BAB II Tinjauan Pustaka

advertisement
2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kondisi Umum Danau Limboto
Berdasarkan proses terbentuknya, Danau Limboto merupakan danau tipe genangan
(Whitten et al., 1988). Secara fisiografi danau ini merupakan perairan dangkal yang
mempunyai sumber air berasal dari 23 sungai, yang empat sungai diantaranya merupakan
sungai besar, yaitu Sungai Bionga, Sungai Molalahu, Sungai Alo-pahu, dan Sungai
Meluopo. Sungai Tapodu merupakan satu-satunya outlet Danau Limboto yang langsung
menuju ke laut dengan jarak sekitar 10 km dari Danau Limboto (Ismail, 2006).
Menurut klasifikasi Schmidt Ferguson Danau Limboto bertipe iklim C dengan kisaran
suhu air antara 22,2 - 33,3oC, Musim hujan terjadi antara bulan Desember – April dengan
kisaran curah hujan berkisar antara 1320 – 1680 mm tahun-1 (Ismail, 2006). Tinggi muka
air danau tertinggi terjadi pada bulan April – Mei dan rendah pada bulan September –
Desember. Air masuk ke danau tinggi pada bulan September – Desember dan keluar tinggi
pada bulan Mei–Agustus. Danau Limboto termasuk danau besar yang berubah menjadi
kecil ( > 5000 ha menjadi < 5000 ha) menurut Lehner & Doll (2004). Kualitas air danau
Limboto termasuk subur dengan kandungan ortofosfat (PO4-3) rata-rata 1.428 mgL-1
(Krismono et al., 2009).
2.2 Komunitas ikan di Danau Limboto
Komunitas ikan di Danau Limboto terdiri atas ikan asli dan ikan introduksi. Jenisjenis ikan asli yang terdapat di Danau Limboto adalah betok (Anabas testudineus), ikan
payangka (Ophieleotris aporos), manggabae (Glossogobius giuris), ikan sidat (Anguilla
marmorata), dan ikan belanak (Mugil sp.), sedangkan ikan introduksi antara lain gabus
(Channa striata), nila (Oreochromis niloticus), mujair (Oreochromis mossambicus), tawes
(Barbonymus gonionotus), dan sepat (Trichogaster pectoralis). Menurut Haryono (2004),
danau ini mempunyai keanekaragaman dan kekayaan jenis ikan yang paling tinggi
dibanding danau Moat, Tondok, dan Tondano di Pulau Sulawesi dan ikan yang dominan
adalah ikan payangka.
Produksi ikan di Danau Limboto berdasarkan tangkapan nelayan tahun 2006 sebesar
639,64 ton dengan komposisi persentase produksi terbesar ikan nila (24,3 %), diikuti oleh
mujair, sepat, dan ikan-ikan lain seperti tertera pada Tabel 1. Komunitas ikan didominansi
7
oleh jenis ikan omnivora sebesar 54,6%, selanjutnya karnivora 30,9%, planktivora 16,6%
dan herbivora hanya 4,1%. Tingkat trofik ikan tertera pada Tabel 2.
Ikan karnivora
khususnya manggabae dan payangka walaupun produksi dalam biomassa sekitar 22,5 %,
tetapi dalam jumlah individu dapat lebih dari 50% karena ukurannya kecil hanya sekitar 5–
50 g (1–20 cm). Manggabae mempunyai panjang maksimum 50 cm (Eccles, 1992).
Tabel 1. Produksi ikan di Danau Limboto tahun 2006 berdasarkan hasil tangkapan
nelayan (Pengembangan dari Krismono et al., 2007)
No
Nama Daerah
1,
Nila
2,
Mujair
3,
Saribu/Sepat
4,
Manggabae
5,
Payangka
6,
Gabus
7,
Tawes
8,
Betok/Dumbaya
Nama ilmiah
Oreochromis niloticus
Oreochromis mossambicus
Trichogaster pectoralis
Glossogobius giuris
Ophieleotris aporos
Channa striata
Barbonymus gonionotus
Anabas testudineus
Total
Produksi
(Ton)
(%)
154,1
24,3
146,1
23,0
105,1
16,6
84,7
13,3
59,0
9,3
52,3
8,3
26,0
4,1
7,3
1,1
635,2
100
Tabel 2. Tingkat trofik komunitas ikan di Danau Limboto tahun 2006
Tingkat trofik
Ikan
Pakan utama
Pakan pelengkap
Herbivora
tawes
serasah tumbuhan
fitoplankton, detritus
Planktivora
saribu/sepat
plankton
detritus
Omnivora
nila
detritus
fitoplankton
mujair
detritus
serangga
dumbaya/betok
serasah tumbuhan
detritus
manggabae
ikan, udang kecil
serangga
payangka
udang kecil, serangga
serasah
siput, kerang
serasah
Karnivora
gabus
Sumber: Krismono et al., 2007.
