34 V. HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1. Pemetaan Titik-Titik Longsor di Kabupaten Garut Pemetaan titik-titk longsor di daerah penelitian dilakukan melalui observasi langsung di lapangan. Titik-titik longsor yang dituju didasarkan pada informasi longsor dari Bappeda Kabupaten Garut, informasi penduduk lokal, dan peta bahaya longsor tentatif sebelum dilakukan observasi lapangan, terutama pada area yang mempunyai kemiringan lereng sedang hingga tinggi. Dalam penelitian ini peta jalan sangat diperlukan untuk mengetahui rute guna menuju titik-titik longsor yang akan diteliti. Dari hasil pengamatan lapangan didapatkan sebanyak 43 titik longsor yang meliputi titik-titik longsor baru (belum lama terjadi) maupun yang sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya Gambar Lampiran 1 dan Tabel Lampiran 2. Persebaran titik-titik longsor tersebut dapat dilihat pada Gambar 17 yang disajikan dengan latar belakang Citra GDEM (resolusi 30 meter), dimana terlihat bahwa mulai dari G. Cikurai ke Utara hanya terdapat 10 titik longsor, selebihnya 33 titik longsor terdapat di wilayah Selatan Kabupaten Garut (dari Gunung Cikurai ke Selatan). Banyaknya titik-titik longsor di wilayah Selatan tersebut dibandingkan dengan di wilayah Utara Kabupaten Garut disebabkan oleh kondisi morfologi di wilayah Utara didominasi oleh daerah landai sampai datar (sekitar 30% dari luas total daerah penelitian) sedangkan di wilayah Selatan sekitar 45% dari luas total daerah penelitian berupa daerah perbukitan. Titik-titik longsor yang ditemukan di Kabupaten Garut bagian Utara tersebut tersebar pada daerah perbukitan dan pegunungan vulkanik, baik di sisi Timur maupaun sisi Barat wilayah ini. Untuk persebaran titik-titik longsor di wilayah selatan tampak mempunyai pola memanjang berurutan, ke arah Selatan maupun ke arah Barat (Gambar17), dan ditemukan pada morfologi perbukitan dan pegunungan. Pola memanjang ini sesungguhnya lebih disebabkan oleh pola jalan yang dipakai untuk mencari titiktitik longsor, karena longsor banyak ditemukan tidak jauh dari tepi jalan. Dengan demikian sesungguhynya masih dimungkinkan terdapat titik-titik longsor lain yang belum dapat ditemukan dikarenakan tidak adanya aksesibiltas untuk mencapai titik-titik tersebut dan sulit medan di wilayah Kabupaten Garut Bagian 35 Selatan. Jika persebaran titik-titik longsor tersebut ini dilihat berdasarkan batas administrasi (kecamatan), maka Kecamatan Cisewu mempunyai titik longsor terbanyak. yaitu sebanyak 10 titik longsor, sedangkan Kecamatan Banjarwangi, Kadungora, Leles, Sucinaraja, Karangpawitan, dan Cisurupan mempunyai titik longsor terendah sebesar 1 titik longsor (Gambar 17 dan Tabel 8). Dengan demikian kecamatan Cisewu perlu mendapat perhatian tersendiri dari Pemerintah Daerah Kabupaten Garut terkait dengan program pengurangan korban bencana alam atau mitigasi bencana longsor. Tabel 8. Sebaran titik longsor menurut batas administrasi No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 Kecamatan Banjarwangi Kadungora Leles Sucinaraja Karangpawitan Cisurupan Pakenjeng Bungbulang Cigedug Cihurip Caringin Malangbong Pamulihan Cisompet Cisewu Titik Longsor 1 1 1 1 1 1 2 2 2 2 3 4 6 6 10 36 Gambar 17. Peta Sebaran Titik Longsor 36 37 Gambar 18. Peta Sebaran Titik Longsor Berdasarkan Administrasi 37 38 5.2. Analisis Penyebab Longsor di Kabupaten Garut Analisis penyebab longsor di daerah penelitian dilakukan dengan melihat keterkaitan antara persebaran titik longsor terhadap parameter yang digunakan untuk menilai penyebab longsor, yaitu Kemiringan Lereng, Elevasi, Formasi Geologi, Jenis Tanah, Curah Hujan, dan Penggunaan Lahan. Dalam analisis ini ada tiga aspek yang digunakan untuk mengetahui penyebab longsor, yaitu jumlah titik longsor yang terdapat pada setiap area dari masing-masing parameter, kerapatan titik longsor pada setiap area dari masing-masing parameter, dan kerapatan frekuensi longsor. Seperti yang telah diuraikan pada bab metodologi sebelumnya bahwa dalam penelitian ini perhitungan kerapatan didasarkan pada satuan luas 100 km² (dari setiap area dari masing-masing parameter), sedangkan frekuensi longsor dibatasi untuk kurun waktu sekitar 12 tahun, yaitu antara tahun 2000 sampai tahun 2012. 5.2.1. Hubungan Kemiringan Lereng dengan Longsor a. Persebaran Titik Longsor dan Kemiringan Lereng Berdasarkan analisis tumpang tindih (overlay) antara titik longsor dengan kemiringan lereng didapatkan hasil bahwa kejadian longsor banyak terjadi pada lereng-lereng dengan kemiringan 25-45%, 15-25%, dan 8-15%, sedangkan pada kemiringan lereng >45% sangat sedikit ditemukan titik longsor. Hal ini disebabakan oleh dua hal, yaitu adanya kendala aksesibiltas pada lereng >45% sehingga tidak ditemukan titik longsor, atau karena adanya penutup lahan berupa hutan yang mendominasi kelas lereng ini, sehingga tidak ada kejadian longsor karena penutup lahan ini berhasil mengurangi terjadinya longsor. Persebaran titik-titik longsor pada setiap kelas kemiringan lereng dapat dilihat pada Tabel 9, sedangkan persebaran spasialnya disajikan pada Gambar 19. Tabel 9. Total Titik dan Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Ulangan Kejadian Kelas Lereng Jumlah Titik Longsor Longsor 0-3% 0 3-8% 0 8-15% 9 15-25% 14 25-45% 19 >45% 1 0 0 16 29 53 4 39 Berdasarkan fakta tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa kemiringan lereng mempunyai pengaruh yang besar sebagai penyebab terjadinya longsor, sehingga pada wilayah dimana mempunyai kelas kemiringan lereng 25-45% maka titik longsor dan ulangan kejadian longsor banyak ditemukan. Pada kemiringan 03% dan 3-8% tidak ditemukan titik longsor disebabkan oleh topografi yang datar atau landai, sedangkan pada kemiringan lereng >45% terdapat 1 titik longsor yang teramati dan terdapat 4 total kejadian longsor. 