KRISTOLOGI ABU-ABU - Stevri Indra Lumintang

advertisement
Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
TEOLOGI ABU-ABU (Pluralisme Iman)
Oleh: Pdt. Stevri Indra Lumintang, M.Th.
Prakata: Prof. Joseph Tong, Ph.D.
Prakata: Evendy Tobing, M.Div.
Diterbitkan oleh: Departemen Literatur YPPII,
Malang.
Cetakan pertama, 2002.
BAB V
KRISTOLOGI ABU-ABU: TEMA-TEMA YANG MUNCUL
(PLURALISME DALAM DOKTRIN KRISTUS)
Persoalan teologi kristen adalah berakar pada persoalan kristologi.
Oleh karena itu, untuk menilai posisi teologi seseorang, apakah ia seorang
injili atau pluralis, universalis, atau gabungan dari dua diantaranya, bahkan
gabungan dari ketiganya, harus mempelajari selain sistem
hermeneutikanya juga kristologinya. Dengan kata lain, mengenal posisi
teologi seseorang, bukanlah hanya berdasarkan pernyataan-pernyataan
teologisnya yang muncul di seluruh disiplin ilmu teologi, melainkan harus
berangkat dari akar teologi yakni kristologi. Banyak kali kita kaum injili
ditipu, dikelabui dengan pernyataan-pernyataan yang kedengarannya injili,
padahal liberal dan atau pluralis tulen. Hati-hati ! Persoalan Kristologi
Page 1 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
adalah persoalan seluruh teologi Kristen. Pusat persoalan teologi modern
juga berakar pada persoalan kristologi yang dipelopori oleh para teolog
liberal, dengan kritik Alkitab, mereka menggunakan metode-metode
ilmiah untuk menyelidiki Yesus dalam Alkitab. Penyelidikan ini
menghasilkan rumusan baru atau kristologi baru yang bertolak belakang
dengan rumusan tradisional/orthodoks yang umumnya menjadi pegangan
kaum Injili. Hasil penelitian ini, ternyata ditumbuh-kembangkan oleh
kaum pluralis dengar cara memasukkan jiwa pluralisme dalam Kristologi,
bahkan dengan tidak segan-segan mengadakan penelitian dengan
pendekatan kritik kanonis yang tidak hanya bersumber pada enam puluh
enam kitab dari Alkitab, juga bersumber pada sumber-sumber di luar
Alkitab, seperti kitab Barnabas dan Thomas, kitab agama-agama lain,
kebudayaan. Selain itu menggunakan Pendekatan sosiologis-anthropologis
untuk meneliti konteks sejarah yang terikat dengan segala bentuk latar
belakang agama, budaya, sosial-politik, dan ekonomi, yang bersumber
baik dari dalam Alkitab, maupun dari informasi-insofrmasi yang diperoleh
dari luar Alkitab, seperti dokumen-dokumen sejarah.
Pada umumnya, kaum pluralis adalah kaum liberal. Pandangan
mereka mengenai teologi abu-abu atau teologi agama, sangat dipengaruhi
oleh pikiran-pikiran liberal yang bertolak dari studi mengenai kritik
Alkitab yang dijiwai oleh semangat rasionalisme pencerahan abad 18, serta
dipadukan dengan kenyataan konteks penderitaan manusia dan tuntutan
alami dari kemajemukan agama yang dihadapi. Pada kesempatan ini,
pembahasan hanya berkenaan dengan tema-tema utama yang dimunculkan
oleh kaum pluralis dalam berkristologi. Sebelum mengemukakan tematema tersebut, maka sudah sepatutnya menyajikan terlebih dahulu metode
pendekatan kristologi mereka.
A. Metode Pendekatan Kristologi
Biasanya ada dua metode pendekatan kristologis yang biasanya
dipakai oleh kaum pluralis dalam upaya mereka mendasarkan tumpuan
teologi abu-abu mereka. Kedua metode kristologis tersebut ialah:
Kristologi dari bawah dan Kristologi fungsional. Kristologi dari bawah
Page 2 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
sebagai pertentangan dengan Kristologi dari atas, sedangkan Kristologi
fungsional sebagai lawan dari Kristologi Ontologis.
1. Kristologi. dari bawah
Metode ini adalah berusaha memahami Ketuhanan Yesus dimulai dari
manusia Yesus dari Nazaret, kemudian bertanya bagaimana caranya Ia
menjadi Allah. Metode pendekatan ini disebut Vonunten atau "The
Christology from below". Pelopor pendekatan ini ialah Wolfhart
Pannenberg.1 Pendekatan seperti ini juga sangat dekat dengan pandangan
adoptisnisme, bahwa Yesus menjadi Allah karena diangkat Allah Bapa
sejak pembaptisan-Nya. Pendekatan ini kontras dan menolak Kristologi
dari atas atau Von Oben (The Christology from above), yaitu Kristologi
yang dimulai dengan Yesus sebagai Anak Allah, kemudian bertanva
bagaimana caranya Ia menjadi manusia (Orthodox). Von Oben adalah
pendekatan teologi yang banyak dicela oleh kaum pluralis, bukan hanya
sebagai konsewensi logis mereka yang menggandrungi pendekatan teologi
Vonunten, melainkan juga karena mereka sangat tidak menyetujui
rumusan-rumusan teologi tradisional yang mengakui pendekatan Von
Oben sebagai salah satu pendekatannya. Kaum pluralis mengembangkan
pendekatan ini dalam upaya mereka membangun teologi abu-abu.
Kristologi mereka yang pada hakekatnya adalah sama dengan kristologi
kaum sekularis, yang melihat Yesus sebagai manusia biasa, pemuda
Yahudi yang dipilih Allah untuk menerima Roh-Nya, sehingga ia menjadi
manusia "super" (manusia allah). Song dan Rahmat melihat Yesus sebagai
manusia biasa. yang didiami oleh Allah, dan Ia tetap manusia, karena itu
Yesus disejajarkan dengan semua tokoh agama dunia.2 Kesimpulan seperti
ini adalah berangkat dari metode pendekatan Christology from below.
2. Kristologi Fungsional
Kristologi ini sebagai lawan dari Kristologi Ontologis yang menekankan
mengenai pribadi Yesus yaitu apa yang terkait dengan pertanyaan "
Page 3 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
siapakah Dia? ". Sedangkan Kristologi Fungsional menekankan pada karya
Kristus, yaitu terkait dengan pertanyaan " Apakah yang Yesus lakukan? ".
