1 BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Pekerjaan perempuan sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo sudah ada sejak sebelum kemerdekaan Indonesia. Mereka berasal dari desa-desa di Kabupaten Bantul, Kulonprogo, Gunung Kidul dan Sleman (Suparmi, 2001: 6). Kehadiran mereka di satu sisi mengidentifikasikan banyaknya pilihan alternatif pekerjaan yang dapat dilakukan di kota. Tetapi di sisi lain juga menandakan adanya tekanan ekonomi yang memaksa perempuan untuk bekerja ke kota guna mencukupi kebutuhan bagi keluarganya. Lapangan pekerjaan sebagai buruh gendong mampu menampung tenaga kerja tanpa melalui proses seleksi apapun karena menjadi buruh gendong tidak membutuhkan adanya keterampilan serta tidak membutuhkan modal. Untuk menjadi seorang buruh gendong, yang paling dibutuhkan adalah tenaga. Bahkan faktor usia pun tidak menjadi batasan untuk bekerja di sektor kasar ini. Sebagai bagian dari masyarakat, buruh gendong ada yang bekerja sendiri dan ada yang bekerja secara berkelompok. Pada umunya mereka memang terbagi-bagi ke dalam kelompok-kelompok berdasarkan tempat mangkalnya, hubungan kekerabatan atau bahkan berdasarkan daerah asalnya. Ikatan mereka bersifat informal sehingga tidak mampu dijadikan sarana pemberdayaan. Namun, ada pula kelompok yang sangat kental 2 sehingga sulit untuk bekerjasama dengan kelompok lain dan ada juga yang mampu membaur dengan kelompok lain. Secara keseluruhan, di antara buruh gendong belum ada persatuan yang kuat sehingga ketika ada permasalahan mereka tidak dapat secara bersama- sama memecahkan masalah yang dihadapi. Permasalahan yang perlu diatasi secara bersama-sama antara lain: masalah upah yang rendah, daya tawar yang rendah di hadapan konsumen ataupun terhadap pekerja di bidang pekerjaan lainnya di Pasar Beringharjo. Para buruh gendong di Pasar Beringharjo baik secara individual maupun secara kelompok belum mampu melindungi dirinya sendiri dari berbagai kemungkinan yang terjadi didalam hubungan ketenagakerjaannya. Pekerjaan sebagai buruh gendong memang pekerjaan yang bersifat informal dan tidak memiliki hubungan kerja secara tertulis dengan pihak manapun. Keadaan itulahyang selalu menjadikan buruh gendong berada diposisi yang lemah ketika berhadapan dengan kelompok masyarakat yang lainnya,khususnya yang berada di Pasar Beringharjo. Pekerjaan buruh gendong pada dasarnya merupakan kuli angkut yang membawakan barang-barang milik penjual atau pembeli yang ada di Pasar Beringharjodan sekitarnya. Kuli angkut di Pasar Beringharjo tidak hanya perempuan,tetapi ada juga laki- laki yang mengangkut barang dengan cara di gendong. Waktu kerja perempuan buruh gendong pun menyesuaikan dengan aktivitas pasar. Ada yang mengambil waktu kerja pagi sampai siang atau siang sampai sore. 3 Tidak ada angka yang pasti, berapa jumlah perempuan buruh gendong di Pasar Beringharjo. Namun jumlahnya diperkirakan mencapai 500 orang. Tingkat pendidikan mereka rata-rata sangat rendah yaitu tidak tamat SD, bahkan sebagian besar tidak pernah mengenyam pendidikan dasar (Pamuji. 2003). Mereka umunya berasal dari daerah sekitar Yogyakarta sehingga, harus menglaju dari tempat tinggalnya menuju Pasar Beringharjo. Tidak sedikit pula perempuan buruh gendong yang mondok di rumah- rumah sewa yang ada di sekitar pasar. Pekerjaan sebagai buruh gendong dipilih karena adanya unsur keterpaksaan sebagai akibat dari tidak adanya pekerjaan lain yang lebih baik. Motivasi menjadi buruh gendong pada umumnya adalah untuk mencari penghasilan tambahan guna mencukupi kebutuhan hidup keluarga yang dirasakan masih kurang. Perempuan buruh gendong, walaupun bekerja tetapi tidak dapat meninggalkan perannya sebagai istri, ibu dari anak-anaknya, dan ibu rumah tangga dirumah. Karena itu, mereka juga menghadapi peran dan kewajiban ganda. Keadaan yang melingkupi perempuan buruh gendong di atas menempatkan perempuan buruh gendong sebagai kelompok masyarakat yang sangat marginal, baik dari sisi ekonomi, pendidikan, politik dan budaya. Marginalisasi ekonomi terus mereka hadapi seiring dengan ketidakpastian tingkat upah dan pendapatan mereka yang diiringi pula dengan meningkatnya beban hidup, akibat naiknya harga-harga dan biaya hidup lainnya. 