2.3 Eceng gondok (Eichhornia crassipes)
Taksonomi Eceng gondok (Eichhornia crassipes (Mart) Solms) menurut USDA
(2010) sebagai berikut :
8
Divisi
:
Magnoliophyta
Kelas
:
Monocotyledoneae/Liliopsida
Sub Kelas
:
Liliidae
Bangsa
:
Liliales
Suku
:
Pontederiaceae
Marga
:
Eichhornia Kunth
Jenis
:
Eichhornia crassipes (Mart) Solms
Nama umum/dagang
:
Eceng gondok
English name
:
Water hyacinth
Eichhornia crassipes (Mart,) Solms adalah sinonim dengan Eichhornia spiciosa
Kunth. Tumbuhan ini berasal dari Brazilia dan tersebar ke beberapa negara karena memiliki
bunga yang indah (Soerjani, 1982). Eceng gondok termasuk salah satu dari 100 spesies
invasif yang sangat berbahaya menurut IUCN dan menurut GEIB (Biological Invasion
Specialist Group) masuk dalam TOP 20 (Tellez et al., 2008).
Lebih dari tiga abad yang lalu pada tahun 1894, eceng gondok didatangkan dan
diperkenalkan di Indonesia oleh ’s Lands Plantentuin, yang sekarang menjadi Kebun Raya
Indonesia. Selanjutnya tahun 1976 Eichhornia crassipes tercatat sebagai gulma air yang
paling penting di dunia, Asia Tenggara dan khususnya di Indonesia (Soerjani et al.,1976,
Holm et al., 1977, dan Pancho & Suryani, 1978 in Soerjani et al,,1982). Sampai saat ini
enceng gondok masih merupakan gulma yang paling penting (Lancar & Krake, 2002).
Komposisi tumbuhan air berdasarkan letak akar di permukaan air Danau Limboto
tertera pada Tabel 3. Komposisi tumbuhan air di Danau Limboto yang menginvasi
permukaan air danau seluas 30–40 % didominansi oleh eceng gondok sebanyak 85%,
sedangkan Hydrilla, kangkung air, rumput, tumbili masing-masing hanya 2,5%, dan teratai
serta kiambang masing-masing 0,5% (Krismono et al., 2007). Tidak ada informasi pasti
tentang kapan eceng gondok mulai ada di Danau Limboto, tetapi pengaruh eceng gondok
terhadap kualitas air danau ini sudah diteliti sejak tahun 1990.
Peran eceng gondok di Danau Limboto sangat besar dan peran tersebut dapat
berdampak negatif yaitu antara lain menutup sebagian permukaan air danau, mempercepat
evapotranspirasi, mengganggu transportasi perahu, maupun dampak positif terhadap
ekosistem perairan antara lain sebagai tempat untuk berkembangbiak, berlindung atau
mencari makan bagi ikan.
9
Tabel 3. Komposisi tumbuhan air berdasarkan letak akar di Danau Limboto tahun 2006
Nama Lokal
Nama Ilmiah
Penutupan luas
permukaan air (%)
Akar
tumbuhan
Eceng gondok
Eichhornia crassipes
85
Mengapung
Hidrilla
Hydrilla verticillata
2,5
Tenggelam
Kangkung air
Ipomea aquatica
2,5
Mengapung
Rumput
Panicum repens
2,5
Mengapung
Tumbili
Pistia stratiotes
Alternanthera philoxiroides
Scirpus mucronatus
2,5
Mengapung
-
Rumput
Teratai
Nelumbium sp,
Azolla pinata
Kiambang
Sumber: Krismono et al., 2007
2,5
Mengapung
1,5
Mengapung
0,5
Mengapung
0,5
Mengapung
Eceng gondok merupakan tumbuhan air yang terdiri atas akar, petiole, dan daun
(Gambar 2a). Petiole eceng gondok ada yang menggelembung dan ada yang tidak (Gambar
2b). Eceng gondok yang sudah dimakan ikan koan akan berbeda akarnya dibanding yang
tidak dimakan ikan koan seperti pada Gambar 2c.
