ISSN 0852-8349 JURNAL PENELITIAN UNIVERSITAS JAMBI SERI SAINS Volume 14, Nomor 1, Januari– Juni 2012 Daftar Isi Sifat Kimia Tanah Ultisol dan Hasil Kedelai (Glycine Max (L) Merril) Akibat Perbedaan Waktu Aplikasi Limbah Cair Pabrik Kelapa Sawit Ermadani 01 - 08 Analisis Kebijakan Perubahan Tarif Puskesmas di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Propinsi Jambi Dwi Noerjoedianto 09 - 16 Sifat Kimia dan Fisika Kerupuk Opak dengan Penambahan Daging Ikan Gabus (Ophiocephalus striatus) Hajar Setyaji, Viny Suwita, dan A. Rahimsyah 17 - 22 Identifikasi Jenis dan Perbanyakan Endomikoriza Lokal di Hutan Kampus Universitas Jambi Rike Puspitasari Tamin, Nursanti, dan Albayudi 23 - 28 Pemupukan Kelapa Sawit Berdasarkan Potensi Produksi untuk Meningkatkan Hasil Tandan Buah Segar (TBS) pada Lahan Marginal Kumpeh Arsyad AR, Heri Junedi dan Yulfita Farni 29 - 36 Pengaruh Penambahan Gelatin terhadap Pembuatan Permen Jelly dari Bunga Rosella (Hibiscus sabdariffa Linn) Silvi Leila Rahmi, Fitry Tafzi, dan Selvia Anggraini 37 - 44 Lama Periode Parasit Glochidia Kijing Taiwan (Anodonta Woodiana Lea) pada Berbagai Jenis Ikan sebagai Inang Afreni Hamidah 45 - 48 Efek Penggunaan Azolla Microphylla Fermentasi sebagai Pengganti Bungkil Kedele dalam Ransum terhadap Bobot Organ Pencernaan Ayam Broiler Noferdiman 49 - 56 Efektivitas Lateks Pepaya (Carica papaya) terhadap Perkembangan Colletotrichum capsici pada Buah Cabai (Capcicum annuum L) Marlina, Siti Hafsah, dan Rahmah 57 - 62 Pedoman Penulisan Volume 14, Nomor 1, Hal. 09-16 Januari – Juni 2012 ISSN 0852-8349 ANALISIS KEBIJAKAN PERUBAHAN TARIF PUSKESMAS DI KABUPATEN TANJUNG JABUNG BARAT PROPINSI JAMBI (ANALYSIS HEALTH CENTER TARIFF CHANGE POLICY IN GOVERNMENT OF TANJUNG JABUNG BARAT DISTRICT JAMBI PROVINCE ) Dwi Noerjoedianto Program Studi Ilmu Keperawatan ( PSIK ), Universitas Jambi Kampus Pinang Masak, Mendalo Darat, Jambi 36361 Abstract Health decentralization is an appropriate strategy to ensure community's access to health services. This policy goes in line with Act No. 32, 2004 which says that the role of district / municipal government is very crucial in local financing including health. The most important factor is the simultaneous implementation of cost and health service quality control. This is actualized by the government of Tanjung Jabung Barat District through the issuance of community health center tariff change policy from local regulated tariff to of charge. The objective of the study was to analyze tariff change policy according to perception of patients and health service providers, the amount of health budget allocation, particularly drugs, medical instruments and service as well as elasticity of tariff. The study was analytical with cross sectional design. Samples were chosen according to purposive random sampling technique with as many as 90 health service providers, 96 patients and 4 district stakeholders. Data were obtained through questionnaire and indepth interview as well as through secondary data. Independent variable was tariff change policy, from local government tariff to free tariff, whereas dependent variables were perception of quality, budget allocation and tariff elasticity. Result Patients perceived the quality worse, especially on indicators of action, attitude and empathy of staff. The fact