4 Marginalisasi pendidikan ditunjukkan dengan tingkat pendidikan mereka yang sangat rendah sehingga akses mereka untuk mendapatkan informasi juga sangat kurang. Sedangkan marginalisasi dari sisi politik tercermin dari kurangnya perhatian dan pembelaan pemerintah terhadap nasib buruh gendong. Selama ini pemerintah kurang memberikan perlindungan yang dapat menjamin hak-hak buruh gendong untuk tetap bekerja dengan tingkat upah yang layak. Marginalisasi budaya tampak pada status mereka sebagai orang kedua dalam rumah tangga. Perempuan dipandang sebagai konco wingking dan hanya dipandang sebagai pembantu suami mencari penghasilan tambahan. Marginalisasi buruh gendong juga tampak pada posisi buruh gendong dalam struktur kerja di Pasar Beringharjo. Pihak pengelola pasar tidak pernah membuat suatu regulasi yang berupaya melindungi atau memberdayakan buruh gendong. Apabila para pedagang ditata atau diatur sedemikian rupa sehingga memiliki hak dan kewajiban yang jelas dibawah pengelola pasar, maka hak dan kewajiban buruh gendong ditentukan sendiri oleh kompromi-kompromi sebagai hasil interaksi buruh gendong dengan pedagang ataupun orang lain. Terlepas dari berbagai kekurangan diatas, perempuan buruh gendong tetap merupakan kekuatan potensial bagi masyarakat, minimal bagi keluarga dan anak-anaknya. Perempuan buruh gendong mepunyai peran yang tidak kalah penting dalam membangun masyarakat karena buruh gendong mampu menjalankan peran sebagai pencari nafkah, istri, dan ibu 5 bagi anak-anaknya. Mereka terbukti masih tetap produktif bekerja meskipun usianya ada yang lebih dari 50 tahun. Masa kerja buruh gendong yang panjang bahkan ada yang lebih dari 30 tahun membuktikan adanya ketergantungan ekonomi dan sosialpara buruh gendong terhadap pekerjaannya tersebut. Demikianlah, eksistensi buruh gendong telah teruji selama puluhan tahun bahkan mungkin ratusan tahun, sejak munculnya tempat-tempat yang biasa disebut pasar tradisional. Hal ini didasarkan dari pengakuan beberapa buruh gendong yang sudah berusia 60-an tahun yang mengaku mewarisi pekerjaan sebagai buruh gendong dari ibu dan neneknya. Selain itu, buruh gendong ada hampir di setiap pasar tradisional yang besar. Komunitas buruh gendong di Pasar Beringharjo hanyalah sebagaian kecil dari komunitas buruh gendong yang menggantungkan hidup dari aktivitas pasar tradisional yang ada di Yogyakarta, maupun Indonesia pada umumnya. Itulah sebabnya, gambaran umum mengenai buruh gendong di Pasar Beringharjo yang mampu bertahan dari zaman ke zaman layak untuk dicermati. Berangkat dari fakta inilah, penelitian mengenai buruh gendong di Pasar Beringharjo menarik untuk dilakukan. B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana profil buruh gendong di Pasar Beringharjo? 6 2. Bagaimana relasi sosial antar buruh gendong di Pasar Beringharjo? C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mengetahui profil buruh gendong di Pasar Beringharjo. 2. Mengetahui relasi sosial antar buruh gendong di Pasar Beringharjo. D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapakan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1. Bagi pemerintah kota Yogyakarta, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran dalam upaya merumuskan suatu kebijakan pembangunan yang menyangkut bidang ketenagakerjaan, khususnya perempuan pekerja sektor informal di Pasar Beringharjo. 2. Bagi pengembangan memperkaya ilmu-ilmu referensi kemasyarakatan. bagi sosial, diharapkan pengembangan dapat ilmu–ilmu 7 E. Tinjauan Pustaka Tinjauan pustaka berkaitan dengan kehidupan buruh gendong di Pasar Beringharjo dimaksudkan untuk mendapatkan referensi dari hasilhasil penelitian yang relevan dengan permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini. Beberapa penelitian yang relevan penulis uraikan seperti dibawah ini: Penelitian yang dilakukan oleh Putranti (2004:139) mengemukakan bahwa perempuan di Asia Tengah memiliki status sosial ekonomi yang tinggi. Hal ini dibuktikan oleh banyaknya perempuan yang aktif dalam kegiatan perekonomian khususnya disektor perdagangan. Perempuan juga dominan dalam mengontrol keuangan rumah tangga kemudian perempuan relatif lebih mandiri. Kemandirian ini tidak lepas dari status perempuan sebagai ibu rumah tangga dan kemampuannya untuk berperan ganda yaitu dengan melakukan suatu pekerjaan sambilan. Peran ganda perempuan yang bekerja juga dapat ditunjukkan oleh para perempuan pedagang dipasar. Shobahiya dan Maryadi (2006) dalam penelitiannya membuktikan bahwa perempuan pedagang dalam memainkan peran ganda di lingkungan pedagangan kain di pasar Klewer masih sangat tinggi. Pada satu sisi perempuan dituntut menjadi motor perdagangan, tetapi pada sisi lain perempuan tetap dituntut