Makrofita di perairan selain berdampak negatif juga mempunyai fungsi positif bagi
perikanan. Hasil penelitian Petr (2000), Pokorny & Kvet (2004), Pipalova (2006), dan
Krismono et al., (2007) menyatakan bahwa makrofita merupakan komponen yang penting
dalam ekosistem sebagai habitat pemijahan ikan, asuhan ikan, menempelnya pakan alami
dan penyerap konsentrasi nutrien serta logam berat. Secara umum pengaruh makrofita pada
ekosistem danau merupakan bagian dari rantai stabilitas perairan.
Eceng gondok dapat berfungsi sebagai pembersih limbah rumah tangga (Djaenudin,
2006). Eceng gondok juga dapat membersihkan waduk dan danau dari polutan pestisida
dan logam berat (Warrier & Saroja 2008, Hasim 2007, dan Petr 2000). Hal ini telah
dibuktikan secara histologis oleh Warrier & Seroja (2008). Eceng gondok dapat tumbuh
cepat 3% hari-1 (Brades & Tobing, 2008) khususnya di saluran-saluran air Sungai Musi
Sumatera selatan. Eceng gondok berkembang biak dalam satu minggu dapat tumbuh dua
kali lipat (Tellez et al., 2008).
10
a
Daun
b
Petiole yang tidak
menggelembung
petiola
akar
c
Akar
yang dimakan
ikan
Akar yang utuh
Sumber : Krismono et al, (2007)
Gambar 2. Struktur eceng gondok yang diambil dari Danau Limboto
a) Eceng gondok dengan petiole yang menggelembung,
b) Eceng gondok dengan petiole yang tidak menggelembung,
c) Eceng gondok dengan akar yang masih utuh dan yang sudah dimakan ikan,
Akar merupakan bagian tumbuhan yang penting. Eceng gondok berakar serabut yang
berdiameter kecil tetapi sangat panjang sampai 1 m lebih. Untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungan akar eceng gondok kadang bewarna putih bila di tanah dan gelap bila
mengapung. Eceng gondok dapat berdiri dengan disokong oleh akar di tanah (Penfaund &
Early, 1948). Akar eceng gondok berfungsi sebagai pengatur penyerapan unsur pembatas
yaitu P dan N dari perairan (Xie & Yu, 2003). Menurut Wetzel (2001), bagian akar
biasanya sekitar 20–50% total biomassa, sedangkan Penfaund & Early (1948) menyatakan
bahwa bobot akar 52 %. Bobot kering eceng gondok hasil analisis laboratorium LRPSI,
Jatiluhur bagian akar 41,4 %, petiole 50,6%, dan daun 8%. Akar eceng gondok merupakan
tempat organisme makro-avertebrata menempel. Di danau Taabo pada akar eceng gondok
menempel 34 famili macro-invertebrata (Kouame et al., 2010), dan di perairan Alvarado
Lagoonal System, Veracruz, Mexico terdapat 96 kelas yang terdiri atas 44 % avertebrata
tawar, 53 % estuari, dan 3 % laut (Ramirez et al., 2006).
11
Kandungan air eceng gondok adalah 90% dengan pengeringan menggunakan oven
pada suhu 105oC. Milne et al. (2006) menunjukkan adanya hubungan linier antara bobot
kering daun dan bobot kering total eceng gondok dengan kedalaman, dengan bertambahnya
kedalaman air bobot kering eceng gondok bertambah serta antara penurunan serasah bobot
kering dengan kandungan fosfor di sedimen.
Hasil analisis proksimat eceng gondok dari Danau Limboto (Tabel 4) dan hasil analis
tangkai eceng gondok mengandung: protein 0,16%, lemak 0,35%, abu 0,44%, serat kasar
2,09%, karbohidrat 0,17%, P2O5 0,52% dan K2O 0,42%.
Menurut Brades & Tobing
(2008), kandungan protein eceng gondok tua dan segar 11,5%, serta hasil analisis
Laboratorium Balai Riset Perikanan Budidaya Air Tawar Bogor eceng gondok dari perairan
Danau Limboto sebesar 11, 4%.
