pengaruh model problem based learning (pbl) terhadap

advertisement
1
PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL) TERHADAP
KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA
SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 LUBUKLINGGAU
1)
Oleh:
Evimaz Yulianti, Sukasno, M.Pd., 3)Drajat Friansah, M.Pd.
2)
Abstract: This thesis entitled influence of Problem Based Learning (PBL) models for mathematical
problems solving ability of students of X class 2 public high schools lubuklinggau. Problem in this
study were 1) whether there was a significant effect of Problem Based Learning (PBL) models for
mathematical problem solving ability of students of X class 2 public high schools lubuklinggau? 2)
How does the level of mathematical problem solvng ability of students of X class 2 public hight
schools lubuklinggau after attending the Problem Based Learning (PBL) models. This study aims to
determine the effect of Problem Based Learning (PBL) models for mathematical problem solving
ability of students of X class 2 public high schools lubuklinggau and to determine the level of
mathematical problem solving ability of students of X class 2 public high schools lubuklinggau after
participating in the Probl Problem Based Learning (PBL) models. This type of research is true
experimental design using random, pre-test, post-test design. The population throughout the
students of X class 2 public high schools lubuklinggau the school year 2015/2016. As the sample is
X.6 (experiment class) dan X.7 (control class). Data collected by the testing technicques in the form
of descriptions of fove problems. Collected data were analyzed using t-test at the significance level
. Based on data analiysis can be concluded that there is influence of Problem Based
Learning (PBL) models for mathematical problem solving ability of students of X class 2 public high
schools lubuklinggau. as for the level of mathematical problem solving ability of students of X class
2 public hight schools lubuklinggau after leaning follow the Problem Based Learning (PBL) models
in the 26-38 category have high criteria.
Keywords: Problem Based Learning (PBL), Problem Solving.
A. PENDAHULUAN
Matematika adalah ilmu dasar yang berkembang sangat pesat baik materi maupun
kegunaannya. Matematika merupakan salah satu pelajaran di sekolah yang dinilai cukup
memegang peranan penting. Akan tetapi banyak siswa mengalami kesulitan dalam belajar
matematika, terutama dalam memahami konsep yang merupakan pemahaman dasar yang harus
dikuasai siswa untuk memecahkan masalah, sehingga kemampuan kognitif siswa antara
pemahaman dan tingkat kemampuan pemecahan masalah tidak seimbang. Apa yang dirasakan
siswa tersebut selaras dengan pendapat Abdurrahman (2012:202) yang menyatakan “banyak
orang yang memandang matematika sebagai bidang studi yang paling sulit, meskipun demikian
semua orang harus mempelajarinya karena merupakan sarana untuk memecahkan masalah
kehidupan sehari-hari”.
Effendi (2010:11) menyebutkan kurikulum matematika sekolah yang berintegrasi akan
mampu memberikan pengalaman belajar kepada siswa secara utuh dan bermakna,
memungkinkan siswa untuk belajar menghargai matematika, membangun kepercayaan diri,
menjadi pemecah masalah serta belajar berkomunikasi dan bernalar secara matematis. Kurikulum
menekankan integritas, artinya menyatukan prilaku bukan saja yang bersifat intelektual tetapi juga
emosional dan tindakan. Hal ini, jelas merupakan tuntutan sangat tinggi yang tidak mungkin bisa
dicapai melalui hapalan, latihan soal yang bersifat rutin, serta proses pembelajaran biasa. Untuk
1)
2-3)
Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau
Dosen Prodi Matematika STKIP-PGRI Lubuklinggau
2
menjawab tuntutan tujuan yang demikian tinggi, maka perlu dikembangkan materi serta proses
pembelajaranya yang sesuai. Berdasarkan teori belajar yang dikemukakan Gagne (dalam
Suherman dkk, 2001:83) bahwa “keterampilan intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan
melalui pemecahan masalah”.
Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru bidang studi kelas X SMA Negeri 2
Lubuklinggau, diketahui bahwa soal-soal ulangan harian dan UTS yang diberikan guru merupakan
soal-soal rutin yang sudah dikerjakan pada latihan kemudian guru hanya mengganti angka. Soalsoal tersebut berada pada level C1 (pengetahuan) dan C2 (pemahaman) yang dianggap kurang
tepat untuk mengukur tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Sebagaimana
diketahui bahwa soal dengan level C1 (pengetahuan) dan C2 (pemahaman) merupakan soal yang
tidak membutuhkan banyak konsep dalam menyelesaikannya, sedangkan soal kemampuan
pemecahan masalah adalah soal yang mampu menuntun siswa untuk menyeleksi atau memilih
suatu abseksi tertentu (konsep, hukum, dalil, aturan, gagasan, cara) secara tepat untuk diterapkan
dalam situasi baru dan menerapkannya secara benar. Soal yang dimaksud setidaknya berada pada
level C3 (penerapan). Dengan proses pembelajaran yang dijelaskan di atas, maka siswa akan jarang
mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalahnya.
