Comment: Mobilitas Penduduk dan Pembangunan Ekonomi Prijono Tjiptoherijanto * Pendahuluan Mobilitas penduduk merupakan bagian integral dari proses pembangunan secara keseluruhan. Mobilitas telah menjadi penyebab dan penerima dampak dari perubahan dalam struktur ekonomi dan sosial suatu daerah. Oleh sebab itu, tidak terlalu tepat untuk hanya menilai semata-mata aspek positif maupun negatif dari mobilitas penduduk terhadap pembangunan yang yang ada, tanpa memperhitungkan pengaruh kebaikannya. Tidak akan terjadi proses pembangunan tanpa adanya mobolitas penduduk. Tetapi juga tidak akan terjadi pengarahan penyebaran penduduk yang berarti tanpa adanya kegiatan pembangunan itu sendiri. Mobilitas Penduduk dan Perubahan Sosial Ekonomi Pertanyaan paling mendasar dalam menelaah mobilitas penduduk adalah: mengapa penduduk memutuskan untuk pindah atau tetap tinggal di tempat asalnya? Sehubungan dengan pertanyaan ini, para pakar ilmu sosial melihat mobilitas penduduk dari sudut proses untuk mempertahankan hidup (Wilkinson:1973; Broek, Julien Van den:1996). Proses mempertahankan hidup ini harus dilihat dalam arti yang luas, yaitu dalam konteks ekonomi, sosial, politik, maupun budaya. Meskipun demikian, banyak studi memperlihatkan bahwa bentuk-bentuk keputusan serta motivasi yang diambil oleh induvidu akan sangat berlainan, antara karena alasan ekonomi dengan karena alasan politik (Peterson,W:1995; Kunz, E.F.;1973). Perpindahan atau migrasi yang didasarkan pada motif ekonomi merupakan migrasi yang direncanakan oleh individu sendiri secara sukarela (voluntary planned migraton). Para penduduk yang akan berpindah, atau migran, telah memperhitungkan berbagai kerugian dan keuntungan yang akan di dapatnya sebelum yang bersangkutan memutuskan untuk berpindah atau menetap ditempat asalnya. Dalam hubungan ini tidak ada unsur paksaan untuk melakukan migrasi. Tetapi semenjak dasawarsa 1970-an banyak dijumpai pula mobilitas penduduk yang bersifat paksaan atau “dukalara” atau terdesak (impelled) (Peterson,W:1969). Mobilitas penduduk akibat kerusuhan politik atau bencana alam seperti yang terjadi di Sakel ataupun Horn, Afrika merupakan salah satu contoh. Adanya berbagai tekanan dari segi politik, sosial, ataupun budaya menyababkan individu tidak memiliki kesempatan dan kemampuan untuk melakukan perhitungan manfaat ataupun kerugian dari aktivitas migrasi tersebut. Mereka berpindah ke daerah baru dalam kategori sebagai pengungsi * Prof. Dr. Prijono Tjiptoherijanto adalah Guru Besar Tetap Bidang Ilmu Ekonomi Sumberdaya Manusia pada Universitas Indonesia. Pokok-pokok pikiran dalam tulisan ini pernah disampaikan dalam Simposium Dua Hari Kantor Mentrans dan Kependudukan/BAKMP di Jakarta tanggal 25-26 Mei 2000-red. Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 1 (refugees). Para pengungsi ini memperoleh perlakuan yang berbeda di daerah tujuan dengan migran yang berpindah semata-mata karena motif ekonomi (Beyer, Gunther; 1981; Adelman: 1988). Dalam kenyataannya, secara konseptual maupun metodelogi, para ahli sampai saat ini masih mengalami kesulitan dalam membedakan secara lebih tajam antara migran dengan motif ekonomi dan migran karena motif-motif non ekonomi (Kunz. E. F.; 1973; King, Rusell: 1966). Dari kacamata ekonomi, berbagai teori telah dikembangkan dalam menganalisa mobilitas penduduk. Teori-teori tersebut selama ini telah mengalami perkembangan yang sangat mendasar. Sejak teori mobilitas klasik “individual