2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Kondisi Umum Danau Limboto Berdasarkan proses terbentuknya, Danau Limboto merupakan danau tipe genangan (Whitten et al., 1988). Secara fisiografi danau ini merupakan perairan dangkal yang mempunyai sumber air berasal dari 23 sungai, yang empat sungai diantaranya merupakan sungai besar, yaitu Sungai Bionga, Sungai Molalahu, Sungai Alo-pahu, dan Sungai Meluopo. Sungai Tapodu merupakan satu-satunya outlet Danau Limboto yang langsung menuju ke laut dengan jarak sekitar 10 km dari Danau Limboto (Ismail, 2006). Menurut klasifikasi Schmidt Ferguson Danau Limboto bertipe iklim C dengan kisaran suhu air antara 22,2 - 33,3oC, Musim hujan terjadi antara bulan Desember – April dengan kisaran curah hujan berkisar antara 1320 – 1680 mm tahun-1 (Ismail, 2006). Tinggi muka air danau tertinggi terjadi pada bulan April – Mei dan rendah pada bulan September – Desember. Air masuk ke danau tinggi pada bulan September – Desember dan keluar tinggi pada bulan Mei–Agustus. Danau Limboto termasuk danau besar yang berubah menjadi kecil ( > 5000 ha menjadi < 5000 ha) menurut Lehner & Doll (2004). Kualitas air danau Limboto termasuk subur dengan kandungan ortofosfat (PO4-3) rata-rata 1.428 mgL-1 (Krismono et al., 2009). 2.2 Komunitas ikan di Danau Limboto Komunitas ikan di Danau Limboto terdiri atas ikan asli dan ikan introduksi. Jenisjenis ikan asli yang terdapat di Danau Limboto adalah betok (Anabas testudineus), ikan payangka (Ophieleotris aporos), manggabae (Glossogobius giuris), ikan sidat (Anguilla marmorata), dan ikan belanak (Mugil sp.), sedangkan ikan introduksi antara lain gabus (Channa striata), nila (Oreochromis niloticus), mujair (Oreochromis mossambicus), tawes (Barbonymus gonionotus), dan sepat (Trichogaster pectoralis). Menurut Haryono (2004), danau ini mempunyai keanekaragaman dan kekayaan jenis ikan yang paling tinggi dibanding danau Moat, Tondok, dan Tondano di Pulau Sulawesi dan ikan yang dominan adalah ikan payangka. Produksi ikan di Danau Limboto berdasarkan tangkapan nelayan tahun 2006 sebesar 639,64 ton dengan komposisi persentase produksi terbesar ikan nila (24,3 %), diikuti oleh mujair, sepat, dan ikan-ikan lain seperti tertera pada Tabel 1. Komunitas ikan didominansi 7 oleh jenis ikan omnivora sebesar 54,6%, selanjutnya karnivora 30,9%, planktivora 16,6% dan herbivora hanya 4,1%. Tingkat trofik ikan tertera pada Tabel 2. Ikan karnivora khususnya manggabae dan payangka walaupun produksi dalam biomassa sekitar 22,5 %, tetapi dalam jumlah individu dapat lebih dari 50% karena ukurannya kecil hanya sekitar 5– 50 g (1–20 cm). Manggabae mempunyai panjang maksimum 50 cm (Eccles, 1992). Tabel 1. Produksi ikan di Danau Limboto tahun 2006 berdasarkan hasil tangkapan nelayan (Pengembangan dari Krismono et al., 2007) No Nama Daerah 1, Nila 2, Mujair 3, Saribu/Sepat 4, Manggabae 5, Payangka 6, Gabus 7, Tawes 8, Betok/Dumbaya Nama ilmiah Oreochromis niloticus Oreochromis mossambicus Trichogaster pectoralis Glossogobius giuris Ophieleotris aporos Channa striata Barbonymus gonionotus Anabas testudineus Total Produksi (Ton) (%) 154,1 24,3 146,1 23,0 105,1 16,6 84,7 13,3 59,0 9,3 52,3 8,3 26,0 4,1 7,3 1,1 635,2 100 Tabel 2. Tingkat trofik komunitas ikan di Danau Limboto tahun 2006 Tingkat trofik Ikan Pakan utama Pakan pelengkap Herbivora tawes serasah tumbuhan fitoplankton, detritus Planktivora saribu/sepat plankton detritus Omnivora nila detritus fitoplankton mujair detritus serangga dumbaya/betok serasah tumbuhan detritus manggabae ikan, udang kecil serangga payangka udang kecil, serangga serasah siput, kerang serasah Karnivora gabus Sumber: Krismono et al., 2007. 