Akibatnya tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa serta tingkat pemahaman
siswa terhadap materi ajar menjadi kurang optimal dan siswa menjadi pasif.
Hasil penelitian Sari (2011: 162-164) menyebutkan bahwa terdapat empat jenis kesulitan
siswa dalam memecahkan masalah matematika, pertama memahami masalah yang diberikan,
kedua menentukan strategi penyelesaian yang tepat, ketiga membuat kalimat matematis, dan
yang keempat melakukan prosedur matematik yang benar. Untuk membantu siswa dari kesulitan
tersebut salah satunya adalah menggunakan model pembelajaran yang bersifat mengedapankan
keaktifan siswa dalam berpikir.
Sanjaya (2011:1) berpendapat salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita
adalah lemahnya proses pembelajaran, dimana anak kurang didorong untuk mengembangkan
kemampuan berpikir. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk dapat mengubah suasana
pembelajaran lebih menarik. Salah satunya dengan mengubah model pembelajaran.
Untuk mengatasi permasalahan kemampuan pemecahan masalah di atas dibutuhkan suatu
model pembelajaran yang mampu menciptakan suasana menyenangkan. Salah satu cara untuk
menggembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yaitu dengan suatu model
pembelajaran yang mengutamakan keaktifan
siswa sehingga mampu mengembangkan
kemampuan pemecahan masalah matematikanya. Selain itu diperlukan suatu model pembelajaran
yang menyajikan tugas-tugas dalam bentuk masalah karena dengan adanya masalah maka siswa
akan berusaha untuk mencari solusinya dengan berbagai ide sehingga kemampuan berpikir siswa
benar-benar dioptimalkan melalui proses pemecahan masalah tersebut. Berdasarkan hal tersebut
perlu diterapkannya suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan siswa
dalam memahami dan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Apakah ada
pengaruh yang signifikan model Problem Based Learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau?, (2) Bagaimanakah tingkat
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau setelah
mengikuti pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL)?
B. LANDASAN TEORI
Hakikat Matematika
Matematika menurut pandangan Riedesel dkk (dalam Gunantara dkk, 2014:3) adalah
sebagai berikut:
3
1. Matematika merupakan Problem Posing dan Problem Solving. Dalam kegiatan matematika,
pada dasarnya anak akan berhadapan dengan dua hal yakni masalah-masalah apa yang
mungkin muncul atau disajikan dari sejumlah fakta yang dihadapi (Problem Posing) serta
bagaimana menyelesaikan masalah tersebut (Problem Solving)
2. Matematika merupakan cara dan alat berfikir. Karena cara berpikir yang dikembangkan dalam
matematika menggunakan kaidah-kaidah penalaran yang konsisten dan akurat, maka
matematika dapat digunakan sebagai alat berpikir yang sangat efektif untuk memandang
berbagai permasalahan
3. Matematika merupakan pengetahuan yang berkembang secara dinamik. Perubahan pandangan
ini telah berimplikasi pada berubahnya aspek pedagogis dalam pembelajaran yang lebih
menekankan pada matematika sebagai pemecahan masalah dan pengembangan kemampuan
berpikir matematika. Sedangkan menurut Ebbut dan Straker (dalam Kudsiah, 2013:1)
“matematika adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan; kreatifitas yang memerlukan
imajinasi, intuisi, dan penemuan; dan kegiatan pemecahan masalah.”
Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan alat berfikir yang
berkembang secara dinamik dalam memecahkan masalah.
Kemampuan Pemecahan Masalah
1. Masalah Matematika
Dalam belajar matematika pada umumnya yang dianggap masalah bukanlah soal yang
biasa dijumpai siswa, Hudoyo (dalam Widjajanti, 2009:403) menyatakan bahwa
soal/pertanyaan disebut masalah tergantung kepada pengetahuan yang dimiliki penjawab. Bagi
seseorang pertanyaan itu dapat dijawab dengan menggunakan prosedur rutin, namun bagi
orang lain untuk menjawab pertanyaan tersebut memerlukan pengorganisasian pengetahuan
yang telah dimiliki secara tidak rutin. Ruseffendi (2006:355) mendefinisikan masalah dalam
matematika sebagai suatu persoalan yang siswa sendiri mampu menyelesaikannya tanpa
menggunakan cara atau algoritma yang rutin. Sedangkan Polya (dalam Kadir, 2010:36)
menyatakan bahwa dalam matematika terdapat dua macam masalah yaitu: masalah
menentukan dan masalah membuktikan. Tujuan masalah menemukan adalah menemukan
suatu objek tertentu yang tidak diketahui masalah. Sedangkan tujuan masalah membuktikan
adalah untuk menunjukkan kebenaran atau kesalahan suatu pernyataan.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah matematika adalah suatu
soal atau pertanyaan yang menantang untuk diselesaikan atau dijawab, dan prosedur
penyelesaiannya tidak dapat dilakukan secara rutin atau nonrutin.
