JAMINAN SOSIAL KESEHATAN SEBAGAI HAK MASYARAKAT DALAM UNDANG-UNDANG NO 40 TAHUN 2004 (Kajian Hukum Islam) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam(S.H.I) Oleh Aris Setiawan NIM. 106045101492 KONSENTRASIKEPIDANA ISLAM PROGRAM STUDIJINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432H/2011 JAMINAN SOSIAL KESEHATAN SEBAGAI HAK MASYARAKAT DALAM UNDANG-UNDANG NO 40 TAHUN 2004 (Kajian Hukum Islam) Skripsi Diajukan Kepada Fakultas Syariah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum Islam(S.H.I) Oleh Aris Setiawan NIM. 106045101492 Dibawah Bimbingan: Pembimbing I Pembimbing II Dr. H. Asrorun Ni’am, M.A NIP. 197605312000031001 Afwan Faizin, MA NIP. 197210262003121001 KONSENTRASIKEPIDANA ISLAM PROGRAM STUDIJINAYAH SIYASAH FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1432H/2011 PENGESAHAN PANITIA UJIAN Skripsi yang berjudul "JAMINAN SOSIAL KESEHATAN SEBAGAI HAK MASYARAKAT DALAM UU NO 40 TAHUN 2004" {Kajian Hukum Islam} telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 20 Juni 2011. Skripsi ini telah diterima sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Syariah (S.Sy) pada Program Studi Jinayah Siyasah Kepidanaan Islam). Jakarta, 20 Juni 2011 Mengesahkan, Dekan Fakultas Syariah dan Hukum Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma. SH. MA. MM NIP. 195505051982031012 Panitia Ujian Munaqasyah Ketua : Dr. Asmawi,M.Ag NIP. 197210101997031008 Sekretaris : Afwan Faizin,MA NIP.197210262003121001 Pembimbing I : Afwan Faizin,MA NIP.197210262003121001 Pembimbing II : Dr.H.Asrorun Ni'am,MA NIP.197605312000031001 Penguji I : Prof.Dr. H.Abduh Malik NIP. 150000000 Penguji II : Sri Hidayati M.A NIP.l97102151997032002 بسم اهلل الرمحن الرحيم KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur kehadirat Allah WST, yang telah dapat melimpahkan rahmat, taufik, dan hidayah-Nya kepada penulis, sehingga dapat menyelesaikan penulisa skripsi dengan judul “JAMINAN SOSIAL KESEHATAN SEBAGAI HAK MASYARAKAT DALAM UU No. 40 TAHUN 2004 (Kajian Hukum Islam)” yang merupakan kewajiban bagi program sarjana (S-1) Program Studi Jinayah Siyasah Konsentrasi Kepidanaan Islam pada Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, untuk memenuhi salah satu persyaratan dan merupakan tugas akhir untuk memperoleh gelar Sarjana (S1). Dalam penulisan skripsi ini, sudah tentu penulis banyak memperoleh bantuan dan bimbingan serta dorongan dari berbagai pihak baik moril maupun materil yang tentunya sangat bermanfaat dalam penulisan Skripsi ini. Untuk itu dalam kesempatan ini, penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang setulus-tulusnya kepada: 1. Prof. Dr. H. Muhammad Amin Suma, SH., MA., MM., selaku Dekan Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 2. Dr. Asmawi, M.Ag., selaku Ketua Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. i 3. Afwan Faizin, MA., selaku Sekretaris Program Studi Jinayah Siyasah Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. 4. Dr. Asrorun Niam, MA., selaku dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sekaligus dosen pembimbing I. 5. Afwan Faizin, MA., selaku dosen Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan sekaligus dosen pembimbinh II. 6. Seluruh Dosen/ Pengajar/ Staff, pada Fakultas Syariah dan Hukum yang telah memberikan ilmunya kepada penulis. 7. Kepada seluruh staff/karyawan Perpustakaan Fakultas Syariah dan Hukum maupun Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang telah memberikan bantuan buku-buku refrensi yang berkaitan dengan penulisan skripsi ini. 8. Dan kepada seluruh teman PI angkatan 2006 seperti Mahpudin, Fandi, Haris Sumirat, Amir, Fitrah, Guruh, Rangga, Kholid, Anissa, Dwi Wahyuni, Intan, Attin, Wismoyo, Isa Shaleh, Eril, Yuswandi, Buldan, Nuruzzaman, Husen, Muchsin, Faris, dan kesemuanya yang belum disebut. Terima kasih. 9. Kepada ayahanda dan Ibunda tercinta yang bernama Kusnadi serta Suganda dan Siti Maesaroh yang telah senantiasa memberikan dukungan dan semangatnya kepada ananda sehingga memberikan dukungan dan semangatnya kepada ananda sehingga memberikan semangat lebih untuk menyelesaikan penulisan skripsi ini. ii 10. Dan saya ucapkan terimaakasih juga kepada seluruh teman-teman yang ada di kampung halaman yaituh; Tobri,Ooz Fauzi,Saproni,Ubay Bayjuri Samsul Basori dll. yang telah meberikan motifasi serta dorongannya kepada saya sehingga saya dapat juga kepada puncak yang saya tempuh pada akhir perkuliahan saya Akhir kata, semoga tulisan ini dapat berguna bagi semua pihak yang sempat membacanya, serta menambah wawasan keilmuan bagi yang berkepentingan dengan masalah ini. Amin Jakarta, 09 Juni 2011 Penulis iii DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ............................................................................................. i DAFTAR ISI ............................................................................................................ iv BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah .............................................................. 1 B. Pembatasan dan Perumusan Masalah.......................................... 5 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ................................................... 6 D. Tinjauan Pustaka ......................................................................... 6 E. Metode Penelitian........................................................................ 9 F. Sistematika Penulisan ................................................................. 11 BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN SOSIAL A. Pengertian Jaminan Sosial........................................................... 13 B. Sejarah Lahirnya Jaminan Sosial ................................................ 16 C. Jenis-jenis Jaminan Sosial ........................................................... 19 D. Sumber-sumber Dana Jaminan Sosial......................................... 35 BAB III JAMINAN SOSIAL KESEHATAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Perspektif Hukum Positif ............................................................ 39 1. Pengertian Jaminan Sosial..................................................... 39 iv 2. Jaminan Sosial Kesehatan .................................................... 42 3. Sumber-sumber Dana Jaminan Sosial................................... 47 a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara(APBN) .............. 47 b. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah(APBD) .............. 50 B. Perspektif Hukum Islam .............................................................. 51 1. Pranata Jaminan Sosial Dalam Hukum Islam ....................... 51 a. Wakaf .............................................................................. 51 b. Infaq ................................................................................ 54 c. Sedekah ........................................................................... 57 2. Golongan-golangan yang berhak mendapatkan Jaminan Sosial ..................................................................................... 58 3. Jaminan Sosial Kesehatan ..................................................... 70 a. Menjaga Kesehatan ......................................................... 70 1. Preventif .................................................................... 70 2. Makanan .................................................................... 72 3. Pengobatan ................................................................ 77 4. Sumber-sumber Dana Jaminan Sosial................................... 79 BAB IV PERBANDINGAN ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Relasi Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap Jaminan Sosial ........................................................................................... 90 v B. Kontribusi Hukum Islam Terhadap Hukum Positif Tentang Jaminan Sosial ............................................................................ 107 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan ................................................................................ 120 B. Saran-saran .................................................................................. 121 DAFTAR PUSTAKA .............................................................................................. 123 LAMPIRAN vi BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Penyelenggaraan sistem jaminan sosial telah menjadi agenda negaranegara berkembang, yang didasari oleh kesadaran untuk mewujudkan keadilan sosial dan terpenuhinya agenda pembangunan sosial ekonomi. Kompetisi global semakin memperkuat keyakinan pemerintah di negara-negara berkembang untuk mempercepat proses pembangunan sistem jaminan social yang kuat, terpadu dan terintegrasi dengan berbagai agenda reformasi pembangunan terutama dibidang ekonomi, kesehatan dan pendidikan. Bahkan, diyakini Negara yang memiliki sistem jaminan sosial yang adekuat mampu berperan aktif di era persaingan global dan mampu menciptakan kedamaian dan rasa aman kepada masyarakat.1 Sistem jaminan sosial nasional yang tertuang dalam undang-undang No.40 Tahun 2004 bertujuan untuk memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi setiap peserta atau anggota keluarganya. Salah satu unsur yang menjadi bagian dari jaminan sosial ini adalah jaminan kesehatan bagi masyarakat. Jaminan kesehatan ini diperuntukkan bagi seluruh lapisan masyarakat.2 1 Yulius Widiyantoro, (skripsi), Studi Implementasi Kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional Terhadap Mekanisme Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin di Puskesmas Kota Semarang, (Semarang: 2005) 2 http://www.ekonomirakyat.org/edisi_7/artikel_5.htm (Artikel ini diakses pada 13 Desmber 2010) 1 2 Jaminan sosial ini memang harus ada karena tingkat kemakmuran sebagian besar penduduk belum memungkinkan masyarakat menjangkau pelayanan kesehatan secara memadai karena mahalnya biaya pengobatan. Sedangkan pelayanan kesehatan bagi anggota masyarakat yang mengalami gangguan kesehatan adalah mutlak adanya. Sangat tidak manusiawi kiranya jika orang yang sakit dibiarkan begitu saja tanpa mendapat pelayanan kesehatan karena secara ekonomi ia tidak mampu membayar biaya tersebut. Dalam kondisi seperti ini maka pemerintah berkewajiban memberikan jaminan bagi masyarakat untuk mendapat pelayanan kesehatan yang semestinya. Pelayanan kesehatan ini harus dilaksanakan tanpa melihat status ekonominya karena sejatinya “health is a fundamental human rights” (kesehatan adalah hak asasi manusia yang paling dasar) seperti yang tercantum dalam deklarasi hak asasi manusia internsional. Jika ia tergolong masyarakat mampu, maka ia harus membayar ongkos layanan kesehatan. Namun, jika ia tak mampu, maka pemerintah berkewajiban menanggung biaya tersebut.3 Jaminan kesehatan merupakan system perlindungan sosial yang sangat diperlukan oleh masyarakat, berupa transfer alokasi anggaran Negara untuk sektor kesehatan melalui asuransi sosial. Bagi masyarakat miskin, jaminan sosial kesehatan merupakan pendorong laju pembangunan sekaligus menjadi strategi penting dalam penanggulangan kemiskinan. Karenanya, jaminan kesehatan telah 3 http://www.antaranews.com/berita/1273064171/dpr-sistem-jaminan-sosial-perlu-segeraditerapkanhttp://sjsn.menkokesra.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=19 &Itemid=80 (Artikel ini diakses pada 13 Desembr 2010) 3 diakui sebagai satu strategi kebijakan sosial yang penting dalam menopang industri dan pertumbuhan ekonomi, di Negara maju seperti Amerika Serikat dan Eropa Barat.4 Strategi penganggaran yang ditujukan untuk memutuskan mata rantai kemiskinan dan rendahnya akses terhadap perawatan kesehatan harus dilengkapi dengan strategi pengalokasian dana secara tepat dan proporsional. Hal ini harus menyentuh reformulasi dan realokasi anggaran bagi sistem pendistribusian perawatan kesehatan yang memperhatikan karakteristik dan kebutuhan berbagai sasaran: kelompok kaya dan miskin, kelompok yang beresiko tinggi dan rendah, dan pekerja di sektor formal dan informal, baik yang berada di wilayah perkotaan maupun pedesaan yang ada di berbagai provinsi di Indonesia. Jaminan kesehatan sosial menjadi tanggung jawab pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Peran pemerintah daerah dalam menjamin kesehatan masyarakatnya diperkuat dengan dikabulkannya Judicial Review oleh Mahkamah Konstitusi (MK) atas UU No.40 Tahun 2004 yang memberikan kewenangan sekaligus amanah konstitusi kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan system jaminan kesehatan daerah baik provinsi maupun kabupten/kota. Dengan diselenggarakannya program jaminan sosial secara nasional terlebih dalam bidang kesehatan, dapat diciptakan kegotong royongan antara pengusaha dengan tenaga kerja, antara yang kuat dan yang lemah, yang tua dan 4 http://www.gapri.org/tfiles/file/umum/JAMINAN%20KESEHATAN%20NASIONAL. doc. (Artikel ini diakses pada 15 Desember 2010) 4 yang muda, yang sehat dan yang tidak sehat, dan antara pemerintah dengan warga negaranya. Demikian pula dalam Islam, jaminan sosial tertuang dalam Al-Qur’an Surat An-Nahl : 90 Artinya:” Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran.”. Dalam ayat ini ada tiga hal yang diperintahkan oleh Allah SWT, supaya dilakukan sepanjang waktu sebagai alamat dari taat kepada Tuhan. Pertama, jalan adil yaitu meninmbang yang sama berat, menyalahkan yang salah dan membenarkan mana yang benar, mengembalikan hak kepada yang punya dan jangan berlaku zhalim atau aniaya.5 Namun hingga kini jaminan pelayanan kesehatan oleh pemerintah belum terlaksana sesuai harapan. Program Asuransi Kesehatan bagi Masyarakat Miskin (Askeskin) yang dijalankan pemerintah sejak tahun 2005 menuai banyak kendala. Masih banyak masyarakat miskin yang belum terjaring program ini. Padahal sejatinya program ini diluncurkan untuk memperbaiki sistem bantuan pemerintah yang diberikan kepada pemegang kartu Keluarga Miskin (Gakin). 5 Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993), h. 283 5 Padahal dalam konsideran dalam UU No.40 Tahun 2004 angka 1 telah disebutkan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan dasar hidup yang layak, dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Berdasarkan fenomena di atas, penulis merasa perlu untuk melakukan penelitian tentang pemberian jaminan kesehatan bagi maasyrakat yang penulis tuangkan dalam skripsi yang berjudul “Jaminan Sosial Kesehatan Sebagai Hak Masyarakat Dalam UU No.40 Tahun 2004 (Kajian Hukum Islam)” B. Pembatasan dan Perumusan Masalah Fokus masalah dalam penulisan skripsi ini, penulis akan memberikan batasan masalah sehingga tidak menyimpang dari apa yang telah menjadi pokok bahasan. Mengacu kepada latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana ketentuan tentang jaminan sosial terhadap masyarakat menurut Hukum Islam? 2. Bagaimana ketentuan tentang jaminan social terhadap masyarakat menurut Hukum positif? 3. Bagaimana relasi antara Hukum Islam dan Hukum Positif terhadap jaminan sosial kesehatan? 6 C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Sesuai dengan masalah yang telah dirumuskan, maka tujuan penulisan skripsi ini antara lain: 1. Untuk mengetahui bagaimana pemerolehan sebuah jaminan kesehatan bagi masyarakat menurut UU No.40 Tahun 2004. 2. Untuk mengetahui bagaimana perspektif Hukum Islam memandang pemberian jaminan kesehatan bagi masyarakat. 3. Untuk mengetahui bagaimana pemenuhan jaminan kesehatan menurut UU No.40 Tahun 2004. Sedangkan manfaat dari penelitian ini adalah: 1. Terutama bagi civitas akademika, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan penulis dan mengembangkan cakrawala berpikir bagi penulis. 2. Dapat mengerti serta menjelaskan maksud yang terdapat dalam peraturan perundang-undangan. 3. Memberikan pemahaman bahwasannya kesehatan adalah hak yang paling asasi atau dasar bagi setiap warga Negara. D. Tinjauan Pustaka/Penelitian Terdahulu Untuk memudahkan dalam menyusun penulisan skripsi ini, penu;lis ingin memberikan rujukam terhadap tema-tema yang membahas masalah ini dan yang memiliki kesamaan terhadap pembahasan judul skripsi ini. Adapun sumber yang 7 penulis dapatkan ialah berasal dari buku yang berkaitan, jurnal-jurnal, dan artikel pada media massa. Karya Mahasiswwa (skripsi) di Fakultas Syariah dan Hukum oleh Sarmada yang berjudul “Jaminan Sosial Terhadap Hakim Sebagai Penegak Hukum Oleh Negara Menurut Hukum Islam dan Hukum Positif”, yang di dalamnya memuat bagaimana pemberian sebuah jaminan sosial terhadap hakim yang memiliki peranan penting dalam memutuskan sebuah keputusan atau masalah. Karya Mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syariah dan Hukum oleh Yuyun Fitrianingsih yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Dana Pensiun karyawan Jamsostek”, yang di dalamnya memuat pemberian sebuah jaminan bagi pensiunan karyawan Jamsostek. Karya mahasiswa (skripsi) di Fakultas Syariah dan Hukum oleh Saidi yang berjudul, “Tinjauan Ekonomi Islam Terhadap Mekanisme Pengelolaan Dana Pensiun (Studi Kasus Pada Dana Pensiun Karyawan jamsostek)”, memuat adanya kemiripan dalam pemberian serta pengelolaan sebuah jaminan bagi pensiunan karyawan Jamsostek. Karya mahasiswa (skripsi) di Fakultas Agama Islam Surakarta, 2005 oleh Khusna Nazila, “Asuransi Jaminan Sosial Tenaga kerja Menurut Tinjauan Hukum Islam (Studi Kasus di Universitas Muhammadiyah Surakarta)”,dijelaskan dalam skripsi ini bagaimana seharusnya antara pekerja atau buruh dengan majikan untuk dapat memperhatikan kesejahteraannya sehingga antara keduanya tidak ada 8 yang saling dirugikan dan juga bagaimana Islam memandang antara buruh dengan majikan dengan adanya hadis yang menyatakan “berilah upah sebelum kering keringatnya”. Jadi jelas dalam hal ini kita tidak boleh untuk tidak mensejahterakan buruh yang telah kita pekerjakan. Buku Jaminan Sosial Tenaga Kerja (UU No.3 Tahun 1992), Sinar Grafika, yang di dalamnya tertulis tentang bagaimana pemberian jaminan social yang diberikan untuk kesejahteraan tenaga kerja yang dari jaminan kesehatan, keselamatan dan juga kesejahteraannya. Dan juga disertai berbagai pemberian jaminan-jaminan lainnya. Buku Kemiskinan di Indonesia oleh Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 1986 yang di dalamnya tertulis bagaimana seharusnya pemerintah menghadapi permasalahan tentang kemiskinan yang seharusnya ditangani dengn baik dan serius, baik yang hidup didesa maupun di kota. Dan juga dalam tulisan ini sebagai pengalaman yang penulis tuangkan menulis tampak lambannya kinerja pemrintah dalam mengatasi kemiskinan dan juga menganggap kemiskinan sebagai permasalahan baru. PT. Askes (Persero) Mendongkrak derajat kesehatan masyarakat via PJKMU, Pos Kota 30 November 2010, dalam artikel ini bagaimana PT. Askes tersebut melakukan banyak pembenahan, upaya penyesuaian yang bernafaskan pada pedoman tata laksana asuransi sosial terkait kesiapan implementasi SJSN menjadi modal semangat berdasarkan UU No.40 Tahun 2004. 9 Sesuai dengan rujukan diatas maka penuis mencoba menguraikan secara ringkas bahwasannya penelitian ini lebih bertumpu atau fokus terhadap jaminan kesehatan terhadap masyarakat, karena kesehatan adalah hak yang paling dasar dibutuhkan oleh seluruh warga negara. Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2. Secara universal jaminan sosial dijamin oleh Pasal 22 dan 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB (1948), dimana Indonesia ikut menandatanganinya. Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang, seperti terbaca pada Perubahan UUD 45 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat….” E. Metode Penulisan 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan tipe penulisan kualitatif yaitu prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif. Adapun data deskriptif yang dmaksud adalah ucapan atau tulisan dan perilaku yang dapat diamati dari orang-orang (subyek itu sendiri)6 yang kemudian dari informasi yang didapat, menguji hipotesis atau menjawab pertanyaan yang menyangkut keadaan pada waktu yang sedang berjalan dari pokok suatu penelitian7. Penelitian ini merupakan penelitian Kualitatif Doktriner yaitu, penelitian yang menggunakan 6 Robert Bogdan dan Steven J. Taylor, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. alih bahasaArif Furchan Cet- 1. Usaha Nasional. Surabaya- Indonesia: 1992. h. 21. 7 Consuelo G. Sevilla, at. all, Pengantar Metode Penelitian. Universitas Indonesia (UIPRESS). Jakarta: 2006. h. 71. 10 obyek kajiannya adalah bahan-bahan hukum primer yang terdiri dari perundang-undangan, catatan resmi atau risalah dalam pembuatan peraturan perundang-undangan dan putusan hakim.8 Sumber data yang digunakan peneliti dalam penelitan ini adalah sumber data primer dan sumber data skunder. Adapun sumber data primer yaitu buku-buku, majalah, dan situs website yang obyek kajiannya mengenai hukum pidana Islam./ sedangkan data skunder yaitu buku-buku yang terkait dengan sumber buku primer yang dijadikan buku rujukan dalam penelitian ini. 2. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan dalam penelitian ini adalah studi documenter, di mana bahan-bahan penelitian yang didapat melalui dokumen eksternal yang berisi bahan-bahan informasi yang dihasilkan oleh suatu lembaga sosial, misalnya majalah, buletin, pernyataan, dan berita yang disiarkan kepada media massa.9 3. Teknik Analisis Data Penelitian ini menggunakan analisis data secara kualitatif yaitu pendekatan ini (content analisis) yang menekankan pada pengambilan kesimpulan analisis yang bersifat deduktif, yaitu penalaran yang berawal dari 8 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum. Cet, ke- 4. Kencana Media Group. Jakarta: 2008. hal. 141 9 Lexi J Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. Cet, ke- 18. Remaja Rosda Karya. Bandung: 2004. h. 163 11 hal umum untuk menentukan hal yang khusus sehingga mencapai suatu kesimpulan.10 Adapun tehnik penulisan skripsi ini, penulis mengacu pada buku Pedoman Penulisan skripsi, cetakan ke-1 yang diterbitkan Fakultas Syari’ah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. F. Sistematika Penulisan Dalam skripsi ini penulis membagi pembahasan ke dalam 4 bab, yang terdiri dari sub-sub bab sebagai berikut: Bab I merupakan pendahuluan, yang meliputi latar belakang masalah, pembatasan dan perumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan sistematika penulisan. Bab II merupakan tinjauan umum tentang jaminan sosial, yang berisi tentang pengertian jaminan sosial, jenis-jenis jaminan sosial, sumber-sumber jaminan sosial. Bab III merupakan pembahasan tentang jaminan soSial kesehatan dalam perspektif Hukum Islam dan Hukum Positif, yang berisi tentang golongangolongan yang berhak mendapatkan jaminan, sumber-sumber jaminan,sosial, macam-macam jaminan sosial yang diberikan kepada masyarakat, studi kasus, dan perbandingan antara Hukum Islam dan Hukum Positif 10 Sutrisno Hadi, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1990), h. 42-215. 12 Bab IV merupakan pembahasan tentang perbandingan antara hukum Islam dan hukum Positif, yang berisi tentang bagaimana relasi hukum Islam dan hukum Positif terhadap Jaminan Sosial dan apa saja kontribusi hukum Islam terhadap hukum Positif terhadap Jaminan Sosial. Bab V merupakan bab penutup yang berisikan kesimpulan dan saran. BAB II TINJAUAN UMUM TENTANG JAMINAN SOSIAL A. Pengertian Jaminan Sosial Kewajiban negara (state obiligation) untuk memberikan jaminan pada setiap warga untuk memperoleh akses yang baik terhadap berbagai kebutuhan dasar manusia (terutama makanan, kesehatan, tempat tinggal, dan pendidikan). Sedangkan yang lain jaminan sosial berbicara tentang proteksi negara bagi warga terhadap kondisi-kondisi yang potensial mendegradasi harkat dan martabat manusia, seperti kemiskinan, usia lanjut, cacat, dan pengangguran. Dalam pandangan antropologi, kebudayaan atau kultur tidak pernah dapat terlepas dalam suatu masyarakat. Kebudayaan merupakan tata kelakuan, kelakuan dan hasil kelakuan manusia, masyarakat merupakan jaringan kelompok-kelompok manusia yang memangku kebudayaan tadi. Dengan demikian, masyarakat merupakan wadah dari kebudayaan.1 Atas dasar kenyataan itu beranggapan bahwa kebudayaan atau kultur ini sangat mewarnai kehidupan suatu masyarakat. Dalam pandangan tersebut, kondisi kehidupan masyarakat yang merupakan masalah sosial juga dapat dianggap sebagai cerminan dari kultur masyarakatnya. Sebagai contoh, masalah kemiskinan 1 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1966) 13 14 sering dijelaskan sumbernya dari latar belakang budaya masyarakanya, sehingga dikenal suatu hipotesis yang disebut dengan kemiskinan kultural.2 Di banyak negara, terutama negara-negara yang menganut sistem negara kesejahteraan (welfare state), sistem jaminan sosial yang baik dimaknai sebagai titik sentral makna eksistensi negara. Negara ada untuk kesejahteraan rakyat, bukan rakyat ada demi prestise negara. Tidak jarang, pemaknaan dan implementasi ide jaminan sosial di suatu negara menjadi indikator terpilih/tidaknya sebuah kabinet untuk memimpin pemerintah di masa datang. Itu sebabnya, kebanyakan pemerintah negara-negara beradab secara serius memaknai pelaksanaan jaminan sosial. Tidak ada definisi universal untuk “jaminan sosial” (sosial security). Secara umum ia diartikan sebagai penyedia perlindungan yang dilakukan lewat prosedur publik atas berbagai kerugian atau kehilangan penghasilann karena sakit, kehamilan, kecelakaan kerja, kehilangan pekerjaan, cacat, usia, lanjut, dan kematian. Asuransia kesehatan serig dianggap bagian dari jaminan sosial (misalnya oleh ILO)3 “Perlindungan sosial” (social protection) adalah istilah yang sering digunakan sebagai konsep yang lebih luas untuk mencakup jaminan sosial, asuransi kesehatan dan jaminan yang diberikan di sektor swasta. Sedangkan 2 Soetomo, Masalah Sosial Dan Pembangunan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995), cet. 1, h. 100 3 Michael Raper, Negara Tanpa Jaminan Sosial Tiga Pilar Jaminan Sosial di Australia dan Indonesia, (Jakarta: Trade Union Rights Centre, 2008), h. 17 15 jaminan Sosial Nasional adalah program Pemerintah dan Masyarakat yang bertujuan memberi kepastian jumlah perlindungan kesejahteraan sosial agar setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Perlindungan ini diperlukan utamanya bila terjadi hilangnya atau berkurangnya pendapatan.4 Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2. Secara universal jaminan sosial dijamin oleh Pasal 22 dan 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB (1948), dimana Indonesia ikut menandatanganinya. Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang, seperti terbaca pada Perubahan UUD 45 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat….”. Perlindungan jaminan sosial mengenal beberapa pendekatan yang saling melengkapi yang direncanakan dalam jangka panjang dapat mencakup seluruh rakyat secara bertahap sesuai dengan perkembangan kemampuan ekonomi masyarakat. Pendekatan pertama adalah pendekatan asuransi sosial (compulsory social insurance), yang dibiayai dari kontribusi/premi yang dibayarkan oleh setiap tenaga kerja dan atau pemberi kerja. Kontribusi/premi dimaksud selalu harus dikaitkan dengan tingkat pendapatan/upah yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Pendekatan kedua berupa bantuan sosial (social assistance) baik dalam 4 http://www.ekonomirakyat.org/edisi_7/artikel_5.htm (Artikel ini diakses pada 5 Mei 2011) 16 bentuk pemberian bantuan uang tunai maupun pelayanan dengan sumber pembiayan dari negara danbantuan sosial dan masyarakat lainnya. Beberapa negara yang menganut prinsip negara kesejahteraan (welfare state) yang selama ini memberikan jaminan sosial dalam bentuk bantuan sosial mulai menerapkan asuransi sosial. Utamanya karena jaminan melalui bantuan sosial membutuhkan dana yang besar dan tidak mendorong masyarakat merencanakan kesejahteraan bagi dirinya. Disamping itu, dana yang terhimpun dalam asuransi sosial dapat merupakan tabungan nasional. Secara keseluruhan adanya jaminan sosial nasional dapat menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan. Pengaturan dalam jaminan sosial ditinjau dari jenisnya terdiri dari jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pemutusan hubungan kerja, jaminan hari tua, pensiun, dan santunan kematian. B. Sejarah Lahirnya Jaminan Sosial Lahirnya konsep jaminan sosial tidak lepas dari upaya manusia untuk mendapatkan keamanan atas resiko yang mungkin terjadi. Khususnya resiko kehilangan dan berkurangnya penghasilan. Banyak hal yang menyebabkan terjadinya resiko, seperti hari tua kecelakaan, sakit atau meninggal dunia. Embrio jaminan sosial bermula pada awal abad ke-19 dengan tokoh Beveridge dan Otto Van Bismark.5 Pada saat itu Bismark mengembangkan suatu konsep asuransi 5 Http://id.shvong.com/social -sciences/sociology/2168822-pengertitan jaminan-sosial/ (Artikel ini diakses pada 7Juni 2011) 17 sosial dan jaminan sosial, yang kemudian menyebar keberbagai belahan dunia termasuk Indonesia. Buruh pertanian dan sektor informal cukup dominan di Indonesia. Komunitas-komunitas pedesaan pada umumnya menerapkan sistem gotong royong. Anak diharapkan dapat menopang kehidupan orang tua dilanjut usia dan keluarga besar lainnya. Sejak berdirinya Republik Indonesia pada tahun 1950, pemerintah telah menerapkan Pembangunan Jangka Panjang dengan kurun waktu 25 tahun (1969-1994 dann 1994-2019), setiap kurun waku diselesaikan secara bertahap dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun. Sistem jaminan sosial di Indonesia dikerjakan di bawah rencana pembangunan tersebut. Repelita tahun 1974-1979 berfokus pada perluasan distribusi jaminan sosial. TASPEN (Tabungan pensiun), dana pensiun bagi pegawai negeri yang secara hukum diberlakukan pada tahu 1969. Pada tahun 1971 diadakan sistem asuransi untuk buruh swasta formal, ASTEK (Asuransi Tenaga Kerja), yang berubah menjadi JAMSOSTEK (Jaminan Sosial Tenaga Kerja) tahun 1992. JAMSOSTEK mempunyai manfaat yang lebih banyak, yaitu memberikan asuransi kesehatan. Sistem jaminan sosial kemudian semakin berkembang dengan pengaturan jaminan untuk pegawai negari, buruh swsta formal dan anggota ABRI yang terpisah.6 6 Michel Raper,Negara Tanpa Jaminan Sosial Tiga Pilar Jaminan Sosial di Australia dan Indonesia,(Jakarta:Trade Rights Centre,20080,h. 18 Pasal 28 H Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa “setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan bathin, bertempat tinggal dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan”. Akan tetapi, untuk saat ini jaminan sosial di Indonesia hanya terbatas bagi mereka yang ikut Jamsostek (buruh swasa formal), Taspen dan Askes (untuk pegawai negeri) serta Asabri untuk anggota ABRI dan keluarga merka. Jaminan ini membayarkan sejumlah uang untuk dana pensiun, berobat, kematian dan pemakaman, kematian dan kecelakaan kerja. Selain itu, sistem ini juga memberi bantuan kepada korban bencana alam, korban konflik sosial dan orang-orang yang tidak bisa bekerja karena alasan tertentu. Sistem ini membiayai 15 juta dari 100 juta angkatan kerja, lebih dari 200 juta penduduk Indonesia. Sistem ini dipandang gagal untuk memberikan manfaat bagi penerimanya, karena hanya mencakup sebagian kecil masyrakat, jumlahnya yang kecil dan pengaturannya yang buruk. ILO telah melakukan berbagai riset dan mengeluarkan rekomendasi agar sistem ini memperluas cakupannya, dan pada tahun 2004, pemerintah Indonesia mengusulkan RUU Jamsosnas yang disahkan oleh DPR pada bulan oktober 2004 sebagai Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). Sistem ini lebih komperehensif, terdiri dari dana pensiun, asuransi kesehatan nasional, santunan kematian, dan santunan kecelakaan kerja. Sistem ini mencakup seluruh penduduk Indonesia, tanpa memandang apakah meraka buruh di sektor formal ataupun informal bahkan pengangguran. Sebuah lembaga jaminan sosial telah didirikan dan secara 19 langsung berada di bawah koordinasi presiden. Lembaga ini bertugas dan memberikan rekomendasi tentang pelaksanaan sistem baru ini. C. Jenis-jenis Jaminan Sosial Dalam Undang-undang Jaminan Sosial ada beberapa jenis program jaminan sosial bagi seluruh warga negara yang terdiri dari; 1. Jaminan Kesehatan Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan sumber daya manusia dalam mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir dan batin. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi. Pembangunan manusia seutuhnya harus mencakup aspek jasmani dan kejiwaannya di samping spiritual, kepribadian, dan kejuangan. Untuk itu, menurut sujudi pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, dan produktif. Berbagai perubahan dan tantangan strategis yang mendasar seperti globalisasi, denokratisasi, desentralisasi, krisis multidimensi, serta pemahaman kesehatan sebagai hak asasi dan investasi mendorong terjadinya revisi terhadap sistem kesehatan yang selama ini menjadi dasar pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembangunan kesehatan Indonesia meskipun secara status mengalami peningkatan, namun secara sistem hal itu belum menunjukkan adanya daya relationship semua stakeholder yang menjamin 20 sistem kesehatan yang sustainable dengan dasar mengupayakan sistem pelayanan kesehatan bagi semua kalangan terutama masyarakat yang tidak mampu. Sementara sehat dalam definisi WHO (1975), adalah suatu keadaan sejahtera dari fisik, mental, dan sosial yang tidak hanya terbatas pada bebas penyakit dan kelemahan, dirasa tidak sesuai atau tidak lengkap lagi. Konsep sehat ini belum mengakomodasikan dimensi produktifitas dari kelompok umur yang berbeda seperti balita, remaja, dewasa, dan lanjut usia. Dalam Ottawa Charter tahun 1986 disebutkan bahwa sehat itu bukan tujuan hidup, tetapi alat untuk dapat hidup produktif.7 Pembiayaan kesehatan terkait adanya visi menuju Indonesia sehat 2010. Hal ini menuntut semua instistusi mensinergikan semua program kerjanya dengan keadaan dukungan dana yang tersedia demi tercapainya target tersebut. Satu hal yang akan mempengaruhi proses itu adalah komitmen ekspenditur untuk sektor kesehatan dari pemerintah di semua tingkatan. Pembiayaan merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi biaya kesehatannya, yaitu rata-rata 2,2% dari GDP, sementara negara lain yang memiliki sistem kesehatan yang baik rata-rata total ekspenditur untuk kesehatan mencapai 8%-15% dari GDP. Sejak tahun 1999, arah pembangunan kesehatan nasional telah dirancangkan berupa program menuju Indonesia Sehat 2010.. dalam 7 Wiku Adisasmito, Sistem Kesehatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.6 21 Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 574/Menkes/SK/IV/2010 tentang kebijakan Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010 telah dirumuskan visi dan misi serta strategi baru pembangunan kesehatan. Visi baru yaitu Indonesia sehat 2010 akan dicapai melalui berbagai program pembangunan kesehatan yang telah tercantum dalam Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang program pembangunan nasional. Namun, pembangunan kesehatan belum mencapai hasil yang optimal yang ditandai dengan berbagai masalah kesehatan masih banyak ditemukan. Menurut laporan WHO tahun 2000, angka kematian bayi di Indonesia pada tahun 1998 masih tinggi adalah 48 per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi tersebut jauh lebih tinggi daripada angka kematian bayi di Thailand, Filipina, Srilangka, dan Malaysia. Hal di atas dapat disebabkan oleh masih rendahnya kinerja pembangunan kesehatan. Masalah tersebut wajar saja terjadi karena pada realitanya pembangunan kesehatan belum berada dalam arus utama pembangunan nasioanal (Depkes, 2003). Sebagai contoh adalah anggaran yang disediakan untuk pembangunan kesehatan di Indonesia, ternyata untuk bidang kesehatan, pemerintah mempunyai anggaran yang masih kecil. Menurut Thabrany (2005), berdasarkan analisis data tahun anggaran 22 1997/1980 sampai 2002, alokasi belanja kesehatan rata-rata 1,36% (kisaran 0,84% sampai dengan 1,85%) dari total belanja pemerintah.8 Kesenjangan status kesehatan terjadi antar daerah, antar tingkatan sosial-ekonomi dan antarkawasan perkotaan dan pedesaan. Secara spesifik kesenjangan tersebut antara lain disebabkan oleh belum efektifnya pelaksanaan desentralisasi penanganan kesehatan, efisiensi penggunaan anggaran dana yang masih rendah serta distribusi dan pendayagunaan tenaga kesehatan yang belum proporsional. Desentralisasi yang memberi peluang bagi Pemerintah Daerah untuk mengambil andil penting dalam penanganan masalah kesehatan secara teoritis dapat menyebabkan tercapainya pelayanan kesehatan yang lebih responsif terhadap kebutuhan lokal. Namun pada kenyataannya hal ini lebih mendorong timbulnya disparitas antar daerah dan sulit terpenuhinya informasi kesehatan yang essensial. Terlebih lagi, peningkatan pembiayaan yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam pembiayaan pengobatan kuratif menyebabkan berbagai pelayanan kesehatan preventif dan promotif oleh Pemerintah Daerah menurun. Peran pihak swasta yang meningkat saat ini seharusnya tidak lagi dijawab dengan kompetisi oleh pemerintah pusat. Dalam meningkatkan efisiensi alokasi dana kesehatan, pemerintah sebaiknya merangkul pihak swasta dengan meningkatkan koordinasi dan pengawasan. Hal ini dapat 8 Ibid, h. 94-95 23 dilakukan dengan sertifikasi dan regulasi untuk menjamin kualitas kesehatan yang diberikan. Selain itu, pemerintah juga seyogyanya mengalihkan fokus perhatian dan penanganan dari daerah dimana peran swasta telah baik kepada peningkatan pelayanan kesehatan warga miskin dan pada daerah dimana peran sektor swasta belum begitu baik. Realisasi anggaran dana kesehatan sebanyak 5% dari total APBN yang sedang diupayakan oleh Kementrian Kesehatan-pun harus dibekali dengan perencanaan program kerja yang komprehensif, yang salah satunya harus berfokus pada peningkatan kualitas, kuantitas dan keterjangkauan palayanan kesehatan warga miskin. Permasalahan SDM kesehatan juga merupakan tantangan yang harus segera dijawab oleh pemerintah. Koordinator Program Manajemen WHO Wilayah Asia Tenggara Dr. M Mucaherul Hug pada keteranganya usai pembukaan Konferensi Aliansi Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan SeAsia Pasifik di Sanur pada April 2010 menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dari 57 negara di dunia yang masuk dalam kategori negara yang mengalami krisis tenaga kesehatan. Menurut Mucaherul Hug, selain karena tidak meratanya distribusi, krisis tenaga kesehatan di Indonesia juga disebabkan oleh rendahnya kompetensi tenaga kesehatan Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah harus memberikan perhatian lebih pada institusi pendidikan terkait, serta menyusun dan menegaskan regulasi sebagai 24 upaya menjawab permasalahan distribusi tenaga kesehatan yang belum merata, terutama untuk daerah terpencil dan perbatasan.9 Kesehatan adalah hal esensial yang dibutuhkan oleh manusia, dan menjadi hak warga atas pemerintah. Dimanapun warga tersebut berada serta bagaimanapun status sosial ekonominya, pelayanan kesehatan harus diwujudkan dengan baik untuk menjawab tantangan-tantangan yang datang pada bidang kesehatan. Sehingga diharapkan cita-cita untuk mencapai indonesia yang lebih sehat dapat diwujudkan di tahun 2011. 2. Jaminan Kecelakaan Kerja Kecelakaan kerja termasuk penyakit akibat kerja merupakan risiko yang harus dihadapi oleh tenaga kerja dalam melakukan pekerjaannya. Untuk menanggulangi hilangnya sebagian atau seluruh penghasilan yang diakibatkan oleh adanya risiko-risiko sosial seperti kematian atau cacat karena kecelakaan kerja baik fisik maupun mental, maka diperlukan adanya jaminan kecelakaan kerja. Kesehatan dan keselamatan tenaga kerja merupakan tanggung jawab pengusaha sehingga pengusaha memiliki kewajiban untuk membayar iuran jaminan kecelakaan kerja yang berkisar antara 0,24% - 1,74% sesuai kelompok jenis usaha.10 9 http:www.beritabali.com/index.php?reg=&news&id=201010040001(Artikel ini diakses pada 7Juni 2011) 10 2011) http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=3&id=17 (Artikel ini diakses pada 9 Mei 25 Tenaga kerja mempunyai peranan dan arti yang penting dalam pelaksanaan pembangunan nasional pada umumnya dan dalam peningkatan produksi dan produktivitas khususnya, sehingga perlu diberikan perlindungan, pemeliharaan, dan perawatan dengan cara menyelenggarakan jaminan sosial, baik bagi tenaga kerja maupun keluarganya. Pemberian jaminan ini sebenarnya adalah untuk melindungi tenaga kerja terhadap resiko akan hilang atau berkurangnya penghasilan dari tenaga kerja bersangkutan karena adanya kecelakaan kerja yang disebabkan oleh penggunaan alat-alat besar dan tekhnologi modern serta bahan-bahan kimia.11 Sedangkan manfaat dari jaminan kecelakaan kerja ini memberikan kompensasi dan rehabilitasi bagi tenaga kerja yang mengalami kecelakaan pada saat dimulai berangkat bekerja sampai tiba kembali dirumah atau menderita penyakit akibat hubungan kerja. Iuran untuk program JKK ini sepenuhnya dibayarkan oleh perusahaan. Perincian besarnya iuran berdasarkan besarnya kelomok usaha sebagaimana tercantum pada iuran. a. Biaya Transport (Maksimum) 1) Darat Rp 400.000,- 2) Laut Rp 750.000,3) Udara Rp 1.500.000,- 11 http://khansamhamnida.wordpress.com/2011/04/14/jaminan-sosial-jenis-jenis-jaminansosial/ (Artikel ini diakses pada 8 Mei 2011) 26 b. Sementara tidak mampu bekerja 1) Empat (4) bulan pertama, 100% upah 2) Empat (4) bulan kedua, 75% upah 3) Selanjutnya 50% upah c. Biaya Pengobatan/Perawatan Rp 12.000.000,- (maksimum)* d. Santunan Cacat 1) Sebagian-tetap: % tabel x 80 bulan upah tetap 2) Total-tetap 3) Sekaligus: 70 % x 80 bulan upah 4) Berkala (2 tahun) Rp 200.000,- per bulan* 5) Kurang fungsi: % kurang fungsi x % tabel x 80 bulan e. Santunan Kematian 1) Sekaligus 60 % x 80 bulan upah 2) Berkala (2 tahun) Rp. 200.000,- per bulan 3) Biaya pemakaman Rp 2.000.000,-* f. Biaya Rehabilitasi: Patokan harga RS DR. Suharso, Surakarta, ditambah 40 % 1) Prothese anggota badan 2) Alat bantu (kursi roda) g. Penyakit akibat kerja, tiga puluh satu jenis penyakit hubungan kerja dan 3 tahun setelah putus hubungan kerja. selama 27 Iuran 1) Kelompok I: 0.24 % dari upah sebulan; 2) Kelompok II: 0.54 % dari upah sebulan; 3) Kelompok III: 0.89 % dari upah sebulan; 4) Kelompok IV: 1.27 % dari upah sebulan; 5) Kelompok V: 1.74 % dari upah sebulan; *) sesuai dengan PP Nomor 76 tahun 2007 3. Jaminan Hari Tua Program Jaminan Hari Tua (JHT) ditujukan sebagai pengganti terputusnya penghasilan tenaga kerja karena meninggal, cacat, atau hari tua dan diselenggarakan dengan sistem tabungan hari tua. Program Jaminan Hari Tua memberikan kepastian penerimaan penghasilan yang dibayarkan pada saat tenaga kerja mencapai usia 55 tahun atau telah memenuhi persyaratan tertentu. Jaminan sosial ini merupakan satu kesatuan dari jaminan kecelakaan kerja, yang telah diakomodir dalam Undang-undang Ketenagakerjaan. Jaminan ini diperuntukkan bagi tenaga kerja yang telah memasuki masa tua atau sudah terputusnya penghasilan tenaga kerja. Dihari tua, tenaga kerja juga membutuhkan akan adanya jaminan tersedianya dana yang dimanfaatkan pada saat sudah berhenti bekerja, baik karena sudah mencapai hari tua (usia 55/56 tahun) atau waktu menderita cacat tetap dan total ataupun pada waktu 28 meninggal dunia. Oleh karena itu tabungan hari tua yang dikaitkan dengan program jaminan kematian diharapkan dapat, membuat tenaga kerja dapat memenuhi kebutuhan minimum dihari tuanya beserta keluarganya dan memberikan ketenangan kerja bagi pekerja pada usia yang produktif. Iuran jaminan hari tua, yakni: ditanggung perusahaan sebesar 3,7% , dan ditanggung oleh tenaga kerja sebesar 2%. Sedangkan manfaat dari jaminan hari tua akan dikembalikan atau dibayarkan sebesar iuran yang terkumpul ditambah dengan hasil pengembangannya, apabila tenaga kerja: a. Mencapai umur 55 tahun atau meninggal dunia, atau cacat total tetap. b. Mengalami PHK setelah menjadi peserta sekurang-kurangnya 5 tahun dengan masa tunggu 6 bulan. c. Pergi keluar negeri tidak kembali lagi, atau menjadi PNS/ABRI. Tata Cara Pengajuan Jaminan12 Setiap permintaan Jaminan Hari Tua, tenaga kerja harus mengisi dan menyampaikan formulir 5 Jamsostek kepada kantor Jamsostek setempat dengan melampirkan: a. Kartu peserta Jamsostek (KPJ) asli. b. Kartu Identitas diri KTP/SIM (fotokopi). c. Surat keterangan pemberhentian bekerja dari perusahaan atau Penetapan Pengadilan Hubungan Industrial. 