BAB II TINJAUAN PUSTAKA A. Kerangka Teori 1. Tinjauan tentang

advertisement
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teori
1. Tinjauan tentang Hakim
a. Pengertian Hakim
Hakim sebagaimana tertera dalam Pasal 1 butir 8 KUHAP adalah
pejabat peradilan negara yang diberi wewenang oleh Undang-undang untuk
mengadili. Sedangkan menurut Pasal 1 ayat (5) Undang-undang Nomor 48
Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman bahwa yang dimaksud dengan
hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan
yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan
peradilan agama, lingkungan Peradilan Militer, lingkungan Peradilan Tata
Usaha Negara, dan Hakim pada Pengadilan khusus yang berada dalam
lingkungan peradilan tersebut.
Istilah Hakim artinya orang yang mengadili perkara dalam pengadilan
atau Mahkamah ; Hakim juga berarti Pengadilan. Berhakim artinya minta
diadili perkaranya; menghakimi artinya urusan hukum dan pengadilan, ada
kalanya istilah hakim dipakai oleh orang budiman, ahli dan orang bijaksana
(Lilik Mulyadi, 2010, 125). Dibidang hukum pidana, hakim bertugas menilai
apakah perbuatan Terdakwa tersebut melanggar Hukum pidana atau tidak.
Untuk menetapkan hal tersebut secara tepat, seorang Hakim harus dapat
menentukan Hukum Pidana yang mana telah dilanggar (Wirjono Prodjodikoro,
1974 : 26-27).
b. Kewajiban Hakim
Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan memiliki tugas dan
kewajiban pokok dan bidang peradilan yang secara normatif telah diatur di
dalam Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
Adapun kewajiban pokok hakim menurut pandangan beberapa ahli :
1) Hakim wajib mengadili, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan
rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Peran hakim disini adalah
sebagai “sense of justice of the people”yaitu hakim sebagai penegak hukum
dan keadilan wajib untuk menggali, mengikuti, serta memahami nilai-nilai
hukum yang berlaku di masyarakat (Roeslah Saleh ,1979 : 5).
2) Hakim wajib memperhatikan sifat-sifat yang baik dan jahat dari terdakwa
dalam mempertimbangkan berat ringannya pidana yang akan dijatuhkan.
Setiap putusan yang akan dijatuhkan hakim haruslah didasarkan pada
argumentasi hukum dengan alasan serta dasar hukum yang tepat dan benar.
Oleh karena itu hakim perlu memahami benar keadaan pribadi seseorang
agar dapat dijatuhkan Putusan yang seadil-adilnya.
3) Hakim harus dapat menemukan kembali dan menemukan pembaharuan
hukum. Dalam hal ini hakim waib melakukan reinvensi hukum
(menemukan kembali) serta menemukan pembaharuan hukum yang
compatible untuk dikonsumsi masyarakat. Oleh karena itu hakim yang
ideal, selain memiliki kepekaan hukum terhadap nilai-nilai keadilan,
mampu mengintegrasikan hukum positif ke dalam nilai-nilai religious,
kesusilaan, dan proses peradatan yang hidup berdampingan dalam
masyarakat melalui setiap putusan yang dikeluarkan ( Barda Nawawi Arief,
2010 : 43).
c. Tanggung jawab Hakim
Hakim memiliki posisi yang cukup sentral dalam mewujudkan kehidupan
yang harmonis serta berkeadilan. Maka dengan posisinya yang cukup sentral
tersebut maka seseorang yang diangkat menjadi hakim mempunyai tanggung
jawab yang besar yang senantiasa dipegang oleh hakim. Tanggung jawab
tersebut adalah :
1) Tanggung jawab Moral
Hakim dalam hal ini harus tunduk dan mematuhi nilai-nilai dan norma
yang berlaku dalam lingkungan kehakiman. Seorang hakim harus mampu
untuk memanifestasikan rasa keadilan yang terdapat dalam kenyataan
normatif (das sollen) ke dalam kenyataan keseharian (das sein) melalui
putusan-putusannya. Hal tersebut sesuai dengan tujuan adanya hakim yaitu
menjamin tegaknnya hukum dan keadilaan.
2) Tanggung jawab Hukum
Tanggung jawab hukum sebagai hakim diatur dalam Undang-undang
Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang disebutkan
sebagai tanggung jawab profesi yang harus ditaati oleh hakim yaitu :
a) Pasal 28 ayat (1) menyebutkan bahwa hakim wajib menggali,
mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang
hidup dalam masyarakat.
b) Pasal 28 ayat (2) menyebutkan banwa dalam mempertimbangkan berat
ringannya pidana, hakim wajib memperhatikan pula sifat yang baik dan
jahat dari terdakwa, dan
c) Pasal 29 ayat (3) menyebutkan bahwa hakim wajib mengundurkan diri
dari persidangan apabila terikat hubungan keluarga sedarah atau
semenda sampai derajat ketiga, atau hubungan suami istri meskipun
telah bercerai, dengan ketua, salah seorang Hakim Anggota, Jaksa,
Advokat, atau Panitera.
3) Tanggung jawab Teknis Profesi
Dalam hal ini hakim dituntut untuk mampu melaksanakan
tanggungjawabnya dalam profesinya sebagai hakim. Penting bagi hakim
untuk memahami secara mendalam aturan-aturan mengenai hukum acara di
persidangan. Ketidakmampuan hakim dalam mempertanggungjawabkan
tindakannya secara teknis atau yang dikenal dengan istilah unprofessional
conduct dapat dianggap sebagai suatu pelanggaran.
d. Dasar Pertimbangan Hakim dalam Menjatuhkan Putusan
Dasar pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan pidana
bersyarat perlu didasarkan kepada teori dan hasil penelitian yang saling
berkaitan sehingga didapatkan hasil penelitian yang maksimal dan seimbang
dalam tataran teori dan praktek. Salah satu usaha untuk mencapai kepastian
hukum dengan penegakan hukum secara tegas adalah melalui kekuasaan
kehakiman, di mana hakim merupakan aparat penegak hukum yang melalui
putusannya dapat menjadi tolok ukur tercapainya suatu kepastian hukum.
Pertimbangan hakim merupakan salah satu aspek terpenting dalam
menentukan terwujudnya nilai dari suatu putusan hakim yang mengandung
keadilan (ex aequo et bono) dan mengandung kepastian hukum, di samping itu
juga mengandung manfaat bagi para pihak yang bersangkutan sehingga
pertimbangan hakim ini harus disikapi dengan teliti, baik, dan cermat. Apabila
pertimbangan hakim tidak teliti, baik, dan cermat, maka putusan hakim yang
berasal dari pertimbangan hakim tersebut akan dibatalkan oleh Pengadilan
Tinggi atau Mahkamah Agung (Mukti Arto,2004:140).
Menurut Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan
Kehakiman, Pertimbangan Hakim adalah pemikiran-pemikiran atau pendapat
hakim dalam menjatuhkan putusan dengan melihat hal-hal yang dapat
meringankan atau memberatkan pelaku. Setiap hakim wajib menyampaikan
pertimbangan atau pendapat terlulis terhadap perkara yang sedang diperiksa
dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
Hakim dalam pemeriksaan suatu perkara juga memerlukan adanya
pembuktian, dimana hasil dari pembuktian itu kan digunakan sebagai bahan
pertimbangan dalam memutus perkara. Pembuktian merupakan tahap yang
paling penting dalam pemeriksaan di persidangan. Pembuktian bertujuan untuk
memperoleh kepastian bahwa suatu peristiwa/fakta yang diajukan itu benarbenar terjadi, guna mendapatkan putusan hakim yang benar dan adil. Hakim
tidak dapat menjatuhkan suatu putusan sebelum nyata baginya bahwa
peristiwa/fakta tersebut benar-benar terjadi, yakni dibuktikan kebenaranya,
sehingga nampak adanya hubungan hukum antara para pihak (Mukti
Arto,2004:141).
Seorang hakim dalam menemukan hukumnya diperbolehkan untuk
bercermin pada yurisprudensil dan pendapat para ahli hukum terkenal (doktrin).
Hakim dalam memberikan putusan tidak hanya berdasarkan pada nilai-nilai
hukum yang hidup dalam masyarakat, hal ini dijelaskan dalam Pasal 28 ayat
(1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yaitu bahwa “Hakim
wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam
masyarakat”.
Oleh sebab itu hakim yang bekedudukan penting dalam sistem
Peradilan wajib memiliki potensi lebih untuk mengimplementasikan hukum
yang berlaku. Hal tersebut agar tercapainya keadilan yang menjadi tujuan dari
peradilan tersebut diadakan.
2. Tinjauan tentang Pembuktian
a. Pengertian Pembuktian
Pembuktian merupakan masalah yang memegang peranan dalam proses
pemerikasaan sidang pengadilan. Suatu pembuktian haruslah dianggap tidak
lengkap jika keyakinan hakim didasarkan alat-alat bukti yang tidak dikenal
dalam undang-undang, atau atas bukti yang tidak mencukupi, hakim tidak boleh
memperoleh
keyakinan
tersebut
dari
macam-macam
keadaan
yang
diketahuinya dari luar persidaangan, tetapi haruslah memperolehnya dari alatalat bukti yang sah yang terdapat dalam persidangan. Apabila hakim dari alatalat bukti yang sah tidak memperoleh keyakinan, maka ia berwenang untuk
menjatuhkan putusan pembebasan dari tuduhan (Henny Saida Flora, Peran
Psikiater Sebagai Saksi Ahli Dalam Pembuktian Perkara Pidana Guna
Memutuskan Perkara Pidan Bagi Hakim Di Pengadilan, 2009:171, Vol.7.
