pendahuluan tinjauan pustaka

advertisement
PENDAHULUAN
Ular kobra sering dianggap sebagai ular
yang berbahaya, padahal ular tersebut memiliki manfaat dalam dunia pengobatan yang
tidak dapat diabaikan begitu saja. Perkembangan ilmu pengetahuan dan kemajuan
teknologi membuktikan bahwa bisa ular dapat
digunakan sebagai bahan obat-obatan. Ular
kobra banyak dimanfaatkan oleh ahli
pengobatan dari Cina. Bisa ular diekstraksi
menjadi obat radang, infeksi kulit, obat iritasi
kulit dan obat kanker kulit. Darah dan
empedunya biasa digunakan sebagai ramuan
obat berbagai macam penyakit dalam. Khusus
untuk bagian dagingnya, biasa digunakan
untuk terapi pengobatan penyakit kulit yang
sulit disembuhkan seperti eksim (Sun et al.
2003).
Kematian akibat gigitan ular terjadi bila
dosis yang masuk ke dalam tubuh melebihi
daya tahan tubuh maksimal. Racun atau bisa
ular tersimpan pada kelenjar yang terletak di
kiri dan kanan pipi dan disalurkan ke taring
melalui duktus (Supriatna 1995).
Bisa ular dapat berupa hemotoksin,
neurotoksin, dan miotoksin tergantung
jenisnya. Bisa Famili Elapidae dapat berupa
neurotoksin (menyebabkan kelumpuhan) dan
ada hemotoksin (menyebabkan gangguan
perdarahan internal).
Bisa ular yang
mempengaruhi hemostasis adalah kompleks
protein yang dapat mengaktivasi atau
menghambat
faktor
pembekuan
atau
trombosit. Kelainan yang diakibatkan oleh
gigitannya berupa perdarahan, pembengkakan,
kerusakan jaringan setempat, dan fibrinolitik.
Kandungan proteinnya disebut thrombin like
enzyme
karena
mempengaruhi
proses
pembekuan darah (Selistre et al. 1987) .
Enzim ini termasuk dalam kelompok
protease serin dan metaloprotease yang
menyerupai trombin dalam fungsinya
mempengaruhi pembekuan fibrinogen. Peran
penting protein bisa ular ini yang
menjadikannya sebagai salah satu pendekatan
pengobatan
anti-trombosis
atau
anti
penggumpalan darah. Protein ini diharapkan
dapat mencegah pembentukan trombin dan
memperlancar peredaran darah dengan
mengurangi kekentalan darah (Matsui et al.
2000) sehingga dapat digunakan untuk
penderita penyakit jantung koroner.
Berbagai ular dilaporkan mempunyai
protease tersebut, seperti pada ular Bothrops
jararaca, B. Moojeni, dan B. jararacussu serta
telah digunakan sebagai obat paten seperti
Reptilase dan Batroxobin (Matsui et al. 2000).
Bisa kobra di Indonesia belum banyak diteliti
seperti genus Naja yang ditemukan di
berbagai daerah di Indonesia dan Malaysia.
Usaha untuk mengidentifikasi potensi bisa
ular di Indonesia akan memberi nilai tambah
dalam pemanfaatannya.
Penelitian ini bertujuan mengisolasi dan
mencirikan komponen hemotoksin bisa ular
kobra (Naja sputatrix) yang memiliki aktivitas
hemolisis dan fibrinolisis, yang diharapkan
mampu memberikan informasi mengenai bisa
ular dan nilai tambah dalam pemanfaatan ular
kobra.
TINJAUAN PUSTAKA
Ular Kobra
Ular kobra berdasarkan klasifikasi hewan
termasuk dalam filum Chordata, kelas
Reptilia, ordo Squamata, famili Elapidae,
genus Naja, dan spesies naja sputatrix
(Suhono 1986). Gambar ular kobra dapat
dilihat pada Lampiran 1.