2.3 Eceng gondok (Eichhornia crassipes) Taksonomi Eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms) menurut USDA (2010) sebagai berikut : 8 Divisi : Magnoliophyta Kelas : Monocotyledoneae/Liliopsida Sub Kelas : Liliidae Bangsa : Liliales Suku : Pontederiaceae Marga : Eichhornia Kunth Jenis : Eichhornia crassipes (Mart) Solms Nama umum/dagang : Eceng gondok English name : Water hyacinth Eichhornia crassipes (Mart,) Solms adalah sinonim dengan Eichhornia spiciosa Kunth. Tumbuhan ini berasal dari Brazilia dan tersebar ke beberapa negara karena memiliki bunga yang indah (Soerjani, 1982). Eceng gondok termasuk salah satu dari 100 spesies invasif yang sangat berbahaya menurut IUCN dan menurut GEIB (Biological Invasion Specialist Group) masuk dalam TOP 20 (Tellez et al., 2008). Lebih dari tiga abad yang lalu pada tahun 1894, eceng gondok didatangkan dan diperkenalkan di Indonesia oleh ’s Lands Plantentuin, yang sekarang menjadi Kebun Raya Indonesia. Selanjutnya tahun 1976 Eichhornia crassipes tercatat sebagai gulma air yang paling penting di dunia, Asia Tenggara dan khususnya di Indonesia (Soerjani et al.,1976, Holm et al., 1977, dan Pancho & Suryani, 1978 in Soerjani et al,,1982). Sampai saat ini enceng gondok masih merupakan gulma yang paling penting (Lancar & Krake, 2002). Komposisi tumbuhan air berdasarkan letak akar di permukaan air Danau Limboto tertera pada Tabel 3. Komposisi tumbuhan air di Danau Limboto yang menginvasi permukaan air danau seluas 30–40 % didominansi oleh eceng gondok sebanyak 85%, sedangkan Hydrilla, kangkung air, rumput, tumbili masing-masing hanya 2,5%, dan teratai serta kiambang masing-masing 0,5% (Krismono et al., 2007). Tidak ada informasi pasti tentang kapan eceng gondok mulai ada di Danau Limboto, tetapi pengaruh eceng gondok terhadap kualitas air danau ini sudah diteliti sejak tahun 1990. Peran eceng gondok di Danau Limboto sangat besar dan peran tersebut dapat berdampak negatif yaitu antara lain menutup sebagian permukaan air danau, mempercepat evapotranspirasi, mengganggu transportasi perahu, maupun dampak positif terhadap ekosistem perairan antara lain sebagai tempat untuk berkembangbiak, berlindung atau mencari makan bagi ikan. 9 Tabel 3. Komposisi tumbuhan air berdasarkan letak akar di Danau Limboto tahun 2006 Nama Lokal Nama Ilmiah Penutupan luas permukaan air (%) Akar tumbuhan Eceng gondok Eichhornia crassipes 85 Mengapung Hidrilla Hydrilla verticillata 2,5 Tenggelam Kangkung air Ipomea aquatica 2,5 Mengapung Rumput Panicum repens 2,5 Mengapung Tumbili Pistia stratiotes Alternanthera philoxiroides Scirpus mucronatus 2,5 Mengapung - Rumput Teratai Nelumbium sp, Azolla pinata Kiambang Sumber: Krismono et al., 2007 2,5 Mengapung 1,5 Mengapung 0,5 Mengapung 0,5 Mengapung Eceng gondok merupakan tumbuhan air yang terdiri atas akar, petiole, dan daun (Gambar 2a). Petiole eceng gondok ada yang menggelembung dan ada yang tidak (Gambar 2b). Eceng gondok yang sudah dimakan ikan koan akan berbeda akarnya dibanding yang tidak dimakan ikan koan seperti pada Gambar 2c. Makrofita di perairan selain berdampak negatif juga mempunyai fungsi positif bagi