Schleiermacher dan Bultmann memahami makna Yesus bagi umat-Nya
dengan menekankan pada pengalaman beragama, pengalaman batin
dengan Yesus. Tillich menegaskan Kristologi adalah suatu fungsi
soteriologi. John A.T. Robinson, menekankan adanya Kristus bagi
manusia . Hans Kung menekankan mengenai fungsi dari setiap gelar
Yesus, Pluralis Sri Lanka, R.S.Sugirtharajah yang bukunya terkenal
"Wajah Yesus di Asia" menyimpulkan dalam tulisannya bahwa Kristologi
dunia ketiga, yang penting bukan "Who Jesus is, but where he is"
(siapakah Yesus, melainkan dimana ia berada), bukan penjelasan tentang
siapa Yesus (bukan proklamasi tentang pribadi dan karya penyelamatan
yang dikerjakan oleh Yesus), melainkan "the evidence of his presence. Is
he with the poor, or is he with the rich? (bukti kehadiran-Nya. Apakah ia
bersama orang miskin atau apakah Ia bersama dengan orang kaya).3 Kaum
pluralis pada umumnya melihat Allah dari sudut manfaat seperti Allah
mengasihi, memberi hidup. Kristologi Fungsional ini sebagai jalan untuk
mewujudkan Kristologi yang kontekstual. Kristologi seperti ini adalah
kristologi yang disembah oleh pada umumnya pelopor dan penganut
teologi kontemporer lainnya seperti teologi pembebasan, feminisme,
teologi hitam, teologi pengharapan, teologi proses. Berkenaan dengan
Kristologi fungsional yang diupayakan oleh kaum pluralis, maka yang
sangat menarik dalam buku yang berjudul " Wajah Yesus di Asia ", bagian
pertama membahas tema-tema mengenai Kristus dalam konteks
kemajemukan agama di Asia (pluralisme), dan pada bagian kedua,
membahas tema-tema mengenai Kristus dalam konteks penderitaan orang
Asia. Pembagian ini memberikan indikasi yang sangat kuat mengenai
tendensi kristologi kaum pluralis yaitu memandang Yesus yang hadir di
semua agama, dan memandang Yesus sebagai pembebas manusia dari
kemiskinan dan pelbagai bentuk diskriminasi yang menghapuskan
kemanusiaannya manusia (Dehumanization). Seperti tulisan yang berjudul
"Yesus dan Rakyat" (Minjung) sebagai komitmen teologis untuk
menghadapi pengumulan rakyat kecil yang menderita karena ketidakadilan, ditulis oleh Byun Mu Ahn profesor PB dari Korea. Gerakan
femisnisme nampak dalam tulisan yang berjudul " Siapakah Yesus bagi
perempuan-perempuan Asia?" yang ditulis oleh Salvador T. Martinez, dari
Filipina yang mengambarkan Yesus sebagai ibu, perempuan dan shaman.
Page 4 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
Begitu juga dengan tulisan yang berjudul "Kristologi dari sudut pandang
perempuan Asia" yang ditulis oleh Virgilla Fabella. Semua teologi ini
merupakan wajah teologi pembebasan Asia yang diadopsi dari Amerika
Latin yang nota bene dijiwai oleh pikiran Komunisme. Semua tulisan ini
menekankan mengenai Kristologi fungsional.
B. Yesus Sejarah
Untuk kesekian kali, penulis menegaskan bahwa pada umumnya
kaum pluralis adalah penganut teologi liberal. Teologi liberal dimulai dari
kritik Alkitab, yakni studi yang kritis mengenai keorisinilan teks-teks
Alkitab. Apa yang dipersoalkan oleh kaum liberal, itu pula yang
dipersoalkan oleh kaum pluralis. Mereka mempersoalkan Yesus sejarah
melalui studi yang kritis mengenai relasi antara peristiwa Yesus dan waktu
penulisan. Kesimpulan mereka bahwa apa yang ditulis oleh para penulis
Injil tentang Yesus, sesungguhnya bukanlah Yesus yang sesungguhnya
atau bukanlah Yesus yang benar-benar ada secara historis, melainkan
Yesus menurut pikiran para murid atau para penulis Injil. Karena itu,
Yesus yang dikenal dari Alkitab oleh orang kristen sekarang, bukanlah
Yesus yang sebanarnya, melainkan Yesus mitos para penulis Injil.
Pada umumnya teolog pluralis mendasarkan kristologi mereka pada
Yesus sejarah, seperti yang mereka sendiri katakan, diantaranya Roy
Eckardt bahwa : " Kristologi harus di dasarkan pada Yesus sejarah." Yesus
sejarah yang dimaksudnya, bukanlah Yesus yang ditulis oleh para penulis
Injil. Karena itu ia berkata : " Sebab menyatakan Yesus adalah sang
Kristus berarti membuat suatu pernyataan iman yang tidak dapat
dibuktikan (atau tidak dapat disangkal) oleh sejarah". 4 Karena berdasarkan
metode kritik redaksi dan bentuk, mereka menyimpulkan bahwa para
penulis Injil menulis Injilnya berdasarkan hasil iman mereka (mitos), tidak
memuat catatan historis tentang tentang kata-kata Yesus. Rahmat pun
adalah penganut "Yesus sejarah" dengan komentarnya tentang Yesus
dalam Injil-Injil adalah ciptaan penulis bukan historis, dan ia pun
membedakan ucapan asli Tuhan Yesus dan yang produk para penulis
Page 5 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
(Seminar Yesus: Yesus tidak pernah menuntut diri-Nya disebut dan diakui
sebagai Mesias. Hal ini merupakan kesalahan para murid Yesus dan orang
kristen masa kini).5 Pada umumnya, kaum pluralis tidak mengakui Yesus
Sejarah melainkan Yesus kepercayaan. Hal ini pun merupakan komentar
mereka sendiri, seperti komentar Amaladoss.6 Dengan kata lain, bahwa
Yesus yang dikisahkan dalam Injil-Injil bukanlah Yesus yang
sesungguhnya ada secara historis, melainkan Yesus yang ditangkap oleh
iman para penulis Injil. Karena itu bagi mereka Injil adalah penuh dengan
dongeng dan mitos. Dengan demikian mereka mencela orang Kristen yang
terlalu menekankan finalitas Yesus atau kemutlakkan ketuhanan Yesus.
