karakterisasi zona subduksi papua bagian utara melalui

advertisement
KARAKTERISASI ZONA SUBDUKSI PAPUA BAGIAN
UTARA MELALUI KAJIAN SEJARAH KEGEMPAAN
Skripsi
disusun sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar Sarjana Sains Program Studi Fisika
oleh:
Miftachul Janah
4211412051
JURUSAN FISIKA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS NEGERI SEMARANG
2016
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Skripsi dengan judul “Karakterisasi Zona Subduksi Papua Bagian Utara
Melalui Kajian Sejarah Kegempaan” telah disetujui oleh pembimbing untuk
diajukan ke sidang panitia ujian skripsi Jurusan Fisika Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Negeri Semarang.
Hari
: Rabu
Tanggal
: 22 Juni 2016
Semarang, 25 Juli 2016
ii
iii
iv
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
Motto
The way to get started is to quit talking and begin doing
(Paulo Coelho)
Don’t wait for the perfect moment, take te moment and make it pefect
(Vini Fitriani)
Persembahan
Skripsi ini kupersembahkan kepada Allah, Bapak,
Ibu, Adik, Sahabat.
v
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim,
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan
skripsi yang berjudul “Karakterisasi Zona Subduksi Papua Bagian Utara Melalui
Kajian Sejarah Kegempaan” dengan baik. Skripsi ini merupakan salah satu syarat
wajib memenuhi tugas pelaksanaan perkuliahan jenjang Sarjana (S1) di Program
Studi Fisika, Jurusan Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam,
Universitas Negeri Semarang.
Penyusunan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan dan dukungan berbagai
pihak. Oleh karena itu, pada kesempatan ini penulis menyampaikan terima kasih
kepada:
1. Prof. Dr. Zaenuri S.E., M.Si, Akt selaku Dekan Fakultas Matematika dan
Ilmu Pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang.
2. Dr. Suharto Linuwih M.Si. selaku Ketua Jurusan Fisika Universitas Negeri
Semarang.
3. Prof. Dr. Supriyadi M.Si. selaku dosen pembimbing I yang telah
membimbing dengan penuh kesabaran serta meluangkan waktu untuk
memberi masukan, saran, dan motivasi dalam proses penyusunan skripsi.
4. Dr. Ian Yulianti S.Si., M.Eng. selaku dosen pembimbing II yang dengan
sabar membimbing, mengarahkan, memberikan saran kepada penulis
hingga terselesaikannya skripsi ini.
5. Yuni Dwi Trisnowati selaku pembimbing lapangan dalam penelitian yang
telah memberikan arahan, koreksi, dan tambahan ilmu kepada penulis.
6. Tony Agus Wijaya S.Si. selaku Kepala Seksi Data dan Informasi Stasiun
Geofisika Klas I Yogyakarta yang telah memberikan izin melakukan
penelitian.
vi
7. Bapak Budi, Bapak Warto, dan seluruh staf operasional Stasiun Geofisika
Klas I Yogyakarta yang tidak dapat disebutkan satu persatu yang telah
memberikan ilmu dan bimbingannya selama pelaksanaan penelitian.
8. Novia Nur Khayati sekeluarga yang memberikan tempat tinggal dan
dukungan selama di Yogyakarta.
9. Bapak dan Ibu yang telah memberikan doa, motivasi, dan dukungan
kepada penulis.
10. Teman – teman Fisika Unnes angkatan 2012 yang senantiasa terus
memberikan bantuan, dukungan, semangat, dan motivasi hingga
terselesaikannya skripsi ini.
11. Teman – teman Kos Wisma Citra 3 yang telah memberikan semangat
kepada penulis.
12. Sahabat – sahabat terbaik yang senantiasa telah memberikan semangat,
motivasi, dan energi mereka untuk selalu mendukung penulis dalam
menyelesaikan skripsi ini.
13. Semua pihak yang tidak dapat penulis sebutkan satu persatu. Semoga
segala kebaikannya mendapatkan balasan dari Allah SWT.
Penulis menyadari bahwa tulisan ini masih jauh dari sempurna karena
keterbatasan kemampuan dan pengetahuan penulis sendiri. Oleh karena itu, saran
dan kritik yang membangun dari semua pihak senantiasa penulis harapkan untuk
bekal penulis yang akan viiating. Akhir kata, penulis hanya berharap semoga
karya kecil ini dapat memberikan kebermanfaatan bagi kehidupan dan menambah
kebaikan.
Semarang, 25 Juli 2016
Miftachul Janah
vii
ABSTRAK
Janah, Miftachul. 2016. Karakterisasi Zona Subduksi Papua Bagian Utara
Melalui Kajian Sejarah Kegempaan. Skripsi, Jurusan Fisika, Fakultas Matematika
dan Ilmu pengetahuan Alam, Universitas Negeri Semarang. Pembimbing Utama
Prof. Dr. Supriyadi M.Si. dan Pembimbing Pendamping Dr. Ian Yulianti S.Si.,
M.Eng.
Kata kunci: Gempa bumi, Lempeng, Sudut Penunjaman, Zona Subduksi, Software
WinITDB (Windows Integrated Tsunami Database)
Papua merupakan salah satu wilayah di Indonesia Timur yang memiliki
geologi kompleks. Akan tetapi, kajian riset geologi Papua tidak berkembang dan
sifatnya terbatas. Hal ini menyebabkan belum diketahuinya seismotektonik
wilayah Papua. Adapun analisis seismotektonik dapat dilakukan salah satunya
melalui karakterisasi zona subduksi. Pada penelitian ini dengan menggunakan
software WinITDB (Windows Integrated Database), penulis bermaksud untuk
menentukan besar sudut penunjaman lempeng yang ada di Papua bagian utara.
Penentuan sudut penunjaman ini dilakukan melalui analisis penampang melintang
seismisitas menggunakan program WinITDB. Adapun hasil yang diperoleh adalah
pada penampang melintang seismisitas bidang A–A’ pertemuan dua lempeng
yang memiliki sudut penunjaman sebesar 150° terhadap horizontal pada
kedalaman hingga ±68 km. Pada penampang melintang seismisitas bidang B–B’
memiliki sudut penunjaman sebesar 135° terhadap horizontal pada kedalaman ±82
km. Pada penampang melintang seismisitas bidang C–C’ memiliki pertemuan
kedua lempeng berada di antara -1,77° LS sampai -4,97º LS menunjam sampai
kedalaman 171 km pada 1,38° LU - 4,97° LS. Hal ini menunjukkan bahwa
karakteristik penunjaman di Papua bagian utara yaitu lempeng benua Australia
menunjam ke arah utara, diikuti tumbukan (collision) dan penunjaman
Lempeng Pasifik ke arah selatan pada Palung New Guinea. Hasil tersebut juga
didukung oleh analisis mekanisme fokus yang menunjukkan bahwa aktivitas
kegempaan di wilayah Papua bagian utara lebih banyak dikontrol oleh kegiatan
patahan – patahan aktif sebagai akibat dari penunjaman lempeng yang tidak terlalu
dalam.
viii
ABSTRACT
Janah, Miftachul. 2016. Subduction Zone Characterization of the Northern Papua
through the Study of Earthquake History. Final Project. Physics Department,
Mathematics and Science Faculty, Semarang State University. First Supervisor:
Prof. Dr. Supriyadi M.Si. and second Advisor: Dr. Ian Yulianti S.Si.,M.Eng.
Keywords : Earthquake, plate, dip angle, subduction zone, Software WinITDB
(Windows Integrated Tsunami Database)
Papua is one of part in Eastern Indonesia which has complex geology However,
geology research study of Papua isn’t developed and limited. It causes the
seismotectonic of Papua hasn’t been known. The one of seismotectonic analysis
can be done by subduction zone characterization. In this research, by using
software WinITDB (Windows Integrated Database), the writer wanted to
determine the dip angle of plate which was on the northern Papua. The
determination of angle was done through analysis of seismicity’s cross section in
the area of research. To show that seismicity, is needed data of earthquake history
that had ever occurred in the area of research. The earthquake data used was taken
from WinITDB, SeisComP3 (Seismological Communication Processor) database,
and USGS (United State Geological Survey). Then the data were inputted in
WinITDB program so that it can be showed its seismicity map. Then the
seismicity map on the area of research was divided into three field of cross section
to find out the hypocenter projection. This hypocenter projection was used in the
process analysis of seismicity’s cross section to determine its angle. The obtained
result was on the seismicity’s cross section of plane A–A’, there was confluence
of two plates which have angle 150° against horizontal on the depth up to ±68 km.
On the seismicity’s cross section of plane B–B’ had angle 135° against horizontal
on the depth of ±82 km. On the seismicity’s cross section of plane C–C’, it had
confluence of two plate which located between -1,77°S until -4,97ºS subducted
until the depth of 171 km on 1,38°N - 4,97°S. It proved that subduction
characteristic in the north part of Papua which was Australia continent plate
subducted to north, followed by collision and the subduction of Pacific plate on
New Guinea. Those result is also supported by the analysis of focus mechanism
which showed that earthquake activity in the north part of Papua is more
controlled by active fault as the result of subduction plate which is not really deep.