2. Pemecahan Masalah
Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting
karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya, siswa dimungkinkan
memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki
untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. “Pemecahan masalah
berarti keikutsertaan dalam suatu tugas yang metode pemecahannya tidak diketahui
sebelumnya. Agar menemukan suatu pemecahan, para siswa mesti menarik pengetahuan yang
mereka miliki, dan lewat proses ini, mereka seringkali akan membangun pemahamanpemahaman matematis baru” (Wahyudin, 2009:29). Wena (2009:52) menyebutkan bahwa
“hakikat pemecahan masalah adalah melakukan operasi prosedural urutan tindakan, tahap
demi tahap secara sistematis, sebagai seorang pemula (novice) memecahkan masalah”. Polya
(dalam Masbied, 2011:9) mengartikan pemecahan masalah sebagai “satu usaha mencari jalan
keluar dari satu kesulitan guna mencapai satu tujuan yang tidak begitu mudah segera untuk
dicapai”. Selanjutnya dalam bukunya yang berjudul “How To Solve It”, Polya (1973:5-6)
4
menyebutkan ada empat langkah yang dapat dilakukan agar siswa lebih terarah dalam
menyelesaikan masalah matematika, yaitu:
a) Understanding the problem. Memahami istilah yang digunakan dalam masalah tersebut,
merumuskan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, apakah informasi yang diperoleh
cukup, kondisi/syarat apa saja yang harus dipenuhi dalam masalah tersebut
b) Devising plan. Menemukan hubungan antara data yan diperoleh dengan hal-hal yang belum
diketahui serta mencari solusi ataupun strategi pemecahan masalah
c) Carrying out the plan. Menjalankan rencana guna menemukan solusi, periksa setiap langkah
dengan seksama untuk membuktikan bahwa cara itu benar
d) Looking back. Melakukan penilaian terhadap solusi yang didapat.
Dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah adalah satu usaha mencari jalan keluar
dari satu kesulitan guna mencapai satu tujuan yang tidak mudah dicapai dengan menarik
pengetahuan yang dimiliki melalui tindakan, tahap demi tahap secara sistematis yang akan
membangun pemahaman matematis baru.
3. Kemampuan Pemecahan Masalah
Menurut Suharsono (dalam Wena, 2009:53) kemampuan pemecahan masalah sangat
penting artinya bagi siswa dan masa depannya. Para ahli pembelajaran sependapat bahwa
kemampuan pemecahan masalah dalam batas-batas tertentu, dapat dibentuk melalui bidang
studi dan disiplin ilmu yang diajarkan. Gunantara dkk (2014:5) dalam penelitiannya
mendefinisikan “kemampuan pemecahann masalah merupakan kecakapan atau potensi yang
dimiliki siswa dalam menyelesaikan permasalahan dan mengaplikasikan dalam kehidupan
sehari-hari”. Sedangkan Polya (dalam Gunantara dkk, 2014:4) kemampuan pemecahan masalah
adalah “proses yang ditempuh oleh seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya
sampai masalah itu tidak lagi menajdi masalah baginya”.
Berdasarkan uraian di atas, maka kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan
atau potensi yang dimilili seseorang dalam menyelesaikan masalah serta mengaplikannya
dalam kehidupan sehari-hari sampai masalah itu tidak lagi menjadi masalah baginya.
Adapun indikator-indikator yang menunjukkan kemampuan pemecahan masalah
matematika menurut Polya (dalam Hoseana, 2012:4) yaitu sebagai berikut:
a) Memahami permasalahan
b) Merancang suatu strategi penyelesaian masalah
c) Melaksanakan strategi atau melakukan perhitungan
d) Meninjau kembali atau mengembangkan.