Karena hal itu adalah bertolak dari teologi para penulis Injil yang sarat
dengan mitos-mitos. Mereka ingin membersihkan orang kristen dari mitosmitos dengan jalan menafsirkan ulang Injil tersebut menurut keberadaan
diri manusia itu sendiri (eksistensialisme), yaitu manusia modern yang anti
mitos seperti cita-cita Bultmann dengan demitologisasinya. Bertalian
dengan itu, kaum pluralis mengakui bahwa inkarnasi merupakan suatu
mitos Yunani, pengakuan. mengenai ke-Allahan Yesus adalah mitos
belaka, karena itu bukanlah Yesus yang sesungguhnya. Borg dan
Sugirtharajah menggali ulang Yesus dan menegaskan bahwa memahami
Yesus sejarah berarti memahami Yesus yang sesungguhnya.7
C. Inkarnasi Allah
Berkenaan dengan topik inkarnasi, maka dengan dijiwai oleh filsafat
yang menjunjung tinggi rasionalisme dan dengan didukung oleh semangat
sekularisme dari kaum sekularis yang anti transendensi Allah, serta dengan
distimulasi oleh universalisme yang mengakui keuniversalan Allah serta
dipadukan dengan teologi abu-abu yang bertolak dari penyataan Allah
yang universal, maka muncullah pelbagai penafsiran mengenai inkarnasi
sesuai dengan kepentingan dan penekanan teologi abu-abunya.
Page 6 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
1. Inkarnasi Song, Panikkar dan Rahner yang Multireligius
Song memahami inkarnasi Yesus hanyalah sebagai salah satu
Inkarnasi Allah, karena Allah juga berinkarnasi dalam semua agama dan
kebudayaan.8 Konsep inkarnasi seperti ini sama dengan konsep inkarnasi
Panikkar yang dikenal dengan istilah "The unknown Christ of Hinduism"
(Kristus yang tidak dikenal), dimana Yesus adalah Kristus namun Kristus
bukanlah Yesus. Karena di dalam agama Hindu pun kehadiran Kristus
yang tidak dikenal atau yang terselubung. Jadi orang Hindu sesungguhnya
mengakui Kristus, hanya tidak dikenal. Kristus ini merupakan misteri ilahi
yang imanen (berinkarnasi) dalam sejarah dan budaya manusia. Dengan
kata lain, bahwa Allah tidak hanya berinkarnasi di dalam dan melalui
Yesus saja, melainkan juga berinkarnasi di dalam agama lain, seperti di
dalam agama Hindu. Jadi, Allah menjadi manusia tidak hanya melulu
bernama Kristus, melainkan terdapat dalam setiap nama yang ada dalam
masing-masing agama. Dalam Hindu dikenal dengan nama Ishavara,
dalam Kekristenan dikenal dengan nama Yesus dari Nazaret. Panikkar
membedakan antara Yesus dan Kristus. Yesus baginya adalah bagian dari
pada Kristus. Karena Kristus itu lebih dari pada Yesus dan tidak hanya
dikenal melalui Yesus. Kristus sebagai misteri ilahi bukan satu realita yang
mempunyai banyak nama, tetapi dalam setiap nama yang berbeda-beda di
masing-masing agama, Kristus ada dan menyelamatkan.9 Baik Song
maupun Panikkar, keduanya menekankan kebenaran yang bertumpu pada
Firman yang menjadi daging, untuk menolak semua unsur agama yang
abstrak /transenden dan untuk menekankan keluasan penyataan Allah yang
tidak hanya dimonopoli oleh inkarnasi Kristus dalam Alkitab. Karena itu,
Song memahami inkarnasi bukan hanya dalam pengertian inkarnasi
pribadi kedua Allah Tritunggal yakni Kristus, melainkan, Song mengakui
adanya inkarnasi Allah dalam banyak bentuk, bahwa Allah tidak hanya
menyatakan diri di dalam agama Kristen, melainkan juga menyatakan diri
di dalam agama-agama lain yang ada, bahkan menyatakan diri dalam
budaya apapun.
Karl Rahner beranjak dari kerinduannya akan Allah yang
menyelamatkan semua orang di seluruh dunia di dalam Yesus Kristus,
telah mendorong beliau untuk merumuskan kerinduannya yang inklusif,
menghasilkan Kristologi yang dinamakannya anonymous Christ (Kristus
Page 7 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
tak bernama), artinya ialah kristus yang ada di agama-agama lain,
sekalipun tidak bernama Kristus. Kristus tanpa nama, yang ada di semua
agama-agama, adalah kristus yang menyelamatkan. Karena itu, orangorang beragama lain sebenarnya adalah juga orang-orang Kristen tanpa
nama atau Anonymous Christians. Dengan kata lain, bahwa Allah yang
menyelamatkan, tidak hanya menyatakan diri-Nya melalui berinkarnasi
menjadi manusia di dalam dan melalui Kristus Yesus (bernama) dalam
agama Kristen, juga adalah Allah yang menyatakan diri dengan cara
inkarnasi melalui Kristus (tanpa nama kristus) di agama-agama lain.