Jurnal Hukum Pro Justitia)
Melalui pembuktian ditentukan nasib terdakwa. Apabila hasil pembuktian
dengan alat-alat bukti yang ditentukan undang-undang “tidak cukup”
membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa, terdakwa
“dibebaskan” dari hukuman. Sebaliknya, kalau kesalahan terdakwa dapat
dibuktikan dengan alat-alat bukti yang disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP,
terdakwa dinyatakan “bersalah” kepadanya akan dijatuhkan hukuman. Oleh
karena itu, hakim harus berhati-hati, cermat, dan matang menilai dan
mempertimbangkan nilai pembuktian. Meneliti sampai dimana batas minimum
“kekuatan pembuktian” atau bewijs kracht dari setiap alat bukti yang
disebutkan dalam Pasal 184 KUHAP (M. Yahya Harahap, 2005 : 273)
Menurut Yahya Harahap (2005 : 252) yang dimaksud pembuktian adalah
merupakan ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara
yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan
kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan kesatuan yang mengatur alatalat bukti yang dibenarkan undang-undang dan yang boleh dipergunakan hakim
membuktikan kesalahan yang didakwakan.
Tujuan dari pembuktian adalah untuk dijadikan dasar dalam menjatuhkan
putusan hakim kepada terdakwa tentang bersalah atau tidaknya sebagaimana
yang telah didakwakan oleh penuntut umum. Namun tidak semua hal harus
dibuktikan, sebab menurut Pasal 184 ayat (2) KUHAP, bahwa “hal yang secara
umum sudah diketaui tidak perlu dibuktikan “.
Hakim dalam memeriksa perkara pidana dalam sidang pengadilan
senantiasa berusaha untuk membuktikan :
1) Apakah betul suatu peristiwa tersebut merupakan suatu tindak pidana;
2) Apakah betul peristiwa merupakan suatu tindak pidana;
3) Apakah sebab-sebabnya peristiwa itu terjadi, dan
4) Apakah orangnya telah bersalah berbuat peristiwa itu (R. Soesilo, 1996 :
106) .
Maka tujuan dari pembuktian diatas adalah untuk mencari, menemukan,
dan menetapkan kebenaran-kebenaran yang ada dalam perkara itu, bukan
semata-mata mencari kesalahan seseorang. Untuk menemukan kebenaran
materiil yaitu kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu peristiwa
sehingga akan membuat terang tindak pidana apa yang terjadi dan siapa
pelakunya, maka masalah pembuktian menduduki tempat yang sangat penting.
Dalam hal ini yang harus dibuktikan adalah kejadian-kejadian konkrit dan
bukan suatu yang abstrak. Hakim meskipun tidak melihat dengan mata kepala
sendiri kejadian sesungguhnya, dapat menggambarkan dalam pikirannya apa
yang sebenarnya terjadi sehingga memperoleh keyakinan tentang hal tersebut.
b. Asas-asas Pembuktian
Proses pembuktian menurut KUHAP sendiri menganut asas:
1) Asas Minimum Pembuktian
Asas ini memberikan ketentuan bahwa dalam pembuktian untuk
dijatuhkannya hukuman atas kesalahan terdawa, harus ada jumlah minimal
alat bukti yang sah. KUHAP sendiri menyatakan secara tergas mengenai
asas ini dalam Pasal 183 KUHAP yang berbunyi, “Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya”.
2) Asas Pembuktian Harus Dilaksanakan dalam Persidangan
Asas ini merupakan asas yang dikembalikan kepada pengertian
pembuktian itu sendiri, yang mana sebuah pembuktian akan hadir karena
persidangan. Hal ini juga didasari oleh tujuan pembuktiaan yang ditujukan
untuk meyakinkan majelis hakim tentang dalil-dalil yang dikemukakan
dalam suatu persengketaan.
3) Asas Keyakinan Hakim terhadap Alat Bukti
Sejalan dengan asas minimum pembuktian dalam Pasal 183 KUHAP,
dalam Pasal tersebut diketemukan adanya ketentuan yang menyatakan
bahwa dalam jumlah minimum alat bukti
harus pula didasari pada
keyakinan hakim terhadap alat bukti tersebut untuk memutuskan bahwa
tindak pidana yang didakwakan benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah
yang bersalah melakukannya.
4) Asas Notoire Feitten
Asas ini menyatakan bahwa hal yang diketahui oleh publik tidak perlu
dibuktikan lagi. Pengaturan mengenai asas ini terdapat pada Pasal 182 ayat
(2) KUHAP yang berbunyi, “Hal yang secara umum sudah diketahui tidak
perlu dibuktikan”. Hal inilah yang kemudian disebut dengan istilah notoire
feiten.
5) Asas Unus Testis Nullus Testis
Asas ini menyatakan bahwa keterangan seorang saksi saja tak cukup
untuk membuktikan bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang
disakwakan kepadanya. Dari bunyi Pasal 185 ayat (2) KUHAP dapat
ditarik kesimpulan
bahwa persyaratan yang dikehendaki oleh Pasal
tersebut adalah:
a)
Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus
didukung oleh dua orang saksi;
b) Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja, maka
kesaksian tunggal tersebut harus didukung dengan alat bukti lain
(dijelaskan lebih lanjut dalam Pasal 185 ayat (3) KUHAP).
6) Asas Saksi dan Saksi Ahli harus disumpah Terlebih dahulu Sebelum
Memberikan Keterangan
Dalam penjelasan Pasal 161 ayat (2) KUHAP berbunyi, “Keterangan
saksi atau ahli yang tidak disumpah atau mengucapkan janji, tidak dapat
dianggap sebagai alatbukti yang sah, tetapi hanyalah merupakan keterangan
yang dapat menguatkan keyakinan hakim”.
7) Asas Keterangan Saksi adalah Keterangan yang Diucapkan dalam
Persidangan
Hal ini dinyatakan dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP yang berbunyi,
“Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang
pengadilan”.
8) Asas Testimonium de Auditu
Testimonium de auditu adalah sebuah keterangan saksi yang diperoleh
dari hasil pendengaran keterangan orang lain. Menurut Pasal 1 butir 27
KUHAP, saksi dalam memberi suatu kesaksian harus berdasarkan kepada
suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami
sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.
9) Asas Keterangan Terdakwa hanya Mengikat dirinya saja
Pasal 189 ayat (3) KUHAP menyatakan, “Keterangan terdakwa hanya
dapat digunakan terhadap dirinya sendiri”. Hal ini sekaligus menyatakan
bahwa keterangan seorang terdakwa hanya berlaku untuk dirinya sendiri”.
10) Asas Kesesuaian Antar Keterangan Saksi yang Berdiri sendiri-sendiri atas
suatu peristiwa tertentu
Hal ini dinyatakan dalam Pasal 185 ayat (4) KUHAP yang berbunyi,
“Keterangan beberapa saksi yang berdiri sendiri-sendiri tentang suatu
kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat bukti yang sah
apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu dengan yang lain
sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan adanya suatu kejadian atau
keadaan tertentu”.
11) Asas Pengakuan Terdakwa tidak menghapusakan kewajiban Penuntut
Umum Membuktikan Kesalahan Terdakwa
Pasal 189 ayat (4) KUHAP menyatakan bahwa, “Keterangan
terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah
melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus
disertai dengan alat bukti lain”.
c. Macam-macam Sistem Pembuktian
Teori sistem pembuktian akan menguraikan mengenai ajaran sistem
pembuktian. Perlunya mengetahui ajaran-ajaran sistem pembuktian untuk
memahami ajaran sistem pembuktian yang ada dan dianut oleh beberapa
negara. Berikut adalah ajaran atau teori sistem pembuktian menurut M. Yahya
Harahap yaitu :
1) Conviction-in time
Sistem pembuktian Conviction-in time Menentukan salah tidaknya seorang
terdakwa,semata-mata ditentukan oleh “keyakinan” hakim. Keyakinan
hakim yang menetukan keterbuktian kesalahan terdakwa. Sistem
pembuktian Conviction-in time, sudah tentu mengangung kelemahan.
Hakim dapat menjatuhkan hukuman pada seseorang terdakwa semata-mata
atas “dasar keyakinan” tanpa didukung oleh alat bukti yang cukup.
Sebaliknya hakim leluasa membebaskan terdakwa dari tindak pidana yang
dilakukan walaupun kesalahan terdakwa telah cukup terbukti dengan alatalat bukti yang lengkap, selain hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa.
Jadi dalam sistem pembuktian Conviction-in time, sekalipun kesalahan
terdakwa sudah cukup terbukti, pembuktian yang cukup itu dapat
dikesampingkan keyakinan hakim. Keyakinan hakim yang “dominan” atau
yang paling menentukan salah atau tidaknya terdakwa. Keyakinan hukkum
tanpa alat bukti yang sah, sudah cukup membuktikan kesalahan terdakwa.
Seolah-olah sistem ini menyerahkan sepenuhnya nasib terdakwa kepada
keyakinan hakim semata-mata. Keyakinan hakimlah yang menentukan
wujud kebenaran sejati dalam sistem pembuktian ini.