untuk memikirkan pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Meskipun demikian, penelitian Saptariani (2005) mengungkapkan bahwa perempuan tidak memiliki kontrol terhadap harta warisan seperti 8 halnya laki- laki. Dalam masyarakat Jawa mengenal istilah sepikul segendongan yang artinya hak laki- laki adalah dua kali lipat dari hak perempuan.Berdasarkan pandangan ini, maka nilai ekonomis atau nilai produktif buruh perempuan sering dikesampingkan. Walaupun dirinya mengambil peran strategis dalam memenuhi kebutuhan hidup keluarga, tetapi tetap saja dipossisikan sebagai pembantu suami dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Penelitian Hastuti (2004), mengungkapkan bahwa perempuan bekerja berada pada sektor terbawah dalam struktur kerja kurang mendapatkan akses terhadap sumber daya daripada laki-laki. Tentunya ini terjadi karena perempuan kurang mendapatkan akses pendidikan atau pelatihan kerja sehingga berdampak pada peran produktif mereka. Hal ini dibuktikan dengan hambatan-hambatan dalam mendapatkan pekerjaan sebagai perempuan seperti:hamil, mengurus anak, kurangnya keterampilan, dan sebagainya. Perempuan bekerja dilatarbelakangi oleh dua hal yaitu:Pertama, karena memang suatu keharusan untuk bekerja. Kedua, karena bekerja merupakan suatu pilihan (Ware, 1981). Apabila alasannya adalah keharusan untuk bekerja, maka keterlibatan perempuan yang bekerja di pasar disebabkan perempuan diharuskan untuk memasuki pasar karena untuk membantu perekonomian keluarga, disamping laki-laki sebagai pencari nafkah utama keluarga. 9 Menurut Harris (1999) di wilayah yang tanahnya relatif gersang, perempuan lebih berperan dari pada laki-laki. Ada dua kondisi yang mendukung anggapan ini: Pertama, peran perempuan yang aktif berperan ganda dalam arti yang sesungguhnya, sebagai ibu sekaligus sebagai ayah dari anak- anaknya. Mereka mengurus segala kebutuhan keluarga, karena suami mereka migrasi ke Malaysia, Singapura maupun Brunei tanpa diketahui kapan memprihatinkan. kembalinya. Kedua, Tanah-tanah pertanian kondisi yang ekonominya gersang yang memaksa perempuan harus terlibat dalam kegiatan produksi. Peran mereka kemudian berubah, tidak hanya sebagai kanca wingking, tetapi sering sebagai pencari nafkah utama. Uraian diatas menunjukkan bahwa peren perempuan semakin penting bagi keluarganya. Sebagai ibu rumah tangga, perempuan menduduki status sosial yang lebih terhormat (Putranti, 2004:150). Perempuan tetap dapat bekerja guna mencari tambahan tanpa harus meninggalkan perannya sebagai ibu rumah tangga. Hal ini diperkuat oleh fakta bahwa ibu rumah tangga yang bekerja guna mencari penghasilan tambahan lebih banyak mendapatkan dukungan dari anggota-anggota keluarganya, baik suami maupun anak- anaknya (Gatot, 1999:112). Penelitian Gatot (1999) yang mengupas cukup mendalam tentang buruh gendong di Pasar Beringharjo mengemukakan bahwa, sebagian besar darimereka bekerja karena dorongan ekonomi, yakni untuk mencukupi kebutuhan keluarganya. Penelitian ini hanya difokuskan pada 10 motivasi bekerja buruh gendong sehingga kurang banyak mengungkap aspek- aspek kehidupan buruh gendong lainnya. F. Kerangka Teoritik Eksistensi buruh gendong pada prinsipnya merupakan eksistensi dirinya dalam menjalin relasi sosial melalui interaksi sosial yang telah dibangun dalam jangka waktu yang lama. Eksistensi itu sendiri adalah cara manusia berada di dunia ini, berangkat dari pengertian‘eks’ yang berarti (ke) luar dan ‘sistensi’ yang berarti menempatkan diri dalam sosial (Sudiarja, 2006). Ada empat konsep penting yang relevan untuk mengkaji kehidupan buruh gendong, yaitu: (1) kemiskinan, (2) pasar dan perubahan sosial (3) relasi sosial, dan (4). Solidaritas. Keempat konsep tersebut penulis pilih atas pertimbangan ilmiah serta berdasarkan asumsi bahwa eksistensi perempuan menjadi buruh gendong merupakan hasil dari respon dirinya terhadap kemiskinan. Aspek-aspek seperti solidaritas, relasi sosial, dan pasar dan perubahan sosial juga merupakan poin penting dalam melandasi seorang wanita memilih menjadi buruh gendong. Demikianlah keseluruh aspek teoris di atas sangat dibutuhkan untuk mendapatkan gambaran menyeluruh tentang profil buruh gendong di Pasar Beringharjo. 