Schoen dan Ochmke (dalam Fauziah, 2010:40) mengemukakan bahwa pemberian skor
pemecahan masalah dalam penelitiannya, mengacu pada pedoman penskoran seperti berikut:
Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah
Skor
Memahami Masalah
0
Salah
menginterprestasikan/
salah sama sekali
1
Salah
menginterprestasikan
sebagian soal,
mengabaikan
2
Memahami masalah soal
Membuat Rencana
Pemecahan
Tidak ada rencana,
membuat rencana yang
tidak relevan
Membuat rencana
pemecahan yang tidak
dapat dilaksanakan,
segingga tidak dapat
dilaksanakan
Membuat rencana yang
Melakukan Perhitungan
Tidak melakukan
perhitungan
Melaksanakan prosedur
yang benar dan mungkin
menghasilkan jawaban
yang benar tapi salah
perhitungan
Melakukan proses yang
Memeriksa Kembali
Hasil
Tidak ada
pemeriksaan atau
tidak ada
keterangan lain
Ada pemeriksaan
tetapi tidak tuntas
Pemeriksaan
5
Skor
Memahami Masalah
selengkapnya
3
-
4
-
Skor maksimal 2
Membuat Rencana
Pemecahan
benar tetapi salah dalam
hasil/tidak ada hasil
Membuat rencana yang
benar, tetapi tidak lengkap
Membuat rencana sesuai
dengan prosedur dan
mengarah pada solusi yang
benar
Skor maksimal 4
-
Memeriksa Kembali
Hasil
dilaksanakan untk
melihat hasil
kebenaran proses
-
-
-
Skor maksimal 2
Skor maksimal 2
Melakukan Perhitungan
benar dan mendapatkan
hasil yang benar
(Sumber: Schoen dan Ochmke (dalam Fauziah, 2010:40))
Sedangakan tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dapat diukur
menggunakan kriteria tingkat kemampuan pemecahan masalah berikut:
Kriteria Tingkat Kemampuan Pemecahan Masalah
Rentang
Kriteria
39 – 51
Sangat tinggi
26 – 38
Tinggi
13 – 25
Cukup
0 – 12
Rendah
(Modifikasi dari Djaali & Pudji Mulyono, 2008:105)
Problem Based Learning (PBL)
Menurut Sanjaya (2011:214) Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem Based Learning
(PBL) dapat diartikan “sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses
penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah”. Sedangkan menurut Gunantara dkk (2014:2)
“Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam
memecahkan masalah dunia nyata”. Dari pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan
Problem Based Learning (PBL) adalah pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata dan
penyelesaiannya menekankan kepada proses penyelesaian ilmiah supaya siswa dapat berpikir
kritis dan terampil dalam memecahkan masalah.
Berdasarkan beberapa pendapat (Kemendikbud, 2014:59 : Hosnan, 2014:301), Langkahlangkah Problem Based Learning (PBL) adalah sebagai berikut:
1. Orientasi siswa pada masalah. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan teknik
yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar terlibat aktif dalam pemecahan masalah yang dipilih
2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar. Guru membentuk kelompok belajar siswa,
membagikan masalah dan membantu siswa mendefinisikan serta mengorganisasikan tugas
belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut
3. Membimbing penyelidikan individu dan kelompok. Siswa didorong untuk mengumpulkan
informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan
pemecahan masalahnya
4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Siswa dibantu guru merencanakan dan
menyiapkan karya yang sesuai, seperti laporan, video, dan model serta berbagi tugas dengan
temannya
6
5. Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Salah satu kelompok diminta
mempresentasikan hasil kerja kemudian secara bersama-sama melakukan refleksi dan evaluasi
terhadap proses-proses yang telah digunakan.
C. METODE PENELITIAN
Jenis penelitian ini adalah true experimental design. Desain eksperimen yang digunakan
berbentuk random, pre-test, post-test design. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model
Problem Based Learning (PBL) dan model konvensional. Sedangkan variabel terikat dalam
penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah matematika siswa.
Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau tahun
pelajaran 2015/2016. Dari sepuluh kelas, diambil dua kelas secara acak dengan cara diundi.
Berdasarkan hasil pengundian, terpilih sampel penelitian yaitu kelas X.6 dan X.7. Kelas X.6 diberi
perlakuan dengan model Problem Based Learning (PBL) selanjutnya disebut kelas eksperimen, dan
kelas X.7 diberikan perlakuan oleh guru bidang studi menggunakan model pembelajaran
konvensional selanjutnya disebut kelas kontrol.
Penelitian ini menggunakan instrument berupa tes uraian sebanyak lima soal. Tes dilakukan
untuk mengetahui tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Tes dilakukan
sebanyak dua kali yaitu tes awal dan tes akhir pada kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Hipotesis yang dikaji dalam penelitian ini adalah “Ada pengaruh yang signifikan model Problem
Based Learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X XMA
Negeri 2 Lubuklinggau”.
D. HASIL DAN PEMBAHASAN
Berdasarkan data tes awal diperoleh skor rata-rata kemampuan awal kelas eksperimen
18,97 dan skor rata-rata kelas kontrol 18,39. Sehingga secara deskriptif dapat disimpulkan bahwa
kemampuan awal siswa antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol sebelum diberikan
perlakuan menggunakan model Problem Based Learning (PBL) hampir sama. Begitupun dengan
analisis uji data tes awal diperoleh
. Nlai
pada taraf signifikan α = 0,05 dan
dk = 71 adalah
diterima. Dengan demikian tidak ada perbedaan
. Hal ini berarti
yang signifikan rata-rata kemampuan awal siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol.
