KETERANGAN SAKSI VIDEO CONFERENCE PADA KASUS CEBONGAN, YOGYAKARTA (Tinjauan Yuridis Putusan No. 48-K/PM II-11/AD/VI/2013) SKRIPSI Oleh : DIEN KALPIKA KASIH EIA010031 KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014 KETERANGAN SAKSI VIDEO CONFERENCE PADA KASUS CEBONGAN, YOGYAKARTA (Tinjauan Yuridis Putusan No. 48-K/PM II-11/AD/VI/2013) SKRIPSI Disusun Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Pada Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman Oleh : DIEN KALPIKA KASIH EIA010031 KEMENTRIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014 i PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Alloh SWT, yang telah melimpahkan rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulisan skripsi yang berjudul: “KETERANGAN SAKSI VIDEO CONFERENCE PADA KASUS CEBONGAN, YOGYAKARTA (Tinjauan Yuridis Putusan No.48-K/PM II-11/AD/VI/2013)” dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari sepenuhnya, bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna, mengingat keterbatasan pengetahuan, waktu dan terbatasnya literatur. Oleh karena itu, kritik dan saran yang sifatnya membangun akan diterima dengan ketulisan hati. Dari penulisan sripsi ini, penulis banyak mendapat bantuan dari berbagai pihak baik secara langsung maupun tidak langsung, maka pada kesempatan ini perkenankanlah penulis mengucapkan terima kasih kepada: 1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing I sekaligus Dosen Penguji I dan Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing II sekaligus Dosen Penguji II yang telah memberikan arahan dan bimbingan dengan penuh kesabaran sehingga skripsi ini dapat tersusun. iv 1. Bapak Dr. Hibnu Nugroho, S.H., M.H. dan ibu Handri Wirastuti Sawitri, S.H., M.H. selaku Dosen Pembimbing skripsi penulis, atas segala bimbingan, bantuan, arahan, dukungan dan masukan yang telah diberikan selama penulisan skripsi ini. Terima kasih atas bimbinganya semoga suatu saat nanti penulis dapat membalas jasa yang telah Bapak dan Ibu berikan. Walaupun penulis tahu, Bapak dan Ibu tidak mengharapkan imbalan apapun dari penulis. 2. Bapak Pranoto, S.H., M.H. Dosen Penguji skripsi penulis yang telah bersedia untuk menjadi penguji penulis. 3. Dr. H. Kuat Puji Prayitno, S.H.,M.Hum. selaku Dosen Pembimbing Akademik penulis.Terima kasih atas kebaikan serta kesediannya setiap kali penulis berkonsultasi Kartu Rencana Studi (KRS). 4. Segenap dosen, karyawan, dan karyawati serta keluarga besar Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman, yang telah berjasa kepada Penulis selama menempuh kuliah. 5. Mamah ku tersayang Hj. Hestya Dwi Adi Prihatini wanita yang telah merawat, menyayangi, membesarkan, mendoakan dan memberikan motivasi kepada penulis. 6. Bapakku H. Bagas Pitro Martono, A.Md. lelaki yang telah mendidik, menyayangi, mendoakan dan selalu memberikan motivasi kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi. Terimakasih atas semua cinta, perjuangan, dukungan, nasihat-nasihat serta doa yang terus- menerus diberikan kepada penulis hingga saat ini.Terimakasih yang vi setulus-tulusnya untuk kalian, walaupun penulis tahu bahwa ucapan terimakasih tidak cukup untuk mewakili betapa penulis bangga dan sayang terhadap kalian, semoga Allah SWT membalas segalanya yang telah papa dan mama berikan kepada saya. Amin. Semoga segala kebaikan yang mereka berikan kepada penulis, mendapatkan balasan sebesar-besarnya dari ALLAH SWT. Penulis juga memohon maaf kepada semua pihak apabila terdapat kesalahan dalam ucapan maupun tindakan selama berproses di FH UNSOED. Akhir kata, semoga skripsi ini dapat bermanfaat dan menambah pengetahuan tentang Hukum Acara khususnya Hukum Acara Pidana. Purwokerto, Agustus 2014 DIEN KALPIKA KASIH E1A010031 vi ABSTRAK KETERANGAN SAKSI VIDEO CONFERENCE PADA KASUS CEBONGAN, YOGYAKARTA (Tinjauan Yuridis Putusan No.48-K/PM II-11/AD/VI/2013) Oleh : DIEN KALPIKA KASIH E1A010031 Dewasa ini, teknologi berkembang sangat pesat dan mempengaruhi kehidupan manusia, termasuk dalam dunia hukum. Salah satu bentuk kecanggihan teknologi dalam bidang hukum adalah dalam proses pemeriksaan saksi yang menggunakan sarana video conference. Contoh kasus yang menggunakan video conference dalam pemeriksaan saksinya yaitu kasus penembakan yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta. Sebenarnya masih terjadi perdebatan penggunaan video conference dalam pemeriksaan saksi pada kasus tersebut. Oleh karena itu penggunaan video conference sebagai sarana pemeriksaan saksi perlu dikaji di dalam hukum positif Indonesia. Kata kunci: Keterangan Saksi; Video Conference;, Kasus Cebongan, Yogyakarta. vii ABSTRACT These days, technology develops rapidly and iffluences human beings, including in the world of law. One of some modern tecnologies in the world of law is the process of witnesses investigation which uses video conference as the medium. The case example of using video conference in the medium. The case example of using video conference in the witnesses investigation is the case of shooting which happens in Cebongan Jail, Yogyakarta. Actually, there is still a debate about the use of video conference in investigating the witnesses in that case. Therefore, the use of video conference as a witnesses investigation medium needs to be reviewed in the Indonesian Positive Law. Keyword : witnesses; video conference; Cebongan Case, Yogyakarta. viii DAFTAR ISI Halaman HALAMAN JUDUL................................................................................... i HALAMAN PENGESAHAN................................................................. ii PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI.................................................... iii PRAKATA.......................................................................................... iv ABSTRAK.......................................................................................... vii ABSTRACT...................................................................................... .......... viii DAFTAR ISI................................................................................... ix BAB I PENDAHULUAN.................................................................. 1 A. Latar Belakang....................................................................... 1 B. Perumusan Masalah................................................................ 5 C. Tujuan.................................................................................... ......... 5 D. Kegunaan............................................................................... 5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA........................................................ 7 1. Hukum Pembuktian............................................................ 7 a. Pengertian Pembuktian.................................................. 7 b. Teori, Asas dan Prinsip Pembuktian............................... 8 c. Tujuan dan Fungsi Pembuktian...................................... 17 2. Keterangan Saksi............................................................ a. Pengertian Saksi....................................................... ix 19 19 b. Syarat Menjadi Saksi................................................ ix 22 a. Hak dan Kewajiban Saksi.............................................. 26 b. Saksi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Pidana... 32 c. Saksi Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban......................... 37 2. Video Confrence.................................................................... 39 a. Pengertian Video Conference.............................. 39 b. Sejarah Video Conference.................................... 41 c. Tujuan dan Fungsi Penggunaan Video Conference................................................. 48 d. Perkara-perkara yang Kesaksiannya Menggunakan Video Conference................................................ 51 BAB III METODE PENELITIAN............................................................ 58 A. Metode Pendekatan........................................................................... 58 B. Spesifikasi Penelitian........................................................................ 60 C. Sumber Bahan Hukum...................................................................... 61 D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum............................................... 62 E. Metode Penyajian Bahan Hukum..................................................... 62 F. Metode Analisis Bahan Hukum........................................................ 63 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN........................ 64 A. Hasil Penelitian................................................................................. 64 1. Bahan Hukum Primer................................................................. 64 2. Bahan Hukum Sekunder............................................................. x 69 A. Pembahasan....................................................................................... 75 1. Diperlukannya Video Conference Dalam Pembuktian Keterangan Saksi Pada Kasus Cebongan, Yogyakarta Pada Putusan No.48-K/PM II11/AD/VI/2013........................................................................... 75 2. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Pada Kasus Cebongan, Yogyakarta Pada Putusan No.48-K/PM II-11/AD/VI/2013.................................................. BAB V PENUTUP................................................... .................................. 95 102 A. Simpulan................................................................................................ 102 B. Saran..................................................................................................... 103 DAFTAR PUSTAKA xi 1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Perkembangan teknologi dewasa ini sangat pesat, terutama di bidang komunikasi dan infomasi juga membawa pengaruh yang sangat besar bagi kehidupan masyarakat. Salah satunya yaitu penggunaan satelit untuk komunikasi. Pada era seperti sekarang ini kembali teknologi memberikan kemudahan bagi masyarakat untuk berkomunikasi yakni melalui “video conference”. Sebelumnya masyarakat hanya dapat berbicara dan mendengarkan orang yang diajak berbicara yang barada jauh darinya ( di luar negeri sekalipun ) melalui pesawat telepon saja. Tetapi dengan teknologi video conference, maka tidak hanya mendengar suara orang lain dari jauh untuk berkomunikasi, tetapi juga dapat menyaksikan gambar orang yang diajak untuk berkomunikasi pada saat itu juga. Sebenarnya teknologi ini sudah dikenal di Indonesia sejak era 90an yang mana pada saat itu Presiden Soeharto masih berkuasa, beliau sering mengadakan “tele wicara” yang disiarkan secara langsung oleh TVRI setiap bulannya dan dalam acara tersebut Presiden Soeharto menggunakan media televisi dan telepon (pada saat itu pihak TVRI bekerjasama dengan pihak Telkom ) untuk dapat langs ung berbicara dengan rakyat yang ada dipelbagai belahan Nusantara, sementara Presiden Soeharto berada di Jakarta dan rakyat yang diajak berdialog 2 berada di Kalimantan misalnya. 1 Tetapi dengan media video conference tersebut seolah-olah rakyat berbicara dan bertatap muka secara langsung dengan Presidennya. Perkembangan teknologi melalui video conference sebagai media komunikasi membawa dampak yang sangat besar di Indonesia khususnya dalam bidang hukum. Pemanfaatan teknologi video conference di bidang hukum Indonesia dimulai pada saat persidangan kasus penyimpangan dana non -budgeter Bulog atas nama terdakwa Akbar Tanjung. Saat itu mantan Presiden BJ. Habibie yang menjadi saksi dalam kasus tersebut tidak dapat dihadirkan ke persidangan karena pada saat itu beliau berada di Hamburg Jerman dan tidak dapat datang ke Indonesia dengan alasan menunggu ist rinya yang sedang sakit. Alasan tersebut kemudian pihak Pengadilan Jakarta Pusat berinisiatif untuk mengambil jalan pintas dengan mengadakan suatu video conference whitness atau kesaksian secara video conference, dan kesaksian tersebut diadakan di kantor Konsul Jenderal Indonesia di Hamburg Jerman, dan disiarkan secara langsung oleh salah satu stasiun swasta di Indonesia. 2 Kasus lainnya yang keterangan saksinya menggunakan video conference adalah kasus penembakan yang dilakukan oleh anggota Koppasus kepada empat tahanan yang terjadi di dalam lembaga pemasyarakatan Cebongan Yogyakarta ( Lapas Cebongan Yogyakarta ) pada hari Sabtu tanggal 23 1 Kusuma, Nandar, Kesaksian Melalui Video Conference Dalam Perkara (internet), 2012. Tersedia: http://www.hukumindonesia.blogspot.com/2012/05/kesaksian-melaluivideo-conference.html (diakses pada tanggal 5 Januari 2014 pukul 20:11 WIB ). 2 Sidang dengan menghadirkan saksi Prof.B.J.Habibie yang berada di Hamburg Jerman (sumber: kompas tanggal 24 Juni 2002). 3 Maret 2013 sekitar pukul 01:30 WIB. 3 Di duga karena rekan sejawat anggota Koppasus tersebut yaitu Serka Heru Santoso yang dikeroyok hingga tewas oleh sekelompok orang yaitu Dikki CS di tempat hiburan Hugo’s Cafe di Jalan Adisucipto, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta. Dikarenakan peristiwa tersebut maka anggota Koppasus Yogyakarta lainnya melakukan penembakan terhadap kelompok Dikki CS yang saat tiu telah menjadi tahanan di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta. Pada saat penembakan tersebut para tahanan yang lainnya yang ikut menyaksikan penembakan tersebut untuk selanjutnya dijadikan sebagai saksi dalam kasus yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan. Setelah kejadian tersebut banyak saksi yang tertekan dan trauma, oleh karena itu Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban ( LPSK ) yaitu Abdul Harris Semendawai memohon kepada Mahkamah Agung Republik Indonesia agar kiranya para hakim di Pengadilan Militer II-11 Yogyakarta agar berkenan memeriksa kesaksian dari para saksi tersebut melalui video conference karena melihat kondisi psikologi dari para saksi. Mahkamah Agung Republik Indonesia telah bersedia bahwa keterangan saksi kasus Cebongan Yogyakarta menggunakan video conference, namun pada saat itu para hakim yang mengadili dan memutus perkara tersebut masih terdapat pro dan kontra mengenai 3 Bahasa Indonesia, Penembakan Cebongan (internet), 2013. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan_Cebongan ( di akses pada tanggal 9 Januari 2014 pukul 20:00 WIB ). 4 keterangan saksi yang disampaikan melalui video conference.4 Para hakim yang setuju menggunakan video conference memberikan alasan bahwa untuk menciptakan keadaan yang lebih aman dan kondusif serta menciptakan rasa aman kepada saksi, maka lebih baik saksi tidak di hadirkan secara langsung ke dalam ruang pesidangan. Namun, berbeda pendapat dengan majelis hakim yang tidak setuju dengan penggunaan video conference di dalam pemeriksaan saksi-saksi. Majelis hakim yang tidak setuju berpatokan pada Pasal 160 ayat (1) huruf a KUHAP yang berbunyi : Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik -baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum; Serta majelis hakim yang tidak setuju juga berpegang teguh pada Pasal 185 ayat (1) KUHAP yakni : Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Sesuai dengan patokan yang digunakan oleh majelis hakim yang tidak setuju dengan adanya penggunaan video conference sebagai sarana dalam pemeriksaan keterangan saksi maka dapat dikatakan bahwa majelis hakim tersebut sangat mengutamakan kehadiran saksi dalam persidangan tanpa perantara oleh fasilitas apapun, karena hakikat dari hukum acara pidana yakni mencari kebenaran materiil yaitu memperoleh kebenaran hakiki yang sebenar-benarnya. 5 4 Sorot, Jogya, Kasus Cebongan: MA Setuju Pakai Video Conference, (internet), 2013. Tersedia: http://berita-jogya-1...an -ma--setuju-pakai-videoconference.html (diakses pada tanggal 10 Januari 2014 pukul 10:54 WIB ). 5 Ibid. 5 Dilatarbelakangi permasalahan tersebut, penulis tertarik untuk meneliti lebih jauh dan menyusun dalam penulisan skripsi yang berjudul : KETERANGAN SAKSI VIDEO CONFERENCE PADA KASUS CEBONGAN, YOGYAKARTA (Tinjauan Yuridis Putusan No.48-K/PM II-11/AD/VI/2013) B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang permasalahan di atas, dapat dirumuskan permasalahan, yaitu : 1. Mengapa video conference diperlukan dalam pembuktian keterangan saksi pada kasus Cebongan, Yogyakarta pada Putusan No.48-K/PM II-11/AD/VI/2013? 2. Bagaimana kekuatan pembuktian keterangan saksi video conference pada kasus Cebongan, Yogyakarta terkait dengan Putusan No.48-K/PM II-11/AD/VI/2013? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah : 1. Mengetahui pengggunaan video conference dalam mendengarkan keterangan saksi dalam proses perkara pidana khususnya pada keterangan saksi pada kasus yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta. 2. Mengetahui kekuatan pembuktian keterangan saksi conference pada Putusan No.48-K/PM II-11/AD/VI/2013. video 6 D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan teoritis Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk pengembangan pustaka hukum yang berkaitan dengan Hukum Acara Pidana terutama yang berkaitan dengan penggunaan video conference keterangan saksi pada kasus yang terjadi di dalam Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta . 2. Kegunaan praktis Hasil dari penelitian ini diharapkan berguna untuk memberikan informasi dan pendidikan bagi masyarakat tentang dasar pertimbangan penggunaan video conference dalam memberikan kesaksian pada proses perkara pidana khususnya dalam kasus yang terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta serta membandingankan pendapat para praktisi hukum mengenai penggunaan video conference dalam memberikan kesaksian pada proses perkara pidana . Selain itu, membandingkan pula dengan Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana tentang kekuatan yuridis keterangan saksi yang diberikan melalui video conference dalam proses perkara pidana agar secara praktis dapat dengan mudah diterapkan. 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA 1. Hukum Pembuktian a. Pengertian Pembuktian Hukum pembuktian adalah seperangkat kaidah hukum yang mengatur tentang pembuktian.6 Membuktikan adalah meyakinkan hakim tentang kebenaran dalil atau dalil-dalil yang dikemukakan dalam suatu persengketaan. Menurut M. Yahya Harahap7 : Pembuktian adalah ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang dan boleh digunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Menurut R. Subekti 8 mengatakan bahwa : Bukti berarti sesuatu untuk meyakinkan akan kebenaran suatu dalil atau pendirian. Pembuktian adalah perbuatan yang dilakukan untuk meyakinkan kebenaran suatu dalil di muka pengadilan. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia juga dijelaskan mengenai pengertian pembuktian yaitu: 6 Munir Fuady,2006. Teori Hukum Pembuktian Cet. I. Bandung: PT.Citra Aditya Bakti, Hal 1. 7 Zein, Arief, Pembuktian Dalam Hukum Pidana (internet), 2011. Tersedia: www.pembuktian-dalam-hukum-pidana.html (diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 10:57 WIB). 8 Siadari, Ray Pratama, Beberapa Pengertian dan Dasar Hukum Pembuktian (internet), 2012. Tersedia: www.beberapa-pengertian -dan-dasar-hukum.html (diakses pada tanggal 4 Mei 2014 pukul 20:40 WIB). 8 Perbuatan memberi (memperlihatkan bukti, melakukan sesuatu sebagai bukti kebenaran, melaksanakan cita-cita dan sebagainya, menandakan atau menyatakan bahwa sesuatu benar serta meyakinkan, menyaksikan). Dengan demikian nampaklah bahwa pembuktian itu hanyalah diperlukan dalam persengketaan dan perkara di muka hakim atau pengadilan, sehingga pembuktian itu hanya diperlukan, apabila timbul suatu perselisihan. 9 Sementara itu, pengertian pembuktian dalam ilmu hukum adalah suatu proses, baik dalam acara perdata maupun pidana, yang mana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan dengan prosedur khusus, untuk mengetahui suatu fakta atau pernyataa n, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti dinyatakan itu. 10 b. Teori, Asas dan Prinsip Pembuktian Proses “pembuktian” hakikatnya lebih dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiil tentang peristiwa yang terjadi dan memberikan keyakinan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan yang seadil-adilnya. Dikaji dari sudut pandang hukum acara pidana, maka “hukum pembuktian” berkembang dalam rangka untuk menarik suatu kesimpulan 9 Ibid Hal 1. berita-jogya-.1...an-ma--setuju-pakai-videoconference.html (internet), Loc.Cit. 10 9 bagi hakim di dalam sidang pengadilan untuk menyatakan bahwa terdakwa terbukti atau tidak melakukan tindak pidana yang telah didakwakan oleh penuntut umum dalam surat dakwaannya dan pada akhirnya hakimlah yang berwenang menjatuhkan berat ringannya hukuman pada terdakwa. Dalam menjatuhkan berat ringannya hukuman tersebut tentunya hakim memegang prinsip dari setiap pemikiran hakim, pemikiran tersebut tidak lepas juga dari teori ataupun prinsip yang ada di dalam hukum pembuktian itu sendiri. Ada beberapa teori pembuktian yang dianut hakim di Indonesia, yaitu: 1. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim semata atau conviction intime. Ini merupakan teori pembuktian yang menjelaskan agar terbukti atau tidaknya kesalahan terdakwa semata-mata ditentukan atas penilaian keyakinan atau perasaan hakim. Dasar hakim membentuk keyakinannya tidak perlu didasarkan pada alat bukti yang ada. 2. Teori pembuktian berdasarkan pada undang-undang secara positif atau positif wettelijk bewijs theori. Yaitu apabila suatu perbuatan terdakwa telah terbukti sesuai dengan alat-alat bukti sah menurut undang-undang, maka hakim harus menyatakan terdakwa terbukti bersalah tanpa mempertimbangkan keyakinannya sendiri. Dalam teori ini undang-undang menentukan bagaimana cara hakim untuk mempergunakan alat bukti tersebut sebagaimana mestinya, asalkan penggunaannya sesuai dengan yang telah ditentukan oleh undang-undang. Jika dikaji secara hakiki, 10 ternyata teori pembuktian ini mempunyai segi negatif dan positif. Hal ini tampak melalui asumsi M. Yahya Harahap11 sebagai berikut: “Pembuktian menurut undang-undang secara positif, keyakinan hakim tidak ikut ambil bagian dalam pembuktian kesalahan terdakwa. Keyakinan hakim dalam sistem ini tidak ikut berperan menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Sistem ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang. Untuk membuktikan salah atau tidaknya terdakwa semata -mata digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah. Asal sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undangundang. Sudah cukup menentukan kesalahan terdakwa tanpa mempersoalkan keyakinan hakim. Apakah hakim yakin atau tidak tentang kesalahan terdakwa, bukan menjadi masalah. Pokoknya, apabila sudah dipenuhi cara-cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, hakim tidak lagi menanyakan keyakinan hati nuraninya akan kesalahan terdakwa. Dalam sistem ini, hakim seolah-olah robot pelaksana undang-undang yang tidak memiliki hati nurani. Hati nuraninya seolah-olah tidak ikut hadir dalam menentukan salah ata u tidaknya terdakwa. Meskipun demikian, dari satu segi sistem ini mempunyai kebaikan. Sistem ini bener-benar menuntut hakim sebagai suatu kewajiban untuk mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang telah ditentukan 11 M. Yahya Harahap, 1985. Pembahasan Pemasalahan dan Penerapan KUHAP . Jakarta: Pustaka Kartini, Hal 789-799. 11 undang-undang. Dari sejak semula pemeriksaan perkara, hakim harus melemparkan dan mengesampingkan jauh-jauh faktor keyakinannya. Hakim semata -mata berdiri tegak pada nilai pembuktian objektif tanpa mencampuradukan hasil pembuktian yang diperoleh di persidangan dengan unsur-unsur subjektif keyakinan nuraninya. Sekali majelis hakim menentukan hasil pembuktian yang objektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang, mereka tidak perlu lagi bertanya dan menguji hasil pembuktian tersebut dengan keyakinan hati.” 3. Teori pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis atau conviction rasionnee. Putusan hakim didasarkan atas keyakinannya tetapi harus disertai pertimbangan dan alasan yang jelas dan logis. Di sini pertimbangan hakim dibatasi oleh reasoning yang harus reasonable. Dalam perkembangannya lebih lanjut teori ini mempunyai dua bentuk, yaitu: a. Conviction intime: Yakni kesalahan terdakwa bergantung pada keyakinan belaka sehingga hakim tidak terikat oleh suatu peraturan. Dengan demikian, put usan hakim tampak timbul nuansa subjektifnya. Misalnya, dalam putusan hakim dapat berdasarkan pada mistik, keterangan medium, dukun, dan sebagainya sebagaimana pernah diterapkan dahulu pada praktik peradilan. Apabila dikaji dan ditelaah secara mendalam, mendetail, dan substansial, penerapan sistem pembuktian conviction intime mempunyai subjek, yaitu: 12 “Sistem pembuktian conviction intime menetukan salah tidaknya terdakwa, semata-mata oleh penilaia n keyakinan hakim. Keyakinan hakimlah yang menentukan keterbuktikan kesalahan terdakwa. Darimana hakim menarik dan menyimpulkan keyakinannya, tidak menjadi masalah dalam sistem ini. Keyakinan boleh diambil dan disimpukan dari alat-alat diperiksanya dalam sidang pengadilan. Bisa bukti yang juga hasil pemeriksaan alat-alat bukti itu diabaikan hakim dan langsung menarik keyakinan dari keterangan atau pengakuan terdakwa. Sistem pembuktian conviction intime ini, tentu mengandung kelemahan. Hakim dapat saja menja tuhkan hukuman pada seorang terdakwa semata-mata atas “dasar keyakinan” belaka tanpa didukung alat-alat bukti yang cukup. Sebaliknya, hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang dilakukannya walaupun kesalahan terdakwa telah cukup bukti dengan alat-alat bukti yang lengkap, selama hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Jadi dalam sistem pembuktian conviction intime, sekalipun kesalahn sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat dikesampingkan oleh keyakinan hakim. Sebaliknya, walaupun kesalahan terdakwa “tidak terbukti” berdasarkan alatalat bukti yang sah, terdakwa bisa dinyatakan bersalah sematamata atas “dasar keyakinan” hakim. Keyakinan hakimlah yang “dominan” atau yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Seolah-olah menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada keyakinan hakim semata -mata. Keyakinan hakimlah yang 13 menentukan wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.”12 b. Conviction raisonce Yakni keyakinan hakim tetap memegang peranan penting untuk menetukan tentang kesalahan terdakwa. Akan tetapi, penerapan keyakinan hakim tersebut dilakukan secara selektif dalam artian keyakinan hakim “dibatasi” dengan harus didukung oleh “alasan-alasan jelas dan rasional” dalam mengambil keputusan. Andi Hamzah13 menyebutkan bahwa: “Sistem atau teori pembuktian jalan tengah atau yang berdasarkan keyakinan hakim sampai batas tertentu ini terpecah kedua jurusan. Yang pertama yang tersebut di atas yaitu pembuktian berdasarkan keyakinan hakim atas alasan yang logis (convincion reisonne) dan yang kedua ialah teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negative wettelijke bewlijs theorie). Persamaan keduanya ialah sama berdasar atas keyakinan hakim, artinya terdakwa tidak mungkin dipidana tanpa adanya keyakinan hakim bahwa ia bersalah. Perbedaannya ialah bahwa yang tersebut pertama berpangkal tolak pada keyakinan hakim, tetapi keyakinan itu harus didasarkan kepada suatu kesimpulan (conclusie) yang logis, yang tidak didasarkan kepada undangundang, tetapi ketentuan-ketentuan menurut ilmu pengetahuan 12 Ibid, M. Yahya Harahap, 1985, Hal 797-798. Andi Hamzah, 1990. Pengantar Hukum Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia, 13 Hal 229. 14 pembuktian yang mana yang ia akan pergunakan, sedangkan yang kedua berpangkal tolak pada aturan-aturan pembuktian yang ditetapkan secara limitatif oleh undang-undang. Pada yang pertama dasarnya ialah suatu yang tidak didasarkan undangundang, sedangkan pada yang kedua didasarkan pada ketentuan undang-undang yang disebut secara limitatif.” 4. Teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif atau negatif wettelijk bejist theori. a. Teori pembuktian ini berada di antara teori positif wettelijk dan teori conviction resionnee; b. Salah tidaknya seorang terdakwa ditentukan oleh keyakinan hakim yang didasarkan pada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Pada prinsipnya teori pembuktian menurut undang-undang secara negatif (negatif wettelijk bejist theori) menentukan bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana terhadap terdakwa jika alat bukti tersebut secara limitatif ditentukan oleh undang-undang dan didukung pula oleh adanya keyakinan hakim terhadap eksistensinya alat-alat bukti tersebut. Dari aspek historis ternyata sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif tentulah melekah adanya : a. Prosedural dari tata cara pembuktian sesuai dengan alat-alat bukti sebagainya limitatif ditentukan undang-undang. b. Terhadap alat-alat bukti tersebut hakim yakin, baik secara materiil maupun secara prosedural. 15 Menurut teori ini hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat bukti yang telah ditentukan undang-undang itu ada, ditambah dengan keyakinan hakim yang didapat dari adanya alat-alat bukti itu. Dalam Pasal 183 KUHAP menyatakan sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Atas dasar ketentuan Pasal 183 KUHAP ini, maka dapat disimpulkan bahwa KUHAP memakaisistem pembuktian menurut undang-undang yang negatif. Ini berarti bahwa dalam hal pembuktian harus dilakukan penelitian, apakah terdakwa cukup alasan yang didukung oleh alat pembuktian yang ditentukan oleh undang-undang (minimal dua alat bukti) dan kalau ia cukup, maka baru dipersoalkan tentang ada atau tidaknya keyakinan hakim akan kesalahan terdakwa. Teori pembuktian menurut undang-undang negatif tersebut dapat disebut dengan negative wettelijk, istilah itu berarti: wettelijk artinya berdasarkan undang-undang, sedangkan negative artinya walaupun dalam suatu perkara terdapat cukup bukti sesuai dengan undang-undang, maka hakim belum boleh menjatuhkan hukuman sebelum memperoleh keyakinan tentang kesala han terdakwa. Dalam sistem pembuktian yang negatif alat-alat bukti limitatif ditentukan dalam undang-undang dan bagaimana cara 16 mempergunakannya hakim juga terikat pada ketentuan undangundang. Selanjutnya perpaduan antara sistem pembuktian negatif dan keyakinan hakim ini melekat pula adanya unsur-unsur objektif dan subjektif dalam menentukan terdakwa bersalah ataukah tidak. Hal ini ditegaskan oleh M. Yahya Harahap14 sebagai berikut: “Dengan demikian, sistem ini memadukan unsur-unsur subjektif dan objektif dalam menetukan salah atau tidaknya seorang terdakwa. Tidak ada yang paling dominan diantara kedua unsur tersebut. Karena kalau salah satu unsur diantara kedua unsur itu tidak ada, berarti belum cukup mendukung keterbuktian kesalahan terdakwa. Misalnya, ditinjau dari segi ketentuan cara dan dengan alat-alat bukti akan kesalahan terdakwa yang sudah terbukti tadi. Maka, dalam hal seperti ini terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Sebaliknya, hakim benar-benar yakin terdakwa sungguh-sungguh bersalah melakukan kejahatan yang didakwakan. Akan tetapi, keyakinan tersebut tidak didukung dengan pembuktian yang cukup menurut tata cara dan dengan alatalat bukti yang sah menurut undang-undang. Dalam hal seperti ini pun terdakwa tidak dapat dinyatakan bersalah. Oleh karena itu, diantara kedua komponen tersebut harus saling mendukung.”15 14 15 M. Yahya Harahap, 1985, Op.Cit., Hal 800. Pembuktian-dalam-hukum-pidana.html (internet), Loc.Cit. 17 Di Indonesia sendiri menganut teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif atau negatif wettelijk bejist theori yang mana harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 1. Kesalahan terbukti dengan sekurang-kurangnya “dua alat bukti yang sah”. 2. Dengan alat bukti minimum yang sah tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa telah terjadi tin dak pidana dan terdakwalah pelakunya. 16 Hal ini dipertegas lagi dengan ketentuan yang ada di dalam Pasal 183 KUHAP, yakni : Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dikatakan bahwa dalam hukum pembuktian ini terdapat asas minimum pembuktian. Asas ini merupakan asas yang mengatur batas yang harus dipenuhi untuk membuktikan kesalahan terdakwa, yaitu : 1. Dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah (dengan hanya satu alat bukti belum cukup); 2. Kecuali dalam pemeriksaan perkara dengan cara pemeriksaan “cepat”, dengan satu alat bukti sah saja cukup untuk mendukung keyakinan hakim. 17 Dalam hukum pembuktian terdapat pula prinsip pembuktian diantaranya : 16 17 Ibid. Ibid. 18 1. Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan kembali (notoire feiten); 2. Satu saksi bukan saksi (unus testis nullus testis); 3. Pengakuan (keterangan) terdakwa tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah. 18 Dengan diterapkannnya teori, prinsip maupun asas dari pembuktian tersebut dalam kerangka pikir para hakim, maka dalam penjatuhan berat ringannya hukuman yang diberikan kepada terdakwa diharapkan dapat tercipta dan terlaksana dengan seadil-adilnya. c. Tujuan dan Fungsi Pembuktian Pembuktian merupakan suatu rangkaian dari proses pemeriksaan di depan persidangan. Dalam hal ini hakim diharapkan betul-betul cermat, teliti dan matang menilai serta mempertimbangkan seluruh buktibukti yang diajukan di persidangan, karena dengan pembuktian inilah ditentukan apakah terdakwa benar-benar terbukti melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya dan selanjutnya dapat dibebaskan dari hukuman bila tidak terbukti bersalah. Pada prinsipnya “hukum pembuktian” dikaitkan dengan hukum acara pidana hal tersebut memiliki tujuan atau fungs i sebagai berikut : 1. Sebagai sarana untuk mencari suatu kebenaran materiil dari suatu tindak pidana yang terjadi; 2. Menemukan orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana; 3. Meminta pengadilan untuk memutuskan bermasalah atau tidaknya tersangka; dan 4. Melaksanakan dan kemudian mengawasi pelaksanaan dari putusan tersebut. 19 18 Ibid. 19 2. Keterangan Saksi a. Pengertian Saksi Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, kedudukan saksi sangat penting sehingga keterangan saksi dijadikan salah satu diantara lima alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: 20 Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Petunjuk; dan Keterangan terdakwa. Penempatan keterangan saksi dalam urutan pertama dari lima alat bukti yang sah, menunjukan tentang pentingnya alat bukti keterangan saksi dalam penyelesaian perkara pidana. 21 Sebelum membahas lebih lanjut mengenai keterangan saksi, terlebih dahulu kita akan membahas mengenai definisi saksi. Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia definisi saksi dibagi menjadi beberapa pengertian, antara lain : 1. Orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian); 2. Orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa yang dianggap mengetahui suatu kejadian tersebut agar pada suatu ketika, apabila diperlukan dapa t memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi; 3. Orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa; 4. Keterangan (bukti pernyataan) yang diberikan oleh orang yang melihat atau mengeta hui; 5. Bukti kebenaran; 19 Hibnu Nugroho, 2012. Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jakarta: Media Prima Aksara, Hal 32. 20 Muchamad Iksan, 2012. Hukum Perlindungan Saksi dalam Sistem Peradilan Pidana Indonesia. Surakarta: Muhammadiyah University Press, Hal 9. 21 Andi Hamzah, 1985. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia, Hal 187. 20 6. Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri. Menurut Pasal 1 butir ke 26 KUHAP: Saksi adalah orang yang dapat memberi keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang dia dengar sendiri, dia lihat sendiri dan dia alami sendiri. Menurut Pasal 1 butir ke 1 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban: Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Pengertian saksi yang lebih luas dapat dikemukakan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi Pelanggaran HAM yang Berat sebaga i peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM, yang memberikan definisi saksi sebagai: Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan atau pemeriksaan di sidang pengadilan tentang perkara pelanggaran hak asasi manusia yang berat yang ia dengar sendiri, lihat sendiri, dan alami sendiri, yang memerlukan perlindungan fisik dan mental dari ancaman, gangguan, teror, dan kekerasan dari pihak manapun (Pasal 1 butir 3). Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai peraturan pelaksanaan dari Undang-undang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucin Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang Nomor 25 Tahun 2003, dalam Pasal 1 butir 3 memberikan pengertian saksi sebagai: 21 Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami sendiri. Saksi merupakan pihak yang telah terlibat dalam perkara pidana. Ia menduduki peran dan fungsi yang penting dalam suatu pemeriksaan perkara di sidang pengadilan. Tanpa adanya saksi, suatu tindak pidana akan sulit diungkap kebenarannya. Maksud dari menanyai saksi adalah memberikan kesempatan untuk menyatakan bahwa tersangka tidak bersalah, ataupun jika bersalah maka mengakui kesalahannya . 22 Menurut Pasal 1 butir ke 27 KUHAP dikatakan bahwa: Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Berdasarkan beberapa pengertian saksi di atas maka dapat dinyatakan bahwa keterangan saksi merupakan hal yang penting dalam proses persidangan. Sebab saksi lah yang mengetahui secara kongret mengenai suatu tindak pidana yang sebenarnya terjadi. Dalam KUHAP saat ini pun keterangan saksi menduduki peringkat pertama sebagai salah satu alat bukti dalam proses perkara pidana. Keterangan saksi merupakan salah satu alat bukti terpenting dalam perkara tindak pidana, oleh sebab itu hukum acara pidana yang mengutamakan kebenaran materiil, yaitu kebenaran yang mendekati kenyataan sebagaimana yang menjadi tujuan utama KUHAP.23 22 Andi Hamzah, 1990, Op.Cit., Hal 162. Hibnu Nugroho, 2010. Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia (Edisi Revisi). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Hal 95. 23 22 Dalam Pasal 184 KUHAP menempatkan alat bukti saksi dalam urutan pertama sebagai alat bukti sah, berbeda dengan hukum acara perdata yang mengutamakan kebenaran formal, sehingga menempatkan alat bukti surat sebagai urutan pertama. 24 Keterangan saksi dalam kedudukannya sebagai alat bukti dimaksudkan untuk membuat terang suatu perkara yang sedang di periksa, diharapkan dapat menimbulkan keyakinan pada hakim, bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. b. Syarat Menjadi Saksi Dalam hal menjadi seorang saksi merupakan sebuah kewajiban bagi setiap orang yang diminta hadir dalam memberikan keterangan di sidang pengadilan. Berikut ini ada syarat-syarat seseorang agar dapat menjadi saksi, yaitu : 1. Sehat jiwa dan batinnya (tidak gila); 2. Baliq (dewasa); 3. Berani disumpah sesuai dengan agama masing-masing; 4. Melihat, mendengar dan mengalami perkara pidana tersebut25. Apabila salah satu syarat tersebut tidak terpenuhi oleh seorang saksi, maka kesaksiannya tersebut menjadi tidak sah. Ditinjau dari segi nilai dan kekuatan pembuktian keterangan saksi, agar keterangan saksi 24 Varia Peradilan No 328 Maret 2013, hal 78. Yahoo, Answers, Apa Pengertian Saksi, Syarat Sebagai Saksi dan Kewajiban Sebagai Saksi ? (internet), 2012. Tersedia: http://Apa_pengertian_saksi_syarat_sebagai_saksi_dan_kewajiban_sebagai_saksi?/html (diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 19:20 WIB). 25 23 atau kesaksian mempunyai nilai serta kekuatan pembuktian, perlu diperhatikan beberapa pokok ketentuan yang harus dipenuhi oleh seorang saksi, yaitu sebagai berikut: 1.Harus mengucapkan sumpah atau janji; 2.Keterangan saksi yang yang bernilai alat bukti. 26 Keterangan saksi yang mempunyai nilai ialah keterangan yang sesuai dengan apa yang dijelaskan pada Pasal 1 butir ke 27 KUHAP, yaitu: Yang saksi lihat sendiri; Yang saksi dengar sendiri; Yang saksi alami sendiri; Serta menyebut alasan dari pengetahuan itu; Keterangan harus diberikan di sidang pengadilan. Keterangan saksi yang memenuhi syarat dan bernilai sebagai alat bukti secara yustisial haruslah: a. Memberikan keterangan yang sebenarnya sehubungan dengan tindak pidana yang sedang diperiksa. Ketera ngan saksi haruslah murni berdasarkan kesadarannya sendiri, dan didukung oleh latar belakang dan sumber pengetahuannya. b. Keterangan saksi yang relevan untuk kepentingan yustisial. i.“yang ia dengar sendiri”; ii.“yang ia lihat sendiri”; atau iii.“yang ia alami sendiri”. iv.Hasil pendengaran, penglihatan, atau pengala man sendiri dimaksud harus didukung suatu alasan “pengetahuannya” yang logis dan masuk akal. v.Jumlah saksi yang sesuai untuk kepentingan peradilan sekurangkurangnya dua (Pasal 182 ayat (2) KUHAP: unus testis nullus testis,satu saksi bukan saksi) 27 26 hukum indonesia.blogspot.com/2012/05/kesaksian-melalui-video-conference.html (internet), Loc.Cit. 27 M. Yahya Harahap, 2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika, Hal 141-142 . 24 Pada umumnya semua orang dapat menjadi saksi. Namun ada pengecualian yang terdapat dalam Pasal 168 KUHAP, yakni: a. Keluarga sedarah atau semenda dalam ga ris lurus ke atas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau istri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersama-sama sebagai terdakwa. Di samping karena hubungan derajat kekeluargaan (sedarah atau semenda), telah ditentukan dalam Pasal 170 KUHAP bahwa mereka yang karena pekerjaan, harkat, martabat menyimpan rahasia, dapat meminta atau jabatannya dibebaskan dari diwajibkan kewajiban memberikan keterangan sebagai seorang saksi. Dalam Pasal 171 KUHAP juga terdapat pengecualian orang-orang yang tidak diwajibkan menjadi saksi, yakni: 1.Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; 2.Orang yang sakit atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali. Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum berumur lima belas tahun, demikian juga dengan orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, orang yang gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa disebut psyhcopaat. Mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana, maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dijadikan sebagai sebuah petunjuk saja. 25 Dalam Pasal 185 ayat (5) KUHAP dinyatakan bahwa baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. Di dalam penjelasan Pasal 185 ayat (1) KUHAP dikatakan bahwa: Dalam keterangan saksi tidak termasuk keterangan yang diperoleh dari orang lain atau testimonium de auditu. Dengan demikian, keterangan saksi yang diperoleh dari orang lain bukanlah alat bukti yang sah. Keterangan demikian merupakan keterangan saksi yang mendengar orang lain mengatakan atau, menceritakan sesuatu, atau apa yang ada dalam ilmu hukum acara pidana disebut terstimonium de auditu. Menurut Andi Hamzah, sesuai dengan penjelasan KUHAP yang mengatakan kesaksian de auditu tidak diperkenankan sebagai alat bukti, dan selaras pula dengan tujuan hukum acara pidana yaitu mencari kebenaran materiil, dan pula untuk perlindungan te rhadap hak-hak asasi manusia, yang mana keterangan seorang saksi yang hanya mendengar dari orang lain, tidak terjamin kebenarannya. Maka kesaksian de auditu patut tidak dipakai di Indonesia pula. 28 Namun demikian, kesaksian de auditu perlu pula didengar oleh hakim, walaupun tidak mempunyai nilai sebagai bukti kesaksian, tetapi dapat memperkuat keyakinan hakim yang bersumber pada dua alat bukti yang lain. Pada umumnya de auditu diterima sebagai alat bukti tetapi dibatasi pengertiannya dari pengertian biasa. Tidak diajukan sebagai de 28 Andi Hamzah, 2001. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi revisi). Jakarta: Ghalia Indonesia Hal 260-261. 26 auditu atau hearsay evidence. Misalnya keterangan terdakwa bahwa seseorang telah mengakui kepadanya bahwa orang itulah yang melakukan kejahatan tersebut. Selanjutnya dapat dikemukakan adanya batas nilai suatu kesaksian yang berdiri sendiri dari seorang saksi yang disebut unus testis nullus testis. Dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP yang mengatakan bahwa: Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Menurut D.Simons yang dikutip dalam Buku Andi Hamzah mengatakan bahwa: “Suatu keterangan saksi yang berdiri sendiri tidak dapat membuktikan suatu keadaan tersendiri, suatu petunjuk suatu dasar pembuktian dan juga ajaran Hoge Raad bahwa dapat diterima keterangan seorang saksi untuk satu unsur (bestanddeel) delik dan tidak bertentangan dengan Pasal 342 ayat (2) Ned. Sv.” Pendapat D.Simons tersebut tidak bertentangan dengan Pasal Pasal 185 ayat (2) dan ayat (4) KUHAP. Jika satu keterangan saksi berdiri sendiri dipaka i sebagai alat bukti untuk suatu keadaan atau suatu unsur delik. Pada Pasal 185 ayat (4) KUHAP mengatakan bahwa: Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lainnya sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. c. Hak dan Kewajiban Saksi Hak dan kewajiban saksi merupakan salah satu contoh hubungan timbal balik negara dan masyarakat, yang mana hak-hak masyarakat pada umumnya maupun pada masyarakat yang bertindak sebagai saksi, harus dilindungi oleh negara. Dalam proses persidangan 27 pidana, pemenuhan hak saksi oleh negara merupakan satu hal yang wajib dan apabila saksi merasa bila hak-haknya telah terpenuhi, maka secara tidak langsung akan berdampak positif bagi pelaksanaan kewajibannya di dalam proses persidangan. 29 Perlindungan terhadap skasi dan korban sebagaimana diatur dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 bertujuan memberikan rasa aman kepada saksi dan korban dalam memberikan keterangan dalam proses peradilan, sedangkan asas yang dianut oleh undang-undang tersebut adalah penghargaan atas harkat dan martabat manusia; rasa aman; keadilan; tidak diskriminatif dan kepastian hukum.30 Dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban menyebutkan mengenai hak-hak sebagai saksi (termasuk korban), yaitu: (1) Seorang Saksi dan Korban berhak: a. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; b. Ikut serta dalam proses memilih dan mementukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c. Memberikan keterangan tanpa tekanan; d. Mendapat pene rjemah; e. Bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; g. Mendapatkan informasi mengenai putusan pengadilan; h. Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. Mendapatkan identitas baru; j. Mendapatkan tempat kediaman baru; 29 Runtuwene, Oktavianus Garry. 2012. Hak dan Kewajiban Yang Mengikat Terhadap Saksi di Dalam Praktik Persidangan Pidana. Lex Crimen vol I No. 4 OktoberDesember2012. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/907 (diakses pada tanggal 5 Mei 2014 pukul 12:46 WIB). 30 Hibnu Nugroho, 2010, Op.Cit., Hal 83. 28 k. Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. Mendapat nasihat hukum;dan/atau m. Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Pada masa lalu, jauh sebelum terbitnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban, seorang ahli mengemukakan beberapa hak dari saksi (korban), yaitu sebagai berikut: a. Si korban berhak mendapatkan kompensasi atas penderitaannya, sesuai dengan kemampuan memberi kompensasi si pembuat korban dan taraf keterlibatan/partisispasi/peranan si korban dalam terjadinya kejahatan, delinkuensi, dan penyimpangan tersebut. b. Berhak menolak kompensasi untuk kepentingan pembuat korban (tidak mau diberi kompensasi karena tidak memerlukannya). c. Berhak mendapatkan kompensasi untuk ahli warisnya bila si korban meninggal dunia karena tindakan tersebut. d. Berhak mendapat pembinaan dan rehabilitasi. e. Berhak mendapat kembali hak miliknya. f. Berhak menolak menjadi saksi bila hal ini akan membahayakan dirinya. g. Berhak mendapatkan perlindungan dari ancaman pihak pembuat korban bila melapor menjadi saksi. h. Berhak mendapatkan bantuan penasihat hukum. 29 i. Berhak menggunakan upaya hukum (recht middelen).31 Bentuk perlindungan hukum lainnya yang diberikan kepada saksi selain yang dirumuskan sebagai hak-hak saksi, antara lain 32 memberikan kesaksian di luar pengadilan. Saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa. Saksi dan/atau korban sebagimana dimaksud di atas dapat memberikan kesaksian secara tertulis yang disampaikan dihadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut. Saksi dan/atau korban tersebut di atas juga dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. Ketentuan seperti ini diatur dalam Pasal 9 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Keseimbangan dari hak yang melekat terdapat kewajibankewajiban yang harus ditunaikan oleh saksi (maupun korban), yaitu sebagai berikut: a. Tidak sendiri membuat korban dengan mengadakan pembalasan (main hakim sendiri). b. Berpartisipasi dengan masyarakat mencegah perbuatan, dan korban lebih banyak lagi. 31 Bambang Waluyo,2012. Viktimologi Perlindungan Korban&Saksi. Jakarta: Sinar Grafika, Hal 43. 32 Muchamad Iksan, 2012, Op.Cit., Hal 164. 30 c. Mencegah kehancuran si pembuat korban baik oleh diri sendiri maupun oleh orang lain. d. Ikut serta membina pembuat korban. e. Bersedia dibina atau membina diri sendiri untuk tidak menjadi korban lagi. f. Tidak menuntut kompensasi yang tidak sesuai dengan kemampuan pembuat korban. g. Memberi kesempatan pada pembuat korban untuk memberi kompensasi pada pihak korban sesuai dengan kemampuan (mencicil bertahap/imbalan jasa). h. Menjadi saksi bila tidak membahayakan diri sendiri dan ada jaminan33. Menambah hal yang telah disebut, saksi dan korban juga dilindungi hak-haknya, antara lain sebagai berikut: 1. Mengajukan keberatan atas penghentian penyidikan atau penuntutan (praperadilan). Korban sebagai pihak ketiga yang berkepentingan. Pasal 80 KUHAP berbunyi: permintaan untuk memeriksa sah tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan kepada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. 2. Mengizinkan atau tidak mengizinkan dari keluarga korban atas permintaan penyidik melakukan otopsi korban. Pasal 134 KUHAP, menyatakan: 33 Bambang Waluyo, 2012, Op.Cit., Hal 43. 31 a) Dalam hal sangat diperlukan untuk keperluan pembuktian bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. b) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut. c) Apabila waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahukan tid ak ditemukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam dalam Pasal 133 ayat (2) dan Pasal 134 ayat (1) undang-undang ini. 3. Korban sebagai saksi dapat mengundurkan diri untuk memberi kesaksian (vide Pasal 168 KUHAP).34 Seiring dengan adanya hak-hak yang melekat pada saksi, tidak luput pula dari kewajiban-kewajiban yang ada dan harus dipenuhi oleh setiap orang yang akan menjadi saksi dalam sebuah proses persidangan pidana, agar dapat terciptanya keseimbangan dalam proses hukum khususnya hukum acara pidana ini, berikut telah diuraikan kewajiban saksi sebagaimana yang dijelaskan pada Pasal 30 Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah sebagai berikut: (1) Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat ketentuan perlindungan Saksi dan Korban. 34 Bambang Waluyo, 2012, , Op.Cit, Hal 60. 32 (2) Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana dima ksud pada ayat (1) memuat: a. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan; b. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya; c. Kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apapun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia berada dalam perlindungan LPSK; dan d. Hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK. Bila antara hak dan kewajiban sebagai saksi telah seimbang dan selaras maka telah terpenuhinya sistem peradilan pidana yang serasi dan memberikan pengayoman bagi masyarkat. d. Saksi Menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) sebagai ketentuan pokok yang mengatur hukum acara pidana yang bersifat umum (lex generalis) berlaku bagi semua tindak pidana kecuali yang mnegatur secara menyimpang/khusus (lex specialis) dalam undang-undang khusus35, telah memberikan definisi atau pengertian “saksi” dalam Pasal 1 butir 26 KUHAP, yaitu: Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. Definisi saksi di atas cukup luas atau umum, sehingga yang termasuk dalam pengertian saksi biasa orang yang menjadi korban, pelapor, pengadu, maupun orang lain yang dapat memberikan keterangan tentang suatu perkara pidana baik di tingkat penyidikan, penuntutan, maupun di muka sidang pengadilan. 36 35 Muchamad Iksan, 2012, Op.Cit., Hal 93. Ibid, Muchamad Iksan, 2012, Hal 94. 36 33 Kebanyakan undang-undang pidana khusus yang dibuat sesudah berlakunya KUHAP tidak memberikan definisi atau pengertian saksi secara khusus, artinya, saksi yang dimaksud dalam undang-undang tersebut mengacu pada pengertian saksi yang diatur dalam KUHAP. Memang ada beberapa perundang-undangan yang memberikan definis saksi, walaupun tidak ada perbedaan secara mendasar dengan apa yang diatur dalam KUHAP.37 Di dalam Peraturan Pemerintah No.57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus Bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang sebagai peraturan pelaksana an dari UndangUndang Nomor 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2003, dalam Pasal 1 butir 3 memberikan pengertian saksi sebagai berikut: Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana pencucian uang yang didengar sendiri, dilihat sendiri, dan dialami sendiri. Definisi ini sama dengan KUHAP, hanya ada pengkhususan untuk pemberian keterangan pada perkara pidana pencucian uang. Berbeda dengan KUHAP yang tidak memberikan pengertian khusus tentang “pelapor” 38 (sehingga masuk dalam pengertian saksi), Undang-Undag Pencucian Uang dan Peraturan Pemerintahnya di atas membedakan secara tegas antara saksi dengan pela por.39 37 Ibid, Hal 94. Lukman Ali, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Pelapor adalah orang yang melaporkan). Jakarta: Balai Pustaka. Hal 566. 39 Muchamad Iksan, 2012, Op.Cit., Hal 95. 38 34 Pasal 1 butir 2 PP Nomor 57 Tahun 2003 menyebutkan: Pelapor adalah setiap orang yang: a. karena kewajibannya berdasarkan peraturan perundang-undangan menyampaikan laporan kepada PPATK tentang transaksi keuangan mencurigakan atau transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-undang; atau b. secara sukarela melaporkan kepada penyidik tentang adanya dugaan terjadinya tindak pidana pencucian uang sebagimana dimaksud dalam Undang-undang. Dengan adanya pembedaan antara saks i dan pelapor ini, apakah berarti dalam perkara pencucian uang pelapor itu bukan saksi ? Pertanyaan dan penegasan ini penting karena berkaitan dengan hakhak saksi yang dijamin oleh KUHAP maupun perturan perundangundangan lainnya. Jika pelapor itu bukan saksi, maka mestinya ia tidak memperoleh hak-hak perlindungan sebagai saksi. Ia hanya memperoleh perlindungan sebatas yang diberikan undang-undang terhadap pelapor. Pelapor pada hakikatnya adalah saksi, akan tetapi secara formal tidak memberikan kesaksian di persidangan. Perlindungan hukum dalam undang-undang ini lebih ditujukan terhadap pelapor sebagaimana di atas. Ketentuan yang demikian adalah janggal, ka rena justru saksi yang memberikan kesaksian di muka penyidik atau hakim tidak diatur secara eksplisit perlindungannya.40 Belakangan sebagaimana diatur pengertian dalam dan KUHAP ruang dan lingkup beberapa “Saksi” peraturan perundang-undangan dimaknai “hanya” orang yang mendengar, 40 Ibid, Hal 96. 35 melihat, dan mengalami sendiri suatu perbuatan pidana, dipandang banyak merugikan tersangka dan terdakwa, sehingga diajukan yudicial review ke Mahkamah Agung. Makhamah Agung selanjutnya melalui Keputusan No.65/PUU-VIII/2010 memberikan makna tambahan menjadi saksi adalah “Orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu perkara pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri dan ia alami sendiri”. Dengan demikian, maka dalam setiap ketentuan yang mengatur tentang pengertian (ruang lingkup) saksi, maka harus dibaca dan dimaknai dengan tambahan kata ... “tidak selalu” ... sebagimana putusan Mahkamah Konstitusi tersebut di atas, walaupun perundangundangan tersebut secara formal belum diamandemen. Walaupun sepertinya sepele, tapi peruba han ini telah memberikan kewajiban hukum bagi aparat penegak hukum untuk memeriksa saksi a de charge yang biasanya memperkuat alibi tersangka atau terdakwa. Di sisi lain, hal ini merupakan angin segar bentuk perlindungan baru bagi tersangka dan terdakwa. 41 Dalam konteks sistem peradilan pidana, secara yuridis, saksi adalah orang yang dapat memeberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, sedangkan secara sosiologis, pengertian saksi sering dipahami meliputi juga “ahli”, maka populer dengan istilah “saksi ahli”. Akan tetapi secara yuridis, antara “saksi” dan “(saksi) ahli” adalah berbeda, sehingga di 41 Ibid, Hal 98. 36 dalam Pasal 184 KUHAP dibedakan antara “keterangan saksi” dan “keterangan ahli” sebagai dua alat bukti yang berbeda. Keterangan saksi menurut Pasal 1 butir 27 KUHAP adalah: Salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keteranagan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Sementara keterangan ahli menurut Pasal 1 butir 28 KUHAP adalah: Keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Dari rumusan di atas diketahui bahwa saksi bisa orang yang melihat, mendengar, atau orang yang mengalami tindak pidana. Jadi salah satu saksi yang sangat potensial adalah korban tindak pidana itu, sedangkan or ang yang mendengar dari orang yang mendengar tindak pidana atau yang populer dengan adagium testimonium de auditu tidak dapat menjadi saksi dalam perkara pidana. 42 Dalam praktik hukum acara pidana, saksi dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu: a. b. c. d. e. 42 Saksi korban; Saksi makhota; Saksi verbalisan; Saksi a charge;43 Saksi a de charge.44 Ibid, Hal 99. Saksi A Charge adalah saksi dalam perkara pidana yang dipilih dan diajukan oleh penuntut umum, dikarenakan kesaksiannya yang memberatkan terdakwa. Darwan Prinst, 2002. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Jakarta: Djambatan. Hal 142. 43 37 Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus dengan sungguh-sungguh memperhatikan (Pasal 185 ayat (6) KUHAP): 1) Persesuain antara keterangan saksi yang satu dengan yang lain; 2) Persesuain antara keterangan saksi dengan alat bkti yang sah lainnya; 3) Alasan yang mungkin dipergunakan saksi untuk memberikan keterangan yang tertentu; 4) Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya.45 Peranan ahli atau saksi ahli dalam perkara pidana juga sangat penting, sehingga produk dari ahli yang disebut dengan keterangan ahli juga menjadi salah satu alat bukti yang sah menurut Pasal 184 KUHAP.46 e. Saksi Menurut Undang -Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban sebagai produk hukum terbaru yang secara khusus mengatur tentang perlindungan saksi dan korban, memberikan pengertian saksi dan korban, akan tetapi tidak memberikan pengertian tentang pelapor. Pengertian saksi menurut Pasal 1 butir 1 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah: Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang 44 Saksi A De Charge adalah saksi yang dipilih atau diajukan oleh penuntut umum, terdakw a, atau penasihat hukum yang sifatnya meringankan terdakwa. Ibid, hal 142. 45 Muchamad Iksan, 2012, Op.Cit., Hal 101. 46 Ibid, Hal 101. 38 pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. Sementara korban menurut Pasal 1 butir 2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban adalah: Seseorang yang mengalami penderitaan fisik, mental, dan/atau kerugian ekonomi yang diakibatkan oleh suatu tindak pidana. Jadi, definisi saksi yang dipakai oleh UUPSK mengikuti (cakupan) definisi yang dibuat da lam Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi Pelanggaran HAM yang Berat maupun Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme, meliputi juga yang memberikan keterangan pada (mulai) tahap penyelidikan, sedangkan menurut KUHAP, hanya dimulai pada tahap penyidikan. 47 Mengingat UUPSK ini merupakan undang-undang yang bersifat umum (The Umbrella Act) yang mengatur tentang saksi dan korban, maka harus dipahami bahwa ketentuan dalam undang-undang ini berlaku untuk saksi dan korban semua tindak pidana, walaupun dalam peraturan peralihan Pasal 44 dikatakan bahwa pada saat undang-undang ini diundangkan, peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai perlindungan terhadap Saksi dan/atau Korban 47 Ibid, Hal 97. 39 dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan undang-undang ini. 48 3.Video Conference a. Pengertian Video Conference Teknologi, meski pada awalnya tiada bersangkut paut dengan ilmu-ilmu dasar dalam perkembangannya tak dapat melepaskan diri dari ilmu-ilmu tersebut, misalnya, perkembangan teknologi telekomunikasi dan teknologi komputer yang menghasilkan internet tak dapat dilepaskan dari perkembangan yang yang terjadi pada bidang mikro elektronika, material dan perangkat lunak. 49 Kehadiran internet membawa dunia seakan-akan menjadi selebar daun kelor. Pernyataan ini lebih ditunjukan kepada perolehan informasi yang cepat sehingga kejadian di Eropa dapat diketahui oleh orang Indonesia dalam hitungan detik. Semua itu disebabkan karena kemajuan teknologi informasi, khususnya internet. 50 Informasi dalam perkembangannya berkembang menjadi beberapa bentuk, salah satu bentuk dari berkembangnya informasi tersebut salah satunya adalah video conference. Video conference adalah telekomunikasi dengan menggunakan audio dan video sehingga terjadi pertemuan di tempat yang berbeda-beda. Ini bisa berupa antara dua lokasi yang berbeda ( point to point ) atau 48 Ibid, Hal 97. Agus Raharjo, 2007. Hukum Dan Teknologi Suatu Tinjauan Filosofis dan Kritik Terhadap Positivisme Hukum . Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Hal 1. 50 Ibid Hal 77. 49 40 mengikutsertakan beberapa lokasi sekaligus di dalam satu ruangan konferensi ( multi point ).51 Cara komunikasi ini merupakan kesempatan bagi para pengguna untuk saling melihat dan mendengar serta serta memiliki banyak kelebihan dibandingkan dengan konferensi audio saja. Arti lain dari video conference adalah teknologi komunikasi menggunakan video dan suara untuk menghubungkan pengguna yang berjauhan melalui internet, dimana mereka berada di ruangan yang sama yang saling mengintegrasi. Setiap pengguna komputer/user membutuhkan bandwidth, mikrofon, webcam dan koneksi internet untuk berpartisipasi dalam video conference. Anggota dari kedua belah pihak dapat melihat dan mendengar. Satu sama lain secara real time, dan memungkinkan percakapan secara alami. Video conference secara luas digunakan multinasional disemua sektor menggunakan video industri. Banyak conference perusahaan sebagai sarana berkomunikasi dengan mitra mereka di negara yang berbeda, dan untuk usaha kecil, mereka menggunakan video conference untuk memungkinkan pelanggan dan pemasok dari berbagai negara. Peralatan yang diperlukan untuk video conference mudah diguna kan. OSD akan menampilkan nomor, kemudian selanjutnya hal yang perlu dilakukan adalah menelepon nomor atau pilih dari buku alamat. Sistem video conferencing yang modern, tidak hanya untuk berkomunikasi melalui video dan suara, tetapi memungkinkan 51 Wikipedia, Pengertian Video Conference (internet), 2013. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki (di akses pada tanggal 10 Januari 2014 pukul 18:00 WIB). 41 pengguna aplikasi untuk saling berbagi dokumen, berbagi aplikasi, berbagi gambar, co-browsing serta desktop sharing. Semua fasilitas ini akan ditemukan jika menggunakan perangkat lunak VMEET produk dari Softfoundry. b.Sejarah Video Conference Video Conference adalah komunikasi secara langsung antara dua orang atau lebih pada tempat yang berbeda dengan menggunakan suara atau video. Ide awal untuk menggabungkan suara dan video untuk komunikasi pertama kali dilakukan oleh perusahaan telepon AT&T pada tahun 1956, perus ahaan telepon yang didirikan oleh penemu telepon yaitu Alexander Graham Bell. Video conference pertama kali diperkenalkan pada publik oleh perusahaan telepon AT&T pada tahun 1964 pada ajang World’s Fair di New York, Amerika Serikat. Pertama kali video conference diperkenalkan tidak ada orang yang menduga bahwa akan berkembang sangat pesat hingga dapat menggantikan telepon standar. Tahun 1970 AT&T mengkomersilkan layanan video conference yang mereka namakan Picturephone. Picturephone belum dapat me ngirimkan video, akan tetapi mengirimkan gambar-gambar yang masih kecil, layanan ini kurang diterima oleh masyarakat, karena selain kemampuan yang masih sangat kurang juga harga yang ditawarkan masih sangat mahal sekitar US $ 160. Ericsson pada tahun 1971 mendemonstrasikan video call pertama mereka. Perusahaan lain yang melihat keberhasilan Ericsson mulai mengembangkan teknologi 42 video conference seperti Network Video Protocol (NVP) pada tahun 1976. Pada tahun yang sama perusahaan Nippon Telegraph and Telephone melakukan video conferencing antara Tokyo dan Osaka. Tahun 1981 dikembangkan juga Packet Video Protocol (PVP). IBM di Jepang pada tahun 1982 melakukan video conference pada kecepatan 48000 bps yang terhubung ke Amerika untuk melakukan rapat mingguan mereka. Pada tahun yamg sama Compression Labs memperkenalkan sistem layanan publik mereka seharga US $ 250,000 dengan harga per jam penggunaan US $ 1,000. Sistem yang dimiliki mereka sangat besar dan membutuhkan daya listrik yang besar, akan tetapi hanya mereka satu-satunya layanan video conference yang ada di pasaran saat itu. Pada tahun 1986 diluncurkan layanan video conference baru yaitu PictureTel’s dengan harga sistem yang jauh lebih murah yaitu US $ 80,000 dengan harga per jamnya US $ 100. Pada saat kedua sistem komersial yang ada saat itu, dikembangkan juga layanan video conference yang dikembangkan khusus untuk perusahaan, organisasi dan untuk militer. Tahun 1984, Datapoint menggunakan sistem Datapoint MINX pada kampus di Texas dan menyediakan layanan video conference untuk kalangan militer. Akhir tahun 1980 Mitsubishi menjual produk mereka yang dinamakan still-picture phone yang merupakan suatu kegagalan, yang mana dua tahun setelah memperkenalkan produk, mereka baru membuat jalur komunikasi. 43 Tahun 1991 sistem video conference untuk komputer diperkenalkan oleh IBM, software yang dinamakan PicTel dengan harga US $ 20,000. Sistem tersebut masih menggunakan warna hitam putih dengan harga per jamnya yaitu US $ 30, hal tersebut merupakan harga termurah saat itu. DARTnet membuat sejarah dengan melakukan video conferencing antara negara Amerika dengan Inggris. DARTnet hingga saat ini dikenal dengan nama CAIRN yang hingga saat ini masih melayani layanan video conference dan menghubungkan lusinan institusi. Salah satu yang paling terkenal dalam sejarah video conference adalah software CU-SeeMe yang dikembangkan oleh MacIntosh pada tahun 1992, versi pertama dari software ini tidak dapat mengirimkan suara, akan tetapi merupakan sistem video conference terbaik yang dikembangkan pada saat itu. AT&T yang sama memperkenalkan video phone seharga US $ 1,500. Tahun itu juga dikenalkan Mbone pada bulan Juli. Tahun 1992 merupakan tahun paling berkembang bagi bisnis video conference ini. Pada tahun 1993 VocalChat diperkenalkan oleh Novell akan tetapi tidak bertahan lama. MacIntosh mengembangkan software mereka yaitu CU-SeeMe pada tahun 1994. Mereka telah berhasil membuat video conference yang mendukung audio . Melihat keterbatasan software hanya pada sistem operasi MacIntosh saja, maka dikembangkan CU-SeeMe yang mendukung untuk Windows, hal tersebut merupakan sistem operasi terbesar saat itu. Pada bulan April tahun 1994, CU-SeeMe untuk Windows berhasil dibuat, akan tetapi seperti perkembangan awal pada MacIntosh, pada Windows tidak 44 mendukung audio pada awalnya. Pada bulan Agustus tahun 1995 diluncurkan CU-SeeMe v0.66b1 yang mendukung audio dan video. Microsoft pada tahun 1996 mengembangkan software NetMeeting yang memiliki kemiripan dengan PictureTel, akan tetapi belum mendukung video. Bulan Desember pada tahun yang sama diperkenalkan Microsoft NetMeeting v2.0b2 dengan kemapuan mendukung video. Pada tahun yang sama, VocalTec’s Internet Phone v4.0 untuk Windows diluncurkan. Melihat perkembangan yang semakin maju, maka Badan International Telecommunications Union (ITU) membuat suatu standar video conference pada tahun 1996, mereka membuat standar H.263 yang mengurangi penggunaan jalur data pada komunikasi video conference. Standar lain yang dibuat yaitu H.323 untuk komunikasi paket data multimedia. Standar -standar lain mulai dibuat dan dikembangkan pada tahun 1998 hingga kini. Pengembang software dari Universitas Cornell membuat CU-SeeMe v1.0 pada tahun 1998, yang mana telah mendukung sistem operasi Windows dan serta video conference yang ada telah mendukung video berwarna. Standart Moving Picture Experts Group Compression Standart Version 4 (MPEG-4) dibuat pada tahun 1999 oleh Moving Picture Experts Group untuk kompresi video dan suara dan menjadi standar internasional untuk konten multimedia. Pada bulan Pebruari tahun 1999, MMUSIC membuat Session Inituation Protocol (SIP) yang mana SIP merupakan protokol yang memiliki beberapa kelebihan dibandingkan H.323. Pada tahun yang sama NetMeeting 45 v3.0b diluncurkan oleh Microsoft yang telah mendukung standar ITU yaitu H.323. Di tahun yang sama juga diluncurkan iV isit v2.3b5 yang telah mendukung untuk Windows dan MacIntosh diikuti oleh Media Gateway Control Protocol (MGCP), version 1. Pada bulan Desember 1999 Microsoft meluncurkan NetMeeting v3.01. Pada tahun 2001 Microsoft membuat Windows XP messenger yang telah mendukung SIP Protocol. Pada tahun yang sama yang mana video conference mulai digunakan pada bidang lain yaitu kedokteran. Video conference digunakan untuk melakukan operasi di Amerika. Dokter menggunakan robot yang ada di tempat lain dan melakukan operasi dengan melihat melaui vodeo. Pada bulan Oktober 2001, video conference juga digunakan pada bidang jurnalis, wartawan mulai menggunakan satelit dan melakukan video conference untuk melapor berita perang langsung dari Afganistan. Joint Video Team yang didirikan pada bulan Desember tahun 2001 menyelesaikan riset mereka yang membuat standar baru ITU-T yaitu H.264 pada Desember 2002. Protokol baru ini menstandarisasikan teknologi kompresi video MPEG-4 dan ITU-T untuk beberapa bidang. Pada Maret 2003, teknologi baru siap diterapkan pada lingkungan kampus. Video conference digunakan untuk sistem pembelajaran offclass, yang mana mahasiswa tidak perlu datang ke kampus untuk mengikuti kuliah dan melakukan pembelajaran melalui video conference, hal ini dapat memungkinkan karena semakin bagusnya kualitas video streaming dan berkurangnya delay pada video yang dikirimkan. 46 Perusaha an seperti Vbrick menyediakan sistem MPEG-4 yang digunakan pada kampus-kampus. Pada tahun yang sama, software video conference untuk kalangan individu mulai bermunculan dan mulai banyak digunakan. Perusahaan-perusahaan baru mulai memperbaiki kemapuan dan performa dari video conference. Pada bulan Maret 2004 Linux membuat GnomeMeeting yang menggunakan protocol H.323 yang dapat mendukung video conference dengan NetMeeting. April 2004 Applied Global Tecnologies mengembangkan kamera yang dapat diaktifkan melalui suara sehingga dapat digunakan untuk mencari pembicara yang aktif dalam conference. Perkembangan yang konstan dalam sistem video conference akan terus berkembang dan menjadi bagian yang sangat penting dalam bisnis dan kehidupan sehari-hari. Perkembangan yang baru terus dibuat dan sistem menjadi lebih murah dalam harga, tetapi harus diperhatikan pilihan dalam menggunakan sistem yang ada sesuai dengan tipe network yang digunakan, kebutuhan sistem dan kebutuhan conference yang digunakan. 52 Perkembangan teknologi komunikasi membawa perubahan pada proses penyampaian informasi, tak terkecuali dalam bidang hukum sekalipun. Dimulai pada tahun 1980-an, jaringan pengiriman telepon digital semakin mungkin, seperti Intergrated Sevices Digital Networks atau ISDN, meyakinkan angka bit minimum (biasanya 128 Kbps) untuk pengiriman kompresi audio dan video. Sistem terdedikasi 52 http://www.yumpu.com/id/document/view/7874873/7 -bab-landasan-teori-21sejarah-video-conference-video (diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 20:08 WIB). 47 pertama mulai muncul di pasar sebagai perluasan jaringan ISDN diseluruh dunia. Pada tahun 1990-an, sistem telekonferensi video berkembang dengan cepat dari peralatan pribadi sangat mahal, perangkat lunak dan persyaratan jaringan untuk teknologi berbasis standar yang tersedia untuk masyarakat umum dengan biaya wajar.53 Tidak seperti e -mail, video conference ini adalah aplikasi real time yang harus serempak pada saat koneksi end to end, dan tidak dapat mentolerir adanya paket yang hilang, tertunda, atau tidak berurutan.54 Setelah terciptanya keunggulan-keunggulan yang ada pada video conference tersebut, akhirnya pada 1990-an, Internet Protocol atau IP berbasis konferensi video menjadi mungkin dan teknologi kompresi video lebih efisien telah dikembangkan sehingga memungkinkan dekstop atau komputer pribadi berbasis konferensi video. Pada 1992, CU-SeeMe dikembangkan di Cornell oleh Tim Dorcey et al., IVS dirancang di INRIA, telekonferensi video tiba ke masyarakat dan layanan gratis, web plugin dan perangkat lunak, seperti NetMeeting, MSN Messenger, Yahoo Messenger, SightSpeed, Skype dan lain-lain membawa kemurahan, meskipun kualitas rendah.55 53 Wikipedia, Konferensi Video (internet), 2009. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi_video.html (diaskes pada tanggal 27 April 2014 pukul 16:07 WIB). 54 http://www.systempro.asis/news/98/Pertimbangan-untuk-membeli-videoconference (diakses pada tanggal 8 Juni 2014 pukul 17:22 WIB). 55 Konferensi_video (internet), Loc. Cit. 48 Hal tersebut yang mencetuskan lahirnya teknologi telekomunikasi yang interaktif yaitu video conference. c. Tujuan dan Fungsi Penggunaan Video Conference Video conference adalah suatu bentuk komunikasi, yang sangat berguna karena menghemat waktu dan biaya perjalanan bagi orang-orang. Video conference antara dua orang, yang biasa disebut sebagai “point-to-point” dan komunikasi antara banyak orang biasa disebut “multipoint” atau konferensi “multiparty”. Selain audio dan transmisi video antara oran-orang, konferensi video juga digunakan untuk berbagi dokumen, komputer akan menampilkan informasi data. Dokumen elektronik lebih diperjelas lagi dalam Pasal 1 ayat (4) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, yaitu: Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Yang dimaksud dengan Komputer berdasarkan Pasal 1 ayat (14) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, adalah: Alat untuk memproses data elektr onik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan. 49 Sementara yang dimaksud dengan Informasi Elektronik berdasarkan Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, adalah: Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas, pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Komunikasi “multiparty” adalah bentuk paling kompleks dari konferensi video. Dalam hal ini terdapat lebih dari dua partisipan yang berpartisipasi dalam konferensi, dan semua akan saling melihat dan mendengar. Penggunaan video conference dalam pertemuan sering membuat waktu terasa lebih pendek, ini biasa disebabkan karena berkurangnya waktu bepergian. Pertemuan manual, biasanya yang bisa menghabiskan waktu selama lima jam, terkadang waktu habis di perjalanan. Sekarang hanya memerlukan waktu satu atau dua jam, dengan menggunakan konferensi video. Akan dapat berkomunika si lebih teratur dengan orang-orang dari daerah lain atau negara lain, yang biasanya akan membutuhkan biaya yang mahal. Telekonferen merupakan salah satu alat bukti dari perkembangan teknologi yang tidak dapat dipungkiri kehadirannya. Dengan media ini kita dapat berkomunikasi secara audio visual dengan seseorang tentang adanya 50 kendala. Hal ini ini dikerenakan telekonferen dapat digunakan dalam keadaan apapun tanpa mengenal batas ruang, jarak dan waktu.56 Berikut ini adalah fungsi penggunaan video conference untuk berbagai keperluan, antara lain: a. Instan face-to -face dari mana saja di dunia. b. Melakukan wawancara/interview. c. Beberapa layanan konsultasi. d. Tujuan pembelajaran MNEs. e. Pertemuan seluruh dunia untuk penelitian, ilmu pengetahuan. f. Memecahkan masalah real time yang mungkin timbul dalam organisasi. g. Konferensi ounline secara bersamaan keberbagai universitas. 57 Terlebih lagi video conference juga sangat berguna dalam: a. Menghemat waktu dengan mengurangi waktu perjalanan. b. Menurunkan biaya, karena tidak perlu secara fisik berpindah dari satu tempat ke tempat lain. 56 WIB). c. Lebih cepat dan lebih baik dalam pengambilan keputusan. d. Informasi pengetahuan dapat diperoleh dengan cepat. e. Meningkatkan produktivitas. 58 http://Portal-Garuda.org/download (diakses pada tanggal 8Juni 2014 pukul 17:46 57 Google, Apa Itu Video Conference (internet), 2013. Tersedia: www.apa-itu-videoconference.html (diakses pada tanggal 5 Mei 2014 pukul 19:08 WIB). 58 Ibid. 51 d.Perkara -perkara yang Kesaksiannya Menggunakan Video Conference Video conference merupakan salah satu bukti dari perkembangan teknologi yang tidak dapat dipungkiri kehadirannya. Melalui media ini kita dapat berkomunikasi secara audio visual dengan seseorang tanpa adanya kendala. Hal ini dikarenakan video conference dapat digunakan dalam keadaan apapun tanpa mengenal batas ruang, jarak dan waktu. 59 Kehadiran video conference memberikan kemudahan bagi penggunanya disemua bidang, tak terkecuali bidang hukum. Saat ini video conference telah banyak dipergunakan para penegak hukum untuk mendengarkan keterangan saksi yang berhalangan hadir di ruang persidangan karena suatu hal tertentu. Video conference dirasa memberikan banyak keuntungan, dilihat dari segi keamanan seorang saksi terlebih lagi penggunaan video conference dapat mempengaruhi keterangan saksi yang apabila dihadirkan langsung di ruang persidangan dapat mengancam keselamatan saksi tersebut dan berpengaruh pada keterangan yang diberikannya. Penerapan pertama kali video conference dalam persidangan di Indonesia dilakukan tahun 2002. Ketika itu mantan presiden BJ Habibie memberikan kesaksian dari Hamburg, Jerman untuk persidangan kasus korupsi 59 Portal-Garuda.org/download ( internet), Loc.Cit.. 52 pengadaan beras di Bulog dengan terdakwa Rahadi Ramelan. Sidang itu diselenggarakan terpisah, di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. 60 Cara bersaksi seperti itu debatable mengingat dalam pengertian kesaksian di persidangan, seharusnya saksi hadir secara fisik (syarat material). Bila saksi tidak hadir langsung dan hanya memberikan keterangan secara tertulis, maka pembuktiannya menjadi “tidak bernilai” karena tidak memenuhi syarat formal sebagaimana diatur dalam KUHAP.61 Demikian pula kesaksian hasil video conference bisa mengakibatkan nilai keterangan saksi berubah hanya menjadi alat bukti petunjuk, atau bahkan sebatas keterangan tambahan, tidak sebagai keterangan pokok, dan hal itu tentu tidak diharapkan. 62 Berikut ini merupakan beberapa kasus atau perkara di Indonesia yang dalam mendengarkan keterangan saksinya menggunakan sarana video conference : 1. Kasus Bom Bali Perlu kita ketahui, video conference pernah dilakukan dalam perkara peradilan kasus bom Bali dengan terdakwa Ali Gufron alias Muhklas diselenggarakan dengan media video conference dari kesaksian wan min bin wan dari Malaaysia. Alasan digunakan video conference pada kasus tersebut bersifat praktis, hal ini dikarenakan saksi tidak perlu datang ke Bali hanya untuk 60 Nugroho, Hibnu, Nilai Pembuktian Telekonferensi (internet), 2013.Tersedia: Hibnu Nugroho_Gagasan Hukum_Hal 2.html (diakses pada tanggal 7 Juli 2014 pukul 20:18 WIB). 61 Ibid. 62 Ibid. 53 memberikan kesaksian, sehingga dapat menghemat waktu dan memperhemat biaya. Pihak yang kontra terhadap hadirnya media video conference tersebut, menyatakan bahwa dengan memberi kesaksian melalui media video conference dianggap tidak sah karena tidak hadir pada persidangan yang sebenarnya dan ketentuan mengenai media tersebut tidak diatur secara jelas dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. 63 2. Kasus Terorisme dengan Terdakwa Abu Bakar Ba’asyir Saksi pada persidangan Ba’asyir menggunakan video conference. Ada lima saksi dari Markas Komando Brimob. Menurut Kepala Divisi Humas Mabes Polri, Irjen Anton Bachrul Alam, kesaksian melalui video conference dapat mengurangi tekanan pada kelima orang saksi tersebut. Selain itu, kesaksian melalui fasilitas modern tersebut diharapkan lebih efektif dan efisien. Sebelumnya, jaksa mengajukan permohonan pemeriksaan ke -16 saksi Ba’asyir dilakukan via video conference, pada 14 Maret 2011 di Kelapa Dua, Depok, Jawa Barat. Jaksa beralasan bahwa pemeriksaan tanpa tatap muka dengan terdakwa bisa menghindarkan saksi yang pada waktu itu berstatus tersangka, dari kemungkinan ancaman dan tekanan. Ke16 saksi tersebut adalah Imron Baihaqi; Hariadi Usman; Abdul Haris; Suranto; Luthfi alias Ubaid; Muhammad Ilham; Komarudin; Hamid Agung Wibowo; Munasikin; Muji Haq; Andriansyah; Hendro Sulta ni; Joko Purwanto; Muksin; Solahudin dan Joko Daryono. 63 Sulistyawati, Putu Elik, Pemanfaatan Telekonferen Sebagai Alat Bantu Pembuktian Dalam Persidangan Pidana (internet), 2012 . Tersedia: http://ipi12364.pdf (diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 05:53 WIB). 54 Hakim menetapkan ke-16 saksi akan diperiksa atau ditanya hanya oleh jaksa saja. Adapun berdasarkan asas kesetaraan, hakim mengijinkan salah seorang penasihat hukum untuk ikut mengawasi jalannya persidangan, menemukan adanya namun dalam ruangan kejanggalan, penasihat terpisah. Jika hukum bisa melaporkannya pada majelis hakim, sedangkan dari pihak hakim, hakim Maman dan salah seorang panitera pengganti untuk ikut mengawasi dan me ncatat jalannya pemeriksaan secara video conference.64 3. Kasus Penembakan Cebongan, Yogyakarta Sebanyak 10 dari 42 saksi (saksi warga sipil) kasus pembunuhan tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) kelas II B, Cebongan,Sleman direkomendasikan tidak hadir secara langsung untuk memberikan kesaksian pada persidangan kasus itu di Oditur Militer, Yogyakarta. Rekomendasi tersebut disampaikan Ketua tim psikologi yang telah melakukan pemeriksaan dan pendampingan terhadap para saksi tersebut. Menurut Ketua Tim pemeriksaan saksi kasus Cebongan yang juga Ketua Assosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR), Yusti Probowati, 10 saksi yang direkomendasikan tidak hadir langsung terdiri atas delapan warga binaan (tahanan) dan dua petugas lapas. Ada beberapa sebab yang menyebabkan ke -10 saksi tersebut tidak hadir langsung meski bisa memberikan kesaksian secara langsung, yaitu trauma, kecemasan 64 http://LensaIndonesia.Keterangan-Lima-Saksi-Akan -Diperlihatkan-Lewat-VideoConference (diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 06:19 WIB). 55 dan ketakutan yang tinggi. Mereka mengalami gangguan klinis. Kesepuluh saksi itu bisa melakukan kesaksian langsung terkait kasus Cebongan melalui media video conference. Selain ke -10 saksi tadi, ada satu saksi yang membutuhkan penanganan tersendiri saat memberikan kesaksian. Satu saksi ini direkomendasikan tidak memberikan kesaksian secara langsung baik di muka persidangan maupun menggunakan peralatan lain. Sebab, dari hasil pemeriksaan psikologi, satu saksi ini sering memberikan keterangan bias. Oleh karena itu, dia butuh pendampingan petugas saat bersaksi, itu pun harus menggunakan metode tertentu tanpa memberikan kesaksian langsung. Dijelskan Yusti, pemeriksaan psikologi terhadap 42 saksi kasus Cebongan telah dilakukan sejak tanggal 29 Mei 2013 hingga 15 Juni 2013 lalu. Pemeriksaan tersebut merupakan tahap pertama dari tiga tahap pemeriksaan tim psikolog. Sebanyak 42 saksi yang diperiksa ini terdiri atas 31 tahanan dan 11 petugas Lapas. Yusti juga menjelaskan pemeriksaan saksi-saksi tersebut menggunakan metode standard psikologi ditambah dengan wawncara serta test khusus karena kasus ini spesifik. Dari hasil test itu, 34 saksi dirasa cukup kompeten member ikan kesaksian, 7 saksi dinilai kurang kompeten dan 1 saksi tidak kompeten. Dari 34 saksi yang cukup kompeten ini hanya 31 saksi yang siap hadir langsung memberikan kesaksian di persidangan. Itu artinya, kata Yusti, jumlah 10 saksi yang direkomendasikan tidak hadir langsung di muka sidang bisa saja bertambah menjelang sidang digelar, karena rasa takut dan kecemasan bisa saja meningkat. Rekomendasi lain yang dihasilkan 56 tim psikologi ini adalah, 42 saksi masih membutuhkan penguatan berupa pendampingan psikologi selama masa sidang. Namun dari jumlah itu, 29 saksi diantaranya tidak melakukan intervensi psikologi dan 13 diantaranya memerlukan psikotherapi.65 4. Kasus Penyelewengan Dana Non-budgeter Bulog Persidangan Rahadi Ramelan, yang saat itu sebagai terdakwa Mantan Kepala Bulog dalam kasus penyelewengan dana non-budgeter Bulog yang pada waktu itu seorang saksinya adalah Baharuddin Jusuf Habibie dalam kesakisannya dilakukan dengan video conference. Kesaksian Baharuddin Jusuf Habibie, pada saat itu sebagai Presiden Republik Indonesia saat dana sebesar Rp 63 Milyar itu mengucur, amat diperlukan. Padahal Habibie tidak bisa datang ke Indonesia, kerena menunggui isterinya, Hasri Ainun Habibie, yang sedang sakit dan tengah dirawat di Jerman. Pada saat itu teknologi yang digunakan diambil dari perusahaan telekominnikasi Malaysia (Polycom), yang memiliki fasilitas Intergrated System Digital Network (ISDN) dengan menggunakan serat optik sebagai sarana pengiriman datanya. Biaya teknologi yang dikeluarkan sebesar US $ 4690,00. Kira-kira setara dengan Rp 43 Juta. Pembiayaan mencakup view station di dua titik, yaitu Hamburg dan Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, masing-masing menghabiskan dana US $ 530; video on demand sebesar US $ 1485 dan sewa line sebesar US $ 429. 65 Republika, Saksi kasus Cebongan Direkomendasikan Bersaksi Via Video Cnference (internet), 2013. Tersedia: Republika.co.id.Saksi-Kasus -CebonganDirekomendasikan-Bersaksi-Via-Video-Conference (diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 07:12 WIB). 57 Persidangan tersebut dilakukan pada tanggal 2 Juli 2002 selama dua setengah jam yakni muali pukul 14:30 sampai dengan pukul 17:00 WIB.66 66 Latiefs.blogspot.com/2002_09_01_archive.html (diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 20:16 WIB). 58 BAB III METODE PENELITIAN A. Metode Pendekatan Sesuai dengan permasalahan yang diteliti, maka penelitian ini merupakan penelitian hukum (legal research.)67Adapun pengertian mengenai penelitian hukum (legal research) adalah menemukan kebenaran koherensi, yaitu adakah aturan hukum sesuai dengan norma hukum dan adakah norma yang berupa perintah atau larangan itu sesuai dengan prinsip hukum, serta apakah tindakan (act) seseorang sesuai dengan norma hukum (bukan hanya sesuai aturan) atau prinsip hukum. 68 Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah yuridis normatif (Normative Legal Research), yaitu penelitian yang mengkonsepkan hukum sebagai apa yang tertulis dalam peraturan perundang-undangan (laws in book) atau hukum dikonsepkan sebagai kaidah atau norma yang merupakan patokan berperilaku manusia yang dianggap pantas69, selain pendekatan perundang-undangan digunakan juga pendekatan kasus. Yang menjadi kajian pokok dalam pendekatan kasus adalah ratio decindedi, atau reasoning yaitu pertimbangan 67 Peter Mahmud Marzuki, 2013. Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Cetakan Kedelapan. Jakarta: Kencana. Hal 56. 68 Ibid, Hal 47. 69 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2006.Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Hal 118. 59 pengadilan untuk sampai kepada suatu putusan. 70 Merujuk pada pendekatan tersebut, maka penelitian ini menggunakan: 1. Pendekatan Perundang-undangan (statute approach) Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan yang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan permasalahan hukum yang diteliti. 71 Untuk itu harus melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifatsifat sebagai berikut: a. Comprehensive artinya norma-norma hukum yang ada di dalamnya terkait antara satu dengan lain secara logis; b. All-inclusive bahwa kumpulan norma hukum tersebut cukup mampu menampung permasalahan hukum yang ada, sehingga tidak akan ada kekurangan hukum; c. Systematic bahwa di samping bertautan antara satu dengan yang lain, norma-norma hukum tersebut juga tersusun secara hierarkis. 72 2. Pendekatan Kasus (case approach) Berbeda dengan penelitian sosial, pendekatan kasus (case approach) dalam penelitian normatif bertujuan untuk mempelajari penerapan norma-norma atau kaidah hukum yang dilakukan dalam praktik hukum. Terutama mengenai kasus -kasus yang telah diputus sebagaimana yang dapat dilihat dalam yurisprudensi terhadap perkara70 Soerjono Soekanto, 1986. Pengantar Penelitian Hukum . Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, Hal 9. 71 Peter Mahmud Marzuki, 2013, 0p. Cit., Hal 93. 72 Johnny Ibrahim, 2005.Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing, Hal 303. 60 perkara yang menjadi fokus penelitian. Jelas kasus-kasus yang telah terjadi bermakna empiris, namun dalam suatu penelitian normatif, kasus-kasus tersebut dipelajari untuk memperoleh gambaran terhadap dampak dimensi penormaan dalam suatu aturan hukum dalam praktik hukum, serta menggunakan hasil analisisnya untuk bahan masukan (input) dalam eksplansi hukum. 73 B. Spesifikasi Penelitia n Dalam penelitian ini spesifikasi penelitian yang digunakan adalah preskriptif ,74 yaitu apa yang seharusnya merupakan esensial dari penelitian hukum karena untuk hal itulah dilakukan penelitian tersebut. Dengan demikian, preskriptif yang diberikan bukan merupakan suatu yang telah ada. Oleh karena itulah yang dihasilkan oleh penelitian hukum sekalipun bukan asas hukum yang baru atau teori baru, paling tidak argumentasi baru. Bartolak dari argumentasi baru itulah diberikan preskriptif sehingga preskriptif tersebut bukan merupakan suatu fantasi atau angan-angan kosong. 75 Kaitannya dengan penelitian yang Penulis lakukan yaitu mengenai keterangan saksi yang diberikan melalui video conference pada kasus yang terkadi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta. 73 Ibid,, Hal 321. Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Edisi Pertama Cetakan Ke-4, Jakarta: Kencana, Hal 206. 75 Ibid, Hal 207. 74 61 C. Sumber Bahan Hukum Pada penelitian hukum normatif, data sekunder sebagai sumber atau bahan informasi dapat berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier sebagai berikut: 1. Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang mengikat, dan terdiri dari norma (dasar) atau kaidah dasar, peraturan dasar, dan peraturan perundang-undangan. Bahan hukum primer juga dapat berupa catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan perundang-undangan dan putusan-putusan hakim. 76 Dalam penelitian ini bahan hukum primer yang digunakan adalah: a. b. c. Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana Undang-undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. 2. Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti rancangan undangundang, hasil penelitian, dan hasil karya dari kalangan hukum. Kaitannya dengan penelitian ini bahan hukum sekunder yang digunakan adalah hasil penelitian dan hasil karya dari kalangan hukum seperti literatur, jurnal, dan buletin ilmiah bidang hukum. Bahan hukum sekunder ini juga dapat berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen-dokumen resmi. Bahan 76 Ibid, Hal 141. 62 hukum sekunder yang terutama adalah buku teks, karena buku teks berisi mengenai prinsip-prinsip dasar Ilmu Hukum dan pandanganpandangan klasik para sarjana yang mempunyai kualifikasi tinggi. 77 3. Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus hukum dan ensiklopedia. Kaitannya dengan penelitian ini bahan hukum tersier yang digunakan meliputi Kamus Hukum dan Kamus Besar Bahasa Indonesia. D. Metode Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan data merupakan kegiatan peneliti dengan melakukan penelusuran untuk mencari data yang relevan terhadap isue yang dihadapi.78 Dalam penelitian ini, pengumpulan data sekunder dilakukan dengan melakukan studi kepustakaan. 79 Studi kepustakaan yang dilakukan juga berupa internet browsing , termasuk di dalamnya karya tulis ilmiah maupun jurnal surat kabar yang memberikan informasi bagi penulisan ini. E. Metode Penyajian Bahan Hukum Dalam penelitian ini, data yang diperoleh disajikan dalam bentuk teks naratif yang disusun secara sistematis sebagai satu kesatuan yang utuh. Dalam penelitian ini, data sekunder dan data primer yang dikumpulkan melalui studi kepustakaan yaitu mengenai 77 Ibid, Hal 142. Ibid, Hal194. 79 Saryono Hanadi, 2008. “Metodologi Penulisan dan Penelitian Hukum”.Bahan Kuliah MPPH , Purwokerto : Universitas Jenderal Soedirman, Hal 9. 78 63 seba b diperlukannya video conference pada saat pemeriksaan keterangan saksi yang kasusnya terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta serta kekuatan yuridis mengenai keterangan saksi video conference tersebut yang kasusnya terjadi di Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Yogyakarta. F. Metode Analisis Bahan Hukum Metode analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data kualitatif 80, yaitu dengan menjabarkan dan menafsirkan data hasil penelitian berdasarkan doktrin-doktrin dan norma-norma hukum guna memperoleh kebenaran dalam analisis data, sehingga diharapkan akan memperoleh hasil yang memadai untuk menyusun suatu kesimpulan sebagi hasil akhir dari penyusunan penulisan ini. 80 Ronny Hanitijo Soemitro, 1988.Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Cetakan Ketiga. Jakarta: Ghalia Indonesia. Hal 98. 64 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Bahan Hukum Primer 1.1 Undang -Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang -undang Hukum Acara Pidana 1.1.1 Pasal 1 (26) Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. (27) Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. 1.1.2 Pasal 80 Permintaan untuk memeriksa sah atau tidaknya suatu penghentian penyidikan atau penuntutan dapat diajukan oleh penyidik atau penuntut umum atau pihak ketiga yang berkepentingan ke pada ketua pengadilan negeri dengan menyebutkan alasannya. 1.1.3 Pasal 134 (1) Dalam hal sangat diperlukan dimana untuk keperluan bedah mayat tidak mungkin lagi dihindari, penyidik wajib memberitahukan terlebih dahulu kepada keluarga korban. (2) Dalam hal keluarga keberatan, penyidik wajib menerangkan dengan sejelas-jelasnya tentang maksud dan tujuan perlu dilakukannya pembedahan tersebut. (3) Apabila dalam waktu dua hari tidak ada tanggapan apapun dari keluarga atau pihak yang perlu diberitahukan, penyidik segera melaksanakan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 133 ayat (3) undang-undang ini. 65 1.1.4 Pasal 160 (1) a. Saksi dipanggil ke dalam ruang sidang seorang demi seorang menurut urutan yang dipandang sebaik-baiknya oleh hakim ketua sidang setelah mendengar pendapat penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum. 1.1.5 Pasal 168 Kecuali ditentukan lain dalam undang-undang ini, maka tidak dapat didengar keterangannya dan dapat mengundurkan diri sebagai saksi: a. keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus ke atas atau ke bawah samapi derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang be rsama-sama sebagai terdakwa. 1.1.6 Pasal 170 (1) Mereka yang karena pekerjaan, harkat martabat atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia, dapat minta dibebaskan dari kewajiban untuk memberi keterangan sebagai saksi, yaitu tentang hal yang dipercayakan kepada mereka. (2) Hakim menentukan sah atau tidaknya segala alasan untuk permintaan tersebut. 1.1.7 Pasal 171 Yang boleh diperiksa keterangan tanpa sumpah ialah: a. b. untuk memberi anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun kadang-kadang ingatannya baik kembali. 1.1.8 Pasal 182 (2) Jika acara tersebut pada ayat (1) telah selesai, hakim ketua sidang menyatakan bahwa pemeriksaan dinyatakan ditutup, dengan ketentuan 66 dapat membukanya sekali lagi, baik atas kewenangan hakim ketua sidang karena jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum atau terdakwa atau penasihat hukum dengan memberikan alasannya. 1.1.9 Pasal 183 Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. 1.1.10 Pasal 184 (1) Alat bukti yang sah ialah: a. keterangan saksi; b. keterangan ahli; c. surat; d. petunjuk; e. keterangan terdakwa. 1.1.11 Pasal 185 (1)Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. (2)Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. (4) Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendirisendiri tentang suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai salah satu alat bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu. (5) Baik pendapat maupun rekaan, yang diperoleh dari hasil pemikiran saja, bukan merupakan keterangan saksi. 67 1.2 Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban 1.2.1 Pasal 1 (1)Saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyelidikan, penyidikan, penuntutan, da n pemeriksaan di sidang pengadilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri, dan/atau ia alami sendiri. 1.2.2 Pasal 5 (1) Sorang Saksi dan Korban berhak: a.memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari Ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah dibeikannya; b.ikut serta dalam proses memilih dan menetukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; c.memberikan keterangan tanpa tekanan; d.mendapat penerjemah; e.bebas dari pertanyaan yang menjerat; f. mendapat informasi mengenai perkembangan kasus; g.mendapat informasi mengenai putusan pengadilan; h.mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; i. mendapat identitas baru; j. mendapatkan tempat kediaman baru; k.memperoleh pergantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan; l. mendapat penasihat hukum; dan/atau m.memperoleh bantuan hidup biaya sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. (2) Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada Saksi dan/atau Korban tindak pidana dalam kasus-kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. 1.2.3 Pasal 9 (1) Saksi dan/atau Korban yang merasa dirinya berada dalam Ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan 68 kesaksian tanpa hadir langsung di pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa. (2) Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut. (3) Saksi dan/atau Korban sebaga imana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. 1.2.4 Pasal 30 (1) Dalam hal LPSK menerima permohonan Saksi dan/atau Korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29, Saksi dan/atau Korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban. (2) Pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan perlindungan Saksi dan Korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) memuat: a. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk memberikan kesaksian dalam proses peradilan; b. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk menaati aturan yang berkenaan dengan keselamatannya; c. kesediaan Saksi dan/atau Korban untuk tidak berhubungan dengan cara apa pun dengan orang lain selain atas persetujuan LPSK, selama ia dalam perlindungan LPSK; d. kewajiban Saksi dan/atau Korban untuk tidak memberitahukan kepada siapa pun mengenai keberadaannya di bawah perlindungan LPSK; dan e. hal-hal lain yang dianggap perlu oleh LPSK. 69 1.3 Undang -Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Transaksi dan Informasi Elektronik 1.3.1 2. Pasal 1 (1) Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (elektronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka , Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah oleh memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (4) Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melaui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. (14) Komputer adalah alat untuk memproses data elektronik, magnetik, optik, atau sistem yang melaksanakan fungsi logika, aritmatika, dan penyimpanan. Bahan Hukum Sekunder A. Keterangan Saksi Menurut Pasal 1 butir ke 26 KUHAP, saksi adalah: Orang yang dapat memberikan keterangan guna ke pentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat, dan ia alami sendiri. 70 Memahami saksi adalah orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri, maka keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dan pengetahuannya itu. Memberikan kete rangan di sini bukan keterangan yang berdasarkan apa yang terjadi dan dilihatnya secara langsung. Sumpah saksi menjadi jaminan atas kesaksian yang diberikan secara benar. 81 Selain memberikan keterangan, saksi tampil dan memudahkan kerja sama dalam mencari informasi yang valid tentang persoalan hukum yang terjadi. Saksi juga sebagai alat bukti, berpartisipasi dengan masyarakat mencegah perbuatan, dan korban lebih banyak lagi. Saksi sebagai alat bukti juga harus bersaksi dihadapan pengadilan. Bersaksi dan memberi keterangan dihadapan pengadilan adalah tugas atau kewajiban saksi yang utama. Jika saksi tidak mau memberikan kesaksian, maka dia akan mendapat panggilan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku. Ada yang bahkan dijemput paksa karena ketidaksediaannya untuk bersaksi. Hal ini dilakukan karena 81 Runtuwene Oktavianus Garry. 2012. Hak dan Kewajiban Yang Mengikat Terhadap Saksi di Dalam Praktik Persidangan Pidana. Lex Crimen vol I No. 4 OktoberDesember2012. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/907 (internet), Loc.Cit. 71 seorang saksi harus menjalanan kewajibannya untuk bersaksi di persidangan. 82 Dalam Pasal 184 KUHAP membatasi bahwa alat bukti yag sah ialah: Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Petunjuk; dan Keterangan terdakwa. Saksi adalah seorang yang mempunyai informasi tangan pertama mengenai suatu kejahatan atau kejadian dramatis melalui indera mereka (penglihatan, pendengaran, penciuman, sentuhan) dan dapat menolong memastikan pertimbangan-pertimbangan penting dalam suatu kejahatan atau kejadian. Se orang saksi yang melihat langsung suatu kejadian secara langsung dikenal sebagai saksi mata. Saksi ini sering dipanggil ke pengadilan untuk memberikan kesaksiannya dalam suatu proses peradilan. 83 Ketentuan mengenai pengertian saksi yang ada di dalam KUHAP, secara spesifik diatur kembali dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang tersebut menyebutkan bahwa: Saksi adalah seseorang yang menyampaikan laporan dan/atau orang yang dapat membe rikan keterangan dalam proses penyelesaian tindak pidana berkenaan dengan peristiwa hukum yang ia dengar, lihat dan alami sendiri dan/atau orang yang memiliki keahlian khusus tentang pengetahuan tertentu guna kepentingan penyelesaian tindak pidana. 82 Ibid. Wikipedia, Pengertian Saksi (internet), 2013. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/saksi (diakses pada tanggal 12 Juli 2014 pukul 06:43 WIB) 83 72 Dalam proses persidangan, peranan saksi sangat nampak dalam proses penyelidikan oleh jaksa. 84 Hal ini terjadi karena menurut Pasal 184 KUHAP, keterangan saksi adalah salah satu alat bukti yang menguatkan. Selain keterangan saksi, ada juga alat bukti lain yang dijelaskan dalam Pasal 184 KUHAP tersebut. Dengan demikian, maka saksi dalam proses peradilan memiliki kedudukan yang sangat penting. 85 B. Video C onference Sebagai Sarana Pemeriksaan Saksi Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada beberapa arti kata atau pengertian tentang definisi saksi, yaitu: 1. Orang yang melihat atau mengetahui sendiri suatu peristiwa (kejadian); 2. Orang yang dimintai hadir pada suatu peristiwa dianggap mengetahui kejadian tersebut agar pada suatu ketika, apabila diperlukan, dapat memberikan keterangan yang membenarkan bahwa peristiwa itu sungguh-sungguh terjadi; 3. Orang yang memberikan keterangan di muka hakim untuk kepentingan pendakwa atau terdakwa; 4. Keterangan (bukti pernyataan) yang diberikan oleh orang yang melihat atau mengetahui; 5. Bukti kebenaran; 6. Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang didengarnya, dilihatnya, atau dialaminya sendiri. Saksi menurut Pasal 1 butir ke 26 KUHAP adalah: Orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri. 84 Padmo Wahjono ,1985. Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini . Jakarta: Ghalia Indonesia, Hal 242. 85 Runtuwene Oktavianus Garry. 2012. Hak dan Kewajiban Yang Mengikat Terhadap Saksi di Dalam Praktik Persidangan Pidana. Lex Crimen vol I No. 4 OktoberDesember2012. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/907 (internet), Loc.Cit. 73 Saksi adalah mereka yang mempunyai pengetahuan sendiri berdasarkan apa yang dialaminya, dilihatnya, dan/atau didengarnya berkenaan dengan dugaan terjadinya suatu tindak pidana. Berdasarkan definisi tersebut, maka tidaklah mustahil saksi juga seorang korban atau pihak yang dirugikan atas peristiwa tersebut. Saksi diharapkan dapat menjelsakan rangkaian kejadian yang berkaitan dengan sebuah peristiwa yang menjadi objek pemeriksaan di muka pengadilan. Saksi, bersama alat bukti lain akan membantu hakim untuk menjatuhkan putusan yang adil dan objektif berdasarkan fakta -fakta hukum yang dibeberkan. 86 Untuk dapat memberikan kesaksiannya secara gamblang dan benar, hak-hak saksi harus terpenuhi terlebih dahulu. Salah satu hak saksi ialah saksi harus terbebas dari rasa takut dan tertekan. Dalam memberikan kesaksian, saksi harus merasa aman serta tidak ada sesuatu yang membahayakan jiwanya saat sebelum memberikan kesaksian, saat memberikan kesaksian serta setelah memberikan kesaksian. Saksi harus terbebas dari rasa takut, khawatir akan dampak dari keterangan yang diberikannya. Seseorang mungkin saja menolak untuk bersaksi, atau kalaupun dipaksa berbohong karena ia tidak mau mempertaruhkan nyawanya atau nyawa keluarganya kerena keterangannya yang memberatkan terdakwa. Di sisi lain, seseorang dapat menolak memberikan keterangan karena mengalami trauma 86 Iskandar, Aditya Nugraha, Pentingnya Perlindungan Terhadap Saksi Dan Korban Kejahatan (internet), 2010. Tersedia: http://iskandar.centre.blog.pentingnya-perlindunganterhadap-hak-hak-saksi-dan-korban-kejahatan.html (diakses pada tanggal 11 Juli 2014 pukul 08:22 WIB). 74 hebat akibat peristiwa pidana sehingga tidak memiliki kemampuan untuk menceritakan ulang peristiwa yang dialaminya itu. Tidak sedikit kasus yang tidak dapat dibawa di muka pengadilan ataupun terhenti di tengah jalan karena persoalan yang satu ini. Kasus -kasus seperti korupsi atau kejahatan narkotika yang melibatkan sebuah sindikat, atau kasus -kasus kekerasan berbasis gender menjadi contoh kasus yang sering kali tidak dapat diproses karena tidak ada saksi yang mau dan berani memberikan keterangan yang sebenarnya. Maka , yang terjadi kemudian adalah bukan saja gagalnya sebuah tuntutan untuk melakukan proses peradilan yang bersih, jujur dan berwibawa untuk memenuhi rasa keadilan, tetapi juga pelanggaran hak-hak asasi individual yang terkait dalam kasus tersebut.87 Contoh konkrit kasus yang saksinya merasa tertekan dan ketakutan ketika diminta hadir di persidangan untuk memberikan kesaksian terkait tindak pidana yang telah mereka alami adalah saksi dalam kasus penembakan di Lapas Cebongan, Yogyakarta. Saksi dalam kasus Cebongan tersebut mengalami trauma yang sangat hebat ketika diminta untuk menceritakan kembali peristiwa yang mengerikan tersebut. Bahkan ada salah satu saksi yang memberikan keterangan bias sewaktu ditanya kronologi peristiwa yang sebenarnya. Salah satu cara yang dilakukan oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) selaku lembaga yang memperjuangkan kepentingan saksi dan korban merekondasikan, untuk dapat mendengarkan keterangan saksi pada kasus Cebongan tersebut dilakukan dengan 87 Ibid. 75 sarana atau media video conference. Saksi dapat memberikan keterangnnya tanpa harus datang langsung di pengadilan Militer Yogyakarta. Melalui sarana video conference, antara saksi dan para penegak hukum yang berada di pengadilan tetap dapat melakukan interaksi langsung dan dapat bertatap muka tanpa harus melakukan kontak fisik. Penggunaan video conference sendiri tersebut masih menimbulkan perdebatan dikalangan dunia hukum. Pada akhirnya nanti, apakah video conference layak digunakan sebagai sarana dalam pemeriksaan saksi dalam kasus pidana, itu semua kembali lagi pada pengetahuan dan keyakinan hakim yang memutuskan suatu perkara. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, hakim wajib menggali nilai-nilai yang ada di masyarakat, supaya antara nila i kepastian; keadilan dan kemanfaatan dapat berjalan selaras demi kesejahteraan masyarakat. B. Pembahasan 1. Diperlukannya Video Conference Dalam Pembuktian Keterangan Saksi Pada Kasus Cebongan, Yogyakarta Pada Putusan No.48-K/PM II-11/AD/VI/2013 Peran dari pembuktian dalam suatu proses hukum di pengadilan merupakan hal yang sangat penting. Pembuktian dalam berperkara merupakan bagian yang sangat kompleks dalam proses litigasi. Keadaan kompleksitasnya makin rumit, karena pembuktian 76 berkaitan dengan kemampuan merekonstruksi kejadian atau peristiwa masa lalu (past event) sebagai suatu kebenaran (truth).88 Pembuktian menurut ilmu hukum adalah suatu proses, baik dalam acara pidana maupun dalam acara perdata, yang mana dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah, dilakukan tindakan de ngan prosedur khusus, untuk mengetahui suatu fakta atau pernyataan, khususnya fakta atau pernyataan yang dipersengketakan di pengadilan, yang diajukan dan dinyatakan oleh salah satu pihak dalam proses pengadilan itu benar atau tidak seperti yang dinyatakan. 89 Ada suatu perbedaan yang tajam antara pembuktian dalam hukum acara pidana dan pembuktian dalam hukum acara perdata. Di samping perbedaan dalam jenis alat bukti, terdapat pula perbedaan tentang sistem pembuktian. Sistem pembuktian dalam hukum acara pidana dikenal dengan “sistem pembuktian negatif” (negative wettelijk bewlijs), yaitu yang dicari oleh hakim adalah kebenaran yang materiil, sedangkan dalam hukum acara perdata berlaku “sistem pembuktian positif” (positive wettelijk bewlijs), yaitu yang dicari oleh hakim adalah kebenaran formil.90 88 Chabbie, Lady, Hukum Pembuktian (internet), 2012. Tersedia: pembuktian.html (diakses pada tanggal 8 Juli 2014 pukul 20:41) . 89 Munir Fuady, 2006, Op.Cit., Hal 1. 90 Ibid, Hal 2. www.hukum- 77 Pembuktian, dikaji dari perspektif yuridis, menurut M. Yahya Harahap91 adalah: Ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat bukti yang boleh digunakan hakim guna membuktikan kesalahan terdakwa. Pengadilan tidak boleh sesuka hati dan semena -mena membuktikan kesalahan ter dakwa. Dalam pembuktian terdapat empat teori pembuktian, yaitu: 1. Teori pembuktian positif. Bahwa bersalah atau tidaknya terdakwa bergantung sepenuhnya pada sejumlah alat bukti yang ditetapkan terlebih dahulu (keyakinan hakim diabaikan). 2. Teori pembuktian negatif. Bahwa hakim hanya boleh menjatuhkan pidana apabila sedikit-dikitnya alat-alat yang telah ditentukan dalam undang-undang, ditambah dengan keyakinan hakim yang diperoleh dari adanya alat-alat bukti. 3. Teori pembuktian bebas. Bahwa mengakui adanya alat-alat bukti dan cara pembuktian, namun tidak ditentukan dalam undangundang. 4. Teori berdasarkan keyakinan. Bahwa hakim dalm menjatuhkan pidana semata -mata bergantung pada keyakinan pribadinya dan dalam putusannya tidak perlu menyebutkan alasan-alasan putusannya. 92 Proses pembuktian hakikatnya memang lebih dominan pada sidang pengadilan guna menemukan kebenaran materiil akan peristiwa yang terjadi dan memberikan kepada hakim tentang kejadian tersebut sehingga hakim dapat memberikan putusan seadil mungkin. Sida ng pengadilan merupakan aspek esensial dan fundamental pembuktian, baik yang dilakukan oleh jaksa penuntut umum, terdakwa dan/atau bersama penasihat hukumnya, maupun oleh majelis hakim. 91 M. Yahya Harahap, 2005. Pembahasan Permasalah dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, Hal 252. 92 hukum indonesia.blogspot.com/2012/05/kesaksian-melalui-video-conference.html (internet), Loc.Cit. 78 Walaupun tahap awal pembuktian ini bersama-sama dilakukan, proses akhir dalam pembuktian tidaklah sama. Proses awal pembuktian di depan sidang pengadilan dimulai dengan pemeriksaan saksi dan/atau korban (terdapat dalam Pasal 160 ayat (1) huruf b KUHAP). Akan tetapi, bagi jaksa penuntut umum proses akhir pembuktian berakhir dengan diajukannya tuntutan pidana yang dapat dilanjutkan dengan replik. Kemudian bagi terdakwa dan/atau penasihat hukumnya diakhiri dengan pembacaan pembelaan (pledoi), yang dapat langusng dilanjutkan dengan pembacaan duplik, sedangkan bagi majelis hakim, berakhirnya proses pembuktian ini diakhiri dengan pembacaan putusan (berupa vonis, baik di pengadilan negeri maupun di pengadilan tinggi, jika perkara tersebut dilakukan upaya hukum banding) , namun sebenarnya pembuktian tersebut hakikatnya mempunyai dua dimensi sebagai suatu proses pidana yang dilakukan, mulai tahap penyelidikan sebagai permulaannya dan tahap penjatuhan pidana oleh hakim sebagai tahap akhirnya.93 Sesungguhnya, kegiatan pembuktian dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu: 1. Bagian kegiatan pengumpulan fakta. Kegiatan pemeriksaan alat-alat bukti yang yang diajukan di muka sidang pengadilan oleh jaksa penuntut umum dan penasihat hukum atau atas kebijakan majelis hakim. Proses pembuktian pada tahap pertama akan berakhir pada saat ketua majelis hakim menyatakan (diucapkannya secara lisan) dalam sidang bahwa pemeriksaan perkara telah selesai(terdapat dalam Pasal 182 ayat (1) huruf a). Yang dimaksud selesai dalam pasal ini tidak lain adalah telah selesainya pemeriksaan untuk mengungkapkan atau mendapa tkan fakta-fakta (termasuk pemeriksaan setempat). 93 Ibid. 79 2. Bagian pekerjaan penganalisisan fakta yang sekaligus penganalisisan hukum. Bagian pembuktian yang berupa penganalisisan fakta-fakta yang didapat dalam pesidangan dan penganalisisan hukum masingmasing oleh jaksa penuntut umum, penasihat hukum serta majelis hakim. Oleh jaksa penuntut umum, pembuktian dalam arti kedua ini dilakukan dalam surat tuntutannya (requisitoir). Bagi penasihat hukum, pembuktiannya diajukan dalam nota pembelaan (pledio) dan majelis hakim akan membahas dalam putusan akhir (vonis) yang dibuatnya.94 Proses pembuktian dalam persidangan pidana erat kaitannya dengan alat-lata bukti yang ada di dalam Pasal 184 KUHAP, yaitu: Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Petunjuk; dan Keterangan terdakwa. Keterangan saksi yang ditempatkan pada urutan pertama dalam hierarki alat-alat bukti tersebut menunjukan betapa pentingnya suatu keterangan yang diberikan oleh saksi di dalam proses persidangan, guna membuat terang suatu perkara pidana tersebut. Dalam KUHAP, pengertian keterangan saksi tersebut terdapat dalam Pasal 1 but ir ke 27, yaitu: Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Apabila seseorang yang mendengar, melihat dan mengalami sendiri suatu perkara pidana, kemudian orang tersebut dimintai keterangannya serta dibuatkan Berita Acara Pemeriksaan (BAP), secara yuridis orang tersebut dimintai keterangannya serta statusnya 94 Adami Chazawi, 2006. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT. Alumni, Hal 21-22. 80 masih sebagai saksi (terdapat di dalam BAB I Pasal 1 butur ke 26 KUHAP) dan keterangannya tersebut belum dapat dikatakan sebagai keterangan saksi (terdapat dalam BAB I Pasal 1 butir ke 27 KUHAP), karena keterangan tersebut belum saksi nyatakan di depan persida ngan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP), namun apabila keterangannya saksi tersebut tetap disampaikan di luar persidangan (incraht van gewijsde), maka pemberian keterangan tersebut tidaklah dapat diklasifikasikan sebagai keterangan saksi melainkan hanya sebatas saksi selaku person. Tidak ada satu perkara pidana yang lepas dari pembuktian alat bukti keterangan saksi. Hampir semua perkara pidana, selalu didasarkan kepada pemeriksaan keterangan saksi sekurang-kurangnya di samping pembuktian dengan alat bukti yang lain, masih tetap selalu diperlukan pembuktian alat bukti keterangan saksi. 95 Keterangan saksi dalam keduduknya sebagai alat bukti dimaksudkan untuk membuat terang suatu perkara yang sedang diperiksa, diharapkan dapat menimbulkan keyakinan pada hakim, bahwa suatu tindak pidana itu benar-benar telah terjadi dan terdakwa bersalah telah melakukan tindak pidana tersebut. Menjadi saksi adalah suatu kewajiban setiap orang, orang yang menjadi saksi setelah dipanggil ke suatu sidang pengadilan untuk memberikan keterangan, tetapi dengan suatu alasan kemudian menolak kewajiban tersebut, maka orang tersebut dapat dikenakan pidana berdasarkan ketentuan undang-undang yang berlaku. Dalam Pasal 185 ayat (5) KUHAP 95 Lilik Mulyadi, 2010. Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana. Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, Hal 76. 81 dinyatakan bahwa baik pendapat maupun rekaan yang diperoleh dari hasil saja, bukan merupakan suatu keterangan saksi. Dalam hal menghadirkan ataupun hadir dalam suatu sidang di pengadilan kaitannya sebagai suatu kewajiban sebagai seorang saksi, dewasa ini dunia hukum khususnya hukum acara pidana menciptakan suatu terobos an baru. Dengan memanfaatkan teknologi yang begitu pesat perkembangannya, maka terciptalah suatu gagasan atau sebagai sebuah yurisprudensi bahwa dalam mendengarkan keterangan saksi, saksi tersebut tidak perlu hadir langsung di ruang persidangan, melainkan saksi tersebut dapat memberikan keterangannya melalui sarana atau media yang disebut dengan video conference. Video conference atau konferensi video merupakan bagian dari dunia teleconferen. Video conference dapat diartikan sesuai dengan suku katanya, yaitu video yang berarti video, serta conference yang berarti konferensi. Maka yang dimaksud dengan video conference adalah konferensi video yang mana data yang ditransmisikan adalah dalam bentuk video atau audio visual. 96 Video conference merupakan sutau teknologi yang menggembirakan dan menambah semangat kita untuk bergabung dengan internet, penggunaan teknologi video conference yakni penggunaan video/teknologi suara dan komputer yang memungkinkan orang pada lokasi yang berjauhan untuk saling melihat, mendengar, dan berbicara satu sama lain. Teknologi video conference ini dapat memungkinkan orang saling berkomunikasi secara tatap muka, 96 en.wikipedia.org/wiki (internet), Loc.Cit. 82 dengan kata lain berkomunikasi secara vis ual. Komunikasi visual yakni sebuah teknologi komunikasi yang terdiri dari dua orang atau lebih pada lokasi yang berbeda yang dapat dilihat dan didengar secara bersamaan pada waktu yang bersamaan. 97 Pada dasarnya ada dua jenis sistem video conference: a. 97 Sistem terdedikasi mempunyai semua komponen yang dibutuhkan dan dikemas ke dalam satu peralatan, biasanya dengan sebuah konsol dengan kamera video pengendali jarak jauh dengan kualitas tinggi. Kamera ini dapat dikontrol dari jarak jauh untuk memutar ke kiri dan ke kanan, atas dan bawah serta memperbesar, yang kemudian dikenal sebagai kamera PTZ. Konsol berisi semua hubungan listrik, kontrol komputer, dan perangkat lunak atau perangkat keras berbasis codec. Mikrofon omnidirectional terhubung ke konsol seperti monitor televisi dengan pengeras suara dan/atau proyektor video. Ada beberapa jenis perangkat yang didedikasikan untuk video conference: 1. Konferensi video kelompok besar: non -portable, besar, perangkat yang digunakan lebih mahal untuk ruangan besar dan auditorium. 2. Konferensi video kelompok kecil: non-portable atau portable, lebih kecil, perangkat lebih murah yang digunakan untuk ruang rapat kecil. 3. Konferensi video individual: biasanya perangkat portable, dimaksudkan untuk satu pengguna, mempunyai kamera tetap, mikrofon , dan pengeras suara terintegrasi ke dalam konsol. b. Sistem dekstop biasanya menambahkan papan perangkat keras ke komputer pribadi normal dan mentrasformasikannya menjadi perangkat konferensi video. Berbagai kamera dan mikrofon berbeda dapat digunakan dengan papan, yang berisi codec yang diperlukan dalam pengiriman tatap muka. Sebagian besar sistem dekstop bekerja dengan standar H.323. Video conference dilakukan melalui komputer yang tersebar, yang juga dikenal sebagai emeeting.98 Febrian J, 2004. Pengetahuan Komputer dan Teknologi Informasi. Bandung: Informatika, Hal 21. 98 Wordpress, Pengertian Video Conference (internet), 2010. Tersedia: http://multimediaplasa.files.wordpress..com/2010/02/pengertian--video-conference.pdf (dikases pada tanggal 10 Juli 2014 pukul 05:25 WIB). 83 Dalam perkembangan teknologi komunikasi, dimana tuntutan kebutuhan pelayanan bagi pengguna jasa komunikasi makin tinggi, dalam penyampaian ide dan pendapat tidak hanya audio saja akan tetapi diperlukan juga visualnya, oleh karena itu dibutuhkan komunikasi yang dapat mengirimkan audio visualnya. Video conference memakai tetekomunikasi audio dan video untuk membawa orang ke tempat berbeda dalam waktu yang bersamaan untuk pertemuan. 99 Saat ini video conference sudah banyak digunakan dalam berbagai bidang. Misalnya dalam dunia peradilan hukum yang memanfaatkan video conference sebagai sarana untuk memberikan kesaksian jarak jauh. Penerapan video conference untuk mengahadirkan saksi dalam persidangan pidana menimbulkan perdebatan panjang. Disatu sisi perkembangan hukum ketinggalan jauh dengan perkembangan masyarakat, apalagi bila dibandingkan dengan kemajuan teknologi, sedangkan di sisi lain KUHAP sebagai basis acara pemeriksaan perkara pidana tidak mengaturnya. Berdasarkan Pasal 185 ayat (1) KUHAP dikatakan bahwa: Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan. Kalimat yang saksi nyatakan di sidang pengadilan inilah yang menjadi titik tolak perdebatan. Disatu pihak mengatakan bila saksi tidak hadir langsung secara fisik ke depan persidangan maka kesaksiannya tidak sah, dipihak lain menyatakan 99 bahwa dengan hukum indonesia.blogspot.com/2012/05/kesaksian-melalui-video-conference.html (internet), Loc.Cit. 84 menggunakan media video conference saksi sudah hadir di persidangan, karena keterangan saksi tetap dapat di cross-check oleh kedua belah pihak dan dapat dilihat pada layar minotor yang ada.100 Dalam Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, memiliki kekhususan secara formil dibandingkan dengan KUHAP. Salah satu kekhususannya terkait dengan penggunaan alat bukti yang merupakan proses pembaharuan pembuktian dalam KUHAP.101 Pengaturan mengenai alat bukti tersebut terdapat dalam Pasal 27 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, yaitu sebagai berikut: Alat bukti pemeriksaan tindak pidana terorisme meliputi: 1. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam Hukum Acara Pidana; 2. Alat bukti lain berupa informasi yang diucapkan, dikirmkan, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; 3. Data, rekaman, atau informasi yang dapat dilihat, dibaca dan/atau didengar, yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, atau yang terekam secara elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada: a. Tulisan, suara, atau gambar; b. Peta, rancangan, foto, atau sejenisnya. c. Huruf, tanda, angka, simbol, atau perforasi yang memiliki makna atau dapat dipahami oleh orang yang mampu membaca atau memahaminya. Mengenai penggunaan video conference dalam pemeriksaan keterangan saksi di persidangan terdapat pro dan kontra dalam hal tersebut. Ada beberapa faktor penyebab terjadinya perdebatan panjang 100 http://www.lontar.ui.aca.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=111353&lokasi=loka l. (diakses pada tanggal 10 Juli 2014 pukul 06:00 WIB). 101 hukumindonesia.blogspot.com/2012/05/kesaksian-melalui -video -conference.html (internet), Loc.Cit. 85 dalam penggunaan video conference sebagai sarana pemeriksaan saksi dalam persidangan perkara pidana, yaitu: 1. Kebijakan formulatif (pembuat undang-undang) dan kebijakan aplikatif (penegak hukum) di Indonesia mengacu pada ketentuan hukum positif. Konsekuensi logis yang demikian membuat muara pada penegakan hukum yang bersifat formal legistik, sehingga terdapat jurang yang relatif tajam dalam mencari keadilan. Keadilan yang dikejar dan diformulasikan oleh kebijakan formulatif adalah keadilan undang-undang. 2. KUHAP tidak mengatur tentang video conference, sehingga pro dan kontra penggunaannya tergantung pada apakah merugikan ataukah menguntungkan masing-masing para pihak. 3. Terhadap eksistensi video conference hakim menyetujui dilakukannya video conference tersebut. Aspek ini sebenarnya harus dilakukan dunia peradilan di Indonesia apabila tidak ingin dipandang negatif oleh masyarakat. 102 Beberapa pakar hukum yang tidak setuju dengan penggunaan video conference juga berpendapat bahwa: 1. Menurut Prof. Achmad Ali, seorang akademisi dan juga anggota Komnas HAM, berpendapat bahwa selama video conference belum diatur dalam hukum positif Indonesia, maka video conference tidak dapat digunakan sebagai alat bukti. Terkait dengan sumpah yang diucapkan oleh saksi, menurut Prof. Achmad Ali, sumpah para saksi itu tidak bernilai sumpah karena tidak mempunyai akibat hukum. Padahal sesuai Pasal 174 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP, pada hakikatnya fungsi sumpah bagi saksi adalah agar saksi itu dapat dituntut berdasarkan delik pidana bila ia memberikan keterangan palsu sesuai dengan Pasal 242 KUHP. 2. Menurut Prof. Andi Hamzah, seorang Guru Besar Hukum Pidana Universitas Hasanudin berpendapat bahwa video conference bukanlah merupakan alat bukti saksi. Video conference hanya dapat dijadikan alat untuk menguatkan keyakinan hakim. Itu pun dengan beberapa syarat, seperti video conference harus dilakukan di kantor perwakilan Indonesia di luar negeri melalui video conference harus didampingi oleh jaksa penuntut umum dan pengacara terdakwa.103 102 Lilik Mulyadi, 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana:Perspektif Teoritis dan Praktik . Bandung: PT. Alumni, Hal 125. 103 hukumindonesia.blogspot.com/2012/05/kesaksian-melalui -video -conference.html (internet), Loc.Cit. 86 Dengan dasar yuridis ketentuan Pasal 5 ayat (1) UndangUndang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman disebutkan bahwa: Hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Dalam menggali, mengikuti, memahami dan mengejar kebenaran materiil dalam hukum pidana, hakim mempunyai peranan yang penting dalam menilai masing-masing alat bukti. Karena tujuan yang hendak dicapai dalam hukum acara pidana dalam pembuktian yaitu untuk menemukan kebenaran materiil yang merupakan kebenaran yang nyata dan sebenar-benarnya.104 Dalam KUHAP ketentuan mengenai video conference tidak diatur. Ketentuan Pasal 184 ayat KUHAP menyebutkan 5 jenis alat bukti: Keterangan saksi; Keterangan ahli; Surat; Petunjuk; dan Keterangan terdakwa. Pada dasarnya, sistem pembuktian yang dianut oleh Indonesia yaitu sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif.105 Hal ini berarti hasil dan kekuatan pembuktian berdasarkan alat bukti yang disebut pada undang-undang dan daripadanya, sehingga 104 Andi Hamzah, 1983. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia . Jakarta: Sinar Grafika, Hal 18. 105 Ibid, Hal 235. 87 hakim dapat memperoleh keyakinan bahwa memang terdakwalah yang melakukan tindak pidana. Keterangan saksi yang disampaikan dalam kasus penembakan di Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman, Yogyakarta menggunakan media video conference. Dilatarbelakangi karena terjadinya pengeroyokan oleh beberapa orang terhadap se orang Sertu Kopassus Kandang Menjangan Kertasura yang bernama Heru Susanto di tempat hiburan Hugo’s Caffe di Jalan Adi Sucipto, Depok, Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta yang mengakibatkan Sertu Heru Susanto tersebut tewas.106 Setelah berhasil ditangkap dan diketahui bahwa pelaku pengeroyokan Sertu Heru Santoso tersebut adalah kelompok Dicky CS, awalnya para pelaku ditahan di Mapolda DIY sebelum kemudian dipindahkan di Lapas Cebongan kelas II B karena sel di Mapolda DIY sedang direnovasi. 107 Pada saat itu, diduga karena dendam atas tewasnya Sertu Heru Santoso di tangan pr eman kelompok Dicky CS tersebut, dan sebagai anggota Kopassus yang memiliki jiwa Korsa yang tinggi, pada hari Sabtu, tanggal 23 Maret 2013 sekitar pukul 01:30 WIB, sekitar 17 orang yang pada waktu itu belom diketahui bahwa ke 17 orang tersebut rekan sejaw at Sertu Heru Santoso kemudian mendatangi 106 JPNN, Kronologi Pengeroyokan Anggota Kopassus Sertu Heru (internet), 2013. Tersedia: http://JPNN.Kronologi -pengeroyokan-anggota-kopassus-sertu-heru.html (dikases pada tanggal 10 Juli 2014 pukul 20:48 WIB). 107 Kalsum, Umi, Pengacara: Janggal, Pemindahan Empat Pembunuh Kopassus ke Lapas Cebongan (internet), 2013. Tersedia: www.blogspot.com.umi.kalsum.Pengacara:janggal, pemindahan emapt pembunuh kopassus ke lapas cebongan (diakses pada tanggal 10 Juli 2014 pukul 20:56 WIB). 88 Lapas Kelas II B Cebongan. Setelah berhasil melompati pagar pembatas Lapas kemudian mereka sempat melakukan penyanderaan terhadap para penjaga sipir Lapas Cebongan sebelum akhirnya mendatangi sel tempat Dicky CS ditahan dan menembak 4 tahanan yang merupakan kelompok Dicky CS hingga tewas. Pada saat kejadian tersebut, banyak pihak yang dilibatkan sebagai saksi. Sekitar 42 orang dijadikan saksi dalam kasus penembakan Cebongan. Saksi tersebut antara lain petugas sipir Lapas Cebongan yang disandera oleh 17 anggota Kopassus hingga para tahanan di Lapas Cebongan yang pada saat itu melihat langsung penembakan yang dilakukan oleh anggota Kopassus kepada ke empat tahanan (kelompok Dicky CS) di dalam Lapas tersebut. Sebagai Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) yang notabene melindungi kepentingan saksi dan korban dari ancaman yang dapat mengganggu kondisi fisik maupun psikologi dari para saksi tersebut, maka selaku Ketua Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban, Abdul Harris Semendawai mengajukan surat permohon kepada Mahkamah Agung untuk menyetujui keterangan saksi yang diberikan mengguna kan media video conference dengan alasan keamanan para saksi. Mahkamah Agung menyetujui penggunaan alat bantu video conference untuk proses pemberian kesaksian pada kasus Cebongan di Pengadilan Militer II-11, Yogyakarta. Terkait dengan dana pemasangan dan pembiayaan video conference semua ditanggung oleh pihak LPSK. Alasan penggunaan video conference pada kesaksian kasus Cebongan, Yogyakarta tersebut dikarenakan 89 suasana tempat persidangan yang dinilai tidak kondusif karena banyaknya aksi demo yang mendukung pelaku penembakan (anggota Kopassus) dan dipastikan akan mempengaruhi psikologi para saksi. Menurut Teguh Soedarsono selaku anggota LPSK mengatakan bahwa saksi yang terlindungi LPSK yang dipanggil ke pengadilan akan didampingi oleh LPSK dan psikolog, terutama bagi saksi yang masih tertekan dan trauma. Sebagian saksi yang dalam pemberian keterangannya tidak melalui video conference dan siap memberikan kesaksian di pengadilan, akan dikawal dan dilindungi keberangkatannya hingga di Lapas Cebongan. 108 Sarana video conference dipasang di tiga titik, yakni di Pengadilan Militer Yogyakarta, di Lapas Cebongan Yogyakarta serta di kantor LPSK di Jakarta. Ke 48 saksi kasus Cebongan mendapatkan perawatan dari 18 orang psikolog. Para saksi mengalami ketakutan yang hebat saat menjelang proses persidangan. Menurut Abdul Harris Semendawai berdasarkan dari keterangan ke 18 psikolog yang menangani perawatan, para saksi masih sering mengalami mimpi buruk soal peristiwa tersebut. Kemudian, jika diminta mengingat kejadian tersebut, mereka merasa ketakutan sampai mengeluarkan keringat dingin. 109 Sebanyak 10 dari 42 saksi kasus penembakan tahanan di Lapas kelas II B Cebongan, Yogyakarta tidak hadir langsung untuk memberikan kesakisan pada kasus tersebut di Pengadilan Militer 108 berita-jogya-1...an-ma--setuju-pakai-videoconference.html (internet), Loc.Cit. Jawa Post National Network, Desak MA Putuskan Penggunaan Video Conference (internet), 2014. Tersedia: http://Desak-M A-Putuskan-Penggunaanvideoconference.html (dikases pada tanggal 11 Juli 2013 pukul 06:25 WIB). 109 90 Yogyakarta. Hal tersebut disampaikan oleh Ketua tim psikologi yang telah melakukan pemeriksaan dan pendampingan terhadap para saksi tersebut. Menurut Ketua tim pemeriksaan saksi kasus Cebongan yang juga ketua Assosiasi Psikologi Forensik Indonesia (APSIFOR), Yusti Probowati, 10 saksi yang direkondasikan menggunakan video conference terdiri atas 8 warga binaan (tahanan) di Lapas Cebongan, dan 2 petugas sipir Lapas. Alasan mereka tidak bisa dihadirkan dalam persidangan dikarenakan mengalami gangguan klinis yakni, trauma, kecemasan serta ketakutan yang tinggi. Selain 10 saksi yang telah disebutkan, ada 1 saksi yang membutuhkan penanganan tersendiri saat memberikan kesaksian. Sebab, satu saksi ini sering memberikan keterangan bias. Oleh sebab itu, butuh pendampingan petugas saat bersaksi, itupun harus menggunakan metode tertentu tanpa memberikan kesaksian langsung. Pemeriksaan psikologi terhadap 42 saksi kasus Cebongan telah dilakukan sejak tanggal 29 Mei 2013 hingga 15 Juni 2013 lalu. Sebanyak 42 orang yang menjadi saksi dalam kasus penembakan tahanan di Lapas Cebongan, Yogyakarta terdiri dari 31 orang tahanan dan 11 orang merupakan petugas sipir Lapas Cebongan. Metode yang digunakan para psikolog dalam pemeriksaan saksi tersebut menggunakan metode standart psikologi ditambah dengan wawancara secara test khusus. Dari hasil test tersebut, dipaparkan Yusti Probowati bahwa 34 saksi dinilai cukup kompeten untuk memberikan kesaksian, 7 saksi dinilai kurang kompeten dalam menberikan kesaksiannya, serta 1 saksi dinyatakan tidak kompeten. Yang perlu dicatat dari 34 saksi yang cukup 91 kompeten ini, hanya 31 saksi yang siap hadir langsung memberikan kesaksiannya di persidangan. Sisanya memberikan kesaksian melalui video conference karena merasa takut dan cemas pada saat memberikan kesaksian. 110 Berdasarkan kasus dan pernyataan dari beberapa pihak yang melindungi kepentingan saksi dalam kasus Cebongan, Yogyakarta ini, ketidakhadiran saksi banyak diakibatkan oleh ketidakpercayaan atas jaminan keamanan terhadap saksi, pelakauan terhadap saksi saat diperiksa dan alasan-alasan lainnya, sehingga saksi enggan diperiksa di persidangan. Implikasi dari kesaksian yang tidak memadai tersebut terutama karena minimnya kehadiran saksi membuat tersendatnya proses pembuktian yang akhirnya akan menyulitkan hakim dalam memberikan keputusan hukum. 111 Dalam sebuah proses peradilan pidana, saksi adalah kunci untuk memperoleh kebenaran materiil. Teorinya terdapat dalam Pasal 184 sampai dengan Pasal 185 KUHAP. Dalam Pasal 184 KUHAP menempatkan keterangan saksi diur utan pertama di atas alat bukti lain berupa keterangan ahli; surat; petunjuk; dan keterangan terdakwa. Dalam Pasal 185 ayat (2) KUHAP menyatakan: Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan kepadanya. Kemudian ayat (3)nya berbunyi: 110 Republika.co.id.Saksi-Kasus-Cebongan-Direkomendasikan-Bersaksi-Via-VideoConference (internet), Loc.Cit. 111 Ian, Hard, Penggunaan Video Conference Sebagai Alat Bukti yang Sah di Persidangan (internet), 2011. Tersedia: http://penggunaan_video_conference_sebagai_alat_bukti_yang_sah_dalam_persidangan.html (diakses pada tanggal 11 Juli 2014 pukul 07:05 WIB). 92 Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku apabila disertai dengan alat bukti yang sah lainnya. Hal ini dapat diartikan bahwa keterangan lebih dari satu orang saksi saja tanpa disertai alat bukti lainnya, dapat dianggap cukup untuk membuktikan apakah seorang terdakwa bersalah atau tidak. Pada saat memberikan keterangan, saksi harus dapat memberikan keterangan yang sebenar-benarnya. Untuk itu, saksi perlu merasa aman dan bebas saat diperiksa di muka pengadilan. Ia tidak boleh ragu-ragu menjelaskan peristiwa yang sebenarnya, walaupun keterangan itu memberatkan terdakwa. Maka, dalam Pasal 173 KUHAP memberikan kewenangan kepada majelis hakim untuk memungkinkan seorang saksi didengar keterangannnya tanpa menghadirkan terdakwa. Alasannya jelas, yaitu mengakomodir kepentingan saksi sehingga ia dapat berbicara dan memberikan keterangannya secara lebih leluasa tanpa rasa takut, khawatir ataupun tertekan. 112 Persoalan tentang perlindungan saksi dan korban seharusnya menjadi persoalan yang sangat penting dalam proses pemeriksaan di pengadilan ini. Karena itu perlindungan atau pemberian hak-hak khusus kepada saksi dan korban mutlak harus dilakukan. Perlindungan keamanan bagi saksi diharapkan juga diberikan setelah proses pemberian kesaksian. Sebagai contoh saksi dalam kasus Cebongan ini menyatakan bahwa posisinya sangat sulit untuk memberikan kesaksian di pengadilan karena katakutan dan trauma yang hebat 112 iskandar.centre.blog.pentingnya-perlindungan-terhadap-hak-hak-saksi-dankorban-kejahatan.html (internet), Loc.Cit. 93 ketika mengingat kembali peristiwa penembakan yang terjadi di Lapas Cebongan tersebut. 113 Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi Pelanggaran HAM yang Berat sebenarnya telah memberikan cara untuk prosedur pemberian kesaksian yang berbeda dengan KUHAP, yaitu pemberian kesaksian dengan menggunakan video conference atau tanpa hadir langsung di pengadilan. Tapi prose dur tersebut bertentangan dengan aturan yang ada di dalam KUHAP. Hal ini pr oblematik karena proses pembuktian yang diatur dalam Peraturan Pemerintah ini tidak menjadi otomatis diterima oleh majelis hakim karena derajat peraturan yang berbeda. Oleh karena itu, pelaksanaan dari proses pemberian kesakisan yang dimaksud oleh Peratura n Pemerintah tersebut terbatas digunakan oleh para hakim karena para hakim sendiri berbeda pendapat mengenai perlu tidaknya digunakan mekanisme kesaksian ini. 114 Dalam praktiknya, ternyata proses pembuktian yang terutama berkaitan dengan pemeriksaan saksi membutuhkan sebuah mekanisme khusus. Terobosan yang dilakukan oleh majelis hakim ketika memperbolehkan adanya pemeriksaan melalui media video conference merupakan salah satu mekanisme pemberian keterangan oleh saksi, terutama saksi korban yang tidak diatur oleh KUHAP. Alasan digunakannya video conference adalah bahwa adanya adagium: 113 penggunaan_video_conference_sebagai_alat_bukti_yang_sah_dalam_persidangan .html (internet), Loc.Cit. 114 Ibid. 94 “bahwa hukum itu berkembang dan cenderung tertinggal”. Hakim sebagai penegak hukum memang mempunyai kewajiban untuk menggali hukumnya. 115 Jadi, diterapkannya media video conference sebagai salah satu cara dalam pemeriksaan saksi, ternyata lebih banyak diakibatkan pertimbangan dari majelis hakim tentang perlunya cara ini digunakan agar menemukan kebenaran materiil. Majelis hakim yang setuju menggunakan media video conference ini perlu mengeluarkan penetapan khusus untuk terlaksananya video conference. Hal ini berarti bahwa proses pemberian kesaksian melalui video conference tidak dapat digunakan secara otomatis. Perbedaan pandangan apakah video conference, sebagai sala h satu cara untuk melindungi saksi ketika memberikan keterangan secara aman baik secara fisik dan mental bertentangan dengan KUHAP, menjadi bahan analisis yang penting karena akan berimpikasi pada model kesaksian pada kasuskasus pidana yang lainnya. 116 Implikasi terhadap pertentangan secara yuridis ini adalah, apakah pemeriksaan saksi dengan menggunakan media video conference ini akan dapat digunakan sebagai sebuah alat bukti yang sah atau tidak, jika dilihat ketentuan dalam KUHAP bahwa kesaksian yang dapat dianggap sebagai alat bukti yang sah adalah saksi yang hadir langsung di persidangan (Pasal 185 ayat (1) KUHAP) dan saksi yang dibacakan keterangannya yang telah disumpah terlebih dahulu. 115 116 Ibid. Ibid. 95 Jika tidak ada jaminan bahwa model kesaksian media video conference ini dapat diperlakukan sebagai alat bukti yang sah, maka segala keputusan yang telah diambil majelis hakim dapat dibatalkan dalam tingkat banding. Di sini hakim berani untuk melakukan terobosan hukum demi menjamin perlindungan kepada saksi dan korban dan demi menemukan kebenaran materiil. Hakim berani mengambil langkah untuk melindungi saksi dan/atau korban dari ancaman, baik mental maupun fisik dari gangguan maupun teror kepada saksi yang pernah terjadi pada saat saksi dan/atau korban datang ke persidangan untuk memberikan kesaksian. 117 2. Kekuatan Pembuktian Keterangan Saksi Video Conference Pada Kasus Cebongan, Yogyakarta Pada Putusan No.48K/PM II-11/AD/VI/2013 Keterangan saksi yang dinyatakan sebagai alat bukti yang sah (berdasarkan Pasal 185 ayat (1) KUHAP ) ialah sesuai dengan ketentuan Pasal 1 butir ke 27 KUHAP, yaitu apa yang saksi dengar; yang saksi lihat dan saksi alami sendiri dalam suatu tindak pidana. Syarat agar suatu keterangan saksi tersebut dapat dinyatakan sah apabila: 1. Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji (sebelum memberikan keterangan). Redaksi Pasal 160 ayat (30 KUHAP menerangkan bahwa sebelum saksi memberikan keterangan waib mengucapkan sumpah atau janji yang dilakukan menurut cara sesuai agamanya masing-masing dan lafaz sumpah atau janji berisi bahwa saksi akan memberikan keterangan yang sebenarnya 117 Ibid. 96 dan tidak lain daripada yang sebenarnya. Alasan bahwa sumpah yang diucapkan sebelum saksi memberikan keterangan di sidang pengadilan adalah: a. saksi akan terpengaruh oleh sumpah atau janji yang diucapkan; b. saksi akan mengurangi niat untk mengingkari janji; c. bahwa keterangan yang diucapkan akan mempunyai kekuatan pembuktian. 118; 2. Keterangan saksi harus harus mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat sendiri dan yang dialami sendiri, dengan menyebutkan alasan pengetahuannya (testimonium de auditu = keterangan yang diperoleh dari orang lain tidak memiliki nilai pembuktian) ; 3. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan (kecuali yang ditentukan pada Pasal 162 KUHAP) Keterangan saksi yang dinyatakan di luar sidang pengadilan (outside the court) bukan alat bukti dan tidak dapat digunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa, meskipun misalnya hakim, penuntut umum, terdakwa atau penasihat hukum, mendengar bahwa keterangan seorang yang berhubungan dengan peristiwa pidana yang sedang diperiksa, dan keterangan tersebut mereka mendengarnya di halaman kantor pengadilan atau disampaikan oleh seseorang kepada hakim di rumah tempat tinggalnya, keterangan yang demikian tidak dapat dinilai sebagai alat bukti karena keterangan tersebut tidak dinyatakan di sidang pengadilan. 119; 4. Keterangan seorang saksi saja tidak cukup membuktikan kesaalahan terdakwa (unus testis nullus testis). Prinsip minimum pembuktian sebagaimana yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP, agar suapaya keterangan saksi dapat dianggap cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa maka harus dipenuhi paling sedikit atau sekurangkurangnya dengan dua alat bukti yang sah. Ini berarti, jika alat bukti yang dikemukakan penuntut umum hanya terdiri dari seorang saksi saja tanpa ditambah dengan keterangan saksi lain atau alat bukti lainnya atau kesaksian tunggal maka kesaksian seperti ini tidak dapat dinilai sebagai alat bukti 118 Juliman, Keterangan Saksi Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Perkara Pidana (internet), 2012. Tersedia: http://bab -ii-keterangan-saksi-sebagai-salah_24.html.pdf (diakses pada tanggal 7 Agustus 2014 pukul 05:35 WIB). 