was that patients still went to the community health center to overcome their health problems and the number of visits to community health center increased, reaching its peak in October 2006. This was relevant with the result of elasticity value as much as 0.40 which meant that patients had no choice of health service alternatives. Most of health service providers perceived the quality of tariff change policy worse. This was reflected from indicators of the availability of physical facilities and medical service. Limitation and capability of local revenue and expenditure budget had always been the reason for the limited budget allocation for health. Although there was an increase of budget for drugs and operational cost, there was a decrease in medical service. The proportion between physical facilities and allocation of budget for health caused limited availability of physical facilities. Health service providers felt the amount of medical service insufficient because it was not based on performance or workload in particular. The perception of health service providers and patients about quality of health service in relation to change in tariff was worse although budget for health increased, particularly in drugs and operational costs. Besides the health service was inelastic. Keywords : perception, health service, change of tariff, inelastic. PENDAHULUAN Desentralisasi merupakan strategi yang tepat untuk memenuhi jangkauan pelayanan kesehatan, sehingga bisa lebih efisien dan efektif. Hal ini sesuai dengan UU No.32 Tahun 2004, menyatakan bahwa peran pemerintah kabupaten/kota sangat besar 9 Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains. dalam pembiayaan kesehatan sesuai dengan konsep welfare state ( Trisnantoro L, 2005a). Upaya Kabupaten Tanjung Jabung Barat tertuang dalam RPJM dan KUA tahun 2006, yang memprioritaskan peningkatan SDM dan pelayanan yang berkualitas. Hasil capaian indikator derajad kesehatan sesuai standard pelayanan minimal bidang kesehatan (SPM Bidkes), sbb : HASIL PENCAPAIAN PROGRAM 2004 2005 2006 100 80 % PENCAPAIAN 60 71 68 66 64 63 59 59 52 50 79 78 76 87 84 83 72 56 55 40 20 0 PRO MKE KESL ING KIAKB GIZI P2M OBAT 2004 71 59 59 79 83 72 2005 64 52 68 78 87 56 2006 63 50 66 76 84 55 PROGRAM KESEHATAN Gambar 1. Angka Cakupan Program Puskesmas di Kabupaten Tanjung Jabung Barat tahun 2004 - 2006. Pada Gambar 1, tergambar trend program yang meningkat, dan menurun selama periode 2004 – 2006. Jika dihubungkan dengan capaian derajad kesehatan yaitu angka kematian bayi (AKB) sebesar 51 dari target 42 per 1000 kelahiran hidup, angka kematian ibu (AKI) sebesar 219 dari target 185 per 100.000 kelahiran hidup, angka kematian balita sebesar 59,8 dari target 55 per 1000 kelahiran hidup serta umur harapan hidup (UHH) sebesar 68,2 tahun melebihi target 66,21 tahun. Hal ini terkait besarnya anggaran kesehatan, dari 4,55% (2004) menjadi 9,17% (2006). Selain besarnya anggaran, Pemerintah Kab. Tanjab Barat, mengeluarkan surat edaran No.100/324 /2006 tentang pelayanan gratis , dan diperkuat Peraturan Bupati No. 7 tahun 2006, tentang pembebasan karcis berobat. Sebagai kompensasi diberikan insentif setiap bulan sebesar Rp.100.000 (paramedis), Rp. 400.000 (dokter di desa biasa) dan Rp. 600.000 (dokter di desa terpencil). Tanggapan beragam muncul akibat kebijakan