Karena itu, Kristus bukan hanya monopoli orang Kristen10
2. Inkarnasi Hick yang Metaforis
John Hick adalah seorang tokoh terkemuka dalam teologi abu-abu
atau teologi agama di dunia. Pada karya tulis awalnya yang terkenal
dengan buku yang berjudul The Myth of God Incarnate, beliau
menyatakan bahwa inkarnasi adalah suatu mitos.11 Namun dalam
perkembangan selanjutnya, konsep inkarnasi Hick mengalami perubahan,
dimana ia berargumentasi bahwa yang terbaik untuk memikirkan
mengenai penjelasan inkarnasi dalam Alkitab, adalah inkarnasi tersebut
dipahami sebagai metafor.12 Kita pasti bertanya, mengapa Hick merubah
pandangannya dari inkarnasi mitos menjadi inkarnasi metafor ? Inkanasi
yang metaforis ini dimunculkan oleh Hick untuk membuktikan bahwa
konsep inkarnasi kaum eksklusif yang tidak rasional menurutnya, adalah
harus ditinggalkan. Kita tentu akan mengejar dengan pertanyaan lain, yaitu
mengapa Hick harus menolak konsep inkarnasi kaum eksklusif? Jawaban
atas pertanyaan ini, ternyata harus berangkat dari presuposisi Hick
mengenai keselamatan yang harus dimengerti sebagai transformasi
manusia, yang berseberangan dengan kaum eksklusif. Kaum eksklusif
percaya bahwa keselamatan adalah karena pengampunan dosa yang
dikerjakan oleh satu-satunya perantara yakni Yesus. Pandangan kaum
eksklusif yang demikian adalah ditolak Hick. Baginya, tidak ada saran
mengenai perlunya seorang pengantara (mediator) antara manusia dan
Allah, atau tidak ada karya penebusan yang dapat memampukan Allah
untuk mengampuni. Pendapatnya ini didasarkan pada komentarnya tentang
Page 8 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
doa Tuhan Yesus sendiri mengenai pengampunan dosa, dimana bagi Hick,
pengampunan dosa yang diajarkan Tuhan Yesus adalah langsung berasal
dari Allah Bapa, tanpa harus melalui Yesus. Komentarnya ini diperkuatnya
dengan menggunakan perumpamaan tentang anak yang hilang yang
baginya langsung diampuni oleh Bapa tanpa pengantara (Luk. 15:20-24).13
Hick melakukan dua kesalahan dalam hal ini, yaitu mengabaikan teks
lain yang menyatakan bahwa tidak ada pengampunan dosa tanpa
penumpahan darah (Ibr. 9:22), dan penumpahan darah adalah berkenaan
dengan karya Tuhan Yesus di atas kayu salib sebagai kurban yang
sempurna, kurban yang menebus, yang memungkinkan adanya
pengampunan dosa (Mat. 26:28, Ef. 1:7, Ko1.1:14, Kis. 26:18). Tuhan
Yesus sendiri berdasarkan laporan para penulis Injil menegaskan mengenai
hak prerogatif Allah Bapa sebagai hak prerogatif-Nya sendiri dalam hal
mengampuni dosa manusia (Mrk. 2:10), dan kematian-Nya adalah sebagai
tubusan (Mrk. 10:45). Hick membangun pendapatnya tentang
pengampunan dosa hanya berangkat dari satu teks Alkitab dan
mengabaikan teks yang lain. Inilah ketidakseimbangan Hick yang
menghasilkan kesimpulan yang sempit dan picik. Selain itu, sangatlah
lemah untuk membangun ajaran di atas dasar perumpamaan, karena seperti
Hick membangun ajaran mengenai pengampunan tanpa harus melalui
Yesus di atas dukungan perumpamaan mengenai anak yang hilang. Pada
hal bukan itu yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus dengan perumpamaan
tersebut.
Lebih jauh, Hick memberikan tiga alasan utama untuk menolak
konsep tradisional atau eksklusif mengenai inkarnasi, sekaligus
menegaskan konsep inkarnasinya yang metaforis:
1. Hick menyimpulkan bahwa jika Yesus adalah Allah Pencipta yang
kekal menjadi manusia, maka itu menjadi sangat sulit untuk memandang
Yesus sebagai fenomena yang sederajat dengan tradisi-tradisi agama lain.
Ini adalah sangat tidak mungkin bahwa sintesis yang relatif demikian
diterima oleh para ahli sejarah dan agama. Maka itu dengan mengutip
pendapat Helmut Koester mengenai inkarnasi Yesus sebagai salah satu
dari sekian banyak inkarnasi dalam dunia Romawi, dimana Allah tidak
Page 9 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
melulu dipahami sebagai Allah yang mengambil rupa manusia saja, ia
meragukan inkarnasi Eksklusif.14
2. Yesus adalah Allah yang berinkarnasi secara literal adalah tidak benar.
Karena itu tidak memiliki arti literal, melainkan suatu aplikasi kepada
Yesus dari suatu konsep mistis yang berfungsi sebagai anologi dari
anggapan mengenai keilahian Anak. Yesus memang adalah Anak Allah
namun itu adalah konsep mistis. terminologi "Anak Allah". Karena itu,
bagi Hick, inkarnasi tidaklah bergantung pada terminologi "Anak Allah".15
Berkaitan dengan itu, Hick mengakui bahwa inkarnasi adalah terlalu
misterius. Hal ini tentu bukan hanya pengakuan Hick, melainkan juga,
pada umumnya kaum pluralis, bahkan semua orang kristen pun
mengakuinya demikian. Kalau Hick mengakui bahwa inkarnasi itu adalah
mistis, atau tidak mungkin terjadi secara real, maka mengapa pada pokok
pertama beliau mengemukakan kemungkinan adanya inkarnasi selain
inkarnasi Yesus ? Sesungguhnya, Hick dan kaum pluralis lainnya telah
menyangkal pointnya yang pertama. Jadi antara point pertama dan kedua
adalah kontradiksi.
3. Hick dengan dukungan yang sangat kuat dari para ahli Perjanjian Baru
yang liberal, ia berpendapat bahwa inkarnasi merupakan perkembangan
pemikiran gereja mula-mula; sedangkan Yesus sendiri tidak pernah
berpikir bahwa diri-Nya akan menempuh cara yang demikian. Jadi sebutan
Anak Allah, Mesias, menjadi Allah Anak, yang berakhir pada rumusan
Tritunggal, merupakan sebutan dan rumusan dari perkembangan pemikiran
gereja. Kritik Alkitabnya kaum liberal telah memungkinkan kesimpulan
ini berakar dalam pikiran kaum pluralis. Dalam hal ini, mereka menolak
inspirasi Alkitab. Juga mereka menolak latar belakang mengapa Yesus
tidak mengkui diri-Nya sebagai Mesias secara eksplisit, karena Yesus
tidak mau menaruh kemesiasan diri-Nya dalam wadah berpikir orang
Yahudi, khususnya murid-murid-Nya yang memandang Mesias sebagai
Mesias politis yang akan datang untuk membebaskan mereka dari
penjajahan Romawi. Yesus sendiri menerima bahwa pernyataan Petrus
tentang dirinya sebagai Mesias merupakan penyataan Allah Bapa-Nya
(Mat. 16:17).
Page 10 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
D. Kristologi Kontekstual
Pada bagian ini, dikemukakan mengenai ulasan singkat dan kritik
pikiran seorang profesor ilmu agama dari misiologi di Vrije Universiteit
Amsterdam yakni Anton Wessels. Secara khusus mengulas bukunya yang
berjudul "Memandang Yesus".16 Dalam buku tersebut, beliau menyajikan
mengenai pelbagai perspektif orang kristen maupun bukan kristen tentang
Yesus di sepanjang waktu dan di segala tempat. Dengan kata lain, Wessels
berusaha menyajikan mengenal Kristologi yang kontekstual, yaitu
Kristologi yang dipahami dalam kemajemukan budaya yang ada di dunia.
Ia berusaha menjelaskan bahwa membangun kristologi yang kontekstual,
yaitu kristologi yang dapat dipahami dalam semua konteks budaya
merupakan usaha yang pantas, karena tidak menyangkal hakekat Yesus.
Kristologi yang kontekstual dalam kemajemukan budaya, diupayakan oleh
kaum pluralis untuk menegaskan kehadiran Yesus (bagi penganut
pendekatan kristosentris), atau kehadiran Allah (bagi penganut pendekatan
Theosentris) dalam setiap budaya yang tentunya terkait dengan agama.
