1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Demam idola (idols

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Demam idola (idols) akhir-akhir ini sepertinya sedang mewabah di
Indonesia. Demam idola ini pada umumnya menyerang golongan remaja
(Ninggalih, 2011). Fenomena ini disampaikan juga oleh Damayanti (2014) yang
mengatakan bahwa demam idol kian menyemarak di Indonesia bahkan sudah
mencapai taraf yang sangat mengkhawatirkan. Demam idol yang terjadi di
Indonesia ini didukung oleh kemajuan teknologi yang semakin canggih. Di era
globalisasi saat ini, teknologi informasi mudah diakses kapan dan dimana saja
(Nuryanitha, 2014).
Seiring dengan perkembangan teknologi dan media elektronik, hal ini
diikuti pula dengan perkembangan media hiburan. Misalnya, dengan munculnya
infotaiment, talk show dengan artis atau pun adanya program Short Message
Service (SMS) dari artis. Hal ini dibuat agar para penggemar memiliki hubungan
atau kedekatan dengan penampil media atau idolanya. Peristiwa dimana individu
mengenal secara personal pada sosok penampil media atau selebritis disebut
dengan perilaku parasosial. Perilaku parasosial biasanya banyak terjadi di
kalangan remaja tetapi di masyarakat ini banyak orang dewasa melakukan
perilaku tersebut (Wahidah & Cynthia, 2015).
1
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Menurut model perkembangan Erikson (Santrock, 2002), dewasa awal
memasuki tahap intimacy vs isolation dimana tugas perkembangannya adalah
untuk membentuk intimate relationship dengan orang lain. Settersten, Jr. (2007)
juga menyatakan bahwa salah satu tugas pokok bagi individu dewasa awal adalah
membentuk hubungan personal yang intim yang dikarakteristikkan oleh
kepercayaan, keterbukaan, kedekatan, komitmen, dan kepedulian. Namun
ternyata, individu dewasa awal masih melakukan pemujaan terhadap sosok
selebriti tertentu. Realita tersebut tidak sesuai dengan hasil penelitian yang
menunjukan bahwa intensitas pengidolaan semakin menurun seiring dengan
bertambahnya usia (Raviv dkk., 1996; McCutcheon, 2002).
Setiap orang memiliki tokoh idola dan naluri untuk mengidolakan sesuatu
atau seseorang, hal tersebut wajar pada diri manusia, disadari atau tidak
disadarinya. Aktifitas atau perilaku pengidolaan sering dikaitkan dengan perilaku
remaja bahwa setiap remaja merasa dirinya perlu menemukan identitas diri dan
perilaku pengidolaan tersebut. Namun banyak juga orang dewasa yang masih
mengidolakan artis sebagaimana remaja. Sebagaimana ungkap Biran dan
Prawasti,
bahwa
banyak
orang
dewasa
melakukannya
apalagi
sampai
mengumpulkan segala sesuatu yang berhubungan dengan tokoh idolanya tersebut,
tampaknya bukan hal yang biasa (Mahmudah, 2015).
Hal yang menarik dapat terlihat pada salah satu fans dari boyband EXO,
yaitu selain fans yang berusia remaja, ternyata masih terdapat fans yang berusia
dewasa awal merupakan anggota dari fans EXO. Padahal menurut Maltby (2001)
bahwa pengidolaan wajar terjadi pada usia remaja, namun akan semakin menurun
seiring bertambah usia. Peneliti melihat bahwa komunitas fans EXO di Kota
2
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Bandung, menunjukan perilaku dimana ketertarikan mereka terhadap idolanya itu
dapat mempengaruhi kehidupan sehari-hari dari fans (Sukmana & Mardiawan,
2015).
Ketertarikan penggemar terhadap selebriti tersebut ditunjukan dengan
berbagai macam perilaku, mulai dari mengoleksi poster, mengoleksi majalah,
membeli CD, menonton film, hingga menonton konser selebriti favoritnya. Tiket
konser musik sejumlah selebriti mancanegara selalu habis terjual meskipun harga
tiket mencapai jutaan. Seperti pada konser One Direction di Stadion Gelora Bung
Karno pada maret 2015 berhasil mengumpulkan hampir 40.000 penggemar
(Tabloid Bintang, 2015) dan juga konser boyband asal Korea Selatan yaitu EXO
pada Februari 2016 yang berhasil mengumpulkan 7.000 penonton (Kompas,
2016).
