ii. tinjauan pustaka

advertisement
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pengertian dan Penyebab Kemiskinan.
Pemahaman tentang definisi kemiskinan mutlak untuk dipahami, agar
persepsi dan interpretasi tentang kemiskinan tidak multitafsir serta dalam
intervensi kebijakan tidak salah sasaran. Secara umum kemiskinan adalah suatu
keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai
dengan taraf kehidupan kelompoknya dan tidak mampu memanfaatkan tenaga,
mental, dan pikirannya dalam kelompok tersebut (TKPK 2006 dan SNPK 2005).
Dalam RPJM Nasional kemiskinan di definisikan sebagai kondisi dimana
seseorang atau sekelompok orang, laki-laki dan perempuan, tidak mampu
memenuhi hak dasarnya untuk mempertahankan dan mengembangkan kehidupan
yang bermartabat. Hak-hak dasar masyarakat antara lain, terpenuhinya kebutuhan
pangan, kesehatan, pendidikan, pekerjaan, perumahan, air bersih, pertanahan,
sumberdaya alam, dan lingkungan hidup, rasa aman dari perlakuan atau ancaman
tindak kekerasan, dan hak untuk berpartisipasi dalam kehidupan sosial-politik,
baik perempuan maupun laki-laki. Sedangkan kemiskinan (ketertinggalan)
wilayah ditentukan oleh ketersediaan infrastruktur bagi penduduk di wilayah
bersangkutan.
Selain dari itu, Sumodiningrat (2005) menyebutkan bahwa masyarakat
miskin secara umum ditandai oleh beberapa hal sebagai berikut:
1. Ketidakberdayaan atau ketidakmampuan memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan dan kesehatan (basic
need deprivation).
2. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan melakukan kegiatan usaha produktif
(unproductiveness).
3. Ketidakmampuan menjangkau sumberdaya sosial dan ekonomi (inaccecibilty).
4. Ketidakberdayaan dan ketidakmampuan menentukan nasib dirinya sendiri serta
senantiasa mendapat perlakuan diskriminatif, mempunyai perasaan ketakutan
dan kecurigaan, serta sikap apatis; dan
5. Membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta senantiasa merasa
mempunyai martabat dan harga diri yang rendah (no freedom for poor).
16
Pendefinisian yang lebih tegas dan mendalam disampaikan oleh KIKIS
(2002) yaitu kemiskinan adalah kondisi tidak terpenuhinya kebutuhan asasi atau
esensial sebagai manusia. Kebutuhan asasi, meliputi: kebutuhan akan subsistensi,
afeksi, keamanan, identitas, proteksi, kreasi, kebebasan, partisipasi, dan waktu
luang. Kemiskinan subsistensi terjadi karena rendahnya pendapatan, tak
terpenuhinya kebutuhan akan sandang, pangan, papan, serta kebutuhan-kebutuhan
dasar lainnya. Kemiskinan perlindungan terjadi karena meluasnya budaya
kekerasan atau tidak memadainya sistem perlindungan atas hak dan kebutuhan
dasar. Kemiskinan afeksi terjadi karena adanya bentuk-bentuk penindasan, pola
hubungan eksploitatif antara manusia dengan manusia, dan antara manusia dengan
alam. Kemiskinan pemahaman terjadi karena kualitas pendidikan yang rendah,
selain faktor kuantitas yang tidak mampu memenuhi kebutuhan. Kemiskinan
partisipasi terjadi karena adanya diskriminasi dan peminggiran rakyat dari proses
pengambilan
keputusan,
sedangkan
kemiskinan
identitas
terjadi
karena
dipaksakannya nilai-nilai asing terhadap budaya lokal yang mengakibatkan
hancurnya nilai sosio-kultural yang ada.
Di sisi lain, Chambers (2001) mengatakan bahwa kemiskinan adalah suatu
integrated concept yang memiliki lima dimensi, yaitu: (1) kemiskinan itu sendiri
(proper), (2) ketidakberdayaan (powerless), (3) kerentanan menghadapi situasi
darurat (state of emergency), (4) ketergantungan (dependence), dan (5)
keterasingan (isolation) baik secara geografis maupun sosiologis. Sedangkan
Mas’oed (1997) membedakan kemiskinan menjadi dua jenis, yaitu kemiskinan
alamiah dan kemiskinan buatan (artificial). Kemiskinan alamiah berkaitan dengan
kelangkaan sumberdaya alam dan prasarana umum, serta keadaan tanah yang
tandus. Kemiskinan buatan lebih banyak diakibatkan oleh sistem modernisasi atau
pembangunan yang membuat masyarakat tidak dapat menguasai sumberdaya,
sarana, dan fasilitas sosial ekonomi yang ada secara merata.
Di Indonesia, pengertian kemiskinan didasarkan pada pengertian yang
ditetapkan berdasarkan kriteria dari tiga institusi (BPS 2008) yaitu:
1. Kriteria BPS, kemiskinan adalah suatu kondisi seseorang yang hanya dapat
memenuhi makannya kurang dari 2.100 kalori per kapita per hari. Data
17
kemiskinan yang digunakan oleh BPS terdiri dari data Susenas dan untuk
menyalurkan Bantuan Langsung Tunai (BLT). Data Susenas merupakan data
yang bersifat makro, data ini hanya menunjukkan jumlah agregat dan
persentase penduduk miskin, tetapi tidak dapat menunjukkan siapa, dimana
alamatnya secara rinci, data ini hanya digunakan untuk mengevaluasi
pertambahan/pengurangan jumlah penduduk miskin. Sedangkan untuk
menyalurkan BLT dalam rangka kompensasi BBM, sifatnya mikro yang dapat
menunjukkan nama kepala keluarga yang berhak menerima BLT dan lokasi
tempat
tinggalnya.
Sedangkan
untuk
mengukur
kemiskinan
dengan
menggunakan kebutuhan dasar makanan (setara 2.100 kalori per kapita per
hari) dan bukan makanan (variabel kuantitatif), penentuan rumah tangga
penerima BLT didasarkan pada pendekatan karakteristik rumah tangga dengan
menggunakan 14 variabel kuantitatif penjelas kemiskinan. Ke 14 variabel yang
digunakan adalah luas lantai per kapita, jenis lantai, jenis dinding, fasilitas
tempat buang air besar, sumber air minum, sumber penerangan, bahan bakar,
membeli daging, ayam/susu, frekuensi makan, membeli pakaian baru,
kemampuan berobat, lapangan usaha kepala rumah tangga, pendidikan rumah
tangga, dan asset yang dimiliki rumah tangga.
2. Kriteria BKKBN, kemiskinan adalah keluarga miskin prasejahtera, apabila
memenuhi kriteria berikut (BPS 2008) :
a. Tidak dapat melaksanakan ibadah menurut agamanya.
b. Seluruh anggota keluarga tidak mampu makan dua kali sehari
c. Seluruh anggota keluarga tidak memiliki pakaian berbeda untuk di rumah,
bekerja/sekolah dan bepergian.
d. Bagian terluas dari rumahnya berlantai tanah.
e. Tidak mampu membawa anggota keluarga ke sarana kesehatan.
3. Kriteria Bank Dunia, kemiskinan adalah keadaan tidak tercapainya
kehidupan yang layak dengan penghasilan US$ 1,00 per kapita per hari (BPS
2008).
Ketiga kriteria tersebut di atas, belum mampu menunjukkan rumah tangga
miskin dengan tepat dan benar, sehingga seringkali menyulitkan pelaksana dalam
implementasi kebijakan penanggulangan kemiskinan. Banyaknya komplain dan
18
reaksi yang menolak beberapa program dan kegiatan merupakan bukti lemahnya
sistem pendataan yang dilakukan selama ini, terutama dalam penyaluran bantuan
yang sifatnya sementara seperti bantuan langsung tunai (BLT). Beberapa lembaga
seperti Smeru dan Komite Penanggulangan Kemiskinan Nasional mendorong
pemerintah daerah untuk menentukan kriteria kemiskinan yang sesuai dengan
kondisi daerah masing-masing. Namun demikian, dalam prakteknya sangat sedikit
pemerintah daerah kabupaten/kota di Indonesia yang melakukan kreativitas terkait
dengan kriteria kemiskinan tersebut.
Setiabudi (2002); Chambers, 2008; dan Waidl et al. (2008) tanpa menafikan
ketiga kriteria tersebut dalam memberikan informasi, mereka menyarankan
beberapa pendekatan seperti penggunaan pendekatan sosiologis dengan metode
referer, dimana setelah kita dapat menemukan satu rumah tangga miskin
kemudian meminta yang bersangkutan memilih rumah tangga lain yang status
sosial-ekonominya setara atau lebih rendah dari dia. Alternatif lainnya, adalah
menggunakan pendekatan partisipatif seperti partisipatory rural appraisal (PRA)
pada level yang paling rendah seperti rukun tetangga (RT) dan rukun warga (RW).
Pendekatan ini telah diimplementasi oleh beberapa kabupaten/kota di Indonesia
dan memberikan hasil yang memuaskan walaupun menggunakan waktu dan biaya
yang lebih besar.
Selain pengertian kemiskinan tersebut di atas, penyebab kemiskinan juga
penting untuk dipahami. Ada banyak penyebab kemiskinan dan tak ada satupun
jawaban yang mampu menjelaskan semuanya secara sekaligus. Ini ditunjukkan
oleh adanya berbagai pendapat mengenai penyebab kemiskinan sesuai dengan
keadaan, waktu, dan tempat tertentu yang mecoba mencari penyebab kemiskinan.
Smeru (2001) menyimpulkan bahwa penyebab dasar kemiskinan antara lain; (i)
kegagalan kepemilikan terutama tanah dan modal; (ii) terbatasnya ketersediaan
bahan kebutuhan dasar, sarana dan prasarana; (iii) kebijakan yang bias perkotaan
dan bias sektor; (iv) adanya perbedaan kesempatan diantara anggota masyarakat
dan sistem yang kurang mendukung; (v) adanya perbedaan sumberdaya manusia
dan perbedaan antar sektor ekonomi (ekonomi tradisional versus ekonomi
modern); (vi) rendahnya produktivitas dan tingkat pembentukan modal dalam
masyarakat; (vii) budaya hidup yang dikaitkan dengan kemampuan seseorang
19
mengelola sumber daya alam dan lingkungannya; dan (viii) tidak adanya tata
kepemerintahan yang bersih dan baik (good governance).
Sedangkan Nasikun (2001) menyoroti beberapa sumber dan proses
penyebab terjadinya kemiskinan, antara lain :
a.
Policy induce processes; proses pemiskinan yang dilestarikan, direproduksi
melalui pelaksanaan suatu kebijakan (induced of policy) diantaranya adalah
kebijakan anti kemiskinan, tetapi realitanya justru
melestarikan dan
menyuburkan kemiskinan.
b.
Socio-economy dualism; Negara eks koloni mengalami kemiskinan karena
pola produksi kolonial, yaitu petani menjadi marjinal karena tanah yang
paling subur dikuasai petani skala besar dan berorientasi ekspor.
c.
Population growth; perspektif yang di dasari pada teori Malthus bahwa
pertambahan penduduk seperti deret ukur sedangkan pertambahan pangan
seperti deret hitung.
d.
Resources management and the environment; adanya unsur kesalahan
manajemen sumber daya alam dan lingkungan, seperti manajemen
pertanian yang asal tebang akan menurunkan produktivitas.
e.
Natural cycles and processes; kemiskinan terjadi karena siklus alam,
misalnya tinggal di lahan kritis, dimana lahan ini jika turun hujan akan
terjadi banjir tetapi jika musim kemarau akan kekurangan air, sehingga tidak
memungkinkan produktivitas yang maksimal dan terjadi secara
terus
menerus.
f.
The marginalization of woman; peminggiran kaum perempuan karena
perempuan masih dianggap kelas kedua, sehingga akses dan penghargaan
hasil kerja yang diberikan lebih rendah dari laki-laki.
g.
Cultural and etnic factor; bekerjanya faktor budaya dan etnik yang
memelihara kemiskinan. Misalnya, pola hidup konsumtif pada petani dan
nelayan ketika panen raya, serta adat istiadat yang konsumtif saat upacara
adat atau keagamaan.
h.
Exploitatif
intermediation;
keberadaan
penolong
menjadi
penodong,
seperti rentenir (lintah darat).
20
i.
Internal political fragmentation and civil strata; suatu kebijakan yang
diterapkan pada suatu daerah yang fragmentasi politiknya kuat, dapat
menjadi penyebab kemiskinan.
j.
International
processes;
bekerjanya
sistem-sistem
internasional
(kolonialisme dan kapitalisme) membuat banyak negara menjadi semakin
miskin.
Selanjutnya, selain beberapa faktor tersebut di atas, penyebab kemiskinan di
masyarakat khususnya di daerah perdesaan disebabkan oleh keterbatasan asset
yang dimiliki (Suryawati 2005), yaitu:
a. Natural assets; seperti tanah dan air, karena sebagian besar masyarakat desa
hanya menguasai lahan kurang memadai untuk mata pencahariannya.
b. Human assets; menyangkut kualitas sumberdaya manusia yang relatif
masih rendah dibandingkan masyarakat perkotaan (tingkat pendidikan,
keterampilan maupun tingkat kesehatan dan penguasaan teknologi).
c. Physical assets; minimnya akses ke infrastruktur dan fasilitas umum
seperti jaringan jalan, listrik, dan komunikasi di perdesaan.
d. Financial assets; berupa tabungan (saving) serta akses untuk memperoleh
modal usaha.
e. Social assets; berupa jaringan, kontak dan pengaruh politik, dalam hal ini
kekuatan bargaining position dalam pengambilan keputusan-keputusan
politik.
Namun demikian, secara umum penyebab kemiskinan dapat dikategorikan
dalam tiga bentuk, antara lain (Makmun 2003) :
1. Kemiskinan Struktural, yaitu kemiskinan yang disebabkan oleh hal-hal yang
berhubungan dengan kebijakan, peraturan maupun lembaga yang ada di
masyarakat sehingga dapat menghambat peningkatan produktivitas dan
mobilitas masyarakat.
2. Kemiskinan Kultural, yaitu kemiskinan yang berhubungan dengan adanya
nilai-nilai yang tidak produktif dalam masyarakat, tingkat pendidikan yang
rendah, kondisi kesehatan dan gizi yang buruk; dan
21
3. Kemiskinan alamiah, yaitu kemiskinan yang ditunjukkan oleh kondisi alam
maupun geografis yang tidak mendukung, misalnya daerah tandus, kering,
maupun keterisolasian.
Sedangkan Chronic Poverty Research Centre (CPRC) dalam Shepherd
(2007) menggambarkan kategorisasi dinamika kemiskinan menjadi tiga bagian
yaitu meliputi: selalu miskin dan biasa miskin (chronically poor), kemiskinan
transisional meliputi kemiskinan yang fluktuatif dan kadang-kadang miskin
(transitorily poor), dan tidak miskin (non-poor). Penduduk yang berada pada
kategori kronis bukan hanya miskin di dalam pendapatan akan tetapi juga sangat
terbatas dalam pendidikan, nutrisi, akses ke pelayanan kesehatan, atau mungkin
terisolasi dan dieksploitasi oleh para elit. Dalam beberapa konteks perempuan
miskin dan anak-anak perempuan, anak-anak perempuan dan orang tua (terutama
janda) cenderung terjebak dalam kemiskinan.