perikanan. Hasil penelitian Petr (2000), Pokorny & Kvet (2004), Pipalova (2006), dan Krismono et al., (2007) menyatakan bahwa makrofita merupakan komponen yang penting dalam ekosistem sebagai habitat pemijahan ikan, asuhan ikan, menempelnya pakan alami dan penyerap konsentrasi nutrien serta logam berat. Secara umum pengaruh makrofita pada ekosistem danau merupakan bagian dari rantai stabilitas perairan. Eceng gondok dapat berfungsi sebagai pembersih limbah rumah tangga (Djaenudin, 2006). Eceng gondok juga dapat membersihkan waduk dan danau dari polutan pestisida dan logam berat (Warrier & Saroja 2008, Hasim 2007, dan Petr 2000). Hal ini telah dibuktikan secara histologis oleh Warrier & Seroja (2008). Eceng gondok dapat tumbuh cepat 3% hari-1 (Brades & Tobing, 2008) khususnya di saluran-saluran air Sungai Musi Sumatera selatan. Eceng gondok berkembang biak dalam satu minggu dapat tumbuh dua kali lipat (Tellez et al., 2008). 10 a Daun b Petiole yang tidak menggelembung petiola akar c Akar yang dimakan ikan Akar yang utuh Sumber : Krismono et al, (2007) Gambar 2. Struktur eceng gondok yang diambil dari Danau Limboto a) Eceng gondok dengan petiole yang menggelembung, b) Eceng gondok dengan petiole yang tidak menggelembung, c) Eceng gondok dengan akar yang masih utuh dan yang sudah dimakan ikan, Akar merupakan bagian tumbuhan yang penting. Eceng gondok berakar serabut yang berdiameter kecil tetapi sangat panjang sampai 1 m lebih. Untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan akar eceng gondok kadang bewarna putih bila di tanah dan gelap bila mengapung. Eceng gondok dapat berdiri dengan disokong oleh akar di tanah (Penfaund & Early, 1948). Akar eceng gondok berfungsi sebagai pengatur penyerapan unsur pembatas yaitu P dan N dari perairan (Xie & Yu, 2003). Menurut Wetzel (2001), bagian akar biasanya sekitar 20–50% total biomassa, sedangkan Penfaund & Early (1948) menyatakan bahwa bobot akar 52 %. Bobot kering eceng gondok hasil analisis laboratorium LRPSI, Jatiluhur bagian akar 41,4 %, petiole 50,6%, dan daun 8%. Akar eceng gondok merupakan tempat organisme makro-avertebrata menempel. Di danau Taabo pada akar eceng gondok menempel 34 famili macro-invertebrata (Kouame et al., 2010), dan di perairan Alvarado Lagoonal System, Veracruz, Mexico terdapat 96 kelas yang terdiri atas 44 % avertebrata tawar, 53 % estuari, dan 3 % laut (Ramirez et al., 2006). 11 Kandungan air eceng gondok adalah 90% dengan pengeringan menggunakan oven pada suhu 105oC. Milne et al. (2006) menunjukkan adanya hubungan linier antara bobot kering daun dan bobot kering total eceng gondok dengan kedalaman, dengan bertambahnya kedalaman air bobot kering eceng gondok bertambah serta antara penurunan serasah bobot kering dengan kandungan fosfor di sedimen. Hasil analisis proksimat eceng gondok dari Danau Limboto (Tabel 4) dan hasil analis tangkai eceng gondok mengandung: protein 0,16%, lemak 0,35%, abu 0,44%, serat kasar 2,09%, karbohidrat 0,17%, P2O5 0,52% dan K2O 0,42%. Menurut Brades & Tobing (2008), kandungan protein eceng gondok tua dan segar 11,5%, serta hasil analisis Laboratorium Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor eceng gondok dari perairan Danau Limboto sebesar 11, 4%. Tabel 4. Hasil analisis proksimat eceng gondok Danau Limboto Contoh Protein(%) Lemak(%) Abu(%) Serat kasar(%) Karbohidrat (%) Akar 17,76 3,46 26,38 16,74 35,66 Daun 19,83 1,2 6,28 9,89 62,8 Petiole 4,86 Sumber : Krismono, 2007. 