Kajian Hukum Islam - UIN Repository

advertisement
JAMINAN SOSIAL KESEHATAN SEBAGAI HAK MASYARAKAT
DALAM UNDANG-UNDANG NO 40 TAHUN 2004
(Kajian Hukum Islam)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam(S.H.I)
Oleh
Aris Setiawan
NIM. 106045101492
KONSENTRASIKEPIDANA ISLAM
PROGRAM STUDIJINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432H/2011
JAMINAN SOSIAL KESEHATAN SEBAGAI HAK MASYARAKAT
DALAM UNDANG-UNDANG NO 40 TAHUN 2004
(Kajian Hukum Islam)
Skripsi
Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum
Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Hukum Islam(S.H.I)
Oleh
Aris Setiawan
NIM. 106045101492
Dibawah Bimbingan:
Pembimbing I
Pembimbing II
Dr. H. Asrorun Ni’am, M.A
NIP. 197605312000031001
Afwan Faizin, MA
NIP. 197210262003121001
KONSENTRASIKEPIDANA ISLAM
PROGRAM STUDIJINAYAH SIYASAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1432H/2011
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul "JAMINAN SOSIAL KESEHATAN SEBAGAI HAK
MASYARAKAT DALAM UU NO 40 TAHUN 2004" {Kajian Hukum Islam} telah
diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi
Jinayah Siyasah Kepidanaan Islam).
Jakarta, 20 Juni 2011
Mengesahkan,
Dekan Fakultas Syariah dan Hukum
Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma. SH. MA. MM
NIP. 195505051982031012
Panitia Ujian Munaqasyah
Ketua
: Dr. Asmawi,M.Ag
NIP. 197210101997031008
Sekretaris
: Afwan Faizin,MA
NIP.197210262003121001
Pembimbing I
: Afwan Faizin,MA
NIP.197210262003121001
Pembimbing II : Dr.H.Asrorun Ni'am,MA
NIP.197605312000031001
Penguji I
: Prof.Dr. H.Abduh Malik
NIP. 150000000
Penguji II
: Sri Hidayati M.A
NIP.l97102151997032002
‫بسم اهلل الرمحن الرحيم‬
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah WST, yang telah dapat
melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat
menyelesaikan penulisa skripsi dengan judul “JAMINAN SOSIAL KESEHATAN
SEBAGAI HAK MASYARAKAT DALAM UU No. 40 TAHUN 2004 (Kajian
Hukum Islam)” yang merupakan kewajiban bagi program sarjana (S-1) Program
Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam pada Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi salah satu persyaratan dan
merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana (S1). Dalam penulisan
skripsi ini, sudah tentu penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta
dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun materil yang tentunya sangat
bermanfaat dalam penulisan Skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis
menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada:
1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Dr. Asmawi, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas
Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
i
3. Afwan Faizin, MA., selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
4. Dr. Asrorun Niam, MA., selaku dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta dan sekaligus dosen pembimbing I.
5. Afwan Faizin, MA., selaku dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta dan sekaligus dosen pembimbinh II.
6. Seluruh Dosen/ Pengajar/ Staff, pada Fakultas Syariah dan Hukum yang telah
memberikan ilmunya kepada penulis.
7. Kepada seluruh staff/karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum
maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah
memberikan bantuan buku-buku refrensi yang berkaitan dengan penulisan
skripsi ini.
8. Dan kepada seluruh teman PI angkatan 2006 seperti Mahpudin, Fandi, Haris
Sumirat, Amir, Fitrah, Guruh, Rangga, Kholid, Anissa, Dwi Wahyuni, Intan,
Attin, Wismoyo, Isa Shaleh, Eril, Yuswandi, Buldan, Nuruzzaman, Husen,
Muchsin, Faris, dan kesemuanya yang belum disebut. Terima kasih.
9. Kepada ayahanda dan Ibunda tercinta yang bernama Kusnadi serta Suganda
dan Siti Maesaroh yang telah senantiasa memberikan dukungan dan
semangatnya
kepada
ananda
sehingga
memberikan
dukungan
dan
semangatnya kepada ananda sehingga memberikan semangat lebih untuk
menyelesaikan penulisan skripsi ini.
ii
10. Dan saya ucapkan terimaakasih juga kepada seluruh teman-teman yang ada
di kampung halaman yaituh; Tobri,Ooz Fauzi,Saproni,Ubay Bayjuri Samsul
Basori dll. yang telah meberikan motifasi serta dorongannya kepada saya
sehingga saya dapat juga kepada puncak yang saya tempuh pada akhir
perkuliahan saya
Akhir kata, semoga tulisan ini dapat berguna bagi semua pihak yang
sempat
membacanya,
serta
menambah
wawasan
keilmuan
bagi
yang
berkepentingan dengan masalah ini. Amin
Jakarta, 09 Juni 2011
Penulis
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR .............................................................................................
i
DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah ..............................................................
1
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah..........................................
5
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ...................................................
6
D. Tinjauan Pustaka .........................................................................
6
E. Metode Penelitian........................................................................
9
F. Sistematika Penulisan ................................................................. 11
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN SOSIAL
A. Pengertian Jaminan Sosial........................................................... 13
B. Sejarah Lahirnya Jaminan Sosial ................................................ 16
C. Jenis-jenis Jaminan Sosial ........................................................... 19
D. Sumber-sumber Dana Jaminan Sosial......................................... 35
BAB III
JAMINAN SOSIAL KESEHATAN DALAM PERSPEKTIF
HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Perspektif Hukum Positif ............................................................ 39
1. Pengertian Jaminan Sosial..................................................... 39
iv
2. Jaminan Sosial Kesehatan .................................................... 42
3. Sumber-sumber Dana Jaminan Sosial................................... 47
a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara(APBN) .............. 47
b. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah(APBD) .............. 50
B. Perspektif Hukum Islam .............................................................. 51
1. Pranata Jaminan Sosial Dalam Hukum Islam ....................... 51
a. Wakaf .............................................................................. 51
b. Infaq ................................................................................ 54
c. Sedekah ........................................................................... 57
2. Golongan-golangan yang berhak mendapatkan Jaminan
Sosial ..................................................................................... 58
3. Jaminan Sosial Kesehatan ..................................................... 70
a. Menjaga Kesehatan ......................................................... 70
1. Preventif .................................................................... 70
2. Makanan .................................................................... 72
3. Pengobatan ................................................................ 77
4. Sumber-sumber Dana Jaminan Sosial................................... 79
BAB IV
PERBANDINGAN
ANTARA
HUKUM
POSITIF
DAN
HUKUM ISLAM
A. Relasi Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap Jaminan
Sosial ........................................................................................... 90
v
B. Kontribusi Hukum Islam Terhadap Hukum Positif Tentang
Jaminan Sosial ............................................................................ 107
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan ................................................................................ 120
B. Saran-saran .................................................................................. 121
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 123
LAMPIRAN
vi
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Penyelenggaraan sistem jaminan sosial telah menjadi agenda negaranegara berkembang, yang didasari oleh kesadaran untuk mewujudkan keadilan
sosial dan terpenuhinya agenda pembangunan sosial ekonomi. Kompetisi global
semakin memperkuat keyakinan pemerintah di negara-negara berkembang untuk
mempercepat proses pembangunan sistem jaminan social yang kuat, terpadu dan
terintegrasi dengan berbagai agenda reformasi pembangunan terutama dibidang
ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Bahkan, diyakini Negara yang memiliki
sistem jaminan sosial yang adekuat mampu berperan aktif di era persaingan global
dan mampu menciptakan kedamaian dan rasa aman kepada masyarakat.1
Sistem jaminan sosial nasional yang tertuang dalam undang-undang No.40
Tahun 2004 bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar
hidup yang layak bagi setiap peserta atau anggota keluarganya. Salah satu unsur
yang menjadi bagian dari jaminan sosial ini adalah jaminan kesehatan bagi
masyarakat. Jaminan kesehatan ini diperuntukkan bagi seluruh lapisan
masyarakat.2
1
Yulius Widiyantoro, (skripsi), Studi Implementasi Kebijakan Sistem Jaminan Sosial
Nasional Terhadap Mekanisme Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin di
Puskesmas Kota Semarang, (Semarang: 2005)
2
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_7/artikel_5.htm (Artikel ini diakses pada 13 Desmber
2010)
1
2
Jaminan sosial ini memang harus ada karena tingkat kemakmuran sebagian
besar penduduk belum memungkinkan masyarakat menjangkau pelayanan
kesehatan secara memadai karena mahalnya biaya pengobatan. Sedangkan
pelayanan kesehatan bagi anggota masyarakat yang mengalami gangguan
kesehatan adalah mutlak adanya. Sangat tidak manusiawi kiranya jika orang yang
sakit dibiarkan begitu saja tanpa mendapat pelayanan kesehatan karena secara
ekonomi ia tidak mampu membayar biaya tersebut.
Dalam kondisi seperti ini maka pemerintah berkewajiban memberikan
jaminan bagi masyarakat untuk mendapat pelayanan kesehatan yang semestinya.
Pelayanan kesehatan ini harus dilaksanakan tanpa melihat status ekonominya
karena sejatinya “health is a fundamental human rights” (kesehatan adalah hak
asasi manusia yang paling dasar) seperti yang tercantum dalam deklarasi hak asasi
manusia internsional. Jika ia tergolong masyarakat mampu, maka ia harus
membayar ongkos layanan kesehatan. Namun, jika ia tak mampu, maka
pemerintah berkewajiban menanggung biaya tersebut.3
Jaminan kesehatan merupakan system perlindungan sosial yang sangat
diperlukan oleh masyarakat, berupa transfer alokasi anggaran Negara untuk sektor
kesehatan melalui asuransi sosial. Bagi masyarakat miskin, jaminan sosial
kesehatan merupakan pendorong laju pembangunan sekaligus menjadi strategi
penting dalam penanggulangan kemiskinan. Karenanya, jaminan kesehatan telah
3
http://www.antaranews.com/berita/1273064171/dpr-sistem-jaminan-sosial-perlu-segeraditerapkanhttp://sjsn.menkokesra.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=19
&Itemid=80 (Artikel ini diakses pada 13 Desembr 2010)
3
diakui sebagai satu strategi kebijakan sosial yang penting dalam menopang
industri dan pertumbuhan ekonomi, di Negara maju seperti Amerika Serikat dan
Eropa Barat.4
Strategi penganggaran yang ditujukan untuk memutuskan mata rantai
kemiskinan dan rendahnya akses terhadap perawatan kesehatan harus dilengkapi
dengan strategi pengalokasian dana secara tepat dan proporsional. Hal ini harus
menyentuh reformulasi dan realokasi anggaran bagi sistem pendistribusian
perawatan kesehatan yang memperhatikan karakteristik dan kebutuhan berbagai
sasaran: kelompok kaya dan miskin, kelompok yang beresiko tinggi dan rendah,
dan pekerja di sektor formal dan informal, baik yang berada di wilayah perkotaan
maupun pedesaan yang ada di berbagai provinsi di Indonesia.
Jaminan kesehatan sosial menjadi tanggung jawab pemerintah pusat
maupun pemerintah daerah. Peran pemerintah daerah dalam menjamin kesehatan
masyarakatnya diperkuat dengan dikabulkannya Judicial Review oleh Mahkamah
Konstitusi (MK) atas UU No.40 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan
sekaligus amanah konstitusi kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan
system jaminan kesehatan daerah baik provinsi maupun kabupten/kota.
Dengan diselenggarakannya program jaminan sosial secara nasional
terlebih dalam bidang kesehatan, dapat diciptakan kegotong royongan antara
pengusaha dengan tenaga kerja, antara yang kuat dan yang lemah, yang tua dan
4
http://www.gapri.org/tfiles/file/umum/JAMINAN%20KESEHATAN%20NASIONAL. doc.
(Artikel ini diakses pada 15 Desember 2010)
4
yang muda, yang sehat dan yang tidak sehat, dan antara pemerintah dengan warga
negaranya. Demikian pula dalam Islam, jaminan sosial tertuang dalam Al-Qur’an
Surat An-Nahl : 90
          