C.S.Song misalnya, membangun teologi transposisinya dengan
mengemukakan mengenai inkarnasi Kristus dalam konteks kemajemukan
budaya Asia. Karena itu ia mendukung transposisi Kristus dengan gambar
Asia yang berhidung pesek, bermata sipit, dengan kulit sawo matang.17
Transposisi seperti ini juga merupakan cita-cita kaum feminis dengan
teologi feminisnya, kaum liberalis dengan teologi pembebasannya, kaum
hitam dengan teologi hitamnya.
Ada tiga hal yang disoroti dalam kristologi kontekstual yang
dikemukakan oleh Wessels. Pertama, pada intinya, Wessels membangun
teologi kontekstual yang menekankan pendekatan Kristologi fungsional.
Hal ini nampak dalam jiwa tulisan ini yang banyak menyajikan kebutuhan
sentuhan kristologis di negara-negara yang banyak mengalami penderitaan
seperti Amerika latin dan Asia yang dia ketahui. Yesus dilihat hanya dari
sisi manfaat atau perananNya. Inilah kepincangan kristologi yang
menekankan praksis, dan mengabaikan pendekatan ontologis dari Yesus
yang seharusnya dipadukan. Kedua, Wessels terlalu menekankan konteks
sehingga mengabaikan teks. Karena teks (Alkitab), adalah berbicara
mengenai Yesus yang historis. Sedangkan yang harus diwaspadai dalam
Kristologi kontekstualnya Wessels ialah perwujudan Yesus dalam banyak
Page 11 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
cara dan penyangkalan terhadap historisitas Yesus. Ketiga, tidak ada
pembahasan yang jelas antara budaya dan Kristus. Akibatnya ialah sangat
berpotensial untuk jatuh kedalam sinkritisme, yaitu penyatu-paduan
Kristus dengan budaya. Sehingga Kristus yang diimani bisa jadi bukan lagi
Kristus Alkitab. Jadi, dalam hal ini, bukan tidak boleh membangun
kristologi yang kontekstual, namun harus diwaspadai, jangan sampai
berkristologi dengan motif membuat Yesus diterima dengan baik dalam
konteks budayanya orang yang diinjili, namun dengan cara atau jalan
mengorbankan jati diri kekristenan yang bertolak dari teks (Alkitab) bukan
konteks, kepada konteks, bukan sebaliknya. Kontekstualisasi yang
dimaksudkan di sini ialah suatu usaha mengidentifikasikan Yesus dalam
semua konteks, namun tidak menghilangkan identitasnya.
Di atas, telah dibahas mengenai upaya membangun kristologi dalam
konteks kemajemukan budaya. Pada bagian ini, akan lanjutkan dengan
pembahasan mengenai upaya kaum pluralis membangun Kristologi
kontekstual yaitu kristologi yang dibangun dalam konteks kemajemukan
agama. Menurut kesaksian Sugirtharajah bahwa semua penulis artikel
yang termuat dalam bukunya Wajah Yesus di Asia, beranggapan bahwa "
semua pemahaman tentang Yesus muncul dari kebutuhan-kebutuhan
kontekstual yang khusus. Keabsahan pemahaman tentang Yesus tidak
terletak pada klaim-klaim yang kekal atau pada paham-paham
dogmatiknya, tetapi ...pada suatu konteks khusus".18 Yang dimaksud oleh
Sugirtharajah dengan keabsahan pemahaman tentang Yesus tidak terletak
pada klaim-klaim yang kekal atau paham-paham dogmatisnya ialah
berbicara mengenai penolakkan terhadap rumusan teologi tradisional,
seperti rumusan Chalcedon yang umumnya dipegang teguh oleh kaum
Injili.19 Dalam hal ini, mereka menegaskan bahwa Kristologi yang benar
adalah Kristologi yang sesuai dengan konteks apa pun, bukan sesuai
dengan rumusan doktrin yang kaku. Dalam konteks kemajemukan agama,
maka kristologi kontekstual yang diupayakan ialah Kristologi yang dapat
diterima oleh agama-agama lain. Berkenaan dengan itu, bangkitlah tematema Kristologi dalam Wajah Yesus di Asia, seperti : Yesus dan Krisna
oleh Ovey N. Mohammad, Kristus dan Buddha oleh Seiichi Yagi, Sang
Buddha dan Sang Kristus oleh Aloysius Pieris, Mengakui Kristus dalam
konteks Islam oleh Alexander J. malik
Page 12 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
E. Kristologi Marcus J. Borg
Borg adalah seorang teolog yang juga sangat bersemangat dengan
penelitian Yesus sejarah karena itu ia disebut sebagai pelopor penyelidikan
ketiga mengenai Yesus sejarah, selain A. Roy Eckardt, E.P. Sanders,
Anthony E. Harvey, Ben F. Meyer. Secara khusus, Borg berkosentrasi
meneliti Yesus sejarah dalam konteks keyahudian-Nya abad pertama,
dengan menggunakan pendekatan disiplin ilmu sosial. Kesimpulannya
ialah : Yesus adalah seorang pribadi yang diisi oleh roh Allah, guru yang
bijaksana dan seorang nabi sosial, serta pendiri gerakan pembaharuan.
(Jong, 1999:75)
Dalam bukunya yang berjudul "Meeting Jesus Again for the First
Time", Borg menjelaskan pemahamannya tentang Yesus bertolak dari
pengalamannya sejak masa kanak-kanak sampai is menyelesaikan studi
teologinya. Yesus yang dia pahami pada masa anak-anak ialah Yesus yang
lahir dengan cara yang ajaib, Anak Allah, yang mati bagi dosa-dosa
manusia (5,7). Kemudian pada masa remaja, ia mulai meragukan
keberadaan Allah termasuk mulai meragukan ke-Allahan Yesus (8).