11 1. Kemiskinan Kemiskinan dapat digambarkan sebagai kondisi yang serba kekurangan dalam pemenuhan kebutuhan dasar manusia, yaitu meliputi kebutuhan sandang, pangan, papan, kebutuhan akan hidup sehat, dan kebutuhan akan kesehatan. Penduduk miskin yang tidak berdaya dalam memenuhi kebutuhannya dikarenakan mereka tidak memiliki aset sebagai sumber pendapatan, juga karenastruktur sosial ekonomi tidak membuka peluang orang miskin keluar dari lingkungan kemiskinan yang tidak berujung pangkal (Maskun; 1997). Kemiskinan merupakan fenomena yang ditandai dengan ketidakmampuan seseorang, kelompok maupun masyarakat dalam memenuhi kebutuhan dasar. Dimensi kemiskinan dapat berupa keadaan melarat dan ketidakberuntungan, suatu keadaan minus (deprivation), dan bila dimasukkan dalam konteks tertentu, kemiskinan berkaitan dengan minimnya pendapatan dan harta, kelemahan fisik, isolasi, kerapuhan dan ketidakberdayaan (Chambers; 1996) serta dapat pula berarti kefidakmampuan memperoleh standar hidup yang minimal. Sedangkan indikator kemiskinan adalah: pendidikan rendah, tidak dapat menjangkau sarana kehatan, susah mendapat air bersih, pendapatan rendah, serta kondisi perumahan non-permanen. 12 Yustika (2003) mendefinisikan kemiskinan dan memahaminya sebagai akibat dari kebijakan yang timpang terhadap; 1) kepemilikan modal; 2) kepemilikan tanah dan akses; serta 3) ketidakserasian aktivitas yang dikerjakan. Selanjutnya, dikatakan ketidakmampuan individu bahwa untuk kemiskinan memenuhi adalah kebutuhan dasarnya, kemampuan yang dimaksudkan disini bukan hanya kemampuan individu itu sendiri, tetapi juga dalam konteks keluarga, artinya meskipun kemiskinan merupakan atribut bagi individu yang bersangkutan pada kenyataannya keadaan tersebut terkait erat dengan kondisi keluarga. Oleh karena itu kemiskinan penduduk dapat juga dikelompokkan menjadi penduduk atau individu miskin dan keluarga miskin. Penduduk miskin terutama di pedesaan tidak bisa lepas dari keadaan wilayah setempat. Ada wilayah-wilayah tertentu di pedesaan yang memiliki potensi kurang baik sehingga sulit dikembangkan namun penduduknya dapat memenuhi kebutuhan hidup berdasarkan sumber daya wilayah tersebut. Sebaliknya, ada wilayah pedesaan yang memiliki sumber daya yang baik tetapi sulit diusahakan dan dikembangkan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari karena penduduk setempat tidak mempunyai kemampuan yang memadai. 13 Faktor-faktor penyebab terjadinya kemiskinan ada berbagai macam, menurut Tansey dan Ziegley (1991) yang dikutip Suharto dkk (2003) menyatakan bahwa penyebab kemiskinan adalah: a. Rendahnya kualitas sumber daya manusia (human capital deficiencies) seperti rendahnya pengetahuan dan keterampilan sehingga berdampak pada pekerjaan dengan pendapatan yang rendah dan rendahnya daya beli. b. Rendahnya permintaan akan tenaga kerja (insufficient demand for labor) sehingga meningkatkan pengangguran. Pengangguran menyebabkan orang tidak memiliki pendapatan, daya beli rendah dan akhirnya tidak dapat memenuhi kebutuhan dasar. c. Perlakuan berbeda (discrimination) terhadap golongan tertentu dalam aksesbilitas dan dominasi terhadap sumberdaya. Baswir dkk (2003) menyatakan kemiskianan disebabkan oleh kondisi yang dibuat oleh manusia dan disebut sebagai kemiskinan struktural. Kemiskinan struktural menurut Raharjo yang dikutip Jamasy (2004) disebabkan oleh tujuh penyebab kemiskinan yang terkait satu sama lain, yaitu : 14 a. Kecilnya kesempatan kerja sehingga masyarakat tidak memiliki penghasilan yang tetap. b. Upah /gaji dibawah standar minimum, sehingga tidak mampu untuk memenuhi kebutuhan dasar. c. Produktivitas kerja yang rendah. d. Ketiadaan aset, misalnya lahan pertanian untuk produktivitas pertanian, modal untuk melakukan usaha. e. Diskriminasi dalam jenis kelamin (diskriminasi gender) dan perbedaan kelas sosial. f. Tekanan harga, misalnya karena mekanisme permintaan dan penawaran bebas. g. Penjualan lahan atau tanah yang berpotensi untuk masa depan keluarga. Menurut Cahyono (2005), terjadinya kemiskinan merupakan masalah yang kompleks dan harus didekati dari berbagai sudut pandang, namun dalam garis besarnya kemiskinan di Indonesia disebabkan oleh dua faktor utama yang saling berkaitan, yaitu faktor intern dan faktor ekstern seperti tersebut di bawah ini: a. Faktor intern penyebab kemiskinan antara lain mencakup: 1) Sumber daya manusia yang terbatas atau kurang memadainya pengetahuan, pendidikan dan 15 keterampilan baik dalam tingkat (kualitas) maupun jenis. 2) kondisi fisik yang lemah (physically weak) sehingga produktivitasnya rendah. 3) Ketentraman (vulnerable), akibat dari kerentanan ini penduduk miskin terpaksa harus menjual atau menggadaikan kekayaannya, segenap waktu dan tenaga ditukarkan uang dengan nilai rendah. 