Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang TEOLOGI ABU-ABU (Pluralisme Iman) Oleh: Pdt. Stevri Indra Lumintang, M.Th. Prakata: Prof. Joseph Tong, Ph.D. Prakata: Evendy Tobing, M.Div. Diterbitkan oleh: Departemen Literatur YPPII, Malang. Cetakan pertama, 2002. BAB V KRISTOLOGI ABU-ABU: TEMA-TEMA YANG MUNCUL (PLURALISME DALAM DOKTRIN KRISTUS) Persoalan teologi kristen adalah berakar pada persoalan kristologi. Oleh karena itu, untuk menilai posisi teologi seseorang, apakah ia seorang injili atau pluralis, universalis, atau gabungan dari dua diantaranya, bahkan gabungan dari ketiganya, harus mempelajari selain sistem hermeneutikanya juga kristologinya. Dengan kata lain, mengenal posisi teologi seseorang, bukanlah hanya berdasarkan pernyataan-pernyataan teologisnya yang muncul di seluruh disiplin ilmu teologi, melainkan harus berangkat dari akar teologi yakni kristologi. Banyak kali kita kaum injili ditipu, dikelabui dengan pernyataan-pernyataan yang kedengarannya injili, padahal liberal dan atau pluralis tulen. Hati-hati ! Persoalan Kristologi Page 1 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang adalah persoalan seluruh teologi Kristen. Pusat persoalan teologi modern juga berakar pada persoalan kristologi yang dipelopori oleh para teolog liberal, dengan kritik Alkitab, mereka menggunakan metode-metode ilmiah untuk menyelidiki Yesus dalam Alkitab. Penyelidikan ini menghasilkan rumusan baru atau kristologi baru yang bertolak belakang dengan rumusan tradisional/orthodoks yang umumnya menjadi pegangan kaum Injili. Hasil penelitian ini, ternyata ditumbuh-kembangkan oleh kaum pluralis dengar cara memasukkan jiwa pluralisme dalam Kristologi, bahkan dengan tidak segan-segan mengadakan penelitian dengan pendekatan kritik kanonis yang tidak hanya bersumber pada enam puluh enam kitab dari Alkitab, juga bersumber pada sumber-sumber di luar Alkitab, seperti kitab Barnabas dan Thomas, kitab agama-agama lain, kebudayaan. Selain itu menggunakan Pendekatan sosiologis-anthropologis untuk meneliti konteks sejarah yang terikat dengan segala bentuk latar belakang agama, budaya, sosial-politik, dan ekonomi, yang bersumber baik dari dalam Alkitab, maupun dari informasi-insofrmasi yang diperoleh dari luar Alkitab, seperti dokumen-dokumen sejarah. Pada umumnya, kaum pluralis adalah kaum liberal. Pandangan mereka mengenai teologi abu-abu atau teologi agama, sangat dipengaruhi oleh pikiran-pikiran liberal yang bertolak dari studi mengenai kritik Alkitab yang dijiwai oleh semangat rasionalisme pencerahan abad 18, serta dipadukan dengan kenyataan konteks penderitaan manusia dan tuntutan alami dari kemajemukan agama yang dihadapi. Pada kesempatan ini, pembahasan hanya berkenaan dengan tema-tema utama yang dimunculkan oleh kaum pluralis dalam berkristologi. Sebelum mengemukakan tematema tersebut, maka sudah sepatutnya menyajikan terlebih dahulu metode pendekatan kristologi mereka. A. Metode Pendekatan Kristologi Biasanya ada dua metode pendekatan kristologis yang biasanya dipakai oleh kaum pluralis dalam upaya mereka mendasarkan tumpuan teologi abu-abu mereka. Kedua metode kristologis tersebut ialah: Kristologi dari bawah dan Kristologi fungsional. Kristologi dari bawah Page 2 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang sebagai pertentangan dengan Kristologi dari atas, sedangkan Kristologi fungsional sebagai lawan dari Kristologi Ontologis. 1. Kristologi. dari bawah Metode ini adalah berusaha memahami Ketuhanan Yesus dimulai dari manusia Yesus dari Nazaret, kemudian bertanya bagaimana caranya Ia menjadi Allah. Metode pendekatan ini disebut Vonunten atau "The Christology from below". Pelopor pendekatan ini ialah Wolfhart Pannenberg.1 Pendekatan seperti ini juga sangat dekat dengan pandangan adoptisnisme, bahwa Yesus menjadi Allah karena diangkat Allah Bapa sejak pembaptisan-Nya. Pendekatan ini kontras dan menolak Kristologi dari atas atau Von Oben (The Christology from above), yaitu Kristologi yang dimulai dengan Yesus sebagai Anak Allah, kemudian bertanva bagaimana caranya Ia menjadi manusia (Orthodox). Von Oben adalah pendekatan teologi yang banyak dicela oleh kaum pluralis, bukan hanya sebagai konsewensi logis mereka yang menggandrungi pendekatan teologi Vonunten, melainkan juga karena mereka sangat tidak menyetujui rumusan-rumusan teologi tradisional yang mengakui pendekatan Von Oben sebagai salah satu pendekatannya. Kaum pluralis mengembangkan pendekatan ini dalam upaya mereka membangun teologi abu-abu. Kristologi mereka yang pada hakekatnya adalah sama dengan kristologi kaum sekularis, yang melihat Yesus sebagai manusia biasa, pemuda Yahudi yang dipilih Allah untuk menerima Roh-Nya, sehingga ia menjadi manusia "super" (manusia allah). Song dan Rahmat melihat Yesus sebagai manusia biasa. yang didiami oleh Allah, dan Ia tetap manusia, karena itu Yesus disejajarkan dengan semua tokoh agama dunia.2 Kesimpulan seperti ini adalah berangkat dari metode pendekatan Christology from below. 