Namun setelah ia menyelesaikan studi teologinya, maka pemahamannya
tentang Yesuspun berubah. Dengan meneliti Injil-Injil, maka ia
menemukan bahwa para penulis Injil mengubah dan memberi tambahantambahan pada Injil tersebut, dengan dua cara yakni pertama, laporan
tentang Yesus adalah disadur dan diterapkan untuk komunitas kristen yang
terus berubah, dimana Yesus menyampaikan ajaran-Nya dalam lingkungan
Yahudi Palestina, sedangkan penulis Injil menyadurnya untuk komunitas
yang baru yaitu paguyuban yang berada di luar Palestina. Kedua pada
masa itu kepercayaan tentang Yesus tumbuh dan mengalami perubahan,
dimana sebelumnya Yesus hanya dilihat sebagai pribadi yang memiliki
sifat-sifat ilahi, namun kemudian berkembang, dimana mereka memahami
bahwa Yesus adalah Allah. Karena itu, ia menyimpulkan bahwa gambaran
tentang Yesus dalam Injil-Injil adalah gambaran tentang Yesus yang tidak
historis (14). Akhirnya ia membedakan antara Yesus kepercayaan sebelum
paskah (pra-paskah), dan Yesus sejarah (post-paskah), dan ia lebih
memilih Yesus post paskah. Karena menurut beliau Yesus post-paskah
adalah Yesus yang historis, natural dan tanpa mitos.20 Yesus post-paskah
adalah Yesus yang sebenarnya, yaitu Yesus sejarah, sedangkan Yesus praPage 13 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
paskah adalah Yesus kepercayaan yang penuh dengan muatan mitos para
penulis Injil. Dengan kata lain, Yesus adalah Allah merupakan mitos para
penulis Injil.
Borg mengemukakan sistem hermeneutikanya dengan kesimpulan
bahwa Injil-Injil yang ada di tangan orang kristen sekarang ini adalah Injil
yang tidak melaporkan tentang Yesus yang sesungguhnya, melainkan
Yesus kepercayaan para penulis Injil yang penuh dengan unsur mitos.
Sehingga pengakuan tentang Yesus adalah Allah dalam tulisan Injil dan
pengakuan iman kristen masa kini mengenai keAllahan Yesus, menurut
Borg adalah keliru. Karena itu merupakan mitos penulis Injil. Setelah
mengemukakan sistem hermeneutikanya, maka kemudian beliau
melanjutkan dengan pembuktian mengenai ketidak-Allahan Yesus. Yesus
bukanlah Allah. Pernyataan ini selain bertolak dari sistem hermeneutika
yang telah dikemukakan di atas juga ditopang oleh pembuktian dari
penelitian mengenai latar belakang keYahudian Yesus sejak masa kanakkanak sampai dewasa. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa
1. Yesus sejarah adalah seorang manusia roh (spirit person), salah
seorang tokoh di dalam sejarah insani yang memiliki suatu kesadaran
dan pengalaman akan realitas Allah.
2. Yesus adalah seorang pengajar hikmat yang dengan teratur memakai
bentuk-bentuk klasik wacana hikmat (perumpamaan-perumpamaan
dan ucapan-ucapan pendek yang mudah diingat yang dikenal sebagai
aforisme-aforisme) untuk mengajar hikmat alternatif dan subversif.
3. Yesus adalah seorang nabi sosial, serupa dengan nabi-nabi klasik
pada zaman Israel kuno. Sebagai nabi sosial, Ia mengeritik kalangan
elit (ekonomi, politis, dan keagamaan) pada zaman-Nya, adalah
seorang penganjur suatu wawasan sosial alternatif, dan seringkali
terlibat konflik dengan para penguasa.
4. Yesus adalah seorang pendiri suatu gerakan yang melahirkan suatu
gerakan pembaharuan atau revitalisasi Yahudi yang menantang dan
mengguncangkan batas-batas sosial zamannya, suatu gerakan yang
akhirnya menjadi gereja Kristen perdana (Borg, 1997:37)
Page 14 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
Kesimpulan ini membuktikan bahwa tidak ada lagi yang unik dalam diri
Yesus. Yesus bukanlah Allah. Semuanya ini merupakan ajaran yang paling
disukai oleh kaum pluralis. Karena dengan demikian Yesus bukanlah
finalitas penyataan Allah, Yesus adalah sama dengan pemimpin agama
yang lain. Dengan demikian batu sandungan besar kaum pluralis telah
digulingkan oleh Borg, sehingga jalan bebas hambatan tercipta untuk
kaum pluralis membangun Teologi Abu-Abu atau Teologi Agama-agama
mereka.
Kita mungkin bertanya, untuk apa Borg menyimpulkan dan
memandang Yesus dengan cara demikian ? Ternyata kesimpulan Borg
adalah dipengaruhi oleh presuposisinya yang skeptis terhadap keilahian
Yesus dan yang antipati dengan keunikan Yesus di antara semua
keberadaan agama yang ada di dunia. Kesimpulan ini menguntungkan
kaum pluralis, karena memang sesungguhnya beliau sendiri adalah
pluralis. Karena ia tidak percaya akan adanya penyataan khusus Allah.
Karena baginya adalah "tidak mungkin Allah berbicara hanya kepada dan
melalui kelompok khusus orang-orang kristen ini... Yesus adalah salah
satunya."(1997:48). Kesimpulan Borg ini juga, mendukung kakaknya
Teologi Abu-Abu, yakni Teologi Sekularisasi, suatu teologi yang anti
dengan paham Deisme (memandang Allah sebagai keberadaan yang
transenden melulu), juga bertentangan dengan Theisme (memandang Allah
sebagai keberadaan yang transenden sekaligus imanen). Borg mendukung
Teologi Sekularisasi yang tidak menyukai konsep Allah yang ada "di luar
sana" (transenden atau adikodrati), melainkan menegaskan melalui peran
Yesus yang sesungguhnya bukan Allah, bahwa Allah telah mati, dimana
Allah konsep theisme tidak ada dalam dunia ini. Allah menjadi suatu
realitas yang terkait dengan pengalaman tradisi Yahudi yang menjadi
pijakan Yesus dalam mengajarkan tentang Allah yang tidak dipandang
sebagai pencipta yang berada jauh di sana, melainkan yang ada di sekitar
kita. (1997:50)
Page 15 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
F. Kristologi Knitter yang Theosentris
Bertolak dari upaya untuk membela teologi abu-abu atau pluralisme,
Paul F. Knitter mengikuti jejak John Hick, berargumentasi bahwa dalam
berkristologi : " we must move from a Christocentric to a theosentric
perspective"21 (kita harus beralih dari suatu perspektif kristologi yang
berpusatkan pada Kristus kepada Kristologi yang berpusatkan kepada
Allah). Ada pun maksud dari peralihan dalam berkristologi ini, ialah untuk
membangun teologi abu-abu atau teologi agama-agama yang diharapkan
akan menyediakan jalan raya dialogis antar agama. Tujuan mereka sematamata hanya untuk menciptakan dialog yang sehat antar agama.