4) Ketidakberdayaan (powerless) mendorong pemerasan dari kaum yang kaya, kuat dan tidak mempunyai akses terhadap bantuan pemerintah serta perlindungan hukum (Winarno dkk, 2000). b. Faktor ekstern antara lain mencakup: 1) Sempitnya kepemilikan lahan pertanian dan berlangsungnya sistem penguasaan lahan yang kurang seimbang. 2) Ketidakmerataan kesempatan untuk mengakumulasi basis kekuatan sosial, yang tidak terbatas pada modal produktif atau aset (tanah, perumahan, peralatan kesehatan dan lain-lain), jaringan sosial untuk memperoleh pekerjaan, barang-barang, pengetahuan dan keterampilan yang memadai, informasi yang bermanfaat untuk meningkatkan kesejahteraan hidup. 16 3) Lingkungan sosial budaya yang mengakibatkan kurang tingginya hasrat untuk maju dalam kehidupan duniawi. 4) Keterbatasan sarana dan prasarana ekonomi, sosial, kesehatan dan transportasi berimplikasi pada kehidupan miskin di wilayah setempat. Berdasarkan pemahaman tentang kemiskinan di atas, maka sangatlah jelas bahwa kemiskinan merupakan faktor utama yang melandasi perempuan menjadi buruh gendong di Pasar Beringharjo. Dikatakan demikian karena para perempuan buruh gendong di Pasar Beringharjo berasal dari kelompok ekonomi lemah, mereka berasal dari desa-desa yang mengandalkan sektor pertanian sebagai matapencaharian utama keluarga. Dalam hal ini, suami mereka bekerja sebagai petani kecil, atau buruh tani sementara mereka mengadu nasib ke kota sebagai buruh gendong di Pasar Beringharjo. 2. Pasar dan Perubahan Sosial Pasar, walaupun masih berupa pasar tradisional, masih merupakan bagian dari kehidupan masyarakat modern. Secara pelan tapi pasti, pasar tradisional juga terus mengalami perubahan-perubahan ke arah yang lebih modern sesuai dengan perkembangan masyarakatnya. Pada aspek fisik, modernisasi pasar mencakup: perbaikan tempat, penataan pedagang, pengelolaan sanitasi di pasar, pengelolaan sampah pasar, 17 pengangkutan dan penataan parkir. Aspek non-fisik ditandai dengan peningkatan rasa nyaman dan aman berada lingkungan pasar yang lebih bersifat subjektif. Orang yang terbiasa di pasar tradisional mungkin merasa nyaman, tetapi orang yang terbiasa di supermarket atau mall-mall merasa kurang nyaman berada di pasar tradisional, atau karena terbiasa berdampingan dengan kedua tempat berbelanja tersebut orang tetap merasa nyaman berada di pasar ataupun di supermarket. Namun demikian, di tengah arus perubahan tersebut, kegiatan utama di dalam pasar sebagai tempat orang bertransaksi barang dan jasa tidak pernah berubah. Salah satunya adalah jasa angkutan barang yang dilakukan oleh tenaga manusia dengan cara digendong ataupun dipikul yang dilakukan oleh buruh gendong (sebutan untuk perempuan) dan buruh pikul/kuli (sebutan untuk laki-laki). Sebagai bagian dari sub-sistem pasar, kegiatan pengangkutan barang oleh buruh gendong sangat bergantung pada perubahan-perubahan pasar, baik yang direncanakan ataupun yang tidak direncanakan. Suatu perubahan, menurut Selo Sumarjan (Soekanto, 2005) ada yang dilakukan dengan sengaja oleh suatu agent of change yang memiliki legitimasi kuat di masyarakat. 18 Perubahan sosial biasanya dipengaruhi oleh pertambahan jumlah penduduk, penemuan-penemuan baru, pertentangan di masyarakat, dan pengaruh kebudayaan orang lain. Jalannya perubahan sosial biasanya didorong oleh kontak dengan budaya lain, pendidikan formal, saling menghargai, toleransi, keterbukaan masyarakat, heterogenitas masyarakat, dan orientasi ke masa depan. Sebaliknya, jalannya perubahan sosial biasanya menemukan hambatan akibat kurangnya interaksi dengan budaya lain, sikap masyarakat yang tertutup, adat atau kebiasaan, rasa takut dan prasangka buruk terhadap hal-hal baru (Soekanto, 2005). Perubahan sosial mengharuskan adanya proses penyesuaian-penyesuaian setiap individu agar tetap eksis dalam perubahan tersebut. Sebelum ada penyesuaian, perubahan sosial telah menimbulkan gejala-gejala disintegrasi walaupun kemudian kembali pada keserasian dan integrasi. Arah perubahan sosial, umumnya menuju pada modernisasi yang terus berlanjut seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi (Soekanto, 2005). Orang yang tidak memiliki pendidikan formal yang memadai akan sulit mengikuti perubahan sosial yang terjadi, dan mungkin akan sulit melakukan penyesuaianpenyesuaian diri sehingga pada aspek-aspek tertentu tetap 19 berlindung pada adat atau kebiasaan-kebiasaan dirinya atau pada kelompok masyarakatnya. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapatlah disimpulkan bahwa keberadaan perempuan buruh gendong di Pasar Beringharjo sangat bergantung pada aktifitas pasar. Apabila aktifitas pasar ramai, tentunya membawa dampak baik bagi para buruh gendong, karena pendapatan mereka berpotensi untuk naik. Begitu pula sebaliknya, jika aktifitas pasar sepi, maka pendapatan mereka otomatis menurun. Itu artinya, setiap perubahan yang terjadi pada pasar akan mempengaruhi keberlangsungan hidup mereka. 3. Relasi Sosial Relasi sosial terbentuk melalui kontak atau interaksi sosial yang terus berkelanjutan. Interaksi sosial dalam berbagai dimensi akan selalu terjadi selama ada kontak sosial dan komunitas antara dua pihak/ aktor. Oleh karena itu interaksi sosial dapat terjadi dalam 4 bentuk, yaitu: kerjasama, kompetisi, konflik, dan akomodasi. Masing-masing bentuk interaksi sosial tidak terjadi secara tetap melainkan akan selalu berubah-ubah karena bentuk tersebut juga menunjukkan suatu proses sosial yang bersifat dinamis. 20 a. Kerjasama Kerjasama merupakan suatu interaksi sosial antara orang perorangan atau kelompok manusia untuk mencapai satu atau beberapa tujuan bersama. Kerjasama dapat bersifat agresif apabila kelompok dalam dalam jangka waktu yang lama mengalami kekecewaan sebagai akibat perasaan tidak puas karena keinginan- keinginan pokoknya tidak dapat terpenuhi disebabkan rintangan-rintangan yang bersumber dari luar kelompok. Pelaksanaan kerjasama akan menghasilkan lima bentuk kerjasama yaitu: Pertama, kerukunan yang mencakup gotongroyong dan tolong-menolong. Kedua, bargaining adalah pelaksanaan perjanjian mengenai pertukaran barang dan jasa antara dua organisasi atau lebih. Ketiga, kooptasi (co-optation) merupakan proses penerimaan unsur baru dalam kepemimpinan atau pelaksanaan politik suatu organisasi sebagai salah satu cara untuk menghindari adanya kegoncangan dalam stabilitas organisasi yang bersangkutan. Keempat, koalisi adalah kombinasi antara dua organisasi atau lebih yang mempunyai tujuan-tujuan yang sama (Soekanto: 2004). 21 b. Akomodasi (Accomodation) Akomodasi menunjuk pada usaha-usaha manusia untuk meredakan suatu pertentangan yaitu usaha-usaha untuk mencapai kestabilan. Tujuan akomodasi dapat berbeda-beda sesuai dengan situasi yang dihadapinya, yaitu: (1) Untuk mengurangi pertentangan antara perorangan atau kelompok manusia sebagai akibat perbedaan paham. (2) Mencegah meledaknya suatu pertentangan untuk sementara waktu atau secara temporer. Akomodasi sebagai suatu proses mempunyai beberapa bentuk. Pertama, Coercion, merupakan suatu bentuk akomodasi yang prosesnya dilaksanakan melalui paksaan. Coercion terjadi karena ada salah satu pihak yang berada dalam keadaan lemah bila dibandingkan dengan keadaan lawan. Kedua , Compromise adalah suatu bentuk akomidasi dimana pihak-pihak tuntutannya agar yang tercapai terlibat suatu saling mengurangi penyelesaian terhadap perselisihan yang ada. Ketiga, Arbitation adalah suatu cara mencapai Compromise dengan bantuan pihak ketiga yang dipilih oleh kedua belah pihak atau oleh satu badan yang berkedudukan lebih tinggi dari pihak- pihak yang bertentangan (Soekanto,2004). c. Persaingan (Competition) Persaingan dapat diartikan sebagai suatu proses sosial dimana individu atau kelompok-kelompok manusia yang 22 bersaing mencari keuntungan melalui bidang-bidang kehidupan yang pada suatu masa tertentu menjadi pusat perhatian umum. Persaingan mempunyai dua tipe yang bersifat pribadi dan tidak pribadi. Persaingan bersifat pribadi biasanya perorangan bersaing secara langsung. Tipe ini dinamakan rivalitas (Soekanto, 2004). Di dalam persaingan yang tidak bersifat pribadi, yang langsung bersaing adalah kelompok. Dalam diri seseorang atau dalam kelompok terdapat keinginan untuk diakui sebagai orang atau kelompok yang mempunyai kedudukan serta peranan yang terpandang. Keinginan tersebut dapat terarah pada suatu persamaan derajat dengan kedudukan serta peranan pihak lain, atau bahkan lebih tinggi dari pada itu. Hasil suatu persaingan terkait erat dengan berbagai faktor di antaranya: 1. Kepribadian seseorang. Seperti pernah dikemukakan oleh Charles H. Cooley, apabila persaingan dilakukan secara jujur, maka ia akan dapat mengembangkan rasa sosial dalam diri seseorang. Seseorang hampir tak mungkin bersaing tanpa mengenal lawannya dengan baik. 2. Kemajuan: dalam masyarakat yang berkembang dan maju dengan cepat, para individu perlu menyesuaikan diri dengan. keadaan tersebut. Persaingan akan mendorong seseorang untuk bekerja keras supaya dapat memberikan sahamnya bagi pembangunan masyarakat. Dengan menimbulkan kegairahan tersebut, usaha-usaha perindividu lazimnya akan mengalami kemajuankemajuan. 