Selanjutnya penduduk yang berada dalam kategori transisional lebih rentan
terhadap kemiskinan. Penyebabnya bisa disebabkan oleh faktor internal karena
penduduk kategori ini tidak memiliki kemampuan untuk menghadapi kondisi
eksternal. Di samping itu, guncangan dalam bentuk kesehatan karena sakit,
guncangan lingkungan, bencana alam, kekerasan, dan ketidakpastian hukum dan
rontoknya perekonomian penyebab keluar masukanya rumah tangga dalam
kemiskinan. Ketika penduduk hanya memiliki asset terbatas, layanan dasar yang
tidak memadai dan tidak efektifnya perlindungan sosial menjadi jebakan orang
dalam kemiskinan.
Memahami kemiskinan dengan pengkategorisasian tersebut mempermudah
pengambil kebijakan dalam menentukan sifat dan jenis intervensi kebijakan yang
akan dilakukan. Pengkategorisasian ini dapat juga membantu mengidentifikasi
jalan keluar terhadap kemiskinan sebelum kondisi mereka menjadi kronik
sebagaimana dijelaskan pada Gambar 1 berikut ini.
22
Gambar 1. Kategorisasi dinamika kemiskinan, CPRC dalam Sherperd 2007.
2.2. Ukuran-Ukuran Kemiskinan
Untuk mengukur kemiskinan, Badan Pusat Statistik (BPS) membuat
perkiraan jumlah penduduk miskin (dibedakan antara wilayah perdesaan,
perkotaan dan propinsi di Indonesia) yang berpatokan pada pengeluaran
rumah tangga menurut data SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional).
Penduduk miskin ditentukan berdasarkan pengeluaran atas kebutuhan pokok, yang
terdiri dari bahan makanan maupun bukan makanan yang dianggap sebagai
“dasar” dan diperlukan dalam jangka waktu agar dapat hidup secara layak.
Dengan cara ini, maka kemiskinan diukur sebagai tingkat konsumsi per kapita di
bawah suatu standar tertentu yang disebut sebagai garis kemiskinan (poverty
line). Mereka yang berada di bawah garis kemiskinan tersebut dikategorikan
sebagai miskin. Garis kemiskinan dihitung dengan cara menjumlahkan (i) biaya
untuk memperoleh sekeranjang “bundle” makanan dengan kandungan 2.100
kalori per kapita per hari, dan (ii) biaya untuk memperoleh “sekeranjang” bahan
bukan makanan yang dianggap dasar seperti pakaian, perumahan, kesehatan,
transportasi, dan pendidikan (BPS 2008).
Garis kemiskinan yang banyak dirujuk untuk menentukan jumlah penduduk
miskin dan tidak miskin diajukan oleh Sajogyo (1977). Pada awalnya garis
kemiskinan adalah setara dengan harga beras 240 kg beras per orang per tahun
untuk perdesaan dan 360 kg per orang per tahun untuk perkotaan. Perkembangan
23
selanjutnya ketentuan garis kemiskinan pun berubah menjadi lebih rinci yaitu di
bawah 240; 240-320; 320-480; dan lebih dari 480 kg ekuivalen beras. Klasifikasi
ini biasa digunakan untuk mengelompokkan penduduk lebih secara rinci.
Kelompok paling bawah disebut sangat miskin, selanjutnya miskin, hampir
berkecukupan, dan berkecukupan.
Secara umum perkembangan garis kemiskinan di Indonesia berdasarkan
wilayah dapat dilihat pada Tabel 3 berikut.
Tabel 3. Garis Kemiskinan Menurut Daerah dan Komponennya 2007-2008
(Rp/Kapita/Bulan)
Daerah/Tahun
Makanan
(GKM)
Bukan Makanan
(GKNM)
Jumlah
(GK)
Perkotaan
Maret 2007
Maret 2008
132.259
143.897
55.683
60.999
187.942
204.896
Perdesaan
Maret 2007
Maret 2008
116.265
127.207
30.572
34.624
146.837
161.831
Kota + Desa
Maret 2007
Maret 2008
123.993
135.270
42.704
47.366
166.697
182.636
Sumber : Badan Pusat Statistik, Jakarta Indonesia 2008.
Beberapa ukuran atau indeks kemiskinan yang sering digunakan dalam
berbagai studi empiris seperti yang dilakukan oleh Blackwood and Lynch (1994)
dalam Nanga (2006) dan Harniati (2007) adalah sebagai berikut:
1. Poverty Headcount yang mengukur jumlah atau persentase penduduk yang
berada di bawah garis kemiskinan. Bentuk formula poverty headcount dapat
ditulis sebagai berikut :
……………………………………………………………
(1)
dimana H adalah poverty headcount, q adalah jumlah penduduk atau
persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan, dan n
adalah jumlah penduduk. Dengan demikian, poverty headcount tidak lain
adalah persentase penduduk yang hidup di bawah garis kemiskinan
(poverty line) terhadap jumlah penduduk.
24
2. Poverty Gap atau biasa disebut sebagai income shortfall, digunakan untuk
menghitung jumlah pendapatan yang dibutuhkan untuk mengangkat
penduduk miskin ke atas garis kemiskinan atau keluar dari kemiskinan.
Bentuk formula dari poverty gap, dapat dinyatakan sebagai berikut :
I=z–μ
…………………………………………………………… (2)
dimana I adalah kekurangan pendapatan rata-rata (average income shortfall)
yang mengukur jumlah uang yang diperlukan untuk meningkatkan
pendapatan dari rata-rata penduduk miskin ke atas garis kemiskinan, μ adalah
pendapatan rata-rata dari penduduk miskin, dan z adalah garis kemiskinan.
3. Distribusi pendapatan diantara penduduk miskin. Ukuran ini berhubungan
dengan pembagian atau distribusi pendapatan diantara penduduk secara
keseluruhan, sebab ukuran kemiskinan absolut (absolute poverty measures)
perdefinisi bergantung secara ekslusif pada pendapatan dari penduduk miskin.
Untuk mengukur distribusi pendapatan salah satu ukuran populer yang
sering digunakan dalam penelitian empiris adalah koefisien gini (Gini
Coefficient) dan kurva Lorenz (Lorenz Curve). Formula koefisien atau rasio gini
(Tambunan 2003) adalah sebagai berikut :
…………………………
(3)
Nilai koefisien gini berada pada selang 0 sampai dengan 1. Bila 0 :
kemerataan
sempurna
(setiap
orang
mendapat
porsi
yang
sama
dari
pendapatan) dan bila 1: ketidakmerataan yang sempurna dalam pembagian
pendapatan, artinya satu orang (atau satu kelompok pendapatan) di suatu negara
menikmati sebagian besar pendapatan negara tersebut. Ide dasar dari perhitungan
koefisien gini berasal dari kurva Lorenz. Koefisien gini adalah rasio: (a) daerah di
dalam grafik tersebut yang terletak di antara kurva Lorenz dan garis kemerataan
sempurna (yang membentuk sudut 45 derajat dan titik 0 dari sumbu y dan x)
terhadap (b) daerah segi tiga antara garis kemerataan tersebut dan sumbu y dan x.
Semakin tinggi nilai rasio gini, yakni mendekati satu atau semakin menjauh dari
kurva Lorenz dari garis 45 derajat tersebut, semakin besar tingkat ketidakmerataan
distribusi pendapatan, seperti dalam Gambar 2 berikut.
25
Gambar 2. Kurva Lorenz
Ukuran lain yang biasa digunakan untuk mengukur kemiskinan adalah
indeks
keparahan
dan
kedalaman
kemiskinan.
Indeks
keparahan
dan
kedalaman kemiskinan dapat diukur dengan menggunakan formulasi Foster,
Greer, dan Thorbecke yang biasa disebut sebagai FGT index (BPS 2008; dan
Todaro et al. 2009). Formula FGT terdiri dari insiden kemiskinan, indeks
kedalaman, dan indeks keparahan, dengan formulasi sebagai berikut :
...……………………………………………… (4)
dimana :
Pα
= Indeks FGT
Yi
= Pendapatan dari penduduk miskin ke i, dimana i = (1,2,…..H)
Yp
= Garis Kemiskinan
N
= Total Jumlah Penduduk
H
= Jumlah penduduk miskin
α = 0,1,2 merupakan parameter yang menyatakan ukuran kedalaman dan
keparahan kemiskinan. Semakin besar α, semakin besar bobot insiden
kemiskinan. Jika α = 0 disebut sebagai Headcount ratio, H/N yang
mengindikasikan proporsi jumlah penduduk yang hidup di bawah garis
kemiskinan, maka P0 = H/N. Dengan demikian, bila 30 persen penduduk dari total
penduduk diklasifikasikan miskin, maka P0 = 0,3. Jika α = 1, disebut sebagai
ketimpangan kemiskinan atau rata-rata kedalaman kemiskinan yang dinyatakan
26
sebagai proporsi terhadap garis kemiskinan. Ketika α = 1 maka P1 = (1/N)Σ(zYi/z)1 sehingga ketika P1 = 0,3 berarti kesenjangan antara total penduduk (miskin
dan tidak miskin) adalah 30 persen. P1/P0 = 1/H Σ(z-Yi/z) adalah rata-rata
kedalaman kemiskinan sebagai proporsi dari garis kemiskinan. Jika α = 2, adalah
jarak atau perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan
sebagai proporsi dari garis kemiskinan tersebut.
2.3. Pertumbuhan, Kesenjangan dan Kemiskinan
Salah satu ukuran kesejahteraan yang sering digunakan untuk mengukur
tingkat kesejahteraan penduduk suatu negara (measure of economic welfare)
adalah Produk Domestik Bruto (PDB) atau Produk Domestik Regional Bruto
(PDRB). Pada waktu PDB naik, diasumsikan bahwa rakyat secara materi makin
bertambah baik posisinya. Ukuran yang digunakan adalah PDB atau PDRB per
kapita (Dornbusch et al. 1987 dan Mankiw 2007). Pada bagian lain Mankiw
menyebutkan output barang dan jasa suatu perekonomian (GDP) bergantung pada
(1) jumlah input, yang disebut faktor-faktor produksi, dan (2) kemampuan untuk
mengubah input menjadi output. GDP yang ditentukan dari kedua faktor tersebut
disebutkannya sebagai sisi penawaran dari pendapatan nasional (GDP).
Selanjutnya output atau GDP dari sisi penggunaannya terdiri dari konsumsi (C),
Investasi (I), Pembelian Pemerintah (G) dan Ekspor-Netto (NX). GDP dari sisi
penggunaannya disebut sebagai sisi permintaan dari pendapatan nasional.
Bank Dunia (2006) menjelaskan bahwa ada tiga cara untuk membantu
mengangkat diri dari kemiskinan adalah melalui pertumbuhan ekonomi, layanan
masyarakat, dan pengeluaran pemerintah. Masing-masing cara tersebut menangani
minimal satu dari tiga ciri utama kemiskinan di Indonesia, yaitu: kerentanan, sifat
multi-dimensi, dan keragaman antar daerah. Selanjutnya dijelaskan bahwa strategi
pengentasan kemiskinan yang efektif bagi Indonesia terdiri dari tiga komponen,
yaitu sebagai berikut :
1) Membuat pertumbuhan ekonomi bermanfaat bagi rakyat miksin. Pertumbuhan
ekonomi telah dan akan menjadi landasan bagi pengentasan kemiskinan.
Pertama, langkah membuat pertumbuhan bermanfaat bagi rakyat miskin
merupakan kunci bagi upaya untuk mengkaitkan masyarakat miskin dengan
27
proses pertumbuhan-baik dalam konteks perdesaan-perkotaan ataupun dalam
berbagai pengelompokan berdasarkan daerah dan pulau. Kedua, dalam
menangani ciri kerentanan kemiskinan yang berkaitan dengan padatnya
konsentrasi
distribusi
pendapatan
di
Indonesia,
apapun
yang
dapat
meningkatkan pendapatan masyarakat akan dapat dengan cepat mengurangi
kemiskinan serta kerentanan kemiskinan. Dari era 1970-an sampai dengan
akhir tahun 1990-an, pertumbuhan ekonomi berjalan dengan pesat dan telah
menjangkau masyarakat miskin: setiap poin persentase kenaikan pengeluaran
rata-rata menghasilkan penurunan 0,3 persen angka kemiskinan. Strategi untuk
membantu masyarakat miskin memetik manfaat dari pertumbuhan ekonomi
terdiri dari beberapa unsur. Pertama, penting untuk memelihara stabilitas
makroekonomi; kuncinya adalah inflasi yang rendah dan nilai tukar yang stabil
dan
kompetitif.
Negara-negara
yang
mengalami
guncangan
(shock)
makroekonomi memiliki pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan
yang lebih lamban dibandingkan dengan negara-negara yang memiliki
pengelolaan makroekonomi yang lebih baik (Bank Dunia 2005). Kedua,
masyarakat miskin perlu dihubungkan dengan peluang-peluang pertumbuhan.
Akses yang lebih baik terhadap jalan, telekomunikasi, kredit dan pekerjaan di
sektor formal dapat dikaitkan dengan tingkat kemiskinan yang lebih rendah.
Ketiga, yang penting adalah melakukan investasi untuk meningkatkan
kemampuan (kapabilitas) masyarakat miskin, yakni menyiapkan mereka agar
bisa dengan baik menarik manfaat dari berbagai kesempatan bagi pertumbuhan
pendapatan yang muncul di depan mereka. Baik di daerah perdesaan maupun
di perkotaan, tingkat pendidikan yang lebih tinggi bagi kepala rumah tangga
terkait dengan tingkat konsumsi yang lebih tinggi. Investasi dalam pendidikan
untuk masyarakat miskin akan memacu masyarakat miskin untuk berpartisipasi
dalam pertumbuhan.
2) Membuat layanan sosial bermanfaat bagi rakyat miskin. Penyediaan layanan
sosial bagi rakyat miskin baik oleh sektor pemerintah ataupun sektor swastaadalah mutlak dalam penanganan kemiskinan di Indonesia. Pertama, hal itu
merupakan kunci dalam menyikapi dimensi non-pendapatan kemiskinan di
28
Indonesia. Indikator pembangunan manusia yang kurang baik, misalnya angka
kematian ibu yang tinggi, harus diatasi dengan memperbaiki kualitas layanan
yang tersedia untuk masyarakat miskin. Hal ini lebih dari sekedar persoalan
yang berkaitan dengan pengeluaran pemerintah, karena berkaitan dengan
perbaikan sistem pertanggung jawaban, mekanisme penyediaan layanan, dan
bahkan proses kepemerintahan. Kedua, ciri keragaman antar daerah
kebanyakan dicerminkan oleh perbedaan dalam akses terhadap layanan, yang
pada akhirnya mengakibatkan adanya perbedaan dalam pencapaian indikator
pembangunan manusia di berbagai daerah. Dengan demikian, membuat
layanan masyarakat bermanfaat bagi masyarakat miskin merupakan kunci
dalam menangani masalah kemiskinan dalam konteks keragaman antar daerah.