Demi kristologinya yang theosentris, Knitter mengadopsi konstruksi
kristologi kaum liberal, mengenai evaluasi kristologi yang menyatakan
bahwa Kristus sendiri tidak berpikir mengenai diri-Nya sebagai Allah,
melainkan sebagai hasil perkembangan berpikir para murid. Jadi semua
teks Alkitab yang menegaskan mengenai pengakuan keallahan Yesus
Kristus dianggap sebagai buah pikiran murid-murid, bukan pikiran Yesus
sendiri, dan bukan berdasarkan peristiwa historis. Selain itu, Knitter juga
memperkuat Kristologinya yang theosentris dengan mengklaim bahwa
Yesus sendiri tidak memberikan dukungan apa pun mengenai diri-Nya
yang dianggap Allah oleh orang Kristen. Untuk itu Knitter memberikan
beberapa referensi yang mendukung tesisnya, yaitu Yesus
memproklamirkan bukan tentang diriNya melainkan tentang kerajaan
Allah, Yesus berdoa kepada Bapa sorgawi, Yesus menuntut kepada setan
bahwa semua harus menyembah Allah saja. Maka itu kristologi Tuhan
Yesus sendiri adalah bersifat Theosentris.
Sekali lagi, seperti kaum pluralis pada umumnya, Knitter tidak
mengakui Yesus sebagai Allah, bukan karena ia tidak mampu menemukan
bukti-bukti Alkitab yang berbicara tentang keilahian Yesus, melainkan
oleh karena matanya hanya melihat dan atau mencari teks-teks yang
menurut beliau mendukung kristologinya yang abu-abu, bahkan dengan
sengaja menghindari teks-teks yang secara explisit menyatakan keilahian
Yesus Kristus. Sesungguhnya, yang mendasar dari Knitter ialah
presuposisi hermeneutikanya yang menolak tulisan Injil-Injil khususnya
sebagai Firman Allah yang tidak bersalah dalam teks aslinya, dan
Page 16 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
presuposisi teologisnya yang tidak mengakui Alkitab sebagai penyataan
khusus Allah yang tertulis.
G. Kristologi Kosmik (Cosmic Christology)
Topik mengenai kristologi kosmik sudah disinggung pada
pembahasan sebelumnya terkait dengan pembahasa inkarnasi Allah,
namun penulis memandang perla untuk menguraikannya lebih lanjut.
Kristologi kosmik dipopulerkan oleh para teolog katolik berkenaan dengan
posisi inklusif mereka yang memandang Yesus sebagai penyelamat yang
hadir tanpa batas tempat dan waktu untuk menyelamatkan semua manusia
sekali pun tanpa mengakui keTuhanan-Nya. Pandangan ini dimunculkan
berkenaan dengan usaha mereka membangun teologi abu-abu demi
menjalan atau berelasi dengan agama-agama lain. Mereka adalah Karl
Rahner dengan teori anonymous Christ-nya (Kristus tak bernama) yang
menyatakan bahwa Kristus juga hadir dalam agama-agama lain, tanpa
nama Yesus; Raymond Panikkar dengan teori The Unknown Christ of
Hinduism (Kristus yang tidak dikenal oleh orang-orang Hindu)
mengajarkan bahwa Kristus tidak hanya dalam pengertian Kristus yang
historis, melainkan juga Kristus yang ada dalam pikiran orang Hindu;
Stenley samartha dengan teori The unbound Christ of Hinduism (Kristus
yang terjilid dalam Hinduisme), menyatakan bahwa Kristus tidak terbatas
dalam ikatan agama dan budaya tertentu saja, katakanlah dalam agama
Kristen dengan Yesus Nazaret sebagai Tuhannya, melainkan juga Yesus
juga berada dalam agama dan budaya yang lain, seperti agama Hindu dan
budaya India. Inilah contoh-contoh Kristologi Kosmik dalam pandangan
kaurn inklusif yang nota bene juga adalah kaum pluralis kontemporer
katolik.
Namun sesungguhnya, jauh sebelum para teolog katolik atau pluralis
katolik mengembangkan teologi kosmik dalam pemikiran kontemporer,
teologi kosmik sudah ada sebelum Konsili Vatikan II tahun 1965, yaitu
sebagai usulan dalam Sidang DGD yang berlangsung di India., oleh Joseph
Sittler tahun 1961. Sittler membangun Kristologi Kosmiknya berdasarkan
Kolose 1:15-20. Kristologi Kosmik mendapat dukungan penuh dari para
teolog yang berpayung di bawah DGD. 22 Sittler menafsirkan Kolose 1:15Page 17 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
20, dengan memfokuskan penelitian terhadap pada pernyataan-pernyataan
yang nampak secara eksplisit seperti "segala sesuatu yang diciptakan oleh
Dia dan untuk Dia." Muncul enam kali dalam teks tersebut menerangkan
mengenai pencapaian secara maksimum, dimana penebusan Allah adalah
untuk seluruh alam semesta dalam jangkauan yang luas, dan Kristus
digambarkan di situ sebagai Kristus kosmik yang menyelamatkan semua
ciptaan. Sehingga Yesus tidak hanya dimengerti dalam pengertian Yesus
historis dan Nazaret, melainkan juga Yesus yang menyatakan diri dalam
semua ciptaan.23 Bertolak dari penafsiran ini, bangkitlah sejumlah tulisan
yang memperkenalkan mengenai Kristologi Kosmik dalam pemikiran
kontemporer untuk disajikan demi terciptanya kerukunan agama sebagai
salah satu cita-cita masyarakat madani yang dikhayalkan oleh beberapa
tokoh terkemuka di Indonesia khususnya.
Teks Kolose 1:15-20 ini, memang berbicara mengenai keunggulan
Kristus atas segala ciptaan. Namun, itu tidak berarti bahwa segala sesuatu
dengan sendirinya diselamatkan oleh Dia, juga tidak berarti bahwa Ia
menjelmakan diri-Nya dalam segala sesuatu. Tidak ada indikasi yang jelas
dari teks ini yang menyatakan bahwa Yesus Kristus menyatakan diri-Nya
dalam semua bentuk ciptaan-Nya. Kristologi kosmik ini, selain karena
interpretasi yang keliru mengenai teks Kolose, juga Kristologi Kosmik
yang demikian adalah tidak memadai, karena bagaimana mungkin
seseorang membangun pandangannya tentang Kristus, hanya beranjak dari
satu teks saja ? bahkan teks tersebut ditafsirkan di luar konteks. Inilah
bentuk penghancuran Alkitab, yang menghasilkan gambar Yesus yang
tidak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh penulis kitab. Inilah
kekeliruan Kristologi Kosmiknya Sittler.