12 http://mitra-ku.com/home/index.php?option=com_content&view=article&id=50&Itemid= 63 (Artikel ini diakses pada 9 Mei 2011) 29 d. Surat pernyataan belum bekerja di atas materai secukupnya. e. Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang mengalami cacat total dilampiri dengan Surat Keterangan Dokter f. Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang meninggalkan wilayah Republik Indonesia dilampiri dengan: g. Pernyataan tidak bekerja lagi di Indonesia h. Photocopy Paspor i. Photocopy Visa j. Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang meninggal dunia sebelum usia 55 thn dilampiri: k. Surat keterangan kematian dari Rumah Sakit/Kelurahan/Kepolisian l. Photocopy Kartu keluarga m. Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang berhenti bekerja dari perusahaan sebelum usia 55 thn telah memenuhi masa kepesertaan 5 tahun telah melewati masa tunggu 6 (enam) bulan terhitung sejak tenaga kerja yang bersangkutan berhenti bekerja, dilampiri dengan: n. Photocopy surat keterangan berhenti bekerja dari perusahaan o. Surat pernyataan belum bekerja lagi p. Permintaan pembayaran JHT bagi tenaga kerja yang menjadi Pegawai Negeri Sipil/ ABRI. Selambat-lambatnya 30 hari setelah pengajuan tersebut PT Jamsostek (persero) melakukan pembayaran JHT. 30 4. Jaminan Pensiun Pensiun adalah penghasilan yang diterima oleh penerima pensiun setiap bulan berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sejauh ini, baru pegawai negeri sipil (PNS) dan anggota TNI/Polri yang memiliki program Jaminan Pensiun wajib. Sebagian besar tenaga kerja swasta, apalagi kelompok nonformal, belum memiliki program Jaminan Pensiun wajib meskipun sebagian kecil sudah memiliki program pensiun sukarela, baik melalui program pensiun yang diselenggarakan oleh perusahaan asuransi swasta maupun lembaga Dana Pensiun Lembaga Keuangan/Pemberi Kerja. Indonesia sebenarnya telah memiliki undang-undang (UU) yang akan melandasi reformasi penyelenggaraan program Jaminan Pensiun itu. Namun, implementasinya, termasuk penyelenggaraan program Jaminan Kesehatan, belum seperti diharapkan. Bahkan, sekarang sedang menjumpai masalah hukum mengingat masa transisi pembentukan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS), yang diamanatkan UU Nomor 40 Tahun 2004 sampai tahun 2009 sudah terlewati. Di dalam UU No 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) dicita-citakan bahwa pada suatu saat (15-20 tahun mendatang) seluruh penduduk Indonesia akan memiliki Jaminan Pensiun yang dapat memenuhi kebutuhan dasar hidupnya yang layak. 31 Dalam pemberian jaminan ini ada lima perusahaan yang telah ditunjuk dalam pemberian jaminan sosial, akan tetapi dimiliki oleh negara dan mengelola:13 a. PT Jamsostek, mengelola dana pensiun dan asuransi kesehatan bagi buruh swasta formal. b. PT Taspen, mengelola dana pensiun untuk egawai negeri. c. PT Asabri, mengelola program pensiunan untuk anggota ABRI. d. PT Askes, mengelola suransi kesehatan untuk pegawai negarai Di dalam Undang-undang jaminan sosial No.40 tahun 2004 antara lain dalam Pasal: a. Jaminan pensiun diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial atau tabungan wajib. b. Jaminan pensiun diselenggarakan untuk mempertahankan derajat kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurang penghasilannya karena memasuki usia pensiun atau mengalami cacat total tetap. c. Jaminan pensiun diselenggarakan berdasarkan manfaat pasti. d. Usia pensiun ditetapkan menurut ketentuan peraturan perundangundangan. e. Peserta jaminan pensiun adalah pekerja yang telah membayar iuran. f. Manfaat jaminan pensiun berwujud uang tunai yang diterima setiap bulan sebagai: 1) Pensiun hari tua, diterima peserta setelah pensiun sampai meninggal dunia; 2) Pensiun cacat, diterima peserta yang cacat akibat kecelakaan atau akibat penyakit sampai meninggal dunia; 3) Pensiun janda/duda,diterima janda/duda ahli waris peserta sampai meninggal dunia atau menikah lagi; 4) Pensiun anak, diterima anak ahli waris peserta sampai mencapai 23 (dua puluh tiga) tahun, bekerja, atau menikah; atau 13 Michael Raper, Negara Tanpa Jaminan Sosial Tiga Pilar Jaminan Sosial Di Indonesia dan Australia, (Jakarta: Trade Union Rights Centre, 2008), h. 60 32 5) Pensiun orang tua, diterima orang tua ahli waris peserta lajang sampai batas waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. a) Setiap peserta atau ahli warisnya berhak mendapatkan pembayaran uang pensiun berkala setiap bulan setelah memenuhi masa iuran minimal 15 (lima belas) tahun, kecuali ditetapkan lain oleh peraturan perundang-undangan. b) Manfaat jaminan pensiun dibayarkan kepada peserta yang telah mencapai usia pensiun sesuai formula yang ditetapkan. c) Apabila peserta meninggal dunia masa iur 15 (lima belas) tahun ahli warisnya tetap berhak, mendapatkan manfaat jaminan pensiun. d) Apabila peserta mencapai usia pensiun sebelum memenuhi masa iur (lima belas) tahun, peserta tersebut berhak mendapatkan seluruh akumulasi iurannya ditambah hasil pengembangannya. e) Hak ahli waris atas manfaat pensiun anak berakhir apabila anak tersebut menikah, bekerja tetap, atau mencapai usia 23 (dua puluh tiga) tahun. f) Manfaat pensiun cacat dibayarkan kepada peserta yang mengalami cacat total tetap meskipun peserta tersebut belum memasuki usia pensiun Jika melihat dari ulasan pada Undang-undang No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional tersebut dan perusahaan pengelola jaminan sosial, jaminan pensiun diberikan hanya untuk PNS/ABRI. Sedangkan untuk buruh swasta tidak mendapatkan tunjangan atau jaminan pensiun. Jikalau ada, itu pun hanya sedikit yang mendapatkannya. Sebagaimana yang diutarakan oleh H. Said Iqbal, ME yang merupakan Sekjen Komite Aksi Jaminan Sosial (KAJS). Beliau mengutarakan seharusnya seluruh rakyat Indonesia mendapatkan jaminan kesehatan seumur hidup dan juga dana pensiun tanpa adanya diskriminasi melalui sebuah petisi rakyat, yang berisi tiga poin penting:14 14 http://www.antaranews.com/berita/254960/kajs-perjuangkan-jamkes-tanpa-diskriminasi (Artikel ini diakses pada 9 Mei 2011) 33 a. Jaminan kesehatan seumur hidup untuk seluruh rakyat Indonesia, dalam hal ini berobat gratis seumur hidup. b. Jaminan dana pensiun wajib bagi buruh swasta. Ketika masih bekerja pekerja/buruh dituntut produktivitas tinggi dan diwajibkan membayar pajak. Namun, saat memasuki usia pensiun tidak mendapat jaminan pensiun. Akibatnya tidak mampu membayar kontrakan rumah, anak putus sekolah dan berpenyakitan, dan c. Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BJS) harus badan hukum publik wali amanat, bukan berbentuk BUMN atau PT sebagaimana yang lazim dilakukan oleh pemerintah saat ini. 5. Jaminan Kematian Jaminan Kematian diperuntukkan bagi ahli waris dari peserta program Jamsostek yang meninggal bukan karena kecelakaan kerja. Jaminan Kematian diperlukan sebagai upaya meringankan beban keluarga baik dalam bentuk biaya pemakaman maupun santunan berupa uang. Pengusaha wajib menanggung iuran Program Jaminan Kematian sebesar 0,3% dengan jaminan kematian yang diberikan adalah Rp 12 Juta terdiri dari Rp 10 juta santunan kematian dan Rp 2 juta biaya pemakaman15 dan santunan berkala. Ada tata cara pengajuan jaminan kematian ini yakni, sebagai berikut:16 2011) 15 Peraturan Pemerintah No. 76 tahun 2007 Tentang 16 http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=3&id=17 (Artikel ini diakses pada 9 Mei 34 Pengusaha/keluarga dari tenaga kerja yang meninggal dunia mengisi dan mengirim form 4 kepada PT Jamsostek (Persero) disertai bukti-bukti: a. Kartu peserta Jamsostek (KPJ) Asli tenaga Kerja yang Bersangkutan. b. Surat keterangan kematian dari Rumah sakit/Kepolisian/Kelurahan. c. Salinan/Copy KTP/SIM dan Kartu Keluarga Tenaga Kerja bersangkutan yang masih berlaku. d. Identitas ahli waris (photo copy KTP/SIM dan Kartu Keluarga). e. Surat Keterangan Ahli Waris dari Lurah/Kepala Desa setempat. f. Surat Kuasa bermeterai dan copy KTP yang diberi kuasa (apabila pengambilan JKM ini dikuasakan). PT Jamsostek (Persero) hanya akan membayar jaminan kepada yang berhak. Dan program ini memberikan manfaat kepada keluarga tenaga kerja sebagai berkut: a. Santunan kematian : Rp. 10. 000.000 b. Biaya pemakaman : Rp. 2. 000.000 c. Santunan berkala : Rp. 200. 000 (selama 24 Bulan) 35 D. Sumber-sumber Dana Jaminan Sosial 1. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)17 Penyusunan anggaran pendapatan negara disusun dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dankemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. Penyususnan rancangan anggaran pendapatan belanja negara, berpedoman kepada rencana kerja pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan Undang-Undang. Pemerintah mengajukan Rancangan APBN dalam bentuk RUU tentang APBN kepada DPR. Setelah melalui pembahasan, DPR menetapkan Undang-Undang tentang APBN selambat-lambatnya 2 bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan. Setelah APBN ditetapkan dengan Undang-Undang, pelaksanaan APBN dituangkan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Berdasarkan perkembangan, di tengah-tengah berjalannya tahun anggaran, APBN dapat 17 http://id.wikipedia.org/wiki/Anggaran_Pendapatan_dan_Belanja_Negara diakses pada 13 Mei 2011) (Artikel ini 36 mengalami revisi/perubahan. Untuk melakukan revisi APBN, Pemerintah harus mengajukan RUU Perubahan APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR.Perubahan APBN dilakukan paling lambat akhir Maret, setelah pembahasan dengan Badan anggaran DPR. Dalam keadaan darurat (misalnya terjadi bencana alam), Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya. APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara pemerintahan dan dalam rangka pembangunan, membiayai mencapai pelaksanaan pertumbuhan kegiatan ekonomi, meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam suatu tahun anggaran harus dimasukkan dalam APBN. Surplus penerimaan negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara tahun anggaran berikutnya: a. Fungsi otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan, Dengan demikian, pembelanjaan atau pendapatan dapat dipertanggungjawabkan kepada rakyat. b. Fungsi perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran negara dapat menjadi pedoman bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada tahun 37 tersebut. Bila suatu pembelanjaan telah direncanakan sebelumnya, maka negara dapat membuat rencana-rencana untuk medukung pembelanjaan tersebut. Misalnya, telah direncanakan dan dianggarkan akan membangun proyek pembangunan jalan dengan nilai sekian miliar. Maka, pemerintah dapat mengambil tindakan untuk mempersiapkan proyek tersebut agar bisa berjalan dengan lancar. c. Fungsi pengawasan, berarti anggaran negara harus menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian akan mudah bagi rakyat untuk menilai apakah tindakan pemerintah menggunakan uang negara untuk keperluan tertentu itu dibenarkan atau tidak. d. Fungsi alokasi, berarti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian. e. Fungsi distribusi, berarti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. f. Fungsi stabilisasi, memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian. Sementara berdasarkan aspek pengeluaran, prinsip penyusunan APBN adalah: a. Hemat, efesien, dan sesuai dengan kebutuhan. b. Terarah, terkendali, sesuai dengan rencana program atau kegiatan. 38 c. Semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan memperhatikan kemampuan atau potensi nasional. 2. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Anggara pendapatan belanja daerah (APBD) terdiri atas: a. Anggaran pendapatan, terdiri atas: 1) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain. 2) Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus. 3) Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat. b. Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah. c. Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikut. BAB III JAMINAN SOSIAL KESEHATAN DALAM PERSPEKTIF HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Perspektif Hukum Positif 1. Pengertian Jaminan Sosial Kewajiban negara (state obiligation) untuk memberikan jaminan pada setiap warga untuk memperoleh akses yang baik terhadap berbagai kebutuhan dasar manusia (terutama makanan, kesehatan, tempat tinggal, dan pendidikan). Sedangkan yang lain jaminan sosial berbicara tentang proteksi negara bagi warga terhadap kondisi-kondisi yang potensial mendegradasi harkat dan martabat manusia, seperti kemiskinan, usia lanjut, cacat, dan pengangguran. Dalam pandangan antropologi, kebudayaan atau kultur tidak pernah dapat terlepas dalam suatu masyarakat. Kebudayaan merupakan tata kelakuan, kelakuan dan hasil kelakuan manusia, masyarakat merupakan jaringan kelompok-kelompok manusia yang memangku kebudayaan tadi. Dengan demikian, masyarakat merupakan wadah dari kebudayaan.1 Atas dasar kenyataan itu beranggapan bahwa kebudayaan atau kultur ini sangat mewarnai kehidupan suatu masyarakat. Dalam pandangan tersebut, kondisi kehidupan masyarakat yang merupakan masalah sosial juga dapat 1 Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1966) 39 40 dianggap sebagai cerminan dari kultur masyarakatnya. Sebagai contoh, masalah kemiskinan sering dijelaskan sumbernya dari latar belakang budaya masyarakanya, sehingga dikenal suatu hipotesis yang disebut dengan kemiskinan kultural.2 Di banyak Negara, terutama Negara-negara yang menganut sistem Negara kesejahteraan (welfare state), sistem jaminan sosial yang baik dimaknai sebagai titik sentral makna eksistensi negara. Negara ada untuk kesejahteraan rakyat, bukan rakyat ada demi prestise negara. Tidak jarang, pemaknaan dan implementasi ide jaminan sosial di suatu negara menjadi indikator terpilih/tidaknya sebuah kabinet untuk memimpin pemerintah di masa datang. Itu sebabnya, kebanyakan pemerintah negara-negara beradab secara serius memaknai pelaksanaan jaminan sosial. Tidak ada definisi universal untuk “jaminan sosial” (sosial security). Secara umum ia diartikan sebagai penyedia perlindungan yang dilakukan lewat prosedur publik atas berbagai kerugian atau kehilangan penghasilann karena sakit, kehamilan, kecelakaan kerja, kehilangan pekerjaan, cacat, usia, lanjut, dan kematian. Asuransi kesehatan sering dianggap bagian dari jaminan sosial (misalnya oleh ILO)3. “Perlindungan sosial” (social protection) adalah istilah yang sering digunakan sebagai konsep yang lebih luas untuk mencakup 2 Soetomo, Masalah Sosial Dan Pembangunan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995), cet. 1, h. 100 3 Michael Raper, Negara Tanpa Jaminan Sosial Tiga Pilar Jaminan Sosial di Australia dan Indonesia, (Jakarta: Trade Union Rights Centre, 2008), h. 17 41 jaminan sosial, asuransi kesehatan dan jaminan yang diberikan di sektor swasta. Sedangkan jaminan Sosial Nasional adalah program Pemerintah dan Masyarakat yang bertujuan memberi kepastian jumlah perlindungan kesejahteraan sosial agar setiap penduduk dapat memenuhi kebutuhan hidupnya menuju terwujudnya kesejahteraan sosial bagi seluruh masyarakat Indonesia. Perlindungan ini diperlukan utamanya bila terjadi hilangnya atau berkurangnya pendapatan.4 Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2. Secara universal jaminan sosial dijamin oleh Pasal 22 dan 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh PBB (1948), dimana Indonesia ikut menandatanganinya. Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang, seperti terbaca pada Perubahan UUD 45 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat….”. Perlindungan jaminan sosial mengenal beberapa pendekatan yang saling melengkapi yang direncanakan dalam jangka panjang dapat mencakup seluruh rakyat secara bertahap sesuai dengan perkembangan kemampuan ekonomi masyarakat. Pendekatan pertama adalah pendekatan asuransi sosial (compulsory social insurance), yang dibiayai dari kontribusi/premi yang dibayarkan oleh setiap tenaga kerja dan atau pemberi kerja. Kontribusi/premi dimaksud selalu harus dikaitkan dengan tingkat pendapatan/upah yang dibayarkan oleh pemberi kerja. Pendekatan kedua berupa bantuan sosial 4 http://www.ekonomirakyat.org/edisi_7/artikel_5.htm (Artikel ini diakses pada 5 Mei 2011) 42 (social assistance) baik dalam bentuk pemberian bantuan uang tunai maupun pelayanan dengan sumber pembiayan dari negara dan bantuan sosial dan masyarakat lainnya. Beberapa negara yang menganut (welfare state) yang selama ini memberikan jaminan sosial dalam bentuk bantuan sosial mulai menerapkan asuransi sosial. membutuhkan Utamanya dana yang karena besar jaminan dan tidak melalui bantuan mendorong sosial masyarakat merencanakan kesejahteraan bagi dirinya. Disamping itu, dana yang terhimpun dalam asuransi sosial dapat merupakan tabungan nasional. Secara keseluruhan adanya jaminan sosial nasional dapat menunjang pembangunan nasional yang berkelanjutan. Pengaturan dalam jaminan sosial ditinjau dari jenisnya terdiri dari jaminan kesehatan, jaminan kecelakaan kerja, jaminan pemutusan hubungan kerja, jaminan hari tua, pensiun, dan santunan kematian. 2. Jaminan Sosial Kesehatan Pembangunan kesehatan merupakan bagian terpadu dari pembangunan sumber daya manusia dalam mewujudkan bangsa yang maju dan mandiri serta sejahtera lahir dan batin. Salah satu ciri bangsa yang maju adalah bangsa yang mempunyai derajat kesehatan yang tinggi. Pembangunan manusia seutuhnya harus mencakup aspek jasmani dan kejiwaannya di samping spiritual, kepribadian, dan kejuangan. Untuk itu, menurut Sujudi pembangunan kesehatan ditujukan untuk mewujudkan manusia yang sehat, cerdas, dan produktif. 