Sedangkan tingkat kemampuan awal siswa baik pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol
berada pada kriteria rendah pada rentang 13-25.
Berdasarkan data tes akhir diperoleh skor rata-rata kemampuan akhir kelas eksperimen
34,11 dan skor rata-rata kelas kontrol 23,64. Sehingga secara deskriptif dapat disimpulkan bahwa
kemampuan akhir siswa kelas eksperimen setelah diberikan perlakuan menggunakan model
Problem Based Learning (PBL) lebih besar dari kelas kontrol yang mendapatkan perlakuan
menggunakan model pembelajaran konvensional. Berdasarkan analisis data hasil tes akhir
menunjukkan nilai
, sehingga dapat disimpulkan
ditolak dan
diterima. Dengan demikian hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terbukti, yaitu ada
pengaruh yang signifikan model Problem Based Learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan
masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau. Sedangkan untuk tingkat
kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau setelah
mengikuti pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) memiliki kriteria tinggi pada
rentang 26-38.
Tingkat Kemampuan Pemecahan Masalah
Tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa dapat dilihat dari skor rata-rata hasil tes
awal dan tes akhir pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Berdasarkan hasil analisis tes
awal, diperoleh skor rata-rata kelas eksperimen sebesar 18,97, sedangkan skor rata-rata kelas
7
kontrol sebesar 18,39. Merujuk pada kriteria tingkat kemampuan pemecahan masalah pada tabel
3.3, maka tingkat kemampuan pemecahan masalah kelas eksprimen dan kelas kontrol berada
pada rentang 13 – 25 dengan kriteria rendah.
Selanjutnya pada kelas eksperimen diberikan perlakuan menggunakan model Problem
Based Learning (PBL) oleh peneliti, yang mana dalam pembelajaran tersebut siswa dilatih untuk
mampu menyelesaikan masalah matematika. Sedangkan pada kelas kontrol siswa diberikan
perlakuan menggunakan pembelajaran konvensional oleh guru bidang studi.
Berdasarkan hasil analisis tes akhir diperoleh skor rata-rata kelas eksperimen sebesar 34,11
dan skor rata-rata kelas kontrol sebesar 23,64. Merujuk pada kriteria tingkat kemampuan
pemecahan masalah pada tabel 3.3, maka tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa kelas X
SMA Negeri 2 Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran dengan model Problem Based
Learning (PBL) pada kelas eksperimen berada pada rentang 26 – 38 dengan kriteria tinggi.
Sedangkan tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau
setelah mengikuti pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) pada kelas kontrol
berada pada rentang 13 – 25 dengan kriteria cukup.
Pembahasan
Berdasarkan penelitian yang dilakukan di SMA Negeri 2 Lubuklinggau dari tanggal 28 Juli
2015 s.d. 28 Agustus 2015, penggunaan model Problem Based Learning (PBL) dapat dijadikan
alternatif sebagai model pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru dalam proses belajar
mengajar di kelas. Pada penelitian ini, peneliti mengajar pada kelas eksperimen yaitu kelas X.6
yang berjumlah 39 siswa dengan menggunakan model Problem Based Learning (PBL), sedangkan
kelas kontrol yaitu kelas X.7 yang berjumlah 40 siswa diajar oleh guru bidang studi menggunakan
model pembelajaran konvensional.
Hasil penelitian mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan skor rata-rata
tes awal siswa kedua kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol sebelum diberikan perlakuan
yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari skor rata-rata tes awal siswa kelas eksperimen sebesar
18,97 dan pada kelas kontrol 18,39. Tidak adanya perbedaan kemampuan awal siswa kedua kelas
tersebut dibuktikan dengan hasil uji kesamaan dua rata-rata yang mana nilai
.
Pada saat dilaksanakan tes awal, masih terdapat kesalahan pada lembar jawaban siswa
baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Oleh karena itu skor yang diperoleh siswa saat
dilaksanakan tes awal masih rendah. Hal ini dikarenakan siswa belum pernah diberikan soal
berbentuk masalah pada materi Sistem Persamaan Linier Dua Variabel (SPLDV). Berdasarkan skor
hasil tes awal (lampiran C) dari lima soal yang diberikan siswa belum mampu menjawab soal
dengan benar. Dari kelima soal tersebut rata-rata siswa hanya mampu menjawab soal nomor 1, 2,
dan 4, itupun belum mencapai skor maksimal. Penyebab utamanya adalah kesulitan siswa dalam
membuat model matematika dari masalah yang diberikan, sehingga perhitunganpun tidak dapat
dilakukan dengan benar.