tersebut, terutama yang berhubungan dengan mutu layanan, baik dari PPK atau pasien. Perspektif mutu yang berbeda dari para pihak yang berkepentingan pasti terjadi. Harapan pasien terhadap pelayanan kesehatan mulai dari tarif 10 gratis, kelancaran komunikasi, keramahtamahan ( Azwar, 1996), pelayanan baik, sopan, ramah, peduli pasien, tepat waktu, cepat sembuh ( Pohan IS, 2003a), sementara dari PPK dalam memberikan pelayanan sesuai standard prosedur keahlian dan keamanan pasien, ini terjadi karena adanya perbedaan persepsi. Beberapa faktor yang mempengaruhi persepsi bisa internal (psikologi, pembelajaran, motivasi) dan eksternal (lingkungan dan keluarga) (Thoha, 1998). Dalam mengatasi perbedaan persepsi terhadap mutu layanan kesehatan perlu adanya kesesuaian perbedaan kesenjangan (Hendroyono, 2006). Mutu merupakan faktor keputusan mendasar dari pelanggan, yang sering dijadikan penilaian adalah pengalaman terhadap produk bermutu atau tidak. Mutu adalah gambaran total sifat dari produk/jasa pelayanan yang berhubungan dengan kemampuan untuk memberikan kebutuhan kepuasan ( Wijono D, 1999). Mutu pelayanan kesehatan sering diartikan berbeda, yaitu aspek teknis medis yang langsung berhubungan dengan pasien, tetapi secara keseluruhan mutu merupakan sistem pelayanan yang diawali dari input, proses, output dan impact (Wijono, 1999). Ini terjadi berkesinambungan dan merupakan siklus mutu, yang dipengaruhi oleh faktor lingkungan, baik lingkungan internal maupun eksternal. Pasien menganggap bahwa dimensi efektifitas, akses, hubungan interpersonal, kesinambungan dan kenyamanan sebagai dimensi mutu yang penting (Wijono D, 1999), ditambah informasi dan ketepatan waktu. Dimensi mutu pelayanan lainnya, terdiri atas sepuluh indikator ( Zeithmal, dkk., 1990) yang diringkas menjadi lima yang disebut SERVQUAL yang terdiri tangibles, reliability, responsiveness, assurance dan empathy. Selain pandangan mutu yang berbeda, maka perlu syarat keberadaan pelayanan kesehatan yang baik yaitu tersedianya dan berkesinambungan, dapat diterima dan wajar, mudah dicapai, mudah dijangkau serta bermutu. Kajian tentang tarif pelayanan kesehatan merupakan faktor penting bagi pemerintah, Dwi Noerjoedianto : Analisis kebijakan perubahan tarif puskesmas di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Propinsi Jambi baik sebagai peran regulator, pemberi dana dan sebagai pelaksana (Kovner, 1995). Tarif merupakan nilai jasa pelayanan yang ditetapkan berdasarkan ukuran sejumlah sumber daya yang digunakan ditambah margin tertentu, yang dijual kepada konsumen yang memerlukannya (Trisnantoro, 2005a). Tarif juga diartikan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh jasa pelayanan,bukan barang (Azwar, 1996). Dalam segi pembiayaan kesehatan, pemerintah harus mengatur berbagai tarif pelayanan kesehatan, sehingga kesenjangan dapat dihindari, dan masyarakat dapat menjangkau pelayanan kesehatan. Keanekaragaman tarif yang terjadi, sebetulnya mempunyai tujuan tertentu sesuai dengan fungsi lembaga sosial atau unit tertentu (Trisnantoro, 2005a). Antara lain unit cost, jenis pelayanan, tingkat pemanfaatan, adanya subsidi, ATP dan WTP, tarif pesaing, profit yang diinginkan, kebijakan stakeholder, dan tingkat inflasi (Hendrartini, 2005). Konsep supply dan demand, merupakan strategi yang tepat, terutama dalam pemerataan