Mobilitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi

advertisement
Comment:
Mobilitas Penduduk dan
Pembangunan Ekonomi
Prijono Tjiptoherijanto
*
Pendahuluan
Mobilitas penduduk merupakan bagian integral dari proses pembangunan secara
keseluruhan. Mobilitas telah menjadi penyebab dan penerima dampak dari perubahan
dalam struktur ekonomi dan sosial suatu daerah. Oleh sebab itu, tidak terlalu tepat untuk
hanya menilai semata-mata aspek positif maupun negatif dari mobilitas penduduk
terhadap pembangunan yang yang ada, tanpa memperhitungkan pengaruh kebaikannya.
Tidak akan terjadi proses pembangunan tanpa adanya mobolitas penduduk. Tetapi juga
tidak akan terjadi pengarahan penyebaran penduduk yang berarti tanpa adanya kegiatan
pembangunan itu sendiri.
Mobilitas Penduduk dan Perubahan Sosial Ekonomi
Pertanyaan paling mendasar dalam menelaah mobilitas penduduk adalah:
mengapa penduduk memutuskan untuk pindah atau tetap tinggal di tempat asalnya?
Sehubungan dengan pertanyaan ini, para pakar ilmu sosial melihat mobilitas penduduk
dari sudut proses untuk mempertahankan hidup (Wilkinson:1973; Broek, Julien Van
den:1996). Proses mempertahankan hidup ini harus dilihat dalam arti yang luas, yaitu
dalam konteks ekonomi, sosial, politik, maupun budaya. Meskipun demikian, banyak
studi memperlihatkan bahwa bentuk-bentuk keputusan serta motivasi yang diambil oleh
induvidu akan sangat berlainan, antara karena alasan ekonomi dengan karena alasan
politik (Peterson,W:1995; Kunz, E.F.;1973).
Perpindahan atau migrasi yang didasarkan pada motif ekonomi merupakan
migrasi yang direncanakan oleh individu sendiri secara sukarela (voluntary planned
migraton). Para penduduk yang akan berpindah, atau migran, telah memperhitungkan
berbagai kerugian dan keuntungan yang akan di dapatnya sebelum yang bersangkutan
memutuskan untuk berpindah atau menetap ditempat asalnya. Dalam hubungan ini tidak
ada unsur paksaan untuk melakukan migrasi.
Tetapi semenjak dasawarsa 1970-an banyak dijumpai pula mobilitas penduduk
yang bersifat paksaan atau “dukalara” atau terdesak (impelled) (Peterson,W:1969).
Mobilitas penduduk akibat kerusuhan politik atau bencana alam seperti yang terjadi di
Sakel ataupun Horn, Afrika merupakan salah satu contoh. Adanya berbagai tekanan dari
segi politik, sosial, ataupun budaya menyababkan individu tidak memiliki kesempatan
dan kemampuan untuk melakukan perhitungan manfaat ataupun kerugian dari aktivitas
migrasi tersebut. Mereka berpindah ke daerah baru dalam kategori sebagai pengungsi
*
Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto adalah Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Sumberdaya
Manusia pada Universitas Indonesia. Pokok-pokok pikiran dalam tulisan ini pernah disampaikan
dalam Simposium Dua Hari Kantor Mentrans dan Kependudukan/BAKMP di Jakarta tanggal 25-26
Mei 2000-red.
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
1
(refugees). Para pengungsi ini memperoleh perlakuan yang berbeda di daerah tujuan
dengan migran yang berpindah semata-mata karena motif ekonomi (Beyer, Gunther;
1981; Adelman: 1988).
Dalam kenyataannya, secara konseptual maupun metodelogi, para ahli sampai
saat ini masih mengalami kesulitan dalam membedakan secara lebih tajam antara
migran dengan motif ekonomi dan migran karena motif-motif non ekonomi (Kunz. E.
F.; 1973; King, Rusell: 1966).