Pelaksanaan pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) dilakukan dengan
cara berkelompok. Mengawali pembelajaran peneliti menjelaskan tujuan pembelajaran dan
menjelaskan langkah-langkah pembelajaran menggunakan model Problem Based Learning (PBL).
Tahap selanjutnya adalah pembentukan kelompok belajar, terbentuk 6 kelompok yang terdiri dari
6 orang siswa dan ada tiga kelompok yang berjumlah 7 orang siswa yang heterogen. Kemudian
masing-masing kelompok mendapatkan soal berbentuk masalah untuk diselesaikan dengan cara
berdiskusi kelompok. Selama siswa berdiskusi peneliti terus memberikan motivasi supaya siswa
mengumpulkan informasi sesuai dengan masalah yang dipilih. Setelah siswa selesai berdiskusi dan
menemukan solusi masalah, peneliti membimbing siswa untuk mempersiapkan jawabannya untuk
8
dipresentasikan. Kemudian salah satu kelompok dipersilahkan untuk mempresentasikan solusi dari
masalah yang dipilih ke depan kelas, selanjutnya secara bersama-sama mengevaluasi proses
pembelajaran yang telah dilalui.
Pertemuan pertama dilaksanakan tanggal 6 Agustus 2015. Pada pertemuan pertama
terdapat beberapa hambatan, diantaranya adalah pada saat pembagian kelompok. Kegaduhan
terjadi di dalam kelas, karena beberapa siswa merasa kurang cocok dengan teman kelompoknya
dan hal ini tentu sangat menyita waktu pembelajran. Selanjutnya siswa masih bingung dalam
menghadapi masalah yang diberikan, ini dikarenakan siswa belum terbiasa menyelesaikan soal
dengan bentuk demikian. Selain itu siswa juga masih belum percaya diri dalam mempresentasikan
hasil diskusi kelompoknya. Hal ini tentu saja karena siswa masih belum terbiasa belajar
menggunakan model Problem Based Learning (PBL) sehingga diperlukan penyesuaian. Pada
pertemuan pertama ini tidak ada satu kelompokpun yang dapat menyelesaikan masalah,
kendalanya adalah siswa belum mampu membuat model matematika dari masalah yang diberikan.
Pertemuan kedua dilaksanakan tanggal 8 Agustus 2015. Indikator yang harus dicapai siswa
adalah menentukan penyelesaian model matematika dari masalah yang berhubungan dengan
sistem persamaan linier dengan menggunakan metode eliminasi. Pada pertemuan kedua ini
terjadi perkembangan, ini karena siswa tidak perlu lagi membentuk kelompok belajar karena
kelompok telah dibentuk pada pertemuan pertama. Siswa juga sudah mulai terbiasa dengan
teman kelompoknya, sehingga ketika masalah diberikan siswa sudah mulai aktif untuk berdiskusi
satu sama lain dalam kelompoknya. Siswa juga mulai percaya diri dalam mempresentasikan hasil
diskusi kelompoknya, dan ketika jawaban yang dipresentasikan belum benar tanpa ragu siswa
menanyakan letak kekeliruan mereka. Pada pertemuan kedua, kelompok yang mampu
menyelesaikan masalah ada tiga kelompok. Sementara kelompok lainnya masih mengalami
kebingungan dalam membuat model matematika dan tahapan-tahapan pemecahan masalah.
Hal ini sejalan dengan beberapa kelebihan model Problem Based Learning (PBL) menurut
Sanjaya (2011:220), diantaranya pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa
untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyelesaikan dengan
pengetahuan baru. Pemecahan masalah juga dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk
mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata.
Pertemuan ketiga dilaksanakan tanggal 12 Agustus 2015. Indikator yang harus dicapai siswa
adalah menentukan penyelesaian model matematika dari masalah yang berhubungan dengan
sistem persamaan linier dengan menggunakan metode substitusi. Pada pertemuan ketiga ini siswa
tampak semakin bersemangat dalam mengikuti pembelajaran. Hampir tidak ada lagi hambatan
dalam proses pembelajaran, siswa semakin aktif berdiskusi bersama teman kelompoknya. Ketika
presentasipun hampir semua kelompok berebut untuk maju, mengatasi hal ini peneliti
memberikan kesempatan pada kelompok yang belum mendapat kesempatan maju pada
pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan ketiga, kelompok yang mampu menyelesaikan masalah
ada lima kelompok. Walaupun sebagian besar kelompok sudah mampu menyelesaikan masalah,
namun skor yang diperoleh belum mencapai skor maksimal. Ini dikarenakan siswa tidak mengikuti
tahapan-tahapan pemecahan masalah dengan benar, misalnya ketika mengidentifikasi masalah,
dan membuat perencanaan.
