KARAKTERISASI ZONA SUBDUKSI PAPUA BAGIAN UTARA MELALUI KAJIAN SEJARAH KEGEMPAAN Skripsi disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains Program Studi Fisika oleh: Miftachul Janah 4211412051 JURUSAN FISIKA FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG 2016 PERSETUJUAN PEMBIMBING Skripsi dengan judul “Karakterisasi Zona Subduksi Papua Bagian Utara Melalui Kajian Sejarah Kegempaan” telah disetujui oleh pembimbing untuk diajukan ke sidang panitia ujian skripsi Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang. Hari : Rabu Tanggal : 22 Juni 2016 Semarang, 25 Juli 2016 ii iii iv MOTTO DAN PERSEMBAHAN Motto The way to get started is to quit talking and begin doing (Paulo Coelho) Don’t wait for the perfect moment, take te moment and make it pefect (Vini Fitriani) Persembahan Skripsi ini kupersembahkan kepada Allah, Bapak, Ibu, Adik, Sahabat. v KATA PENGANTAR Bismillahirrahmanirrahim, Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi yang berjudul “Karakterisasi Zona Subduksi Papua Bagian Utara Melalui Kajian Sejarah Kegempaan” dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat wajib memenuhi tugas pelaksanaan perkuliahan jenjang Sarjana (S1) di Program Studi Fisika, Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang. Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih kepada: 1. Prof. Dr. Zaenuri S.E., M.Si, Akt selaku Dekan Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang. 2. Dr. Suharto Linuwih M.Si. selaku Ketua Jurusan Fisika Universitas Negeri Semarang. 3. Prof. Dr. Supriyadi M.Si. selaku dosen pembimbing I yang telah membimbing dengan penuh kesabaran serta meluangkan waktu untuk memberi masukan, saran, dan motivasi dalam proses penyusunan skripsi. 4. Dr. Ian Yulianti S.Si., M.Eng. selaku dosen pembimbing II yang dengan sabar membimbing, mengarahkan, memberikan saran kepada penulis hingga terselesaikannya skripsi ini. 5. Yuni Dwi Trisnowati selaku pembimbing lapangan dalam penelitian yang telah memberikan arahan, koreksi, dan tambahan ilmu kepada penulis. 6. Tony Agus Wijaya S.Si. selaku Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun Geofisika Klas I Yogyakarta yang telah memberikan izin melakukan penelitian. vi 7. Bapak Budi, Bapak Warto, dan seluruh staf operasional Stasiun Geofisika Klas I Yogyakarta yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah memberikan ilmu dan bimbingannya selama pelaksanaan penelitian. 8. Novia Nur Khayati sekeluarga yang memberikan tempat tinggal dan dukungan selama di Yogyakarta. 9. Bapak dan Ibu yang telah memberikan doa, motivasi, dan dukungan kepada penulis. 10. Teman – teman Fisika Unnes angkatan 2012 yang senantiasa terus memberikan bantuan, dukungan, semangat, dan motivasi hingga terselesaikannya skripsi ini. 11. Teman – teman Kos Wisma Citra 3 yang telah memberikan semangat kepada penulis. 12. Sahabat – sahabat terbaik yang senantiasa telah memberikan semangat, motivasi, dan energi mereka untuk selalu mendukung penulis dalam menyelesaikan skripsi ini. 13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga segala kebaikannya mendapatkan balasan dari Allah SWT. Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna karena keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis sendiri. Oleh karena itu, saran dan kritik yang membangun dari semua pihak senantiasa penulis harapkan untuk bekal penulis yang akan viiating. Akhir kata, penulis hanya berharap semoga karya kecil ini dapat memberikan kebermanfaatan bagi kehidupan dan menambah kebaikan. Semarang, 25 Juli 2016 Miftachul Janah vii ABSTRAK Janah, Miftachul. 2016. Karakterisasi Zona Subduksi Papua Bagian Utara Melalui Kajian Sejarah Kegempaan. Skripsi, Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing Utama Prof. Dr. Supriyadi M.Si. dan Pembimbing Pendamping Dr. Ian Yulianti S.Si., M.Eng. Kata kunci: Gempa bumi, Lempeng, Sudut Penunjaman, Zona Subduksi, Software WinITDB (Windows Integrated Tsunami Database) Papua merupakan salah satu wilayah di Indonesia Timur yang memiliki geologi kompleks. Akan tetapi, kajian riset geologi Papua tidak berkembang dan sifatnya terbatas. Hal ini menyebabkan belum diketahuinya seismotektonik wilayah Papua. Adapun analisis seismotektonik dapat dilakukan salah satunya melalui karakterisasi zona subduksi. Pada penelitian ini dengan menggunakan software WinITDB (Windows Integrated Database), penulis bermaksud untuk menentukan besar sudut penunjaman lempeng yang ada di Papua bagian utara. Penentuan sudut penunjaman ini dilakukan melalui analisis penampang melintang seismisitas menggunakan program WinITDB. Adapun hasil yang diperoleh adalah pada penampang melintang seismisitas bidang A–A’ pertemuan dua lempeng yang memiliki sudut penunjaman sebesar 150° terhadap horizontal pada kedalaman hingga ±68 km. Pada penampang melintang seismisitas bidang B–B’ memiliki sudut penunjaman sebesar 135° terhadap horizontal pada kedalaman ±82 km. Pada penampang melintang seismisitas bidang C–C’ memiliki pertemuan kedua lempeng berada di antara -1,77° LS sampai -4,97º LS menunjam sampai kedalaman 171 km pada 1,38° LU - 4,97° LS. Hal ini menunjukkan bahwa karakteristik penunjaman di Papua bagian utara yaitu lempeng benua Australia menunjam ke arah utara, diikuti tumbukan (collision) dan penunjaman Lempeng Pasifik ke arah selatan pada Palung New Guinea. Hasil tersebut juga didukung oleh analisis mekanisme fokus yang menunjukkan bahwa aktivitas kegempaan di wilayah Papua bagian utara lebih banyak dikontrol oleh kegiatan patahan – patahan aktif sebagai akibat dari penunjaman lempeng yang tidak terlalu dalam. viii ABSTRACT Janah, Miftachul. 2016. Subduction Zone Characterization of the Northern Papua through the Study of Earthquake History. Final Project. Physics Department, Mathematics and Science Faculty, Semarang State University. First Supervisor: Prof. Dr. Supriyadi M.Si. and second Advisor: Dr. Ian Yulianti S.Si.,M.Eng. Keywords : Earthquake, plate, dip angle, subduction zone, Software WinITDB (Windows Integrated Tsunami Database) Papua is one of part in Eastern Indonesia which has complex geology However, geology research study of Papua isn’t developed and limited. It causes the seismotectonic of Papua hasn’t been known. The one of seismotectonic analysis can be done by subduction zone characterization. In this research, by using software WinITDB (Windows Integrated Database), the writer wanted to determine the dip angle of plate which was on the northern Papua. The determination of angle was done through analysis of seismicity’s cross section in the area of research. To show that seismicity, is needed data of earthquake history that had ever occurred in the area of research. The earthquake data used was taken from WinITDB, SeisComP3 (Seismological Communication Processor) database, and USGS (United State Geological Survey). Then the data were inputted in WinITDB program so that it can be showed its seismicity map. Then the seismicity map on the area of research was divided into three field of cross section to find out the hypocenter projection. This hypocenter projection was used in the process analysis of seismicity’s cross section to determine its angle. The obtained result was on the seismicity’s cross section of plane A–A’, there was confluence of two plates which have angle 150° against horizontal on the depth up to ±68 km. On the seismicity’s cross section of plane B–B’ had angle 135° against horizontal on the depth of ±82 km. On the seismicity’s cross section of plane C–C’, it had confluence of two plate which located between -1,77°S until -4,97ºS subducted until the depth of 171 km on 1,38°N - 4,97°S. It proved that subduction characteristic in the north part of Papua which was Australia continent plate subducted to north, followed by collision and the subduction of Pacific plate on New Guinea. Those result is also supported by the analysis of focus mechanism which showed that earthquake activity in the north part of Papua is more controlled by active fault as the result of subduction plate which is not really deep. ix DAFTAR ISI HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................. iii HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..................................................v KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi ABSTRAK .......................................................................................................... viii DAFTAR ISI ...........................................................................................................x DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii DAFTAR TABEL ................................................................................................xv DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1 1.1 Latar Belakang ......................................................................................1 1.2 Rumusan Masalah .................................................................................3 1.3 Batasan Masalah ....................................................................................3 1.4 Tujuan