Dari kacamata ekonomi, berbagai teori telah dikembangkan dalam menganalisa
mobilitas penduduk. Teori-teori tersebut selama ini telah mengalami perkembangan
yang sangat mendasar. Sejak teori mobilitas klasik “individual relocaton” yang
dikembangkan oleh Ravenstein pada tahun 1985, saat ini telah berkembang teori yang
menekankan pada unsur sejarah, struktural, maupun kecenderungan global (Zolberg,
Aristide, R. : 1989).
Teori yang berorientasikan pada neoclassical economics sebagai contoh, baik
makro maupun mikro lebih memberikan perhatian pada perbedaan upah dan kondisi
kerja antar daerah atau antar negara, serta biaya, dalam keputusan seseorang melakukan
migrasi. Menurut aliran ini, perpindahan penduduk merupakan keputusan pribadi yang
didasarkan atas keinginan untuk mendapatkan kesejahteraan yang maksimum.
Aliran “new economics of migration”, dilain pihak beranggapan bahwa
perpindahan atau mobilitas penduduk terjadi bukan saja berkaitan dengan pasar kerja,
namun juga karena adanya faktor-faktor lain. Aliran ini juga menekankan bahwa
keputusan untuk melakukan migrasi tidak semata-mata keputusan individu saja, namun
terkait dengan lingkungan sekitar, utamanya lingkungan keluarga. Dalam hal ini
keputusan untuk pindah tidak semata ditentukan oleh keuntungan maksimum yang akan
diperoleh, tetapi juga ditentukan oleh kerugian yang minimal yang dimungkinkan dan
berbagai hambatan yang akan ditemui, dikaitkan dengan terjadinya kegagalan pasar
(market failures) (Taylor; 1968; Stark; 1991).
Berbeda dengan keputusan individu, keluarga atau rumah tangga berada pada
posisi yang lebih mampu menangani resiko ekonomi rumah tangga pada saat migrasi
dilakukan, melalui diversivikasi alokasi berbagai sumber yang dimiliki oleh keluarga
atau rumah tangga, seperti misalnya dengan alokasi tenaga kerja keluarga. Beberapa
anggota rumah tangga tetap bekerja di daerah asal, sementara yang lain bekerja di luar
daerah ataupun luar negara. Pembagian tersebut pada dasarnya merupakan upaya
meminimalkan resiko terhadap kegagalan yang mungkin terjadi akibat melakukan
perpindahan atau migrasi. Selain itu, jika pasar kerja lokal tidak memungkinkan rumah
tangga tersebut memperoleh penghasilan yang memadai maka pengiriman uang
(remittances) yang dikirim dari anggota rumah tangga yang bekerja diluar daerah
ataupun luar negara dapat membantu menopang ekonomi rumah tangga.
Aliran lain untuk menganalisis timbulnya minat melakukan migrasi adalah dual
labor market theory. Jika dua pendekatan terdahulu dapat dikelompokkan sebagai
“micro-level decision model”, maka aliran “dual labor market theory” mengemukakan
bahwa migrasi penduduk terjadi karena adanya keperluan tenaga kerja yang bersifat
hakiki (intrisic labor demand) pada masyarakat industri modern (Piore: 1979). Menurut
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
2
paham ini migrasi terjadi karena adanya keperluan akan klasifikasi tenaga kerja tertentu
pada daerah atau negara yang telah maju. Dengan demikian migrasi terjadi bukan
karena push factors yang ada pada daerah asal, namun lebih karena adanya pull factors
pada daerah tujuan; keperluan akan tenaga kerja dengan spesifikasi tertentu yang tidak
mungkin dielakkan.
Mengacu pada berbagai pendapat tersebut, pembangunan ekonomi memang akan
mendorong terjadinya mobilitas dan perpindahan penduduk. Penduduk akan berpindah
menuju tempat yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi diri maupun
keluarganya, yang tidak lain adalah tempat yang lebih berkembang secara ekonomi
dibandingkan dengan tempat asalnya.