jangkauan pelayanan, yang berpengaruh terhadap ketersediaan supply sumber daya kesehatan. Permintaan dipengaruhi oleh harga barang, harga barang lain, pendapatan, struktur organisasi dan cita rasa masyarakat. Semakin tinggi perubahan permintaan, semakin kecil perubahan harga. Elastisitas harga diukur dengan prosentase perubahan permintaan dibanding dengan prosentase perubahan harga (ED). Nilai ED dikategorikan elastis jika ED > 1, sedang ED < 1 terjadi in-elastis, dan ED = 1 artinya Unitary Elastis. Berdasarkan kronologis tersebut, dimungkinkan terjadi persepsi berbeda sehingga perlu dilakukan penelitian, bertujuan untuk mengetahui persepsi PPK dan pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan dan kesiapan pemerintah daerah dalam alokasi anggaran kesehatan serta konsep elastisitas tarif pelayanan kesehatan. METODOLOGI PENELITIAN Jenis penelitian ini analitik dengan rancangan cross sectional, dilanjutkan indepth interview kepada stakeholder kabupaten. Populasi dan sampelnya adalah PPK sebanyak 90 orang dan pasien sebanyak 96 orang serta stakeholder kabupaten 4 orang dengan teknik pengambilan purposive random sampling. Variabel penelitian terdiri variabel bebas, yaitu kebijakan perubahan tarif dari tarif perda menjadi tarif gratis dan variabel terikat, yaitu mutu, alokasi anggaran dan elastisitas tarif. Instrumen yang digunakan adalah kuesioner pasien dan PPK serta pedoman wawancara stakeholder. Cara analisis data dari variabel mutu baik PPK dan pasien dengan menggunakan kategori kuantitatif yang dikelompokkan menjadi 3 yaitu mutu lebih baik, cukup dan lebih buruk, sedangkan untuk mengetahui besarnya alokasi anggaran dan elastisitas tarif pelayanan kesehatan dengan metode diskriptif. HASIL DAN PEMBAHASAN Hasil Penelitian Indikator ketersediaan obat merupakan faktor penting, terutama dalam pelayanan kesehatan kepada pasien . Hal ini meliputi jumlah / stok obat, jumlah obat generik, ketersediaan stok obat dari segi keamanan pelayanan dan jumlah obat yang kadaluwarsa. Kenyataan 76% responden mempersepsikan mutunya lebih buruk, dan 24% responden cukup. Kecukupan alat medis dan non medis termasuk salah satu indikator PPK, tergambar 3 % responden mempersepsi kan mutunya lebih baik, 46% lebih buruk, dan 51% cukup. Indikator ini meliputi kuantitas dan kualitas alat, kemudahan pemeliharaan alat, serta tingkat kesesuaian dengan jumlah petugas. Hal ini didukung pernyataan stakeholder Kabupaten bahwa pemerintah daerah harus menyediakan anggaran APBD terutama untuk peralatan medis. Indikator Ketersediaan sarana fisik meliputi kondisi fisik puskesmas keliling roda 4, roda 2, pemeliharaan gedung dan pemeliharaan ruangan serta penataan dan kelengkapan sarana penunjang. Sebesar 82% responden menyatakan kualitas mutunya lebih buruk, 18% mutunya cukup dan tidak ada satupun menyatakan lebih baik. 11 Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains. Jasa medis berpengaruh terhadap proses pelayanan, sehingga merupakan salah satu faktor keberhasilan. Indikator ini meliputi periode waktu pembagian, besarnya jasa medis dan proporsi, perhatian pemerintah daerah serta periode pengajuan waktu. Kenyataannya hanya 2 % responden menyatakan persepsi mutunya lebih baik, 80% lebih buruk, dan 18% cukup. Hal ini terjadi karena pada tahun 2006 tidak dialokasikan secara tersendiri tetapi