3. Solidaritas kelompok. Selama persaingan dilakukan secara jujur, solidaritas kelompok tak akan goyah. Lain halnya bila persaingan mempunyai kecenderungan untuk berubah menjadi pertentangan atau pertikaian. 23 Persaingan yang jujur akan menyebabkan para individu akan saling menyesuaikan diri dalam hubunganhubungan sosialnya hingga tercapai keserasian. 4. Disorganisasi. Perubahan yang terjadi terlalu cepat dalam masyarakat akan mengakibatkan disorganisasi pada struktur sosial (Soekanto, 2004). 4. Solidaritas Pemahaman teoritis tentang solidaritas pada umumnya mengacu pada Teori Solidaritas Emile Durkheim, sebagaimana yang dijelaskan oleh Soekanto (1990: 37), bahwa solidaritas merupakan unsur baku yang dimiliki oleh manusia. Solidaritas merupakan suatu keadaan hubungan antara individu/kelompok yang didasari oleh perasaan moral dan kepercayaan. Hubungan tersebut kemudian diperkuat pula dengan pengalaman emosional tiap individu. Ada dua bentuk solidaritas, yakni solidaritas mekanis dan solidaritas organis. a. Solidaritas Mekanis Solidaritas mekanis terdapat pada masyarakat sederhana yang memiliki kedekatan hubungan secara individu sehingga tidak terjadi adanya pembagian kerja. Solidaritas mekanis terjadi karena adanya perasaan “saling memiliki” atau kesadaran bahwa seseorang/individu merupakan bagian dari masyarakat. Bentuk solidaritas mekanis mudah ditemukan pada suatu masyarakat 24 tradisional (desa) yang memilik kesadaran kolektif dan mengacu pada prinsip kesetiakawanan. Ciri-ciri solidaritas mekanis adalah: berdasarkan pada kesamaan, berdasarkan rasa saling percaya, tidak ada pembagian kerja, dan tidak ada ketergantungan. Oleh karena itu, apabila dalam suatu kelompok masyarakat terbentuk suatu solidaritas, maka dorongan tersebut dengan serta merta menjadi dorongan kolektif yang terjadi secara spontan. Itu artinya terdapat suatu kekuatan sosial yang mengacu pada kesamaan dan kesatuan kelompok sosial. Dalam hal ini, mereka tidak mengenal adanya pembagian kerja (Soekanto, 1990: 37). Berdasarkan pemahaman di atas, hasil observasi penulis menunjukkan bahwa para perempuan buruh gendong yang berkelompok di Pasar Beringharjo terdapat adanya solidaritas mekanis. Mereka tidak memiliki pembagian kerja yang sistematis, dan dalam mendapatkan order, masing-masing perempuan buruh gendong memegang prinsip pangerten (pengertian). Tidak pernah (hampir mustahil) ditemui para perempuan buruh gendong saling rebutan order. 25 b. Solidaritas Organis Solidaritas organis merupakan perkembangan dari masyarakat mekanis dan telah terdapat pembagian kerja, serta ditandai dengan posisi (derajat) tertentu, (Soekanto, 1990: 37). Solidaritas jenis ini memang tidak ditemui pada kelompok perempuan buruh gendong di Pasar Beringharjo. Hanya ditemui pada komunitas buruh gendong laki-laki. Sistem pembagian kerja tersebut bertujuan untuk mengakumulasikan upah sebelum akhirnya dibagikan secara merata kepada masing-masing anggota kelompok. G. Metode Penelitian 1. Lokasi Penelitian Penelitian ini mengambil lokasi di Pasar Beringharjo dan sekitamya yang merupakan tempat domisili para buruh gendong. Pertimbangannya, pertama, berdasarkan observasi dalam pendahuluan menunjukkan bahwa Pasar Beringharjo merupakan pasar utama di Kota Yogyakarta dan jumlah perempuan buruh gendong relatif lebih banyak daripada di pasar-pasar yang lain. Kedua, waktu kerja dan lokasi kerja di Pasar Beringharjo yang dihadapi oleh perempuan buruh gendong relatif lebih berat dibandingkan yang dihadapi buruh gendong di tempat lain, karena aktivitas ekonomi di pasar ini paling ramai dibanding pasar tradisional lain di Yogyakarta. 26 Selain di Pasar Beringharjo, tentunya penulis juga menelusuri tempat-tempat tinggal (atau pemondokan) di daerah sekitar kawasan pasar, yakni Kampung Ledok Ratmakan. Di kampung tersebut juga termasuk lokasi penelitian ini, karena sebagian buruh gendong di Pasar Beringharjo ada yang lebih memilih tinggal di sekitar kawasan pasar daripada setiap hari harus pulang ke desanya. Tentu saja hal ini menarik karena para buruh gendong telah menjadi bagian dari lingkungan sosial di kampung tersebut. 