BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pengungkapan atas informasi keuangan merupakan salah satu keharusan yang harus dipenuhi oleh suatu entitas baik itu entitas swasta, pemerintah, profit maupun entitas non-profit. Penyajian atas informasi keuangan yang terkait dengan kinerja perusahaan merupakan hal yang harus dilakukan perusahaan terlebih perusahaan yang terdaftar di pasar modal. Menurut FASB dalam Suwardjono (2005), lingkup informasi dalam pelaporan keuangan yang memiliki manfaat bagi pengambilan keputusan adalah sebagai berikut: (1) statemen keuangan (financial statements); (2) catatan atas laporan keuangan (notes to financial statements); (3) informasi pelengkap (supplementary information); (4) sarana pelaporan keuangan lain (other means of financial reporting); dan (5) informasi lain (other information). Semua pelaporan keuangan tersebut pengungkapannya tidak selalu diwajibkan oleh badan pengawas atau pembuat standar. Pengungkapan yang sifatnya wajib (mandatory) hanya diberlakukan pada komponen (1) sampai dengan (3) dan komponen (3) hanya dibuat dalam kondisi tertentu. Pemangku kepentingan seperti investor, kreditor, konsumen, serta pihakpihak pengambil keputusan yang berkepentingan terhadap keberlangsungan bisnis suatu entitas atau perusahaan, seharusnya mendapatkan informasi keuangan yang lengkap dan mengandung informasi yang sebenarnya. Hal ini merupakan salah satu tanggung jawab perusahaan dalam memenuhi praktik pertanggungjelasaan dan transparansi informasi keuangan kepada pemangku kepentingan dalam 1 menjalankan suatu bisnis. Namun pada praktiknya, masih terdapat perusahaan yang tidak menaati peraturan yang telah dibuat oleh regulator terkait dengan butirbutir pengungkapan wajib pada pelaporan keuangan. Contoh kasus yang terjadi di Indonesia adalah kasus penggelembungan laba bersih oleh PT Kimia Farma pada tahun 2001. PT Kimia Farma melanggar peraturan “Pedoman Penyajian Laporan Keuangan” (BAPEPAM No. VIII G.7.) terkait dengan perubahan akuntansi dan kesalahan mendasar. Kesalahan perhitungan matematis, kesalahan intepretasi fakta, dan kecurangan serta kesalahan penerapan kebijakan. Kesalahan penyajian pada laporan keuangan tersebut menimbulkan selisih angka sebesar Rp32.7 M. Pengungkapan wajib memilki arti bahwa semua butir-butir pada standar yang berlaku harus disajikan secara patuh oleh perusahaan dalam laporan keuangannya. Tingkat kepatuhan terhadap pengungkapan wajib sudah seharusnya berada pada tingkat 100%. Hal ini menjadi hal yang perlu diperhatikan, bahwa kepatuhan perusahaan terkait pengungkapan wajib diatur oleh badan pengawas dan berbasis standar pada masing-masing negara. Ditambah lagi, layak atau tidaknya informasi keuangan yang diterbitkan untuk pihak luar perusahaan telah dijamin oleh pihak auditor eksternal. Tanggung jawab auditor eksternal memaksa pihak manajemen perusahaan untuk menaati semua butir-butir yang telah diwajibkan terkait dengan pengungkapan informasi keuangan suatu perusahaan. Ketika perusahaan tersebut tidak mau mematuhi peraturan yang telah diwajibkan, maka auditor eksternal tidak akan memberikan opini “wajar tanpa pengecualian” (unqualified opinion). Walaupun memang standar yang digunakan berbeda-beda, 2 tapi pada kenyataannya, belum ada penelitian yang menunjukkan angka 100% sebagai tingkat kepatuhan pengungkapan wajib pada perusahaan yang terdaftar di pasar modal. Fekete, Matis, dan Lukacs (2008) melakukan penelitian yang menggunakan IFRS (peraturan terkait laporan konsolidasian) sebagai standarnya. Penelitian ini menggunakan sampel perusahaann non-keuangan yang terdaftar pada pasar modal Hungaria. Hasil penelitian tersebut menyatakan bahwa tingkat kepatuhan terhadap pengungkapan wajib berada pada angka 