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .............................................................................................. i
HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING ................................................. ii
HALAMAN PERNYATAAN .............................................................................. iii
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. iv
HALAMAN MOTTO DAN PERSEMBAHAN ..................................................v
KATA PENGANTAR .......................................................................................... vi
ABSTRAK .......................................................................................................... viii
DAFTAR ISI ...........................................................................................................x
DAFTAR GAMBAR ........................................................................................... xii
DAFTAR TABEL ................................................................................................xv
DAFTAR LAMPIRAN ...................................................................................... xvi
BAB I PENDAHULUAN .......................................................................................1
1.1
Latar Belakang ......................................................................................1
1.2
Rumusan Masalah .................................................................................3
1.3
Batasan Masalah ....................................................................................3
1.4
Tujuan Penelitian...................................................................................4
1.5
Manfaat Penelitian.................................................................................4
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................5
2.1
Gempa Bumi .........................................................................................5
2.1.1 Gempa Bumi Tektonik ..............................................................6
2.1.2 Mekanisme Terjadinya Gempa Bumi ........................................8
2.2
Gelombang Seismik ..............................................................................9
2.2.1 Gelombang Primer (Gelombang P) .........................................10
2.2.2 Atenuasi Gelombang Seismik .................................................10
2.3
Struktur Dalam Bumi ..........................................................................12
2.3.1 Kerak Bumi .............................................................................14
2.3.2 Selubung (Mantel) Bumi .........................................................16
2.3.3 Inti Bumi..................................................................................17
x
2.4
Tektonik Lempeng ..............................................................................18
2.5
Sesar ....................................................................................................21
2.5.1 Deskripsi Matematis Bidang Sesar dan Kemiringan ...............26
2.5.2 Mekanisme Fokus....................................................................28
2.5.3 Bola Fokus (Beach Ball) .........................................................29
2.6
Windows Integrated Tsunami Database ..............................................31
2.6.1 Metode Interpolasi ...................................................................32
2.6.2 Relokasi Hiposenter ................................................................35
2.7
Tatanan Tektonik Wilayah Papua .......................................................36
BAB III METODOLOGI PENELITIAN ..........................................................42
3.1
Tempat Penelitian ................................................................................42
3.2
Alat dan Bahan ....................................................................................42
3.3
Pengolahan dan Analisis Data .............................................................43
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN .............................................................50
4.1
Hasil Penelitian ...................................................................................50
4.1.1 Penampang Melintang Seismisitas Bidang A – A’ .................52
4.1.2 Penampang Melintang Seismisitas Bidang B – B’ ..................53
4.1.3 Penampang Melintang Seismisitas Bidang C – C’ ..................54
4.2
Pembahasan .........................................................................................55
4.2.1 Karakteristik Penunjaman Zona Subduksi ..............................55
4.2.2 Kajian Seismotektonik ............................................................58
BAB V PENUTUP ................................................................................................61
5.1
Kesimpulan..........................................................................................61
5.2
Saran ....................................................................................................62
DAFTAR PUSTAKA ...........................................................................................64
Lampiran ..............................................................................................................70
xi
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1
Pergerakan lempeng-lempeng utama di sekitar wilayah
Indonesia .....................................................................................2
Gambar 2.1
Ilustrasi kejadian gempa bumi ....................................................7
Gambar 2.2
Lokasi-lokasi gempa di wilayah Indonesia ..................................7
Gambar 2.3
Tahapan mekanisme terjadinya gempa bumi ..............................9
Gambar 2.4
Gelombang P .............................................................................10
Gambar 2.5
Model gejala logis untuk atenuasi seismik ...............................11
Gambar 2.6
Dimensi struktur dalam bumi ....................................................13
Gambar 2.7
Hasil analisis gelombang seismik gempa untuk strukur
dalam bumi ...................................................................................... 14
Gambar 2.8
Penampang lapisan penyusun bumi ..........................................18
Gambar 2.9
Model arus konveksi di dalam mantel bumi ..............................19
Gambar 2.10
Batas konvergen dan zona subduksi .........................................21
Gambar 2.11
Pola radiasi kopel tunggal dan kopel ganda .............................22
Gambar 2.12
Metode penentuan mekanisme fokus dari suatu event gempa
bumi ..........................................................................................23
Gambar 2.13
Macam-macam sesar ................................................................24
Gambar 2.14
Dip .............................................................................................25
Gambar 2.15
Strike ..........................................................................................25
Gambar 2.16
Slip..................................................................................................... 26
Gambar 2.17
Parameter bidang patahan ........................................................26
Gambar 2.18
Daerah kompresi dan dilatasi yang dipisahkan oleh bidang
patahan dan bidang bantu .........................................................29
Gambar 2.19
Pelepasan energi pada media isotop yang membentuk bola
radiasi gelombang .....................................................................29
Gambar 2.20
Pola tarikan dan tekanan akibat sesar mendatar .......................30
Gambar 2.21
Beach ball .................................................................................30
xii
Gambar 2.22
Titik data interpolasi dalam penentuan hiposenter
tiga dimensi ...............................................................................32
Gambar 2.23
Metode interpolasi horisontal pada lokasi episenter ..................33
Gambar 2.24
Metode interpolasi vertikal menggunakan magnitudo
dan kedalaman ..........................................................................34
Gambar 2.25
Potongan bumi yang diasumsikan sebagai bola ........................35
Gambar 2.26
Tatanan tektonik wilayah Papua ...............................................38
Gambar 2.27
Elemen tektonik Papua .............................................................39
Gambar 2.28
Geologi sekitar teluk Cenderawasih .........................................40
Gambar 2.29
Zona sesar Yapen yang melewati Papua Yapen dan teluk
Cenderawasih ............................................................................41
Gambar 2.30
Jalur sabuk lipatan anjakan bagian tenggara teluk
Cenderawasih ............................................................................41
Gambar 3.1
Tampilan awal software WinITDB ...........................................44
Gambar 3.2
Tampilan pada tahap input data gempa ke software
WinITDB .......................................................................................... 44
Gambar 3.3
Tampilan pada tahap plot area ..................................................44
Gambar 3.4
Tampilan peta seismisitas pada software WinITDB ................45
Gambar 3.5
Tampilan peta seismisitas sesuai dengan batas zona
pengeplotan ...................................................................................... 45
Gambar 3.6
Penentuan garis penampang melintang .....................................46
Gambar 3.7
Tampilan awal software Surfer 12 .............................................47
Gambar 3.8
Tampilan pada tahap input data gempa ke software Surfer 12 ..47
Gambar 3.9
Tampilan pemetaan 2D penampang zona subduksi Papua .......48
Gambar 3.10
Diagram alir penelitian ..............................................................49
Gambar 4.1 (a) Tampilan peta daerah penelitian ...............................................51
Gambar 4.1 (b) Penampang melintang seismisitas daerah penelitian ................51
Gambar 4.2
Penampang melintang seismisitas bidang A – A’ ....................... 52
Gambar 4.3
Penampang melintang seismisitas bidang B – B’ ......................53
Gambar 4.4
Penampang melintang seismisitas bidang C – C’ ....................... 54
Gambar 4.5
Kontur sebaran hiposenter ........................................................56
xiii
Gambar 4.6
Tampilan tiga dimensi penunjaman zona subduksi menggunakan
Surfer 12........................................................................................... 58
Gambar 4.7
Sebaran solusi mekanisme fokus pada event gempa
di wilayah Papua Utara dari tahun 1976 – 2013 dengan
magnitudo >6 SR ............................................................................. 59
xiv
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1
Jenis oksida yang terkandung pada batuan di dalam lapisan
kerak bumi beserta persentase kandungannya ..........................15
xv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1
Data gempa papua bagian utara tahun 1900-2015 .....................70
Lampiran 2
Surat Keputusan Penetapan Dosen Pembimbing .....................113
Lampiran 3
Surat Izin Penelitian .................................................................114
Lampiran 4
Surat Pemberian Izin Penelitian ...............................................115
Lampiran 5
Surat Perintah Tugas Pembimbing Penelitian .........................116
Lampiran 6
Surat Tugas Panitia Ujian Sarjana ...........................................117
xvi
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan tingkat kegempaan tinggi
karena Indonesia terletak pada pertemuan tiga lempeng tektonik utama dunia yang
bergerak relatif saling mendesak satu dengan lainnya. Ketiga lempeng tersebut
adalah lempeng Samudera Hindia-Australia di sebelah selatan, lempeng Samudera
Pasifik di sebelah timur, lempeng Eurasia di sebelah utara (dimana sebagian besar
wilayah Indonesia berada) dan ditambah lempeng Laut Philipina (BMKG, 2012).
Lempeng Samudera Hindia-Australia bergerak ke utara sekitar 5-7 cm/tahun dan
menunjam ke bawah palung laut dalam Sumatera-Jawa sampai ke barat pulau
Timor di Nusa Tenggara Timur. Lempeng Eurasia bergerak relatif ke arah
tenggara dengan kecepatan 0,4 cm/tahun. Lempeng Pasifik dengan dua lempeng
mikro, yaitu lempeng mikro Filipina yang bergerak relatif ke arah barat laut
dengan kecepatan 10 cm/tahun, seperti pada Gambar 1.1.
Gambar 1.1 Pergerakan lempeng-lempeng utama di sekitar
wilayah Indonesia (BMKG, 2012)
1
2
Lokasi aktif gempa berada pada perbatasan antar lempeng tektonik tersebut
namun efeknya bisa dirasakan pada jarak tertentu bergantung pada atenuasi energi
dan geologi setempat. Kondisi lingkungan alam ini membuat Indonesia sering
dilanda bencana gempa bumi yang semakin hari semakin meningkat kuantitasnya.
Tekanan dahsyat yang disebabkan oleh pergerakan tiga lempeng besar
tersebut menyebabkan interior lempeng bumi dari kepulauan Indonesia terpecahpecah menjadi bagian-bagian kecil kerak bumi yang bergerak antara satu terhadap
lainnya yang dibatasi oleh patahan-patahan aktif yang terbentuk di bagian interior
lempeng kepulauan Indonesia. Sebagian sumber gempa bumi tersebut berada di
bawah laut sehingga berpotensi tsunami.
Dari aspek tenaga tektonik jelas bahwa bagian Indonesia Timur memiliki
potensi ancaman bencana gempa bumi dua kali lipat dibandingkan dengan
Indonesia bagian barat. Namun dari aspek kerentanan, wilayah bagian barat
Indonesia memiliki kerentanan yang lebih tinggi karena jumlah populasi
penduduk yang lebih padat dengan infrastruktur yang lebih berkembang.
USGS mengatakan bahwa sumber gempa bumi di Papua berdasarkan sejarah
kejadiannya didominasi oleh sesar geser dan sesar naik yang diakibatkan oleh
banyak lempeng-lempeng minor yang saling bertumbukan.
Papua merupakan salah satu wilayah di Indonesia yang memiliki kajian
geologi kompleks. Sebelumnya, tatanan tektonik wilayah Papua telah diulas oleh
beberapa ahli geologi seperti Dow dan Sukamto (1985), Smith (1990), dan Mark
(1990) yang dapat dijadikan sebagai kerangka dalam menerangkan posisi dan
sejarah tektonik. Adapun kajian riset tersebut tidak berkembang sehingga riset
3
mengenai gempa bumi dan tsunami serta infrastruktur di Papua terbatas. Hal ini
menyebabkan belum diketahuinya seismotektonik, yaitu hubungan struktur
geologi atau tektonik dengan kegempaan di Papua.
Oleh karena analisis seismotektonik dapat dilakukan salah satunya melalui
karakterisasi zona subduksi sehingga penelitian ini dilakukan untuk mengetahui
karakteristik zona subduksi Papua.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian latar belakang yang telah dituliskan, rumusan masalah
yang akan dikaji dalam penelitian ini adalah:
1. Bagaimana karakteristik zona subduksi Papua melalui kajian event gempa
bumi yang pernah terjadi di Papua.
2. Bagaimana seismotektonik Papua melalui kajian sebaran mekanisme
fokus.
1.3 Batasan Masalah
Untuk membatasi ruang lingkup berdasarkan uraian yang telah dipaparkan
pada latar belakang penelitian, maka penulis membatasi permasalahan sebagai
berikut:
1. Data merupakan event gempa di daerah Papua pada tahun 1900-2015 yang
dibatasi oleh koordinat 135° BT - 141º BT dan 0° LU – (-4º) LS.
2. Data gempa yang digunakan memiliki magnitudo
2,0 SR. Hal ini
dimaksudkan untuk memberikan gambaran yang jelas terhadap penampang
melintang seismisitas yang membutuhkan data masukan berupa kedalaman
gempa. Adapun kedalaman gempa juga memiliki keterkaitan dengan besar
4
magnitudo dari suatu event gempa. Oleh karena itu, adanya pembatasan
magnitudo sebesar
2,0 SR diharapkan dapat menampilkan penunjaman
yang lebih konsisten.
1.4 Tujuan Penelitian
Tujuan yang akan dicapai dalam penelitian ini adalah:
1. Mengkaji karakteristik zona subduksi Papua.
2. Mengkaji seismotektonik zona Papua melalui peta sebaran mekanisme
fokus
1.5 Manfaat Penelitian
Dari hasil analisis yang dilakukan maka penelitian ini diharapkan:
1. Mengetahui potensi kegempaan di daerah penelitian.
2. Dapat dijadikan rujukan mitigasi bencana gempa bumi di daerah Papua
dan sekitarnya.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Gempa Bumi
Gempa bumi adalah getaran tanah yang ditimbulkan oleh lewatnya
gelombang seismik yang dipancarkan oleh suatu sumber energi elastik yang
dilepaskan secara tiba-tiba. Pelepasan energi elastik tersebut terjadi pada saat
batuan di lokasi sumber gempa tidak mampu menahan gaya yang ditimbulkan
oleh gerak relatif antar blok batuan. Adapun daya tahan batuan inilah yang
menentukan besar kekuatan gempa (Ginanjar, 2007).
Berbagai macam gempa bumi dapat dibedakan berdasar penyebabnya,
antara lain gempa tektonik, gempa vulkanik, gempa guguran atau gempa runtuhan
(Bakornas PB, 2007).
Pusat dari kejadian gempa bumi terdapat pada hiposenter (titik proyeksi
permukaan dari pusat gempa di dalam bumi) yang ada di dalam bumi. Cara untuk
menentukan lokasi atau titik hiposenter adalah dengan menggunakan seismograf
(alat pencatat getaran gelombang seismik).
Menurut Fowler (1990) gempa bumi juga dapat dibedakan berdasar
kedalaman dari pusat gempa atau yang disebut dengan hiposenter, antara lain:
1. Kedalaman fokus dari permukaan adalah 0 – 70 km, terjadilah
gempa bumi dangkal (shallow earthquake),
5
6
2. Kedalaman antara 70 – 300 km, terjadilah gempa bumi menengah
(intermediate earthquake), dan
3. Kedalaman lebih dari 300 km, terjadilah gempa bumi dalam (deep
earthquake).
2.1.1 Gempa Bumi Tektonik
Gempa bumi tektonik adalah salah satu jenis gempa bumi yang disebabkan
oleh gerakan atau benturan antara lempeng-lempeng tektonik yang terdapat di
dalam lapisan permukaan bumi. Gempa bumi tektonik telah terjadi jutaan kali
sejak jutaan tahun yang lalu dalam skala waktu geologi. Bukti-bukti kejadian
gempa bumi tektonik di masa lalu terekam dalam gejala-gejala geologi di alam
(paleo seismologi). Saat ini gempa bumi tektonik dapat direkam menggunakan
jaringan seismometer yang selanjutnya datanya dikumpulkan dan diolah untuk
menentukan lokasi sumber gempa bumi serta kekuatannya (Ginanjar, 2007).
Gempa bumi dapat terjadi dimanapun namun para peneliti kegempaan
berkesimpulan bahwa 95% gempa bumi terjadi di sekitar batas lempeng. Suatu
titik di sepanjang bidang temu antar lempeng atau di sepanjang patahan tempat
dimulainya gempa disebut fokus atau hiposenter sedangkan titik di permukaan
bumi tepat di atas sumber gempa disebut episenter (Ginanjar, 2007). Adapun
ilustrasi suatu kejadian gempa bumi dapat dilihat pada Gambar 2.1.
7
Gambar 2.1 Ilustrasi kejadian gempa bumi
(Andreas & Alexander, 2005)
Di wilayah Indonesia dapat dideteksi sekitar 4000 gempa bumi pertahun,
sedangkan gempa bumi berkekuatan di atas 5,5 SR dan gempa bumi tektonik yang
menimbulkan kerusakan terjadi antara 1-2 kali pertahun. Sejak tahun 1991 sampai
dengan 2011 tercatat telah terjadi 186 kali gempa bumi tektonik yang merusak
(BMKG 2012: 4). Tingkat keaktifan gempa di wilayah Indonesia juga telah
dipetakan dalam bentuk peta seismisitas sebagaimana yang ditunjukkan pada
Gambar 2.2.
Gambar 2.2 Lokasi-lokasi gempa di wilayah Indonesia
(USGS, 2006)
8
2.1.2 Mekanisme Terjadinya Gempa Bumi
Terjadinya gempa bumi tektonik dimulai dengan adanya proses akumulasi
energi yang diakibatkan oleh pergerakan lempeng. Pada daerah pertemuan
lempeng timbul suatu tegangan yang diakibatkan oleh tumbukan dan pergeseran
antar lempeng yang mempunyai sifat-sifat elastisitas batuan. Tegangan pada
batuan akan berkumpul terus menerus sehingga pada suatu saat sesuai dengan
karakteristik batuannya akan sampai pada titik patah. Pada saat tersebut energi
yang terkumpul selama terjadi proses tegangan akan dilepaskan berupa deformasi
batuan atau patahan. Energi yang dilepaskan ke segala arah berupa gelombang
gempa bumi (Andreas, 2005).
Gempa bumi adalah rangkaian gelombang getaran atau kejutan (shock wave)
yang berasal dari suatu tempat dalam mantel atau kerak bumi. Bullen (1965)
mengemukakan suatu teori yang menjelaskan mengenai bagaimana umumnya
gempa bumi terjadi. Teori ini dikenal dengan nama “Elastic Rebound Theory”.
Menurut teori ini gempa bumi terjadi pada daerah atau area yang mengalami
deformasi. Energi yang tersimpan dalam deformasi ini berbentuk elastis strain dan
terakumulasi sampai daya dukung batuan mencapai batas maksimum hingga
akhirnya menimbulkan rekahan atau patahan. Adapun ilustrasi mekanisme
terjadinya gempa bumi dapat dilihat pada Gambar 2.3.
9
Gambar 2.3 Tahapan mekanisme terjadinya gempa bumi
(Andreas & Alexander, 2005)
2.2 Gelombang Seismik
Mekanisme gempa bumi dikontrol oleh pola penjalaran gelombang seismik
di dalam bumi. Pola mekanisme ini bergantung pada pola medium penjalaran atau
keadaan struktur kulit bumi serta distribusi gaya tegangan (stress) yang terjadi
(Susilawati, 2008).
Dalam menjelaskan gelombang seismik, asumsi dasar yang dipakai dalam
memandang bumi yakni bumi dianggap sebagai media elastik sempurna yang
terdiri dari berbagai lapisan dan semua lapisan bumi merupakan media homogen
isotropic dimana diskontinyuitas tahanan jenis hanya terdapat pada batas udara
dan bumi (Priyono, 2001).
Gelombang seismik merupakan gelombang akustik yang merambat dalam
medium bumi. Gelombang seismik menjalar ke seluruh bagian dalam bumi dan
melalui permukaan bumi akibat adanya lapisan batuan yang patah secara tiba-tiba.
10
Penjalaran gelombang seismik menembus struktur perlapisan bumi sangat
bergantung pada sifat elastisitas batu-batuan yang dilaluinya (Susilawati, 2008).
2.2.1 Gelombang Primer (Gelombang P)
Gelombang primer (gelombang P) merupakan salah satu jenis perambatan
gelombang seismik yang menjalar di dalam bumi. Gelombang P disebut juga
gelombang kompresi, gelombang longitudional, gelombang dilatasi, atau
gelombang irotasional (Priyono, 2001).
Gelombang ini menginduksi gerakan partikel media dalam arah paralel
terhadap arah penjalaran gelombang seperti pada Gambar 2.4. Bentuk persamaan
gelombang P didasarkan pada bentuk persamaan dilatasi, yaitu:
(2.1)
Dengan menganalogikan persamaan ini dengan bentuk persamaan umum
gelombang maka didapatkan persamaan kecepatan gelombang P sebagai berikut:
(2.2)
Gambar 2.4 Gelombang P (Kramer, 1996)
2.2.2 Atenuasi Gelombang Seismik
Pada penjalaran gelombang di bumi, telah diketahui bahwa idealnya bumi
memiliki sifat murni elastis sehingga gelombang seismik mengalami refleksi,
11
refraksi, dan transmisi energi pada batas kontrol amplitudo dari pulsa seismik.
Bumi sebenarnya tidak elastis sempurna dan propagasi gelombang mengalami
pelemahan seiring dengan berjalannya waktu karena berbagai mekanisme
pelepasan energi (Lay & Wallace, 1995).
Pengaruh atenuasi terhadap sinyal seismik dapat dilihat pada penurunan
amplitudo dan melebarnya sinyal (panjang gelombang). Hal ini menunjukkan
bahwa atenuasi merupakan gabungan antara pengurangan energi dan penyerapan
frekuensi secara simultan, karena medium yang dilewati gelombang seismik
memiliki tingkat redaman yang berbeda-beda maka penyerapan frekuensi oleh
medium tersebut tidak sama (Susilawati, 2008).
Penggambaran sederhana dari atenuasi dapat dibentuk dari gerak bolak-balik
atau osilasi massa pada sebuah pegas (Gambar 2.5).
Gambar 2.5 Model gejala logis untuk atenuasi seismik
(Lay & Wallace, 1995)
Ilustrasi pegas di atas merepresentasikan proses elastisitas dalam bumi.
Gaya (f) merepresentasikan gesekan yang berlawanan dengan gerak massa. Pada
gambar di atas massa m ditambahkan pada sebuah pegas dengan konstanta (k)
terdorong-dorong sepanjang permukaan penampang. Persamaan gerak untuk
12
gabungan sistem gaya pemulihan pegas ke gaya inersia diberikan oleh
perpindahan massa adalah:
(2.3)
Solusi umum untuk persamaan ini adalah osilasi harmonik:
(2.4)
dimana
Saat massa ditarik maka akan terjadi gerakan yang berlanjut terus menerus
sehingga terjadi osilasi pada frekuensi alami pada sistem
. Atenuasi dapat
dikenali dengan penambahan gaya redaman, seperti gesekan antara perpindahan
massa dan permukaan penampang. Pada kasus ini ada penambahan gaya sesuai
kecepatan massa, yaitu:
(2.5)
atau
(2.6)
dimana
dan
. dan disebut koefisien gesekan.
Penyelesaian dari persamaan adalah:
(2.7)
dimana
. Persamaan ini adalah osilasi selaras yang meluruh
secara eksponensial terhadap waktu.
2.3 Struktur Dalam Bumi
Bumi ini berlapis – lapis. keberadaan lapisan – lapisan ini berkaitan erat
dengan perubahan temperatur dan tekanan yang semakin tinggi ke arah pusat
13
bumi. Lapisan bumi dapat dikelompokkan menjadi tiga bagian utama, seperti yang
ditunjukkan pada (Gambar 2.6).
Gambar 2.6 Dimensi struktur dalam bumi (Santoso, 2000)
Pertama, lapisan paling luar disebut lapisan batuan (litosfer) atau kulit bumi
yang padat, tebalnya sampai 100 km-an. Lapisan luar ini biasa disebut sebagai
lempeng bumi yang selalu bergerak – gerak. Kedua di sebelah dalamnya adalah
mantel bumi yang tebalnya sampai ribuan kilometer. Bagian luar dari mantel ini
bersifat cair sehingga lapisan batuan bumi seperti mengapung di atasnya. Ketiga,
di sekitar pusat bumi adalah inti bumi yang luar biasa panasnya, terdiri dari
lelehan besi dan timah. Yang erat kaitannya dengan proses gempa bumi adalah
lapisan yang paling luar, yaitu litosfer. Gempa bumi besar umumnya terjadi pada
bagian paling atas dari kerak bumi, disebut kerak bumi (earth crust) yang tebalnya
hanya 10 – 40 km. Di bagian ini suhu bumi umumnya tidak melebihi 300° - 400°
C. Ini adalah persyaratan utama untuk terjadi proses deformasi elastik yang
menimbulkan gempa bumi (Natawidjaja, 2007).
14
2.3.1 Kerak Bumi
Pada bagian atas kerak bumi dijumpai batuan sedimen. Berdasarkan data
gelombang gempa, di bawahnya dijumpai dua lapisan, yaitu batuan granitis di
bagian atas dan batuan yang bersifat basaltis di bagian bawahnya. Batas kedua
lapisan batuan ini kurang jelas namun bidang diskontinyunya disebut bidang
diskontinyu Conrad. Pada kerak bumi di samudera, batuan yang bersifat asam
tidak dijumpai. Kerak bumi pada bagian benua dan samudera memiliki perbedaan
yang sangat kontras, sebagaimana yang ditunjukkan oleh hasil analisis gelombang
gempa (Gambar 2.7).
Gambar 2.7 Hasil analisis gelombang seismik gempa untuk strukur dalam
bumi (Santoso, 2000)
Batuan kerak bumi sangat heterogen, contohnya pada bagian benua yang
berumur tua (Perisai Prakambrium), batuan yang utama terdiri atas batuan beku
dan metamorfosa derajat tinggi. Batuan yang terkandung dalam lapisan kerak
bumi ini meliputi beberapa oksida, seperti yang ditunjukkan pada Tabel 2.1.
15
Tabel 2.1 Jenis oksida yang terkandung pada batuan di dalam lapisan kerak
bumi beserta persentase kandungannya (Santoso, 2000).
Jenis Oksida
Persentase
Kandungan
SiO2
61,9 %
Al2O3
15,6 %
CaO
5–7%
MgO
3,1 %
Na2O
3,1 %
K2O
2,9 %
Fe2O3
2,9 %
TiO2
<1%
P2O5
<1%
MnO
<1%
Berdasarkan indikasi kecepatan gelombang gempa, kerak bumi bagian
bawah ditafsirkan sebagai batuan gabro (basa) namun jika dilihat dari suhu dan
tekanan pada kerak bumi bagian bawah, gabro tidak mungkin dapat terbentuk.
Pada tekanan tinggi ia akan berubah menjadi batuan yang disebut eklogit namun
dalam keadaan demikian, batuan ini memiliki densitas terlalu tinggi untuk kerak
bumi (Santoso, 2000).
Hal ini memungkinkan jika bagian bawah kerak bumi komposisi kimia
batuannya tergolong menengah karena suhu dan tekanan tinggi menjadikan batuan
memiliki densitas tinggi. Adapun kerak bumi yang terdapat pada daerah benua ke
16
samudera, bagian bawahnya yang berkomposisi asam akan menipis dan
menghilang. Contoh batuan yang diambil dari pengeboran di laut menunjukkan
batuan basalt dengan sebagian kecil serpentinit dan batuan ultramefik lain. Basalt
yang dijumpai di sini kurang mengandung kalium tapi kaya akan aluminium jika
dibandingkan dengan batuan basalt yang dijumpai di permukaan bumi. Batuan ini
disebut toleit samudera.
2.3.2 Selubung (Mantel) Bumi
Selubung adalah lapisan di dalam bumi, mulai dari bidang diskontinyu
Moho hingga kedalaman 2900 km. Hingga saat ini belum ada batuan yang secara
pasti dianggap mewakili batuan dari selubung. Meskipun demikian, diduga batuan
disini terdiri atas batuan ultramefik yang banyak mengandung olivin dan sedikit
piroksen. Batuan ini dijumpai berupa zenolit yang terperangkap dalam aliran
magma yang keluar ke permukaan bumi namun harus diketahui bahwa selama
perjalanan keluar ke permukaan bumi, batuan tersebut telah mengalami berbagai
perubahan.
Hasil kajian gelombang gempa menunjukkan bahwa lapisan selubung terdiri
atas tiga bagian. Bagian paling atas hingga kedalaman 200 km memiliki ciri
perubahan kecepatan gelombang gempa yang berangsur melemah. Lapisan tengah
antara 200 km hingga 700 km dapat dilihat dari perubahan kecepatan gelombang
gempa yang lebih bermakna. Lapisan terdalam, antara 700 km hingga 2900 km
mencakup kedua ciri sebelumnya secara menerus. Bila dibandingkan dengan jarijari bumi, tebal lapiisan selubung hanya kurang dari separuhnya namun isinya
mencakup 83% isi bumi. Kecepatan gelombang gempa yang tinggi pada zona
17
selubung ini mengarah pada batuan dengan rigiditas tinggi dan densitas tinggi.
Batuan ini mungkin sesuai dengan piroksenit atau dunit. Selain itu, tampak bahwa
gempa dangkal (<60 km) lebih sering terjadi, sementara gempa menengah dan
gempa dalam jauh lebih jarang terjadi (Santoso, 2000).
Lapisan yang paling rapuh di bagian kerak bumi disebut litosfer dengan
aktivitas gempa yang tinggi, sedangkan lapisan bagian atas selubung yang plastis
disebut sebagai astenosfer.
2.3.3 Inti Bumi
Inti bumi dimulai dari bidang diskontinyu Gutenberg, mulai dari kedalaman
2900 km hingga ke pusat bumi pada kedalaman 6371 km. Oleh karena
kedalamannya yang besar maka kajian terinci mengenai pusat bumi juga masih
jauh dari jangkauan manusia sehingga kajian hanya bisa dilakukan melalui
gelombang gempa.
Batas antara selubung dan inti bumi sudah dapat diperkirakan karena adanya
perbedaan densitas yang mendadak, yaitu 5,5 g/cc menjadi 10 g/cc yang mewakili
lapisan inti bagian atas. Sedangkan bagian dalam memiliki densitas sekitar 13
g/cc. Isi inti bumi kira-kira mencakup 16% dari isi bumi secara keseluruhan.
Perjalanan gelombang gempa menunjukkan adanya zona yang tidak dapat
meram`batkan gelombang S yang memiliki ciri tidak dapat merambat dalam
cairan. Oleh karena itu, diperkirakan inti bumi bersifat cair (Santoso, 2000).
Setelah melalui inti bumi, gelombang gempa hanya tinggal gelombang P
saja. Pada kedalaman 5150 km, gelombang P menunjukkan adanya perubahan
yang mendadak. Batas ini ditafsirkan sebagai batas antara inti bagian luar dan inti
18
bagian dalam yang diduga bersifat padat. Ini dijelaskan melalui peningkatan
kecepatan gelombang kompresi P.
2.4 Tektonik Lempeng
Teori tektonik lempeng menyatakan bahwa kerak bumi tersusun atas
beberapa lempeng tektonik besar. Lempeng tektonik adalah litosfer bumi yang
terdiri dari mantel dan kerak bumi yang mengapung di atas astenosfer yang cair
dan panas, sebagaimana yang ditunjukkan pada Gambar 2.8.
Gambar 2.8 Penampang lapisan penyusun bumi (El-Kammar, 2009)
Adanya gaya tektonik yang timbul akibat arus konveksi di dalam mantel
bumi maka lempeng tektonik akan saling bergerak, bertumbukan serta bergeser
satu sama lain. Oleh karena itu timbul tekanan yang menyebabkan lempenglempeng tersebut terpecah-pecah atau patah menjadi lempeng-lempeng tektonik
yang lebih kecil (Harmadhoni, 2011).
Teori tektonik lempeng merupakan suatu teori kinematik yang menjelaskan
mengenai pergerakan gempa tanpa membahas penyebab dari pergerakan tersebut.
Sesuatu seharusnya menjadi penyebab pergerakan tersebut untuk menggerakkan
19
massa yang sangat besar dengan tenaga yang sangat besar pula. Penjelasan yang
paling dapat diterima secara meluas tentang sumber pergerakan lempeng
bersandar kepada hukum keseimbangan termomekanika material bumi. Lapis
teratas dari kulit bumi bersentuhan dengan kerak bumi yang relatif dingin,
sementara lapis terbawah bersentuhan dengan lapis luar inti panas.
Jelas peningkatan temperatur pasti terjadi pada lapisan.Variasi kepadatan
lapisan dan temperatur menghasilkan situasi tidak stabil pada ketebalan material
(yang lebih dingin) di atas material lebih tipis (yang lebih panas) di bawahnya.
Akhirnya, material tebal yang lebih dingin mulai tenggelam akibat gravitasi dan
pemanasan sehingga material yang lebih tipis mulai naik. Material yang
tenggelam tersebut berangsur-angsur dipanaskan dan menjadi lebih tipis sehingga
akhirnya bergerak menyamping dan dapat naik lagi yang kemudian sebagai
material yang didinginkan yang akan tenggelam lagi. Proses ini biasa disebut
sebagai konveksi, sebagaimana yang diilustrasikan pada Gambar 2.9.
Gambar 2.9 Model arus konveksi di dalam mantel bumi
(Tarbuck & Lutgens, 2006)
Arus konveksi akan menimbulkan tegangan geser di bagian bawah lempeng
dan mengakibatkan pergerakan lempeng di permukaan bumi. Pergerakan inilah
20
yang menyebabkan lempeng dapat bergerak saling menjauh di suatu tempat dan
mendekat di tempat lainnya (Hager & O’Connel, 1978).
Arus konveksi pada batuan setengah lebur pada lapisan mengakibatkan
tegangan geser di bawah lempeng yang menggeser lempeng tersebut ke arah yang
bervariasi melalui permukaan bumi. Batas divergen adalah batas antara lempeng
yang saling menjauh satu dan lainnya. Pemisahan ini disebabkan karena adanya
gaya tarik (tensional force) yang mengakibatkan naiknya magma ke permukaan
dan membentuk material baru berupa lava yang kemudiann berdampak pada
lempeng yang saling menjauh (Noor, 2009).
Batas lempeng lain adalah batas konvergen yang merupakan batas antar
lempeng yang saling bertumbukan. Batas lempeng konvergen dapat berupa batas
subduksi atau obduksi. Zona subduksi adalah batas lempeng yang berupa
tumbukan lempeng dimana salah satu lempeng menyusup ke dalam perut bumi
dan lempeng lainnya terangkat ke permukaan. Zona obduksi adalah batas lempeng
yang merupakan hasil tumbukan lempeng benua dengan benua yang membentuk
suatu rangkaian pegunungan (Noor, 2009). Penjelasan tersebut dapat dilihat pada
Gambar 2.10.
21
Gambar 2.10 Batas konvergen (atas) dan zona subduksi (bawah)
(Noor, 2009)
Teori tektonik lempeng membagi bagian bumi menjadi dua lapisan paling
luar yang disebut lapisan litosfer. Di bawah litosfer tedapat lapisan astenosfer
yang panas dan mudah mengalami perubahan bentuk dan dapat mengalir di bawah
pengaruh tegangan. Lapisan litosfer ini seolah-olah “hanyut” di atas astenosfer
sehingga terjadi gerakan saling meregang dan gerakan saling menekan. Akibat
pergerakan ini maka di sekitar perbatasan lempeng terjadi akumulasi energi. Jika
tidak bisa ditahan, energi tersebut akan terlepas dan menyebabkan patahan atau
deformasi pada lapisan kerak bumi dan terjadilah gempa tektonik (Kramer, 1996).
2.5 Sesar
Bumi terdiri dari dua lempeng utama, yaitu lempeng benua dan lempeng
samudera. Lempeng-lempeng di bumi terus aktif bergerak. Pergerakan lempeng
membuat kemungkinan adanya tumbukan semakin besar sehingga dapat
menghasilkan patahan. Bidang atau bagian kulit bumi yang retak atau patah
22
disebut sesar atau fault. Pergeseran bidang patahan tersebut bisa terjadi secara
horizontal dan vertikal. Solusi untuk menentukan arah dan orientasi yang
menyebabkan terjadinya bidang sesar disebut sebagai “Fault Plane solution”. Ada
beberapa ketentuan dalam mempelajari solusi bidang sesar ini, yaitu:
a. Arah gerak awal gelombang P harus dianggap sama atau sesuai dengan arah
gaya kopel yang bekerja di sumber gempa. Hal ini bersesuaian dengan dua
hipotesis yang berlaku, seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2.11.
Pertama, teori kopel tunggal yang menyatakan bahwa dalam sumber gempa
bekerja dua gaya yang sama besar dan berlawanan arahnya yang berlaku
sebagai momen. Kedua, teori kopel ganda yang menyatakan bahwa pada
sumber gempa bekerja empat gaya yang sama besar dan berlaku sebagai
pasangan momen gaya yang saling tegak lurus.
Gambar 2.11 Pola radiasi kopel tunggal dan kopel ganda (Lowrie, 2007)
23
b. Focal harus dianggap berbentuk bola di dalam bumi, dimana bumi dianggap
homogen isotropis (Gambar 2.12). Hal ini didasarkan pada solusi bidang
sesar yang bertujuan mencari dua bidang nodal orthogonal yang
memisahkan gerakan pertama gelombang dalam kuadran kompresi dan
dilatasi pada bola fokusnya.
Gambar 2.12 Metode penentuan mekanisme fokus dari suatu event gempa
bumi (Lowrie, 2007)
Berdasarkan arah gerak dan pergeserannya, ada beberapa jenis sesar (Gambar
2.13) yaitu:
a. Sesar Geser (Strike Slip Fault)
Sesar geser adalah sesar yang gerakannya horizontal, tidak terjadi
pergerakan naik atau turun pada sesar.
b. Sesar Turun (Normal Fault)
Sesar turun adalah gerakan sesar dengan bagian atap sesar (hanging wall)
bergerak turun terhadap alas sesarnya (foot wall).
24
c. Sesar Naik (Reverse fault)
Sesar naik yaitu gejala pergeseran dimana hanging wall (atap sesar)
bergerak ke atas.
d. Sesar oblique reverse
Sesar oblique reverse adalah sesar yang arah pergerakan sesarnya campuran,
baik naik atau turun dan bergeser secara horizontal.
Gambar 2.13 Macam-macam sesar (USGS, 1996)
Sesar memiliki parameter yang terdiri dari sudut strike, dip, dan slip. Dip
adalah sudut yang terbentuk antar permukaan sesar dan bidang sesar. Dip biasa
disebut sudut kemiringan. Sudut diukur dari permukaan bumi. Posisi sudut dip
horizontal memiliki nilai 0° dan untuk vertikal memiliki nilai dip 90°. Ilustrasi dip
dapat dilihat pada Gambar 2.14.
25
Gambar 2.14 Dip (Epicentral, 2013)
Strike adalah sebuah sudut yang digunakan khusus untuk orientasi sesar dan
diukur searah jarum jam dari arah utara. Sebagai contoh sebuah strike dengan nilai
0° atau 180° mengindikasikan sebuah sesar memiliki orientasi arah utara-selatan,
90° atau 270° mengindikasikan orientasi arah timur-barat (Gambar 2.15).
Gambar 2.15 Strike (Epicentral, 2013)
Dip dan strike menggambarkan orientasi dari sesar. Arah pergerakan silang
dari sesar adalah slip. Slip diukur pada permukaan sesar dan menggambarkan arah
sudut dari hanging wall ke foot wall. Jika hanging wall bergerak ke kanan maka
sudut slip adalah 0°. Jika bergerak ke atas maka slip bernilai 90°, apabila bergerak
26
ke kiri maka sudut slip senilai 180° dan jika bergerak turun maka sudutnya 270°
atau -90° (Gambar 2.16).
Gambar 2.16 Slip (Epicentral, 2013)
2.5.1 Deskripsi Matematis Bidang Sesar dan Kemiringan
Adapun parameter sesar yang berhubungan dengan deformasi bawah
permukaan ditunjukkan pada Gambar 2.17.
Gambar 2.17 Parameter bidang patahan (Epicentral, 2013)
27
Dalam teori seismologi, energi yang dilepaskan oleh sumber gempa bumi
diilustrasikan sebagai Momen Seismik (Mo) yang mengakibatkan terbentuknya
luas dan slip dari rupture sebagaimana dinyatakan pada persamaan
(2.8)
dimana:
Mo : momen seismik (Nm)
µ : rigiditas (N/m2)
A : luas bidang sesar (m2)
D : slip (m).
Untuk panjang dan lebar dari deformasi dapat ditentukan berdasarkan
persamaan Wells dan Coppersmith (1994). Untuk menghitung panjang, lebar, dan
patahan pada kasus strike slip fault adalah:
Mw = 5,16 + 1,12*log L
(2.9)
Mw = 3,80 + 2,59*log W
(2.10)
Log A = -3,42 + 0,90*Mw
(2.11)
Sedangkan untuk jenis patahan naik (reverse) menggunakan persamaan sebagai
berikut:
Mw = 5,00 + 1,12 (Log L)
(2.12)
Mw = 4,37 + 1,95 (Log W)
(2.13)
Log A = -3,99 + 0,98 Mw
(2.14)
Dan untuk jenis patahan turun (normal) digunakan persamaan sebagai berikut:
Mw = 4,86 + 1,32 (Log L)
(2.15)
Mw = 4,04 + 2,11 (Log W)
(2.16)
28
Log A = -3,49 + 0,91 Mw
(2.17)
dimana:
L :rupture length (km)
W :rupture width (km)
A :rupture area (km2).
2.4.2 Mekanisme Fokus
Sebuah mekanisme fokus suatu bidang patahan merupakan salah satu cara
untuk menunjukkan bidang patahan dan arah pergerakan sebuah gempa bumi
menggunakan lingkaran dengan dua garis yang berpotongan. Mekanisme fokus
diperoleh dari sebuah solusi momen tensor gempa bumi dan melalui observasi
polaritas gerakan awal gelombang P. Apabila data polaritasnya kecil maka solusi
bidang patahan dapat diperoleh melalui kombinasi dengan data polaritas gempa
bumi lain yang memiliki lokasi dan waktu kejadian yang berdekatan. Studi
mekanisme fokus bertujuan untuk menentukan model sesar gempa berdasarkan
bidang nodal dari hasil pengamatan polaritas gelombang P yang dipancarkan oleh
hiposenter.
Konsep penyelesaian bidang sesar dengan mekanisme fokus diusulkan oleh
Byerly dan Wilson (1938). Penyelesaian bidang sesar diperoleh dari distribusi
gerakan pertama gelombang P yang terdiri dari kompresi (gerakan gelombang P
naik) dan dilatasi (gerakan gelombang P turun), seperti yang ditunjukkan pada
Gambar 2.18.
29
Gambar 2.18 Daerah kompresi dan dilatasi yang dipisahkan oleh bidang
patahan dan bidang bantu (Hovskov & Ottemoller, 2010)
2.4.3 Bola Fokus (Beach Ball)
Bola Fokus adalah bola fiktif yang berpusat pada sumber gempa. Sumber
gempa dianggap sebagai suatu titik dan medium di dalam bola yang bersifat
homogen. Hal ini dapat dilakukan karena polaritas gerakan gelombang pertama
kekal di sepanjang perjalanannya (Hovskov & Ottemoller, 2010).
Distribusi gerakan ini diproyeksikan melalui lintasan yang sama dengan
penjalaran gelombangnya pada permukaan bola fokus. Jika suatu energi di dalam
bumi dilepaskan maka akan terjadi radiasi ke segala arah berupa suatu bola
(Gambar 2.19).
Gambar 2.19 Pelepasan energi pada media isotop yang membentuk bola
radiasi gelombang (Santoso, 2000)
30
Akibatnya pergeseran pertama dari gelombang P akan ke bawah untuk
tarikan dan ke atas untuk tekanan. Fenomena ini diperjelas dalam Gambar 2.20.
Gambar 2.20 Pola tarikan dan tekanan akibat sesar mendatar
(Santoso, 2000)
Arah dan orientasi sesar pada saat gempa bumi yang terjadi disebut
mekanisme fokus. Informasi dari seismogram digunakan untuk menghitung
mekanisme fokus dan tampilannya pada peta sebagai simbol “beach ball”. Simbol
ini adalah sebuah proyeksi bidang horizontal dimana kerangka bola (bola fokus)
melingkupi sumber gempa bumi. Beach ball juga menggambarkan orientasi
tegangan (Gambar 2.21).
Gambar 2.21 Beach ball (USGS, 2012)
Beach ball berisi sumbu tegangan (P), yang merefleksikan arah stress
compressive minimum dan tekanan (T), yang merefleksikan arah stress
31
compressive maksimum. Perhitungan mekanisme fokal ditampilkan pada sumbu P
dan T dan tidak menggunakan bayangan (shading).
Setiap stasiun di permukaan bumi mempunyai relasi satu-satu dengan suatu
titik pada bola fokus. Posisi titik pada bola fokus dapat ditentukan trend dan
plugenya. Trend adalah sudut tinggal landas gelombang pada sumber gempa atau
sudut datang pada gelombang. Sudut tinggal landas pada hiposenter dapat
ditentukan dengan menggunakan hukum Snellius untuk gelombang seismik yang
menjalar di permukaan bumi, yaitu:
(2.18)
dengan
adalah jari-jari bumi,
adalah jarak radial hiposenter dari pusat bumi,
adalah kecepatan gelombang P di bawah permukaan bumi dan
kecepatan gelombang P di hiposenter,
stasiun,
adalah
adalah sudut datang gelombang di
adalah sudut tinggal landas pada hiposenter, dan p adalah parameter
gelombang yang didapat dari hubungan:
(2.19)
dimana T adalah waktu penjalaran gelombang dan
adalah jarak episenter
(Lestari, 2006).
2.6 Windows Integrated Tsunami Database
WinITDB merupakan software integrasi data gempa bumi dan tsunami yang
memuat tampilan gempa, katalog tsunami, analisis gempa atau tsunami, dan
pemodelan tsunami. Peta atau map yang ada pada aplikasi ini sudah disesuaikan
dengan ketinggian daerah bahkan pada aplikasi ini dapat ditampilkan
32
plate/lempeng yang membantu dalam plot gempa. Terdapat banyak metode untuk
mendapatkan
hasil
tersebut,
salah
satunya
menggunakan
metode
interpolasi.Metode ini ditampilkan melalui kombinasi bahasa pemrograman PHP
dan SQL commanduntuk menampilkan kembali issu tentang peringatan dan
informasi tsunami.
2.6.1 Metode Interpolasi
Metode interpolasi ditentukan melalui input data parameter hiposenter,
seperti longitude, latitude, kedalaman, dan magnitudo. Jika data terdiri dari
berbagai
macam
magnitudo
dan
kedalaman
maka
hiposenter
dihitung
menggunakan metode interpolasi horizontal dan vertikal berdasarkan 8 titik
terdekat di sekitarnya (Gambar 2.22).
Gambar 2.22 Titik data interpolasi dalam penentuan hiposenter
tiga dimensi (Raharjo, 2007)
Metode interpolasi horizontal dari lokasi episenter dihitung melalui metode linear
dan mempertimbangkan 4 titik data terdekat di sekitar hiposenter (Gambar 2.23).
33
Gambar 2.23 Metode interpolasi horisontal pada lokasi episenter
(Raharjo, 2007)
Interpolasi lokasi episenter dapat ditentukan melalui persamaan berikut:
(2.20)
(2.21)
(2.22)
Titik S1, S2, S3, dan S4 adalah titik terdekat di sekitar hiposenter yang akan
ditentukan. Point (1) merupakan titik grid terinterpolasi antara S1 dan S2, Point
(2) merupakan titik grid terinterpolasi antara S3 dan S4. Point (3) merupakan
input episenter pada hiposenter yang ditentukan,
merupakan jarak
terbawah dan terataslintang dari episenter pada titik interpolasi, sedangkan
merupakan jarak terbawah dan teratas bujur dari titik interpolasi yang
paling dekat dengan titik data.
Metode interpoalsi vertikal menggunakan magnitudo dan kedalaman dengan
mempertimbangkan 4 elemen terdekat yang memiliki jarak terdekat dengan
hiposenter yang akan ditentukan. Titik data lain terdiri dari dua magnitudo dan
satu kedalaman.
34
Koefisien interpolasi magnitude (
) dan kedalaman (
dihitung melalui
sebuah metode logaritma berdasarkan persamaan di bawah ini:
(2.23)
(2.24)
(2.25)
(2.26)
(2.27)
Point
merupakan titik data yang terdiri dari kedalaman
dan megnitudo yang memiliki jarak terdekat dengan hiposenter yang ditentukan.
Point (1) merupakan titik grid yang terinterpolasi antara
merupakan titik grid yang terinterpolasi antara
dan
dan
, Point (3) merupakan
titik grid yang terinterpolasi pada magnitude dan kedalaman,
merupakan kedalaman terbawah dan teratas, sedangkan
, Point (2)
dan
dan
merupakan
magnitude terkecil dan terbesar.
Gambar 2.24 Metode interpolasi vertikal menggunakan magnitudo
dan kedalaman (Raharjo, 2007)
35
2.6.2 Relokasi Hiposenter
Hiposenter adalah jarak antara sumber gempa bumi dengan arah yang
menjadi pengamatan (stasiun). Dengan beranggapan bahwa bumi adalah bulat,
jarak hiposenter dapat ditemukan dengan menentukan beberapa persamaan.
Gambar 2.25 Potongan bumi yang diasumsikan sebagai bola
Berdasarkan jarak di atas, maka secara sistematis diketahui posisi dari si pengamat
(stasiun), yaitu:
Xs
= r cosΦ cosƟ
(2.28)
YS
= r cosΦ sinƟ
(2.29)
ZS
= r sin Φ
(2.30)
dengan
Φ
= ΦS (π/180) (rad)
Ɵ
= ƟS (π/180) (rad)
r
= jari-jari bumi (6378 km)
ΦS
= lintang si pengamat (º)
ƟS
= bujur pengamat (º)
(XS, YS, ZS) = koordinat titik pengamat
36
Sehingga posisi kedalaman sumber gempa dapat dituliskan sebagai berikut:
Xh
= (r-h) cosΦ cosƟ
(2.31)
Yh
= (r-h) cosΦ sinƟ
(2.32)
Zh
= (r-h) sin Φ
(2.33)
dengan
Φ
= Φh (π/180) (rad)
Ɵ
= Ɵh (π/180) (rad)
h
= kedalaman gempa
Φh
= lintang episenter(º)
Ɵh
= bujur episenter(º)
(Xh, Yh, Zh) = koordinat titik pengamat
Sehingga jarak hiposenter ( R ) dapat dihitung dengan:
(2.34)
2.7 Tatanan Tektonik Wilayah Papua
Geologi Papua dipengaruhi oleh dua tektonik besar yang saling
bertumbukan dan serentak aktif. Pada saat ini, lempeng Samudera Pasifik –
Caroline bergerak ke barat – baratdaya dengan kecepatan 7,5 cm/th, sedangkan
lempeng Benua Indo – Australia bergerak ke utara dengan kecepatan 10,5 cm/th.
Tumbukan yang sudah aktif sejak Eosen ini membentuk suatu tatanan struktur
kompleks terhadap Papua yang sebagian besar dilandasi kerak Benua Indo –
Australia (Yunus, 2010).
Akibat digencet oleh dua lempeng besar ini, di wilayah Papua terbentuk tiga
zona besar patahan aktif, yaitu zona kompresi dari tabrakan lempeng Pasifik dan
37
pulau Papua yang kompleks, jalur patahan besar Sorong dan jalur patahan besar
Aiduna-Tarairua. Menurut pengukuran survey GPS, patahan geser Sorong
memiliki laju pergerakan paling cepat di dunia. Dengan kecepatan gerak relatif
lempeng Pasifik yang sangat cepat maka dapat dipastikan bahwa wilayah Papua
memiliki potensi bencana gempa dua kali lipat lebih besar dibandingkan wilayah
Sumatera-Jawa yang pergerakan lempengnya hanya 5-7 cm/tahun. Potensi gempa
yang sangat tinggi ini didukung oleh fakta terjadinya gempa-gempa besar merusak
di masa lalu dengan kekuatan lebih besar dari skala magnitudo 7 bahkan sebagian
lebih besar dari magnitudo 8, misalnya gempa-tsunami di Biak tahun 1996 (8,2
SR) yang memakan korban ribuan jiwa, gempa besar pada tahun 2004 dengan
kekuatan 7,1 - 7,6 SR, dan yang terakhir adalah gempa Mamberamo Raya dengan
kekuatan 7,2 SR pada 27 Juli 2015 (UTC).
Selain itu, dua gaya akibat tumbukan lempeng Indo-Australia dan Pasifik di
bagian utara Papua terdapat pegunungan yang memanjang dari Kepala Burung
hingga pegunungan Cycloof di Jayapura. Di daerah tersebut terdapat patahan yang
memanjang dari Sorong hingga Yapen dan terus ke Mamberamo Hilir hingga di
selatan Jayapura.Di bagian tengah terdapat pegunungan tengah dan patahan yang
rumit, seperti patahan Weyland, Siriwo, Direwo, Kurima, dan lain-lain.Di
samping itu juga terdapat patahan yang memanjang dari Manokwari ke arah
Nabire dan dinamakan patahan Wandamen atau patahan Ransiki.Akibat
penyusupan lempeng Samudera Indo-Australia di bawah lempeng Eurasia
menyebabkan terjadinya patahan di dasar laut sebelah selatan Fak-fak hingga di
38
selatan Kaimana dan sebagian selatan Nabire yang dinamakan patahan Aiduna
(Gambar 2.26).
Gambar 2.26 Tatanan tektonik wilayah Papua (Natawidjaja, 2007)
Tektonik Papua secara umum dapat dibedakan menjadi dua bagian, yaitu
Badan Burung (Papua bagian timur) dan Kepala Burung (Papua bagian barat).
Kedua bagian ini menunjukkan pola kelurusan barat – timur yang ditunjukkan
oleh Tinggian Kemum di Kepala Burung dan Central Range di Badan Burung.
Kedua pola ini dipisahkan oleh jalur Lipatan Anjakan Lengguru berarah barat
daya – tenggara di daerah Leher Burung dan juga oleh teluk Cenderawasih
(Gambar 2.27).
39
Gambar 2.27 Elemen tektonik Papua (Hamilton, 1979)
Teluk Cenderawasih merupakan salah satu ciri fisografi Papua Utara. Teluk
ini terletak di antara daratan Badan Burung ke selatan dan ke timur, Kepala
Burung ke barat dan pulau Yapen ke utara. Teluk cenderawasih merupakan
depresi
berbentuk
triangular
embayment
pada
pantai
utara
Papua
yangmemisahkan Kepala Burung dan Badan Burung (Charlton, 2000).
Pergerakan relatif lempeng Samudera Pasifik – Caroline dan lempeng Benua
Indo – Australia dimanifestasikan oleh pergerakan strike – slip yang mungkin
berhubungan
ataupun
tidak
berhubungan
dengan
pensesaran
transform.
Pergerakan strike – slip ini terlihat pada sistem zona Sesar Sorong – Yapen –
Bewani dari timur ke barat sepanjang New Guinea. Sesar bergerak mengiri dan
beberapa peneliti menyatakan bahwa sesar ini membentuk displacement sepanjang
600 km (Wachsmuth & Kunst, 1986).
Pada bagian daratan pulau Papua, zona sesar ini disebut dengan zona Sesar
Mamberamo yang dicirikan oleh kelurusan pada daerah Sungai Mamberamo
40
(Dow dan Sukamto, 1985). Bagian barat teluk berbatasan dengan sesar berarah
barat laut (Zona Sesar Wandaman) sampai ke timur jalur Sabuk Lipatan Lengguru
dan secara oblique memotong teluk Cenderawasih. Semakin ke selatan terdapat
Weyland Overthrust (Gambar 2.28), suatu massa batuan metamorfik dan plutonik
yang teranjakkan ke selatan di atas benua Australia dan jalur Sabuk Lipatan
Lengguru yang dibentuk oleh suatu seri lipatan overthrust.
Gambar 2.28 Geologi sekitar teluk Cenderawasih (Dow & Hartono, 1982)
Ke arah timur, pada bagian barat sampai ke timur laut, terdapat pegunungan
Van Rees, Gauttier, dan Karamoor. Dataran pantai menutupi palung sedimenter
yang sangat dalam dan sempit yang lebarnya kurang dari 50 km (Palung
Waipoga).
Kedalaman air di teluk Cenderawasih berkisar antara 0 – 2000 m, bagian
yang terdalam berada di bagian utara dan bagian tengah. Lokasi sesar Yapen di
bawah permukaan air laut dapat diidentifikasi dari data batimetri (Gambar 2.29).
41
Gambar 2.29 Zona sesar Yapen yang melewati Papua Yapen dan teluk
Cenderawasih (Dow & Hartono, 1982)
Selain itu, ditemukan juga sabuk lipatan yang sebelumnya tidak diketahui di
bagian tenggara dengan kecenderungan arah timur laut – barat daya (Gambar
2.30).
Gambar 2.30 Jalur sabuk lipatan anjakan bagian tenggara teluk
Cenderawasih (Dow & Hartono, 1982)
BAB V
PENUTUP
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan analisis peta sebaran hiposenter, grafik hubungan lintang dan
kedalaman, cross section pada lintang daerah Papua bagian utara dan samudera
Pasifik, serta pemetaan sebaran mekanisme fokus event gempa di daerah Papua
bagian utara, maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut:
1. Berdasarkan peta cross section penampang melintang seismisitas bidang
A – A’ yang menampilkan sebaran hiposenter gempa bumi wilayah
samudera Pasifik pada titik 1,66° LU – 7,10° LU dan 134,88° BT 138,60° BT terdapat pertemuan dua lempeng yang memiliki sudut
penunjaman sebesar 150° terhadap horizontal pada kedalaman hingga
±68 km. Pada penampang melintang seismisitas bidang B – B’ (sebaran
hiposenter gempa bumi wilayah samudera Pasifik) dengan cross section
pada titik 5,25° LU - 1,52° LS dan 136,15° BT -
140,77° BT
memiliki sudut penunjaman sebesar 135° terhadap horizontal pada
kedalaman ±82 km. Pada penampang melintang seismisitas bidang C –
C’ (sebaran hiposenter gempa bumi wilayah Papua) dengan cross
section pada titik 1,38° LU – 4,97° LS dan 137,09° BT – 140,91° BT
memiliki pertemuan kedua lempeng berada di antara -1,77° LS sampai
-4,97º LS menunjam sampai kedalaman 171 km pada 1,38° LU - 4,97°
LS.
61
62
2. Karakteristik penunjaman di Papua bagian utara yaitu lempeng benua
Australia menunjam ke arah utara, diikuti tumbukan (collision) dan
penunjaman Lempeng Pasifik ke arah selatan pada Palung New
Guinea.
3. Melalui kajian solusi mekanisme fokus sejarah kegempaan Papua maka
diketahui kondisi seismotektonik wilayah Papua umumnya dipengaruhi
oleh sesar oblique reverse pada daerah Kepala Burung dan Badan
Burung, sesar strike – slip pada daerah Leher Burung dan teluk
Cenderawasih.
4. Hal ini menunjukkan bahwa aktivitas kegempaan di wilayah Papua
lebih banyak dikontrol oleh kegiatan patahan – patahan aktif yang
merupakan salah satu indikasi bahwa kondisi penunjaman lempeng di
daratan Papua tidak terlalu dalam. Oleh karena itu, pada penelitian ini
diketahui bahwa terdapat kesesuaian antara karakteristik zona subduksi
dengan kondisi seismotektonik Papua.
5.2 Saran
Dari hasil penelitian yang dilakukan dapat diberikan beberapa saran, antara
lain:
1. Dapat dilakukan akurasi data, salah satunya melalui pencitraan
tomografi seismik sehingga dapat mengungkap struktur 3D zona
subduksi yang direpresentasikan oleh model kecepatan rambat
gelombang gempa secara rinci.
63
2. Hasil
analisis
yang
diperoleh
masih
memerlukan
adanya
penyesuaian dengan data geologi dan kondisi tektonik setempat secara
mendetail serta dibandingkan dengan hasil metode geofisika yang lain.
3. Hasil penelitian ini masih memerlukan kajian matematis energi
gempa yang
dapat membuat perkiraan lebih tepat mengenai
seismotektonik di Papua.
DAFTAR PUSTAKA
Abdillah. 2010. Analisis Keaktifan dan Resiko Gempa Bumi Pada Zona Subduksi
Daerah Pulau Sumatera dan Sekitarnya Dengan Metode Least Square.
Skripsi. Jakarta: UIN Syarif Hidayatullah.
Analisa Potensi Rawan Bencana Alam di Papua dan Maluku (Tanah LongsorBanjir-Gempabumi-Tsunami). 2007. Kementrian Negara Lingkungan
Hidup, Deputi Bidang Pembinaan Sarana Teknis dan Peningkatan
Kapasitas.
Andreas, R. dan Alexander, S. 2005. The Potential of Three Dimensional Display
Technologies
for The Visualization of Geo-Virtual Environments.
Proceedings, 22. ICA Cartographic Conference.
Anonim. 2008. Basic Principles of Seismology.
http://www.ualberta.ca/~unsworth/UA-classes/210/notes210/C/210C2008.pdf Diakses pada tanggal 15 Oktober 2015.
Bahtiar. 2009. Analisis Mekanisme Pusat Gempabumi di Sulawesi Utara Tahun
1989-2009. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Bakornas PB. 2007. Pengenalan Karakteristik Bencana dan Upaya Mitigasinya di
Indonesia Edisi II. Jakarta.
Bhatia, M.R. dan Crook, K. A. W. 1986. Trace Element Characteristics of
Greywackes and Tectonic Setting Discrimination of Sedimentary Basins.
Contributions to Mineralogy and Petrology, vol. 92, pp. 181-193.
BMKG. 2012. Pedoman Pelayanan Peringatan Dini Tsunami. BMKG: Jakarta.
Bolt, B. A. 1978. Earthquakes A Primer. San Fransisco: W. H. Freeman
Bullen, K.E. 1965. An Introduction to the Theory of Seismology 3rd edition.
Cambridge: Cambridge University Press.
Bullen, K.E dan Bolt, B.A. 1985. An Introduction to the Theory of Seismology.
Cambridge: Cambridge University Press.
Burhan. 2010. Kedalaman Zona Subduksi Kawasan Regional Sulawesi Tenggara
dan Kawasan Busur Banda Bagian Barat Berdasarkan Analisa Power
Spektrum 1D Medan Potensial Gravitasi. Jurnal Aplikasi Fisika, Vol. 6 No.
2.
Byerly, P. dan Wilson, J. T. 1938. Microseisms Recorded at Berkeley. Eos,
Transactions American Geophysical Union, Vol. 19, p. 107-109.
64
65
Charlton, T. R. 2000. Evolution of The Eastern Indonesia Collision Complex.
Journal of Asian Earth Sciences, 18 (5), 603-631.
Dow, D.B. dan Sukamto, R. 1985. Western Irian Jaya: the end-product of oblique
plate convergence in the Late Tertiary. Tectonophysics. 106, p.109-139.
Dow, D. B. dan Hartono, U. 1982. The Nature of The Crust Underlying
Cendrawasih (Geeluink) Bay, Irian Jaya. Proceedings Indonesian Petroleum
Association.
El-Kammar, A. M. 2009. Introduction to Geology I. Cairo: Geology Department
Faculty Science Cairo University.
Elnashai, S. A. dan Sarno, D. L. 2008. Fundamental of Earthquake Engineering.
Wiley. Hongkong.
Emergence of New Petroleum System in the Mature Salawati Basin: Keys from
Geochemical Biomarkers.
http://tektonesiana.wordpress.com Diakses tanggal : 12 September 2015.
Fiandralekha. 2010. Studi Mekanisme Sumber Gempa Di Selat Sunda
Berdasarkan Gerak Awal Gelombang P dan Bentuk Gelombang. Skripsi.
Semarang: Universitas Negeri Semarang.
Fowler, C. M. R 1990. The Solid Earth: An Introduction to Global Geophysics.
Cambridge: Cambridge Press.
Ginanjar S. 2007. Memahami Konsep Tektonik dan Mekanisme Gempa. Jakarta:
BMKG.
Hager, B.H. dan O’Connel, R.J. 1978. Subduction Zone Dip Angles And Flow
Driven By Plate Motion. Amsterdam: Elsevier Scientific Publishing
Company.
Hamilton, W.R. 1979. Tectonics of the Indonesian Region. US Geological Survey.
Professional Paper 1078, 345 pp.
Harahap, B. H. 2012. Tectonostratigraphy of the Southern Part of Papua and
Arafura Sea, Eastern Indonesia. Indonesian Journal of Geology, Vol. 7
(167-187) No. 3.
Harmadhoni, D. 2011. Analisis Mekanisme Fokus Gempa di Blitar-Jawa Timur
17 Mei 2011. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.
Hastuti, E. W. D. dan Susilo B. K. 2007. Tektonik Lempeng dan Bencana Geologi
di Sumatera dan Jawa. Kongres Ilmu Pengetahuan Wilayah Indonesia
Bagian Barat. Palembang 3-5 September 2015.
66
Havskov, J. dan Ottemoller, L. 2010. Routine Data Processing in Earthquake
Seismology. Springer. New York.
Hutabarat, R. G. 2009. Integrasi Inversi Seismik dengan Atribut Amplitudo
Seismik untuk Memetakan Distribusi Reservoar pada Lapangan Blackfoot.
Jakarta: Universitas Indonesia.
Irsyam, M. 2001. Development of Earthquake Microzonation and Site Specific
Response Spectra to Obtain More Accurate Seismic Base Shear Coefficient.
Final Report for University Research for Graduate Education (URGE)
Project. Department of Civil Engineering, Institute of Technology Bandung.
Jamady, A. 2011. Kuantifikasi Frekuensi dan Resolusi Menggunakan Seismik
Refleksi di Perairan Maluku Utara. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Kaharuddin, S., dkk. 2014. Model Subduksi Berbasis Data Gempa Bumi (Studi
Kasus Sulawesi Utara dan Sekitarnya). Prosiding Seminar Nasional
Geofisika 2014.
Katili, J. A. 1991. Tectonic Evolution of Eastern Indonesia and Its Bearing On
The Occurence of Hydrocarbons. Marine and Petroleum Energy, 8(1), 7083.
Kementerian Negara Lingkungan Hidup. 2007. Analisis Potensi Rawan Bencana
Alam di Papua dan Maluku. Laporan Akhir. Jakarta: Kementerian Negara
Lingkungan Hidup.
Kertapati, E. K. 2006. Aktivitas Gempabumi di Indonesia. Departemen Energi dan
Sumber Daya Mineral Badan Geologi, Pusat Survey Geologi.
Kramer, Steven L. 1996. Geothecnical Earthquake Engineering. Prentice Hall,
653 pp.
Lay, T. dan Wallace, T.C. 1995. Modern Global Seismology. London: Academic
Press.
Lestari. 2006. Pola Subduksi dan Mekanisme Sumber Gempa Kawasan Busur
Banda dan Sekitarnya Berdasarkan Data Seismisitas Tahun 2000-2003 dari
Badan Meteorologi dan Geofisika. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Lowrie, W. 2007. Fundamentals of Geophysics Second Edition. Cambridge:
Cambridge University Press.
Mark, L. et al. 1990. Tectonic in Papua New Guinea and Past Productivity in The
Eastern Equatorial Pacific Ocean. Letters to Nature, Vol. 398, pp. 601-604.
67
Masri, dkk. 2011. Pemetaan Tingkat Ancaman Bencana Gempabumi di
Kecamatan Kolaka Kabupaten Kolaka Sulawesi Tenggara. Jurnal Aplikasi
Fisika, Vol. 7 No. 2.
Muflihah, I. 2014. Distribusi dan Pola Sesar Daerah Kepala Burung (Papua
Barat). Jurnal Neutrino Vol. 6 No.2.
Natawidjaja, H. 2007. Tectonic Setting Indonesia dan Pemodelan Sumber Gempa
dan Tsunami. Pelatihan Pemodelan Run-Up Tsunami. Bandung: LIPI.
Noor, D. 2009. Pengantar Geologi. Bogor: Program Studi Teknik Geologi
Fakultas Teknik Universitas Pakuan.
Pertiwi, C. P. 2010. Analisis Peluang Terjadinya Gempabumi Dengan Metode
Likelihood Untuk Daerah Papua dan Sekitarnya. Skripsi. Jakarta: UIN
Syarif Hidayatullah.
Pigram, C.J. et al. 1982. Late Cainozic Origin forthe Bintuni Basin and Adjacent
Lengguru Fold Belt, Irian Jaya. Proceedings Indonesian Petroleum
Association. 11th Annual Convention, p. 109-126.
Pigram, C.J. dan Sukanta, U. 1981. Report on the geology of the
Taminabuansheet area. Indonesian Geological Research and Development
Centre, Open File Report.
Poiata., N. et al. 2012. Source Process of the 2009 Irian Jaya, Indonesia,
earthquake doublet. Earth palnets Space, 62: 475-481.
Priyono, A. 2001. Buku Ajar Seismik Eksplorasi Untuk Bidang Ilmu Kebumian.
Bandung: Penerbit ITB.
Pubellier, M. dan Ego, F. 2002. Anatomy of an escape tectonic zone: western
Irian Jaya (Indonesia). American Geophysical Union. Tectonics, Vol.
21, No. 4.
Raharjo, S. 2007. Kontrol Struktur Geologi Terhadap Penyebaran Lapisan
Batubara Di daerah Binungan Blok 1-4. Yogyakarta: Teknik Geologi UPN
Veteran.
Rahmat T. 2008. Overview Gempabumi dan Tsunami. Jakarta: BMKG.
Reid, H.F. 1982. Elastic Rebound Theory of Earthquake, BSSA. Vol 11 (98-100).
Santoso, D. 2000. Pengantar Teknik Geofisika. Bandung: Penerbit ITB.
Sapiie, B. et al. 2012. Geology and Tectonic Evolution of Bird Head Region
Papua, Indonesia: Implication for Hydrocarbon Exploration in the
Eastern Indonesia. AAPG International Convention and Exhibition,
Singapore.
68
Schwartz, S. Y. et al. 1989. Source process of the great 1971 Solomon Islands
doublet. Phys. Earth Planet. Inter., 56: 294–310.
Silangen P.M. 2005. Studi Anomali Perubahan Vp/Vs Gempabumi di Sulawesi
Utara. Jurnal meteorology dan geofisika. Vol. 6, No. 3.
Situmeang, M. 2012. Karakteristik Reservoar Karbonat Menggunakan Inversi
Sparse Spike di Lapangan Panda Formasi Kais Cekungan Salawati Papua.
Skripsi. Yogyakarta: UPN Veteran Yogyakarta.
Smith, R. I. 1990. Tertiary Plate Tectonic Setting and Evolution of Papua New
Guinea. Proceedings of The first PNG Petroleum Convention, 1990, Port
Moresby, pp. 155-168.
Stein, S. dan Wysession. 2003. An Introduction to seismology, earthquake, and
earth strucuture. United Kingdom: Blackwell Publishing.
Subarja. 1991. Penentuan Arah Penunjaman Lempeng Indo-australia terhadap
lempeng Eurasia dan Aktivitas Seismik di Daerah Jawa Barat (kaitannya
dengan Gempabumi, magnitudo 8,1 SR tahun 1903). Jakarta: Universitas
Indonesia.
Suryani, T. A. 2007. Analisis Komparatif Nilai Parameter Seismotektonik Dari
Hubungan Magnitudo-Kumulatif dan Nonkumulatif untuk Jawa Timur
Menggunakan Metode Kuadrat Terkecil dan Metode Maksimum Likelihood
dari Data BMG dan USGS Tahun 1973-2003. Skripsi. Semarang: Jurusan
Matematika Universitas Negeri Semarang.
Susilawati. 2008. Penerapan Penjalaran Gelombang Seismik Gempa Pada
Penelaahan Struktur Bagian Dalam Bumi. Karya Ilmiah. Medan: Jurusan
Fisika FMIPA Universitas Sumatera Utara.
Tarbuck, E.J. dan Lutgens, F.K. 2006. Prentice Hall Earth Science.
http://wps.prenhall.com/esm_ta rbuck_escience_11/ Diakses pada tanggal
15 Januari 2016
Udias, V. A. 1999. Priciples of Seismology. Cambridge: Cambridge University
Press.
Wachsmuth, W. dan Kunst, F. 1986. Wrench Fault Tectonics in Northern Irian
Jaya. Proceedings of The Indonesian Petroleum Association, 15th Annual
onvention, 371-376.
Wells, D. L. dan Coppersmith, K. J. 1994. New Empirical Relationships among
Magnitude, Rupture Length, Rupture Width, Rupture Area, and Surface
Displacement. Bulletin of the Seismological Society of America, Vol. 84,
No. 4, pp. 974-1002.
69
Widiyantoro, Sri. 2008. Seismisitas dan Model Zona Subduksi di Indonesia
Resolusi Tinggi. Seminar dan Pameran HAKI.
Yagi, Y. 2010. Source Merchanism. Japan: University of Tsukuba.
Yoshi, Achmad. 2011. Karakterisasi Reservoar Dengan Pendekatan Pemodelan
Impedansi Akustik Daerah “Y” Papua. Skripsi. Jakarta: Universitas
Indonesia.
Yunus, F. 2010. Geologi Daerah Sorong, Kota Sorong, Papua Barat. Thesis.
Bandung: Penerbit ITB
Zawawi, Ahmad. 2011. Analisis Mekanisme Pusat Gempabumi di Cilacap Jawa
Tengah Pada Tanggal 04 April 2011. Skripsi. Jakarta: Universitas Islam
Negeri Syarif Hidayatullah.
http://earthquake.usgs.gov/ Diakses tanggal 15 Desember 2015.
http://epicentral.net/faults/ Diakses tanggal 15 Desember 2015.
Download