Tabel 4. Hasil analisis proksimat eceng gondok Danau Limboto
Contoh
Protein(%)
Lemak(%)
Abu(%)
Serat kasar(%)
Karbohidrat (%)
Akar
17,76
3,46
26,38
16,74
35,66
Daun
19,83
1,2
6,28
9,89
62,8
Petiole
4,86
Sumber : Krismono, 2007.
1,56
14,02
9,6
69,96
Berdasarkan analisis jaringan eceng gondok mengandung N, P, K dan C organik
berturut-turut; 2,32 %, 0,24 %, 1,95 %, dan 46,21 %, serta rasio CN-1 = 19,92 (Haryatun,
2008), sedangkan Hakim et al.,1986 in Haryatun (2008) menyatakan bahwa rasio C/N
eceng gondok termasuk rendah, dekomposisi cepat, maka eceng gondok dapat berfungsi
sebagai sumber hara dan bahan organik, Hasil penelitian Karki & Dixit (1984) in Haryati
(2006) menunjukkan rasio CN-1 eceng gondok 25, yang berarti mempunyai kecepatan
dekomposisi lebih cepat jika dibandingkan dengan jerami padi dan jagung yang mempunyai
rasio CN-1 70 dan 60, tetapi lebih lambat bila dibandingkan CN-1 rasio kotoran ayam 10,
kotoran kambing 12, dan kotoran manusia serta bebek 8.
Berdasarkan hasil analisis kimiawi eceng gondok segar mengandung bahan organik
36,59 %, C organik sebesar 21,23%, N total sebesar 0,28% , P total sebesar 0,0011%, dan K
total 0,016 % (Winarno, 1993).
12
2.4 Ikan koan (Ctenopharyngodon idella)
Klasifikasi ikan koan menurut Nelson (2006) adalah sebagai berikut :
Filum
: Chordata
Subfilum
: Craniata
Superkelas
: Gnathostomata
Kelas
: Actinopterygii
Subkelas
: Neopterygii
Divisi
: Teleostei
Subdivisi
: Ostarioclupeomorpha
Super ordo
: Ostariophysi
Seri
: Otophysi
Ordo
: Cypriniformes
Superfamili
: Cyprinoidea
Famili
: Cyprinidae
Subfamili
: Squaliobarbinae
Genus
: Ctenopharyngodon
Spesies
: Ctenopharyngodon idella Val.
Shireman & Smith (1983) menyatakan bahwa hanya sedikit variasi yang ditemukan
pada morfologi ikan koan dan tidak ada subspesies yang pernah diketahui. Chilton &
Muoneke (1922) dalam Cudmore & Mandrak (2004) mengemukakan bahwa secara umum
bobot ikan koan dapat mencapai 30-50 kg, adapun panjang maksimalnya dapat mencapai
lebih dari 1 m (Fraser, 1978 in Cudmore & Mandrak, 2004).
Cudmore & Mandrak (2004) mengemukakan bahwa ikan koan memiliki kepala yang
bersisik, bentuk tubuh ikan koan memanjang dan ramping (Gambar 3). Ikan koan memiliki
sirip berturut-turut sirip punggung, sirip perut, dan sirip ekor adalah 7, 8 dan 18, sirip
punggung dan sirip dubur tidak memiliki duri, dengan tipe sisik yaitu sisik sikloid (Page &
Burr, 1991, Keith & Allaradi, 2001 in Cudmore & Mandrak, 2004). Adapun rumus gigi
adalah 2,5-4,1, gigi bagian dalam lebih kuat dibandingkan gigi di bagian lateral (Shireman
& Smith, 1983).
13
Sumber:Krismono et al., 2007.
Gambar 3. Morfologi ikan koan (Ctenopharyngodon idella)
Panjang usus ikan koan berkisar 1,6-2,0 kali panjang badan (Hoa, 1973 in Shireman &
Smith, 1983), termasuk pendek dibanding herbivora yang lain dan lama waktu tinggal
makanan didalam usus 8 jam (Masser, 2002). Lebih lanjut Cheng (1966) in Shireman &
Smith (1983) mengemukakan bahwa panjang usus meningkat dari 0,5 pada saat ukuran
larva dan mencapai 2,5 kali panjang badan pada ikan dewasa. Calon saluran pencernaan
berdiferensiasi menjadi tekak pendek, klep pilorik, usus, dan rektum.