Di samping pertumbuhan ekonomi dan layanan sosial, dengan menentukan
sasaran pengeluaran untuk rakyat miskin, pemerintah dapat membantu mereka
dalam menghadapi kemiskinan (baik dari segi pendapatan maupun nonpendapatan). Pertama, pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk
membantu mereka yang rentan terhadap kemiskinan dari segi pendapatan
melalui suatu sistem perlindungan sosial modern yang meningkatkan
kemampuan mereka sendiri untuk menghadapi ketidakpastian ekonomi. Kedua,
pengeluaran pemerintah dapat digunakan untuk memperbaiki indikatorindikator pembangunan manusia, sehingga dapat mengatasi kemiskinan dari
aspek non-pendapatan.
Pertumbuhan
ekonomi
meningkatkan
pendapatan
rata-rata,
yang
selanjutnya memiliki dampak menurunkan kemiskinan. Jika pertumbuhan
ekonomi
juga
meningkatkan
ketimpangan
(inequality),
yang
kemudian
meningkatkan kemiskinan (trade off antara pertumbuhan dan kesenjangan
ekonomi). Beberapa negara pada tahun 1970-an dan 1980-an dengan pertumbuhan
ekonomi yang tinggi, menunjukkan seakan-akan ada suatu korelasi positif antara
laju pertumbuhan ekonomi dengan tingkat kesenjangan dalam distribusi
pendapatan. Semakin tinggi PDB atau semakin besar pendapatan per kapita
semakin besar perbedaan antara kaum miskin dan kaum kaya (Tambunan 2003).
Sebagai suatu perbandingan, hasil studi dari ADB di tahun 1980-an terhadap
29
sepuluh negara di Asia, termasuk India, China, Malaysia, Bangladesh, Korea, Sri
Lanka dan Filipina, memperlihatkan bahwa kesejahteraan dari kelompok
masyarakat termiskin membaik hanya di negara-negara yang laju pertumbuhan
ekonominya sangat besar. Hasil studi ini menunjukkan bahwa memang ada
spread effect dan trickle down effect di negara-negara tersebut. Akan tetapi, hasil
analisis dengan pendekatan lintas negara (cross-section) tidak menunjukkan
adanya suatu relasi yang kuat antara tingkat pendapatan dan tingkat kemerataan
dalam distribusi pendapatan (Dowling dan Soo 1983; Bhanoji 1980
dalam
Tambunan 2003).
Permasalahan yang timbul adalah kemacetan mekanisme trickle down
effects, dimana mekanisme tersebut sebenarnya sangat diyakini akan terbentuk
sejalan dengan meningkatnya akumulasi kapital dan perkembangan institusi
ekonomi yang mampu menyebarkan kesejahteraan yang merata. Dengan kata lain,
di satu sisi penerapan pendekatan ini berhasil membangun akumulasi kapital yang
cukup besar, namun di sisi lain juga telah menciptakan proses kesenjangan secara
simultan, baik kesenjangan desa oleh kota, maupun kesenjangan antar kelompok
di masyarakat (Wiranto 2007).
Kesenjangan
tingkat
kesejahteraan
masyarakat
pada
dasarnya
diakibatkan oleh faktor (1) sosial ekonomi rumah-tangga atau masyarakat, (2)
struktur kegiatan ekonomi sektoral yang menjadi dasar kegiatan produksi rumahtangga atau masyarakat, (3) potensi regional (sumberdaya alam, lingkungan, dan
infrastruktur) yang memengaruhi perkembangan struktur kegiatan produksi, dan
(4) kondisi kelembagaan yang membentuk jaringan kerja produksi dan pemasaran
pada skala lokal, regional dan global.
Literatur mengenai evolusi atau perubahan kesenjangan pendapatan pada
awalnya didominasi oleh apa yang disebut dengan hipotesis Kuznets. Simon
Kuznets mengatakan bahwa pada tahap awal pembangunan ekonomi, distribusi
pendapatan cenderung memburuk, namun pada tahap selanjutnya distribusi
pendapatan akan membaik. Observasi inilah yang kemudian dikenal sebagai kurva
Kuznets “U-terbalik”, karena perubahan longitudinal (time-series) dalam
distribusi pendapatan-seperti yang diukur dengan koefisien Gini, tampak seperti
30
kurva berbentuk U-terbalik, seiring dengan naiknya GNI per kapita, untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Gambar 3 berikut (Tambunan 2003 dan Todaro 2009).
Koefisien Gini
0,75
0,50
0,35
0,25
0
Pendapatan Nasional bruto per kapita
Gambar 3. Kurva Kuznets “U-Terbalik”
Dari periode 1970-an hingga sekarang sudah banyak studi empiris yang
menguji hipotesis Kuznets tersebut dengan menggunakan data agregat dari
sejumlah negara, diantaranya Kravis (1970, 1973), Watkins (1995), Adelman dan
Morris (1973), Chenery et al. (1974), Chen dan Ravillon (1997) dan Deininger
dan Squire (1995a, b, 1996) dalam Tambunan (2003). Beberapa catatan penting
dari penemuan studi-studi tersebut diantaranya sebagai berikut. Pertama, sebagian
besar studi-studi mendukung hipotesis Kuznets, sedangkan sebagian lainnya
menolak atau tidak menemukan adanya korelasi seperti gambar 1 di atas. Kedua,
walaupun secara umum hipotesis itu diterima, namun sebagian besar dari studistudi tersebut menunjukkan bahwa relasi positif antara pertumbuhan ekonomi dan
pemerataan dalam distribusi pendapatan nasional pada periode jangka panjang
terbukti hanya untuk kelompok negara-negara maju (negara-negara dengan
tingkat pendapatan yang tinggi). Ketiga, bagian kesenjangan dari kurva Kuznets
(bagian kiri dari gambar 1) cenderung lebih tidak stabil dibandingkan porsi
kesenjangan menurun dari kurva tersebut (bagian kanan). Kesenjangan cenderung
menurun untuk negara-negara pada tingkat pendapatan menengah hingga tinggi.
Jadi, seperti telah dijelaskan sebelumnya, sejak bagian kesenjangan dari kurva
tersebut terdiri dari negara-negara berpenghasilan rendah hingga menengah, maka
relasi itu lebih tidak stabil untuk negara-negara tersebut.
31
Sama halnya dengan kesenjangan antar kelompok atau antar golongan,
kesenjangan antar wilayah juga terjadi dalam negara-negara berkembang.
Berdasar pada hal tersebut beberapa ahli ekonomi mencoba mengembangkan
suatu pemikiran tentang pembangunan ekonomi wilayah sebagai reaksi atas
kurang berhasilnya pemerataan kesejahteraan antar wilayah. Pemikiran tentang
pertumbuhan ekonomi wilayah ini dimulai sejak tahun 50-an pada saat perhatian
terhadap pembangunan daerah meningkat. Pemikiran tentang pertumbuhan
ekonomi wilayah bertujuan untuk membahas secara rinci faktor-faktor yang
menentukan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Perhatian terhadap hal ini
timbul karena dalam kenyataannya laju pertumbuhan ekonomi wilayah sangat
bervariasi, ada yang pertumbuhannya sangat tinggi dan ada pula yang sangat
rendah. Di samping itu, juga tujuan lainnya adalah untuk membahas hubungan
antara pertumbuhan ekonomi wilayah dengan ketimpangan pembangunan antara
wilayah (Syafrizal 2008).
Konsep pembangunan wilayah yang dianut selama ini mengacu pada
konsep-konsep
pembangunan
klasik
yang
mengedepankan
pertumbuhan
ekonomi daripada pemerataan. Simon Kuznet (1966) dengan teorinya yang
dikenal
yaitu
“The
first
fundamental
theorem
of
welfare
economic”
menyatakan bahwa negara yang baru berkembang atau pendapatannya rendah,
dalam pertumbuhan dan pembangunan ekonominya harus mengorbankan dulu
tujuan pemerataan pembangunan (trade off antara pertumbuhan dan pemerataan).
Hal ini telah memberi legitimasi dominasi peranan pemerintah untuk
memusatkan pengalokasian sumber-sumber daya pada sektor-sektor atau
wilayah-wilayah
yang
berpotensi
besar
dalam
menyumbang
pada
pertumbuhan ekonomi. Kondisi ini telah menyebabkan terjadinya “net transfer”
sumberdaya daerah ke pusat kekuasaan secara besar-besaran melalui ekspor ke
negara-negara maju. Implikasi dari penekanan pertumbuhan ekonomi adalah
terjadinya polarisasi spasial (geografi) alokasi sumberdaya (capital investment)
antar wilayah melalui aglomerasi industri di tempat-tempat yang kompetitif
(perkotaan). Sehingga program dalam bentuk bantuan pembangunan daerah tidak
mampu untuk mengurangi ketimpangan yang terjadi.
32
Lewis dalam Rustiadi et al. (2009) menjelaskan bahwa untuk mendorong
pertumbuhan ekonomi dan modernisasi pembangunan dibutuhkan adanya
“transfer surplus” dari sektor/kawasan pertanian (perdesaan) ke sektor industri di
perkotaan. Transfer surplus dapat terjadi melalui pengambilan dan penarikan
sumber daya manusia (tenaga kerja), modal dan sumberdaya lainnya oleh
perkotaan atas nama kepentingan pembangunan. Dalam alam pikir seperti itu,
upaya-upaya mengakselerasi (mempercepat pertumbuhan industri dan transmisi
menuju masyarakat urban menjadi agenda pembangunan yang dianggap sangat
penting).
Namun, pada kenyataannya transfer surplus tersebut menyebabkan
“backwash effect” yang masif, eksploitasi terhadap perdesaan semakin
meningkat menyebabkan hilangnya inovasi dan berakibat pada meningkatnya
kemiskinan di perdesaan. Di samping itu, mendorong terjadinya urbanisasi yang
besar-besaran dan berdampak pada meningkatnya pengangguran dan kemiskinan
di perkotaan.
Para penganut teori klasik berkeyakinan bahwa mekanisme pasar,
dalam jangka panjang dapat menciptakan struktur perkembangan wilayah yang
seimbang. Sedangkan Myrdal (1957) dalam Rustiadi et al. (2009), berpendapat
lain, bahwa dengan adanya faktor sebab-akibat kumulatif (circular cumulative
causation) dalam proses pembangunan dalam jangka panjang justru ketimpanganketimpangan ekonomi wilayah tersebut akan semakin melebar. Ada dua kekuatan
penting yang dikemukakan Myrdal yaitu (i) wilayah-wilayah yang sudah maju
menciptakan keadaan yang menghambat perkembangan wilayah-wilayah yang
masih terkebelakang (back wash effects) dan (ii) wilayah-wilayah yang telah maju
menciptakan keadaan yang mendorong perkembangan wilayah-wilayah yang
masih terkebelakang (spread effects). Selanjutnya Myrdal menyebutkan beberapa
faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya backwash effects (Rustiadi et al.
2009) yaitu :
1. Corak perpindahan penduduk dari wilayah yang masih terkebelakang ke
wilayah maju. Sejumlah tenaga kerja yang berpendidikan / berkualitas lebih
dinamis
dan
selalu
mencari
alternatif
yang
lebih
baik.
Adanya
33
perkembangan ekonomi di wilayah-wilayah yang lebih maju merupakan daya
tarik bagi perpindahan tenaga kerja berkualitas tersebut. Sedangkan di wilayahwilayah yang terkebelakang tinggal orang-orang yang pada umumnya lebih
konservatif.
Keadaan
demikian
sangat
tidak
menguntungkan
bagi
perkembangan wilayah yang masih terkebelakang karena setiap saat
kehilangan putra-putri daerahnya yang bermutu (brain drain).
2. Arus investasi yang tidak seimbang. Karena struktur masyarakatnya yang lebih
konservatif maka permintaan modal di wilayah terkebelakang sangat minimal.
Di samping itu, produktivitas yang rendah tidak menarik investor dari luar.
Bahkan modal yang ada di dalam justru mengalir secara terus menerus ke luar
wilayah (wilayah yang lebih maju) karena lebih terjamin untuk menghasilkan
pendapatan yang lebih tinggi.
3. Pola dan aktivitas perdagangan yang didominasi oleh industri-industri di
wilayah yang lebih maju. Sehingga wilayah terkebelakang sangat sukar
mengembangkan pasar bagi hasil-hasil industrinya.
Braun (2007) mengatakan bahwa salah satu penyebab terjadinya
ketimpangan adalah adanya berbagai tatanan sosial yang bersifat dualistis.
Tatanan sosial yang lebih tradisional dengan yang lebih modern seringkali ditemui
secara bersamaan pada suatu wilayah. Tatanan sosial modern merupakan produk
interaksi sosial dengan tatanan luar yang di adopsi, sedangkan tatanan sosial
tradisional merupakan corak khas milik pribumi. Hal ini menyebabkan timbulnya
dualisme dalam berbagai aspek seperti dualisme teknologi dan dualisme finansial.
Berbagai jenis dualisme tersebut ternyata berkaitan erat dengan aspek
kewilayahan. Sektor modern pada umumnya berada di daerah perkotaan
sedangkan sektor tradisional berada pada daerah perdesaan. Ketimpangan
produktivitas antara kota dan desa menyebabkan ketimpangan penanaman modal
dan pembangunan di kedua sub wilayah tersebut. Dengan demikian, akibatnya
adalah
terjadi
jurang
ketimpangan
yang
bertambah
lebar
antara
perkembangan wilayah kota yang cukup pesat, sementara perkembangan
perdesaan sangat lambat. Kenyataan inilah yang dikenal dengan dualisme
regional (Mbawu dan Thorbecke 2001; dan Rustiadi et al. 2009).
34
Berdasar pada asumsi ini pelaku pembangunan terutama di negara-negara
berkembang
pada
pertumbuhan
ekonomi
awal
pembangunannya
sebesar-besarnya
tanpa
mengedepankan
memerhatikan
aspek
pemerataan. Hal ini menjadi jebakan dan pada akhirnya disadari bahwa
pertumbuhan yang tinggi tidak menjamin kesejahteraan masyarakat karena
menimbulkan
bukan
hanya
pertumbuhan
ekonomi
yang
tidak
berkesinambungan, akan tetapi dapat menimbulkan gejolak sosial dan depresi
lingkungan yang pada akhirnya meruntuhkan atau merobohkan pertumbuhan
ekonomi itu sendiri.