2. Kristologi Fungsional Kristologi ini sebagai lawan dari Kristologi Ontologis yang menekankan mengenai pribadi Yesus yaitu apa yang terkait dengan pertanyaan " Page 3 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang siapakah Dia? ". Sedangkan Kristologi Fungsional menekankan pada karya Kristus, yaitu terkait dengan pertanyaan " Apakah yang Yesus lakukan? ". Schleiermacher dan Bultmann memahami makna Yesus bagi umat-Nya dengan menekankan pada pengalaman beragama, pengalaman batin dengan Yesus. Tillich menegaskan Kristologi adalah suatu fungsi soteriologi. John A.T. Robinson, menekankan adanya Kristus bagi manusia . Hans Kung menekankan mengenai fungsi dari setiap gelar Yesus, Pluralis Sri Lanka, R.S.Sugirtharajah yang bukunya terkenal "Wajah Yesus di Asia" menyimpulkan dalam tulisannya bahwa Kristologi dunia ketiga, yang penting bukan "Who Jesus is, but where he is" (siapakah Yesus, melainkan dimana ia berada), bukan penjelasan tentang siapa Yesus (bukan proklamasi tentang pribadi dan karya penyelamatan yang dikerjakan oleh Yesus), melainkan "the evidence of his presence. Is he with the poor, or is he with the rich? (bukti kehadiran-Nya. Apakah ia bersama orang miskin atau apakah Ia bersama dengan orang kaya).3 Kaum pluralis pada umumnya melihat Allah dari sudut manfaat seperti Allah mengasihi, memberi hidup. Kristologi Fungsional ini sebagai jalan untuk mewujudkan Kristologi yang kontekstual. Kristologi seperti ini adalah kristologi yang disembah oleh pada umumnya pelopor dan penganut teologi kontemporer lainnya seperti teologi pembebasan, feminisme, teologi hitam, teologi pengharapan, teologi proses. Berkenaan dengan Kristologi fungsional yang diupayakan oleh kaum pluralis, maka yang sangat menarik dalam buku yang berjudul " Wajah Yesus di Asia ", bagian pertama membahas tema-tema mengenai Kristus dalam konteks kemajemukan agama di Asia (pluralisme), dan pada bagian kedua, membahas tema-tema mengenai Kristus dalam konteks penderitaan orang Asia. Pembagian ini memberikan indikasi yang sangat kuat mengenai tendensi kristologi kaum pluralis yaitu memandang Yesus yang hadir di semua agama, dan memandang Yesus sebagai pembebas manusia dari kemiskinan dan pelbagai bentuk diskriminasi yang menghapuskan kemanusiaannya manusia (Dehumanization). Seperti tulisan yang berjudul "Yesus dan Rakyat" (Minjung) sebagai komitmen teologis untuk menghadapi pengumulan rakyat kecil yang menderita karena ketidakadilan, ditulis oleh Byun Mu Ahn profesor PB dari Korea. Gerakan femisnisme nampak dalam tulisan yang berjudul " Siapakah Yesus bagi perempuan-perempuan Asia?" yang ditulis oleh Salvador T. Martinez, dari Filipina yang mengambarkan Yesus sebagai ibu, perempuan dan shaman. Page 4 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang Begitu juga dengan tulisan yang berjudul "Kristologi dari sudut pandang perempuan Asia" yang ditulis oleh Virgilla Fabella. Semua teologi ini merupakan wajah teologi pembebasan Asia yang diadopsi dari Amerika Latin yang nota bene dijiwai oleh pikiran Komunisme. Semua tulisan ini menekankan mengenai Kristologi fungsional. B. Yesus Sejarah Untuk kesekian kali, penulis menegaskan bahwa pada umumnya kaum pluralis adalah penganut teologi liberal. Teologi liberal dimulai dari kritik Alkitab, yakni studi yang kritis mengenai keorisinilan teks-teks Alkitab. Apa yang dipersoalkan oleh kaum liberal, itu pula yang dipersoalkan oleh kaum pluralis. Mereka mempersoalkan Yesus sejarah melalui studi yang kritis mengenai relasi antara peristiwa Yesus dan waktu penulisan. Kesimpulan mereka bahwa apa yang ditulis oleh para penulis Injil tentang Yesus, sesungguhnya bukanlah Yesus yang sesungguhnya atau bukanlah Yesus yang benar-benar ada secara historis, melainkan Yesus menurut pikiran para murid atau para penulis Injil. Karena itu, Yesus yang dikenal dari Alkitab oleh orang kristen sekarang, bukanlah Yesus yang sebanarnya, melainkan Yesus mitos para penulis Injil. Pada umumnya teolog pluralis mendasarkan kristologi mereka pada Yesus sejarah, seperti yang mereka sendiri katakan, diantaranya Roy Eckardt bahwa : " Kristologi harus di dasarkan pada Yesus sejarah." Yesus sejarah yang dimaksudnya, bukanlah Yesus yang ditulis oleh para penulis Injil. Karena itu ia berkata : " Sebab menyatakan Yesus adalah sang Kristus berarti membuat suatu pernyataan iman yang tidak dapat dibuktikan (atau tidak dapat disangkal) oleh sejarah". 4 Karena berdasarkan metode kritik redaksi dan bentuk, mereka menyimpulkan bahwa para penulis Injil menulis Injilnya berdasarkan hasil iman mereka (mitos), tidak memuat catatan historis tentang tentang kata-kata Yesus. Rahmat pun adalah penganut "Yesus sejarah" dengan komentarnya tentang Yesus dalam Injil-Injil adalah ciptaan penulis bukan historis, dan ia pun membedakan ucapan asli Tuhan Yesus dan yang produk para penulis Page 5 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang (Seminar Yesus: Yesus tidak pernah menuntut diri-Nya disebut dan diakui sebagai Mesias. Hal ini merupakan kesalahan para murid Yesus dan orang kristen masa kini).5 Pada umumnya, kaum pluralis tidak mengakui Yesus Sejarah melainkan Yesus kepercayaan. Hal ini pun merupakan komentar mereka sendiri, seperti komentar Amaladoss.6 Dengan kata lain, bahwa Yesus yang dikisahkan dalam Injil-Injil bukanlah Yesus yang sesungguhnya ada secara historis, melainkan Yesus yang ditangkap oleh iman para penulis Injil. Karena itu bagi mereka Injil adalah penuh dengan dongeng dan mitos. Dengan demikian mereka mencela orang Kristen yang terlalu menekankan finalitas Yesus atau kemutlakkan ketuhanan Yesus. Karena hal itu adalah bertolak dari teologi para penulis Injil yang sarat dengan mitos-mitos. Mereka ingin membersihkan orang kristen dari mitosmitos dengan jalan menafsirkan ulang Injil tersebut menurut keberadaan diri manusia itu sendiri (eksistensialisme), yaitu manusia modern yang anti mitos seperti cita-cita Bultmann dengan demitologisasinya. Bertalian