Pada saluran pencernaan ikan koan terjadi fermentasi mikroflora (bakteri, protozoa dan
flagellata) karena pada saluran pencernaan herbivora termasuk ikan koan berkembang di
dalamnya mikroflora yang mengekskresikan berbagai jenis enzim diantaranya adalah
selulase. Selulase akan menghidrolisis selulosa menjadi senyawa yang lebih sederhana dan
selanjutnya menjadi gula sederhana. Mikroflora juga sebagai penghasil vitamin terutama
vitamin B dan bila mati di saluran pencernaan merupakan sumber protein bagi ikan,
sehingga walaupun tumbuhan proteinnya rendah ikan koan tidak kekurangan protein
(Opuszynski & Shireman 1995). Gonad terletak di rongga peritonium dan berdiferensiasi
pada ikan dengan panjang total 58 mm (umur 50-60 hari) (Berry & Low, 1970 in Shireman
& Smith, 1983).
2.5 Dampak penebaran ikan koan (herbivora) terhadap eceng gondok (makrofita)
Pengendalian makrofita di perairan yang dilakukan dengan cara fisik, kimiawi, dan
biologis beserta dampaknya dikemukakan de Nie (1987). Gambar 4 menjelaskan bahwa
pengendalian menggunakan cara kimiawi langsung berdampak pada lingkungan
fitoplankton dan organisme air lainnya langsung hilang dan beberapa lama akan tumbuh
fitoplankton. Pada pengendalian dengan cara fisik, begitu makrofita diambil maka populasi
fitoplankton akan meningkat. Dengan cara biologis akan terjadi secara bertahap perubahan
14
biologis yang tidak mengakibatkan perubahan ekosistem secara drastis. Opuszynski &
Shireman (1995) menyatakan bahwa ikan pemakan makrofita disebut herbivora, bila dari
volume pakan yang ada di perut ikan 50 % terdiri atas komponen makrofita. Ikan koan
merupakan salah satu jenis ikan herbivora di perairan tawar, ukuran finggerling adalah
efisien untuk ditebar dalam rangka mengendalikan makrofita (Hosny et al., 2008).
Hasil penelitian Parker (2005) memperlihatkan interaksi antara herbivora dan
tumbuhan/makrofita mempunyai dampak sebagai berikut :
-
Terjadinya penyuburan atau pemiskinan di perairan karena perambanan makrofita oleh
herbivora.
-
Dinamika perkembangan/pertumbuhan makrofita dan herbivora karena adanya
perambanan makrofita oleh herbivora.
-
Terjadinya kompetisi herbivora karena preferensi terhadap makrofita.
Ikan koan yang makan eceng gondok ekskresinya akan memengaruhi kualitas air
karena pada umumnya ikan herbivora mengekskresikan 43% dari sisa makanannya ke
perairan, tetapi ikan koan ekskresinya mencapai 74% (Opuszynski & Shireman, 1995).
Pernyataan tersebut dapat mendukung hasil penelitian Bettoli et al, (1993) in Opuszynski &
Shireman (1995) yang mengemukakan bahwa setelah introduksi ikan koan, fitoplankton di
perairan meningkat di danau Conroe 1980-1986 . Hasil penelitian Squires et al., (2002)
menunjukkan bahwa perambanan makrofita meningkatkan transparansi air dan biomassa
plankton. Flower & Robson (1978) in Pipalova (2006) mengutarakan bahwa padat tebar
ikan koan 150 kg ha-1 dan 450 kg ha-1 dalam satu bulan dapat meningkatkan fosfat masingmasing 40% dan 57%. Pertumbuhan ikan koan juga akan cepat karena 54% fosfor dan 42%
nitrat diikat dalam jaringan ikan menurut Lembi et al.,1978 in Pipalova (2006).
Populasi makrofita (Eichhornia crassipes) di perairan Danau Limboto telah menutupi
permukaan air seluas 40% - 60% (Krismono et al., 2007). Sedangkan populasi makrofita
yang baik untuk perairan danau atau waduk cukup 3% (Soemarwoto, 1991), sedangkan
menurut Boyd (1990) sekitar 10 - 20%. Helfrich et al, (2000) menyatakan bahwa makrofita
di danau lebih baik kurang dari 25% dan Rendal et al., in Petr (2000) kisaran penutupannya
antara 1-30%.