40 Gambar 19. Peta Sebaran Titik Longsor pada Kelas Lereng 40 41 b. Kerapatan Titik Longsor Terhadap Kemiringan Lereng Berdasarkan analisis yang dilakukan antara jumlah titik longsor terhadap luasan masing-masing kelas lereng didapatkan beberapa kelas kerapatan titik longsor seperti tersaji pada Tabel 10, adapun secara grafis kerapatan titik longsor tersebut dapat dilihat pada Gambar 20. Tabel 10. Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Kelas Jumlah Titik Luas(ha) Luas(%) Lereng Longsor 0-8% 55.160 18 0 Kerapatan (titik/100km²) 0,0 8-45% 251.554 81,5 42 1,7 >45% 1.533 0,5 1 6,5 Density 7.0 Titik/100km² 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 0-8% 8-45% >45% Kelas Lereng Gambar 20. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Berdasarkan Tabel 10 dan Gambar 20 tersebut terlihat bahwa besarnya nilai kerapatan mengikuti besarnya kelas lereng, yaitu untuk kelas lereng >45% mempunyai kerapatan 6,5, untuk kelas 8-45% sebesar 1,7 dan untuk kelas 0-8% tidak ada titik longsor. Besarnya angka kerapatan titik longsor pada lereng >45% lebih banyak disebabkan oleh kecilnya luas kelas kemiringan tersebut di lokasi penelitian, sehingga nilai kerapatan ini dapat menjadi lebih besar lagi jika ditemukan titik-titik longsor yang lain pada wilayah kelas lereng >45%. Hal ini menggambarkan suatu peluang kejadian longsor yang cukup besar pada kelas kemiringan lereng ini. 42 c. Kerapatan Frekuensi Longsor Terhadap Kemiringan Lereng Berdasarkan hasil observasi lapangan didapatkan informasi bahwa pada setiap titik longsor (atau di sekitarnya) dapat terjadi lebih dari satu kali kejadian yang dalam penelitian ini disebut kejadian ulang. Dengan demikian frekuensi kejadian longsor dapat dihitung dalam suatu kurun waktu (dalam penelitian ini kurun waktu = 12 tahun). Frekuensi ini digunakan untuk melihat suatu peluang terhadap kejadian ulang longsor di waktu yang akan datang. Gambaran besarnya nilai frekuensi pada setiap titik longsor disajikan pada Tabel 11 dan gambaran grafisnya pada Gambar 21. Berdasarkan hasil analisis frekuensi longsor terhadap kemiringan lereng ini diperoleh hasil bahwa pola kejadian yang terjadi mirip dengan hasil analisis pada kerapatan titik longsor, dimana besarnya nilai kerapatan frekuensi longsor mengikuti besarnya kemiringan lereng, sehingga dapat disimpulkan di sini bahwa semakin besar kemiringan lereng akan mempunyai peluang yang besar terhadap terjadinya proses longsor dan terulangnya kejadian tersebut. Tabel 11. Total Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Kelas Total Frekuensi Kerapatan Luas(ha) Luas(%) Lereng Longsor (kejadian/100km²) 0-8% 55.160 18 0 0,0 8-25% 251.554 81,5 98 3,9 >45% 1.533 0,5 4 26,1 Density Kejadian/100km² 30.0 25.0 20.0 15.0 10.0 5.0 0.0 0-8% 8-45% Kelas Lereng >45% Gambar 21. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Kelas Lereng 43 5.2.2 Hubungan Elevasi dengan Longsor a. Persebaran titik longsor dengan elevasi Dalam penelitian ini elevasi topografi dibedakan menjadi 5 kelas dengan interval 500 meter. Besarnya interval ini dipilih mengingat bahwa morfologi di daerah penelitian lebih didominasi oleh relief perbukitan dan pegunungan, sehingga diharapkan dengan interval ini dapat dilihat lebih baik pengaruh elevasi terhadap longsor. Selama melakukan observasi lapangan, elevasi titik longsor diukur atau ditentukan dengan menggunakan alat GPS (Garmin 60Csx), sedangkan hasilnya berupa jumlah titik longsor pada setiap kelas elevasi disajikan pada Tabel 12 dan untuk persebaran spasial disajikan pada Gambar 22. Tabel 12. Total Titik dan Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Lereng Elevasi Titik Lokasi Longsor 0-500m Total Kejadian Longsor 6 13 500-1000m 29 69 1000-1500m 7 16 1500-2000m 0 0 >2000m 1 4 Berdasarkan Tabel 12 terlihat bahwa persebaran titik longsor terbesar terdapat pada elevasi 500-1000 meter, sedangkan jumlah titik longsor yang besar berikutnya pada elevasi 1000-1500 meter dan 0-500 meter. Untuk elevasi 15002000 tidak ditemukan titik longsor, sedangkan pada elevasi >2000 m terdapat 1 titik longsor. Berdasarkan Gambar 22 dan Gambar 12 terlihat bahwa persebaran elevasi 1500-2000 meter berada di lereng tengah gunungapi yang pada umumnya mempunyai penutupan lahan hutan, sehingga sangat wajar jika kejadian longsor jarang terjadi atau tidak ditemukan dalam penelitian ini. Untuk elevasi >2000 m ditemukan 1 titik longsor yang berada pada lereng atas atau puncak Gunungapi Papandayan dengan penutup lahan berupa lahan terbuka. Kondisi yang demikian sering menyebabkan terjadinya longsor. 44 Tinggi kejadian longsor pada elevasi 500-1000 meter ini apabila dilihat dari lokasinya mempunyai kemiringan lereng yang secara dominan berada pada kelas 25-45%, seperti yang terlihat pada Tabel 12, dimana pada tabel ini diperlihatkan hubungan antara persebaran kelas kemiringan lereng terhadap elevasi dan banyaknya titik longsor yang terjadi. 45 Gambar 22. Peta Sebaran Titik Longsor pada Kelas Elevasi 45 46 b. Kerapatan Titik Longsor Terhadap Elevasi Berdasarkan hasil pemetaan persebaran titik longsor terhadap elevasi dan masing-masing luasan kelas elevasi didapatkan suatu nilai kerapatan nilai longsor seperti yang tersaji pada Tabel 13 dan gambaran secara grafis hubungan tersebut pada Gambar 23. Tabel 13. Titik Longsor Pada Berbagai Kelas Elevasi Jumlah Titik Elevasi Luas(ha) Luas(%) Longsor 0-500m 84.810 27,5 6 Kerapatan (titik/100km²) 0,7 5002000m 218.687 71 36 1,6 >2000m 4.751 1,5 1 2,1 Density Titik/100km² 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 0-500m 500-2000m >2000m Elevasi Gambar 23. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Kelas Elevasi Berdasarkan Tabel 13 dan Gambar 23 di atas terlihat bahwa kerapatan titik longsor mempunyai nilai yang semakin besar seiring dengan meningkatnya kelas elevasi. Hal ini menunjukan bahwa semakin bertambahnya elevasi akan mempunyai peluang semakin besarnya kejadian longsor. Fenomena ini cukup wajar dikarenakan semakin bertambahnya elevasi maka peluang keberadaan kelas kemiringan lereng, terutama dari miring hingga terjal, semakin besar dan begitu pula umumnya terhadap peluang meningkatnya curah hujan. Pada Tabel 14 disajikan hubungan antara elevasi, kelas kemiringan lereng, dan jumlah titik 47 longsor, dimana pada tabel tersebut diterlihat bahwa kejadian longsor banyak terjadi pada lereng 15-45% dan pada elevasi dari 500-2000 meter. Tabel 15. Hubungan Sebaran Titik Longsor pada Berbagai Elevasi Berdasarkan Kelas Lereng Elevasi Kelas Lereng Titik Lokasi Longsor Persentase (%) 0-500m 0-8% 0 0 8-15% 60 4 15-25% 20 1 25-45% 1 20 >45% 0 0 500-2000m 0-8% 0 0 8-15% 6 10 15-25% 40 12 25-45% 50 18 >45% 0 0 >2000m 0-8% 0 0 8-15% 0 0 15-25% 0 0 25-45% 0 0 >45% 100 1 c. Kerapatan Frekuensi Longsor Terhadap Ketinggian Hubungan antara frekuensi longsor terhadap elevasi dari hasil analisis yang dilakukan menunjukkan hasil seperti yang tersaji pada Tabel 15. Dari tabel tersebut terlihat bahwa besarnya kerapatan frekuensi longsor berbading lurus dengan meningkatnya kelas elevasi. Kondisi ini secara grafis disajikan pada Gambar 24, dan terlihat bahwa peluang terulangnya longsor pada lokasi yang sama semakin meningkat seiring dengan meningkatnya elevasi. Hal ini dimungkinkan karena kondisi biogeofisik di sekitar titik longsor (kemiringan, curah hujan, penutup lahan) relatif sama. Tabel 15. Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Elevasi Elevasi Luas(ha) Luas(%) Total Frekuensi Longsor 0-500 mdpl 84.810 27,5 13 Kerapatan (kejadian/100k m²) 1,5 500-2000 mdpl 218.687 71 85 3,9 >2000 mdpl 4.751 1,5 4 8,4 48 Kejadian/100km² Density 9.0 8.0 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 0-500m 500-2000m >2000m Elevasi Gambar 24. Hubungan Kerapatan Kejadian Longsor pada Berbagai Kelas Elevasi 5.2.3 Hubungan Formasi Geologi dengan Longsor a.Persebaran titik longsor dengan formasi geologi Berdasarkan Peta Geologi skala 1:100.000 Lembar Garut dan Lembar Pameumpeuk, daerah penelitian tersusun dari 5 Formasi Geologi utama dimana nama dari masing-masing formasi tersaji pada Tabel 16. Formasi geologi digunakan sebagai parameter longsor dikarenakan formasi geologi mencerminkan jenis-jenis litologi yang menyusun atau yang membentuk tanah-tanah di daerah penelitian, disamping itu proses longsor tidak hanya membawa material permukaan (tanah) akan tetapi juga termasuk batuan induk yang ada di bawahnya. Dengan demikian aspek formasi geologi (karakterisitik litologi) sangat menentukan mudah tidaknya terhadap proses terjadinya longsor. Berdasarkan hasil observasi lapangan (Tabel 16) didapatkan bahwa titik longsor terbanyak terdapat pada fomasi geologi “Anggota Tufa dan Breksi” (23 titik) yang selanjutnya banyak pula terjadi pada fomasi geologi “Batuan Gunungapi Muda”, demikian pula dengan ulangan terjadinya longsor. Secara lengkap sebaran formasi geologi menurut tipe batuan diperlihatkan pada Tabel Lampiran 3 49 Tabel 16. Sebaran Titik dan Kejadian Longsor pada Formasi Geologi Titik Longsor Ulangan Kejadian Longsor 1 1 4 9 Breksi Hasil Batuan Gunungapi Tua 4 6 Batuan Gunungapi Muda 11 29 Anggota Tufa dan Breksi 23 57 Formasi Geologi Endapan Remah Lepas Gunung Muda Tak Terurai Endapan Piroklastik Melihat angka-angka pada tabel tersebut, tampak bahwa lapisan tufa yang tersusun dari material abu vulkanik bersifat kedap terhadap air dan menjadi licin pada saat hujan, sehingga lapisan ini dapat bertindak sebagai bidang luncur terhadap batuan breksi dan tanah yang terbentuk di atasnya. Dengan demikian cukup wajar jika pada formasi geologi ini banyak terjadi proses longsor. Selain itu perlu diketahui pula bahwa berdasarkan peta geologi yang digunakan, Formasi “Anggota Tufa dan Breksi” ini terbentuk pada zaman Tersier. Hal ini menyiratkan bahwa proses pelapukan pada formasi ini telah berjalan cukup lama, atau dengan kata lain material hasil pelapukan yang siap dilongsorkan sudah mempunyai ketebalan yang mencukupi. Pemikiran ini senada dengan pernyataan Barus (1999), yang menyatakan bahwa hubungan litologi dengan longsor terlihat jelas di daerah dimana longsor terbanyak berasal dari material sedimen berumur Tersier. Peta sebaran titik longsor untuk daerah penelitian pada berbagai formasi geologi dan kelas lereng disajikan pada Gambar 25. 50 Gambar 25. Peta Sebaran Titik Longsor pada Formasi Geologi 50 51 b. Kerapatan Titik Longsor Terhadap Formasi Geologi Berdasarkan hasil analisis kerapatan titik longsor terhadap formasi geologi didapatkan beberapa nilai kerapatan titik longsor seperti tersaji pada Tabel 17. Adapun gambaran grafis dari kerapatan titik longsor tersebut disajikan pada Gambar 26. Tabel 17. Titik Longsor pada Berbagai Formasi Geologi Luas(ha) Luas(%) Titik Longsor Kerapatan (titik/100km²) Endapan Remah Lepas Gunung Muda Tak Terurai 1766 0.57 1 0.6 Endapan Piroklastik 46498 15.08 4 0.9 Batuan Gunungapi Muda 60899 19.76 11 1.7 Breksi Hasil Batuan Gunungapi Tua 23277 7.55 4 1.8 Anggota Tufa dan Breksi 86946 28.21 23 2.6 titik/100km² Formasi Geologi Density 3.0 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Endapan Remah Lepas Gunung Muda Tak Terurai Endapan Piroklastik Batuan Gunungapi Muda Breksi Hasil Anggota Tufa Batuan dan Breksi Gunungapi Tua Formasi Geologi Gambar 26. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Formasi Geologi Data tersebut di atas menunjukan bahwa nilai kerapatan titik longsor atau peluang terjadinya longsor di daerah penelitian terutama berada pada Formasi Anggota Tufa dan Breksi, kemudian pada Formasi Breksi Hasil Gunungapi Tua, dan pada Formasi Batuan Gunungapi Muda. Hal ini menyiratkan bahwa peluang terjadinya longsor di daerah penelitian banyak ditentukan oleh tipe batuan atau litologi yang mempunyai komposisi adanya bahan piroklastik halus (tufa) yang 52 dapat bertindak sebagai bidang luncur dan juga umur geologi (batuan) yang menggambarkan cukup lamanya proses pelapukan telah berlangsung pada batuan. Peluang ini untuk daerah peneltian diperbesar lagi oleh besarnya kemiringan lereng. Hal ini terlihat pada Tabel 18 dimana pada kemiringan lereng 15 hingga 45% terdapat sebanyak 20 titik longsor. Tabel 18. Hubungan Sebaran Titik Longsor Pada Berbagai Formasi Geologi Berdasarkan Kelas Lereng Formasi Geologi Endapan Remah Lepas Gunung Muda Tak Terurai Endapan Piroklastik Breksi Hasil Batuan Gunungapi Tua Batuan Gunungapi Muda Anggota Tufa dan Breksi Kelas Lereng Titik Longsor Persentase (%) 0-8% 0 0 8-15% 15-25% 25-45% >45% 0-8% 8-15% 15-25% 25-45% >45% 0 1 0 0 0 1 0 3 0 0 100 0 0 0 25 0 75 0 0-8% 0 0 8-15% 15-25% 25-45% >45% 0-8% 8-15% 15-25% 25-45% 1 3 0 0 0 2 5 3 >45% 1 75 25 0 0 0 15 45 35 5 0-8% 8-15% 15-25% 25-45% >45% 0 3 9 11 0 0 10 40 50 0 53 c. Kerapatan Frekuensi Longsor Terhadap Formasi Geologi Menurut hasil analisis yang telah dilakukan, frekuensi longsor terhadap formasi geologi di daerah penelitian seperti tersaji pada Tabel 19, sedangkan gambaran grafis dari hubungan tersebut dipaparkan pada Gambar 27. Tabel 19. Kejadian Longsor pada Berbagai Formasi Geologi Luas (ha) Luas (%) Kejadian Longsor Kerapatan (kejadian/100km²) Endapan Remah Lepas Gunung Muda Tak Terurai 1766 0.57 1 0.6 Endapan Piroklastik 46498 15.08 9 1.9 Breksi Hasil Batuan Gunungapi Tua 23277 7.55 2.6 Batuan Gunungapi Muda 60899 19.76 29 4.8 Anggota Tufa dan Breksi 86946 28.21 57 6.6 Kejadian/100km² Formasi Geologi 6 Density 7.0 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 Endapan Remah Lepas Gunung Muda Tak Terurai Endapan Piroklastik Breksi Hasil Batuan Gunungapi Tua Batuan Gunungapi Muda Anggota Tufa dan Breksi Formasi Geologi Gambar 27. Hubungan Kerapatan Frekuensi Longsor pada Berbagai Formasi Geologi Berdasarkan tabel dan grafik tersebut di atas terlihat bahwa peluang terulangnya kejadian longsor pada lokasi yang sama mempunyai pola yang sama dengan persebaran titik longsor terhadap formasi geologi. Hal ini mengindikasikan bahwa banyaknya titik longsor pada formasi geologi tertentu sekaligus menunjukan peluang terulangnya kejadian longsor pada formasi tersebut. 54 5.2.4 Hubungan Jenis Tanah dengan Longsor a. Persebaran titik longsor dengan jenis tanah Peta Tanah Jawa Barat (PUSLITANAK, 1988) skala 1:250.000 menunjukkan bahwa wilayah Kabupaten Garut mempunyai sebaran jenis tanah yang beragam. Mengingat skala peta pada tingkat tinjau, maka informasi terkait jenis tanah tidak menunjukan informasi yang detail. Namun berdasarkan hasil pengamatan titik-titik longsor selama observasi lapangan di dapatkan hasil bahwa titik longsor banyak ditemukan pada empat satuan peta tanah, yaitu (1) kompleks Regosol dan Litosol, (2) Latosol Coklat, (3) kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kuning dan Regosol, dan (4) Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat. Hubungan titik-titik longsor terhadap satuan peta tanah tersebut disajikan pada Tabel 20 dan Gambar 28. Secara Lengkap sebaran jenis tanah di Kabupaten Garut disajikan dalam Tabel Lampiran 4. Tabel 20. Sebaran Titik dan Kejadian longsor pada Jenis Tanah Titik Longsor Frekuensi Longsor Latosol Coklat 2 4 Komplek Regosol dan Litosol 1 5 Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 15 30 Komplek Podsolik Merah Kekuningan,Podsolik Kuning,dan Regosol 25 63 Jenis Tanah Melihat persebaran seperti pada tabel tersebut terlihat bahwa satuan peta tanah “Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kuning, dan Regosol” mempunyai jumlah titik longsor terbanyak. Kompleks tanah ini secara geografis tersebar di Kabupaten Garut bagian Selatan yang mempunyai bahan induk Tufa dan Breksi berumur Tersier, sehingga kompleks tanah ini mempunyai lapisan tanah yang relatif dalam (karena proses pelapukan sudah lanjut) dan mempunyai lapisan kedap air yang berfungsi sebagai bidang luncur, yaitu yang berasal dari bahan induk tufa. Dengan demikian jika pada kompleks tanah ini terjadi banyak longsor menjadi cukup logis karena sangat terkait dengan bahan induk yang berasal dari bahan induk tufa dan breksi berumur Tersier. 55 Gambar 28. Peta Sebaran Titik Longsor pada Berbagai Jenis Tanah 55 56 b. Kerapatan Titik Longsor Terhadap Jenis Tanah Berdasarkan hasil analisis titik-titik longsor terhadap luasan pada masingmasing jenis tanah didapatkan nilai kerapatan titik longsor seperti tersaji pada Tabel 21. Adapun gambaran grafis mengenai kerapatan titik longsor tersebut disajikan pada Gambar 29. Tabel 21. Titik Longsor pada Berbagai Jenis Tanah Jenis Tanah Luas (ha) Luas (%) Titik Longsor Kerapatan (titik/100km²) Komplek Regosol dan Litosol 19961 6.5 1 0.5 Latosol Coklat 25524 8.23 2 0.8 Komplek Podsolik Merah Kekuningan, Podsolik Kuning, dan Regosol 130053 42.1 25 1.9 Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 76688 24.8 15 2.0 Density Titik/100km² 2.5 2.0 1.5 1.0 0.5 0.0 Komplek Regosol dan Litosol Latosol Coklat Komplek Podsolik Merah Asosiasi Andosol Coklat Kekuningan,Podsolik dan Regosol Coklat Kuning,dan Regosol Jenis Tanah Gambar 29. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Jenis Tanah Berdasarkan fakta tersebut di atas terlihat bahwa nilai kerapatan titik longsor atau peluang terjadinya longsor berada pada dua satuan peta tanah, yaitu Assosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat dan Kompleks Podoslik Merah Kekuningan, Podsolik Kuning, dan Regosol, dengan nilai kerapatan yang hampir sama yaitu 2,0 dan 1,9. Untuk Asososiasi Andosol Coklat dan Regosol mempunyai bahan induk dari Formasi Breksi Hasil Gunungapi Tua dan Formasi Endapan Piroklastik. Dari kondisi ini terlihat pada wilayah ini pelapukan sudah 57 berjalan lanjut, disamping itu material piroklastik itu sendiri merupakan produk gunungapi yang lebih mudah terlapukan di bandingkan dengan produk lain seperti aliran lava atau breksi vulkanik muda. Berdasarkan hal ini, maka peluang terjadinya proses longsor di wilayah ini cukup logis jika tinggi, dikarenakan bahan yang siap dilongsorkan sudah cukup tersedia (solum tanah dalam), apalagi di tunjang oleh kondisi toporgrafi berupa perbukitan dan pegunungan yang pada umumnya kaya dengan lereng yang miring hingga terjal. Hal ini dapat dilihat pada Tabel 22, dimana pada kemiringan lereng 15 % hingga 45 % terdapat banyak titik longsor. Tabel 22. Hubungan Sebaran Titik Longsor Pada Berbagai Jenis Tanah Berdasarkan Kelas Lereng Jenis Tanah Komplek Regosol dan Litosol Latosol Coklat Komplek Podsolik Merah Kekuningan,Podsolik Kuning,dan Regosol Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat Kelas Lereng 0-8% 8-15% 15-25% 25-45% >45% 0-8% 8-15% 15-25% 25-45% >45% Titik Longsor 0 0 0 0 1 0 1 1 0 0 Persentase (%) 0 0 0 0 100 0 50 50 0 0 0-8% 0 0 8-15% 15-25% 25-45% >45% 3 8 14 0 10 30 60 0 0-8% 0 0 8-15% 15-25% 25-45% >45% 2 5 8 0 10 40 50 0 c. Kerapatan Frekuensi Longsor Terhadap Jenis Tanah Menurut hasil analisis yang telah dilakukan untuk kerapatan frekuensi longsor terhadap jenis tanah didapatkan hasil seperti tersaji pada Tabel 23 dan gambaran grafis hubungan antara frekuensi longsor dengan jenis tanah tersebut tersaji pada Gambar 30. 58 Tabel 23. Kejadian Longsor pada Berbagai Jenis Tanah Luas (ha) 25524 Luas (%) 8.23 Kejadian Longsor 4 Kerapatan (Kejadian/100km²) 2.0 Komplek Regosol dan Litosol 19961 6.5 5 2.0 Asosiasi Andosol Coklat dan Regosol Coklat 76688 24.8 30 3.9 Komplek Podsolik Merah Kekuningan, PodsolikKeKuning, dan Regosol 130053 42.1 63 4.8 Jenis Tanah Latosol Coklat Density Kejadian/100km² 6.0 5.0 4.0 3.0 2.0 1.0 0.0 Latosol Coklat Komplek Regosol dan Litosol Asosiasi Andosol Coklat Komplek Podsolik Merah dan Regosol Coklat Kekuningan,Podsolik Kuning,dan Regosol Jenis Tanah Gambar 30. Hubungan Kerapatan Kejadian Longsor pada Berbagai Jenis Tanah Berdasarkan tabel dan grafik tersebut di atas terlihat bahwa peluang terbesar terulangnya longsor pada lokasi yang sama terjadi pada satuan peta tanah Kompleks Podsolik Merah Kekuningan, Podoslik Kuning, dan Regosol, disusul oleh Assosiasi Andosol Coklat dan Regosol sedangkan pada satuan peta tanah yang lain mempunyai peluang yang paling kecil. Hal ini menandakan bahwa kaitan antara bahan induk, umur formasi geologi (proses pelapukan), dan jenis tanah yang terbentuk mempunyai kaitan yang erat sebagai pemicu terjadinya longsor, apalagi terdapat pada lahan yang mempunyai kemiringan yang besar. Namun secara umum bahan induk pada kombinasi jenis tanah relatif sama, sehingga perbedaan peluang terulang tidak terlalu jauh sepeti terlihat pada Tabel 23. 59 5.2.5. Hubungan Curah Hujan dengan Longsor a. Persebaran titik longsor dengan curah hujan Data curah hujan yang digunakan pada penelitian ini diambil dari data atribut Peta Land System (RePPProT, 1987) yang selanjutnya dilakukan proses tumpang tindih (overlay) tdengan persebaran titik longsor. Berdasarkan hasil analisis ini diketahui bahwa daerah dengan curah hujan 1500-2000 mm/tahun tidak terdapat titik longsor sedangkan pada kelas curah hujan yang lain ditemukan beberapa titik longsor. Hal ini disebabkan pada kelas curah hujan 1500-2000 mm/tahun berada pada lahan yang datar (dataran antar pegunungan) yang terdapat di Bagian Utara Kabupaten Garut. Berikut disajikan persebaran titik longsor (jumlah dan frekuensi) terhadap kelas curah hujan (Tabel 24). Tabel 24. Sebaran Titik dan Kejadian longsor pada Curah Hujan Curah hujan mm/tahun 1500-2000 2000-2500 2500-3000 3000-3500 3500-4000 Titik Longsor Total Kejadian Longsor 0 8 15 8 12 0 14 36 22 30 Dari Tabel tersebut terlihat bahwa jumlah titik longsor banyak terdapat pada kelas curah hujan 2500-3000 mm/tahun dan 3500-4000 mm/tahun, masingmasing sebesar 15 dan 12 titik longsor dan dengan frekuensi kejadian longsor masing-masing 22 dan 30. Berdasarkan Gambar 31 terlihat bahwa persebaran kedua kelas curah hujan di atas berada di wilayah bagian Selatan Kabupaten Garut. Pola persebaran curah hujan yang demikian tampaknya lebih banyak dipengaruhi oleh kondisi topografi, dimana perbukitan dan pegunungan di wilayah Selatan ini menyebabkan terjadinya hujan orografis yang berlimpah di bagian Selatan. Seperti diketahui bahwa curah hujan adalah anasir yang bersifat sebagia pemicu terjadinya longsor, apalagi terhadap tanah-tanah yang berusia lanjut di wilayah tersebut. Hal ini sejalan dengan pendapat Suryaatmojo dan Seodjoko (2008), bahwa curah hujan bersifat meningkatan kadar air tanah, sehingga mengakibat menurunnya ketahanan material tanah/batuan, dan menyebabkan terbentuknya bidang gelincir sebagai pemicu tanah longsor. 