Penelitian...................................................................................4 1.5 Manfaat Penelitian.................................................................................4 BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................5 2.1 Gempa Bumi .........................................................................................5 2.1.1 Gempa Bumi Tektonik ..............................................................6 2.1.2 Mekanisme Terjadinya Gempa Bumi ........................................8 2.2 Gelombang Seismik ..............................................................................9 2.2.1 Gelombang Primer (Gelombang P) .........................................10 2.2.2 Atenuasi Gelombang Seismik .................................................10 2.3 Struktur Dalam Bumi ..........................................................................12 2.3.1 Kerak Bumi .............................................................................14 2.3.2 Selubung (Mantel) Bumi .........................................................16 2.3.3 Inti Bumi..................................................................................17 x 2.4 Tektonik Lempeng ..............................................................................18 2.5 Sesar ....................................................................................................21 2.5.1 Deskripsi Matematis Bidang Sesar dan Kemiringan ...............26 2.5.2 Mekanisme Fokus....................................................................28 2.5.3 Bola Fokus (Beach Ball) .........................................................29 2.6 Windows Integrated Tsunami Database ..............................................31 2.6.1 Metode Interpolasi ...................................................................32 2.6.2 Relokasi Hiposenter ................................................................35 2.7 Tatanan Tektonik Wilayah Papua .......................................................36 BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................42 3.1 Tempat Penelitian ................................................................................42 3.2 Alat dan Bahan ....................................................................................42 3.3 Pengolahan dan Analisis Data .............................................................43 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................50 4.1 Hasil Penelitian ...................................................................................50 4.1.1 Penampang Melintang Seismisitas Bidang A – A’ .................52 4.1.2 Penampang Melintang Seismisitas Bidang B – B’ ..................53 4.1.3 Penampang Melintang Seismisitas Bidang C – C’ ..................54 4.2 Pembahasan .........................................................................................55 4.2.1 Karakteristik Penunjaman Zona Subduksi ..............................55 4.2.2 Kajian Seismotektonik ............................................................58 BAB V PENUTUP ................................................................................................61 5.1 Kesimpulan..........................................................................................61 5.2 Saran ....................................................................................................62 DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................64 Lampiran ..............................................................................................................70 xi DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1 Pergerakan lempeng-lempeng utama di sekitar wilayah Indonesia .....................................................................................2 Gambar 2.1 Ilustrasi kejadian gempa bumi ....................................................7 Gambar 2.2 Lokasi-lokasi gempa di wilayah Indonesia ..................................7 Gambar 2.3 Tahapan mekanisme terjadinya gempa bumi ..............................9 Gambar 2.4 Gelombang P .............................................................................10 Gambar 2.5 Model gejala logis untuk atenuasi seismik ...............................11 Gambar 2.6 Dimensi struktur dalam bumi ....................................................13 Gambar 2.7 Hasil analisis gelombang seismik gempa untuk strukur dalam bumi ...................................................................................... 14 Gambar 2.8 Penampang lapisan penyusun bumi ..........................................18 Gambar 2.9 Model arus konveksi di dalam mantel bumi ..............................19 Gambar 2.10 Batas konvergen dan zona subduksi .........................................21 Gambar 2.11 Pola radiasi kopel tunggal dan kopel ganda .............................22 Gambar 2.12 Metode penentuan mekanisme fokus dari suatu event gempa bumi ..........................................................................................23 Gambar 2.13 Macam-macam sesar ................................................................24 Gambar 2.14 Dip .............................................................................................25 Gambar 2.15 Strike ..........................................................................................25 Gambar 2.16 Slip..................................................................................................... 26 Gambar 2.17 Parameter bidang patahan ........................................................26 Gambar 2.18 Daerah kompresi dan dilatasi yang dipisahkan oleh bidang patahan dan bidang bantu .........................................................29 Gambar 2.19 Pelepasan energi pada media isotop yang membentuk bola radiasi gelombang .....................................................................29 Gambar 2.20 Pola tarikan dan tekanan akibat sesar mendatar .......................30 Gambar 2.21 Beach ball .................................................................................30 xii Gambar 2.22 Titik data interpolasi dalam penentuan hiposenter tiga dimensi ...............................................................................32 Gambar 2.23 Metode interpolasi horisontal pada lokasi episenter ..................33 Gambar 2.24 Metode interpolasi vertikal menggunakan magnitudo dan kedalaman ..........................................................................34 Gambar 2.25 Potongan bumi yang diasumsikan sebagai bola ........................35 Gambar 2.26 Tatanan tektonik wilayah Papua ...............................................38 Gambar 2.27 Elemen tektonik Papua .............................................................39 Gambar 2.28 Geologi sekitar teluk Cenderawasih .........................................40 Gambar 2.29 Zona sesar Yapen yang melewati Papua Yapen dan teluk Cenderawasih ............................................................................41 Gambar 2.30 Jalur sabuk lipatan anjakan bagian tenggara teluk Cenderawasih ............................................................................41 Gambar 3.1 Tampilan awal software WinITDB ...........................................44 Gambar 3.2 Tampilan pada tahap input data gempa ke software WinITDB .......................................................................................... 44 Gambar 3.3 Tampilan pada tahap plot area ..................................................44 Gambar 3.4 Tampilan peta seismisitas pada software WinITDB ................45 Gambar 3.5 Tampilan peta seismisitas sesuai dengan batas zona pengeplotan ...................................................................................... 45 Gambar 3.6 Penentuan garis penampang melintang .....................................46 Gambar 3.7 Tampilan awal software Surfer 12 .............................................47 Gambar 3.8 Tampilan pada tahap input data gempa ke software Surfer 12 ..47 Gambar 3.9 Tampilan pemetaan 2D penampang zona subduksi Papua .......48 Gambar 3.10 Diagram alir penelitian ..............................................................49 Gambar 4.1 (a) Tampilan peta daerah penelitian ...............................................51 Gambar 4.1 (b) Penampang melintang seismisitas daerah penelitian ................51 Gambar 4.2 Penampang melintang seismisitas bidang A – A’ ....................... 52 Gambar 4.3 Penampang melintang seismisitas bidang B – B’ ......................53 Gambar 4.4 Penampang melintang seismisitas bidang C – C’ ....................... 54 Gambar 4.5 Kontur sebaran hiposenter ........................................................56 xiii Gambar 4.6 Tampilan tiga dimensi penunjaman zona subduksi menggunakan Surfer 12........................................................................................... 58 Gambar 4.7 Sebaran solusi mekanisme fokus pada event gempa di wilayah Papua Utara dari tahun 1976 – 2013 dengan magnitudo >6 SR ............................................................................. 