Pola Marx (dalam Hayami 2001) tentang pertumbuhan ekonomi yang
muncul pada fase awal industrialisasi, menyebabkan perekonomian negara
berkembang mengalami ketimpangan dalam distribusi pendapatan. Dari sudut
pandang pertumbuhan ekonomi, meningkatnya ketimpangan pendapatan dapat
menyebabkan pada gangguan sosial (social shock) dan menghancurkan dasardasar sosial politik aktivitas ekonomi. Marx memprediksi bahwa terjadi semakin
meningkatnya ketimpangan dalam proses pembangunan kapitalis. Sejalan dengan
menurunnya tingkat kepentingan lahan melalui perkembangan lebih lanjut dalam
industrialisasi sejak era Ricardo, dimana pendapatan nasional diklasifikasikan ke
dalam tiga kategori, yaitu upah sebagai pengganti untuk tenaga kerja, keuntungan
sebagai pengganti untuk modal, dan nilai sewa untuk pengganti lahan bagi tuan
tanah. Marx menganalisis bagaimana pendapatan nasional terbagi diantara dua
kategori yaitu upah dan keuntungan. Hal ini memprediksi bahwa pendapatan
nasional akan mengalir lebih besar untuk keuntungan perusahaan dibanding untuk
upah. Hal ini menyebabkan konsentrasi pendapatan pada para pemilik modal dan
menyebabkan kemiskinan di pihak buruh atau penduduk yang tidak memiliki
lahan atau keterampilan sebagaimana yang dibutuhkan pada sektor industri.
2.4. Kerentanan dan Determinan Kemiskinan
Kerentanan dan kemiskinan “poverty and vurnerability”, diakui semakin
mendapat perhatian sebagai sebuah aspek penting dalam menelaah fenomena
kemiskinan (World Bank, 2000). Kerentanan bukan hanya diarahkan pada kondisi
rumah tangga sekarang berkenaan dengan garis kemiskinan tertentu, tetapi lebih
35
daripada risiko atau peluang rumah tangga menjadi miskin dalam beberapa
periode yang akan datang (Mcculloch et al. 2001).
Kerentanan terhadap kemiskinan di definisikan sebagai kerentanan terhadap
garis kemiskinan (Vurnerability to Poverty Line) yaitu risiko atau probabilitas
rumah tangga jatuh ke dalam garis kemiskinan. Peluang atau risiko rumah tangga
menjadi miskin bukan hanya dipengaruhi oleh faktor eksternal, akan tetapi juga
dipengaruhi oleh faktor rumah tangga dan individu serta aspek kewilayahan.
Kerentanan menurut Chambers dapat dilihat dari ketidakmampuan keluarga
miskin untuk menyediakan sesuatu guna menghadapi situasi darurat seperti
datangnya bencana alam, kegagalan panen, atau penyakit yang tiba-tiba menimpa
keluarga miskin itu (Chambers, 1983). Kerentanan dapat juga diartikan sebagai
suatu kondisi dimana rumah tangga miskin tidak memiliki kesiapan baik mental
maupun material dalam menghadapi situasi sulit yang dialaminya.
Kerentanan mengacu pada kecenderungan orang jatuh atau tinggal, di
bawah pra-kebutuhan dasar hidup minimal yang telah ditentukan (Dasgupta,
1997; Pritchett et al. 2000; Halder dan Husain, 1999; Hashemi, 1997; Rahman,
1995). Pada dasarnya kemiskinan dan kerentanan bagai dua sisi mata uang tidak
bisa dibedakan. Pengamatan status dari rumah tangga miskin (biasa didefinisikan
hanya dengan apakah atau tidak tingkat pengeluaran konsumsi rumah tangga
berada di atas atau di bawah garis kemiskinan yang telah ditetapkan) merupakan
realisasi ex-post dari suatu keadaan probabilitas ex-ante yang dapat diambil untuk
menetapkan tingkat kerentanan rumah tangga. Jadi, memprediksi probabilitas dari
kemiskinan bagi rumah tangga dengan berbagai set karakteristik memperkirakan
kerentanan rumah tangga (Chaudhuri et al. 2001).
Dalam penelitian ini, kerentanan kemiskinan didekati berdasarkan berbagai
karakteristik dari rumah tangga, individu, dan kewilayahan. Dalam konteks ini,
kerentanan dilihat dari seberapa besar kesiapan atau daya tahan suatu rumah
tangga atau individu dalam menghadapi fenomena dan permasalahan yang terkait
dengan kemiskinan. Pengukuran kerentanan kemiskinan diestimasi dengan
menggunakan teknik ekonometrika dengan persamaan logit. Teknik ini dipilih
karena lebih memberikan keleluasaan untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang
36
memengaruhi risiko terhadap kemiskinan dan memungkinkan untuk menganalisis
magnitud tingkat kerentanan dengan menggunakan data primer.
Di samping itu, permasalahan besar yang dihadapi di dalam pengentasan
kemiskinan yaitu masih besarnya risiko-risiko sosial ekonomi dan rendahnya
kemampuan yang dimiliki oleh penduduk miskin untuk mengatasi atau
memulihkan diri akibat adanya eksternalitas berupa guncangan (shock) ekonomi
dan juga akibat kurangnya akses terhadap pelayanan dasar dan sosial. Selanjutnya,
kerentanan berdasarkan karakteristik rumah tangga dan individu tersebut di atas,
dalam penelitian ini juga diarahkan untuk menganalisis determinan kemiskinan
atau faktor-faktor yang memengaruhi kemiskinan seperti pertumbuhan ekonomi,
krisis ekonomi, inflasi, dan kontribusi sektor terhadap PDRB.
Krisis ekonomi yang terjadi pada pertengahan tahun 1997/1998, bukan
hanya berdampak pada dimensi ekonomi akan tetapi juga pada dimensi sosial dan
politik. Krisis ekonomi yang berkepanjangan berdampak pada kemiskinan,
dimana terjadi lonjakan jumlah penduduk miskin dari 34,01 juta jiwa pada tahun
1996 menjadi 49,5 juta jiwa pada tahun 1998 atau secara proporsional meningkat
dari 17,47 persen pada tahun 1996 menjadi 24,23 persen pada tahun 1998 (BPS
2008). Gambaran tentang dampak krisis ekonomi pada tahun 1997 mengakibatkan
peningkatan kemiskinan lebih dari sepertiga kali dapat dilihat pada Gambar 4
berikut (World Bank 2006).
Dari gambar tersebut, dapat dibuktikan bahwa krisis ekonomi memiliki
dampak yang sangat besar terhadap kemiskinan. Bahkan, pada tahun 1997-1998
ada kecenderungan terjadinya stagflasi, dimana laju pertumbuhan ekonomi
menurun dari 7,82 persen pada tahun 1996 menjadi 4,7 persen pada tahun 1997
dan mencapai puncaknya pada tahun 1998 yaitu (-13,13 persen). Pada tahun yang
sama, laju inflasi negara kita mencapai angka yang cukup fantastis selama Orde
Baru, yaitu 77,63 persen. Padahal tahun 1997 hanya 11,05 persen dan tahun-tahun
sebelumnya dibawah satu digit (Djunedi 2006).
37
Gambar 4. Gambaran kemiskinan di Indonesia sebelum dan sesudah krisis
ekonomi pada tahun 1997.
Namun demikian, diakui bahwa krisis multidimensi tahun 1997 memiliki
dampak terhadap perekonomian, akan tetapi di sisi lain dampaknya berbeda pada
daerah-daerah yang memiliki komoditi ekspor non-migas. Rustiadi (2007),
menyebutkan bahwa dampak krisis multidimensi tahun 1997 memiliki dampak
yang berbeda pada kawasan perdesaan dan perkotaan. Pertama, dampak krisis di
daerah perkotaan ternyata lebih parah dibandingkan dengan daerah perdesaan.
Kedua, dampak krisis ini sangat heterogen, dimana terdapat beberapa daerah yang
mengalami kesulitan parah sementara daerah-daerah lain relatif baik keadaannya.
Namun demikian, di Pulau Jawa baik daerah perdesaan maupun perkotaan samasama mengalami dampak yang lebih serius. Beberapa daerah di Pulau-pulau lain,
khususnya sebagian besar Sumatera, Sulawesi, dan Maluku mengalami dampak
krisis yang tidak terlalu besar, bahkan beberapa daerah yang memiliki komoditi
ekspor seperti coklat, kopi, karet, dan udang merasa lebih beruntung dengan
terjadinya krisis. Ketiga, terdapat kaitan yang kecil antara tingkat kemiskinan
awal dengan derajat besarnya dampak krisis, dimana terdapat beberapa daerah
yang relatif miskin yang ternyata tidak begitu terkena krisis, sementara terdapat
beberapa daerah lain yang lebih makmur ternyata mengalami dampak krisis yang
besar. Artinya, guncangan krisis ekonomi pada tahun 1997 diakui dampaknya
sangat besar akan tetapi tidak berlaku secara umum untuk beberapa wilayah.
38
Guncangan selanjutnya yang memengaruhi kemiskinan, yaitu adanya
kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Berdasarkan Peraturan Presiden
Nomor 55 Tahun 2005, harga premium naik menjadi Rp 4.500,- per liter yang
sebelumnya hanya Rp 2.400,- (naik 87,5 persen), harga solar menjadi Rp 4.300,per liter yang semula Rp 2.100,- (naik 104,76 persen) dan harga minyak tanah
menjadi Rp 2.000,- per liter yang semula Rp 700,- (naik 185,7 persen). Kenaikan
harga yang berlaku sejak 1 Oktober 2005 ini berdampak pada meningkatnya
harga bahan kebutuhan dasar atau lonjakan inflasi yang sangat tinggi yaitu sebesar
17 persen. Peningkatan laju inflasi yang sangat tinggi menyebabkan garis
kemiskinan pada tahun 2006 naik secara signifikan sehingga meningkatkan
jumlah penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan (RPJM 2004-2009 dan
Djunedi 2006).
Sirait (2003) menjelaskan bahwa kenaikan harga BBM membuat
masyarakat semakin terpuruk kondisi ekonominya, ditengah-tengah kenaikan
komoditas-komoditas kebutuhan hidup lain. Kenaikan BBM ini akan berdampak
langsung terhadap semakin tingginya biaya hidup yang ditanggung oleh
masyarakat lapisan rentan miskin, miskin, dan sangat miskin. Dampak yang
ditimbulkan akan sangat berpengaruh signifikan terhadap perubahan pola
kehidupan dan pola pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat Indonesia, ini
dikarenakan kenaikan tersebut tidak diikuti dengan kenaikan tingkat kesejahteraan
atau pendapatan. Perubahan pola perilaku kehidupan atau pemenuhan kebutuhan
dasar tersebut dapat berupa perilaku mengurangi kuantitas yang dikonsumsi dan
pengalihan alokasi konsumsi. Intinya, bahwa kenaikan BBM berdampak langsung
pada penurunan kualitas kehidupan masyarakat secara keseluruhan (kualitas
pemenuhan kebutuhan dasar, pendidikan, dan kesehatan) dan perubahan ini akan
merubah potret kemiskinan di Indonesia.
Peningkatan harga bahan kebutuhan dasar ini berdampak besar kepada
menurunnya daya beli masyarakat. Penurunan daya beli masyarakat berakibat
pada menurunnya permintaan terhadap barang dan jasa yang pada akhirnya
menurunkan pertumbuhan ekonomi (Mankiw 2007). Di samping itu, dampak dari
peningkatan inflasi lainnya adalah pertambahan jumlah penduduk miskin.
39
Menurut Sadli (2005) bahwa peningkatan
inflasi 1 persen berdampak pada
peningkatan 0,1 persen penduduk miskin.
Salah satu masalah yang sering dihadapi oleh penduduk miskin, adalah
rendahnya akses ke lembaga permodalan (bank). Sebagian besar penduduk miskin
bekerja pada sektor informal dengan usaha skala kecil dan mikro. Dalam
mengembangkan usahanya memerlukan pembiayaan yang besar, namun di sisi
lain mereka tidak memiliki akses ke lembaga permodalan karena terkendala
dengan persyaratan administrasi berupa agunan. Di samping itu, permodalan yang
bisa diakses melalui perbankan mengisyaratkan suku bunga yang tinggi. Oleh
karena itu, perlu dilakukan kebijakan mikro yang dapat meningkatkan pendapatan
melalui pembangunan modal fisik, manusia dan finansial. Muhammad Yunus
(2007) peraih hadiah nobel perdamaian tahun 2006, meyakini bahwa penyediaan
modal mikro bagi si miskin merupakan hak-hak asasi.
Wibisono (2008) menjelaskan salah satu jalan keluar untuk mengentaskan
kemiskinan adalah dengan kebijakan mikro melalui penyediaan modal finansial.
Efektivitas kebijakan kredit mikro dalam mengentaskan kemiskinan memerlukan
banyak kualifikasi. Pertama, adanya program peningkatan aset fisik dan modal
manusia secara simultan. Ini dikarenakan modal finansial saja tidak mencukupi
untuk membuat si miskin meningkatkan pendapatannya. Modal finansial
membutuhkan faktor produksi lain seperti modal fisik dan modal manusia agar
dapat menjadi produktif secara optimal. Karena itu, program technical assistance
dan reformasi aset finansial seharusnya berjalan beriringan dengan program kredit
mikro.
Kedua, adanya lingkungan makro yang kondusif seperti kebijakan moneter
dan perbankan yang berpihak atau setidaknya netral terhadap sektor riil, kebijakan
fiskal dan redistribusi yang berkeadilan, kebijakan perdagangan dan investasi
yang tidak memarginalkan kelompok miskin. Kebijakan mikro seperti mikro
kredit, bisa terhapus seketika oleh kebijakan makro yang tidak bersahabat, seperti
suku bunga yang tinggi dan pajak retribusi yang tinggi. Secara umum kredit mikro
di perbankan sangat mahal dengan suku bunga antara 15-20 persen per tahun.
40
Dalam tingkat suku bunga yang tinggi menyebabkan usaha mikro yang digeluti
oleh kaum miskin tidak mampu bersaing dengan usaha yang berskala besar.
Usaha mikro umumnya memiliki risiko usaha yang tinggi (risk premium).
Dalam sistem bunga, tingginya risiko usaha dikompensasi oleh suku bunga yang
lebih tinggi untuk mengantisipasi kegagalan pembayaran modal dan bunganya
(Wibisono 2008 dan Mankiw 2007). Hal ini mencipatakan lingkaran yang tidak
berujung, risiko tinggi membawa pada harga kredit yang tinggi, tetapi suku bunga
yang tinggi membawa pada peluang kegagalan mengembalikan kredit yang tinggi
pula. Dalam kondisi demikian, kreditor kredit mikro selalu ditempatkan pada
posisi yang lemah dan rentan sehingga melemahkan motivasi si miskin untuk
menjadi wirausahawan dan memperkecil peluang usahanya berhasil. Bahkan biasa
berakhir dengan jatuhnya ke dalam rimba kemiskinan yang paling dalam ketika
agunan yang serba terbatas harus dijual untuk menutupi hutang-hutang dari
kreditor tersebut.
Selanjutnya, guncangan lain yang sering mempengaruhi kemiskinan adalah
melalui kebijakan fiskal. Kebijakan fiskal merupakan instrumen kebijakan yang
dilakukan oleh Pemerintah melalui dua pendekatan yaitu belanja pemerintah
(government expenditure) dan pajak (taxation). Sebagaimana di ketahui bahwa
peningkatan belanja pemerintah berpengaruh pada output perekonomian. Mankiw
(2007) mencontohkan bahwa kenaikan satu satuan belanja pemerintah dapat
meningkatkan GDP sebesar 1,93. Artinya peningkatan Rp. 100 milyar dalam
belanja pemerintah meningkatkan GDP sebesar Rp. 193 milyar. Di sisi lain
kebijakan fiskal lainnya seperti peningkatan pajak berdampak pada penurunan
output perekonomian. Kenaikan satu satuan pajak berdampak pada penurunan
GDP atau PDRB sebesar (-1,19). Artinya, kenaikan pajak sebesar Rp. 100 milyar
menurunkan GDP atau PDRB sebesar Rp. 119 milyar.
