1 PENGARUH MODEL PROBLEM BASED LEARNING (PBL) TERHADAP KEMAMPUAN PEMECAHAN MASALAH MATEMATIKA SISWA KELAS X SMA NEGERI 2 LUBUKLINGGAU 1) Oleh: Evimaz Yulianti, Sukasno, M.Pd., 3)Drajat Friansah, M.Pd. 2) Abstract: This thesis entitled influence of Problem Based Learning (PBL) models for mathematical problems solving ability of students of X class 2 public high schools lubuklinggau. Problem in this study were 1) whether there was a significant effect of Problem Based Learning (PBL) models for mathematical problem solving ability of students of X class 2 public high schools lubuklinggau? 2) How does the level of mathematical problem solvng ability of students of X class 2 public hight schools lubuklinggau after attending the Problem Based Learning (PBL) models. This study aims to determine the effect of Problem Based Learning (PBL) models for mathematical problem solving ability of students of X class 2 public high schools lubuklinggau and to determine the level of mathematical problem solving ability of students of X class 2 public high schools lubuklinggau after participating in the Probl Problem Based Learning (PBL) models. This type of research is true experimental design using random, pre-test, post-test design. The population throughout the students of X class 2 public high schools lubuklinggau the school year 2015/2016. As the sample is X.6 (experiment class) dan X.7 (control class). Data collected by the testing technicques in the form of descriptions of fove problems. Collected data were analyzed using t-test at the significance level . Based on data analiysis can be concluded that there is influence of Problem Based Learning (PBL) models for mathematical problem solving ability of students of X class 2 public high schools lubuklinggau. as for the level of mathematical problem solving ability of students of X class 2 public hight schools lubuklinggau after leaning follow the Problem Based Learning (PBL) models in the 26-38 category have high criteria. Keywords: Problem Based Learning (PBL), Problem Solving. A. PENDAHULUAN Matematika adalah ilmu dasar yang berkembang sangat pesat baik materi maupun kegunaannya. Matematika merupakan salah satu pelajaran di sekolah yang dinilai cukup memegang peranan penting. Akan tetapi banyak siswa mengalami kesulitan dalam belajar matematika, terutama dalam memahami konsep yang merupakan pemahaman dasar yang harus dikuasai siswa untuk memecahkan masalah, sehingga kemampuan kognitif siswa antara pemahaman dan tingkat kemampuan pemecahan masalah tidak seimbang. Apa yang dirasakan siswa tersebut selaras dengan pendapat Abdurrahman (2012:202) yang menyatakan “banyak orang yang memandang matematika sebagai bidang studi yang paling sulit, meskipun demikian semua orang harus mempelajarinya karena merupakan sarana untuk memecahkan masalah kehidupan sehari-hari”. Effendi (2010:11) menyebutkan kurikulum matematika sekolah yang berintegrasi akan mampu memberikan pengalaman belajar kepada siswa secara utuh dan bermakna, memungkinkan siswa untuk belajar menghargai matematika, membangun kepercayaan diri, menjadi pemecah masalah serta belajar berkomunikasi dan bernalar secara matematis. Kurikulum menekankan integritas, artinya menyatukan prilaku bukan saja yang bersifat intelektual tetapi juga emosional dan tindakan. Hal ini, jelas merupakan tuntutan sangat tinggi yang tidak mungkin bisa dicapai melalui hapalan, latihan soal yang bersifat rutin, serta proses pembelajaran biasa. Untuk 1) 2-3) Mahasiswa STKIP-PGRI Lubuklinggau Dosen Prodi Matematika STKIP-PGRI Lubuklinggau 2 menjawab tuntutan tujuan yang demikian tinggi, maka perlu dikembangkan materi serta proses pembelajaranya yang sesuai. Berdasarkan teori belajar yang dikemukakan Gagne (dalam Suherman dkk, 2001:83) bahwa “keterampilan intelektual tingkat tinggi dapat dikembangkan melalui pemecahan masalah”. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu guru bidang studi kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau, diketahui bahwa soal-soal ulangan harian dan UTS yang diberikan guru merupakan soal-soal rutin yang sudah dikerjakan pada latihan kemudian guru hanya mengganti angka. Soalsoal tersebut berada pada level C1 (pengetahuan) dan C2 (pemahaman) yang dianggap kurang tepat untuk mengukur tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Sebagaimana diketahui bahwa soal dengan level C1 (pengetahuan) dan C2 (pemahaman) merupakan soal yang tidak membutuhkan banyak konsep dalam menyelesaikannya, sedangkan soal kemampuan pemecahan masalah adalah soal yang mampu menuntun siswa untuk menyeleksi atau memilih suatu abseksi tertentu (konsep, hukum, dalil, aturan, gagasan, cara) secara tepat untuk diterapkan dalam situasi baru dan menerapkannya secara benar. Soal yang dimaksud setidaknya berada pada level C3 (penerapan). Dengan proses pembelajaran yang dijelaskan di atas, maka siswa akan jarang mendapatkan kesempatan untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalahnya. Akibatnya tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa serta tingkat pemahaman siswa terhadap materi ajar menjadi kurang optimal dan siswa menjadi pasif. Hasil penelitian Sari (2011: 162-164) menyebutkan bahwa terdapat empat jenis kesulitan siswa dalam memecahkan masalah matematika, pertama memahami masalah yang diberikan, kedua menentukan strategi penyelesaian yang tepat, ketiga membuat kalimat matematis, dan yang keempat melakukan prosedur matematik yang benar. Untuk membantu siswa dari kesulitan tersebut salah satunya adalah menggunakan model pembelajaran yang bersifat mengedapankan keaktifan siswa dalam berpikir. Sanjaya (2011:1) berpendapat salah satu masalah yang dihadapi dunia pendidikan kita adalah lemahnya proses pembelajaran, dimana anak kurang didorong untuk mengembangkan kemampuan berpikir. Oleh sebab itu diperlukan upaya untuk dapat mengubah suasana pembelajaran lebih menarik. Salah satunya dengan mengubah model pembelajaran. Untuk mengatasi permasalahan kemampuan pemecahan masalah di atas dibutuhkan suatu model pembelajaran yang mampu menciptakan suasana menyenangkan. Salah satu cara untuk menggembangkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa yaitu dengan suatu model pembelajaran yang mengutamakan keaktifan siswa sehingga mampu mengembangkan kemampuan pemecahan masalah matematikanya. Selain itu diperlukan suatu model pembelajaran yang menyajikan tugas-tugas dalam bentuk masalah karena dengan adanya masalah maka siswa akan berusaha untuk mencari solusinya dengan berbagai ide sehingga kemampuan berpikir siswa benar-benar dioptimalkan melalui proses pemecahan masalah tersebut. Berdasarkan hal tersebut perlu diterapkannya suatu model pembelajaran yang dapat meningkatkan kemampuan siswa dalam memahami dan dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Adapun rumusan masalah dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: (1) Apakah ada pengaruh yang signifikan model Problem Based Learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau?, (2) Bagaimanakah tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL)? B. LANDASAN TEORI Hakikat Matematika Matematika menurut pandangan Riedesel dkk (dalam Gunantara dkk, 2014:3) adalah sebagai berikut: 3 1. Matematika merupakan Problem Posing dan Problem Solving. Dalam kegiatan matematika, pada dasarnya anak akan berhadapan dengan dua hal yakni masalah-masalah apa yang mungkin muncul atau disajikan dari sejumlah fakta yang dihadapi (Problem Posing) serta bagaimana menyelesaikan masalah tersebut (Problem Solving) 2. Matematika merupakan cara dan alat berfikir. Karena cara berpikir yang dikembangkan dalam matematika menggunakan kaidah-kaidah penalaran yang konsisten dan akurat, maka matematika dapat digunakan sebagai alat berpikir yang sangat efektif untuk memandang berbagai permasalahan 3. Matematika merupakan pengetahuan yang berkembang secara dinamik. Perubahan pandangan ini telah berimplikasi pada berubahnya aspek pedagogis dalam pembelajaran yang lebih menekankan pada matematika sebagai pemecahan masalah dan pengembangan kemampuan berpikir matematika. Sedangkan menurut Ebbut dan Straker (dalam Kudsiah, 2013:1) “matematika adalah kegiatan penelusuran pola dan hubungan; kreatifitas yang memerlukan imajinasi, intuisi, dan penemuan; dan kegiatan pemecahan masalah.” Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa matematika merupakan alat berfikir yang berkembang secara dinamik dalam memecahkan masalah. Kemampuan Pemecahan Masalah 1. Masalah Matematika Dalam belajar matematika pada umumnya yang dianggap masalah bukanlah soal yang biasa dijumpai siswa, Hudoyo (dalam Widjajanti, 2009:403) menyatakan bahwa soal/pertanyaan disebut masalah tergantung kepada pengetahuan yang dimiliki penjawab. Bagi seseorang pertanyaan itu dapat dijawab dengan menggunakan prosedur rutin, namun bagi orang lain untuk menjawab pertanyaan tersebut memerlukan pengorganisasian pengetahuan yang telah dimiliki secara tidak rutin. Ruseffendi (2006:355) mendefinisikan masalah dalam matematika sebagai suatu persoalan yang siswa sendiri mampu menyelesaikannya tanpa menggunakan cara atau algoritma yang rutin. Sedangkan Polya (dalam Kadir, 2010:36) menyatakan bahwa dalam matematika terdapat dua macam masalah yaitu: masalah menentukan dan masalah membuktikan. Tujuan masalah menemukan adalah menemukan suatu objek tertentu yang tidak diketahui masalah. Sedangkan tujuan masalah membuktikan adalah untuk menunjukkan kebenaran atau kesalahan suatu pernyataan. Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa masalah matematika adalah suatu soal atau pertanyaan yang menantang untuk diselesaikan atau dijawab, dan prosedur penyelesaiannya tidak dapat dilakukan secara rutin atau nonrutin. 2. Pemecahan Masalah Pemecahan masalah merupakan bagian dari kurikulum matematika yang sangat penting karena dalam proses pembelajaran maupun penyelesaiannya, siswa dimungkinkan memperoleh pengalaman menggunakan pengetahuan serta keterampilan yang sudah dimiliki untuk diterapkan pada pemecahan masalah yang bersifat tidak rutin. “Pemecahan masalah berarti keikutsertaan dalam suatu tugas yang metode pemecahannya tidak diketahui sebelumnya. Agar menemukan suatu pemecahan, para siswa mesti menarik pengetahuan yang mereka miliki, dan lewat proses ini, mereka seringkali akan membangun pemahamanpemahaman matematis baru” (Wahyudin, 2009:29). Wena (2009:52) menyebutkan bahwa “hakikat pemecahan masalah adalah melakukan operasi prosedural urutan tindakan, tahap demi tahap secara sistematis, sebagai seorang pemula (novice) memecahkan masalah”. Polya (dalam Masbied, 2011:9) mengartikan pemecahan masalah sebagai “satu usaha mencari jalan keluar dari satu kesulitan guna mencapai satu tujuan yang tidak begitu mudah segera untuk dicapai”. Selanjutnya dalam bukunya yang berjudul “How To Solve It”, Polya (1973:5-6) 4 menyebutkan ada empat langkah yang dapat dilakukan agar siswa lebih terarah dalam menyelesaikan masalah matematika, yaitu: a) Understanding the problem. Memahami istilah yang digunakan dalam masalah tersebut, merumuskan apa yang diketahui, apa yang ditanyakan, apakah informasi yang diperoleh cukup, kondisi/syarat apa saja yang harus dipenuhi dalam masalah tersebut b) Devising plan. Menemukan hubungan antara data yan diperoleh dengan hal-hal yang belum diketahui serta mencari solusi ataupun strategi pemecahan masalah c) Carrying out the plan. Menjalankan rencana guna menemukan solusi, periksa setiap langkah dengan seksama untuk membuktikan bahwa cara itu benar d) Looking back. Melakukan penilaian terhadap solusi yang didapat. Dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah adalah satu usaha mencari jalan keluar dari satu kesulitan guna mencapai satu tujuan yang tidak mudah dicapai dengan menarik pengetahuan yang dimiliki melalui tindakan, tahap demi tahap secara sistematis yang akan membangun pemahaman matematis baru. 3. Kemampuan Pemecahan Masalah Menurut Suharsono (dalam Wena, 2009:53) kemampuan pemecahan masalah sangat penting artinya bagi siswa dan masa depannya. Para ahli pembelajaran sependapat bahwa kemampuan pemecahan masalah dalam batas-batas tertentu, dapat dibentuk melalui bidang studi dan disiplin ilmu yang diajarkan. Gunantara dkk (2014:5) dalam penelitiannya mendefinisikan “kemampuan pemecahann masalah merupakan kecakapan atau potensi yang dimiliki siswa dalam menyelesaikan permasalahan dan mengaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari”. Sedangkan Polya (dalam Gunantara dkk, 2014:4) kemampuan pemecahan masalah adalah “proses yang ditempuh oleh seseorang untuk menyelesaikan masalah yang dihadapinya sampai masalah itu tidak lagi menajdi masalah baginya”. Berdasarkan uraian di atas, maka kemampuan pemecahan masalah adalah kemampuan atau potensi yang dimilili seseorang dalam menyelesaikan masalah serta mengaplikannya dalam kehidupan sehari-hari sampai masalah itu tidak lagi menjadi masalah baginya. Adapun indikator-indikator yang menunjukkan kemampuan pemecahan masalah matematika menurut Polya (dalam Hoseana, 2012:4) yaitu sebagai berikut: a) Memahami permasalahan b) Merancang suatu strategi penyelesaian masalah c) Melaksanakan strategi atau melakukan perhitungan d) Meninjau kembali atau mengembangkan. Schoen dan Ochmke (dalam Fauziah, 2010:40) mengemukakan bahwa pemberian skor pemecahan masalah dalam penelitiannya, mengacu pada pedoman penskoran seperti berikut: Pedoman Penskoran Kemampuan Pemecahan Masalah Skor Memahami Masalah 0 Salah menginterprestasikan/ salah sama sekali 1 Salah menginterprestasikan