Kebijaksanaan Ekonomi Makro dan Mobilitas di Indonesia
Pola dan kenyataan migrasi penduduk di Indonesia sangat jelas memperlihatkan
keterkaitan dan hubungan antara strategi pembangunan ekonomi dengan pola mobilitas
penduduk. Sejak pemerintah Orde Baru secara resmi berkuasa pada tahun 1967, paling
tidak terdapat tiga pola kebijaksanaan ekonomi makro yang mempengaruhi persebaran
dan mobilitas penduduk di Indonesia.
Pertama, strategi makro ekonomi makro yang dijalankan antara tahun 1967
sampai 1980. Pada masa itu, kombinasi antara kebijaksanaan substitusi impor dan
investasi asing di sektor perpabrikan (manufacturing) di Indonesia telah meningkatkan
polarisasi pembangunan terpusat pada metropolitan Jakarta. Antara tahun 1974-1979
persentase sumbangan DKI Jakarta dan daerah sekitarnya yaitu Jawa Barat terhadap
pertumbuhan sektor manufacturing skala besar dan menengah di Indonesia meningkat
dari 38% menjadi 42%.
Faktor lain yang juga mendukung makin besarnya peranan DKI Jakarta terhadap
mobilitas penduduk adalah ekspansi atau perluasan yang cepat dari jasa-jasa
kemiliteran, peningkatan lembaga-lembaga keuangan dan masuknya usaha bisnis asing
serta tenaga asing untuk bekerja di sektor perminyakan, perusahaan asing, perusahaan
konsultan, dan bahkan lembaga-lembaga donor internasional yang berkantor di
Jakarata. Kesemuanya ini menyebabkan meningkatnya keperluan akan perumahan dan
juga menciptakan pasar untuk jasa-jasa yang lebih canggih (advaced) (Douglass, M.
:1992: Wirosuhardjo, K:1986).
Kecenderungan pola industrilisasi dan pemusatan kegiatan ekonomi di DKI
Jakarta serta daerah-daerah pesisir utara Pulau Jawa menyebabkan terjadinya proses
urbanisasi yang cepat di daerah-daerah tersebut. Migrasi desa-kota dari daerah-daerah
perdesaan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta menuju ke kota-kota Surabaya,
Jakarta, serta beberapa kota di pesisir utara Pulau Jawa terjadinya secara berkelanjutan
sehingga daerah-daerah tersebut meningkat dengan pesat, baik dari sisi pertambahan
penduduk maupun perkembangan perekonomiannya.
Pesatnya peningkatan urbanisasi tersebut juga berkaitan dengan ketidak -hasil
alam lainnya, seperti karet dan hasil-hasil perkebunan lainnya, yang tentu saja
mempengaruhi perolehan ekspor Indonesia. Sementara itu ekspor kayu pun mengalami
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
3
banyak hambatan sehingga tingkat pertumbuhan ekonomi beberapa daerah di luar Pulau
Jawa juga ikut terganggu.
Walaupun pertumbuhan industri secara umum mengalami penurunan,
perkembangan sektor perpabrikan (manufacturing) tetap terkonsentrasi di Pulau Jawa
Pada tahun 1985, sekitar 76% dari seluruh tenaga kerja sektor manufacturing di
Indonesia terdapat di Pulau Jawa. Sementara itu 72% pembangunan fasilitas perkotaan
dan perdesaan terpusat di Pulau Jawa, terutama di Jakarta dan daerah pesisir utara Pulau
Jawa.
Penyebaran yang cepat dari proses mekanisasi sektor pertanian pada awal
dasawarsa 1980-an juga menyebabkan makin menurunnya tenaga kerja yang dapat
diserap di sektor ini. Kecenderungan ini kemudian diikuti dengan berlangsungnya
migrasi desa-kota. Keadaan perekonomian yang terjadi pada saat itu sangat
mempengaruhi proses urbanisasi selama kurun waktu 1980-an. Pada kurun waktu
tersebut terjadi penurunan yang cukup signifikan dari migrasi desa-kota di berbagai
wilayah di Indonesia, kecuali untuk DKI Jakarta dan daerah pesisir utara Pulau Jawa.