      
Artinya:” Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi
pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”.
Dalam ayat ini ada tiga hal yang diperintahkan oleh Allah SWT, supaya
dilakukan sepanjang waktu sebagai alamat dari taat kepada Tuhan. Pertama, jalan
adil yaitu meninmbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan
membenarkan mana yang benar, mengembalikan hak kepada yang punya dan
jangan berlaku zhalim atau aniaya.5
Namun hingga kini jaminan pelayanan kesehatan oleh pemerintah belum
terlaksana sesuai harapan. Program Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin
(Askeskin) yang dijalankan pemerintah sejak tahun 2005 menuai banyak kendala.
Masih banyak masyarakat miskin yang belum terjaring program ini. Padahal
sejatinya program ini diluncurkan untuk memperbaiki sistem bantuan pemerintah
yang diberikan kepada pemegang kartu Keluarga Miskin (Gakin).
5
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), h. 283
5
Padahal dalam konsideran dalam UU No.40 Tahun 2004 angka 1 telah
disebutkan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi
kebutuhan dasar hidup yang layak, dan meningkatkan martabatnya menuju
terwujudnya masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur.
Berdasarkan fenomena di atas, penulis merasa perlu untuk melakukan
penelitian tentang pemberian jaminan kesehatan bagi maasyrakat yang penulis
tuangkan dalam skripsi yang berjudul “Jaminan Sosial Kesehatan Sebagai Hak
Masyarakat Dalam UU No.40 Tahun 2004 (Kajian Hukum Islam)”
B. Pembatasan dan Perumusan Masalah
Fokus masalah dalam penulisan skripsi ini, penulis akan memberikan
batasan masalah sehingga tidak menyimpang dari apa yang telah menjadi pokok
bahasan. Mengacu kepada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang
menjadi permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut:
1. Bagaimana ketentuan tentang jaminan sosial terhadap masyarakat menurut
Hukum Islam?
2. Bagaimana ketentuan tentang jaminan social terhadap masyarakat menurut
Hukum positif?
3. Bagaimana relasi antara Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap jaminan
sosial kesehatan?
6
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian
Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan penulisan
skripsi ini antara lain:
1. Untuk mengetahui bagaimana pemerolehan sebuah jaminan kesehatan bagi
masyarakat menurut UU No.40 Tahun 2004.
2. Untuk mengetahui bagaimana perspektif Hukum Islam memandang pemberian
jaminan kesehatan bagi masyarakat.
3. Untuk mengetahui bagaimana pemenuhan jaminan kesehatan menurut UU
No.40 Tahun 2004.
Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Terutama bagi civitas akademika, penelitian ini diharapkan dapat menambah
wawasan penulis dan mengembangkan cakrawala berpikir bagi penulis.
2. Dapat mengerti serta menjelaskan maksud yang terdapat dalam peraturan
perundang-undangan.
3. Memberikan pemahaman bahwasannya kesehatan adalah hak yang paling
asasi atau dasar bagi setiap warga Negara.
D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu
Untuk memudahkan dalam menyusun penulisan skripsi ini, penu;lis ingin
memberikan rujukam terhadap tema-tema yang membahas masalah ini dan yang
memiliki kesamaan terhadap pembahasan judul skripsi ini. Adapun sumber yang
7
penulis dapatkan ialah berasal dari buku yang berkaitan, jurnal-jurnal, dan artikel
pada media massa.
Karya Mahasiswwa (skripsi) di Fakultas Syariah dan Hukum oleh
Sarmada yang berjudul “Jaminan Sosial Terhadap Hakim Sebagai Penegak
Hukum Oleh Negara Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”, yang di
dalamnya memuat bagaimana pemberian sebuah jaminan sosial terhadap hakim
yang memiliki peranan penting dalam memutuskan sebuah keputusan atau
masalah.
Karya Mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syariah dan Hukum oleh Yuyun
Fitrianingsih yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Dana Pensiun
karyawan Jamsostek”, yang di dalamnya memuat pemberian sebuah jaminan bagi
pensiunan karyawan Jamsostek.
Karya mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syariah dan Hukum oleh Saidi yang
berjudul, “Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Mekanisme Pengelolaan Dana
Pensiun (Studi Kasus Pada Dana Pensiun Karyawan jamsostek)”, memuat adanya
kemiripan dalam pemberian serta pengelolaan sebuah jaminan bagi pensiunan
karyawan Jamsostek.
Karya mahasiswa (skripsi) di Fakultas Agama Islam Surakarta, 2005 oleh
Khusna Nazila, “Asuransi Jaminan Sosial Tenaga kerja Menurut
Tinjauan
Hukum Islam (Studi Kasus di Universitas Muhammadiyah Surakarta)”,dijelaskan
dalam skripsi ini bagaimana seharusnya antara pekerja atau buruh dengan majikan
untuk dapat memperhatikan kesejahteraannya sehingga antara keduanya tidak ada
8
yang saling dirugikan dan juga bagaimana Islam memandang antara buruh dengan
majikan dengan adanya hadis yang menyatakan “berilah upah sebelum kering
keringatnya”. Jadi jelas dalam hal ini kita tidak boleh untuk tidak mensejahterakan
buruh yang telah kita pekerjakan.
Buku Jaminan Sosial Tenaga Kerja (UU No.3 Tahun 1992), Sinar Grafika,
yang di dalamnya tertulis tentang bagaimana pemberian jaminan social yang
diberikan untuk kesejahteraan tenaga kerja yang dari jaminan kesehatan,
keselamatan dan juga kesejahteraannya. Dan juga disertai berbagai pemberian
jaminan-jaminan lainnya.
Buku Kemiskinan di Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia, Jakarta,
1986 yang di dalamnya tertulis bagaimana seharusnya pemerintah menghadapi
permasalahan tentang kemiskinan yang seharusnya ditangani dengn baik dan
serius, baik yang hidup didesa maupun di kota. Dan juga dalam tulisan ini sebagai
pengalaman yang penulis tuangkan menulis tampak lambannya kinerja pemrintah
dalam mengatasi kemiskinan dan juga menganggap kemiskinan sebagai
permasalahan baru.
PT. Askes
(Persero) Mendongkrak derajat kesehatan masyarakat via
PJKMU, Pos Kota 30 November 2010, dalam artikel ini bagaimana PT. Askes
tersebut melakukan banyak pembenahan, upaya penyesuaian yang bernafaskan
pada pedoman tata laksana asuransi sosial terkait kesiapan implementasi SJSN
menjadi modal semangat berdasarkan UU No.40 Tahun 2004.
9
Sesuai dengan rujukan diatas maka penuis mencoba menguraikan secara
ringkas bahwasannya penelitian ini lebih bertumpu atau fokus terhadap jaminan
kesehatan terhadap masyarakat, karena kesehatan adalah hak yang paling dasar
dibutuhkan oleh seluruh warga negara. Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap
warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2. Secara
universal jaminan sosial dijamin oleh Pasal 22 dan 25 Deklarasi Universal Hak
Asasi Manusia oleh PBB (1948), dimana Indonesia ikut menandatanganinya.
Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang,
seperti terbaca pada Perubahan UUD 45 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu
“Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat….”
E. Metode Penulisan
1. Jenis Penelitian
Penelitian ini menggunakan tipe penulisan kualitatif yaitu prosedur
penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Adapun data deskriptif yang
dmaksud adalah ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari
orang-orang (subyek itu sendiri)6 yang kemudian dari informasi yang didapat,
menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada
waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian7. Penelitian ini
merupakan penelitian Kualitatif Doktriner yaitu, penelitian yang menggunakan
6
Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. alih bahasaArif Furchan Cet- 1. Usaha Nasional. Surabaya- Indonesia: 1992. h. 21.
7
Consuelo G. Sevilla, at. all, Pengantar Metode Penelitian. Universitas Indonesia (UIPRESS). Jakarta: 2006. h. 71.
10
obyek kajiannya adalah bahan-bahan hukum primer yang terdiri
dari
perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan
perundang-undangan dan putusan hakim.8
Sumber data yang digunakan peneliti dalam penelitan ini adalah
sumber data primer dan sumber data skunder. Adapun sumber data primer
yaitu buku-buku, majalah, dan situs website yang obyek kajiannya mengenai
hukum pidana Islam./ sedangkan data skunder yaitu buku-buku yang terkait
dengan sumber buku primer yang dijadikan buku rujukan dalam penelitian ini.
2. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan dalam penelitian ini adalah studi documenter, di
mana bahan-bahan penelitian yang didapat melalui dokumen eksternal yang
berisi bahan-bahan informasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga sosial,
misalnya majalah, buletin, pernyataan, dan berita yang disiarkan kepada media
massa.9
3. Teknik Analisis Data
Penelitian ini menggunakan analisis data secara kualitatif yaitu
pendekatan ini (content analisis) yang menekankan pada pengambilan
kesimpulan analisis yang bersifat deduktif, yaitu penalaran yang berawal dari
8
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Cet, ke- 4. Kencana Media Group. Jakarta:
2008. hal. 141
9
Lexi J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. Cet, ke- 18. Remaja Rosda Karya. Bandung:
2004. h. 163
11
hal umum untuk menentukan hal yang khusus sehingga mencapai suatu
kesimpulan.10
Adapun tehnik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku
Pedoman Penulisan skripsi, cetakan ke-1 yang diterbitkan Fakultas Syari’ah
dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
F. Sistematika Penulisan
Dalam skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam 4 bab, yang
terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut:
Bab I merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah,
pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan
pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II merupakan tinjauan umum tentang jaminan sosial, yang berisi
tentang pengertian jaminan sosial, jenis-jenis jaminan sosial, sumber-sumber
jaminan sosial.
Bab III merupakan pembahasan tentang jaminan soSial kesehatan dalam
perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, yang berisi tentang golongangolongan yang berhak mendapatkan jaminan, sumber-sumber jaminan,sosial,
macam-macam jaminan sosial yang diberikan kepada masyarakat, studi kasus, dan
perbandingan antara Hukum Islam dan Hukum Positif
10
Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1990), h. 42-215.
12
Bab IV merupakan pembahasan tentang perbandingan antara hukum Islam
dan hukum Positif, yang berisi tentang bagaimana relasi hukum Islam dan hukum
Positif terhadap Jaminan Sosial dan apa saja kontribusi hukum Islam terhadap
hukum Positif terhadap Jaminan Sosial.
Bab V merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran.
BAB II
TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN SOSIAL
A. Pengertian Jaminan Sosial
Kewajiban negara (state obiligation) untuk memberikan jaminan pada
setiap warga untuk memperoleh akses yang baik terhadap berbagai kebutuhan
dasar manusia (terutama makanan, kesehatan, tempat tinggal, dan pendidikan).
Sedangkan yang lain jaminan sosial berbicara tentang proteksi negara bagi warga
terhadap kondisi-kondisi yang potensial mendegradasi harkat dan martabat
manusia, seperti kemiskinan, usia lanjut, cacat, dan pengangguran.
Dalam pandangan antropologi, kebudayaan atau kultur tidak pernah dapat
terlepas dalam suatu masyarakat. Kebudayaan merupakan tata kelakuan, kelakuan
dan hasil kelakuan manusia, masyarakat merupakan jaringan kelompok-kelompok
manusia yang memangku kebudayaan tadi. Dengan demikian, masyarakat
merupakan wadah dari kebudayaan.1
Atas dasar kenyataan itu beranggapan bahwa kebudayaan atau kultur ini
sangat mewarnai kehidupan suatu masyarakat. Dalam pandangan tersebut, kondisi
kehidupan masyarakat yang merupakan masalah sosial juga dapat dianggap
sebagai cerminan dari kultur masyarakatnya. Sebagai contoh, masalah kemiskinan
1
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1966)
13
14
sering dijelaskan sumbernya dari latar belakang budaya masyarakanya, sehingga
dikenal suatu hipotesis yang disebut dengan kemiskinan kultural.2
Di banyak negara, terutama negara-negara yang menganut sistem negara
kesejahteraan (welfare state), sistem jaminan sosial yang baik dimaknai sebagai
titik sentral makna eksistensi negara. Negara ada untuk kesejahteraan rakyat,
bukan rakyat ada demi prestise negara. Tidak jarang, pemaknaan dan
implementasi
ide
jaminan
sosial
di
suatu
negara
menjadi
indikator
terpilih/tidaknya sebuah kabinet untuk memimpin pemerintah di masa datang. Itu
sebabnya, kebanyakan pemerintah negara-negara beradab secara serius memaknai
pelaksanaan jaminan sosial.
Tidak ada definisi universal untuk “jaminan sosial” (sosial security).
Secara umum ia diartikan sebagai penyedia perlindungan yang dilakukan lewat
prosedur publik atas berbagai kerugian atau kehilangan penghasilann karena
sakit, kehamilan, kecelakaan kerja, kehilangan pekerjaan, cacat, usia, lanjut, dan
kematian. Asuransia kesehatan serig dianggap bagian dari jaminan sosial
(misalnya oleh ILO)3
“Perlindungan sosial” (social protection) adalah istilah yang sering
digunakan sebagai konsep yang lebih luas untuk mencakup jaminan sosial,
asuransi kesehatan dan jaminan yang diberikan di sektor swasta. Sedangkan
2
Soetomo, Masalah Sosial Dan Pembangunan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995), cet. 1, h.
100
3
Michael Raper, Negara Tanpa Jaminan Sosial Tiga Pilar Jaminan Sosial di Australia dan
Indonesia, (Jakarta: Trade Union Rights Centre, 2008), h. 17
15
jaminan Sosial Nasional adalah program Pemerintah dan Masyarakat yang
bertujuan memberi kepastian jumlah perlindungan kesejahteraan sosial agar
setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya menuju terwujudnya
kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Perlindungan ini
diperlukan utamanya bila terjadi hilangnya atau berkurangnya pendapatan.4
Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara sebagaimana
tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2. Secara universal jaminan sosial
dijamin oleh Pasal 22 dan 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB
(1948), dimana
Indonesia ikut
menandatanganinya. Kesadaran tentang
pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang, seperti terbaca pada
Perubahan UUD 45 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan
Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat….”.
Perlindungan jaminan sosial mengenal beberapa pendekatan yang saling
melengkapi yang direncanakan dalam jangka panjang dapat mencakup seluruh
rakyat secara bertahap sesuai dengan perkembangan kemampuan ekonomi
masyarakat. Pendekatan pertama adalah pendekatan asuransi sosial (compulsory
social insurance), yang dibiayai dari kontribusi/premi yang dibayarkan oleh
setiap tenaga kerja dan atau pemberi kerja. Kontribusi/premi dimaksud selalu
harus dikaitkan dengan tingkat pendapatan/upah yang dibayarkan oleh pemberi
kerja. Pendekatan kedua berupa bantuan sosial (social assistance) baik dalam
4
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_7/artikel_5.htm (Artikel ini diakses pada 5 Mei 2011)
16
bentuk pemberian bantuan uang tunai maupun pelayanan dengan sumber
pembiayan dari negara danbantuan sosial dan masyarakat lainnya.
Beberapa negara yang menganut prinsip negara kesejahteraan (welfare
state) yang selama ini memberikan jaminan sosial dalam bentuk bantuan sosial
mulai menerapkan asuransi sosial. Utamanya karena jaminan melalui bantuan
sosial membutuhkan dana yang besar dan tidak mendorong masyarakat
merencanakan kesejahteraan bagi dirinya. Disamping itu, dana yang terhimpun
dalam asuransi sosial dapat merupakan tabungan nasional. Secara keseluruhan
adanya jaminan sosial nasional dapat menunjang pembangunan nasional yang
berkelanjutan. Pengaturan dalam jaminan sosial ditinjau dari jenisnya terdiri dari
jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pemutusan hubungan
kerja, jaminan hari tua, pensiun, dan santunan kematian.
B. Sejarah Lahirnya Jaminan Sosial
Lahirnya konsep jaminan sosial tidak lepas dari upaya manusia untuk
mendapatkan keamanan atas resiko yang mungkin terjadi. Khususnya resiko
kehilangan dan berkurangnya penghasilan. Banyak hal yang menyebabkan
terjadinya resiko, seperti hari tua kecelakaan, sakit atau meninggal dunia. Embrio
jaminan sosial bermula pada awal abad ke-19 dengan tokoh Beveridge dan Otto
Van Bismark.5 Pada saat itu Bismark mengembangkan suatu konsep asuransi
5
Http://id.shvong.com/social -sciences/sociology/2168822-pengertitan jaminan-sosial/
(Artikel ini diakses pada 7Juni 2011)
17
sosial dan jaminan sosial, yang kemudian menyebar keberbagai belahan dunia
termasuk Indonesia.
Buruh pertanian dan sektor informal cukup dominan di Indonesia.
Komunitas-komunitas pedesaan pada umumnya menerapkan sistem gotong
royong. Anak diharapkan dapat menopang kehidupan orang tua dilanjut usia dan
keluarga besar lainnya. Sejak berdirinya Republik Indonesia pada tahun 1950,
pemerintah telah menerapkan Pembangunan Jangka Panjang dengan kurun waktu
25 tahun (1969-1994 dann 1994-2019), setiap kurun waku diselesaikan secara
bertahap dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun.
Sistem jaminan sosial di Indonesia dikerjakan di bawah rencana
pembangunan tersebut. Repelita tahun 1974-1979 berfokus pada perluasan
distribusi jaminan sosial. TASPEN (Tabungan pensiun), dana pensiun bagi
pegawai negeri yang secara hukum diberlakukan pada tahu 1969. Pada tahun
1971 diadakan sistem asuransi untuk buruh swasta formal, ASTEK (Asuransi
Tenaga Kerja), yang berubah menjadi JAMSOSTEK (Jaminan Sosial Tenaga
Kerja) tahun 1992. JAMSOSTEK mempunyai manfaat yang lebih banyak, yaitu
memberikan asuransi kesehatan. Sistem jaminan sosial kemudian semakin
berkembang dengan pengaturan jaminan untuk pegawai negari, buruh swsta
formal dan anggota ABRI yang terpisah.6
6
Michel Raper,Negara Tanpa Jaminan Sosial Tiga Pilar Jaminan Sosial di Australia dan
Indonesia,(Jakarta:Trade Rights Centre,20080,h.
18
Pasal 28 H Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “setiap orang
berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan
lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan
kesehatan”. Akan tetapi, untuk saat ini jaminan sosial di Indonesia hanya terbatas
bagi mereka yang ikut Jamsostek (buruh swasa formal), Taspen dan Askes (untuk
pegawai negeri) serta Asabri untuk anggota ABRI dan keluarga merka. Jaminan
ini membayarkan sejumlah uang untuk dana pensiun, berobat, kematian dan
pemakaman, kematian dan kecelakaan kerja. Selain itu, sistem ini juga memberi
bantuan kepada korban bencana alam, korban konflik sosial dan orang-orang yang
tidak bisa bekerja karena alasan tertentu. Sistem ini membiayai 15 juta dari 100
juta angkatan kerja, lebih dari 200 juta penduduk Indonesia. Sistem ini dipandang
gagal untuk memberikan manfaat bagi penerimanya, karena hanya mencakup
sebagian kecil masyrakat, jumlahnya yang kecil dan pengaturannya yang buruk.
ILO telah melakukan berbagai riset dan mengeluarkan rekomendasi agar
sistem ini memperluas cakupannya, dan pada tahun 2004, pemerintah Indonesia
mengusulkan RUU Jamsosnas yang disahkan oleh DPR pada bulan oktober 2004
sebagai Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem ini lebih komperehensif,
terdiri dari dana pensiun, asuransi kesehatan nasional, santunan kematian, dan
santunan kecelakaan kerja. Sistem ini mencakup seluruh penduduk Indonesia,
tanpa memandang apakah meraka buruh di sektor formal ataupun informal
bahkan pengangguran. Sebuah lembaga jaminan sosial telah didirikan dan secara
19
langsung berada di bawah koordinasi presiden. Lembaga ini bertugas dan
memberikan rekomendasi tentang pelaksanaan sistem baru ini.
C. Jenis-jenis Jaminan Sosial
Dalam Undang-undang Jaminan Sosial ada beberapa jenis program
jaminan sosial bagi seluruh warga negara yang terdiri dari;
1. Jaminan Kesehatan
Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan
sumber daya manusia dalam mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta
sejahtera lahir dan batin. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang
mempunyai derajat kesehatan yang tinggi. Pembangunan manusia seutuhnya
harus mencakup aspek jasmani dan kejiwaannya di samping spiritual,
kepribadian, dan kejuangan. Untuk itu, menurut sujudi pembangunan
kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, dan
produktif.
Berbagai perubahan dan tantangan strategis yang mendasar seperti
globalisasi,
denokratisasi,
desentralisasi,
krisis
multidimensi,
serta
pemahaman kesehatan sebagai hak asasi dan investasi mendorong terjadinya
revisi terhadap sistem kesehatan yang selama ini menjadi dasar pembangunan
kesehatan di Indonesia. Pembangunan kesehatan Indonesia meskipun secara
status mengalami peningkatan, namun secara sistem hal itu belum
menunjukkan adanya daya relationship semua stakeholder yang menjamin
20
sistem kesehatan yang sustainable dengan dasar mengupayakan sistem
pelayanan kesehatan bagi semua kalangan terutama masyarakat yang tidak
mampu.
Sementara sehat dalam definisi WHO (1975), adalah suatu keadaan
sejahtera dari fisik, mental, dan sosial yang tidak hanya terbatas pada bebas
penyakit dan kelemahan, dirasa tidak sesuai atau tidak lengkap lagi. Konsep
sehat ini belum mengakomodasikan dimensi produktifitas dari kelompok
umur yang berbeda seperti balita, remaja, dewasa, dan lanjut usia. Dalam
Ottawa Charter tahun 1986 disebutkan bahwa sehat itu bukan tujuan hidup,
tetapi alat untuk dapat hidup produktif.7
Pembiayaan kesehatan terkait adanya visi menuju Indonesia sehat
2010. Hal ini menuntut semua instistusi mensinergikan semua program
kerjanya dengan keadaan dukungan dana yang tersedia demi tercapainya
target tersebut. Satu hal yang akan mempengaruhi proses itu adalah komitmen
ekspenditur untuk sektor kesehatan dari pemerintah di semua tingkatan.
Pembiayaan merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi biaya
kesehatannya, yaitu rata-rata 2,2% dari GDP, sementara negara lain yang
memiliki sistem kesehatan yang baik rata-rata total ekspenditur untuk
kesehatan mencapai 8%-15% dari GDP.
Sejak tahun 1999, arah pembangunan kesehatan nasional telah
dirancangkan berupa program menuju Indonesia Sehat 2010.. dalam
7
Wiku Adisasmito, Sistem Kesehatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.6
21
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No
574/Menkes/SK/IV/2010 tentang kebijakan Pembangunan Kesehatan Menuju
Indonesia Sehat 2010 telah dirumuskan visi dan misi serta strategi baru
pembangunan kesehatan. Visi baru yaitu Indonesia sehat 2010 akan dicapai
melalui berbagai program pembangunan kesehatan yang telah tercantum
dalam Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang program pembangunan
nasional.
Namun, pembangunan kesehatan belum mencapai hasil yang optimal
yang ditandai dengan berbagai masalah kesehatan masih banyak ditemukan.
Menurut laporan WHO tahun 2000, angka kematian bayi di Indonesia pada
tahun 1998 masih tinggi adalah 48 per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian
bayi tersebut jauh lebih tinggi daripada angka kematian bayi di Thailand,
Filipina, Srilangka, dan Malaysia.
Hal di atas dapat disebabkan oleh masih rendahnya kinerja
pembangunan kesehatan. Masalah tersebut wajar saja terjadi karena pada
realitanya pembangunan kesehatan belum berada dalam arus utama
pembangunan nasioanal (Depkes, 2003). Sebagai contoh adalah anggaran
yang disediakan untuk pembangunan kesehatan di Indonesia, ternyata untuk
bidang kesehatan, pemerintah mempunyai anggaran yang masih kecil.
Menurut Thabrany (2005), berdasarkan analisis data tahun anggaran
22
1997/1980 sampai 2002, alokasi belanja kesehatan rata-rata 1,36% (kisaran
0,84% sampai dengan 1,85%) dari total belanja pemerintah.8
Kesenjangan status kesehatan terjadi antar daerah, antar tingkatan
sosial-ekonomi dan antarkawasan perkotaan dan pedesaan. Secara spesifik
kesenjangan tersebut antara lain disebabkan oleh
belum efektifnya
pelaksanaan desentralisasi penanganan kesehatan, efisiensi penggunaan
anggaran dana yang masih rendah serta distribusi dan pendayagunaan tenaga
kesehatan yang belum proporsional.
Desentralisasi yang memberi peluang bagi Pemerintah Daerah untuk
mengambil andil penting dalam penanganan masalah kesehatan secara teoritis
dapat menyebabkan tercapainya pelayanan kesehatan yang lebih responsif
terhadap kebutuhan lokal. Namun pada kenyataannya hal ini lebih mendorong
timbulnya disparitas antar daerah dan sulit terpenuhinya informasi kesehatan
yang essensial. Terlebih lagi, peningkatan pembiayaan yang dilakukan
Pemerintah Daerah dalam pembiayaan pengobatan kuratif menyebabkan
berbagai pelayanan kesehatan preventif dan promotif oleh Pemerintah Daerah
menurun.
Peran pihak swasta yang meningkat saat ini seharusnya tidak lagi
dijawab dengan kompetisi oleh pemerintah pusat. Dalam meningkatkan
efisiensi alokasi dana kesehatan, pemerintah sebaiknya merangkul pihak
swasta dengan meningkatkan koordinasi dan pengawasan. Hal ini dapat
8
Ibid, h. 94-95
23
dilakukan dengan sertifikasi dan regulasi untuk menjamin kualitas kesehatan
yang diberikan. Selain itu, pemerintah juga seyogyanya mengalihkan fokus
perhatian dan penanganan dari daerah dimana peran swasta telah baik kepada
peningkatan pelayanan kesehatan warga miskin dan pada daerah dimana peran
sektor swasta belum begitu baik. Realisasi anggaran dana kesehatan sebanyak
5% dari total APBN yang sedang diupayakan oleh Kementrian Kesehatan-pun
harus dibekali dengan perencanaan program kerja yang komprehensif, yang
salah satunya harus berfokus pada peningkatan kualitas, kuantitas dan
keterjangkauan palayanan kesehatan warga miskin.
Permasalahan SDM kesehatan juga merupakan tantangan yang harus
segera dijawab oleh pemerintah. Koordinator Program Manajemen WHO
Wilayah Asia Tenggara Dr. M Mucaherul Hug pada keteranganya usai
pembukaan Konferensi Aliansi Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan SeAsia Pasifik di Sanur pada April 2010 menyatakan bahwa Indonesia
merupakan salah satu negara dari 57 negara di dunia yang masuk dalam
kategori negara yang mengalami krisis tenaga kesehatan. Menurut Mucaherul
Hug, selain karena tidak meratanya distribusi, krisis tenaga kesehatan di
Indonesia juga disebabkan oleh rendahnya kompetensi tenaga kesehatan
Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah harus memberikan perhatian lebih pada
institusi pendidikan terkait, serta menyusun dan menegaskan regulasi sebagai
24
upaya menjawab permasalahan distribusi tenaga kesehatan yang belum
merata, terutama untuk daerah terpencil dan perbatasan.9
Kesehatan adalah hal esensial yang dibutuhkan oleh manusia, dan
menjadi hak warga atas pemerintah. Dimanapun warga tersebut berada serta
bagaimanapun status sosial ekonominya, pelayanan kesehatan harus
diwujudkan dengan baik untuk menjawab tantangan-tantangan yang datang
pada bidang kesehatan. Sehingga diharapkan cita-cita untuk mencapai
indonesia yang lebih sehat dapat diwujudkan di tahun 2011.
2. Jaminan Kecelakaan Kerja
Kecelakaan kerja termasuk penyakit akibat kerja merupakan risiko
yang harus dihadapi oleh tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya. Untuk
menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh penghasilan yang diakibatkan
oleh adanya risiko-risiko sosial seperti kematian atau cacat karena kecelakaan
kerja baik fisik maupun mental, maka diperlukan adanya jaminan kecelakaan
kerja. Kesehatan dan keselamatan tenaga kerja merupakan tanggung jawab
pengusaha sehingga pengusaha memiliki kewajiban untuk membayar iuran
jaminan kecelakaan kerja yang berkisar antara 0,24% - 1,74% sesuai
kelompok jenis usaha.10
9
http:www.beritabali.com/index.php?reg=&news&id=201010040001(Artikel ini diakses
pada 7Juni 2011)
10
2011)
http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=3&id=17 (Artikel ini diakses pada 9 Mei
25
Tenaga kerja mempunyai peranan dan arti yang penting dalam
pelaksanaan pembangunan nasional pada umumnya dan dalam peningkatan
produksi dan produktivitas khususnya, sehingga perlu diberikan perlindungan,
pemeliharaan, dan perawatan dengan cara menyelenggarakan jaminan sosial,
baik bagi tenaga kerja maupun keluarganya. Pemberian jaminan ini
sebenarnya adalah untuk melindungi tenaga kerja terhadap resiko akan hilang
atau berkurangnya penghasilan dari tenaga kerja bersangkutan karena adanya
kecelakaan kerja yang disebabkan oleh penggunaan alat-alat besar dan
tekhnologi modern serta bahan-bahan kimia.11
Sedangkan manfaat dari jaminan kecelakaan kerja ini memberikan
kompensasi dan rehabilitasi bagi tenaga kerja yang mengalami kecelakaan
pada saat dimulai berangkat bekerja sampai tiba kembali dirumah atau
menderita penyakit akibat hubungan kerja. Iuran untuk program JKK ini
sepenuhnya
dibayarkan
oleh
perusahaan.
Perincian
besarnya
iuran
berdasarkan besarnya kelomok usaha sebagaimana tercantum pada iuran.
a. Biaya Transport (Maksimum)
1)
Darat Rp 400.000,-
2) Laut Rp 750.000,3) Udara Rp 1.500.000,-
11
http://khansamhamnida.wordpress.com/2011/04/14/jaminan-sosial-jenis-jenis-jaminansosial/ (Artikel ini diakses pada 8 Mei 2011)
26
b. Sementara tidak mampu bekerja
1) Empat (4) bulan pertama, 100% upah
2) Empat (4) bulan kedua, 75% upah
3) Selanjutnya 50% upah
c. Biaya Pengobatan/Perawatan
Rp 12.000.000,- (maksimum)*
d. Santunan Cacat
1) Sebagian-tetap: % tabel x 80 bulan upah tetap
2) Total-tetap
3) Sekaligus: 70 % x 80 bulan upah
4) Berkala (2 tahun) Rp 200.000,- per bulan*
5) Kurang fungsi: % kurang fungsi x % tabel x 80 bulan
e. Santunan Kematian
1) Sekaligus 60 % x 80 bulan upah
2) Berkala (2 tahun) Rp. 200.000,- per bulan
3) Biaya pemakaman Rp 2.000.000,-*
f. Biaya Rehabilitasi: Patokan harga RS DR. Suharso, Surakarta,
ditambah 40 %
1) Prothese anggota badan
2) Alat bantu (kursi roda)
g. Penyakit
akibat
kerja,
tiga
puluh
satu
jenis
penyakit
hubungan kerja dan 3 tahun setelah putus hubungan kerja.
selama
27
Iuran
1) Kelompok I: 0.24 % dari upah sebulan;
2) Kelompok II: 0.54 % dari upah sebulan;
3) Kelompok III: 0.89 % dari upah sebulan;
4) Kelompok IV: 1.27 % dari upah sebulan;
5) Kelompok V: 1.74 % dari upah sebulan;
*) sesuai dengan PP Nomor 76 tahun 2007
3. Jaminan Hari Tua
Program Jaminan Hari Tua (JHT) ditujukan sebagai pengganti
terputusnya penghasilan tenaga kerja karena meninggal, cacat, atau hari tua
dan diselenggarakan dengan sistem tabungan hari tua. Program Jaminan Hari
Tua memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan pada
saat tenaga kerja mencapai usia 55 tahun atau telah memenuhi persyaratan
tertentu.
Jaminan sosial ini merupakan satu kesatuan dari jaminan kecelakaan
kerja, yang telah diakomodir dalam Undang-undang Ketenagakerjaan.
Jaminan ini diperuntukkan bagi tenaga kerja yang telah memasuki masa tua
atau sudah terputusnya penghasilan tenaga kerja. Dihari tua, tenaga kerja juga
membutuhkan akan adanya jaminan tersedianya dana yang dimanfaatkan pada
saat sudah berhenti bekerja, baik karena sudah mencapai hari tua (usia 55/56
tahun) atau waktu menderita cacat tetap dan total ataupun pada waktu
28
meninggal dunia. Oleh karena itu tabungan hari tua yang dikaitkan dengan
program jaminan kematian diharapkan dapat, membuat tenaga kerja dapat
memenuhi kebutuhan minimum dihari tuanya beserta keluarganya dan
memberikan ketenangan kerja bagi pekerja pada usia yang produktif. Iuran
jaminan hari tua, yakni: ditanggung perusahaan sebesar 3,7% , dan ditanggung
oleh tenaga kerja sebesar 2%.
Sedangkan manfaat dari jaminan hari tua akan dikembalikan atau
dibayarkan
sebesar
iuran
yang
terkumpul
ditambah
dengan
hasil
pengembangannya, apabila tenaga kerja:
a. Mencapai umur 55 tahun atau meninggal dunia, atau cacat total tetap.
b. Mengalami PHK setelah menjadi peserta sekurang-kurangnya 5
tahun
dengan masa tunggu 6 bulan.
c. Pergi keluar negeri tidak kembali lagi, atau menjadi PNS/ABRI.
Tata Cara Pengajuan Jaminan12
Setiap permintaan Jaminan Hari Tua, tenaga kerja harus mengisi dan
menyampaikan formulir 5 Jamsostek kepada kantor Jamsostek setempat
dengan melampirkan:
a. Kartu peserta Jamsostek (KPJ) asli.
b. Kartu Identitas diri KTP/SIM (fotokopi).
c. Surat keterangan pemberhentian bekerja dari perusahaan atau Penetapan
Pengadilan Hubungan Industrial.
12
http://mitra-ku.com/home/index.php?option=com_content&view=article&id=50&Itemid=
63 (Artikel ini diakses pada 9 Mei 2011)
29
d. Surat pernyataan belum bekerja di atas materai secukupnya.
e. Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang mengalami cacat total
dilampiri dengan Surat Keterangan Dokter
f. Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang meninggalkan
wilayah Republik Indonesia dilampiri dengan:
g. Pernyataan tidak bekerja lagi di Indonesia
h. Photocopy Paspor
i. Photocopy Visa
j. Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang meninggal dunia
sebelum usia 55 thn dilampiri:
k. Surat keterangan kematian dari Rumah Sakit/Kelurahan/Kepolisian
l. Photocopy Kartu keluarga
m. Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang berhenti bekerja dari
perusahaan sebelum usia 55 thn telah memenuhi masa kepesertaan 5 tahun
telah melewati masa tunggu 6 (enam) bulan terhitung sejak tenaga kerja
yang bersangkutan berhenti bekerja, dilampiri dengan:
n. Photocopy surat keterangan berhenti bekerja dari perusahaan
o. Surat pernyataan belum bekerja lagi
p. Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang menjadi Pegawai
Negeri Sipil/ ABRI.
Selambat-lambatnya 30 hari setelah pengajuan tersebut PT Jamsostek
(persero) melakukan pembayaran JHT.
30
4. Jaminan Pensiun
Pensiun adalah penghasilan yang diterima oleh penerima pensiun
setiap bulan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sejauh
ini, baru pegawai negeri sipil (PNS) dan anggota TNI/Polri yang memiliki
program Jaminan Pensiun wajib. Sebagian besar tenaga kerja swasta, apalagi
kelompok nonformal, belum memiliki program Jaminan Pensiun wajib
meskipun sebagian kecil sudah memiliki program pensiun sukarela, baik
melalui program pensiun yang diselenggarakan oleh perusahaan asuransi
swasta maupun lembaga Dana Pensiun Lembaga Keuangan/Pemberi Kerja.
Indonesia sebenarnya telah memiliki undang-undang (UU) yang akan
melandasi reformasi penyelenggaraan program Jaminan Pensiun itu. Namun,
implementasinya, termasuk penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan,
belum seperti diharapkan. Bahkan, sekarang sedang menjumpai masalah
hukum mengingat masa transisi pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan
Sosial (BPJS), yang diamanatkan UU Nomor 40 Tahun 2004 sampai tahun
2009 sudah terlewati. Di dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan
Sosial Nasional (SJSN) dicita-citakan bahwa pada suatu saat (15-20 tahun
mendatang) seluruh penduduk Indonesia akan memiliki Jaminan Pensiun yang
dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak.
31
Dalam pemberian jaminan ini ada lima perusahaan yang telah ditunjuk
dalam pemberian jaminan sosial, akan tetapi dimiliki oleh negara dan
mengelola:13
a. PT Jamsostek, mengelola dana pensiun dan asuransi kesehatan bagi buruh
swasta formal.
b. PT Taspen, mengelola dana pensiun untuk egawai negeri.
c. PT Asabri, mengelola program pensiunan untuk anggota ABRI.
d. PT Askes, mengelola suransi kesehatan untuk pegawai negarai
Di dalam Undang-undang jaminan sosial No.40 tahun 2004 antara lain
dalam Pasal:
a. Jaminan pensiun diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip
asuransi sosial atau tabungan wajib.
b. Jaminan pensiun diselenggarakan untuk mempertahankan derajat
kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang
penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total
tetap.
c. Jaminan pensiun diselenggarakan berdasarkan manfaat pasti.
d. Usia pensiun ditetapkan menurut ketentuan peraturan perundangundangan.
e. Peserta jaminan pensiun adalah pekerja yang telah membayar iuran.
f. Manfaat jaminan pensiun berwujud uang tunai yang diterima setiap bulan
sebagai:
1) Pensiun hari tua, diterima peserta setelah pensiun sampai meninggal
dunia;
2) Pensiun cacat, diterima peserta yang cacat akibat kecelakaan atau
akibat penyakit sampai meninggal dunia;
3) Pensiun janda/duda,diterima janda/duda ahli waris peserta sampai
meninggal dunia atau menikah lagi;
4) Pensiun anak, diterima anak ahli waris peserta sampai mencapai 23
(dua puluh tiga) tahun, bekerja, atau menikah; atau
13
Michael Raper, Negara Tanpa Jaminan Sosial Tiga Pilar Jaminan Sosial Di Indonesia
dan Australia, (Jakarta: Trade Union Rights Centre, 2008), h. 60
32
5) Pensiun orang tua, diterima orang tua ahli waris peserta lajang sampai
batas waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
a) Setiap peserta atau ahli warisnya berhak mendapatkan pembayaran
uang pensiun berkala setiap bulan setelah memenuhi masa iuran
minimal 15 (lima belas) tahun, kecuali ditetapkan lain oleh
peraturan perundang-undangan.
b) Manfaat jaminan pensiun dibayarkan kepada peserta yang telah
mencapai usia pensiun sesuai formula yang ditetapkan.
c) Apabila peserta meninggal dunia masa iur 15 (lima belas) tahun
ahli warisnya tetap berhak, mendapatkan manfaat jaminan pensiun.
d) Apabila peserta mencapai usia pensiun sebelum memenuhi masa
iur (lima belas) tahun, peserta tersebut berhak mendapatkan
seluruh akumulasi iurannya ditambah hasil pengembangannya.
e) Hak ahli waris atas manfaat pensiun anak berakhir apabila anak
tersebut menikah, bekerja tetap, atau mencapai usia 23 (dua puluh
tiga) tahun.
f) Manfaat pensiun cacat dibayarkan kepada peserta yang mengalami
cacat total tetap meskipun peserta tersebut belum memasuki usia
pensiun
Jika melihat dari ulasan pada Undang-undang No. 40 tahun 2004
tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional tersebut dan perusahaan pengelola
jaminan sosial, jaminan pensiun diberikan hanya untuk PNS/ABRI.
Sedangkan untuk buruh swasta tidak mendapatkan tunjangan atau jaminan
pensiun. Jikalau ada, itu pun hanya sedikit yang mendapatkannya.
Sebagaimana yang diutarakan oleh H. Said Iqbal, ME yang merupakan Sekjen
Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS). Beliau mengutarakan seharusnya
seluruh rakyat Indonesia mendapatkan jaminan kesehatan seumur hidup dan
juga dana pensiun tanpa adanya diskriminasi melalui sebuah petisi rakyat,
yang berisi tiga poin penting:14
14
http://www.antaranews.com/berita/254960/kajs-perjuangkan-jamkes-tanpa-diskriminasi
(Artikel ini diakses pada 9 Mei 2011)
33
a. Jaminan kesehatan seumur hidup untuk seluruh rakyat Indonesia, dalam
hal ini berobat gratis seumur hidup.
b. Jaminan dana pensiun wajib bagi buruh swasta. Ketika masih bekerja
pekerja/buruh dituntut produktivitas tinggi dan diwajibkan membayar
pajak. Namun, saat memasuki usia pensiun tidak mendapat jaminan
pensiun. Akibatnya tidak mampu membayar kontrakan rumah, anak putus
sekolah dan berpenyakitan, dan
c. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BJS) harus badan hukum publik
wali amanat, bukan berbentuk BUMN atau PT sebagaimana yang lazim
dilakukan oleh pemerintah saat ini.
5. Jaminan Kematian
Jaminan Kematian diperuntukkan bagi ahli waris dari peserta program
Jamsostek yang meninggal bukan karena kecelakaan kerja. Jaminan Kematian
diperlukan sebagai upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk
biaya pemakaman maupun santunan berupa uang. Pengusaha wajib
menanggung iuran Program Jaminan Kematian sebesar 0,3% dengan jaminan
kematian yang diberikan adalah Rp 12 Juta terdiri dari Rp 10 juta santunan
kematian dan Rp 2 juta biaya pemakaman15 dan santunan berkala. Ada tata
cara pengajuan jaminan kematian ini yakni, sebagai berikut:16
2011)
15
Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2007 Tentang
16
http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=3&id=17 (Artikel ini diakses pada 9 Mei
34
Pengusaha/keluarga dari tenaga kerja yang meninggal dunia mengisi
dan mengirim form 4 kepada PT Jamsostek (Persero) disertai bukti-bukti:
a. Kartu peserta Jamsostek (KPJ) Asli tenaga Kerja yang Bersangkutan.
b. Surat keterangan kematian dari Rumah sakit/Kepolisian/Kelurahan.
c. Salinan/Copy KTP/SIM dan Kartu Keluarga Tenaga Kerja bersangkutan
yang masih berlaku.
d. Identitas ahli waris (photo copy KTP/SIM dan Kartu Keluarga).
e.
Surat Keterangan Ahli Waris dari Lurah/Kepala Desa setempat.
f. Surat Kuasa bermeterai dan copy KTP yang diberi kuasa (apabila
pengambilan JKM ini dikuasakan).
PT Jamsostek (Persero) hanya akan membayar jaminan kepada yang
berhak. Dan program ini memberikan manfaat kepada keluarga tenaga kerja
sebagai berkut:
a. Santunan kematian : Rp. 10. 000.000
b. Biaya pemakaman : Rp. 2. 000.000
c. Santunan berkala : Rp. 200. 000 (selama 24 Bulan)
35
D. Sumber-sumber Dana Jaminan Sosial
1. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)17
Penyusunan anggaran pendapatan negara disusun dengan kebutuhan
penyelenggaraan pemerintahan negara dankemampuan dalam menghimpun
pendapatan negara. Penyususnan rancangan anggaran pendapatan belanja
negara, berpedoman kepada rencana kerja pemerintah dalam rangka
mewujudkan tercapainya tujuan bernegara sesuai dengan UU No. 17 Tahun
2003 tentang keuangan negara. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN), adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia
yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis
dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara
selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, Perubahan
APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan
Undang-Undang. Pemerintah mengajukan Rancangan APBN dalam bentuk
RUU tentang APBN kepada DPR. Setelah melalui pembahasan, DPR
menetapkan Undang-Undang tentang APBN selambat-lambatnya 2 bulan
sebelum tahun anggaran dilaksanakan.
Setelah APBN ditetapkan dengan Undang-Undang, pelaksanaan
APBN dituangkan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Berdasarkan
perkembangan, di tengah-tengah berjalannya tahun anggaran, APBN dapat
17
http://id.wikipedia.org/wiki/Anggaran_Pendapatan_dan_Belanja_Negara
diakses pada 13 Mei 2011)
(Artikel
ini
36
mengalami revisi/perubahan. Untuk melakukan revisi APBN, Pemerintah
harus mengajukan RUU Perubahan APBN untuk mendapatkan persetujuan
DPR.Perubahan APBN dilakukan paling lambat akhir Maret, setelah
pembahasan dengan Badan anggaran DPR. Dalam keadaan darurat (misalnya
terjadi bencana alam), Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum
tersedia anggarannya.
APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan
pendapatan
negara
pemerintahan
dan
dalam
rangka
pembangunan,
membiayai
mencapai
pelaksanaan
pertumbuhan
kegiatan
ekonomi,
meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabitas perekonomian, dan
menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. APBN
mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan
stabilisasi. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang
menjadi kewajiban negara dalam suatu tahun anggaran harus dimasukkan
dalam APBN. Surplus penerimaan negara dapat digunakan untuk membiayai
pengeluaran negara tahun anggaran berikutnya:
a. Fungsi otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar
untuk
melaksanakan
pendapatan
dan
belanja
pada
tahun
yang
bersangkutan, Dengan demikian, pembelanjaan atau pendapatan dapat
dipertanggungjawabkan kepada rakyat.
b. Fungsi perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran negara dapat
menjadi pedoman bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada tahun
37
tersebut. Bila suatu pembelanjaan telah direncanakan sebelumnya, maka
negara dapat membuat rencana-rencana untuk medukung pembelanjaan
tersebut. Misalnya, telah direncanakan dan dianggarkan akan membangun
proyek pembangunan jalan dengan nilai sekian miliar. Maka, pemerintah
dapat mengambil tindakan untuk mempersiapkan proyek tersebut agar bisa
berjalan dengan lancar.
c. Fungsi pengawasan, berarti anggaran negara harus menjadi pedoman untuk
menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian akan mudah
bagi rakyat untuk menilai apakah tindakan pemerintah menggunakan uang
negara untuk keperluan tertentu itu dibenarkan atau tidak.
d. Fungsi alokasi, berarti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk
mengurangi
pengangguran
dan
pemborosan
sumber
daya
serta
meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian.
e. Fungsi distribusi, berarti bahwa kebijakan anggaran negara harus
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
f. Fungsi stabilisasi, memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi
alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental
perekonomian.
Sementara berdasarkan aspek pengeluaran, prinsip penyusunan APBN
adalah:
a. Hemat, efesien, dan sesuai dengan kebutuhan.
b. Terarah, terkendali, sesuai dengan rencana program atau kegiatan.
38
c. Semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan
memperhatikan kemampuan atau potensi nasional.
2. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana
keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari
sampai dengan tanggal 31 Desember. Anggara pendapatan belanja daerah
(APBD) terdiri atas:
a. Anggaran pendapatan, terdiri atas:
1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan
lain-lain.
2) Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus.
3) Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat.
b. Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan
tugas pemerintahan di daerah.
c. Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau
pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang
bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikut.
BAB III
JAMINAN SOSIAL KESEHATAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF
DAN HUKUM ISLAM
A. Perspektif Hukum Positif
1. Pengertian Jaminan Sosial
Kewajiban negara (state obiligation) untuk memberikan jaminan pada
setiap warga untuk memperoleh akses yang baik terhadap berbagai kebutuhan
dasar manusia
(terutama makanan, kesehatan, tempat
tinggal,
dan
pendidikan). Sedangkan yang lain jaminan sosial berbicara tentang proteksi
negara bagi warga terhadap kondisi-kondisi yang potensial mendegradasi
harkat dan martabat manusia, seperti kemiskinan, usia lanjut, cacat, dan
pengangguran.
Dalam pandangan antropologi, kebudayaan atau kultur tidak pernah
dapat terlepas dalam suatu masyarakat. Kebudayaan merupakan tata kelakuan,
kelakuan dan hasil kelakuan manusia, masyarakat merupakan jaringan
kelompok-kelompok manusia yang memangku kebudayaan tadi. Dengan
demikian, masyarakat merupakan wadah dari kebudayaan.1
Atas dasar kenyataan itu beranggapan bahwa kebudayaan atau kultur
ini sangat mewarnai kehidupan suatu masyarakat. Dalam pandangan tersebut,
kondisi kehidupan masyarakat yang merupakan masalah sosial juga dapat
1
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1966)
39
40
dianggap sebagai cerminan dari kultur masyarakatnya. Sebagai contoh,
masalah kemiskinan sering dijelaskan sumbernya dari latar belakang budaya
masyarakanya, sehingga dikenal suatu hipotesis yang disebut dengan
kemiskinan kultural.2
Di banyak Negara, terutama Negara-negara yang menganut sistem
Negara kesejahteraan (welfare state), sistem jaminan sosial yang baik
dimaknai sebagai titik sentral makna eksistensi negara. Negara ada untuk
kesejahteraan rakyat, bukan rakyat ada demi prestise negara. Tidak jarang,
pemaknaan dan implementasi ide jaminan sosial di suatu negara menjadi
indikator terpilih/tidaknya sebuah kabinet untuk memimpin pemerintah di
masa datang. Itu sebabnya, kebanyakan pemerintah negara-negara beradab
secara serius memaknai pelaksanaan jaminan sosial.
Tidak ada definisi universal untuk “jaminan sosial” (sosial security).
Secara umum ia diartikan sebagai penyedia perlindungan yang dilakukan
lewat prosedur publik atas berbagai kerugian atau kehilangan penghasilann
karena sakit, kehamilan, kecelakaan kerja, kehilangan pekerjaan, cacat, usia,
lanjut, dan kematian. Asuransi kesehatan sering dianggap bagian dari jaminan
sosial (misalnya oleh ILO)3. “Perlindungan sosial” (social protection) adalah
istilah yang sering digunakan sebagai konsep yang lebih luas untuk mencakup
2
Soetomo, Masalah Sosial Dan Pembangunan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995), cet. 1, h.
100
3
Michael Raper, Negara Tanpa Jaminan Sosial Tiga Pilar Jaminan Sosial di Australia dan
Indonesia, (Jakarta: Trade Union Rights Centre, 2008), h. 17
41
jaminan sosial, asuransi kesehatan dan jaminan yang diberikan di sektor
swasta. Sedangkan jaminan Sosial Nasional adalah program Pemerintah dan
Masyarakat yang bertujuan memberi kepastian jumlah perlindungan
kesejahteraan sosial agar setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan
hidupnya menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat
Indonesia. Perlindungan ini diperlukan utamanya bila terjadi hilangnya atau
berkurangnya pendapatan.4
Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara
sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2. Secara universal
jaminan sosial dijamin oleh Pasal 22 dan 25 Deklarasi Universal Hak Asasi
Manusia oleh PBB (1948), dimana Indonesia ikut menandatanganinya.
Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang,
seperti terbaca pada Perubahan UUD 45 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu
“Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat….”.
Perlindungan jaminan sosial mengenal beberapa pendekatan yang
saling melengkapi yang direncanakan dalam jangka panjang dapat mencakup
seluruh rakyat secara bertahap sesuai dengan perkembangan kemampuan
ekonomi masyarakat. Pendekatan pertama adalah pendekatan asuransi sosial
(compulsory social insurance), yang dibiayai dari kontribusi/premi yang
dibayarkan oleh setiap tenaga kerja dan atau pemberi kerja. Kontribusi/premi
dimaksud selalu harus dikaitkan dengan tingkat pendapatan/upah yang
dibayarkan oleh pemberi kerja. Pendekatan kedua berupa bantuan sosial
4
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_7/artikel_5.htm (Artikel ini diakses pada 5 Mei 2011)
42
(social assistance) baik dalam bentuk pemberian bantuan uang tunai maupun
pelayanan dengan sumber pembiayan dari negara dan bantuan sosial dan
masyarakat lainnya.
Beberapa negara yang menganut (welfare state) yang selama ini
memberikan jaminan sosial dalam bentuk bantuan sosial mulai menerapkan
asuransi
sosial.
membutuhkan
Utamanya
dana
yang
karena
besar
jaminan
dan
tidak
melalui
bantuan
mendorong
sosial
masyarakat
merencanakan kesejahteraan bagi dirinya. Disamping itu, dana yang
terhimpun dalam asuransi sosial dapat merupakan tabungan nasional. Secara
keseluruhan adanya jaminan sosial nasional dapat menunjang pembangunan
nasional yang berkelanjutan. Pengaturan dalam jaminan sosial ditinjau dari
jenisnya terdiri dari jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan
pemutusan hubungan kerja, jaminan hari tua, pensiun, dan santunan kematian.
2. Jaminan Sosial Kesehatan
Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan
sumber daya manusia dalam mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta
sejahtera lahir dan batin. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang
mempunyai derajat kesehatan yang tinggi. Pembangunan manusia seutuhnya
harus mencakup aspek jasmani dan kejiwaannya di samping spiritual,
kepribadian, dan kejuangan. Untuk itu, menurut Sujudi pembangunan
kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, dan
produktif.
43
Berbagai perubahan dan tantangan strategis yang mendasar seperti
globalisasi,
denokratisasi,
desentralisasi,
krisis
multidimensi,
serta
pemahaman kesehatan sebagai hak asasi dan investasi mendorong terjadinya
revisi terhadap sistem kesehatan yang selama ini menjadi dasar pembangunan
kesehatan di Indonesia. Pembangunan kesehatan Indonesia meskipun secara
status mengalami peningkatan, namun secara sistem hal itu belum
menunjukkan adanya daya relationship semua stakeholder yang menjamin
sistem kesehatan yang sustainable dengan dasar mengupayakan sistem
pelayanan kesehatan bagi semua kalangan terutama masyarakat yang tidak
mampu.
Sementara sehat dalam definisi World Health Organization (WHO),
adalah suatu keadaan sejahtera dari fisik, mental, dan sosial yang tidak hanya
terbatas pada bebas penyakit dan kelemahan, dirasa tidak sesuai atau tidak
lengkap lagi. Konsep sehat ini belum mengakomodasikan dimensi
produktifitas dari kelompok umur yang berbeda seperti balita, remaja, dewasa,
dan lanjut usia. Dalam Ottawa Charter tahun 1986 disebutkan bahwa sehat itu
bukan tujuan hidup, tetapi alat untuk dapat hidup produktif.5
Pembiayaan kesehatan terkait adanya visi menuju Indonesia sehat
2010. Hal ini menuntut semua instistusi mensinergikan semua program
kerjanya dengan keadaan dukungan dana yang tersedia demi tercapainya
target tersebut. Satu hal yang akan mempengaruhi proses itu adalah komitmen
5
Wiku Adisasmito, Sistem Kesehatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.6
44
ekspenditur untuk sektor kesehatan dari pemerintah di semua tingkatan.
Pembiayaan merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi biaya
kesehatannya, yaitu rata-rata 2,2% dari GDP, sementara negara lain yang
memiliki sistem kesehatan yang baik rata-rata total ekspenditur untuk
kesehatan mencapai 8%-15% dari GDP.
Sejak tahun 1999, arah pembangunan kesehatan nasional telah
dirancangkan berupa program menuju Indonesia Sehat 2010.. dalam
Keputusan
Menteri
Kesehatan
Republik
Indonesia
No
574/Menkes/SK/IV/2010 tentang kebijakan Pembangunan Kesehatan Menuju
Indonesia Sehat 2010 telah dirumuskan visi dan misi serta strategi baru
pembangunan kesehatan. Visi baru yaitu Indonesia sehat 2010 akan dicapai
melalui berbagai program pembangunan kesehatan yang telah tercantum
dalam Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang program pembangunan
nasional.
Namun, pembangunan kesehatan belum mencapai hasil yang optimal
yang ditandai dengan berbagai masalah kesehatan masih banyak ditemukan.
Menurut laporan World Health Organization (WHO) tahun 2000, angka
kematian bayi di Indonesia pada tahun 1998 masih tinggi adalah 48 per 1.000
kelahiran hidup. Angka kematian bayi tersebut jauh lebih tinggi daripada
angka kematian bayi di Thailand, Filipina, Srilangka, dan Malaysia.
Hal di atas dapat disebabkan oleh masih rendahnya kinerja
pembangunan kesehatan. Masalah tersebut wajar saja terjadi karena pada
45
realitanya pembangunan kesehatan belum berada dalam arus utama
pembangunan nasioanal (Depkes, 2003). Sebagai contoh adalah anggaran
yang disediakan untuk pembangunan kesehatan di Indonesia, ternyata untuk
bidang kesehatan, pemerintah mempunyai anggaran yang masih kecil.
Menurut Thabrany (2005), berdasarkan analisis data tahun anggaran
1997/1980 sampai 2002, alokasi belanja kesehatan rata-rata 1,36% (kisaran
0,84% sampai dengan 1,85%) dari total belanja pemerintah.6
Kesenjangan status kesehatan terjadi antar daerah, antar tingkatan
sosial-ekonomi dan antarkawasan perkotaan dan pedesaan. Secara spesifik
kesenjangan tersebut antara lain disebabkan oleh
belum efektifnya
pelaksanaan desentralisasi penanganan kesehatan, efisiensi penggunaan
anggaran dana yang masih rendah serta distribusi dan pendayagunaan tenaga
kesehatan yang belum proporsional.
Desentralisasi yang memberi peluang bagi Pemerintah Daerah untuk
mengambil andil penting dalam penanganan masalah kesehatan secara teoritis
dapat menyebabkan tercapainya pelayanan kesehatan yang lebih responsif
terhadap kebutuhan lokal. Namun pada kenyataannya hal ini lebih mendorong
timbulnya disparitas antar daerah dan sulit terpenuhinya informasi kesehatan
yang essensial. Terlebih lagi, peningkatan pembiayaan yang dilakukan
Pemerintah Daerah dalam pembiayaan pengobatan kuratif menyebabkan
6
Wiku Adisasmito, Sistem Kesehatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 94-95
46
berbagai pelayanan kesehatan preventif dan promotif oleh Pemerintah Daerah
menurun.
Peran pihak swasta yang meningkat saat ini seharusnya tidak lagi
dijawab dengan kompetisi oleh pemerintah pusat. Dalam meningkatkan
efisiensi alokasi dana kesehatan, pemerintah sebaiknya merangkul pihak
swasta dengan meningkatkan koordinasi dan pengawasan. Hal ini dapat
dilakukan dengan sertifikasi dan regulasi untuk menjamin kualitas kesehatan
yang diberikan. Selain itu, pemerintah juga seyogyanya mengalihkan fokus
perhatian dan penanganan dari daerah dimana peran swasta telah baik kepada
peningkatan pelayanan kesehatan warga miskin dan pada daerah dimana peran
sektor swasta belum begitu baik. Realisasi anggaran dana kesehatan sebanyak
5% dari total APBN yang sedang diupayakan oleh Kementrian Kesehatan-pun
harus dibekali dengan perencanaan program kerja yang komprehensif, yang
salah satunya harus berfokus pada peningkatan kualitas, kuantitas dan
keterjangkauan palayanan kesehatan warga miskin.
Permasalahan SDM kesehatan juga merupakan tantangan yang harus
segera dijawab oleh pemerintah. Koordinator Program Manajemen World
Health Oraganization (WHO) Wilayah Asia Tenggara Dr. M Mucaherul Hug
pada keteranganya usai pembukaan Konferensi Aliansi Sumber Daya Manusia
(SDM) Kesehatan Se-Asia Pasifik di Sanur pada April 2010 menyatakan
bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dari 57 negara di dunia yang
masuk dalam kategori negara yang mengalami krisis tenaga kesehatan.
47
Menurut Mucaherul Hug, selain karena tidak meratanya distribusi, krisis
tenaga kesehatan di Indonesia juga disebabkan oleh rendahnya kompetensi
tenaga kesehatan Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah harus memberikan
perhatian lebih pada institusi pendidikan terkait, serta menyusun dan
menegaskan regulasi sebagai upaya menjawab permasalahan distribusi tenaga
kesehatan yang belum merata, terutama untuk daerah terpencil dan perbatasan.
Kesehatan adalah hal esensial yang dibutuhkan oleh manusia, dan
menjadi hak warga atas pemerintah. Dimanapun warga tersebut berada serta
bagaimanapun status sosial ekonominya, pelayanan kesehatan harus
diwujudkan dengan baik untuk menjawab tantangan-tantangan yang datang
pada bidang kesehatan. Sehingga diharapkan cita-cita untuk mencapai
indonesia yang lebih sehat dapat diwujudkan di tahun 2011.
3. Sumber-sumber Dana Jaminan Sosial
a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)7
Penyusunan
anggaran
pendapatan
negara
disusun
dengan
kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dankemampuan dalam
menghimpun pendapatan negara. Penyususnan rancangan anggaran
pendapatan belanja negara, berpedoman kepada rencana kerja pemerintah
dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara sesuai dengan
UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara. Anggaran Pendapatan
7
http://id.wikipedia.org/wiki/Anggaran_Pendapatan_dan_Belanja_Negara (Artikel ini diakses
pada 13 Mei 2011)
48
dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan
pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan
Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat
rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran
(1
Januari
-
31
Desember).
APBN,
Perubahan
APBN,
dan
Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan UndangUndang. Pemerintah mengajukan Rancangan APBN dalam bentuk RUU
tentang APBN kepada DPR. Setelah melalui pembahasan, DPR
menetapkan Undang-Undang tentang APBN selambat-lambatnya 2 bulan
sebelum tahun anggaran dilaksanakan.
Setelah APBN ditetapkan dengan Undang-Undang, pelaksanaan
APBN dituangkan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Berdasarkan
perkembangan, di tengah-tengah berjalannya tahun anggaran, APBN dapat
mengalami revisi/perubahan. Untuk melakukan revisi APBN, Pemerintah
harus
mengajukan
RUU
Perubahan
APBN
untuk
mendapatkan
persetujuan DPR.Perubahan APBN dilakukan paling lambat akhir Maret,
setelah pembahasan dengan Badan anggaran DPR. Dalam keadaan darurat
(misalnya
terjadi
bencana
alam),
Pemerintah
dapat
melakukan
pengeluaran yang belum tersedia anggarannya.
APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan
pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan
pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi,
49
meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabitas perekonomian, dan
menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. APBN
mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi,
dan stabilisasi. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran
yang menjadi kewajiban negara dalam suatu tahun anggaran harus
dimasukkan dalam APBN. Surplus penerimaan negara dapat digunakan
untuk membiayai pengeluaran negara tahun anggaran berikutnya:
1) Fungsi otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi
dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang
bersangkutan, Dengan demikian, pembelanjaan atau pendapatan dapat
dipertanggung jawabkan kepada rakyat.
2) Fungsi perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran negara dapat
menjadi pedoman bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada
tahun
tersebut.
Bila
suatu
pembelanjaan
telah
direncanakan
sebelumnya, maka negara dapat membuat rencana-rencana untuk
medukung pembelanjaan tersebut. Misalnya, telah direncanakan dan
dianggarkan akan membangun proyek pembangunan jalan dengan
nilai sekian miliar. Maka, pemerintah dapat mengambil tindakan untuk
mempersiapkan proyek tersebut agar bisa berjalan dengan lancar.
3) Fungsi pengawasan, berarti anggaran negara harus menjadi pedoman
untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara
sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian akan
50
mudah bagi rakyat untuk menilai apakah tindakan pemerintah
menggunakan uang negara untuk keperluan tertentu itu dibenarkan
atau tidak.
4) Fungsi alokasi, berarti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk
mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta
meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian.
5) Fungsi distribusi, berarti bahwa kebijakan anggaran negara harus
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
6) Fungsi stabilisasi, memiliki makna bahwa anggaran pemerintah
menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan
fundamental perekonomian.
Sementara berdasarkan aspek pengeluaran, prinsip penyusunan
APBN adalah:
1) Hemat, efesien, dan sesuai dengan kebutuhan.
2) Terarah, terkendali, sesuai dengan rencana program atau kegiatan.
3) Semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri
dengan memperhatikan kemampuan atau potensi nasional.
b. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD)
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah
rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui
oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan
Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai
51
dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Anggara
pendapatan belanja daerah (APBD) terdiri atas:
1) Anggaran pendapatan, terdiri atas:
a) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah,
retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan
penerimaan lain-lain.
b) Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana
Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus.
c) Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana
darurat.
2) Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan
tugas pemerintahan di daerah.
3) Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali
dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikut.
B. Perspektif Hukum Islam
1. Pranata Jaminan Sosial Dalam Hukum Islam
a. Wakaf
Secara bahasa, adalah al-habs (menahan). Kata al-waqf adalah
bentuk masdar dari ungkapan waqfu al-syai‟, yang berarti menahan
sesuatu. Imam Antarah, dalam syairnya, berkata: “untaku tertahan di suatu
tempat, seolah-olah dia tahu agar aku bisa berteduh di tempat itu”.
52
Dengan demikian, pengertian wakaf
secara bahasa, adalah
menyerahkan tanah kepada orang-orang miskin atau untuk orang-orang
miskin untuk ditahan. Diartikan demikian, karena barang milik itu
dipegang dan ditahan oleh orang lain. Seperti menahan hewan ternak,
tanah, dan segala sesuatu.
Sedangkan pengertian wakaf menurut istilah para ulama berbeda
pendapat tentang arti wakaf tersebut. Mereka mendefinisikan wakaf dengan
definisi yang beragam sesuai dengan perbedaan madzhab yang mereka
anut, baik dari segi kelaziman dan ketidaklazimannya. Menurut Mazhab
Syafi‟i yakni oleh Imam Nawawi mendefiniskan wakaf dengan “Menahan
harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya, sementara benda
itu tetap ada, dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan
diri kepada Allah”. Dan juga oleh Al-Syarbini Al-Khatib dan Ramli AlKabir, “Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga
keamanan benda tersebut dan memutuskan kepemilikan barang tersebut
dari pemilikinya untuk hal-hal yang diperbolehkan.8
Menurut Abu Hanifah yang mengartikan wakaf sebagai sadaqah
yang kedudukannya seperti „ariyah, yakni pinjam-meminjam. Perbedaan
antara wakaf dengan „ariyah ialah pada bendanya. Dalam „ariyah, benda
ditangan si peminjam sebagai pihak yang menggunakan dan mengambil
8
Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama dan
Terlengkap Tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf,
(Jakarta: IIMaN, 2003), h. 44-45
53
manfaat benda itubenda itu. Sedangkan “benda” dalam wakaf ada di tangan
si pemilik yang tidak menggunakan dan mengambil manfaat benda itu.
Dengan demikian, benda yang diwakafkan itu tetap menjadi milik wakif
sepenuhnya; hanya manfaatnya saja yang dishadaqahkan. Oleh karena itu
wakaf tidak mempunyai kepastian hukum dalam arti ghair lazim, kecuali
dalam 3 hal: “wakaf masjid, apabila hukum wakaf itu diputuskan oleh
hakim, apabila benda wakaf it diputuskan oleh hakim, apabila benda wakaf
itu dihubungkan dengan kematian si wakif yaitu wakaf wasiat”.
Dalam bahasa Arab, term wakaf kadang-kadang bermakna obyek
atau benda yang diwakafkan (al-mauquf‟alaih), atau tidak dipakai dalam
pengertian wakaf sebagai suatu institusi seperti yang dipakai dalam
perundang-undangan Mesir. Sementara di Indonesia, term wakaf dapat
bermakna sebagai obyek yang diwakafkan atau pun sebagai institusi.
Namun demikian, bila diperhatikan maka akan dijumpai bahwa term wakaf
di Indonesia lebih menonjol dalam pengertiannya sebagi obyek yang
diwakafkan.9
Sedangkan dalam Undang-undang No 41 tahun 2004 tentang wakaf
dalam Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa pengertian wakaf adalah
perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan
sebagaian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya untuk
9
Juhaya S. Praja, Perwakafan Di Indonesia Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan
Perkembangannya, (Bandung: Yayasan Piara, 1995), h. 6
54
jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan
ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah.
Dasar hukum wakaf terdapat pada Al-Quran maupun hadis. Dalil
yang secara umum mengandung makna wakaf adalah firma Allah sebagai
berikut:
              
 
Artinya: “Kamu Sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang
sempurna)sebelum kamu menapkahkan sebagian harta yang kamu
cintai”(QS.Ali-Imran:3/92)
b. Infaq
Berarti
mengeluakan
sebagaian
harta
untuk
kepentingan
kemanusiaan, sesuai dengan ajaran Islam. Dalam hal di dunia kenyataan
problema-problema hidup seperti kemiskinan dan keterlantaran, adalah
suatu kenyataan yang tidak dimungkiri adanya dan perlu diusahakan untuk
menghindarinya. Islam adalah agama yang secara serius berusaha
menanggulanginya. Usaha-usaha untuk itu antara laian ialah adanya
kemetian bagi oran yang kebetulan beruntung punya kelebihan harta untuk
membantu yang berkekurangan dan untuk membiayai kepantingankepentingan sosial lainnya demikian pula dengan hubungan tanggung
jawab keluarga, suami dan ayah berkewajiban menafkahi istri dan anaknya.
55
Sebaliknya seorang anak disatu waktu berkewajiban pula untuk menafkahi
ayah dan ibunya.
Pemakian istilah infak atau yang seakar dengannya di dalam alQuran mengandung pengertian yang bervariasi. Ada yang menunjukkan
kepada sedekah wajib yaitu zakat, seperti yang ditemui dalam surat alBaqarah ayat 267
            
            
       
Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah(di jalan Allah)
sebagian hasil dari usahamu yang baik-baik dan dari sebagian
apa yang kamu keluarkan dari bumi untu kamu.dan janganlah
kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu memanfaatkan
daripadanya,padahak kamu sendiri tidak mau mengambilnya
melainkan dengan memincingkan mata terhdapnya dan
ketahuilah bahwa Allah maha kaya lagi maha terpuji”(QS.AlBaqarah:2/267)
Dalam ayat ini dipakai kata anfiqu sebagai kata perintah dari kata
infaq, yang menurut mayoritas ahli tafsir menunjuk kepada kewajiban
zakat dengan kata infak. Kemudian kata infak atau yang seakar dengannya
terdapat dalam surat at-Talaq ayat 6 dan 7 adalah menunjuk nafkah wajib
atas seorang suami bagi anak istrinya.
Dengan variasinya tingkat pengertian infak dalam al-Quran dapat
dipahami bahwa istilah tersebut mengandung pengertian yang umum,
56
mencakup setiap aktivitas pengeluaran dana, baik berupa kewajiban seperti
zakat, maupun kewajiban menafkahi keluarga rumah tangga serta ayah ibu
disaat ia membutuhkan, dan juga menafkahkan sebagian hartanya untuk
kepentiangan sosial. Infak lebih terasa peranannya terutama pada
masyarakat yang tingkat kemiskinannya lebih tinggi, dan dengan
sendirinya pela kepentingan-kepentingan sosial lainnya akan sulit terpenuhi
tanpa ada uluran tangan dari yang punya harta.
Dalam masyarakat yang tingkat kemiskinannya tinggi kebutuhan
sosialnya banyak, zakat saja tidak cukup untuk menanggulangi
kesenjangan dan kebutuuhan tersebut. Di saat itu, dalam harta orang yang
kaya masih terdapat hak sosial yang harus dikeluarkan, yang diapahami
oleh Muhammad Abduh sebagai kewajiban mengeluarkan harta selain
kewajiban zakat. jika zakat merupakan salah satu rukun Islam, maka
mengeluarkan harta selain zakat adalah salah satu tiang sendi dari
kebaikan.10 Kewajiban membantu orang yang sedang dalam kesempitan dn
kebutuhan sosial lainnya, tidak terkait dengan nisab dan dengan waktu.
Bentuk pendermaan harta yang serupa itu populer dengan infak, seperti
dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 177
.... 
        ....
10
IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan Anggota
IKAPI, 1992), 425
57
Artinya: “... dan dia mendermakan harta yang dikasihinya kepada karib
kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin... (QS. alBaqarah: 2/177).
c. Sedekah
Sedekah adalah sebutan atau nama bagi sesuatu, terutama harta
benda yang diberikan kepada seseorang, lembaga atau badan yang berhak,
dengan tidak mengharapkan imbalan kecuali ridha Allah dalam rangka
mendekatkan diri kepada-Nya (taqarrub ila Allah).
Para ulama membedakan sedekah ke dalam dua macam: sadaqah
wajibah (sedekah wajib) dan sadaqah mandubah (sedekah sunnah).
Sedekah wajib ialah sedekah yang harus dilakukan oleh seseorang yang
telah memenuhi perseyaratan-persyaratan yang ditentukan syariat. Sedekah
inilah yang umum disebut dengan istilah zakat dalam rukum Islam yang
lima. Seperti dalam al-Quran dalam surat at-Taubah: 9 /103
           
      
Sedangkan yang dimaksud dengan sedekah mandubah yaitu
sedekah yang dianjurkan untuk melakukannya di setiap saat yang
memungkinkan tanpa haruss memenuhi syarat-syarat tertentu dan kadarkdar tententu sebagai yang terdapat dalam zakat (sedekah wajib).
Jika
kita
perhatikan
secara
seksama,
pengertian
sedekah
sesungguhnya memiliki ruang lingkup yang sangat luas yang tersimpulkan
58
bahwa dalam setiap aktivitas yang mengandung nilai positif
dalam
pandangan Islam dapat disebut dengan sedekah. Dan juga kesimpulan dari
sebagian ulama, setiap amal perbuatan yang menurut dalil-dalil syara dapat
dikategorikan ke dalam perbuatan baik, apakah itu belaku atau tidak dalam
adat kebiasaan dapat digolongkan ke dalam kriteria ma‟ruf di atas yang
berarti juga dapat disebut sebagai sedekah.11
2. Golongan-golongan Yang Berhak Mendapatkan Jaminan Sosial
Dalam Islam, jaminan sosial bagi masyarakat mendapatkan perhatian
yang sangat penting. Islam memerintahkan kepada umatnya untuk selalu
memenuhi kebutuhan dasar bagi setiap individu yang ada dalam sebuah
masyarakat. Sebaliknya Islam sangat mengecam orang yang tidak
mempedulikan nasib anak yatim dan orang miskin, bahkan Islam menganggap
mereka sebagi pendusta agama sebagaimana dalam firman Allah surat AlMa‟un: 1-3
          
    
Artinya:“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang
yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi
makan orang miskin” (QS. Al-Ma‟un: 173/1-3)
Kaitan antara jaminan sosial dalam agama islam terbentuk dari zakat.
Zakat adalah ibadah maaliyyah ijtima‟iyyah yang memiliki posisi sangat
11
Ibid, h. 848
59
penting, strategis, dan menentukan,12 baik dilihat dari sisi ajaran Islam
maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Zakat termasuk salah satu
rukun (rukun ketiga) dari rukun Islam yang lima, sebagaimana diungkap
dalam berbgai hadis nabi sehingga keberadaannya dianggap sebagai ma‟luum
minad-din bidh-dharuurah atau diketahui secara otomatis adanya dan
merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang.13
Di dalam Islam sebagai ajaran (al-Qur‟an) kita dapati ada dua perintah
yang selalu dikemukakan secara bergantian dengan; shalat dan zakat. Dua
perintah itu, dalam banyak ayat al-Qur‟an memperlihatkan dirinya sebagai
induk dari seluruh “jalan” keislaman itu sendiri. Dalam hadits Nabi saw kedua
perintah itu diletakkan sebagai rukun Islam segera setelah pengakuan terhadap
keesaan Tuhan. Baru setelah itu, rukun-rukun yang lainnya; puasa dan haji.14
Penggandengan kedua perintah tadi mengandung makna yang sangat
dalam. Perintah shalat, dimaksudkan untuk meneguhkan keislaman jati-diri
manusia sebagai hamba pada dimensi spiritualitasnya yang bersifat personal.
Sedangkan perintah zakat dimaksudkan untuk mengaktualisasikan keislaman
12
Yusuf al-Qardhawi, Al-Ibadah fil-Islam (Beirut: Muassalah Risalah, 1993), h. 235
13
Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung, 1994), h. 231
14
Persisnya hadits itu berbunyi: Buniyal islamu „ala khamsin; syahadatu alla ilaha illalloh
wa anna Muhammadar rasulullah wa iqamus shalah wa itauz zakat wa shaumu ramadlan wa hijjul
baiti man istatha‟a ilaihi sabila
60
jati-diri manusia pada dimensi etis dan moralitasnya yang terkait pada realitas
sosial sebagai khalifah.15
Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu
al-barakatu (keberkahan), al-namaa (pertumbuhan dan perkembangan), atthaharatu (kesucian), dan ash-shalahu (keberesan). Sedangkan menurut
istilah zakat adalah bagian dari harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim
yang memenuhi syarat kepada orang-orang tertentu, dengan syarat-syarat
tertentu pula. Harta yang dikeluarkan itu, akan membersihkan semua harta
yang dizakati, dan memelihara pertumbuhannya.16 Sebagaimana telah
dijelaskan dalam al-Qur‟an surat At-Taubah.
            
     
Artinya:”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu
membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa buat
mereka. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui” (QS.
At-Taubah: 9/103)
Quraisy Shihab menjelaskan bahwa ayat tersebut mengisyaratkan
bahwa kehidupan atau hubungan timbal-balik hendaknya didasarkan oleh take
15
Masdar F. Mas‟ud, Agama Keadilan Risalah Zakat Pajak Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1991), h. 34-35
16
Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI-Press, 1988),
cet ke-1, h. 26
61
and give. Memang, dalam kehidupan nyata, hal tersebut seyogyanya terjadi,
yaitu sebanyak anda menerima sebanyak itu pula hendaknya anda memberi.17
Dalam al-Qur‟an banyak dijumpai ajaran antara lain untuk menjamin
tingkat kualitas hidup minimum bagi seluruh masyarakat. Ajaran tersebut
antara lain adalah; manfaat sumber-sumber alam harus dapat dinikmati oleh
seluruh makhluk Allah, kehidupa fakir-miskin diperhatikan oleh masyarakat,
terutama oleh orang yang punya, kekayaan tidak boleh dinikmati dan hanya
berputar di antara orang-orang kaya saja, berbuat kebaikanlah kepada
masyarakat, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, jaminan sosial
harus diberikan sekurang-kurangnya pada mereka yang disebutkan dalam alQur‟an sebagai pihak-pihak yang berhak atas jaminan tersebut sebagaimana
dalam firman Allah dalam surat At-Taubah.
     
     
             
 
Artinya:”Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir,
orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang
dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang
berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam
perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan
Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 9/60)
17
Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol.5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1, h.667
62
Dalam hal ini penulis coba menguraikan beberapa golongan yang
berhak mendapatkan jaminan dalam konteks zakat:
a. Orang Fakir (al-Fuqara‟)
Adalah kelompok pertama yang menerima bagian dari zakat. Alfuqara adalah bentuk jama‟ dari kata al-faqir menurut madzhab Syafi‟i
dan Hanbali adalah orang yang tidak memiliki harta benda dan pekerjaan
yang mampu mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Dia tidak memiliki
suami, ayah-ibu, dan keturunan yang dapat membiayainya, baik untuk
membeli makanan, pakaian, maupun tempat tinggal.
Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud “fakir” adalah
orang yang memiliki harta tidak sampai nisab, atau ia memiliki nisab tidak
sempurna yang habis untuk kebutuhannya. Adapun orang yang
mempunyai harta sampai nisab apapun bentuknya yang dapat memenuhi
kebutuhan primer, maka orang tersebut tidak boleh diberikan zakat.
Alasannya bahwa orang yang mempunyai harta sampai nisab, maka ia
wajib zakat. Orang yang wajib mengeluarkan zakat berarti ia tidak wajib
menerima zakat.18
b. Orang Miskin (al-Masakin)
Kelompok ini merupakan kelompok kedua penerima zakat. orang
miskin adalah orang memiliki pekerjaan, tetapi penghasilannya tidak dapat
18
h. 150
Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, (Bogor: Pustaka Imam Syafi‟I, 2003),
63
dipakai untuk memenuhi hajat hidupnya. Seperti oarang yang memerlukan
sepuluh tetapi dia hanya mendapatkan delapan sehingga belum dianggap
laik dari segi makanan, pakaian, dan tempat tinggal.
Menurut madzhab Syafi‟i dann Hanbali memberikan pemahaman
bahwa orang fakir lebih sengsara dibandingkan dengan orang miskin ialah
bahwasannya Allah menyebut fakir terlebih dahulu karena Dia biasanya
menyebutkan sesuatu yang lebih penting, baru disusul yang berikutnya.
Allah swt berfirman,
 ...     
    
Artinya:“Adapun bahtera tu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang
bekerja di laut...”(QS. Al-Kahfi:18/79)
Dan juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu hurairah:
َ‫َوسَّلَم‬
Artinya: Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda: Bukan
yang bernama miskin itu, orang yang berkeliling minta-minta
pada orang sehingga tertolak dari sesuap dua suap, atau sebiji
dua biji kurma, tetapi orang miskin yaitu orang yang tidak ada
penghasilan yang mencukupinya, dan tidak diingati orang
untuk dishadaqahi, juga tidak berjalan meminta-minta kepada
orang (H.R. Bukhari, Muslim)
19
Shahih Muslim, Kitab Tentang Zakat, Bab Tentang Orang Yang Tidak Berkecukupan
Tetapi Tidak Minta-minta, (Surabaya: pt. Bina Ilmu, tth), no. 616, h. 319-320
64
c. Panitia Zakat (Al-„Amil)
Untuk amil zakat, tidak disyaratkan termasuk miskin. Karena amil
zakat mendapat bagian zakat dari disebabkan pekerjaannya, sebagaimana
dijelaskan dalam hadits:
Artinya:”Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang,
yaitu orang yang berperang di jalan Allah, atau amil zakat,
atau orang yang terlilit hutang, atau seseorang yang
membelinya dengan hartanya, atau orang yang memiliki
tetangga miskin kemudian memberikannya kepada orang yang
kaya.
Panitia zakat adalah orang-orang yang bekerja memungut pajak.
Panitia ini disyaratkan harus memiliki sifat kejujuran dan menguasai
hukum zakat. yang boleh dikategorikan sebagai panitia zakat ialah orang
yang ditugasi mengambil zakat sepersepuluh (al-„asyir); penulis (alkatib); pembagi zakat untuk mustahiqq-nya; penjaga harta yang
dikumpulkan
al-hasyir;
yaitu
orang-orang
yang
ditugasi
untuk
mengumpulkan pemilik harta kekayaan/orang-orang yang diwajibkan
mengeluarkan zakat; al-„arif (orang-orang yang ditugasi menaksir orang
yang telah memiliki kewajiban untuk zakat); penghitung binatang ternak;
tukang takar, tukang timbang, dan penggembala; dan setiap orang yang
menjadi panitia selain ahli hukum (Islam) atau al-qadhi, dan penguasa,
karena mereka tidak boleh mengambil dari bayt al-mal. Upah dikeluarkan
65
dan menimbang dilaksanakan pada saat harta itu hendak dikeluarkan
zakatnya. Adapun ongkos pembagiannya kepada penerima zakat
dibebankan kepada panitia (al-„amil).
d. Mu‟allaf
Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain orang-orang yang
lemah niatnya untuk memasuki Islam. Mereka diberi bagian dari zakat
agar niat mereka memasuki Islam menjadi kuat. Mereka terdiri dari atas
dua macam: Muslim dan Kafir.
Kelompok kafir terdiri atas dua bagian, yaitu orang-orang yang
diharapkan kebaikannya bisa muncul, dan orang-orang yang ditakuti
kejelekannya. Disebutkan bahwa Nabi pernah memberikan sesuatu kepada
orang kafir, untuk menundukkan hatinya agar mereka masuk Islam. Di
dalam kitab Shahih Muslim, disebutkan bahwa Nabi saw pernah memberi
Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, Uyaynah bin Hishn, alAqra‟ bin Habis, dan Abbas bin Mirdas. Setiap orang diberi seratus ekor
unta. Di samping itu, beliau pernah memberi „Alqamah bin „Allatsah harta
benda yang diperoleh dari rampasan perang Hunyn20
Para Ulama berselisih pendapat dalam memberikan bagian zakat
kepada mu‟allaf ketika mereka belum memeluk agama Islam.Mazdhab
Hanbali dan Maliki mengatakan, ”mereka diberi bagian agar tertarik
20
Wahbah Zuhayly, Zakat Kajian Berbagaii Mazhab, (Bandung: PT Remaja Rodakarya,
1995), cet ke-1, h. 283
66
kepada Islam,” karena sesungguhnya Nabi Saw pernah memberikan
kepada mu‟allaf yang muslim dan mu‟allaf dari kaum musyrik.
Di lain pihak, mazhab Hanafi dan Syafi‟i mengatkan, “pemberian
bagian zakat kepada orang kafir, pada masa awal Islam, bukanlah untuk
menundukkan mereka atau yang lain, tetapi karena pada masa itu umlah
kaum muslimin masih sedikit sedangkan jumlah musuh mereka sangat
banyak; dan Allah swt ingin memuliakan Islam dan kaum Muslimin, serta
untuk menunjukkan bahwa mereka tidak memerlukan zaman al-khulafa‟
al-Rasyidin, orang-orang kafir tidak lagi diberi bagian zakat. Umar r.a.
mengatakan, “kami tidak memberikan sesuatu agar orang mau masuk
Islam. Siapa yang mau, masuklah Islam, dan siapa yang tidak mau,
terserah kepadanya untuk menjadi orang kafir.”
e. Riqab (memerdekakan budak)
Para budak yang dimaksudkan di sini, menurut jumhur ulama,
ialah para budak muslim yang telah membuat perjanjian dengan tuannya
(al-Mukatabun)21 untuk dimerdekakan dan memiliki uang untuk
membayar uang tebusan atas diri mereka, meskipun mereka telah bekerja
keras dan membanting tulang mati-matian. Mereka tidak mungkin
melepaskan diri dari orang yang tidak mengingatkan kemerdekaannya
21
Al-Mukatab ialah budak yang dijanjikan oleh tuannya untuk dimerdekakan bila dia telah
membayar sejumlah uang. Membuat perjanjian seperti itu disunnatkan oleh Allah swt
67
kecuali telah membuat perjanjian. Jika ada seorang hamba yang dibeli,
uangnya tidak akan diberikan kepadanya melainkan kepada tuannya.
Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk membayar zakat kepada
para budak itu agar dapat mememrdekakan diri mereka. Selain itu,
ditegaskan pula dala firman Allah swt.
 ...        ...
Artinya:”...Berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang
dikaruniakannya kepadamu...” (QS. An-Nur: 24/33)
Ibnu Abbas menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah
hamba-hamba sahaya yang telah mendapat jaminan dari tuan mereka
untuk dimerdekakan.
Rasyid Ridha (mufasir dari mesir) dan Mahmud Syaltut (tokoh
fikih Mesir) mensinyalir, bahwa pengertian kat riqab dapat diahlikan
kepada kelompok atau bangsa yang hendak membebaskan diri mereka dari
penjajahan. Menurut Abd al-Sami‟ al-Mishry dalam kitabnya berjudul almuqawwimaat al-iqtishad al-islamy, menganalogikan budak dengan para
pekerja/karyawan/buruh dengan upah yang minimum, sehingga dengan
upah tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan dharuriyah (dasar).22
Mazhab Maliki mengatakan, “para budak itu hendaknya dibeli
dengan bagian zakat yang mereka terima sehingga mereka bisa merdeka
karena setiap kali kata perbudakan disebutkan dalam Al-Qrur‟an, ditempat
22
M. Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat (Jakarta: Kencana, 2006), h. 194-195
68
itu juga ada anjuran bahwa mereka hendaknya dimerdekakan. “Dan
membebaskan budak tidak akan terjadi kecuali pada hamba sahaya yang
betul-betul budak seperti yang disebutkan dalam ayat kafarat.
f. Gharim (Orang Yang Memiliki Utang)
Mereka adalah orang-orang yang memiliki utang, baik utang itu
untuk dirinya sendiri maupun bukan, baik utang itu dipergunakan untuk
hal-hal yang baik maupun untuk melakukan kemaksiatan. Jika utang itu
dilakukannya
untuk
kepentingannya
sendiri,
dia
tidak
berhak
memdapatkan bagian dari zakat kecuali dia adalah seorang yang dianggap
kafir. Tetapi, jika utang itu untuk kepentingan orang banyak yang berada
di bawah tanggung jawabnya, untuk menebus denda atau menghilangkan
barang orang lain, dia boleh diberi bagian zakat, meskipun sebenarnya dia
itu kaya, sebab ada sabda Rasulullah saw:
Artinya: “Zakat tidak boleh diberikan kepada orang kaya kecuali bila
ada salah satu dari lima sebab di bawah ini. Orang yang
berjuang dijalan Allah swt, panitia zakat, berutang, orang yang
menebus dirinya, orang yang mempunyai tetangga yang miskin
kemudian memberikannya kepada orang yang kaya.
Mazhab Hanafi mengatakan, “Orang yang berutang ialah orang
yang betul-betul memiliki hutang dan tidak memiliki apa-apa selain
utangnya itu”. Dan mazhab maliki mengatakan, “bahwa orang yang
69
berutang ialah orang yang benar-benar dililit orang sehingga dia tidak bisa
melunasi utangnya. Dan utang itu tidak ia pakai untuk melakukan maksiat,
seperti meminum khamar dan berjudi. Disamping itu, dia tidak bermaksud
bahwa dengan cara berhutang dia akan memperoleh bagian zakat.
g. Orang Yang Berjuang di jalan Allah (fi Sabilillah)
Yang termasuk dalam kelompok ini ialah para pejuang yang
berperang di jalan Allah yang tidak digaji oleh markas komando mereka
karena yang mereka lakukan hanya berperang. Allah swt berfirman,
          
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di
jalan Nya dalam barisan yang teratur...(QS. Ash-Shaf: 61/4)
Menurut jumhur ulama, orang-orang yang berperang di jalan Allah
diberi bagian zakat agar dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka,
meskipun mereka itu kaya karena sesungguhnya orang-orang yang
berperang itu untuk kepentingan orang banyak. Adapun orang-orang yang
digaji oleh markas komando mereka, tidak diberi bagian zakat sebab
mereka memiliki gaji tetap yang dapat dipakai untuk memenuhi segala
kebutuhan mereka, dan mereka tidak memerlukan bagian itu. Sebagian
ulama mazhab Syafi‟i dan Hanbali mengatakan, dana zakat tidak boleh
dibagikan kecuali kepada orang-orang yang berperang dan orang-orang
yang berjihad fakir. Pendapat itu didasarkan pada pertimbangan bahwa
orang kaya yang berperang itu sudah dapat mempersiapkan diri dan
70
menyiapkan perlengkapannya. Sedang orang fakir yang ikut berperang,
dibiayai negara. Akan tetapi pendapat itu tidak bisa menjadikan
fakir/miskin yang ikut berperang sebagai kelompok sasaran zakat yang
berdiri sendiri. Sebaliknya mereka sudah masuk dalam daftar orang-orang
fakir pada umumnya.23
h. Orang yang sedang dalam perjalanan
Yang dimaksud di sini adalah orang asing yang tidak dapat
kembali ke negerinya. Ia diberi zakat agar ia dapat melanjutkan perjalanan
ke negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi zakat kecuali bila
memenuhi syarat yakni; muslim dan bukan termasuk ahlul bait (keluarga
Nabi shallallahu „alaihi wa sallam), tidak memiliki harta pada saat itu
sebagai biaya untuk kembali ke negerinya walaupun di negerinya dia
adalah orang yang berkecukupan, safar yang dilakukan bukanlah safar
maksiat.
3. Jaminan Sosial Kesehatan
a. Prinsip Menjaga kesehatan24
1. Preventif
Organisasi
Kesehatan
Sedunia
(WHO)
mendefinisakan
kesehatan sebagai suatu keadaan hidup sejahtera badaniah, rohaniah
dan sosial; bukan hanya ketiadaan penyakit dan cacat. dan kesehatan
23
Muhammad Abu Zahrah, Zakat Dalam Perspektif Sosial¸ (Jakarta: PT Pustaka Firdaus,
1995), h. 160-161
24
Ahmad Syauqy Al-Fanjari, Pengarahan Islam Tentang Kesehatan, (Jakarta: al-Hidayah,
1990), cet 1, h. 74- 79
71
preventif didefinisikan sebagai ilmu yang memelihara pribadi dan
masyarakat untuk tetap berada dalam taraf kesehatan yang sebaikbaiknya.
Banyak orang mengira bahwa seseorang Muslim yang ideal
adalah manusia yang lamban dalam gerak dan tidak aktif, tidak
mampu begerak cepat, lari, memikiul beban, dan tidak mau memakai
pakaian olah raga. Tidak mau berolah raga dengan anggapan bahwa
olag raga adalah pekerjaan anak-anak dan remaja. Bahkan ada diantara
orang Islam sendiri yang menganggap bahwa olah raga adalah suatu
bentuk perbuatan mubadzir atau sia-sia yang melengahkan manusia
dari beribadah, atau mengurangkan penampilan atau pengahargaan
manusia, atau menjadikan mereka lengah dari ilmunya, syaratnya, atau
kemantapan beragamanya. Dan, diantara ayat-ayat al-Quran yang
mentolerir pembinaan tubuh, adalh firman Allah dalam surat alBaqarah : 247
            
 
          
            
         
Artinya:”Sesungguhnya Allah telah memilihnya untukmu dan
memperlengkapinya dengan kesempurnaan ilmu dan tubuh yang
72
perkasa. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang di
kehedaki-Nya.dan Allah Maha luas pemberian-nya dan Allah Maha
luar pemberia-nya lagi maha mengetahui”
Kesehatan memang pintng nilainya,sehat jasmani dan rohani
kwdua paktor yang memuuat kita disebut sebagai Manusia,satusatunya yang di karuniaiakal,sebagai media untuk berpikirb,mencerna
menganalisa dan banyak hal lain tenntunya.betapa pentingnya menjaga
kesehatan,dengan memiliki baban sehat,tentu aktifitas bisa berjalan
normal.Islam sebag agama yang syumul,juga berbicara juga tentang
arti penting kesehatan bagi tubuh kita.berapa dalil dari Al-Quran
danAs-Sunnah menjelaskan akan pentingnya menjaga kesehatan
tubuh,antara lain:
            
           
            
Artinya: “Maka barangsiapa diantara kamuada yang sakit atau dalam
perjalanan 9lalu ia berbuka ),Maka (Wajublah baginya berpuasa
sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain...”(QS.Al
Baqarah:184)
2. Makanan
Mengenai makanan dalam Islam, telah disebutkan bahwa Islam
tidak mencukupkan hanya dengan melarang makanan-makanan yang
merusak tubuh seperti bangkai, darah dan daging babi saja; tetapi
73
Islam juga memrintahkan untuk memakan makan yang diperlukan oleh
tubuh yang dalam al-Quran disebut baik yakni: daging atau makanan
yang berasal dari daging, baik dari daging binatang darat maupun
binatang laut, madu, susu, dan korma.
Sebagaimana dalam UU No. 40 Tahun 2004 terdapat beberapa
macam jaminan sosial yang salah satunya jaminan sosial kesehatan.
Sehat menurut WHO (World Health Organizaation), sehat adalah
“memperbaiki kondisi manusia, baik jasmani, rohani ataupun akal,
sosial dan bukan semata-mata memberantas penyakit.
Islam sejak dari awal sangat mementingkan hidup sehat melalui
tindakan
promotif-preventif-protektif.
Langkah
dimulai
dari
pembinaan terhadap manusia sebagai subjek sekaligus objek persoalan
kesehatan itu sendiri. Islam menanamkan nilai-nilai tauhid dan
manifestasi dari tauhid itu sendiri pada diri manusia. Nilai-nilai
tersebut mampu merubah persepsi-persepsi tentang kehidupan manusia
di dunia yang pada gilirannya tentu saja secara merubah perilaku
manusia. Dan perilaku yang diharapkan dari manusia yang bertauhid
adalah perilaku yang merupakan realisasinya dari ketaatan terhadap
perintah dan larangan Allah.
Kesehatan memang penting nilainya, sehat jasmani dan rohani,
kedua faktor yang membuat kita disebut sebagai manusia, satu-satunya
makhluk yang dikaruniai akal, sebagai media untuk berfikir, mencerna,
74
menganalisa dan banyak hal lain tentunya. Betapa pentingnya menjaga
kesehatan, dengan memiliki badan yang sehat, tentu aktivitas bisa
berjalan normal. Islam sebagai agama yang syumul, juga berbicara
tentang arti penting kesehatan bagi tubuh kita. Beberapa dalil dari Al
Qur‟an dan As-sunnah menjelaskan akan pentingnya menjaga
kesehatan tubuh, antara lain :
             
   
Artinya: “…Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau
dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya
berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari
yang lain…”. (QS. Al Baqarah : 184)
Ayat ini menunjukan adanya rukhsoh (dispensasi) bagi yang
sakit ketika melaksanakan ibadah puasa ramadhan, demikian juga
diperbolehkan berbuka puasa bagi musafir (orang yang sedang dalam
perjalanan). Karena adanya mani‟ (sesuatu yang mencegah) yakni sakit
dan safar.
Islam berbeda dengan agama lain yang datang sebelumnya.
Islam datang sebagai agama dan untuk kepentingan duniawi serta
ukhrawi secara simultan. Tidak sekedar sebatas jalur hubungan antara
hamba dengan Tuhan saja (vertikal), akan tetapi Islam adalah satuusatunya
agama
yang
menegakkan
daulat
dan
pemerintahan
(horizontal), yakni pemerintahan Rasulullah saw di Madinah.
75
Kemudian dari langit diturunkan wahyu secara menyeluruh untuk
mengatur undang-undang yang abadi.
“Kesehatan merupakan salah satu hak bagi tubuh manusia'' demikian
sabda Nabi Muhammad SAW. Karena kesehatan merupakan hak asasi
manusia, sesuatu yang sesuai dengan fitrah manusia, maka Islam menegaskan
perlunya istiqomah memantapkan dirinya dengan menegakkan agama Islam.
Satu-satunya
jalan
dengan
melaksanakan
perintah-perintah-Nya
dan
meninggalkan larangan-Nya. Allah berfirman:
           
  
Artinya:''Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
Tuhanmu dan penyembuh-penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang
berada) dalam dada dan petunjuk dan rahmat bagi orang-orangnya
yang beriman'' (QS:Yunus 57).
Empat faktor utama yang mempengaruhi kesehatan adalah lingkungan
(yang utama), perilaku, pelayanan kesehatan, dan genetik. Bila ditilik
semuanya tetaplah bemuara pada manusia. Faktor lingkungan (fisik, sosek,
biologi) yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap status kesehatan
tetap saja ditentukan oleh manusia. Manusialah yang paling memiliki
kemampuan untuk memperlakukan dan menata lingkungan hidup.
Masalah kesehatan banyak sekali disinggung dalam al-Qur‟an tentang
larangan memakan bangkai yang tercantum dalam firman Allah.
76
           
        
Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi,
(daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang
tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam
binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya,... (QS.
al-Maidah 5/3)
Dengan banyaknya ayat yang menyinggung tentang kesehatan, maka
agama Islam tidak hanya menjalin hubungan antara manusia dengan manusia
tapi menjaga juga hubungan manusia dengan Tuhannya. Dalam Islam manusia
diciptakan oleh Allah hanya untuk mennyembahnya, jadi telah jelas hidup kita
hanyalah untuk memperhambakan diri kita secara total kepada Allah, tidak
lain tidak bukan.25 Sesuai dengan yang dikatakan juga dalam surat Al-An‟am
162
         
Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan
matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.(QS. Al-An‟am
6/162)
Jika dikaitkan dengan orang yang paling mulia di sisi Allah adalah
orang yang bertaqwa. Salah satu perilaku taqwa ialah perilaku yang selalu
diwarnai oleh kepatuahan kepada segala perintah Nya dan menjauhi larangan
25
Ahmad Watik Pratikya, Abdul Salam M. Sofro, Islam Etika dan Kesehatan Sumbangan
Islam Dalam Menghadapi Problema Kesehatan Indonesia Tahun 2000-an, (Jakarta: CV. Rajawali,
1986), h. 162
77
Nya. Ini yang kita namakan diridhai oleh Allah, dan inilah hemat saya yang
dinamakan dengan sehat. Manusia kalau dia mengatakan dirinya seorang
muslim, dia tidak sholat maka dapat dikatakan dia sakit. Manusia yang
menamakan dirinya muslim tapi tidak berpuasa maka dapat juga dikatakan dia
sakit.
3. Pengobatan
“Kesehatan merupakan salah satu hak bagi tubuh Manusia Demikian
Sabda Nabi Muhammad SAW.Karena kesehatan merupakan hak sasasi
Manusia,sesuatu sesuai dengan fitrah Manusia,maka Islam menegaskan
perlunya istiqomah memanfaatkan dirinya dengan menegakan agama
Islam.Satu-satunya jalan dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan
meninggalkan larangan-Nya.Allah berpirman di dalam Surat Yunus Ayat 57
           
  
Artinya:”Hay Manusia,sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari
tuhanmu dan Penyembuh-penyembuh bagi Penyakit-penyakit (yang
berada)dalam dada dan petunjuk dan rahmat bagi Orang-orangnya yang
beriman”(QS:Yunus 57).
Islam dari awal sangat mementingkan hidup sehat melalui tidakan
promotif-preventif-protektif.lankah dimulai dari pembinaan terhadap manusia
sebagai Subjek sakaligus Objek persoalan kesehatan itu sendiri.Islam
menanamkan Tauhid dan manifestasi dari Tauhid itu sendiri pada diri
78
Manusia.Nilai-nilai
tersebut
mampumerubah
persepsi-persepsi
tentang
kehidupan Manusia di dunia yang pada giliranyan tentu saja secara merubah
perilaku manusia.dan perilaku yang diharapkan dari manusia yang bertauhid
adalah perilaku yang merupakan realisasinya dari ketataan terhadap perintah
dan larangan Allah.
Islam berbeda dengan agama lain yang datang sebelumnya.Islam
sebagai agama dan untuk kepentingan duniawi serta kepentingan ukhrawi
secara simultan.tidak sekedar sebatas jalur hubungan antara hamba dengan
tuhan saja(vertikal),akantetapi Islam adalah Satu-satunya agama yamg
menagakan daulat dan pemerintahan (horizontal),yakni pemerintah Rasulallah
Saw dimadinah.kemudian dari langit diturunkan wahyu secara menyeluruh
untuk mengatur Undang-undang yang abadi.
Empat faktor yang mempengaruhi kesehatan adalah lingkungan (yang
utama),perilaku,pelayanan
kesehatan,dan
genetik,bila
ditilik
semuanya
teteplah bermuara pada manusia.faktor lingkungan (fisik,soek,biologi)yang
mempunyai pengaruh paling besar terhadap setatus kesehatan tetap sja
ditentukan oleh manusia.manusialah yang paling memiliki kemampuan untuk
memperlakukan dan menata lingkungan hidup.
Dengan banyak ayat yang menyingung tentang kesehatan,maka agama
Islam tidak hanya menjalin hubungan antara manusia dengan manusia tapi
menjaga juga hubungan dengan Tuhanya.dalam Islam manusia diciptakan
oleh Allah hanya untuk menyembahnay,jadi telah jelas hidup kita hanyalah
79
untuk memperhambakan diri kita secara total kepada Allah,tidak lain tidak
bukan.26sesuai yang dikatakan juga dalam surat l-An‟am 162
         
Artinya: ”Katakanlah: sesungguhnya smbayangku,ibadahku,hidupku,dan
matiku hanyalah untukAllah,tuhan semesta alam(QS.AlAn‟am6/162)
Jika dikaitkan dengan orang yang paling mulia disisi Allah adalah
orang yang bertaqwa.salah satu perilaku orang yang bertaqwa adalah perilaku
yang selalu diwarnai oleh kepatuhan kepada segala perintah-Nya dan
menjauhi laranganNya.ini yang kita namakan diridhai oleh Allah,dan inilah
hemat saya yang dinamakan dengan sehat .manusia kalao dia mengatakan
dirinya seorang muslim,dia tidak sholat maka dapat dikatakan dia
sakit.manusia yang menamakan dirinya muslim tapi tidak berpuasa maka
dapat juga dikatakan dia sakit.
4. Sumber-sumber Dana Jaminan Sosial
Pada masa Rasulullah pengelolaan dana terhadap orang-orang yeng
membutuhkan dana tersebut dengan mendirikan baitulmal. Baitul mal
menurut Ali Fikri adalah tempat penyimpana dan penjagaan uang atau harta
yang mana harta tersebut merupakan bagian yang terlebih dari yang
dibutuhkan dan dikelola serta disalurkan oleh Daulah Islamiyah.27
26
Ahmad wati pratikya,Abdul Salam M.Sopro,Islam etika dan kesehatan sumbangan Islam
dalam menghadapi problema kesehatan Indonesia Tahun 2000-an,(Jakarta:CV.Rajawali,1986),h.162
27
Ali Fikri, Wawasan Islamdan Ekonomi Sebuah Bunga Rampai Umar Bin Khattab ra,
(Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 1998), h. 208
80
Sedangkan menurut Dr. Muhammad Rawwas Qal‟ahji definis
baitulmal adalah:
Artinya:“Baitulmal adalah sebuah departemen tempat penabungan
keuangan negara dari sanalah semua kebutuhan keuangan
negara dibelanjakan.28
Sumber dana diperoleh dari zakat, infak dan shadaqah atau sumber lain
yang halal, kemudian dana tersebut disalurkan pada yang berhak (mustahiq)
atau untuk kebaikan. Baitulmal juga didefinisikan sebagai lembaga keuangan
negara yang bertugas menerima, menyimpan dan mendistribusikan uang
negara sesuai dengan aturan-aturan syariat.29 Dan dana-dana tersebut berasal
dari:
a. Zakat
Secara bahasa zakat merupakan masdar dari kata “zaka” yang
mempunyai arti musytarak yaitu tumbuh, berkembang biak, subur, dan
bersih. Dinamakan zakat karena harta yang dizakati dimaksudkan untuk
mensucikan jiwa, harta, dan juga diharapkan kekayaannya semakin
berkembang.30 Sedangkan B. Wiwoho mengartikan zakat merupakan
28
Muhammad Rawwaa Qal‟ahji, Ensiklopedia Fiqh Umar bin Khattab ra, (Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada, 1999), h. 52
29
Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ihktiar Baru Van Hoeve,
1997), h. 186
30
Al Munwir, Kamus Al Munawir “Zakat”, (Yogyakarta: PP Al Munawir, 1984), h. 65
81
kadar harta tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya
dengan persyaratan tertentu yang diberikan kepada yang berhak
menerimanya denagn persyartant tertantu dan merupakan kewajiban
agama yang berhubungan dengan harta seseorang.31
Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
yang menyuruh mendahulukan pengeluaran zakat sebelum waktunya:
Artinya: “Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw telah menyuruh
orang-orang mengeluarkan zakat, tiba-tiba Nabi saw, diberi
tahu bahwa Ibnu Jamil dan Khalid al-Walid dan Abbas bin
Abdul Muthallib menolak (tidak mau mengeluarkan zakat), maka
Nabi saw, bersabda: Tidak ada alasan bagi Ibnu Jamil untuk
mengeluarkan kecuali karena ia merasa dahulunya miskin dan
telah diberi kekayaan oleh Allah, adapun Khalid maka kamu
aniaya padanya karena ia telah menshadaqahkan pakaian
perang dan perlengkapan-perlengkapannya fi sabilillah, adapun
al-Abbas bin Abdul Muthallib maka ia paman Rasulullah maka
ia tetap wajib padanya zakat dan sebanyak itu juga di samping
yang sudah dikeluarkan.
31
32
B. Wiwoho, Zakat dan Pajak, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1991), h. 69-70
Shahih Muslim, Kitab Tentang Zakat, Bab Tentang Orang Yang Tidak Berkecukupan
Tetapi Tidak Minta-minta, (Surabaya: pt. Bina Ilmu, tth), no. 616, h.
82
Zakat merupakan pendapatan penting untuk keuangan negara di
masa awal Islam. Zakat yang dikumpulkan berbentuk uang tunai (dinar
dan dirham), hasil pertanian dan ternak. Pada permulaan awal Islam zakat
ditarik dari seluruh sumber utama yaitu dari: peternakan, perdagangan,
kerajinan, pertanian dan perkebunan. Pendapatan dari perdagangan dan
kerajinan biasanya dalam bentuk uang tunai dan dapat dinilai dalam
bentuk dinar dan dirham. Mata uang ini merupakan unit moneter
perekonomian di masa awal Islam. Penarikan zakat dalam bentuk uang
menyebabkan munculnya penarikan terhadap zakat pendapatan yang
berasal dari kegiatan komersial seperti kerajinan tangan, sedangkan
pendapatan dari kegiatan pertanian lebih berbentuk barang, tidak dalam
uang tunai, yang berupa hasil pertanian itu sendiri.
b. Ghanimah
Ghanimah
secara
bahasa
berarti
rampasan
perang
suatu
kemenangan tanpa syarat.33 Sedangkan menurut istilah ghanimah
didefiniskan sebagai segala seseuatu yang dipeoleh dari orang kafir
melalui peperangan. Hal senada juga disampaian oleh Sayid Sabiq bahwa
ghanimah adalah harta benda yang diambil dari musush-musuh Islam
dengan alasan peperangan.34 Jadi ghanimah merupakan hara benda yang
33
Harun Nasution dan Mukti Ali, Ensiklopedia Hukum Islam di Indonesia “Ghanimah”,
(Jakarta: Depag RI, tth), h. 84
34
Sayid Sabiq, Fiqh Sunah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), h. 76
83
diperoleh umat Islam dari hasil peperangan dengan pihak non-muslim.
Harta ghanimah terbagi menjadi dua bagian yaitu harta yang bergerak
atau harta yang bisa dipindahkan dan harta yang tidak bisa bergerak
seperti tanah.
c. Fa‟i
Fa‟i yaitu harta yang dipeoleh kaum muslimin tanpa ada
peperangan dan secara bahasa adalah kembali sedangkan menurut istilah
adalah harta yang diperoleh kaum Muslimin dari orang-orang kafir tanpa
melalui peperangan, tanpa menyerbu derah-daerah orang kafir.35
d. Upeti (jizyah)
Jizyah yaitu sejumlah uang yang terpikul pada pundak oang yang
berada di bawah tanggungan kaum Muslimin dan melakkan perjanjian
dangan mereka dari Ahlu Kitab. Upeti adalah pajak kepala yang dipunguti
oleh pemerintah Islam dari golongan orang-orang non-muslim sebagai
imbalan bagi adanya jaminan keamanan kepada mereka. Golongan nonmuslim yang kehidupan dan harta bendanya terjamin disebut Ahlu alDjimah. Jizyah merupakan harta umum yang akan dibagikan untuk
kemaslahatan seluruh rakyat dan wajib diambil setelah melewati satu tahun
sebagai mana didasarkan pada QS. At-Taubah.
35
Abdul Mujid, et. Al., Kamus Istilah Fiqh “Baitul Mal”, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus,
1994), h. 36
84
           
          
      
Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan
tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak
mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya
dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah),
(yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka,
sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka
dalam keadaan tunduk.(QS. At-Taubah: 9/29)
Kewajiban membayar dikenakan pada seluruh kaum non-muslim,
dewasa, laki-laki, dan yang mampu untuk membayarnya, sedangkan
perempuan, anak-anak, dan orang tua dikecualikan. Jizyah bagi nonmuslim menduduki kedudukan yang sama dengan zakat bagi umat islam
di mana jizyahmerupakan sumber dana yang akan digunakan untuk
menjamin golongan dzimmi di negara Islam. Jadi sangat wajar dan adil
jika kewajiban-kewaiban yang harus dibayar oleh golongan dzimmi sama
dengan kewajiban kaum Muslimin, ketentuan ini diwajibkan untuk
keseimbangan anatara kewajiban-kewajiban dan menikmati hak-hak yang
diterimanya di negara Islam.
Hanya saja jika orang Islam kewajibannya membayar zakat
sedangkan kaum non-muslim kewajibnnya adalah membayar jizyah, oleh
karena itu tidak ada kewajiban zakat atas orang kafir dzimmi namun jika
85
orang kafir dzimmi masuk Islam maka membayar jizyah menjadi gugur
dan wajib zakat baginya karena tidak ada kewajiban (Jizyah dan zakat).36
mengenai jumlah jizyah yang harus dibayr adalah 48 dirham untuk
golongan kaya, 24 dirham untuk golongan menengah dan 12 dirham
untuk golongan miskin yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pandangan tersebu berdasarkan pada apa yang telah dilakukan oleh Umar
bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib serta sahabtnya
yang menerima cara yang dilakukan mereka dengan kata lain hal tersebut
didasarkan ijma.37
Mengenai strata golongan di atas tidak ada bukti sejarah yang
menjelaskan golongan kaya, golongan menengah dan miskin namun
dalam penafsiran Al Tahwi yang dikutip oleh Mannan menyatakan bahwa
golongan kaya adalah golongan yang memiliki 1000 dirham, golongan
menengah yang memiliki harta senilai 200 dirham dan golongan miskin
adalah golongan yang mempunyai harta kurang dari 200 dirham.
e. Kharaj
Kharaj adalah harta yang dikenakan pada tanah yang terutama
ditaklukkan oleh kekuatan senjata terlepas dari apakah si pemilik tanah
36
37
Zamudin Adnan, Politik Hukum Islam, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana,1994), h. 90
M. A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dhana Bhakti
Primayasa, 1997), h. 294
86
orang yang masih di bawah umur, orang dewasa, seorang budak atau
bebas, Muslim atau beriman.38
Kharaj pada mulanya adalah semacam ghanimah yang diperoleh
orang Islam melalui peperangan sebagaimana layaknya harta ghanimah,
berdasarkan surat al-Anfal ayat 41 adalah 4/5 bagian harus diberikan
kepada pasukan yang ikut berperang termasuk tanah (barang yang tidak
bergerak). Hal ini sudah berlaku pada masa Nabi Muhammad saw dan
Abu Bakar namun pada masa Umar bin Khattab beliau tidak berada
ditangan pemiliknya, semula dengan ketentuan mereka harus membagi
bagian tertantu setiap tahunnya. Hasil dari apa yang diserahkan oleh
pemilik harta tersebut digunakan untuk kepentingan umu
termasuk
kepentingan pasukan yang ikut berperangan dan inilah asal muasal
adanya kharaj.39
Kharaj dibedakan manjdi dua jenis yaitu kharaj proporsional dan
kharaj tetap, jenis pertama dikenakan scara proporsional sebagai bagian
dari total hasil pertanian misalkan 1/4, 1/5 dan sebagainya. Kharaj jenis
ini dipungut setiap kali panen sedangkan jenis kedua berupa pajak tetap
atas tanah yang dikenakan setahun sekali.40
38
Ibid. h. 250
39
B. Wiwoho, Zakat dan Pajak, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1991), h. 83
40
Ahari Thayib, Konsep Ekonoomi Ibnu Taimiyah, (Yogyakarta: PT Bina Ilmu, 1997), h. 252
87
Seorang
khalifah
boleh
memperkirakan
kharaj
dengan
memperhatikan hal-hal yang lebih layak dalam tiga aspek:
1) Mutu tanah yang bisa menghasilkan panen besar atau cacat yang
menyebabkan hasil panen kecil.
2) Berhubungan dengan jenis panen karena padi-padian dan buah-buahan
berbeda harganya oleh karena itu harus ditaksir sesuai dengan hal
tersebut.
3) Mengenai cara irigasi karena panen yang dihasilkan dengan sistem
irigasi air yang dipikul hewan dan yang diperoleh dengan kincir angin
tidak dapat dikenakan kharaj yang sama dengan yang dihasilkan dari
tanah yang diairi oleh air yang mengalir atau air hujan.
Selama kualitas tanah tetap sama dengan cara irigasi dan
keuntungannya maka kharajnya tidak bertambah atau berkurang. Jika
berkurangnya hasil panen karena ulah mereka sendiri misalnya mereka
merusak saluran airnya atau mereka tidak memanfaatkan sumur yang ada
maka pungutan kharaj mereka tidak dikurangi sedikit pun. Mereka
diperintahkan mempebaiki alat-alat yang telah mereka rusak. Apabila
bertambah dan berkurangnya hasil panen karena ulah negara misalnya
negara menggali sumur mereka untuk atau tidak memperbaiki sumur dan
saluran-salurannya maka negara harus mengurangi pungutan kharaj. Jika
hasil panen berkurang karena faktor alam misalnya ada bencana alam
yang bisa merobohkan pepohonan atau hanyut karena banjir maka
88
kharajnya ditetapkan atas tanah tadi menurut kadar kandungannya
sehingga penduduk setempat tidak dizhalimi.41
f. Bea Cukai
Bea cukai adalah pungutan yang diambil negara Islam dari para
pedagang baik itu kafir harbi, kafir dzimmi maupun pedagang Muslim
yang melintasi daerah Islam. Dalam hal ini Abu Yusuf berkata dalam
kitab al-kharaj, telah memerintahkan Hasyim bin Sulaiman kepada ku
dari Hasan berkata: Abu Musa al-Asy‟ari menulis surat kepada Umar bin
Khattab bahwa pedagang Islam sebelum datang ke wilayah orang kafir
harbi, mereka memungut 1/10 dari harta umat Islam maka Umar bin
Khattab menulis kepada Musa: “Ambillah dari pedagang kafir
sebagaiman mereka mengambil dari pedagang Islam. Ambillah 1/20 dari
pedagang ahli dzimmi dan ambillah dari umat Islam setiap tahun 40
dirham, 1 dirham. Jika mencapai 40 dirham maka ambilah 5 dirham
selebihnya diperkirakan.42
Atas penjelasan ini pemerintah Islam memberlakukan bea cukai
sejak periode Umar bin Khattab. Bea cukai barang-barang impor dan
ekspor sebesar 10% bagi kafir harbi karena mereka memberlakukan hal
yang sama bagi pedagang Muslim namun jika mereka tidak menarik bea
41
M. A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dhana Bhakti
Primayasa, 1997), h. 251
42
Ibid.
89
cukai terhadap pedagang Muslim maka mereka dibebaskan dari pungutan
tersebut. Untuk pedagang dzimmi mereka dikenakan pungutan sebesar
2/5%. Perbedaan punguutan antara kafir dzimmi dan pedagang Muslim
karena
pada
kenyataan
pedagang
kafir
dzimmi
lebih
banyak
membutuhkan perlindungan dibandingkan pedagang Muslim dari
sergapan para perampok.43
43
Mansurudin Djoely, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar bin Khattab, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1997), h. 138-139
BAB IV
PERBANDINGAN ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM
A. Relasi Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Jaminan Sosial
Politik merupakan bagian terpenting dalam hubungan antara negara dan
masyarakat. Politik menentukan bagaimana hubungan antara negara dan
masyarakat dirumuskan, dan selanjutnya diselenggarakan untuk memenuhi
tujuan-tujuan dari hubungan itu sendiri. Jika negara merupakan perwujudan dari
kehendak masyarakat untuk hidup bersama agar kepentingan-kepentingan
masing-masing anggota masyarakat dapat terpenuhi secara maksimum, maka
negara sebenarnya merupakan alat atau sarana bagi masyarakat untuk memenuhi
kepentingan mereka. Negara, karena itu, harus tunduk pada kedaulatan
masyarakat. Tetapi, pada saat Negara terbentuk, kontrol masyarakat terhadapnya
akan dengan sangat mudah terlepas atau bahkan hilang. Negara pada akhirnya
dapat
menjadi
suatu
institusi
besar
yang
bekerja
untuk
memenuhi
kepentingannya sendiri. Politik dapat dan memang seharusnya berfungsi untuk
mencegah negara menjadi sewenang-wenang terhadap masyarakat, dan
mengarahkannya
untuk
semata-mata
melayani
kepentingan-kepentingan
masyarakat. Dalam kaitan itulah, politik sebenarnya membawa makna
menciptakan keadilan bagi masyarakat. Politik mengarahkan negara untuk
membuka peluang dan memberikan fasilitas yang sama bagi seluruh anggota
90
91
masyarakat dalam mengejar pemenuhan kepentingan-kepentingan diri sebagai
pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial.1
Perlindungan kepentingan menurut al-Shatibi, merupakan inti dari
kemaslahatan (maslaha)2. Syari‟ah amat berkaitan dengan tujuan memberikan
perlindungan kemaslahatan baik dalam kerangka positif menjaga kemaslahatan
itu sendiri maupun preventif untuk menghindari terganggunya kemaslahatan
tersebut. Al-Shaitibi menyimpulkan bahwa syari‟ah dimaksudkan untuk
melindungi kemaslahatan manusia yang utama (primary goods), yaitu agama,
jiwa, reproduksi, harta, dan akal budi.3
Menurut Louis Ma‟luf, secara etimologis term ”maslahah” berasal dari
akat kata salaha – yasluhu – salahan – salahiyah, yang artinya, sesuatu yang
mendorong kepada kebaikan atau kelayakan; atau bisa juga diartikan sebagai
sesuatu yang mendorong bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang
bermanfaat bagi dirinya dan bagi kelompoknya.4 Ahmad Warson Munawwir,
mengartikan kata “maslahah” sebagai faedah, kepentingan, kemanfaatan,
1
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT), Keadilan Sosial: Upaya Mencari
Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), Cet ke-1, h. 34
2
Kemaslahatan berasal dari kata maslahah kata benda dari salaha (atau saluha) yang berarti
mempebaiki atau meningkatkan. Maslahah juga senada dengan kata manfa‟a, yang berarti utility
(kegunaan atau manfaat)
3
CSRC UIN Jakarta, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi Tentang Wakaf dalam
Perspektif Sosial di Indonesia, (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006), Cet ke-1, h. 15
4
Louis Ma‟luf, Kamus Munjid, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 528
92
kemaslahatan.5 Dari sudut pandang ilmu sharaf (morfologi), kata “masalahah”
satu wazan (pola) dan makna dengan kata “manfa‟ah”. Kedua kata ini
“maslahah” dan “manfa‟ah” telah di Indonesiakan menjadi maslahat dan
manfaat”.6
Abdul Manan juga menambahkan, maslahat itu adalah sesuatu yang
dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan
menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan
syara‟ dalam menetapkan hukum.7
Menurut hemat penulis, dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas
dapat disimpulkan bahwa maslahat atau kemaslahatan, yaitu sesuatu yang dapat
mendatangkan kebaikan, kesejahteraan, ketentraman dan menolak yang dapat
mendatangkan kerugian, keburukan, atau kerusakan sejalan dengan baik menurut
manusia dan baik pula menurut sang pencipta.
Begitu pula dalam politik itu sendiri, yang merupakan bagian terpenting
dalam hubungan antara negara dan masyarakat. Politik dapat dan memang
seharusnya berfungsi untuk mencegah negara menjadi sewenang-wenang
terhadap masyarakat, dan mengarahkannya untuk semata-mata melayani
kepentingan-kepentingan masyarakat. Dalam kaitan itulah, politik sebenarnya
5
Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia. (Yogyakarta: Unit
Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan, 1984), h. 884
6
7
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: UIN Press, 2006), h. 101
Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Ed. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
2006), h. 263
93
membawa makna menciptakan keadilan bagi masyarakat. Politik mengarahkan
negara untuk membuka peluang dan memberikan fasilitas yang sama bagi
seluruh
anggota
masyarakat
dalam
mengejar
pemenuhan
kepentingan-
kepentingan diri sebagai pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial.
Pembangunan sosial ekonomi sebagai salah satu pelaksanaan kebijakan
pembangunan nasional telah menghasilkan banyak kemajuan, di antaranya telah
meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan tersebut harus dapat dinikmati
secara berkelanjutan, adil, dan merata menjangkau seluruh rakyat, sebagai mana
tertuang dalam konsideran Undang-undang No. 40 tahun 2004. Jaminan sosial
sebagai payung hukum terhadap kesejahteraan masyarakat memiliki dasar yang
kuat, yakni Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 (2) yakni, “Negara
mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan
masyarakat
yang
lemah
dan
tidak
mampu
sesuai
dengan
martabat
kemanusiaan”.8
Dalam Pancasila yakni, sila ke 5 yang berbunyi ”Keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia” mempunyai beberapa makna yang memang harus
dilaksanakan seperti: Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti
dinamis dan meningkat, seluruh kekayaan alam dan sebagainya dipergunakan
bagi kebahagiaan bersama menurut potensi masing-masing. Namun, dalam
kenyataannya masalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia berbanding
terbalik dengan apa yang dicita-citakan dalam Pancasila tersebut.
8
Wiku Adisasmito, Sistem Kesehatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 101
94
Pada hakekatnya keadilan adalah kata sifat yang artinya adalah sifat yang
adil, tidak berat sebelah. Sifat ini merupakan salah satu sifat manusia. Di pihak
lain keadilan sebagai suatu konsep mengindikasikan adanya rasa keadilan dalam
perlakuan (justice or fair treatment). Memperlakukan orang lain merupakan
suatu pernyataan nilai (value statementalue statement) tentang bagaimana
selayaknya orang diperlakukan; ia merujuk kepada hubungan antara manusia.
Dengan demikian, tiap orang mempunyai hak untuk diperlakukan secara adil,
suatu hak yang merupakan hak asasi manusia.
Namun dalam kehidupan sosial masyarakat pengertian keadilan baik
sebagai sifat tentang bagaimana selayaknya orang diperlakukan; ia merujuk
kepada hubungan antara manusia. Dengan demikian, tiap orang mempunyai hak
untuk diperlakukan secara adil, suatu hak yang merupakan hak asasi manusia.
Namun dalam kehidupan sosial masyarakat pengertian keadilan baik sebagai sifat
orang per orang maupun sebagai konsep sangat sulit untuk diuraikan apalagi
dilaksanakan.
Jaminan sosial yang tertuang dalam Undang-undang Sistem Jaminan Sosial
Nasional (SJSN) Tahun 2004 yang menginginkan masyarakat yang adil dan
sejahtera seluruhnya, yang di dalamnya ada beberapa jaminan sosial yang di
bahas yakni;
1. Jaminan Kesehatan
Dalam jaminan kesehatan ini, masalah kesehatan yang merupakan
kehendak semua pihak, tidak hanya oleh orang per orang, tetapi juga oleh
95
keluarga, kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Dalam jaminan kesehatan
ini dijaminkan dalam bentuk asuransi sosial dan prinsip ekuitas9. Asuransi
yang dimaksud disini ialah adanya perjanjian antara dua belah pihak yang
satunya berkewjiban membayar iuran dan yang satunya memberikan jaminan
sepenuhnya kepada si pembayar iuran apabila terjadi sesuatu hal yang
menimpa pihak pertama. Sehingga si pembayar iuran tersebut memiliki dan
memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam
memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Dalam hal ini anggota keluarganya pun
berhak menerima jaminan kesehatan dan juga mengikutsertakan atau
menambahkan anggota dari keluarganya tetapi dengan penambahan
pembayaran iurannya.10
Jaminan ini akan tetap berlaku jika peserta atau orang tersebut masih
tetap aktif bekerja namun, jaminan ini hanya berlaku paling lama 6 (enam)
bulan sejak peserta tersebut mengalami pemutusan hubungan kerja. Begitu
juga jika dalam bekerja ia mengalami kecelakaan sehingga mengakibatkan
cacat total dan ia tidak mampu membayarnya karena cacatnya tersebut, dan
dalam jangka 6 (enam) bulan setelahnya peserta tidak memperoleh pekerjaan
baru pembayaran iuran dibayarkan oleh pemerintah.11 Untuk semua peserta
9
Ekuitas di sini adalah kepemilikan dalam bentuk nilai uang, Lihat pada Kamus Besar Bahasa
Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Edisi ke-3, h. 292
10
Lihat Pasal 19 ayat 1, 2, 3 Jaminan Kesehatan, Dalam Undang-undang No 40 Tahun 2004
Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
11
Lihat Pasal 21 ayat 1, 2, 3
96
diberikan pelayanan kesehatan yang mencakup peningkatan kualitas
kesehatan atau hidup, pencegahan dari segala sesuatu, dan menyembuhkan
dari sakit tersebut hingga pemulihan dari sakit tersebut sehingga peserta
tersebut dapat bekerja sebagai mana mestinya.
Dalam masalah hal pemenuhan kebutuhan seperti fasilitas kesehatan
badan penyelanggara jaminan sosial12 seperti Persero Jaminan Sosial Tenaga
Kerja (JAMSOSTEK), Dana tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri
(TASPEN), Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia
(ASABRI), Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) dapat bekerja sama
dengan pemerintah maupun pihak swasta, juga dapat bekerja sama dengan
pihak selain itu atau tidak bekerja sama degan Badan Penyelanggara Jaminan
Sosial, dan jika peserta diharuskan rawat inap maka, diberikan kelasa yang
diberikan untuk rawat inap di rumah sakit yakni kelas standar.
Adanya kerja sama antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan
pemilik fasilitas kesehatan di daerah sebagai wujud pemenuhan kesehatan
bagi peserta yang nantinya akan harus dapat memberikan pelayanan yang
memadai, seperti sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan,
sistem pembayaran pelayanan, dan juga akan meningkatkan efisiensi dan
efektivitas dari pelayan tersebut.13 Begitu juga dengan masalah harga obatobatan yang dipakai dan bahan medis habis pakai dijamin oleh BJPS.
12
Lihat pasal 23 ayat 1, 2, 3
13
Lihat pasal 24 ayat 3
97
Besarnya iuran jaminan kesehatan yang ditanggung atau dibayarkan yang
secara bertahap dibayarkan oleh pekeja dan pemberi kerja yang berdasarkan
persentase dari upah sampai batas tertentu.
2. Jaminan Kecelakaan Kerja
Jaminan
ini
sama
dalam
dengan
jaminan
kesehatan
yang
diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial yang mekanisme
pengumpulan dananya bersifat wajib yang berasal dari iuran yang berguna
memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta
dan/atau anggota keluarganya. Dalam pemenuhan pelayanan kesehatan dalam
hal ini sama dengan jaminan kesehatan di atas namun, adanya pemberian
berupa uang tunai kepada peserta yang telah membayar iuran wajib jika ia
mengalami cacat total atau bahkan meninggal dunia.
Dan pemberian uang tunai tersebut disesuaikan dengan tingkat
kecacatan yang dialami olehnya. Dan adanya biaya lebih atau tambahan yang
dikenakan kepada majikan atau pemberi kerja jika adanya jenis-jenis
pelayanan tertentu atau kecelakaan tertentu.14 Sedangkan pelayanan kesehatan
sama halnya dengan jaminan kesehatan di atas, yakni adanya kerja sama
antara BJPS dengan fasilitas pemerintah dan swasta bahkan juga dapat
diberikan pada fasilitas yang tidak menjalin kerja sama jika hal tersebut dalam
keadaan darurat. Dan jika peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit,
kelas perawatan yang diberikan kelas standar. Sedangkan mengenai besarnya
14
Lihat pasal 33 ayat 1, 2, 3
98
manfaat uang tunai, hak ahli waris, kompensasi dan pelayanan medis diatur
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Dan yang membedakan dengan
jaminan kesehatan besarnya iuran jaminan kecelakaan kerja adalah persentase
tertentu dari upah atau penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja.15
3. Jaminan Hari Tua
Jaminan hari tua ini diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi
sosial dan juga tabungan wajib yang merupakan simpanan yang bersifat wajib
bagi peserta program jaminan sosial, yang nantinya menjamin bagi pesertanya
mendapatkan uang tunai apabila ia memasuki masa pensiun, mengalami cacat
total tetap, atau bahkan meninggal dunia. Pembayaran manfaat jaminan hari
tua dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan
mencapai minimal 10 (sepuluh) tahun. Apabila peserta meninggal dunia, ahli
warisnya yang sah berhak menerima manfaat jaminan hari tua, sedangkan
untuk pembayaran iuran jaminan hari tua ini untuk perusahaan sebesar 3,7%
dan ditanggung oleh tenaga kerja sebesar 2%.
4. Jaminan Pensiun
Sama
halnya
dengan
jaminan
hari
tua
jaminan
pensiun
diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan
tabungan
wajib
yang
diambil
dari
peserta.
Diberikannya
untuk
mempertahankan derjat kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan
atau berkurangnya penghasilan nkarena memasuki usia pensiun atau
15
Lihat pasal 34 ayat 1
99
mengalami cacat total. Dalam jaminan pensiun ini berwujud uang tunai yang
diterima sebagai:16
a. Pensiun hari tua, diterima setelah pensiun sampai meninggal dunia
b. Pensiun cacat, diterima peserta yang cacat akibat kecelakaan atau akibat
penyakit sampai meninggal dunia
c. Pensiun janda/duda, diterima janda/duda ahli waris peserta sampai
meninggal dunia atau menikah lagi
d. Pensiun anak, diterima anak ahli waris peserta sampai mencapai 23 (dua
puluh tiga) tahun, bekerja, atau menikah lagi; atau
e. Pensiun orang tua, diterima orang tua ahli waris peserta lajang sampai
batas waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pembayaran uang pensiun dilakukan secara berkala setiap bulan yang
diberikan kepada peserta atau ahli waris setelah memenuhi masa iuran
minimal 15 (lima belas) tahun.
5. Jaminan Kematian
Jaminan kematian ini diselenggarakan prinsip asuransi sosial, dan juga
diselenggarakan dengan tujuan untuk memberikan santunan kematian yang
dibayarkan kepada ahli waris pesrta yang meninggal dunia yang bertujuan
memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi
anggota keluarganya atau ahli warisnya. Pembayaran uang tunai yang
16
Lihat Pasal 41 ayat 1 Tentang Jaminan Pensiun dalam Undang-undang No 40 Tahun 2004
Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional
100
diberikan kepada ahli waris yang dibayarkan paling lambat 3 (tiga) hari kerja
setelah klaim diterima dan disetujui oleh Badan Penyelanggara Jaminan Sosial
(BJPS).17
Besarnya iuran jaminan kematian ditanggung oleh pemberi kerja18
yang dalam hal ini adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau
badan-badan lainnya yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar
gaji, upah atau imbalan dalam bentuk lainnya. Besarnya iuran jaminan kematian
bagi peserta penerima upah ditentukan berdasarkan persentase dari upah atau
penghasilan dan besarnya iuran jaminan kematian bagi peserta bukan penerima
upah dientukan berdasarkan jumlah nominal tertentu yang dibayar oleh peserta.
Namun, jika lihat kebijakan kesejahteraan mempunyai banyak arti apalagi
jika kita lihat pemberian jaminan di atas ada yang menyatakan kebijakan ini
merupakan bentuk bantuan bagi orang-orang yang mendapat perlakuan tidak
adil. Ada yang mengatakan kebijakan kesejahteraan ini sebagai tindakan tidak
adil yang membebani para pekerja keras dalam membayar pajak. Ada yang
melihat kebijakan ini sebagai kewajiban para “majikan” (Lord‟s work). Ada juga
yang menganggapnya sebagai kebijakan yang sia-sia, mengelabui, dan dapat
disalahgunakan. Namun, ada juga yang menganggap kebijakan tersebut sebaga
usaha untuk menyelamatkan anak-anak dan membantu mereka samapai mandiri.
Ada yang melihat kebijakan ini harus diperuntukkan juga bagi semua orang yang
17
Lihat Pasal 45 ayat 1 tentang Jaminan Kematian dalam Undang-undang No 40 Tahun 2004
Tentang Jaminan Sosial Nasional
18
Lihat Pasal 46 ayat 1
101
kurang mampu. Begitu juga ada pula yang setuju kalau tunjangan kesejateraan
diberikan hanya kepada yang berhak. Sementara itu, ada kelompok yang
menganggap bahwa orang kayalah yang sebenarnya diuntungkan oleh kebijakan
ini, sedangkan masyarakat miskin hanya mendapatkan sisanya saja. Kelompok
terakhir berpendapat bahwa kebijakan pemberian santunan pendapatan ini
merupakan kebijakan yang merugikan negara.19
Sedangkan dalam Islam, jaminan sosial bagi masyarakat mendapatkan
perhatian yang sangat penting. Di mana Islam memerintahkan kepada umatnya
untuk selalu memenuhi kebutuhan dasar bagi setiap individu yang ada dalam
sebuah masyarakat. Sistem jaminan sosial dalam Islam tidak hanya terbatas
kepada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang bersifat fisik saja seperti
makanan dan tempat tinggal namun juga yang bersifat non-fisik seperti
pendidikan dan spiritualitas. Dalam hal ini ada lima kebutuhan dasar masyarakat
yang harus terpenuhi yang dikenal dengan istilah al-dharūriyyāt al-khams (lima
kebutuhan primer). Kelima kebutuhan primer tersebut adalah agama atau
spiritualitas (al-dīn), jiwa (al-nafs), keturunan (al-nasl), harta (al-māl), dan akal
atau intelektualitas (al-aql).
Mewujudkan kemaslahatan menurut Imam As-Syaithibi, kemaslahatan itu
ada tiga kategori:20
19
Michael Sherraden, Aset Untuk Orang Miskin Perspektif Baru Usaha Pengentasan
Kemiskinan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), Ed. 1, h.11-12
20
Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta:
Lantabora Press, 2005), Cet ke-5, h. 4-5
102
1. Kemaslahatan yang dlaruriyaat, yakni kemaslahatan yang menentukan
kesejahteraan hidup secara mendasar, baik hidup di akhirat maupun hidup di
dunia, jadi bersifat primer.
2. Kemaslahatan hajiyaat, yakni kemaslahatan yang diperlukan dalam kehidupan
individu
maupun
masyarakat,
misalnya
kesehatan
dan
pendidikan.
kemaslahatan hajiyaat secara umum bersifat sekunder di bawah dlaruriyaat.
Meskipun demikian, masalah yang masuk dlaruriyaat atau hajiyaat dapat
berubah dalam tingkat kehidupan dan peradaban manusia yang terus
berkembang. Musngkin sesuatu masalah yang sekarang masih bersifat
hajiyaat, dalam beberapa waktu mendatang menjadi dlaruriyaat.
3. Kemaslahatan yang tahsiniyaat, yang merupakan faktor penyempurna dan
memperindah terhadap kemaaslahatan-kemaslahatan terdahulu, bersifat
tertier, tidak mengakibatkan dampak yang fatal seandainya belum terwujud
atau tidak terwujud.
Menurut Imam Ghazali, ada lima hal yang merupakan masalah dlaruriyaat
dalam hidup manusia ini, yaitu:
a. Agama (ad-din)
b. Jiwa (an-nafs)
c. Akal (al-aql)
d. Harta (al-maal)
e. Keturunan (an-nasl)
103
Ada dua bentuk sistem jaminan sosial yang berkenaan dengan pemenuhan
kelima kebutuhan primer di atas. Pertama, dengan cara menyediakan segala
sarana
yang
mampu
menjaga
serta
memelihara
keberadaan
serta
keberlangsungan kelima hal tersebut bagi masyarakat (min nahiyyah al-wujūd).
Sebagai contoh pemenuhan kebutuhan primer yang berupa spiritualitas adalah
dengan menyediakan sarana atau tempat ibadah bagi masyarakat. Sedangkan
pemenuhan kebutuhan primer yang berupa intelektualitas adalah dengan
menyediakan sistem pendidikan yang berkualitas dan murah bagi masyarakat.
Kedua, mencegah segala sesuatu yang mampu menyebabkan hilang atau tiadanya
kelima hal tersebut dari masyarakat (min nahiyyah al-„adam). Sebagai contoh
jaminan kebutuhan primer yang berupa jiwa atau nyawa adalah dengan
menghilangkan biaya-biaya pengobatan yang mahal bagi masyarakat miskin.
Karena dengan adanya biaya mahal yang tidak bisa dijangkau oleh masyarakat
miskin tersebut, masyarakat miskin tidak akan terjamin kesehatannya atau
bahkan nyawanya.21
Dalam al-Qur‟an, masalah jaminan sosial yang tertuang dalam surat AnNahl: 71
             
           
21
http://tafsir-ekonomi.blogspot.com/2011/01/islam-dan-jaminan-sosial.html (Artikel ini
diakses pada 11 Mei 2011)
104
Artinya: “Dan Allah melebihkan, sebagian kamu dari sebagian yang lain, dalam
hal rizki, tetapi orang-orang yang dilebihkan, rizkinya, itu tidak mau,
memberikan kepada budak-budak yang dimilikinya, agar mereka sama
merasakan, mengapa mereka mengingkari nikmat Allah”. (QS. AnNahl: 71).
Dalam Islam, jaminan sosial tidak hanya dibebankan kepada negara
semata. Sebaliknya Islam mengkombinasikan antara peran pemerintah dan
swasta dalam hal ini masyarakat secara keseluruhan dalam penyediaan jaminan
sosial. Dalam hal ini pemerintah di antaranya mengalokasikan dana zakat untuk
menyediakan bahan makan serta kebutuhan dasar lainnya bagi orang yang berhak
mendapatkannya (mustahiqq).
Islam sebagai ajaran yang memuat nilai-nilai normatif, begitu bagusnya
dalam memandang dan menempatkan martabat dan harkat manusia, baik sebagai
individu maupaun anggota sosial. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:22
1. Konsep kesamaan (as-sawiyah), yang memandang manusia pada dasarnya
sama derajatnya. Terjadinya stratifikasi sosial maupun kejenjangan lainnnya
itu terbentuk karena proses lain. Satu-satunya pembedaan kualitatif dalam
pandangan
Islam
adalah
ketaqwaan.
Konsep
ini
secara
sosiologis
membongkar pandangan foedalisme, baik feodalisme religius, feodalisme
kapitalis atau feodalisme aristokratis.
2. Konsep keadilan (al-adalah), yang membongkar budaya nepotisme dan sikapsikap korup, baik dalam politik, ekonomi, hukum, hak dan kewajiban, bahkan
22
Muhammad Tholhah Hasan, Islam Dalam Pespektif Sosio Kultur, (Jakarta: Lantabora
Press, 2005), Cet ke- 3, h. 142-147.
105
dalam praktek-praktek keagamaan. Sebagaimana firman Allah dalam surat alMaidah: 8
    
       
               

   
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orangorang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi
saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap
sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku
adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah
kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang
kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah 5/8)
Bahkan sikap adil ini lebih diprioritaskan dari pada al-Ihsan, seperti
tercantum dalam surat an-Nahl : 90

           
      
Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat
kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari
perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi
pengajaran kepada kaum agar kamu dapat mengambil pelajaran.
(QS. An-Nahl 16/90)
3. Konsep kebebasan/kemerdekaan (al-hurriyah), yang memandang semua
manusia pada hakekatnya hanya hamba Tuhan saja, sama sekali bukan hamba
sesama manusia.
106
Berakar dari konsep ini, maka manusia dalam pandangan Islam mempunyai
kemerdekaan dalam memilih profesi, dalam memilih wilayah hidup, bahkan
dalam menentukan pilihan agama pun tidak dapat dipaksa seperti tercantum
dalam surat al-Baqarah : 256
              
            
Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya
telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Karena itu
barang siapa yang ingkar kepada Thaghu (apa saja yang disembah
selain dari Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya
ia telah berpegang kepada buhul (tali yang amat kuat yang tidak
akan putus). Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui”
(QS. Al-Baqarah 2/256)
Dan juga terdapat pada surat Yunus: 99
             
  
Artinya: “Dan jikalau Tuhan mu menghendaki, tentulah beriman semua
orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak)
memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang
beriman semuanya. (QS. Yunus 10/99)
Sedangkan jaminan sosial yang berasal dari masyarakat berupa kewajiban
bagi setiap anggota masyarakat untuk menolong anggota masyarakat lainnya
yang sangat membutuhkan serta mengecam orang yang bersikap individualis
yang tidak menghiraukan keadaan orang lain. Dan dalam sistem jaminan sosial
anggaran yang digunakan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia ialah berasal
107
dari Anggaran Pendapatan belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan
Belanja daerah (APBD) yang dalam penyusunannya tertuang dalam Undangundang No. 17 tahun 2003. Jadi antara hukum Islam dan hukum positif saling
berkaitan dalam pemenuhan jaminan sosial yang merupakan sebuah hak yang
paling dasar bagi warga negara tanpa terkecuali atau ada diskriminasi dalam
pemenuhan hak tersebut.
Namun secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa warga masyarakat di
sini merasakan adanya needs atau kebutuhan (akan pendidikan, ekonomi, dan
kesehatan), equality atau kesamaan, sehingga terbentuklah cita-cita yang ingin
mensejahterakan seluruh masyarakat.
B. Kontribusi Hukum Islam terhadap Hukum Positip Tentang Jaminan
Sosial
Tidak dipungkiri oleh kita semua termasuk umat Islam. Bahwa al-Qur‟an
dan hadits dijadikan sebuah rujukan dalam pembuatan sebuah produk perundangundangan, baik undang-undang maupun perda meskipun herarki pembuatan
perundang-undangan masih mengacu kepada Undang-Undang Dasar 1945, tapi
tidak menutup kemungkinan al-Qur‟an dan hadits tetap digunakan sebagai
rujukan. Dalam undang-undang sistem jaminan sosial nasional ini, penulis coba
memberikan beberapa penilaian tentang kontribusi hukum Islam terhadap UU
No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN).
108
Meningkatkan
pendapatan
negara
dalam
rangka
mensukseskan
pembangunan nasional, pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat pada
umumnya adalah hal yang penting. Dalam Islam zakat dapat dimasukkan dalam
bagian penerimaan negara yang dapat dipergunakan untuk membiayai
pembangunan dalam pos-pos pendayagunaan yang memang sejalan dengan
pesan syari‟at, ia akan merupakan sumber dana yang potensial bagi suksesnya
pembangunan sosial.23
Sesuai dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, adalah melindungi
segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia dan untuk
memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut
melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan dan keadilan sosial, sinkatnya
untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur
yang merata, materiil, dan spirituil berdasarkan Pancasila.24
Dalam masalah kesejahteraan, sebagaimana yang dialami oleh Indonesia
yang merupakan negara yang berkembang mengalami banyak masalah. Seperti,
tentang masalah kemiskinan yang berujung dengan kurngnya kesejahteraan
masyarakatnya. Dalam hal ini ada beberapa peran agama dalam proses
pembangunan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang juga
menanggulangi masalah kemiskinan. Diantara peran agama dalam pembangunan,
23
Sjechul Hadi Permono, Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional
Persamaan dan Perbedaannya Dengan Pajak, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), h. 1
24
Ibid, h. 10
109
menurut Mukti Ali adalah sebagai: faktor motivatif, kreatif, sublimatif, dan
integratif.25 Dalam masalah kemiskinan tampak permasalahannya sangat
komplek, karena dalam kenyataannya kemiskinan merupakan perwujudan dari
hasil interaksi yang melibatkan hampir semua aspek yang dipunyai manusia
dalam kehidupan.
Islam memiliki perbedaan yang nyata dengan agama-agama lain di muka
bumi ini. Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya mengatur hubungan
manusia dengan Sang Khalik-nya dan alam syurga, namun Islam memiliki aturan
dan tuntunan yang bersifat komprehensif, harmonis, jelas dan logis.26
Dalam masalah kesejahteraan yang dikemukakan oleh Imam Al-Syathibi
(Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa Al-Syathibi, wafat 790 Hijriah), seorang pemikir
Islam yang memelopori lahirnya ilmu maqaashid al-syarii'ah (tujuan-tujuan
syariah) melalui karya monumentalnya, Al-Muwafaqaat, menjelaskan bahwa
tujuan utama syariah Islam adalah meningkatkan kesejahteraan manusia. Syariah,
menurut Al-Syathibi, adalah sesuatu yang berimplikasi pada kebaikan, seperti
kejujuran, keadilan, keterbukaan, toleransi, dan kasih sayang, sebagaimana
bahwa tujuan utama syariah itu ialah untuk menciptakan kesejahteraan manusia.
Dan juga dalam konsediran UU No.40 Tahun 2004 angka 1 telah disebutkan
bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan
25
Ahmad Sanusi, Agama diTengah Kemiskinan Refleksi Atas Pendangan Islam dan Kristen
Dalam Perspektif Kerjasama Antar Umat Beragama, (Jakarta: PT LOGOS Wacana Ilmu, 1999), Cet
ke-1, h. 49
26
http://bondanserbaneka.blogspot.com/2007/01/kesehatan-menurut-pandangan-islam.html
(Artikel ini diakses pada 12 Mei 2011)
110
dasar hidup yang layak, dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya
masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur.
Dalam Islam zakat yang digunakan sebagai salah satu sarana untuk
mensejahterkna seluruh masyarakat diberikan kepada yang berhak untuk
mendapatkannya yakni disebut dengan “mustahaqquz zakah” atau ”asnaf”, yaitu
kategori (golongan) yang berhak mendapatkan atau menerima zakat: FakirMiskin, Al-„Amilin, Al-Muallahh Qulubuhum,Ar-Riqab, Al-Gharimin, Sabilillah,
Ibnus-Sabil.27
1. Tolong-menolong
Masyarakat Islam adalah masyarakat yang dibangun dengan semangat
bersaudara, penuh toleransi antara satu dengan yang lain. Mereka diajari agar
hidup saling tolong menolong antara satu dengan yang lain. Tolong menolong
yang dalam Islam disebut dengan ta‟awun. Kenyataan membuktikan, bahwa
suatu pekerjaan atau apa saja yang membutuhkan pihak lain, pasti tidak akan
dapat dilakukan sendirian oleh seseorang meski dia memiliki kemampuan dan
pengetahuan tentang hal itu. Dan ini menunjukkan, bahwa tolong-menolong
dan saling membantu adalah keharusan dalah hidup manusia, seperti
membantu atau memperhatikan nasib saudaranya yang kurang beruntung.
Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al- Maidah: 2
27
Lili Bariadi, Muhammad Zen, M. Hudri, Zakat dan Wirausaha, (Jakarta: Centre for
Enterpreneurship Development, 2005), h. 11
111
               ...
   