sebagian soal, mengabaikan 2 Memahami masalah soal Membuat Rencana Pemecahan Tidak ada rencana, membuat rencana yang tidak relevan Membuat rencana pemecahan yang tidak dapat dilaksanakan, segingga tidak dapat dilaksanakan Membuat rencana yang Melakukan Perhitungan Tidak melakukan perhitungan Melaksanakan prosedur yang benar dan mungkin menghasilkan jawaban yang benar tapi salah perhitungan Melakukan proses yang Memeriksa Kembali Hasil Tidak ada pemeriksaan atau tidak ada keterangan lain Ada pemeriksaan tetapi tidak tuntas Pemeriksaan 5 Skor Memahami Masalah selengkapnya 3 - 4 - Skor maksimal 2 Membuat Rencana Pemecahan benar tetapi salah dalam hasil/tidak ada hasil Membuat rencana yang benar, tetapi tidak lengkap Membuat rencana sesuai dengan prosedur dan mengarah pada solusi yang benar Skor maksimal 4 - Memeriksa Kembali Hasil dilaksanakan untk melihat hasil kebenaran proses - - - Skor maksimal 2 Skor maksimal 2 Melakukan Perhitungan benar dan mendapatkan hasil yang benar (Sumber: Schoen dan Ochmke (dalam Fauziah, 2010:40)) Sedangakan tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa dapat diukur menggunakan kriteria tingkat kemampuan pemecahan masalah berikut: Kriteria Tingkat Kemampuan Pemecahan Masalah Rentang Kriteria 39 – 51 Sangat tinggi 26 – 38 Tinggi 13 – 25 Cukup 0 – 12 Rendah (Modifikasi dari Djaali & Pudji Mulyono, 2008:105) Problem Based Learning (PBL) Menurut Sanjaya (2011:214) Pembelajaran Berbasis Masalah atau Problem Based Learning (PBL) dapat diartikan “sebagai rangkaian aktivitas pembelajaran yang menekankan kepada proses penyelesaian masalah yang dihadapi secara ilmiah”. Sedangkan menurut Gunantara dkk (2014:2) “Problem Based Learning (PBL) merupakan model pembelajaran yang melibatkan siswa dalam memecahkan masalah dunia nyata”. Dari pendapat-pendapat di atas dapat ditarik kesimpulan Problem Based Learning (PBL) adalah pembelajaran yang menggunakan masalah dunia nyata dan penyelesaiannya menekankan kepada proses penyelesaian ilmiah supaya siswa dapat berpikir kritis dan terampil dalam memecahkan masalah. Berdasarkan beberapa pendapat (Kemendikbud, 2014:59 : Hosnan, 2014:301), Langkahlangkah Problem Based Learning (PBL) adalah sebagai berikut: 1. Orientasi siswa pada masalah. Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan teknik yang dibutuhkan, memotivasi siswa agar terlibat aktif dalam pemecahan masalah yang dipilih 2. Mengorganisasikan siswa untuk belajar. Guru membentuk kelompok belajar siswa, membagikan masalah dan membantu siswa mendefinisikan serta mengorganisasikan tugas belajar yang berhubungan dengan masalah tersebut 3. Membimbing penyelidikan individu dan kelompok. Siswa didorong untuk mengumpulkan informasi yang sesuai, melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalahnya 4. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya. Siswa dibantu guru merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai, seperti laporan, video, dan model serta berbagi tugas dengan temannya 6 5. Menganalisa dan mengevaluasi proses pemecahan masalah. Salah satu kelompok diminta mempresentasikan hasil kerja kemudian secara bersama-sama melakukan refleksi dan evaluasi terhadap proses-proses yang telah digunakan. C. METODE PENELITIAN Jenis penelitian ini adalah true experimental design. Desain eksperimen yang digunakan berbentuk random, pre-test, post-test design. Variabel bebas dalam penelitian ini adalah model Problem Based Learning (PBL) dan model konvensional. Sedangkan variabel terikat dalam penelitian ini adalah kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau tahun pelajaran 2015/2016. Dari sepuluh kelas, diambil dua kelas secara acak dengan cara diundi. Berdasarkan hasil pengundian, terpilih sampel penelitian yaitu kelas X.6 dan X.7. Kelas X.6 diberi perlakuan dengan model Problem Based Learning (PBL) selanjutnya disebut kelas eksperimen, dan kelas X.7 diberikan perlakuan oleh guru bidang studi menggunakan model pembelajaran konvensional selanjutnya disebut kelas kontrol. Penelitian ini menggunakan instrument berupa tes uraian sebanyak lima soal. Tes dilakukan untuk mengetahui tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Tes dilakukan sebanyak dua kali yaitu tes awal dan tes akhir pada kelas eksperimen dan kelas kontrol. Hipotesis yang dikaji dalam penelitian ini adalah “Ada pengaruh yang signifikan model Problem Based Learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X XMA Negeri 2 Lubuklinggau”. D. HASIL DAN PEMBAHASAN Berdasarkan data tes awal