Peningkatan pajak daerah atau retribusi bukan hanya berpengaruh pada
output perekonomian, akan tetapi secara langsung juga berpengaruh pada
menurunnya daya beli masyarakat. Dana yang siap untuk dibelanjakan semakin
berkurang yang pada akhirnya memengaruhi permintaan terhadap barang dan jasa.
Oleh karena itu, perlu dilakukan kebijakan fiskal yang berkeadilan dengan
41
melakukan pengenaan pajak yang proporsional berdasarkan garis kemiskinan dan
kedalaman kemiskinan (Smeru 2008).
2.5. Konsep dan Karakteristik Wilayah dan Kemiskinan
Dalam Undang-undang Nomor 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang,
definisi wilayah adalah ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta segenap
unsur terkait yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek administratif
dan/atau aspek fungsional. Isard (1975) menganggap pengertian suatu wilayah
pada dasarnya bukan sekedar areal dengan batas-batas tertentu, namun suatu area
yang memiliki arti (meaningful) karena adanya masalah-masalah yang ada di
dalamnya sedemikian rupa, sehingga ahli regional memiliki interest didalam
menangani permasalahan tersebut, khususnya karena menyangkut permasalahan
sosial-ekonomi.
Sedangkan Johnston dalam Stimson et al. (2006) memandang wilayah
sebagai bentuk istilah teknis klasifikasi spasial dan merekomendasikan dua tipe
wilayah: (1) wilayah formal, merupakan tempat-tempat yang memiliki kesamaankesamaan karakteristik, dan (2) wilayah fungsional atau nodal, merupakan konsep
wilayah dengan menekankan kesamaan keterkaitan antar komponen atau
lokasi/tempat. Murty (2000) mendefinisikan wilayah sebagai suatu area geografis,
teritorial atau tempat, yang berwujud sebagai suatu negara, negara bagian,
provinsi, distrik (kabupaten), dan perdesaan. Tapi suatu wilayah pada umumnya
tidak sekedar merujuk suatu tempat atau area, melainkan merupakan suatu
kesatuan ekonomi, politik, sosial, administrasi, iklim hingga geografis, sesuai
dengan tujuan pembangunan atau kajian. Dengan demikian, istilah wilayah
menekankan interaksi antara manusia dengan sumberdaya lainnya yang ada di
dalam suatu batasan unit geografis tertentu (Rustiadi et al. 2009).
Sedangkan BPS (2008) mengklasifikasikan desa dengan empat pendekatan
wilayah, yaitu hutan (di dalam dan tepi hutan), pesisir/pantai, lahan basah, lahan
kering, lahan campuran, dan berdasarkan topografi yaitu dataran rendah dan
dataran tinggi (pegunungan). Dengan demikian, dalam penelitian ini dimensi
wilayah di definisikan sebagai wilayah yang memiliki kesamaan-kesamaan
karakteristik dan fungsional, yaitu wilayah pesisir, dataran rendah, dan wilayah
42
pegunungan yang dibatasi dengan batas administrasi desa dan kelurahan.
Pengelompokan ini dilakukan untuk mempermudah dalam mengidentifikasi
fenomena kemiskinan berdasarkan wilayah dan sebagai alat untuk memprediksi
fenomena kemiskinan itu sendiri.
Permasalahan kemiskinan berdasarkan wilayah pada umumnya memiliki
ciri-ciri yang sama, yaitu tingkat pendapatan yang rendah, pendidikan rendah,
keterampilan terbatas, derajat kesehatan yang rendah, asset yang terbatas, serta
akses ke pelayanan publik terbatas. Namun secara spesifik, permasalahan
kemiskinan juga memiliki karakteristik dan penciri yang berbeda antara satu
lokasi atau wilayah. Pada wilayah pesisir dimana penduduknya mayoritas nelayan,
permasalahan kemiskinan lebih dipengaruhi oleh struktur alamiah sumberdaya
ekonomi dan fluktuasi penangkapan serta relasi tidak berimbang antara pelaku
ekonomi (Kusnadi 2002).
Sedangkan Sudarso (2004) menjelaskan bahwa yang memengaruhi sulitnya
mengangkat masyarakat nelayan yang miskin sangat dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal. Keterbatasan pendidikan, kurangnya kesempatan untuk
mengakses dan menguasai teknologi yang lebih modern, dan tidak dimilikinya
modal yang cukup adalah faktor-faktor internal yang menghambat. Di sisi lain,
sejumlah faktor eksternal, seperti makin terbatasnya potensi sumber daya laut
yang bisa dimanfaatkan nelayan, persaingan yang makin intensif, mekanisme
pasar, posisi tawar nelayan dihadapan tengkulak, keadaan infrastruktur pelabuhan
perikanan, dan yuridksi daerah otonomi adalah beban tambahan yang makin
memperparah keadaan.
Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa tekanan kemiskinan
struktural yang melanda kehidupan nelayan tradisional, sesungguhnya oleh faktorfaktor yang kompleks (Satria 2002; dan Suyanto 2003). Faktor-faktor tersebut
tidak hanya berkaitan dengan fluktuasi musim-musim ikan, keterbatasan
sumberdaya manusia, modal serta akses, jaringan perdagangan ikan yang
eksploitatif terhadap nelayan sebagai produsen, tetapi juga disebabkan oleh
dampak negatif modernisasi perikanan atau Revolusi Biru yang mendorong
terjadinya eksploitasi sumber daya laut secara berlebihan.
43
Rumah tangga miskin pada wilayah dataran rendah sebagian besar bekerja
sebagai petani dengan luas lahan yang sempit. Di samping itu, rumah tangga
miskin pada daerah dataran rendah mayoritas dengan tingkat pendidikan yang
rendah, derajat kesehatan yang rendah, terbatasnya kepemilikan aset (lahan), di
dominasi oleh lahan tadah hujan, akses ke sarana dan prasarana sosial ekonomi
terbatas, walaupun ketersediaan sarana dan prasarana sosial ekonomi lebih
tersedia dibanding pada daerah pegunungan atau dataran tinggi.
Kemiskinan pada daerah pegunungan atau dataran tinggi dengan kemiringan
yang curam, kondisi lahan yang berbatuan, tidak subur, tandus, sehingga rawan
erosi atau longsor memiliki harga atau nilai yang rendah sebagai sumberdaya
kehidupan (Harniati 2007). Selanjutnya, ketersediaan infrastruktur yang sangat
terbatas diperparah oleh kurangnya alternatif mata pencaharian, sehingga
produktivitas masyarakat rendah. Kondisi demikian berpengaruh pada rendahnya
investasi yang menjamin diversifikasi mata pencaharian yang berkelanjutan. Di
samping itu, wilayah pegunungan sebagian besar terisolasi, kurangnya
infrastruktur seperti listrik, telekomunikasi dan infrastruktur transportasi, sehingga
terjebak dalam perangkap kemiskinan spasial.
Dengan demikian, maka aktivitas ekonomi pada suatu wilayah dapat
dipengaruhi oleh antara lain faktor biofisik sumberdaya alam sebagai sumberdaya
utama kehidupan masyarakat, faktor sumberdaya manusia (human and social
capital), infrastruktur fisik dan sosial. Keragaman aktivitas ekonomi pada setiap
topografi wilayah berkaitan dengan perbedaan harga atau nilai sumberdaya yang
merupakan determinan untuk meraih peluang-peluang ekonomi (economic
opportunity). Aktivitas ekonomi ini pada akhirnya yang menentukan pendapatan
dan pengeluaran setiap rumah tangga (Rustiadi et al. 2009). Gambaran mengenai
karakteristik wilayah dan kemiskinan dapat dilihat pada Tabel 4 berikut.
44
Tabel 4. Karakteristik Wilayah dan Kemiskinan.
Karakteristik wilayah
Definisi*
Topografi**:
- ketinggian
- kemiringan
Tingkat
Pendidikan**
Kepemilikan aset**:
- Lahan (sawah &
lahan kering)
- Perahu
Mata Pencaharian**
Infrastruktur***;
- Jalan
- Listrik
- Telekomunikasi
- Air bersih
Akses ke pelayanan
umum
Wilayah Pesisir
Desa/kelurahan
yang berbatasan
dengan garis pantai
atau laut dengan
corak kehidupan
masyarakatnya baik
tergantung maupun
tidak tergantung
pada potensi laut
Wilayah Dataran
Rendah
Desa/Kelurahan
yang sebagian
besar wilayahnya
rata atau datar
dengan corak
masyarakatnya
tergantung pada
pertanian dan
peternakan
Wilayah Pegunungan
(Dataran Tinggi)
Desa/Kelurahan yang
sebagian besar
wilayahnya berbukit
sampai pegunungan
dengan corak
kehidupan
masyarakatnya baik
tergantung maupun
tidak tergantung pada
potensi hutan
0 sd 30 mdpl
0–3%
4-5 tahun
30 sd 500 mdpl
3 – 45 %
5-6 tahun
 500 mdpl
 45 %
< 4 tahun
-
< 0,5 Ha
< 0,5 Ha
- Perahu (kecil)
- Mesin PK kecil
- Jangkauan
terbatas
- Nelayan, buruh
nelayan
- Kurang variatif
-
-
- Petani
dan - Petani, buruh tani,
Buruh Tani
dan hasil hutan
- Relatif variatif
- Kurang variatif
-
-
Baik
Baik
Baik
Kurang baik
Relatif baik
Relatif Baik
Baik
Relatif Baik
Relatif baik
Relatif baik
-
Kurang baik
Terbatas
Terbatas
Kurang baik
Kurang baik
Sumber: Diolah dari beberapa sumber (*PP 72/2005; BPS 2005; ***Nanga 2006; **Harniati
2007)
Selanjutnya karakteristik sosial demografi rumah tangga miskin dapat
dijelaskan dari beberapa aspek seperti rata-rata jumlah anggota rumah tangga,
persentase wanita sebagai kepala rumah tangga, rata-rata usia kepala rumah
tangga, dan tingkat pendidikan kepala rumah tangga dapat dilihat pada Tabel 5
berikut (BPS 2008).
45
Tabel 5. Karakteristik Sosial Demografi Rumah Tangga Miskin dan Rumah
Tangga Tidak Miskin di Indonesia Menurut Wilayah, tahun 2008.
Karakteristik Rumah Tangga/Wilayah
Miskin Tidak Miskin
1. Rata-rata jumlah anggota rumah tangga (jiwa):
- Perkotaan (K)
- Perdesaan (D)
- Perkotaan + Perdesaan (K+D)
2. Persentase wanita sebagai kepala rumah tangga (%):
- Perkotaan (K)
- Perdesaan (D)
- Perkotaan + Perdesaan (K+D)
3. Rata-rata usia Kepala Rumah Tangga (tahun):
- Perkotaan (K)
- Perdesaan (D)
- Perkotaan + Perdesaan (K+D)
4. Rata-rata lama sekolah kepala rumah tangga (tahun) :
- Perkotaan (K)
- Perdesaan (D)
- Perkotaan + Perdesaan (K+D)
4,70
4,61
4,64
3,86
3,74
3,79
14,18
12,30
12,91
14,15
13,03
13,52
48,57
47,86
48,09
45,47
47,33
46,51
5,19
4,06
4,40
9,06
5,78
7,23
Sumber: Badan Pusat Statistik Indonesia, Jakarta (2008)
2.6. Kemiskinan Dari Perspektif Ilmu Sosial
Dari
perspektif
ekonomi,
Blank
(2003)
mengidentifikasi
enam
perspektif yang digunakan oleh ahli ekonomi dan pengambil kebijakan untuk
memahami kemiskinan. Perspektif tersebut, meliputi keterbelakangan ekonomi
(economic underdevelopment), modal manusia (human capital), kontradiksi di
dalam kapitalisme (contradiction in capitalism), penyebab struktural (structural
causes), karakteristik masyarakat miskin dan efek insentif dari program
kesejahteraan (characteristics of the poor and the incentive effect of welfare
programs), seperti digambarkan pada Gambar 5.
Dalam perspektif keterbelakangan ekonomi dan kurang berfungsinya pasar
secara efektif, menyebabkan kemiskinan di dunia ketiga. Dia menunjukkan bahwa
kemiskinan dapat dikurangi melalui ekspansi pasar ke daerah-daerah miskin,
termasuk ke daerah yang mengalami stagnasi ekonomi. Pengambil kebijakan
umumnya percaya bahwa pertumbuhan ekonomi dapat mengurangi tingkat
kemiskinan. Namun studi mengenai hubungan antara pertumbuhan ekonomi dan
tingkat kemiskinan di Amerika Serikat menunjukkan kecenderungan yang
berbeda. Jung et al. (2006) menyebutkan bahwa pertumbuhan ekonomi dan
tingkat kemiskinan menunjukkan hubungan negatif hingga tahun 1970-an.
46
Namun, mulai dari akhir tahun 1970-an hubungan antara pertumbuhan ekonomi
dan tingkat kemiskinan secara statistik menjadi tidak jelas. Jung menyimpulkan
bahwa pertumbuhan ekonomi dan kemiskinan memiliki hubungan tergantung
pada waktu dan tempat.
1. MACRO:
The economy is
underdeveloped
or inefficient.
LIBERAL AND
NEO LIBERAL
ECONOMICS
2. MICRO:
Poor people
lack skill and
ability.
5. MICRO:
Poor people
make choices.
CLASSICAL
ECONOMICS
THEORY OF
POVERTY
6. MICRO:
Social welfare
program causes
poverty.
3. MACRO:
Capitalism
causes poverty.
4. MACRO:
Social and political
forces causes poverty.
POLITICAL
ECONOMICS
Gambar 5. Peta konseptual dari teori-teori penyebab kemiskinan (Blank 2003).
Dalam
pengembangan
perspektif
modal
kedua,
manusia
dia
dimana
mengatakan
bahwa
individu-individu
kurangnya
tidak
dapat
berpartisipasi dan bekerja dalam dunia kerja. Dalam perspektif ketiga, dia
menyatakan bahwa pasar tidak berfungsi secara inheren dan dengan demikian
menciptakan kemiskinan. Perspektif keempat mengidentifikasi kekuatan-kekuatan
sosial dan politik yang terjadi diluar pasar, seperti sikap politik dan adanya
rasisme serta diskriminasi yang berkontribusi terhadap kemiskinan.
Perspektif kelima dikaitkan dengan karakteristik pilihan dan perilaku
individu, seperti perkawinan, ukuran keluarga, dan penyimpangan substansial.
Nilai-nilai tentang pekerjaan dan pendidikan yang mendasari perspektif ini
menunjukkan bahwa masalah kemiskinan adalah dikontrol oleh masyarakat
47
miskin itu sendiri dan karena itu dibutuhkan kebijakan dan program untuk
memengaruhi pilihan-pilihan melalui insentif dan pencegahan. Perspektif keenam
dan terakhir menunjukkan bahwa kemiskinan sebagaimana yang disebut sebagai
dependensi kesejahteraan atau perangkap kemiskinan. Blank, menyatakan bahwa
keenam perspektif kemiskinan itu merupakan perspektif teoritis ekonomi.
