TINJAUAN PUSTAKA Kondisi Cekaman Aluminium pada Lahan Pembukaan areal pertanian di luar Jawa, khususnya tanaman pangan di lahan kering ditujukan pada jenis tanah Podsolik Merah Kuning dengan luas areal 31,7 juta ha (23,5%) dari luas tanah asam (Leiwakabessy 1988). Kendala utama yang dihadapi dalam pengembangan tanah asam untuk meningkatkan produksi padi gogo adalah pH rendah dan kandungan Al tinggi (Kochian 1995), kendala fisiko-kimia diantaranya kahat hara makro N, P, K, Ca, Mg, dan mikro Mo, Cu, Zn, kandungan bahan organik rendah, dan sangat peka terhadap erosi (Roesmarkan et al. 1992), serta mikroba tanah kurang aktif (Gunn et al. 1988; Soepardi 1988). Kekahatan hara pada tanah asam terjadi karena sebagian daerah jerapan pada mineral liat dikuasai oleh Al dengan menggantikan Mg dan Ca. Aluminium yang ada pada daerah jerapan juga dapat menjerap P dan Mo dengan kuat. (Marschner 1995) sehingga P dan Mo tidak tersedia bagi tanaman. Menurut Marschner (1995) lebih dari 70% tanah asam tropis mengalami defisiensi Ca dan Mg karena memiliki kapasitas fiksasi P yang sangat tinggi. Pada lahan dengan tingkat kemasaman tinggi, pertumbuhan tanaman dihambat oleh ion-ion logam seperti Al, Fe dan Mn. Namun diantara ion-ion tersebut Al merupakan faktor penghambat utama bagi pertumbuhan dan bersifat racun bagi tanaman. Keracunan Al juga dapat menurunkan dan merusak sistem perakaran yang menyebabkan tanaman rentan terhadap cekaman kekeringan dan mengalami defisiensi unsur hara. Respon Fisiologis Tanaman terhadap Cekaman Al Keracunan Al merupakan faktor utama yang menghambat pertumbuhan tanaman pada tanah asam. Pada pH rendah bentuk Al yang utama adalah Al3+ yang merupakan bentuk Al paling beracun bagi tanaman (Delhaize & Ryan 1995). Keracunan Al bagi tanaman dapat terjadi baik secara langsung dalam menghambat pertumbuhan akar maupun secara tidak langsung mengganngu pengambilan, transpor dan penggunaan hara dan air (Ma 2000; Kochian et al. 6 2004). Penghambatan pertumbuhan akar telah dilaporkan pada banyak tanaman seperti padi (Sivaguru & Paliwal 1993), dan gandum (Delhaize et al. 1993). Oleh karena itu parameter pertumbuhan akar pada kondisi cekaman Al biasanya digunakan untuk menilai toleransi suatu tanaman terhadap keracunan Al (Delhaize & Ryan 1995). Pada akar tanaman yang mendapat perlakuan Al dengan konsentrasi rendah, hanya apoplas dan dinding sel saja yang dipengaruhi oleh Al (Ma 2000). Kerusakan tanaman oleh Al diawali dengan gangguan pada tudung akar yang mempunyai sinyal gaya gravitasi dan merupakan sumber pengatur hormon endogen pertumbuhan. Sebagian besar Al di akar berada pada bagian luar dinding sel kortek. Sebagian besar Al di akar berada dalam dinding sel bagian luar kortek. Pemelaran dan kelenturan dinding sel merupakan prasyarat yang diperlukan untuk pembesaran dan pemanjangan sel. Interaksi Al dengan gugus karboksil dari senyawa pektat dinding sel menggantikan kation penstabil dinding sel seperti Ca. Hal ini mengakibatkan pemelaran dan kelenturan dinding sel menurun sehingga pembelahan sel terhambat dan pertumbuhan akar juga terhambat (Matsumoto 2000; Kochian et al. 2005). Aluminium tidak hanya mempengaruhi dinding sel tetapi juga mengakibatkan kerusakan struktur membran plasma akar. Salah satu penyebab kerusakan akar oleh ion polimer Al adalah terbentuknya ikatan antara polimer Al dengan membran plasma akar yang menyebabkan kerusakan pada membran dan kebocoran K+ dari sel akar (Matsumoto et al. 1992; Ishikawa & Wagatsuma 1998). Interaksi Al dengan senyawa lipid dan protein membran dapat memicu peroksidasi lipid sehingga sel kehilangan integritas membran plasma (Yamamoto et al. 2003). Padi varietas IR64 yang sensitif Al mengalami peroksidasi lipid lebih tinggi dibanding padi Hawara Bunar yang toleran Al ketika mendapat cekaman Al (Wahyuningsih, 2009). Secara morfologi akar yang mengalami keracunan Al umumnya pendek gemuk (stubby) dan rapuh. Ciri ini merupakan akibat terhambatnya pemanjangan akar utama dan lateral melalui dua mekanisme; (1) penghambatan pemanjangan sel akar, dan (2) penghambatan pembelahan sel akar (Tan et al. 1993). Meristem akar merupakan tempat utama terjadinya keracunan Al (Delhaize & Ryan 1995). 