bergabung dengan biaya operasional puskesmas, yang meningkat dari Rp 4.020.583.150(2004), menjadi Rp. 6.574.184.759 (2006). Besarnya jasa medis yang mereka terima adalah sama tanpa melihat jumlah pasien, sebesar Rp.100.000 (paramedis), Rp.400.000 (dokter di desa biasa) dan Rp. 600.000 ( di daerah terpencil). Persepsi PPK tersebut seperti tabel 1. Apabila disimpulkan empat indikator mutu dari persepsi PPK, dinyatakan bahwa 82% mutunya lebih buruk dan hanya 18 % menyatakan cukup, dan tidak satupun responden PPK menyatakan lebih baik. Melihat kenyataan hasil dari persepsi PPK, peran pemerintah merupakan faktor kunci dalam penyelenggaraan pelayanan kesehatan sebagai regulator. Seperti pernyataan responden stakeholder kabupaten yang menyatakan bahwa pemerintah daerah berusaha menyelenggarakan pelayanan kesehatan kepada masyarakat, melalui kebijakan perubahan tarif, yang telah dilakukan terkoordinasi, melalui kajian secara utuh, makro dan mendalam, meskipun ada kesan bersifat politis. Kajian persepsi pasien dilihat dari indikator proses administrasi dirasakan langsung oleh pasien dan keluarganya, termasuk kejelasan prosedur, proses pendaftaran dan pemberian informasi, ketepatan jadwal pelayanan dan profesionalisme petugas. Sebesar 78% responden pasien mengungkapkan mutunya lebih buruk dan 22% mutunya cukup. Tindakan penanganan medis, kemampuan dan cepat tanggapnya petugas, ketrampilan dan kerjasama, serta kemampuan dalam penetapan diagnosa, merupakan indikator keberhasilannya. Responden pasien 6% berpendapat mutunya cukup dan 94% mempersepsikan mutunya lebih buruk. Tindakan penanganan medis, kemampuan dan cepat tanggapnya petugas, ketrampilan dan kerjasama, serta kemampuan dalam penetapan diagnosa, merupakan indikator keberhasilannya. Responden pasien 6% berpendapat mutunya cukup dan 94% mempersepsikan mutunya lebih buruk. Indikator sikap dan empati petugas diantaranya sikap sopan dan santun serta ramah, pemberian jaminan pelayanan, pemberian saran, perhatian waktu petugas, pelayanan yang tidak memandang status sosial serta penampilan yang bersih dan rapi. Hasilnya 88% berpendapat mutunya lebih buruk dan hanya 12% mempersepsikan mutunya cukup. Pada indikator keadaan fisik puskesmas paling dirasakan oleh pasien meliputi kenyamanan suasana lingkungan puskesmas, kebersihan, kerapian ruangan dan halaman Tabel.1 Persepsi PPK terhadap indikator mutu pelayanan kesehatan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Propinsi Jambi tahun 2006 Kategori mutu Persepsi PPK terhadap mutu Jumlah Lebih buruk Cukup Lebih Baik n % N % n % N % 1.Ketersediaan obat 68 76 22 24 - - 90 100 2.Ketersediaan alat 41 46 46 51 3 3 90 100 3.Ketersediaan srn fisik 74 82 16 18 - - 90 100 4.Besarnya jasa medis 72 80 16 18 2 2 90 100 90 100 Kesimpulan 12 82 % 18 % - Dwi Noerjoedianto : Analisis kebijakan perubahan tarif puskesmas di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Propinsi Jambi Tabel.2. Persepsi pasien terhadap indikator mutu pelayanan kesehatan di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Propinsi Jambi tahun 2006 Kategori mutu Persepsi pasien terhadap mutu Jumlah Lebih buruk Cukup Lebih Baik N % N % N % N % 1.Proses administrasi 75 78 21 22 - - 96 100 2.Tindakan petugas 90 94 6 6 - - 96 100 3.Sikap dan empati Petugas 85 88 11 12 - - 96 100 4.Keadaan sarana Fisik 79 83 7 