BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga perwakilan rakyat memiliki kedudukan yang sangat penting sesuai dengan prinsip demokrasi yang kita anut. Demokrasi modern yang hanya dapat dilakukan melalui sistem demokrasi perwakilan membutuhkan adanya lembaga perwakilan yang bertindak untuk dan atas nama rakyat yang memilihnya. Demokrasi dalam arti pemerintahan oleh rakyat dilaksanakan terutama oleh DPR yang anggota-anggotanya dipilih dari rakyat dan untuk kepentingan rakyat. Karena itu, DPR memiliki fungsi dan hak yang sangat menentukan penyelenggaraan negara dan pembangunan lima tahun yang akan datang. DPR juga dapat dikatakan memiliki hubungan tersendiri dengan pemilih jika dibandingkan dengan anggota DPR sebelumnya. hal itu terkait dengan mekanisme penentuan calon terpilih berdasarkan suara terbanyak, berbeda dengan sistem sebelumnya yang lebih ditentukan oleh nomor urut walaupun dikombinasikan dengan capaian bilangan pembagi pemilih. Secara umum DPR memiliki tiga fungsi konstitusional, yaitu fungsi legislasi, fungsi penganggaran, dan fungsi pengawasan. Ketiga fungsi tersebut adalah konsekuensi dari kedudukan DPR sebagai lembaga perwakilan rakyat dalam penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan. Fungsi legislasi adalah fungsi dalam pembuatan Undang-Undang. Fungsi ini merupakan perwujudan dari kedudukan DPR sebagai pemegang kekuasaan membentuk Undang-undang. Kedudukan DPR memiliki kekuasaan sebagai pembentuk undang-undang tertuang dalam pasal 20 ayat (5) Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia, disamping itu DPR juga mempunyai fungsi pengawasan yang merupakan suatu indikator dari pelaksanaan kedaulatan rakyat1. Dalam kenyataannya terjadi suatu fenomena melemahnya pelaksanaan fungsi pengawasan tersebut dan hal ini menjadi perhatian dari kalangan politikus, negarawan dan ahli hukum. dimana secara formal sebenarnya DPR telah memiliki dasar atau landasan untuk melaksanakan fungsi pengawasan tersebut. Selain itu, seringkali substansi suatu peraturan Perundang-Undangan tidak sesuai dengan hirarki atau tata urutan yang telah ditentukan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimana prinsip dari pembentukan suatu Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan yang tingkatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan PerundangUndangan yang tingkatnya lebih tinggi. Satu contoh yang hingga sekarang masih dipertanyakan misalnya, Peraturan Pemerintah No. 41 Tahun 1996 tentang Pemilikan Tempat Tinggal atau Hunian oleh orang asing yang berkedudukan di Indonesia, yang mana substansi dari UndangUndang tersebut jika disimak lebih dalam maka sangat jelas Peraturan ini 1 Sofian Effendi,1989, “Hambatan Struktural Pengawasan Legislatif”, Prisma Nomor 6 Tahun 2000, h.35 bertentangan dengan Undang-Undang No. 5 Tahun 1960, tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria yang mana UUPA tersebut tidak memberikan hak warga Negara asing memiliki hak guna bangunan atas tanah di Indonesia. disamping itu dapat diketahui bahwa Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1996, orang asing diijinkan memiliki rumah di Indonesia, sedangkan dalam UUPA tidak memberi peluang bagi orang asing untuk memiliki hak milik di Indonesia (hanya hak pakai). Ilustrasi tersebut menjadi suatu pertanyaan bagi masyarakat dan/atau akademisi dimana letak fungsi pengawasan DPR saat ini. Untuk melaksanakan kedaulatan rakyat atas dasar kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, perlu mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat, dan lembaga perwakilan daerah yang mampu mengejawantahkan nilai-nilai demokrasi serta menyerap dan memperjuangkan aspirasi rakyat dan daerah sesuai dengan tuntutan perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara. Untuk mewujudkan lembaga permusyawaratan rakyat, lembaga perwakilan rakyat dan lembaga perwakilan daerah sehingga perlu menata Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah sudah tidak sesuai dengan perkembangan hukum dan kebutuhan hukum masyarakat sehingga kemudian diganti dengan ditetapkannya Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (selanjutnya disebut UU MD3). Menurut ketentuan yang diatur dalam Pasal 1 angka 2 UU MD3 menyatakan bahwa : “Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disingkat DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.” Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia dalam sistem politik dan sistem pemerintahan Negara Republik Indonesia merupakan salah satu lembaga Negara dan sebagai wahana melaksanakan demokrasi Pancasila. Dalam sistem pemerintahan demokrasi, Lembaga perwakilan rakyat merupakan perangkat kenegaraan yang sangat penting disamping perangkat-perangkat kenegaraan yang lain, baik yang bersifat infra struktur maupun supra struktur politik. setiap pemerintahan yang menganut sistem demokrasi selalu didasari suatu ide bahwa warga negara seharusnya dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan politik. dalam sistem pemerintahan yang demokratis, konsep kedaulatan ini sangat menentukan untuk dijadikan sebagai parameter, dalam sistem tersebut dinyatakan bahwa tidak ada kekuasaan mutlak dan semua keputusan politik harus mendapatkan persetujuan dari rakyat secara langsung maupun tidak langsung melalui sistem perwakilan. Berbagai macam fenomena yang terjadi akhir-akhir ini yang tidak lain adalah terjadi peningkatan masalah penyelewengan, kolusi dan korupsi. penyelewengan yang dimaksud bukan hanya dalam hal keuangan, terlebih lagi dalam hal kekuasaan. Hal ini dapat dilihat dari salah satu contoh konkrit, dimana lembaga Eksekutif dalam menentukan kebijaksanaannya yang dituangkan dalam berbagai peraturan perundangundangan seringkali dipengaruhi oleh kelompok tertentu guna memperlancar usahausaha kelompok tertentu tersebut tanpa memperhatikan kepentingan rakyat. Selain itu, seringkali substansi suatu peraturan Perundang-Undangan tidak sesuai dengan hirarki atau tata urutan yang telah ditentukan dalam Undang-Undang No. 10 Tahun 2004, tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dimana prinsip dari pembentukan suatu Peraturan Perundang-Undangan adalah peraturan yang tingkatnya lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan Peraturan Perundang-Undangan yang tingkatnya lebih tinggi. Mengingat adanya perubahan Undang-Undang Dasar 1945 khususnya Pasal 20 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945, yang menentukan bahwa “DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang,” maka itu diperlukan Undang-Undang yang mengatur mengenai pembentukan Peraturan Perundang-Undangan sebagai landasan yuridis dalam pembentuk Peraturan Perundang-Undangan baik ditingkat pusat maupun di daerah. sekaligus mengatur secara lengkap dan terpadu baik mengenai asas, jenis, dan materi muatan Peraturan Perundang-Undangan. persiapan, pembahasan dan pengesahan pengundangan, penyebarluasan maupun partsipasi masyarakat. Demikian pula Pasal 20 A ayat (1) bahwa Dewan perwakilan rakyat memiliki fungsi legislasi, fungsi anggaran dan fungsi pengawasan. Tetapi dalam menjalankan fungsi Legislasi DPR terhadap pelaksanaan Undang-Undang selalu berbentur dengan berbagai macam kendala atau hambatan-hambatan dalam menjalankan fungsinya. Dalam pembentukan undang-undang yang dibahas dengan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama. Dalam proses membentuk Undang-Undang ini, Dewan Perwakilan Rakyat membahas Rancangan Undang-Undang ( RUU ) yang diajukan oleh Presiden ataupun atas inisiatif DPR sendiri. Pasca perubahan UUD Negara RI Tahun 1945, DPR juga membahas RUU yang berasal dari inisiatif DPD terutama yang berkaitan dengan otonomi daerah. dimana dalam proses pembentukan Undang-Undang tersebut, DPR dan Presiden; secara bersama-sama melakukan pembahasan terhadap RUU yang diajukan. ( Pasal 