2) Conviction-Raisonee
Dalam sistem ini pun dapat dikatakan “keyakinan hakim” tetap memegang
peranan penting dalam menentukan salah tidaknya terdakwa. Akan tetapi
dalam sistem pembuktian ini, faktor keyakinan hakim “dibatasi”. Jika
dalam sistem pembuktian Conviction-in time peran “keyakinan hakim”
leluasa tanpa batas maka pada sistem Conviction-Raisonee, keyakinan
hakim harus didukung dengan “alasan-alasan yang jelas”. Hakim wajib
menguraikan dan menjelaskan alasan-alasan yang mendasari keyakinannya
atas kesalahan terdakwa. Tegasnya keyakinan hakim dalam sistem
Conviction-Raisonee harus dilandasi reasoning atau alasan-alasan dan
reasoning itu harus “reasonable” yakni berdasar alasan yang dapat
diterima. Keyakinan hakim harus mempunyai dasar alasan yang logis dan
benar-benar dapat diterima akal. Tidak semata-mata atas dasar keyakinan
yang tertutup tanpa uraian alasan yang masuk akal.
3) Pembuktian Menurut Undang-Undang secara Positif
Pembuktian menurut undang-undang secara positif, “keyakinan hakim
tidak ikut ambil bagian” dalam membuktikan kesalahan terdakwa. Sistem
ini berpedoman pada prinsip pembuktian dengan alat-alat bukti yang
ditentukan undang-undang. Untuk itu membuktikan salah satu tindakan
terdakwa semata-mata “digantungkan kepada alat-alat bukti yang sah” asal
sudah dipenuhi syarat-syarat dan ketentuan pembuktian menurut undangundang,
sudah
cukup
menentukan
kesalahan
terdakwa
tanpa
mempersoalkan keyakinan hakim. Sistem ini benar-benar menuntut hakim
wajib mencari dan menemukan kebenaran salah atau tidaknya terdakwa
sesuai dengan tata cara pembuktian dengan alat-alat bukti yang sah atau
tidaknya terdakwa sesuai yang telah ditentukan undang-undang. Dari sejak
semula
pemeriksaan
perkara,
hakim
harus
melemparkan
dan
mengesampingkan jauh-jauh faktor keyakinan, tetapi semata-mata berdiri
tegak pada nilai pembuktian obyektif tanpa mencampuradukan hasil
pembuktian yang di peroleh di persidangan dengan unsure subyektif
keyakinannya. Sekali hakim majelis menemukan hasil pembuktian yang
obyektif sesuai dengan cara dan alat-alat bukti yang sah menurut undangundang, tidak perlu lagi menanya dan menguji hasil pembuktian tersebut
dengan keyakinan hati nuraninya.
4) Pembuktian Menurut Undang-Undang Secara Negatif (Negatief wettijk
Stelsel)
Sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif merupakan
teori antara sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif
dengan sistem pembuktian menurut keyakinan atau conviction-in time.
Untuk menentukan salah atau tidaknya seorang terdakwa menurut sistem
pembuktian undang-undang secara negatif, terdapat dua komponen.
Komponen pertama adalah pembuktian harus dilakukan menurut cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang dan komponen
kedua adalah keyakinan hakim yang juga harus didasarkan atas cara dan
dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang. Dengan demikian,
sistem ini memadukan unsure “objektif” dan “subjektif” dalam menentukan
salah atau tidaknya terdakwa. Pembuktian menurut sistem ini menempatkan
keyakinan hakim paling berperan dan dominan dalam menentukan salah
atau tidaknya terdakwa (M.Yahya Harahap, 2005 :277-288).
Uraian diatas menghasilkan pemahaman bahwa ajaran sistem pembuktian
ada 4 (empat) dalam ajaran tersebut terdapat beberapa kelebihan dan
kekurangan, namun bagaimana baik dan buruk sebuah sistem bergantung pada
manusia yang berada di belakang sistem tersebut.
d. Sistem Pembuktian yang dianut Indonesia berdasarkan KUHAP
Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang disingkat dengan
KUHAP merupakan aturan formil dalam beracara atau bersidang. Dalam
bersidang hal yang paling menentukan adalah pada tahap pembuktian (M.
Yahya harahap,2005:280). Pembuktian dalam sidang pengadilan dalam
KUHAP dapat dilihat dari Pasal 183 KUHAP, yang berisi: ”Hakim tidak boleh
menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu
tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah
melakukannya.”
Pasal 183 KUHAP menurut Prodjohamidjojo yang menyatakan bahwa
dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut negatief
wettelijk stelsel (Martiman Prodjohamidjojo,1983:19) hanya alat-alat bukti
yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian.
Kemudian hal serupa dinyatakan oleh M. Yahya Harahap (2005:280) sebagai
berikut:
KUHAP menganut sistem pembuktian menurut undang-undang secara
negatif. Terlihat dari rumusan Pasal 183 KUHAP yakni:
1) Kesalahan terbukti dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah.
2) Dan atas keterbuktian dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah,
hakim memperoleh keyakinan bahwa tindak pidana benar-benar terjadi dan
terdakwalah yang bersalah melakukannya (M. Yahya Harahap , 2005:280).
Penjelasan tersebut memperjelas bahwa KUHAP menganut pembuktian
berdasarkan perundangan secara negatif, karena dalam rumusan tersebut bukan
hanya alat bukti yang berperan untuk menjatuhkan putusan pemidanaan namun
negatif keyakinan hakim sebagai pengadil dilibuatkan dalam negatif
pembuktian di KUHAP. Lebih lanjut M. Yahya Harahap menyatakan bahwa :
“….dalam Pasal 183 KUHAP pembuat Undang-Undang telah menentukan
pilihan bahwa negatif pembuktian paling tepat dalam kehidupan penegakan
hukum di Indonesia adalah egati pembuktian menurut undang-undang secara
negatif, demi tegaknya keadilan, kebenaran dan kepastian hukum” (M. Yahya
Harahap, 2005:280).
e. Macam-macam Alat Bukti
Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitif alat bukti
yang sah menurut Undang-undang. Diluar alat bukti itu, tidak dibenarkan
dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Penegak hukum terikat
dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja.
Mereka tidak leluasa menggunakan alat bukti yang telah ditentukan Pasal 184
ayat (1) KUHAP. Dalam proses pembuktian, yang dibenarkan mempunyai
kekuatan pembuktian hanya terbatas kepada alat-alat bukti itu saja. Pembuktian
di luar jenis Pasal 184 ayat (1) KUHAP tidak mempunyai kekuatan pembuktian
yang mengikat (M.Yahya Harahap. 2005:285).
Alat bukti yang dapat dipergunakan dalam pemeriksaan persidangan
dijelaskan dalam Pasal 184 Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana, yaitu
:
1) Keterangan Saksi
Keterangan saksi menurut Pasal 1 Angka 27 KUHAP adalah : “Salah
satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan saksi
mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan
ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu”.
Keterangan saksi supaya dapat dipakai sebagai alat bukti yang sah,
maka harus memenuhi dua syarat, yaitu :
a) Syarat formil
Bahwa keterangan saksi hanya dapat dianggap sah, apabila diberikan
memuhi syarat formil, yaitu saksi memberikan keterangan dibawah
sumpah, sehingga keterangan saksi yang tidak disumpah hanya boleh
digunakan sebagai penambahan penyaksian yang sah lainnya.
b) Syarat Materiel
Bahwa keterangan seorang atau satu saksi saja tidak dapat dianggap sah
sebagai alat pembuktian (unus testis nulus testis) karena tidak
memenuhi syarat materiel, akan tetapi keterangan seseorang atau satu
orang saksi, adalah cukup untuk alat pembuktian salah satu unsur
kejahatan yang dituduhkan (Andi Sofyan dan Asis,2014 : 239) .
Penilaian keterangan saksi sebagaimana menurut Pasal 185 KUHAP,
bahwa :
(1) Keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di
sidang pengadilan (testimony).
(2) Keterangan seorang saksi saja tidak cukup untuk membutikan
bahwa terdakwa bersalah terhadap perbuatan yang didakwakan
kepadanya.
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak berlaku
apabila disertai dengan suatu alat bukti yang sah lainnya.
(4) Keterangan beberapa saski yang berdiri sendiri-sendiri tentang
suatu kejadian atau keadaan dapat digunakan sebagai suatu alat
bukti yang sah apabila keterangan saksi itu ada hubungannya satu
dengan yang lain sedemikian rupa, sehingga dapat membenarkan
adanya suatu kejadian atau keadaan tertentu.
(5) Dalam menilai kebenaran keterangan seorang saksi, hakim harus
dengan sungguh-sungguh memerhatikan :
a. persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lain;
b. persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti lain;
c. alasan yang mungkin digunakan oleh saksi untuk memberi
keterangan tertentu;
d. cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada
umumnya dapat memengaruhi dapat tidaknya keterangan itu
dipercaya.
(6) Keterangan dari saksi yang tidak pernah disumpah meskipun sesuai
satu dengan yang lain, tidak merupakan alat bukti, namun apabila
keterangan itu sesuai dengan keterangan dari saksi yang disumpah
dapat digunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain
2) Keterangan Ahli
KUHAP telah merumuskan pengertian tentang keterangan ahli,
sebagai berikut :
a) “Keterangan ahli ialah keterangan yang diberikan oleh seorang yang
memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat
terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan”(Pasal 1
Angka 28 KUHAP).
b) “Keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan disidang
pengadilan”(Pasal 186 KUHAP).
Keterangan ahli dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksan
oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam suatu bentuk
laporan dan dibuat dengan mengingat sumpah di waktu ia menerima jabatan
atau pekerjaan. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan, maka
di sidang diminta untuk memberikan keterangan dan dicatat dalam berita
acara pemeriksaan. Keterangan tersebut diberikan setelah ia mengucapkan
sumpah atau janji dihadapan hakim. Jadi dengan demikian keterangan ahli
diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan hakim dan
juga keterangan ahli itu diperlukan untuk membuat terang suatu perkara
pidana guna kepentingan pemeriksaan baik itu pemeriksaan yang dilakukan
oleh penyidik maupun pemeriksaan yang dilakukan di pengadilan.
Alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai kekuatan pembuktian
yang mengikat dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan
pembuktian keterangan ahli sama halnya dengan nilai pembuktian yang
melekat pada alat bukti keterangan ahli. Oleh karena itu, nilai kekuatan
pembuktian yang melekat pada alat bukti keterangan ahli :
a) Mempunyai
nilai
kekuatan
pembuktian
“bebas”
atau
“vrij
bewijskracht”. Didalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan
pembuktian yang sermpurna dan menentukan. Terserah pada penilaian
hakim. Hakim bebas menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada
keharusan bagi hakim untuk menerima kebenaran keterangan ahli
dimaksud.
b) Disamping itu sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur
dalam Pasal 183 KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja
tanpa didukung oleh salah satu alat bukti yang lain, tidak cukup dan
tidak memadai membuktikan kesalahan terdakwa. Apalagi jika Pasal
183 KUHAP di hubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2)
KUHAP, yang menegaskan, seorang saksi saja tidak cukup untuk
membuktikan kesalahan terdakwa. Prinsip ini pun, berlaku untuk alat
bukti keterangan ahli, bahwa keterangan seorang ahli saja tidak cukup
membuktikan kesalahan terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli
dapat dianggap cukup membuktikan kesalahan terdakwa harus disertai
dengan alat bukti lain.
Suatu keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah
dengan melihat ketentuan Pasal 1 angka 28 KUHAP. Dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP dan Pasal 186 KUHAP.
Berdasarkan ketentuan dalam pasal-pasal tersebut, maka dapat dijelaskan
lebih lanjut bahwa keterangan ahli harus merupakan keterangan yang
diberikan oleh seseorang yang mempunyai keahlian khusus, tentang suatu
yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa.
Sedangkan keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai
keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan
perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti
yang sah menurut undang-undang.
Tata cara dan bentuk keterangan ahli yang diberikan atau diminta di
sidang pengadilan menurut M. Yahya Harahap (2005 : 297) adalah:
a) Apabila dianggap perlu dan dikehendaki baik oleh ketua sidang karena
jabatannya, maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau
b)
c)
d)
e)
penasihat hukum, dapat meminta pemeriksaan keterangan ahli dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan.
Keterangan ahli menurut tata cara ini berbentuk keterangan lisan dan
secara langsung diberikan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan.
Bentuk keterangan lisan secara langsung dicatat dalam berita acara
pemeriksaan.
Dan untuk itu ahli yang memberikan keterangan lebih dahulu mengucap
sumpah sebelum memberi keterangan.
Dengan dipenuhinya tata cara dan bentuk keterangan yang demikian,
bentuk keterangan ahli tersebut menjadi alat bukti yang sah menurut
undang – undang dan sekaligus keterangan ahli yang seperti ini
mempunyai kekuatan pembuktian.
Menempatkan keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah di dalam
pasal 184 ayat (1) huruf b KUHAP, dapat dicatat bahwa adanya kemajuan
dalam pembaharuan hukum, bahwa sejalan dengan perkembangan
teknologi, maka keterangan ahli memegang peranan penting dalam
penyelesaian kasus pidana. Masih kurangnya pengetahuan hakim dan
penegak hukum lainnya dan arena minimnya alat bukti yang berkaitan
dengan kemajuan teknologi informasi menjadikan sangat dibutuhkannya
seorang ahli yang biasa meneliti kebenaran dari alat bukti tersebut dan hal
ini sangatlah membantu proses persidangan.
3) Surat
Menurut Sudikno Mertokusumo (1982 : 115) bahwa :
“Alat bukti tertulis atau surat adalah segala sesuatu yang memuat tandatanda bacaan yang dimaksudkan untuk mencurahkan hati atau untuk
menyampaikan buah pikiran seseorang dan digunakan sebagai
pembuktian”.
Demikian pula menurut Pasal 187 KUHAP, bahwa yang dimaksud
dengan Surat sebagaimana tersebut pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, di buat
atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah :
a) berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi dibuat oleh pejabat umum
yang berwenang atau yang dibuat di hadapannya, yang memuat
keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau
yang dialaminya sendiri, disertai dengan alasan yang jelas dan tegas
tentang keterangannya itu;
b) surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan
atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam
tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukan
bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan;
c) surat keterangan dari seorang ahli yang memuat pendapat berdasarkan
keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta
secara resmi dari padanya;
d) surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi
dari alat pembuktian yang lain.
Jadi contoh-contoh dari alat bukti surat itu adalah berita acara
pemeriksaan (BAP) yang dibuat oleh polisi (penyelidik/penyidik), BAP
pengadilan, berita acara penyitaan (BAP), surat perintah penangkapan
(SPP), surat izin penyitaan (SIP), dan lain sebagainya.
4) Petunjuk
Berdasarkan Pasal 188 KUHAP, petunjuk diartikan sebagai
persesuaian dari kejadian-kejadian atau perbuatan perbuatan antara satu
dengan yang lainnya atau dengan tidak pidana dan siapa pelakunya yang
diperoleh dari keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa, yang
penilaiannya dilakuka oleh hakim.
5) Keterangan Terdakwa
Menurut Pasal 189 ayat (1) KUHAP, keterangan terdakwa diartikan
sebagai apa yang terdakwa di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau
yang ia ketahui atau alami sendiri. Jadi berdasarkan Pasal tersebut,
keterangan terdakea harus diberikan di depan sidang saja, sedangkan diluar
sidang hanya dapat digunakan untuk menemukan bukti di sidang saja.
Demikian pula apabila terdakwa lebih dari satu orang, maka keterangan dari
masing-masing terdakwa untuk dirinya sendiri, artinya keterangan
terdakwa satu dengan terdakwa lainnya tidak boleh dijadikan alat bukti bagi
terdakwa lainnya. Dalam hal keterangan terdakwa saja di dalam sidang,
tidak cukup untuk membuktikan, bahwa terdakwa telah bersalah melakukan
suatu tindak pidana, tanpa didukung oleh alat bukti lainnya.
3. Tinjauan Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti
a. Tata Cara Pemberian Keterangan Ahli
Salah satu alat bukti yang sah dalam KUHAP adalah keterangan ahli.
Keterangan ahli dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP ditempatkan dalam urutan
kedua yang menunjukkan keterangan ahli memang sangat dibutuhkan untuk
membantu hakim dalam menyelesaikan setiap perkara pidana yang semakin
maju mengikuti perkembangan kehidupan masyarakat di segala bidang,
khususnya masyarakat Indonesia. Perkembangan ilmu pengetahuan dan
teknologi baik secara langsung atau tidak langsung akan mempengaruhi
kualitas metode kejahatan yang akan memaksa para penegak hukum untuk
mengimbanginya dengan metode dan kualitas pembuktian yang membutuhkan
ilmu pengetahuan dan keahlian teknologi tersebut. Hanya yang perlu
diperhatikan adalah bahwa karena dalam suatu perkara pidana yang menjadi
pelaku (sasarannya) adalah manusia, maka tidak selamanya akan selalu tepat
dan benar adanya, sehingga oleh karena itu dalam pengambilan putusan oleh
hakim nantinya diserahkan kepada penilaian atas keyakinan dan kebijaksanaan
hakim sendiri.
Keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang,
hanya diatur dalam satu pasal saja yaitu Pasal 186 KUHAP yang berbunyi
“keterangan ahli ialah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang pengadilan”.
Untuk mendapatkan pengertian yang jelas maka penulis menghubungkannya
dengan beberapa ketentuan dari beberapa pasal yang terdapat dalam beberapa
pasal dalam KUHAP, mulai dari Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal
179, dan Pasal 180. Pasal 186 KUHAP memang pasal yang mengatur
keterangan ahli sebagai alat bukti, akan tetapi jika hanya melihat pasal tersebut
maka tidak akan mampu menjelaskan masalah yang dikandungnya walaupun
pasal tunggal tersebut disertai penjelasannya. Dengan menghubungkan pasalpasal yang telah disebutkan di atas maka akan dapat secara jelas arti dan selukbeluk pemeriksaan keterangan ahli (M. Yahya Harahap, 2005: 297-298).
1) Pasal 1 angka 28 KUHAP
Pasal ini memberikan definisi keterangan ahli yaitu: ”keterangan yang
diberikan oleh seorang ahli yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang
diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan
pemeriksaan”. Dari sudut pengertian dan tujuan keterangan ahli inilah
ditinjau makna keterangan ahli sebagai alat bukti. Jadi disamping orang
yang diminta keterangannya benar-benar ahli dan memiliki keahlian khusus
dalam masalah yang hendak dibuat menjadi jelas dan terang, pemeriksaan
itu harus bertitik tolak dari tujuan pemeriksaan ahli tadi, yaitu “untuk
membuat terang” perkara pidana yang sedang diperiksa. Kalau perkaranya
sudah cukup terang tidak perlu diminta keterangan ahli, karena
bertentangan dengan tujuan pemeriksaan keterangan ahli ditinjau dari segi
pembuktian. Karena pada dasarnya keadilan dalam hukum pidana harus
ditegakkan dan hakim menjadi tonggak penentu keadilan tersebut maka
perlu kita tahu bahwa hakim pada dasarnya merupakan manusia generalis
yang serba tahu. Hakim bukanlah ahli psikologi, kimia, obat-obatan, teknik,
pembukuan, pertanian, dan sebagainya. Maka hal tersebut mendasari
penggunaan keterangan ahli dalam pemeriksaan perkara pidana agar tujuan
dari penegakkan hukum pidana tercapai.