Sementara itu program trasmigrasi yang besar-besaran selama dekade 1980-an
juga telah mempengaruhi pola distribusi penduduk, terutama proses urbanisasi di Pulau
Jawa pada masa tersebut. Sebagian besar dari para trasmigran berasal dari Jawa Timur,
Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Sementara migrasi masuk ke Jawa yang berasal dari luar
Pulau Jawa sebagian besar menuju Jakarta dan daerah sekitarnya, termasuk Jawa Barat.
Ketiga, Pada paruh kedua dasawarsa 1980-an pemerintah memiliki minat yang
besar untuk mengembangkan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Investasi pemerintah di
kawasan ini telah meningkat dari 26% pada tahun 1993 menjadi 27,6% dari total
investasi pemerintah seluruhnya pada tahun 1998. Peningkatan investasi pemerintah
tersebut diikuti oleh peningkatan investasi swasta dari 14% menjadi 15,3% dari total
investasi sawsta pada kurun waktu yang sama. Sementara itu pada periode yang sama
investasi pemerintah di Kawasan Barat Indonesia (KBI) mengalami penurunan dari
85,7% menjadi 84,7% dari seluruh total investasi pemerintah. Upaya menggeser pola
mobilitas lebih kearah Timur mulai diusahakan sejak saat itu.
Apakah kebijaksanaan tersebut akan mempengaruhi perpindahan penduduk ke
kawasan Timur Indonesia?. Berdasarkan proyeksi pemerintah pada tahun 1998,
proyeksi yang dibuat sebelum krisis ekonomi terjadi, terdapat lebih kurang 2,6 juta
kesempatan kerja di Kawasan Timur Indonesia (Ramelan,Rahardi:1994). Sedangkan
seluruh kesempatan kerja yang diproyeksikan terdapat pada tahun itu sebanyak 90,7
juta.
Program yang Mungkin Dikembangkan
Bagaimana strategi pembangunan nasional dapat mempengaruhi persebaran dan
mobilitas penduduk?. Pada tahun 1995 sekitar 58% penduduk Indonesia berdiam di
Pulau Jawa. Persentase ini sedikit menurun dari 63,8% pada tahun 1971. Sementara itu
Pulau Sumatera didiami oleh hanya 20,9% dari total penduduk pada tahun 1995.
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
4
Sedangkan pada tahun 1971, jumlah penduduk Pulau Sumatera sebesar 17,5%
dari seluruh penduduk Indonesia. Kecenderungan ini diikuti oleh Pulau Kalimantan di
mana persentase penduduk di pulau ini meningkat dari 4,4% menjadi 5,4% pada kurun
waktu yang sama. Persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan naik dari
22,4% pada 1980 menjadi 35% pada tahun 1995. Penduduk daerah perkotaan antara
tahun 1980-1995 meningkat rata-rata 5-7% pertahun, sementara peningkatan penduduk
daerah perdesaan hanya sekitar 1-1,2% pertahun pada periode yang sama.
Pola migrasi penduduk di Indonesia belum mengalami perubahan dengan arus
migrasi masih berada di sekitar Pulau Jawa dan Sumatera. Migrasi keluar dari Pulau
Jawa terbanyak masuk ke Pulau Sumatera. Demikian juga migrasi keluar dari pulaupulau di Kawasan Timur Indonesia seperti Kalimantan, Papua, Maluku, kebanyakan
masuk ke Pulau Jawa.
Gambaran diatas memperlihatkan bahwa pola migrasi di Indonesia belum
mampu mendorong pembangunan sumber daya manusia secara merata diseluruh
kawasan Indonesia. Ada kecenderungan migrasi internal yang terjadi justru berdampak
negatif pada pembangunan daerah di luar Pulau Jawa, khususnya Kawasan Timur
Indonesia. Tenaga kerja terdidik dari luar Jawa pada umumnya pindah ke Pulau Jawa
terutama ke DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sebaliknya penduduk yang pindah keluar
Pulau Jawa pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Kurangnya
kesempatan kerja di luar Pulau Jawa merupakan alasan utama mengapa para tenaga
kerja terdidik dari Pulau Jawa enggan pindah ke luar Pulau Jawa. Selain itu terpusatnya
kegiatan ekonomi, pendidikan, dan politik di Pulau Jawa juga memberikan pengaruh
pada pola perpindahan penduduk tersebut.