7 10 10 96 100 96 100 Kesimpulan 88 % yang bersih serta penataan tata letak ruangan yang rapi. Sebanyak 10% responden pasien menyatakan lebih baik, 7% cukup dan 83% menyatakan lebih buruk. Secara keseluruhan persepsi pasien tersaji pada Tabel 2. Kenyataan menunjukkan bahwa persepsi pasien, hanya 12 % yang mengkategorikan mutunya cukup dan 88% menyatakan lebih buruk, sehingga perlu mendapat perhatian pemerintah Kabupaten Tanjung Jabung Barat Perhatian sektor kesehatan termasuk dalam skala prioritas, terbukti pemerintah daerah memberikan anggaran untuk ketersediaan obat dan operasional selama 3 tahun terakhir, seperti Table 3. Perubahan kebijakan berdampak pada kesiapan aparatur terutama SDM, sarana dan prasarana serta peralatan, sehingga kualitas pelayanan masih dapat dirasakan oleh konsumen, sehingga agenda pemerintah 12 % - Kabupaten Tanjung Jabung Barat dapat disusun dengan baik, sesuai dengan acuan UU Kesehatan No. 36 tahun 2009 bahwa anggaran kesehatan sebesar 15 % dari APBD. Akibat kebijakan perubahan tarif, masyarakat berusaha untuk memanfaatkan puskesmas, terbukti adanya perbedaan jumlah kunjungan pasien. Kejadian secara significan pada bulan maret 2006. Hal ini dibuktikan dengan meningkatnya jumlah kunjungan pasien dari 5.455 menjadi 7.564 pada april 2006 (meningkat 138%). Perbedaan terjadi jika dibandingkan pada bulan maret 2005. Kecenderungan terus meningkat sampai mengalami puncaknya pada oktober 2006, dengan kunjungan 8.709. Penyebab tingginya angka kunjungan, adalah pergantian musim dari musim kemarau ke musim penghujan, sehingga kejadian penyakit meningkat atau adanya promosi pihak Pemerintah Kabupaten Tabel 3 Proporsi alokasi anggaran obat, operasional dan jasa medis terhadap besarnya anggaran kesehatan tahun 2004-2006 di Kab. Tanjab Barat Propinsi Jambi Tahun Anggaran Alokasi Anggaran 2004 2005 2006 1.Anggaran Obat 2.Anggaran operasinal 3.Anggaran jasa medis 1.167.534.540 4.020.583.150 62.000.000 1.492.153.358 4.397.343.688 74.400.000 2.004.664.220 6.574.184.759 - Anggaran Kesehatan Kabupaten 9.136.123.190 15.380.316.802 23.206.908.794 12,78 44,01 0,68 9,7 28,59 0,48 8,64 28,33 - Proporsi terhadap Anggaran Kesehatan 1.Anggaran obat 2.Anggaran operasional 3.Anggaran jasa medis 13 Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains. 9000 8500 8000 7500 7000 6500 6000 5500 5000 4500 Series1 Ja n05 M ar -0 5 M ay -0 5 Ju l- 0 5 S ep -0 5 N ov -0 5 Ja n06 M ar -0 6 M ay -0 6 Ju l- 0 6 S ep -0 6 N ov -0 6 JUmlah Kunjungan Trend Kunjungan Puskesmas Tahun 2005-2006 Waktu Kunjungan per bulan Gambar 2. Jumlah Kunjungan puskesmas selama tahun 2005 dan 2006 di wilayah Kabupaten Tanjung Jabung Barat Tanjung Jabung Barat ke desa atau kecamatan. Trend kunjungan puskesmas selama periode tahun 2005 dan 2006 tersaji pada Gambar 2 Berdasarkan gambar 2 diatas, maka dapat dihitung nilai elastisitas tarif berdasarkan jumlah kunjungan selama periode waktu 9 bulan sebelum dan sesudah berlakunya kebijakan perubahan tarif puskesmas. Nilai elastisitas tarif tersebut diperoleh dari membandingkan antara prosentase perubahan jumlah kunjungan puskesmas (∆Q) dengan prosentase perubahan harga (∆P), sehingga didapat nilai elastisitas sebesar 0,40 yang berarti mempunyai nilai kurang dari 1. Hal ini menandakan bahwa pelayanan kesehatan bersifat in-elastis. Seperti Gambar 3. Pembahasan