Meskipun demikian, tetap saja masih ada siswa yang enggan terlibat dalam diskusi
kelompok. Siswa tersebut hanya duduk saja dalam kelompoknya tanpa memperhatikan teman
lainnya berdiskusi. Ini seperti menunjukkan bahwa kelemahan model Problem Based Learning
(PBL) menurut (Sanjaya, 2011:221) bahwa manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak
mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka
akan merasa enggan untuk mencoba, memang benar adanya. Peneliti sudah berusaha untuk
mencoba mengatasi hal ini dengan cara penndekatan dan memotivasi siswa yang bersangkutan,
9
namun siswa tersebut tetap enggan untuk berdiskusi, dengan kata lain hanya duduk saja bahkan
terakadang tidur di belakang kelas. Ketika peneliti coba diskusikan dengan guru bidang studi dan
beberapa teman sekelasnya, ternyata bukan hanya pada mata pelajaran matematika dan saat
peneliti mengadakan penelitian saja siswa tersebut berperilaku demikian, namun juga pada mata
pelajaran lain. Bahkan pada mata pelajaran lain, terkadang siswa tersebut tidak masuk kelas.
Untuk tigkat kemampuan pemecahan masalah siswa sebelum dan sesudah diberikan
perlakuan model Problem Based Learning (PBL) pada kelas eksperimen mengalami peningkatan,
ini dapat dilihat berdasarkan perolehan skor rata-rata kelas eksperimen pada tes awal sebesar 18,
97, sedangkan skor rata-rata pada tes akhir sebesar 34,11. Begitupun dengan kelas kontrol,
perolehan skor rata-rata tes awal sebesar 18, 39 dan skor rata-rata tes akhir sebesar 23, 64.
Merujuk pada kriteria kemampuan pemecahan masalah pada tabel 3.3, maka tingkat kemampuan
pemecahan masalah pada tes awal kelas eksperimen dan kelas kontrol berada pada rentang yang
sama yaitu dalam rentang 13 – 25 dengan kriteria cukup. Sedangkan tingkat kemampuan
pemecahan masalah pada tes akhir kelas eksperimen lebih meningkat dari pada kelas kontrol,
yaitu pada rentang 26 – 38 dengan kriteria tinggi. Tingkat kemampuan pemecahan masalah pada
tes akhir kelas kontrol tidak mengalami peningkatan, yaitu berada pada rentang 13 – 25 dengan
kriteria cukup.
Setelah melaksanakan pembelajaran dilaksanakan tes akhir pada tanggal 13 Agustus 2015
untuk melihat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Berdasarkan hasil tes akhir
pada kelas eksperimen diperoleh skor rata-rata kemamuan pemecahan masalah sebesar 34,11
dengan kriteria tinggi, sedangkan hasil tes akhir pada kelas kontrol diperoleh skor rata-rata
kemampuan pemecahan masalah sebesar 23,64 dengan kriteria cukup. Berdasarkan hasil skor
rata-rata antara kelas eksperimen dan kelas kontrol ternyata skor rata-rata kelas eksperimen lebih
tinggi dibandingkan kelas kontrol. Hal ini dikarenakan kelas eksperimen menggunakan model
Problem Based Learning (PBL) sedangkan pada kelas kontrol menggunakan model pembelajaran
konvensional.
Berdasarkan hasil analisis tes akhir siswa pada kelas eksperimen, dari 35 siswa untuk
kemampuan memahami masalah sebanyak 23 siswa (65%), yang menguasai, kemampuan
membuat perencanaan 10 siswa (28%), kemampuan melakukan perhitungan 32 siswa (91%), dan
kemampuan memeriksa kembali atau membuktikan 29 siswa (82%). Selain dari jumlah siswa yang
disebutkan di atas, siswa masih mengalami kekeliruan baik dalam penulisan maupun perhitungan.
Oleh karena itu skor kemampuan pemecahan masalah siswa secara umum belum maksimal.
Sedangkan hasil analisis tes akhir pada kelas kontrol, dari 36 siswa untuk kemampuan memahami
masalah sebanyak 13 siswa (36%), yang menguasai kemampuan membuat rencana 6 siswa (17%),
kemampuan melakukan perhitungan 27 siswa (75%), dan kemampuan memeriksa kembali atau
membuktikan 23 siswa (63%).
Setelah dilakukan uji hipotesis dengan uji
dengan
dan dk = 69 diperoleh
dengan nilai
. Ini menunjukkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini
diterima yaitu ada pengaruh yang signifikan model Problem Based Learning (PBL) terhadap
kemampuan pemecahan matematika siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau. Sedangkan untuk
tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau
setelah mengikuti pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) memiliki kriteria
tinggi.