Apa yang dapat diambil dari Pasal 1 angka 28, dikaitkan dengan
ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186, agar keterangan ahli
dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah :
a) Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seseorang yang
mempunyai “keahlian khusus” tentang sesuatu yang ada hubungannya
dengan perkara pidana yang sedang diperiksa,
b) Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai
keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan
perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat
bukti yang sah menurut undang-undang (M. Yahya Harahap,2005:299).
2) Pasal 120 KUHAP
Dalam pasal ini kembali ditegaskan yang dimaksud dengan
keterangan ahli ialah orang yang memiliki “keahlian khusus”, yang akan
memberikan keterangan menurut pengetahuannya yang sebaik-baiknya.
Pengertian inilah yang dapat disarikan dari ketentuan Pasal 120, jika
pengertian ahli dikaitkan dengan alat bukti dan pembuktian. Dengan
demikian Pasal 120 semakin mempertegas pengertian keterangan ahli
ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian.
Dari ketentuan Pasal 120 dihubungkan dengan Pasal 1 angka 28,
semakin jelas dilihat kapan keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti
yang memiliki kekuatan pembuktian, ialah:
a) Keterangan ahli yang memiliki keahlian khusus dalam bidangnya
sehubungan dengan perkara pidana yang sedang diperiksa,
b) Dan bentuk keterangan yang diberikannya sesuai dengan keahlian
khusus
yang
dimilikinya
berbentuk
keterangan
“menurut
pengetahuannya”.
Dengan demikian, agar alat bukti dapat bernilai sebagai alat bukti, di
samping faktor orangnya memiliki keahlian khusus dalam bidangnya, harus
pula dipenuhi faktor kedua, yakni keterangan yang diberikan berbentuk
keterangan “menurut pengetahuannya”. Kalau keterangan yang diberikan
berbentuk pendengaran, penglihatan atau pengalamannya sehubungan dengan
peristiwa perkara pidana yang terjadi, keterangan semacam ini sekalipun
diberikan oleh seorang ahli, tidak bernilai sebagai bukti keterangan ahli, tetapi
berubah menjadi alat bukti keterangan saksi (M. Yahaya Harahap, 2005:299).
3) Pasal 133 KUHAP
Pasal ini lebih menitikberatkan masalahnya kepada keterangan ahli
kedokteran kehakiman, dan menghubungkannya dengan tindak pidana yang
berkaitan dengan kejahatan penganiayaan, dan pembunuhan. Kalau Pasal 133
dihubungkan dengan Pasal 1 angka 28 dan Pasal 120 pada satu pihak, akan
tampak seolah-olah undang-undang mengelompokkan ahli pada dua kelompok,
yaitu.
a) Ahli secara umum seperti yang diatur pada Pasal 1 angka 28 dan Pasal 120,
yakni orang-orang yang memiliki keahlian khusus dalam bidang tertentu,
seperti ahli jiwa, akuntan, ahli kimia, ahli mesin, dan sebagainya,
b) Ahli kedokteran kehakiman seperti yang disebut pada Pasal 133, ahli yang
khusus dalam bidang kedokteran kehakiman yang berhubungan dengan
bedah mayat dan forensik (M.Yahya Harahap, 2005:299 ).
4) Pasal 179 KUHAP
Ditinjau dari segi alat bukti dan pembuktian, tampaknya pasal ini lebih
mempertegas pendapat akan hal-hal yang telah diuraikan diatas bahwa ada dua
kelompok ahli, yaitu:
a) Ahli kedokteran kehakiman yang memiliki keahlian khusus dalam
kedokteran
kehakiman
sehubungan
dengan
pemeriksaan
korban
penganiayaan, keracunan, atau pembunuhan,
b) Ahli pada umumnya, yakni orang-orang yang memiliki “keahlian khusus”
dalam bidang tertentu (M. Yahya Harahap, 2005:300).
Dengan uraian tersebut diatas maka jelaslah pengertian keterangan ahli
sebagai alat bukti yang sah, tanpa menguraikan dan menghubungkan pasalpasal tersebut, maka akan kesulitan dalam memahaminya apalagi jika hanya
mengandalkan Pasal 186 KUHAP saja. Selain itu dari uraian tersebut juga
memberikan keterangan bahwa isi keterangan seorang saksi dan ahli berbeda.
Bahwa keterangan seorang saksi mengenai sesuatu yang dialami saksi itu
sendiri sedangkan keterangan seorang ahli mengenai suatu penilaian mengenai
hal-hal yang sudah nyata ada dan pengambilan kesimpulan mengenai hal-hal
itu (Andi Hamzah, 2008:269).
b. Pengertian Keterangan Ahli Sebagai Alat Bukti
Proses pemeriksaan perkara di Pengadilan tidak terlepas dari alat-alat
bukti yang diajukan. Alat-alat bukti tersebut dipergunakan untuk mengungkap
kebenaran yang terjadi di sidang pemeriksaan. Alat bukti keterangan
mempunyai perbedaan dengan alat bukti saksi dengan perbedaan sebagai
berikut :
“Witnesses may be divided into witnesses of fact and witnesses of opinion.
While witnesses of fact are usually directly related to the case (i.e. eye
witnesses), witnesses of opinion are usually experts, who are called to court to
assist the court to come to a finding” (Noraini Ibrahim, Building a credible and
believable narrative : The role of direct examination in expert witness
testimony,2007:4,Vol.13, 3L Journal of Language Teaching, Linguistics and
Literature) (Saksi dapat dibagi menjadi saksi fakta dan saksi pendapat.
Sementara saksi fakta biasanya langsung terkait dengan kasus (yaitu saksi
mata), saksi pendapat biasanya ahli, yang dipanggil ke pengadilan untuk
membantu pengadilan untuk datang ke pemeriksaan).
Permintaan untuk menggunakan seorang Ahli sesuai dengan apa yang
dibutuhkan dalam permeriksaan perkara seperti yang diungkapkan sebagai
berikut :
When the parties to a case choose expert witnesses, naturally they seek
out specialists in the field who will testify in a way that favors their side; and
naturally they prepare their expert witnesses to offer the strongest testimony
they can (Susan Haack, The Expert Witness : Lessons From the U.S.
Experience, 2015: 67, Vol.28, Issue 28) (Ketika para pihak memilih
menggunakan keterangan ahli untuk kasus tertentu , secara alami mereka
mencari spesialis di bidang yang akan bersaksi dengan cara yang sesuai dengan
para pihak dan secara alami mereka mempersiapkan saksi ahli mereka untuk
menawarkan kesaksian terkuat yang mereka bisa).
Pemeriksaan penyidikan demi untuk kepentingan peradilan, penyidik
berwenang mengajukan permintaan keterangan seorang ahli. Hal ini ditegaskan
pada Pasal 133 KUHAP, yang memberi wewenang kepada penyidik
mengajukan permintaan keterangan ahli kepada ahli kedokteran kehakiman
atau dokter maupun ahli lainnya, jika keterangan ahli sangat diperlukan untuk
kepentingan peradilan. Selanjutnya pada alinea kedua penjelasan Pasal 186
KUHAP, menegaskan : “ jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan
oleh penyidik atau penuntut umum, pada pemeriksaan di sidang, diminta untuk
memberi keterangan dan dicatat dalam berita acara pemeriksaan. Keterangan
tersebut diberikan setelah ia mengucapkan sumpah atau janji di hadapan
hakim”.
Ketentuan Pasal 133 dan Pasal 186, jenis dan tata cara pemberian
keterangan ahli sebagai alat bukti yang sah dapat melalui prosedur sebagai
berikut:
1) Diminta penyidik pada taraf pemeriksaan penyidikan
Tata cara dan bentuk atau jenis keterangan ahli sebagai alat bukti yang
sah pada bentuk ini:
a) Diminta dan diberikan ahli pada saat pemeriksaan penyidikan.
Permintaan itu dilakukan penyidik “secara tertulis” dengan menyebut
secara tegas untuk hal apa pemeriksaan ahli itu dilakukan.
b) Atas permintaan penyidik, ahli yang bersangkutan membuat “laporan”.
Laporan itu bisa berupa “surat keterangan” yang lazim disebut “visum
et repertum”.
c) Laporan atau visum et repertum itu dibuat oleh ahli yang bersangkutan
“mengingat sumpah” di waktu ahli menerima jabatan atau pekerjaan,
d) Dengan tata cara dan bentuk laporan ahli yang seperti itu, keterangan
yang dituangkan dalam laporan atau visum et repertum, mempunyai
nilai dan sifat sebagai “alat bukti yang sah”menurut undang-undang.