62%. Penelitian lain yang dilakukan oleh Santos, Ponte, dan Maparunga (2013) di negara Brazil, yang menggunakan semua butir-butir pengungkapan pada standar IFRS, menjelaskan bahwa rata-rata tingkat kepatuhan berada pada angka di bawah 50%. Penelitian tersebut menggunakan sampel perusahaan non-keuangan yang terdaftar pada pasar modal. Negara berkembang lainnya yang menjadi acuhan adalah India, penelitian di negara tersebut dilakukan oleh Raithatha dan Bapat (2014). Penelitian tersebut menjelasakan bahwa tingkat kepatuhan perusahaan-perusahaan non-keuangan yang terdaftar di pasar modal sebesar 71%. Butir-butir yang digunakan sebagai indikator tingkat kepatuhan terhadap pengungkapan wajib adalah butir-butir dari standar akuntansi yang berlaku di India. Selain itu, terdapat beberapa penelitian yang dilakukan di Indonesia menyatakan bahwa tingkat pengungkapan pada perusahaan-perusahaan di industri keuangan berada pada angka rata-rata 54% dan 33% (Sutrisno, 2009). Penelitian tersebut menggunakan standar yang telah dikeluarkan pihak badan pengawas keuangan (Keputusan Bapepam-LK nomor 38/PM/1996 dan 3 Keputusan Bapepam-LK nomor 134/BL/2006). Penelitian terkait dengan standar PSAK juga pernah dilakukan oleh Pamungki (2012). Standar kepatuhan mengacu pada PSAK 5 terkait dengan Segmen Pasar. Hasil tingkat kepatuhan atas 121 semua jenis perusahaan yang terdaftar di BEI tahun (2009-2011) adalah hanya sebesar 51%. Penelitian Supriyono, Mustaqim, dan Suhardjanto (2014) menghasilkan tingkat kepatuhan sebesar 75,92% terhadap pengungkapan wajib standar PSAK konvergensi IFRS yang dilakukan pada perusahaan-perusahaan di industri perbankan (2009-2011). Indeks kepatuhan yang digunakan dalam penelitian Sutrisno (2009); Pamungki (2012); Supriyono, Mustaqim, dan Suhardjanto (2014); dan Fekete, Matis, dan Lukacs (2008) merupakan indeks yang membagi jumlah butir pengungkapan yang menjadi standar dengan butir yang diungkapkan oleh perusahaan dalam laporan keuangannya. Perhitungan dalam indeks tersebut tidak mempertimbangkan apakah butir-butir pada standar dapat diterapkan pada perusahaan. Hal tersebut merupakan alasan pertama mengapa tingkat kepatuhan pengungkapan wajib pada perusahaan yang diteliti berada pada angka di bawah 100%. Kedua, walaupun indeks kepatuhan relatif sudah digunakan, tetapi perbedaan fleksibilitas manajer dalam pemahaman serta penilaian standar pengungkapan wajib tetap dapat mempengaruhi tingkat kepatuhan yang berada di bawah angka 100% (Raithatha dan Bapat, 2014). Ketiga, perioda yang digunakan dalam penelitian Santos, Ponte, dan Maparunga (2013) merupakan perioda pertama penerapan IFRS di negara Brazil. Penerapan pada perioda pertama menjelaskan bahwa banyak perusahaan belum siap menerapkan IFRS atau standar baru secara keseluruhan, maka hasil indeks kepatuhannya di bawah 100%. 4 Selain tingkat kepatuhan yang berbeda-beda, perbedaan terkait dengan signifikansi karakteristik perusahaan sebagai faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pengungkapan wajib juga berbeda-beda. Pada penelitian yang dilakukan oleh Fekete, Matis, dan Lukacs (2008); Santos, Ponte, dan Maparunga (2013); Raithatha dan Bapat (2014); Naim dan Rachman (2000); dan Fajar (2011) menjelaskan bahwa karakteristik perusahaan yang berupa ukuran perusahaan dan kualitas, memiliki hubungan yang signifikan secara statistis dengan tingkat kepatuhan pengungkapan wajib. Sedangkan pengungkit (leverage) menunjukkan hubungan yang tidak signifikan secara statistis. Namun, karakteristik perusahaan berupa pengungkit yang dijelaskan pada penelitian Naim dan Rachman (2000) serta Fajar (2011) memiliki hubungan yang secara statistis signifikan. Perbedaan juga terjadi pada karakteristik lamanya perusahaan beroperasi. Pada