60 Gambar 31. Peta Sebaran Titik Longsor pada Kelas Curah Hujan 60 61 b. Kerapatan Titik Longsor Terhadap Curah Hujan Berdasarkan hasil pemetaan persebaran titik longsor terhadap curah hujan dan masing-masing luasanya didapatkan suatu nilai kerapatan titik longsor seperti yang tersaji pada Tabel 25 dan Gambar 32. Tabel 25. Titik Longsor pada Berbagai Curah Hujan Curah hujan Luas(ha) luas(%) Titik Longsor mm/tahun 1500-2000 36851 11.95 0 Kerapatan (titik/100km²) 0 2000-3000 172930 56.1 23 1.3 3000-4000 98466 3.94 20 2.0 Density Titik/100km² 2.5 2 1.5 1 0.5 0 1500-2000 2000-3000 3000-4000 Curah hujan(mm/tahun) Gambar 32. Hubungan Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Curah Hujan Berdasarkan Tabel 25 dan Gambar 32 di atas terlihat bahwa peluang terjadinya longsor berbading lurus dengan besarnya curah hujan. Berhubung persebaran curah hujan yang tinggi di Kabupaten Garut berada di Bagian Selatan, maka wialayh Selatan ini perlu mendapat perhatian atau kewaspadaan tersendiri terhadap longsor terutama pada lereng-lereng yang curam. Tabel 26 menunjukan kejadian longsor pada masing-masing kelas curah hujan yang banyak terdapat pada kelas kemiringan lereng 25-45%. Hasil analisis di atas memperlihatkan bahwa peluang terjadinya longsor di daerah penelitian memperlihatkan kecenderungan bahwa semakin besar curah hujan maka semakin besar pula peluang terjadinya longsor seperti yang 62 ditunjukkan oleh banyaknya titik longsor pada wilayah dengan curah hujan yang tinggi. Pernyataan ini diperkuat oleh pendapat Zakaria (2011) bahwa curah hujan mempengaruhi kadar air dan kejenuhan air sehingga memicu terjadinya longsor. Hujan dapat meningkatkan kadar air dalam tanah dan menyebabkan kondisi fisik tubuh lereng berubah-ubah. Kenaikan kadar air tanah akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah yang mempengaruhi kondisi internal tubuh lereng dan menurunkan faktor keamanan lereng. Tabel 26. Hubungan Sebaran Titik Longsor pada Berbagai Curah Hujan Berdasarkan Kelas Lereng Curah hujan mm/tahun 1500-2000 2000-3000 3000-4000 kelas Lereng Titik Longsor 0-8% 8-15% 15-25% 25-45% >45% 0-8% 8-15% 15-25% 25-45% >45% 0-8% 8-15% 15-25% 25-45% >45% 0 0 0 0 0 0 3 7 12 1 0 2 8 10 0 Persentase (%) 0 0 0 0 0 0 15 30 50 5 0 10 40 50 0 c. Kerapatan Frekuensi Longsor Terhadap Curah Hujan Dari hasil analisis yang dilakukan untuk mengetahui hubungan antara frekuensi longsor terhadap curah hujan didapatkan hasil seperti yang tersaji pada Tabel 27 dan gambaran grafis dari hubungan tersebut pada Gambar 33. Dari tabel dan gambar tersebut terlihat bahwa besarnya kerapatan frekuensi longsor berbading lurus dengan meningkatnya kelas curah hujan tahunan. Hal ini mengindikasi bahwa peluang terulangnya longsor pada lokasi yang sama semakin meningkat seiring dengan meningkatnya curah hujan. 63 Tabel 27. Frekuensi Longsor pada Berbagai Curah Hujan Curah Hujan mm/tahun 1500-2000 2000-3000 3000-4000 Luas (ha) 36851 172930 98466 Luas (%) 11.95 56.1 3.94 Total Frekuensi Longsor 0 50 52 Frekuensi (kejadian/100km²) 0 2.9 5.3 Density Kejadian/100km² 6 5 4 3 2 1 0 1500-2000 2000-3000 3000-4000 Curah Hujan(mm/tahun) Gambar 33. Hubungan Kerapatan Kejadian Longsor pada Berbagai Curah Hujan Dengan demikian terulangnya kejadian longsor berpeluang besar pada bagian selatan Kabupaten Garut sehingga pada titik longsor di wilayah ini perlu mendapat kewaspadaan yang tinggi. 5.2.6 Hubungan Penggunaan Lahan dengan Longsor a. Persebaran Titik Longsor dengan Penggunaan Lahan Berdasarkan pengamatan di lapangan menunjukan bahwa kejadian longsor terjadi pada berbagai penggunaan lahan. Namun demiikian jumlah titik longsor terbanyak terjadi pada penggunaan lahan kebun campuran, sedangkan pada penggunaan lain seperti hutan, pemukiman, dan ladang terdapat titik-titik longsor namun untuk penggunaan lahan yang lain tidak ditemukan titik longsor (Tabel 28) Dari tabel tersebut terlihat bahwa frekuensi longsor relatif tinggi pada penggunaan lahan berupa ladang dimana dari 3 kejadian longsor terulang sebanyak 10 kali. Hal ini menunjukan bahwa bentuk penggunaan lahan ladang relatif rentan terhadap kejadian longsor. Hubungan antara persebaran titik longsor dan penggunaan lahan secara spasial disajikan pada Gambar 34. 64 Tabel 28. Sebaran Titik dan Kejadian longsor pada Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan Perairan Perkebunan Lahan Terbuka Semak Belukar Sawah Ladang Hutan Pemukiman Kebun Campuran Titik Longsor Kejadian Longsor 0 0 0 0 0 3 5 4 31 0 0 0 0 0 10 9 9 74 Tingginya kejadian longsor pada kebun campuran disebabkan oleh luasnya kebun campuran di wilayah bagian Selatan Kabupaten Garut (Gambar 34) dan berdasarkan pengamatan di lapangan kebun campuran secara umum menempati lereng-lereng yang curam atau mencapai pada bagian lereng atas dari perbukitan dan pegunungan. Untuk lebih lengkapnya sebaran data penggunaan lahan disajikan dalam Tabel Lampiran 5. . 65 Gambar 34. Peta Sebaran Titik Longsor pada Penggunaan Lahan Tahun 2012 65 66 b. Kerapatan Titik Longsor Terhadap Penggunaan Lahan Berdasarkan hasil analisis persebaran titik longsor terhadap luasan pada masing-masing penggunaan lahan didapatkan nilai kerapatan titik longsor seperti tersaji pada Tabel 29, adapun gambaran grafis mengenai kerapatan titik longsor disajikan pada Gambar 35. Tabel 29. Titik Longsor pada Penggunaaan Lahan Tahun 2012 Luas(ha) % Titik Longsor Perairan Perkebunan Lahan Terbuka Semak Belukar Sawah Hutan Ladang Pemukiman Kebun Campuran 192 24547 4666 14656 49239 49247 67872 18839 78989 0.06 7.96 1.51 4.75 15.97 15.98 22.02 6.11 25.63 0 0 0 0 0 3 5 4 31 Titik/100km² Penggunaan Lahan 5 4 4 3 3 2 2 1 1 0 Kerapatan (titik/100km²) 0 0 0 0 0.0 0.6 0.7 2.1 3.9 Density Penggunaan Lahan Gambar 35. Kerapatan Titik Longsor pada Berbagai Penggunaan Lahan Berdasarkan data tersebut di atas dapat diketahui bahwa nilai kerapatan titik longsor paling besar berada pada penggunaan lahan kebun campuran. Hal ini mengindikasikan bahwa peluang terjadinya longsor pada