diperoleh skor rata-rata kemampuan awal kelas eksperimen 18,97 dan skor rata-rata kelas kontrol 18,39. Sehingga secara deskriptif dapat disimpulkan bahwa kemampuan awal siswa antara kelas eksperimen dengan kelas kontrol sebelum diberikan perlakuan menggunakan model Problem Based Learning (PBL) hampir sama. Begitupun dengan analisis uji data tes awal diperoleh . Nlai pada taraf signifikan α = 0,05 dan dk = 71 adalah diterima. Dengan demikian tidak ada perbedaan . Hal ini berarti yang signifikan rata-rata kemampuan awal siswa antara kelas eksperimen dan kelas kontrol. Sedangkan tingkat kemampuan awal siswa baik pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol berada pada kriteria rendah pada rentang 13-25. Berdasarkan data tes akhir diperoleh skor rata-rata kemampuan akhir kelas eksperimen 34,11 dan skor rata-rata kelas kontrol 23,64. Sehingga secara deskriptif dapat disimpulkan bahwa kemampuan akhir siswa kelas eksperimen setelah diberikan perlakuan menggunakan model Problem Based Learning (PBL) lebih besar dari kelas kontrol yang mendapatkan perlakuan menggunakan model pembelajaran konvensional. Berdasarkan analisis data hasil tes akhir menunjukkan nilai , sehingga dapat disimpulkan ditolak dan diterima. Dengan demikian hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini terbukti, yaitu ada pengaruh yang signifikan model Problem Based Learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau. Sedangkan untuk tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) memiliki kriteria tinggi pada rentang 26-38. Tingkat Kemampuan Pemecahan Masalah Tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa dapat dilihat dari skor rata-rata hasil tes awal dan tes akhir pada kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Berdasarkan hasil analisis tes awal, diperoleh skor rata-rata kelas eksperimen sebesar 18,97, sedangkan skor rata-rata kelas 7 kontrol sebesar 18,39. Merujuk pada kriteria tingkat kemampuan pemecahan masalah pada tabel 3.3, maka tingkat kemampuan pemecahan masalah kelas eksprimen dan kelas kontrol berada pada rentang 13 – 25 dengan kriteria rendah. Selanjutnya pada kelas eksperimen diberikan perlakuan menggunakan model Problem Based Learning (PBL) oleh peneliti, yang mana dalam pembelajaran tersebut siswa dilatih untuk mampu menyelesaikan masalah matematika. Sedangkan pada kelas kontrol siswa diberikan perlakuan menggunakan pembelajaran konvensional oleh guru bidang studi. Berdasarkan hasil analisis tes akhir diperoleh skor rata-rata kelas eksperimen sebesar 34,11 dan skor rata-rata kelas kontrol sebesar 23,64. Merujuk pada kriteria tingkat kemampuan pemecahan masalah pada tabel 3.3, maka tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) pada kelas eksperimen berada pada rentang 26 – 38 dengan kriteria tinggi. Sedangkan tingkat kemampuan pemecahan masalah siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) pada kelas kontrol berada pada rentang 13 – 25 dengan kriteria cukup. Pembahasan Berdasarkan penelitian yang dilakukan di SMA Negeri 2 Lubuklinggau dari tanggal 28 Juli 2015 s.d. 28 Agustus 2015, penggunaan model Problem Based Learning (PBL) dapat dijadikan alternatif sebagai model pembelajaran yang dapat digunakan oleh guru dalam proses belajar mengajar di kelas. Pada penelitian ini, peneliti mengajar pada kelas eksperimen yaitu kelas X.6 yang berjumlah 39 siswa dengan menggunakan model Problem Based Learning (PBL), sedangkan kelas kontrol yaitu kelas X.7 yang berjumlah 40 siswa diajar oleh guru bidang studi menggunakan model pembelajaran konvensional. Hasil penelitian mengungkapkan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan skor rata-rata tes awal siswa kedua kelas, yaitu kelas eksperimen dan kelas kontrol sebelum diberikan perlakuan yang berbeda. Hal ini dapat dilihat dari skor rata-rata tes awal siswa kelas eksperimen sebesar 18,97 dan pada kelas kontrol 18,39. Tidak adanya perbedaan kemampuan awal siswa kedua kelas tersebut dibuktikan dengan hasil uji kesamaan dua rata-rata yang mana nilai . Pada saat dilaksanakan tes awal, masih terdapat kesalahan pada lembar jawaban siswa baik kelas eksperimen maupun kelas kontrol. Oleh karena itu skor yang diperoleh siswa saat dilaksanakan tes awal masih rendah. Hal ini dikarenakan siswa belum pernah diberikan soal berbentuk masalah pada materi Sistem Persamaan Linier Dua Variabel (SPLDV). Berdasarkan skor hasil tes awal (lampiran C) dari lima soal yang diberikan siswa belum mampu menjawab soal dengan benar. Dari kelima soal tersebut rata-rata siswa hanya mampu menjawab soal nomor 1, 2, dan 4, itupun belum mencapai skor maksimal. Penyebab utamanya adalah kesulitan siswa dalam membuat model matematika dari masalah yang diberikan, sehingga perhitunganpun tidak dapat dilakukan dengan benar. Pelaksanaan pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) dilakukan dengan cara berkelompok. Mengawali pembelajaran peneliti menjelaskan tujuan pembelajaran dan menjelaskan langkah-langkah pembelajaran menggunakan model Problem Based Learning (PBL). Tahap selanjutnya adalah pembentukan kelompok belajar, terbentuk 6 kelompok yang terdiri dari 6 orang siswa dan ada tiga kelompok yang berjumlah 7 orang siswa yang heterogen. Kemudian masing-masing kelompok mendapatkan soal berbentuk masalah untuk diselesaikan dengan cara berdiskusi kelompok. Selama siswa berdiskusi peneliti terus memberikan motivasi supaya siswa mengumpulkan informasi sesuai dengan masalah yang dipilih. Setelah siswa selesai berdiskusi dan menemukan solusi masalah, peneliti membimbing siswa untuk mempersiapkan jawabannya untuk 8 dipresentasikan. Kemudian salah satu kelompok dipersilahkan untuk mempresentasikan solusi dari masalah yang dipilih ke depan kelas, selanjutnya secara bersama-sama mengevaluasi proses pembelajaran yang telah dilalui. Pertemuan pertama dilaksanakan tanggal 6 Agustus 2015. Pada pertemuan pertama terdapat beberapa hambatan, diantaranya adalah pada saat pembagian kelompok. Kegaduhan terjadi di dalam kelas, karena beberapa siswa merasa kurang cocok dengan teman kelompoknya dan hal ini tentu sangat menyita waktu pembelajran. Selanjutnya siswa masih bingung dalam menghadapi masalah yang diberikan, ini dikarenakan siswa belum terbiasa menyelesaikan soal dengan bentuk demikian. Selain itu siswa juga masih belum percaya diri dalam mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya. Hal ini tentu saja karena siswa masih belum terbiasa belajar menggunakan model Problem Based Learning (PBL) sehingga diperlukan penyesuaian. Pada pertemuan pertama ini tidak ada satu kelompokpun yang dapat menyelesaikan masalah, kendalanya adalah siswa belum mampu membuat model matematika dari masalah yang diberikan. Pertemuan kedua dilaksanakan tanggal 8 Agustus 2015. Indikator yang harus dicapai siswa adalah menentukan penyelesaian model matematika dari masalah yang berhubungan dengan sistem persamaan linier dengan menggunakan metode eliminasi. Pada pertemuan kedua ini terjadi perkembangan, ini karena siswa tidak perlu lagi membentuk kelompok belajar karena kelompok telah dibentuk pada pertemuan pertama. Siswa juga sudah mulai terbiasa dengan teman kelompoknya, sehingga ketika masalah diberikan siswa sudah mulai aktif untuk berdiskusi satu sama lain dalam kelompoknya. Siswa juga mulai percaya diri dalam mempresentasikan hasil diskusi kelompoknya, dan ketika jawaban yang dipresentasikan belum benar tanpa ragu siswa menanyakan letak kekeliruan mereka. Pada pertemuan kedua, kelompok yang mampu menyelesaikan masalah ada tiga kelompok. Sementara kelompok lainnya masih mengalami kebingungan dalam membuat model matematika dan tahapan-tahapan pemecahan masalah. Hal ini sejalan dengan beberapa kelebihan model Problem Based Learning (PBL) menurut Sanjaya (2011:220), diantaranya pemecahan masalah dapat mengembangkan kemampuan siswa untuk berpikir kritis dan mengembangkan kemampuan mereka untuk menyelesaikan dengan pengetahuan baru. Pemecahan masalah juga dapat memberikan kesempatan pada siswa untuk mengaplikasikan pengetahuan yang mereka miliki dalam dunia nyata. Pertemuan ketiga dilaksanakan tanggal 12 Agustus 2015. Indikator yang harus dicapai siswa adalah menentukan penyelesaian model matematika dari masalah yang berhubungan dengan sistem persamaan linier dengan menggunakan metode substitusi. Pada pertemuan ketiga ini siswa tampak semakin bersemangat dalam mengikuti pembelajaran. Hampir tidak ada lagi hambatan dalam proses pembelajaran, siswa semakin aktif berdiskusi bersama teman kelompoknya. Ketika presentasipun hampir semua kelompok berebut untuk maju, mengatasi hal ini peneliti memberikan kesempatan pada kelompok yang belum mendapat kesempatan maju pada pertemuan sebelumnya. Pada pertemuan ketiga, kelompok yang mampu menyelesaikan masalah ada lima kelompok. Walaupun sebagian besar kelompok sudah mampu menyelesaikan masalah, namun skor yang diperoleh belum mencapai skor maksimal. Ini dikarenakan siswa tidak mengikuti tahapan-tahapan pemecahan masalah dengan benar, misalnya ketika