59 xiv DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Jenis oksida yang terkandung pada batuan di dalam lapisan kerak bumi beserta persentase kandungannya ..........................15 xv DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Data gempa papua bagian utara tahun 1900-2015 .....................70 Lampiran 2 Surat Keputusan Penetapan Dosen Pembimbing .....................113 Lampiran 3 Surat Izin Penelitian .................................................................114 Lampiran 4 Surat Pemberian Izin Penelitian ...............................................115 Lampiran 5 Surat Perintah Tugas Pembimbing Penelitian .........................116 Lampiran 6 Surat Tugas Panitia Ujian Sarjana ...........................................117 xvi BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan dengan tingkat kegempaan tinggi karena Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia yang bergerak relatif saling mendesak satu dengan lainnya. Ketiga lempeng tersebut adalah lempeng Samudera Hindia-Australia di sebelah selatan, lempeng Samudera Pasifik di sebelah timur, lempeng Eurasia di sebelah utara (dimana sebagian besar wilayah Indonesia berada) dan ditambah lempeng Laut Philipina (BMKG, 2012). Lempeng Samudera Hindia-Australia bergerak ke utara sekitar 5-7 cm/tahun dan menunjam ke bawah palung laut dalam Sumatera-Jawa sampai ke barat pulau Timor di Nusa Tenggara Timur. Lempeng Eurasia bergerak relatif ke arah tenggara dengan kecepatan 0,4 cm/tahun. Lempeng Pasifik dengan dua lempeng mikro, yaitu lempeng mikro Filipina yang bergerak relatif ke arah barat laut dengan kecepatan 10 cm/tahun, seperti pada Gambar 1.1. Gambar 1.1 Pergerakan lempeng-lempeng utama di sekitar wilayah Indonesia (BMKG, 2012) 1 2 Lokasi aktif gempa berada pada perbatasan antar lempeng tektonik tersebut namun efeknya bisa dirasakan pada jarak tertentu bergantung pada atenuasi energi dan geologi setempat. Kondisi lingkungan alam ini membuat Indonesia sering dilanda bencana gempa bumi yang semakin hari semakin meningkat kuantitasnya. Tekanan dahsyat yang disebabkan oleh pergerakan tiga lempeng besar tersebut menyebabkan interior lempeng bumi dari kepulauan Indonesia terpecahpecah menjadi bagian-bagian kecil kerak bumi yang bergerak antara satu terhadap lainnya yang dibatasi oleh patahan-patahan aktif yang terbentuk di bagian interior lempeng kepulauan Indonesia. Sebagian sumber gempa bumi tersebut berada di bawah laut sehingga berpotensi tsunami. Dari aspek tenaga tektonik jelas bahwa bagian Indonesia Timur memiliki potensi ancaman bencana gempa bumi dua kali lipat dibandingkan dengan Indonesia bagian barat. Namun dari aspek kerentanan, wilayah bagian barat Indonesia memiliki kerentanan yang lebih tinggi karena jumlah populasi penduduk yang lebih padat dengan infrastruktur yang lebih berkembang. USGS mengatakan bahwa sumber gempa bumi di Papua berdasarkan sejarah kejadiannya didominasi oleh sesar geser dan sesar naik yang diakibatkan oleh banyak lempeng-lempeng minor yang saling bertumbukan. Papua merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki kajian geologi kompleks. Sebelumnya, tatanan tektonik wilayah Papua telah diulas oleh beberapa ahli geologi seperti Dow dan Sukamto (1985), Smith (1990), dan Mark (1990) yang dapat dijadikan sebagai kerangka dalam menerangkan posisi dan sejarah tektonik. Adapun kajian riset tersebut tidak berkembang sehingga riset 3 mengenai gempa bumi dan tsunami serta infrastruktur di Papua terbatas. Hal ini menyebabkan belum diketahuinya seismotektonik, yaitu hubungan struktur geologi atau tektonik dengan kegempaan di Papua. Oleh karena analisis seismotektonik dapat dilakukan salah satunya melalui karakterisasi zona subduksi sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui karakteristik zona subduksi Papua. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dituliskan, rumusan masalah yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana karakteristik zona subduksi Papua melalui kajian event gempa bumi yang pernah terjadi di Papua. 2. Bagaimana seismotektonik Papua melalui kajian sebaran mekanisme fokus. 1.3 Batasan Masalah Untuk membatasi ruang lingkup berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang penelitian, maka penulis membatasi permasalahan sebagai berikut: 1. Data merupakan event gempa di daerah Papua pada tahun 1900-2015 yang dibatasi oleh koordinat 135° BT - 141º BT dan 0° LU – (-4º) LS. 2. Data gempa yang digunakan memiliki magnitudo 2,0 SR. Hal ini dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang jelas terhadap penampang melintang seismisitas yang membutuhkan data masukan berupa kedalaman gempa. Adapun kedalaman gempa juga memiliki keterkaitan dengan besar 4 magnitudo dari suatu event gempa. Oleh karena itu, adanya pembatasan magnitudo sebesar 2,0 SR diharapkan dapat menampilkan penunjaman yang lebih konsisten. 1.4 Tujuan Penelitian Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah: 1. Mengkaji karakteristik zona subduksi Papua. 2. Mengkaji seismotektonik zona Papua melalui peta sebaran mekanisme fokus 1.5 Manfaat Penelitian Dari hasil analisis yang dilakukan maka penelitian ini diharapkan: 1. Mengetahui potensi kegempaan di daerah penelitian. 2. Dapat dijadikan rujukan mitigasi bencana gempa bumi di daerah Papua dan sekitarnya. BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Gempa Bumi Gempa bumi adalah getaran tanah yang ditimbulkan oleh lewatnya gelombang seismik yang dipancarkan oleh suatu sumber energi elastik yang dilepaskan secara tiba-tiba. Pelepasan energi elastik tersebut terjadi pada saat batuan di lokasi sumber gempa tidak mampu menahan gaya yang ditimbulkan oleh gerak relatif antar blok batuan. Adapun daya tahan batuan inilah yang menentukan besar kekuatan gempa (Ginanjar, 2007). Berbagai macam gempa bumi dapat dibedakan berdasar penyebabnya, antara lain gempa tektonik, gempa vulkanik, gempa guguran atau gempa runtuhan (Bakornas PB, 2007). Pusat dari kejadian gempa bumi terdapat pada hiposenter (titik proyeksi permukaan dari pusat gempa di dalam bumi) yang ada di dalam bumi. Cara untuk menentukan lokasi atau titik hiposenter adalah dengan menggunakan seismograf (alat pencatat getaran gelombang seismik). Menurut Fowler (1990) gempa bumi juga dapat dibedakan berdasar kedalaman dari pusat gempa atau yang disebut dengan hiposenter, antara lain: 1. Kedalaman fokus dari permukaan adalah 0 – 70 km, terjadilah gempa bumi dangkal (shallow earthquake), 5 6 2. Kedalaman antara 70 – 300 km, terjadilah gempa bumi menengah (intermediate earthquake), dan 3. Kedalaman lebih dari 300 km, terjadilah gempa bumi dalam (deep earthquake). 2.1.1 Gempa Bumi Tektonik Gempa bumi tektonik adalah salah satu jenis gempa bumi yang disebabkan oleh gerakan atau benturan antara lempeng-lempeng tektonik yang terdapat di dalam lapisan permukaan bumi. Gempa bumi tektonik telah terjadi jutaan kali sejak jutaan tahun yang lalu dalam skala waktu geologi. Bukti-bukti kejadian gempa bumi tektonik di masa lalu terekam dalam gejala-gejala geologi di alam (paleo seismologi). Saat ini gempa bumi tektonik dapat direkam menggunakan jaringan seismometer yang selanjutnya datanya dikumpulkan dan diolah untuk menentukan lokasi sumber gempa bumi serta kekuatannya (Ginanjar, 2007). Gempa bumi dapat terjadi dimanapun namun para peneliti kegempaan berkesimpulan bahwa 95% gempa bumi terjadi di sekitar batas lempeng. Suatu titik di sepanjang bidang temu antar lempeng atau di sepanjang patahan tempat dimulainya gempa disebut fokus atau hiposenter sedangkan titik di permukaan bumi tepat di atas sumber gempa disebut episenter (Ginanjar, 2007). Adapun ilustrasi suatu kejadian gempa bumi dapat dilihat pada Gambar 2.1. 7 Gambar 2.1 Ilustrasi kejadian gempa bumi (Andreas & Alexander, 2005) Di wilayah Indonesia dapat dideteksi sekitar 4000 gempa bumi pertahun, sedangkan gempa bumi berkekuatan di atas 5,5 SR dan gempa bumi tektonik yang menimbulkan kerusakan terjadi antara 1-2 kali pertahun. Sejak tahun 1991 sampai dengan 2011 tercatat telah terjadi 186 kali gempa bumi tektonik yang merusak (BMKG 2012: 4). Tingkat keaktifan gempa di wilayah Indonesia juga telah dipetakan dalam bentuk peta seismisitas sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 2.2. Gambar 2.2 Lokasi-lokasi gempa di wilayah Indonesia (USGS, 2006) 8 2.1.2 Mekanisme Terjadinya Gempa Bumi Terjadinya gempa bumi tektonik dimulai dengan adanya proses akumulasi energi yang diakibatkan oleh pergerakan lempeng. Pada daerah pertemuan lempeng timbul suatu tegangan yang diakibatkan oleh tumbukan dan pergeseran antar lempeng yang mempunyai sifat-sifat elastisitas batuan. Tegangan pada batuan akan berkumpul terus menerus sehingga pada suatu saat sesuai dengan karakteristik batuannya akan sampai pada titik patah. Pada saat tersebut energi yang terkumpul selama terjadi proses tegangan akan dilepaskan berupa deformasi batuan atau patahan. Energi yang dilepaskan ke segala arah berupa gelombang gempa bumi (Andreas, 2005). Gempa bumi adalah rangkaian gelombang getaran atau kejutan (shock wave) yang berasal dari suatu tempat dalam mantel atau kerak bumi. Bullen (1965) mengemukakan suatu teori yang menjelaskan mengenai bagaimana umumnya gempa bumi terjadi. Teori ini dikenal dengan nama “Elastic Rebound Theory”. Menurut teori ini gempa bumi terjadi pada daerah atau area yang mengalami deformasi. Energi yang tersimpan dalam deformasi ini berbentuk elastis strain dan terakumulasi sampai daya dukung batuan mencapai batas maksimum hingga akhirnya menimbulkan rekahan atau patahan. Adapun ilustrasi mekanisme terjadinya gempa bumi dapat dilihat pada Gambar 2.3. 