penggunaan lahan kebun campuran cukup besar, sehingga penggunaan lahan ini perlu diwaspadai, atau perlu dilakukan pengelolaan yang baik, seperti pembuatan teras atau bentuk konservasi tanah lainnya secara intensif karena sebagain besar kebun campuran berada pada lereng-lereng yang curam. Tabel 30 berikut memperlihatkan 67 banyaknya kejadian longsor berada pada lereng 25-45% pada pengunaan lahan kebun campuran. Tabel 30. Hubungan Sebaran Titik Longsor pada Berbagai Penggunaan Lahan Berdasarkan Kelas Lereng Penggunaan Lahan Ladang Hutan Pemukiman Kebun Campuran kelas Lereng 0-8% 8-15% 15-25% 25-45% >45% 0-8% 8-15% 15-25% 25-45% >45% 0-8% 8-15% 15-25% 25-45% >45% 0-8% 8-15% 15-25% 25-45% >45% Titik Longsor Persentase (%) 0 0 3 0 0 0 0 0 2 3 0 2 2 0 0 0 8 8 15 0 0 0 100 0 0 0 0 0 45 55 0 50 50 0 0 0 20 20 60 0 c. Kerapatan Frekuensi Kejadian Longsor terhadap Penggunaan Lahan Menurut hasil analisis yang telah dilakukan terhadap analisis frekuensi longsor ini didapatkan hasil seperti tersaji pada Tabel 31 dan gambaran grafis terkait frekuensi longsor pada Gambar 36. Tabel 31. Kejadian Longsor pada Berbagai Penggunaan Lahan Penggunaan Lahan Luas (ha) % Frekuensi Longsor Kerapatan (kejadian/100km²) Perairan 192 0.06 0 0 Perkebunan 24547 7.96 0 0 Lahan Terbuka 4666 1.51 0 0 Semak Belukar 14656 4.75 0 0 68 Sawah 49239 15.97 0 0 Ladang 67872 22.02 10 1.5 Hutan 49247 15.98 9 1.8 Pemukiman 18839 6.11 9 4.8 Kebun Campuran 78989 25.63 74 9.4 Kejadian/100km² 10 Density 8 6 4 2 0 Penggunaan Lahan Gambar 36. Hubungan Kerapatan Kejadian Longsor pada Penggunaan Lahan Berdasarkan hasil data di atas tampak bahwa kebun campuran mempunyai peluang terbesar terulangnya kejadian longsor pada titik yang sama, sedangkan pemukiman mempunyai peluang terbesar kedua yang disusul oleh hutan dan ladang. Terulangnya kejadian longsor di areal pemukiman pada umum dipengaruhi oleh aktifitas manusia memotong lereng dengan tujuan mendirikan bangunan atau rumah di lokasi lereng tersebut, meskipun tanpa disadari apa yang dilakukan tersebut berdampak negatif yaitu dapat memicu terjadinya longsor. Hutan pada umumnya menempati lereng-lereng yang curam sehingga wilayah hutan mempunyai kerentanan longsor yang tinggi yang diakibatkan oleh kemiringan lereng tersebut (Tabel 30). Setelah longsor, biasanya tutupan hutan menjadi terbuka (tanpa vegetasi), sehingga hal ini mudah memicu terjadi longsor kembali di waktu yang akan datang. Dengan demikian pada titik longsor tersebut bisa terulang kembali akibat tidak adanya akar dari vegetasi yang menahan tanah dan batuan. Hal serupa dapat terjadi pada penggunaan lahan ladang, karena tidak adanya vegetasi yang besar yang akarnya dapat menahan tanah dan batuan, dan 69 juga ladang-ladang tersebut umumnya menempati lereng yang miring, sehingga longsor sering terjadi secara berulang (Tabel 30). 5.3 Analisis Bahaya Longsor Dalam penelitian ini kelas bahaya longsor dibagi menjadi lima kelas yaitu sangat rendah, rendah, menengah, tinggi dan sangat tinggi. Untuk mendapatkan kelas tingkat bahaya longsor, formula seperti berikut dibawah ini digunakan seperti yang telah diuraikan pada bab metodologi penelitian. Begitu pula nilainilai skor pada masing-masing parameter yang digunakan untuk menilai bahaya longsor. Rumus KBL = L + E + G + T + L + CH Keterangan : KBL = Kelas Bahaya Longsor L = Lereng E = Elevasi G = Geologi T = Tanah L = Lahan CH = Curah Hujan Berdasarkan hasil analisis bahaya longsor yang dilakukan sesuai dengan formula tersebut, didapatkan bahwa secara dominan daerah penelitian mempunyai kelas bahaya sedang, seperti disajikan pada Gambar 36. Berdasarkan gambar tersebut diketahui bahwa bahaya sangat tinggi sangat sempit hanya menempati 0.1% dari total luas daerah penelitian, bahaya tingg 33.5%, bahaya sedang 42.1%, bahaya rendah 19%, dan bahaya sangat rendah 5.3%. Untuk mengetahui gambaran persebaran spasial dari kelas-kelas bahaya tersebut dapat dilihat pada Gambar 37. Dari Gambar 37 dapat diketahui bahwa bahaya sangat tinggi berlokasi di Kabupaten Garut bagian Selatan, dimana pada lokasi ini kelas kemiringan lereng >45% cukup dominan dan dengan pula nilai skor untuk masing-masing parameter yang lain. Untuk bahaya tinggi juga tersebar hampir merata di Kabupaten Garut bagian Selatan, dimana di wilayah ini curah hujan relatif tinggi. Hal ini mengindikasikan bahwa curah hujan berperan besar dalam menentukan tingkat bahaya longsor, disebabkan kondisi dari parameter-parameter lain mempunyai 70 nilai yang relatif agak seragam terutama dari sisi lereng dan relief. Berdasarkan kondisi bahaya longsor tersebut di atas, maka semakin jelas bahwa Kabupaten Garut bagian Selatan sangat memerlukan perhatian dan pengelolaan lingkungan yang baik, bertujuan untuk menanggulangi bencana longsor. Jika dilihat dari batas adminitrasi, maka wilayah yang mempunyai kelas bahaya longsor yang tinggi ini meliputi kecamatan-kecamatan Bungbulang, Cikajang, Kecamatan, dan Pamulihan. Untuk mengetahui lebih rinci besarnya luas wilayah bahaya longsor di masing-masing wilayah adminitrasi dapat dilihat pada Tabel Lampiran 6. Secara umum dapat disimpulkan di sini bahwa Kabupaten Garut bagian Utara, mempunyai luasan tingkat bahaya longsor yang jauh lebih rendah daripada wilayah Kabupaten Garut bagian Selatan. Pola sebaran kelas bahaya longsor dari hasil analisis penggabungan masing-masing parameter menunjukan pola yang spesifik, yaitu menyebar pada wilayah bertopografi perbukitan sampai pegunungan dengan kemiringan lereng dari miring sampai terjal dan dengan variasi berbagai faktor biogeofisik lainnya, seperti elevasi tinggi, penggunaan lahan kebun campuran, curah hujan tinggi, formasi geologi Tersier, dan jenis tanah yang mempunyai tekstur liat. Bedasarkan hal tersebut kelas bahaya tinggi mengikuti pola sebaran daerah di sekitar gunungapi dan perbukitan. Untuk lebih jelasnya agar bisa mengetahui sebaran daerah dan luas masing masing kelas bahaya longsor dapat dilihat pada Gambar 37 dan Gambar 38 berikut. 