20 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945 ). dan dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib diundangkan ( Pasal 20 ayat (5) UUD Negara RI Tahun 1945 ). Untuk memenuhi kebutuhan masyarakat atas peraturan perundang-undangan yang baik, perlu dibuat peraturan mengenai pembentukan peraturan perundangundangan yang dilaksanakan dengan cara dan metode yang pasti, baku dan standar yang mengiat semua lembaga yang berwenang membentuk peraturan perundangundangan. Dalam Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan masih terdapat kekurangan dan belum dapat menampung perkembangan kebutuhan masyarakat mengenai aturan pembentukan peraturan Perundang-undangan yang baik, sehingga perlu diganti. Pemerintah kemudian menetapkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (selanjutnya disebut UU No. 12 Tahun 2011) sebagai pengganti dari Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Dengan diberlakukannya undang-undang ini tentunya juga berpengaruh terhadap kewenangan dari DPR untuk membentuk undang-undang. Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis buatlah kajian skripsi dengan judul KONSEKUENSI RANCANGAN UNDANG-UNDANG INISIATIF DEWAN PERWAKILAN RAKYAT YANG TIDAK MENDAPAT PENGESAHAN DARI PRESIDEN. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang masalah diatas, maka ada beberapa masalah yang dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana mekanisme pembentukan suatu rancangan undang-undang yang diajukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat di DPR? 2. Bagaimana konsekuensi rancangan undang-undang inisiatif DPR yang tidak mendapatkan pengesahan presiden ? 1.3 Ruang Lingkup Masalah Dalam pembahasan selanjutnya agar tidak menyimpang dari pokok permasalahan serta mengaburkan obyek yang akan dibahas, maka diperlukan adanya suatu batasan dalam pembahasan, yaitu: mekanisme pembentukan suatu rancangan undang-undang yang diajukan oleh dewan perwakilan rakyat di DPR ,konsekuensi rancangan undang-undang inisiatif DPR namun tidak mendapatkan pengesahan presiden. 1.4. Tujuan Penelitian Adapun tujuan yang ingin dicapai dalam penulisan ini yaitu sebagai berikut adalah : a. Tujuan Umum 1. Untuk melatih mahasiswa dalam usaha menyatakan pikiran ilmiah secara tertulis. 2. Untuk melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi, khususnya pada bidang penelitian yang dilakukan mahasiswa. 3. Untuk perkembangan ilmu pengetahuan hukum. 4. Untuk mengembangkan diri pribadi mahasiswa ke dalam kehidupan masyarakat. 5. b. Untuk pembulat studi mahasiswa di bidang Ilmu Hukum. Tujuan Khusus Adapun tujuan khusus dari penulisan ini, yaitu: untuk mengetahui penyusunan Legislasi nasional yang aspiratif serta untuk mengetahui sejauh mana peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembentukan Undang-Undang. 1.5. Manfaat Penelitian a. Manfaat Teoritis Penulisan ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pengetahuan dan wawasan bagi pembaca dan penulis tentang penyusunan Legislasi nasional serta peran Dewan Perwakilan Rakyat dalam pembentukan UndangUndang. b. Manfaat Praktis Penulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu rujukan dalam memecahkan masalah yang timbul dalam pelaksanaan pemerintahan khususnya terkait dengan lembaga perwakilan rakyat. 1.6. Landasan Teoritis Berbagai teori yang dipergunakan dalam penelitian ini diketengahkan teori, konsep, asas-asas hukum serta pandangan sarjana sebagai pembenaran teoritis. Pembenaran teoritik tersebut terutama berkaitan dengan hal-hal sebagai berikut: 1. Teori Negara Hukum Bagir Manan mengetengahkan ciri-ciri minimal Negara hukum sebagai berikut: 1. Semua tindakan harus berdasarkan hukum. 2. Ada ketentuan yang menjamin hak-hak dasar dan hak-hak lainnya. 3. Ada kelembagaan yang bebas untuk menilai perbuatan penguasa terhadap masyarakat (badan peradilan yang bebas). 