relocaton” yang dikembangkan oleh Ravenstein pada tahun 1985, saat ini telah berkembang teori yang menekankan pada unsur sejarah, struktural, maupun kecenderungan global (Zolberg, Aristide, R. : 1989). Teori yang berorientasikan pada neoclassical economics sebagai contoh, baik makro maupun mikro lebih memberikan perhatian pada perbedaan upah dan kondisi kerja antar daerah atau antar negara, serta biaya, dalam keputusan seseorang melakukan migrasi. Menurut aliran ini, perpindahan penduduk merupakan keputusan pribadi yang didasarkan atas keinginan untuk mendapatkan kesejahteraan yang maksimum. Aliran “new economics of migration”, dilain pihak beranggapan bahwa perpindahan atau mobilitas penduduk terjadi bukan saja berkaitan dengan pasar kerja, namun juga karena adanya faktor-faktor lain. Aliran ini juga menekankan bahwa keputusan untuk melakukan migrasi tidak semata-mata keputusan individu saja, namun terkait dengan lingkungan sekitar, utamanya lingkungan keluarga. Dalam hal ini keputusan untuk pindah tidak semata ditentukan oleh keuntungan maksimum yang akan diperoleh, tetapi juga ditentukan oleh kerugian yang minimal yang dimungkinkan dan berbagai hambatan yang akan ditemui, dikaitkan dengan terjadinya kegagalan pasar (market failures) (Taylor; 1968; Stark; 1991). Berbeda dengan keputusan individu, keluarga atau rumah tangga berada pada posisi yang lebih mampu menangani resiko ekonomi rumah tangga pada saat migrasi dilakukan, melalui diversivikasi alokasi berbagai sumber yang dimiliki oleh keluarga atau rumah tangga, seperti misalnya dengan alokasi tenaga kerja keluarga. Beberapa anggota rumah tangga tetap bekerja di daerah asal, sementara yang lain bekerja di luar daerah ataupun luar negara. Pembagian tersebut pada dasarnya merupakan upaya meminimalkan resiko terhadap kegagalan yang mungkin terjadi akibat melakukan perpindahan atau migrasi. Selain itu, jika pasar kerja lokal tidak memungkinkan rumah tangga tersebut memperoleh penghasilan yang memadai maka pengiriman uang (remittances) yang dikirim dari anggota rumah tangga yang bekerja diluar daerah ataupun luar negara dapat membantu menopang ekonomi rumah tangga. Aliran lain untuk menganalisis timbulnya minat melakukan migrasi adalah dual labor market theory. Jika dua pendekatan terdahulu dapat dikelompokkan sebagai “micro-level decision model”, maka aliran “dual labor market theory” mengemukakan bahwa migrasi penduduk terjadi karena adanya keperluan tenaga kerja yang bersifat hakiki (intrisic labor demand) pada masyarakat industri modern (Piore: 1979). Menurut Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 2 paham ini migrasi terjadi karena adanya keperluan akan klasifikasi tenaga kerja tertentu pada daerah atau negara yang telah maju. Dengan demikian migrasi terjadi bukan karena push factors yang ada pada daerah asal, namun lebih karena adanya pull factors pada daerah tujuan; keperluan akan tenaga kerja dengan spesifikasi tertentu yang tidak mungkin dielakkan. Mengacu pada berbagai pendapat tersebut, pembangunan ekonomi memang akan mendorong terjadinya mobilitas dan perpindahan penduduk. Penduduk akan berpindah menuju tempat yang menjanjikan kehidupan yang lebih baik bagi diri maupun keluarganya, yang tidak lain adalah tempat yang lebih berkembang secara ekonomi dibandingkan dengan tempat asalnya. Kebijaksanaan Ekonomi Makro dan Mobilitas di Indonesia Pola dan kenyataan migrasi penduduk di Indonesia sangat jelas