2) Keterangan ahli yang diminta dan diberikan di sidang
Tata cara dan bentuk atau jenis keterangan ahli sebagai alat bukti yang
sah pada bentuk kedua ini yaitu.
a) Apabila dianggap perlu dan dikehendaki oleh ketua sidang karena
jabatan, maupun atas permintaan penuntut umum, terdakwa atau
penasihat hukum, dapat meminta pemeriksaan keterangan ahli dalam
pemeriksaan di sidang pengadilan,
b) Keterangan ahli menurut tata cara ini berbentuk “keterangan lisan” dan
“secara langsung” diberikan dalam pemeriksaan di sidang pengadilan,
c) Bentuk keterangan lisan secara langsung dicatat dalam “berita acara”
pemeriksaan sidang oleh panitera pengadilan, dan untuk itu ahli yang
memberikan keterangan lebih dulu “mengucapkan sumpah” atau janji
sebelum memberikan keterangan, Dengan dipenuhinya tata cara dan
bentuk keterangan yang demikian dalam pemeriksaan di sidang
pengadilan, bentuk keterangan ahli tersebut menjadi “alat bukti yang
sah” menurut undang-undang, dan sekaligus keterangan ahli yang
seperti ini mempunyai nilai kekuatan pembuktian (M. Yahya Harahap,
2005:300).
c. Nilai kekuatan Pembuktian Keterangan Ahli
Alat bukti keterangan ahli tidak mempunyai kekuatan pembuktian yang
mengikat dan menentukan. Dengan demikian, nilai kekuatan pembuktian
keterangan ahli sama halnya dengan nilai pembuktian yang melekat pada alat
bukti keterangan ahli. Oleh karena itu, nilai kekuatan pembuktian yang melekat
pada alat bukti keterangan ahli :
1) Mempunyai nilai kekuatan pembuktian “bebas” atau “vrij bewijskracht”.
Didalam dirinya tidak ada melekat nilai kekuatan pembuktian yang
sermpurna dan menentukan. Terserah pada penilaian hakim. Hakim bebas
menilainya dan tidak terikat kepadanya. Tidak ada keharusan bagi hakim
untuk menerima kebenaran keterangan ahli dimaksud.
2) Sesuai dengan prinsip minimum pembuktian yang diatur dalam Pasal 183
KUHAP, keterangan ahli yang berdiri sendiri saja tanpa didukung oleh
salah satu alat bukti yang lain, tidak cukup dan tidak memadai
membuktikan kesalahan terdakwa. Apalagi jika Pasal 183 KUHAP di
hubungkan dengan ketentuan Pasal 185 ayat (2) KUHAP, yang
menegaskan, seorang saksi saja tidak cukup untuk membuktikan kesalahan
terdakwa. Prinsip ini pun, berlaku untuk alat bukti keterangan ahli, bahwa
keterangan seorang ahli saja tidak cukup membuktikan kesalahan terdakwa.
Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat dianggap cukup membuktikan
kesalahan terdakwa harus disertai dengan alat bukti lain.
4. Tinjauan tentang Tindak Pidana Pembunuhan
Para ahli hukum tidak memberikan pengertian atau definisi tentang apa yang
dimaksud dengan pembunuhan, akan tetapi banyak yang menggolongkan
pembunuhan itu kedalam kejahatan terhadap nyawa (jiwa) orang lain. Pembunuhan
adalah kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain, untuk menghilangkan nyawa
orang lain itu, seseoarang pelaku harus melakukan sesuatu atau suatu rangkaian
tindakan yang berakibat dengan meninggalnya orang lain dengan catatan bahwa
opzet dari pelakunya harus ditujukan pada akibat berupa meninggalnya orang lain
tersebut (P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang, 2012:1). Dengan demikian, orang
belum dapat berbicara tentang terjadinya suatu tindakan pidana pembunuhan, jika
akibat berbuat meninggalnya orang lain tersebut belum terwujud.
Pembunuhan secara terminologi berarti perkara membunuh, atau perbuatan
membunuh. Sedangkan dalam istilah KUHP pembunuhan adalah kesengajaan
menghilangkan nyawa orang lain. Tindak pidana pembunuhan dianggap sebagai
delik material bila delik tersebut selesai dilakukan oleh pelakunya dengan
timbulnya akibat yang dilarang atau yang tidak dikehendaki oleh Undang-undang.
a. Pengertian Tindak Pidana Pembunuhan
Mengenai pembunuhan diatur dalam Pasal 338 KUHP, yang bunyinya
antara lain sebagai berikut: “barang siapa dengan sengaja menghilangkan
nyawa orang dihukum karena bersalah melakukan pembunuhan dengan
hukuman penjara selama-lamnya lima belas tahun .”Dengan melihat rumusan
pasal diatas kita dapat melihat unsur-unsur tindak pidana pembunuhan yang
terdapat di dalamnya, sebagai berikut:
1) Unsur subyektif dengan sengaja
Pengertian dengan sengaja tidak terdapat dalam KUHP jadi harus
dicari dalam karangan-karangan ahli hukum pidana, mengetahui unsurunsur sengaja dalam tindak pidana pembunuhan sangat penting karena bisa
saja terjadi kematian orang lain, sedangkan kematian itu tidak sengaja atau
tidak dikehendaki oleh si pelaku.
Secara umum Zainal Abidin Farid menjelaskan bahwa secara umum
sarjana hukum telah menerima tiga bentuk sengaja, yakni:
a) Sengaja sebagai niat;
b) Sengaja insaf akan kepastian;
c) Sengaja insaf akan kemungkinan (Zainal Abidin Farid,2007:262).
Menurut Anwar mengenai unsur sengaja sebagai niat, yaitu hilangnya
nyawa seseorang harus dikehendaki, harus menjadi tujuan. Suatu perbuatan
dilakukan dengan maksud atau tujuan atau niat untuk menghilangkan jiwa
seseorang, timbulnya akibat hilangnya nyawa seseorang tanpa dengan
sengaja atau bukan tujuan atau maksud, tidak dapat dinyatakan sebagai
pembunuhan, jadi dengan sengaja berarti mempunyai maksud atau niat atau
tujuan untuk menghilangkan jiwa seseorang(Anwar, 1994:89).
Sedangkan Prodjodikoro berpendapat sengaja insaf akan kepastian,
sebagai berikut: “Kesengajaan semacam ini ada apabila sipelaku, dengan
perbuatannya itu bertujuan untuk mencapai akibat yang akan menjadi dasar
dari tindak pidana, kecuali ia tahu benar, bahwa akibat itu mengikuti
perbauatan itu” (Wirjono Prodjodikoro,2003:63).
Selanjutnya
Lamintang
mengemukakan
sengaja
insaf
akan
kemungkinan, yaitup pelaku yang bersangkuatan pada waktu melakukan
perbuatan itu untuk menimbulkan suatu akibat, yang dilarang oleh undangundang telah menyadari kemungkinan akan timbul suatu akibat lain dari
pada akibat yang memang ia kehendaki (Leden Marpaung, 2011:18).
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa unsur
kesengajaan meliputi tindakannya dan obyeknya yang artinya pelaku
mengetahui
dan
menghendaki
hialngnya
nyawa
seseorang
dari
perbuatannya.
2) Unsur Obyektif
Unsur Obyektif dari Tindak Pidana Pembunuhan adalah perbuatan
menghilangkan nyawa. Menghilangkan nyawa orang lain hal ini
menunjukan bahwa kejahatan pembunuhan itu telah menunjukan akibat
yang terlarang atau tidak, apabila karena (misalnya: membacok) belum
minimbulakan akibat hilangnya nyawa orang lain, kejadian ini baru
merupakan percobaan pembunuhan (Pasal 338 jo Pasal 53 KUHP), dan
belum atau bukan merupakan pembunuhan secara sempurna sebagaimana
dimaksudkan Pasal 338 KUHP.
Perbuatan menghilangkan nyawa (orang lain) terdapat 3 syarat yang
harus dipenuhi, yaitu:
a) Adanya wujud perbuatan
b) Adanya suatu kematian (orang lain)
c) Adanya hubungan sebab akibat (casual Verband) antara
perbuatan dan akibat kematian (orang lain) ( Adami Chazawi,
2010:57).
b. Jenis-jenis Tindak Pidana Pembunuhan
Ketentuan-ketentuan mengenai pidana tentang kejahatan-kejahatan yang
ditujukan terhadap nyawa orang sebagaimana dimaksudkan di atas, kita juga
dapat mengetahui bahwa pembentuk undang-undang telah bermaksud
membuat pembedaan antara berbagai kejahatan yang dilakukan orang terhadap
nyawa orang dengan memberikan kejahatan tersebut dalam lima jenis kejahatan
yang ditujukan tehadap nyawa orang masing-masing sebagai berikut :
1) Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa orang lain dalam
pengertiannya yang umum, tentang kejahatan mana pembentuk undangundang selanjutnya juga masih membuat perbedaan kesengajaan
menghilangkan nyawa orang yang tidak direncanakan terlebih dahulu yang
telah diberi nama doodslag dengan kesengajaan menghilangkan nyawa
orang lain dengan direncanakan terlebih dahulu yang telah disebut moord.
Doodslag diatur dalam Pasal 338 KUHP sedang moord di atur dalam Pasal
340 KUHP.
2) Kejahatan berupa kesengajaan menghilangkan nyawa seorang anak yang
baru dilahirkan oleh ibunya sendiri. Tentang kejahatan ini selanjutnya
pembentuk undang-undang selanjutnya juga masih membuat perbedaan
kesengajaan menghilangkan nyawa seseorang anak yang baru dilahirkan
oleh ibunya yang dilakukan tanpa direncanakan terlebih dahulu yang telah
diberi nama kinderdoodslag dengan kesengajaan menghilangkan nyawa
seseorang anak yang baru dilahirkan ibunya sendiri dengan direncanakan
terlebih dahulu yang telah disebut kindermoord. Jenis kejahatan yang
terlabih dahulu itu oleh pembentuk undang-undang disebut kinderDoodslag
dalam Pasal 341 KUHP dan adapun jenis kejahatan yang disebut kemudian
adalah kindmoord diatur dalam Pasal 342 KUHP.
3) Kejahatan berupa menghilangkan nyawa orang lain atas permintaan yang
bersifat tegas dan bersunguh-sungguh dari orang itu sendiri, yakni
sebagaimana diatur dalam Pasal 344 KUHP.