Menurut Rachma (2014), budaya pop Korea menjangkau semua kalangan
umur baik anak-anak, remaja, dan dewasa terutama kaum wanita. Survei yang
dilakukan oleh Korea Tourism Organization pada tahun 2011 menemukan bahwa
90% penggemar Hallyu adalah perempuan. Dilihat dari kelompok usia,
penggemar kisaran usia dua puluh tahun menempati tempat tertinggi dengan
menyumbang persentase sebesar 47%, dimana menurut tahap perkembangan
manusia, kisaran usia dua puluh tahun dapat dikategorikan ke dalam tahap
emerging adulthood. Menurut Arnett (2000), emerging adulthood adalah tahap
perkembangan dalam kehidupan antara remaja dan dewasa muda dengan rentang
usia 18-25 tahun. Pada tahap emerging adulthood, individu tidak lagi dinilai
sebagai remaja namun belum juga dapat dinilai sebagai dewasa yang bertanggung
jawab sepenuhnya bagi dirinya sendiri dan orang lain. Memperluas pandangan
3
http://digilib.mercubuana.ac.id/
terhadap kehidupan, mencari serta menyiapkan karir di masa depan, dan mencari
hubungan romantic merupakan hal-hal yang perlu diperhatikan saat seseorang
mencapai tahap emerging adulthood (Stephanou, 2012).
Berdasarkan penelitian mengenai relasi parasosial oleh Tekstidinegari
Thaufik (2013) pada 309 responden wanita usia 20 - 40 tahun yang menjadi
penggemar K-Pop, 67,64% (209 orang) dari responden mengalami relasi
parasosial dengan idola K-Pop. Berdasarkan penelitian tersebut, lebih dari separuh
jumlah responden yang menyukai K-Pop mengalami relasi parasosial. Hal ini
dapat memperlihatkan bahwa terdapat kemungkinan seseorang yang tertarik pada
idola K-Pop untuk mengalami relasi parasosial dengan idolanya.
Aktivitas dengan intensitas yang tinggi yang dilakukan terkait idola
menimbulkan rasa kesetiakawanan, persahabatan, dan keterlibatan afektif yang
kuat yang dialami oleh seseorang dalam interaksinya dengan figur media atau
yang disebut dengan relasi parasosial (Cashmore, 2006). Relasi tersebut terjadi
karena adanya pemujaan yang berlebihan terhadap figur media sehingga figur
media diposisikan sebagai bagian dari kehidupan nyata. Tukachinsky (2010)
menggambarkan relasi parasosial kedalam dimensi persahabatan parasosial dan
cinta parasosial. Persahabatan parasosial dikonsepkan sebagai perasaan menyukai
karakter, merasakan solidaritas dan kepercayaan dengan figur media dan
menginginkan kedekatan personal dan komunikasi dengan figur media tersebut.
Sedangkan cinta parasosial melibatkan keinginan kuat untuk menjadi bagian dari
kehidupan figur media, memiliki kedekatan fisik dan keinginan untuk diterima
dan diperhatikan (Rubin, 1973 dalam Tukachinsky, 2010).
4
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Kelekatan yang terbentuk pada penggemar terhadap artis yang disukainya
membentuk perasaan seperti mengenal artis tersebut secara personal pada diri
penggemar. Fenomena ini disebut interaksi parasosial. Horton dan Wohl pada
tahun 1956 mengenalkan fenomena ini sebagai suatu hubungan pertemanan atau
hubungan dekat dengan tokoh media berdasarkan perasaan ikatan afektif
seseorang terhadap tokoh tersebut. Para penggemar berpartisipasi secara aktif
secara mental dalam kehidupan dan kepribadian artis yang disukainya tersebut,
sehingga mereka merasa mengenalnya seperti mengenal teman sendiri (Harvey &
Manusov, 2001).
Terdapat beragam bentuk pengidolaan yang muncul pada fans. Pada
awalnya fans hanya menyukai idolanya karena menurut mereka musiknya yang
enak didengar, tariannya yang menarik, penampilan idola yang menghibur.
Hingga muncul perilaku fans yang ingin mirip atau mengikuti idolanya. Hal itu
terlihat dari fans yang mengikuti cover dance. Adapula fans yang menghabiskan
uang dan waktu demi idola. Terlihat dari fans yang membeli semua album dari
idola, menonton konser walaupun konser berada diluar kota, bahkan berusaha
menonton semua konser yang diadakan oleh idolanya.