memperlihatkan keterkaitan dan hubungan antara strategi pembangunan ekonomi dengan pola mobilitas penduduk. Sejak pemerintah Orde Baru secara resmi berkuasa pada tahun 1967, paling tidak terdapat tiga pola kebijaksanaan ekonomi makro yang mempengaruhi persebaran dan mobilitas penduduk di Indonesia. Pertama, strategi makro ekonomi makro yang dijalankan antara tahun 1967 sampai 1980. Pada masa itu, kombinasi antara kebijaksanaan substitusi impor dan investasi asing di sektor perpabrikan (manufacturing) di Indonesia telah meningkatkan polarisasi pembangunan terpusat pada metropolitan Jakarta. Antara tahun 1974-1979 persentase sumbangan DKI Jakarta dan daerah sekitarnya yaitu Jawa Barat terhadap pertumbuhan sektor manufacturing skala besar dan menengah di Indonesia meningkat dari 38% menjadi 42%. Faktor lain yang juga mendukung makin besarnya peranan DKI Jakarta terhadap mobilitas penduduk adalah ekspansi atau perluasan yang cepat dari jasa-jasa kemiliteran, peningkatan lembaga-lembaga keuangan dan masuknya usaha bisnis asing serta tenaga asing untuk bekerja di sektor perminyakan, perusahaan asing, perusahaan konsultan, dan bahkan lembaga-lembaga donor internasional yang berkantor di Jakarata. Kesemuanya ini menyebabkan meningkatnya keperluan akan perumahan dan juga menciptakan pasar untuk jasa-jasa yang lebih canggih (advaced) (Douglass, M. :1992: Wirosuhardjo, K:1986). Kecenderungan pola industrilisasi dan pemusatan kegiatan ekonomi di DKI Jakarta serta daerah-daerah pesisir utara Pulau Jawa menyebabkan terjadinya proses urbanisasi yang cepat di daerah-daerah tersebut. Migrasi desa-kota dari daerah-daerah perdesaan di Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta menuju ke kota-kota Surabaya, Jakarta, serta beberapa kota di pesisir utara Pulau Jawa terjadinya secara berkelanjutan sehingga daerah-daerah tersebut meningkat dengan pesat, baik dari sisi pertambahan penduduk maupun perkembangan perekonomiannya. Pesatnya peningkatan urbanisasi tersebut juga berkaitan dengan ketidak -hasil alam lainnya, seperti karet dan hasil-hasil perkebunan lainnya, yang tentu saja mempengaruhi perolehan ekspor Indonesia. Sementara itu ekspor kayu pun mengalami Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 3 banyak hambatan sehingga tingkat pertumbuhan ekonomi beberapa daerah di luar Pulau Jawa juga ikut terganggu. Walaupun pertumbuhan industri secara umum mengalami penurunan, perkembangan sektor perpabrikan (manufacturing) tetap terkonsentrasi di Pulau Jawa Pada tahun 1985, sekitar 76% dari seluruh tenaga kerja sektor manufacturing di Indonesia terdapat di Pulau Jawa. Sementara itu 72% pembangunan fasilitas perkotaan dan perdesaan terpusat di Pulau Jawa, terutama di Jakarta dan daerah pesisir utara Pulau Jawa. Penyebaran yang cepat dari proses mekanisasi sektor pertanian pada awal dasawarsa 1980-an juga menyebabkan makin menurunnya tenaga kerja yang dapat diserap di sektor ini. Kecenderungan ini kemudian diikuti dengan berlangsungnya migrasi desa-kota. Keadaan perekonomian yang terjadi pada saat itu sangat mempengaruhi proses urbanisasi selama kurun waktu 1980-an. Pada kurun waktu tersebut terjadi penurunan yang cukup signifikan dari migrasi desa-kota di berbagai wilayah di Indonesia, kecuali untuk DKI Jakarta dan daerah pesisir utara Pulau Jawa. Sementara itu program trasmigrasi yang besar-besaran selama dekade 1980-an juga telah mempengaruhi pola distribusi penduduk, terutama proses