4) Kejahatan berupa kesengajaan mendorong orang lain melakukan bunuh diri
atau membantu orang lain melakukan bunuh diri sebagaimana yang telah
diatur dalam Pasal 345 KUHP.
5) Kejahatan berupa kesengajaan menggurkan kandungan seorang wanita atau
menyebabkan anak yang berada dalam kandungan meninggal dunia.
Pengguguran kandungan itu yang oleh pembuatan undang-undang telah
disebut dengan kata afdrijving (P.A.F Lamintang dan Theo Lamintang,
2012:11-13).
5. Tinjauan tentang Putusan
a. Pengertian Putusan
Istilah putusan menurut buku Peristilahan Hukum dan Praktik yang
dikeluarkan oleh Kejaksaan Agung Republik Indonesia tahun 1985 adalah hasil
atau kesimpulan dari sesuatu yang telah dipertimbangkan dan dinilai dengan
semasak-masaknya yang dapat berbentuk tertulis ataupun lisan. Putusan
pengadilan dalam Pasal 1 angka 11 KUHAP adalah penyataan hakim yang
diucapkan dalam sidang pengadilan terbuka, yang dapat berupa pemidanaan
atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum dalam hal serta menurut cara
yang diatur dalam undang-undang.
Menurut Yahya Harahap, bahwa putusan akan dijatuhkan pengadilan,
tergantung dari hasil mufakat musyawarah hakim berdasarkan penilaian yang
mereka peroleh dari surat dakwaan dihubungkan dengan segala sesuatu yang
terbukti dalam pemeriksaan di sidang pengadilan (M.Yahya Harahap,
2005:347). Menurut Nikolas Simanjuntak, putusan pengadilan adalah titik
puncak atau akhir atau kulminasi dari seluruh rangkaian hukum acara. (Nikolas
Simanjuntak, 2009:223).
Putusan pengadilan sangat diperlukan untuk menyelesaikan perkara
pidana. Dengan adanya putusan hakim ini diharapkan para pihak dalam perkara
pidana khususnya bagi terdakwa dapat memperoleh kepastian hukum tentang
statusnya dan sekaligus dapat mempersiapkan langkah berikutnya antara lain
berupa menerima putusan, melakukan upaya hukum banding/kasasi,
melakukan grasi dan sebagainya. Sedangkan ditinjau dari optik hakim yang
mengadili perkara pidana tersebut, Putusan hakim merupakan “mahkota”
sekaligus “puncak” pencerminan nilai-nilai kebenaran, kebenaran hakiki, hak
asasi, penguasaan hukum atau fakta, secara mapan dan fuktual serta visualisasi
etika beserta moral dari hakim yang bersangkutan (Lilik Mulyadi, 2007:201).
b. Macam-macam Putusan
Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 angka 11 KUHAP, bentuk putusan
pengadilan berdasarkan Pasal 191 KUHAP, dapat digolongkan dalam tiga
macam yaitu :
1) Putusan bebas (Vrijpraak)
Putusan yang mengandung pembebasan terdakwa (vrijspraak)
sebagaimana yang diatur dalam Pasal 191 ayat (1) KUHAP yaitu
pengadilan berpendapat bahwa dari hasil pemeriksaan di sidang, kesalahan
terdakwa atas perbuatan yang didakwakan kepadanya tidak terbukti secara
sah dan meyakinkan maka terdakwa diputus bebas.
Putusan bebas (Vrijspraak) disini berarti bahwa terdakwa dinyatakan
tidak terbukti secara sah dan meyakinkan terbukti bersalah melakukan
tindak pidana yang didakwakan atau dapat juga disebut terdakwa
dibebaskan dari tuntutan hukum. Lebih tegasnya lagi adalah terdakwa tidak
dijatuhi pidana.
Pasal 191 ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa apabila dalam
dakwaan yang diajukan oleh penuntut umum terhadap terdakwa di
persidangan, ternyata setelah melalui proses pemeriksaan dalam
persidangan, tidak ditemukannya adanya bukti-bukti yang cukup yang
menyatakan bahwa terdakwalah yang melakukan tindak pidana yang
dimaksud, maka kepada terdakwa haruslah dinyatakan secara sah dan
meyakinkan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan
tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan penuntut umum, sehingga oleh
karena itu terhadap terdakwa haruslah dinyatakan dibebaskan dari segala
dakwaan (Ahmad Rifai, 2010:116).
2) Putusan lepas dari segala tuntutan hukum (onslag van recht vervolging)
Putusan yang mengandung pelepasan terdakwa dari segala tuntutan
hukum (ontslag van recht vervolging) sebagaimana yang diatur dalam Pasal
191 ayat (2) KUHAP yaitu yaitu “jika pengadilan berpendapat bahwa
perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa terbukti tetapi perbuatan itu
tidak merupakan suatu tindak pidana”. Mencermati ketentuan Pasal 191
ayat (2) KUHAP tersebut, bahwa pada putusan lepas dari segala tuntutan
hukum, apa yang didakwakan kepada terdakwa terbukti secara sah dan
meyakinkan akan tetapi perbuatan tersebut bukan merupakan ruang lingkup
hukum pidana sehingga terdakwa harus dilepas dari segala tuntutan hukum.
Bentuk putusan yang akan dijatuhkan pengadilan sangat tergantung
dari hasil musyawarah Majelis Hakim yang berpangkal dari Surat Dakwaan
dengan segala sesuatu pembuktian yang berhasil dikemukakan di depan
Pengadilan berkaitan dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum
(onslag van recht vervolging), diatur dalam Pasal 191 ayat (2) KUHAP.
Putusan lepas dari segala tuntutan diatur dalam Pasal 191 Ayat (2)
KUHAP yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan kepada terdakwa terbukti, tetapi perbuatan itu tidak merupakan
suatu tindak pidana, maka terdakwa diputus lepas dari segala tuntutan
hukum. Pada masalalu putusan lepas dari segala tuntutan hukum disebut
onslag van recht vervolging, yang sama maksudnya dengan Pasal 191 ayat
(2) yakni putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum berdasarkan
kriteria :
a) Apa yang didakwakan kepada terdakwa memang terbukti secara sah
dan meyakinkan;
b) Tetapi sekalipun terbukti, hakim berpendapat bahwa perbuatan yang
didakwakan tidak ,merupakan tindak pidana.
Putusan yang mengandung pelepasan dari segala tuntutan hukuman
dapat pula terjadi terhadap terdakwa, karena ia melakukan tindak pidana
dalam keadaan tertentu, sehingga ia tidak dapat dipertanggung jawabkan
atas putusannya itu. Tegasnya terdakwa dapat dijatuhi hukuman, meskipun
perbuatan yang didakwakan itu terbukti sah, apabila:
a) Kurang sempurna akalnya atau sakit berubah akalnya (Pasal 44 ayat (1)
KUHP).
b) Keadaan memaksa (overmacht) (Pasal 48 KUHP).
c) Pembelaan darurat (Nood weer) (Pasal 49 KUHP).
d) Melakukan perbuatan untuk menjalankan pertauran Undang-undang
(Pasal 50 KUHP).
e) Melakukan perbuatan untuk menjalankan perintah jabatan yang
diberikan oleh kuasa yang berhak untuk itu (Pasal 51 KUHP).
Keadaan–keadaan istimewa sebagaimana ditentukan dalam Pasal 44,
Pasal 45, Pasal 48, Pasal 49, Pasal 50, Pasal 51 KUHP tersebut berarti
meskipun perbuatan yang didakwakan kepada terdakwa itu terbukti secara
sah dan meyakinkan akan tetapi apabila terdapat hal-hal yang
menghapuskan pidana seperti adanya alasan pemaaf sebagaimana
ditentukan dalam ketentuan Pasal 49 ayat (2) KUHP dan Pasal 51 ayat (2)
KUHP, serta adanya alasan pembenar yang diatur dalam Pasal 48 KUHP,
Pasal 49 ayat (1) KUHP, Pasal 50 KUHP dan Pasal 51 ayat (1) KUHP
maka ia tidak dapat dipertanggungjawabkan sehingga tidak dapat dijatuhi
pidana.
Hal tersebut berarti perbuatan terbukti dari adanya alat-alat bukti
yang sempurna, yang menjadi permasalahan adalah terdakwa terbukti
berada dalam keadaan tidak cakap untuk dapat dihukum. Atau dapat
dikatakan ada alasan pemaaf (faits’d excuse) yang menjadikan terdakwa
tidak boleh dihukum. Dalam putusan lepas dari segala tuntutan hukum,
yang tidak ada kesalahan (schuld) di dalam niat pelaku yang berkualifikasi
sengaja atau lalai (Nikolas Simanjuntak, 2009:225).
Selain itu, putusan pelepasan dari segala tuntutan hukum, berkaitan
juga dengan adanya alasan pemaaf dan alasan pembenar. Alasan pemaaf
yaitu menghapuskan kesalahan si pembuat menyangkut diri pribadi si
pembuat, sehingga si pembuat tidak dapat dipidana dan oleh karenanya
menghapus kesalahan dari si pembuat. Sedangkan alasan pembenar yaitu
menghapuskan sifat melawan hukum perbuatan, meskipun perbuatan
memenuhi rumusan delik dalam undang-undang, tetapi perbuatan tersebut
dibenarkan (Ahmad Rifai, 2010:117).
Hal yang melandasi putusan pelepasan, terletak pada kenyataan, apa
yang didakwakan dan apa yang telah terbukti tersebut “ tidak merupakan
tindak pidana”, tetapi termasuk ruang lingkup hukum perdata atau hukum
adat untuk lebih jelasnya dalam memahami dengan putusan pelepasan dari
segala tuntutan hukum, ada baiknya bentuk putusan ini diperbandingkan
dengan putusan pembebasan.