Berdasarkan hasil penelitian sebagian besar pasien, mempersepsikan mutunya lebih buruk. Hal yang dirasakan terutama pada tindakan, sikap dan empati PPK termasuk proses administrasi. Pasien menginginkan pelayanan yang baik, artinya dilayani dengan sopan santun, senyum dan perhatian dalam TREND ELASTISITAS TARIF P.1 : 2000 P.2 : 0 Q.1 =5491 Q.2 =7705 Gambar 3 Trend Elastisitas Tarif 14 Dwi Noerjoedianto : Analisis kebijakan perubahan tarif puskesmas di Kabupaten Tanjung Jabung Barat Propinsi Jambi mendiagnose. Kenyataan ini ditunjukkan PPK dalam bekerja secara rutinitas, tanpa berorientasi pada pelayanan yang lebih baik, sehingga kepuasan pasien terabaikan. Hal ini terjadi karena perbedaan perspektif mutu pelayanan kesehatan (Pohan, 2003a), bahwa pelayanan kesehatan yang bermutu adalah pelayanan yang dapat memenuhi kebutuhan yang dirasakan dan diselenggarakan dengan sopan dan santun, tepat waktu, dan tanggap terhadap keluhan. Peningkatan kunjungan terjadi karena aksesnya yang mudah, dilihat dari sisi transportasi maupun lokasi. Meskipun pasien mempersepsikan lebih buruk, pasien tetap menggunakan sarana pelayanan kesehatan, ditunjang pelayanan kesehatan tidak tergantikan oleh pelayanan lainnya. Hal ini sesuai dengan konsep elastisitas dalam pelayanan kesehatan. Nilai elastisitas tarif selama periode waktu 9 bulan, menunjukkan 0,40, sehingga disimpulkan bahwa pelayanan kesehatan bersifat In-elastis. Pasien berpendapat kebutuhan (need) terhadap pelayanan kesehatan sangat diperlukan, sehingga kebutuhan tidak akan dipengaruhi oleh perubahan tarif pelayanan kesehatan yang ada, tetapi pada saat masyarakat perlu dan dalam kondisi sakit, sudah barang tentu pasti menggunakan pelayanan kesehatan. Hal ini juga terjadi di Kabupaten Tanjung Jabung Barat, meskipun secara umum mereka mempersepsikan mutunya lebih buruk, sehingga dimungkinkan akan berpengaruh pada tingkat kepuasan, dibanding pada saat sebelum kebijakan, ternyata masyarakat masih menggunakan sarana pelayanan kesehatan dengan meningkatnya jumlah kunjungan pada bulan pertama (april 2006) sebesar 38 % dari bulan sebelumnya. Hal ini menunjukkan bahwa pelayanan kesehatan tersebut berbasis kebutuhan (need) dan adanya kecenderungan peningkatan yang terus menerus dan mencapai puncak pada bulan oktober 2006. Hal ini sesuai Trisnantoro (2003b) yang menyatakan bahwa produk-produk pelayanan kesehatan biasanya bersifat in-elastis, khususnya untuk penanganan-penanganan yang acut dan tidak ada penggantinya, ditunjang apabila terjadi monopoli penyedia pelayanan kesehatan tanpa ada produk substitusinya. Pendapat Mills juga mendukung, menyatakan konsep supply dan demand di pelayanan kesehatan tidak berinteraksi secara normal, karena terdapat kesenjangan informasi antara pemasok dan pemakai. Hal ini diperkuat ( Azwar A,1996), bahwa pelayanan kesehatan sangat spesifik dan sering terjadinya supply induced demand, karena asymetri informasi antara dokter dan pasien. Persepsi PPK menunjukkan hasil yang sama dengan persepsi pasien, yaitu mutunya lebih buruk. Hal ini terjadi karena faktor ketersediaan sarana fisik dan jasa medis. Indikator sarana fisik, sangat tergantung dengan besarnya alokasi anggaran yang terdiri dari rehabilitasi, pembangunan baru dan pemeliharaan, terjadi ketidak-seimbangan antara jumlah sarana kesehatan dan besarnya anggaran. Indikator jasa medis mempunyai andil sangat berarti terhadap persepsi PPK yang lebih buruk. Hal ini terjadi karena pemberian jasa medis yang disamaratakan tanpa memandang beban/prestasi kerja. Padahal PPK mengalami fluktuasi peningkatan pelayanan kepada pasien yang cenderung meningkat. PPK menginginkan besarnya jasa medis tergantung dari jumlah pasien. Faktor lain adalah tingkat kesulitan penanganan pasien berdasar tindakan baik ringan, sedang ataupun sulit. PPK selalu berharap dalam ketersediaan sarana dan prasarana yang memadai dalam memberikan pelayanan kesehatan sesuai SOP. Sesuai pernyataan Pohan IS, ( 2003b ) bahwa pelayanan kesehatan yang bermutu adalah ketersediaan peralatan, dan prosedur kerja (protokol), dan terfokus pada dimensi kompetensi teknis. Hal ini yang dirasakan PPK, sehingga perlu mendapat dukungan pemerintah. Kenyataan bahwa pemerintah daerah memberikan dukungan alokasi anggaran kesehatan dari 4,55% (2004) menjadi 9,17% (2006), terutama anggaran obat dan biaya operasional. Peningkatan anggaran terjadi pada anggaran gaji akibat bertambahnya jumlah pegawai. Besarnya anggaran 15 Jurnal Penelitian Universitas Jambi Seri Sains. kesehatan yang disediakan pemerintah daerah, berimplikasi terhadap kinerja dinas kesehatan, idealnya sebesar 15% dari APBD, sesuai standart nasional. Indikator berdasarkan Depkes (2005), berkisar 9% tahun 2001 dan 3-4% tahun 2002. KESIMPULAN 1. Persepsi PPK terhadap mutu pelayanan kesehatan lebih buruk dengan adanya kebijakan perubahan tarif puskesmas. 2. Persepsi pasien terhadap mutu pelayanan kesehatan lebih buruk dengan adanya kebijakan perubahan tarif puskesmas. 3. Secara absolut anggaran kesehatan meningkat, khususnya anggaran obat dan operasional. 4. Nilai tingkat elastisitas akibat kebijakan perubahan tarif puskesmas kurang dari 1, artinya bahwa pelayanan kesehatan bersifat in-elastis. DAFTAR PUSTAKA Azwar, A. 1996. Pengantar Administrasi Kesehatan, Ed.3, Binarupa Aksara, Jakarta, Depkes. 2005. Rencana Strategis Departemen Kesehatan RI 2005-2009, Jakarta. Hendrartini J. 2005. Hand-Out Konsep Penetapan Tarif, Magister Kebijakan Pembiayaan dan Manajemen Asuransi Kesehatan. Hendroyono A. 2006. Mutu Pelayanan Kesehatan dan Service Recovery, 16 [Internet] Available from : <http:\\www.dimensi> mutu layanan kesehatan, [Accessed Journal 6 Maret 2006] Kovner AR. 1995. Health Care Delivery in the United States, Springer Publishing. Pohan IS. 2003a. Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan : Dasar – Dasar Pengertian, Ed.1, Kesaint Blanc Bekasi. Indonesia. Pohan IS. 2003b. Jaminan Mutu Pelayanan Kesehatan : Penerapannya Dalam Pelayanan Kesehatan, Ed.1, Kesaint Blanc Bekasi. Indonesia. Trisnantoro, L. 2005a. Memahami Penggunaan Ilmu Ekonomi dalam Manajemen Rumah Sakit, Ed.2, Gadjah Mada University Press. Trisnantoro, L. 2005b. Aspek Strategis Manajemen Rumah Sakit, antara Misi Sosial dan Tekanan Pasar, Ed.1, Penerbit Andi Offset Jogjakarta. Thoha M. 1998. Perilaku Organisasi Konsep Dasar dan Aplikasi, PT Raja Grafindo Persada ,Jakarta. Wijono, D. 1999. Pendekatan Mutu dan Kepuasan Pelanggan dalam Pelayanan Kesehatan : Manajemen Mutu Pelayanan Kesehatan, Airlangga University Press. Zeithaml V, Parasuraman A, Berry L. 1990. Delivering Quality Service : Balancing Customer Perceptions and Expectations, The Free Press New York