urbanisasi di Pulau Jawa pada masa tersebut. Sebagian besar dari para trasmigran berasal dari Jawa Timur, Jawa Tengah, dan Yogyakarta. Sementara migrasi masuk ke Jawa yang berasal dari luar Pulau Jawa sebagian besar menuju Jakarta dan daerah sekitarnya, termasuk Jawa Barat. Ketiga, Pada paruh kedua dasawarsa 1980-an pemerintah memiliki minat yang besar untuk mengembangkan Kawasan Timur Indonesia (KTI). Investasi pemerintah di kawasan ini telah meningkat dari 26% pada tahun 1993 menjadi 27,6% dari total investasi pemerintah seluruhnya pada tahun 1998. Peningkatan investasi pemerintah tersebut diikuti oleh peningkatan investasi swasta dari 14% menjadi 15,3% dari total investasi sawsta pada kurun waktu yang sama. Sementara itu pada periode yang sama investasi pemerintah di Kawasan Barat Indonesia (KBI) mengalami penurunan dari 85,7% menjadi 84,7% dari seluruh total investasi pemerintah. Upaya menggeser pola mobilitas lebih kearah Timur mulai diusahakan sejak saat itu. Apakah kebijaksanaan tersebut akan mempengaruhi perpindahan penduduk ke kawasan Timur Indonesia?. Berdasarkan proyeksi pemerintah pada tahun 1998, proyeksi yang dibuat sebelum krisis ekonomi terjadi, terdapat lebih kurang 2,6 juta kesempatan kerja di Kawasan Timur Indonesia (Ramelan,Rahardi:1994). Sedangkan seluruh kesempatan kerja yang diproyeksikan terdapat pada tahun itu sebanyak 90,7 juta. Program yang Mungkin Dikembangkan Bagaimana strategi pembangunan nasional dapat mempengaruhi persebaran dan mobilitas penduduk?. Pada tahun 1995 sekitar 58% penduduk Indonesia berdiam di Pulau Jawa. Persentase ini sedikit menurun dari 63,8% pada tahun 1971. Sementara itu Pulau Sumatera didiami oleh hanya 20,9% dari total penduduk pada tahun 1995. Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 4 Sedangkan pada tahun 1971, jumlah penduduk Pulau Sumatera sebesar 17,5% dari seluruh penduduk Indonesia. Kecenderungan ini diikuti oleh Pulau Kalimantan di mana persentase penduduk di pulau ini meningkat dari 4,4% menjadi 5,4% pada kurun waktu yang sama. Persentase penduduk yang tinggal di daerah perkotaan naik dari 22,4% pada 1980 menjadi 35% pada tahun 1995. Penduduk daerah perkotaan antara tahun 1980-1995 meningkat rata-rata 5-7% pertahun, sementara peningkatan penduduk daerah perdesaan hanya sekitar 1-1,2% pertahun pada periode yang sama. Pola migrasi penduduk di Indonesia belum mengalami perubahan dengan arus migrasi masih berada di sekitar Pulau Jawa dan Sumatera. Migrasi keluar dari Pulau Jawa terbanyak masuk ke Pulau Sumatera. Demikian juga migrasi keluar dari pulaupulau di Kawasan Timur Indonesia seperti Kalimantan, Papua, Maluku, kebanyakan masuk ke Pulau Jawa. Gambaran diatas memperlihatkan bahwa pola migrasi di Indonesia belum mampu mendorong pembangunan sumber daya manusia secara merata diseluruh kawasan Indonesia. Ada kecenderungan migrasi internal yang terjadi justru berdampak negatif pada pembangunan daerah di luar Pulau Jawa, khususnya Kawasan Timur Indonesia. Tenaga kerja terdidik dari luar Jawa pada umumnya pindah ke Pulau Jawa terutama ke DKI Jakarta dan Jawa Barat. Sebaliknya penduduk yang pindah keluar Pulau Jawa pada umumnya memiliki tingkat pendidikan yang rendah. Kurangnya kesempatan kerja di luar Pulau Jawa merupakan alasan utama mengapa para tenaga kerja terdidik dari Pulau Jawa enggan pindah ke luar Pulau Jawa. Selain itu terpusatnya kegiatan ekonomi, pendidikan, dan politik di Pulau Jawa juga memberikan pengaruh