3) Putusan yang mengandung Pemidanan (Veroodeling)
Putusan yang mengandung pemindanaan terdakwa, Pasal 193 (1)
KUHAP yaitu jika pengadilan berpendapat bahwa terdakwa bersalah
melakukan tindak pidana yang didakwakan kepadanya maka pengadilan
menjatuhkan pidana. Alasan dijatuhkannya putusan yang mengandung
pemidanaan oleh hakim yang menangani suatu perkara pidana, yakni
terbuktinya unsur kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa secara sah
dan meyakinkan, dalam arti bahwa berdasarkan alat-alat bukti yang sah,
yaitu berupa adanya alat-alat bukti konvensional yang diakui oleh
KUHAP, sebagaimana dimuat dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP hakim
mempunyai keyakinan bahwa terdakwa memang bersalah telah melakukan
perbuatan yang didakwakan itu.
Pasal 196 ayat (3) KUHAP, ditentukan bahwa segera sesudah putusan
pemidanaan diucapkan, hakim ketua memberitahukan kepada terdakwa
tentang segala hal apa yang menjadi haknya, yaitu :
a) Hak segera menerima atau segera menolak putusan;
b) Hak mempelajari putusan sebelum menyatakan menerima atau menolak
putusan, dalam tenggang waktu yang ditentukan undangundang ini;
c) Hak minta penangguhan pelaksanaan putusan dalam tenggang waktu
yang ditentukan oleh undang-undang untuk dapat mengajukan grasi,
dalam hal ia menerima putusan;
d) Hak minta diperiksa perkaranya dalam tingkat banding dalam tenggang
waktu yang ditentukan oleh undang-undang ini, dalam hal ia menolak
putusan;
c. Hal-hal yang harus dimuat dalam Putusan
Setelah diuraikan jenis-jenis putusan yang dapat dijatuhkan pengadilan,
maka perlu diketahui juga syarat yang harus dimuat dalam putusan yaitu diatur
dalam Pasal 197 KUHAP. Tanpa memuat ketentuan-ketentuan yang dimuat
dalam Pasal tersebut dapat mengakibatkan putusan “batal demi hukum”.
Sekalipun ketentuan Pasal 197 KUHAP hanya merupakan syarat terhadap
putusan pemidaaan, pembebasan dan pelepasan dari segala tuntutan hukum,
pada hakikatnya ketentuan itu tetap berlaku terhadap jenis putusan lain,
terutama jenis putusan yang menyatakan terdakwa batal demi hukum.
Maka dari uraian diatas, yang harus dimuat dalam putusan sesuai dengan
ketentuan Pasal 197 KUHAP adalah sebagai berikut :
(1) Surat putusan pemidanaan memuat:
a. kepala putusan yang dituliskan berbunyi: "DEMI KEADILAN
BERDASARIKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA";
b. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal, jenis kelamin,
kebangsaan, tempat tinggal, agama danpekerjaan terdakwa;
c. dakwaan, sebagaimana terdapat dalam surat dakwaan;
d. pertimbangan yang disusun secara ringkas mengenai fakta dan keadaan
beserta alat-pembuktian yang diperoleh dari pemeriksaan di sidang
yang menjadi dasar penentuan kesalahan terdakwa;
e. tuntutan pidana, sebagaimana terdapat dalam surat tuntutan;
f. pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar pemidanaan
atau tindakan dan pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi
dasar hukum dari putusan, disertai keadaan yang memberatkan dan
yang meringankan terdakwa;
g. hari dan tanggal diadakannya musyawarah majelis hakim kecuali
perkara diperiksa oleh hakim tunggal;
h. pernyataan kesalahan terdakwa, pernyataan telah terpenuhi semua unsur
dalam rumusan tindak pidana disertai dengan kualifikasinya dan
pemidanaan atau tindakan yang dijatuhkan;
i. ketentuan kepada siapa biaya perkara dibebankan dengan menyebutkan
jumlahnya yang pasti dan ketentuan mengenai barang bukti;
j. keterangan bahwa seluruh surat ternyata palsu atau keterangan di mana
letaknya kepalsuan itu, jika terdapat surat otentik dianggap palsu;
k. perintah supaya terdakwa ditahan atau tetap dalam tahanan atau
dibebaskan;
l. hari dan tanggal putusan, nama penuntut umum, nama hakim yang
memutus dan nama panitera;
(2) Tidak dipenuhinya ketentuan dalam ayat (1) huruf a, b, c, d, e, f, h, i, j, k
dan l pasal ini mengakibatkan putusan batal demi hukum.
(3) Putusan dilaksanakan dengan segera menurut ketentuan dalam undangundang ini.
Adapun yang dimaksud beberapa ketentuan mengenai putusan
pengadilan ialah tentang isi yang harus terkandung dalam putusan. Artinya
Putusan Pengadilan harus memuat pernyataan-pernyataan yang ditentukan
dalam Pasal 197 ayat (1) KUHAP. Apabila tidak memuat pernyataan yang
ditentukan dalam Pasal 197 ayat (1) jo. Pasal 197 ayat (2) KUHAP bisa
mengakibatkan putusan “batal demi hukum”. Suatu putusan yang batal demi
hukum, mengembalikan semua hal dan keadaan kepada keadaan semula seolaholah terdakwa tidak pernah diperiksa dan didakwa melakukan tindak pidana.
kedudukan terdakwa pulih dalam keadaan semula sebelum ia diperiksa dan
didakwa.
Demikian fatalnya akibat yang akan dialami putusan yang tidak
mengindahkan ketentuan yang mempunyai kekuatan yang digariskan Pasal 197
ayat (1) KUHAP. Putusan yang dijatuhkan, tidak mengikat dan tidak
mempunyai kekuatan hukum, dan tidak mempunyai kekuatan daya eksekusi.
Putusan yang batal demi hukum tidak dapat dieksekusi oleh Penuntut Umum,
karena itu putusan itu sendiri tidak mempunyai akibat hukum.
B. Kerangka Pemikiran
Perkara Pembunuhan
Putusan Pengadilan Negeri Cianjur Nomor : 144/Pid.B/2014/PN.Cjr)
Pelimpahan Berkas Perkara dari Penyidik ke Penuntut Umum
Pembuktian di Persidangan
Alat bukti yang sah menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP :
a. keterangan saksi ;
b. keteragan ahli ;
c. surat ;
d. petunjuk ;
e. keterangan terdakwa.
Penggunaan Keterangan Ahli dalam pemeriksaan keadaan Terdakwa
Tindak Pidana Pembunuhan
Pertimbangan Hakim
Gambar 1. Skematik Kerangka Pemikiran
Keterangan :
Kerangka pemikiran diatas menjelaskan alur pemikiran penulis dalam
mengangkat, menggambarkan, menelaah, dan menjabarkan serta menemukan jawaban
atas permasalahan hukum yaitu Penggunaan Keterangan Ahli dalam Pemeriksaan
Perkara Pembunuhan Relevansinya dengan Putusan Lepas yang dijatuhkan oleh
Hakim. Tahap yang harus dilakukan dalam tindak pidana pembunuhan ini dimulai
dengan pemeriksaan kepada pihak yang berperkara lalu tahap selanjutnya yaitu tahap
pelimpahan berkas kepada Penuntut Umum untuk dilaksanakan pemeriksaan lanjutan
mengenai berkas perkara pembunuhan yang terjadi di wilayah hukum Pengadilan
Negeri Cianjur tersebut. Setelah dinyatakan bahwa kelengkapan berkas, Penuntut
Umum segera melimpahkan berkas perkara ke Pengadilan untuk dilakukan penetapan
hari sidang. Tahap selanjutnya dalam hal ini adalah tahap pembuktian yang merupakan
tahap paling penting untuk dicapainya suatu keadilan dalam proses Peradilan Pidana.
Dalam tahap pembuktian tentunya disini menunjukan bahwa terjadi proses
pemeriksaan terhadap alat-alat bukti (Pasal 184 ayat (1) KUHAP) yang digunakan
dalam pemeriksaan perkara. Proses pembuktian dalam hal ini yang berperan adalah
Penuntut Umum dan Terdakwa melalui Penasihat Hukumnya. Perkara tersebut
menggunakan alat bukti keterangan yang diajukan oleh Penuntut Umum. Ahli yang
dipergunakan dalam pemeriksaan perkara tersebut ada 3 (tiga) yaitu Ahli Psikologi dari
Kepolisian yang menjabat di Kantor Polda Jakarta Barat, Ahli Psikiater dari Rumah
Sakit Jiwa Propinsi Jawa Barat dan Ahli Psikolog pada Rumah Sakit Jiwa Provinsi
Jawa Barat. Penggunaan keterangan ahli dalam perkara ini difokuskan kepada pelaku
untuk membuktikan keadaan jiwa dan mental dari terdakwa pada saat melakukan
tindak pidana pembunuhan yang dilakukan kepada ibu kandungnya sendiri. Dari hasil
keterangan ahli yang diberikan pada saat pemeriksaan di Pengadilan Ahli Psikiter
berpendapat bahwa terdakwa mengidap penyakit Skizofrenia jenis Paranoid.
Kesimpulannya bahwa alat bukti keterangan ahli yang dipergunakan dalam
pemeriksaan perkara ini sangat penting. Disamping alat bukti lainnya penggunaan
keterangan ahli dalam pemeriksaan perkara pembunuhan ini mempunyai pengaruh
dalam pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan lepas dari segala tuntutan
hukum.
xli
Download