Terbuktinya hipotesis dalam penelitian ini diperkuat dengan penelitian dari Kudsiah (2003)
yang bertujuan untuk mendeskripsikan pengaruh pembelajaran berbasis masalah terhadap sikap
dan kemampuan memecahkan masalah. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat
pengaruh pembelajaran berbasis masalah terhadap kemampuan memecahkan masalah
10
matematika. Uji hipotesis menunjukkan bahwa
pada taraf signifikansi 5%.
= 2,28, lebih besar dari pada
= 2,021
E. SIMPULAN DAN SARAN
Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh
yang signifikan model Problem Based Learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan masalah
matematika siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau dengan perolehan skor rata-rata sebesar
34,11. Sedangkan tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri
2 Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL)
berada pada rentang 26 – 38 dengan kriteria tinggi.
Saran
Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka penulis mengemukakan saransaran sebagai berikut:
1. Kepada pendidik dapat menggunakan model Problem Based Learning (PBL) sebagai alternatif
untuk dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa
2. Untuk sekolah agar dapat mengoptimalkan kegiatan proses belajar mengajar dengan
menggunakan model Problem Based Learning (PBL), hendaknya menyediakan lebih banyak lagi
referensi sehingga memudahkan siswa dalam menggali informasi dalam memecahkan masalah
3. Bagi siswa supaya memperoleh skor maksimal, hendaknya melaksanakan tahapan-tahapan
pemecahan masalah dengan benar
4. Penelitian ini dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat, maka diharapkan pada penelitian
selanjutnya penelitian dilakukan dalam waktu yang lebih lama agar medapatkan hasil yag lebih
baik, dalam hal ini adalah melatih dan menegaskan siswa agar terbiasa dalam membuat
perencanaan khususnya dalam menuliskan langkah-langkah perencanaan penyelesaian
masalah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Mulyono. 2012. Anak Berkesulitan Belajar: Teori, Diagnosis, dan Remediasinya.
Jakarta: Rineka Cipta.
Djaali dan Pudji Mulyono. 2008. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Grasindo.
Effendi, Moh. Mahfud. 2010. Prinsip Kurikulum Matematika Sekolah: Kajian Orientasi
Pengembangan. Artikel tidak diterbitkan. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan
Matematika FKIP UMM. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang.
Fauziah, Anna. 2010. Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika
Siswa AMP Melalui Strategi REACT (Relating, Expperiencing, Applying, Cooperating,
Transfering). Forum Kependidikan, 30 (1).
Gunantara, dkk. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning Untuk
Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas V SD Negeri 2
Sepang. Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD, 2 (1).
Hoseana. 2012. Sukses Juara Olimpiade Matematika. Jakarta: PT. Grasindo.
Hosnan. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual di dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor:
Graha Indonesia.
11
Kemendikbud. 2014. Materi Pelatihan Guru: Implementasi Kurikulum 2013 Tahun Pelajaran
2014/2015. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan dan
Penjaminan Mutu Pendidikan.
Kudsiah, Musabihatul. 2013. Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Sikap dan
Kemampuan Memecahkan Masalah Matematika Siswa Kelas V Gugus 3 Suralaga Tahun
Pelajaran 2012/2013. Jurnal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha
Program Studi Pendidikan Dasar, (3).
Masbied. 2011. Teori Pemecahan Masalah Polya dalam Pembelajaran Matematika. Modul tidak
diterbitkan.
Ruseffendi. 2006. Pengantar Kepada Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran
Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito.
Sanjaya, Wina. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta:
Kencana.
Sari, Maharani Kartika. 2011. Profil Kesulitan Siswa Kelas VIII dalam Memecahkan Masalah
Matematika pada Materi Pokok Sistem Persamaan Linier Dua Variabel. Tesis tidak
diterbitkan. Malang: FKIP Universitas Sebelas Maret.
Suherman, Erman, dkk. 2001. Common Text Book Strategi Pembelajaran Matematika
Kontemporer. Bandung: JICA- Universitas Pendidikan Indonesia (UPI).
Polya, George. 1973. How to Solve It. New Jersey: Princeton University Press.
Wahyudin. 2008. Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran: Pelengkap untuk Meningkatkan
Kompetensi Pedagogis Para Guru dan Calon-guru Profesional. Modul tidak diterbitkan.
Wena, Made. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara.
Widjajanti, Djamilah Bondan. 2009. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Mahasiswa
Calon Guru Matematika: Apa dan Bagaimana Pengembangannya. Artikel tidak diterbitkan.
Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika
FMIPA UNY. Jurusan FMIPA. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.
Download