pada pola perpindahan penduduk tersebut. Walaupun berbagai studi dan data memperlihatkan bahwa gerak pepindahan penduduk sangat dipengaruhi oleh perkembangan ekonomi, beberapa negara mengembangkan kebijaksanaan pemindahan penduduk yang lebih terarah. Vietnam dan Cina memiliki kebijaksanaan langsung untuk mengarahkan persebaran penduduk mereka. Beberapa tahun setelah perang berakhir, Vietnam telah berhasil memindahkan penduduk dari daerah perkotaan ke daerah perdesaan dan dipekerjakan pada lahan-lahan pertanian yang ada. Cina pada tahun 1958 mengadakan registrasi rumah tangga. Melalui registrasi rumah tangga tersebut maka penduduk diklasifikasikan kedalam dua katagori, yaitu penduduk kota dan penduduk desa. Tujuannya adalah tidak saja untuk memonitor perpindahan penduduk, namun juga mempertahankan agar penduduk tetap berada di daerah sesuai dengan tempat kelahirannya (Kim:1990). Kebijaksanaan ini dikenal dengan semboyan “leave the land not the village.” Kebijaksanaan langsung dalam mengendalikan gerak perpindahan penduduk dilandasi pemikiran untuk mencegah gejala migrasi penduduk menuju ke satu tempat saja, dan sekaligus berupaya meghilangkan kesenjangan ekonomi. Dari perspektif moral, kebijaksanaan langsung semacam itu bertentangan dengan hak azasi warga negara. Karena pada dasarnya setiap warga negara berhak untuk bertempat tinggal dimana saja. Oleh karenanya, pendekatan kebijaksanaan langsung tersebut kurang populer dan tidak banyak negara yang menganut pendekatan tersebut. Bagi Indonesia, justru era reformasi saat ini, kebijaksanaan seperti itu perlu dikaji dan dipertimbangkan kembali. Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 5 Program trasmigrasi pada awal perkembangannya dapat dicirikan sebagai upaya langsung mengarahkan mobilitas dan distribusi panduduk. Namun sejalan dengan perkembangan waktu dan perubahan keadaan, baik dalam tingkat kebijaksanaan maupun langkah-langkah pelaksanaan, program trasmigrasi saat ini sudah mulai dikaitkan dengan pembangunan daerah dan pembangunan wilayah. Pada dasarnya hal ini merupakan inti dari pendekatan secara tidak langsung dari upaya pengarahan mobilitas dan persebaran penduduk. Oleh karenanya, untuk mempercepat kemampuan daerah untuk berkembang, otonomi yang seluas-luasnya perlu segera diberlakukan. Mobilitas dan Otonomi Daerah Ketimpangan yang terjadi antara satu daerah dengan daerah lainnya menyebabkan penduduk terdorong atau tertarik untuk melakukan pergerakan dari satu daerah ke daerah lainnya. Oleh karena itu pembangunan daerah perlu diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyerasikan laju pertumbuhan antar daerah, antar daerah perkotaan dan daerah perdesaan, serta mampu membuka daerah terisolasi dan mempercepat pembangunan kawasan yang tertinggal, seperti Kawasan Timur Indonesia. Sebagai contoh, adanya mobilitas penduduk dari daerah perdesaan ke daerah perkotaan mencerminkan perbedaan pertumbuhan dan ketidak merataan fasilitas pembangunan antar daerah perdesaan dan daerah perkotaan. Selama masih terdapat perbedaan tersebut, mobilitas penduduk akan terus berlangsung (Tjahyati, Budi : 1995). Apalagi telah menjadi kenyataan yang secara umum diketahui bahwa pada beberapa negara berkembang, konsentrasi investasi dan sumber daya pada umumnya berada di daerah perkotaan (Rondineli and Ruddle: 1978 ). Kenyataan tersebut semakin diperburuk karena perencanaan spasial di negaranegara berkembang lebih didominasi oleh