Ketertarikan terhadap idolanya tersebut ada yang hingga berdampak pada
kehidupan sehari-hari dari fans. Terdapat fans yang menunda pekerjaan hanya
demi menonton acara-acara mengenai idola atau mencari informasi mengenai
idola. Adapula fans yang mengaku ikut merasakan kesedihan dan kebahagiaan
yang dialami oleh idolanya. Hal menarik lainnya adalah, cukup banyaknya fans
yang berada di usia dewasa awal ini masih belum memiliki pasangan. Menurut
mereka, mereka cenderung menjadi mencari pasangan yang mirip seperti
5
http://digilib.mercubuana.ac.id/
idolanya. Mereka yang tidak memiliki pasangan ini, akhirnya menciptakan
imajinasi sendiri seolah mereka memiliki hubungan lebih dengan idolanya
(Sukmana & Mardiawan, 2015).
Fans K-Pop menunjukan kefanatikan mereka menganggap artis sebagai
orang terdekatnya. Fans K-Pop terdiri dari berbagai macam fandom dan tiap fans
memiliki artis favorit atau yang dikenal dengan bias. Penelitian yang dilakukan
pada fandom ELF, yaitu fandom resmi Super Junior. Berdasarkan observasi dan
wawancara yang dilakukan Yusron (2009), ELF merupakan fandom yang sangat
mudah menunjukan kefanatikan mereka dan mudah tersinggung. Mereka
menganggap member favorit mereka (bias) sebagai suami atau pacar mereka.
Lebih lanjut, peneliti melakukan pendahuluan pada fandom ELF tersebut. Dari
penelitian tersebut dari segi usia, sebagian besar ELF berada dalam rentang usia
remaja dan dewasa awal. Sejalan dengan Yusron (2009), peneliti juga menemukan
bahwa ELF menganggap bahwa anggota Super Junior merupakan pacar, suami
ataupun kakak mereka. Mereka juga mengatakan bahwa mereka sering berkhayal
tentang bias mereka. Jika bias dipasangkan atau dekat dengan artis perempuan,
mereka akan merasa cemburu dan marah kepada artis perempuan tersebut (Sari,
2013).
Berdasarkan data awal yang diperoleh peneliti didapatkan bahwa semua
responden mengagumi idola yang berlawanan jenis dengan dirinya. Ketertarikan
terhadap idola itu tersebut ternyata menimbulkan keinginan untuk menjadi
pasangan idola maupun memiliki pasangan yang mirip dengan idola. Semua
responden (100%) mengaku menginginkan idola mereka menjadi pasangan
6
http://digilib.mercubuana.ac.id/
mereka di dunia nyata dan mengaku pernah bahkan sering mengkhayalkan idola
mereka menjadi pasangan mereka (Malvisa, 2015).
Raviv (dalam Darfiyanti & Putra, 2012) menyebutkan bahwa makin tinggi
tingkat pengidolaan/worship seseorang, maka makin tinggi juga keterlibatan
dengan sosok yang diidolakan. Menurut tingkatan ini, makin seseorang memuja
dan terlibat dengan sosok selebriti tertentu, makin besar pula keintiman (intimacy)
yang diimajinasikan terhadap sosok selebriti yang diidolakan. Dijelaskan oleh
Darfiyanti dan Putra (2012) bahwa bila intensitas keterlibatan dengan selebriti
meningkat, fans akan mengaggap bahwa selebriti idolanya adalah orang yang
dekat dan fans akan terus mengembangkan hubungan parasosial. Hubungan
parasosial adalah hubungan yang diimajinasikan antara fans dengan sosok yang
diidolakan yang bersifat satu arah, dari fans kepada idola.
Hubungan parasosial sebenarnya dapat pula dikategorikan sebagai
hubungan antarpribadi, namun yang sifatnya semu. Hal ini yang disebabkan
karena hubungan ini hanya terdapat dalam pikiran seorang individu saja. Selain
itu, self-disclosure dalam hubungan parasosial hanya berlangsung satu arah, yaitu
dari selebriti ke khalayak media (Schiappa, Allen, & Gregg, 2007: 302). Oleh
karena itu, hubungan parasosial tidak dipandang sebagai hubungan antarpribadi
yang nyata. Meski hubungan parasosial itu sendiri merupakan suatu hubungan
yang semu, namun kemampuannya membentuk suatu ikatan serta persepsi akan
keberadaan hubungan tersebut adalah sesuatu yang nyata (Schiappa, Allen, &
Gregg, 2007: 310).
7
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Ketika mencari hubungan romantis, setiap orang memiliki pandangan dan
ekspetasi masing-masing tentang bagaimana sebuah hubungan yang seharusnya,
apa yang seharusnya dilakukan dalam sebuah hubungan romantis. Keyakinan dan
konsep seseorang mengenai hubungan romantis dapat dipengaruhi oleh cerita
yang digambarkan di media massa, termasuk buku, film, dan tayangan televisi.