9 Gambar 2.3 Tahapan mekanisme terjadinya gempa bumi (Andreas & Alexander, 2005) 2.2 Gelombang Seismik Mekanisme gempa bumi dikontrol oleh pola penjalaran gelombang seismik di dalam bumi. Pola mekanisme ini bergantung pada pola medium penjalaran atau keadaan struktur kulit bumi serta distribusi gaya tegangan (stress) yang terjadi (Susilawati, 2008). Dalam menjelaskan gelombang seismik, asumsi dasar yang dipakai dalam memandang bumi yakni bumi dianggap sebagai media elastik sempurna yang terdiri dari berbagai lapisan dan semua lapisan bumi merupakan media homogen isotropic dimana diskontinyuitas tahanan jenis hanya terdapat pada batas udara dan bumi (Priyono, 2001). Gelombang seismik merupakan gelombang akustik yang merambat dalam medium bumi. Gelombang seismik menjalar ke seluruh bagian dalam bumi dan melalui permukaan bumi akibat adanya lapisan batuan yang patah secara tiba-tiba. 10 Penjalaran gelombang seismik menembus struktur perlapisan bumi sangat bergantung pada sifat elastisitas batu-batuan yang dilaluinya (Susilawati, 2008). 2.2.1 Gelombang Primer (Gelombang P) Gelombang primer (gelombang P) merupakan salah satu jenis perambatan gelombang seismik yang menjalar di dalam bumi. Gelombang P disebut juga gelombang kompresi, gelombang longitudional, gelombang dilatasi, atau gelombang irotasional (Priyono, 2001). Gelombang ini menginduksi gerakan partikel media dalam arah paralel terhadap arah penjalaran gelombang seperti pada Gambar 2.4. Bentuk persamaan gelombang P didasarkan pada bentuk persamaan dilatasi, yaitu: (2.1) Dengan menganalogikan persamaan ini dengan bentuk persamaan umum gelombang maka didapatkan persamaan kecepatan gelombang P sebagai berikut: (2.2) Gambar 2.4 Gelombang P (Kramer, 1996) 2.2.2 Atenuasi Gelombang Seismik Pada penjalaran gelombang di bumi, telah diketahui bahwa idealnya bumi memiliki sifat murni elastis sehingga gelombang seismik mengalami refleksi, 11 refraksi, dan transmisi energi pada batas kontrol amplitudo dari pulsa seismik. Bumi sebenarnya tidak elastis sempurna dan propagasi gelombang mengalami pelemahan seiring dengan berjalannya waktu karena berbagai mekanisme pelepasan energi (Lay & Wallace, 1995). Pengaruh atenuasi terhadap sinyal seismik dapat dilihat pada penurunan amplitudo dan melebarnya sinyal (panjang gelombang). Hal ini menunjukkan bahwa atenuasi merupakan gabungan antara pengurangan energi dan penyerapan frekuensi secara simultan, karena medium yang dilewati gelombang seismik memiliki tingkat redaman yang berbeda-beda maka penyerapan frekuensi oleh medium tersebut tidak sama (Susilawati, 2008). Penggambaran sederhana dari atenuasi dapat dibentuk dari gerak bolak-balik atau osilasi massa pada sebuah pegas (Gambar 2.5). Gambar 2.5 Model gejala logis untuk atenuasi seismik (Lay & Wallace, 1995) Ilustrasi pegas di atas merepresentasikan proses elastisitas dalam bumi. Gaya (f) merepresentasikan gesekan yang berlawanan dengan gerak massa. Pada gambar di atas massa m ditambahkan pada sebuah pegas dengan konstanta (k) terdorong-dorong sepanjang permukaan penampang. Persamaan gerak untuk 12 gabungan sistem gaya pemulihan pegas ke gaya inersia diberikan oleh perpindahan massa adalah: (2.3) Solusi umum untuk persamaan ini adalah osilasi harmonik: (2.4) dimana Saat massa ditarik maka akan terjadi gerakan yang berlanjut terus menerus sehingga terjadi osilasi pada frekuensi alami pada sistem . Atenuasi dapat dikenali dengan penambahan gaya redaman, seperti gesekan antara perpindahan massa dan permukaan penampang. Pada kasus ini ada penambahan gaya sesuai kecepatan massa, yaitu: (2.5) atau (2.6) dimana dan . dan disebut koefisien gesekan. Penyelesaian dari persamaan adalah: (2.7) dimana . Persamaan ini adalah osilasi selaras yang meluruh secara eksponensial terhadap waktu. 2.3 Struktur Dalam Bumi Bumi ini berlapis – lapis. keberadaan lapisan – lapisan ini berkaitan erat dengan perubahan temperatur dan tekanan yang semakin tinggi ke arah pusat 13 bumi. Lapisan bumi dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian utama, seperti yang ditunjukkan pada (Gambar 2.6). Gambar 2.6 Dimensi struktur dalam bumi (Santoso, 2000) Pertama, lapisan paling luar disebut lapisan batuan (litosfer) atau kulit bumi yang padat, tebalnya sampai 100 km-an. Lapisan luar ini biasa disebut sebagai lempeng bumi yang selalu bergerak – gerak. Kedua di sebelah dalamnya adalah mantel bumi yang tebalnya sampai ribuan kilometer. Bagian luar dari mantel ini bersifat cair sehingga lapisan batuan bumi seperti mengapung di atasnya. Ketiga, di sekitar pusat bumi adalah inti bumi yang luar biasa panasnya, terdiri dari lelehan besi dan timah. Yang erat kaitannya dengan proses gempa bumi adalah lapisan yang paling luar, yaitu litosfer. Gempa bumi besar umumnya terjadi pada bagian paling atas dari kerak bumi, disebut kerak bumi (earth crust) yang tebalnya hanya 10 – 40 km. Di bagian ini suhu bumi umumnya tidak melebihi 300° - 400° C. Ini adalah persyaratan utama untuk terjadi proses deformasi elastik yang menimbulkan gempa bumi (Natawidjaja, 2007). 14 2.3.1 Kerak Bumi Pada bagian atas kerak bumi dijumpai batuan sedimen. Berdasarkan data gelombang gempa, di bawahnya dijumpai dua lapisan, yaitu batuan granitis di bagian atas dan batuan yang bersifat basaltis di bagian bawahnya. Batas kedua lapisan batuan ini kurang jelas namun bidang diskontinyunya disebut bidang diskontinyu Conrad. Pada kerak bumi di samudera, batuan yang bersifat asam tidak dijumpai. Kerak bumi pada bagian benua dan samudera memiliki perbedaan yang sangat kontras, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hasil analisis gelombang gempa (Gambar 2.7). Gambar 2.7 Hasil analisis gelombang seismik gempa untuk strukur dalam bumi (Santoso, 2000) Batuan kerak bumi sangat heterogen, contohnya pada bagian benua yang berumur tua (Perisai Prakambrium), batuan yang utama terdiri atas batuan beku dan metamorfosa derajat tinggi. Batuan yang terkandung dalam lapisan kerak bumi ini meliputi beberapa oksida, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1. 15 Tabel 2.1 Jenis oksida yang terkandung pada batuan di dalam lapisan kerak bumi beserta persentase kandungannya (Santoso, 2000). Jenis Oksida Persentase Kandungan SiO2 61,9 % Al2O3 15,6 % CaO 5–7% MgO 3,1 % Na2O 3,1 % K2O 2,9 % Fe2O3 2,9 % TiO2 <1% P2O5 <1% MnO <1% Berdasarkan indikasi kecepatan gelombang gempa, kerak bumi bagian bawah ditafsirkan sebagai batuan gabro (basa) namun jika dilihat dari suhu dan tekanan pada kerak bumi bagian bawah, gabro tidak mungkin dapat terbentuk. Pada tekanan tinggi ia akan berubah menjadi batuan yang disebut eklogit namun dalam keadaan demikian, batuan ini memiliki densitas terlalu tinggi untuk kerak bumi (Santoso, 2000). Hal ini memungkinkan jika bagian bawah kerak bumi komposisi kimia batuannya tergolong menengah karena suhu dan tekanan tinggi menjadikan batuan memiliki densitas tinggi. Adapun kerak bumi yang terdapat pada daerah benua ke 16 samudera, bagian bawahnya yang berkomposisi asam akan menipis dan menghilang. Contoh batuan yang diambil dari pengeboran di laut menunjukkan batuan basalt dengan sebagian kecil serpentinit dan batuan ultramefik lain. Basalt yang dijumpai di sini kurang mengandung kalium tapi kaya akan aluminium jika dibandingkan dengan batuan basalt yang dijumpai di permukaan bumi. Batuan ini disebut toleit samudera. 2.3.2 Selubung (Mantel) Bumi Selubung adalah lapisan di dalam bumi, mulai dari bidang diskontinyu Moho hingga kedalaman 2900 km. Hingga saat ini belum ada batuan yang secara pasti dianggap mewakili batuan dari selubung. Meskipun demikian, diduga batuan disini terdiri atas batuan ultramefik yang banyak mengandung olivin dan sedikit piroksen. Batuan ini dijumpai berupa zenolit yang terperangkap dalam aliran magma yang keluar ke permukaan bumi namun harus diketahui bahwa selama perjalanan keluar ke permukaan bumi, batuan tersebut telah mengalami berbagai perubahan. Hasil kajian gelombang gempa menunjukkan bahwa lapisan selubung terdiri atas tiga bagian. Bagian paling atas hingga kedalaman 200 km memiliki ciri perubahan kecepatan gelombang gempa yang berangsur melemah. Lapisan tengah antara 200 km hingga 700 km dapat dilihat dari perubahan kecepatan gelombang gempa yang lebih bermakna. Lapisan terdalam, antara 700 km hingga 2900 km mencakup kedua ciri sebelumnya secara menerus. Bila dibandingkan dengan jarijari bumi, tebal lapiisan selubung hanya kurang dari separuhnya namun isinya mencakup 83% isi bumi. Kecepatan gelombang gempa yang tinggi pada zona 17 selubung ini mengarah pada batuan dengan rigiditas tinggi dan densitas tinggi. Batuan ini mungkin sesuai dengan piroksenit atau dunit. Selain itu, tampak bahwa gempa dangkal (<60 km) lebih sering terjadi, sementara gempa menengah dan gempa dalam jauh lebih jarang terjadi (Santoso, 2000). Lapisan yang paling rapuh di bagian kerak bumi disebut litosfer dengan aktivitas gempa yang tinggi, sedangkan lapisan bagian atas selubung yang plastis disebut sebagai astenosfer. 