pendekatan “dari atas” (Stohr and Taylor: 1981). Strategi pembangunan semacam ini didasarkan pada tujuan utama dari pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi ( Rondinelli and Rudlle: 1978). Karena itu proses pembangunan terutama dipusatkan pada sektor industri di daerah perkotaan, menekankan pada kegiatan ekonomi padat modal dan teknologi tinggi. Perluasan industri cenderung diikuti dengan kebijaksanaan subtitusi impor dalam rangka meningkatkan kemandirian ekonomi nasional. (Potter: 1985). Sebagai tanggapan atas proses pembangunan secara keseluruhan, pendekatan “dari bawah” (bottom-up) kemudian banyak dianut. Melalui pendekatan ini, tujuan utama seluruh proses pembangunan adalah lebih memeratakan kesejahteraan penduduk dari pada mementingkan tingkat pertumbuhan ekonomi (Hansen: 1981). Karena itu pendekatan “bottom-up” berupaya mengoptimalkan penyebaran sumber daya yang dimiliki dan potensial keseluruh wilayah. Banyak pemerintah di negara-negara sedang berkembang mengikuti aliran ini dengan maksud lebih menyeimbangkan pelaksanaan pembangunan, dalam arti memanfaatkan ruang dan sumber daya secara efisien. Pendekatan bottom-up mengisyaratkan kebebasan daerah atau wilayah untuk merencanakan pembangunan sendiri sesuai dengan keperluan dan keadaan daerah masing-masing. Oleh karena itu otonomi yang seluas-luasnya perlu diberikan kepada Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 6 masing-masing daerah agar mampu mengatur dan menjalankan berbagai kebijaksanaan yang dirumuskan sendiri guna peningkatan kesejahteraan masyarakat di daerah atau kawasan yang bersangkutan. Melalui otonomi daerah, yang berarti desentralisasi pembangunan, laju pertumbuhan antar daerah akan semakin seimbang dan serasi sehingga pelaksanaan pembangunan nasional serta hasil-hasilnya semakin merata di seluruh Indonesia. Beberapa kata kunci yang perlu diberikan penekanan pada pembangunan daerah adalah: (1) pembangunan daerah disesuaikan dengan prioritas dan potensi masingmasing daerah; dan (2) adanya keseimbangan pembangunan antar daerah. Kata kunci pertama mengandung makna pada kesadaran pemerintah untuk melakukan desentralisasi pembangunan terutama berkaitan dengan beberapa sektor pembangunan yang dipandang sudah mampu dilaksanakan di daerah masing-masing. Kata kunci kedua mengandung makana pada adanya kenyataan bahwa masingmasing daerah memiliki potensi baik alam, sumber daya manusia maupun kondisi geografis yang berbeda-beda, yang meyebabkan ada daerah yang memiliki potensi untuk berkembang secara cepat dan sebaliknya ada daerah yang kurang dapat berkembang karena berbagai keterbatasan yang dimilikinya. Adanya perbedaan potensi antar daerah ini menyebabkan peran pemerintah pusat sebagai “pengatur kebijaksanaan pembangunan nasional” tetap diperlukan agar timbul keselarasan, keseimbangan dan keserasian perkembangan semua daerah baik yang memiliki potensi yang berlebihan maupun yang kurang memiliki potensi. Dengan demikian, melalui otonomi dalam pengaturan pendapatan, sitem pajak, keamanan warga, sistem perbankan dan berbagai pengaturan lain yang dapat diputuskan daerah sendiri, akan dimungkinkan perpindahan penduduk secara sukarela dengan tujuan semata-mata peningkatan kesejahteraan penduduk itu sendiri. Akan berbeda dengan perpindahan yang lebih berupa suruhan, desakan atu malah setengah paksaan, yang bahkan hanya akan menghasilkan mobilitas yang bersifat “dukalara” semata. Pengalaman dan kenyataan