4. Adanya pembagian kekuasaan.2 Negara Indonesia adalah Negara Hukum (rechstaat) berdasarkan Pancasila. Ini berarti bahwa setiap tindakan pemerintah dalam menjalankan tugas dan wewenangnya harus didasarkan pada norma-norma hukum yang berlaku, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Secara konstitusional Negara Indonesia adalah Negara Hukum, yang diketahui dalam Pasal 1 ayat (3) Amandemen UUD 1945 bahwa “Negara Indonesia adalah Negara hukum”. 2. Konsep Kewenangan Dalam beberapa sumber menerangkan, bahwa istilah kewenangan (wewenang) disejajarkan dengan bevoegheid dalam istilah Belanda, menurut Philipus M. Hadjon salah seorang guru besar Fakultas Hukum Unair mengatakan, bahwa “wewenang terdiri atas sekurang-kurangnya mempunyai 3 komponen, yaitu pengaruh, dasar hukum dan komformitas hukum”.3 Komponen pengaruh, bahwa penggunaan wewenang dimaksudkan untuk mengendalikan prilaku subyek hukum; dasar hukum dimaksudkan, bahwa weenang itu haruslah mempunyai dasar hukum; sedangkan komponen komformitas hukum dimaksud, bahwa wewenang itu haruslah mempunyai standar. 2 Bagir Manan; 1994, Dasar-Dasar Sistem Ketatanegaraan Indonesia Menurut UUD 1945, Makalah, Unpad, Tahun 1994-1995, Bandung, h. 19 3 Emil J. Sady, 1962, Improvement Local Government for Development Purpose, in Journal of Local Administration Overseas, h.135 Kewenangan secara teoritik dapat diperoleh melalui 3 cara, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.4 Atributie (atribusi) adalah pemberian wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintahan; Delegasi adalah pelimpahan wewenang pemerintah dari satu organ pemerintahan kepada organ pemerintahan yang lain; sedangkan mandat terjadi ketika organ pemerintahan mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya. Atmaja menjelaskan, bahwa “wewenang inilah sesungguhnya yang merupakan “legal power” yang didalamnya melekat 3 (tiga) unsur, yaitu pengaruh yang memiliki katagori yang eksklusif (keluar) wajib dipatuhi oleh orang lain dan atau pejabat serta jabatan atau lembaga lainnya, unsur dasar hukum dan unsur komformitas.5 Sementara itu menurut Philipus M. Hadjon, bahwa “cara memperoleh wewenang, yaitu melalui: atribusi dan delegasi kadang-kadang juga mandat ditempatkan sebagai cara tersendiri untuk memperoleh wewenang”.6 Sementara itu Bagir Manan menjelaskan, bahwa “wewenang dalam bahasa hukum tidak sama dengan kekuasaan (macht). Kekuasaan hanya menggambarkan hak untuk berbuat atau tidak berbuat. Dalam hukum, wewenang 4 Philipus M Hadjon,., 1991, Peradilan Tata Usaha Negara, Tantangan Awal di Awal Penerapan UU No.5 Tahun 1986, Majalah FH Unair, No.2-3, Surabaya, (selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon I) h.2. 5 Ridwan, HR., 2002, Hukum Administrasi Negara, UII-Press, Yogyakarta, h.74. Atmaja, 2003, Hukum Antar Wewenang (Konsep dan Cara Penyelesaian), FH-UNUD, Denpasar, h.5 6 sekaligus berarti hak dan kewajiban (rechten en plichten). Dalam kaitan dengan otonomi daerah, hak mengandung pengertian kekuasaan untuk mengatur sendiri (zelffregelen) dan mengelola sendiri (zelfhestuten),7 sedangkan kewajiban secara horizontal berarti kekuasaan untuk menyelenggarakan pemerintahan sebagaimana mestinya. Dalam negara hukum, wewenang pemerintahan berasal dari undangundang yang berlaku. Dengan kata lain, organ pemerintahan tidak dapat menganggap, bahwa ia memiliki sendiri wewenang pemerintahan. Sebenarnya kewenangan hanya diberikan oleh undang-undang; pembuat undang-undang dapat memberi wewenang pemerintahan, tetapi dapat juga kepada pegawai tertentu atau kepada badan khusus tertentu. Dalam konstitusi Indonesia UUD 1945 (setelah amandemen yang keempat kalinya), ditemukan beberapa pasal yang melahirkan kewenangan, baik diberikan kepada eksekutif, yudisial maupun legislatif dalam pasal-pasal tersebut. Kewenangan ditafsirkan dengan memegang kekuasaan, berhak, dapat, tidak dapat, menyatakan, mengangkat, memberi, mengatur, menyatakan, menetapkan, fungsi, dapat