2. Jenis Penelitian Metode penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah metode kualitatif deskriptif. Menurut Nawawi (1998: 63), penelitian kualitatif deskriptif yakni suatu bentuk penelitian dengan prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan memfokuskan keadaan subjek dan objek penelitian (perusahaan, seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain) pada saat sekarang, berdasarkan faktor-faktor yang tampak atau sebagaimana adanya. 3. Unit Analisis Dalam penelitian ini, unit analisis yang dipakai adalah unit analisis individu dan kelompok. Oleh karena itu data penelitian di sini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari individu yang merupakan key-informan, sedangkan kelompok dianalisis berdasarkan data kelompok yang didapatkan dari data primer. 27 4. Data yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah : a. Data tentang sejarah keberadaan buruh gendong. b. Data tentang kegiatan-kegiatan perempuan buruh gendong selama di Pasar Beringharjo, jam kerja, lama kerja, pendapatan, dan pemanfaatanya. c. Data tentang strategi buruh gendong mencukupi kebutuhan hidupnya. d. Data tentang relasi buruh gendong dengan masyarakat di sekitar tempat pemondokan di Yogyakarta (Kampung Ledok Ratmakan). e. Data tentang hubungan sosial buruh gendong dengan keluarganya. 5. Metode pengumpulan data Data dikumpulkan melalui empat cara berikut: a. Observasi Observasi dilaksanakan di lokasi Pasar Beringharjo, yaitu di tempat para buruh gendong mangkal: di lantai 3 samping tempat parkir, di lantai 2 bagian tengah dan timur, di lantai bawah bagian selatan pasar, dan di sekitar Pasar Beringharjo.Observasi di tempat kerja tersebut, dimaksudkan untuk mendapatkan gambaran tentang cara mereka mendapatkan order,bernegosiasi dengan pengguna jasa, cara membagi pekerjaan dengan sesama buruh gendong, dan kegiatan kerja lainnya. Pada saat observasi, peneliti juga 28 melakukan kegiatan wawancara sekadarnya agar tidak mengganggu aktivitas buruh gendong dalam bekerja. Observasi di tempat tinggal, dilakukan di tempat-tempat pemondokan buruh gendong yang ada di Kampung Ledok Ratmakan. Observasi dilakukan pertama kali guna melihat kondisi tempat tinggal buruh gendong sekaligus melihat kegiatan para buruh gendong setelah pulang dari pasar. Peneliti juga meminta kesediaan buruh gendong untuk mengadakan diskusi kelompok (Focus Group Discussion). b. Wawancara Wawancara dilakukan di tempat mangkal, pada saat mereka istirahat siang. Wawancara dilakukan secara terbuka dan bebas di sela-sela para buruh gendong menunggu order ataupun pada saat istirahat. Wawancara di tempat kerja hanya dapat dilakukan pada 6 orang informan karena tidak ingin mengganggu aktivitas informan dalam bekerja. Mereka adalah yang berasal dari Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, Kabupaten Kulon Progo, dan Kabupaten Gunungkidul. c. Focus Group Discussion Focus Group Discussion (FGD) dilakukan di tempat kos yang ada di Ledok Ratmakan. Peserta FGD ada 8 orang yang berasal dari Sentolo, Kabupaten Kulon Progo, dan 1 orang dari Kabupaten Sleman. FGD dilaksanakan pada malam hari dari 29 jam 19.00 sampai jam 21.00 WIB dengan dipandu langsung oleh peneliti. Dalam pelaksanaan FGD ini, peneliti dibantu dua orang asisten yang bertugas merekam dan mencatat keterangan, pendapat, atau informasi lain yang dikemukakan oleh peserta FGD. Data yang didapat dalam FGD ini yaitu data tentang strategi buruh gendong mencukupi kebutuhan hidupnya, tentang relasi buruh gendong dengan masyarakat di sekitar tempat pemondokan dan tentang sejarah keberadaan buruh gendong. d. Dokumentasi Dokumentasi dilakukan untuk mendapatkan data tentang profil Pasar Beringharjo. Dokumentasi didapatkan dari LSM yang aktif melakukan pendampingan kepada buruh gendong di Pasar Beringharjo. 6. Uji Keabsahan Data Untuk mengecek data, dilakukan triangulasi data dengan cara membandingkan data yang didapat dengan data dari sumber data lain. Dalam hal ini triangulasi data dilakukan dengan cara:Pertama, membandingkan data hasil observasi dengan data hasil wawancara. Kedua, membandingkan data hasil wawancara dengan dokumen terkait. 30 7. Teknik Analisis Data Analisis data dilakukan menurut Miles dan Hiberman (1992) yaitu melalui tahapan kesimpulan.Berikut reduksi ini data, adalah display skema data, analisis dan penarikan data kualitatif berdasarkan dua pakar tersebut yang dinyatakan ulang oleh Sugiyono (2010: 338): Pengumpulan Data Penyajian Data Reduksi Data Penarikan Kesimpulan Gambar 1.1 Skema Model Interaktif