43 Berbagai perubahan dan tantangan strategis yang mendasar seperti globalisasi, denokratisasi, desentralisasi, krisis multidimensi, serta pemahaman kesehatan sebagai hak asasi dan investasi mendorong terjadinya revisi terhadap sistem kesehatan yang selama ini menjadi dasar pembangunan kesehatan di Indonesia. Pembangunan kesehatan Indonesia meskipun secara status mengalami peningkatan, namun secara sistem hal itu belum menunjukkan adanya daya relationship semua stakeholder yang menjamin sistem kesehatan yang sustainable dengan dasar mengupayakan sistem pelayanan kesehatan bagi semua kalangan terutama masyarakat yang tidak mampu. Sementara sehat dalam definisi World Health Organization (WHO), adalah suatu keadaan sejahtera dari fisik, mental, dan sosial yang tidak hanya terbatas pada bebas penyakit dan kelemahan, dirasa tidak sesuai atau tidak lengkap lagi. Konsep sehat ini belum mengakomodasikan dimensi produktifitas dari kelompok umur yang berbeda seperti balita, remaja, dewasa, dan lanjut usia. Dalam Ottawa Charter tahun 1986 disebutkan bahwa sehat itu bukan tujuan hidup, tetapi alat untuk dapat hidup produktif.5 Pembiayaan kesehatan terkait adanya visi menuju Indonesia sehat 2010. Hal ini menuntut semua instistusi mensinergikan semua program kerjanya dengan keadaan dukungan dana yang tersedia demi tercapainya target tersebut. Satu hal yang akan mempengaruhi proses itu adalah komitmen 5 Wiku Adisasmito, Sistem Kesehatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h.6 44 ekspenditur untuk sektor kesehatan dari pemerintah di semua tingkatan. Pembiayaan merupakan faktor yang signifikan mempengaruhi biaya kesehatannya, yaitu rata-rata 2,2% dari GDP, sementara negara lain yang memiliki sistem kesehatan yang baik rata-rata total ekspenditur untuk kesehatan mencapai 8%-15% dari GDP. Sejak tahun 1999, arah pembangunan kesehatan nasional telah dirancangkan berupa program menuju Indonesia Sehat 2010.. dalam Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No 574/Menkes/SK/IV/2010 tentang kebijakan Pembangunan Kesehatan Menuju Indonesia Sehat 2010 telah dirumuskan visi dan misi serta strategi baru pembangunan kesehatan. Visi baru yaitu Indonesia sehat 2010 akan dicapai melalui berbagai program pembangunan kesehatan yang telah tercantum dalam Undang-undang No. 25 tahun 2000 tentang program pembangunan nasional. Namun, pembangunan kesehatan belum mencapai hasil yang optimal yang ditandai dengan berbagai masalah kesehatan masih banyak ditemukan. Menurut laporan World Health Organization (WHO) tahun 2000, angka kematian bayi di Indonesia pada tahun 1998 masih tinggi adalah 48 per 1.000 kelahiran hidup. Angka kematian bayi tersebut jauh lebih tinggi daripada angka kematian bayi di Thailand, Filipina, Srilangka, dan Malaysia. Hal di atas dapat disebabkan oleh masih rendahnya kinerja pembangunan kesehatan. Masalah tersebut wajar saja terjadi karena pada 45 realitanya pembangunan kesehatan belum berada dalam arus utama pembangunan nasioanal (Depkes, 2003). Sebagai contoh adalah anggaran yang disediakan untuk pembangunan kesehatan di Indonesia, ternyata untuk bidang kesehatan, pemerintah mempunyai anggaran yang masih kecil. Menurut Thabrany (2005), berdasarkan analisis data tahun anggaran 1997/1980 sampai 2002, alokasi belanja kesehatan rata-rata 1,36% (kisaran 0,84% sampai dengan 1,85%) dari total belanja pemerintah.6 Kesenjangan status kesehatan terjadi antar daerah, antar tingkatan sosial-ekonomi dan antarkawasan perkotaan dan pedesaan. Secara spesifik kesenjangan tersebut antara lain disebabkan oleh belum efektifnya pelaksanaan desentralisasi penanganan kesehatan, efisiensi penggunaan anggaran dana yang masih rendah serta distribusi dan pendayagunaan tenaga kesehatan yang belum proporsional. Desentralisasi yang memberi peluang bagi Pemerintah Daerah untuk mengambil andil penting dalam penanganan masalah kesehatan secara teoritis dapat menyebabkan tercapainya pelayanan kesehatan yang lebih responsif terhadap kebutuhan lokal. Namun pada kenyataannya hal ini lebih mendorong timbulnya disparitas antar daerah dan sulit terpenuhinya informasi kesehatan yang essensial. Terlebih lagi, peningkatan pembiayaan yang dilakukan Pemerintah Daerah dalam pembiayaan pengobatan kuratif menyebabkan 6 Wiku Adisasmito, Sistem Kesehatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007), h. 94-95 46 berbagai pelayanan kesehatan preventif dan promotif oleh Pemerintah Daerah menurun. Peran pihak swasta yang meningkat saat ini seharusnya tidak lagi dijawab dengan kompetisi oleh pemerintah pusat. Dalam meningkatkan efisiensi alokasi dana kesehatan, pemerintah sebaiknya merangkul pihak swasta dengan meningkatkan koordinasi dan pengawasan. Hal ini dapat dilakukan dengan sertifikasi dan regulasi untuk menjamin kualitas kesehatan yang diberikan. Selain itu, pemerintah juga seyogyanya mengalihkan fokus perhatian dan penanganan dari daerah dimana peran swasta telah baik kepada peningkatan pelayanan kesehatan warga miskin dan pada daerah dimana peran sektor swasta belum begitu baik. Realisasi anggaran dana kesehatan sebanyak 5% dari total APBN yang sedang diupayakan oleh Kementrian Kesehatan-pun harus dibekali dengan perencanaan program kerja yang komprehensif, yang salah satunya harus berfokus pada peningkatan kualitas, kuantitas dan keterjangkauan palayanan kesehatan warga miskin. Permasalahan SDM kesehatan juga merupakan tantangan yang harus segera dijawab oleh pemerintah. Koordinator Program Manajemen World Health Oraganization (WHO) Wilayah Asia Tenggara Dr. M Mucaherul Hug pada keteranganya usai pembukaan Konferensi Aliansi Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan Se-Asia Pasifik di Sanur pada April 2010 menyatakan bahwa Indonesia merupakan salah satu negara dari 57 negara di dunia yang masuk dalam kategori negara yang mengalami krisis tenaga kesehatan. 47 Menurut Mucaherul Hug, selain karena tidak meratanya distribusi, krisis tenaga kesehatan di Indonesia juga disebabkan oleh rendahnya kompetensi tenaga kesehatan Indonesia. Dalam hal ini, pemerintah harus memberikan perhatian lebih pada institusi pendidikan terkait, serta menyusun dan menegaskan regulasi sebagai upaya menjawab permasalahan distribusi tenaga kesehatan yang belum merata, terutama untuk daerah terpencil dan perbatasan. Kesehatan adalah hal esensial yang dibutuhkan oleh manusia, dan menjadi hak warga atas pemerintah. Dimanapun warga tersebut berada serta bagaimanapun status sosial ekonominya, pelayanan kesehatan harus diwujudkan dengan baik untuk menjawab tantangan-tantangan yang datang pada bidang kesehatan. Sehingga diharapkan cita-cita untuk mencapai indonesia yang lebih sehat dapat diwujudkan di tahun 2011. 3. Sumber-sumber Dana Jaminan Sosial a. Anggaran Pendapatan Belanja Negara (APBN)7 Penyusunan anggaran pendapatan negara disusun dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dankemampuan dalam menghimpun pendapatan negara. Penyususnan rancangan anggaran pendapatan belanja negara, berpedoman kepada rencana kerja pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara. Anggaran Pendapatan 7 http://id.wikipedia.org/wiki/Anggaran_Pendapatan_dan_Belanja_Negara (Artikel ini diakses pada 13 Mei 2011) 48 dan Belanja Negara (APBN), adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan negara Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat. APBN berisi daftar sistematis dan terperinci yang memuat rencana penerimaan dan pengeluaran negara selama satu tahun anggaran (1 Januari - 31 Desember). APBN, Perubahan APBN, dan Pertanggungjawaban APBN setiap tahun ditetapkan dengan UndangUndang. Pemerintah mengajukan Rancangan APBN dalam bentuk RUU tentang APBN kepada DPR. Setelah melalui pembahasan, DPR menetapkan Undang-Undang tentang APBN selambat-lambatnya 2 bulan sebelum tahun anggaran dilaksanakan. Setelah APBN ditetapkan dengan Undang-Undang, pelaksanaan APBN dituangkan lebih lanjut dengan Peraturan Presiden. Berdasarkan perkembangan, di tengah-tengah berjalannya tahun anggaran, APBN dapat mengalami revisi/perubahan. Untuk melakukan revisi APBN, Pemerintah harus mengajukan RUU Perubahan APBN untuk mendapatkan persetujuan DPR.Perubahan APBN dilakukan paling lambat akhir Maret, setelah pembahasan dengan Badan anggaran DPR. Dalam keadaan darurat (misalnya terjadi bencana alam), Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia anggarannya. APBN merupakan instrumen untuk mengatur pengeluaran dan pendapatan negara dalam rangka membiayai pelaksanaan kegiatan pemerintahan dan pembangunan, mencapai pertumbuhan ekonomi, 49 meningkatkan pendapatan nasional, mencapai stabitas perekonomian, dan menentukan arah serta prioritas pembangunan secara umum. APBN mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara dalam suatu tahun anggaran harus dimasukkan dalam APBN. Surplus penerimaan negara dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran negara tahun anggaran berikutnya: 1) Fungsi otorisasi, mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan, Dengan demikian, pembelanjaan atau pendapatan dapat dipertanggung jawabkan kepada rakyat. 2) Fungsi perencanaan, mengandung arti bahwa anggaran negara dapat menjadi pedoman bagi negara untuk merencanakan kegiatan pada tahun tersebut. Bila suatu pembelanjaan telah direncanakan sebelumnya, maka negara dapat membuat rencana-rencana untuk medukung pembelanjaan tersebut. Misalnya, telah direncanakan dan dianggarkan akan membangun proyek pembangunan jalan dengan nilai sekian miliar. Maka, pemerintah dapat mengambil tindakan untuk mempersiapkan proyek tersebut agar bisa berjalan dengan lancar. 3) Fungsi pengawasan, berarti anggaran negara harus menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintah negara sesuai dengan ketentuan yang telah ditetapkan. Dengan demikian akan 50 mudah bagi rakyat untuk menilai apakah tindakan pemerintah menggunakan uang negara untuk keperluan tertentu itu dibenarkan atau tidak. 4) Fungsi alokasi, berarti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya serta meningkatkan efesiensi dan efektivitas perekonomian. 5) Fungsi distribusi, berarti bahwa kebijakan anggaran negara harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. 6) Fungsi stabilisasi, memiliki makna bahwa anggaran pemerintah menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental perekonomian. Sementara berdasarkan aspek pengeluaran, prinsip penyusunan APBN adalah: 1) Hemat, efesien, dan sesuai dengan kebutuhan. 2) Terarah, terkendali, sesuai dengan rencana program atau kegiatan. 3) Semaksimal mungkin menggunakan hasil produksi dalam negeri dengan memperhatikan kemampuan atau potensi nasional. b. Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD), adalah rencana keuangan tahunan pemerintah daerah di Indonesia yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. APBD ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Tahun anggaran APBD meliputi masa satu tahun, mulai 51 dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31 Desember. Anggara pendapatan belanja daerah (APBD) terdiri atas: 1) Anggaran pendapatan, terdiri atas: a) Pendapatan Asli Daerah (PAD), yang meliputi pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah, dan penerimaan lain-lain. b) Bagian dana perimbangan, yang meliputi Dana Bagi Hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus. c) Lain-lain pendapatan yang sah seperti dana hibah atau dana darurat. 2) Anggaran belanja, yang digunakan untuk keperluan penyelenggaraan tugas pemerintahan di daerah. 3) Pembiayaan, yaitu setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikut. B. Perspektif Hukum Islam 1. Pranata Jaminan Sosial Dalam Hukum Islam a. Wakaf Secara bahasa, adalah al-habs (menahan). Kata al-waqf adalah bentuk masdar dari ungkapan waqfu al-syai‟, yang berarti menahan sesuatu. Imam Antarah, dalam syairnya, berkata: “untaku tertahan di suatu tempat, seolah-olah dia tahu agar aku bisa berteduh di tempat itu”. 52 Dengan demikian, pengertian wakaf secara bahasa, adalah menyerahkan tanah kepada orang-orang miskin atau untuk orang-orang miskin untuk ditahan. Diartikan demikian, karena barang milik itu dipegang dan ditahan oleh orang lain. Seperti menahan hewan ternak, tanah, dan segala sesuatu. Sedangkan pengertian wakaf menurut istilah para ulama berbeda pendapat tentang arti wakaf tersebut. Mereka mendefinisikan wakaf dengan definisi yang beragam sesuai dengan perbedaan madzhab yang mereka anut, baik dari segi kelaziman dan ketidaklazimannya. Menurut Mazhab Syafi‟i yakni oleh Imam Nawawi mendefiniskan wakaf dengan “Menahan harta yang dapat diambil manfaatnya bukan untuk dirinya, sementara benda itu tetap ada, dan digunakan manfaatnya untuk kebaikan dan mendekatkan diri kepada Allah”. Dan juga oleh Al-Syarbini Al-Khatib dan Ramli AlKabir, “Menahan harta yang bisa diambil manfaatnya dengan menjaga keamanan benda tersebut dan memutuskan kepemilikan barang tersebut dari pemilikinya untuk hal-hal yang diperbolehkan.8 Menurut Abu Hanifah yang mengartikan wakaf sebagai sadaqah yang kedudukannya seperti „ariyah, yakni pinjam-meminjam. Perbedaan antara wakaf dengan „ariyah ialah pada bendanya. Dalam „ariyah, benda ditangan si peminjam sebagai pihak yang menggunakan dan mengambil 8 Muhammad Abid Abdullah Al-Kabisi, Hukum Wakaf Kajian Kontemporer Pertama dan Terlengkap Tentang Fungsi dan Pengelolaan Wakaf Serta Penyelesaian Atas Sengketa Wakaf, (Jakarta: IIMaN, 2003), h. 44-45 53 manfaat benda itubenda itu. Sedangkan “benda” dalam wakaf ada di tangan si pemilik yang tidak menggunakan dan mengambil manfaat benda itu. Dengan demikian, benda yang diwakafkan itu tetap menjadi milik wakif sepenuhnya; hanya manfaatnya saja yang dishadaqahkan. Oleh karena itu wakaf tidak mempunyai kepastian hukum dalam arti ghair lazim, kecuali dalam 3 hal: “wakaf masjid, apabila hukum wakaf itu diputuskan oleh hakim, apabila benda wakaf it diputuskan oleh hakim, apabila benda wakaf itu dihubungkan dengan kematian si wakif yaitu wakaf wasiat”. Dalam bahasa Arab, term wakaf kadang-kadang bermakna obyek atau benda yang diwakafkan (al-mauquf‟alaih), atau tidak dipakai dalam pengertian wakaf sebagai suatu institusi seperti yang dipakai dalam perundang-undangan Mesir. Sementara di Indonesia, term wakaf dapat bermakna sebagai obyek yang diwakafkan atau pun sebagai institusi. Namun demikian, bila diperhatikan maka akan dijumpai bahwa term wakaf di Indonesia lebih menonjol dalam pengertiannya sebagi obyek yang diwakafkan.9 Sedangkan dalam Undang-undang No 41 tahun 2004 tentang wakaf dalam Pasal 1 ayat 1 menyebutkan bahwa pengertian wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan/atau menyerahkan sebagaian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya untuk 9 Juhaya S. Praja, Perwakafan Di Indonesia Sejarah, Pemikiran, Hukum, dan Perkembangannya, (Bandung: Yayasan Piara, 1995), h. 6 54 jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan/atau kesejahteraan umum menurut syariah. Dasar hukum wakaf terdapat pada Al-Quran maupun hadis. Dalil yang secara umum mengandung makna wakaf adalah firma Allah sebagai berikut: Artinya: “Kamu Sekali-kali tidak sampai kepada kebajikan (yang sempurna)sebelum kamu menapkahkan sebagian harta yang kamu cintai”(QS.Ali-Imran:3/92) b. Infaq Berarti mengeluakan sebagaian harta untuk kepentingan kemanusiaan, sesuai dengan ajaran Islam. Dalam hal di dunia kenyataan problema-problema hidup seperti kemiskinan dan keterlantaran, adalah suatu kenyataan yang tidak dimungkiri adanya dan perlu diusahakan untuk menghindarinya. Islam adalah agama yang secara serius berusaha menanggulanginya. Usaha-usaha untuk itu antara laian ialah adanya kemetian bagi oran yang kebetulan beruntung punya kelebihan harta untuk membantu yang berkekurangan dan untuk membiayai kepantingankepentingan sosial lainnya demikian pula dengan hubungan tanggung jawab keluarga, suami dan ayah berkewajiban menafkahi istri dan anaknya. 55 Sebaliknya seorang anak disatu waktu berkewajiban pula untuk menafkahi ayah dan ibunya. Pemakian istilah infak atau yang seakar dengannya di dalam alQuran mengandung pengertian yang bervariasi. Ada yang menunjukkan kepada sedekah wajib yaitu zakat, seperti yang ditemui dalam surat alBaqarah ayat 267 Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah(di jalan Allah) sebagian hasil dari usahamu yang baik-baik dan dari sebagian apa yang kamu keluarkan dari bumi untu kamu.dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu memanfaatkan daripadanya,padahak kamu sendiri tidak mau mengambilnya melainkan dengan memincingkan mata terhdapnya dan ketahuilah bahwa Allah maha kaya lagi maha terpuji”(QS.AlBaqarah:2/267) Dalam ayat ini dipakai kata anfiqu sebagai kata perintah dari kata infaq, yang menurut mayoritas ahli tafsir menunjuk kepada kewajiban zakat dengan kata infak. Kemudian kata infak atau yang seakar dengannya terdapat dalam surat at-Talaq ayat 6 dan 7 adalah menunjuk nafkah wajib atas seorang suami bagi anak istrinya. Dengan variasinya tingkat pengertian infak dalam al-Quran dapat dipahami bahwa istilah tersebut mengandung pengertian yang umum, 56 mencakup setiap aktivitas pengeluaran dana, baik berupa kewajiban seperti zakat, maupun kewajiban menafkahi keluarga rumah tangga serta ayah ibu disaat ia membutuhkan, dan juga menafkahkan sebagian hartanya untuk kepentiangan sosial. Infak lebih terasa peranannya terutama pada masyarakat yang tingkat kemiskinannya lebih tinggi, dan dengan sendirinya pela kepentingan-kepentingan sosial lainnya akan sulit terpenuhi tanpa ada uluran tangan dari yang punya harta. Dalam masyarakat yang tingkat kemiskinannya tinggi kebutuhan sosialnya banyak, zakat saja tidak cukup untuk menanggulangi kesenjangan dan kebutuuhan tersebut. Di saat itu, dalam harta orang yang kaya masih terdapat hak sosial yang harus dikeluarkan, yang diapahami oleh Muhammad Abduh sebagai kewajiban mengeluarkan harta selain kewajiban zakat. jika zakat merupakan salah satu rukun Islam, maka mengeluarkan harta selain zakat adalah salah satu tiang sendi dari kebaikan.10 Kewajiban membantu orang yang sedang dalam kesempitan dn kebutuhan sosial lainnya, tidak terkait dengan nisab dan dengan waktu. Bentuk pendermaan harta yang serupa itu populer dengan infak, seperti dalam firman Allah dalam surat al-Baqarah ayat 177 .... .... 10 IAIN Syarif Hidayatullah, Ensiklopedia Islam Indonesia, (Jakarta: Djambatan Anggota IKAPI, 1992), 425 57 Artinya: “... dan dia mendermakan harta yang dikasihinya kepada karib kerabatnya, anak-anak yatim, orang-orang miskin... (QS. alBaqarah: 2/177). c. Sedekah Sedekah adalah sebutan atau nama bagi sesuatu, terutama harta benda yang diberikan kepada seseorang, lembaga atau badan yang berhak, dengan tidak mengharapkan imbalan kecuali ridha Allah dalam rangka mendekatkan diri kepada-Nya (taqarrub ila Allah). Para ulama membedakan sedekah ke dalam dua macam: sadaqah wajibah (sedekah wajib) dan sadaqah mandubah (sedekah sunnah). Sedekah wajib ialah sedekah yang harus dilakukan oleh seseorang yang telah memenuhi perseyaratan-persyaratan yang ditentukan syariat. Sedekah inilah yang umum disebut dengan istilah zakat dalam rukum Islam yang lima. Seperti dalam al-Quran dalam surat at-Taubah: 9 /103 Sedangkan yang dimaksud dengan sedekah mandubah yaitu sedekah yang dianjurkan untuk melakukannya di setiap saat yang memungkinkan tanpa haruss memenuhi syarat-syarat tertentu dan kadarkdar tententu sebagai yang terdapat dalam zakat (sedekah wajib). Jika kita perhatikan secara seksama, pengertian sedekah sesungguhnya memiliki ruang lingkup yang sangat luas yang tersimpulkan 58 bahwa dalam setiap aktivitas yang mengandung nilai positif dalam pandangan Islam dapat disebut dengan sedekah. Dan juga kesimpulan dari sebagian ulama, setiap amal perbuatan yang menurut dalil-dalil syara dapat dikategorikan ke dalam perbuatan baik, apakah itu belaku atau tidak dalam adat kebiasaan dapat digolongkan ke dalam kriteria ma‟ruf di atas yang berarti juga dapat disebut sebagai sedekah.11 2. Golongan-golongan Yang Berhak Mendapatkan Jaminan Sosial Dalam Islam, jaminan sosial bagi masyarakat mendapatkan perhatian yang sangat penting. Islam memerintahkan kepada umatnya untuk selalu memenuhi kebutuhan dasar bagi setiap individu yang ada dalam sebuah masyarakat. Sebaliknya Islam sangat mengecam orang yang tidak mempedulikan nasib anak yatim dan orang miskin, bahkan Islam menganggap mereka sebagi pendusta agama sebagaimana dalam firman Allah surat AlMa‟un: 1-3 Artinya:“Tahukah kamu (orang) yang mendustakan agama? Itulah orang yang menghardik anak yatim dan tidak menganjurkan memberi makan orang miskin” (QS. Al-Ma‟un: 173/1-3) Kaitan antara jaminan sosial dalam agama islam terbentuk dari zakat. Zakat adalah ibadah maaliyyah ijtima‟iyyah yang memiliki posisi sangat 11 Ibid, h. 848 59 penting, strategis, dan menentukan,12 baik dilihat dari sisi ajaran Islam maupun dari sisi pembangunan kesejahteraan umat. Zakat termasuk salah satu rukun (rukun ketiga) dari rukun Islam yang lima, sebagaimana diungkap dalam berbgai hadis nabi sehingga keberadaannya dianggap sebagai ma‟luum minad-din bidh-dharuurah atau diketahui secara otomatis adanya dan merupakan bagian mutlak dari keislaman seseorang.13 Di dalam Islam sebagai ajaran (al-Qur‟an) kita dapati ada dua perintah yang selalu dikemukakan secara bergantian dengan; shalat dan zakat. Dua perintah itu, dalam banyak ayat al-Qur‟an memperlihatkan dirinya sebagai induk dari seluruh “jalan” keislaman itu sendiri. Dalam hadits Nabi saw kedua perintah itu diletakkan sebagai rukun Islam segera setelah pengakuan terhadap keesaan Tuhan. Baru setelah itu, rukun-rukun yang lainnya; puasa dan haji.14 Penggandengan kedua perintah tadi mengandung makna yang sangat dalam. Perintah shalat, dimaksudkan untuk meneguhkan keislaman jati-diri manusia sebagai hamba pada dimensi spiritualitasnya yang bersifat personal. Sedangkan perintah zakat dimaksudkan untuk mengaktualisasikan keislaman 12 Yusuf al-Qardhawi, Al-Ibadah fil-Islam (Beirut: Muassalah Risalah, 1993), h. 235 13 Ali Yafie, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung, 1994), h. 231 14 Persisnya hadits itu berbunyi: Buniyal islamu „ala khamsin; syahadatu alla ilaha illalloh wa anna Muhammadar rasulullah wa iqamus shalah wa itauz zakat wa shaumu ramadlan wa hijjul baiti man istatha‟a ilaihi sabila 60 jati-diri manusia pada dimensi etis dan moralitasnya yang terkait pada realitas sosial sebagai khalifah.15 Ditinjau dari segi bahasa, kata zakat mempunyai beberapa arti, yaitu al-barakatu (keberkahan), al-namaa (pertumbuhan dan perkembangan), atthaharatu (kesucian), dan ash-shalahu (keberesan). Sedangkan menurut istilah zakat adalah bagian dari harta yang wajib diberikan oleh setiap muslim yang memenuhi syarat kepada orang-orang tertentu, dengan syarat-syarat tertentu pula. Harta yang dikeluarkan itu, akan membersihkan semua harta yang dizakati, dan memelihara pertumbuhannya.16 Sebagaimana telah dijelaskan dalam al-Qur‟an surat At-Taubah. Artinya:”Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa buat mereka. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui” (QS. At-Taubah: 9/103) Quraisy Shihab menjelaskan bahwa ayat tersebut mengisyaratkan bahwa kehidupan atau hubungan timbal-balik hendaknya didasarkan oleh take 15 Masdar F. Mas‟ud, Agama Keadilan Risalah Zakat Pajak Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991), h. 34-35 16 Muhammad Daud Ali, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI-Press, 1988), cet ke-1, h. 26 61 and give. Memang, dalam kehidupan nyata, hal tersebut seyogyanya terjadi, yaitu sebanyak anda menerima sebanyak itu pula hendaknya anda memberi.17 Dalam al-Qur‟an banyak dijumpai ajaran antara lain untuk menjamin tingkat kualitas hidup minimum bagi seluruh masyarakat. Ajaran tersebut antara lain adalah; manfaat sumber-sumber alam harus dapat dinikmati oleh seluruh makhluk Allah, kehidupa fakir-miskin diperhatikan oleh masyarakat, terutama oleh orang yang punya, kekayaan tidak boleh dinikmati dan hanya berputar di antara orang-orang kaya saja, berbuat kebaikanlah kepada masyarakat, sebagaimana Allah telah berbuat baik kepadamu, jaminan sosial harus diberikan sekurang-kurangnya pada mereka yang disebutkan dalam alQur‟an sebagai pihak-pihak yang berhak atas jaminan tersebut sebagaimana dalam firman Allah dalam surat At-Taubah. Artinya:”Sesungguhnya zakat-zakat itu hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, para muallaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berutang, untuk jalan Allah dan orang-orang yang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. At-Taubah: 9/60) 17 Quraisy Shihab, Tafsir Al-Misbah, vol.5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1, h.667 62 Dalam hal ini penulis coba menguraikan beberapa golongan yang berhak mendapatkan jaminan dalam konteks zakat: a. Orang Fakir (al-Fuqara‟) Adalah kelompok pertama yang menerima bagian dari zakat. Alfuqara adalah bentuk jama‟ dari kata al-faqir menurut madzhab Syafi‟i dan Hanbali adalah orang yang tidak memiliki harta benda dan pekerjaan yang mampu mencukupi kebutuhannya sehari-hari. Dia tidak memiliki suami, ayah-ibu, dan keturunan yang dapat membiayainya, baik untuk membeli makanan, pakaian, maupun tempat tinggal. Hanafiyah berpendapat bahwa yang dimaksud “fakir” adalah orang yang memiliki harta tidak sampai nisab, atau ia memiliki nisab tidak sempurna yang habis untuk kebutuhannya. Adapun orang yang mempunyai harta sampai nisab apapun bentuknya yang dapat memenuhi kebutuhan primer, maka orang tersebut tidak boleh diberikan zakat. Alasannya bahwa orang yang mempunyai harta sampai nisab, maka ia wajib zakat. Orang yang wajib mengeluarkan zakat berarti ia tidak wajib menerima zakat.18 b. Orang Miskin (al-Masakin) Kelompok ini merupakan kelompok kedua penerima zakat. orang miskin adalah orang memiliki pekerjaan, tetapi penghasilannya tidak dapat 18 h. 150 Abdullah bin Muhammad, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, (Bogor: Pustaka Imam Syafi‟I, 2003), 63 dipakai untuk memenuhi hajat hidupnya. Seperti oarang yang memerlukan sepuluh tetapi dia hanya mendapatkan delapan sehingga belum dianggap laik dari segi makanan, pakaian, dan tempat tinggal. Menurut madzhab Syafi‟i dann Hanbali memberikan pemahaman bahwa orang fakir lebih sengsara dibandingkan dengan orang miskin ialah bahwasannya Allah menyebut fakir terlebih dahulu karena Dia biasanya menyebutkan sesuatu yang lebih penting, baru disusul yang berikutnya. Allah swt berfirman, ... Artinya:“Adapun bahtera tu adalah kepunyaan orang-orang miskin yang bekerja di laut...”(QS. Al-Kahfi:18/79) Dan juga dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu hurairah: ََوسَّلَم Artinya: Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw bersabda: Bukan yang bernama miskin itu, orang yang berkeliling minta-minta pada orang sehingga tertolak dari sesuap dua suap, atau sebiji dua biji kurma, tetapi orang miskin yaitu orang yang tidak ada penghasilan yang mencukupinya, dan tidak diingati orang untuk dishadaqahi, juga tidak berjalan meminta-minta kepada orang (H.R. Bukhari, Muslim) 19 Shahih Muslim, Kitab Tentang Zakat, Bab Tentang Orang Yang Tidak Berkecukupan Tetapi Tidak Minta-minta, (Surabaya: pt. Bina Ilmu, tth), no. 616, h. 319-320 64 c. Panitia Zakat (Al-„Amil) Untuk amil zakat, tidak disyaratkan termasuk miskin. Karena amil zakat mendapat bagian zakat dari disebabkan pekerjaannya, sebagaimana dijelaskan dalam hadits: Artinya:”Tidak halal zakat bagi orang kaya kecuali bagi lima orang, yaitu orang yang berperang di jalan Allah, atau amil zakat, atau orang yang terlilit hutang, atau seseorang yang membelinya dengan hartanya, atau orang yang memiliki tetangga miskin kemudian memberikannya kepada orang yang kaya. Panitia zakat adalah orang-orang yang bekerja memungut pajak. Panitia ini disyaratkan harus memiliki sifat kejujuran dan menguasai hukum zakat. yang boleh dikategorikan sebagai panitia zakat ialah orang yang ditugasi mengambil zakat sepersepuluh (al-„asyir); penulis (alkatib); pembagi zakat untuk mustahiqq-nya; penjaga harta yang dikumpulkan al-hasyir; yaitu orang-orang yang ditugasi untuk mengumpulkan pemilik harta kekayaan/orang-orang yang diwajibkan mengeluarkan zakat; al-„arif (orang-orang yang ditugasi menaksir orang yang telah memiliki kewajiban untuk zakat); penghitung binatang ternak; tukang takar, tukang timbang, dan penggembala; dan setiap orang yang menjadi panitia selain ahli hukum (Islam) atau al-qadhi, dan penguasa, karena mereka tidak boleh mengambil dari bayt al-mal. Upah dikeluarkan 65 dan menimbang dilaksanakan pada saat harta itu hendak dikeluarkan zakatnya. Adapun ongkos pembagiannya kepada penerima zakat dibebankan kepada panitia (al-„amil). d. Mu‟allaf Yang termasuk dalam kelompok ini antara lain orang-orang yang lemah niatnya untuk memasuki Islam. Mereka diberi bagian dari zakat agar niat mereka memasuki Islam menjadi kuat. Mereka terdiri dari atas dua macam: Muslim dan Kafir. Kelompok kafir terdiri atas dua bagian, yaitu orang-orang yang diharapkan kebaikannya bisa muncul, dan orang-orang yang ditakuti kejelekannya. Disebutkan bahwa Nabi pernah memberikan sesuatu kepada orang kafir, untuk menundukkan hatinya agar mereka masuk Islam. Di dalam kitab Shahih Muslim, disebutkan bahwa Nabi saw pernah memberi Abu Sufyan bin Harb, Shafwan bin Umayyah, Uyaynah bin Hishn, alAqra‟ bin Habis, dan Abbas bin Mirdas. Setiap orang diberi seratus ekor unta. Di samping itu, beliau pernah memberi „Alqamah bin „Allatsah harta benda yang diperoleh dari rampasan perang Hunyn20 Para Ulama berselisih pendapat dalam memberikan bagian zakat kepada mu‟allaf ketika mereka belum memeluk agama Islam.Mazdhab Hanbali dan Maliki mengatakan, ”mereka diberi bagian agar tertarik 20 Wahbah Zuhayly, Zakat Kajian Berbagaii Mazhab, (Bandung: PT Remaja Rodakarya, 1995), cet ke-1, h. 283 66 kepada Islam,” karena sesungguhnya Nabi Saw pernah memberikan kepada mu‟allaf yang muslim dan mu‟allaf dari kaum musyrik. Di lain pihak, mazhab Hanafi dan Syafi‟i mengatkan, “pemberian bagian zakat kepada orang kafir, pada masa awal Islam, bukanlah untuk menundukkan mereka atau yang lain, tetapi karena pada masa itu umlah kaum muslimin masih sedikit sedangkan jumlah musuh mereka sangat banyak; dan Allah swt ingin memuliakan Islam dan kaum Muslimin, serta untuk menunjukkan bahwa mereka tidak memerlukan zaman al-khulafa‟ al-Rasyidin, orang-orang kafir tidak lagi diberi bagian zakat. Umar r.a. mengatakan, “kami tidak memberikan sesuatu agar orang mau masuk Islam. Siapa yang mau, masuklah Islam, dan siapa yang tidak mau, terserah kepadanya untuk menjadi orang kafir.” e. Riqab (memerdekakan budak) Para budak yang dimaksudkan di sini, menurut jumhur ulama, ialah para budak muslim yang telah membuat perjanjian dengan tuannya (al-Mukatabun)21 untuk dimerdekakan dan memiliki uang untuk membayar uang tebusan atas diri mereka, meskipun mereka telah bekerja keras dan membanting tulang mati-matian. Mereka tidak mungkin melepaskan diri dari orang yang tidak mengingatkan kemerdekaannya 21 Al-Mukatab ialah budak yang dijanjikan oleh tuannya untuk dimerdekakan bila dia telah membayar sejumlah uang. Membuat perjanjian seperti itu disunnatkan oleh Allah swt 67 kecuali telah membuat perjanjian. Jika ada seorang hamba yang dibeli, uangnya tidak akan diberikan kepadanya melainkan kepada tuannya. Oleh karena itu, sangat dianjurkan untuk membayar zakat kepada para budak itu agar dapat mememrdekakan diri mereka. Selain itu, ditegaskan pula dala firman Allah swt. ... ... Artinya:”...Berikanlah kepada mereka sebagian dari harta Allah yang dikaruniakannya kepadamu...” (QS. An-Nur: 24/33) Ibnu Abbas menafsirkan bahwa yang dimaksud ayat ini adalah hamba-hamba sahaya yang telah mendapat jaminan dari tuan mereka untuk dimerdekakan. Rasyid Ridha (mufasir dari mesir) dan Mahmud Syaltut (tokoh fikih Mesir) mensinyalir, bahwa pengertian kat riqab dapat diahlikan kepada kelompok atau bangsa yang hendak membebaskan diri mereka dari penjajahan. Menurut Abd al-Sami‟ al-Mishry dalam kitabnya berjudul almuqawwimaat al-iqtishad al-islamy, menganalogikan budak dengan para pekerja/karyawan/buruh dengan upah yang minimum, sehingga dengan upah tersebut tidak dapat mencukupi kebutuhan dharuriyah (dasar).22 Mazhab Maliki mengatakan, “para budak itu hendaknya dibeli dengan bagian zakat yang mereka terima sehingga mereka bisa merdeka karena setiap kali kata perbudakan disebutkan dalam Al-Qrur‟an, ditempat 22 M. Arif Mufraini, Akuntansi dan Manajemen Zakat (Jakarta: Kencana, 2006), h. 194-195 68 itu juga ada anjuran bahwa mereka hendaknya dimerdekakan. “Dan membebaskan budak tidak akan terjadi kecuali pada hamba sahaya yang betul-betul budak seperti yang disebutkan dalam ayat kafarat. f. Gharim (Orang Yang Memiliki Utang) Mereka adalah orang-orang yang memiliki utang, baik utang itu untuk dirinya sendiri maupun bukan, baik utang itu dipergunakan untuk hal-hal yang baik maupun untuk melakukan kemaksiatan. Jika utang itu dilakukannya untuk kepentingannya sendiri, dia tidak berhak memdapatkan bagian dari zakat kecuali dia adalah seorang yang dianggap kafir. Tetapi, jika utang itu untuk kepentingan orang banyak yang berada di bawah tanggung jawabnya, untuk menebus denda atau menghilangkan barang orang lain, dia boleh diberi bagian zakat, meskipun sebenarnya dia itu kaya, sebab ada sabda Rasulullah saw: Artinya: “Zakat tidak boleh diberikan kepada orang kaya kecuali bila ada salah satu dari lima sebab di bawah ini. Orang yang berjuang dijalan Allah swt, panitia zakat, berutang, orang yang menebus dirinya, orang yang mempunyai tetangga yang miskin kemudian memberikannya kepada orang yang kaya. Mazhab Hanafi mengatakan, “Orang yang berutang ialah orang yang betul-betul memiliki hutang dan tidak memiliki apa-apa selain utangnya itu”. Dan mazhab maliki mengatakan, “bahwa orang yang 69 berutang ialah orang yang benar-benar dililit orang sehingga dia tidak bisa melunasi utangnya. Dan utang itu tidak ia pakai untuk melakukan maksiat, seperti meminum khamar dan berjudi. Disamping itu, dia tidak bermaksud bahwa dengan cara berhutang dia akan memperoleh bagian zakat. g. Orang Yang Berjuang di jalan Allah (fi Sabilillah) Yang termasuk dalam kelompok ini ialah para pejuang yang berperang di jalan Allah yang tidak digaji oleh markas komando mereka karena yang mereka lakukan hanya berperang. Allah swt berfirman, Artinya: “Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berperang di jalan Nya dalam barisan yang teratur...(QS. Ash-Shaf: 61/4) Menurut jumhur ulama, orang-orang yang berperang di jalan Allah diberi bagian zakat agar dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka, meskipun mereka itu kaya karena sesungguhnya orang-orang yang berperang itu untuk kepentingan orang banyak. Adapun orang-orang yang digaji oleh markas komando mereka, tidak diberi bagian zakat sebab mereka memiliki gaji tetap yang dapat dipakai untuk memenuhi segala kebutuhan mereka, dan mereka tidak memerlukan bagian itu. Sebagian ulama mazhab Syafi‟i dan Hanbali mengatakan, dana zakat tidak boleh dibagikan kecuali kepada orang-orang yang berperang dan orang-orang yang berjihad fakir. Pendapat itu didasarkan pada pertimbangan bahwa orang kaya yang berperang itu sudah dapat mempersiapkan diri dan 70 menyiapkan perlengkapannya. Sedang orang fakir yang ikut berperang, dibiayai negara. Akan tetapi pendapat itu tidak bisa menjadikan fakir/miskin yang ikut berperang sebagai kelompok sasaran zakat yang berdiri sendiri. Sebaliknya mereka sudah masuk dalam daftar orang-orang fakir pada umumnya.23 h. Orang yang sedang dalam perjalanan Yang dimaksud di sini adalah orang asing yang tidak dapat kembali ke negerinya. Ia diberi zakat agar ia dapat melanjutkan perjalanan ke negerinya. Namun ibnu sabil tidaklah diberi zakat kecuali bila memenuhi syarat yakni; muslim dan bukan termasuk ahlul bait (keluarga Nabi shallallahu „alaihi wa sallam), tidak memiliki harta pada saat itu sebagai biaya untuk kembali ke negerinya walaupun di negerinya dia adalah orang yang berkecukupan, safar yang dilakukan bukanlah safar maksiat. 3. Jaminan Sosial Kesehatan a. Prinsip Menjaga kesehatan24 1. Preventif Organisasi Kesehatan Sedunia (WHO) mendefinisakan kesehatan sebagai suatu keadaan hidup sejahtera badaniah, rohaniah dan sosial; bukan hanya ketiadaan penyakit dan cacat. dan kesehatan 23 Muhammad Abu Zahrah, Zakat Dalam Perspektif Sosial¸ (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1995), h. 160-161 24 Ahmad Syauqy Al-Fanjari, Pengarahan Islam Tentang Kesehatan, (Jakarta: al-Hidayah, 1990), cet 1, h. 74- 79 71 preventif didefinisikan sebagai ilmu yang memelihara pribadi dan masyarakat untuk tetap berada dalam taraf kesehatan yang sebaikbaiknya. Banyak orang mengira bahwa seseorang Muslim yang ideal adalah manusia yang lamban dalam gerak dan tidak aktif, tidak mampu begerak cepat, lari, memikiul beban, dan tidak mau memakai pakaian olah raga. Tidak mau berolah raga dengan anggapan bahwa olag raga adalah pekerjaan anak-anak dan remaja. Bahkan ada diantara orang Islam sendiri yang menganggap bahwa olah raga adalah suatu bentuk perbuatan mubadzir atau sia-sia yang melengahkan manusia dari beribadah, atau mengurangkan penampilan atau pengahargaan manusia, atau menjadikan mereka lengah dari ilmunya, syaratnya, atau kemantapan beragamanya. Dan, diantara ayat-ayat al-Quran yang mentolerir pembinaan tubuh, adalh firman Allah dalam surat alBaqarah : 247 Artinya:”Sesungguhnya Allah telah memilihnya untukmu dan memperlengkapinya dengan kesempurnaan ilmu dan tubuh yang 72 perkasa. Allah memberikan pemerintahan kepada siapa yang di kehedaki-Nya.dan Allah Maha luas pemberian-nya dan Allah Maha luar pemberia-nya lagi maha mengetahui” Kesehatan memang pintng nilainya,sehat jasmani dan rohani kwdua paktor yang memuuat kita disebut sebagai Manusia,satusatunya yang di karuniaiakal,sebagai media untuk berpikirb,mencerna menganalisa dan banyak hal lain tenntunya.betapa pentingnya menjaga kesehatan,dengan memiliki baban sehat,tentu aktifitas bisa berjalan normal.Islam sebag agama yang syumul,juga berbicara juga tentang arti penting kesehatan bagi tubuh kita.berapa dalil dari Al-Quran danAs-Sunnah menjelaskan akan pentingnya menjaga kesehatan tubuh,antara lain: Artinya: “Maka barangsiapa diantara kamuada yang sakit atau dalam perjalanan 9lalu ia berbuka ),Maka (Wajublah baginya berpuasa sebanyak hari yang ditinggalkan pada hari-hari yang lain...”(QS.Al Baqarah:184) 2. Makanan Mengenai makanan dalam Islam, telah disebutkan bahwa Islam tidak mencukupkan hanya dengan melarang makanan-makanan yang merusak tubuh seperti bangkai, darah dan daging babi saja; tetapi 73 Islam juga memrintahkan untuk memakan makan yang diperlukan oleh tubuh yang dalam al-Quran disebut baik yakni: daging atau makanan yang berasal dari daging, baik dari daging binatang darat maupun binatang laut, madu, susu, dan korma. Sebagaimana dalam UU No. 40 Tahun 2004 terdapat beberapa macam jaminan sosial yang salah satunya jaminan sosial kesehatan. Sehat menurut WHO (World Health Organizaation), sehat adalah “memperbaiki kondisi manusia, baik jasmani, rohani ataupun akal, sosial dan bukan semata-mata memberantas penyakit. Islam sejak dari awal sangat mementingkan hidup sehat melalui tindakan promotif-preventif-protektif. Langkah dimulai dari pembinaan terhadap manusia sebagai subjek sekaligus objek persoalan kesehatan itu sendiri. Islam menanamkan nilai-nilai tauhid dan manifestasi dari tauhid itu sendiri pada diri manusia. Nilai-nilai tersebut mampu merubah persepsi-persepsi tentang kehidupan manusia di dunia yang pada gilirannya tentu saja secara merubah perilaku manusia. Dan perilaku yang diharapkan dari manusia yang bertauhid adalah perilaku yang merupakan realisasinya dari ketaatan terhadap perintah dan larangan Allah. Kesehatan memang penting nilainya, sehat jasmani dan rohani, kedua faktor yang membuat kita disebut sebagai manusia, satu-satunya makhluk yang dikaruniai akal, sebagai media untuk berfikir, mencerna, 74 menganalisa dan banyak hal lain tentunya. Betapa pentingnya menjaga kesehatan, dengan memiliki badan yang sehat, tentu aktivitas bisa berjalan normal. Islam sebagai agama yang syumul, juga berbicara tentang arti penting kesehatan bagi tubuh kita. Beberapa dalil dari Al Qur‟an dan As-sunnah menjelaskan akan pentingnya menjaga kesehatan tubuh, antara lain : Artinya: “…Maka barangsiapa diantara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), Maka (wajiblah baginya berpuasa) sebanyak hari yang ditinggalkan itu pada hari-hari yang lain…”. (QS. Al Baqarah : 184) Ayat ini menunjukan adanya rukhsoh (dispensasi) bagi yang sakit ketika melaksanakan ibadah puasa ramadhan, demikian juga diperbolehkan berbuka puasa bagi musafir (orang yang sedang dalam perjalanan). Karena adanya mani‟ (sesuatu yang mencegah) yakni sakit dan safar. Islam berbeda dengan agama lain yang datang sebelumnya. Islam datang sebagai agama dan untuk kepentingan duniawi serta ukhrawi secara simultan. Tidak sekedar sebatas jalur hubungan antara hamba dengan Tuhan saja (vertikal), akan tetapi Islam adalah satuusatunya agama yang menegakkan daulat dan pemerintahan (horizontal), yakni pemerintahan Rasulullah saw di Madinah. 75 Kemudian dari langit diturunkan wahyu secara menyeluruh untuk mengatur undang-undang yang abadi. “Kesehatan merupakan salah satu hak bagi tubuh manusia'' demikian sabda Nabi Muhammad SAW. Karena kesehatan merupakan hak asasi manusia, sesuatu yang sesuai dengan fitrah manusia, maka Islam menegaskan perlunya istiqomah memantapkan dirinya dengan menegakkan agama Islam. Satu-satunya jalan dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya. Allah berfirman: Artinya:''Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh-penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk dan rahmat bagi orang-orangnya yang beriman'' (QS:Yunus 57). Empat faktor utama yang mempengaruhi kesehatan adalah lingkungan (yang utama), perilaku, pelayanan kesehatan, dan genetik. Bila ditilik semuanya tetaplah bemuara pada manusia. Faktor lingkungan (fisik, sosek, biologi) yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap status kesehatan tetap saja ditentukan oleh manusia. Manusialah yang paling memiliki kemampuan untuk memperlakukan dan menata lingkungan hidup. Masalah kesehatan banyak sekali disinggung dalam al-Qur‟an tentang larangan memakan bangkai yang tercantum dalam firman Allah. 76 Artinya: “Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya,... (QS. al-Maidah 5/3) Dengan banyaknya ayat yang menyinggung tentang kesehatan, maka agama Islam tidak hanya menjalin hubungan antara manusia dengan manusia tapi menjaga juga hubungan manusia dengan Tuhannya. Dalam Islam manusia diciptakan oleh Allah hanya untuk mennyembahnya, jadi telah jelas hidup kita hanyalah untuk memperhambakan diri kita secara total kepada Allah, tidak lain tidak bukan.25 Sesuai dengan yang dikatakan juga dalam surat Al-An‟am 162 Artinya: “Katakanlah: Sesungguhnya sembahyangku, ibadatku, hidupku dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.(QS. Al-An‟am 6/162) Jika dikaitkan dengan orang yang paling mulia di sisi Allah adalah orang yang bertaqwa. Salah satu perilaku taqwa ialah perilaku yang selalu diwarnai oleh kepatuahan kepada segala perintah Nya dan menjauhi larangan 25 Ahmad Watik Pratikya, Abdul Salam M. Sofro, Islam Etika dan Kesehatan Sumbangan Islam Dalam Menghadapi Problema Kesehatan Indonesia Tahun 2000-an, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986), h. 162 77 Nya. Ini yang kita namakan diridhai oleh Allah, dan inilah hemat saya yang dinamakan dengan sehat. Manusia kalau dia mengatakan dirinya seorang muslim, dia tidak sholat maka dapat dikatakan dia sakit. Manusia yang menamakan dirinya muslim tapi tidak berpuasa maka dapat juga dikatakan dia sakit. 3. Pengobatan “Kesehatan merupakan salah satu hak bagi tubuh Manusia Demikian Sabda Nabi Muhammad SAW.Karena kesehatan merupakan hak sasasi Manusia,sesuatu sesuai dengan fitrah Manusia,maka Islam menegaskan perlunya istiqomah memanfaatkan dirinya dengan menegakan agama Islam.Satu-satunya jalan dengan melaksanakan perintah-perintah-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.Allah berpirman di dalam Surat Yunus Ayat 57 Artinya:”Hay Manusia,sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari tuhanmu dan Penyembuh-penyembuh bagi Penyakit-penyakit (yang berada)dalam dada dan petunjuk dan rahmat bagi Orang-orangnya yang beriman”(QS:Yunus 57). Islam dari awal sangat mementingkan hidup sehat melalui tidakan promotif-preventif-protektif.lankah dimulai dari pembinaan terhadap manusia sebagai Subjek sakaligus Objek persoalan kesehatan itu sendiri.Islam menanamkan Tauhid dan manifestasi dari Tauhid itu sendiri pada diri 78 Manusia.Nilai-nilai tersebut mampumerubah persepsi-persepsi tentang kehidupan Manusia di dunia yang pada giliranyan tentu saja secara merubah perilaku manusia.dan perilaku yang diharapkan dari manusia yang bertauhid adalah perilaku yang merupakan realisasinya dari ketataan terhadap perintah dan larangan Allah. Islam berbeda dengan agama lain yang datang sebelumnya.Islam sebagai agama dan untuk kepentingan duniawi serta kepentingan ukhrawi secara simultan.tidak sekedar sebatas jalur hubungan antara hamba dengan tuhan saja(vertikal),akantetapi Islam adalah Satu-satunya agama yamg menagakan daulat dan pemerintahan (horizontal),yakni pemerintah Rasulallah Saw dimadinah.kemudian dari langit diturunkan wahyu secara menyeluruh untuk mengatur Undang-undang yang abadi. Empat faktor yang mempengaruhi kesehatan adalah lingkungan (yang utama),perilaku,pelayanan kesehatan,dan genetik,bila ditilik semuanya teteplah bermuara pada manusia.faktor lingkungan (fisik,soek,biologi)yang mempunyai pengaruh paling besar terhadap setatus kesehatan tetap sja ditentukan oleh manusia.manusialah yang paling memiliki kemampuan untuk memperlakukan dan menata lingkungan hidup. Dengan banyak ayat yang menyingung tentang kesehatan,maka agama Islam tidak hanya menjalin hubungan antara manusia dengan manusia tapi menjaga juga hubungan dengan Tuhanya.dalam Islam manusia diciptakan oleh Allah hanya untuk menyembahnay,jadi telah jelas hidup kita hanyalah 79 untuk memperhambakan diri kita secara total kepada Allah,tidak lain tidak bukan.26sesuai yang dikatakan juga dalam surat l-An‟am 162 Artinya: ”Katakanlah: sesungguhnya smbayangku,ibadahku,hidupku,dan matiku hanyalah untukAllah,tuhan semesta alam(QS.AlAn‟am6/162) Jika dikaitkan dengan orang yang paling mulia disisi Allah adalah orang yang bertaqwa.salah satu perilaku orang yang bertaqwa adalah perilaku yang selalu diwarnai oleh kepatuhan kepada segala perintah-Nya dan menjauhi laranganNya.ini yang kita namakan diridhai oleh Allah,dan inilah hemat saya yang dinamakan dengan sehat .manusia kalao dia mengatakan dirinya seorang muslim,dia tidak sholat maka dapat dikatakan dia sakit.manusia yang menamakan dirinya muslim tapi tidak berpuasa maka dapat juga dikatakan dia sakit. 4. Sumber-sumber Dana Jaminan Sosial Pada masa Rasulullah pengelolaan dana terhadap orang-orang yeng membutuhkan dana tersebut dengan mendirikan baitulmal. Baitul mal menurut Ali Fikri adalah tempat penyimpana dan penjagaan uang atau harta yang mana harta tersebut merupakan bagian yang terlebih dari yang dibutuhkan dan dikelola serta disalurkan oleh Daulah Islamiyah.27 26 Ahmad wati pratikya,Abdul Salam M.Sopro,Islam etika dan kesehatan sumbangan Islam dalam menghadapi problema kesehatan Indonesia Tahun 2000-an,(Jakarta:CV.Rajawali,1986),h.162 27 Ali Fikri, Wawasan Islamdan Ekonomi Sebuah Bunga Rampai Umar Bin Khattab ra, (Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 1998), h. 208 80 Sedangkan menurut Dr. Muhammad Rawwas Qal‟ahji definis baitulmal adalah: Artinya:“Baitulmal adalah sebuah departemen tempat penabungan keuangan negara dari sanalah semua kebutuhan keuangan negara dibelanjakan.28 Sumber dana diperoleh dari zakat, infak dan shadaqah atau sumber lain yang halal, kemudian dana tersebut disalurkan pada yang berhak (mustahiq) atau untuk kebaikan. Baitulmal juga didefinisikan sebagai lembaga keuangan negara yang bertugas menerima, menyimpan dan mendistribusikan uang negara sesuai dengan aturan-aturan syariat.29 Dan dana-dana tersebut berasal dari: a. Zakat Secara bahasa zakat merupakan masdar dari kata “zaka” yang mempunyai arti musytarak yaitu tumbuh, berkembang biak, subur, dan bersih. Dinamakan zakat karena harta yang dizakati dimaksudkan untuk mensucikan jiwa, harta, dan juga diharapkan kekayaannya semakin berkembang.30 Sedangkan B. Wiwoho mengartikan zakat merupakan 28 Muhammad Rawwaa Qal‟ahji, Ensiklopedia Fiqh Umar bin Khattab ra, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), h. 52 29 Abdul Azis Dahlan (ed), Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ihktiar Baru Van Hoeve, 1997), h. 186 30 Al Munwir, Kamus Al Munawir “Zakat”, (Yogyakarta: PP Al Munawir, 1984), h. 65 81 kadar harta tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya dengan persyaratan tertentu yang diberikan kepada yang berhak menerimanya denagn persyartant tertantu dan merupakan kewajiban agama yang berhubungan dengan harta seseorang.31 Sebagaimana dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah yang menyuruh mendahulukan pengeluaran zakat sebelum waktunya: Artinya: “Abu Hurairah r.a. berkata: Rasulullah saw telah menyuruh orang-orang mengeluarkan zakat, tiba-tiba Nabi saw, diberi tahu bahwa Ibnu Jamil dan Khalid al-Walid dan Abbas bin Abdul Muthallib menolak (tidak mau mengeluarkan zakat), maka Nabi saw, bersabda: Tidak ada alasan bagi Ibnu Jamil untuk mengeluarkan kecuali karena ia merasa dahulunya miskin dan telah diberi kekayaan oleh Allah, adapun Khalid maka kamu aniaya padanya karena ia telah menshadaqahkan pakaian perang dan perlengkapan-perlengkapannya fi sabilillah, adapun al-Abbas bin Abdul Muthallib maka ia paman Rasulullah maka ia tetap wajib padanya zakat dan sebanyak itu juga di samping yang sudah dikeluarkan. 31 32 B. Wiwoho, Zakat dan Pajak, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1991), h. 69-70 Shahih Muslim, Kitab Tentang Zakat, Bab Tentang Orang Yang Tidak Berkecukupan Tetapi Tidak Minta-minta, (Surabaya: pt. Bina Ilmu, tth), no. 616, h. 82 Zakat merupakan pendapatan penting untuk keuangan negara di masa awal Islam. Zakat yang dikumpulkan berbentuk uang tunai (dinar dan dirham), hasil pertanian dan ternak. Pada permulaan awal Islam zakat ditarik dari seluruh sumber utama yaitu dari: peternakan, perdagangan, kerajinan, pertanian dan perkebunan. Pendapatan dari perdagangan dan kerajinan biasanya dalam bentuk uang tunai dan dapat dinilai dalam bentuk dinar dan dirham. Mata uang ini merupakan unit moneter perekonomian di masa awal Islam. Penarikan zakat dalam bentuk uang menyebabkan munculnya penarikan terhadap zakat pendapatan yang berasal dari kegiatan komersial seperti kerajinan tangan, sedangkan pendapatan dari kegiatan pertanian lebih berbentuk barang, tidak dalam uang tunai, yang berupa hasil pertanian itu sendiri. b. Ghanimah Ghanimah secara bahasa berarti rampasan perang suatu kemenangan tanpa syarat.33 Sedangkan menurut istilah ghanimah didefiniskan sebagai segala seseuatu yang dipeoleh dari orang kafir melalui peperangan. Hal senada juga disampaian oleh Sayid Sabiq bahwa ghanimah adalah harta benda yang diambil dari musush-musuh Islam dengan alasan peperangan.34 Jadi ghanimah merupakan hara benda yang 33 Harun Nasution dan Mukti Ali, Ensiklopedia Hukum Islam di Indonesia “Ghanimah”, (Jakarta: Depag RI, tth), h. 84 34 Sayid Sabiq, Fiqh Sunah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980), h. 76 83 diperoleh umat Islam dari hasil peperangan dengan pihak non-muslim. Harta ghanimah terbagi menjadi dua bagian yaitu harta yang bergerak atau harta yang bisa dipindahkan dan harta yang tidak bisa bergerak seperti tanah. c. Fa‟i Fa‟i yaitu harta yang dipeoleh kaum muslimin tanpa ada peperangan dan secara bahasa adalah kembali sedangkan menurut istilah adalah harta yang diperoleh kaum Muslimin dari orang-orang kafir tanpa melalui peperangan, tanpa menyerbu derah-daerah orang kafir.35 d. Upeti (jizyah) Jizyah yaitu sejumlah uang yang terpikul pada pundak oang yang berada di bawah tanggungan kaum Muslimin dan melakkan perjanjian dangan mereka dari Ahlu Kitab. Upeti adalah pajak kepala yang dipunguti oleh pemerintah Islam dari golongan orang-orang non-muslim sebagai imbalan bagi adanya jaminan keamanan kepada mereka. Golongan nonmuslim yang kehidupan dan harta bendanya terjamin disebut Ahlu alDjimah. Jizyah merupakan harta umum yang akan dibagikan untuk kemaslahatan seluruh rakyat dan wajib diambil setelah melewati satu tahun sebagai mana didasarkan pada QS. At-Taubah. 35 Abdul Mujid, et. Al., Kamus Istilah Fiqh “Baitul Mal”, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994), h. 36 84 Artinya: “Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam keadaan tunduk.(QS. At-Taubah: 9/29) Kewajiban membayar dikenakan pada seluruh kaum non-muslim, dewasa, laki-laki, dan yang mampu untuk membayarnya, sedangkan perempuan, anak-anak, dan orang tua dikecualikan. Jizyah bagi nonmuslim menduduki kedudukan yang sama dengan zakat bagi umat islam di mana jizyahmerupakan sumber dana yang akan digunakan untuk menjamin golongan dzimmi di negara Islam. Jadi sangat wajar dan adil jika kewajiban-kewaiban yang harus dibayar oleh golongan dzimmi sama dengan kewajiban kaum Muslimin, ketentuan ini diwajibkan untuk keseimbangan anatara kewajiban-kewajiban dan menikmati hak-hak yang diterimanya di negara Islam. Hanya saja jika orang Islam kewajibannya membayar zakat sedangkan kaum non-muslim kewajibnnya adalah membayar jizyah, oleh karena itu tidak ada kewajiban zakat atas orang kafir dzimmi namun jika 85 orang kafir dzimmi masuk Islam maka membayar jizyah menjadi gugur dan wajib zakat baginya karena tidak ada kewajiban (Jizyah dan zakat).36 mengenai jumlah jizyah yang harus dibayr adalah 48 dirham untuk golongan kaya, 24 dirham untuk golongan menengah dan 12 dirham untuk golongan miskin yang mampu memenuhi kebutuhan hidupnya. Pandangan tersebu berdasarkan pada apa yang telah dilakukan oleh Umar bin Khattab, Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib serta sahabtnya yang menerima cara yang dilakukan mereka dengan kata lain hal tersebut didasarkan ijma.37 Mengenai strata golongan di atas tidak ada bukti sejarah yang menjelaskan golongan kaya, golongan menengah dan miskin namun dalam penafsiran Al Tahwi yang dikutip oleh Mannan menyatakan bahwa golongan kaya adalah golongan yang memiliki 1000 dirham, golongan menengah yang memiliki harta senilai 200 dirham dan golongan miskin adalah golongan yang mempunyai harta kurang dari 200 dirham. e. Kharaj Kharaj adalah harta yang dikenakan pada tanah yang terutama ditaklukkan oleh kekuatan senjata terlepas dari apakah si pemilik tanah 36 37 Zamudin Adnan, Politik Hukum Islam, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana,1994), h. 90 M. A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dhana Bhakti Primayasa, 1997), h. 294 86 orang yang masih di bawah umur, orang dewasa, seorang budak atau bebas, Muslim atau beriman.38 Kharaj pada mulanya adalah semacam ghanimah yang diperoleh orang Islam melalui peperangan sebagaimana layaknya harta ghanimah, berdasarkan surat al-Anfal ayat 41 adalah 4/5 bagian harus diberikan kepada pasukan yang ikut berperang termasuk tanah (barang yang tidak bergerak). Hal ini sudah berlaku pada masa Nabi Muhammad saw dan Abu Bakar namun pada masa Umar bin Khattab beliau tidak berada ditangan pemiliknya, semula dengan ketentuan mereka harus membagi bagian tertantu setiap tahunnya. Hasil dari apa yang diserahkan oleh pemilik harta tersebut digunakan untuk kepentingan umu termasuk kepentingan pasukan yang ikut berperangan dan inilah asal muasal adanya kharaj.39 Kharaj dibedakan manjdi dua jenis yaitu kharaj proporsional dan kharaj tetap, jenis pertama dikenakan scara proporsional sebagai bagian dari total hasil pertanian misalkan 1/4, 1/5 dan sebagainya. Kharaj jenis ini dipungut setiap kali panen sedangkan jenis kedua berupa pajak tetap atas tanah yang dikenakan setahun sekali.40 38 Ibid. h. 250 39 B. Wiwoho, Zakat dan Pajak, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1991), h. 83 40 Ahari Thayib, Konsep Ekonoomi Ibnu Taimiyah, (Yogyakarta: PT Bina Ilmu, 1997), h. 252 87 Seorang khalifah boleh memperkirakan kharaj dengan memperhatikan hal-hal yang lebih layak dalam tiga aspek: 1) Mutu tanah yang bisa menghasilkan panen besar atau cacat yang menyebabkan hasil panen kecil. 2) Berhubungan dengan jenis panen karena padi-padian dan buah-buahan berbeda harganya oleh karena itu harus ditaksir sesuai dengan hal tersebut. 3) Mengenai cara irigasi karena panen yang dihasilkan dengan sistem irigasi air yang dipikul hewan dan yang diperoleh dengan kincir angin tidak dapat dikenakan kharaj yang sama dengan yang dihasilkan dari tanah yang diairi oleh air yang mengalir atau air hujan. Selama kualitas tanah tetap sama dengan cara irigasi dan keuntungannya maka kharajnya tidak bertambah atau berkurang. Jika berkurangnya hasil panen karena ulah mereka sendiri misalnya mereka merusak saluran airnya atau mereka tidak memanfaatkan sumur yang ada maka pungutan kharaj mereka tidak dikurangi sedikit pun. Mereka diperintahkan mempebaiki alat-alat yang telah mereka rusak. Apabila bertambah dan berkurangnya hasil panen karena ulah negara misalnya negara menggali sumur mereka untuk atau tidak memperbaiki sumur dan saluran-salurannya maka negara harus mengurangi pungutan kharaj. Jika hasil panen berkurang karena faktor alam misalnya ada bencana alam yang bisa merobohkan pepohonan atau hanyut karena banjir maka 88 kharajnya ditetapkan atas tanah tadi menurut kadar kandungannya sehingga penduduk setempat tidak dizhalimi.41 f. Bea Cukai Bea cukai adalah pungutan yang diambil negara Islam dari para pedagang baik itu kafir harbi, kafir dzimmi maupun pedagang Muslim yang melintasi daerah Islam. Dalam hal ini Abu Yusuf berkata dalam kitab al-kharaj, telah memerintahkan Hasyim bin Sulaiman kepada ku dari Hasan berkata: Abu Musa al-Asy‟ari menulis surat kepada Umar bin Khattab bahwa pedagang Islam sebelum datang ke wilayah orang kafir harbi, mereka memungut 1/10 dari harta umat Islam maka Umar bin Khattab menulis kepada Musa: “Ambillah dari pedagang kafir sebagaiman mereka mengambil dari pedagang Islam. Ambillah 1/20 dari pedagang ahli dzimmi dan ambillah dari umat Islam setiap tahun 40 dirham, 1 dirham. Jika mencapai 40 dirham maka ambilah 5 dirham selebihnya diperkirakan.42 Atas penjelasan ini pemerintah Islam memberlakukan bea cukai sejak periode Umar bin Khattab. Bea cukai barang-barang impor dan ekspor sebesar 10% bagi kafir harbi karena mereka memberlakukan hal yang sama bagi pedagang Muslim namun jika mereka tidak menarik bea 41 M. A. Mannan, Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dhana Bhakti Primayasa, 1997), h. 251 42 Ibid. 89 cukai terhadap pedagang Muslim maka mereka dibebaskan dari pungutan tersebut. Untuk pedagang dzimmi mereka dikenakan pungutan sebesar 2/5%. Perbedaan punguutan antara kafir dzimmi dan pedagang Muslim karena pada kenyataan pedagang kafir dzimmi lebih banyak membutuhkan perlindungan dibandingkan pedagang Muslim dari sergapan para perampok.43 43 Mansurudin Djoely, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar bin Khattab, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997), h. 138-139 BAB IV PERBANDINGAN ANTARA HUKUM POSITIF DAN HUKUM ISLAM A. Relasi Hukum Islam dan Hukum Positif Terhadap Jaminan Sosial Politik merupakan bagian terpenting dalam hubungan antara negara dan masyarakat. Politik menentukan bagaimana hubungan antara negara dan masyarakat dirumuskan, dan selanjutnya diselenggarakan untuk memenuhi tujuan-tujuan dari hubungan itu sendiri. Jika negara merupakan perwujudan dari kehendak masyarakat untuk hidup bersama agar kepentingan-kepentingan masing-masing anggota masyarakat dapat terpenuhi secara maksimum, maka negara sebenarnya merupakan alat atau sarana bagi masyarakat untuk memenuhi kepentingan mereka. Negara, karena itu, harus tunduk pada kedaulatan masyarakat. Tetapi, pada saat Negara terbentuk, kontrol masyarakat terhadapnya akan dengan sangat mudah terlepas atau bahkan hilang. Negara pada akhirnya dapat menjadi suatu institusi besar yang bekerja untuk memenuhi kepentingannya sendiri. Politik dapat dan memang seharusnya berfungsi untuk mencegah negara menjadi sewenang-wenang terhadap masyarakat, dan mengarahkannya untuk semata-mata melayani kepentingan-kepentingan masyarakat. Dalam kaitan itulah, politik sebenarnya membawa makna menciptakan keadilan bagi masyarakat. Politik mengarahkan negara untuk membuka peluang dan memberikan fasilitas yang sama bagi seluruh anggota 90 91 masyarakat dalam mengejar pemenuhan kepentingan-kepentingan diri sebagai pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial.1 Perlindungan kepentingan menurut al-Shatibi, merupakan inti dari kemaslahatan (maslaha)2. Syari‟ah amat berkaitan dengan tujuan memberikan perlindungan kemaslahatan baik dalam kerangka positif menjaga kemaslahatan itu sendiri maupun preventif untuk menghindari terganggunya kemaslahatan tersebut. Al-Shaitibi menyimpulkan bahwa syari‟ah dimaksudkan untuk melindungi kemaslahatan manusia yang utama (primary goods), yaitu agama, jiwa, reproduksi, harta, dan akal budi.3 Menurut Louis Ma‟luf, secara etimologis term ”maslahah” berasal dari akat kata salaha – yasluhu – salahan – salahiyah, yang artinya, sesuatu yang mendorong kepada kebaikan atau kelayakan; atau bisa juga diartikan sebagai sesuatu yang mendorong bagi seseorang untuk melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi dirinya dan bagi kelompoknya.4 Ahmad Warson Munawwir, mengartikan kata “maslahah” sebagai faedah, kepentingan, kemanfaatan, 1 Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT), Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), Cet ke-1, h. 34 2 Kemaslahatan berasal dari kata maslahah kata benda dari salaha (atau saluha) yang berarti mempebaiki atau meningkatkan. Maslahah juga senada dengan kata manfa‟a, yang berarti utility (kegunaan atau manfaat) 3 CSRC UIN Jakarta, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusiaan: Studi Tentang Wakaf dalam Perspektif Sosial di Indonesia, (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006), Cet ke-1, h. 15 4 Louis Ma‟luf, Kamus Munjid, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1977), h. 528 92 kemaslahatan.5 Dari sudut pandang ilmu sharaf (morfologi), kata “masalahah” satu wazan (pola) dan makna dengan kata “manfa‟ah”. Kedua kata ini “maslahah” dan “manfa‟ah” telah di Indonesiakan menjadi maslahat dan manfaat”.6 Abdul Manan juga menambahkan, maslahat itu adalah sesuatu yang dipandang baik oleh akal sehat karena mendatangkan kebaikan dan menghindarkan keburukan (kerusakan) bagi manusia, sejalan dengan tujuan syara‟ dalam menetapkan hukum.7 Menurut hemat penulis, dari beberapa pendapat yang dikemukakan di atas dapat disimpulkan bahwa maslahat atau kemaslahatan, yaitu sesuatu yang dapat mendatangkan kebaikan, kesejahteraan, ketentraman dan menolak yang dapat mendatangkan kerugian, keburukan, atau kerusakan sejalan dengan baik menurut manusia dan baik pula menurut sang pencipta. Begitu pula dalam politik itu sendiri, yang merupakan bagian terpenting dalam hubungan antara negara dan masyarakat. Politik dapat dan memang seharusnya berfungsi untuk mencegah negara menjadi sewenang-wenang terhadap masyarakat, dan mengarahkannya untuk semata-mata melayani kepentingan-kepentingan masyarakat. Dalam kaitan itulah, politik sebenarnya 5 Ahmad Warson Munawwir, Al-Munawwir: Kamus Arab – Indonesia. (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan, 1984), h. 884 6 7 Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: UIN Press, 2006), h. 101 Abdul Manan, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, Ed. 1, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006), h. 263 93 membawa makna menciptakan keadilan bagi masyarakat. Politik mengarahkan negara untuk membuka peluang dan memberikan fasilitas yang sama bagi seluruh anggota masyarakat dalam mengejar pemenuhan kepentingan- kepentingan diri sebagai pribadi dan sekaligus sebagai makhluk sosial. Pembangunan sosial ekonomi sebagai salah satu pelaksanaan kebijakan pembangunan nasional telah menghasilkan banyak kemajuan, di antaranya telah meningkatkan kesejahteraan rakyat. Kesejahteraan tersebut harus dapat dinikmati secara berkelanjutan, adil, dan merata menjangkau seluruh rakyat, sebagai mana tertuang dalam konsideran Undang-undang No. 40 tahun 2004. Jaminan sosial sebagai payung hukum terhadap kesejahteraan masyarakat memiliki dasar yang kuat, yakni Undang-Undang Dasar 1945 pasal 34 (2) yakni, “Negara mengembangkan sistem jaminan sosial bagi seluruh rakyat dan memberdayakan masyarakat yang lemah dan tidak mampu sesuai dengan martabat kemanusiaan”.8 Dalam Pancasila yakni, sila ke 5 yang berbunyi ”Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia” mempunyai beberapa makna yang memang harus dilaksanakan seperti: Kemakmuran yang merata bagi seluruh rakyat dalam arti dinamis dan meningkat, seluruh kekayaan alam dan sebagainya dipergunakan bagi kebahagiaan bersama menurut potensi masing-masing. Namun, dalam kenyataannya masalah kesejahteraan bagi seluruh rakyat Indonesia berbanding terbalik dengan apa yang dicita-citakan dalam Pancasila tersebut. 8 Wiku Adisasmito, Sistem Kesehatan, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2007), h. 101 94 Pada hakekatnya keadilan adalah kata sifat yang artinya adalah sifat yang adil, tidak berat sebelah. Sifat ini merupakan salah satu sifat manusia. Di pihak lain keadilan sebagai suatu konsep mengindikasikan adanya rasa keadilan dalam perlakuan (justice or fair treatment). Memperlakukan orang lain merupakan suatu pernyataan nilai (value statementalue statement) tentang bagaimana selayaknya orang diperlakukan; ia merujuk kepada hubungan antara manusia. Dengan demikian, tiap orang mempunyai hak untuk diperlakukan secara adil, suatu hak yang merupakan hak asasi manusia. Namun dalam kehidupan sosial masyarakat pengertian keadilan baik sebagai sifat tentang bagaimana selayaknya orang diperlakukan; ia merujuk kepada hubungan antara manusia. Dengan demikian, tiap orang mempunyai hak untuk diperlakukan secara adil, suatu hak yang merupakan hak asasi manusia. Namun dalam kehidupan sosial masyarakat pengertian keadilan baik sebagai sifat orang per orang maupun sebagai konsep sangat sulit untuk diuraikan apalagi dilaksanakan. Jaminan sosial yang tertuang dalam Undang-undang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) Tahun 2004 yang menginginkan masyarakat yang adil dan sejahtera seluruhnya, yang di dalamnya ada beberapa jaminan sosial yang di bahas yakni; 1. Jaminan Kesehatan Dalam jaminan kesehatan ini, masalah kesehatan yang merupakan kehendak semua pihak, tidak hanya oleh orang per orang, tetapi juga oleh 95 keluarga, kelompok dan bahkan oleh masyarakat. Dalam jaminan kesehatan ini dijaminkan dalam bentuk asuransi sosial dan prinsip ekuitas9. Asuransi yang dimaksud disini ialah adanya perjanjian antara dua belah pihak yang satunya berkewjiban membayar iuran dan yang satunya memberikan jaminan sepenuhnya kepada si pembayar iuran apabila terjadi sesuatu hal yang menimpa pihak pertama. Sehingga si pembayar iuran tersebut memiliki dan memperoleh manfaat pemeliharaan kesehatan dan perlindungan dalam memenuhi kebutuhan dasar kesehatan. Dalam hal ini anggota keluarganya pun berhak menerima jaminan kesehatan dan juga mengikutsertakan atau menambahkan anggota dari keluarganya tetapi dengan penambahan pembayaran iurannya.10 Jaminan ini akan tetap berlaku jika peserta atau orang tersebut masih tetap aktif bekerja namun, jaminan ini hanya berlaku paling lama 6 (enam) bulan sejak peserta tersebut mengalami pemutusan hubungan kerja. Begitu juga jika dalam bekerja ia mengalami kecelakaan sehingga mengakibatkan cacat total dan ia tidak mampu membayarnya karena cacatnya tersebut, dan dalam jangka 6 (enam) bulan setelahnya peserta tidak memperoleh pekerjaan baru pembayaran iuran dibayarkan oleh pemerintah.11 Untuk semua peserta 9 Ekuitas di sini adalah kepemilikan dalam bentuk nilai uang, Lihat pada Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 2007), Edisi ke-3, h. 292 10 Lihat Pasal 19 ayat 1, 2, 3 Jaminan Kesehatan, Dalam Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional 11 Lihat Pasal 21 ayat 1, 2, 3 96 diberikan pelayanan kesehatan yang mencakup peningkatan kualitas kesehatan atau hidup, pencegahan dari segala sesuatu, dan menyembuhkan dari sakit tersebut hingga pemulihan dari sakit tersebut sehingga peserta tersebut dapat bekerja sebagai mana mestinya. Dalam masalah hal pemenuhan kebutuhan seperti fasilitas kesehatan badan penyelanggara jaminan sosial12 seperti Persero Jaminan Sosial Tenaga Kerja (JAMSOSTEK), Dana tabungan dan Asuransi Pegawai Negeri (TASPEN), Asuransi Sosial Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ASABRI), Asuransi Kesehatan Indonesia (ASKES) dapat bekerja sama dengan pemerintah maupun pihak swasta, juga dapat bekerja sama dengan pihak selain itu atau tidak bekerja sama degan Badan Penyelanggara Jaminan Sosial, dan jika peserta diharuskan rawat inap maka, diberikan kelasa yang diberikan untuk rawat inap di rumah sakit yakni kelas standar. Adanya kerja sama antara Badan Penyelenggara Jaminan Sosial dan pemilik fasilitas kesehatan di daerah sebagai wujud pemenuhan kesehatan bagi peserta yang nantinya akan harus dapat memberikan pelayanan yang memadai, seperti sistem pelayanan kesehatan, sistem kendali mutu pelayanan, sistem pembayaran pelayanan, dan juga akan meningkatkan efisiensi dan efektivitas dari pelayan tersebut.13 Begitu juga dengan masalah harga obatobatan yang dipakai dan bahan medis habis pakai dijamin oleh BJPS. 12 Lihat pasal 23 ayat 1, 2, 3 13 Lihat pasal 24 ayat 3 97 Besarnya iuran jaminan kesehatan yang ditanggung atau dibayarkan yang secara bertahap dibayarkan oleh pekeja dan pemberi kerja yang berdasarkan persentase dari upah sampai batas tertentu. 2. Jaminan Kecelakaan Kerja Jaminan ini sama dalam dengan jaminan kesehatan yang diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial yang mekanisme pengumpulan dananya bersifat wajib yang berasal dari iuran yang berguna memberikan perlindungan atas resiko sosial ekonomi yang menimpa peserta dan/atau anggota keluarganya. Dalam pemenuhan pelayanan kesehatan dalam hal ini sama dengan jaminan kesehatan di atas namun, adanya pemberian berupa uang tunai kepada peserta yang telah membayar iuran wajib jika ia mengalami cacat total atau bahkan meninggal dunia. Dan pemberian uang tunai tersebut disesuaikan dengan tingkat kecacatan yang dialami olehnya. Dan adanya biaya lebih atau tambahan yang dikenakan kepada majikan atau pemberi kerja jika adanya jenis-jenis pelayanan tertentu atau kecelakaan tertentu.14 Sedangkan pelayanan kesehatan sama halnya dengan jaminan kesehatan di atas, yakni adanya kerja sama antara BJPS dengan fasilitas pemerintah dan swasta bahkan juga dapat diberikan pada fasilitas yang tidak menjalin kerja sama jika hal tersebut dalam keadaan darurat. Dan jika peserta membutuhkan rawat inap di rumah sakit, kelas perawatan yang diberikan kelas standar. Sedangkan mengenai besarnya 14 Lihat pasal 33 ayat 1, 2, 3 98 manfaat uang tunai, hak ahli waris, kompensasi dan pelayanan medis diatur lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah. Dan yang membedakan dengan jaminan kesehatan besarnya iuran jaminan kecelakaan kerja adalah persentase tertentu dari upah atau penghasilan yang ditanggung oleh pemberi kerja.15 3. Jaminan Hari Tua Jaminan hari tua ini diselenggarakan berdasarkan prinsip asuransi sosial dan juga tabungan wajib yang merupakan simpanan yang bersifat wajib bagi peserta program jaminan sosial, yang nantinya menjamin bagi pesertanya mendapatkan uang tunai apabila ia memasuki masa pensiun, mengalami cacat total tetap, atau bahkan meninggal dunia. Pembayaran manfaat jaminan hari tua dapat diberikan sebagian sampai batas tertentu setelah kepesertaan mencapai minimal 10 (sepuluh) tahun. Apabila peserta meninggal dunia, ahli warisnya yang sah berhak menerima manfaat jaminan hari tua, sedangkan untuk pembayaran iuran jaminan hari tua ini untuk perusahaan sebesar 3,7% dan ditanggung oleh tenaga kerja sebesar 2%. 4. Jaminan Pensiun Sama halnya dengan jaminan hari tua jaminan pensiun diselenggarakan secara nasional berdasarkan prinsip asuransi sosial dan tabungan wajib yang diambil dari peserta. Diberikannya untuk mempertahankan derjat kehidupan yang layak pada saat peserta kehilangan atau berkurangnya penghasilan nkarena memasuki usia pensiun atau 15 Lihat pasal 34 ayat 1 99 mengalami cacat total. Dalam jaminan pensiun ini berwujud uang tunai yang diterima sebagai:16 a. Pensiun hari tua, diterima setelah pensiun sampai meninggal dunia b. Pensiun cacat, diterima peserta yang cacat akibat kecelakaan atau akibat penyakit sampai meninggal dunia c. Pensiun janda/duda, diterima janda/duda ahli waris peserta sampai meninggal dunia atau menikah lagi d. Pensiun anak, diterima anak ahli waris peserta sampai mencapai 23 (dua puluh tiga) tahun, bekerja, atau menikah lagi; atau e. Pensiun orang tua, diterima orang tua ahli waris peserta lajang sampai batas waktu tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Pembayaran uang pensiun dilakukan secara berkala setiap bulan yang diberikan kepada peserta atau ahli waris setelah memenuhi masa iuran minimal 15 (lima belas) tahun. 5. Jaminan Kematian Jaminan kematian ini diselenggarakan prinsip asuransi sosial, dan juga diselenggarakan dengan tujuan untuk memberikan santunan kematian yang dibayarkan kepada ahli waris pesrta yang meninggal dunia yang bertujuan memberikan jaminan terpenuhinya kebutuhan dasar hidup yang layak bagi anggota keluarganya atau ahli warisnya. Pembayaran uang tunai yang 16 Lihat Pasal 41 ayat 1 Tentang Jaminan Pensiun dalam Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional 100 diberikan kepada ahli waris yang dibayarkan paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah klaim diterima dan disetujui oleh Badan Penyelanggara Jaminan Sosial (BJPS).17 Besarnya iuran jaminan kematian ditanggung oleh pemberi kerja18 yang dalam hal ini adalah orang perseorangan, pengusaha, badan hukum atau badan-badan lainnya yang mempekerjakan pegawai negeri dengan membayar gaji, upah atau imbalan dalam bentuk lainnya. Besarnya iuran jaminan kematian bagi peserta penerima upah ditentukan berdasarkan persentase dari upah atau penghasilan dan besarnya iuran jaminan kematian bagi peserta bukan penerima upah dientukan berdasarkan jumlah nominal tertentu yang dibayar oleh peserta. Namun, jika lihat kebijakan kesejahteraan mempunyai banyak arti apalagi jika kita lihat pemberian jaminan di atas ada yang menyatakan kebijakan ini merupakan bentuk bantuan bagi orang-orang yang mendapat perlakuan tidak adil. Ada yang mengatakan kebijakan kesejahteraan ini sebagai tindakan tidak adil yang membebani para pekerja keras dalam membayar pajak. Ada yang melihat kebijakan ini sebagai kewajiban para “majikan” (Lord‟s work). Ada juga yang menganggapnya sebagai kebijakan yang sia-sia, mengelabui, dan dapat disalahgunakan. Namun, ada juga yang menganggap kebijakan tersebut sebaga usaha untuk menyelamatkan anak-anak dan membantu mereka samapai mandiri. Ada yang melihat kebijakan ini harus diperuntukkan juga bagi semua orang yang 17 Lihat Pasal 45 ayat 1 tentang Jaminan Kematian dalam Undang-undang No 40 Tahun 2004 Tentang Jaminan Sosial Nasional 18 Lihat Pasal 46 ayat 1 101 kurang mampu. Begitu juga ada pula yang setuju kalau tunjangan kesejateraan diberikan hanya kepada yang berhak. Sementara itu, ada kelompok yang menganggap bahwa orang kayalah yang sebenarnya diuntungkan oleh kebijakan ini, sedangkan masyarakat miskin hanya mendapatkan sisanya saja. Kelompok terakhir berpendapat bahwa kebijakan pemberian santunan pendapatan ini merupakan kebijakan yang merugikan negara.19 Sedangkan dalam Islam, jaminan sosial bagi masyarakat mendapatkan perhatian yang sangat penting. Di mana Islam memerintahkan kepada umatnya untuk selalu memenuhi kebutuhan dasar bagi setiap individu yang ada dalam sebuah masyarakat. Sistem jaminan sosial dalam Islam tidak hanya terbatas kepada pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat yang bersifat fisik saja seperti makanan dan tempat tinggal namun juga yang bersifat non-fisik seperti pendidikan dan spiritualitas. Dalam hal ini ada lima kebutuhan dasar masyarakat yang harus terpenuhi yang dikenal dengan istilah al-dharūriyyāt al-khams (lima kebutuhan primer). Kelima kebutuhan primer tersebut adalah agama atau spiritualitas (al-dīn), jiwa (al-nafs), keturunan (al-nasl), harta (al-māl), dan akal atau intelektualitas (al-aql). Mewujudkan kemaslahatan menurut Imam As-Syaithibi, kemaslahatan itu ada tiga kategori:20 19 Michael Sherraden, Aset Untuk Orang Miskin Perspektif Baru Usaha Pengentasan Kemiskinan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), Ed. 1, h.11-12 20 Muhammad Tholhah Hasan, Islam dan Masalah Sumber Daya Manusia, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), Cet ke-5, h. 4-5 102 1. Kemaslahatan yang dlaruriyaat, yakni kemaslahatan yang menentukan kesejahteraan hidup secara mendasar, baik hidup di akhirat maupun hidup di dunia, jadi bersifat primer. 2. Kemaslahatan hajiyaat, yakni kemaslahatan yang diperlukan dalam kehidupan individu maupun masyarakat, misalnya kesehatan dan pendidikan. kemaslahatan hajiyaat secara umum bersifat sekunder di bawah dlaruriyaat. Meskipun demikian, masalah yang masuk dlaruriyaat atau hajiyaat dapat berubah dalam tingkat kehidupan dan peradaban manusia yang terus berkembang. Musngkin sesuatu masalah yang sekarang masih bersifat hajiyaat, dalam beberapa waktu mendatang menjadi dlaruriyaat. 3. Kemaslahatan yang tahsiniyaat, yang merupakan faktor penyempurna dan memperindah terhadap kemaaslahatan-kemaslahatan terdahulu, bersifat tertier, tidak mengakibatkan dampak yang fatal seandainya belum terwujud atau tidak terwujud. Menurut Imam Ghazali, ada lima hal yang merupakan masalah dlaruriyaat dalam hidup manusia ini, yaitu: a. Agama (ad-din) b. Jiwa (an-nafs) c. Akal (al-aql) d. Harta (al-maal) e. Keturunan (an-nasl) 103 Ada dua bentuk sistem jaminan sosial yang berkenaan dengan pemenuhan kelima kebutuhan primer di atas. Pertama, dengan cara menyediakan segala sarana yang mampu menjaga serta memelihara keberadaan serta keberlangsungan kelima hal tersebut bagi masyarakat (min nahiyyah al-wujūd). Sebagai contoh pemenuhan kebutuhan primer yang berupa spiritualitas adalah dengan menyediakan sarana atau tempat ibadah bagi masyarakat. Sedangkan pemenuhan kebutuhan primer yang berupa intelektualitas adalah dengan menyediakan sistem pendidikan yang berkualitas dan murah bagi masyarakat. Kedua, mencegah segala sesuatu yang mampu menyebabkan hilang atau tiadanya kelima hal tersebut dari masyarakat (min nahiyyah al-„adam). Sebagai contoh jaminan kebutuhan primer yang berupa jiwa atau nyawa adalah dengan menghilangkan biaya-biaya pengobatan yang mahal bagi masyarakat miskin. Karena dengan adanya biaya mahal yang tidak bisa dijangkau oleh masyarakat miskin tersebut, masyarakat miskin tidak akan terjamin kesehatannya atau bahkan nyawanya.21 Dalam al-Qur‟an, masalah jaminan sosial yang tertuang dalam surat AnNahl: 71 21 http://tafsir-ekonomi.blogspot.com/2011/01/islam-dan-jaminan-sosial.html (Artikel ini diakses pada 11 Mei 2011) 104 Artinya: “Dan Allah melebihkan, sebagian kamu dari sebagian yang lain, dalam hal rizki, tetapi orang-orang yang dilebihkan, rizkinya, itu tidak mau, memberikan kepada budak-budak yang dimilikinya, agar mereka sama merasakan, mengapa mereka mengingkari nikmat Allah”. (QS. AnNahl: 71). Dalam Islam, jaminan sosial tidak hanya dibebankan kepada negara semata. Sebaliknya Islam mengkombinasikan antara peran pemerintah dan swasta dalam hal ini masyarakat secara keseluruhan dalam penyediaan jaminan sosial. Dalam hal ini pemerintah di antaranya mengalokasikan dana zakat untuk menyediakan bahan makan serta kebutuhan dasar lainnya bagi orang yang berhak mendapatkannya (mustahiqq). Islam sebagai ajaran yang memuat nilai-nilai normatif, begitu bagusnya dalam memandang dan menempatkan martabat dan harkat manusia, baik sebagai individu maupaun anggota sosial. Hal ini dapat diuraikan sebagai berikut:22 1. Konsep kesamaan (as-sawiyah), yang memandang manusia pada dasarnya sama derajatnya. Terjadinya stratifikasi sosial maupun kejenjangan lainnnya itu terbentuk karena proses lain. Satu-satunya pembedaan kualitatif dalam pandangan Islam adalah ketaqwaan. Konsep ini secara sosiologis membongkar pandangan foedalisme, baik feodalisme religius, feodalisme kapitalis atau feodalisme aristokratis. 2. Konsep keadilan (al-adalah), yang membongkar budaya nepotisme dan sikapsikap korup, baik dalam politik, ekonomi, hukum, hak dan kewajiban, bahkan 22 Muhammad Tholhah Hasan, Islam Dalam Pespektif Sosio Kultur, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), Cet ke- 3, h. 142-147. 105 dalam praktek-praktek keagamaan. Sebagaimana firman Allah dalam surat alMaidah: 8 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, hendaklah kamu menjadi orangorang yang selalu menegakkan (kebenaran) karena Allah, menjadi saksi dengan adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu terhadap sesuatu kaum, mendorong kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah, karena adil itu lebih dekat kepada taqwa. Dan bertaqwalah kepada Allah, sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (QS. Al-Maidah 5/8) Bahkan sikap adil ini lebih diprioritaskan dari pada al-Ihsan, seperti tercantum dalam surat an-Nahl : 90 Artinya: “Sesungguhnya Allah menyuruh kamu berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepada kaum agar kamu dapat mengambil pelajaran. (QS. An-Nahl 16/90) 3. Konsep kebebasan/kemerdekaan (al-hurriyah), yang memandang semua manusia pada hakekatnya hanya hamba Tuhan saja, sama sekali bukan hamba sesama manusia. 106 Berakar dari konsep ini, maka manusia dalam pandangan Islam mempunyai kemerdekaan dalam memilih profesi, dalam memilih wilayah hidup, bahkan dalam menentukan pilihan agama pun tidak dapat dipaksa seperti tercantum dalam surat al-Baqarah : 256 Artinya: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam), sesungguhnya telah jelas jalan yang benar dari pada jalan yang salah. Karena itu barang siapa yang ingkar kepada Thaghu (apa saja yang disembah selain dari Allah) dan beriman kepada Allah, maka sesungguhnya ia telah berpegang kepada buhul (tali yang amat kuat yang tidak akan putus). Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui” (QS. Al-Baqarah 2/256) Dan juga terdapat pada surat Yunus: 99 Artinya: “Dan jikalau Tuhan mu menghendaki, tentulah beriman semua orang yang di muka bumi seluruhnya. Maka apakah kamu (hendak) memaksa manusia supaya mereka menjadi orang-orang yang beriman semuanya. (QS. Yunus 10/99) Sedangkan jaminan sosial yang berasal dari masyarakat berupa kewajiban bagi setiap anggota masyarakat untuk menolong anggota masyarakat lainnya yang sangat membutuhkan serta mengecam orang yang bersikap individualis yang tidak menghiraukan keadaan orang lain. Dan dalam sistem jaminan sosial anggaran yang digunakan untuk mensejahterakan rakyat Indonesia ialah berasal 107 dari Anggaran Pendapatan belanja Negara (APBN) dan Anggaran Pendapatan Belanja daerah (APBD) yang dalam penyusunannya tertuang dalam Undangundang No. 17 tahun 2003. Jadi antara hukum Islam dan hukum positif saling berkaitan dalam pemenuhan jaminan sosial yang merupakan sebuah hak yang paling dasar bagi warga negara tanpa terkecuali atau ada diskriminasi dalam pemenuhan hak tersebut. Namun secara keseluruhan dapat dikatakan bahwa warga masyarakat di sini merasakan adanya needs atau kebutuhan (akan pendidikan, ekonomi, dan kesehatan), equality atau kesamaan, sehingga terbentuklah cita-cita yang ingin mensejahterakan seluruh masyarakat. B. Kontribusi Hukum Islam terhadap Hukum Positip Tentang Jaminan Sosial Tidak dipungkiri oleh kita semua termasuk umat Islam. Bahwa al-Qur‟an dan hadits dijadikan sebuah rujukan dalam pembuatan sebuah produk perundangundangan, baik undang-undang maupun perda meskipun herarki pembuatan perundang-undangan masih mengacu kepada Undang-Undang Dasar 1945, tapi tidak menutup kemungkinan al-Qur‟an dan hadits tetap digunakan sebagai rujukan. Dalam undang-undang sistem jaminan sosial nasional ini, penulis coba memberikan beberapa penilaian tentang kontribusi hukum Islam terhadap UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN). 108 Meningkatkan pendapatan negara dalam rangka mensukseskan pembangunan nasional, pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat pada umumnya adalah hal yang penting. Dalam Islam zakat dapat dimasukkan dalam bagian penerimaan negara yang dapat dipergunakan untuk membiayai pembangunan dalam pos-pos pendayagunaan yang memang sejalan dengan pesan syari‟at, ia akan merupakan sumber dana yang potensial bagi suksesnya pembangunan sosial.23 Sesuai dalam Pembukaan Undang-undang Dasar 1945, adalah melindungi segenap Bangsa Indonesia dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan dan keadilan sosial, sinkatnya untuk mencapai cita-cita bangsa Indonesia yaitu masyarakat adil dan makmur yang merata, materiil, dan spirituil berdasarkan Pancasila.24 Dalam masalah kesejahteraan, sebagaimana yang dialami oleh Indonesia yang merupakan negara yang berkembang mengalami banyak masalah. Seperti, tentang masalah kemiskinan yang berujung dengan kurngnya kesejahteraan masyarakatnya. Dalam hal ini ada beberapa peran agama dalam proses pembangunan sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakat yang juga menanggulangi masalah kemiskinan. Diantara peran agama dalam pembangunan, 23 Sjechul Hadi Permono, Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional Persamaan dan Perbedaannya Dengan Pajak, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992), h. 1 24 Ibid, h. 10 109 menurut Mukti Ali adalah sebagai: faktor motivatif, kreatif, sublimatif, dan integratif.25 Dalam masalah kemiskinan tampak permasalahannya sangat komplek, karena dalam kenyataannya kemiskinan merupakan perwujudan dari hasil interaksi yang melibatkan hampir semua aspek yang dipunyai manusia dalam kehidupan. Islam memiliki perbedaan yang nyata dengan agama-agama lain di muka bumi ini. Islam sebagai agama yang sempurna tidak hanya mengatur hubungan manusia dengan Sang Khalik-nya dan alam syurga, namun Islam memiliki aturan dan tuntunan yang bersifat komprehensif, harmonis, jelas dan logis.26 Dalam masalah kesejahteraan yang dikemukakan oleh Imam Al-Syathibi (Abu Ishaq Ibrahim ibn Musa Al-Syathibi, wafat 790 Hijriah), seorang pemikir Islam yang memelopori lahirnya ilmu maqaashid al-syarii'ah (tujuan-tujuan syariah) melalui karya monumentalnya, Al-Muwafaqaat, menjelaskan bahwa tujuan utama syariah Islam adalah meningkatkan kesejahteraan manusia. Syariah, menurut Al-Syathibi, adalah sesuatu yang berimplikasi pada kebaikan, seperti kejujuran, keadilan, keterbukaan, toleransi, dan kasih sayang, sebagaimana bahwa tujuan utama syariah itu ialah untuk menciptakan kesejahteraan manusia. Dan juga dalam konsediran UU No.40 Tahun 2004 angka 1 telah disebutkan bahwa setiap orang berhak atas jaminan sosial untuk dapat memenuhi kebutuhan 25 Ahmad Sanusi, Agama diTengah Kemiskinan Refleksi Atas Pendangan Islam dan Kristen Dalam Perspektif Kerjasama Antar Umat Beragama, (Jakarta: PT LOGOS Wacana Ilmu, 1999), Cet ke-1, h. 49 26 http://bondanserbaneka.blogspot.com/2007/01/kesehatan-menurut-pandangan-islam.html (Artikel ini diakses pada 12 Mei 2011) 110 dasar hidup yang layak, dan meningkatkan martabatnya menuju terwujudnya masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur. Dalam Islam zakat yang digunakan sebagai salah satu sarana untuk mensejahterkna seluruh masyarakat diberikan kepada yang berhak untuk mendapatkannya yakni disebut dengan “mustahaqquz zakah” atau ”asnaf”, yaitu kategori (golongan) yang berhak mendapatkan atau menerima zakat: FakirMiskin, Al-„Amilin, Al-Muallahh Qulubuhum,Ar-Riqab, Al-Gharimin, Sabilillah, Ibnus-Sabil.27 1. Tolong-menolong Masyarakat Islam adalah masyarakat yang dibangun dengan semangat bersaudara, penuh toleransi antara satu dengan yang lain. Mereka diajari agar hidup saling tolong menolong antara satu dengan yang lain. Tolong menolong yang dalam Islam disebut dengan ta‟awun. Kenyataan membuktikan, bahwa suatu pekerjaan atau apa saja yang membutuhkan pihak lain, pasti tidak akan dapat dilakukan sendirian oleh seseorang meski dia memiliki kemampuan dan pengetahuan tentang hal itu. Dan ini menunjukkan, bahwa tolong-menolong dan saling membantu adalah keharusan dalah hidup manusia, seperti membantu atau memperhatikan nasib saudaranya yang kurang beruntung. Sebagaimana Allah berfirman dalam surat Al- Maidah: 2 27 Lili Bariadi, Muhammad Zen, M. Hudri, Zakat dan Wirausaha, (Jakarta: Centre for Enterpreneurship Development, 2005), h. 11 111 ... Artinya: “Dan hendaklah kamu bertolong tolongan untuk membuat kebajikan dan bertakwa dan janganlah kamu bertolong-tolongan pada melakukan dosa (maksiat) dan pemusuhan atau bencana kerusakan” (QS. al-Maidah ;2) Dengan ta‟wun tersebut diharapkan dapat meringankan saudara kita yang kurang mampu sehingga dapat tercukupi segala kebutuhannya dan membuatnya menjadi sejahtera. 2. Kafalah (Penjaminan) Masalah jaminan dalam Islam dapat diartikan dengan kafalah, sedangkan kafalah sendiri menurut bahasa adalah al-dhaman (jaminan), hamalah (beban), zama‟ah (tanggungan). Secara terminologi, sebagaimana yang dinyatakan para ulama fikih selain Hanafi, bahwa kafalah adalah, "menggabungkan dua tanggungan dalam permintaan dan hutang.” Definisi lain adalah, "jaminan yang diberikan oleh penanggung (kafil) kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung (mukful „anhu ashil)” Di dalam Kamus Istilah Fikih, kafalah diartikan menanggung atau penanggungan terhadap sesuatu, yaitu akad yang mengandung perjanjian dari seseorang di mana padanya ada hak yang wajib dipenuhi terhadap orang lain, dan berserikat bersama orang lain itu dalam hal tanggung jawab terhadap hak tersebut dalam menghadapi penagih (utang). Dasar hukum tentang kafalah dalam al-Qur‟an yakni dalam surat Yusuf : 66 112 Artinya: ”dia (Yakub) berkata, “aku tidak akan melepaskannya (pergi) bersama kamu, sebelum kamu bersumpah kepadaku atas (nama) Allah, bahwa kamu pati akan membawanya kepadaku kembali, kecuali jika kamu dikepung Musuh,” setelah mereka mengucapkan sumpah, dia (yakub) berkata, “ Allah adalah saksi terhadap apa yang kita ucapkan.” (QS. Yusuf 12/66) Pada asalnya, kafalah adalah padanan dari dhamman, yang berarti penjaminan sebagaimana tersebut di atas. Namun dalam perkembangannya, situasi telah rnengubah pengertian ini. Kafalah identik dengan kafalah alwajhi (personal guarantee, jaminan diri), sedangkan dhamman identik dengan jaminan yang berbentuk harta secara mutlak. Dari beberapa definisi di atas, dapat disimpulkan bahwa kafalah adalah jaminan dari penjamin (pihak ketiga), baik berupa jaminan diri maupun harta kepada pihak kedua sehubungan dengan adanya hak dan kewajiban pihak kedua tersebut kepada pihak lain (pihak pertama). Konsep ini agak berbeda dengan konsep rahn yang juga bermakna barang jaminan, namun barang jaminannya dari orang yang berhutang. Ulama madzhab fikih membolehkan kedua jenis kafalah tersebut, baik diri maupun barang.28 28 http://www.faqihregas.co.cc/2010/05/makalah-tentang-kafalah.html (Artikel ini diakses pada 20 Mei 2011) 113 3. Takaful Secara bahasa, takaful ( )تكافمberasal dari akar kata ( )ل ف كyang artinya menolong, memberi nafkah dan mengambil alih perkara seseorang. Kata (تكافم ) merupakan bentuk mashdar (infinitf) dari kata : َتَكَا ُفالً – يَتَكَافَمُ – تَكَافَم Istilah kata ( )ثكا فمini merupakan istilah yang relatif baru, jika dilihat tidak satupun ayat-ayat Al-Qur'an menggunakan istilah takaful ini. Bahkan dalam hadits pun, juga tidak dijumpai kata yang menggunakan istilah takaful ini. Namun secara sistem keukhuwahan, takaful sudah diterapkan sejak zaman Rasulullah SAW dan para sahabatnya melalui ukhuwah dalam kehidupan bermasyarakat di Madinah pada waktu itu. Dalam Al-Qur‟an tidak dijumpai satu ayatpun yang secara tersurat menggunakan kata takaful. Demikian juga dalam hadits. Namun demikian, terdapat sejumlah kata (delapan kata dalam delapan ayat) yang menggunakan kata yang seakar dengan kata takaful, yaitu dari kata( )كفم. Kata-kata yang berakar dari kata ( )كفمtersebut, secara umum keseluruhannya mengarah pada makna : “Memelihara dan Memikul”. Ayat alQur‟an yang sesuai dengan pengertian di atas yakni surat al-Maidah: 2 ... Artinya: “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketakwaan, dan janganlah kalian tolong menolong dalam perbuatan dosa dan permusuhan” (QS. Al-Maidah :2) 114 Sedangkan penyebutan akar kata dari takaful dalam al-Qur‟an ada beberapa ayat yang menyebutkan a. Dalam al-Qur‟an surat Ali-Imran 3/37 Artinya: “Maka Tuhannya menerimanya (sebagai nazar) dengan penerimaan yang baik, dan mendidiknya dengan pendidikan yang baik dan Allah menjadikan Zakariya pemeliharanya. setiap Zakariya masuk untuk menemui Maryam di mihrab, ia dapati makanan di sisinya. Zakariya berkata: "Hai Maryam dari mana kamu memperoleh (makanan) ini?" Maryam menjawab: "Makanan itu dari sisi Allah". Sesungguhnya Allah memberi rezeki kepada siapa yang dikehendaki-Nya tanpa hisab”. (QS. Ali-Imran 3/37) Dalam ayat di atas, kata kafala bermakna “memelihara”. Dan “memelihara” memiliki makna yang lebih mendalam dibandingkan dengan sekedar menjaga. Karena memilihara memiliki unsur adanya “rasa menyayangi”, sebagaimana orang tua memilihara anak kandungnya. Dengan demikian, maka 'takaful' adalah saling menjaga dan memelihara antara sesama muslim dengan landasan saling sayang menyayangi diantara mereka. b. Dalam al-Qur‟an surat Ali-Imran 3/44 115 Artinya: “(sebagai) satu keturunan yang sebagiannya (turunan) dari yang lain. dan Allah Maha mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS. Qli-Imran 3/44) c. Dalam al-Qur‟an surat An-Nisa 4/85 Artinya:“Barangsiapa yang memberikan syafa'at yang baik, niscaya ia akan memperoleh bahagian (pahala) dari padanya. dan barangsiapa memberi syafa'at yang buruk, niscaya ia akan memikul bahagian (dosa) dari padanya. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. (QS. An-Nisa 4/85) d. Dalam al-Qur‟an Al-Qashas 28/12 Artinya: “Dan kami cegah Musa dari menyusu kepada perempuanperempuan yang mau menyusui(nya) sebelum itu; Maka berkatalah saudara Musa: "Maukah kamu Aku tunjukkan kepadamu ahlul bait yang akan memeliharanya untukmu dan mereka dapat berlaku baik kepadanya?". (QS. Al-Qashas 28/12) e. Dalam al-Qur‟an Shad 38/23 Artinya: “Sesungguhnya saudaraku Ini mempunyai sembilan puluh sembilan ekor kambing betina dan Aku mempunyai seekor saja. Maka dia berkata: "Serahkanlah kambingmu itu kepadaku dan dia mengalahkan Aku dalam perdebatan".(QS. Shad 38/23) 116 f. Dalam al-Qur‟an surat An-Nahl 16/91 Artinya: “Dan tepatilah perjanjian dengan Allah apabila kamu berjanji dan janganlah kamu membatalkan sumpah-sumpah(mu) itu, sesudah meneguhkannya, sedang kamu Telah menjadikan Allah sebagai saksimu (terhadap sumpah-sumpahmu itu). Sesungguhnya Allah mengetahui apa yang kamu perbuat. (QS. An-Nahl 16/91) g. Dalam al-Qur‟an surat Thaha 20/40 ... Artinya: “(yaitu) ketika saudaramu yang perempuan berjalan, lalu ia Berkata kepada (keluarga Fir'aun): "Bolehkah saya menunjukkan kepadamu orang yang akan memeliharanya”(QS. Thaha 20/40) h. Dalam al-Qur‟an surat Al-Hadid 57/28 Artinya: “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan dia mengampuni kamu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Al-Hadid 57/28) 117 Zakat mengadung hikmah dan manfaat yang demikian besar dan mulia, baik yang berkaitan dengan orang yang berzakat (muzakki), penerimanya (mustahik), harta yang dikeluarkan zakatnya, maupun bagi masyarakat keseluruhan. Hikmah dan manfaat tersebut antara lain tersimpul sebagai berikut:29 1. Sebagai perwujudan keimanan kepada Allah mensyukuri nikmat-Nya, menumbuhkan akhlak mulia dengan rasa kemanusiaan yang tinggi, menghilangkan sifat kikir, rakus dan materialistis, menumbuhkan ketenangan hidup, sekaligus membersihkan dan mengembangkan harta yang dimiliki. Hal ini sesuai dengan firman Allah dalm surat Ibrahim: 7. Artinya: “Dan (ingatlah juga) tatkala Tuhanmu memaklumkan: Sesungguhnya jika kamu bersyukur, pasti kami akan menambah (nikmat) kepadamu, dan jika kamu mengingkari nimat-Ku, maka sesungguhnya adzab-Ku sangat pedih” (QS. Ibrahim: 14/7) 2. Karena zakat merupakan hak mustahik, maka zakat berfungsi untuk menolong, membantu dan membina mereka terutama fakir miskin, ke arah kehidupan yang lebih baik dan lebih sejahtera, sehingga mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup yang layak, dapat beribadah kepada Allah, terhindar dari bahaya kekufuran, sekaligus menghilangkan sifat iri, dengki 29 9-15 Didin Hafidhuddin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani, 2002), h. 118 dan hasad. Sehingga memberikan kecukupan dan kesejahteraan kepada mereka, dengan cara menghilangkan ataupun memperkecil penyebab kehidupan mereka menjadi miskin dan menderita. 3. Sebagai pilar amal bersama (jama‟i) antara orang-orang kaya yang berkecukupan hidupnya dan para mujahid yang seluruh waktunya digunakan untuk berjihad di jalan Allah, yang karena kesibukannya tersebut ia tidak memiliki waktu dan kesempatan untuk berusaha dan berikhtiar bagi kepentingan nafkah diri dan keluarganya. Disamping sebagai pilar amal bersama, zakat merupakan salah satu bentuk konkret dari jaminan sosial yang disyariatkan oleh ajaran Islam. Melalui zakat, kehidupan orang-orang fakir, miskin, dan orang-orang menderita lainnya, akan terperhatikan dengan baik. 4. Sebagai salah satu sumber dana bagi pembangunan sarana maupun prasarana yang harus dimiliki umat Islam, seperti sarana ibadah, pendidikan, kesehatan, sosial maupun ekonomi, sekaligus sarana pembangunan kualitas sumberdaya manusia muslim. 5. Untuk memasyaratkan etika bisnis yang benar, sebab zakat itu bukanlah membersihkan harta yang kotor, akan tetapi mengeluarkan bagian hak orang lain dari harta kita yang kita usahakan dengan baik dan benar. 6. Dari sisi pembangunan kesejahteraan umat, zakat merupakan salah satu instrument pemerataan pendapatan. Dengan zakat yang dikelola dengan 119 baik, dimungkinkan membanguna pertumbuhan ekonomi sekaligus pemerataan pendapatan, economic with quality.30 Pemberian jaminan kesejahteraan diberikan oleh Allah untuk semua makhluknya, sebagaimana firman Allah di atas. Meskipun tidak secara gamblang menjelaskannya Allah menyuruh kita saling tolong-menolong dalam perbuatan baik dan ketaqwaan, bukan sebaliknya. Dengan tolongmenolong dapat memberikan efek positif kepada kita dan orang lain, seperti kepada orang yang kurang mampu karena dalam hadits pun Nabi Muhammad saw menyebutkan bahwa orang-orang mukmin seperti bangunan yang sebagiannya menguatkan sebagian yang lain. Jadi, pemberian jaminan sosial kepada seluruh warga Negara diharapkan dapat mensejahterakan dan memberikan sebuah pemeliharaan bagi mereka terlebih orang yang sangat membutuhkannya, malah bukan sebaliknya. 30 Ahmad Muflih Saefuddin, Pengelolaan Zakat ditinjau Dari Aspek Ekonomi, (Bontang: Dakwah Islamiyyah, 1986), h. 99 BAB V PENUTUP A. Kesimpulan Dalam penjelasan yang tertuang dalam bab-bab terdahulu permasalahan yang diangkat dalam penulisan skripsi ini, mencoba mengambil beberapa kesimpulan dalam bab ini: 1. Dalam agama Islam, yang merupakan agama yang rahmatan lil alamin sangat menjunjung tinggi pemenuhan kebutuhan bagi setiap warganya. Dengan pemenuhan dan pemberian jaminan kepada seluruh warga diharapkan dapat mensejahterakan mereka semua. Firman Allah dalam al-Qur’an surat AtTaubah ayat 103 ” Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan menyucikan mereka, dan berdoalah untuk mereka. Sesungguhnya doa kamu itu menjadi ketentraman jiwa buat mereka. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui”. Telah jelas dengan kita mngeluarkan zakat yang dengannya kita juga bisa mensejahterakan mereka juga bisa menyucikan harta yang telah kita peroleh sehingga hubungan antara manusia dengan manusia terjaga begitu juga hubungan manusia dengan Tuhan juga terpelihara. 2. Jaminan sosial merupakan hak asasi setiap warga negara sebagaimana tercantum dalam UUD 1945 Pasal 27 ayat 2. Secara universal jaminan sosial dijamin oleh Pasal 22 dan 25 Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia oleh 120 121 PBB (1948), dimana Indonesia ikut menandatanganinya. Kesadaran tentang pentingnya jaminan perlindungan sosial terus berkembang, seperti terbaca pada Perubahan UUD 45 tahun 2002, Pasal 34 ayat 2, yaitu “Negara mengembangkan Sistem Jaminan Sosial bagi seluruh rakyat….”. Jadi adanya kesamaan perepsi tentang pemberian jaminan ini kepada seluruh masyarakat antara hukum Islam dan hukum Positif yakni; mensejahterakan seluruh warga negara dan juga dalam pelaksanaannya tanpa ada diskriminasi sedikitpun termasuk orang yang tidak mampu. 3. Islam sebagai ajaran yang memuat nilai-nilai normatif, begitu bagusnya dalam memandang dan menempatkan martabat dan harkat manusia, baik sebagai individu maupaun anggota sosial. Dan dengan itu coba diterapkan dalam UU No. 40 Tahun 2004 yang hal ini dapat diuraikan sebagai berikut; adanya Ta’awun (tolong-menolong), Kafalah, dan Takaful yang kesemuanya mengandung konsep kesamaan (as-istiwa), konsep keadilan (al-adalah), dan konsep kebebasan/kemerdekaan (al-hurriyah). B. Saran-saran Beranjak dari kesimpulan di atas kiranya penulis memberikan saran-saran dengan poin-poin di bawah ini: 1. Kepada pemerintah maupun isntansi yang terkait dalam pemberian jaminan ini, untuk lebih meningkatkan kualitas baik dari segi pelayanan maupun dalam segi pemberian jaminan ini yang diharapkan dengan begitu seluruh orang 122 yang memerlukan atau yang menggunakannya dalam terpenuhi segalanya terlebih dengan kesehatan yang lebih utama bagi masyarakat yang kurang mampu. Dan diharapkan tidak adanya diskriminasi dalam pemberian jaminan sosial ini, karena jika dilihat dari beberapa pasal yang tercantum di dalamnya lebih banyak pemberian jaminan sosial baik dari jaminan sosial kesehatan maupun yang lain diberikan kepada anggota Pegawai Negeri Sipil ataupun Aggota ABRI dan keluarganya. 2. Sedangkan kepada civitas akademika diharapkan penelitian ini dijadikan sebuah wawasan keilmuan bagi peneliti setelahnya yang ingin meneliti sebuah penelitian dengan bahasan yang sama. DAFTAR PUSTAKA Al-Qur’an al-karim. Abid Abdullah Al-khabisi,Muhammad,Hukum wakaf kajian Kontenporer pertama dan terlengkap tentang pungsi dan pengelolaah wakaf serta penyelesaian Atas sengketa Wakaf,(Jakarta:IIMaN,2003 Al-Fanjari,Ahmad sauqy, Politi Hukum Islam,(Jakarta:Raja Grafindo Persada,2007). Adisasmito, Wiku, Sistem Kesehatan, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007). Adnan, Zamudin, Politik Hukum Islam, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana,1994). Al Munwir, Kamus Al Munawir “Zakat”, (Yogyakarta: PP Al Munawir, 1984). Asmawi, Perbandingan Ushul Fiqh, (Jakarta: UIN Press, 2006). Asyhadie, Zaeni, Hukum Kerja Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2007). Azis Dahlan, Abdul (ed), Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT Ihktiar Baru Van Hoeve, 1997). Bogdan Robert, dan Steven J. Taylor, Pengantar Metode Penelitian Kualitatif. alih bahasa-Arif Furchan Cet- 1. Usaha Nasional. Surabaya- Indonesia: 1992. Consuelo, G. Sevilla, at. all, Pengantar Metode Penelitian. Universitas Indonesia (UI- PRESS). Jakarta: 2006. CSRC UIN Jakarta, Wakaf, Tuhan, dan Agenda Kemanusian: Studi Tentang Wakaf dalam Persepektif Sosial di Indonesia, (Jakarta: CSRC UIN Jakarta, 2006), Cet Ke-1. Daud, Ali Muhammad, Sistem Ekonomi Islam Zakat dan Wakaf, (Jakarta: UI-Press, 1988), cet ke-1. Departemen Agama, Al-Qur’an dan Tafsirnya Jilid III Juz 7-8-9, Yogyakarta: PT. Dana Bhakti Prima Yasa, 1990. Djoely, Mansuruddin, Sistem Ekonomi Pemerintahan Umar bin Khattab, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1997). 123 124 Fikri, Ali, Wawasan Islamdan Ekonomi Sebuah Bunga Rampai Umar Bin Khattab ra, (Jakarta: Fakultas Ekonomi UI, 1998). Hadi Permono, Sjechul, Pendayagunaan Zakat Dalam Rangka Pembangunan Nasional Persamaan dan Perbedaannya Dengan Pajak, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1992) Hadi, Sutrisno, Metodologi Research, (Yogyakarta: Andi Offset, 1990). Hafidhuddin, Didin, Zakat Dalam Perekonomian Modern, (Jakarta: Gema Insani Press, 2002). Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Jakarta: Pustaka Panjimas, 1993). J Lexy, Moleong, Metode Penelitian Kualitatif. Cet, ke- 18. Remaja Rosda Karya. Bandung: 2004. Koentjaraningrat, Pengantar Antropologi, (Jakarta: Universitas Indonesia, 1966). Lili Bariadi, Muhammad Zen, M. Hudri, Zakat dan Wirausaha¸(Jakarta: Centre for Enterpreneurship Development, 2005). Ma’luf, Louis, Kamus Munjid, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1977). Mahmud, Peter Marzuki, Penelitian Hukum. Cet, ke- 4. Kencana Media Group. Jakarta: 2008. Mannan, M. A., Teori dan Praktek Ekonomi Islam, (Yogyakarta: PT Dhana Bhakti Primayasa, 1997). Manan, Abdul, Reformasi Hukum Islam di Indonesia, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006). Mas’ud, F. Masdar, Agama Keadilan Risalah Zakat Pajak Dalam Islam, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1991). Mufraini, F. Arif, Akuntansi dan Manajemen Zakat (Jakarta: Kencana, 2006). Muhammad bin Abdullah, Tafsir Ibnu Katsir, jilid 4, (Bogor: Pustaka Imam Syafi’I, 2003). Mujid, Abdul, et. Al., Kamus Istilah Fiqh “Baitul Mal”, (Jakarta: PT Pustaka Firdaus, 1994. 125 Nasution, Harun dan Mukti Ali, Ensiklopedia Hukum Islam di Indonesia “Ghanimah”, (Jakarta: Depag RI, tth). Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT). Keadilan Sosial: Upaya Mencari Makna Kesejahteraan Bersama di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Buku Kompas, 2004), Cet ke-1 Praja,S,Juhaya,Perwakapan Di Indonesia Sejarah,Pemikiran,Hukum,dan Perkembangan,(Bandung:Muassalah Risalh,1993). Qardhawi, Yusuf, Al-Ibadah fil-Islam (Beirut: Muassalah Risalah, 1993). Raper, Michael, Negara Tanpa Jaminan Sosial Tiga Pilar Jaminan Sosial di Australia dan Indonesia, (Jakarta: Trade Union Rights Centre, 2008). Rawwaa Qal’ahji, Muhammad, Ensiklopedia Fiqh Umar bin Khattab ra, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999). Sabiq, Sayid, Fiqh Sunah, (Beirut: Dar al-Fikr, 1980). Saefuddin, Ahmad Muflih, Pengelolaan Zakat ditinjau Dari Aspek Ekonomi, (Bontang: Dakwah Islamiyyah, 1986). Sanusi, Ahmad, Agama diTengah Kemiskinan Refleksi Atas Pendangan Islam dan Kristen Dalam Perspektif Kerjasama Antar Umat Beragama, (Jakarta: PT LOGOS Wacana Ilmu, 1999), Cet ke-1. Shahih Muslim, Kitab Tentang Zakat, Bab Tentang Orang Yang Tidak Berkecukupan Tetapi Tidak Minta-minta, (Surabaya: pt. Bina Ilmu, tth). Sherraden, Michael, Aset Untuk Orang Miskin Perspektif Baru Usaha Pengentasan Kemiskinan, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2006), Ed. 1. Shihab, Quraisy, Tafsir Al-Misbah, vol.5 (Jakarta: Lentera Hati, 2002), cet. 1. Soetomo, Masalah Sosial Dan Pembangunan, (Jakarta: Dunia Pustaka Jaya, 1995), cet. 1. Thayib, Ahari, Konsep Ekonoomi Ibnu Taimiyah, (Yogyakarta: PT Bina Ilmu, 1997). Tholhah Hasan, Muhammad, Islam Dalam Pespektif Sosio Kultur, (Jakarta: Lantabora Press, 2005), Cet ke- 3. 126 Warson Munawwir, Ahmad, Al-Munawwir: Kamus Arab-Indonesia, (Yogyakarta: Unit Pengadaan Buku-buku Ilmiah Keagamaan, 1984). Watik Pratikya, Ahmad, Abdul Salam M. Sofro, Islam Etika dan Kesehatan Sumbangan Islam Dalam Menghadapi Problema Kesehatan Indonesia Tahun 2000-an, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986) Widiyantoro, Yulius, (skripsi), Studi Implementasi Kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional Terhadap Mekanisme Pembiayaan Pelayanan Kesehatan Bagi Masyarakat Miskin di Puskesmas Kota Semarang, (Semarang: 2005) Wiwoho, B, Zakat dan Pajak, (Jakarta: PT Bina Rena Pariwara, 1991). Yafie, Ali, Menggagas Fiqh Sosial, (Bandung, 1994). Zuhayly, Wahbah, Zakat Kajian Berbagaii Mazhab, (Bandung: PT Remaja Rodakarya, 1995), cet ke-1. Sumber dari internet (situs web site) http://www.antaranews.com/berita/1273064171/dpr-sistem-jaminan-sosial-perlu segera diterapkanhttp://sjsn.menkokesra.go.id/index.php?option=com_content&task= view&id=19&Itemid=8 http://www.gapri.org/tfiles/file/umum/JAMINAN%20KESEHATAN%20NASIONA L.doc. http://www.ekonomirakyat.org/edisi_7/artikel_5.htm http://sanggar.wordpress.com/2008/03/07/reformasi-sistem-jaminan kesehatanmewujudkan-mimpi-atas-kesehatan-bagi-semua/ http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=3&id=17 http://www.jamsostek.co.id/content/i.php?mid=3&id=17 http://mitraku.com/home/index.php?option=com_content&view=article&id=50&Itemid= 63 127 http://www.antaranews.com/berita/254960/kajs-perjuangkan-jamkes-tanpadiskriminasi http://id.wikipedia.org/wiki/Anggaran_Pendapatan_dan_Belanja_Negara http://tafsir-ekonomi.blogspot.com/2011/01/islam-dan-jaminan-sosial.htm http://bondanserbaneka.blogspot.com/2007/01/kesehatan-menurut-pandanganislam.html http://www.faqihregas.co.cc/2010/05/makalah-tentang-kafalah.html http://id.shvoong.com/social-sciences/sociology/2168822-Pengertian Jaminan Sosial/