2.3.3 Inti Bumi Inti bumi dimulai dari bidang diskontinyu Gutenberg, mulai dari kedalaman 2900 km hingga ke pusat bumi pada kedalaman 6371 km. Oleh karena kedalamannya yang besar maka kajian terinci mengenai pusat bumi juga masih jauh dari jangkauan manusia sehingga kajian hanya bisa dilakukan melalui gelombang gempa. Batas antara selubung dan inti bumi sudah dapat diperkirakan karena adanya perbedaan densitas yang mendadak, yaitu 5,5 g/cc menjadi 10 g/cc yang mewakili lapisan inti bagian atas. Sedangkan bagian dalam memiliki densitas sekitar 13 g/cc. Isi inti bumi kira-kira mencakup 16% dari isi bumi secara keseluruhan. Perjalanan gelombang gempa menunjukkan adanya zona yang tidak dapat meram`batkan gelombang S yang memiliki ciri tidak dapat merambat dalam cairan. Oleh karena itu, diperkirakan inti bumi bersifat cair (Santoso, 2000). Setelah melalui inti bumi, gelombang gempa hanya tinggal gelombang P saja. Pada kedalaman 5150 km, gelombang P menunjukkan adanya perubahan yang mendadak. Batas ini ditafsirkan sebagai batas antara inti bagian luar dan inti 18 bagian dalam yang diduga bersifat padat. Ini dijelaskan melalui peningkatan kecepatan gelombang kompresi P. 2.4 Tektonik Lempeng Teori tektonik lempeng menyatakan bahwa kerak bumi tersusun atas beberapa lempeng tektonik besar. Lempeng tektonik adalah litosfer bumi yang terdiri dari mantel dan kerak bumi yang mengapung di atas astenosfer yang cair dan panas, sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 2.8. Gambar 2.8 Penampang lapisan penyusun bumi (El-Kammar, 2009) Adanya gaya tektonik yang timbul akibat arus konveksi di dalam mantel bumi maka lempeng tektonik akan saling bergerak, bertumbukan serta bergeser satu sama lain. Oleh karena itu timbul tekanan yang menyebabkan lempenglempeng tersebut terpecah-pecah atau patah menjadi lempeng-lempeng tektonik yang lebih kecil (Harmadhoni, 2011). Teori tektonik lempeng merupakan suatu teori kinematik yang menjelaskan mengenai pergerakan gempa tanpa membahas penyebab dari pergerakan tersebut. Sesuatu seharusnya menjadi penyebab pergerakan tersebut untuk menggerakkan 19 massa yang sangat besar dengan tenaga yang sangat besar pula. Penjelasan yang paling dapat diterima secara meluas tentang sumber pergerakan lempeng bersandar kepada hukum keseimbangan termomekanika material bumi. Lapis teratas dari kulit bumi bersentuhan dengan kerak bumi yang relatif dingin, sementara lapis terbawah bersentuhan dengan lapis luar inti panas. Jelas peningkatan temperatur pasti terjadi pada lapisan.Variasi kepadatan lapisan dan temperatur menghasilkan situasi tidak stabil pada ketebalan material (yang lebih dingin) di atas material lebih tipis (yang lebih panas) di bawahnya. Akhirnya, material tebal yang lebih dingin mulai tenggelam akibat gravitasi dan pemanasan sehingga material yang lebih tipis mulai naik. Material yang tenggelam tersebut berangsur-angsur dipanaskan dan menjadi lebih tipis sehingga akhirnya bergerak menyamping dan dapat naik lagi yang kemudian sebagai material yang didinginkan yang akan tenggelam lagi. Proses ini biasa disebut sebagai konveksi, sebagaimana yang diilustrasikan pada Gambar 2.9. Gambar 2.9 Model arus konveksi di dalam mantel bumi (Tarbuck & Lutgens, 2006) Arus konveksi akan menimbulkan tegangan geser di bagian bawah lempeng dan mengakibatkan pergerakan lempeng di permukaan bumi. Pergerakan inilah 20 yang menyebabkan lempeng dapat bergerak saling menjauh di suatu tempat dan mendekat di tempat lainnya (Hager & O’Connel, 1978). Arus konveksi pada batuan setengah lebur pada lapisan mengakibatkan tegangan geser di bawah lempeng yang menggeser lempeng tersebut ke arah yang bervariasi melalui permukaan bumi. Batas divergen adalah batas antara lempeng yang saling menjauh satu dan lainnya. Pemisahan ini disebabkan karena adanya gaya tarik (tensional force) yang mengakibatkan naiknya magma ke permukaan dan membentuk material baru berupa lava yang kemudiann berdampak pada lempeng yang saling menjauh (Noor, 2009). Batas lempeng lain adalah batas konvergen yang merupakan batas antar lempeng yang saling bertumbukan. Batas lempeng konvergen dapat berupa batas subduksi atau obduksi. Zona subduksi adalah batas lempeng yang berupa tumbukan lempeng dimana salah satu lempeng menyusup ke dalam perut bumi dan lempeng lainnya terangkat ke permukaan. Zona obduksi adalah batas lempeng yang merupakan hasil tumbukan lempeng benua dengan benua yang membentuk suatu rangkaian pegunungan (Noor, 2009). Penjelasan tersebut dapat dilihat pada Gambar 2.10. 21 Gambar 2.10 Batas konvergen (atas) dan zona subduksi (bawah) (Noor, 2009) Teori tektonik lempeng membagi bagian bumi menjadi dua lapisan paling luar yang disebut lapisan litosfer. Di bawah litosfer tedapat lapisan astenosfer yang panas dan mudah mengalami perubahan bentuk dan dapat mengalir di bawah pengaruh tegangan. Lapisan litosfer ini seolah-olah “hanyut” di atas astenosfer sehingga terjadi gerakan saling meregang dan gerakan saling menekan. Akibat pergerakan ini maka di sekitar perbatasan lempeng terjadi akumulasi energi. Jika tidak bisa ditahan, energi tersebut akan terlepas dan menyebabkan patahan atau deformasi pada lapisan kerak bumi dan terjadilah gempa tektonik (Kramer, 1996). 2.5 Sesar Bumi terdiri dari dua lempeng utama, yaitu lempeng benua dan lempeng samudera. Lempeng-lempeng di bumi terus aktif bergerak. Pergerakan lempeng membuat kemungkinan adanya tumbukan semakin besar sehingga dapat menghasilkan patahan. Bidang atau bagian kulit bumi yang retak atau patah 22 disebut sesar atau fault. Pergeseran bidang patahan tersebut bisa terjadi secara horizontal dan vertikal. Solusi untuk menentukan arah dan orientasi yang menyebabkan terjadinya bidang sesar disebut sebagai “Fault Plane solution”. Ada beberapa ketentuan dalam mempelajari solusi bidang sesar ini, yaitu: a. Arah gerak awal gelombang P harus dianggap sama atau sesuai dengan arah gaya kopel yang bekerja di sumber gempa. Hal ini bersesuaian dengan dua hipotesis yang berlaku, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.11. Pertama, teori kopel tunggal yang menyatakan bahwa dalam sumber gempa bekerja dua gaya yang sama besar dan berlawanan arahnya yang berlaku sebagai momen. Kedua, teori kopel ganda yang menyatakan bahwa pada sumber gempa bekerja empat gaya yang sama besar dan berlaku sebagai pasangan momen gaya yang saling tegak lurus. Gambar 2.11 Pola radiasi kopel tunggal dan kopel ganda (Lowrie, 2007) 23 b. Focal harus dianggap berbentuk bola di dalam bumi, dimana bumi dianggap homogen isotropis (Gambar 2.12). Hal ini didasarkan pada solusi bidang sesar yang bertujuan mencari dua bidang nodal orthogonal yang memisahkan gerakan pertama gelombang dalam kuadran kompresi dan dilatasi pada bola fokusnya. Gambar 2.12 Metode penentuan mekanisme fokus dari suatu event gempa bumi (Lowrie, 2007) Berdasarkan arah gerak dan pergeserannya, ada beberapa jenis sesar (Gambar 2.13) yaitu: a. Sesar Geser (Strike Slip Fault) Sesar geser adalah sesar yang gerakannya horizontal, tidak terjadi pergerakan naik atau turun pada sesar. b. Sesar Turun (Normal Fault) Sesar turun adalah gerakan sesar dengan bagian atap sesar (hanging wall) bergerak turun terhadap alas sesarnya (foot wall). 24 c. Sesar Naik (Reverse fault) Sesar naik yaitu gejala pergeseran dimana hanging wall (atap sesar) bergerak ke atas. d. Sesar oblique reverse Sesar oblique reverse adalah sesar yang arah pergerakan sesarnya campuran, baik naik atau turun dan bergeser secara horizontal. Gambar 2.13 Macam-macam sesar (USGS, 1996) Sesar memiliki parameter yang terdiri dari sudut strike, dip, dan slip. Dip adalah sudut yang terbentuk antar permukaan sesar dan bidang sesar. Dip biasa disebut sudut kemiringan. Sudut diukur dari permukaan bumi. Posisi sudut dip horizontal memiliki nilai 0° dan untuk vertikal memiliki nilai dip 90°. Ilustrasi dip dapat dilihat pada Gambar 2.14. 