Dua perspektif yaitu keterbelakangan ekonomi dan kurangnya modal
manusia merupakan pendekatan umum dalam ekonomi liberal yang tokoh
utamanya adalah John Maynard Keynes, yang mempercayai bahwa pasar dapat
mendorong pembangunan ekonomi. Yang kedua adalah teori Marxian, yaitu
kapitalisme dan kekuatan sosial ekonomi dan politik penyebab kemiskinan.
Terakhir dari persepktif perilaku individu dan dependensi kesejahteraan sebagai
penyebab kemiskinan mencerminkan pandangan tradisional dari ekonomi klasik.
Para ekonom klasik menyatakan bahwa intervensi pemerintah untuk mengurangi
kemiskinan menciptakan perilaku buruk bagi masyarakat miskin dan harus
dihentikan.
Cheyne, O’Brien dan Belgrave (2000), mengemukakan bahwa ada dua teori
utama (grand theory) tentang kemiskinan, yaitu: (1) teori neo-liberal, dan (2) teori
sosial demokrat. Teori neo-liberal pada intinya mengatakan bahwa komponen
penting dari sebuah masyarakat adalah kebebasan individu. Menurut Sherraden
(2006) teori tersebut memfokuskan diri pada tingkah laku individu yang
merupakan teori tentang pilihan, harapan, sikap, motivasi dan modal manusia
(human capital). Para pendukung teori neo-liberal berargumen bahwa, kemiskinan
merupakan persoalan individu yang disebabkan kelemahan-kelemahan individu
atau pilihan-pilihan individu yang bersangkutan. Kemiskinan akan hilang dengan
sendirinya jika kekuatan-kekuatan pasar diperluas sebesar-besarnya dan
pertumbuhan ekonomi dipacu setinggi-tingginya. Strategi penanggulangan
kemiskinan bersifat “residual”, sementara, dan hanya melibatkan keluarga,
kelompok-kelompok swadaya atau lembaga keagamaan.
Sebaliknya,
teori
sosial
demokrat
memandang bahwa kemiskinan
bukanlah persoalan individual, melainkan struktural. Kemiskinan disebabkan oleh
adanya
ketidakadilan
dan
ketimpangan
dalam
masyarakat
akibat
48
tersumbatnya akses-akses kelompok tertentu terhadap berbagai sumber-sumber
kemasyarakatan. Meskipun tidak setuju sepenuhnya terhadap sistem pasar bebas,
kaum sosial demokrat tidak memandang sistem ekonomi kapitalis sebagai sesuatu
yang jahat. Kapitalis masih dipandang sebagai bentuk pengorganisasian ekonomi
yang paling efektif. Kapitalisme perlu dilengkapi dengan sistem negara
kesejahteraan agar lebih berwajah manusiawi. Perbedaan antara kedua teori
tersebut disajikan dalam Tabel 6 berikut.
Tabel 6. Deskripsi Teori Umum tentang Kemiskinan
Teori Utama
Landasan teoritis
Konsepsi kemiskinan
Prinsip
Teori Neo-Liberal
Individual
Kemiskinan absolute
 Residual
 Dukungan saling
menguntungkan
Penyebab Kemiskinan
 Kelemahan dan pilihanpilihan individu
 Lemahnya pengaturan
pendapatan
 Lemahnya kepribadian
(malas, pasrah, bodoh)
 Penyaluran pendapatan
terhadap orang miskin
secara selektif
 Memberikan pelatihan dan
keterampilan pengelolaan
keuangan
Strategi penaggulangan
kemiskinan
Teori Sosial Demokrat
Struktural
Kemiskinan relative
 Institusional
 Redistribusi pendapatan
vertikal dan horizontal
 Aksi kolektif
 Ketimpangan struktural dan
politik
 Ketidakadilan sosial
 Penyaluran pendapatan dasar
secara universal
 Perubahan fundamental dalam
pola-pola pendistribusian
pendapatan melalui intervensi
negara.
Sumber : Cheyne, O’Brien dan Belgrave (2000).
2.7. Perangkap Kemiskinan (Poverty Trap).
Berbagai pandangan yang terkait dengan jebakan kemiskinan telah menjadi
pandangan umum bagi pengambil kebijakan namun sampai saat ini belum terlihat
formula mempuni yang dapat mengeluarkan penduduk miskin dari jebakan
kemiskinan tersebut. Lingkaran setan kemiskinan salah satunya sebagaimana yang
telah diungkap oleh Nurkse (1953) dalam Rustiadi et al. (2009) yang dikenal
sebagai “The Vicious Circle” secara skematik dapat dilihat pada gambar 3.
Di sektor masyarakat tradisional banyak sekali sumberdaya alam yang
belum terkelola dan dikembangkan secara optimal (1) sebagai akibat masih
terkebelakangnya masyarakat tersebut; (2) dan kurangnya modal untuk
mengelola sumberdaya tersebut; (3) Kenyataan ini menyebabkan tingkat
49
produktivitas di sektor tersebut sangat rendah yang berimplikasi terhadap
tingkat pendapatan yang rendah; (4) pada kondisi tingkat pendapatan yang rendah
tersebut; (5) selain kemampuan menabung yang rendah; (6) juga tingkat
permintaannya rendah. Karena tingkat permintaan yang rendah tidak mampu
mendukung terhadap perkembangan ekonomi wilayah, sehingga tidak menarik
bagi investor untuk menanamkan modalnya atau investasi rendah; (7) Akhirnya
jumlah modal yang terbentuk; dan (8) di wilayah tersebut masih tetap di bawah
yang dibutuhkan untuk memutuskan lingkaran perangkap kemiskinan tersebut.
Kekayaan alam yang kurang
dikembangkan (1)
Masyarakat masih terkebelakang
(2)
Kurangnya Modal (3)
Pembentukan Modal
Rendah (8)
Rangsangan Investasi
Rendah (7)
Tabungan Rendah (6)
Produktivitas Rendah
(4)
Pendapatan Riil
Rendah (5)
Gambar 6. Lingkaran Perangkap Kemiskinan (Nurkse 1953 dalam Rustiadi et al. (2009)
Berbeda dengan Daimon (2001) yang menjelaskan bahwa tidak ada daerah
yang miskin, akan tetapi yang ada hanya orang miskin, yang secara geografis
terkonsentrasi di lokasi tertentu. Masalahnya adalah keberadaan pada lingkaran
kemiskinan yang terkunci di suatu lokasi, kemiskinan tidak ditempatkan secara
acak atas ruang tetapi berpola secara sistematis. Fenomena ini yang disebut
sebagai perangkap kemiskinan spasial “spatial trap poverty”, yang menjelaskan
hubungan struktural antara ruang geografis dan akibat kemiskinan. Perangkap
kemiskinan spasial terjadi dimana situasi kemiskinan disebabkan lokasi tertentu
dimana faktor biaya mobilitas yang cukup tinggi. Perangkap kemiskinan spasial
biasanya dicirikan oleh kurangnya transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur
50
yang menjadikan mobilitas tenaga kerja mahal. Tradisi masyarakat lokal,
hambatan budaya dan agama (misalnya sistim kasta di India) akan menambah
biaya substansial non-ekonomi. Jenis hambatan kelembagaan di negara-negara
berkembang juga membuat biaya mobilitas tenaga kerja yang tinggi.
Sedangkan Barret (2007), menjelaskan bahwa perangkap kemiskinan
disebabkan oleh beberapa kasus, seperti ketidaksempurnaan pasar (market
imperfection),
pengetahuan
yang
tidak
keterbatasan
rasionalitas
(bounded
(coordination
failures),
kelembagaan
sempurna
rationality),
tidak
(imperfect
kegagalan
berfungsi
secara
learning),
koordinasi
ekonomi
(economically dysfunctional institutions) pada tingkat ruang dan waktu yang
berbeda.
2.8. Kebijakan dan Program Penanggulangan Kemiskinan di Indonesia.
Tujuan utama penanggulangan kemiskinan adalah membebaskan dan
melindungi masyarakat dari kemiskinan dalam arti luas, jadi bukan hanya
mencakup upaya mengatasi ketidakmampuan untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya, tetapi juga sejauh mana masyarakat miskin atau kelompok miskin
mempunyai akses terhadap berbagai aspek kebutuhan dasar lainnya, seperti
kesehatan, pendidikan, dan partisipasi dalam kehidupan ekonomi, sosial, budaya
dan politik secara penuh.
Untuk mengatasi problema kemiskinan dirumuskan lima strategi utama,
yaitu (1) Strategi Perluasan Kesempatan. Strategi ini ditujukan untuk
menciptakan kondisi dan lingkungan ekonomi, politik, dan sosial yang
memungkinkan masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan dapat
memperoleh kesempatan seluas-luasnya dalam pemenuhan hak-hak dasar dan
peningkatan taraf hidup secara berkelanjutan; (2) Strategi Pemberdayaan
Masyarakat. Strategi ini dilakukan untuk memperkuat kelembagaan sosial,
politik, ekonomi, dan budaya masyarakat, dan memperluas partisipasi
masyarakat miskin baik laki-laki maupun perempuan dalam pengambilan
keputusan kebijakan publik yang menjamin penghormatan, perlindungan dan
pemenuhan hak-hak dasar; (3) Strategi Peningkatan Kapasitas. Dilakukan
untuk
mengembangkan
kemampuan
dasar
dan
kemampuan
berusaha
51
masyarakat
miskin
baik
laki-laki
maupun
perempuan
agar
dapat
memanfaatkan perkembangan lingkungan; (4) Strategi Perlindungan Sosial.
Dilakukan untuk memberikan perlindungan dan rasa aman bagi kelompok rentan
(perempuan kepala rumah tangga, fakir miskin, orang jompo, anak terlantar,
kemampuan berbeda/penyandang cacat) dan masyarakat miskin baru baik lakilaki maupun perempuan yang disebabkan antara lain oleh bencana alam, dampak
negatif krisis ekonomi, dan konflik sosial; dan (5) Strategi Kemitraan Global.
Dilakukan untuk mengembangkan dan menata ulang hubungan dan kerjasama
global, regional, nasional, dan internasional guna mendukung pelaksanaan ke
empat strategi di atas (TKPK 2006).
Selama 30 tahun terakhir, pemerintah Indonesia telah melakukan
berbagai
upaya
penanggulangan
kemiskinan,
baik
melalui
pendekatan
sektoral, regional, kelembagaan, maupun strategi dan kebijakan khusus. Pada era
Orde
Baru
pemerintah
misalnya,
pembangunan
saat
sehingga
itu,
ekonomi
merupakan
program-program
dan
fokus
utama
strategi
yang
dilaksanakan tidak dinyatakan secara resmi untuk tujuan penanggulangan
kemiskinan, melainkan hanya diletakkan dalam kerangka pembangunan
nasional melalui pendekatan sektoral (Pelita).
Baru
pada
1994-1998
diperkenalkan
secara
eksplisit
program
penanggulangan kemiskinan melalui pendekatan regional, yaitu IDT (Instruksi
Presiden tentang Desa Tertinggal). Dalam pelaksanaannya, IDT didampingi oleh
P3DT (Program Pengembangan Prasarana Desa Tertinggal) yang didanai oleh
berbagai
dana
internasional.
Pada 2001,
P3DT diubah menjadi
P2D
(Pengembangan Prasarana Desa).
Pada saat krisis ekonomi, pemerintah Indonesia merancang program
penanggulangan kemiskinan di bawah payung Program JPS (Jaring Pengaman
Sosial), di antaranya untuk bidang pendidikan dan kesehatan, yang diikuti dengan
program lainnya, baik dari LSM lokal maupun lembaga keuangan internasional.
Beberapa di antaranya masih berlangsung sampai sekarang, walaupun telah
beberapa kali mengalami perubahan nama dan orientasi kegiatan. Salah satu
contohnya adalah OPK (Operasi Pasar Khusus), bantuan pangan yang
52
dilaksanakan sejak 1998 sebagai bagian dari Program JPS dalam rangka
meminimalisasi dampak krisis ekonomi. Pada 2001, dengan tujuan untuk
mempertajam penetapan sasaran, program ini berubah nama menjadi Program
Raskin (Beras untuk Keluarga Miskin). Berbagai evaluasi dan studi terhadap
program OPK dan Raskin menunjukkan kelemahan program tersebut, terutama
dalam penetapan sasaran.
Program
Subsidi
Langsung
Tunai
(SLT)
merupakan
program
kompensasi kenaikan harga BBM kepada rumah tangga miskin yang
diluncurkan pemerintah pada kuartal terakhir 2005. Melalui kantor-kantor
cabang PT Pos Indonesia, setiap rumah tangga miskin menerima Rp.100.000 per
bulan yang dibayarkan setiap tiga bulan sekali. Kemudian digantti nama menjadi
Bantuan Langsung Tunai yang dilaksanakan sampai sekarang.
Program P4K (Pembinaan Peningkatan Pendapatan Petani-Nelayan Kecil)
yang merupakan kerja sama antara Departemen Pertanian dengan Bank Rakyat
Indonesia (BRI). Indikator keberhasilan yang ditetapkan untuk Program P4K
adalah tumbuh dan berkembangnya KPK (kelompok petani-nelayan kecil)
menjadi kelompok mandiri yang ditandai dengan pengurus dan anggota yang
aktif, dana bersama yang terus berkembang, dan terintegrasinya Program P4K ke
dalam program pembangunan daerah. Namun demikian, dari dokumen-dokumen
yang ada, baik dalam petunjuk pelaksanaan maupun hasil pemantauan dan
evaluasi yang dilakukan oleh pihak internal dan eksternal, tidak ditemukan adanya
pedoman mengenai bagaimana indikator-indikator keberhasilan tersebut bisa
tercapai dan bagaimana strategi pengakhiran program.
Dalam beberapa dokumen disebutkan bahwa salah satu penggerak utama
program
ini
adalah
para
PPL
(petugas
penyuluh
lapangan),
yang
bertugas mendampingi KPK dalam mengembangkan usaha mereka dan
sekaligus membantu mengelola uang hasil pinjaman. Dengan berakhirnya
program, maka tidak ada lagi insentif yang akan diterima PPL terutama dalam
penetapan sasaran.
PPK
(Program
Pengembangan
Kecamatan)
dan
P2KP
(Program
Penanggulangan Kemiskinan di Perkotaan) adalah program penanggulangan
53
kemiskinan berbasis masyarakat yang merupakan kerja sama Pemerintah
Indonesia dan Bank Dunia, dan diluncurkan pada kurun waktu 1998-1999 dengan
tujuan untuk mengembangkan dan meningkatkan sarana perkotaan (P2KP) dan
pedesaan (PPK).