melakukan, kekuasaan, berwenang dan lain-lain dengan berbagai istilah, akan tetap substansi dan maksudnya sama, yaitu kewenangan atau mempunyai autority. Berdasarkan beberapa teori diatas kalau dikaitkan denganmekanisme penyaluran aspirasi masyarakat melalui DPR adalah sebagai alat sosial kontrol pemerintahan. Tetapi menyeluruh disetiap daerah yang mana diwakilkan pada 7 Ibid lembaga legislatif daerah (DPRD). DPRD memiliki kekuasaan sebagai sosial kontrol dalam pelaksanaan jalannya pemerintahan di tingkat daerah baik propinsi, Daerah Kabupaten dan Daerah Kota. DPRD berperan untuk menyerap, menghimpun, menampung dan memperjuangkan aspirasi masyarakat, agar bisa terwujudnya pemeritahan yang demokratis. DPRD memiliki peranan yang sangat penting sebagai ujung tombak penyalur aspirasi, guna menyelenggarakan Pemerintahan Daerah dan sebagai wahana untuk melakukan demokrasi berdasarkan Pancasila dengan dilandasi Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. sehingga kebijakan tersebut akan lebih mencerminkan kehendak masyarakat di daerah. Untuk mengurangi perbedaan pengertian tentang permasalahan yang dikemukakan, maka disusun serangkaian definisi dan pengertian dari beberapa konsep yang digunakan dalam pembahasan selanjutnya sebagai berikut : “Menurut Montesquieu, dalam bukunya „L’Esprit des lois’ membagi kekuasaan Negara dalam tiga cabang, yaitu; (i) kekuasaan Legislatif sebagai pembuat Undang-Undang; (ii) kekuasaan Eksekutif yang melaksanakan; dan (iii) kekuasaan untuk menghakimi atau Yudikatif.”8 persoalan pembatasan kekuasaan ( Limitation of power ) berkaitan erat dengan teori pemisahan kekuasaan ( Separation of power ) dan teori pembagian kekuasaan ( Division of power atau Distribution of power ). Pada umumnya, doktrin pemisahan kekuasaan ( Separation of power ) atau pembagian 8 Jimly Asshiddiqie 2009, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, PT Raja Grafindo, Jakarta,. (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie I),h.283. kekuasaan dianggap berasal dari Montesquieu dengan Trias Politicanya. namun dalam perkembangannya, banyak versi yang biasa dipakai oleh para ahli hukum berkaitan dengan peristilahan pemisahan dan pembagian kekuasaan ini.9 konsep pembagian kekuasaan ( division of power ) yang dianut di Negara Indonesia sebelum perubahan UUD 1945, yaitu bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dianggap berada di tangan rakyat dan di jelmakan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat sebagai lembaga tertinggi Negara, sedangkan sekarang setelah perubahan keempat, sistem yang dianut oleh UUD Negara RI Tahun 1945 adalah sistem pemisahan kekuasaan ( Separation of power ) berdasarkan prinsip Checks and Balance,10 dimana setiap cabang mengendalikan dan mengimbangi kekuatan cabang-cabang kekuasaan yang lain, kekuasaan-kekuasaan tersebut saling berhubungan satu sama lain. Setelah MPR mengesahkan amandemen pertama Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 ( selanjutnya disebut UUD Negara RI Tahun 1945 ) mulai diadakan pergeseran kekuasaan Legislatif dengan mengalihkan lebih banyak peranan dalam bentuk Undang-Undang dari kewenangan Presiden menjadi kewenangan DPR. Pasal 5 ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945 yang semula mengatur “presiden memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dengan persetujuan DPR” diubah menjadi “ Presiden berhak mengajukan Rancangan 9 Ibid, h. 284-285. Ibid, h. 288-289 10 Undang-Undang kepada DPR.” Pasal 20 ayat (1) sebaliknya menentukan “DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang.11 Berdasarkan tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Rakyat dalam UUD Negara RI Tahun 1945, fungsi DPR ada 3 yaitu: fungsi mesdewetgeving ( fungsi membentuk Undang-Undang ), fungsi begroting ( fungsi menetapkan APBN ), dan fungsi controlling ( fungsi pengawasan ).12 Pada hakekatnya fungsi utama dari