25 Gambar 2.14 Dip (Epicentral, 2013) Strike adalah sebuah sudut yang digunakan khusus untuk orientasi sesar dan diukur searah jarum jam dari arah utara. Sebagai contoh sebuah strike dengan nilai 0° atau 180° mengindikasikan sebuah sesar memiliki orientasi arah utara-selatan, 90° atau 270° mengindikasikan orientasi arah timur-barat (Gambar 2.15). Gambar 2.15 Strike (Epicentral, 2013) Dip dan strike menggambarkan orientasi dari sesar. Arah pergerakan silang dari sesar adalah slip. Slip diukur pada permukaan sesar dan menggambarkan arah sudut dari hanging wall ke foot wall. Jika hanging wall bergerak ke kanan maka sudut slip adalah 0°. Jika bergerak ke atas maka slip bernilai 90°, apabila bergerak 26 ke kiri maka sudut slip senilai 180° dan jika bergerak turun maka sudutnya 270° atau -90° (Gambar 2.16). Gambar 2.16 Slip (Epicentral, 2013) 2.5.1 Deskripsi Matematis Bidang Sesar dan Kemiringan Adapun parameter sesar yang berhubungan dengan deformasi bawah permukaan ditunjukkan pada Gambar 2.17. Gambar 2.17 Parameter bidang patahan (Epicentral, 2013) 27 Dalam teori seismologi, energi yang dilepaskan oleh sumber gempa bumi diilustrasikan sebagai Momen Seismik (Mo) yang mengakibatkan terbentuknya luas dan slip dari rupture sebagaimana dinyatakan pada persamaan (2.8) dimana: Mo : momen seismik (Nm) µ : rigiditas (N/m2) A : luas bidang sesar (m2) D : slip (m). Untuk panjang dan lebar dari deformasi dapat ditentukan berdasarkan persamaan Wells dan Coppersmith (1994). Untuk menghitung panjang, lebar, dan patahan pada kasus strike slip fault adalah: Mw = 5,16 + 1,12*log L (2.9) Mw = 3,80 + 2,59*log W (2.10) Log A = -3,42 + 0,90*Mw (2.11) Sedangkan untuk jenis patahan naik (reverse) menggunakan persamaan sebagai berikut: Mw = 5,00 + 1,12 (Log L) (2.12) Mw = 4,37 + 1,95 (Log W) (2.13) Log A = -3,99 + 0,98 Mw (2.14) Dan untuk jenis patahan turun (normal) digunakan persamaan sebagai berikut: Mw = 4,86 + 1,32 (Log L) (2.15) Mw = 4,04 + 2,11 (Log W) (2.16) 28 Log A = -3,49 + 0,91 Mw (2.17) dimana: L :rupture length (km) W :rupture width (km) A :rupture area (km2). 2.4.2 Mekanisme Fokus Sebuah mekanisme fokus suatu bidang patahan merupakan salah satu cara untuk menunjukkan bidang patahan dan arah pergerakan sebuah gempa bumi menggunakan lingkaran dengan dua garis yang berpotongan. Mekanisme fokus diperoleh dari sebuah solusi momen tensor gempa bumi dan melalui observasi polaritas gerakan awal gelombang P. Apabila data polaritasnya kecil maka solusi bidang patahan dapat diperoleh melalui kombinasi dengan data polaritas gempa bumi lain yang memiliki lokasi dan waktu kejadian yang berdekatan. Studi mekanisme fokus bertujuan untuk menentukan model sesar gempa berdasarkan bidang nodal dari hasil pengamatan polaritas gelombang P yang dipancarkan oleh hiposenter. Konsep penyelesaian bidang sesar dengan mekanisme fokus diusulkan oleh Byerly dan Wilson (1938). Penyelesaian bidang sesar diperoleh dari distribusi gerakan pertama gelombang P yang terdiri dari kompresi (gerakan gelombang P naik) dan dilatasi (gerakan gelombang P turun), seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.18. 29 Gambar 2.18 Daerah kompresi dan dilatasi yang dipisahkan oleh bidang patahan dan bidang bantu (Hovskov & Ottemoller, 2010) 2.4.3 Bola Fokus (Beach Ball) Bola Fokus adalah bola fiktif yang berpusat pada sumber gempa. Sumber gempa dianggap sebagai suatu titik dan medium di dalam bola yang bersifat homogen. Hal ini dapat dilakukan karena polaritas gerakan gelombang pertama kekal di sepanjang perjalanannya (Hovskov & Ottemoller, 2010). Distribusi gerakan ini diproyeksikan melalui lintasan yang sama dengan penjalaran gelombangnya pada permukaan bola fokus. Jika suatu energi di dalam bumi dilepaskan maka akan terjadi radiasi ke segala arah berupa suatu bola (Gambar 2.19). Gambar 2.19 Pelepasan energi pada media isotop yang membentuk bola radiasi gelombang (Santoso, 2000) 30 Akibatnya pergeseran pertama dari gelombang P akan ke bawah untuk tarikan dan ke atas untuk tekanan. Fenomena ini diperjelas dalam Gambar 2.20. Gambar 2.20 Pola tarikan dan tekanan akibat sesar mendatar (Santoso, 2000) Arah dan orientasi sesar pada saat gempa bumi yang terjadi disebut mekanisme fokus. Informasi dari seismogram digunakan untuk menghitung mekanisme fokus dan tampilannya pada peta sebagai simbol “beach ball”. Simbol ini adalah sebuah proyeksi bidang horizontal dimana kerangka bola (bola fokus) melingkupi sumber gempa bumi. Beach ball juga menggambarkan orientasi tegangan (Gambar 2.21). Gambar 2.21 Beach ball (USGS, 2012) Beach ball berisi sumbu tegangan (P), yang merefleksikan arah stress compressive minimum dan tekanan (T), yang merefleksikan arah stress 31 compressive maksimum. Perhitungan mekanisme fokal ditampilkan pada sumbu P dan T dan tidak menggunakan bayangan (shading). Setiap stasiun di permukaan bumi mempunyai relasi satu-satu dengan suatu titik pada bola fokus. Posisi titik pada bola fokus dapat ditentukan trend dan plugenya. Trend adalah sudut tinggal landas gelombang pada sumber gempa atau sudut datang pada gelombang. Sudut tinggal landas pada hiposenter dapat ditentukan dengan menggunakan hukum Snellius untuk gelombang seismik yang menjalar di permukaan bumi, yaitu: (2.18) dengan adalah jari-jari bumi, adalah jarak radial hiposenter dari pusat bumi, adalah kecepatan gelombang P di bawah permukaan bumi dan kecepatan gelombang P di hiposenter, stasiun, adalah adalah sudut datang gelombang di adalah sudut tinggal landas pada hiposenter, dan p adalah parameter gelombang yang didapat dari hubungan: (2.19) dimana T adalah waktu penjalaran gelombang dan adalah jarak episenter (Lestari, 2006). 2.6 Windows Integrated Tsunami Database WinITDB merupakan software integrasi data gempa bumi dan tsunami yang memuat tampilan gempa, katalog tsunami, analisis gempa atau tsunami, dan pemodelan tsunami. Peta atau map yang ada pada aplikasi ini sudah disesuaikan dengan ketinggian daerah bahkan pada aplikasi ini dapat ditampilkan 32 plate/lempeng yang membantu dalam plot gempa. Terdapat banyak metode untuk mendapatkan hasil tersebut, salah satunya menggunakan metode interpolasi.Metode ini ditampilkan melalui kombinasi bahasa pemrograman PHP dan SQL commanduntuk menampilkan kembali issu tentang peringatan dan informasi tsunami. 2.6.1 Metode Interpolasi Metode interpolasi ditentukan melalui input data parameter hiposenter, seperti longitude, latitude, kedalaman, dan magnitudo. Jika data terdiri dari berbagai macam magnitudo dan kedalaman maka hiposenter dihitung menggunakan metode interpolasi horizontal dan vertikal berdasarkan 8 titik terdekat di sekitarnya (Gambar 2.22). Gambar 2.22 Titik data interpolasi dalam penentuan hiposenter tiga dimensi (Raharjo, 2007) Metode interpolasi horizontal dari lokasi episenter dihitung melalui metode linear dan mempertimbangkan 4 titik data terdekat di sekitar hiposenter (Gambar 2.23). 33 Gambar 2.23 Metode interpolasi horisontal pada lokasi episenter (Raharjo, 2007) Interpolasi lokasi episenter dapat ditentukan melalui persamaan berikut: (2.20) (2.21) (2.22) Titik S1, S2, S3, dan S4 adalah titik terdekat di sekitar hiposenter yang akan ditentukan. Point (1) merupakan titik grid terinterpolasi antara S1 dan S2, Point (2) merupakan titik grid terinterpolasi antara S3 dan S4. Point (3) merupakan input episenter pada hiposenter yang ditentukan, merupakan jarak terbawah dan terataslintang dari episenter pada titik interpolasi, sedangkan merupakan jarak terbawah dan teratas bujur dari titik interpolasi yang paling dekat dengan titik data. Metode interpoalsi vertikal menggunakan magnitudo dan kedalaman dengan mempertimbangkan 4 elemen terdekat yang memiliki jarak terdekat dengan hiposenter yang akan ditentukan. Titik data lain terdiri dari dua magnitudo dan satu kedalaman. 34 Koefisien interpolasi magnitude ( ) dan kedalaman ( dihitung melalui sebuah metode logaritma berdasarkan persamaan di bawah ini: (2.23) (2.24) (2.25) (2.26) (2.27) Point merupakan titik data yang terdiri dari kedalaman dan megnitudo yang memiliki jarak terdekat dengan hiposenter yang ditentukan. Point (1) merupakan titik grid yang terinterpolasi antara merupakan titik grid yang terinterpolasi antara dan dan , Point (3) merupakan titik grid yang terinterpolasi pada magnitude dan kedalaman, merupakan kedalaman terbawah dan teratas, sedangkan , Point (2) dan dan merupakan magnitude terkecil dan terbesar. Gambar 2.24 Metode interpolasi vertikal menggunakan magnitudo dan kedalaman (Raharjo, 2007) 35 2.6.2 Relokasi Hiposenter Hiposenter adalah jarak antara sumber gempa bumi dengan arah yang menjadi pengamatan (stasiun). Dengan beranggapan bahwa bumi adalah bulat, jarak hiposenter dapat ditemukan dengan menentukan beberapa persamaan. Gambar 2.25 Potongan bumi yang diasumsikan sebagai bola Berdasarkan jarak di atas, maka secara sistematis diketahui posisi dari si pengamat (stasiun), yaitu: Xs = r cosΦ cosƟ (2.28) YS = r cosΦ sinƟ (2.29) ZS = r sin Φ (2.30) dengan Φ = ΦS (π/180) (rad) Ɵ = ƟS (π/180) (rad) r = jari-jari bumi (6378 km) ΦS = lintang si pengamat (º) ƟS = bujur pengamat (º) (XS, YS, ZS) = koordinat titik pengamat 36 Sehingga posisi kedalaman sumber gempa dapat dituliskan sebagai berikut: Xh = (r-h) cosΦ cosƟ (2.31) Yh = (r-h) cosΦ sinƟ (2.32) Zh = (r-h) sin Φ (2.33) dengan Φ = Φh (π/180) (rad) Ɵ = Ɵh (π/180) (rad) h = kedalaman gempa Φh = lintang episenter(º) Ɵh = bujur episenter(º) (Xh, Yh, Zh) = koordinat titik pengamat Sehingga jarak hiposenter ( R ) dapat dihitung dengan: (2.34) 2.7 Tatanan Tektonik Wilayah Papua Geologi Papua dipengaruhi oleh dua tektonik besar yang saling bertumbukan dan serentak aktif. Pada saat ini, lempeng Samudera Pasifik – Caroline bergerak ke barat – baratdaya dengan kecepatan 7,5 cm/th, sedangkan lempeng Benua Indo – Australia bergerak ke utara dengan kecepatan 10,5 cm/th. Tumbukan yang sudah aktif sejak Eosen ini membentuk suatu tatanan struktur kompleks terhadap Papua yang sebagian besar dilandasi kerak Benua Indo – Australia (Yunus, 2010). Akibat digencet oleh dua lempeng