Cerita romantis yang disuguhkan oleh media massa dapat membentuk pandangan
penonton yang masih muda mengenai gambaran hubungan romantis bahkan
sebelum mereka penah mengalami hubungan romantis yang sebenarnya (Jin &
Kim, 2015).
Ketika menonton drama, seringkali penonton terbawa suasana, baik itu
suasana senang, sedih, maupun kesal seakan-akan mereka ikut mengenal karakter
drama yang ditonton dan terlibat dalam kehidupan karakter tersebut (Schulze,
2013). Ilusi mengalami interaksi tatap muka dengan karakter dalam tontonan ini
kemudian menimbulkan suatu fenomena yang disebut dengan hubungan
parasosial (Horton & Wohl, 1956).
Brown, dkk. (2003) mengistilahkan hubungan parasosial sebagai ikatan
afektif antara pemirsa dengan figure media massa yang terjadi melalui media noninteraktif seperti televisi, film, buku, dan music (dalam Hoffner, 2008). Menurut
Honeycutt (2003), interaksi parasosial adalah sebuah interaksi semu (pseudointeraction) yang terjadi hanya ada dalam pikiran pemirsanya saja (dalam
Hoffner, 2008).
Menurut Horton dan Wohl (1956), hubungan parasosial merupakan
hubungan tatap muka yang tidak nyata antara penonton dengan orang-orang yang
8
http://digilib.mercubuana.ac.id/
tampil dalam media (baik televisi, radio, maupun internet), dimana penonton
merasakan hubungan pertemanan atau hubungan intim yang didasari oleh
perasaan ikatan afektif penonton terhadap tokoh media (Sekarsari, 2009).
Valkenburg dan Soeters (2001) mengungkapkan fakta bahwa, ikatan
parasosial dengan figure media juga dapat berkembang melalui internet yaitu
melalui situs penggemar (fans site), website selebriti, dan cerita fiksi yang dibuat
penggemar (fan fiction) (dalam Hoffner, 2008). Ketertarikan terhadap selebriti
tersebut membuat pemirsa berusaha mencari tahu lebih banyak mengenai selebriti
favoritnya. Hal tersebut dapat meningkatkan kepercayaan diri pemirsa dalam
memahami dan memprediksi perilaku selebriti favoritnya serta meningkatkan
keintiman atau kelekatan parasosial (parasocial attachment) (Hoffner, 2008).
Hal ini terjadi baik terhadap selebriti dalam kehidupan nyata, karakter fiksi
yang diperankan oleh aktor, atau bahkan karakter animasi atau kartun (Adam &
Sizemore, 2013). Walaupun terdengar aneh, hubungan parasosial merupakan
suatu hal yang lazim dan dapat dilihat sebagai perluasan dari hubungan sosial
dalam kehidupan nyata sehari-hari (Giles, 2002). Hoffner (2008) mengatakan
bahwa secara umum, hubungan parasosial dapat memenuhi beberapa kebutuhan
emosional dalam hubungan sosial sama seperti interaksi tatap muka. Penelitian
juga menemukan bahwa perempuan mengalami hubungan parasosial yang lebih
kuat daripada laki-laki (Cohen, dalam Adam & Sizemore, 2013)
Jenis kelamin juga mempengaruhi tingkat kecenderungan parasosial
individu. Penelitian yang dilakukan Stern dan Russell (2001) menghasilkan fakta
bahwa, wanita cenderung mengidentifikasikan dirinya dengan karakter dalam
9
http://digilib.mercubuana.ac.id/
suatu program televisi dibandingkan pria (dalam Russell, 2004). Wanita
cenderung membentuk ikatan parasosial dengan karakter dalam televisi
dibandingkan pria. Itulah mengapa seringkali ditemukan jumlah pengunjung
wanita lebih banyak disbanding jumlah pengunjung pria dalam sebuah perhelatan
konser penyanyi atau grup musik terkenal.
Sebuah penelitian yang dilakukan Hoffer dalam Julian, 2005, perilaku
parasosial dinyatakan lebih kuat dan lebih sering terjadi pada perempuan.
Disebutkan pula, bahwa perempuan cenderung fleksibel dalam memilih television
performer favoritnya. Perempuan dapat memilih performer favoritnya yang juga
perempuan karena penampilan fisiknya, tetapi perempuan juga dapat memilih pria
sebagai performer favoritnya karena performer ini pintar, lucu, atau tampan.