Walaupun berbagai studi dan data memperlihatkan bahwa gerak pepindahan
penduduk sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi, beberapa negara
mengembangkan kebijaksanaan pemindahan penduduk yang lebih terarah. Vietnam dan
Cina memiliki kebijaksanaan langsung untuk mengarahkan persebaran penduduk
mereka. Beberapa tahun setelah perang berakhir, Vietnam telah berhasil memindahkan
penduduk dari daerah perkotaan ke daerah perdesaan dan dipekerjakan pada lahan-lahan
pertanian yang ada. Cina pada tahun 1958 mengadakan registrasi rumah tangga. Melalui
registrasi rumah tangga tersebut maka penduduk diklasifikasikan kedalam dua katagori,
yaitu penduduk kota dan penduduk desa. Tujuannya adalah tidak saja untuk memonitor
perpindahan penduduk, namun juga mempertahankan agar penduduk tetap berada di
daerah sesuai dengan tempat kelahirannya (Kim:1990). Kebijaksanaan ini dikenal
dengan semboyan “leave the land not the village.”
Kebijaksanaan langsung dalam mengendalikan gerak perpindahan penduduk
dilandasi pemikiran untuk mencegah gejala migrasi penduduk menuju ke satu tempat
saja, dan sekaligus berupaya meghilangkan kesenjangan ekonomi. Dari perspektif
moral, kebijaksanaan langsung semacam itu bertentangan dengan hak azasi warga
negara. Karena pada dasarnya setiap warga negara berhak untuk bertempat tinggal
dimana saja. Oleh karenanya, pendekatan kebijaksanaan langsung tersebut kurang
populer dan tidak banyak negara yang menganut pendekatan tersebut. Bagi Indonesia,
justru era reformasi saat ini, kebijaksanaan seperti itu perlu dikaji dan dipertimbangkan
kembali.
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
5
Program trasmigrasi pada awal perkembangannya dapat dicirikan sebagai upaya
langsung mengarahkan mobilitas dan distribusi panduduk. Namun sejalan dengan
perkembangan waktu dan perubahan keadaan, baik dalam tingkat kebijaksanaan
maupun langkah-langkah pelaksanaan, program trasmigrasi saat ini sudah mulai
dikaitkan dengan pembangunan daerah dan pembangunan wilayah. Pada dasarnya hal
ini merupakan inti dari pendekatan secara tidak langsung dari upaya pengarahan
mobilitas dan persebaran penduduk. Oleh karenanya, untuk mempercepat kemampuan
daerah untuk berkembang, otonomi yang seluas-luasnya perlu segera diberlakukan.
Mobilitas dan Otonomi Daerah
Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah dengan daerah lainnya
menyebabkan penduduk terdorong atau tertarik untuk melakukan pergerakan dari satu
daerah ke daerah lainnya. Oleh karena itu pembangunan daerah perlu diarahkan untuk
lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar daerah
perkotaan dan daerah perdesaan, serta mampu membuka daerah terisolasi dan
mempercepat pembangunan kawasan yang tertinggal, seperti Kawasan Timur
Indonesia.
Sebagai contoh, adanya mobilitas penduduk dari daerah perdesaan ke daerah
perkotaan mencerminkan perbedaan pertumbuhan dan ketidak merataan fasilitas
pembangunan antar daerah perdesaan dan daerah perkotaan. Selama masih terdapat
perbedaan tersebut, mobilitas penduduk akan terus berlangsung (Tjahyati, Budi : 1995).
Apalagi telah menjadi kenyataan yang secara umum diketahui bahwa pada beberapa
negara berkembang, konsentrasi investasi dan sumber daya pada umumnya berada di
daerah perkotaan (Rondineli and Ruddle: 1978 ).