dengan itu, kaum pluralis mengakui bahwa inkarnasi merupakan suatu mitos Yunani, pengakuan. mengenai ke-Allahan Yesus adalah mitos belaka, karena itu bukanlah Yesus yang sesungguhnya. Borg dan Sugirtharajah menggali ulang Yesus dan menegaskan bahwa memahami Yesus sejarah berarti memahami Yesus yang sesungguhnya.7 C. Inkarnasi Allah Berkenaan dengan topik inkarnasi, maka dengan dijiwai oleh filsafat yang menjunjung tinggi rasionalisme dan dengan didukung oleh semangat sekularisme dari kaum sekularis yang anti transendensi Allah, serta dengan distimulasi oleh universalisme yang mengakui keuniversalan Allah serta dipadukan dengan teologi abu-abu yang bertolak dari penyataan Allah yang universal, maka muncullah pelbagai penafsiran mengenai inkarnasi sesuai dengan kepentingan dan penekanan teologi abu-abunya. Page 6 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang 1. Inkarnasi Song, Panikkar dan Rahner yang Multireligius Song memahami inkarnasi Yesus hanyalah sebagai salah satu Inkarnasi Allah, karena Allah juga berinkarnasi dalam semua agama dan kebudayaan.8 Konsep inkarnasi seperti ini sama dengan konsep inkarnasi Panikkar yang dikenal dengan istilah "The unknown Christ of Hinduism" (Kristus yang tidak dikenal), dimana Yesus adalah Kristus namun Kristus bukanlah Yesus. Karena di dalam agama Hindu pun kehadiran Kristus yang tidak dikenal atau yang terselubung. Jadi orang Hindu sesungguhnya mengakui Kristus, hanya tidak dikenal. Kristus ini merupakan misteri ilahi yang imanen (berinkarnasi) dalam sejarah dan budaya manusia. Dengan kata lain, bahwa Allah tidak hanya berinkarnasi di dalam dan melalui Yesus saja, melainkan juga berinkarnasi di dalam agama lain, seperti di dalam agama Hindu. Jadi, Allah menjadi manusia tidak hanya melulu bernama Kristus, melainkan terdapat dalam setiap nama yang ada dalam masing-masing agama. Dalam Hindu dikenal dengan nama Ishavara, dalam Kekristenan dikenal dengan nama Yesus dari Nazaret. Panikkar membedakan antara Yesus dan Kristus. Yesus baginya adalah bagian dari pada Kristus. Karena Kristus itu lebih dari pada Yesus dan tidak hanya dikenal melalui Yesus. Kristus sebagai misteri ilahi bukan satu realita yang mempunyai banyak nama, tetapi dalam setiap nama yang berbeda-beda di masing-masing agama, Kristus ada dan menyelamatkan.9 Baik Song maupun Panikkar, keduanya menekankan kebenaran yang bertumpu pada Firman yang menjadi daging, untuk menolak semua unsur agama yang abstrak /transenden dan untuk menekankan keluasan penyataan Allah yang tidak hanya dimonopoli oleh inkarnasi Kristus dalam Alkitab. Karena itu, Song memahami inkarnasi bukan hanya dalam pengertian inkarnasi pribadi kedua Allah Tritunggal yakni Kristus, melainkan, Song mengakui adanya inkarnasi Allah dalam banyak bentuk, bahwa Allah tidak hanya menyatakan diri di dalam agama Kristen, melainkan juga menyatakan diri di dalam agama-agama lain yang ada, bahkan menyatakan diri dalam budaya apapun. Karl Rahner beranjak dari kerinduannya akan Allah yang menyelamatkan semua orang di seluruh dunia di dalam Yesus Kristus, telah mendorong beliau untuk merumuskan kerinduannya yang inklusif, menghasilkan Kristologi yang dinamakannya anonymous Christ (Kristus Page 7 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang tak bernama), artinya ialah kristus yang ada di agama-agama lain, sekalipun tidak bernama Kristus. Kristus tanpa nama, yang ada di semua agama-agama, adalah kristus yang menyelamatkan. Karena itu, orangorang beragama lain sebenarnya adalah juga orang-orang Kristen tanpa nama atau Anonymous Christians. Dengan kata lain, bahwa Allah yang menyelamatkan, tidak hanya menyatakan diri-Nya melalui berinkarnasi menjadi manusia di dalam dan melalui Kristus Yesus (bernama) dalam agama Kristen, juga adalah Allah yang menyatakan diri dengan cara inkarnasi melalui Kristus (tanpa nama kristus) di agama-agama lain. Karena itu, Kristus bukan hanya monopoli orang Kristen10 2. Inkarnasi Hick yang Metaforis John Hick adalah seorang tokoh terkemuka dalam teologi abu-abu atau teologi agama di dunia. Pada karya tulis awalnya yang terkenal dengan buku yang berjudul The Myth of God Incarnate, beliau menyatakan bahwa inkarnasi adalah suatu mitos.11 Namun dalam perkembangan selanjutnya, konsep inkarnasi Hick mengalami perubahan, dimana ia berargumentasi bahwa yang terbaik untuk memikirkan mengenai penjelasan inkarnasi dalam Alkitab, adalah inkarnasi tersebut dipahami sebagai metafor.12 Kita pasti bertanya, mengapa Hick merubah pandangannya dari inkarnasi mitos menjadi inkarnasi metafor ? Inkanasi yang metaforis ini dimunculkan oleh Hick untuk membuktikan bahwa konsep inkarnasi kaum eksklusif yang tidak rasional menurutnya, adalah harus ditinggalkan. Kita tentu akan mengejar dengan pertanyaan lain, yaitu mengapa Hick harus menolak konsep inkarnasi kaum eksklusif? Jawaban atas pertanyaan ini, ternyata harus berangkat dari presuposisi Hick mengenai keselamatan yang harus dimengerti sebagai transformasi manusia, yang berseberangan dengan kaum eksklusif. Kaum eksklusif percaya bahwa keselamatan adalah karena pengampunan dosa yang dikerjakan oleh satu-satunya perantara yakni Yesus. Pandangan kaum eksklusif yang demikian adalah ditolak Hick. Baginya, tidak ada saran mengenai perlunya seorang pengantara (mediator) antara manusia dan Allah, atau tidak ada karya penebusan yang dapat memampukan Allah untuk mengampuni. Pendapatnya ini didasarkan pada komentarnya tentang Page 8 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang doa Tuhan Yesus sendiri mengenai pengampunan dosa, dimana bagi Hick, pengampunan dosa yang diajarkan Tuhan Yesus adalah langsung berasal dari Allah Bapa, tanpa harus melalui Yesus. Komentarnya ini diperkuatnya dengan menggunakan perumpamaan tentang anak yang hilang yang baginya langsung diampuni oleh Bapa tanpa pengantara (Luk. 15:20-24).13 Hick melakukan dua kesalahan dalam hal ini, yaitu mengabaikan teks lain yang menyatakan bahwa tidak ada pengampunan dosa tanpa penumpahan darah (Ibr. 9:22), dan penumpahan darah adalah berkenaan dengan karya Tuhan Yesus di atas kayu salib sebagai kurban yang sempurna, kurban yang menebus, yang memungkinkan adanya pengampunan dosa (Mat. 26:28, Ef. 1:7, Ko1.1:14, Kis. 26:18). Tuhan Yesus sendiri berdasarkan laporan para penulis Injil menegaskan mengenai hak prerogatif Allah Bapa sebagai hak prerogatif-Nya sendiri dalam hal mengampuni dosa manusia (Mrk. 2:10), dan kematian-Nya adalah sebagai tubusan (Mrk. 10:45). Hick membangun pendapatnya tentang pengampunan dosa hanya berangkat dari satu teks Alkitab dan mengabaikan teks yang lain. Inilah ketidakseimbangan Hick yang menghasilkan kesimpulan yang sempit dan picik. Selain itu, sangatlah lemah untuk membangun ajaran di atas dasar perumpamaan, karena seperti Hick membangun ajaran mengenai pengampunan tanpa harus melalui Yesus di atas dukungan perumpamaan mengenai anak yang hilang. Pada hal bukan itu yang dimaksudkan oleh Tuhan Yesus dengan perumpamaan tersebut. Lebih jauh, Hick memberikan tiga alasan utama untuk menolak konsep tradisional atau eksklusif mengenai inkarnasi, sekaligus menegaskan konsep inkarnasinya yang metaforis: 1. Hick menyimpulkan bahwa jika Yesus adalah Allah Pencipta yang kekal menjadi manusia, maka itu menjadi sangat sulit untuk memandang Yesus sebagai fenomena yang sederajat dengan tradisi-tradisi agama lain. Ini adalah sangat tidak mungkin bahwa sintesis yang relatif demikian diterima oleh para ahli sejarah dan agama. Maka itu dengan mengutip pendapat Helmut Koester mengenai inkarnasi Yesus sebagai salah satu dari sekian banyak inkarnasi dalam dunia Romawi, dimana Allah tidak Page 9 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang melulu dipahami sebagai Allah yang mengambil rupa manusia saja, ia meragukan inkarnasi Eksklusif.14 2. Yesus adalah Allah yang berinkarnasi secara literal adalah tidak benar. Karena itu tidak memiliki arti literal, melainkan suatu aplikasi kepada Yesus dari suatu konsep mistis yang berfungsi sebagai anologi dari anggapan mengenai keilahian Anak. Yesus memang adalah Anak Allah namun itu adalah konsep mistis. terminologi "Anak Allah". Karena itu, bagi Hick, inkarnasi tidaklah bergantung pada terminologi "Anak Allah".15 Berkaitan dengan itu, Hick mengakui bahwa inkarnasi adalah terlalu misterius. Hal ini tentu bukan hanya pengakuan Hick, melainkan juga, pada umumnya kaum pluralis, bahkan semua orang kristen pun mengakuinya demikian. Kalau Hick mengakui bahwa inkarnasi itu adalah mistis, atau tidak mungkin terjadi secara real, maka mengapa pada pokok pertama beliau mengemukakan kemungkinan adanya inkarnasi selain inkarnasi Yesus ? Sesungguhnya, Hick dan kaum pluralis lainnya telah menyangkal pointnya yang pertama. Jadi antara point pertama dan kedua adalah kontradiksi. 3. Hick dengan dukungan yang sangat kuat dari para ahli Perjanjian Baru yang liberal, ia berpendapat bahwa inkarnasi merupakan perkembangan pemikiran gereja mula-mula; sedangkan Yesus sendiri tidak pernah berpikir bahwa diri-Nya akan menempuh cara yang demikian. Jadi sebutan Anak Allah, Mesias, menjadi Allah Anak, yang berakhir pada rumusan Tritunggal, merupakan sebutan dan rumusan dari perkembangan pemikiran gereja. Kritik Alkitabnya kaum liberal telah memungkinkan kesimpulan ini berakar dalam pikiran kaum pluralis. Dalam hal ini, mereka menolak inspirasi Alkitab. Juga mereka menolak latar belakang mengapa Yesus tidak mengkui diri-Nya sebagai Mesias secara eksplisit, karena Yesus tidak mau menaruh kemesiasan diri-Nya dalam wadah berpikir orang Yahudi, khususnya murid-murid-Nya yang memandang Mesias sebagai Mesias politis yang akan datang untuk membebaskan mereka dari penjajahan Romawi. Yesus sendiri menerima bahwa pernyataan Petrus tentang dirinya sebagai Mesias merupakan penyataan Allah Bapa-Nya (Mat. 16:17). Page 10 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang D. Kristologi Kontekstual Pada bagian ini, dikemukakan mengenai ulasan singkat dan kritik pikiran seorang profesor ilmu agama dari misiologi di Vrije Universiteit Amsterdam yakni Anton Wessels. Secara khusus mengulas bukunya yang berjudul "Memandang Yesus".16 Dalam buku tersebut, beliau menyajikan mengenai pelbagai perspektif orang kristen maupun bukan kristen tentang Yesus di sepanjang waktu dan di segala tempat. Dengan kata lain, Wessels berusaha menyajikan mengenal Kristologi yang kontekstual, yaitu Kristologi yang dipahami dalam kemajemukan budaya yang ada di dunia. Ia berusaha menjelaskan bahwa membangun kristologi yang kontekstual, yaitu kristologi yang dapat dipahami dalam semua konteks budaya merupakan usaha yang pantas, karena tidak menyangkal hakekat Yesus. Kristologi yang kontekstual dalam kemajemukan budaya, diupayakan oleh kaum pluralis untuk menegaskan kehadiran Yesus (bagi penganut pendekatan kristosentris), atau kehadiran Allah (bagi penganut pendekatan Theosentris) dalam setiap budaya yang tentunya terkait dengan agama. C.S.Song misalnya, membangun teologi transposisinya dengan mengemukakan mengenai inkarnasi Kristus dalam konteks kemajemukan budaya Asia. Karena itu ia mendukung transposisi Kristus dengan gambar Asia yang berhidung pesek, bermata sipit, dengan kulit sawo matang.17 Transposisi seperti ini juga merupakan cita-cita kaum feminis dengan teologi feminisnya, kaum liberalis dengan teologi pembebasannya, kaum hitam dengan teologi hitamnya. Ada tiga hal yang disoroti dalam kristologi kontekstual yang dikemukakan oleh Wessels. Pertama, pada intinya, Wessels membangun teologi kontekstual yang menekankan pendekatan Kristologi fungsional. Hal ini nampak dalam jiwa tulisan ini yang banyak menyajikan kebutuhan sentuhan kristologis di negara-negara yang banyak mengalami penderitaan seperti Amerika latin dan Asia yang dia ketahui. Yesus dilihat hanya dari sisi manfaat atau perananNya. Inilah kepincangan kristologi yang menekankan praksis, dan mengabaikan pendekatan ontologis dari Yesus yang seharusnya dipadukan. Kedua, Wessels terlalu menekankan konteks sehingga mengabaikan teks. Karena teks (Alkitab), adalah berbicara mengenai Yesus yang historis. Sedangkan yang harus diwaspadai dalam Kristologi kontekstualnya Wessels ialah perwujudan Yesus dalam banyak Page 11 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang cara dan penyangkalan terhadap historisitas Yesus. Ketiga, tidak ada pembahasan yang jelas antara budaya dan Kristus. Akibatnya ialah sangat berpotensial untuk jatuh kedalam sinkritisme, yaitu penyatu-paduan Kristus dengan budaya. Sehingga Kristus yang diimani bisa jadi bukan lagi Kristus Alkitab. Jadi, dalam hal ini, bukan tidak boleh membangun kristologi yang kontekstual, namun harus diwaspadai, jangan sampai berkristologi dengan motif membuat Yesus diterima dengan baik dalam konteks budayanya orang yang diinjili, namun dengan cara atau jalan mengorbankan jati diri kekristenan yang bertolak dari teks (Alkitab) bukan konteks, kepada konteks, bukan sebaliknya. Kontekstualisasi yang dimaksudkan di sini ialah suatu usaha mengidentifikasikan Yesus dalam semua konteks, namun tidak menghilangkan identitasnya. Di atas, telah dibahas mengenai upaya membangun kristologi dalam konteks kemajemukan budaya. Pada bagian ini, akan lanjutkan dengan pembahasan mengenai upaya kaum pluralis membangun Kristologi kontekstual yaitu kristologi yang dibangun dalam konteks kemajemukan agama. Menurut kesaksian Sugirtharajah bahwa semua penulis artikel yang termuat dalam bukunya Wajah Yesus di Asia, beranggapan bahwa " semua pemahaman tentang Yesus muncul dari kebutuhan-kebutuhan kontekstual yang khusus. Keabsahan pemahaman tentang Yesus tidak terletak pada klaim-klaim yang kekal atau pada paham-paham dogmatiknya, tetapi ...pada suatu konteks khusus".18 Yang dimaksud oleh Sugirtharajah dengan keabsahan pemahaman tentang Yesus tidak terletak pada klaim-klaim yang kekal atau paham-paham dogmatisnya ialah berbicara mengenai penolakkan terhadap rumusan teologi tradisional, seperti rumusan Chalcedon yang umumnya dipegang teguh oleh kaum Injili.19 Dalam hal ini, mereka menegaskan bahwa Kristologi yang benar adalah Kristologi yang sesuai dengan konteks apa pun, bukan sesuai dengan rumusan doktrin yang kaku. Dalam konteks kemajemukan agama, maka kristologi kontekstual yang diupayakan ialah Kristologi yang dapat diterima oleh agama-agama lain. Berkenaan dengan itu, bangkitlah tematema Kristologi dalam Wajah Yesus di Asia, seperti : Yesus dan Krisna oleh Ovey N. Mohammad, Kristus dan Buddha oleh Seiichi Yagi, Sang Buddha dan Sang Kristus oleh Aloysius Pieris, Mengakui Kristus dalam konteks Islam oleh Alexander J. malik Page 12 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang E. Kristologi Marcus J. Borg Borg adalah seorang teolog yang juga sangat bersemangat dengan penelitian Yesus sejarah karena itu ia disebut sebagai pelopor penyelidikan ketiga mengenai Yesus sejarah, selain A. Roy Eckardt, E.P. Sanders, Anthony E. Harvey, Ben F. Meyer. Secara khusus, Borg berkosentrasi meneliti Yesus sejarah dalam konteks keyahudian-Nya abad pertama, dengan menggunakan pendekatan disiplin ilmu sosial. Kesimpulannya ialah : Yesus adalah seorang pribadi yang diisi oleh roh Allah, guru yang bijaksana dan seorang nabi sosial, serta pendiri gerakan pembaharuan. (Jong, 1999:75) Dalam bukunya yang berjudul "Meeting Jesus Again for the First Time", Borg menjelaskan pemahamannya tentang Yesus bertolak dari pengalamannya sejak masa kanak-kanak sampai is menyelesaikan studi teologinya. Yesus yang dia pahami pada masa anak-anak ialah Yesus yang lahir dengan cara yang ajaib, Anak Allah, yang mati bagi dosa-dosa manusia (5,7). Kemudian pada masa remaja, ia mulai meragukan keberadaan Allah termasuk mulai meragukan ke-Allahan Yesus (8). Namun setelah ia menyelesaikan studi teologinya, maka pemahamannya tentang Yesuspun berubah. Dengan meneliti Injil-Injil, maka ia menemukan bahwa para penulis Injil mengubah dan memberi tambahantambahan pada Injil tersebut, dengan dua cara yakni pertama, laporan tentang Yesus adalah disadur dan diterapkan untuk komunitas kristen yang terus berubah, dimana Yesus menyampaikan ajaran-Nya dalam lingkungan Yahudi Palestina, sedangkan penulis Injil menyadurnya untuk komunitas yang baru yaitu paguyuban yang berada di luar Palestina. Kedua pada masa itu kepercayaan tentang Yesus tumbuh dan mengalami perubahan, dimana sebelumnya Yesus hanya dilihat sebagai pribadi yang memiliki sifat-sifat ilahi, namun kemudian berkembang, dimana mereka memahami bahwa Yesus adalah Allah. Karena itu, ia menyimpulkan bahwa gambaran tentang Yesus dalam Injil-Injil adalah gambaran tentang Yesus yang tidak historis (14). Akhirnya ia membedakan antara Yesus kepercayaan sebelum paskah (pra-paskah), dan Yesus sejarah (post-paskah), dan ia lebih memilih Yesus post paskah. Karena menurut beliau Yesus post-paskah adalah Yesus yang historis, natural dan tanpa mitos.20 Yesus post-paskah adalah Yesus yang sebenarnya, yaitu Yesus sejarah, sedangkan Yesus praPage 13 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang paskah adalah Yesus kepercayaan yang penuh dengan muatan mitos para penulis Injil. Dengan kata lain, Yesus adalah Allah merupakan mitos para penulis Injil. Borg mengemukakan sistem hermeneutikanya dengan kesimpulan bahwa Injil-Injil yang ada di tangan orang kristen sekarang ini adalah Injil yang tidak melaporkan tentang Yesus yang sesungguhnya, melainkan Yesus kepercayaan para penulis Injil yang penuh dengan unsur mitos. Sehingga pengakuan tentang Yesus adalah Allah dalam tulisan Injil dan pengakuan iman kristen masa kini mengenai keAllahan Yesus, menurut Borg adalah keliru. Karena itu merupakan mitos penulis Injil. Setelah mengemukakan sistem hermeneutikanya, maka kemudian beliau melanjutkan dengan pembuktian mengenai ketidak-Allahan Yesus. Yesus bukanlah Allah. Pernyataan ini selain bertolak dari sistem hermeneutika yang telah dikemukakan di atas juga ditopang oleh pembuktian dari penelitian mengenai latar belakang keYahudian Yesus sejak masa kanakkanak sampai dewasa. Akhirnya mereka menyimpulkan bahwa 1. Yesus sejarah adalah seorang manusia roh (spirit person), salah seorang tokoh di dalam sejarah insani yang memiliki suatu kesadaran dan pengalaman akan realitas Allah. 2. Yesus adalah seorang pengajar hikmat yang dengan teratur memakai bentuk-bentuk klasik wacana hikmat (perumpamaan-perumpamaan dan ucapan-ucapan pendek yang mudah diingat yang dikenal sebagai aforisme-aforisme) untuk mengajar hikmat alternatif dan subversif. 3. Yesus adalah seorang nabi sosial, serupa dengan nabi-nabi klasik pada zaman Israel kuno. Sebagai nabi sosial, Ia mengeritik kalangan elit (ekonomi, politis, dan keagamaan) pada zaman-Nya, adalah seorang penganjur suatu wawasan sosial alternatif, dan seringkali terlibat konflik dengan para penguasa. 4. Yesus adalah seorang pendiri suatu gerakan yang melahirkan suatu gerakan pembaharuan atau revitalisasi Yahudi yang menantang dan mengguncangkan batas-batas sosial zamannya, suatu gerakan yang akhirnya menjadi gereja Kristen perdana (Borg, 1997:37) Page 14 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang Kesimpulan ini membuktikan bahwa tidak ada lagi yang unik dalam diri Yesus. Yesus bukanlah Allah. Semuanya ini merupakan ajaran yang paling disukai oleh kaum pluralis. Karena dengan demikian Yesus bukanlah finalitas penyataan Allah, Yesus adalah sama dengan pemimpin agama yang lain. Dengan demikian batu sandungan besar kaum pluralis telah digulingkan oleh Borg, sehingga jalan bebas hambatan tercipta untuk kaum pluralis membangun Teologi Abu-Abu atau Teologi Agama-agama mereka. Kita mungkin bertanya, untuk apa Borg menyimpulkan dan memandang Yesus dengan cara demikian ? Ternyata kesimpulan Borg adalah dipengaruhi oleh presuposisinya yang skeptis terhadap keilahian Yesus dan yang antipati dengan keunikan Yesus di antara semua keberadaan agama yang ada di dunia. Kesimpulan ini menguntungkan kaum pluralis, karena memang sesungguhnya beliau sendiri adalah pluralis. Karena ia tidak percaya akan adanya penyataan khusus Allah. Karena baginya adalah "tidak mungkin Allah berbicara hanya kepada dan melalui kelompok khusus orang-orang kristen ini... Yesus adalah salah satunya."(1997:48). Kesimpulan Borg ini juga, mendukung kakaknya Teologi Abu-Abu, yakni Teologi Sekularisasi, suatu teologi yang anti dengan paham Deisme (memandang Allah sebagai keberadaan yang transenden melulu), juga bertentangan dengan Theisme (memandang Allah sebagai keberadaan yang transenden sekaligus imanen). Borg mendukung Teologi Sekularisasi yang tidak menyukai konsep Allah yang ada "di luar sana" (transenden atau adikodrati), melainkan menegaskan melalui peran Yesus yang sesungguhnya bukan Allah, bahwa Allah telah mati, dimana Allah konsep theisme tidak ada dalam dunia ini. Allah menjadi suatu realitas yang terkait dengan pengalaman tradisi Yahudi yang menjadi pijakan Yesus dalam mengajarkan tentang Allah yang tidak dipandang sebagai pencipta yang berada jauh di sana, melainkan yang ada di sekitar kita. (1997:50) Page 15 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang F. Kristologi Knitter yang Theosentris Bertolak dari upaya untuk membela teologi abu-abu atau pluralisme, Paul F. Knitter mengikuti jejak John Hick, berargumentasi bahwa dalam berkristologi : " we must move from a Christocentric to a theosentric perspective"21 (kita harus beralih dari suatu perspektif kristologi yang berpusatkan pada Kristus kepada Kristologi yang berpusatkan kepada Allah). Ada pun maksud dari peralihan dalam berkristologi ini, ialah untuk membangun teologi abu-abu atau teologi agama-agama yang diharapkan akan menyediakan jalan raya dialogis antar agama. Tujuan mereka sematamata hanya untuk menciptakan dialog yang sehat antar agama. Demi kristologinya yang theosentris, Knitter mengadopsi konstruksi kristologi kaum liberal, mengenai evaluasi kristologi yang menyatakan bahwa Kristus sendiri tidak berpikir