besar ini, di wilayah Papua terbentuk tiga zona besar patahan aktif, yaitu zona kompresi dari tabrakan lempeng Pasifik dan 37 pulau Papua yang kompleks, jalur patahan besar Sorong dan jalur patahan besar Aiduna-Tarairua. Menurut pengukuran survey GPS, patahan geser Sorong memiliki laju pergerakan paling cepat di dunia. Dengan kecepatan gerak relatif lempeng Pasifik yang sangat cepat maka dapat dipastikan bahwa wilayah Papua memiliki potensi bencana gempa dua kali lipat lebih besar dibandingkan wilayah Sumatera-Jawa yang pergerakan lempengnya hanya 5-7 cm/tahun. Potensi gempa yang sangat tinggi ini didukung oleh fakta terjadinya gempa-gempa besar merusak di masa lalu dengan kekuatan lebih besar dari skala magnitudo 7 bahkan sebagian lebih besar dari magnitudo 8, misalnya gempa-tsunami di Biak tahun 1996 (8,2 SR) yang memakan korban ribuan jiwa, gempa besar pada tahun 2004 dengan kekuatan 7,1 - 7,6 SR, dan yang terakhir adalah gempa Mamberamo Raya dengan kekuatan 7,2 SR pada 27 Juli 2015 (UTC). Selain itu, dua gaya akibat tumbukan lempeng Indo-Australia dan Pasifik di bagian utara Papua terdapat pegunungan yang memanjang dari Kepala Burung hingga pegunungan Cycloof di Jayapura. Di daerah tersebut terdapat patahan yang memanjang dari Sorong hingga Yapen dan terus ke Mamberamo Hilir hingga di selatan Jayapura.Di bagian tengah terdapat pegunungan tengah dan patahan yang rumit, seperti patahan Weyland, Siriwo, Direwo, Kurima, dan lain-lain.Di samping itu juga terdapat patahan yang memanjang dari Manokwari ke arah Nabire dan dinamakan patahan Wandamen atau patahan Ransiki.Akibat penyusupan lempeng Samudera Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia menyebabkan terjadinya patahan di dasar laut sebelah selatan Fak-fak hingga di 38 selatan Kaimana dan sebagian selatan Nabire yang dinamakan patahan Aiduna (Gambar 2.26). Gambar 2.26 Tatanan tektonik wilayah Papua (Natawidjaja, 2007) Tektonik Papua secara umum dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu Badan Burung (Papua bagian timur) dan Kepala Burung (Papua bagian barat). Kedua bagian ini menunjukkan pola kelurusan barat – timur yang ditunjukkan oleh Tinggian Kemum di Kepala Burung dan Central Range di Badan Burung. Kedua pola ini dipisahkan oleh jalur Lipatan Anjakan Lengguru berarah barat daya – tenggara di daerah Leher Burung dan juga oleh teluk Cenderawasih (Gambar 2.27). 39 Gambar 2.27 Elemen tektonik Papua (Hamilton, 1979) Teluk Cenderawasih merupakan salah satu ciri fisografi Papua Utara. Teluk ini terletak di antara daratan Badan Burung ke selatan dan ke timur, Kepala Burung ke barat dan pulau Yapen ke utara. Teluk cenderawasih merupakan depresi berbentuk triangular embayment pada pantai utara Papua yangmemisahkan Kepala Burung dan Badan Burung (Charlton, 2000). Pergerakan relatif lempeng Samudera Pasifik – Caroline dan lempeng Benua Indo – Australia dimanifestasikan oleh pergerakan strike – slip yang mungkin berhubungan ataupun tidak berhubungan dengan pensesaran transform. Pergerakan strike – slip ini terlihat pada sistem zona Sesar Sorong – Yapen – Bewani dari timur ke barat sepanjang New Guinea. Sesar bergerak mengiri dan beberapa peneliti menyatakan bahwa sesar ini membentuk displacement sepanjang 600 km (Wachsmuth & Kunst, 1986). Pada bagian daratan pulau Papua, zona sesar ini disebut dengan zona Sesar Mamberamo yang dicirikan oleh kelurusan pada daerah Sungai Mamberamo 40 (Dow dan Sukamto, 1985). Bagian barat teluk berbatasan dengan sesar berarah barat laut (Zona Sesar Wandaman) sampai ke timur jalur Sabuk Lipatan Lengguru dan secara oblique memotong teluk Cenderawasih. Semakin ke selatan terdapat Weyland Overthrust (Gambar 2.28), suatu massa batuan metamorfik dan plutonik yang teranjakkan ke selatan di atas benua Australia dan jalur Sabuk Lipatan Lengguru yang dibentuk oleh suatu seri lipatan overthrust. Gambar 2.28 Geologi sekitar teluk Cenderawasih (Dow & Hartono, 1982) Ke arah timur, pada bagian barat sampai ke timur laut, terdapat pegunungan Van Rees, Gauttier, dan Karamoor. Dataran pantai menutupi palung sedimenter yang sangat dalam dan sempit yang lebarnya kurang dari 50 km (Palung Waipoga). Kedalaman air di teluk Cenderawasih berkisar antara 0 – 2000 m, bagian yang terdalam berada di bagian utara dan bagian tengah. Lokasi sesar Yapen di bawah permukaan air laut dapat diidentifikasi dari data batimetri (Gambar 2.29). 41 Gambar 2.29 Zona sesar Yapen yang melewati Papua Yapen dan teluk Cenderawasih (Dow & Hartono, 1982) Selain itu, ditemukan juga sabuk lipatan yang sebelumnya tidak diketahui di bagian tenggara dengan kecenderungan arah timur laut – barat daya (Gambar 2.30). Gambar 2.30 Jalur sabuk lipatan anjakan bagian tenggara teluk Cenderawasih (Dow & Hartono, 1982) BAB V PENUTUP 5.1 Kesimpulan Berdasarkan analisis peta sebaran hiposenter, grafik hubungan lintang dan kedalaman, cross section pada lintang daerah Papua bagian utara dan samudera Pasifik, serta pemetaan sebaran mekanisme fokus event gempa di daerah Papua bagian utara, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Berdasarkan peta cross section penampang melintang seismisitas bidang A – A’ yang menampilkan sebaran hiposenter gempa bumi wilayah samudera Pasifik pada titik 1,66° LU – 7,10° LU dan 134,88° BT 138,60° BT terdapat pertemuan dua lempeng yang memiliki sudut penunjaman sebesar 150° terhadap horizontal pada kedalaman hingga ±68 km. Pada penampang melintang seismisitas bidang B – B’ (sebaran hiposenter gempa bumi wilayah samudera Pasifik) dengan cross section pada titik 5,25° LU - 1,52° LS dan 136,15° BT - 140,77° BT memiliki sudut penunjaman sebesar 135° terhadap horizontal pada kedalaman ±82 km. Pada penampang melintang seismisitas bidang C – C’ (sebaran hiposenter gempa bumi wilayah Papua) dengan cross section pada titik 1,38° LU – 4,97° LS dan 137,09° BT – 140,91° BT memiliki pertemuan kedua lempeng berada di antara -1,77° LS sampai -4,97º LS menunjam sampai kedalaman 171 km pada 1,38° LU - 4,97° LS. 61 62 2. Karakteristik penunjaman di Papua bagian utara yaitu lempeng benua Australia menunjam ke arah utara, diikuti tumbukan (collision) dan penunjaman Lempeng Pasifik ke arah selatan pada Palung New Guinea. 3. Melalui kajian solusi mekanisme fokus sejarah kegempaan Papua maka diketahui kondisi seismotektonik wilayah Papua umumnya dipengaruhi oleh sesar oblique reverse pada daerah Kepala Burung dan Badan Burung, sesar strike – slip pada daerah Leher Burung dan teluk Cenderawasih. 4. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas kegempaan di wilayah Papua lebih banyak dikontrol oleh kegiatan patahan – patahan aktif yang merupakan salah satu indikasi bahwa kondisi penunjaman lempeng di daratan Papua tidak terlalu dalam. Oleh karena itu, pada penelitian ini diketahui bahwa terdapat kesesuaian antara karakteristik zona subduksi dengan kondisi seismotektonik Papua. 5.2 Saran Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diberikan beberapa saran, antara lain: 1. Dapat dilakukan akurasi data, salah satunya melalui pencitraan tomografi seismik sehingga dapat mengungkap struktur 3D zona subduksi yang direpresentasikan oleh model kecepatan rambat gelombang gempa secara rinci. 63 2. Hasil analisis yang diperoleh masih memerlukan adanya penyesuaian dengan data geologi dan kondisi tektonik setempat secara mendetail serta dibandingkan dengan hasil metode geofisika yang lain. 3. Hasil penelitian ini masih memerlukan kajian matematis energi gempa yang dapat membuat perkiraan lebih tepat mengenai seismotektonik di Papua. DAFTAR PUSTAKA Abdillah. 2010. Analisis Keaktifan dan Resiko Gempa Bumi Pada Zona Subduksi Daerah Pulau Sumatera dan Sekitarnya Dengan Metode Least Square. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. Analisa Potensi Rawan Bencana Alam di Papua dan Maluku (Tanah LongsorBanjir-Gempabumi-Tsunami). 2007. Kementrian Negara Lingkungan Hidup, Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan Kapasitas. Andreas, R. dan Alexander, S. 2005. The Potential of Three Dimensional Display Technologies for The Visualization of Geo-Virtual Environments. Proceedings, 22. ICA Cartographic Conference. Anonim. 2008. Basic Principles of Seismology. http://www.ualberta.ca/~unsworth/UA-classes/210/notes210/C/210C2008.pdf Diakses pada tanggal 15 Oktober 2015. Bahtiar. 2009. Analisis Mekanisme Pusat Gempabumi di Sulawesi Utara Tahun 1989-2009. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Bakornas PB. 2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di Indonesia Edisi II. Jakarta. Bhatia, M.R. dan Crook, K. A. W. 1986. Trace Element Characteristics of Greywackes and Tectonic Setting Discrimination of Sedimentary Basins. Contributions to Mineralogy and Petrology, vol. 92, pp. 181-193. BMKG. 2012. Pedoman Pelayanan Peringatan Dini Tsunami. BMKG: Jakarta. Bolt, B. A. 1978. Earthquakes A Primer. San Fransisco: W. H. Freeman Bullen, K.E. 1965. An Introduction to the Theory of Seismology 3rd edition. Cambridge: Cambridge University Press. Bullen, K.E dan Bolt, B.A. 1985. An Introduction to the Theory of Seismology. Cambridge: Cambridge University Press. Burhan. 