1,56 14,02 9,6 69,96 Berdasarkan analisis jaringan eceng gondok mengandung N, P, K dan C organik berturut-turut; 2,32 %, 0,24 %, 1,95 %, dan 46,21 %, serta rasio CN-1 = 19,92 (Haryatun, 2008), sedangkan Hakim et al.,1986 in Haryatun (2008) menyatakan bahwa rasio C/N eceng gondok termasuk rendah, dekomposisi cepat, maka eceng gondok dapat berfungsi sebagai sumber hara dan bahan organik, Hasil penelitian Karki & Dixit (1984) in Haryati (2006) menunjukkan rasio CN-1 eceng gondok 25, yang berarti mempunyai kecepatan dekomposisi lebih cepat jika dibandingkan dengan jerami padi dan jagung yang mempunyai rasio CN-1 70 dan 60, tetapi lebih lambat bila dibandingkan CN-1 rasio kotoran ayam 10, kotoran kambing 12, dan kotoran manusia serta bebek 8. Berdasarkan hasil analisis kimiawi eceng gondok segar mengandung bahan organik 36,59 %, C organik sebesar 21,23%, N total sebesar 0,28% , P total sebesar 0,0011%, dan K total 0,016 % (Winarno, 1993). 12 2.4 Ikan koan (Ctenopharyngodon idella) Klasifikasi ikan koan menurut Nelson (2006) adalah sebagai berikut : Filum : Chordata Subfilum : Craniata Superkelas : Gnathostomata Kelas : Actinopterygii Subkelas : Neopterygii Divisi : Teleostei Subdivisi : Ostarioclupeomorpha Super ordo : Ostariophysi Seri : Otophysi Ordo : Cypriniformes Superfamili : Cyprinoidea Famili : Cyprinidae Subfamili : Squaliobarbinae Genus : Ctenopharyngodon Spesies : Ctenopharyngodon idella Val. Shireman & Smith (1983) menyatakan bahwa hanya sedikit variasi yang ditemukan pada morfologi ikan koan dan tidak ada subspesies yang pernah diketahui. Chilton & Muoneke (1922) dalam Cudmore & Mandrak (2004) mengemukakan bahwa secara umum bobot ikan koan dapat mencapai 30-50 kg, adapun panjang maksimalnya dapat mencapai lebih dari 1 m (Fraser, 1978 in Cudmore & Mandrak, 2004). Cudmore & Mandrak (2004) mengemukakan bahwa ikan koan memiliki kepala yang bersisik, bentuk tubuh ikan koan memanjang dan ramping (Gambar 3). Ikan koan memiliki sirip berturut-turut sirip punggung, sirip perut, dan sirip ekor adalah 7, 8 dan 18, sirip punggung dan sirip dubur tidak memiliki duri, dengan tipe sisik yaitu sisik sikloid (Page & Burr, 1991, Keith & Allaradi, 2001 in Cudmore & Mandrak, 2004). Adapun rumus gigi adalah 2,5-4,1, gigi bagian dalam lebih kuat dibandingkan gigi di bagian lateral (Shireman & Smith, 1983). 13 Sumber:Krismono et al., 2007. Gambar 3. Morfologi ikan koan (Ctenopharyngodon idella) Panjang usus ikan koan berkisar 1,6-2,0 kali panjang badan (Hoa, 1973 in Shireman & Smith, 1983), termasuk pendek dibanding herbivora yang lain dan lama waktu tinggal makanan didalam usus 8 jam (Masser, 2002). Lebih lanjut Cheng (1966) in Shireman & Smith (1983) mengemukakan bahwa panjang usus meningkat dari 0,5 pada saat ukuran larva dan mencapai 2,5 kali panjang badan pada ikan dewasa. Calon saluran pencernaan berdiferensiasi menjadi tekak pendek, klep pilorik, usus, dan rektum. Pada saluran pencernaan ikan koan terjadi fermentasi mikroflora (bakteri, protozoa dan flagellata) karena pada saluran pencernaan herbivora termasuk ikan koan berkembang di dalamnya mikroflora yang mengekskresikan berbagai jenis enzim diantaranya adalah selulase. Selulase akan menghidrolisis selulosa menjadi senyawa yang lebih sederhana dan selanjutnya menjadi gula sederhana. Mikroflora juga sebagai penghasil vitamin terutama vitamin B dan bila mati di saluran pencernaan merupakan sumber protein bagi ikan, sehingga walaupun tumbuhan proteinnya rendah ikan koan tidak kekurangan protein (Opuszynski & Shireman 1995). Gonad terletak di rongga peritonium dan berdiferensiasi pada ikan dengan panjang total 58 mm (umur 50-60 hari) (Berry & Low, 1970 in Shireman & Smith, 1983). 