7 Mekanisme Toleransi Tanaman terhadap Cekaman Aluminium Spesies tanaman tertentu dapat bertahan hidup pada tanah asam karena mempunyai mekanisme untuk mentolerir kelebihan Al yang ada pada media tanam. Taylor (1991) dan Kochian (1995) mengelompokan mekanisme toleransi tanaman terhadap cekaman Al menjadi : (1) mekanisme eksternal (pengusiran Al), dan (2) mekanisme internal. Perbedaan utama antara dua mekanisme tersebut adalah tempat detoksifikasi Al, yaitu di apoplas untuk mekanisme eksternal dan di simplas untuk mekanisme internal. Pada mekanisme eksternal, Al dicegah agar tidak melintasi membran plasma dan masuk ke simplas. Mekanismenya adalah selektivitas membran plasma terhadap pengambilan Al, peningkatan pH rizosfer, imobilisasi Al di dinding sel dan pelepasan asam organik sebagai ligan pengkelat Al. Sejumlah tanaman dapat melepaskan asam organik terutama malat, sitrat, dan oksalat dari akar dalam merespon keracunan Al (Ma 2000). Mekanisme toleransi Al eksternal diantaranya pada tanaman padi dan kedelai. Hasil penelitian Kasim et al. (2001) melaporkan bahwa tanaman kedelai mampu mensekresikan asam sitrat sebagai mekanisme eksternal dalam menghadapi cekaman Al. Pada tanaman padi, asam malat dan sitrat disekresikan dari akar ketika mendapat cekaman Al. Padi varietas Hawara Bunar yang toleran Al mensekresikan kedua jenis asam organik tersebut tiga kali lebih tinggi dibanding padi varietas IR64 yang sensitif Al ketika mendapat cekaman Al 15 ppm selama 24 hingga 72 jam (Martiansyah 2008; Wahyuningsih 2009). Akan tetapi hasil penelitian Ma et al. (2000) menunjukkan hasil yang berbeda dimana sekresi asam sitrat mengalami peningkatan baik pada varietas yang sensitif maupun toleran Al, sehingga sekresi asam sitrat tidak dapat membedakan secara nyata antara varietas yang sensitif dan toleran cekaman Al (Ma et al. 2002). Pada mekanisme internal, tanaman membiarkan Al masuk ke dalam simplas dan tidak memperlihatkan gejala keracunan. Mekanismenya meliputi pengkelatan Al di sitosol, mengurung Al dalam vakuola, sintesis protein pengikat Al, penurunan aktivitas beberapa enzim, dan induksi akumulasi protein tertentu. Mekanisme toleransi Al internal umumnya dimiliki oleh spesies tanaman 8 pengakumulasi Al, seperti tanaman teh (Camelia sinensis L.) dan melastoma (Melastoma sp). Pemanfaatan Tanah Asam dengan pH Rendah Pada tanah asam terdapat kendala sulfat masam, yakni adanya sulfat terlarut dengan konsentrasi tinggi dan dapat meracuni tanaman. Pada tanah asam terdapat kendala kimia yang secara individual atau interaksi dapat menekan pertumbuhan tanaman dan yang lebih berperan menekan pertumbuhan tanaman bukan pH rendah tetapi keracunan dan atau kekurangan unsur hara mineral (Marschner 1995). Swasti (2004) melaporkan bahwa pada kondisi tanah asam selain mengalami cekama Al juga kekurangan hara P. Kondisi lahan seperti ini dapat diatasi melalui dua pendekatan, yaitu (1) pendekatan masukan tinggi dengan pengapuran dan pemupukan, dan (2) pendekatan masukan rendah dengan menggunakan galur-galur atau varietas tanaman toleran Al dan efisien P. Cara yang kedua dianggap lebih efisien untuk menanggulangi kendala pengembangan tanah asam dengan meminimalkan pengapuran untuk meningkatkan pH tanah. Perbaikan Varietas Padi Toleran Al pada Tanah Asam Di Indonesia perakitan varietas unggul padi yang toleran Al merupakan salah satu prioritas untuk menghasilkan tanaman padi yang mampu beradaptasi pada tanah asam (Partohardjono et al. 1997). Teknik perakitan