15
PENGENDALIAN MAKROFITA DALAM PENGELOLAAN
DARI PERGERAKAN MAKROFITA
Pengendalian
kimiawi
Pengendalian
mekanik/fisik
Pengendalian biologis
dengan ikan koan
Penurunan makrofita
Tidak ada produksi
fitoplankton
menghilangkan
nutrient temporal
Mulai ada
produksi
fitoplankton
Peningkatan
produksi
fitoplankton
Setelah Pengendalian
pertumbuhan makrofita
Penambahan nutrien
dari siklus ikan koan
Penambahan laju
pertumbuhan fitoplankton
Penambahan pertumbuhan
epifit dan produktivitas
fitoplankton
Berangsur-angsur makrofita
menghilang
Penambahan biomassa
dari pertumbuhan
avertebrata, menahan
fitoplankton
Kecukupan konsumsi
epifit oleh perambanan
Kecukupan cahaya,
karbon anorganik untuk
makrofita
Dominasi fitoplankton
Kecukupan produksi
dari fitoplankton oleh
tekanan makrofita
Air jernih
Gambar 4. Cara pengendalian makrofita dan dampaknya di perairan (de Nie, 1987)
16
Kekurangan
konsumsi
epifit oleh
perambanan
Menurut Opuszynski & Shireman (1995) penebaran ikan koan dengan kepadatan
tinggi pada perairan yang mempunyai kepadatan makrofita tinggi akan berdampak di
perairan yaitu makrofita terkontrol dan semua unsur di perairan akan meningkat (nutrien,
detritus, benthos, plankton, dan predator).
Danau Kerinci mempunyai luas 4200 ha, kedalaman maksimum 110 m dan berada
783 m dpl. Permukaan airnya yang tertutup oleh gulma air eceng gondok sebesar 80% dapat
dihilangkan dengan tuntas oleh ikan koan berukuran 5–10 gram sebanyak 48,000 ekor dan
ditebar selama empat tahun (1995-1998). Dampak pengurangan eceng gondok tersebut
tidak merubah kualitas air Danau Kerinci khususnya kandungan oksigen terlarut, total N,
amonia, dan total besi sebelum dan sesudah penebaran (Hartoto et al., 2001). Hal ini
mungkin disebabkan sisa-sisa eceng gondok mengendap ke dasar perairan danau dalam
proses bertahap.
Pengendalian eceng gondok secara biologis oleh ikan koan dengan biomassa 50-250
kg ha-1 dan ukuran ikan fingerling akan berdampak terhadap penambahan nutrien pada
perairan secara perlahan-lahan. Penambahan nutrien pada tahap awal I didominansi oleh
makrofita, selanjutnya pada tahap II peningkatan populasi organisme penempel dan
peningkatan populasi fitoplankton dan akhirnya pada tahap III terjadi dominansi
fitoplankton (de Nie, 1987). Ryding & Rast (1989) menyatakan dalam pengendalian
makrofita harus memperhatikan dampaknya, yaitu pertumbuhan fitoplankton secara cepat
akibat terbukanya perairan dan peningkatan proses fotosintesis. Peningkatan pertumbuhan
fitoplankton dapat mencapai delapan kali lipat dari sebelumnya (Kirkagac & Demir, 2004).
Berdasarkan evaluasi metode pengendalian eceng gondok secara biologis dengan ikan koan
di Mesir, El Samman & El Ella (2006) menganjurkan penebaran ikan koan lebih besar dari
100 kg ha-1 dengan ukuran ikan paling kecil sekitar 10-20 g ekor-1.
Penebaran ikan koan untuk pengendalian populasi makrofita di perairan danau dengan
biomassa berkisar antara 50, 100 dan 200 kg ha-1 (Badiane et al., 2008) dan 200, 400 dan
600 kg ha-1 (Kirkagac & Demir, 2004). Penebaran ikan koan di bendungan Aswan di
Mesir, biomassa ikan lebih kecil dari 100 kg ha-1 dengan kisaran ukuran antara 10 – 20 g
ekor-1 lebih efektif 70 % dibanding metode lain (Hosny et al., 2008).
Pelaksanaan penelitian ini memperhatikan hasil Convention on Biological Diversity
(CBD) yang menyatakan bahwa pemanfaatan sumber daya keanekaragaman hayati harus
17
menjaga keberkelanjutan, mengurangi dampak negatif, menguntungkan dan mendidik
masyarakat untuk mengerti pentingnya keanekaragaman
hayati.
Duncan (2002)
menyampaikan bahwa dalam rangka menghindari dampak genetik dari ikan koan di danaudanau di Florida ditebar dengan ikan koan jantan supaya tidak berkembang biak.
18
Download