119 Ibid. 97 yang cukup untuk kepadanya.120 ; 5. membuktikan kesalahan terdakwa Pemeriksaan menurut cara yang ditentukan oleh undangundang. 121 Apabila keterangan saksi telah memenuhi ke lima syarat tersebut, maka keterangan saksi itu mempunyai nilai pembuktian, antara lain: 1. Diterima sebagai alat bukti yang sah; 2. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian bebas (bersifat tidak sempurna dan tidak mengikat); 3. Tergantung penilaian hakim (hakim bebas namun bertanggung jawab menilai kekuatan pembuktian keterangan saksi untuk mewujudkan kebenaran hakiki); 4. Sebagai alat bukti yang berkekuatan pembuktian bebas, dapat dilumpuhkan terdakwa dengan keterangan saksi a de charge atau alat bukti lain. 122 Kemudian, keterangan saksi yang dilakukan di bawah sumpah nilainya disamakan dengan keterangan di bawah sumpah yang diucapkan di persidangan. Berdasarkan hal tersebut di atas, maka variasi alat bukti keterangan saksi diklasifikasikan menjadi dua jenis, yaitu: 1. Keterangan saksi di bawah sumpah di persidangan; dan 2. Keterangan saksi di bawah sumpah yang dibacakan dalam persidangan (berdasarkan Pasal 162 ayat (2) KUHAP).123 Apabila pertitik tolak pada Pasal 160 ayat (1) serta Pasal 167 KUHAP, maka penggunaan video conference sangat bertentangan dengan ketentuan tersebut. Yang mana dalam memberikan kesaksiannya, saksi hadir (secara fisik) ke dalam ruang persidangan untuk sebelumnya disumpah terlebih dahulu setelah itu baru saksi 120 Ibid. P embuktian-dalam-hukum-pidana.html (internet), Loc.Cit. 122 Ibid. 123 hukumindonesia.blogspot.com/2012/05/kesaksian-melalui -video -conference.html (internet), Loc.Cit. 121 98 dapat bersaksi. Kemudian setelah memberikan kesaksiannya pun saksi harus tetap berada di ruang persidangan, kecuali majelis hakim memberi ijin kepada saksi tersebut untuk dapat meninggalkan ruang sidang sebelum proses persidangan berlangsung (Pasal 167 ayat (1) KUHAP). Ketentuan tersebut secara tekstual menuntut kehadiran seorang saksi secara fisik di ruang persidangan. Akan tetapi, kenyataannya untuk menegakan kebenaran materiil yang bermuara pada keadilan, dalam praktiknya sedikit telah ditinggalkan. Misalnya, secara faktual pada Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 661 K/Pid/1988 tanggal 19 Juli 1991 dengan kaidah dasar yang mana keterangan saksi yang disumpah oleh penyidik karena suatu halangan yang sah tidak dapat dihadirkan di persidangan, sedangkan keterangannya tersebut dibacakan, maka keterangan tersebut sama nilainya dengan kesaksian di bawah sumpah. 124 Hal ini menguatkan Pasal 162 ayat (2) KUHAP, mengenai keterangan saksi di bawah sumpah yang dibacakan di persidangan. Permasalahan utama mengenai penggunaan video conference ini, pada hakikatnya adalah penerimaan dari para penegak hukum. Persidangan video conference ini di Indonesia masih menyisakan ambiguitas dan debatable antara sikap penuntut umum dan penasihat hukum. Secara prinsip hukum, penggunaan video conference dalam pemeriksaan saksi lebih menguntungkan dibandingkan dengan keterangan saksi yang diberikan di bawah sumpah yang dibacakan di persidangan 124 Ibid. 99 sesuai dengan Pasal 162 ayat (2) KUHAP. Berikut ini perbandingan antara dua hal tersebut: 1. Pengucapan sumpah atau janji sesuai dengan Pasal 160 ayat (3) KUHAP. Menurut ketentua n Pasal 160 ayat (3) KUHAP, sebelum saksi memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji terlebih dahulu. Dan pengucapan sumpah tersebut dilakukan sebelum saksi memberikan keterangan, serta dimungkinkan apabila dianggap perlu oleh pengadilan, maka hal tersebut dilakukan sesudah saksi memberikan keterangan. Baik keterangan saksi di bawah sumpah yang dibacakan maupun pemeriksaan saksi dengan media video conference, masing-masing memenuhi ketentuan ini. Keterangan saksi di bawah sumpah yang dibacakan, merupakan keterangan saksi dihadapan penyidik yang sudah diambil di bawah sumpah, sedangkan prinsip pengucapan sumpah dalam pemeriksaan saksi dengan media video conference sama dengan pemeriksaan saksi di persidangan yang dihadapkan secara biasa. 2. Keterangan saksi harus diberikan di sidang pengadilan. Secara visual, saksi tetap hadir pada persidangan dan berhadapan dengan hakim, penuntut umum dan penasihat hukum terdakwa. Hal ini terkait dengan keyakinan hakim yang dimaksud pada Pasal 183 KUHAP, ya kni: Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya. Dalam penerapannya, untuk memperoleh keyakinan hakim ini pada pemeriksaan saksi di persidangan, maka akan dipertimbangkan hal- hal berikut oleh hakim, yakni: latar belakang kehidupan saksi; dan perilaku bahasa tubuhnya ketika di persidangan. 125 Penggunaan media video conference ini memungkinkan hakim untuk mengetahui secara langsung gesture; sikap dan roman muka dari saksi yang dihadirkan ke persidangan. 3. Penilaian kebenaran keterangan saksi. Untuk menilai keterangan beberapa saksi sebagai alat bukti yang sah, har us terdapat hubungan antara keterangan saksi dengan alat bukti lain keterangan tersebut, sehingga dapat membentuk keterangan yang membenarkan suatu kejadian atau keadaan tertentu. Pada Pasal 185 ayat (6) KUHAP mengatur beberapa point yang patut diperhatikan hakim dalam menilai kebenaran keterangan saksi, yaitu: 1. Persesuaian antara keterangan saksi; 2. Persesuaian keterangan saksi dengan alat bukti lain. Untuk mengetahui atau mendapatkan adanya kesesuaian 125 Ibid. 100 antarketerangan saksi, ataupun dengan alat bukti lain, pada praktik persidangan sering dilakukan konfrontasi dengan saksi atau alat bukti tersebut. Konfrontasi yaitu suatu pernyataan atau keterangan saksi yang berbeda ataupun bertolak belakang dengan keterangan saksi lain atau alat bukti lain, maka akan dicek kebenarannya dengan meng-cross-check atau konfrontir yang dilakukan akan bersifat satu pihak saja, yaitu terhadap saksi atau alat bukti yang hadir di persidangan saja. 3. Alasan saksi memberi keterangan tertentu. Terhadap suatu keterangan yang diberikan oleh saksi, seorang penegak hukum tidak boleh dengan begitu saja menerima mentah-mentah hal tersebut. Terkadang perlu untuk memilah-milah dan mengkaji lebih dalam lagi mengenai alasan dari keterangan yang diberikan oleh saksi. Hal ini tentunya, dengan bantuan media video conference akan dapat dilakukan. Sebaliknya dengan keterangan saksi dibawah sumpah yang dibacakan dalam persidangan, penegak hukum hanya dapat menerima hasil keterangan saksi dihadapan penyidik tersebut tanpa bisa menggali lebih dalam mengenai hal tersebut. 4. Klarifikasi terhadap keterangan saksi oleh penegak hukum. Penggunaan video conference merupakan satu sarana untuk dapat mencari kebenaran materiil. Para pihak yang terlibat, yaitu: hakim; penuntun umum serta penasihat hukum dapat mendengar langsung keterangan saksi dan dapat menguji kebenaran tersebut. 126 Mengenai ketentuan dasar hukum pembuktian, kesaksian dalam menggunakan media video conference dalam menyampaikan keterangannya, maka terlebih dahulu saksi harus memenuhi persyaratan sebagai ber ikut: 1. Keterangan lisan seseorang di muka sidang pengadilan ( sesuai Pasal 185 ayat (1) KUHAP). Sistem pembuktian secara negatif (negative wettelijk bewlijs) yang dianut KUHAP (terdapat dalam Pasal 183 KUHAP, pada prinsipnya menjamin tegaknya kebenaran; keadilan dan kepastian hukum. Dengan menggunakan keyakinan hakim dan minimal menggunakan dua alat bukti yang sah, maka sistem pembuktian kita adalah perpaduan antara sistem berdasarkan keyakinan hakim semata (conviction intime) dan sistem pembuktian positif (positive wettelijk bewlijs). Dengan demikian, keyakinan hakim merupakan suatu hal yang penting dalam sistem pembuktian di Indonesia. Sebagai suatu keyakinan, maka sifatnya konfiktif dan subjektif, sehingga sulit diuji secara objektif. Untuk mendapatkan keyakinan 126 Ibid. 101 tersebut, hakim harus dapat memahami latar belakang kehidupan seseorang; perilaku dan bahasa tubuhnya (gesture) di sidang pengadilan secara fisik dan secara langsung. 2. Dengan disumpah terlebih dahulu (sesuai dengan Pasal 275 ayat (2) jo. Pasal 303 HIR dan Pasal 160 ayat (3) jo. Pasal 185 ayat (7) KUHAP). Sebagaimana ketentuan Pasal 160 ayat (3) KUHAP, dalam memanfaatkan teknologi video conference tidak jauh berbeda dengan persidangan biasa, yaitu sebelum memberikan keterangan, saksi wajib mengucapkan sumpah atau janji sesuai dengan agama dan kepercayaannya masing-masing, bahwa ia akan memberikan keterangan yang sebenarnya dan tidak lain dari yag sebenarnya. 3. Tentang peristiwa tertentu yang didengar, dilihat dan dialami sendiri (nontestimonium de auditu) (sesuai dengan Pasal 1 butir ke 27 KUHAP). Seperti halnya di persidangan pidana, bahwa keterangan saksi adalah salah satu bukti dalam perkara pidana yang be rupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu. Dalam hal ini, video conference akan menjadi alat bukti yang sah sepanjang yang bersangkutan tidak menyangkalnya. 127 Bila yang bersangkutan menyangkal hal tersebut, maka video conference hanya dapat dijadikan sebagai bukti petunjuk saja. Apabila KUHAP dilakukan sebuah revisi, khususnya dalam limitasi alat-alat bukti, kelima jenis alat bukti di dalam KUHAP suadah saatnya untuk dihapus dan ditinggalkan. Pada dasarnya setiap atau semua alat bukti dapat diajukan sebagai bukti, kecuali undangundang menentukan lain diserahkan kepada pertimbangan hakim. 128 Berdasarkan hal tersebut, setiap alat bukti yang diajukan dalam persidangan wajib diperiksa oleh hakim, termasuk persidangan yang dilakukan melalui media video conference, karena hakim memiliki keyakinan yang kuat dalam menilainya, sehingga putusan yang dijatuhkan akan lebih objektif. 127 128 Ibid. Likik Mulyadi, 2008, Op.Cit., Hal 127. 102 BAB V PENUTUP A. Simpulan 1. Penggunaan video conference sebagai sarana pemeriksaan keterangan saksi dalam persidangan pada kasus Cebongan di Yogyakarta sangat diperlukan karena: a. kondisi saksi tidak memungkinkan untuk memberikan kesaksian langsung di Pengadilan Militer Yogyakarta karena kondisi saksi yang masih trauma dan mengalami ketakutan yang sangat hebat; b. penggunaan video conference sangat efektif dilakukan mengingat kondisi saksi yang mengalami guncangan psikis yang hebat ketika hendak dimintai keterangan; c. penggunaan video conference tersebut telah disetujui oleh Mahkamah Agung serta Majelis Hakim yang menangani perkara tersebut. 2. Kekuatan pembuktian keterangan saksi pada kasus Cebongan Yogyakarta sesuai dengan Putusan No.48-K/PM II- 11/AD/VI/2013 dapat dijadikan sebagai alat bukti yang sah, tidak hanya sebagai alat bukti petunjuk saja. Hal yang paling mendasar pada pemeriksaan keterangan saksi yang menggunakan sarana video conference adalah keyakinan hakim yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara pidana tersebut. 103 B. Saran Aparat penegak hukum, khususnya hakim harus lebih menggali lagi nilai-nilai yang berkembang dalam masyarakat, terlebih lagi dalam proses pembuktian. Tidak hanya berdasarkan pada apa yang telah tercantum dalam undang-undang sebagai hukum positif saja, agar dapat terciptanya kesejahteraan masyarakat. DAFTAR PUSTAKA A. Literatur: Ali, Lukman, 1991. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Amiruddin dan Asikin, Zainal, 2006. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Chazawi, Adami, 2006. Hukum Pembuktian Tindak Pidana Korupsi. Bandung: PT. Alumni. Fuadi, Munir,2006. Teori Hukum Pembuktian Cet. I. Bandung: PT Citra Aditya Bakti. Hamzah, Andi, 1983. Pengantar Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. ,1983. Pengantar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika. ,1985. Pengantar Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia. ,1990. Pengantar Hukum Acara Pidana. Jakarta: Ghalia Indonesia. ,2001. Hukum Acara Pidana Indonesia (Edisi Revisi). Jakarta: Ghalia Indonesia. Hanadi, Saryono, 2008. Metodologi Penulisan dan Penelitian Hukum. Bahan Kuliah MPPH, Purwokerto : Universitas Jenderal Soedirman. Harahap, M.Yahya, 1985. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP. Jakarta: Pustaka Kartini. ,2001. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan Penyidikan dan Penuntutan (Edisi Kedua). Jakarta: Sinar Grafika. KUHAP, ,2005. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjaun Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. Ibrahim, Johnny, 2005. Teori&Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayumedia Publishing. Iksan, Muchamad, 2012. Hukum Perlindungan Saksi Dalam Sistem Peradilan Pidana. Surakarta: Muhammadiyah University Press. J, Febrian, 2004. Pengetahuan Komputer dan Teknologi Informasi. Bandung: Informatika. Marzuki, Peter Mahmud, 2008. Penulisan Hukum, Edisi Pertama Cetakan Ke-4. Jakarta: Kencana. ,2013. Penelitian Hukum (Edisi Revisi), Cetakan Kedelapan. Jakarta: Kencana. Mulyadi, Lilik, 2008. Bunga Rampai Hukum Pidana: Pidana Perspek tif Teoritis dan Praktik. Bandung: PT. Alumni. ,2010. Seraut Wajah Putusan Hakim Dalam Hukum Acara Pidana. Bandung: PT: Citra Aditya Bakti. Nugroho, Hibnu, 2010. Bunga Rampai Penegakan Hukum Di Indonesia ( Edisi Revisi ). Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. ,2012. Integralisasai Penyidikan Tindak Pidana Korupsi Di Indonesia. Jakarta: Media Prima Aksara. Prinst, Darwan, 2002. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik . Jakarta: Djambatan. Raharjo, Agus, 2007. Hukum Dan Teknologi Suatu Tinjauan Filosofis dan Kritik Terhadap Positivisme Hukum. Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro. Soekanto, Soerjono, 1986. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia. Soemitro, Ronny Hanitijo ,1988. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Cetakan Ketiga. Jakarta: Ghalia Indonesia. Wahjono, Padmo, 1985. Masalah Ketatanegaraan Indonesia Dewasa Ini. Jakarta: Ghalia Indonesia Waluyo, Bambang, 2012. Viktimologi Perlindungan Korban&Saksi. Jakarta: Sinar Grafika. B. Peraturan Perundang-undangan: Indonesia, Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana ,Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme ,Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban ,Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik ,Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman ,Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan terhadap Korban dan Saksi Pelanggaran HAM yang Berat ,Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan terhada p Saksi, Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam Perkara Tindak Pidana Terorisme ,Peraturan Pemerintah Nomor 57 Tahun 2003 tentang Tata Cara Perlindungan Khusus bagi Pelapor dan Saksi Tindak Pidana Pencucian Uang ,Peraturan Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban Nomor 2 Tahun 2012 tentang Tata Cara Pendampingan Saksi Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban C. Kamus besar, Koran, Artikel Ilmiah dan Majalah Ilmiah: Kamus Besar Bahasa Indonesia Koran Kompas yang terbit pada tanggal 24 Juni 2002 Runtuwene, Oktavianus Garry. 2012. Hak dan Kewajiban Yang Mengikat Terhadap Saksi di Dalam Praktik Persidangan Pidana. Lex Crimen vol I No. 4 OktoberDesember2012. http://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/view/907 (diakses pada tanggal 5 Mei 2014 pukul 12:46 WIB) Sulistyawati, Putu Elik, Pemanfaatan Telekonferen Sebagai Alat Bantu Pembuktian Dalam Persidangan Pidana. http://ipi12364.pdf (diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 05:53 WIB) Hibnu Nugroho, Nilai Pembuktian Telekonferensi. Hibnu Nugroho_Gagasan Hukum_Halaman 2.html (diakses pada tanggal 7 Juli 2014 pukul 20:18 WIB) Varia Peradilan No. 328 Maret 2013 D. Sumber Lain: Kusuma, Nandar, Kesaksian Melalui Video Conference Dalam Perkara (internet), 2012. Tersedia: http://www.hukumindonesia.blogspot.com/2012/05/kesaksian-melalui-videoconference.html (diakses pada tanggal 5 Januari 2014 pukul 20:11 WIB) Bahasa Indonesia, Penembakan Cebongan (internet), 2013. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Penembakan_Cebongan ( di akses pada tanggal 9 Januari 2014 pukul 20:00 WIB ) Sorot, Jogya, Kasus Cebongan: MA Setuju Pakai Video Conference, (internet), 2013. Tersedia: http://berita-jogya-1...an-ma--setuju-pakai-videoconference.html (diakses pada tanggal 10 Januari 2014 pukul 10:54 WIB ) Wikipedia, Pengertian Video Conference (internet), 2013. Tersedia: http://en.wikipedia.org/wiki (diakses pada tanggal 10 Januari 2014 pukul 18:00 WIB) Zein, Arief, Pembuktian Dalam Hukum Pidana (internet), 2011. Tersedia: www.Pembuktian_dalam_Hukum_Pidana.html (diaskes pada tanggal 24 April 2014 pukul 10:57 WIB) Yahoo, Answers, Apa Pengertian Saksi, Syarat Sebagai Saksi dan Kewajiban Sebagai Saksi ? (internet), 2012. Tersedia: http://Apa-Pengertian-Saksi-SyaratSebagai-dan-Kewajiban-Sebagai-Saksi?/html (diakses pada tanggal 24 April 2014 pukul 19:20 WIB) Wikipedia, Konferensi Video (internet), 2009. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/Konferensi video.html (dikases pada tanggal 27 April 2014 pukul 16:07 WIB) Siadari, Ray Pratama, Beberapa Pengertian dan Dasar Hukum Pembuktian (internet), 2012. Tersedia: www.beberapa-pengertian-dan-dasar-hukum.html (diakses pada tanggal 4 Mei 2014 pukul 20:40 WIB) www.kesaksian-melalui-video-conference.html (diakses pada tanggal 5 Mei 2014 pukul 10:52 WIB) Google, Apa Itu Video Conference (internet), 2013. Tersedia: www.apa -itu-videoconference.html (diakses pada tanggal 5 Mei 2014 pukul 19:08) http://systempro.asis/news/98/Pertimbangan-untuk-membeli-video-conference (diakses pada tanggal 8 Juni 2014 pukul 17:22 WIB) http://Portal-Garuda.org/download (diakses pada tanggal 8 Juni 2014 pukul 17:46) http://LensaIndonesia.Keterangan-Lima-Saksi-Akan-Diperlihatkan-Lewat-VideoConference (diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 06:19 WIB) Republika, Saksi kasus Cebongan Direkomendasikan Bersaksi Via Video Cnference (internet), 2013. Tersedia: Republika.co.id.Saksi-Kasus -CebonganDirekomendasikan-Bersaksi-Via-Video-Conference (diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 07:12 WIB) http://www.yumpu.com/id/document/view/7874873/7-bab-landasan-teori-21-sejarahvideo-conference-video (diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 20:08 WIB) Latiefs.blogspot.com/2002_09_01_archive.html (diakses pada tanggal 6 Juli 2014 pukul 20:16 WIB) Chabbie, Lady, Hukum Pembuktian (internet), 2012. Tersedia: www.hukumpembuktian.html (diakses pada tanggal 8 Juli 2014 pukul 20:41) Wordpress, Pengertian Video Conference (internet), 2010. Tersedia: http://multimediaplasa.files.wordpress..com/2010/02/pengertian--videoconference.pdf (dika ses pada tanggal 10 Juli 2014 pukul 05:25 WIB) http://www.lontar.ui.aca.id//opac/themes/libri2/detail.jsp?id=111353&lokasi=lokal. (diakses pada tanggal 10 Juli 2014 pukul 06:00 WIB) JPNN, Kronologi Pengeroyokan Anggota Kopassus Sertu Heru (internet), 2013. Tersedia:http://JPNN.Kronologi-pengeroyokan-anggota-kopassus-sertu-heru.html (dikases pada tanggal 10 Juli 2014 pukul 20:48 WIB) Kalsum, Umi, Pengacara: Janggal, Pemindahan Empat Pembunuh Kopassus ke Lapas Cebongan (internet), 2013. Tersedia: www.blogspot.com.umi.kalsum.Pengacara:janggal, pemindahan emapt pembunuh kopassus ke lapas cebongan (diakses pada tanggal 10 Juli 2014 pukul 20:56 WIB) Jawa Post National Network, Desak MA Putuskan Penggunaan Video Conference (internet), 2014. Tersedia: http://Desak-MA-Putuskan-Penggunaanvideoconference.html (dikases pada tanggal 11 Juli 2013 pukul 06:25 WIB) Ian, Hard, Penggunaan Video Conference Sebagai Alat Bukti yang Sah di Persidangan (internet), 2011. Tersedia: http://penggunaan_video_conference_sebagai_alat_bukti_yang_sah_dalam_persi dangan.html (diakses pada tanggal 11 Juli 2014 pukul 07:05 WIB) Iskandar, Aditya Nugraha, Pentingnya Perlindungan Terhadap Saksi Dan Korban Kejahatan (internet), 2010. Tersedia: http://iskandar.centre.blog.pentingnya perlindungan-terhadap-hak-hak-saksi-dan-korban-kejahatan.html (diakses pada tanggal 11 Juli 2014 pukul 08:22 WIB) Wikipedia, Pengertian Saksi (internet), 2013. Tersedia: http://id.wikipedia.org/wiki/saksi (diakses pada tanggal 12 Juli 2014 pukul 06:43 WIB) Juliman, Keterangan Saksi Sebagai Salah Satu Alat Bukti Dalam Perkara Pidana (internet), 2012. Tersedia: http://bab-ii-keterangan-saksi-sebagaisalah_24.html.pdf (diakses pada tanggal 7 Agustus 2014 pukul 05:35 WIB) E. Putusan: Putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia No. 48-K/PM II-11/AD/VI/2013.