2.5 Dampak penebaran ikan koan (herbivora) terhadap eceng gondok (makrofita) Pengendalian makrofita di perairan yang dilakukan dengan cara fisik, kimiawi, dan biologis beserta dampaknya dikemukakan de Nie (1987). Gambar 4 menjelaskan bahwa pengendalian menggunakan cara kimiawi langsung berdampak pada lingkungan fitoplankton dan organisme air lainnya langsung hilang dan beberapa lama akan tumbuh fitoplankton. Pada pengendalian dengan cara fisik, begitu makrofita diambil maka populasi fitoplankton akan meningkat. Dengan cara biologis akan terjadi secara bertahap perubahan 14 biologis yang tidak mengakibatkan perubahan ekosistem secara drastis. Opuszynski & Shireman (1995) menyatakan bahwa ikan pemakan makrofita disebut herbivora, bila dari volume pakan yang ada di perut ikan 50 % terdiri atas komponen makrofita. Ikan koan merupakan salah satu jenis ikan herbivora di perairan tawar, ukuran finggerling adalah efisien untuk ditebar dalam rangka mengendalikan makrofita (Hosny et al., 2008). Hasil penelitian Parker (2005) memperlihatkan interaksi antara herbivora dan tumbuhan/makrofita mempunyai dampak sebagai berikut : - Terjadinya penyuburan atau pemiskinan di perairan karena perambanan makrofita oleh herbivora. - Dinamika perkembangan/pertumbuhan makrofita dan herbivora karena adanya perambanan makrofita oleh herbivora. - Terjadinya kompetisi herbivora karena preferensi terhadap makrofita. Ikan koan yang makan eceng gondok ekskresinya akan memengaruhi kualitas air karena pada umumnya ikan herbivora mengekskresikan 43% dari sisa makanannya ke perairan, tetapi ikan koan ekskresinya mencapai 74% (Opuszynski & Shireman, 1995). Pernyataan tersebut dapat mendukung hasil penelitian Bettoli et al, (1993) in Opuszynski & Shireman (1995) yang mengemukakan bahwa setelah introduksi ikan koan, fitoplankton di perairan meningkat di danau Conroe 1980-1986 . Hasil penelitian Squires et al., (2002) menunjukkan bahwa perambanan makrofita meningkatkan transparansi air dan biomassa plankton. Flower & Robson (1978) in Pipalova (2006) mengutarakan bahwa padat tebar ikan koan 150 kg ha-1 dan 450 kg ha-1 dalam satu bulan dapat meningkatkan fosfat masingmasing 40% dan 57%. Pertumbuhan ikan koan juga akan cepat karena 54% fosfor dan 42% nitrat diikat dalam jaringan ikan menurut Lembi et al.,1978 in Pipalova (2006). Populasi makrofita (Eichhornia crassipes) di perairan Danau Limboto telah menutupi permukaan air seluas 40% - 60% (Krismono et al., 2007). Sedangkan populasi makrofita yang baik untuk perairan danau atau waduk cukup 3% (Soemarwoto, 1991), sedangkan menurut Boyd (1990) sekitar 10 - 20%. Helfrich et al, (2000) menyatakan bahwa makrofita di danau lebih baik kurang dari 25% dan Rendal et al., in Petr (2000) kisaran penutupannya antara 1-30%. 