varietas unggul dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu (1) secara konvensional melalui persilangan dari berbagai tetua yang memiliki sifat toleran terhadap keracunan Al, dan (2) secara non konvensional yang salah satunya melalui penggunaan teknologi nuklir yang diharapkan dapat mempercepat proses pemuliaan pada masa yang akan datang. Teknologi nuklir dengan cara radiasi pada dosis yang tepat sudah mampu menghasilkan tanaman yang memiliki sifat berbeda dengan induknya pada generasi M0. Radiasi dengan sinar gamma umumnya digunakan dalam pemuliaan mutasi untuk mendapatkan keragaman genetik (Harsanti & Ishak 1999). Usaha perbaikan varietas padi gogo antara lain untuk mendapatkan padi genjah, meningkatkan potensi hasil, ketahanan terhadap kendala utama seperti 9 penyakit blas (Pyricularia orizae L.) dan adaptasi terhadap lahan bermasalah (Soejono 2003). Beberapa padi gogo lokal di Indonesia sperti Grogol, Krowal dan Hawara Bunar mempunyai kemampuan dapat tumbuh dan bereproduksi dalam kondisi tercekam aluminium (Al) pada tanah asam. Sedangkan IR64 merupakan galur padi sawah yang sensitif Al (Khatiwada et al. 1996; Suparto 1999; Jagau 2000). Beberapa penelitian untuk mendapatkan galur padi gogo toleran Al dengan menggunakan metode yang berbeda sudah dilaksanakan. Hasil penelitian Swasti (2004) untuk mendapatkan galur padi gogo yang efisien P, dan Trikoesoemaningtyas (2002) padi gogo efisien K dalam cekaman Al. Bakhtiar (2007) melakukan penapisan padi gogo menggunakan kultur anter untuk toleransi Al dan ketahanan terhadap panyakit blas, dan Edi (2004) meningkatkan toleransi Al pada padi menggunakan kombinasi keragaman somaklonal dan radiasi dengan sinar gamma. Beberapa ciri morfologi yang dapat diamati pada galur padi gogo toleran Al seperti Hawara Bunar adalah batang yang mendukung bulir berwarna putih, warna lamina daun hijau tua, jumlah anakan pada tanaman dewasa (umur 4 bulan) paling banyak 4 anakan dan memiliki postur tanaman yang tinggi (Jagau 2000). Varietas IR64 yang sensitif Al merupakan padi sawah, mempunyai bentuk biji panjang, tinggi tanaman lebih rendah daripada Hawara Bunar, jumlah anakan pada tanaman dewasa (umur 4 bulan) sekitar 10 anakan, warna lamina daun hijau dan waktu berbunganya lebih cepat 12 – 14 hari daripada Hawara Bunar (Jagau 2000). Mutasi Mutasi adalah perubahan yang terjadi pada materi genetik yang dapat menyebabkan perubahan ekspresi. Perubahan dapat terjadi pada tingkat pasangan basa, tingkat satu ruas DNA, bahkan pada tingkat kromosom (Jusuf 2001). Mutasi dapat terjadi pada setiap bagian dan pertumbuhan tanaman, namun lebih banyak pada bagian yang sedang aktif mengadakan pembelahan sel, misalnya tunas dan biji yang sedang berkembang. Bila mutasi terjadi pada sel somatik, maka perubahan hanya pada bagian sel tersebut dan tidak diwariskan. Sedang bila 10 mutasi terjadi pada organ generatif, maka akan diwariskan pada generasi berikutnya (Poespodarsono 1986). Mutasi atau perubahan struktur gen dapat dideteksi dengan melihat perubahan pada tingkat struktur gen atau perubahan pada tingkat ekspresinya. Untuk melihat perubahan tersebut dapat dilakukan dengan membandingkan antara mutan dan tipe liarnya. Secara garis besar penampilan mutan dapat dibedakan dari tipe liarnya dengan tiga cara : perbedaan morfologi, perbedaan tingkat kimia dan perbedaan tingkat adaptasi terhadap lingkungan tumbuh. Hasil mutasi yang paling mudah dilihat ialah bila terjadi perubahan bentuk, ukuran atau warna (Jusuf, 2001). Mutasi dapat terjadi secara spontan dan induksi. Induksi dengan bahan kimia dan radiasi merupakan salah satu cara yang paling efisien (Djojosoebagio 1988). Mutasi dapat terjadi pada tingkat gen maupun kromosom. Jika perubahan hanya mengenai satu gen maka disebut mutasi gen atau mutasi titik (point mutation). Jika perubahan mengenai lebih dari satu