yang ditemui dalam arus dan perpindahan penduduk di negara-negara bagian Amerika Serikat ataupun negara-negara anggota Uni Eropa, telah menunjukkan bahwa otonomi yang nyata dan bertanggung jawab telah berhasil mengarahkan mobilitas penduduk yang bersifat sukarela tersebut. Penutup Pola mobilitas penduduk dimasa mendatang akan banyak mengalami perubahan sejalan dengan perkembangan tingkat sosial ekonomi masyarakat dan semakin maraknya hubungan antar negara. Mobilitas internal yang bersifat antar daerah dan perdesaan-perkotaan akan terus berlangsung sampai kesenjangan pendapatan, kesempatan bekerja dan fasilitas sosial antar daerah, semakin berkurang. Pada waktu yang bersamaan mobilitas sirkuler juga akan meningkat. Jika tingkat kesenjangan pembangunan antar daerah relatif kecil, angka migrasi penduduk akan menurun. Sebaliknya mobilitas sirkuler akan cenderung meningkat. Gejala ini disebabkan banyak penduduk yang bertempat tinggal cukup jauh dari tempat bekerja atau pusat pendidikan. Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 7 Untuk itu, perlu dikembangkan perangkat data dan sistem pemantauan yang mampu berperan sebagai masukan bagi penyusunan kebijaksanaan mobilitas penduduk dan sekaligus bagi pengembangan pembangunan daerah dan wilayah setempat. Pola kedua mobilitas dan penyabaran penduduk yang diperkirakan terus berkembang dimasa mendatang adalah meningkatnya proporsi penduduk daerah perkotaan atau yang dikenal dengan istilah urbanisasi. Sejalan dengan peningkatan urbanisasi maka jumlah kota metropolitan dan kota besar akan semakin bertambah dimasa mendatang. Konsentrasi penduduk penduduk yang berlebihan di kota tertentu akan memberikan dampak tertentu bagi perekonomian negara secara keseluruhan. bahkan dapat menimbulkan kejadian yang berakibat negatif terhadap proses pembangunan itu sendiri. Pengalaman yang pernah dialami pertengahan Mei dua tahun lalu, telah membuktikan hal tersebut. Berbagai gejolak yang terjadi selama ini di ibukota juga disebabkan konsentrasi penduduk yang berlebihan pada satu tempat itu. Selama ini peran Jakarta terhadap perekonomian nasional sangat penting bila dibandingkan dengan kota-kota metropolitan lainnya. Kerusuhan yang terjadi di kotakota Ambon, Medan, dan Makassar, terbukti tidak terlalu memiliki pengaruh yang besar pada perekonomian nasional. Namun, begitu kerusuhan terjadi di kota Jakarta, pengaruhnya cukup fatal pada perekonomian nasional. Pengalaman tersebut dapat menjadi pelajaran yang sangat berharga dalam membuat kebijaksanaan pengembangan perkotaan untuk masa mendatang. Pemusatan penduduk pada satu kota besar saja sedapat mungkin dihindarkan. Pola mobilitas lain yang juga diperkirakan berubah dimasa mendatang adalah migrasi internasional atau perpindahan penduduk antar negara. Perubahan pola hubungan ekonomi antar bangsa, sejak awal dasawarsa delapan puluhan, menyebabkan persoalan migrasi internasional, khususnya migrasi tenaga kerja, memerlukan pemikiran yang lebih serius pada masa mendatang (Zolberg, Aristide, R. : 1978). Pembentukan fakta-fakta perdagangan dan pemusatan kegiatan ekonomi, seperti misalnya yang dikenal dengan Uni Eropa, APEC, AFTA, NAFTA, dan lain sebagainya, serta meningkatnya perdagangan dan investasi bebas, termasuk mengurangi peraturan lalu lintas tenaga kerja antar negara, akan sangat mempengaruhi pola kecenderungan migrasi internasional dimasa depan. Kecenderungan semacam ini yang patut