2010. Kedalaman Zona Subduksi Kawasan Regional Sulawesi Tenggara dan Kawasan Busur Banda Bagian Barat Berdasarkan Analisa Power Spektrum 1D Medan Potensial Gravitasi. Jurnal Aplikasi Fisika, Vol. 6 No. 2. Byerly, P. dan Wilson, J. T. 1938. Microseisms Recorded at Berkeley. Eos, Transactions American Geophysical Union, Vol. 19, p. 107-109. 64 65 Charlton, T. R. 2000. Evolution of The Eastern Indonesia Collision Complex. Journal of Asian Earth Sciences, 18 (5), 603-631. Dow, D.B. dan Sukamto, R. 1985. Western Irian Jaya: the end-product of oblique plate convergence in the Late Tertiary. Tectonophysics. 106, p.109-139. Dow, D. B. dan Hartono, U. 1982. The Nature of The Crust Underlying Cendrawasih (Geeluink) Bay, Irian Jaya. Proceedings Indonesian Petroleum Association. El-Kammar, A. M. 2009. Introduction to Geology I. Cairo: Geology Department Faculty Science Cairo University. Elnashai, S. A. dan Sarno, D. L. 2008. Fundamental of Earthquake Engineering. Wiley. Hongkong. Emergence of New Petroleum System in the Mature Salawati Basin: Keys from Geochemical Biomarkers. http://tektonesiana.wordpress.com Diakses tanggal : 12 September 2015. Fiandralekha. 2010. Studi Mekanisme Sumber Gempa Di Selat Sunda Berdasarkan Gerak Awal Gelombang P dan Bentuk Gelombang. Skripsi. Semarang: Universitas Negeri Semarang. Fowler, C. M. R 1990. The Solid Earth: An Introduction to Global Geophysics. Cambridge: Cambridge Press. Ginanjar S. 2007. Memahami Konsep Tektonik dan Mekanisme Gempa. Jakarta: BMKG. Hager, B.H. dan O’Connel, R.J. 1978. Subduction Zone Dip Angles And Flow Driven By Plate Motion. Amsterdam: Elsevier Scientific Publishing Company. Hamilton, W.R. 1979. Tectonics of the Indonesian Region. US Geological Survey. Professional Paper 1078, 345 pp. Harahap, B. H. 2012. Tectonostratigraphy of the Southern Part of Papua and Arafura Sea, Eastern Indonesia. Indonesian Journal of Geology, Vol. 7 (167-187) No. 3. Harmadhoni, D. 2011. Analisis Mekanisme Fokus Gempa di Blitar-Jawa Timur 17 Mei 2011. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. Hastuti, E. W. D. dan Susilo B. K. 2007. Tektonik Lempeng dan Bencana Geologi di Sumatera dan Jawa. Kongres Ilmu Pengetahuan Wilayah Indonesia Bagian Barat. Palembang 3-5 September 2015. 66 Havskov, J. dan Ottemoller, L. 2010. Routine Data Processing in Earthquake Seismology. Springer. New York. Hutabarat, R. G. 2009. Integrasi Inversi Seismik dengan Atribut Amplitudo Seismik untuk Memetakan Distribusi Reservoar pada Lapangan Blackfoot. Jakarta: Universitas Indonesia. Irsyam, M. 2001. Development of Earthquake Microzonation and Site Specific Response Spectra to Obtain More Accurate Seismic Base Shear Coefficient. Final Report for University Research for Graduate Education (URGE) Project. Department of Civil Engineering, Institute of Technology Bandung. Jamady, A. 2011. Kuantifikasi Frekuensi dan Resolusi Menggunakan Seismik Refleksi di Perairan Maluku Utara. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Kaharuddin, S., dkk. 2014. Model Subduksi Berbasis Data Gempa Bumi (Studi Kasus Sulawesi Utara dan Sekitarnya). Prosiding Seminar Nasional Geofisika 2014. Katili, J. A. 1991. Tectonic Evolution of Eastern Indonesia and Its Bearing On The Occurence of Hydrocarbons. Marine and Petroleum Energy, 8(1), 7083. Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Analisis Potensi Rawan Bencana Alam di Papua dan Maluku. Laporan Akhir. Jakarta: Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Kertapati, E. K. 2006. Aktivitas Gempabumi di Indonesia. Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral Badan Geologi, Pusat Survey Geologi. Kramer, Steven L. 1996. Geothecnical Earthquake Engineering. Prentice Hall, 653 pp. Lay, T. dan Wallace, T.C. 1995. Modern Global Seismology. London: Academic Press. Lestari. 2006. Pola Subduksi dan Mekanisme Sumber Gempa Kawasan Busur Banda dan Sekitarnya Berdasarkan Data Seismisitas Tahun 2000-2003 dari Badan Meteorologi dan Geofisika. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Lowrie, W. 2007. Fundamentals of Geophysics Second Edition. Cambridge: Cambridge University Press. Mark, L. et al. 1990. Tectonic in Papua New Guinea and Past Productivity in The Eastern Equatorial Pacific Ocean. Letters to Nature, Vol. 398, pp. 601-604. 67 Masri, dkk. 2011. Pemetaan Tingkat Ancaman Bencana Gempabumi di Kecamatan Kolaka Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara. Jurnal Aplikasi Fisika, Vol. 7 No. 2. Muflihah, I. 2014. Distribusi dan Pola Sesar Daerah Kepala Burung (Papua Barat). Jurnal Neutrino Vol. 6 No.2. Natawidjaja, H. 2007. Tectonic Setting Indonesia dan Pemodelan Sumber Gempa dan Tsunami. Pelatihan Pemodelan Run-Up Tsunami. Bandung: LIPI. Noor, D. 2009. Pengantar Geologi. Bogor: Program Studi Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Pakuan. Pertiwi, C. P. 2010. Analisis Peluang Terjadinya Gempabumi Dengan Metode Likelihood Untuk Daerah Papua dan Sekitarnya. Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah. Pigram, C.J. et al. 1982. Late Cainozic Origin forthe Bintuni Basin and Adjacent Lengguru Fold Belt, Irian Jaya. Proceedings Indonesian Petroleum Association. 11th Annual Convention, p. 109-126. Pigram, C.J. dan Sukanta, U. 1981. Report on the geology of the Taminabuansheet area. Indonesian Geological Research and Development Centre, Open File Report. Poiata., N. et al. 2012. Source Process of the 2009 Irian Jaya, Indonesia, earthquake doublet. Earth palnets Space, 62: 475-481. Priyono, A. 2001. Buku Ajar Seismik Eksplorasi Untuk Bidang Ilmu Kebumian. Bandung: Penerbit ITB. Pubellier, M. dan Ego, F. 2002. Anatomy of an escape tectonic zone: western Irian Jaya (Indonesia). American Geophysical Union. Tectonics, Vol. 21, No. 4. Raharjo, S. 2007. Kontrol Struktur Geologi Terhadap Penyebaran Lapisan Batubara Di daerah Binungan Blok 1-4. Yogyakarta: Teknik Geologi UPN Veteran. Rahmat T. 2008. Overview Gempabumi dan Tsunami. Jakarta: BMKG. Reid, H.F. 1982. Elastic Rebound Theory of Earthquake, BSSA. Vol 11 (98-100). Santoso, D. 2000. Pengantar Teknik Geofisika. Bandung: Penerbit ITB. Sapiie, B. et al. 2012. Geology and Tectonic Evolution of Bird Head Region Papua, Indonesia: Implication for Hydrocarbon Exploration in the Eastern Indonesia. AAPG International Convention and Exhibition, Singapore. 68 Schwartz, S. Y. et al. 1989. Source process of the great 1971 Solomon Islands doublet. Phys. Earth Planet. Inter., 56: 294–310. Silangen P.M. 2005. Studi Anomali Perubahan Vp/Vs Gempabumi di Sulawesi Utara. Jurnal meteorology dan geofisika. Vol. 6, No. 3. Situmeang, M. 2012. Karakteristik Reservoar Karbonat Menggunakan Inversi Sparse Spike di Lapangan Panda Formasi Kais Cekungan Salawati Papua. Skripsi. Yogyakarta: UPN Veteran Yogyakarta. Smith, R. I. 1990. Tertiary Plate Tectonic Setting and Evolution of Papua New Guinea. Proceedings of The first PNG Petroleum Convention, 1990, Port Moresby, pp. 155-168. Stein, S. dan Wysession. 2003. An Introduction to seismology, earthquake, and earth strucuture. United Kingdom: Blackwell Publishing. Subarja. 1991. Penentuan Arah Penunjaman Lempeng Indo-australia terhadap lempeng Eurasia dan Aktivitas Seismik di Daerah Jawa Barat (kaitannya dengan Gempabumi, magnitudo 8,1 SR tahun 1903). Jakarta: Universitas Indonesia. Suryani, T. A. 2007. Analisis Komparatif Nilai Parameter Seismotektonik Dari Hubungan Magnitudo-Kumulatif dan Nonkumulatif untuk Jawa Timur Menggunakan Metode Kuadrat Terkecil dan Metode Maksimum Likelihood dari Data BMG dan USGS Tahun 1973-2003. Skripsi. Semarang: Jurusan Matematika Universitas Negeri Semarang. Susilawati. 2008. Penerapan Penjalaran Gelombang Seismik Gempa Pada Penelaahan Struktur Bagian Dalam Bumi. Karya Ilmiah. Medan: Jurusan Fisika FMIPA Universitas Sumatera Utara. Tarbuck, E.J. dan Lutgens, F.K. 2006. Prentice Hall Earth Science. http://wps.prenhall.com/esm_ta rbuck_escience_11/ Diakses pada tanggal 15 Januari 2016 Udias, V. A. 1999. Priciples of Seismology. Cambridge: Cambridge University Press. Wachsmuth, W. dan Kunst, F. 1986. Wrench Fault Tectonics in Northern Irian Jaya. Proceedings of The Indonesian Petroleum Association, 15th Annual onvention, 371-376. Wells, D. L. dan Coppersmith, K. J. 1994. New Empirical Relationships among Magnitude, Rupture Length, Rupture Width, Rupture Area, and Surface Displacement. Bulletin of the Seismological Society of America, Vol. 84, No. 4, pp. 974-1002. 69 Widiyantoro, Sri. 2008. Seismisitas dan Model Zona Subduksi di Indonesia Resolusi Tinggi. Seminar dan Pameran HAKI. Yagi, Y. 2010. Source Merchanism. Japan: University of Tsukuba. Yoshi, Achmad. 2011. Karakterisasi Reservoar Dengan Pendekatan Pemodelan Impedansi Akustik Daerah “Y” Papua. Skripsi. Jakarta: Universitas Indonesia. Yunus, F. 2010. Geologi Daerah Sorong, Kota Sorong, Papua Barat. Thesis. Bandung: Penerbit ITB Zawawi, Ahmad. 2011. Analisis Mekanisme Pusat Gempabumi di Cilacap Jawa Tengah Pada Tanggal 04 April 2011. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah. http://earthquake.usgs.gov/ Diakses tanggal 15 Desember 2015. http://epicentral.net/faults/ Diakses tanggal 15 Desember 2015.