71 42.1 45.00 40.00 35.00 30.00 25.00 20.00 15.00 10.00 5.00 0.00 33.5 19 5.3 Sangat Rendah 0.1 Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi Luas (%) Gambar 37. Grafik Sebaran Luas Kelas Bahaya Tanah Longsor 72 Gambar 38. Peta Bahaya Longsor 72 73 5.9 Analisis Resiko Longsor Resiko merupakan suatu gambaran tentang tingkat konsekuensi yang dapat diterima umumnya berupa kerugian, baik jiwa maupun properti, yang dapat terjadi apabila proses-proses alam, dalam hal ini longsor, terjadi pada wilayah tersebut. Dalam penelitian ini gambaran resiko di formulasikan sebagai berikut. Resiko Longsor = Bahaya Longsor + Nilai Properti Berdasarkan fomulasi tersebut di atas, maka hasil penilaian bahaya longsor di atas dapat gunakan, yang terdiri dari 5 kelas bahaya longsor, sedangkan untuk properti diperhitungkan melalui penilaian kombinasi antara penggunaan lahan dengan infrastruktur seperti yang telah diuraikan pada bab metodologi penelitian. Dalam hal ini properti dibagi juga menjadi 5 kelas untuk memudahkan perhitungan nilai resiko. Dari analisis nilai properti untuk daerah penelitian, didapatkan hasil bahwa nilai properti kelas rendah sangat mendominasi daerah penelitian (68.8%), disusul kelas sangat rendah (21.4%), dan kelas sedang (7.9%) seperti tergambar pada Gambar 39 dan persebaran spasial dari nilai properti dapat dilihat pada Gambar 40. Berdasarkan peta ini, tampak bahwa nilai properti kelas rendah tersebar di daerah dataran rendah maupun perbukitan yang didominasi oleh kebun campuran dan infrastruktur yang tidak merata, sedangkan persebaran nilai properti kelas sangat rendah terpusat pada wilayah yang mempunyai elevasi tinggi, yaitu di daerah puncak-puncak gunungapi, yang lebih didominasi oleh hutan tanpa adanya infrastruktur yang memadai. Untuk nilai properti kelas menengah mempunyai pola persebaran setempat-setempat dan tidak teratur mengikuti pola persebaran wilayah permukiman, sedangkan nilai properti kelas tinggi dan sangat tinggi mempunyai luasan relatif kecil dan tersebar terutama pada daerah perkotaan, seperti di Garut Kota dan di ibukota kecamatan lainnya. 74 68.8 70.00 60.00 50.00 40.00 30.00 21.4 20.00 7.9 10.00 1.8 0.1 0.00 Sangat Rendah Rendah Menengah Tinggi Sangat Tinggi Luas (%) Gambar 39. Grafik Sebaran Luas Nilai Properti di Kabupaten Garut 75 Gambar 40. Peta Properti Kabupaten Garut 75 76 Dalam penelitian ini penilaian resiko dari aspek kerugian jiwa (aspek manusia) tidak di perhitungkan, karena keterbatasan data sehingga kerugian hanya di batasi pada aspek properti. Berdasarkan hasil analisis resiko yang dilakukan melalui proses tumpang tindih (overlay) antara peta bahaya dengan peta properti didapatkan hasil bahwa tingkat resiko bahaya longsor di daerah penelitian didominasi oleh tingkat resiko sedang. Secara rinci besarnya presentase pada masing-masing tingkat resiko untuk daerah penelitian disajikan pada Gambar 41, sedangkan persebaran spasial dari masing tingkat resiko tersebut disajikan pada Gambar 42. Berdasarkan pada Gambar 42 terlihat bahwa pola resiko longsor agak mirip dengan pola bahaya longsor, terutama untuk wilayah selatan. Hal ini disebabkan kondisi properti di wilayah selatan relatif hampir seragam. Nilai tertinggi untuk kelas resiko untuk daerah penelitian hanya mencapai kelas tinggi, sehingga kelas sangat tinggi tidak didapatkan, Hal ini disebabkan nilai properti di daerah yang mempunyai kelas bahaya longsor tinggi berkisar dari sedang hingga sangat rendah. Untuk kelas resiko sedang luasannya sangat dominan dan tersebar hampir di seluruh daerah penelitian, kecuali di wilayah daerah dataran antar pegunungan yang berlokasi di wilayah Utara Kabupaten Garut, dimana di wilayah-wilayah ini lebih didominasi oleh kelas resiko rendah dan sangat rendah. Besarnya persentase luasan dari masing-masing kelas resiko longsor untuk daerah penelitian disajikan pada Gambar (41) Jika persebaran kelas resiko longsor tersebut dilihat dari sisi batas adminitrasi, maka wilayah-wilayah yang mempunyai kelas resiko longsor sedang hingga tinggi mencakup beberapa kecamatan, yaitu kecamatan-kecamatan Pekenjeng, Bungbulang, Cisewu, Telegong, Pamulihan, Cisompet, Banjarwangi, Cikelet, Cisurupan dan Cibalong. Untuk mengetahui besarnya masing-masing kelas resiko longsor pada masing-masing kecamatan dapat di lihat pada Tabel Lampiran 7. Dari Tabel tersebut dapat dilihat bahwa Kecamatan Pekenjeng, Bungbulang, Cisewu, Telegong, Pamulihan, Cisompet, Banjarwangi, Cikelet, Cisurupan dan Cibalong perlu mendapat perhatian dan prioritas untuk menanggulangi resiko longsor yang selalu membawa bencana bagi masyarakat. 77 Hal ini disebabkan kecamatan-kecamatan tersebut mempunyai luasan kelas resiko longsor yang tinggi. Seiring dengan bertambah jumlah penduduk pada setiap tahun menyebabkan bertambahnya kebutuhan manusia, sehingga perubahan penggunaan lahan seringkali tidak dapat dihindari. Oleh sebab itu, Kabupaten Garut, terutama di wilayah bagian Selatan perlu melakukan perbaikan terhadap rencana tata ruangnya dan membuat kebijakan baru apabila ditemukan wilayah-wilayahnya berada pada kelas resiko tinggi. Dalam hal ini peta bahaya dan resiko longsor sangat penting untuk perencanaan wilayah. 66.5 70.0 60.0 50.0 31.2 40.0 30.0 20.0 0.5 1.8 10.0 0.0 Sangat rendah rendah Sedang Tinggi Luas (%) Gambar 41. Grafik Sebaran Luas Kelas Resiko Tanah Longsor 78 Gambar 42. Peta Resiko Longsor Kabupaten Garut 78