gen disebut mutasi kromosom (Jusuf 2001). Mutasi titik dalam suatu gen dapat terjadi karena substitusi pasangan basa, penyisipan (insersi), atau pengurangan (delesi) pasangan basa. Mutasi kromosom dapat terjadi karena perubahan jumlah kromosom atau perubahan struktur kromosom. Perubahan struktur kromosom dimana jumlah kromosom tetap tetapi terjadi perubahan komposisi dan susunan bahan kromosom, yaitu delesi, duplikasi, inversi dan translokasi (Griffiths et al. 2005; Campbell et al. 2002). Beberapa cara untuk memperluas keragaman genetik untuk bahan seleksi adalah dengan cara mengumpulkan material koleksi lokal, introduksi dari luar negeri, persilangan, dan dengan mutasi buatan. Mutasi buatan pada hakekatnya adalah upaya untuk meningkatkan frekuensi terjadinya mutasi. Mutasi buatan tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan bahan fisik seperti radiasi dan bahan kimia. Sumber radiasi yang sering digunakan adalah sinar X, sinar gamma dari Cobalt-60, sinar beta dari radioisotop dan sinar neutron dari reaktor atom yang mudah diaplikasikan dan menghasilkan frekuensi mutasi yang tinggi (Poespodarsono 1986). Teknik mutasi penting dalam meningkatkan produksi padi di Asia Pasifik, kurang lebih 434 mutan padi telah dilepas, dan sebanyak 225 11 (67%) mutan yang didapatkan diantaranya menggunakan sinar gamma (Ahloowalia et al. 2004). Penerapan mutasi induksi di Indonesia dimulai tahun 1967 setelah berdirinya instalasi sinar gamma yang bersumber dari Cobalt-60 di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop dan Radiasi (PATIR) BATAN di Pasar Jum’at Jakarta. Prioritas kegiatan diarahkan pada perbaikan varietas padi, yakni umur genjah, tanaman agak pendek, tahan terhadap serangan patogen dan kekeringan serta kualitas biji disukai oleh konsumen (Soejono 2003). Sinar Gamma Radiasi sinar gamma merupakan radiasi ionisasi yang banyak digunakan pada penelitian biologis, bentuk radiasi ini dapat menembus sel-sel dan jaringan dengan mudah karena mempunyai daya tembus tinggi (Poespodarsono 1986). Sinar gamma merupakan salah satu mutagen fisik yang memiliki panjang gelombang pendek dengan energi yang sangat besar. Sumber radiasi sinar gamma berasal dari Cobalt-60 atau Cesium-137 (Herawati & Setiamihardja 2000). Menurut Soejono (2003) dosis radiasi yang diberikan untuk mendapatkan mutan tergantung pada jenis tanaman, fase tumbuh, ukuran, kadar air, dan bahan yang akan dimutasi. Pada umumnya dosis radiasi dibagi menjadi tiga, yaitu tinggi (>10 kGy), sedang (1 – 10 kGy) dan rendah (< 1 kGy). Perlakuan radiasi sinar gamma pada tanaman padi mengakibatkan beberapa gen dapat termutasi dalam waktu bersamaan, karena mutagen yang diperlakukan pada jaringan atau sel akan mengenai sasaran secara random (Ishak 1997). Radiasi sinar gamma pada biji padi dapat mengakibatkan mutasi pada berbagai segmen kromosom dari sel embrio seperti daerah “scutelum” dan sumbu embrio. Perlakuan radiasi ini diharapkan dapat menyebabkan terjadinya variasi genetik yang luas diantara individu tanaman. Keragaman genetik yang luas ini akan memberikan peluang untuk mendapatkan karakter tanaman yang diinginkan dalam proses seleksi. Hal ini akan membantu program pemuliaan untuk mendapatkan tanaman yang unggul. Efektivitas radiasi yang diberikan pada tanaman dipengaruhi oleh faktor lingkungan dan faktor biologi. Faktor lingkungan terdiri dari oksigen, kadar air, 12 suhu, sedangkan faktor biologi meliputi volume inti dan faktor genetik yaitu adanya perbedaan kepekaan terhadap radiasi (Ismachin 1988). Hasil penelitian Mugiono & Rustandi (1991) memberi gambaran bahwa penerapan teknik mutasi induksi untuk mendapatkan varietas padi berumur genjah mempunyai peluang besar untuk berhasil. Penggunaan radiasi dengan dosis 0.2 – 0.3 kGy memberikan hasil yang terbaik untuk mendapatkan mutan genjah pada padi varietas Cisadane.