dipertimbangkan Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 8 Daftar Pustaka Adelman, Howard, 1988. Refugee or Asylum: Aphilosophical Perspective, Journal OF Refugee Studies,I (1) 7-19. Beyer, Gunther, 1981 The Political refugee: 25 Yearslater, Internasional Migration Review,(1), 26-34. Badan Pusat Statistik, 1997 Perpindahan Penduduk dan Urbanisasi di Indonesia, hasil Survei Penduduk Antar Sensus (SUPAS) 1995, Seri S4, Jakarta, Indonesia. Broek, Julien Van den, 1996 The Economics OF Labor Migration, Edward Elgar, Cheltenham, UK-Brookfield, USA. Douglas, Mike, 1992 Structural Change and the Urbanization in Indonesia:From the “Old to the “New” International Division OF Labor, University of Hawaii Press, USA. Hansen, 1981 “Devlopment From Above: The Center Down Development Paradigm” in W.B. Stohr and F. Taylor (eds) Development From Above or Below? The Dialectics OF Regional Planning in Developing Countries, Chichester: John willey and Sons. Kim, Won bae, 1990 Population Distribution Policy in China: A Review, paper published in Regional Development Dialogue, Vol. 11, No.1, Spring 1990. King, Russel, 1996 “Migration in a World Historical Perspective” in Broek, Julien van den, 1996, The Economics OF Labor Migration, Edward Elgar, Cheltenham, UK-Brookfield, USA. Kunz, E.F, 1973 “The Refugee in flight: Kinetic Models and Forms OF Displacement”. International Migration Riview, VII (2), summer, 125-146. Peterson, William, 1969, Population, 2 Ed. London: McMillan, 289-307. Piore, Michael J, 1979, Bird OF Passage: Migrant Labor in Industrial societies, Cambridge Uniiiversity Press. Potter, R.B, 1985, Urbanization and Planning in the Third World: Spatial Perceptions and Publics Participation, London: Croom Helm. Ramelan, Rahadi, 1994, Arah Kebijaksanaan Pembangunan di Kawasan Timur Indonesia dalam Pembangunan Jangka Panjang Kedua, makalah dipresentasikan pada Seminar Sehari Pengembangan Kawasan Timur Indonesia , Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN, Jakarta, Desember 1994. Rondinelli and Ruddle, K, 1978, Urbanization and Rural Development: A Spatial Policy For Equitable Growth, New York: Praegar Publisher. Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 9 Stark, Odded, 1991, The Migration OF Labor, Cambridge: Basil Blackwell. Taylor, J. Edward, 1986, “Differential Migration, Networks, Information and Risk”, in Odded Stark (ed) Research in Human Capital and Development, Vol.4, Migration, Human Capital and Development, Greenwich, Coon: JAI Press, 147177. Tjahyati, Budi, 1995, Mobilitas Penduduk dan Pengaruhnya Terhadap Pembangunan Daerah, makalah disajikan dalam pertemuan “Kelompok Kerja Pengembangan Kebijaksanaan Pengarahan Persebaran dan Mobilitas Penduduk, Jakarta: Kantor Menteri Negara Kependudukan/BKKBN. Wilkinson, R.G, 1973, Poverty and Progress-An Ecological Model of Economic Development, London: Menthuen. Wirosuhardjo, Kartomo, et.al. 1986, Urbanization and Urban Policies: Lessons Learned From East and Southeast Asian Experiences, State Ministry For Population and Env ironment, Jakarta, Indonesia. Zolberg, Aristide, R, 1978, “International Mvv igration Policies in Changing World System” in W.H. McNeill and R.S. Adams (eds), Human Migration: Patterns and Policies,Bloomington: University of Indiana Press, 241-186. …, 1989 “The Next Wave: Migration Theory For a Changing World”, International Migration Review, XXII (3), Fall, 403-430. Naskah No. 20, Juni-Juli 2000 10 Comment: