligus Dosen Penguji II yang telah memberikan arahan dan bimbingan dengan
penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat tersusun.
iv
1.
Bapak Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H. dan ibu Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,
M.H. selaku Dosen Pembimbing skripsi penulis, atas segala bimbingan, bantuan,
arahan, dukungan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini.
Terima kasih atas bimbinganya semoga suatu saat nanti penulis dapat membalas
jasa yang telah Bapak dan Ibu berikan. Walaupun penulis tahu, Bapak dan Ibu
tidak mengharapkan imbalan apapun dari penulis.
2.
Bapak Pranoto, S.H., M.H. Dosen Penguji skripsi penulis yang telah bersedia
untuk menjadi penguji penulis.
3.
Dr. H. Kuat Puji Prayitno, S.H.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik
penulis.Terima kasih atas kebaikan serta kesediannya setiap kali penulis
berkonsultasi Kartu Rencana Studi (KRS).
4.
Segenap dosen, karyawan, dan karyawati serta keluarga besar Fakultas Hukum
Universitas Jenderal Soedirman, yang telah berjasa kepada Penulis selama
menempuh kuliah.
5.
Mamah ku tersayang Hj. Hestya Dwi Adi Prihatini wanita yang telah merawat,
menyayangi, membesarkan, mendoakan dan memberikan motivasi kepada
penulis.
6.
Bapakku H. Bagas Pitro Martono, A.Md. lelaki yang telah mendidik,
menyayangi, mendoakan dan selalu memberikan motivasi kepada penulis
sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi.
Terimakasih atas semua cinta, perjuangan, dukungan, nasihat-nasihat serta doa
yang terus- menerus diberikan kepada penulis hingga saat ini.Terimakasih yang
vi
setulus-tulusnya untuk kalian, walaupun penulis tahu bahwa ucapan terimakasih
tidak cukup untuk mewakili betapa penulis bangga dan sayang terhadap kalian,
semoga Allah SWT membalas segalanya yang telah papa dan mama berikan
kepada saya. Amin.
Semoga segala kebaikan yang mereka berikan kepada penulis, mendapatkan
balasan sebesar-besarnya dari ALLAH SWT. Penulis juga memohon maaf kepada
semua pihak apabila terdapat kesalahan dalam ucapan maupun tindakan selama
berproses di FH UNSOED. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan
menambah pengetahuan tentang Hukum Acara khususnya Hukum Acara Pidana.
Purwokerto,
Agustus 2014
DIEN KALPIKA KASIH
E1A010031
vi
ABSTRAK
KETERANGAN SAKSI VIDEO CONFERENCE PADA KASUS CEBONGAN,
YOGYAKARTA
(Tinjauan Yuridis Putusan No.48-K/PM II-11/AD/VI/2013)
Oleh :
DIEN KALPIKA KASIH
E1A010031
Dewasa ini, teknologi berkembang sangat pesat dan mempengaruhi kehidupan
manusia, termasuk dalam dunia hukum. Salah satu bentuk kecanggihan teknologi
dalam bidang hukum adalah dalam proses pemeriksaan saksi yang menggunakan
sarana video conference. Contoh kasus yang menggunakan video conference dalam
pemeriksaan saksinya yaitu kasus penembakan yang terjadi di Lembaga
Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta. Sebenarnya masih terjadi perdebatan
penggunaan video conference dalam pemeriksaan saksi pada kasus tersebut. Oleh
karena itu penggunaan video conference sebagai sarana pemeriksaan saksi perlu
dikaji di dalam hukum positif Indonesia.
Kata kunci: Keterangan Saksi; Video Conference;, Kasus Cebongan, Yogyakarta.
vii
ABSTRACT
These days, technology develops rapidly and iffluences human beings,
including in the world of law. One of some modern tecnologies in the world of law is
the process of witnesses investigation which uses video conference as the medium.
The case example of using video conference in the medium. The case example of
using video conference in the witnesses investigation is the case of shooting which
happens in Cebongan Jail, Yogyakarta.
Actually, there is still a debate about the use of video conference in
investigating the witnesses in that case. Therefore, the use of video conference as a
witnesses investigation medium needs to be reviewed in the Indonesian Positive Law.
Keyword : witnesses; video conference; Cebongan Case, Yogyakarta.
viii
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL...................................................................................
i
HALAMAN PENGESAHAN.................................................................
ii
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI....................................................
iii
PRAKATA..........................................................................................
iv
ABSTRAK..........................................................................................
vii
ABSTRACT...................................................................................... ..........
viii
DAFTAR ISI...................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN..................................................................
1
A. Latar Belakang.......................................................................
1
B. Perumusan Masalah................................................................
5
C. Tujuan.................................................................................... .........
5
D. Kegunaan...............................................................................
5
BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................
7
1. Hukum Pembuktian............................................................
7
a. Pengertian Pembuktian..................................................
7
b. Teori, Asas dan Prinsip Pembuktian...............................
8
c. Tujuan dan Fungsi Pembuktian......................................
17
2. Keterangan Saksi............................................................
a.
Pengertian Saksi.......................................................
ix
19
19
b.
Syarat Menjadi Saksi................................................
ix
22
a.
Hak dan Kewajiban Saksi..............................................
26
b.
Saksi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana...
32
c.
Saksi Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban.........................
37
2. Video Confrence....................................................................
39
a. Pengertian Video Conference..............................
39
b. Sejarah Video Conference....................................
41
c. Tujuan dan Fungsi Penggunaan
Video Conference.................................................
48
d. Perkara-perkara yang Kesaksiannya Menggunakan
Video Conference................................................
51
BAB III METODE PENELITIAN............................................................
58
A. Metode Pendekatan...........................................................................
58
B. Spesifikasi Penelitian........................................................................
60
C. Sumber Bahan Hukum......................................................................
61
D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum...............................................
62
E. Metode Penyajian Bahan Hukum.....................................................
62
F. Metode Analisis Bahan Hukum........................................................
63
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN........................
64
A. Hasil Penelitian.................................................................................
64
1. Bahan Hukum Primer.................................................................
64
2. Bahan Hukum Sekunder.............................................................
x
69
A. Pembahasan.......................................................................................
75
1. Diperlukannya Video Conference Dalam Pembuktian
Keterangan Saksi Pada Kasus Cebongan, Yogyakarta
Pada Putusan No.48-K/PM II11/AD/VI/2013...........................................................................
75
2. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Pada
Kasus Cebongan, Yogyakarta Pada Putusan
No.48-K/PM II-11/AD/VI/2013..................................................
BAB V PENUTUP................................................... ..................................
95
102
A. Simpulan................................................................................................
102
B. Saran.....................................................................................................
103
DAFTAR PUSTAKA
xi
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan
teknologi dewasa ini sangat pesat, terutama di
bidang komunikasi dan infomasi juga membawa pengaruh yang sangat
besar bagi kehidupan masyarakat. Salah satunya yaitu penggunaan satelit
untuk komunikasi.
Pada era seperti sekarang ini kembali teknologi memberikan
kemudahan bagi masyarakat untuk berkomunikasi yakni melalui “video
conference”. Sebelumnya masyarakat hanya dapat berbicara dan
mendengarkan orang yang diajak berbicara yang barada jauh darinya ( di
luar negeri sekalipun ) melalui pesawat telepon saja. Tetapi dengan
teknologi video conference, maka tidak hanya mendengar suara orang
lain dari jauh untuk berkomunikasi, tetapi juga dapat menyaksikan
gambar orang yang diajak untuk berkomunikasi pada saat itu juga.
Sebenarnya teknologi ini sudah dikenal di Indonesia sejak era 90an yang mana pada saat itu Presiden Soeharto masih berkuasa, beliau
sering mengadakan “tele wicara” yang disiarkan secara langsung oleh
TVRI setiap bulannya dan dalam acara tersebut Presiden Soeharto
menggunakan media televisi dan telepon (pada saat itu pihak TVRI
bekerjasama dengan pihak Telkom ) untuk dapat langs ung berbicara
dengan rakyat yang ada dipelbagai belahan Nusantara, sementara
Presiden Soeharto berada di Jakarta dan rakyat yang diajak berdialog
2
berada di Kalimantan misalnya. 1 Tetapi dengan media video conference
tersebut seolah-olah rakyat berbicara dan bertatap muka secara langsung
dengan Presidennya.
Perkembangan teknologi melalui video conference sebagai media
komunikasi membawa dampak yang sangat besar di Indonesia khususnya
dalam bidang hukum. Pemanfaatan teknologi video conference di bidang
hukum Indonesia dimulai pada saat persidangan kasus penyimpangan
dana non -budgeter Bulog atas nama terdakwa Akbar Tanjung. Saat itu
mantan Presiden BJ. Habibie yang menjadi saksi dalam kasus tersebut
tidak dapat dihadirkan ke persidangan karena pada saat itu beliau berada
di Hamburg Jerman dan tidak dapat datang ke Indonesia dengan alasan
menunggu ist rinya yang sedang sakit. Alasan tersebut kemudian pihak
Pengadilan Jakarta Pusat berinisiatif untuk mengambil jalan pintas
dengan mengadakan suatu video conference whitness atau kesaksian
secara video conference, dan kesaksian tersebut diadakan di kantor
Konsul Jenderal Indonesia di Hamburg Jerman, dan disiarkan secara
langsung oleh salah satu stasiun swasta di Indonesia. 2 Kasus lainnya
yang keterangan saksinya menggunakan video conference adalah kasus
penembakan yang dilakukan oleh anggota Koppasus kepada empat
tahanan yang terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan Cebongan
Yogyakarta ( Lapas Cebongan Yogyakarta ) pada hari Sabtu tanggal 23
1
Kusuma, Nandar, Kesaksian Melalui Video Conference Dalam Perkara (internet),
2012. Tersedia: http://www.hukumindonesia.blogspot.com/2012/05/kesaksian-melaluivideo-conference.html (diakses pada tanggal 5 Januari 2014 pukul 20:11 WIB ).
2
Sidang dengan menghadirkan saksi Prof.B.J.Habibie yang berada di Hamburg
Jerman (sumber: kompas tanggal 24 Juni 2002).
3
Maret 2013 sekitar pukul 01:30 WIB.
3
Di duga karena rekan sejawat
anggota Koppasus tersebut yaitu Serka Heru Santoso yang dikeroyok
hingga tewas oleh sekelompok orang yaitu Dikki CS di tempat hiburan
Hugo’s Cafe di Jalan Adisucipto, Depok, Sleman, Daerah Istimewa
Yogyakarta. Dikarenakan peristiwa tersebut maka anggota Koppasus
Yogyakarta lainnya melakukan penembakan terhadap kelompok Dikki
CS yang saat tiu telah menjadi tahanan di Lembaga Pemasyarakatan
Cebongan, Yogyakarta.
Pada saat penembakan tersebut para tahanan yang lainnya yang
ikut menyaksikan penembakan tersebut untuk selanjutnya dijadikan
sebagai saksi dalam kasus yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan
Cebongan. Setelah kejadian tersebut banyak saksi yang tertekan dan
trauma, oleh karena itu Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (
LPSK ) yaitu Abdul Harris Semendawai memohon kepada Mahkamah
Agung Republik Indonesia agar kiranya para hakim di Pengadilan Militer
II-11 Yogyakarta agar berkenan memeriksa kesaksian dari para saksi
tersebut melalui video conference karena melihat kondisi psikologi dari
para saksi. Mahkamah Agung Republik Indonesia telah bersedia bahwa
keterangan saksi kasus Cebongan Yogyakarta menggunakan video
conference, namun pada saat itu para hakim yang mengadili dan
memutus perkara tersebut masih terdapat pro dan kontra mengenai
3
Bahasa Indonesia, Penembakan Cebongan (internet), 2013. Tersedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan_Cebongan ( di akses pada tanggal 9 Januari 2014
pukul 20:00 WIB ).
4
keterangan saksi yang disampaikan melalui video conference.4 Para
hakim yang setuju menggunakan video conference memberikan alasan
bahwa untuk menciptakan keadaan yang lebih aman dan kondusif serta
menciptakan rasa aman kepada saksi, maka lebih baik saksi tidak di
hadirkan secara langsung ke dalam ruang pesidangan. Namun, berbeda
pendapat dengan majelis hakim yang tidak setuju dengan penggunaan
video conference di dalam pemeriksaan saksi-saksi. Majelis hakim yang
tidak setuju berpatokan pada Pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP yang
berbunyi :
Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut
urutan yang dipandang sebaik -baiknya oleh hakim ketua sidang setelah
mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum;
Serta majelis hakim yang tidak setuju juga berpegang teguh pada
Pasal 185 ayat (1) KUHAP yakni :
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.
Sesuai dengan patokan yang digunakan oleh majelis hakim yang
tidak setuju dengan adanya penggunaan video conference sebagai sarana
dalam pemeriksaan keterangan saksi maka dapat dikatakan bahwa
majelis hakim tersebut sangat mengutamakan kehadiran saksi dalam
persidangan tanpa perantara oleh fasilitas apapun, karena hakikat dari
hukum acara pidana yakni mencari kebenaran materiil yaitu memperoleh
kebenaran hakiki yang sebenar-benarnya. 5
4
Sorot, Jogya, Kasus Cebongan: MA Setuju Pakai Video Conference, (internet),
2013. Tersedia: http://berita-jogya-1...an -ma--setuju-pakai-videoconference.html (diakses
pada tanggal 10 Januari 2014 pukul 10:54 WIB ).
5
Ibid.
5
Dilatarbelakangi permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk
meneliti lebih jauh dan menyusun dalam penulisan skripsi yang berjudul
:
KETERANGAN SAKSI VIDEO CONFERENCE PADA KASUS
CEBONGAN, YOGYAKARTA
(Tinjauan Yuridis Putusan No.48-K/PM II-11/AD/VI/2013)
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, dapat
dirumuskan permasalahan, yaitu :
1.
Mengapa
video
conference
diperlukan
dalam
pembuktian
keterangan saksi pada kasus Cebongan, Yogyakarta pada Putusan
No.48-K/PM II-11/AD/VI/2013?
2.
Bagaimana
kekuatan
pembuktian
keterangan
saksi
video
conference pada kasus Cebongan, Yogyakarta terkait dengan
Putusan No.48-K/PM II-11/AD/VI/2013?
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah :
1.
Mengetahui pengggunaan video conference dalam mendengarkan
keterangan saksi dalam proses perkara pidana khususnya pada
keterangan
saksi
pada
kasus
yang
terjadi
di
Lembaga
Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta.
2.
Mengetahui
kekuatan
pembuktian
keterangan
saksi
conference pada Putusan No.48-K/PM II-11/AD/VI/2013.
video
6
D. Kegunaan Penelitian
1.
Kegunaan teoritis
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk
pengembangan pustaka hukum yang berkaitan dengan Hukum
Acara Pidana terutama yang berkaitan dengan penggunaan video
conference keterangan saksi pada kasus yang terjadi di dalam
Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta .
2.
Kegunaan praktis
Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan
informasi dan
pendidikan bagi
masyarakat
tentang
dasar
pertimbangan penggunaan video conference dalam memberikan
kesaksian pada proses perkara pidana khususnya dalam kasus yang
terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta serta
membandingankan pendapat para praktisi hukum mengenai
penggunaan video conference dalam memberikan kesaksian pada
proses perkara pidana . Selain itu, membandingkan pula dengan
Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tentang kekuatan
yuridis keterangan saksi yang diberikan melalui video conference
dalam proses perkara pidana agar secara praktis dapat dengan
mudah diterapkan.
7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
1.
Hukum Pembuktian
a. Pengertian Pembuktian
Hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang
mengatur tentang pembuktian.6 Membuktikan adalah meyakinkan hakim
tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu
persengketaan. Menurut M. Yahya Harahap7 :
Pembuktian adalah ketentuan yang berisi penggarisan dan
pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian
juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
undang-undang dan boleh digunakan hakim membuktikan kesalahan
yang didakwakan.
Menurut R. Subekti 8 mengatakan bahwa :
Bukti berarti sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu
dalil atau pendirian. Pembuktian adalah perbuatan yang dilakukan untuk
meyakinkan kebenaran suatu dalil di muka pengadilan.
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga dijelaskan
mengenai pengertian pembuktian yaitu:
6
Munir Fuady,2006. Teori Hukum Pembuktian Cet. I. Bandung: PT.Citra Aditya
Bakti, Hal 1.
7
Zein, Arief, Pembuktian Dalam Hukum Pidana (internet), 2011. Tersedia:
www.pembuktian-dalam-hukum-pidana.html (diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul
10:57 WIB).
8
Siadari, Ray Pratama, Beberapa Pengertian dan Dasar Hukum Pembuktian
(internet), 2012. Tersedia: www.beberapa-pengertian -dan-dasar-hukum.html (diakses pada
tanggal 4 Mei 2014 pukul 20:40 WIB).
8
Perbuatan memberi (memperlihatkan bukti, melakukan
sesuatu sebagai bukti kebenaran, melaksanakan cita-cita dan sebagainya,
menandakan atau menyatakan bahwa sesuatu benar serta meyakinkan,
menyaksikan).
Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah
diperlukan dalam persengketaan dan perkara di muka hakim atau
pengadilan, sehingga pembuktian itu hanya diperlukan, apabila timbul
suatu perselisihan. 9
Sementara itu, pengertian pembuktian dalam ilmu hukum
adalah suatu proses, baik dalam acara perdata maupun pidana, yang mana
dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan
dengan prosedur khusus, untuk mengetahui suatu fakta atau pernyataa n,
khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan,
yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses
pengadilan itu benar atau tidak seperti dinyatakan itu. 10
b. Teori, Asas dan Prinsip Pembuktian
Proses “pembuktian” hakikatnya lebih dominan pada sidang
pengadilan guna menemukan kebenaran materiil tentang peristiwa yang
terjadi dan memberikan keyakinan kepada hakim tentang kejadian
tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya.
Dikaji dari sudut pandang hukum acara pidana, maka “hukum
pembuktian” berkembang dalam rangka untuk menarik suatu kesimpulan
9
Ibid Hal 1.
berita-jogya-.1...an-ma--setuju-pakai-videoconference.html (internet), Loc.Cit.
10
9
bagi hakim di dalam sidang pengadilan untuk menyatakan bahwa
terdakwa terbukti atau tidak melakukan tindak pidana yang telah
didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya dan pada
akhirnya hakimlah yang berwenang menjatuhkan berat ringannya
hukuman pada terdakwa. Dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman
tersebut tentunya hakim memegang prinsip dari setiap pemikiran hakim,
pemikiran tersebut tidak lepas juga dari teori ataupun prinsip yang ada di
dalam hukum pembuktian itu sendiri. Ada beberapa teori pembuktian
yang dianut hakim di Indonesia, yaitu:
1. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata atau
conviction intime.
Ini merupakan teori pembuktian yang menjelaskan agar terbukti atau
tidaknya kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan atas penilaian
keyakinan
atau
perasaan
hakim.
Dasar
hakim
membentuk
keyakinannya tidak perlu didasarkan pada alat bukti yang ada.
2. Teori pembuktian berdasarkan pada undang-undang secara positif atau
positif wettelijk bewijs theori.
Yaitu apabila suatu perbuatan terdakwa telah terbukti sesuai dengan
alat-alat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus
menyatakan terdakwa terbukti bersalah tanpa mempertimbangkan
keyakinannya sendiri. Dalam teori ini undang-undang menentukan
bagaimana cara hakim untuk mempergunakan alat bukti tersebut
sebagaimana mestinya, asalkan penggunaannya sesuai dengan yang
telah ditentukan oleh undang-undang. Jika dikaji secara hakiki,
10
ternyata teori pembuktian ini mempunyai segi negatif dan positif. Hal
ini tampak melalui asumsi M. Yahya Harahap11 sebagai berikut:
“Pembuktian
menurut
undang-undang
secara
positif,
keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam pembuktian kesalahan
terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini tidak ikut berperan
menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman
pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan
undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa
semata -mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah
dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undangundang. Sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa
mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak
tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya,
apabila sudah dipenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan
keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini,
hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tidak
memiliki hati nurani. Hati nuraninya seolah-olah tidak ikut hadir
dalam menentukan salah ata u tidaknya terdakwa. Meskipun demikian,
dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini bener-benar
menuntut hakim sebagai suatu kewajiban untuk mencari dan
menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan
tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan
11
M. Yahya Harahap, 1985. Pembahasan Pemasalahan dan Penerapan KUHAP .
Jakarta: Pustaka Kartini, Hal 789-799.
11
undang-undang. Dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus
melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh faktor keyakinannya.
Hakim semata -mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa
mencampuradukan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan
dengan unsur-unsur subjektif keyakinan nuraninya. Sekali majelis
hakim menentukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara
dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, mereka tidak
perlu lagi bertanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan
keyakinan hati.”
3. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis
atau conviction rasionnee.
Putusan hakim didasarkan atas keyakinannya tetapi harus disertai
pertimbangan dan alasan yang jelas dan logis. Di sini pertimbangan
hakim dibatasi oleh reasoning yang harus reasonable. Dalam
perkembangannya lebih lanjut teori ini mempunyai dua bentuk, yaitu:
a. Conviction intime:
Yakni kesalahan terdakwa bergantung pada keyakinan
belaka sehingga hakim tidak terikat oleh suatu peraturan. Dengan
demikian, put usan hakim tampak timbul nuansa subjektifnya.
Misalnya, dalam putusan hakim dapat berdasarkan pada mistik,
keterangan medium, dukun, dan sebagainya sebagaimana pernah
diterapkan dahulu pada praktik peradilan. Apabila dikaji dan
ditelaah secara mendalam, mendetail, dan substansial, penerapan
sistem pembuktian conviction intime mempunyai subjek, yaitu:
12
“Sistem pembuktian conviction intime menetukan salah tidaknya
terdakwa,
semata-mata
oleh
penilaia n
keyakinan
hakim.
Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktikan kesalahan
terdakwa.
Darimana
hakim
menarik
dan
menyimpulkan
keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan
boleh diambil dan disimpukan dari alat-alat
diperiksanya
dalam
sidang
pengadilan.
Bisa
bukti
yang
juga
hasil
pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung
menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa.
Sistem pembuktian conviction intime ini, tentu mengandung
kelemahan. Hakim dapat saja menja tuhkan hukuman pada seorang
terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa
didukung alat-alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa
membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya
walaupun kesalahan terdakwa telah cukup bukti dengan alat-alat
bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan
terdakwa. Jadi dalam sistem pembuktian conviction intime,
sekalipun kesalahn sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup
itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Sebaliknya,
walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasarkan alatalat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah sematamata atas “dasar keyakinan” hakim. Keyakinan hakimlah yang
“dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya
terdakwa. Seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa
kepada keyakinan hakim semata -mata. Keyakinan hakimlah yang
13
menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian
ini.”12
b. Conviction raisonce
Yakni keyakinan hakim tetap memegang peranan penting
untuk menetukan tentang kesalahan terdakwa. Akan tetapi,
penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan secara selektif
dalam artian keyakinan hakim “dibatasi” dengan harus didukung
oleh “alasan-alasan
jelas dan rasional” dalam mengambil
keputusan. Andi Hamzah13 menyebutkan bahwa:
“Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang
berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah
kedua jurusan. Yang pertama yang tersebut di atas yaitu
pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis
(convincion reisonne) dan yang kedua ialah teori pembuktian
berdasarkan undang-undang secara negatif (negative wettelijke
bewlijs theorie).
Persamaan keduanya ialah sama berdasar atas keyakinan
hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya
keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya ialah bahwa
yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim,
tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan
(conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undangundang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan
12
Ibid, M. Yahya Harahap, 1985, Hal 797-798.
Andi Hamzah, 1990. Pengantar Hukum Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia,
13
Hal 229.
14
pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan, sedangkan yang
kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang
ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang. Pada yang
pertama dasarnya ialah suatu yang tidak didasarkan undangundang, sedangkan pada yang kedua didasarkan pada ketentuan
undang-undang yang disebut secara limitatif.”
4. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif atau
negatif wettelijk bejist theori.
a.
Teori pembuktian ini berada di antara teori positif wettelijk dan
teori conviction resionnee;
b.
Salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan
hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang
sah menurut undang-undang.
Pada prinsipnya teori pembuktian menurut undang-undang
secara negatif (negatif wettelijk bejist theori) menentukan bahwa
hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa jika alat
bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan
didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya
alat-alat bukti tersebut. Dari aspek historis ternyata sistem pembuktian
menurut undang-undang secara negatif tentulah melekah adanya :
a. Prosedural dari tata cara pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti
sebagainya limitatif ditentukan undang-undang.
b. Terhadap alat-alat bukti tersebut hakim yakin, baik secara materiil
maupun secara prosedural.
15
Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana
apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan
undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang
didapat dari adanya alat-alat bukti itu.
Dalam Pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat
disimpulkan bahwa KUHAP memakaisistem pembuktian menurut
undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal
pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup
alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh
undang-undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ia cukup, maka
baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim
akan kesalahan terdakwa.
Teori pembuktian menurut undang-undang negatif tersebut
dapat disebut dengan negative wettelijk, istilah itu berarti: wettelijk
artinya berdasarkan undang-undang, sedangkan negative artinya
walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan
undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman
sebelum memperoleh keyakinan tentang kesala han terdakwa.
Dalam sistem pembuktian yang negatif alat-alat bukti
limitatif ditentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara
16
mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undangundang.
Selanjutnya perpaduan antara sistem pembuktian negatif dan
keyakinan hakim ini melekat pula adanya unsur-unsur objektif dan
subjektif dalam menentukan terdakwa bersalah ataukah tidak. Hal
ini ditegaskan oleh M. Yahya Harahap14 sebagai berikut:
“Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur-unsur
subjektif dan objektif dalam menetukan salah atau tidaknya
seorang terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua
unsur tersebut. Karena kalau salah satu unsur diantara kedua unsur
itu tidak ada, berarti belum cukup mendukung keterbuktian
kesalahan terdakwa. Misalnya, ditinjau dari segi ketentuan cara
dan dengan alat-alat bukti akan kesalahan terdakwa yang sudah
terbukti tadi. Maka, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat
dinyatakan bersalah. Sebaliknya, hakim benar-benar yakin
terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang
didakwakan. Akan tetapi, keyakinan tersebut tidak didukung
dengan pembuktian yang cukup menurut tata cara dan dengan alatalat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti ini
pun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu,
diantara kedua komponen tersebut harus saling mendukung.”15
14
15
M. Yahya Harahap, 1985, Op.Cit., Hal 800.
Pembuktian-dalam-hukum-pidana.html (internet), Loc.Cit.
17
Di Indonesia sendiri menganut teori pembuktian berdasarkan
undang-undang secara negatif atau negatif wettelijk bejist theori yang
mana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1. Kesalahan terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang
sah”.
2. Dengan alat bukti minimum yang sah tersebut hakim memperoleh
keyakinan bahwa telah terjadi tin dak pidana dan terdakwalah
pelakunya. 16
Hal ini dipertegas lagi dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal
183 KUHAP, yakni :
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dikatakan bahwa dalam hukum pembuktian ini terdapat asas
minimum pembuktian. Asas ini merupakan asas yang mengatur batas
yang harus dipenuhi untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu :
1. Dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah (dengan hanya
satu alat bukti belum cukup);
2. Kecuali dalam pemeriksaan perkara dengan cara pemeriksaan “cepat”,
dengan satu alat bukti sah saja cukup untuk mendukung keyakinan
hakim. 17
Dalam hukum pembuktian terdapat pula prinsip pembuktian
diantaranya :
16
17
Ibid.
Ibid.
18
1. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan kembali
(notoire feiten);
2. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis);
3. Pengakuan (keterangan) terdakwa tidak cukup untuk membuktikan
bahwa ia bersalah. 18
Dengan diterapkannnya teori, prinsip maupun asas dari
pembuktian tersebut dalam kerangka pikir para hakim, maka dalam
penjatuhan berat ringannya hukuman yang diberikan kepada terdakwa
diharapkan dapat tercipta dan terlaksana dengan seadil-adilnya.
c.
Tujuan dan Fungsi Pembuktian
Pembuktian merupakan suatu rangkaian dari proses pemeriksaan
di depan persidangan. Dalam hal ini hakim diharapkan betul-betul
cermat, teliti dan matang menilai serta mempertimbangkan seluruh buktibukti yang diajukan di persidangan, karena dengan pembuktian inilah
ditentukan apakah terdakwa benar-benar terbukti melakukan tindak
pidana yang didakwakan kepadanya dan selanjutnya dapat dibebaskan
dari hukuman bila tidak terbukti bersalah. Pada prinsipnya “hukum
pembuktian” dikaitkan dengan hukum acara pidana hal tersebut memiliki
tujuan atau fungs i sebagai berikut :
1. Sebagai sarana untuk mencari suatu kebenaran materiil dari suatu
tindak pidana yang terjadi;
2. Menemukan orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana;
3. Meminta pengadilan untuk memutuskan bermasalah atau tidaknya
tersangka; dan
4. Melaksanakan dan kemudian mengawasi pelaksanaan dari putusan
tersebut. 19
18
Ibid.
19
2. Keterangan Saksi
a. Pengertian Saksi
Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, kedudukan saksi sangat
penting sehingga keterangan saksi dijadikan salah satu diantara lima alat
bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: 20
Keterangan saksi;
Keterangan ahli;
Surat;
Petunjuk; dan
Keterangan terdakwa.
Penempatan keterangan saksi dalam urutan pertama dari lima alat
bukti yang sah, menunjukan tentang pentingnya alat bukti keterangan
saksi dalam penyelesaian perkara pidana. 21 Sebelum membahas lebih
lanjut mengenai keterangan saksi, terlebih dahulu kita akan membahas
mengenai definisi saksi. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia
definisi saksi dibagi menjadi beberapa pengertian, antara lain :
1. Orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa
(kejadian);
2. Orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa yang dianggap
mengetahui suatu kejadian tersebut agar pada suatu ketika, apabila
diperlukan dapa t memberikan keterangan yang membenarkan bahwa
peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi;
3. Orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk
kepentingan pendakwa atau terdakwa;
4. Keterangan (bukti pernyataan) yang diberikan oleh orang yang
melihat atau mengeta hui;
5. Bukti kebenaran;
19
Hibnu Nugroho, 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di
Indonesia. Jakarta: Media Prima Aksara, Hal 32.
20
Muchamad Iksan, 2012. Hukum Perlindungan Saksi dalam Sistem Peradilan
Pidana Indonesia. Surakarta: Muhammadiyah University Press, Hal 9.
21
Andi Hamzah, 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta:
Ghalia Indonesia, Hal 187.
20
6. Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri.
Menurut Pasal 1 butir ke 26 KUHAP:
Saksi adalah orang yang dapat memberi keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri dan dia alami sendiri.
Menurut Pasal 1 butir ke 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun
2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban:
Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna
kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan
di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar
sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
Pengertian saksi yang lebih luas dapat dikemukakan dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan terhadap Korban dan Saksi Pelanggaran HAM yang Berat
sebaga i peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000
tentang Pengadilan HAM, yang memberikan definisi saksi sebagai:
Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang
pengadilan tentang perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat
yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri, yang
memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan,
teror, dan kekerasan dari pihak manapun (Pasal 1 butir 3).
Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucin Uang sebagaimana telah
diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003, dalam Pasal 1
butir 3 memberikan pengertian saksi sebagai:
21
Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana
pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami
sendiri.
Saksi merupakan pihak yang telah terlibat dalam perkara pidana.
Ia menduduki peran dan fungsi yang penting dalam suatu pemeriksaan
perkara di sidang pengadilan. Tanpa adanya saksi, suatu tindak pidana
akan sulit diungkap kebenarannya. Maksud dari menanyai saksi adalah
memberikan kesempatan untuk menyatakan bahwa tersangka tidak
bersalah, ataupun jika bersalah maka mengakui kesalahannya . 22 Menurut
Pasal 1 butir ke 27 KUHAP dikatakan bahwa:
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Berdasarkan beberapa pengertian saksi di atas maka dapat
dinyatakan bahwa keterangan saksi merupakan hal yang penting dalam
proses persidangan. Sebab saksi lah yang mengetahui secara kongret
mengenai suatu tindak pidana yang sebenarnya terjadi. Dalam KUHAP
saat ini pun keterangan saksi menduduki peringkat pertama sebagai salah
satu alat bukti dalam proses perkara pidana. Keterangan saksi merupakan
salah satu alat bukti terpenting dalam perkara tindak pidana, oleh sebab
itu hukum acara pidana yang mengutamakan kebenaran materiil, yaitu
kebenaran yang mendekati kenyataan sebagaimana yang menjadi tujuan
utama KUHAP.23
22
Andi Hamzah, 1990, Op.Cit., Hal 162.
Hibnu Nugroho, 2010. Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia (Edisi
Revisi). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Hal 95.
23
22
Dalam Pasal 184 KUHAP menempatkan alat bukti saksi dalam
urutan pertama sebagai alat bukti sah, berbeda dengan hukum acara
perdata yang mengutamakan kebenaran formal, sehingga menempatkan
alat bukti surat sebagai urutan pertama. 24
Keterangan saksi dalam kedudukannya sebagai alat bukti
dimaksudkan untuk membuat terang suatu perkara yang sedang di
periksa, diharapkan dapat menimbulkan keyakinan pada hakim, bahwa
suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan terdakwa telah
bersalah melakukan tindak pidana tersebut.
b. Syarat Menjadi Saksi
Dalam hal menjadi seorang saksi merupakan sebuah kewajiban
bagi setiap orang yang diminta hadir dalam memberikan keterangan di
sidang pengadilan. Berikut ini ada syarat-syarat seseorang agar dapat
menjadi saksi, yaitu :
1. Sehat jiwa dan batinnya (tidak gila);
2. Baliq (dewasa);
3. Berani disumpah sesuai dengan agama masing-masing;
4. Melihat, mendengar dan mengalami perkara pidana tersebut25.
Apabila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi oleh seorang
saksi, maka kesaksiannya tersebut menjadi tidak sah. Ditinjau dari segi
nilai dan kekuatan pembuktian keterangan saksi, agar keterangan saksi
24
Varia Peradilan No 328 Maret 2013, hal 78.
Yahoo, Answers, Apa Pengertian Saksi, Syarat Sebagai Saksi dan Kewajiban
Sebagai
Saksi
?
(internet),
2012.
Tersedia:
http://Apa_pengertian_saksi_syarat_sebagai_saksi_dan_kewajiban_sebagai_saksi?/html
(diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 19:20 WIB).
25
23
atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu
diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang
saksi, yaitu sebagai berikut:
1.Harus mengucapkan sumpah atau janji;
2.Keterangan saksi yang yang bernilai alat bukti. 26
Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang
sesuai dengan apa yang dijelaskan pada Pasal 1 butir ke 27 KUHAP,
yaitu:
Yang saksi lihat sendiri;
Yang saksi dengar sendiri;
Yang saksi alami sendiri;
Serta menyebut alasan dari pengetahuan itu;
Keterangan harus diberikan di sidang pengadilan.
Keterangan saksi yang memenuhi syarat dan bernilai sebagai
alat bukti secara yustisial haruslah:
a. Memberikan keterangan yang sebenarnya sehubungan dengan tindak
pidana yang sedang diperiksa. Ketera ngan saksi haruslah murni
berdasarkan kesadarannya sendiri, dan didukung oleh latar belakang
dan sumber pengetahuannya.
b. Keterangan saksi yang relevan untuk kepentingan yustisial.
i.“yang ia dengar sendiri”;
ii.“yang ia lihat sendiri”; atau
iii.“yang ia alami sendiri”.
iv.Hasil pendengaran, penglihatan, atau pengala man sendiri dimaksud
harus didukung suatu alasan “pengetahuannya” yang logis dan
masuk akal.
v.Jumlah saksi yang sesuai untuk kepentingan peradilan sekurangkurangnya dua (Pasal 182 ayat (2) KUHAP: unus testis nullus
testis,satu saksi bukan saksi) 27
26
hukum indonesia.blogspot.com/2012/05/kesaksian-melalui-video-conference.html
(internet), Loc.Cit.
27
M. Yahya Harahap, 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP,
Penyidikan dan Penuntutan (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika, Hal 141-142 .
24
Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Namun ada
pengecualian yang terdapat dalam Pasal 168 KUHAP, yakni:
a. Keluarga sedarah atau semenda dalam ga ris lurus ke atas atau ke
bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa;
b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa,
saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai
derajat ketiga;
c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang
bersama-sama sebagai terdakwa.
Di samping karena hubungan derajat kekeluargaan (sedarah atau
semenda), telah ditentukan dalam Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang
karena
pekerjaan,
harkat,
martabat
menyimpan rahasia, dapat meminta
atau
jabatannya
dibebaskan
dari
diwajibkan
kewajiban
memberikan keterangan sebagai seorang saksi. Dalam Pasal 171 KUHAP
juga terdapat pengecualian orang-orang yang tidak diwajibkan menjadi
saksi, yakni:
1.Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah
kawin;
2.Orang yang sakit atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali.
Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang
belum berumur lima belas tahun, demikian juga dengan orang yang sakit
ingatan, sakit jiwa, orang yang gila meskipun kadang-kadang saja, yang
dalam ilmu penyakit jiwa disebut psyhcopaat. Mereka ini tidak dapat
dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana, maka
mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan
keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dijadikan sebagai
sebuah petunjuk saja.
25
Dalam Pasal 185 ayat (5) KUHAP dinyatakan bahwa baik
pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan
merupakan keterangan saksi. Di dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1)
KUHAP dikatakan bahwa:
Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh
dari orang lain atau testimonium de auditu.
Dengan demikian, keterangan saksi yang diperoleh dari orang
lain bukanlah alat bukti yang sah. Keterangan demikian merupakan
keterangan saksi yang mendengar orang lain mengatakan atau,
menceritakan sesuatu, atau apa yang ada dalam ilmu hukum acara pidana
disebut terstimonium de auditu.
Menurut Andi Hamzah, sesuai dengan penjelasan KUHAP yang
mengatakan kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti,
dan selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari
kebenaran materiil, dan pula untuk perlindungan te rhadap hak-hak asasi
manusia, yang mana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar
dari orang lain, tidak terjamin kebenarannya. Maka kesaksian de auditu
patut tidak dipakai di Indonesia pula. 28
Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh
hakim, walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi
dapat memperkuat keyakinan hakim yang bersumber pada dua alat bukti
yang lain. Pada umumnya de auditu diterima sebagai alat bukti tetapi
dibatasi pengertiannya dari pengertian biasa. Tidak diajukan sebagai de
28
Andi Hamzah, 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi revisi). Jakarta:
Ghalia Indonesia Hal 260-261.
26
auditu atau hearsay evidence. Misalnya keterangan terdakwa bahwa
seseorang telah mengakui kepadanya bahwa orang itulah yang
melakukan kejahatan tersebut. Selanjutnya dapat dikemukakan adanya
batas nilai suatu kesaksian yang berdiri sendiri dari seorang saksi yang
disebut unus testis nullus testis. Dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang
mengatakan bahwa:
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
Menurut D.Simons yang dikutip dalam Buku Andi Hamzah
mengatakan bahwa:
“Suatu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat
membuktikan suatu keadaan tersendiri, suatu petunjuk suatu dasar
pembuktian dan juga ajaran Hoge Raad bahwa dapat diterima keterangan
seorang saksi untuk satu unsur (bestanddeel) delik dan tidak bertentangan
dengan Pasal 342 ayat (2) Ned. Sv.”
Pendapat D.Simons tersebut tidak bertentangan dengan Pasal
Pasal 185 ayat (2) dan ayat (4) KUHAP. Jika satu keterangan saksi
berdiri sendiri dipaka i sebagai alat bukti untuk suatu keadaan atau suatu
unsur delik. Pada Pasal 185 ayat (4) KUHAP mengatakan bahwa:
Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang
sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang
lainnya sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu
kejadian atau keadaan tertentu.
c.
Hak dan Kewajiban Saksi
Hak dan kewajiban saksi merupakan salah satu contoh
hubungan timbal balik negara dan masyarakat, yang mana hak-hak
masyarakat pada umumnya maupun pada masyarakat yang bertindak
sebagai saksi, harus dilindungi oleh negara. Dalam proses persidangan
27
pidana, pemenuhan hak saksi oleh negara merupakan satu hal yang wajib
dan apabila saksi merasa bila hak-haknya telah terpenuhi, maka secara
tidak langsung akan berdampak positif bagi pelaksanaan kewajibannya di
dalam proses persidangan. 29
Perlindungan terhadap skasi dan korban sebagaimana diatur
dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 bertujuan memberikan
rasa aman kepada saksi dan korban dalam memberikan keterangan dalam
proses peradilan, sedangkan asas yang dianut oleh undang-undang
tersebut adalah penghargaan atas harkat dan martabat manusia; rasa
aman; keadilan; tidak diskriminatif dan kepastian hukum.30
Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan mengenai hak-hak sebagai
saksi (termasuk korban), yaitu:
(1) Seorang Saksi dan Korban berhak:
a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan
harta bendanya serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya;
b. Ikut serta dalam proses memilih dan mementukan bentuk
perlindungan dan dukungan keamanan;
c. Memberikan keterangan tanpa tekanan;
d. Mendapat pene rjemah;
e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus;
g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan;
h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. Mendapatkan identitas baru;
j. Mendapatkan tempat kediaman baru;
29
Runtuwene, Oktavianus Garry. 2012. Hak dan Kewajiban Yang Mengikat
Terhadap Saksi di Dalam Praktik Persidangan Pidana. Lex Crimen vol I No. 4 OktoberDesember2012.
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/907 (diakses
pada tanggal 5 Mei 2014 pukul 12:46 WIB).
30
Hibnu Nugroho, 2010, Op.Cit., Hal 83.
28
k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan
kebutuhan;
l. Mendapat nasihat hukum;dan/atau
m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu
perlindungan berakhir.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi
dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai
dengan keputusan LPSK.
Pada masa lalu, jauh sebelum terbitnya Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, seorang
ahli mengemukakan beberapa hak dari saksi (korban), yaitu sebagai
berikut:
a. Si korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya,
sesuai dengan kemampuan memberi kompensasi si pembuat korban
dan taraf keterlibatan/partisispasi/peranan si korban dalam terjadinya
kejahatan, delinkuensi, dan penyimpangan tersebut.
b. Berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban
(tidak mau diberi kompensasi karena tidak memerlukannya).
c. Berhak mendapatkan kompensasi untuk ahli warisnya bila si korban
meninggal dunia karena tindakan tersebut.
d. Berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi.
e. Berhak mendapat kembali hak miliknya.
f. Berhak menolak menjadi saksi bila hal ini akan membahayakan
dirinya.
g. Berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat
korban bila melapor menjadi saksi.
h. Berhak mendapatkan bantuan penasihat hukum.
29
i.
Berhak menggunakan upaya hukum (recht middelen).31
Bentuk perlindungan hukum lainnya yang diberikan kepada
saksi selain yang dirumuskan sebagai hak-hak saksi, antara lain 32
memberikan kesaksian di luar pengadilan. Saksi dan/atau korban yang
merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas
persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di
pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa. Saksi dan/atau
korban sebagimana dimaksud di atas dapat memberikan kesaksian secara
tertulis yang disampaikan dihadapan pejabat yang berwenang dan
membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang
kesaksian tersebut. Saksi dan/atau korban tersebut di atas juga dapat pula
didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan
didampingi oleh pejabat yang berwenang. Ketentuan seperti ini diatur
dalam Pasal 9 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 13
Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Keseimbangan dari hak yang melekat terdapat kewajibankewajiban yang harus ditunaikan oleh saksi (maupun korban), yaitu
sebagai berikut:
a. Tidak sendiri membuat korban dengan mengadakan pembalasan (main
hakim sendiri).
b. Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah perbuatan, dan korban
lebih banyak lagi.
31
Bambang Waluyo,2012. Viktimologi Perlindungan Korban&Saksi. Jakarta: Sinar
Grafika, Hal 43.
32
Muchamad Iksan, 2012, Op.Cit., Hal 164.
30
c. Mencegah kehancuran si pembuat korban baik oleh diri sendiri
maupun oleh orang lain.
d. Ikut serta membina pembuat korban.
e. Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban
lagi.
f. Tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan
pembuat korban.
g. Memberi
kesempatan
pada
pembuat
korban
untuk
memberi
kompensasi pada pihak korban sesuai dengan kemampuan (mencicil
bertahap/imbalan jasa).
h. Menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada
jaminan33.
Menambah hal yang telah disebut, saksi dan korban juga
dilindungi hak-haknya, antara lain sebagai berikut:
1. Mengajukan keberatan atas penghentian penyidikan atau penuntutan
(praperadilan). Korban sebagai pihak ketiga yang berkepentingan.
Pasal 80 KUHAP berbunyi:
permintaan untuk memeriksa sah tidaknya suatu penghentian
penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau
penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
2. Mengizinkan atau tidak mengizinkan dari keluarga korban atas
permintaan penyidik melakukan otopsi korban. Pasal 134 KUHAP,
menyatakan:
33
Bambang Waluyo, 2012, Op.Cit., Hal 43.
31
a) Dalam hal sangat diperlukan untuk keperluan pembuktian bedah
mayat
tidak
mungkin
lagi
dihindari,
penyidik
wajib
memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban.
b) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan
dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu
dilakukannya pembedahan tersebut.
c) Apabila waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga
atau pihak yang perlu diberitahukan tid ak ditemukan, penyidik
segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam
dalam Pasal 133 ayat (2) dan Pasal 134 ayat (1) undang-undang
ini.
3. Korban sebagai saksi dapat mengundurkan diri untuk memberi
kesaksian (vide Pasal 168 KUHAP).34
Seiring dengan adanya hak-hak yang melekat pada saksi, tidak
luput pula dari kewajiban-kewajiban yang ada dan harus dipenuhi oleh
setiap orang yang akan menjadi saksi dalam sebuah proses
persidangan pidana, agar dapat terciptanya keseimbangan dalam
proses hukum khususnya hukum acara pidana ini, berikut telah
diuraikan kewajiban saksi sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 30
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi
dan Korban adalah sebagai berikut:
(1) Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau Korban
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi dan/atau Korban
menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat ketentuan
perlindungan Saksi dan Korban.
34
Bambang Waluyo, 2012, , Op.Cit, Hal 60.
32
(2) Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan
perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana dima ksud pada ayat
(1) memuat:
a. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian
dalam proses peradilan;
b. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang
berkenaan dengan keselamatannya;
c. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan
cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK,
selama ia berada dalam perlindungan LPSK; dan
d. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK.
Bila antara hak dan kewajiban sebagai saksi telah seimbang
dan selaras maka telah terpenuhinya sistem peradilan pidana yang
serasi dan memberikan pengayoman bagi masyarkat.
d. Saksi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP)
sebagai ketentuan pokok yang mengatur hukum acara pidana yang
bersifat umum (lex generalis) berlaku bagi semua tindak pidana
kecuali yang mnegatur secara menyimpang/khusus (lex specialis)
dalam undang-undang khusus35, telah memberikan definisi atau
pengertian “saksi” dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP, yaitu:
Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
Definisi saksi di atas cukup luas atau umum, sehingga yang
termasuk dalam pengertian saksi biasa orang yang menjadi korban,
pelapor, pengadu, maupun orang lain yang dapat memberikan
keterangan tentang suatu perkara pidana baik di tingkat penyidikan,
penuntutan, maupun di muka sidang pengadilan. 36
35
Muchamad Iksan, 2012, Op.Cit., Hal 93.
Ibid, Muchamad Iksan, 2012, Hal 94.
36
33
Kebanyakan undang-undang pidana khusus yang dibuat
sesudah berlakunya KUHAP tidak memberikan definisi atau
pengertian saksi secara khusus, artinya, saksi yang dimaksud dalam
undang-undang tersebut mengacu pada pengertian saksi yang diatur
dalam KUHAP. Memang ada beberapa perundang-undangan yang
memberikan definis saksi, walaupun tidak ada perbedaan secara
mendasar dengan apa yang diatur dalam KUHAP.37
Di dalam Peraturan Pemerintah No.57 Tahun 2003 tentang
Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak
Pidana Pencucian Uang sebagai peraturan pelaksana an dari UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian
Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25
Tahun 2003, dalam Pasal 1 butir 3 memberikan pengertian saksi
sebagai berikut:
Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana
pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami
sendiri.
Definisi ini sama dengan KUHAP, hanya ada pengkhususan
untuk pemberian keterangan pada perkara pidana pencucian uang.
Berbeda dengan KUHAP yang tidak memberikan pengertian khusus
tentang “pelapor” 38 (sehingga masuk dalam pengertian saksi),
Undang-Undag Pencucian Uang dan Peraturan Pemerintahnya di atas
membedakan secara tegas antara saksi dengan pela por.39
37
Ibid, Hal 94.
Lukman Ali, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pelapor adalah orang yang
melaporkan). Jakarta: Balai Pustaka. Hal 566.
39
Muchamad Iksan, 2012, Op.Cit., Hal 95.
38
34
Pasal 1 butir 2 PP Nomor 57 Tahun 2003 menyebutkan:
Pelapor adalah setiap orang yang:
a. karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan
menyampaikan laporan kepada PPATK tentang transaksi keuangan
mencurigakan atau transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai
sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang; atau
b. secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya
dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagimana
dimaksud dalam Undang-undang.
Dengan adanya pembedaan antara saks i dan pelapor ini,
apakah berarti dalam perkara pencucian uang pelapor itu bukan saksi ?
Pertanyaan dan penegasan ini penting karena berkaitan dengan hakhak saksi yang dijamin oleh KUHAP maupun perturan perundangundangan lainnya. Jika pelapor itu bukan saksi, maka mestinya ia
tidak memperoleh hak-hak perlindungan sebagai saksi. Ia hanya
memperoleh perlindungan sebatas yang diberikan undang-undang
terhadap pelapor.
Pelapor pada hakikatnya adalah saksi, akan tetapi secara
formal tidak memberikan kesaksian di persidangan. Perlindungan
hukum dalam undang-undang ini lebih ditujukan terhadap pelapor
sebagaimana di atas. Ketentuan yang demikian adalah janggal, ka rena
justru saksi yang memberikan kesaksian di muka penyidik atau hakim
tidak diatur secara eksplisit perlindungannya.40
Belakangan
sebagaimana
diatur
pengertian
dalam
dan
KUHAP
ruang
dan
lingkup
beberapa
“Saksi”
peraturan
perundang-undangan dimaknai “hanya” orang yang mendengar,
40
Ibid, Hal 96.
35
melihat, dan mengalami sendiri suatu perbuatan pidana, dipandang
banyak merugikan tersangka dan terdakwa, sehingga diajukan yudicial
review ke Mahkamah Agung. Makhamah Agung selanjutnya melalui
Keputusan No.65/PUU-VIII/2010 memberikan makna tambahan
menjadi saksi adalah “Orang yang dapat memberikan keterangan
dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu perkara
pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri dan ia alami sendiri”.
Dengan demikian, maka dalam setiap ketentuan yang mengatur
tentang pengertian (ruang lingkup) saksi, maka harus dibaca dan
dimaknai dengan tambahan kata ... “tidak selalu” ... sebagimana
putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, walaupun perundangundangan tersebut secara formal belum diamandemen. Walaupun
sepertinya sepele, tapi peruba han ini telah memberikan kewajiban
hukum bagi aparat penegak hukum untuk memeriksa saksi a de
charge yang biasanya memperkuat alibi tersangka atau terdakwa. Di
sisi lain, hal ini merupakan angin segar bentuk perlindungan baru bagi
tersangka dan terdakwa. 41
Dalam konteks sistem peradilan pidana, secara yuridis, saksi
adalah orang yang dapat memeberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, sedangkan
secara sosiologis, pengertian saksi sering dipahami meliputi juga
“ahli”, maka populer dengan istilah “saksi ahli”. Akan tetapi secara
yuridis, antara “saksi” dan “(saksi) ahli” adalah berbeda, sehingga di
41
Ibid, Hal 98.
36
dalam Pasal 184 KUHAP dibedakan antara “keterangan saksi” dan
“keterangan ahli” sebagai dua alat bukti yang berbeda. Keterangan
saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP adalah:
Salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keteranagan
dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari
pengetahuannya itu.
Sementara keterangan ahli menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP
adalah:
Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian
khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu
perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan.
Dari rumusan di atas diketahui bahwa saksi bisa orang yang
melihat, mendengar, atau orang yang mengalami tindak pidana. Jadi
salah satu saksi yang sangat potensial adalah korban tindak pidana itu,
sedangkan or ang yang mendengar dari orang yang mendengar tindak
pidana atau yang populer dengan adagium testimonium de auditu
tidak dapat menjadi saksi dalam perkara pidana. 42
Dalam praktik hukum acara pidana, saksi dibedakan menjadi
beberapa macam, yaitu:
a.
b.
c.
d.
e.
42
Saksi korban;
Saksi makhota;
Saksi verbalisan;
Saksi a charge;43
Saksi a de charge.44
Ibid, Hal 99.
Saksi A Charge adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan diajukan oleh
penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya yang memberatkan terdakwa.
Darwan Prinst, 2002. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan. Hal 142.
43
37
Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim
harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan (Pasal 185 ayat (6)
KUHAP):
1) Persesuain antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain;
2) Persesuain antara keterangan saksi dengan alat bkti yang sah
lainnya;
3) Alasan yang mungkin dipergunakan saksi untuk memberikan
keterangan yang tertentu;
4) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.45
Peranan ahli atau saksi ahli dalam perkara pidana juga sangat
penting, sehingga produk dari ahli yang disebut dengan keterangan
ahli juga menjadi salah satu alat bukti yang sah menurut Pasal 184
KUHAP.46
e. Saksi Menurut Undang -Undang Nomor 13 Tahun 2006
tentang Perlindungan Saksi dan Korban
Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2006
tentang
Perlindungan Saksi dan Korban sebagai produk hukum terbaru yang
secara khusus mengatur tentang perlindungan saksi dan korban,
memberikan pengertian saksi dan korban, akan tetapi tidak
memberikan pengertian tentang pelapor. Pengertian saksi menurut
Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban adalah:
Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang
44
Saksi A De Charge adalah saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum,
terdakw a, atau penasihat hukum yang sifatnya meringankan terdakwa. Ibid, hal 142.
45
Muchamad Iksan, 2012, Op.Cit., Hal 101.
46
Ibid, Hal 101.
38
pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia
lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri.
Sementara korban menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban
adalah:
Seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau
kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana.
Jadi, definisi saksi yang dipakai oleh UUPSK mengikuti
(cakupan) definisi yang dibuat da lam Peraturan Pemerintah Nomor 2
Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan
Saksi Pelanggaran HAM yang Berat maupun Peraturan Pemerintah
Nomor 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap
Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak
Pidana Terorisme, meliputi juga yang memberikan keterangan pada
(mulai) tahap penyelidikan, sedangkan menurut KUHAP, hanya
dimulai pada tahap penyidikan. 47
Mengingat UUPSK ini merupakan undang-undang yang
bersifat umum (The Umbrella Act) yang mengatur tentang saksi dan
korban, maka harus dipahami bahwa ketentuan dalam undang-undang
ini berlaku untuk saksi dan korban semua tindak pidana, walaupun
dalam peraturan peralihan Pasal 44 dikatakan bahwa pada saat
undang-undang ini diundangkan, peraturan perundang-undangan yang
mengatur mengenai perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban
47
Ibid, Hal 97.
39
dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan
undang-undang ini. 48
3.Video Conference
a. Pengertian Video Conference
Teknologi, meski pada awalnya tiada bersangkut paut dengan
ilmu-ilmu dasar dalam perkembangannya tak dapat melepaskan diri
dari
ilmu-ilmu
tersebut,
misalnya,
perkembangan
teknologi
telekomunikasi dan teknologi komputer yang menghasilkan internet
tak dapat dilepaskan dari perkembangan yang yang terjadi pada
bidang mikro elektronika, material dan perangkat lunak.
49
Kehadiran internet membawa dunia seakan-akan menjadi
selebar daun kelor. Pernyataan ini lebih ditunjukan kepada perolehan
informasi yang cepat sehingga kejadian di Eropa dapat diketahui oleh
orang Indonesia dalam hitungan detik. Semua itu disebabkan karena
kemajuan teknologi informasi, khususnya internet. 50
Informasi dalam perkembangannya berkembang menjadi
beberapa bentuk, salah satu bentuk dari berkembangnya informasi
tersebut salah satunya adalah video conference. Video conference
adalah telekomunikasi dengan menggunakan audio dan video
sehingga terjadi pertemuan di tempat yang berbeda-beda. Ini bisa
berupa antara dua lokasi yang berbeda ( point to point ) atau
48
Ibid, Hal 97.
Agus Raharjo, 2007. Hukum Dan Teknologi Suatu Tinjauan Filosofis dan Kritik
Terhadap Positivisme Hukum . Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Hal 1.
50
Ibid Hal 77.
49
40
mengikutsertakan beberapa lokasi sekaligus di dalam satu ruangan
konferensi ( multi point ).51
Cara komunikasi ini merupakan kesempatan bagi para
pengguna untuk saling melihat dan mendengar serta serta memiliki
banyak kelebihan dibandingkan dengan konferensi audio saja. Arti
lain dari video conference adalah teknologi komunikasi menggunakan
video dan suara untuk menghubungkan pengguna yang berjauhan
melalui internet, dimana mereka berada di ruangan yang sama yang
saling mengintegrasi. Setiap pengguna komputer/user membutuhkan
bandwidth,
mikrofon,
webcam
dan
koneksi
internet
untuk
berpartisipasi dalam video conference. Anggota dari kedua belah
pihak dapat melihat dan mendengar. Satu sama lain secara real time,
dan memungkinkan percakapan secara alami. Video conference secara
luas
digunakan
multinasional
disemua
sektor
menggunakan video
industri.
Banyak
conference
perusahaan
sebagai
sarana
berkomunikasi dengan mitra mereka di negara yang berbeda, dan
untuk usaha kecil, mereka menggunakan video conference untuk
memungkinkan pelanggan dan pemasok dari berbagai negara.
Peralatan yang diperlukan untuk video conference mudah diguna kan.
OSD akan menampilkan nomor, kemudian selanjutnya hal yang perlu
dilakukan adalah menelepon nomor atau pilih dari buku alamat.
Sistem video conferencing yang modern, tidak hanya untuk
berkomunikasi melalui video dan suara, tetapi memungkinkan
51
Wikipedia, Pengertian Video Conference (internet), 2013. Tersedia:
http://en.wikipedia.org/wiki (di akses pada tanggal 10 Januari 2014 pukul 18:00 WIB).
41
pengguna aplikasi untuk saling berbagi dokumen, berbagi aplikasi,
berbagi gambar, co-browsing serta desktop sharing. Semua fasilitas
ini akan ditemukan jika menggunakan perangkat lunak VMEET
produk dari Softfoundry.
b.Sejarah Video Conference
Video Conference adalah komunikasi secara langsung antara
dua orang atau lebih pada tempat yang berbeda dengan menggunakan
suara atau video. Ide awal untuk menggabungkan suara dan video
untuk komunikasi pertama kali dilakukan oleh perusahaan telepon
AT&T pada tahun 1956, perus ahaan telepon yang didirikan oleh
penemu telepon yaitu Alexander Graham Bell. Video conference
pertama kali diperkenalkan pada publik oleh perusahaan telepon
AT&T pada tahun 1964 pada ajang World’s Fair di New York,
Amerika Serikat. Pertama kali video conference diperkenalkan tidak
ada orang yang menduga bahwa akan berkembang sangat pesat hingga
dapat menggantikan telepon standar.
Tahun
1970
AT&T
mengkomersilkan
layanan video
conference yang mereka namakan Picturephone. Picturephone belum
dapat me ngirimkan video, akan tetapi mengirimkan gambar-gambar
yang masih kecil, layanan ini kurang diterima oleh masyarakat, karena
selain kemampuan yang masih sangat kurang juga harga yang
ditawarkan masih sangat mahal sekitar US $ 160. Ericsson pada tahun
1971 mendemonstrasikan video call pertama mereka. Perusahaan lain
yang melihat keberhasilan Ericsson mulai mengembangkan teknologi
42
video conference seperti Network Video Protocol (NVP) pada tahun
1976. Pada tahun yang sama perusahaan Nippon Telegraph and
Telephone melakukan video conferencing antara Tokyo dan Osaka.
Tahun 1981 dikembangkan juga Packet Video Protocol
(PVP). IBM di Jepang pada tahun 1982 melakukan video conference
pada kecepatan 48000 bps yang terhubung ke Amerika untuk
melakukan rapat mingguan mereka. Pada tahun yamg sama
Compression Labs memperkenalkan sistem layanan publik mereka
seharga US $ 250,000 dengan harga per jam penggunaan US $ 1,000.
Sistem yang dimiliki mereka sangat besar dan membutuhkan daya
listrik yang besar, akan tetapi hanya mereka satu-satunya layanan
video conference yang ada di pasaran saat itu. Pada tahun 1986
diluncurkan layanan video conference baru yaitu PictureTel’s dengan
harga sistem yang jauh lebih murah yaitu US $ 80,000 dengan harga
per jamnya US $ 100. Pada saat kedua sistem komersial yang ada saat
itu, dikembangkan juga layanan video conference yang dikembangkan
khusus untuk perusahaan, organisasi dan untuk militer. Tahun 1984,
Datapoint menggunakan sistem Datapoint MINX pada kampus di
Texas dan menyediakan layanan video conference untuk kalangan
militer. Akhir tahun 1980 Mitsubishi menjual produk mereka yang
dinamakan still-picture phone yang merupakan suatu kegagalan, yang
mana dua tahun setelah memperkenalkan produk, mereka baru
membuat jalur komunikasi.
43
Tahun 1991 sistem video conference untuk komputer
diperkenalkan oleh IBM, software yang dinamakan PicTel dengan
harga US $ 20,000. Sistem tersebut masih menggunakan warna hitam
putih dengan harga per jamnya yaitu US $ 30, hal tersebut merupakan
harga termurah saat itu. DARTnet membuat sejarah dengan
melakukan video conferencing antara negara Amerika dengan Inggris.
DARTnet hingga saat ini dikenal dengan nama CAIRN yang hingga
saat
ini
masih
melayani
layanan
video
conference
dan
menghubungkan lusinan institusi. Salah satu yang paling terkenal
dalam sejarah video conference adalah software CU-SeeMe yang
dikembangkan oleh MacIntosh pada tahun 1992, versi pertama dari
software ini tidak dapat mengirimkan suara, akan tetapi merupakan
sistem video conference terbaik yang dikembangkan pada saat itu.
AT&T yang sama memperkenalkan video phone seharga US $ 1,500.
Tahun itu juga dikenalkan Mbone pada bulan Juli. Tahun 1992
merupakan tahun paling berkembang bagi bisnis video conference ini.
Pada tahun 1993 VocalChat diperkenalkan oleh Novell akan tetapi
tidak bertahan lama. MacIntosh mengembangkan software mereka
yaitu CU-SeeMe pada tahun 1994. Mereka telah berhasil membuat
video conference yang mendukung audio . Melihat keterbatasan
software
hanya
pada
sistem
operasi MacIntosh
saja,
maka
dikembangkan CU-SeeMe yang mendukung untuk Windows, hal
tersebut merupakan sistem operasi terbesar saat itu. Pada bulan April
tahun 1994, CU-SeeMe untuk Windows berhasil dibuat, akan tetapi
seperti perkembangan awal pada MacIntosh, pada Windows tidak
44
mendukung audio pada awalnya. Pada bulan Agustus tahun 1995
diluncurkan CU-SeeMe v0.66b1 yang mendukung audio dan video.
Microsoft pada tahun 1996 mengembangkan software
NetMeeting yang memiliki kemiripan dengan PictureTel, akan tetapi
belum mendukung video. Bulan Desember pada tahun yang sama
diperkenalkan Microsoft NetMeeting v2.0b2 dengan kemapuan
mendukung video. Pada tahun yang sama, VocalTec’s Internet Phone
v4.0 untuk Windows diluncurkan. Melihat perkembangan yang
semakin maju, maka Badan International Telecommunications Union
(ITU) membuat suatu standar video conference pada tahun 1996,
mereka membuat standar H.263 yang mengurangi penggunaan jalur
data pada komunikasi video conference. Standar lain yang dibuat yaitu
H.323 untuk komunikasi paket data multimedia. Standar -standar lain
mulai dibuat dan dikembangkan pada tahun 1998 hingga kini.
Pengembang software dari Universitas Cornell membuat CU-SeeMe
v1.0 pada tahun 1998, yang mana telah mendukung sistem operasi
Windows dan serta video conference yang ada telah mendukung video
berwarna. Standart Moving Picture Experts Group Compression
Standart Version 4 (MPEG-4) dibuat pada tahun 1999 oleh Moving
Picture Experts Group untuk kompresi video dan suara dan menjadi
standar internasional untuk konten multimedia. Pada bulan Pebruari
tahun 1999, MMUSIC membuat Session Inituation Protocol (SIP)
yang mana SIP merupakan protokol yang memiliki beberapa
kelebihan dibandingkan H.323. Pada tahun yang sama NetMeeting
45
v3.0b diluncurkan oleh Microsoft yang telah mendukung standar ITU
yaitu H.323. Di tahun yang sama juga diluncurkan iV isit v2.3b5 yang
telah mendukung untuk Windows dan MacIntosh diikuti oleh Media
Gateway Control Protocol (MGCP), version 1. Pada bulan Desember
1999 Microsoft meluncurkan NetMeeting v3.01.
Pada tahun 2001 Microsoft membuat Windows XP messenger
yang telah mendukung SIP Protocol. Pada tahun yang sama yang
mana video conference mulai digunakan pada bidang lain yaitu
kedokteran. Video conference digunakan untuk melakukan operasi di
Amerika. Dokter menggunakan robot yang ada di tempat lain dan
melakukan operasi dengan melihat melaui vodeo. Pada bulan Oktober
2001, video conference juga digunakan pada bidang jurnalis,
wartawan mulai menggunakan satelit dan melakukan video conference
untuk melapor berita perang langsung dari Afganistan. Joint Video
Team yang didirikan pada bulan Desember tahun 2001 menyelesaikan
riset mereka yang membuat standar baru ITU-T yaitu H.264 pada
Desember 2002. Protokol baru ini menstandarisasikan teknologi
kompresi video MPEG-4 dan ITU-T untuk beberapa bidang. Pada
Maret 2003, teknologi baru siap diterapkan pada lingkungan kampus.
Video conference digunakan untuk sistem pembelajaran offclass,
yang mana mahasiswa tidak perlu datang ke kampus untuk mengikuti
kuliah dan melakukan pembelajaran melalui video conference, hal ini
dapat memungkinkan karena semakin bagusnya kualitas video
streaming dan berkurangnya delay pada video yang dikirimkan.
46
Perusaha an seperti Vbrick menyediakan sistem MPEG-4 yang
digunakan pada kampus-kampus. Pada tahun yang sama, software
video conference untuk kalangan individu mulai bermunculan dan
mulai
banyak
digunakan.
Perusahaan-perusahaan
baru
mulai
memperbaiki kemapuan dan performa dari video conference. Pada
bulan Maret 2004 Linux membuat GnomeMeeting yang menggunakan
protocol H.323 yang dapat mendukung video conference dengan
NetMeeting. April 2004 Applied Global Tecnologies mengembangkan
kamera yang dapat diaktifkan melalui suara sehingga dapat digunakan
untuk mencari pembicara yang aktif dalam conference.
Perkembangan yang konstan dalam sistem video conference
akan terus berkembang dan menjadi bagian yang sangat penting dalam
bisnis dan kehidupan sehari-hari. Perkembangan yang baru terus
dibuat dan sistem menjadi lebih murah dalam harga, tetapi harus
diperhatikan pilihan dalam menggunakan sistem yang ada sesuai
dengan tipe network yang digunakan, kebutuhan sistem dan kebutuhan
conference yang digunakan. 52
Perkembangan teknologi komunikasi membawa perubahan
pada proses penyampaian informasi, tak terkecuali dalam bidang
hukum sekalipun. Dimulai pada tahun 1980-an, jaringan pengiriman
telepon digital semakin mungkin, seperti Intergrated Sevices Digital
Networks atau ISDN, meyakinkan angka bit minimum (biasanya 128
Kbps) untuk pengiriman kompresi audio dan video. Sistem terdedikasi
52
http://www.yumpu.com/id/document/view/7874873/7 -bab-landasan-teori-21sejarah-video-conference-video (diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 20:08 WIB).
47
pertama mulai muncul di pasar sebagai perluasan jaringan ISDN
diseluruh dunia. Pada tahun 1990-an, sistem telekonferensi video
berkembang dengan cepat dari peralatan pribadi sangat mahal,
perangkat lunak dan persyaratan jaringan untuk teknologi berbasis
standar yang tersedia untuk masyarakat umum dengan biaya wajar.53
Tidak seperti e -mail, video conference ini adalah aplikasi real
time yang harus serempak pada saat koneksi end to end, dan tidak
dapat
mentolerir adanya paket yang hilang, tertunda, atau tidak
berurutan.54
Setelah terciptanya keunggulan-keunggulan yang ada pada
video conference tersebut, akhirnya pada 1990-an, Internet Protocol
atau IP berbasis konferensi video menjadi mungkin dan teknologi
kompresi
video
lebih
efisien
telah
dikembangkan
sehingga
memungkinkan dekstop atau komputer pribadi berbasis konferensi
video. Pada 1992, CU-SeeMe dikembangkan di Cornell oleh Tim
Dorcey et al., IVS dirancang di INRIA, telekonferensi video tiba ke
masyarakat dan layanan gratis, web plugin dan perangkat lunak,
seperti NetMeeting, MSN Messenger, Yahoo Messenger, SightSpeed,
Skype dan lain-lain membawa kemurahan, meskipun kualitas
rendah.55
53
Wikipedia,
Konferensi
Video
(internet),
2009.
Tersedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_video.html (diaskes pada tanggal 27 April 2014
pukul 16:07 WIB).
54
http://www.systempro.asis/news/98/Pertimbangan-untuk-membeli-videoconference (diakses pada tanggal 8 Juni 2014 pukul 17:22 WIB).
55
Konferensi_video (internet), Loc. Cit.
48
Hal
tersebut
yang
mencetuskan
lahirnya
teknologi
telekomunikasi yang interaktif yaitu video conference.
c. Tujuan dan Fungsi Penggunaan Video Conference
Video conference adalah suatu bentuk komunikasi, yang
sangat berguna karena menghemat waktu dan biaya perjalanan bagi
orang-orang. Video conference antara dua orang, yang biasa disebut
sebagai “point-to-point” dan komunikasi antara banyak orang biasa
disebut “multipoint” atau konferensi “multiparty”. Selain audio dan
transmisi video antara oran-orang, konferensi video juga digunakan
untuk berbagi dokumen, komputer akan menampilkan informasi data.
Dokumen elektronik lebih diperjelas lagi dalam Pasal 1 ayat (4)
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, yaitu:
Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang
dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk
analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat
dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem
Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode
Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.
Yang dimaksud dengan Komputer berdasarkan Pasal 1 ayat
(14) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik, adalah:
Alat untuk memproses data elektr onik, magnetik, optik, atau
sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan
penyimpanan.
49
Sementara yang dimaksud dengan Informasi Elektronik
berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008
tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, adalah:
Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data
elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas, pada tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat
elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya,
huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu memahaminya.
Komunikasi “multiparty” adalah bentuk paling kompleks
dari konferensi video. Dalam hal ini terdapat lebih dari dua partisipan
yang berpartisipasi dalam konferensi, dan semua akan saling melihat
dan mendengar. Penggunaan video conference dalam pertemuan
sering membuat waktu terasa lebih pendek, ini biasa disebabkan
karena berkurangnya waktu bepergian. Pertemuan manual, biasanya
yang bisa menghabiskan waktu selama lima jam, terkadang waktu
habis di perjalanan.
Sekarang hanya memerlukan waktu satu atau dua jam,
dengan menggunakan konferensi video. Akan dapat berkomunika si
lebih teratur dengan orang-orang dari daerah lain atau negara lain,
yang biasanya akan membutuhkan biaya yang mahal. Telekonferen
merupakan salah satu alat bukti dari perkembangan teknologi yang
tidak dapat dipungkiri kehadirannya. Dengan media ini kita dapat
berkomunikasi secara audio visual dengan seseorang tentang adanya
50
kendala. Hal ini ini dikerenakan telekonferen dapat digunakan dalam
keadaan apapun tanpa mengenal batas ruang, jarak dan waktu.56
Berikut ini adalah fungsi penggunaan video conference
untuk berbagai keperluan, antara lain:
a.
Instan face-to -face dari mana saja di dunia.
b.
Melakukan wawancara/interview.
c.
Beberapa layanan konsultasi.
d.
Tujuan pembelajaran MNEs.
e.
Pertemuan seluruh dunia untuk penelitian, ilmu pengetahuan.
f.
Memecahkan masalah real time yang mungkin timbul dalam
organisasi.
g.
Konferensi ounline secara bersamaan keberbagai universitas. 57
Terlebih lagi video conference juga sangat berguna dalam:
a.
Menghemat waktu dengan mengurangi waktu perjalanan.
b.
Menurunkan biaya, karena tidak perlu secara fisik berpindah
dari satu tempat ke tempat lain.
56
WIB).
c.
Lebih cepat dan lebih baik dalam pengambilan keputusan.
d.
Informasi pengetahuan dapat diperoleh dengan cepat.
e.
Meningkatkan produktivitas. 58
http://Portal-Garuda.org/download (diakses pada tanggal 8Juni 2014 pukul 17:46
57
Google, Apa Itu Video Conference (internet), 2013. Tersedia: www.apa-itu-videoconference.html (diakses pada tanggal 5 Mei 2014 pukul 19:08 WIB).
58
Ibid.
51
d.Perkara -perkara
yang
Kesaksiannya
Menggunakan
Video
Conference
Video conference merupakan salah satu bukti dari
perkembangan teknologi yang tidak dapat dipungkiri kehadirannya.
Melalui media ini kita dapat berkomunikasi secara audio visual
dengan seseorang tanpa adanya kendala. Hal ini dikarenakan video
conference dapat digunakan dalam keadaan apapun tanpa mengenal
batas ruang, jarak dan waktu. 59
Kehadiran video conference memberikan kemudahan bagi
penggunanya disemua bidang, tak terkecuali bidang hukum. Saat ini
video conference telah banyak dipergunakan para penegak hukum
untuk mendengarkan keterangan saksi yang berhalangan hadir di
ruang persidangan karena suatu hal tertentu. Video conference dirasa
memberikan banyak keuntungan, dilihat dari segi keamanan seorang
saksi
terlebih
lagi
penggunaan
video
conference
dapat
mempengaruhi keterangan saksi yang apabila dihadirkan langsung di
ruang persidangan dapat mengancam keselamatan saksi tersebut dan
berpengaruh pada keterangan yang diberikannya. Penerapan pertama
kali video conference dalam persidangan di Indonesia dilakukan
tahun 2002. Ketika itu mantan presiden BJ Habibie memberikan
kesaksian dari Hamburg, Jerman untuk persidangan kasus korupsi
59
Portal-Garuda.org/download ( internet), Loc.Cit..
52
pengadaan beras di Bulog dengan terdakwa Rahadi Ramelan. Sidang
itu diselenggarakan terpisah, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. 60
Cara bersaksi seperti itu debatable mengingat dalam
pengertian kesaksian di persidangan, seharusnya saksi hadir secara
fisik (syarat material). Bila saksi tidak hadir langsung dan hanya
memberikan keterangan secara tertulis, maka pembuktiannya
menjadi “tidak bernilai” karena tidak memenuhi syarat formal
sebagaimana diatur dalam KUHAP.61
Demikian pula kesaksian hasil video conference bisa
mengakibatkan nilai keterangan saksi berubah hanya menjadi alat
bukti petunjuk, atau bahkan sebatas keterangan tambahan, tidak
sebagai keterangan pokok, dan hal itu tentu tidak diharapkan. 62
Berikut ini merupakan beberapa kasus atau perkara di
Indonesia
yang
dalam
mendengarkan
keterangan
saksinya
menggunakan sarana video conference :
1.
Kasus Bom Bali
Perlu kita ketahui, video conference pernah dilakukan
dalam perkara peradilan kasus bom Bali dengan terdakwa Ali
Gufron alias Muhklas diselenggarakan dengan media video
conference dari kesaksian wan min bin wan dari Malaaysia. Alasan
digunakan video conference pada kasus tersebut bersifat praktis, hal
ini dikarenakan saksi tidak perlu datang ke Bali hanya untuk
60
Nugroho, Hibnu, Nilai Pembuktian Telekonferensi (internet), 2013.Tersedia:
Hibnu Nugroho_Gagasan Hukum_Hal 2.html (diakses pada tanggal 7 Juli 2014 pukul 20:18
WIB).
61
Ibid.
62
Ibid.
53
memberikan kesaksian, sehingga dapat menghemat waktu dan
memperhemat biaya. Pihak yang kontra terhadap hadirnya media
video conference tersebut, menyatakan bahwa dengan memberi
kesaksian melalui media video conference dianggap tidak sah karena
tidak hadir pada persidangan yang sebenarnya dan ketentuan
mengenai media tersebut tidak diatur secara jelas dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 63
2.
Kasus Terorisme dengan Terdakwa Abu Bakar Ba’asyir
Saksi pada persidangan Ba’asyir menggunakan video
conference. Ada lima saksi dari Markas Komando Brimob. Menurut
Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Anton Bachrul Alam,
kesaksian melalui video conference dapat mengurangi tekanan pada
kelima orang saksi tersebut. Selain itu, kesaksian melalui fasilitas
modern tersebut diharapkan lebih efektif dan efisien. Sebelumnya,
jaksa mengajukan permohonan pemeriksaan ke -16 saksi Ba’asyir
dilakukan via video conference, pada 14 Maret 2011 di Kelapa Dua,
Depok, Jawa Barat. Jaksa beralasan bahwa pemeriksaan tanpa tatap
muka dengan terdakwa bisa menghindarkan saksi yang pada waktu
itu berstatus tersangka, dari kemungkinan ancaman dan tekanan. Ke16 saksi tersebut adalah Imron Baihaqi; Hariadi Usman; Abdul
Haris; Suranto; Luthfi alias Ubaid; Muhammad Ilham; Komarudin;
Hamid Agung Wibowo; Munasikin; Muji Haq; Andriansyah; Hendro
Sulta ni; Joko Purwanto; Muksin; Solahudin dan Joko Daryono.
63
Sulistyawati, Putu Elik, Pemanfaatan Telekonferen Sebagai Alat Bantu
Pembuktian Dalam Persidangan Pidana (internet), 2012 . Tersedia: http://ipi12364.pdf
(diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 05:53 WIB).
54
Hakim menetapkan ke-16 saksi akan diperiksa atau ditanya hanya
oleh jaksa saja. Adapun berdasarkan asas kesetaraan, hakim
mengijinkan salah seorang penasihat hukum untuk ikut mengawasi
jalannya
persidangan,
menemukan
adanya
namun
dalam ruangan
kejanggalan,
penasihat
terpisah.
Jika
hukum
bisa
melaporkannya pada majelis hakim, sedangkan dari pihak hakim,
hakim Maman dan salah seorang panitera pengganti untuk ikut
mengawasi dan me ncatat jalannya pemeriksaan secara video
conference.64
3.
Kasus Penembakan Cebongan, Yogyakarta
Sebanyak 10 dari 42 saksi (saksi warga sipil) kasus
pembunuhan tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas II
B, Cebongan,Sleman direkomendasikan tidak hadir secara langsung
untuk memberikan kesaksian pada persidangan kasus itu di Oditur
Militer, Yogyakarta. Rekomendasi tersebut disampaikan Ketua tim
psikologi yang telah melakukan pemeriksaan dan pendampingan
terhadap para saksi tersebut. Menurut Ketua Tim pemeriksaan saksi
kasus Cebongan yang juga Ketua Assosiasi Psikologi Forensik
Indonesia
(APSIFOR),
Yusti
Probowati,
10
saksi
yang
direkomendasikan tidak hadir langsung terdiri atas delapan warga
binaan (tahanan) dan dua petugas lapas. Ada beberapa sebab yang
menyebabkan ke -10 saksi tersebut tidak hadir langsung meski bisa
memberikan kesaksian secara langsung, yaitu trauma, kecemasan
64
http://LensaIndonesia.Keterangan-Lima-Saksi-Akan -Diperlihatkan-Lewat-VideoConference (diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 06:19 WIB).
55
dan ketakutan yang tinggi. Mereka mengalami gangguan klinis.
Kesepuluh saksi itu bisa melakukan kesaksian langsung terkait kasus
Cebongan melalui media video conference. Selain ke -10 saksi tadi,
ada satu saksi yang membutuhkan penanganan tersendiri saat
memberikan kesaksian. Satu saksi ini direkomendasikan tidak
memberikan kesaksian secara langsung baik di muka persidangan
maupun menggunakan peralatan lain. Sebab, dari hasil pemeriksaan
psikologi, satu saksi ini sering memberikan keterangan bias. Oleh
karena itu, dia butuh pendampingan petugas saat bersaksi, itu pun
harus menggunakan metode tertentu tanpa memberikan kesaksian
langsung. Dijelskan Yusti, pemeriksaan psikologi terhadap 42 saksi
kasus Cebongan telah dilakukan sejak tanggal 29 Mei 2013 hingga
15 Juni 2013 lalu. Pemeriksaan tersebut merupakan tahap pertama
dari tiga tahap pemeriksaan tim psikolog. Sebanyak 42 saksi yang
diperiksa ini terdiri atas 31 tahanan dan 11 petugas Lapas. Yusti juga
menjelaskan pemeriksaan saksi-saksi tersebut menggunakan metode
standard psikologi ditambah dengan wawncara serta test khusus
karena kasus ini spesifik. Dari hasil test itu, 34 saksi dirasa cukup
kompeten member ikan kesaksian, 7 saksi dinilai kurang kompeten
dan 1 saksi tidak kompeten. Dari 34 saksi yang cukup kompeten ini
hanya 31 saksi yang siap hadir langsung memberikan kesaksian di
persidangan. Itu artinya, kata Yusti, jumlah 10 saksi yang
direkomendasikan tidak hadir langsung di muka sidang bisa saja
bertambah menjelang sidang digelar, karena rasa takut dan
kecemasan bisa saja meningkat. Rekomendasi lain yang dihasilkan
56
tim psikologi ini adalah, 42 saksi masih membutuhkan penguatan
berupa pendampingan psikologi selama masa sidang. Namun dari
jumlah itu, 29 saksi diantaranya tidak melakukan intervensi
psikologi dan 13 diantaranya memerlukan psikotherapi.65
4. Kasus Penyelewengan Dana Non-budgeter Bulog
Persidangan Rahadi Ramelan, yang saat itu sebagai
terdakwa Mantan Kepala Bulog dalam kasus penyelewengan dana
non-budgeter Bulog yang pada waktu itu seorang saksinya adalah
Baharuddin Jusuf Habibie dalam kesakisannya dilakukan dengan
video conference. Kesaksian Baharuddin Jusuf Habibie, pada saat itu
sebagai Presiden Republik Indonesia saat dana sebesar Rp 63 Milyar
itu mengucur, amat diperlukan. Padahal Habibie tidak bisa datang ke
Indonesia, kerena menunggui isterinya, Hasri Ainun Habibie, yang
sedang sakit dan tengah dirawat di Jerman. Pada saat itu teknologi
yang digunakan diambil dari perusahaan telekominnikasi Malaysia
(Polycom), yang memiliki fasilitas Intergrated System Digital
Network (ISDN) dengan menggunakan serat optik sebagai sarana
pengiriman datanya. Biaya teknologi yang dikeluarkan sebesar US $
4690,00. Kira-kira setara dengan Rp 43 Juta. Pembiayaan mencakup
view station di dua titik, yaitu Hamburg dan Pengadilan Negeri
Jakarta Selatan, masing-masing menghabiskan dana US $ 530; video
on demand sebesar US $ 1485 dan sewa line sebesar US $ 429.
65
Republika, Saksi kasus Cebongan Direkomendasikan Bersaksi Via Video
Cnference
(internet),
2013.
Tersedia:
Republika.co.id.Saksi-Kasus -CebonganDirekomendasikan-Bersaksi-Via-Video-Conference (diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul
07:12 WIB).
57
Persidangan tersebut dilakukan pada tanggal 2 Juli 2002 selama dua
setengah jam yakni muali pukul 14:30 sampai dengan pukul 17:00
WIB.66
66
Latiefs.blogspot.com/2002_09_01_archive.html (diakses pada tanggal 6 Juli 2014
pukul 20:16 WIB).
58
BAB III
METODE PENELITIAN
A.
Metode Pendekatan
Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, maka penelitian ini
merupakan penelitian hukum (legal research.)67Adapun pengertian
mengenai penelitian hukum (legal research) adalah menemukan
kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai dengan norma
hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai
dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan (act) seseorang sesuai
dengan norma hukum (bukan hanya sesuai aturan) atau prinsip
hukum. 68
Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah
yuridis normatif (Normative Legal Research), yaitu penelitian yang
mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan
perundang-undangan (laws in book) atau hukum dikonsepkan sebagai
kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang
dianggap pantas69, selain pendekatan perundang-undangan digunakan
juga pendekatan kasus. Yang menjadi kajian pokok dalam pendekatan
kasus adalah
ratio decindedi, atau reasoning yaitu pertimbangan
67
Peter Mahmud Marzuki, 2013. Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Cetakan
Kedelapan. Jakarta: Kencana. Hal 56.
68
Ibid, Hal 47.
69
Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006.Pengantar Metode Penelitian Hukum.
Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hal 118.
59
pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan. 70
Merujuk pada
pendekatan tersebut, maka penelitian ini menggunakan:
1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach)
Pendekatan
perundang-undangan
adalah
pendekatan
yang
dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang
bersangkut paut dengan permasalahan hukum yang diteliti. 71 Untuk itu
harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifatsifat sebagai berikut:
a. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya
terkait antara satu dengan lain secara logis;
b. All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup
mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak
akan ada kekurangan hukum;
c. Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang
lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis. 72
2. Pendekatan Kasus (case approach)
Berbeda dengan penelitian sosial, pendekatan kasus (case
approach) dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari
penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam
praktik hukum. Terutama mengenai kasus -kasus yang telah diputus
sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara70
Soerjono Soekanto, 1986. Pengantar Penelitian Hukum . Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia, Hal 9.
71
Peter Mahmud Marzuki, 2013, 0p. Cit., Hal 93.
72
Johnny Ibrahim, 2005.Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing, Hal 303.
60
perkara yang menjadi fokus penelitian. Jelas kasus-kasus yang telah
terjadi bermakna empiris, namun dalam suatu penelitian normatif,
kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap
dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik
hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan
(input) dalam eksplansi hukum. 73
B.
Spesifikasi Penelitia n
Dalam penelitian ini spesifikasi penelitian yang digunakan
adalah preskriptif ,74 yaitu apa yang seharusnya merupakan esensial
dari penelitian hukum karena untuk hal itulah dilakukan penelitian
tersebut.
Dengan demikian, preskriptif yang diberikan bukan merupakan
suatu yang telah ada. Oleh karena itulah yang dihasilkan oleh
penelitian hukum sekalipun bukan asas hukum yang baru atau teori
baru, paling tidak argumentasi baru. Bartolak dari argumentasi baru
itulah diberikan preskriptif sehingga preskriptif tersebut bukan
merupakan suatu fantasi atau angan-angan kosong. 75
Kaitannya dengan penelitian yang Penulis lakukan yaitu
mengenai keterangan saksi yang diberikan melalui video conference
pada kasus yang terkadi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan,
Yogyakarta.
73
Ibid,, Hal 321.
Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Edisi Pertama Cetakan Ke-4,
Jakarta: Kencana, Hal 206.
75
Ibid, Hal 207.
74
61
C.
Sumber Bahan Hukum
Pada penelitian hukum normatif, data sekunder sebagai sumber
atau bahan informasi dapat berupa bahan hukum primer, bahan hukum
sekunder, dan bahan hukum tersier sebagai berikut:
1. Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, dan
terdiri dari norma (dasar) atau kaidah dasar, peraturan dasar, dan
peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer juga dapat
berupa
catatan-catatan
resmi
atau
risalah
dalam
pembuatan
perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. 76 Dalam penelitian
ini bahan hukum primer yang digunakan adalah:
a.
b.
c.
Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana
Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan
Saksi dan Korban.
Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronik.
2. Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan
penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti rancangan undangundang, hasil penelitian, dan hasil karya dari kalangan hukum.
Kaitannya dengan penelitian ini bahan hukum sekunder yang
digunakan adalah hasil penelitian dan hasil karya dari kalangan
hukum seperti literatur, jurnal, dan buletin ilmiah bidang hukum.
Bahan hukum sekunder ini juga dapat berupa semua publikasi tentang
hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan
76
Ibid, Hal 141.
62
hukum sekunder yang terutama adalah buku teks, karena buku teks
berisi mengenai prinsip-prinsip dasar Ilmu Hukum dan pandanganpandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi. 77
3. Bahan Hukum Tersier
Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan
petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder
seperti kamus hukum dan ensiklopedia. Kaitannya dengan penelitian
ini bahan hukum tersier yang digunakan meliputi Kamus Hukum dan
Kamus Besar Bahasa Indonesia.
D.
Metode Pengumpulan Bahan Hukum
Pengumpulan
data
merupakan
kegiatan
peneliti
dengan
melakukan penelusuran untuk mencari data yang relevan terhadap isue
yang dihadapi.78 Dalam penelitian ini, pengumpulan data sekunder
dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan. 79
Studi kepustakaan yang dilakukan juga berupa internet
browsing , termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal
surat kabar yang memberikan informasi bagi penulisan ini.
E.
Metode Penyajian Bahan Hukum
Dalam penelitian ini, data yang diperoleh disajikan dalam
bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis sebagai satu
kesatuan yang utuh. Dalam penelitian ini, data sekunder dan data
primer yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan yaitu mengenai
77
Ibid, Hal 142.
Ibid, Hal194.
79
Saryono Hanadi, 2008. “Metodologi Penulisan dan Penelitian Hukum”.Bahan
Kuliah MPPH , Purwokerto : Universitas Jenderal Soedirman, Hal 9.
78
63
seba b diperlukannya video conference pada saat pemeriksaan
keterangan saksi yang kasusnya terjadi di Lembaga Pemasyarakatan
Cebongan, Yogyakarta serta kekuatan yuridis mengenai keterangan
saksi video conference tersebut yang kasusnya terjadi di Lembaga
Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta.
F.
Metode Analisis Bahan Hukum
Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah
metode analisis data kualitatif 80, yaitu dengan menjabarkan dan
menafsirkan data hasil penelitian berdasarkan doktrin-doktrin dan
norma-norma hukum guna memperoleh kebenaran dalam analisis
data, sehingga diharapkan akan memperoleh hasil yang memadai
untuk menyusun suatu kesimpulan sebagi hasil akhir dari penyusunan
penulisan ini.
80
Ronny Hanitijo Soemitro, 1988.Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.
Cetakan Ketiga. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal 98.
64
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1.
Bahan Hukum Primer
1.1 Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab
Undang -undang Hukum Acara Pidana
1.1.1 Pasal 1
(26) Saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan
guna
kepentingan
penyidikan,
penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara
pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia
alami sendiri.
(27) Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti
dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari
saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri
dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
1.1.2 Pasal 80
Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya
suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat
diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau
pihak ketiga yang berkepentingan ke pada ketua
pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya.
1.1.3 Pasal 134
(1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk
keperluan bedah mayat tidak mungkin lagi
dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih
dahulu kepada keluarga korban.
(2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib
menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang
maksud
dan
tujuan
perlu
dilakukannya
pembedahan tersebut.
(3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada
tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang
perlu diberitahukan, penyidik segera melaksanakan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133
ayat (3) undang-undang ini.
65
1.1.4 Pasal 160
(1) a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang
seorang demi seorang menurut urutan yang
dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang
setelah mendengar pendapat penuntut umum,
terdakwa atau penasihat hukum.
1.1.5 Pasal 168
Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang
ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan
dapat mengundurkan diri sebagai saksi:
a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis
lurus ke atas atau ke bawah samapi derajat
ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa;
b. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama
sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara
bapak, juga mereka yang mempunyai
hubungan karena perkawinan dan anak-anak
saudara terdakwa sampai derajat ketiga;
c. suami atau isteri terdakwa meskipun sudah
bercerai atau yang be rsama-sama sebagai
terdakwa.
1.1.6 Pasal 170
(1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat
atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia,
dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk
memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang
hal yang dipercayakan kepada mereka.
(2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala
alasan untuk permintaan tersebut.
1.1.7 Pasal 171
Yang boleh diperiksa
keterangan tanpa sumpah ialah:
a.
b.
untuk
memberi
anak yang umurnya belum cukup lima belas
tahun dan belum pernah kawin;
orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun
kadang-kadang ingatannya baik kembali.
1.1.8 Pasal 182
(2) Jika acara tersebut pada ayat (1) telah selesai,
hakim
ketua
sidang
menyatakan
bahwa
pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan
66
dapat membukanya sekali lagi, baik atas
kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya,
maupun atas permintaan penuntut umum atau
terdakwa
atau
penasihat
hukum
dengan
memberikan alasannya.
1.1.9 Pasal 183
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana
kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh
keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.
1.1.10 Pasal 184
(1) Alat bukti yang sah ialah:
a.
keterangan saksi;
b.
keterangan ahli;
c.
surat;
d.
petunjuk;
e.
keterangan terdakwa.
1.1.11 Pasal 185
(1)Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa
yang saksi nyatakan di sidang pengadilan.
(2)Keterangan seorang saksi saja tidak cukup
untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah
terhadap
perbuatan
yang
didakwakan
kepadanya.
(4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendirisendiri tentang suatu kejadian atau keadaan
dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti
yang sah apabila keterangan saksi itu ada
hubungannya satu dengan yang lain sedemikian
rupa, sehingga dapat membenarkan adanya
suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh
dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan
keterangan saksi.
67
1.2 Undang-Undang
Nomor
13
Tahun
2006
tentang
Perlindungan Saksi dan Korban
1.2.1
Pasal 1
(1)Saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyelidikan,
penyidikan, penuntutan, da n pemeriksaan di
sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau
ia alami sendiri.
1.2.2 Pasal 5
(1) Sorang Saksi dan Korban berhak:
a.memperoleh perlindungan atas keamanan
pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta
bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan
kesaksian yang akan, sedang, atau telah
dibeikannya;
b.ikut serta dalam proses memilih dan menetukan
bentuk perlindungan dan dukungan keamanan;
c.memberikan keterangan tanpa tekanan;
d.mendapat penerjemah;
e.bebas dari pertanyaan yang menjerat;
f. mendapat informasi mengenai perkembangan
kasus;
g.mendapat
informasi
mengenai
putusan
pengadilan;
h.mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan;
i. mendapat identitas baru;
j. mendapatkan tempat kediaman baru;
k.memperoleh pergantian biaya transportasi
sesuai dengan kebutuhan;
l. mendapat penasihat hukum; dan/atau
m.memperoleh bantuan hidup biaya sementara
sampai batas waktu perlindungan berakhir.
(2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
diberikan kepada Saksi dan/atau Korban
tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu
sesuai dengan keputusan LPSK.
1.2.3 Pasal 9
(1) Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya
berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas
persetujuan
hakim
dapat
memberikan
68
kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan
tempat perkara tersebut sedang diperiksa.
(2) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya
secara tertulis yang disampaikan di hadapan
pejabat yang berwenang dan membubuhkan
tanda tangannya pada berita acara yang
memuat tentang kesaksian tersebut.
(3) Saksi dan/atau Korban sebaga imana dimaksud
pada ayat (1) dapat pula didengar
kesaksiannya secara langsung melalui sarana
elektronik dengan didampingi oleh pejabat
yang berwenang.
1.2.4 Pasal 30
(1) Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi
dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam
Pasal
29,
Saksi
dan/atau
Korban
menandatangani
pernyataan
kesediaan
mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan
Saksi dan Korban.
(2) Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan
ketentuan perlindungan Saksi dan Korban
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat:
a. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk
memberikan kesaksian dalam proses
peradilan;
b. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk
menaati aturan yang berkenaan dengan
keselamatannya;
c. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk
tidak berhubungan dengan cara apa pun
dengan orang lain selain atas persetujuan
LPSK, selama ia dalam perlindungan
LPSK;
d. kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk
tidak memberitahukan kepada siapa pun
mengenai
keberadaannya
di
bawah
perlindungan LPSK; dan
e. hal-hal lain yang dianggap perlu oleh
LPSK.
69
1.3 Undang -Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Transaksi
dan Informasi Elektronik
1.3.1
2.
Pasal 1
(1) Informasi Elektronik adalah satu atau
sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi
tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar,
peta, rancangan, foto, electronic data
interchange
(EDI),
surat
elektronik
(elektronic mail), telegram, teleks, telecopy
atau sejenisnya, huruf, tanda, angka , Kode
Akses, simbol, atau perforasi yang telah
diolah oleh memiliki arti atau dapat
dipahami oleh orang yang mampu
memahaminya.
(4) Dokumen Elektronik adalah setiap
Informasi
Elektronik
yang
dibuat,
diteruskan, dikirimkan, diterima, atau
disimpan dalam bentuk analog, digital,
elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya,
yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau
didengar melaui Komputer atau Sistem
Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas
pada tulisan, suara, gambar, peta,
rancangan, foto atau sejenisnya, huruf,
tanda, angka, Kode Akses, simbol atau
perforasi yang memiliki makna atau arti
atau dapat dipahami oleh orang yang
mampu memahaminya.
(14) Komputer adalah alat untuk memproses
data elektronik, magnetik, optik, atau
sistem yang melaksanakan fungsi logika,
aritmatika, dan penyimpanan.
Bahan Hukum Sekunder
A. Keterangan Saksi
Menurut Pasal 1 butir ke 26 KUHAP, saksi adalah:
Orang yang dapat memberikan keterangan guna ke pentingan
penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri.
70
Memahami saksi adalah orang yang dapat memberikan
keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan
tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri
dan ia alami sendiri, maka keterangan saksi adalah salah satu alat
bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi
mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat
sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan
pengetahuannya itu. Memberikan kete rangan di sini bukan keterangan
yang berdasarkan apa yang terjadi dan dilihatnya secara langsung.
Sumpah saksi menjadi jaminan atas kesaksian yang diberikan secara
benar. 81
Selain memberikan keterangan, saksi tampil dan memudahkan
kerja sama dalam mencari informasi yang valid tentang persoalan
hukum yang terjadi. Saksi juga sebagai alat bukti, berpartisipasi
dengan masyarakat mencegah perbuatan, dan korban lebih banyak
lagi. Saksi sebagai alat bukti juga harus bersaksi dihadapan
pengadilan. Bersaksi dan memberi keterangan dihadapan pengadilan
adalah tugas atau kewajiban saksi yang utama. Jika saksi tidak mau
memberikan kesaksian, maka dia akan mendapat panggilan sesuai
dengan aturan hukum yang berlaku. Ada yang bahkan dijemput paksa
karena ketidaksediaannya untuk bersaksi. Hal ini dilakukan karena
81
Runtuwene Oktavianus Garry. 2012. Hak dan Kewajiban Yang Mengikat
Terhadap Saksi di Dalam Praktik Persidangan Pidana. Lex Crimen vol I No. 4 OktoberDesember2012. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/907 (internet),
Loc.Cit.
71
seorang saksi harus menjalanan kewajibannya untuk bersaksi di
persidangan. 82
Dalam Pasal 184 KUHAP membatasi bahwa alat bukti yag sah
ialah:
Keterangan saksi;
Keterangan ahli;
Surat;
Petunjuk; dan
Keterangan terdakwa.
Saksi adalah seorang yang mempunyai informasi tangan
pertama mengenai suatu kejahatan atau kejadian dramatis melalui
indera mereka (penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan) dan
dapat menolong memastikan pertimbangan-pertimbangan penting
dalam suatu kejahatan atau kejadian. Se orang saksi yang melihat
langsung suatu kejadian secara langsung dikenal sebagai saksi mata.
Saksi ini sering dipanggil ke pengadilan untuk memberikan
kesaksiannya dalam suatu proses peradilan. 83
Ketentuan mengenai pengertian saksi yang ada di dalam
KUHAP, secara spesifik diatur kembali dalam Undang-Undang
Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban.
Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa:
Saksi adalah seseorang yang menyampaikan laporan dan/atau orang
yang dapat membe rikan keterangan dalam proses penyelesaian tindak
pidana berkenaan dengan peristiwa hukum yang ia dengar, lihat dan
alami sendiri dan/atau orang yang memiliki keahlian khusus tentang
pengetahuan tertentu guna kepentingan penyelesaian tindak pidana.
82
Ibid.
Wikipedia, Pengertian Saksi (internet), 2013. Tersedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/saksi (diakses pada tanggal 12 Juli 2014 pukul 06:43 WIB)
83
72
Dalam proses persidangan, peranan saksi sangat nampak dalam
proses penyelidikan oleh jaksa. 84
Hal ini terjadi karena menurut Pasal 184 KUHAP, keterangan
saksi adalah salah satu alat bukti yang menguatkan. Selain keterangan
saksi, ada juga alat bukti lain yang dijelaskan dalam Pasal 184
KUHAP tersebut. Dengan demikian, maka saksi dalam proses
peradilan memiliki kedudukan yang sangat penting. 85
B.
Video C onference Sebagai Sarana Pemeriksaan Saksi
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada beberapa arti kata
atau pengertian tentang definisi saksi, yaitu:
1. Orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa
(kejadian);
2. Orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa dianggap
mengetahui kejadian tersebut agar pada suatu ketika, apabila
diperlukan, dapat memberikan keterangan yang membenarkan
bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi;
3. Orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk
kepentingan pendakwa atau terdakwa;
4. Keterangan (bukti pernyataan) yang diberikan oleh orang yang
melihat atau mengetahui;
5. Bukti kebenaran;
6. Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri.
Saksi menurut Pasal 1 butir ke 26 KUHAP adalah:
Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan
penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri.
84
Padmo Wahjono ,1985. Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini . Jakarta:
Ghalia Indonesia, Hal 242.
85
Runtuwene Oktavianus Garry. 2012. Hak dan Kewajiban Yang Mengikat
Terhadap Saksi di Dalam Praktik Persidangan Pidana. Lex Crimen vol I No. 4 OktoberDesember2012. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/907 (internet),
Loc.Cit.
73
Saksi adalah mereka yang mempunyai pengetahuan sendiri
berdasarkan apa yang dialaminya, dilihatnya, dan/atau didengarnya
berkenaan dengan dugaan terjadinya suatu tindak pidana. Berdasarkan
definisi tersebut, maka tidaklah mustahil saksi juga seorang korban
atau pihak yang dirugikan atas peristiwa tersebut. Saksi diharapkan
dapat menjelsakan rangkaian kejadian yang berkaitan dengan sebuah
peristiwa yang menjadi objek pemeriksaan di muka pengadilan. Saksi,
bersama alat bukti lain akan membantu hakim untuk menjatuhkan
putusan yang adil dan objektif berdasarkan fakta -fakta hukum yang
dibeberkan. 86
Untuk dapat memberikan kesaksiannya secara gamblang dan
benar, hak-hak saksi harus terpenuhi terlebih dahulu. Salah satu hak
saksi ialah saksi harus terbebas dari rasa takut dan tertekan. Dalam
memberikan kesaksian, saksi harus merasa aman serta tidak ada
sesuatu yang membahayakan jiwanya saat sebelum memberikan
kesaksian, saat memberikan kesaksian serta setelah memberikan
kesaksian. Saksi harus terbebas dari rasa takut, khawatir akan dampak
dari keterangan yang diberikannya. Seseorang mungkin saja menolak
untuk bersaksi, atau kalaupun dipaksa berbohong karena ia tidak mau
mempertaruhkan
nyawanya
atau
nyawa
keluarganya
kerena
keterangannya yang memberatkan terdakwa. Di sisi lain, seseorang
dapat menolak memberikan keterangan karena mengalami trauma
86
Iskandar, Aditya Nugraha, Pentingnya Perlindungan Terhadap Saksi Dan Korban
Kejahatan (internet), 2010. Tersedia: http://iskandar.centre.blog.pentingnya-perlindunganterhadap-hak-hak-saksi-dan-korban-kejahatan.html (diakses pada tanggal 11 Juli 2014 pukul
08:22 WIB).
74
hebat akibat peristiwa pidana sehingga tidak memiliki kemampuan
untuk menceritakan ulang peristiwa yang dialaminya itu. Tidak sedikit
kasus yang tidak dapat dibawa di muka pengadilan ataupun terhenti di
tengah jalan karena persoalan yang satu ini. Kasus -kasus seperti
korupsi atau kejahatan narkotika yang melibatkan sebuah sindikat,
atau kasus -kasus kekerasan berbasis gender menjadi contoh kasus
yang sering kali tidak dapat diproses karena tidak ada saksi yang mau
dan berani memberikan keterangan yang sebenarnya. Maka , yang
terjadi kemudian adalah bukan saja gagalnya sebuah tuntutan untuk
melakukan proses peradilan yang bersih, jujur dan berwibawa untuk
memenuhi rasa keadilan, tetapi juga pelanggaran hak-hak asasi
individual yang terkait dalam kasus tersebut.87
Contoh konkrit kasus yang saksinya merasa tertekan dan
ketakutan ketika diminta hadir di persidangan untuk memberikan
kesaksian terkait tindak pidana yang telah mereka alami adalah saksi
dalam kasus penembakan di Lapas Cebongan, Yogyakarta. Saksi
dalam kasus Cebongan tersebut mengalami trauma yang sangat hebat
ketika
diminta
untuk
menceritakan
kembali
peristiwa
yang
mengerikan tersebut. Bahkan ada salah satu saksi yang memberikan
keterangan bias sewaktu ditanya kronologi peristiwa yang sebenarnya.
Salah satu cara yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan
Korban (LPSK) selaku lembaga yang memperjuangkan kepentingan
saksi dan korban merekondasikan, untuk dapat mendengarkan
keterangan saksi pada kasus Cebongan tersebut dilakukan dengan
87
Ibid.
75
sarana atau media video conference. Saksi dapat memberikan
keterangnnya tanpa harus datang langsung di pengadilan Militer
Yogyakarta. Melalui sarana video conference, antara saksi dan para
penegak hukum yang berada di pengadilan tetap dapat melakukan
interaksi langsung dan dapat bertatap muka tanpa harus melakukan
kontak fisik. Penggunaan video conference sendiri tersebut masih
menimbulkan perdebatan dikalangan dunia hukum. Pada akhirnya
nanti, apakah video conference layak digunakan sebagai sarana dalam
pemeriksaan saksi dalam kasus pidana, itu semua kembali lagi pada
pengetahuan dan keyakinan hakim yang memutuskan suatu perkara.
Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang
Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib menggali nilai-nilai yang ada di
masyarakat, supaya antara nila i kepastian; keadilan dan kemanfaatan
dapat berjalan selaras demi kesejahteraan masyarakat.
B.
Pembahasan
1.
Diperlukannya
Video
Conference
Dalam
Pembuktian
Keterangan Saksi Pada Kasus Cebongan, Yogyakarta Pada
Putusan No.48-K/PM II-11/AD/VI/2013
Peran dari pembuktian dalam suatu proses hukum di
pengadilan merupakan hal yang sangat penting. Pembuktian dalam
berperkara merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses
litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian
76
berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa
masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth).88
Pembuktian menurut ilmu hukum adalah suatu proses, baik
dalam acara pidana maupun dalam acara perdata, yang mana dengan
menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan de ngan
prosedur khusus, untuk mengetahui suatu fakta atau pernyataan,
khususnya
fakta
atau
pernyataan
yang
dipersengketakan
di
pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam
proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan. 89
Ada suatu perbedaan yang tajam antara pembuktian dalam
hukum acara pidana dan pembuktian dalam hukum acara perdata. Di
samping perbedaan dalam jenis alat bukti, terdapat pula perbedaan
tentang sistem pembuktian. Sistem pembuktian dalam hukum acara
pidana dikenal dengan “sistem pembuktian negatif” (negative wettelijk
bewlijs), yaitu yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang materiil,
sedangkan dalam hukum acara perdata berlaku “sistem pembuktian
positif” (positive wettelijk bewlijs), yaitu yang dicari oleh hakim
adalah kebenaran formil.90
88
Chabbie, Lady, Hukum Pembuktian (internet), 2012. Tersedia:
pembuktian.html (diakses pada tanggal 8 Juli 2014 pukul 20:41) .
89
Munir Fuady, 2006, Op.Cit., Hal 1.
90
Ibid, Hal 2.
www.hukum-
77
Pembuktian, dikaji dari perspektif yuridis, menurut M. Yahya
Harahap91 adalah:
Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang
cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan
yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan
ketentuan yang mengatur alat bukti yang boleh digunakan hakim guna
membuktikan kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati
dan semena -mena membuktikan kesalahan ter dakwa.
Dalam pembuktian terdapat empat teori pembuktian, yaitu:
1. Teori pembuktian positif. Bahwa bersalah atau tidaknya terdakwa
bergantung sepenuhnya pada sejumlah alat bukti yang ditetapkan
terlebih dahulu (keyakinan hakim diabaikan).
2. Teori pembuktian negatif. Bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan
pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat yang telah ditentukan
dalam undang-undang, ditambah dengan keyakinan hakim yang
diperoleh dari adanya alat-alat bukti.
3. Teori pembuktian bebas. Bahwa mengakui adanya alat-alat bukti
dan cara pembuktian, namun tidak ditentukan dalam undangundang.
4. Teori berdasarkan keyakinan. Bahwa hakim dalm menjatuhkan
pidana semata -mata bergantung pada keyakinan pribadinya dan
dalam putusannya tidak perlu menyebutkan alasan-alasan
putusannya. 92
Proses pembuktian hakikatnya memang lebih dominan pada
sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiil akan
peristiwa yang terjadi dan memberikan kepada hakim tentang kejadian
tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin.
Sida ng pengadilan merupakan aspek esensial dan fundamental
pembuktian, baik yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum, terdakwa
dan/atau bersama penasihat hukumnya, maupun oleh majelis hakim.
91
M. Yahya Harahap, 2005. Pembahasan Permasalah dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar
Grafika, Hal 252.
92
hukum indonesia.blogspot.com/2012/05/kesaksian-melalui-video-conference.html
(internet), Loc.Cit.
78
Walaupun tahap awal pembuktian ini bersama-sama dilakukan, proses
akhir dalam pembuktian tidaklah sama. Proses awal pembuktian di
depan sidang pengadilan dimulai dengan pemeriksaan saksi dan/atau
korban (terdapat dalam Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP). Akan
tetapi, bagi jaksa penuntut umum proses akhir pembuktian berakhir
dengan diajukannya tuntutan pidana yang dapat dilanjutkan dengan
replik. Kemudian bagi terdakwa dan/atau penasihat hukumnya
diakhiri dengan pembacaan pembelaan (pledoi), yang dapat langusng
dilanjutkan dengan pembacaan duplik, sedangkan bagi majelis hakim,
berakhirnya proses pembuktian ini diakhiri dengan pembacaan
putusan (berupa vonis, baik di pengadilan negeri maupun di
pengadilan tinggi, jika perkara tersebut dilakukan upaya hukum
banding) ,
namun
sebenarnya
pembuktian
tersebut
hakikatnya
mempunyai dua dimensi sebagai suatu proses pidana yang dilakukan,
mulai tahap penyelidikan sebagai permulaannya dan tahap penjatuhan
pidana oleh hakim sebagai tahap akhirnya.93
Sesungguhnya, kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi
dua bagian, yaitu:
1. Bagian kegiatan pengumpulan fakta.
Kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti yang yang diajukan di muka
sidang pengadilan oleh jaksa penuntut umum dan penasihat hukum
atau atas kebijakan majelis hakim. Proses pembuktian pada tahap
pertama akan berakhir pada saat ketua majelis hakim menyatakan
(diucapkannya secara lisan) dalam sidang bahwa pemeriksaan
perkara telah selesai(terdapat dalam Pasal 182 ayat (1) huruf a).
Yang dimaksud selesai dalam pasal ini tidak lain adalah telah
selesainya pemeriksaan untuk mengungkapkan atau mendapa tkan
fakta-fakta (termasuk pemeriksaan setempat).
93
Ibid.
79
2. Bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus
penganalisisan hukum.
Bagian pembuktian yang berupa penganalisisan fakta-fakta yang
didapat dalam pesidangan dan penganalisisan hukum masingmasing oleh jaksa penuntut umum, penasihat hukum serta majelis
hakim. Oleh jaksa penuntut umum, pembuktian dalam arti kedua
ini dilakukan dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi penasihat
hukum, pembuktiannya diajukan dalam nota pembelaan (pledio)
dan majelis hakim akan membahas dalam putusan akhir (vonis)
yang dibuatnya.94
Proses pembuktian dalam persidangan pidana erat kaitannya
dengan alat-lata bukti yang ada di dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu:
Keterangan saksi;
Keterangan ahli;
Surat;
Petunjuk; dan
Keterangan terdakwa.
Keterangan saksi yang ditempatkan pada urutan pertama
dalam hierarki alat-alat bukti tersebut menunjukan betapa pentingnya
suatu keterangan yang diberikan oleh saksi di dalam proses
persidangan, guna membuat terang suatu perkara pidana tersebut.
Dalam KUHAP, pengertian keterangan saksi tersebut terdapat dalam
Pasal 1 but ir ke 27, yaitu:
Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana
yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana
yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
Apabila seseorang yang mendengar, melihat dan mengalami
sendiri suatu perkara pidana, kemudian orang tersebut dimintai
keterangannya serta dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP),
secara yuridis orang tersebut dimintai keterangannya serta statusnya
94
Adami Chazawi, 2006. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT.
Alumni, Hal 21-22.
80
masih sebagai saksi (terdapat di dalam BAB I Pasal 1 butur ke 26
KUHAP) dan keterangannya tersebut belum dapat dikatakan sebagai
keterangan saksi (terdapat dalam BAB I Pasal 1 butir ke 27 KUHAP),
karena keterangan tersebut belum saksi nyatakan di depan persida ngan
(Pasal 185 ayat (1) KUHAP), namun apabila keterangannya saksi
tersebut tetap disampaikan di luar persidangan (incraht van gewijsde),
maka pemberian keterangan tersebut tidaklah dapat diklasifikasikan
sebagai keterangan saksi melainkan hanya sebatas saksi selaku
person. Tidak ada satu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat
bukti keterangan saksi. Hampir semua perkara pidana, selalu
didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya
di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu
diperlukan pembuktian alat bukti keterangan saksi. 95
Keterangan saksi dalam keduduknya sebagai alat bukti
dimaksudkan untuk membuat terang suatu perkara yang sedang
diperiksa, diharapkan dapat menimbulkan keyakinan pada hakim,
bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan terdakwa
bersalah telah melakukan tindak pidana tersebut. Menjadi saksi adalah
suatu kewajiban setiap orang, orang yang menjadi saksi setelah
dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan,
tetapi dengan suatu alasan kemudian menolak kewajiban tersebut,
maka orang tersebut dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan
undang-undang yang berlaku. Dalam Pasal 185 ayat (5) KUHAP
95
Lilik Mulyadi, 2010. Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana.
Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Hal 76.
81
dinyatakan bahwa baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari
hasil saja, bukan merupakan suatu keterangan saksi.
Dalam hal menghadirkan ataupun hadir dalam suatu sidang di
pengadilan kaitannya sebagai suatu kewajiban sebagai seorang saksi,
dewasa ini dunia hukum khususnya hukum acara pidana menciptakan
suatu terobos an baru. Dengan memanfaatkan teknologi yang begitu
pesat perkembangannya, maka terciptalah suatu gagasan atau sebagai
sebuah yurisprudensi bahwa dalam mendengarkan keterangan saksi,
saksi tersebut tidak perlu hadir langsung di ruang persidangan,
melainkan saksi tersebut dapat memberikan keterangannya melalui
sarana atau media yang disebut dengan video conference. Video
conference atau konferensi video merupakan bagian dari dunia
teleconferen. Video conference dapat diartikan sesuai dengan suku
katanya, yaitu video yang berarti video, serta conference yang berarti
konferensi. Maka yang dimaksud dengan video conference adalah
konferensi video yang mana data yang ditransmisikan adalah dalam
bentuk video atau audio visual. 96
Video
conference
merupakan
sutau
teknologi
yang
menggembirakan dan menambah semangat kita untuk bergabung
dengan internet, penggunaan teknologi video conference yakni
penggunaan video/teknologi suara dan komputer yang memungkinkan
orang pada lokasi yang berjauhan untuk saling melihat, mendengar,
dan berbicara satu sama lain. Teknologi video conference ini dapat
memungkinkan orang saling berkomunikasi secara tatap muka,
96
en.wikipedia.org/wiki (internet), Loc.Cit.
82
dengan kata lain berkomunikasi secara vis ual. Komunikasi visual
yakni sebuah teknologi komunikasi yang terdiri dari dua orang atau
lebih pada lokasi yang berbeda yang dapat dilihat dan didengar secara
bersamaan pada waktu yang bersamaan. 97
Pada dasarnya ada dua jenis sistem video conference:
a.
97
Sistem terdedikasi mempunyai semua komponen yang
dibutuhkan dan dikemas ke dalam satu peralatan, biasanya
dengan sebuah konsol dengan kamera video pengendali jarak
jauh dengan kualitas tinggi. Kamera ini dapat dikontrol dari
jarak jauh untuk memutar ke kiri dan ke kanan, atas dan bawah
serta memperbesar, yang kemudian dikenal sebagai kamera
PTZ. Konsol berisi semua hubungan listrik, kontrol komputer,
dan perangkat lunak atau perangkat keras berbasis codec.
Mikrofon omnidirectional terhubung ke konsol seperti monitor
televisi dengan pengeras suara dan/atau proyektor video. Ada
beberapa jenis perangkat yang didedikasikan untuk video
conference:
1. Konferensi video kelompok besar: non -portable, besar,
perangkat yang digunakan lebih mahal untuk ruangan besar
dan auditorium.
2. Konferensi video kelompok kecil: non-portable atau
portable, lebih kecil, perangkat lebih murah yang digunakan
untuk ruang rapat kecil.
3. Konferensi video individual: biasanya perangkat portable,
dimaksudkan untuk satu pengguna, mempunyai kamera
tetap, mikrofon , dan pengeras suara terintegrasi ke dalam
konsol.
b. Sistem dekstop biasanya menambahkan papan perangkat
keras
ke
komputer
pribadi
normal
dan
mentrasformasikannya menjadi perangkat konferensi video.
Berbagai kamera dan mikrofon berbeda dapat digunakan
dengan papan, yang berisi codec yang diperlukan dalam
pengiriman tatap muka. Sebagian besar sistem dekstop
bekerja dengan standar H.323. Video conference dilakukan
melalui komputer yang tersebar, yang juga dikenal sebagai
emeeting.98
Febrian J, 2004. Pengetahuan Komputer dan Teknologi Informasi. Bandung:
Informatika, Hal 21.
98
Wordpress, Pengertian Video Conference (internet), 2010. Tersedia:
http://multimediaplasa.files.wordpress..com/2010/02/pengertian--video-conference.pdf
(dikases pada tanggal 10 Juli 2014 pukul 05:25 WIB).
83
Dalam perkembangan teknologi komunikasi, dimana tuntutan
kebutuhan pelayanan bagi pengguna jasa komunikasi makin tinggi,
dalam penyampaian ide dan pendapat tidak hanya audio saja akan
tetapi diperlukan juga visualnya, oleh karena itu dibutuhkan
komunikasi yang dapat mengirimkan audio visualnya. Video
conference memakai tetekomunikasi audio dan video untuk membawa
orang ke tempat berbeda dalam waktu yang bersamaan untuk
pertemuan. 99
Saat ini video conference sudah banyak digunakan dalam
berbagai bidang. Misalnya dalam dunia peradilan hukum yang
memanfaatkan video conference sebagai sarana untuk memberikan
kesaksian
jarak
jauh.
Penerapan
video
conference
untuk
mengahadirkan saksi dalam persidangan pidana menimbulkan
perdebatan panjang. Disatu sisi perkembangan hukum ketinggalan
jauh dengan perkembangan masyarakat, apalagi bila dibandingkan
dengan kemajuan teknologi, sedangkan di sisi lain KUHAP sebagai
basis
acara
pemeriksaan
perkara
pidana
tidak
mengaturnya.
Berdasarkan Pasal 185 ayat (1) KUHAP dikatakan bahwa:
Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan.
Kalimat yang saksi nyatakan di sidang pengadilan inilah yang
menjadi titik tolak perdebatan. Disatu pihak mengatakan bila saksi
tidak hadir langsung secara fisik ke depan persidangan maka
kesaksiannya tidak sah, dipihak lain menyatakan
99
bahwa dengan
hukum indonesia.blogspot.com/2012/05/kesaksian-melalui-video-conference.html
(internet), Loc.Cit.
84
menggunakan media video conference
saksi sudah hadir di
persidangan, karena keterangan saksi tetap dapat di cross-check oleh
kedua belah pihak dan dapat dilihat pada layar minotor yang ada.100
Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, memiliki kekhususan secara
formil dibandingkan dengan KUHAP. Salah satu kekhususannya
terkait dengan penggunaan alat bukti yang merupakan proses
pembaharuan pembuktian dalam KUHAP.101
Pengaturan mengenai alat bukti tersebut terdapat dalam Pasal
27 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Terorisme, yaitu sebagai berikut:
Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi:
1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana;
2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirmkan,
diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau
yang serupa dengan itu;
3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau
didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu
sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain
kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak
terbatas pada:
a. Tulisan, suara, atau gambar;
b. Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya.
c. Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki
makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca
atau memahaminya.
Mengenai penggunaan video conference dalam pemeriksaan
keterangan saksi di persidangan terdapat pro dan kontra dalam hal
tersebut. Ada beberapa faktor penyebab terjadinya perdebatan panjang
100
http://www.lontar.ui.aca.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=111353&lokasi=loka
l. (diakses pada tanggal 10 Juli 2014 pukul 06:00 WIB).
101
hukumindonesia.blogspot.com/2012/05/kesaksian-melalui -video -conference.html
(internet), Loc.Cit.
85
dalam penggunaan video conference sebagai sarana pemeriksaan saksi
dalam persidangan perkara pidana, yaitu:
1. Kebijakan formulatif (pembuat undang-undang) dan kebijakan
aplikatif (penegak hukum) di Indonesia mengacu pada ketentuan
hukum positif. Konsekuensi logis yang demikian membuat muara
pada penegakan hukum yang bersifat formal legistik, sehingga
terdapat jurang yang relatif tajam dalam mencari keadilan.
Keadilan yang dikejar dan diformulasikan oleh kebijakan
formulatif adalah keadilan undang-undang.
2. KUHAP tidak mengatur tentang video conference, sehingga pro
dan kontra penggunaannya tergantung pada apakah merugikan
ataukah menguntungkan masing-masing para pihak.
3. Terhadap eksistensi video conference hakim menyetujui
dilakukannya video conference tersebut. Aspek ini sebenarnya
harus dilakukan dunia peradilan di Indonesia apabila tidak ingin
dipandang negatif oleh masyarakat. 102
Beberapa pakar hukum yang tidak setuju dengan penggunaan
video conference juga berpendapat bahwa:
1.
Menurut Prof. Achmad Ali, seorang akademisi dan juga anggota
Komnas HAM, berpendapat bahwa selama video conference
belum diatur dalam hukum positif Indonesia, maka video
conference tidak dapat digunakan sebagai alat bukti. Terkait
dengan sumpah yang diucapkan oleh saksi, menurut Prof.
Achmad Ali, sumpah para saksi itu tidak bernilai sumpah karena
tidak mempunyai akibat hukum. Padahal sesuai Pasal 174 ayat (1)
dan ayat (2) KUHAP, pada hakikatnya fungsi sumpah bagi saksi
adalah agar saksi itu dapat dituntut berdasarkan delik pidana bila
ia memberikan keterangan palsu sesuai dengan Pasal 242 KUHP.
2. Menurut Prof. Andi Hamzah, seorang Guru Besar Hukum Pidana
Universitas Hasanudin berpendapat bahwa video conference
bukanlah merupakan alat bukti saksi. Video conference hanya
dapat dijadikan alat untuk menguatkan keyakinan hakim. Itu pun
dengan beberapa syarat, seperti video conference harus dilakukan
di kantor perwakilan Indonesia di luar negeri melalui video
conference harus didampingi oleh jaksa penuntut umum dan
pengacara terdakwa.103
102
Lilik Mulyadi, 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana:Perspektif Teoritis dan
Praktik . Bandung: PT. Alumni, Hal 125.
103
hukumindonesia.blogspot.com/2012/05/kesaksian-melalui -video -conference.html
(internet), Loc.Cit.
86
Dengan dasar yuridis ketentuan Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
disebutkan bahwa:
Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan
memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat.
Dalam
menggali,
mengikuti,
memahami
dan
mengejar
kebenaran materiil dalam hukum pidana, hakim mempunyai peranan
yang penting dalam menilai masing-masing alat bukti. Karena tujuan
yang hendak dicapai dalam hukum acara pidana dalam pembuktian
yaitu untuk menemukan kebenaran materiil yang merupakan
kebenaran yang nyata dan sebenar-benarnya.104
Dalam KUHAP ketentuan mengenai video conference tidak
diatur. Ketentuan Pasal 184 ayat KUHAP menyebutkan 5 jenis alat
bukti:
Keterangan saksi;
Keterangan ahli;
Surat;
Petunjuk; dan
Keterangan terdakwa.
Pada dasarnya, sistem pembuktian yang dianut oleh Indonesia
yaitu
sistem
pembuktian
berdasarkan
undang-undang
secara
negatif.105
Hal ini berarti hasil dan kekuatan pembuktian berdasarkan alat
bukti yang disebut pada undang-undang dan daripadanya, sehingga
104
Andi Hamzah, 1983. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia . Jakarta: Sinar
Grafika, Hal 18.
105
Ibid, Hal 235.
87
hakim dapat memperoleh keyakinan bahwa memang terdakwalah
yang melakukan tindak pidana.
Keterangan saksi yang disampaikan dalam kasus penembakan
di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Yogyakarta
menggunakan media video conference. Dilatarbelakangi karena
terjadinya pengeroyokan oleh beberapa orang terhadap se orang Sertu
Kopassus Kandang Menjangan Kertasura yang bernama Heru Susanto
di tempat hiburan Hugo’s Caffe di Jalan Adi Sucipto, Depok, Sleman,
Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengakibatkan Sertu Heru Susanto
tersebut tewas.106
Setelah berhasil ditangkap dan diketahui bahwa pelaku
pengeroyokan Sertu Heru Santoso tersebut adalah kelompok Dicky
CS, awalnya para pelaku ditahan di Mapolda DIY sebelum kemudian
dipindahkan di Lapas Cebongan kelas II B karena sel di Mapolda DIY
sedang direnovasi. 107
Pada saat itu, diduga karena dendam atas tewasnya Sertu Heru
Santoso di tangan pr eman kelompok Dicky CS tersebut, dan sebagai
anggota Kopassus yang memiliki jiwa Korsa yang tinggi, pada hari
Sabtu, tanggal 23 Maret 2013 sekitar pukul 01:30 WIB, sekitar 17
orang yang pada waktu itu belom diketahui bahwa ke 17 orang
tersebut rekan sejaw at Sertu Heru Santoso kemudian mendatangi
106
JPNN, Kronologi Pengeroyokan Anggota Kopassus Sertu Heru (internet), 2013.
Tersedia: http://JPNN.Kronologi -pengeroyokan-anggota-kopassus-sertu-heru.html (dikases
pada tanggal 10 Juli 2014 pukul 20:48 WIB).
107
Kalsum, Umi, Pengacara: Janggal, Pemindahan Empat Pembunuh Kopassus ke
Lapas
Cebongan
(internet),
2013.
Tersedia:
www.blogspot.com.umi.kalsum.Pengacara:janggal, pemindahan emapt pembunuh kopassus
ke lapas cebongan (diakses pada tanggal 10 Juli 2014 pukul 20:56 WIB).
88
Lapas Kelas II B Cebongan. Setelah berhasil melompati pagar
pembatas Lapas kemudian mereka sempat melakukan penyanderaan
terhadap para penjaga sipir Lapas Cebongan sebelum akhirnya
mendatangi sel tempat Dicky CS ditahan dan menembak 4 tahanan
yang merupakan kelompok Dicky CS hingga tewas.
Pada saat kejadian tersebut, banyak pihak yang dilibatkan
sebagai saksi. Sekitar 42 orang dijadikan saksi dalam kasus
penembakan Cebongan. Saksi tersebut antara lain petugas sipir Lapas
Cebongan yang disandera oleh 17 anggota Kopassus hingga para
tahanan di Lapas Cebongan yang pada saat itu melihat langsung
penembakan yang dilakukan oleh anggota Kopassus kepada ke empat
tahanan (kelompok Dicky CS) di dalam Lapas tersebut.
Sebagai Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK)
yang notabene melindungi kepentingan saksi dan korban dari
ancaman yang dapat mengganggu kondisi fisik maupun psikologi dari
para saksi tersebut, maka selaku Ketua Lembaga Perlindungan Saksi
dan Korban, Abdul Harris Semendawai mengajukan surat permohon
kepada Mahkamah Agung untuk menyetujui keterangan saksi yang
diberikan mengguna kan media video conference dengan alasan
keamanan para saksi. Mahkamah Agung menyetujui penggunaan alat
bantu video conference untuk proses pemberian kesaksian pada kasus
Cebongan di Pengadilan Militer II-11, Yogyakarta. Terkait dengan
dana
pemasangan
dan
pembiayaan video
conference
semua
ditanggung oleh pihak LPSK. Alasan penggunaan video conference
pada kesaksian kasus Cebongan, Yogyakarta tersebut dikarenakan
89
suasana tempat persidangan yang dinilai tidak kondusif karena
banyaknya aksi demo yang mendukung pelaku penembakan (anggota
Kopassus) dan dipastikan akan mempengaruhi psikologi para saksi.
Menurut Teguh Soedarsono selaku anggota LPSK mengatakan bahwa
saksi yang terlindungi LPSK yang dipanggil ke pengadilan akan
didampingi oleh LPSK dan psikolog, terutama bagi saksi yang masih
tertekan dan trauma. Sebagian saksi yang dalam pemberian
keterangannya tidak melalui video conference dan siap memberikan
kesaksian
di
pengadilan,
akan
dikawal
dan
dilindungi
keberangkatannya hingga di Lapas Cebongan. 108
Sarana video conference dipasang di tiga titik, yakni di
Pengadilan Militer Yogyakarta, di Lapas Cebongan Yogyakarta serta
di kantor LPSK di Jakarta. Ke 48 saksi kasus Cebongan mendapatkan
perawatan dari 18 orang psikolog. Para saksi mengalami ketakutan
yang hebat saat menjelang proses persidangan. Menurut Abdul Harris
Semendawai berdasarkan dari keterangan ke 18 psikolog yang
menangani perawatan, para saksi masih sering mengalami mimpi
buruk soal peristiwa tersebut. Kemudian, jika diminta mengingat
kejadian tersebut, mereka merasa ketakutan sampai mengeluarkan
keringat dingin. 109
Sebanyak 10 dari 42 saksi kasus penembakan tahanan di Lapas
kelas II B Cebongan, Yogyakarta tidak hadir langsung untuk
memberikan kesakisan pada kasus tersebut di Pengadilan Militer
108
berita-jogya-1...an-ma--setuju-pakai-videoconference.html (internet), Loc.Cit.
Jawa Post National Network, Desak MA Putuskan Penggunaan Video
Conference
(internet),
2014.
Tersedia:
http://Desak-M A-Putuskan-Penggunaanvideoconference.html (dikases pada tanggal 11 Juli 2013 pukul 06:25 WIB).
109
90
Yogyakarta. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua tim psikologi yang
telah melakukan pemeriksaan dan pendampingan terhadap para saksi
tersebut. Menurut Ketua tim pemeriksaan saksi kasus Cebongan yang
juga ketua Assosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR), Yusti
Probowati, 10 saksi yang direkondasikan menggunakan video
conference terdiri atas 8 warga binaan (tahanan) di Lapas Cebongan,
dan 2 petugas sipir Lapas. Alasan mereka tidak bisa dihadirkan dalam
persidangan dikarenakan mengalami gangguan klinis yakni, trauma,
kecemasan serta ketakutan yang tinggi. Selain 10 saksi yang telah
disebutkan, ada 1 saksi yang membutuhkan penanganan tersendiri saat
memberikan kesaksian. Sebab, satu saksi ini sering memberikan
keterangan bias. Oleh sebab itu, butuh pendampingan petugas saat
bersaksi,
itupun
harus
menggunakan
metode
tertentu
tanpa
memberikan kesaksian langsung. Pemeriksaan psikologi terhadap 42
saksi kasus Cebongan telah dilakukan sejak tanggal 29 Mei 2013
hingga 15 Juni 2013 lalu. Sebanyak 42 orang yang menjadi saksi
dalam kasus penembakan tahanan di Lapas Cebongan, Yogyakarta
terdiri dari 31 orang tahanan dan 11 orang merupakan petugas sipir
Lapas Cebongan. Metode yang digunakan para psikolog dalam
pemeriksaan saksi tersebut menggunakan metode standart psikologi
ditambah dengan wawancara secara test khusus. Dari hasil test
tersebut, dipaparkan Yusti Probowati bahwa 34 saksi dinilai cukup
kompeten untuk memberikan kesaksian, 7 saksi dinilai kurang
kompeten dalam menberikan kesaksiannya, serta 1 saksi dinyatakan
tidak kompeten. Yang perlu dicatat dari 34 saksi yang cukup
91
kompeten ini, hanya 31 saksi yang siap hadir langsung memberikan
kesaksiannya di persidangan. Sisanya memberikan kesaksian melalui
video conference karena merasa takut dan cemas pada saat
memberikan kesaksian. 110
Berdasarkan kasus dan pernyataan dari beberapa pihak yang
melindungi kepentingan saksi dalam kasus Cebongan, Yogyakarta ini,
ketidakhadiran saksi banyak diakibatkan oleh ketidakpercayaan atas
jaminan keamanan terhadap saksi, pelakauan terhadap saksi saat
diperiksa dan alasan-alasan lainnya, sehingga saksi enggan diperiksa
di persidangan. Implikasi dari kesaksian yang tidak memadai tersebut
terutama karena minimnya kehadiran saksi membuat tersendatnya
proses pembuktian yang akhirnya akan menyulitkan hakim dalam
memberikan keputusan hukum. 111
Dalam sebuah proses peradilan pidana, saksi adalah kunci
untuk memperoleh kebenaran materiil. Teorinya terdapat dalam Pasal
184 sampai dengan Pasal 185 KUHAP. Dalam Pasal 184 KUHAP
menempatkan keterangan saksi diur utan pertama di atas alat bukti lain
berupa keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa.
Dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyatakan:
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa
terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya.
Kemudian ayat (3)nya berbunyi:
110
Republika.co.id.Saksi-Kasus-Cebongan-Direkomendasikan-Bersaksi-Via-VideoConference (internet), Loc.Cit.
111
Ian, Hard, Penggunaan Video Conference Sebagai Alat Bukti yang Sah di
Persidangan
(internet),
2011.
Tersedia:
http://penggunaan_video_conference_sebagai_alat_bukti_yang_sah_dalam_persidangan.html
(diakses pada tanggal 11 Juli 2014 pukul 07:05 WIB).
92
Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila
disertai dengan alat bukti yang sah lainnya.
Hal ini dapat diartikan bahwa keterangan lebih dari satu orang
saksi saja tanpa disertai alat bukti lainnya, dapat dianggap cukup
untuk membuktikan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak.
Pada saat memberikan keterangan, saksi harus dapat memberikan
keterangan yang sebenar-benarnya. Untuk itu, saksi perlu merasa
aman dan bebas saat diperiksa di muka pengadilan. Ia tidak boleh
ragu-ragu
menjelaskan
peristiwa
yang
sebenarnya,
walaupun
keterangan itu memberatkan terdakwa. Maka, dalam Pasal 173
KUHAP memberikan kewenangan kepada majelis hakim untuk
memungkinkan
seorang
saksi
didengar
keterangannnya
tanpa
menghadirkan terdakwa. Alasannya jelas, yaitu mengakomodir
kepentingan saksi sehingga ia dapat berbicara dan memberikan
keterangannya secara lebih leluasa tanpa rasa takut, khawatir ataupun
tertekan. 112
Persoalan tentang perlindungan saksi dan korban seharusnya
menjadi persoalan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan di
pengadilan
ini. Karena itu perlindungan atau pemberian hak-hak
khusus kepada saksi dan korban mutlak harus dilakukan. Perlindungan
keamanan bagi saksi diharapkan juga diberikan setelah proses
pemberian kesaksian. Sebagai contoh saksi dalam kasus Cebongan ini
menyatakan bahwa posisinya sangat sulit untuk memberikan
kesaksian di pengadilan karena katakutan dan trauma yang hebat
112
iskandar.centre.blog.pentingnya-perlindungan-terhadap-hak-hak-saksi-dankorban-kejahatan.html (internet), Loc.Cit.
93
ketika mengingat kembali peristiwa penembakan yang terjadi di Lapas
Cebongan tersebut. 113
Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan terhadap Korban dan Saksi Pelanggaran HAM yang
Berat sebenarnya telah memberikan cara untuk prosedur pemberian
kesaksian yang berbeda dengan KUHAP, yaitu pemberian kesaksian
dengan menggunakan video conference atau tanpa hadir langsung di
pengadilan. Tapi prose dur tersebut bertentangan dengan aturan yang
ada di dalam KUHAP. Hal ini pr oblematik karena proses pembuktian
yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tidak menjadi otomatis
diterima oleh majelis hakim karena derajat peraturan yang berbeda.
Oleh karena itu, pelaksanaan dari proses pemberian kesakisan yang
dimaksud oleh Peratura n Pemerintah tersebut terbatas digunakan oleh
para hakim karena para hakim sendiri berbeda pendapat mengenai
perlu tidaknya digunakan mekanisme kesaksian ini. 114
Dalam praktiknya, ternyata proses pembuktian yang terutama
berkaitan dengan pemeriksaan saksi membutuhkan sebuah mekanisme
khusus. Terobosan yang dilakukan oleh majelis hakim ketika
memperbolehkan adanya pemeriksaan melalui media video conference
merupakan salah satu mekanisme pemberian keterangan oleh saksi,
terutama saksi korban yang tidak diatur oleh KUHAP. Alasan
digunakannya video conference adalah bahwa adanya adagium:
113
penggunaan_video_conference_sebagai_alat_bukti_yang_sah_dalam_persidangan
.html (internet), Loc.Cit.
114
Ibid.
94
“bahwa hukum itu berkembang dan cenderung tertinggal”. Hakim
sebagai penegak hukum memang mempunyai kewajiban untuk
menggali hukumnya. 115
Jadi, diterapkannya media video conference sebagai salah satu
cara dalam pemeriksaan saksi, ternyata lebih banyak diakibatkan
pertimbangan dari majelis hakim tentang perlunya cara ini digunakan
agar menemukan kebenaran materiil. Majelis hakim yang setuju
menggunakan media video conference ini perlu mengeluarkan
penetapan khusus untuk terlaksananya video conference. Hal ini
berarti bahwa proses pemberian kesaksian melalui video conference
tidak dapat digunakan secara otomatis. Perbedaan pandangan apakah
video conference, sebagai sala h satu cara untuk melindungi saksi
ketika memberikan keterangan secara aman baik secara fisik dan
mental bertentangan dengan KUHAP, menjadi bahan analisis yang
penting karena akan berimpikasi pada model kesaksian pada kasuskasus pidana yang lainnya. 116
Implikasi terhadap pertentangan secara yuridis ini adalah,
apakah pemeriksaan saksi dengan menggunakan media video
conference ini akan dapat digunakan sebagai sebuah alat bukti yang
sah atau tidak, jika dilihat ketentuan dalam KUHAP bahwa kesaksian
yang dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah adalah saksi yang
hadir langsung di persidangan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP) dan saksi
yang dibacakan keterangannya yang telah disumpah terlebih dahulu.
115
116
Ibid.
Ibid.
95
Jika tidak ada jaminan bahwa model kesaksian media video
conference ini dapat diperlakukan sebagai alat bukti yang sah, maka
segala keputusan yang telah diambil majelis hakim dapat dibatalkan
dalam tingkat banding. Di sini hakim berani untuk melakukan
terobosan hukum demi menjamin perlindungan kepada saksi dan
korban dan demi menemukan kebenaran materiil. Hakim berani
mengambil langkah untuk melindungi saksi dan/atau korban dari
ancaman, baik mental maupun fisik dari gangguan maupun teror
kepada saksi yang pernah terjadi pada saat saksi dan/atau korban
datang ke persidangan untuk memberikan kesaksian. 117
2. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Video Conference
Pada Kasus Cebongan, Yogyakarta Pada Putusan No.48K/PM II-11/AD/VI/2013
Keterangan saksi yang dinyatakan sebagai alat bukti yang sah
(berdasarkan Pasal 185 ayat (1) KUHAP ) ialah sesuai dengan
ketentuan Pasal 1 butir ke 27 KUHAP, yaitu apa yang saksi dengar;
yang saksi lihat dan saksi alami sendiri dalam suatu tindak pidana.
Syarat agar suatu keterangan saksi tersebut dapat dinyatakan sah
apabila:
1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji (sebelum
memberikan keterangan).
Redaksi Pasal 160 ayat (30 KUHAP menerangkan bahwa
sebelum saksi memberikan keterangan waib mengucapkan
sumpah atau janji yang dilakukan menurut cara sesuai
agamanya masing-masing dan lafaz sumpah atau janji berisi
bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya
117
Ibid.
96
dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Alasan bahwa
sumpah yang diucapkan sebelum saksi memberikan
keterangan di sidang pengadilan adalah:
a. saksi akan terpengaruh oleh sumpah atau janji yang
diucapkan;
b. saksi akan mengurangi niat untk mengingkari janji;
c. bahwa keterangan yang diucapkan akan mempunyai
kekuatan pembuktian. 118;
2. Keterangan saksi harus harus mengenai peristiwa pidana yang
saksi lihat sendiri dan yang dialami sendiri, dengan
menyebutkan alasan pengetahuannya (testimonium de auditu
= keterangan yang diperoleh dari orang lain tidak memiliki
nilai pembuktian) ;
3.
Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan
(kecuali yang ditentukan pada Pasal 162 KUHAP)
Keterangan saksi yang dinyatakan di luar sidang pengadilan
(outside the court) bukan alat bukti dan tidak dapat
digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa,
meskipun misalnya hakim, penuntut umum, terdakwa atau
penasihat hukum, mendengar bahwa keterangan seorang yang
berhubungan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa,
dan keterangan tersebut mereka mendengarnya di halaman
kantor pengadilan atau disampaikan oleh seseorang kepada
hakim di rumah tempat tinggalnya, keterangan yang
demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti karena
keterangan tersebut tidak dinyatakan di sidang pengadilan. 119;
4.
Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan
kesaalahan terdakwa (unus testis nullus testis).
Prinsip minimum pembuktian sebagaimana yang diatur
dalam Pasal 183 KUHAP, agar suapaya keterangan saksi
dapat dianggap cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa maka harus dipenuhi paling sedikit atau sekurangkurangnya dengan dua alat bukti yang sah. Ini berarti, jika
alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri
dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan
saksi lain atau alat bukti lainnya atau kesaksian tunggal maka
kesaksian seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti
118
Juliman, Keterangan Saksi Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Perkara Pidana
(internet), 2012. Tersedia: http://bab -ii-keterangan-saksi-sebagai-salah_24.html.pdf (diakses
pada tanggal 7 Agustus 2014 pukul 05:35 WIB).
119
Ibid.
97
yang cukup untuk
kepadanya.120 ;
5.
membuktikan
kesalahan
terdakwa
Pemeriksaan menurut cara yang ditentukan oleh undangundang. 121
Apabila keterangan saksi telah memenuhi ke lima syarat
tersebut, maka keterangan saksi itu mempunyai nilai pembuktian,
antara lain:
1. Diterima sebagai alat bukti yang sah;
2. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (bersifat tidak
sempurna dan tidak mengikat);
3. Tergantung penilaian hakim (hakim bebas namun bertanggung
jawab menilai kekuatan pembuktian keterangan saksi untuk
mewujudkan kebenaran hakiki);
4. Sebagai alat bukti yang berkekuatan pembuktian bebas, dapat
dilumpuhkan terdakwa dengan keterangan saksi a de charge
atau alat bukti lain. 122
Kemudian, keterangan saksi yang dilakukan di bawah sumpah
nilainya disamakan dengan keterangan di bawah sumpah yang
diucapkan di persidangan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka
variasi alat bukti keterangan saksi diklasifikasikan menjadi dua jenis,
yaitu:
1. Keterangan saksi di bawah sumpah di persidangan; dan
2. Keterangan saksi di bawah sumpah yang dibacakan dalam
persidangan (berdasarkan Pasal 162 ayat (2) KUHAP).123
Apabila pertitik tolak pada Pasal 160 ayat (1) serta Pasal 167
KUHAP, maka penggunaan video conference sangat bertentangan
dengan
ketentuan
tersebut.
Yang
mana
dalam
memberikan
kesaksiannya, saksi hadir (secara fisik) ke dalam ruang persidangan
untuk sebelumnya disumpah terlebih dahulu setelah itu baru saksi
120
Ibid.
P embuktian-dalam-hukum-pidana.html (internet), Loc.Cit.
122
Ibid.
123
hukumindonesia.blogspot.com/2012/05/kesaksian-melalui -video -conference.html
(internet), Loc.Cit.
121
98
dapat bersaksi. Kemudian setelah memberikan kesaksiannya pun saksi
harus tetap berada di ruang persidangan, kecuali majelis hakim
memberi ijin kepada saksi tersebut untuk dapat meninggalkan ruang
sidang sebelum proses persidangan berlangsung (Pasal 167 ayat (1)
KUHAP). Ketentuan tersebut secara tekstual menuntut kehadiran
seorang saksi secara fisik di ruang persidangan. Akan tetapi,
kenyataannya untuk menegakan kebenaran materiil yang bermuara
pada keadilan, dalam praktiknya sedikit telah ditinggalkan. Misalnya,
secara faktual pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 661 K/Pid/1988 tanggal 19 Juli 1991 dengan kaidah dasar
yang mana keterangan saksi yang disumpah oleh penyidik karena
suatu halangan yang sah tidak dapat dihadirkan di persidangan,
sedangkan keterangannya tersebut dibacakan, maka keterangan
tersebut sama nilainya dengan kesaksian di bawah sumpah. 124
Hal ini menguatkan Pasal 162 ayat (2) KUHAP, mengenai
keterangan saksi di bawah sumpah yang dibacakan di persidangan.
Permasalahan utama mengenai penggunaan video conference ini, pada
hakikatnya adalah penerimaan dari para penegak hukum. Persidangan
video conference ini di Indonesia masih menyisakan ambiguitas dan
debatable antara sikap penuntut umum dan penasihat hukum. Secara
prinsip hukum, penggunaan video conference dalam pemeriksaan
saksi lebih menguntungkan dibandingkan dengan keterangan saksi
yang diberikan di bawah sumpah yang dibacakan di persidangan
124
Ibid.
99
sesuai dengan Pasal 162 ayat (2) KUHAP. Berikut ini perbandingan
antara dua hal tersebut:
1. Pengucapan sumpah atau janji sesuai dengan Pasal 160 ayat (3)
KUHAP. Menurut ketentua n Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum
saksi memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah
atau janji terlebih dahulu. Dan pengucapan sumpah tersebut
dilakukan sebelum saksi memberikan keterangan, serta
dimungkinkan apabila dianggap perlu oleh pengadilan, maka hal
tersebut dilakukan sesudah saksi memberikan keterangan. Baik
keterangan saksi di bawah sumpah yang dibacakan maupun
pemeriksaan saksi dengan media video conference, masing-masing
memenuhi ketentuan ini. Keterangan saksi di bawah sumpah yang
dibacakan, merupakan keterangan saksi dihadapan penyidik yang
sudah diambil di bawah sumpah, sedangkan prinsip pengucapan
sumpah dalam pemeriksaan saksi dengan media video conference
sama dengan pemeriksaan saksi di persidangan yang dihadapkan
secara biasa.
2. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Secara
visual, saksi tetap hadir pada persidangan dan berhadapan dengan
hakim, penuntut umum dan penasihat hukum terdakwa. Hal ini
terkait dengan keyakinan hakim yang dimaksud pada Pasal 183
KUHAP, ya kni:
Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali
apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia
memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar
terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
Dalam penerapannya, untuk memperoleh keyakinan hakim ini
pada pemeriksaan saksi di persidangan, maka akan
dipertimbangkan hal- hal berikut oleh hakim, yakni: latar belakang
kehidupan saksi; dan perilaku bahasa tubuhnya ketika di
persidangan. 125
Penggunaan media video conference ini memungkinkan hakim
untuk mengetahui secara langsung gesture; sikap dan roman
muka dari saksi yang dihadirkan ke persidangan.
3. Penilaian kebenaran keterangan saksi. Untuk menilai keterangan
beberapa saksi sebagai alat bukti yang sah, har us terdapat
hubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain
keterangan tersebut, sehingga dapat membentuk keterangan yang
membenarkan suatu kejadian atau keadaan tertentu. Pada Pasal
185 ayat (6) KUHAP mengatur beberapa point yang patut
diperhatikan hakim dalam menilai kebenaran keterangan saksi,
yaitu:
1. Persesuaian antara keterangan saksi;
2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain. Untuk
mengetahui atau mendapatkan
adanya kesesuaian
125
Ibid.
100
antarketerangan saksi, ataupun dengan alat bukti lain, pada
praktik persidangan sering dilakukan konfrontasi dengan saksi
atau alat bukti tersebut. Konfrontasi yaitu suatu pernyataan
atau keterangan saksi yang berbeda ataupun bertolak belakang
dengan keterangan saksi lain atau alat bukti lain, maka akan
dicek kebenarannya dengan meng-cross-check atau konfrontir
yang dilakukan akan bersifat satu pihak saja, yaitu terhadap
saksi atau alat bukti yang hadir di persidangan saja.
3. Alasan saksi memberi keterangan tertentu. Terhadap suatu
keterangan yang diberikan oleh saksi, seorang penegak hukum
tidak boleh dengan begitu saja menerima mentah-mentah hal
tersebut. Terkadang perlu untuk memilah-milah dan mengkaji
lebih dalam lagi mengenai alasan dari keterangan yang
diberikan oleh saksi. Hal ini tentunya, dengan bantuan media
video conference akan dapat dilakukan. Sebaliknya dengan
keterangan saksi dibawah sumpah yang dibacakan dalam
persidangan, penegak hukum hanya dapat menerima hasil
keterangan saksi dihadapan penyidik tersebut tanpa bisa
menggali lebih dalam mengenai hal tersebut.
4.
Klarifikasi terhadap keterangan saksi oleh penegak hukum.
Penggunaan video conference merupakan satu sarana untuk
dapat mencari kebenaran materiil. Para pihak yang terlibat,
yaitu: hakim; penuntun umum serta penasihat hukum dapat
mendengar langsung keterangan saksi dan dapat menguji
kebenaran tersebut. 126
Mengenai ketentuan dasar hukum pembuktian, kesaksian
dalam menggunakan media video conference dalam menyampaikan
keterangannya,
maka
terlebih
dahulu
saksi
harus
memenuhi
persyaratan sebagai ber ikut:
1. Keterangan lisan seseorang di muka sidang pengadilan ( sesuai
Pasal 185 ayat (1) KUHAP).
Sistem pembuktian secara negatif (negative wettelijk bewlijs) yang
dianut KUHAP (terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, pada
prinsipnya menjamin tegaknya kebenaran; keadilan dan kepastian
hukum. Dengan menggunakan keyakinan hakim dan minimal
menggunakan dua alat bukti yang sah, maka sistem pembuktian
kita adalah perpaduan antara sistem berdasarkan keyakinan hakim
semata (conviction intime) dan sistem pembuktian positif (positive
wettelijk bewlijs). Dengan demikian, keyakinan hakim merupakan
suatu hal yang penting dalam sistem pembuktian di Indonesia.
Sebagai suatu keyakinan, maka sifatnya konfiktif dan subjektif,
sehingga sulit diuji secara objektif. Untuk mendapatkan keyakinan
126
Ibid.
101
tersebut, hakim harus dapat memahami latar belakang kehidupan
seseorang; perilaku dan bahasa tubuhnya (gesture) di sidang
pengadilan secara fisik dan secara langsung.
2. Dengan disumpah terlebih dahulu (sesuai dengan Pasal 275 ayat
(2) jo. Pasal 303 HIR dan Pasal 160 ayat (3) jo. Pasal 185 ayat (7)
KUHAP).
Sebagaimana ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, dalam
memanfaatkan teknologi video conference tidak jauh berbeda
dengan persidangan biasa, yaitu sebelum memberikan keterangan,
saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama
dan kepercayaannya masing-masing, bahwa ia akan memberikan
keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yag sebenarnya.
3. Tentang peristiwa tertentu yang didengar, dilihat dan dialami
sendiri (nontestimonium de auditu) (sesuai dengan Pasal 1 butir ke
27 KUHAP).
Seperti halnya di persidangan pidana, bahwa keterangan saksi
adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang be rupa
keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia
dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan
menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Dalam hal ini, video
conference akan menjadi alat bukti yang sah sepanjang yang
bersangkutan tidak menyangkalnya. 127 Bila yang bersangkutan
menyangkal hal tersebut, maka video conference hanya dapat
dijadikan sebagai bukti petunjuk saja.
Apabila KUHAP dilakukan sebuah revisi, khususnya dalam
limitasi alat-alat bukti, kelima jenis alat bukti di dalam KUHAP
suadah saatnya untuk dihapus dan ditinggalkan. Pada dasarnya setiap
atau semua alat bukti dapat diajukan sebagai bukti, kecuali undangundang menentukan lain diserahkan kepada pertimbangan hakim. 128
Berdasarkan hal tersebut, setiap alat bukti yang diajukan dalam
persidangan wajib diperiksa oleh hakim, termasuk persidangan yang
dilakukan melalui media video conference, karena hakim memiliki
keyakinan yang kuat dalam menilainya, sehingga putusan yang
dijatuhkan akan lebih objektif.
127
128
Ibid.
Likik Mulyadi, 2008, Op.Cit., Hal 127.
102
BAB V
PENUTUP
A.
Simpulan
1. Penggunaan video conference sebagai sarana pemeriksaan
keterangan saksi dalam persidangan pada kasus Cebongan di
Yogyakarta sangat diperlukan karena:
a. kondisi saksi tidak memungkinkan untuk memberikan kesaksian
langsung di Pengadilan Militer Yogyakarta karena kondisi saksi
yang masih trauma dan mengalami ketakutan yang sangat hebat;
b. penggunaan
video
conference
sangat
efektif
dilakukan
mengingat kondisi saksi yang mengalami guncangan psikis yang
hebat ketika hendak dimintai keterangan;
c. penggunaan video conference tersebut telah disetujui oleh
Mahkamah Agung serta Majelis Hakim yang menangani perkara
tersebut.
2.
Kekuatan pembuktian keterangan saksi pada kasus Cebongan
Yogyakarta
sesuai
dengan
Putusan
No.48-K/PM
II-
11/AD/VI/2013 dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, tidak
hanya sebagai alat bukti petunjuk saja. Hal yang paling mendasar
pada pemeriksaan keterangan saksi yang menggunakan sarana
video conference adalah keyakinan hakim yang memeriksa,
mengadili dan memutus perkara pidana tersebut.
103
B. Saran
Aparat penegak hukum, khususnya hakim harus lebih
menggali lagi nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, terlebih
lagi dalam proses pembuktian. Tidak hanya berdasarkan pada apa
yang telah tercantum dalam undang-undang sebagai hukum positif
saja, agar dapat terciptanya kesejahteraan masyarakat.
DAFTAR PUSTAKA
A. Literatur:
Ali, Lukman, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Amiruddin dan Asikin, Zainal, 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta:
PT. Raja Grafindo Persada.
Chazawi, Adami, 2006. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT.
Alumni.
Fuadi, Munir,2006. Teori Hukum Pembuktian Cet. I. Bandung: PT Citra Aditya
Bakti.
Hamzah, Andi, 1983. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar
Grafika.
,1983. Pengantar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
,1985. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Ghalia
Indonesia.
,1990. Pengantar Hukum Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia.
,2001. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Ghalia
Indonesia.
Hanadi, Saryono, 2008. Metodologi Penulisan dan Penelitian Hukum. Bahan Kuliah
MPPH, Purwokerto : Universitas Jenderal Soedirman.
Harahap, M.Yahya, 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP.
Jakarta: Pustaka Kartini.
,2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan
Penyidikan dan Penuntutan (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika.
KUHAP,
,2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjaun Kembali.
Jakarta: Sinar Grafika.
Ibrahim, Johnny, 2005. Teori&Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang:
Bayumedia Publishing.
Iksan, Muchamad, 2012. Hukum Perlindungan Saksi Dalam Sistem Peradilan
Pidana. Surakarta: Muhammadiyah University Press.
J, Febrian, 2004. Pengetahuan Komputer dan Teknologi Informasi. Bandung:
Informatika.
Marzuki, Peter Mahmud, 2008. Penulisan Hukum, Edisi Pertama Cetakan Ke-4.
Jakarta: Kencana.
,2013. Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Cetakan Kedelapan. Jakarta:
Kencana.
Mulyadi, Lilik, 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana: Pidana Perspek tif Teoritis dan
Praktik. Bandung: PT. Alumni.
,2010. Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana.
Bandung: PT: Citra Aditya Bakti.
Nugroho, Hibnu, 2010. Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia ( Edisi
Revisi ). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
,2012. Integralisasai Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia.
Jakarta: Media Prima Aksara.
Prinst, Darwan, 2002. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik . Jakarta: Djambatan.
Raharjo, Agus, 2007. Hukum Dan Teknologi Suatu Tinjauan Filosofis dan Kritik
Terhadap Positivisme Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas
Diponegoro.
Soekanto, Soerjono, 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit
Universitas Indonesia.
Soemitro, Ronny Hanitijo ,1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.
Cetakan Ketiga. Jakarta: Ghalia Indonesia.
Wahjono, Padmo, 1985. Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini. Jakarta:
Ghalia Indonesia
Waluyo, Bambang, 2012. Viktimologi Perlindungan Korban&Saksi. Jakarta: Sinar
Grafika.
B. Peraturan Perundang-undangan:
Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang
Hukum Acara Pidana
,Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Terorisme
,Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan
Korban
,Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi
Elektronik
,Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
,Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara
Perlindungan terhadap Korban dan Saksi Pelanggaran HAM yang Berat
,Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan terhada p Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam
Perkara Tindak Pidana Terorisme
,Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara
Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang
,Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 2 Tahun 2012
tentang Tata Cara Pendampingan Saksi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban
C. Kamus besar, Koran, Artikel Ilmiah dan Majalah Ilmiah:
Kamus Besar Bahasa Indonesia
Koran Kompas yang terbit pada tanggal 24 Juni 2002
Runtuwene, Oktavianus Garry. 2012. Hak dan Kewajiban Yang Mengikat Terhadap
Saksi di Dalam Praktik Persidangan Pidana. Lex Crimen vol I No. 4 OktoberDesember2012.
http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/907
(diakses
pada tanggal 5 Mei 2014 pukul 12:46 WIB)
Sulistyawati, Putu Elik, Pemanfaatan Telekonferen Sebagai Alat Bantu Pembuktian
Dalam Persidangan Pidana. http://ipi12364.pdf (diakses pada tanggal 6 Juli
2014 pukul 05:53 WIB)
Hibnu Nugroho, Nilai Pembuktian Telekonferensi. Hibnu Nugroho_Gagasan
Hukum_Halaman 2.html (diakses pada tanggal 7 Juli 2014 pukul 20:18 WIB)
Varia Peradilan No. 328 Maret 2013
D. Sumber Lain:
Kusuma, Nandar, Kesaksian Melalui Video Conference Dalam Perkara (internet),
2012.
Tersedia:
http://www.hukumindonesia.blogspot.com/2012/05/kesaksian-melalui-videoconference.html (diakses pada tanggal 5 Januari 2014 pukul 20:11 WIB)
Bahasa
Indonesia, Penembakan Cebongan (internet), 2013. Tersedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan_Cebongan ( di akses pada tanggal 9
Januari 2014 pukul 20:00 WIB )
Sorot, Jogya, Kasus Cebongan: MA Setuju Pakai Video Conference, (internet), 2013.
Tersedia:
http://berita-jogya-1...an-ma--setuju-pakai-videoconference.html
(diakses pada tanggal 10 Januari 2014 pukul 10:54 WIB )
Wikipedia, Pengertian Video Conference
(internet), 2013. Tersedia:
http://en.wikipedia.org/wiki (diakses pada tanggal 10 Januari 2014 pukul
18:00 WIB)
Zein, Arief, Pembuktian Dalam Hukum Pidana (internet), 2011. Tersedia:
www.Pembuktian_dalam_Hukum_Pidana.html (diaskes pada tanggal 24 April
2014 pukul 10:57 WIB)
Yahoo, Answers, Apa Pengertian Saksi, Syarat Sebagai Saksi dan Kewajiban Sebagai
Saksi ? (internet),
2012. Tersedia: http://Apa-Pengertian-Saksi-SyaratSebagai-dan-Kewajiban-Sebagai-Saksi?/html (diakses pada tanggal 24 April
2014 pukul 19:20 WIB)
Wikipedia,
Konferensi
Video
(internet),
2009.
Tersedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi video.html (dikases pada tanggal 27
April 2014 pukul 16:07 WIB)
Siadari, Ray Pratama, Beberapa Pengertian dan Dasar Hukum Pembuktian (internet),
2012. Tersedia: www.beberapa-pengertian-dan-dasar-hukum.html (diakses
pada tanggal 4 Mei 2014 pukul 20:40 WIB)
www.kesaksian-melalui-video-conference.html (diakses pada tanggal 5 Mei 2014
pukul 10:52 WIB)
Google, Apa Itu Video Conference (internet), 2013. Tersedia: www.apa -itu-videoconference.html (diakses pada tanggal 5 Mei 2014 pukul 19:08)
http://systempro.asis/news/98/Pertimbangan-untuk-membeli-video-conference
(diakses pada tanggal 8 Juni 2014 pukul 17:22 WIB)
http://Portal-Garuda.org/download (diakses pada tanggal 8 Juni 2014 pukul 17:46)
http://LensaIndonesia.Keterangan-Lima-Saksi-Akan-Diperlihatkan-Lewat-VideoConference (diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 06:19 WIB)
Republika, Saksi kasus Cebongan Direkomendasikan Bersaksi Via Video Cnference
(internet),
2013.
Tersedia:
Republika.co.id.Saksi-Kasus -CebonganDirekomendasikan-Bersaksi-Via-Video-Conference (diakses pada tanggal 6
Juli 2014 pukul 07:12 WIB)
http://www.yumpu.com/id/document/view/7874873/7-bab-landasan-teori-21-sejarahvideo-conference-video (diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 20:08 WIB)
Latiefs.blogspot.com/2002_09_01_archive.html (diakses pada tanggal 6 Juli 2014
pukul 20:16 WIB)
Chabbie, Lady, Hukum Pembuktian (internet), 2012. Tersedia: www.hukumpembuktian.html (diakses pada tanggal 8 Juli 2014 pukul 20:41)
Wordpress, Pengertian Video Conference (internet), 2010. Tersedia:
http://multimediaplasa.files.wordpress..com/2010/02/pengertian--videoconference.pdf (dika ses pada tanggal 10 Juli 2014 pukul 05:25 WIB)
http://www.lontar.ui.aca.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=111353&lokasi=lokal.
(diakses pada tanggal 10 Juli 2014 pukul 06:00 WIB)
JPNN, Kronologi Pengeroyokan Anggota Kopassus Sertu Heru (internet), 2013.
Tersedia:http://JPNN.Kronologi-pengeroyokan-anggota-kopassus-sertu-heru.html
(dikases pada tanggal 10 Juli 2014 pukul 20:48 WIB)
Kalsum, Umi, Pengacara: Janggal, Pemindahan Empat Pembunuh Kopassus ke Lapas
Cebongan
(internet),
2013.
Tersedia:
www.blogspot.com.umi.kalsum.Pengacara:janggal,
pemindahan
emapt
pembunuh kopassus ke lapas cebongan (diakses pada tanggal 10 Juli 2014 pukul
20:56 WIB)
Jawa Post National Network, Desak MA Putuskan Penggunaan Video Conference
(internet),
2014.
Tersedia:
http://Desak-MA-Putuskan-Penggunaanvideoconference.html (dikases pada tanggal 11 Juli 2013 pukul 06:25 WIB)
Ian, Hard, Penggunaan Video Conference Sebagai Alat Bukti yang Sah di
Persidangan
(internet),
2011.
Tersedia:
http://penggunaan_video_conference_sebagai_alat_bukti_yang_sah_dalam_persi
dangan.html (diakses pada tanggal 11 Juli 2014 pukul 07:05 WIB)
Iskandar, Aditya Nugraha, Pentingnya Perlindungan Terhadap Saksi Dan Korban
Kejahatan (internet), 2010. Tersedia: http://iskandar.centre.blog.pentingnya perlindungan-terhadap-hak-hak-saksi-dan-korban-kejahatan.html (diakses pada
tanggal 11 Juli 2014 pukul 08:22 WIB)
Wikipedia,
Pengertian
Saksi
(internet),
2013.
Tersedia:
http://id.wikipedia.org/wiki/saksi (diakses pada tanggal 12 Juli 2014 pukul 06:43
WIB)
Juliman, Keterangan Saksi Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Perkara Pidana
(internet),
2012.
Tersedia:
http://bab-ii-keterangan-saksi-sebagaisalah_24.html.pdf (diakses pada tanggal 7 Agustus 2014 pukul 05:35 WIB)
E. Putusan:
Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 48-K/PM II-11/AD/VI/2013.
Download