kelompok perusahaan pemanufakturan, variabel ukuran perusahaan, kualitas auditor, dan perusahaan yang terdaftar pada pasar modal di luar negeri, secara statistis berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan. Sedangkan pada kelompok perusahaan jasa, hanya variabel ukuran perusahaan saja yang secara statistis berpengaruh signifikan (Raithatha dan Bapat, 2014). Hasil penelitian Fekete, Matis, dan Lukacs (2008) menunjukkan bahwa hanya variabel ukuran perusahaan (total penjualan dan total aset) dan industri teknologi informasi & komunikasi yang secara statistis berpengaruh signifikan terhadap tingkat kepatuhan perusahaan. Variabel lain seperti, pengungkit, kualitas auditor, status perusahaan yang terdaftar dan visibilitas internasional, tidak berpengaruh secara signifikan. Hal ini dikarenakan perusahaan yang lebih besar lebih mampu 5 menyajikan pengungkapan yang lebih rinci dan sesuai dengan standar yang telah diterapkan. Pada penelitian Santos, Ponte, dan Maparunga (2013) hanya variabel kualitas auditor, perusahaan yang terdaftar pada pasar modal internasional, dan ukuran perusahaan yang secara statistis menunjukkan hubungan yang signifikan pada tingkat kepatuhan perusahaan. Profitabilitas, pengungkit, tata kelola perusahaan, dan tipe industri secara statistis tidak berpengaruh signifikan. Penelitian Alsaeed (2006) menjelaskan bahwa lamanya perusahaan beroperasi berpengaruh signifikan secara statistis pada tingkat kepatuhan pengungkapan. Sedangkan pada penelitian Raithatha dan Bapat (2014), lamanya perusahaan beroperasi secara statistis tidak berpengaruh terhadap tingkat kepatuhan. Berdasarkan penjelasan diatas, penulis memilih karakteristik ukuran perusahaan, kualitas auditor dan lamanya perusahaan beroperasi sebagai variabel yang mempengaruhi tingkat kepatuhan atas pengungkapan wajib. Hal ini dikarenakan ketiga variabel independen dari penelitian-penelitian sebelumnya menjelaskan perbedaan pengaruh terhadap tingkat pengungkapan wajib perusahaan. Penyebab perbedaan faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan adalah penggunaan standar yang berbeda. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan standar yang berbeda dengan standar-standar yang digunakan pada penelitian-penelitian terdahulu. Standar yang digunakan berfokus pada PSAK terkait dengan pengungkapan laporan konsolidasian. PSAK yang digunakan adalah PSAK revisi 2009 yang efektif digunakan di Indonesia per Juni 2012. Standar tersebut adalah PSAK 4 tentang Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan Keuangan Tersendiri. Penelitian- 6 penelitian sebelumnya (Prawinandi, (Supriyono, Suhardjanto, dan Mustaqim, Triatmoko, dan 2012) Suhardjanto, menggunakan 2014) standar pengungkapan IFRS yang diterbitkan oleh beberapa KAP. Penggunaan IFRS sebagai standar dirasa kurang tepat oleh penulis. Walaupun sebenarnya PSAK mengacu pada IFRS pada masa konvergensinya, namun belum semua standar direvisi dan digunakan secara efektif. Sebagai contoh, penelitian Utami, Suhardjanto, dan Hartoko (2012) menggunakan sampel pada perusahaan pemanufakturan yang terdaftar di BEI pada perioda 2009-2010. Delloitte disclosure checklist digunakan sebagai standar acuhan. Lima IAS digunakan sebagi referensi dan disesuaikan dengan PSAK yang telah direvisi. Salah satu standar (IAS 23/PSAK 26) di antara lima standar dengan referensi IAS yang digunakan secara efektif telah digunakan pada 1 Januari 2010. Pada kondisi ini berarti laporan keuangan pada tahun 2009 memang tidak dapat dibandingkan tingkat kepatuhannya dengan IAS 23/PSAK 26 karena secara efektif digunakan pada Januari 2010. Penelitian akan lebih relevan ketika tingkat kepatuhan pengungkapan perusahaan dibandingkan dengan standar PSAK yang telah direvisi dan