PPK dan P2KP terdiri dari beberapa fase dan pada fase terakhir tercakup di
dalamnya strategi pengakhiran. Pada program PPK, tujuan strategi pengakhiran
adalah terjadinya alih kelola program kepada masyarakat dan pemerintah daerah
agar prinsip, tujuan, dan sistem PPK dapat melembaga sebagai suatu sistem
pembangunan partisipatif di desa dan kecamatan (PPK 2006). Sementara itu, pada
P2KP, strategi pengakhiran dilakukan pada fase terminasi yang bertujuan untuk
menjamin agar indikator keberlanjutan P2KP dapat tercapai. Langkah-langkah
penyiapan yang dilakukan pada fase ini di antaranya: evaluasi partisipatif P2KP di
tingkat kelurahan, penguatan kembali lembaga lokal, perluasan program oleh
masyarakat, dan mengintegrasikan P2KP dengan program lainnya (P2KP, 2005).
Namun, rencana strategi pengakhiran kedua program ini menjadi pertanyaan
karena pada 2007, seiring dengan pengembangan kebijakan payung (umbrella
policy) untuk program-program pemberdayaan masyarakat, PPK dan P2KP
diintegrasikan di bawah payung PNPM (Program Nasional Pemberdayaan
Masyarakat) dan direvisi menjadi PNPM Mandiri dan diimplementasikan sampai
sekarang.
Semua program pengentasan kemiskinan yang diuaraikan di atas di rancang
dan di desain oleh pemerintah pusat tanpa melibatkan pemerintah daerah,
walaupun dalam pelaksanaannya beberapa program telah melibatkan pemerintah
daerah dan masyarakat lokal. Permasalahan yang muncul seringkali dalam
implementasi program tidak terjadi sinkronisasi dan terjadi pemahaman yang
parsial antara semua level baik di birokrasi maupun dalam level masyarakat.
Tidak menyatunya dan lemahnya komitmen antara pemerintah di semua level
berdampak pada banyaknya program yang diimplementasikan hanya berorientasi
proyek, ketika akhir anggaran berakhir maka selesai pula program tersebut. Hal
ini diperparah karena tidak adanya strategi pengalihan program antara pemerintah
pusat dan daerah serta kepada masyarakat sebagai sasaran kegiatan. Akhirnya,
54
yang terjadi adalah banyaknya program pengentasan kemiskinan tidak mampu
menurunkan atau mereduksi jumlah penduduk miskin secara permanen dan
bahkan diindikasikan justru menimbulkan budaya malas dan ketergantungan
masyarakat terhadap pemerintah yang semakin meningkat.
Mengacu pada program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan
nasional,
pemerintah
daerah
Kabupaten
Barru
mempertegas
komitmen
penanggulangan kemiskinan melalui Strategi Penanggulangan Kemiskinan
Daerah (SPKD) tahun 2003-2008 berdasarkan Surat Keputusan Bupati Barru
Nomor 11 Tahun 2003. SPKD ini merupakan payung hukum penanggulangan
kemiskinan di Kabupaten Barru dengan sasaran yang ingin dicapai yaitu
menurunkan jumlah penduduk miskin sebesar 60% dari 11.864 KK pada tahun
2003 menjadi 7.118 KK pada tahun 2008.
Pada tahun yang sama di bawah Komite Penanggulangan Kemiskinan
Kabupaten
Barru
melakukan
kajian
berdasarkan
pengalaman
empiris
implementasi program dan kebijakan penanggulangan kemiskinan. Hal ini
dilakukan mengingat upaya penanggulangan kemiskinan yang dilakukan selama
ini pada umumnya berorientasi terhadap permasalahan ekonomi, bersifat parsial,
sektoral dan tidak terintegrasi. Hasilnya, secara absolut memang terjadi penurunan
angka kemiskinan, tetapi hal itu tidak tahan terhadap berbagai kerentanan baik
yang berdimensi ekonomi, sosial, sumberdaya alam maupun politik yang terjadi
disekitarnya. Hal ini terbukti oleh masih tingginya jumlah penduduk miskin dan
menunjukkan kecenderungan yang berfluktuasi terutama setelah terjadinya krisis
ekonomi pada tahun 1997/1998.
Menyadari akan kondisi dan kejadian yang tercipta pada berbagai upaya
penanggulangan kemiskinan tersebut dan sekaligus menghindari replikasi
kelemahan dan kekurangan yang terjadi, maka pada tataran Pemerintah Daerah
Kabupaten Barru, dilakukan upaya khusus dengan mengangkat isu kemiksinan
sebagai “arus utama” tujuan dan sasaran pembangunan yang akan dicapai dalam
proses mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Upaya khusus tersebut dikemas
dalam bentuk “Pilot Proyek Penanggulangan Kemiskinan Terpadu dan
Terintegrasi atau disingkat dengan PIK-PAKET”.
55
Prinsip-prinsip yang dianut dalam pelaksanaan PIK-PAKET tersebut, adalah
transparansi, partisipasi, akuntabilitas, keberlanjutan, dan kolaborasi. Prinsip
transparansi mengisyaratkan bahwa serangkaian proses manajemen kegiatan dan
organisasi yang dilakukan oleh unit pengelola kegiatan dapat dilakukan dengan
jelas, terbuka dan mudah diketahui oleh semua pihak yang terkait, khususnya
masyarakat termasuk kemudahan cara untuk mengakses dan mengetahuinya.
Prinsip partisipasi, mengisyaratkan bahwa setiap langkah kegiatan PIK-PAKET
harus dilakukan secara partisipatif sehingga mampu membangun rasa memiliki
dan proses belajar dan bekerja bersama dari para pihak. Partisipasi dibangunan
dengan penekanan bahwa partisipasi dimulai dari tahap identifikasi masalah,
identifikasi potensi, identifikasi peluang, perencanaan kegiatan, pengorganisasian,
pemupukan sumberdaya, pelaksanaan kegiatan hingga tahap monitoring dan
evaluasi serta keberlanjutan hasil.
Prinsip akuntabilitas, mengandung isyarat bahwa setiap bentuk kegiatan
yang dilakukan harus jelas siapa yang bertanggung jawab tentang apa, dan kepada
siapa serta bagaimana caranya dan kapan dilakukan. Selanjutnya, prinsip
keberlanjutan mengisyaratkan bahwa segala bentuk kegiatan yang dilakukan
haruslah selalu mempromosikan dan menumbuhkan peluang pemindahan
kemampuan dan kekuasaan pengelolaan kegiatan kepada masyarakat miskin
sehingga segala bentuk ketergantungan masyarakat miskin terhadap sumberdaya
dari luar sedapat mungkin dielaminir baik dari segi jumlah maupun dari segi
rentang waktu. Terakhir, prinsip kolaborasi mengisyaratkan bahwa setiap tahap
pelaksanaan haruslah dilakukan dengan melibatkan pihak terkait dalam suatu
bentuk kerja sama yang melembaga sehingga dapat menciptakan sinkronisasi
energi dalam mencapai keluaran dan hasil pada tiap tahapan kegiatan.
Organisasi pengelolaan dilakukan dengan jelas dan tegas termasuk dalam
pengaturan tata peran tiap pelaku pada semua level dari tingkat kabupaten sampai
pada tingkat kelompok masyarakat miskin (POKMAS). Dalam pelaksanaan di
lapangan dilakukan dengan pendekatan partisipatif “Partisipatory Rural
Appraisal/PRA”, dengan memberi ruang gerak sebesar-besarnya kepada
masyarakat miskin dalam pengambilan keputusan. Namun, dalam perjalanannya
56
pelaksanaan PIK-PAKET mengalami hambatan dan kendala terutama dalam
mengorganisir instansi teknis terkait dalam memberdayakan anggota kelompok
masyarakat miskin, termasuk dalam komitmen pembiayaan dan belum
berjalannya kolaborasi antar semua stakeholder dalam semua proses pelaksanaan
program tersebut.
2.9. Tinjauan Studi Terdahulu tentang Kemiskinan
Upaya untuk memahami tentang faktor-faktor yang memengaruhi dan
menyebabkan kemiskinan dapat dilakukan melalui beberapa penelitian empirik
yang dilakukan oleh beberapa ahli dan peneliti. Beberapa hasil penelitian tersebut
dapat dijadikan sebagai rujukan untuk mempertegas dasar-dasar pemahaman
tentang fenomena kemiskinan, baik yang dilakukan pada beberapa negara maupun
yang dilakukan di Indonesia sendiri. Beberapa hasil studi yang dilakukan pada
beberapa negara dapat diuraikan pada bagian berikut.
Kesatu, Studi oleh Ravallion (2001) dengan menggunakan data 50 negara
sedang berkembang dalam tahun 1990-an, menemukan bahwa (1) terdapat
hubungan yang negatif antara pertumbuhan pendapatan rata-rata dengan
kemiskinan dengan koefisien elastisitas sebesar -2,5; (2) tidak terdapat hubungan
yang sistematis diantara pertumbuhan ekonomi dengan ketimpangan pendapatan;
(3) pertumbuhan ekonomi akan memiliki dampak mengurangi kemiskinan yang
kuat jika tingkat ketimpangan awal pendapatan rendah; dan (4) terdapat tanda
konvergen di dalam ketimpangan pendapatan antar negara di dunia.
Kedua, studi yang dilakukan Adams (2004) yang mencoba mengestimasi
hubungan antara pertumbuhan di dalam pendapatan rata-rata dan ketiga ukuran
kemiskina yaitu poverty incidence, poverty gap, dan squared poverty gap. Sampel
dalam studi ini terdiri dari 50 negara-negara sedang berkembang. Dalam
penelitian ini ditemukan bahwa koefisien parameter dengan regresi kemiskinan
terhadap pertumbuhan pendapatan rata-rata memiliki tanda yang negatif sesuai
dengan yang diharapkan dan secara statistik signifikan. Koefisien elastisitas
dengan menggunakan pendapatan rata-rata $1 AS/hari sebagai ukuran tingkat
kemiskinan, adalah sebesar -5,75 kalau negara-negara Asia Tengah dan Eropa
Timur dimasukkan sebagai sampel, dan sebesar -2,59 tanpa negara-negara Asia
57
Tengah dan Eropa Timur. Sedangkan koefisien elastisitas untuk poverty gap dan
squared poverty gap terhadap mean income, masing-masing adalah sebesar 3,04
dan 3,39, jauh lebih besar dibandingkan dengan 2,59 yang menunjukkan bahwa
ukuran poverty gap atau squared poverty gap lebih sensitif atau elastis terhadap
pertumbuhan ekonomi (pertumbuhan pendapatan rata-rata). Adams mengatakan
bahwa ketika ia menggunakan GDP per kapita, hasilnya tidak jelas dan juga tidak
berpengaruh nyata secara statistik. Selain itu, diungkapkan bahwa negara-negara
dengan tingkat ketimpangan pendapatan mula-mula yang rendah mengalami
penurunan kemiskinan yang jauh lebih besar daripada negara-negara yang
memiliki tingkat ketimpangan awal yang tinggi.
Ketiga, studi oleh Dagderivan et al. (2002) dengan menggunakan data 50
negara sedang berkembang selama kurun waktu 1980-an-1990-an, menyimpulkan
bahwa (1) pertumbuhan ekonomi saja tidak selalu merupakan cara terbaik untuk
mengurangi kemiskinan; (2) suatu kombinasi pertumbuhan ekonomi dan
redistribusi pendapatan merupakan cara yang paling efektif (the most effective
way) untuk mengurangi kemiskinan di banyak negara; dan (3) dikatakan bahwa
tidak semua kebijakan redistribusi efektifnya sama untuk setiap negara
berkembang.
Keempat, studi yang dilakukan oleh Tsangarides et al. (2004) yang meneliti
determinan dan tingkat kemiskinan untuk negara-negara Afrika dan negara-negara
anggota OECD dengan menggunakan data untuk periode 1960-1999. Studi ini
menemukan beberapa hal (1) tingkat inflasi yang rendah dan pertumbuhan
penduduk yang rendah memiliki dampak yang kuat terhadap penurunan
kemiskinan; (2) faktor sumberdaya alam, capaian pendidikan, guncangan term of
trade, memiliki dampak yang relatif lemah terhadap kemiskinan; (3) keterbukaan
perdagangan, tingkat investasi, tingkat demokrasi, dan harapan hidup memiliki
pengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi secara menyeluruh, tetapi tidak
berpengaruh langsung terhadap pendapatan kaum miskin; dan (4) kebijakan yang
mampu menurunkan tingkat inflasi, mengurangi government size, mengurangi
defisit anggaran, meningkatkan kedalaman sektor keuangan (deepen the financial
58
sector), dan meningkatkan pendidikan (educational attainment) merupakan jenis
kebijakan yang sangat memihak kaum miskin (super-pro poor policies).
Kelima, Studi yang dilakukan oleh Fan et al. (2005). Dalam studinya
mengenai dinamika kemiskinan desa-kota yang dilakukan di Cina dan India dia
menggunakan
pendekatan
ekonometrika
(persamaan
regresi).
Studi
ini
menemukan bahwa dinamika hubungan antara sektor perdesaan dan perkotaan di
negara-negara berkembang masih dicirikan oleh dualisme ekonomi, dengan kata
lain koeksistensi sektor modern di perkotaan dan sektor tradisional di perdesaan.
Hipotesis yang dibangun adalah dengan mengurangi atau memperbaiki urban bias
akan menghasilkan tingkat pertumbuhan yang lebih besar di sektor perdesaan, dan
upaya penanggulangan kemiskinan pada kedua daerah sebagai hasil yang lebih
dari keterkaitan desa-kota.
Di Cina, hasil yang diperoleh bahwa pertumbuhan sektor pertanian
berkontribusi terhadap pengentasan kemiskinan baik di perdesaan maupun di
perkotaan. Namun, efek terhadap kemiskinan di perdesaan lebih besar dibanding
di perkotaan. Di sisi lain kontribusi pertumbuhan sektor perkotaan hanya
berpengaruh pada penanggulangan kemiskinan di perkotaan dan berpengaruh
negatif dan siginifikan pada kemiskinan perdesaan.
Sedangkan di India, menunjukkan bahwa pertumbuhan sektor perdesaan
berpengaruh pada penanggulangan kemiskinan di perdesaan serta secara nyata
terhadap penanggulangan kemiskinan di perkotaan. Di sisi lain, pertumbuhan
sektor perkotaan berpengaruh kuat pada penanggulangan kemiskinan perkotaan,
namun pengaruhnya tidak nyata terhadap penanggulangan kemiskinan di
perdesaan. Hasil analisis ekonometrika dari studi ini menunjukkan bahwa
pertumbuhan sektor pertanian memiliki dampak yang signifikan pada kemiskinan
perdesaan dan sama dengan kasus di Cina juga berpengaruh pada kemiskinan
perkotaan. Karena itu, dia menyarankan agar kebijakan untuk meningkatkan
pertumbuhan di sektor pertanian dan mempromosikan keterkaitan desa-kota yang
lebih baik memiliki potensi besar dalam mengurangi kemiskinan.
Di samping itu, juga ditemukan bahwa rasio atau keuntungan pembangunan
jalan desa memiliki manfaat empat kali lebih besar daripada jalan perkotaan
59
terhadap pertumbuhan PDB nasional. Selanjutnya dikatakan bahwa setiap Yuan
yang diinvestaikan di perdesaan jauh lebih berpengaruh terhadap kemiskinan di
perdesaan dan perkotaan. Salah satu dampak langsung dari pertumbuhan sektor
perdesaan terhadap kemiskinan perkotaan adalah penurunan harga makanan,
penurunan harga makanan secara proporsional lebih menguntungkan miskin
perkotaan daripada miskin perdesaan. Seperti yang digambarkan oleh Fan, Fang,
dan Zhang (2002) dan Fan et al. (2005) bahwa peningkatan penelitian dan
pengembangan (R&D) di sektor pertanian berdampak pada peningkatan produksi
pangan, yang menjadi salah satu alasan dibalik pengurangan kemiskinan di daerah
perkotaan baik di India maupun di Cina. Penelitian tanpa pertanian, maka harga
pangan akan meningkat yang berdampak pada meningkatnya kemiskinan di
perkotaan.
Keenam, studi oleh Braun (2007) dalam penelitiannya tentang keterkaitan
desa-kota untuk pertumbuhan, ketenagakerjaan dan penanggulangan kemiskinan,
menemukan bahwa untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pembukaan
lapangan kerja dan penanggulangan kemiskinan dapat dilakukan dengan
meningkatkan kualitas keterkaitan antara perdesaan dan perkotaan. Peningkatan
kualitas keterkaitan desa-kota dapat dilakukan dengan meningkatkan kualitas
infrastruktur sebagai jembatan yang menghubungkan antara desa-kota sehingga
perdagangan dapat terjadi secara efisien. Agar tidak terjadi eksploitasi sektor
perkotaan terhadap perdesaan maka harus didukung kelembagaan pasar untuk
menghindari terjadinya kegagalan pasar (market failure) dan menekan terjadinya
informasi asimetris antara permintaan dan penawaran (supply and demand) atau
antara desa-kota. Kelembagaan pasar lebih fokus pada penguatan kapasitas petanipetani kecil untuk mengintegrasikan produsen dan konsumen dengan kesepakatan
yang menguntungkan kedua belah pihak dalam bentuk kontrak. Dengan adanya
perjanjian yang saling menguntungkan dapat meningkatkan pendapatan rumah
tangga miskin di perdesaan dengan membantu mengurangi biaya transaksi dan
variabilitas harga produk pertanian. Di samping itu, yang tak kalah pentingnya
adalah menciptakan akses yang lebih baik ke sumber permodalan, informasi dan
teknologi pertanian yang aplikabel.
60
Memfasilitasi kebijakan diversifikasi transformasi ekonomi perdesaan,
sehingga meningkatkan diversifikasi kegiatan usaha diluar sektor pertanian di
perdesaan. Hal ini penting untuk penduduk perdesaan yang tidak memiliki lahan
dan terbatas. Pertumbuhan sektor non-pertanian di perdesaan merupakan
kontributor penting dalam pertumbuhan ekonomi dan pengentasan kemiskinan.
Di samping itu, kajian ini juga menemukan bahwa perlu mendorong
pengembangan kota-kota kecil dan menengah untuk menghindari terjadinya
urbanisasi yang massif. Kota kecil dan menengah dapat memainkan peranan
sebagai titik kontinum perdesaan dan perkotaan dan menjadi determinasi dalam
pembagian keuntungan antara perdesaan dan perkotaan melalui penyediaan
barang konsumsi, produksi dan pola kerja berbagai jenis kegiatan sosial dan
ekonomi.
Di Indonesia sendiri, penelitian yang mengkaji faktor-faktor yang
memengaruhi kemiskinan telah banyak dilakukan para ahli. Kesatu, adalah studi
yang dilakukan oleh Bidani dan Ravallion (1993). Hasil estimasi yang dilakukan
dengan menggunakan metode kuadrat terkecil (Ordinary Least Square/OLS)
maupun metode instrumental variable membuktikan bahwa; (1) pengeluaran
konsumsi rata-rata sebagai persentase terhadap garis kemiskinan (poverty line)
dan indeks gini ternyata memiliki pengaruh nyata terhadap berbagai ukuran
kemiskinan headcount poverty (Po), poverty gap ratio (P1 ), dan squared poverty
gap (P2) dengan arah pengaruh yang negatif dan positif; dan (2) pengeluaran
konsumsi rata-rata juga memiliki pengaruh nyata secara statistik terhadap indeks
gini provinsi di Indonesia dengan tanda positif, yang menunjukkan bahwa
hubungan U-terbalik sebagaimana yang dihipotesiskan oleh Kuznets tidak berlaku
di Indonesia.
Kedua, adalah studi yang dilakukan Booth (2000) yang menemukan bahwa
produktivitas pertanian per hektar dan luas pemilikian lahan merupakan
determinan yang signifikan dari variasi di dalam kemiskinan di daerah perdesaan
(rural poverty) di berbagai provinsi di Indonesia. Di dalam kaitan ini, dikatakan
bahwa penekanan lebih lanjut pada pembangunan pertanian dan perdesaan
merupakan hal yang penting apabila diinginkan terjadi pengurangan kemiskinan
61
di Indonesia. Namun, program-program pembangunan perdesaan hendaknya
bukan hanya difokuskan pada tanaman (crop-focused) seperti yang terjadi di masa
lalu, tetapi lebih difokuskan pada kebutuhan-kebutuhan spesifik dari penduduk
miskin di daerah-daerah miskin (poor regions). Program-program pembangunan
perdesaan yang lebih efektif juga akan membantu dalam membatasi meluasnya
kemiskinan perkotaan.
Ketiga, adalah studi yang dilakukan oleh Asra (2000) yang melakukan
dekomposisi atas perubahan insiden kemiskinan agregat di Indonesia menurut
sektor (desa-kota). Beberapa diantara temuan penting dari studi tersebut adalah
bahwa (1) penurunan kemiskinan di daerah perdesaan merupakan penyumbang
terbesar terhadap penurunan kemiskinan secara agregat, dan pertumbuhan
ekonomi merupakan komponen terpenting dari upaya pengurangan kemiskinan
(poverty reduction) di Indonesia; (2) elastisitas kemiskinan terhadap distribusi
pertumbuhan awal untuk ketiga ukuran FGT (headcount poverty, poverty gap
index, dan
distributionally sensitive index) di daerah perdesaan lebih tinggi
dibandingkan dengan daerah perkotaan, yang menunjukkan bahwa kemiskinan di
daerah perdesaan lebih elastis atau sensitif terhadap pertumbuhan ekonomi; dan
(3) hasil simulasi dekomposisi menunjukkan bahwa pergeseran di dalam angkatan
kerja dan perbaikan peluang kerja di sektor perkotaan memainkan peranan penting
dalam mengurangi kemiskinan agregat.
Keempat, adalah studi yang dilakukan oleh Daimon (2001) dalam
penelitiannya mengenai dimensi kesejahteraan dan kemiskinan spasial: Belajar
dari Program Pentargetan di Indonesia, dengan menggunakan pendekatan
ekonometrika (Maximun likelihood Estimation/MLE), menemukan bahwa
perangkap kemiskinan spasial, sangat dipengaruhi oleh kurangnya sarana dan
prasarana transportasi, telekomunikasi, dan infrastruktur sehingga menyebabkan
mobilitas tenaga kerja sangat mahal.
Kelima,
adalah
studi
Simatupang
dan
Dermoredjo
(2003)
yang
menyimpulkan beberapa hal seperti (1) dampak produk domestik bruto (PDB)
terhadap insiden kemiskinan bervariasi menurut sektor; (2) PDB sektor pertanian
memiliki dampak lebih besar terhadap kemiskinan di perdesaan sedangkan
62
kemiskinan di perkotaan terutama oleh PDB sektor industri; (3) PDB sektor lain
(non pertanian dan industri) juga berpengaruh terhadap kemiskinan di perdesaan;
(4) kemiskinan agregat dipengaruhi oleh PDB sektor pertanian dan PDB sektor
non pertanian; (5) insiden kemiskinan juga dipengaruhi oleh harga beras; (6)
strategi pembangunan yang efektif untuk pengentasan kemiskinan adalah strategi
pembangunan yang lebih efektif pada pembangunan di sektor pertanian,
khususnya sektor tanaman pangan.
Keenam, adalah studi yang dilakukan oleh Balisacan et al. (2003)
menemukan bahwa (1) kesejahteraan penduduk miskin (the poor) yang diukur
dengan pendapatan dari kaum miskin dipengaruhi secara nyata (signifikan) oleh
pertumbuhan ekonomi; (2) faktor lain yang berpengaruh nyata terhadap
kesejahteraan masyarakat miskin adalah modal manusia (human capital) yang
diukur dari rata-rata lama sekolah, infrastruktur (jalan) dan akses terhadap
teknologi. Selain itu, dikemukakan bahwa mengurangi kemiskinan tidak cukup
hanya dengan pertumbuhan ekonomi semata, tetapi juga harus memerhatikan
faktor kelembagaan dan pendistribusian pendapatan.
Ketujuh, adalah studi yang dilakukan oleh Yudhoyono (2004) menunjukkan
bahwa kemiskinan di daerah perdesaan dipengaruhi secara nyata oleh pengeluaran
pemerintah untuk sektor pertanian, pertumbuhan ekonomi, upah, dan dummy
reformasi. Sedangkan di perkotaan dipengaruhi oleh pengeluaran untuk
infrastruktur, pertumbuhan ekonomi, dummy reformasi, dan dummy desentralisasi.
Selain itu, dikemukakan bahwa kombinasi skenario peningkatan pengeluaran
pemerintah untuk sektor pertanian sebesar 15 persen dan peningkatan upah
sebesar 20 persen, merupakan kombinasi kebijakan jangka pendek yang potensial
terutama dalam mengurangi kemiskinan.
Kedelapan, adalah studi yang dilakukan Suryahadi et al. (2006)
melakukan
penelitian
tentang
pertumbuhan
ekonomi
dan
pengurangan
kemiskinan di Indonesia. Hasil studi ini menjelaskan bahwa pertumbuhan pada
sektor jasa dan perdesaan berdampak pada penurunan jumlah rumah tangga
miskin pada semua sektor dan lokasi. Namun pertumbuhan jasa di perkotaan
memberikan nilai elastisitas kemiskinan yang tinggi dari semua sektor kecuali
63
pertanian perkotaan. Pertumbuhan sektor pertanian di perdesaan memberikan
dampak yang besar terhadap penurunan kemiskinan di sektor pertanian perdesaan,
dan memberi kontribusi terbesar dalam penurunan jumlah kemiskinan di
Indonesia. Studi ini menekankan bahwa cara yang paling efektif untuk
mempercepat pengurangan kemiskinan adalah mendorong pertumbuhan sektor
pertanian di perdesaan dan sektor jasa di perkotaan. Namun, dalam jangka
panjang penekanannya harus lebih difokuskan dan di arahkan pada pencapaian
pertumbuhan menyeluruh dan memiliki keterkaitan yang kuat dalam sektor jasa.
Kesembilan, Studi yang dilakukan oleh Wahyuniarti dan Siregar (2007),
yang melakukan penelitian terkait dengan dampak pertumbuhan ekonomi
terhadap penurunan jumlah penduduk miskin, dengan metode analisis yang
digunakan adalah analisis deskriptif dan ekonometrika. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa pertumbuhan ekonomi berpengaruh signifikan dalam
mengurangi kemiskinan, namun magnitude pengaruh tersebut relatif tidak besar.
Inflasi maupun populasi penduduk juga berpengaruh signifikan terhadap
kemiskinan,
namun
besaran
pengaruh
masing-masingnya
relatif
kecil.
Peningkatan share sektor pertanian dan share sektor industri juga signifikan
mengurangi jumlah kemiskinan. Variabel yang signifikan dan relatif besar
pengaruhnya terhadap penurunan jumlah kemiskinan ialah pendidikan.
Implikasi
kebijakan
yang
disarankan
dalam
tulisan
ini
adalah
pertumbuhan ekonomi yang dibutukan untuk mengurangi jumlah penduduk
miskin adalah pertumbuhan yang berkualitas dan berkeadilan. Investasi sebagai
penyumbang pertumbuhan
harus dilakukan dalam bentuk
mempercepat
industrialisasi pertanian/perdesaan, akumulasi modal manusia melalui pendidikan
dan pelatihan, serta pengembangan dan perbaikan infrastruktur perdesaan (modal
fisik). Pengendalian inflasi wajib dilakukan untuk mempertahankan daya beli
masyarakat sehingga peningkatan pendapatan yang diperolehnya menjadi lebih
berarti dalam memenuhi kebutuhan dasar atau meningkatkan kualitas hidup
mereka. Pengendalian inflasi hendaknya lebih terfokus pada kawasan perdesaan.
Laju pertumbuhan populasi penduduk perlu dikendalikan secara lebih efektif,
terutama pada golongan penduduk miskin. Hal ini dapat dilakukan dengan
menggalakkan kembali program keluarga berencana.
64
Kesepuluh, studi yang dilakukan oleh Santoso et al. (2007) menemukan
bahwa kebijakan moneter yang ekpansif dapat menurunkan tingkat kemiskinan
dalam jangka pendek. Namun, adanya fluktuasi business cycle dan tidak
dikuasainya inflasi yang tinggi membuat efek positif yang dihasilkan hanya
bersifat temporer. Dalam jangka panjang, inflasi yang rendah dan stabilitas
ekonomi makro yang baik berasosiasi secara signifikan dengan tingkat
kemiskinan yang lebih rendah dan distribusi pendapatan yang lebih baik.
Kebijakan moneter yang bersifat hati-hati “prudent policy” (menjaga kestabilan
harga dan kondisi ekonomi makro) memiliki efek positif yang permanen dalam
menurunkan tingkat kemiskinan dan meratakan distribusi pendapatan.
Kesebelas, adalah studi yang dilakukan oleh Papilaya (2006) yang meneliti
mengenai akar penyebab kemiskinan menurut rumah tangga miskin dan strategi
penanggulangannya dengan menggunakan pendekatan penelitian ekploratorieksplanatori dan penelitian partisipatori. Beberapa simpulan terutama yang terkait
dengan dimensi wilayah adalah sebagai berikut: (1) Faktor-faktor determinan
yang berpengaruh secara positif dan nyata terhadap perilaku rumah tangga miskin,
meliputi: Pada tipologi kemiskinan perkotaan adalah faktor modal sosial, yaitu
tingkat partisipasi sosial dan faktor modal manusia yaitu tingkat pendidikan
formal dan non formal; dan (b) Pada tipologi kemiskinan perdesaan, adalah faktor
modal sosial, yaitu tingkat partisipasi sosial, dan budaya gotong royong; faktor
modal alamiah, yaitu akses rumah tangga miskin terhadap sumberdaya alam; dan
faktor manusia, yaitu kepribadian melankolis dan kepribadian plegmatis; (2)
Tingkat kesejahteraan rumah tangga miskin menurut tipologi kemiskinan
perdesaan lebih tinggi dari perkotaan; dan (3) Tingkat kesejahteraan rumah tangga
miskin berbeda secara nyata menurut tipologi berdasarkan kondisi sosio-ekonomi
berbasis mata pencaharian utama. Tingkat kesejahteraan nelayan lebih tinggi
dibandingkan pekerja sektor informal, petani dataran rendah dan dataran tinggi.
65
Download