Parasosial (parasocial relationship) adalah istilah yang digunakan oleh
ilmuan
sosial
untuk
menggambarkan
satu
sisi,
“parasosial”
hubungan
interpersonal dimana suatu pihak yang tahu banyak tentang yang lain, tetapi yang
lain tidak. Bentuk yang paling umum dari hubungan tersebut satu-sisi hubungan
antara selebriti dan penonton atau penggemar. Istilah parasosial itu sendiri
pertama kali dikenalkan oleh Horton dan Wohl pada tahun 1956 sebagai suatu
hubungan pertemanan dengan tokoh media berdasarkan ikatan afektif terhadap
tokoh tersebut (Biran, 2003).
Parasosial adalah ilusi tentang adanya ketertarikan antara seorang pemirsa
televisi dengan pemain film atau selebriti dalam serial televisi. Hubungan tersebut
selanjutnya menjadi hubungan satu arah antara pemirsa televisi dengan sebuah
image atau gambar. Dikatakan hubungan satu arah karena pemirsa televisi
10
http://digilib.mercubuana.ac.id/
menganggap dirinya telah mengenal dan memahami dengan baik tokoh selebriti
tersebut dimana sang tokoh tidak mengenal sama sekali pemirsanya (Giles, 2002
dalam Julianto, 2005).
Pemujaan terhadap selebriti merupakan suatu hal yang sering terjadi.
Penggemar menjadi sangat tertarikpada kehidupan artis idolanya, bahkan
memandang artis idolanya sebagai suatu panutan dalam tingkah laku sosial seharihari. Derrick & Gabriel 2008 dalam Manginta 2009, mengatakan rasa ketertarikan
dengan selebriti tanpa harus saling kenal sebagai parasosial. Parasosial dapat
memberikan solusi bagi mereka yang mengalami kesulitan untuk bergaul
langsung dengan orang lain. Orang-orang yang memiliki masalah dengan
kepercayaan diri bisa menggunakan hubungan parasosial untuk membangun citra
diri ideal.
Hubungan parasosial terjadi karena beberapa hal : motivasi indivdu untuk
memperoleh tujuan, kebutuhan, keinginan, dan atau pilihan; keinginan individu
untuk identifikasi pembentukan perilaku parasosial ini juga dipengaruhi oleh
keinginan pemirsa televisi untuk mengidentifikasi selebriti idolanya; faktor
kesamaan impresi awal pemirsa terhadap selebriti idola sangat berpengaruh dalam
pembentukan perilaku parasosial, baik dalam fisik, tingkah laku, reaksi emosional,
maupun kepribadian; semakin lama seseorang menonton televisi, maka ia akan
semakin menjadi semakin intim dengan tokoh atau selebriti tersebut (Julianto,
2005).
Para pemirsa televisi merasa lebih mengenal artis idolanya dibandingkan
mengenal orang disekelilingnya karena banyak waktu yang dihabiskan di depan
11
http://digilib.mercubuana.ac.id/
televisi. Hal tersebut memperkuat hubungan parasosial antara pemirsa televisi
dengan artis idolanya. Efek yang terjadi dalam hubungan parasosial, yaitu
Pseudo-friendship,
dimana
pemirsa
televisi
merasa
memiliki
hubungan
pertemanan yang semu atau tidak adanya komitmen dengan artis idolanya
(Julianto, 2005).
Menurut Horton dan Wohl (1956), hubungan parasosial dapat dikatakan
patalogis hanya apabila hubungan parasosial tersebut dijadikan pengganti dari
partisipasi sosial dalam kehidupan nyata dan apabila merujuk pada pemujaan
terhadap selebriti (celebrity worship), erotomania (merasa bahwa orang lain
memendam perasaan cinta kepada si penderita), atau jika seseorang menguntit
figure media (idola) (Syafrina, Permatasari, dan Dara, 2016).
1.2
Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah dipaparkan, maka permasalahan
yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah sebagai berikut :
 Bagaimana gambaran parasosial pada fans perempuan dewasa awal ?
1.3
Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut :
 Mengetahui gambaran parasosial pada fans perempuan dewasa awal.
1.4
Manfaat Penelitian
Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dari berbagai segi,
diantaranya :
12
http://digilib.mercubuana.ac.id/
1. Manfaat Teoritis
Penelitian ini dapat menjadi bahan kajian untuk penelitian selanjutnya,
terutama yang berkaitan dengan Parasosial. Serta dapat menambah
pengetahuan, pengalaman.
2. Manfaat Praktis
Memberikan informasi mengenai emosi dan perilaku parasosial fans
perempuan.
13
http://digilib.mercubuana.ac.id/
Download