secara efektif diberlakukan di Indonesia. Oleh karena itu, pemilihan standar ini (PSAK terkait dengan pengungkapan laporan konsolidasian) berdasarkan semakin banyaknya perusahaan yang melakukan merger dan akuisisi dalam rangka mengembangkan perusahaan mereka. Menurut Sinaga (2009), pertumbuhan perusahaan yang melakukan kombinasi bisnis pada tahun 2000 sampai dengan 2008 berada pada angka 45%. Laporan konsolidasian diterbitkan oleh entitas yang memiliki saham- 7 saham perusahaan lain di atas 50% (Yunus dan Hadori, 1981). Menurut PSAK 4 tentang “Laporan Keuangan Konsolidasian dan Laporan Keuangan Tersendiri” paragraf 7, entitas yang menyajikan laporan keuangan konsolidasian adalah entitas induk yang mengonsolidasikan investasinya dalam entitas anak sesusai dengan pernyataan yang telah dibuat oleh DSAK. Berdasarkan penjelasan di atas, penulis termotivasi untuk melakukan penelitian tentang faktor-faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan pengungkapan wajib (Pengungkapan Laporan Konsolidasian: PSAK 4) pada perusahaan pemanufakturan yang terdaftar di BEI perioda 2012. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan saran mengenai keefektifan penggunaan PSAK terkait. 1.2 Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, permasalahan dalam penelitian ini adalah: a. Apakah terdapat hubungan antara ukuran perusahaan dengan tingkat kepatuhan atas pengungkapan wajib? b. Apakah terdapat hubungan antara kualitas auditor dengan tingkat kepatuhan atas pengungkapan wajib? c. Apakah terdapat hubungan antara lamanya perusahaan beroperasi dengan tingkat kepatuhan atas pengungkapan wajib? 1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang muncul pada penelitian, maka tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis dan menunjukkan bukti empiris terkait 8 dengan karakteristik perusahaan yang berupa ukuran perusahaan, kualitas auditor, dan lama perusahaan beroperasi. 1.4 Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaaf bagi beberapa pihak, di antaranya: a. Pihak pembuat regulasi, diharapkan dapat memberikan saran terkait dengan keefektifan standar akuntansi keuangan yang berhubungan dengan pengungkapan atas laporan konsolidasian. Misalnya, IAI dalam melakukan revisi dalam proses konvergensi terhadap IFRS agar lebih teliti dalam memilih butir-butir yang sesuai dengan kondisi perusahaan di Indonesia. Khususnya, butir-butir pada standar-standar yang terkait dengan konsolidasi. b. Pihak akademisi, diharapkan penelitian ini menjadi pelengkap serta tambahan bukti dalam perkembangan literatur terkait dengan karakteristikkarakteristik perusahaan seperti ukuran perusahaan, kualitas auditor serta lamanya perusahaan beroperasi yang mempengaruhi tingkat pengungkapan wajib di Indonesia. 1.5 BAB I Sistematika Penulisan : PENDAHULUAN Dalam bab ini akan diuraikan tentang segala sesuatu yang berhubungan dengan latar belakang masalah, perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan skripsi. 9 BAB II : TINJAUAN PUSTAKA Bab ini menguraikan tentang landasan teori yang berhubungan dengan judul skripsi ini dan hipotesis yang mendukung penelitian. BAB III : METODA PENELITIAN Bab ini akan menguraikan metoda penelitian yang dipilih oleh penulis yaitu mulai dari identifikasi variabel, jenis dan sumber data metoda pengumpulan data dan metoda analisis data. BAB IV : HASIL DAN PEMBAHASAN Bab ini menguraikan tentang gambaran mengenai objek penelitian serta pembahasan hasil penelitian yang dilakukan penulis dengan mengacu pada tinjauan pustaka yang relevan BAB V : SIMPULAN DAN SARAN Bab ini merupakan bagian akhir dari penulisan skripsi yang mengungkapkan simpulan mengenai pembahasan penelitian serta saran-saran yang dapat diberikan dari hasil penelitian tersebut. 10