Kenyataan tersebut semakin diperburuk karena perencanaan spasial di negaranegara berkembang lebih didominasi oleh pendekatan “dari atas” (Stohr and Taylor:
1981). Strategi pembangunan semacam ini didasarkan pada tujuan utama dari
pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ( Rondinelli and Rudlle: 1978).
Karena itu proses pembangunan terutama dipusatkan pada sektor industri di daerah
perkotaan, menekankan pada kegiatan ekonomi padat modal dan teknologi tinggi.
Perluasan industri cenderung diikuti dengan kebijaksanaan subtitusi impor dalam
rangka meningkatkan kemandirian ekonomi nasional. (Potter: 1985).
Sebagai tanggapan atas proses pembangunan secara keseluruhan, pendekatan
“dari bawah” (bottom-up) kemudian banyak dianut. Melalui pendekatan ini, tujuan
utama seluruh proses pembangunan adalah lebih memeratakan kesejahteraan penduduk
dari pada mementingkan tingkat pertumbuhan ekonomi (Hansen: 1981). Karena itu
pendekatan “bottom-up” berupaya mengoptimalkan penyebaran sumber daya yang
dimiliki dan potensial keseluruh wilayah. Banyak pemerintah di negara-negara sedang
berkembang mengikuti aliran ini dengan maksud lebih menyeimbangkan pelaksanaan
pembangunan, dalam arti memanfaatkan ruang dan sumber daya secara efisien.
Pendekatan bottom-up mengisyaratkan kebebasan daerah atau wilayah untuk
merencanakan pembangunan sendiri sesuai dengan keperluan dan keadaan daerah
masing-masing. Oleh karena itu otonomi yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
6
masing-masing daerah agar mampu mengatur dan menjalankan berbagai kebijaksanaan
yang dirumuskan sendiri guna peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah atau
kawasan yang bersangkutan. Melalui otonomi daerah, yang berarti desentralisasi
pembangunan, laju pertumbuhan antar daerah akan semakin seimbang dan serasi
sehingga pelaksanaan pembangunan nasional serta hasil-hasilnya semakin merata di
seluruh Indonesia.
Beberapa kata kunci yang perlu diberikan penekanan pada pembangunan daerah
adalah: (1) pembangunan daerah disesuaikan dengan prioritas dan potensi masingmasing daerah; dan (2) adanya keseimbangan pembangunan antar daerah. Kata kunci
pertama mengandung makna pada kesadaran pemerintah untuk melakukan
desentralisasi pembangunan terutama berkaitan dengan beberapa sektor pembangunan
yang dipandang sudah mampu dilaksanakan di daerah masing-masing.
Kata kunci kedua mengandung makana pada adanya kenyataan bahwa masingmasing daerah memiliki potensi baik alam, sumber daya manusia maupun kondisi
geografis yang berbeda-beda, yang meyebabkan ada daerah yang memiliki potensi
untuk berkembang secara cepat dan sebaliknya ada daerah yang kurang dapat
berkembang karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Adanya perbedaan potensi
antar daerah ini menyebabkan peran pemerintah pusat sebagai “pengatur
kebijaksanaan pembangunan nasional” tetap diperlukan agar timbul keselarasan,
keseimbangan dan keserasian perkembangan semua daerah baik yang memiliki potensi
yang berlebihan maupun yang kurang memiliki potensi.
Dengan demikian, melalui otonomi dalam pengaturan pendapatan, sitem pajak,
keamanan warga, sistem perbankan dan berbagai pengaturan lain yang dapat diputuskan
daerah sendiri, akan dimungkinkan perpindahan penduduk secara sukarela dengan
tujuan semata-mata peningkatan kesejahteraan penduduk itu sendiri. Akan berbeda
dengan perpindahan yang lebih berupa suruhan, desakan atu malah setengah paksaan,
yang bahkan hanya akan menghasilkan mobilitas yang bersifat “dukalara” semata.