mengidentifikasi masalah, dan membuat perencanaan. Meskipun demikian, tetap saja masih ada siswa yang enggan terlibat dalam diskusi kelompok. Siswa tersebut hanya duduk saja dalam kelompoknya tanpa memperhatikan teman lainnya berdiskusi. Ini seperti menunjukkan bahwa kelemahan model Problem Based Learning (PBL) menurut (Sanjaya, 2011:221) bahwa manakala siswa tidak memiliki minat atau tidak mempunyai kepercayaan bahwa masalah yang dipelajari sulit untuk dipecahkan, maka mereka akan merasa enggan untuk mencoba, memang benar adanya. Peneliti sudah berusaha untuk mencoba mengatasi hal ini dengan cara penndekatan dan memotivasi siswa yang bersangkutan, 9 namun siswa tersebut tetap enggan untuk berdiskusi, dengan kata lain hanya duduk saja bahkan terakadang tidur di belakang kelas. Ketika peneliti coba diskusikan dengan guru bidang studi dan beberapa teman sekelasnya, ternyata bukan hanya pada mata pelajaran matematika dan saat peneliti mengadakan penelitian saja siswa tersebut berperilaku demikian, namun juga pada mata pelajaran lain. Bahkan pada mata pelajaran lain, terkadang siswa tersebut tidak masuk kelas. Untuk tigkat kemampuan pemecahan masalah siswa sebelum dan sesudah diberikan perlakuan model Problem Based Learning (PBL) pada kelas eksperimen mengalami peningkatan, ini dapat dilihat berdasarkan perolehan skor rata-rata kelas eksperimen pada tes awal sebesar 18, 97, sedangkan skor rata-rata pada tes akhir sebesar 34,11. Begitupun dengan kelas kontrol, perolehan skor rata-rata tes awal sebesar 18, 39 dan skor rata-rata tes akhir sebesar 23, 64. Merujuk pada kriteria kemampuan pemecahan masalah pada tabel 3.3, maka tingkat kemampuan pemecahan masalah pada tes awal kelas eksperimen dan kelas kontrol berada pada rentang yang sama yaitu dalam rentang 13 – 25 dengan kriteria cukup. Sedangkan tingkat kemampuan pemecahan masalah pada tes akhir kelas eksperimen lebih meningkat dari pada kelas kontrol, yaitu pada rentang 26 – 38 dengan kriteria tinggi. Tingkat kemampuan pemecahan masalah pada tes akhir kelas kontrol tidak mengalami peningkatan, yaitu berada pada rentang 13 – 25 dengan kriteria cukup. Setelah melaksanakan pembelajaran dilaksanakan tes akhir pada tanggal 13 Agustus 2015 untuk melihat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa. Berdasarkan hasil tes akhir pada kelas eksperimen diperoleh skor rata-rata kemamuan pemecahan masalah sebesar 34,11 dengan kriteria tinggi, sedangkan hasil tes akhir pada kelas kontrol diperoleh skor rata-rata kemampuan pemecahan masalah sebesar 23,64 dengan kriteria cukup. Berdasarkan hasil skor rata-rata antara kelas eksperimen dan kelas kontrol ternyata skor rata-rata kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol. Hal ini dikarenakan kelas eksperimen menggunakan model Problem Based Learning (PBL) sedangkan pada kelas kontrol menggunakan model pembelajaran konvensional. Berdasarkan hasil analisis tes akhir siswa pada kelas eksperimen, dari 35 siswa untuk kemampuan memahami masalah sebanyak 23 siswa (65%), yang menguasai, kemampuan membuat perencanaan 10 siswa (28%), kemampuan melakukan perhitungan 32 siswa (91%), dan kemampuan memeriksa kembali atau membuktikan 29 siswa (82%). Selain dari jumlah siswa yang disebutkan di atas, siswa masih mengalami kekeliruan baik dalam penulisan maupun perhitungan. Oleh karena itu skor kemampuan pemecahan masalah siswa secara umum belum maksimal. Sedangkan hasil analisis tes akhir pada kelas kontrol, dari 36 siswa untuk kemampuan memahami masalah sebanyak 13 siswa (36%), yang menguasai kemampuan membuat rencana 6 siswa (17%), kemampuan melakukan perhitungan 27 siswa (75%), dan kemampuan memeriksa kembali atau membuktikan 23 siswa (63%). Setelah dilakukan uji hipotesis dengan uji dengan dan dk = 69 diperoleh dengan nilai . Ini menunjukkan bahwa hipotesis dalam penelitian ini diterima yaitu ada pengaruh yang signifikan model Problem Based Learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan matematika siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau. Sedangkan untuk tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) memiliki kriteria tinggi. Terbuktinya hipotesis dalam penelitian ini diperkuat dengan penelitian dari Kudsiah (2003) yang bertujuan untuk mendeskripsikan pengaruh pembelajaran berbasis masalah terhadap sikap dan kemampuan memecahkan masalah. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa terdapat pengaruh pembelajaran berbasis masalah terhadap kemampuan memecahkan masalah 10 matematika. Uji hipotesis menunjukkan bahwa pada taraf signifikansi 5%. = 2,28, lebih besar dari pada = 2,021 E. SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan dapat disimpulkan bahwa ada pengaruh yang signifikan model Problem Based Learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau dengan perolehan skor rata-rata sebesar 34,11. Sedangkan tingkat kemampuan pemecahan masalah matematika siswa kelas X SMA Negeri 2 Lubuklinggau setelah mengikuti pembelajaran dengan model Problem Based Learning (PBL) berada pada rentang 26 – 38 dengan kriteria tinggi. Saran Berdasarkan hasil penelitian dan kesimpulan di atas, maka penulis mengemukakan saransaran sebagai berikut: 1. Kepada pendidik dapat menggunakan model Problem Based Learning (PBL) sebagai alternatif untuk dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa 2. Untuk sekolah agar dapat mengoptimalkan kegiatan proses belajar mengajar dengan menggunakan model Problem Based Learning (PBL), hendaknya menyediakan lebih banyak lagi referensi sehingga memudahkan siswa dalam menggali informasi dalam memecahkan masalah 3. Bagi siswa supaya memperoleh skor maksimal, hendaknya melaksanakan tahapan-tahapan pemecahan masalah dengan benar 4. Penelitian ini dilaksanakan dalam waktu yang relatif singkat, maka diharapkan pada penelitian selanjutnya penelitian dilakukan dalam waktu yang lebih lama agar medapatkan hasil yag lebih baik, dalam hal ini adalah melatih dan menegaskan siswa agar terbiasa dalam membuat perencanaan khususnya dalam menuliskan langkah-langkah perencanaan penyelesaian masalah. DAFTAR PUSTAKA Abdurrahman, Mulyono. 2012. Anak Berkesulitan Belajar: Teori, Diagnosis, dan Remediasinya. Jakarta: Rineka Cipta. Djaali dan Pudji Mulyono. 2008. Pengukuran dalam Bidang Pendidikan. Jakarta: Grasindo. Effendi, Moh. Mahfud. 2010. Prinsip Kurikulum Matematika Sekolah: Kajian Orientasi Pengembangan. Artikel tidak diterbitkan. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika FKIP UMM. Malang: Universitas Muhammadiyah Malang. Fauziah, Anna. 2010. Peningkatan Kemampuan Pemahaman dan Pemecahan Masalah Matematika Siswa AMP Melalui Strategi REACT (Relating, Expperiencing, Applying, Cooperating, Transfering). Forum Kependidikan, 30 (1). Gunantara, dkk. 2014. Penerapan Model Pembelajaran Problem Based Learning Untuk Meningkatkan Kemampuan Pemecahan Masalah Matematika Siswa Kelas V SD Negeri 2 Sepang. Jurnal Mimbar PGSD Universitas Pendidikan Ganesha Jurusan PGSD, 2 (1). Hoseana. 2012. Sukses Juara Olimpiade Matematika. Jakarta: PT. Grasindo. Hosnan. 2014. Pendekatan Saintifik dan Kontekstual di dalam Pembelajaran Abad 21. Bogor: Graha Indonesia. 11 Kemendikbud. 2014. Materi Pelatihan Guru: Implementasi Kurikulum 2013 Tahun Pelajaran 2014/2015. Jakarta: Badan Pengembangan Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan dan Penjaminan Mutu Pendidikan. Kudsiah, Musabihatul. 2013. Pengaruh Pembelajaran Berbasis Masalah terhadap Sikap dan Kemampuan Memecahkan Masalah Matematika Siswa Kelas V Gugus 3 Suralaga Tahun Pelajaran 2012/2013. Jurnal Program Pascasarjana Universitas Pendidikan Ganesha Program Studi Pendidikan Dasar, (3). Masbied. 2011. Teori Pemecahan Masalah Polya dalam Pembelajaran Matematika. Modul tidak diterbitkan. Ruseffendi. 2006. Pengantar Kepada Guru Mengembangkan Kompetensinya dalam Pengajaran Matematika untuk Meningkatkan CBSA. Bandung: Tarsito. Sanjaya, Wina. 2011. Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan. Jakarta: Kencana. Sari, Maharani Kartika. 2011. Profil Kesulitan Siswa Kelas VIII dalam Memecahkan Masalah Matematika pada Materi Pokok Sistem Persamaan Linier Dua Variabel. Tesis tidak diterbitkan. Malang: FKIP Universitas Sebelas Maret. Suherman, Erman, dkk. 2001. Common Text Book Strategi Pembelajaran Matematika Kontemporer. Bandung: JICA- Universitas Pendidikan Indonesia (UPI). Polya, George. 1973. How to Solve It. New Jersey: Princeton University Press. Wahyudin. 2008. Pembelajaran dan Model-model Pembelajaran: Pelengkap untuk Meningkatkan Kompetensi Pedagogis Para Guru dan Calon-guru Profesional. Modul tidak diterbitkan. Wena, Made. 2009. Strategi Pembelajaran Inovatif Kontemporer. Jakarta: Bumi Aksara. Widjajanti, Djamilah Bondan. 2009. Kemampuan Pemecahan Masalah Matematis Mahasiswa Calon Guru Matematika: Apa dan Bagaimana Pengembangannya. Artikel tidak diterbitkan. Seminar Nasional Matematika dan Pendidikan Matematika Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY. Jurusan FMIPA. Yogyakarta: Universitas Negeri Yogyakarta.