Selain itu, Kristologi Kosmik dengan sistem hermeneutika yang
terbuka, menggunakan kritik kanonik untuk membuktikan kehadiran
Yesus di luar kekristenan. Itu berarti mereka harus menggali konsep
Kristus yang ada di luar Alkitab. Kritik kanonik nampak melalui
penggunaan materi-materi yang berasal dari selain kitab-kitab yang ada
dalam Alkitab, juga kitab-kitab yang tidak termasuk kanon Alkitab seperti
kitab-kitab hikmat Yudaisme, diantaranya Sirak dan hikmat Salomo. Ini
jelas merupakan kesalahan yang fatal dalam berteologi. Kesalahan yang
fatal tersebut, sesungguhnya adalah bertolak dari kesalahan yang
Page 18 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
menclasar, yaitu berkenaan dengan presuposisi kristologis mereka, yang
pada umumnya sama dengan pandangan kaum pluralis seperti C.S. Song
dan John Hich, bahwa pribadi kedua Allah tritunggal berinkarnasi bukan
hanya sekali, melainkan berkali-kali, disegala tempat dalam banyak wujud.
Bahkan pribadi kedua Allah Tritunggal ini sudah berinkarnasi sebelum Ia
menjadi manusia dalam peristiwa inkarnasi yang dilaporkan oleh Alkitab.
Kristus bagi mereka sudah hadir dan bekerja dalam rangka menyelamatkan
semua manusia, termasuk manusia di zaman Perjanjian Lama. Kehadiran
Yesus tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu, juga tidak dapat dibatasi
oleh semua batasan budaya dan agama, karena itu salah satu pluralis Asia,
sekaligus penganut Kristologi Kosmik, yakni Tisaa Balasuriya
membangun suatu ajaran tentang pembebasan yang bertolak dari konsep
Allah yang memerangi semua bentuk ketidak-adilan. Dengan Kristologi
Kosmik, beliau menegapkan mengenai inti berita ialah pembebasan yang
menyeluruh dan terpadu dalam semua kebudayaan, agama dan masyarakat.
Hal ini tentu terkait dengan kebenaran yang ada di dalam semua agama,
budaya dan masyarakat.24 Bersama dengan temannya Samartha
menegaskan kebutuhan Kristologi Kosmik bagi perjuangan orang India
untuk keluar dari bentuk perbudakan yang ada. Kristologi partikularis
tidak cukup mampu untuk menuntun semua manusia, kecuali dengan
Kristologi Kosmik.25
Para pelopor kristologi kosmik sebenarnya berusaha menemukan
dukungan teks Alkitab untuk membangun teologi abu-abu yang hanya
bertolak pada teks-teks tertentu, sempit dan tidak memadai. Ketidakmemadaian kristologi ini, selain karena pikiran kristologi ini sebagian
berasal dari sumber-sumber di luar Alkitab, juga karena pandangan ini
tidak melihat ajaran Alkitab secara keseluruhan. Sayang pandangan yang
sempit dan tidak memadai ini diterima oleh DGD sebagai kebenaran
kristologis dalam upaya mereka membangun teologi abu-abu, demi
bersikap positif terhadap agama lain. Apakah harus dengan
menghancurkan Alkitab dan Finalitas Yesus, menghancurkan agama
sendiri, baru bisa memiliki sikap positif terhadap agama lain. Bukankah
demikian merupakan sifat munafik terhadap agama lain, karena
menyembunyikan atau membuang jati dirinya sendiri. Saya pikir orangorang beragama lain, akan senang menerima kita apa adanya.
Page 19 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
1
Wolfhart Pannenberg, Jesus-God and Man, (Philadelphia: Westminster
Press, 1968 ), p34-35.
2
C.S. Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami ..., h. 18, 194. I. Rahmat,
Kristologi Anak Manusia di dalam Injil Yohanes...h. 65, dan Serba Serbi
Doktrin: Yesus satu...h. 1
3
R.S. Sugirtharajah, What Do Men Say Remains of Me ?, Asia Jurnal
Theology, Vol.5, 1991, p. 336
4
A.Roy Eckardt, Menggali Ulang Yesus Sejarah, Kristologi Masa Kini,
(Jakarta:BPK G.M.1996), h. 240. Choan-Seng Song, The Compassionate
God... p.102.
5
Ioanes Rahmat, " Serba Serbi Doktrin: Yesus satu-satunya Jalan ", h. 89. John Hick. Jesus and the World Religions, dalam " The Myth of God
Incarnate" (London : SCM, 1977). P. 183.
6
Michael Amaladoss, " Pluralisme Agama-Agama dan Makna Kristus",
dalam Wajah Yesus di Asia, p. 140
7
R.S. Sugirtharajah, Wajah Yesus di Asia, ( Jakarta: BPK Gunung Mulia,
1996 ), h. 414-115
8
Choan-Song Song, Sebutkanlah Nama ... h. 81
9
Raymond Panikkar, "The Unknown Christ of Hinduism", Christianity and
Other Religions, edited by John Hick ...p.122
10
Paul F. Knitter, No Other Name ? ... p.186
11
John Hick, ed., The Myth of God Incarnate, (London:SCM Press, 1977).
12
John Hick, The Metaphor of God Incarnate: Christology in a Pluralistic
Age ( Louisville: Westminster Press, 1993).
13
Ibid., p. 127.
14
Ibid., p. 242.
15
John Hick, " Jesus and the World Religions ", dalam The Myth of God
Incarnate,
...p.
178.
16
Anton Wessels, Memandang Yesus, Gambar Yesus dalam Berbagai
Budaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990)
17
Choan Seng Song, The Compassionate God, ... p. 57-58.
18
Sugirtharajah, Wajah Yesus di Asia, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1996),
h. 2.
19
Ibid. h. 415
20
Marcus J. Borg, Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali, (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 1997), h. 20
Page 20 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang
21
Paul F. Knitter, No Other Name?, Paul F. Knitter, " Toward A
Liberation Theology of religions ", in The Myth of Christian Uniqueness,
edited John Hick and Paul F. Knitter, ( London: SCM Press, 1987 ), pp.
187-200.
22
D.A. Carson, The Gagging of God: Christianity Confronts Pluralism,
(Leicester: Inter-Varsity Press, 1996), p. 328.
23
Ibid. p. 44.
24
Deane William Ferm, Third World Liberation Theologies, (Maryknoll:
Orbis Books, 1986), p. 86.
25
Ibid. p. 93
Pengutipan dari artikel ini harus mencantumkan:
Dikutip dari
http://www.geocities.com/thisisreformed/artikel/pluralisme04.html
Page 21 
Download
Study collections