Pengalaman dan kenyataan yang ditemui dalam arus dan perpindahan penduduk
di negara-negara bagian Amerika Serikat ataupun negara-negara anggota Uni Eropa,
telah menunjukkan bahwa otonomi yang nyata dan bertanggung jawab telah berhasil
mengarahkan mobilitas penduduk yang bersifat sukarela tersebut.
Penutup
Pola mobilitas penduduk dimasa mendatang akan banyak mengalami perubahan
sejalan dengan perkembangan tingkat sosial ekonomi masyarakat dan semakin
maraknya hubungan antar negara. Mobilitas internal yang bersifat antar daerah dan
perdesaan-perkotaan akan terus berlangsung sampai kesenjangan pendapatan,
kesempatan bekerja dan fasilitas sosial antar daerah, semakin berkurang. Pada waktu
yang bersamaan mobilitas sirkuler juga akan meningkat. Jika tingkat kesenjangan
pembangunan antar daerah relatif kecil, angka migrasi penduduk akan menurun.
Sebaliknya mobilitas sirkuler akan cenderung meningkat. Gejala ini disebabkan banyak
penduduk yang bertempat tinggal cukup jauh dari tempat bekerja atau pusat pendidikan.
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
7
Untuk itu, perlu dikembangkan perangkat data dan sistem pemantauan yang mampu
berperan sebagai masukan bagi penyusunan kebijaksanaan mobilitas penduduk dan
sekaligus bagi pengembangan pembangunan daerah dan wilayah setempat.
Pola kedua mobilitas dan penyabaran penduduk yang diperkirakan terus
berkembang dimasa mendatang adalah meningkatnya proporsi penduduk daerah
perkotaan atau yang dikenal dengan istilah urbanisasi. Sejalan dengan peningkatan
urbanisasi maka jumlah kota metropolitan dan kota besar akan semakin bertambah
dimasa mendatang. Konsentrasi penduduk penduduk yang berlebihan di kota tertentu
akan memberikan dampak tertentu bagi perekonomian negara secara keseluruhan.
bahkan dapat menimbulkan kejadian yang berakibat negatif terhadap proses
pembangunan itu sendiri. Pengalaman yang pernah dialami pertengahan Mei dua tahun
lalu, telah membuktikan hal tersebut. Berbagai gejolak yang terjadi selama ini di
ibukota juga disebabkan konsentrasi penduduk yang berlebihan pada satu tempat itu.
Selama ini peran Jakarta terhadap perekonomian nasional sangat penting bila
dibandingkan dengan kota-kota metropolitan lainnya. Kerusuhan yang terjadi di kotakota Ambon, Medan, dan Makassar, terbukti tidak terlalu memiliki pengaruh yang besar
pada perekonomian nasional. Namun, begitu kerusuhan terjadi di kota Jakarta,
pengaruhnya cukup fatal pada perekonomian nasional. Pengalaman tersebut dapat
menjadi pelajaran yang sangat berharga dalam membuat kebijaksanaan pengembangan
perkotaan untuk masa mendatang. Pemusatan penduduk pada satu kota besar saja
sedapat mungkin dihindarkan.
Pola mobilitas lain yang juga diperkirakan berubah dimasa mendatang adalah
migrasi internasional atau perpindahan penduduk antar negara. Perubahan pola
hubungan ekonomi antar bangsa, sejak awal dasawarsa delapan puluhan, menyebabkan
persoalan migrasi internasional, khususnya migrasi tenaga kerja, memerlukan pemikiran
yang lebih serius pada masa mendatang (Zolberg, Aristide, R. : 1978). Pembentukan
fakta-fakta perdagangan dan pemusatan kegiatan ekonomi, seperti misalnya yang
dikenal dengan Uni Eropa, APEC, AFTA, NAFTA, dan lain sebagainya, serta
meningkatnya perdagangan dan investasi bebas, termasuk mengurangi peraturan lalu
lintas tenaga kerja antar negara, akan sangat mempengaruhi pola kecenderungan migrasi
internasional dimasa depan. Kecenderungan semacam ini yang patut dipertimbangkan„
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
8
Daftar Pustaka
Adelman, Howard, 1988. Refugee or Asylum: Aphilosophical Perspective, Journal OF
Refugee Studies,I (1) 7-19.