mengenai diri-Nya sebagai Allah, melainkan sebagai hasil perkembangan berpikir para murid. Jadi semua teks Alkitab yang menegaskan mengenai pengakuan keallahan Yesus Kristus dianggap sebagai buah pikiran murid-murid, bukan pikiran Yesus sendiri, dan bukan berdasarkan peristiwa historis. Selain itu, Knitter juga memperkuat Kristologinya yang theosentris dengan mengklaim bahwa Yesus sendiri tidak memberikan dukungan apa pun mengenai diri-Nya yang dianggap Allah oleh orang Kristen. Untuk itu Knitter memberikan beberapa referensi yang mendukung tesisnya, yaitu Yesus memproklamirkan bukan tentang diriNya melainkan tentang kerajaan Allah, Yesus berdoa kepada Bapa sorgawi, Yesus menuntut kepada setan bahwa semua harus menyembah Allah saja. Maka itu kristologi Tuhan Yesus sendiri adalah bersifat Theosentris. Sekali lagi, seperti kaum pluralis pada umumnya, Knitter tidak mengakui Yesus sebagai Allah, bukan karena ia tidak mampu menemukan bukti-bukti Alkitab yang berbicara tentang keilahian Yesus, melainkan oleh karena matanya hanya melihat dan atau mencari teks-teks yang menurut beliau mendukung kristologinya yang abu-abu, bahkan dengan sengaja menghindari teks-teks yang secara explisit menyatakan keilahian Yesus Kristus. Sesungguhnya, yang mendasar dari Knitter ialah presuposisi hermeneutikanya yang menolak tulisan Injil-Injil khususnya sebagai Firman Allah yang tidak bersalah dalam teks aslinya, dan Page 16 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang presuposisi teologisnya yang tidak mengakui Alkitab sebagai penyataan khusus Allah yang tertulis. G. Kristologi Kosmik (Cosmic Christology) Topik mengenai kristologi kosmik sudah disinggung pada pembahasan sebelumnya terkait dengan pembahasa inkarnasi Allah, namun penulis memandang perla untuk menguraikannya lebih lanjut. Kristologi kosmik dipopulerkan oleh para teolog katolik berkenaan dengan posisi inklusif mereka yang memandang Yesus sebagai penyelamat yang hadir tanpa batas tempat dan waktu untuk menyelamatkan semua manusia sekali pun tanpa mengakui keTuhanan-Nya. Pandangan ini dimunculkan berkenaan dengan usaha mereka membangun teologi abu-abu demi menjalan atau berelasi dengan agama-agama lain. Mereka adalah Karl Rahner dengan teori anonymous Christ-nya (Kristus tak bernama) yang menyatakan bahwa Kristus juga hadir dalam agama-agama lain, tanpa nama Yesus; Raymond Panikkar dengan teori The Unknown Christ of Hinduism (Kristus yang tidak dikenal oleh orang-orang Hindu) mengajarkan bahwa Kristus tidak hanya dalam pengertian Kristus yang historis, melainkan juga Kristus yang ada dalam pikiran orang Hindu; Stenley samartha dengan teori The unbound Christ of Hinduism (Kristus yang terjilid dalam Hinduisme), menyatakan bahwa Kristus tidak terbatas dalam ikatan agama dan budaya tertentu saja, katakanlah dalam agama Kristen dengan Yesus Nazaret sebagai Tuhannya, melainkan juga Yesus juga berada dalam agama dan budaya yang lain, seperti agama Hindu dan budaya India. Inilah contoh-contoh Kristologi Kosmik dalam pandangan kaurn inklusif yang nota bene juga adalah kaum pluralis kontemporer katolik. Namun sesungguhnya, jauh sebelum para teolog katolik atau pluralis katolik mengembangkan teologi kosmik dalam pemikiran kontemporer, teologi kosmik sudah ada sebelum Konsili Vatikan II tahun 1965, yaitu sebagai usulan dalam Sidang DGD yang berlangsung di India., oleh Joseph Sittler tahun 1961. Sittler membangun Kristologi Kosmiknya berdasarkan Kolose 1:15-20. Kristologi Kosmik mendapat dukungan penuh dari para teolog yang berpayung di bawah DGD. 22 Sittler menafsirkan Kolose 1:15Page 17 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang 20, dengan memfokuskan penelitian terhadap pada pernyataan-pernyataan yang nampak secara eksplisit seperti "segala sesuatu yang diciptakan oleh Dia dan untuk Dia." Muncul enam kali dalam teks tersebut menerangkan mengenai pencapaian secara maksimum, dimana penebusan Allah adalah untuk seluruh alam semesta dalam jangkauan yang luas, dan Kristus digambarkan di situ sebagai Kristus kosmik yang menyelamatkan semua ciptaan. Sehingga Yesus tidak hanya dimengerti dalam pengertian Yesus historis dan Nazaret, melainkan juga Yesus yang menyatakan diri dalam semua ciptaan.23 Bertolak dari penafsiran ini, bangkitlah sejumlah tulisan yang memperkenalkan mengenai Kristologi Kosmik dalam pemikiran kontemporer untuk disajikan demi terciptanya kerukunan agama sebagai salah satu cita-cita masyarakat madani yang dikhayalkan oleh beberapa tokoh terkemuka di Indonesia khususnya. Teks Kolose 1:15-20 ini, memang berbicara mengenai keunggulan Kristus atas segala ciptaan. Namun, itu tidak berarti bahwa segala sesuatu dengan sendirinya diselamatkan oleh Dia, juga tidak berarti bahwa Ia menjelmakan diri-Nya dalam segala sesuatu. Tidak ada indikasi yang jelas dari teks ini yang menyatakan bahwa Yesus Kristus menyatakan diri-Nya dalam semua bentuk ciptaan-Nya. Kristologi kosmik ini, selain karena interpretasi yang keliru mengenai teks Kolose, juga Kristologi Kosmik yang demikian adalah tidak memadai, karena bagaimana mungkin seseorang membangun pandangannya tentang Kristus, hanya beranjak dari satu teks saja ? bahkan teks tersebut ditafsirkan di luar konteks. Inilah bentuk penghancuran Alkitab, yang menghasilkan gambar Yesus yang tidak sesuai dengan yang dimaksudkan oleh penulis kitab. Inilah kekeliruan Kristologi Kosmiknya Sittler. Selain itu, Kristologi Kosmik dengan sistem hermeneutika yang terbuka, menggunakan kritik kanonik untuk membuktikan kehadiran Yesus di luar kekristenan. Itu berarti mereka harus menggali konsep Kristus yang ada di luar Alkitab. Kritik kanonik nampak melalui penggunaan materi-materi yang berasal dari selain kitab-kitab yang ada dalam Alkitab, juga kitab-kitab yang tidak termasuk kanon Alkitab seperti kitab-kitab hikmat Yudaisme, diantaranya Sirak dan hikmat Salomo. Ini jelas merupakan kesalahan yang fatal dalam berteologi. Kesalahan yang fatal tersebut, sesungguhnya adalah bertolak dari kesalahan yang Page 18 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang menclasar, yaitu berkenaan dengan presuposisi kristologis mereka, yang pada umumnya sama dengan pandangan kaum pluralis seperti C.S. Song dan John Hich, bahwa pribadi kedua Allah tritunggal berinkarnasi bukan hanya sekali, melainkan berkali-kali, disegala tempat dalam banyak wujud. Bahkan pribadi kedua Allah Tritunggal ini sudah berinkarnasi sebelum Ia menjadi manusia dalam peristiwa inkarnasi yang dilaporkan oleh Alkitab. Kristus bagi mereka sudah hadir dan bekerja dalam rangka menyelamatkan semua manusia, termasuk manusia di zaman Perjanjian Lama. Kehadiran Yesus tidak dapat dibatasi oleh ruang dan waktu, juga tidak dapat dibatasi oleh semua batasan budaya dan agama, karena itu salah satu pluralis Asia, sekaligus penganut Kristologi Kosmik, yakni Tisaa Balasuriya membangun suatu ajaran tentang pembebasan yang bertolak dari konsep Allah yang memerangi semua bentuk ketidak-adilan. Dengan Kristologi Kosmik, beliau menegapkan mengenai inti berita ialah pembebasan yang menyeluruh dan terpadu dalam semua kebudayaan, agama dan masyarakat. Hal ini tentu terkait dengan kebenaran yang ada di dalam semua agama, budaya dan masyarakat.24 Bersama dengan temannya Samartha menegaskan kebutuhan Kristologi Kosmik bagi perjuangan orang India untuk keluar dari bentuk perbudakan yang ada. Kristologi partikularis tidak cukup mampu untuk menuntun semua manusia, kecuali dengan Kristologi Kosmik.25 Para pelopor kristologi kosmik sebenarnya berusaha menemukan dukungan teks Alkitab untuk membangun teologi abu-abu yang hanya bertolak pada teks-teks tertentu, sempit dan tidak memadai. Ketidakmemadaian kristologi ini, selain karena pikiran kristologi ini sebagian berasal dari sumber-sumber di luar Alkitab, juga karena pandangan ini tidak melihat ajaran Alkitab secara keseluruhan. Sayang pandangan yang sempit dan tidak memadai ini diterima oleh DGD sebagai kebenaran kristologis dalam upaya mereka membangun teologi abu-abu, demi bersikap positif terhadap agama lain. Apakah harus dengan menghancurkan Alkitab dan Finalitas Yesus, menghancurkan agama sendiri, baru bisa memiliki sikap positif terhadap agama lain. Bukankah demikian merupakan sifat munafik terhadap agama lain, karena menyembunyikan atau membuang jati dirinya sendiri. Saya pikir orangorang beragama lain, akan senang menerima kita apa adanya. Page 19 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang 1 Wolfhart Pannenberg, Jesus-God and Man, (Philadelphia: Westminster Press, 1968 ), p34-35. 2 C.S. Song, Sebutkanlah Nama-Nama Kami ..., h. 18, 194. I. Rahmat, Kristologi Anak Manusia di dalam Injil Yohanes...h. 65, dan Serba Serbi Doktrin: Yesus satu...h. 1 3 R.S. Sugirtharajah, What Do Men Say Remains of Me ?, Asia Jurnal Theology, Vol.5, 1991, p. 336 4 A.Roy Eckardt, Menggali Ulang Yesus Sejarah, Kristologi Masa Kini, (Jakarta:BPK G.M.1996), h. 240. Choan-Seng Song, The Compassionate God... p.102. 5 Ioanes Rahmat, " Serba Serbi Doktrin: Yesus satu-satunya Jalan ", h. 89. John Hick. Jesus and the World Religions, dalam " The Myth of God Incarnate" (London : SCM, 1977). P. 183. 6 Michael Amaladoss, " Pluralisme Agama-Agama dan Makna Kristus", dalam Wajah Yesus di Asia, p. 140 7 R.S. Sugirtharajah, Wajah Yesus di Asia, ( Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1996 ), h. 414-115 8 Choan-Song Song, Sebutkanlah Nama ... h. 81 9 Raymond Panikkar, "The Unknown Christ of Hinduism", Christianity and Other Religions, edited by John Hick ...p.122 10 Paul F. Knitter, No Other Name ? ... p.186 11 John Hick, ed., The Myth of God Incarnate, (London:SCM Press, 1977). 12 John Hick, The Metaphor of God Incarnate: Christology in a Pluralistic Age ( Louisville: Westminster Press, 1993). 13 Ibid., p. 127. 14 Ibid., p. 242. 15 John Hick, " Jesus and the World Religions ", dalam The Myth of God Incarnate, ...p. 178. 16 Anton Wessels, Memandang Yesus, Gambar Yesus dalam Berbagai Budaya, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1990) 17 Choan Seng Song, The Compassionate God, ... p. 57-58. 18 Sugirtharajah, Wajah Yesus di Asia, (Jakarta:BPK Gunung Mulia, 1996), h. 2. 19 Ibid. h. 415 20 Marcus J. Borg, Kali Pertama Jumpa Yesus Kembali, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1997), h. 20 Page 20 Pluralisme: Kristologi Abu-Abu – Pdt. Strevri Indra Lumintang 21 Paul F. Knitter, No Other Name?, Paul F. Knitter, " Toward A Liberation Theology of religions ", in The Myth of Christian Uniqueness, edited John Hick and Paul F. Knitter, ( London: SCM Press, 1987 ), pp. 187-200. 22 D.A. Carson, The Gagging of God: Christianity Confronts Pluralism, (Leicester: Inter-Varsity Press, 1996), p. 328. 23 Ibid. p. 44. 24 Deane William Ferm, Third World Liberation Theologies, (Maryknoll: Orbis Books, 1986), p. 86. 25 Ibid. p. 93 Pengutipan dari artikel ini harus mencantumkan: Dikutip dari http://www.geocities.com/thisisreformed/artikel/pluralisme04.html Page 21