15 PENGENDALIAN MAKROFITA DALAM PENGELOLAAN DARI PERGERAKAN MAKROFITA Pengendalian kimiawi Pengendalian mekanik/fisik Pengendalian biologis dengan ikan koan Penurunan makrofita Tidak ada produksi fitoplankton menghilangkan nutrient temporal Mulai ada produksi fitoplankton Peningkatan produksi fitoplankton Setelah Pengendalian pertumbuhan makrofita Penambahan nutrien dari siklus ikan koan Penambahan laju pertumbuhan fitoplankton Penambahan pertumbuhan epifit dan produktivitas fitoplankton Berangsur-angsur makrofita menghilang Penambahan biomassa dari pertumbuhan avertebrata, menahan fitoplankton Kecukupan konsumsi epifit oleh perambanan Kecukupan cahaya, karbon anorganik untuk makrofita Dominasi fitoplankton Kecukupan produksi dari fitoplankton oleh tekanan makrofita Air jernih Gambar 4. Cara pengendalian makrofita dan dampaknya di perairan (de Nie, 1987) 16 Kekurangan konsumsi epifit oleh perambanan Menurut Opuszynski & Shireman (1995) penebaran ikan koan dengan kepadatan tinggi pada perairan yang mempunyai kepadatan makrofita tinggi akan berdampak di perairan yaitu makrofita terkontrol dan semua unsur di perairan akan meningkat (nutrien, detritus, benthos, plankton, dan predator). Danau Kerinci mempunyai luas 4200 ha, kedalaman maksimum 110 m dan berada 783 m dpl. Permukaan airnya yang tertutup oleh gulma air eceng gondok sebesar 80% dapat dihilangkan dengan tuntas oleh ikan koan berukuran 5–10 gram sebanyak 48,000 ekor dan ditebar selama empat tahun (1995-1998). Dampak pengurangan eceng gondok tersebut tidak merubah kualitas air Danau Kerinci khususnya kandungan oksigen terlarut, total N, amonia, dan total besi sebelum dan sesudah penebaran (Hartoto et al., 2001). Hal ini mungkin disebabkan sisa-sisa eceng gondok mengendap ke dasar perairan danau dalam proses bertahap. Pengendalian eceng gondok secara biologis oleh ikan koan dengan biomassa 50-250 kg ha-1 dan ukuran ikan fingerling akan berdampak terhadap penambahan nutrien pada perairan secara perlahan-lahan. Penambahan nutrien pada tahap awal I didominansi oleh makrofita, selanjutnya pada tahap II peningkatan populasi organisme penempel dan peningkatan populasi fitoplankton dan akhirnya pada tahap III terjadi dominansi fitoplankton (de Nie, 1987). Ryding & Rast (1989) menyatakan dalam pengendalian makrofita harus memperhatikan dampaknya, yaitu pertumbuhan fitoplankton secara cepat akibat terbukanya perairan dan peningkatan proses fotosintesis. Peningkatan pertumbuhan fitoplankton dapat mencapai delapan kali lipat dari sebelumnya (Kirkagac & Demir, 2004). Berdasarkan evaluasi metode pengendalian eceng gondok secara biologis dengan ikan koan di Mesir, El Samman & El Ella (2006) menganjurkan penebaran ikan koan lebih besar dari 100 kg ha-1 dengan ukuran ikan paling kecil sekitar 10-20 g ekor-1. Penebaran ikan koan untuk pengendalian populasi makrofita di perairan danau dengan biomassa berkisar antara 50, 100 dan 200 kg ha-1 (Badiane et al., 2008) dan 200, 400 dan 600 kg ha-1 (Kirkagac & Demir, 2004). Penebaran ikan koan di bendungan Aswan di Mesir, biomassa ikan lebih kecil dari 100 kg ha-1 dengan kisaran ukuran antara 10 – 20 g ekor-1 lebih efektif 70 % dibanding metode lain (Hosny et al., 2008). Pelaksanaan penelitian ini memperhatikan hasil Convention on Biological Diversity (CBD) yang menyatakan bahwa pemanfaatan sumber daya keanekaragaman hayati harus 17 menjaga keberkelanjutan, mengurangi dampak negatif, menguntungkan dan mendidik masyarakat untuk mengerti pentingnya keanekaragaman hayati. Duncan (2002) menyampaikan bahwa dalam rangka menghindari dampak genetik dari ikan koan di danaudanau di Florida ditebar dengan ikan koan jantan supaya tidak berkembang biak. 18