Beyer, Gunther, 1981 The Political refugee: 25 Yearslater, Internasional Migration
Review,(1), 26-34.
Badan Pusat Statistik, 1997 Perpindahan Penduduk dan Urbanisasi di Indonesia, hasil
Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995, Seri S4, Jakarta, Indonesia.
Broek, Julien Van den, 1996 The Economics OF Labor Migration, Edward Elgar,
Cheltenham, UK-Brookfield, USA.
Douglas, Mike, 1992 Structural Change and the Urbanization in Indonesia:From the
“Old to the “New” International Division OF Labor, University of Hawaii
Press, USA.
Hansen, 1981 “Devlopment From Above: The Center Down Development Paradigm” in
W.B. Stohr and F. Taylor (eds) Development From Above or Below? The
Dialectics OF Regional Planning in Developing Countries, Chichester: John
willey and Sons.
Kim, Won bae, 1990 Population Distribution Policy in China: A Review, paper
published in Regional Development Dialogue, Vol. 11, No.1, Spring 1990.
King, Russel, 1996 “Migration in a World Historical Perspective” in Broek, Julien van
den, 1996, The Economics OF Labor Migration, Edward Elgar, Cheltenham,
UK-Brookfield, USA.
Kunz, E.F, 1973 “The Refugee in flight: Kinetic Models and Forms OF Displacement”.
International Migration Riview, VII (2), summer, 125-146.
Peterson, William, 1969, Population, 2 Ed. London: McMillan, 289-307.
Piore, Michael J, 1979, Bird OF Passage: Migrant Labor in Industrial societies,
Cambridge Uniiiversity Press.
Potter, R.B, 1985, Urbanization and Planning in the Third World: Spatial Perceptions
and Publics Participation, London: Croom Helm.
Ramelan, Rahadi, 1994, Arah Kebijaksanaan Pembangunan di Kawasan Timur
Indonesia dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua, makalah dipresentasikan
pada Seminar Sehari Pengembangan Kawasan Timur Indonesia , Kantor Menteri
Negara Kependudukan/BKKBN, Jakarta, Desember 1994.
Rondinelli and Ruddle, K, 1978, Urbanization and Rural Development: A Spatial
Policy For Equitable Growth, New York: Praegar Publisher.
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
9
Stark, Odded, 1991, The Migration OF Labor, Cambridge: Basil Blackwell.
Taylor, J. Edward, 1986, “Differential Migration, Networks, Information and Risk”, in
Odded Stark (ed) Research in Human Capital and Development, Vol.4,
Migration, Human Capital and Development, Greenwich, Coon: JAI Press, 147177.
Tjahyati, Budi, 1995, Mobilitas Penduduk dan Pengaruhnya Terhadap Pembangunan
Daerah, makalah disajikan dalam pertemuan “Kelompok Kerja Pengembangan
Kebijaksanaan Pengarahan Persebaran dan Mobilitas Penduduk, Jakarta: Kantor
Menteri Negara Kependudukan/BKKBN.
Wilkinson, R.G, 1973, Poverty and Progress-An Ecological Model of Economic
Development, London: Menthuen.
Wirosuhardjo, Kartomo, et.al. 1986, Urbanization and Urban Policies: Lessons
Learned From East and Southeast Asian Experiences, State Ministry For
Population and Env ironment, Jakarta, Indonesia.
Zolberg, Aristide, R, 1978, “International Mvv igration Policies in Changing World
System” in W.H. McNeill and R.S. Adams (eds), Human Migration: Patterns
and Policies,Bloomington: University of Indiana Press, 241-186.
…, 1989 “The Next Wave: Migration Theory For a Changing World”, International
Migration Review, XXII (3), Fall, 403-430.
Naskah No. 20, Juni-Juli 2000
10
Comment:
Download