Legislatif adalah membuat UndangUndang ( Legislasi ), hal ini juga sejalan dengan fungsi-fungsi yang lain seperti fungsi pengawasan ( controlling ) juga merupakan bagian fungsi Legislasi, karena dalam menjalankan fungsi pengawasan tentunya terlebih dahulu melahirkan Peraturan Perundang-Undangan yang dijadikan sebagai acuan dalam melakukan pengawasan terhadap pemerintah dalam menjalankan tugasnya. begitu juga fungsi anggaran ( budgetting ) yang merupakan sebagian dari fungsi Legislasi karena untuk menetapkan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara ( APBN ) juga ditetapkan dengan Undang-Undang APBN setiap tahun anggaran. maka yang menjadi fungsi pokok dari DPR adalah pembentukan Undang-Undang sebagai landasan hukum bagi pemerintah dalam membuat kebijakan publik.13 11 Jimly Asshiddiqie,2006, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sekjen dan Kepanitraan MK RI, Jakarta h.45 (selanjutnya disebut Jimly Asshiddiqie II) 12 Philip M. Hadjon, Lembaga Tertinggi dan Lembaga-lembaga Tinggi Negara Menurut UUD 1945, Suatu Analisa Hukum dan Kenegaraan, Bina Ilmu, Surabaya(selanjutnya disebut Philipus M. Hadjon II), h. 17-18. 13 http://ngomentarin mpm. Wordpress.com/2009/ “Pelaksanaan-Fungsi-Legislasi-DewanPerwakilan-Rakyat-RI”-dpr-ri, diunduh pada 25 Maret 2015 Dalam Negara hukum, setiap penyelenggaraan Negara dan Pemerintahan, baik berupa kebijakan maupun tindakan, harus dilakukan berdasarkan aturan hukum. Setiap kewenangan yang dimiliki oleh lembaga atau pejabat publik bersumber pada aturan hukum dan harus dilaksanakan sesuai dengan aturan hukum. Undang-Undang merupakan produk hukum utama dalam penyelenggaraan Negara. Materi muatan Undang-Undang menjabarkan dan melaksanakan amanat konstitusi. Undang-Undang mengikat secara umum, baik Warga Negara maupun penyelenggara Negara baik Eksekutif, Legislatif maupun Yudikatif. Oleh karena itu, dalam tradisi hukum Eropa kontinental, fungsi Legislasi dapat dikatakan merupakan fungsi utama dari lembaga perwakilan. Melalui fungsi tersebut, para wakil rakyat anggota DPR menentukan bagaimana kehidupan berbangsa dan bernegara dijalankan sesuai dengan konstitusi. Fungsi kedua adalah fungsi penganggaran, Fungsi ini dilaksanakan untuk membahas dan memberikan persetujuan atau tidak memberikan persetujuan terhadap Rancangan Undang-Undang APBN yang diajukan Presiden. Rancangan UndangUndang APBN diajukan oleh Presiden untuk dibahas bersama DPR dengan memperhatikan pertimbangan DPD diatur dalam Pasal 23 ayat (2) UUD Negara RI Tahun 1945. APBN merupakan dokumen yang berisi program dan kegiatan yang akan dilaksanakan dalam waktu satu tahun serta alokasi anggaran yang akan dibelanjakan dan diperoleh sebagai penerimaan Negara. Walaupun RAPBN diajukan oleh Presiden, tetapi juga meliputi program dan anggaran yang dikelola oleh cabang kekuasaan yang lain, termasuk Legislatif dan Yudikatif. Dalam penyusunan APBN tidak hanya dibahas dan ditentukan pengalokasian anggaran untuk setiap lembaga Negara atau instansi, tetapi yang lebih penting adalah pembahasan program dan kegiatan yang akan dilakukan. Melalui pembahasan tersebut, anggota DPR ikut menentukan dan menjaga agar program dan kegiatan yang akan dilakukan setiap lembaga dan instansi benarbenar diarahkan untuk kepentingan rakyat sesuai dengan amanat dan aspirasi rakyat yang diwakili. Fungsi ketiga adalah fungsi pengawasan, ”Menurut ahli hukum Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, pengertian pengawasan yaitu setiap usaha dan tindakan dalam rangka untuk mengetahui sejauh mana pelaksanaan tugas menurut ketentuan dan sasaran yang hendak dicapai.” fungsi pengawasan yang dimiliki oleh DPR yaitu mengawasi Presiden dan Wakil Presiden dalam pelaksanaan kekuasaan Eksekutif dan DPR dapat mengusulkan pemberhentian Presiden sebagai tindak lanjut pengawasan, diatur dalam Pasal 7 A UUD Negara RI Tahun 1945. Fungsi pengawasan yang dilakukan DPR terhadap Presiden atau Pemerintah ditegaskan dalam Penjelasan Umum UUD 1945 tentang Sistem Pemerintahan Negara yang menyatakan bahwa DPR dapat senantiasa mengawasi tindakan-tindakan Presiden. Dalam hal ini pengawasan yang akan dibahas adalah pengawasan yang dilakukan oleh lembaga perwakilan rakyat dalam menghasilkan Undang-Undang yang baik, yang dalam pengawasan ini dapat dilakukan baik secara preventif maupun represif.14 1.7 Metode Penelitian a. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penelitian ini dikualifikasikan sebagai penelitian hukum normatif.. Adapun penelitian hukum normatif mencakup penelitian terhadap sistematika hukum, penelitian terhadap taraf sinkronisasi hukum, penelitian sejarah hukum dan penelitian perbandingan hukum.15 b. JenisPendekatan Pendekatan dalam penelitian hukum dimaksudkan sebagai dasar sudut pandang dan kerangka berpikir seorang peneliti didalam melakukan analisis. Secara teoritis, dalam penelitian hukum terdapat beberapa pendekatan, namun yang digunakan dalam penelitian ini yaitu : 1) Pendekatan perundang-undangan (statute approach) hal ini dimaksudkan bahwa peneliti menggunakan peraturan perundang-undangan sebagai dasar awal melakukan analisis. 14 Victor M. Situmorang dan Jusuf Juhir, 1994, Aspek Hukum Pengawasan Melekat Dalam Lingkungan Aparatur Pemerintah, Rineka Cipta, Jakarta, h.21. 15 Soerjono Soekanto, 2000, Pengantar Penelitian Hukum, Jakarta, UI Press, h. 51 2) Pendekatan konsep (Conseptual Approach), konsep-konsep dalam ilmu hukum dapat dijadikan titik tolak atau pendekatan bagi analisis penelitian hukum, karena akan banyak muncul konsep bagi suatu fakta hukum.16 c. Sumber Bahan Hukum 1. Sumber bahan hukum skunder Sumber bahan hukum dalam penyusunan tulisan ini, diperoleh dengan melakukan penelitian kepustakaan dengan menggali bahan hukum yang berupa teori-teori, pendapat para sarjana serta peraturan-peraturan dari berbagai buku atau literatur yang ada kaitannya dengan permasalahan yang akan dibahas. 2. Jenis bahan hukum Adapun jenis bahan hukum yang digunakan dalam penulisan ini adalah: 1. Bahan hukum primer Bahan hukum primer yaitu bahan-bahan hukum yang mengikat, berupa Peraturan Perundang-Undangan, yaitu: Undang-Undang Dasar Negara RI Tahun 1945 Undang-Undang No.12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan 16 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogjakarta, h. 185-190 Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2014 tentang Tata Tertib. 2. Bahan hukum skunder Bahan hukum skunder yaitu bahan hukum yang memberikan penjelasan terkait dengan Fungsi Legislasi Dewan Perwakilan Rakyat Dalam Menghasilkan Undang-Undang Yang Baik, adapun bahan hukum skunder yaitu: buku-buku di bidang hukum, majalah-majalah hukum, internet dan lain-lain. d. Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pada penelitian ini dilakukan dengan menggunakan bahan-bahan hukum yang diperoleh dari dua macam sumber tadi yaitu melalui studi kepustakaan yang dilakukan dengan cara membaca dan mencatat buku literatur, Peraturan Perundang-Undangan, kamus hukum dan sebagainya dan dicetak melalui system kartu. e. Teknik Pengolahan dan Analisis Bahan Hukum Setelah bahan hukum terkumpul, maka bahan hukum tersebut diolah dan dianalisa. dalam skripsi ini bahan hukum yang telah diperoleh diidentifikasikan dan diklasifikasikan. setelah diklasifikasikan, diperoleh bahan hukum yang bersifat kualitatif. Oleh karena itu, dalam menganalisanya menggunakan teknik Analisis Kualitatif, yaitu mengkaji dan mengevaluasi terhadap Peraturan PerundangUndangan yang ada, yang terkait dengan obyek permasalahan sehingga tercapai suatu deskripsi yang jelas, kemudian dianalisi guna memperoleh kesimpulan secara `sistematis dari bahan-bahan hukum tersebut. Analisis bahan hukum dilakukan secara Deskriptif yaitu dengan menguraikan, menjelaskan, serta menggambarkan pengertian tentang bahan hukum yang didapatkan.