Artinya: “Dan hendaklah kamu bertolong tolongan untuk membuat kebajikan
dan bertakwa dan janganlah kamu bertolong-tolongan pada
melakukan dosa (maksiat) dan pemusuhan atau bencana
kerusakan” (QS. al-Maidah ;2)
Dengan ta‟wun tersebut diharapkan dapat meringankan saudara kita
yang kurang mampu sehingga dapat tercukupi segala kebutuhannya dan
membuatnya menjadi sejahtera.
2. Kafalah (Penjaminan)
Masalah jaminan dalam Islam dapat diartikan dengan kafalah,
sedangkan kafalah sendiri menurut bahasa adalah al-dhaman (jaminan),
hamalah (beban), zama‟ah (tanggungan). Secara terminologi, sebagaimana
yang dinyatakan para ulama fikih selain Hanafi, bahwa kafalah adalah,
"menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang.” Definisi
lain adalah, "jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak
ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (mukful
„anhu ashil)” Di dalam Kamus Istilah Fikih, kafalah diartikan menanggung
atau penanggungan terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian
dari seseorang di mana padanya ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang
lain, dan berserikat bersama orang lain itu dalam hal tanggung jawab terhadap
hak tersebut dalam menghadapi penagih (utang). Dasar hukum tentang kafalah
dalam al-Qur‟an yakni dalam surat Yusuf : 66
112
             
           
Artinya: ”dia (Yakub) berkata, “aku tidak akan melepaskannya (pergi)
bersama kamu, sebelum kamu bersumpah kepadaku atas (nama)
Allah, bahwa kamu pati akan membawanya kepadaku kembali,
kecuali jika kamu dikepung Musuh,” setelah mereka mengucapkan
sumpah, dia (yakub) berkata, “ Allah adalah saksi terhadap apa
yang kita ucapkan.” (QS. Yusuf 12/66)
Pada asalnya, kafalah adalah padanan dari dhamman, yang berarti
penjaminan sebagaimana tersebut di atas. Namun dalam perkembangannya,
situasi telah rnengubah pengertian ini. Kafalah identik dengan kafalah alwajhi (personal guarantee, jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan
jaminan yang berbentuk harta secara mutlak. Dari beberapa definisi di atas,
dapat disimpulkan bahwa kafalah adalah jaminan dari penjamin (pihak
ketiga), baik berupa jaminan diri maupun harta kepada pihak kedua
sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban pihak kedua tersebut kepada
pihak lain (pihak pertama). Konsep ini agak berbeda dengan konsep rahn yang
juga bermakna barang jaminan, namun barang jaminannya dari orang yang
berhutang. Ulama madzhab fikih membolehkan kedua jenis kafalah tersebut,
baik diri maupun barang.28
28
http://www.faqihregas.co.cc/2010/05/makalah-tentang-kafalah.html (Artikel ini diakses
pada 20 Mei 2011)
113
3. Takaful
Secara bahasa, takaful (‫ )تكافم‬berasal dari akar kata ( ‫ )ل ف ك‬yang
artinya menolong, memberi nafkah dan mengambil alih perkara seseorang.
Kata
(‫تكافم‬
)
merupakan
bentuk
mashdar
(infinitf)
dari
kata
:
َ‫تَكَا ُفالً – يَتَكَافَمُ – تَكَافَم‬
Istilah kata ( ‫ )ثكا فم‬ini merupakan istilah yang relatif baru, jika dilihat
tidak satupun ayat-ayat Al-Qur'an menggunakan istilah takaful ini. Bahkan
dalam hadits pun, juga tidak dijumpai kata yang menggunakan istilah takaful
ini. Namun secara sistem keukhuwahan, takaful sudah diterapkan sejak zaman
Rasulullah SAW dan para sahabatnya melalui ukhuwah dalam kehidupan
bermasyarakat di Madinah pada waktu itu. Dalam Al-Qur‟an tidak dijumpai
satu ayatpun yang secara tersurat menggunakan kata takaful. Demikian juga
dalam hadits. Namun demikian, terdapat sejumlah kata (delapan kata dalam
delapan ayat) yang menggunakan kata yang seakar dengan kata takaful, yaitu
dari kata( ‫)كفم‬. Kata-kata yang berakar dari kata ( ‫ )كفم‬tersebut, secara umum
keseluruhannya mengarah pada makna : “Memelihara dan Memikul”. Ayat alQur‟an yang sesuai dengan pengertian di atas yakni surat al-Maidah: 2
               ...
   
Artinya: “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan,
dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan
permusuhan” (QS. Al-Maidah :2)
114
Sedangkan penyebutan akar kata dari takaful dalam al-Qur‟an ada
beberapa ayat yang menyebutkan
a. Dalam al-Qur‟an surat Ali-Imran 3/37
     
   
   
             
            
Artinya: “Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan
penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan
yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya.
setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia
dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam
dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam
menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah
memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa
hisab”. (QS. Ali-Imran 3/37)
Dalam ayat di atas, kata kafala bermakna “memelihara”. Dan
“memelihara” memiliki makna yang lebih mendalam dibandingkan
dengan sekedar menjaga. Karena memilihara memiliki unsur adanya “rasa
menyayangi”, sebagaimana orang tua memilihara anak kandungnya.
Dengan demikian, maka 'takaful' adalah saling menjaga dan memelihara
antara sesama muslim dengan landasan saling sayang menyayangi
diantara mereka.
b. Dalam al-Qur‟an surat Ali-Imran 3/44
        
115
Artinya: “(sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (turunan) dari
yang lain. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui.
(QS. Qli-Imran 3/44)
c. Dalam al-Qur‟an surat An-Nisa 4/85
         
   
           
Artinya:“Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia
akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. dan
barangsiapa memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan
memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa
atas segala sesuatu. (QS. An-Nisa 4/85)
d. Dalam al-Qur‟an Al-Qashas 28/12
          
     
Artinya:
“Dan kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuanperempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu; Maka
berkatalah saudara Musa: "Maukah kamu Aku tunjukkan
kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan
mereka dapat berlaku baik kepadanya?". (QS. Al-Qashas
28/12)
e. Dalam al-Qur‟an Shad 38/23
          
  
   
 
Artinya: “Sesungguhnya saudaraku Ini mempunyai sembilan puluh
sembilan ekor kambing betina dan Aku mempunyai seekor saja.
Maka dia berkata: "Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan
dia mengalahkan Aku dalam perdebatan".(QS. Shad 38/23)
116
f. Dalam al-Qur‟an surat An-Nahl 16/91
          
          

Artinya: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji
dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu,
sesudah meneguhkannya, sedang kamu Telah menjadikan Allah
sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu).
Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS.
An-Nahl 16/91)
g. Dalam al-Qur‟an surat Thaha 20/40
 ...         
Artinya: “(yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia
Berkata kepada (keluarga Fir'aun): "Bolehkah saya
menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya”(QS.
Thaha 20/40)
h. Dalam al-Qur‟an surat Al-Hadid 57/28
          
            
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul),
bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya,
niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian,
dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu
dapat berjalan dan dia mengampuni kamu. dan Allah Maha
Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hadid 57/28)
117
Zakat mengadung hikmah dan manfaat yang demikian besar dan mulia,
baik yang berkaitan dengan orang yang berzakat (muzakki), penerimanya
(mustahik), harta yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat
keseluruhan. Hikmah dan manfaat tersebut antara lain tersimpul sebagai
berikut:29
1. Sebagai perwujudan keimanan kepada Allah mensyukuri nikmat-Nya,
menumbuhkan akhlak mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi,
menghilangkan sifat kikir, rakus dan materialistis, menumbuhkan
ketenangan hidup, sekaligus membersihkan dan mengembangkan harta
yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalm surat Ibrahim: 7.
          
 
Artinya: “Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan:
Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah
(nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari nimat-Ku,
maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim:
14/7)
2. Karena zakat merupakan hak mustahik, maka zakat berfungsi untuk
menolong, membantu dan membina mereka terutama fakir miskin, ke arah
kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat
memenuhi kebutuhan hidup yang layak, dapat beribadah kepada Allah,
terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki
29
9-15
Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h.
118
dan hasad. Sehingga memberikan kecukupan dan kesejahteraan kepada
mereka, dengan cara menghilangkan ataupun memperkecil penyebab
kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita.
3. Sebagai pilar amal bersama (jama‟i) antara orang-orang kaya yang
berkecukupan hidupnya dan para mujahid yang seluruh waktunya
digunakan untuk berjihad di jalan Allah, yang karena kesibukannya
tersebut ia tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk berusaha dan
berikhtiar bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya. Disamping
sebagai pilar amal bersama, zakat merupakan salah satu bentuk konkret
dari jaminan sosial yang disyariatkan oleh ajaran Islam. Melalui zakat,
kehidupan orang-orang fakir, miskin, dan orang-orang menderita lainnya,
akan terperhatikan dengan baik.
4. Sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun
prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana ibadah,
pendidikan, kesehatan, sosial maupun ekonomi, sekaligus sarana
pembangunan kualitas sumberdaya manusia muslim.
5. Untuk memasyaratkan etika bisnis yang benar, sebab zakat itu bukanlah
membersihkan harta yang kotor, akan tetapi mengeluarkan bagian hak
orang lain dari harta kita yang kita usahakan dengan baik dan benar.
6. Dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu
instrument pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola dengan
119
baik, dimungkinkan membanguna pertumbuhan ekonomi sekaligus
pemerataan pendapatan, economic with quality.30
Pemberian jaminan kesejahteraan diberikan oleh Allah untuk semua
makhluknya, sebagaimana firman Allah di atas. Meskipun tidak secara
gamblang menjelaskannya Allah menyuruh kita saling tolong-menolong
dalam perbuatan baik dan ketaqwaan, bukan sebaliknya. Dengan tolongmenolong dapat memberikan efek positif kepada kita dan orang lain, seperti
kepada orang yang kurang mampu karena dalam hadits pun Nabi Muhammad
saw menyebutkan bahwa orang-orang mukmin seperti bangunan yang
sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Jadi, pemberian jaminan sosial
kepada seluruh warga Negara diharapkan dapat mensejahterakan dan
memberikan sebuah pemeliharaan bagi mereka terlebih orang yang sangat
membutuhkannya, malah bukan sebaliknya.
30
Ahmad Muflih Saefuddin, Pengelolaan Zakat ditinjau Dari Aspek Ekonomi, (Bontang:
Dakwah Islamiyyah, 1986), h. 99
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dalam penjelasan yang tertuang dalam bab-bab terdahulu permasalahan
yang diangkat dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa
kesimpulan dalam bab ini:
1. Dalam agama Islam, yang merupakan agama yang rahmatan lil alamin sangat
menjunjung tinggi pemenuhan kebutuhan bagi setiap warganya. Dengan
pemenuhan dan pemberian jaminan kepada seluruh warga diharapkan dapat
mensejahterakan mereka semua. Firman Allah dalam al-Qur’an surat AtTaubah ayat 103 ” Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat
itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk
mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa buat mereka.
Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui”. Telah jelas dengan kita
mngeluarkan zakat yang dengannya kita juga bisa mensejahterakan mereka
juga bisa menyucikan harta yang telah kita peroleh sehingga hubungan antara
manusia dengan manusia terjaga begitu juga hubungan manusia dengan Tuhan
juga terpelihara.
2. Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara sebagaimana
tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2. Secara universal jaminan sosial
dijamin oleh Pasal 22 dan 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh
120
121
PBB (1948), dimana Indonesia ikut menandatanganinya. Kesadaran tentang
pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang, seperti terbaca
pada Perubahan UUD 45 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara
mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat….”.
Jadi adanya kesamaan perepsi tentang pemberian jaminan ini kepada seluruh
masyarakat antara hukum Islam dan hukum Positif yakni; mensejahterakan
seluruh warga negara dan juga dalam pelaksanaannya tanpa ada diskriminasi
sedikitpun termasuk orang yang tidak mampu.
3. Islam sebagai ajaran yang memuat nilai-nilai normatif, begitu bagusnya dalam
memandang dan menempatkan martabat dan harkat manusia, baik sebagai
individu maupaun anggota sosial. Dan dengan itu coba diterapkan dalam UU
No. 40 Tahun 2004 yang hal ini dapat diuraikan sebagai berikut; adanya
Ta’awun (tolong-menolong), Kafalah, dan Takaful yang kesemuanya
mengandung konsep kesamaan (as-istiwa), konsep keadilan (al-adalah), dan
konsep kebebasan/kemerdekaan (al-hurriyah).
B. Saran-saran
Beranjak dari kesimpulan di atas kiranya penulis memberikan saran-saran
dengan poin-poin di bawah ini:
1. Kepada pemerintah maupun isntansi yang terkait dalam pemberian jaminan
ini, untuk lebih meningkatkan kualitas baik dari segi pelayanan maupun dalam
segi pemberian jaminan ini yang diharapkan dengan begitu seluruh orang
122
yang memerlukan atau yang menggunakannya dalam terpenuhi segalanya
terlebih dengan kesehatan yang lebih utama bagi masyarakat yang kurang
mampu. Dan diharapkan tidak adanya diskriminasi dalam pemberian jaminan
sosial ini, karena jika dilihat dari beberapa pasal yang tercantum di dalamnya
lebih banyak pemberian jaminan sosial baik dari jaminan sosial kesehatan
maupun yang lain diberikan kepada anggota Pegawai Negeri Sipil ataupun
Aggota ABRI dan keluarganya.
2. Sedangkan kepada civitas akademika diharapkan penelitian ini dijadikan
sebuah wawasan keilmuan bagi peneliti setelahnya yang ingin meneliti sebuah
penelitian dengan bahasan yang sama.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Qur’an al-karim.
Abid Abdullah Al-khabisi,Muhammad,Hukum wakaf kajian Kontenporer pertama
dan terlengkap tentang pungsi dan pengelolaah wakaf serta penyelesaian Atas
sengketa Wakaf,(Jakarta:IIMaN,2003
Al-Fanjari,Ahmad sauqy, Politi Hukum Islam,(Jakarta:Raja Grafindo Persada,2007).
Adisasmito, Wiku, Sistem Kesehatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007).
Adnan, Zamudin, Politik Hukum Islam, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana,1994).
Al Munwir, Kamus Al Munawir “Zakat”, (Yogyakarta: PP Al Munawir, 1984).
Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: UIN Press, 2006).
Asyhadie, Zaeni, Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007).
Azis Dahlan, Abdul (ed), Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ihktiar Baru Van
Hoeve, 1997).
Bogdan Robert, dan Steven J. Taylor, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. alih
bahasa-Arif Furchan Cet- 1. Usaha Nasional. Surabaya- Indonesia: 1992.
Consuelo, G. Sevilla, at. all, Pengantar Metode Penelitian. Universitas Indonesia
(UI- PRESS). Jakarta: 2006.
CSRC UIN Jakarta, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusian: Studi Tentang Wakaf
dalam Persepektif Sosial di Indonesia, (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006),
Cet Ke-1.
Daud, Ali Muhammad, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI-Press,
1988), cet ke-1.
Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid III Juz 7-8-9, Yogyakarta: PT.
Dana Bhakti Prima Yasa, 1990.
Djoely, Mansuruddin, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar bin Khattab, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1997).
123
124
Fikri, Ali, Wawasan Islamdan Ekonomi Sebuah Bunga Rampai Umar Bin Khattab ra,
(Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 1998).
Hadi Permono, Sjechul, Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan
Nasional Persamaan dan Perbedaannya Dengan Pajak, (Jakarta: Pustaka
Firdaus, 1992)
Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1990).
Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani
Press, 2002).
Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993).
J Lexy, Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. Cet, ke- 18. Remaja Rosda Karya.
Bandung: 2004.
Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1966).
Lili Bariadi, Muhammad Zen, M. Hudri, Zakat dan Wirausaha¸(Jakarta: Centre for
Enterpreneurship Development, 2005).
Ma’luf, Louis, Kamus Munjid, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1977).
Mahmud, Peter Marzuki, Penelitian Hukum. Cet, ke- 4. Kencana Media Group.
Jakarta: 2008.
Mannan, M. A., Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dhana Bhakti
Primayasa, 1997).
Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo
Persada, 2006).
Mas’ud, F. Masdar, Agama Keadilan Risalah Zakat Pajak Dalam Islam, (Jakarta:
Pustaka Firdaus, 1991).
Mufraini, F. Arif, Akuntansi dan Manajemen Zakat (Jakarta: Kencana, 2006).
Muhammad bin Abdullah, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I,
2003).
Mujid, Abdul, et. Al., Kamus Istilah Fiqh “Baitul Mal”, (Jakarta: PT Pustaka
Firdaus, 1994.
125
Nasution, Harun dan Mukti Ali, Ensiklopedia Hukum Islam di Indonesia
“Ghanimah”, (Jakarta: Depag RI, tth).
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT). Keadilan Sosial: Upaya
Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, (Jakarta: Penerbit
Buku Kompas, 2004), Cet ke-1
Praja,S,Juhaya,Perwakapan
Di
Indonesia
Sejarah,Pemikiran,Hukum,dan
Perkembangan,(Bandung:Muassalah Risalh,1993).
Qardhawi, Yusuf, Al-Ibadah fil-Islam (Beirut: Muassalah Risalah, 1993).
Raper, Michael, Negara Tanpa Jaminan Sosial Tiga Pilar Jaminan Sosial di
Australia dan Indonesia, (Jakarta: Trade Union Rights Centre, 2008).
Rawwaa Qal’ahji, Muhammad, Ensiklopedia Fiqh Umar bin Khattab ra, (Jakarta: PT
Raja Grafindo Persada, 1999).
Sabiq, Sayid, Fiqh Sunah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980).
Saefuddin, Ahmad Muflih, Pengelolaan Zakat ditinjau Dari Aspek Ekonomi,
(Bontang: Dakwah Islamiyyah, 1986).
Sanusi, Ahmad, Agama diTengah Kemiskinan Refleksi Atas Pendangan Islam dan
Kristen Dalam Perspektif Kerjasama Antar Umat Beragama, (Jakarta: PT
LOGOS Wacana Ilmu, 1999), Cet ke-1.
Shahih Muslim, Kitab Tentang Zakat, Bab Tentang Orang Yang Tidak Berkecukupan
Tetapi Tidak Minta-minta, (Surabaya: pt. Bina Ilmu, tth).
Sherraden, Michael, Aset Untuk Orang Miskin Perspektif Baru Usaha Pengentasan
Kemiskinan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), Ed. 1.
Shihab, Quraisy, Tafsir Al-Misbah, vol.5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1.
Soetomo, Masalah Sosial Dan Pembangunan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995),
cet. 1.
Thayib, Ahari, Konsep Ekonoomi Ibnu Taimiyah, (Yogyakarta: PT Bina Ilmu, 1997).
Tholhah Hasan, Muhammad, Islam Dalam Pespektif Sosio Kultur, (Jakarta:
Lantabora Press, 2005), Cet ke- 3.
126
Warson Munawwir, Ahmad, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta:
Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan, 1984).
Watik Pratikya, Ahmad, Abdul Salam M. Sofro, Islam Etika dan Kesehatan
Sumbangan Islam Dalam Menghadapi Problema Kesehatan Indonesia
Tahun 2000-an, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986)
Widiyantoro, Yulius, (skripsi), Studi Implementasi Kebijakan Sistem Jaminan Sosial
Nasional Terhadap Mekanisme Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Bagi
Masyarakat Miskin di Puskesmas Kota Semarang, (Semarang: 2005)
Wiwoho, B, Zakat dan Pajak, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1991).
Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung, 1994).
Zuhayly, Wahbah, Zakat Kajian Berbagaii Mazhab, (Bandung: PT Remaja
Rodakarya, 1995), cet ke-1.
Sumber dari internet (situs web site)
http://www.antaranews.com/berita/1273064171/dpr-sistem-jaminan-sosial-perlu
segera
diterapkanhttp://sjsn.menkokesra.go.id/index.php?option=com_content&task=
view&id=19&Itemid=8
http://www.gapri.org/tfiles/file/umum/JAMINAN%20KESEHATAN%20NASIONA
L.doc.
http://www.ekonomirakyat.org/edisi_7/artikel_5.htm
http://sanggar.wordpress.com/2008/03/07/reformasi-sistem-jaminan
kesehatanmewujudkan-mimpi-atas-kesehatan-bagi-semua/
http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=3&id=17
http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=3&id=17
http://mitraku.com/home/index.php?option=com_content&view=article&id=50&Itemid= 63
127
http://www.antaranews.com/berita/254960/kajs-perjuangkan-jamkes-tanpadiskriminasi
http://id.wikipedia.org/wiki/Anggaran_Pendapatan_dan_Belanja_Negara
http://tafsir-ekonomi.blogspot.com/2011/01/islam-dan-jaminan-sosial.htm
http://bondanserbaneka.blogspot.com/2007/01/kesehatan-menurut-pandanganislam.html
http://www.faqihregas.co.cc/2010/05/makalah-tentang-kafalah.html
http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2168822-Pengertian Jaminan Sosial/
Download