Ular kobra memiliki ciri-ciri badan
berwarna cokelat, abu-abu, putih, merah atau
hitam tanpa susunan yang pasti tergantung
asal habitatnya. Bentuk tubuh bulat dengan
kepala oval. Panjangnya hingga 2500 mm.
Bagian moncongnya berwarna keputihputihan, sedangkan bagian leher terdapat
bintik-bintik kecil putih. Bentuk gigi
taringnya kecil dengan ujungnya yang pendek
(Suhono 1986).
Ular kobra banyak terdapat banyak
terdapat di daerah tropis khususnya Indonesia
dan Malaysia. Habitatnya luas meliputi daerah
semak-semak, persawahan hingga pekarangan
rumah. Di Indonesia, penyebarannya meliputi
pulau Bangka, Bali, Ulebes, Flores, Jawa,
Komodo, Lombok, Sumbawa, dan Riau.
Biasanya jenis ular kobra bersarang di
dalam lubang tikus yang sudah tidak terpakai
lagi atau setelah tikusnya dimangsa oleh
mereka. Induk kobra di dalam sarang tersebut
bertelur dan menjaganya sampai menetas.
Makanan yang dimangsa, selain tikus, adalah
katak, ikan, burung, anak ayam, kadal, dan
lain-lain.
Ular kobra merupakan ular yang memiliki
jenis neurotoksin dan hemotoksin. Apabila
menggigit mangsanya ular jenis ini
menyuntikkan bisa/racun melalui taring
racunnya ke dalam pembuluh darah
mangsanya. Ular kobra akan mengembangkan
leher dan menegakkan badannya apabila
merasa terancam dan siap menyemprotkan
bisanya. Akibat terkandungnya jenis racun
2
hemotoksin maka apabila tergigit akan
menimbulkan rasa sakit yang luar biasa, akan
terasa panas seperti terbakar.
Komponen Bisa
Bisa ular merupakan cairan kuning berbau
amis, hasil produksi kelenjar bisa yang
terdapat di bagian kepala. Komponen
terbesarnya adalah air sekitar 80-90%, sisanya
protein, turunan protein, enzim, karbohidrat
garam anorganik, lipid, dan senyawa flavin
yang menyebabkan warna kuning. Dalam bisa
Naja sputatrix kandungan airnya bahkan
sangat tinggi yaitu 98.81% (Lim et al. 2002).
Kandungan bisa ular juga ditemukan sejumlah
kecil logam seperti zink (Zn), magnesium
(Mg), dan mangan (Mn) dengan konsentrasi
bervariasi. Penelitian lebih lanjut memperlihatkan logam-logam ini sangat mempengaruhi aktivitas enzim. Contohnya ion
seng yang dapat menghambat aktivitas
fosfatase alkali seperti 5’nukleotidase dan
fosfomonoesterase, sedangkan ion kalsium
merupakan
komponen
penting
untuk
mempertahankan struktur tersier proteinase
yang memiliki aktivitas pendarahan dan
protein pendarahan tanpa aktivitas proteinase
(Lee 2006).
Aktivitas protein bisa ular secara umum
dapat diklasifikasikan ke dalam 3 kelompok,
yaitu protein dengan efek racun, protein
dengan aktivitas enzim, dan protein dengan
aktivitas biologi yang belum diketahui
(Delima 2005). Protein yang terkandung
dalam bisa ular dapat terdiri atas senyawa
aktif
seperti
neurotoksin,
miotoksin,
hemotoksin, faktor pembekuan, dan anti
pembekuan darah serta enzim. Enzim
merupakan komponen penting bisa ular. Pada
bisa ular dikenal 20 macam enzim dan satu
jenis bisa terdapat paling tidak 7 sampai 10
macam enzim. Enzim ini antara lain: protease,
L-asam amino oksidase, ribonuklease,
hyaluronidase, kolinisterase, transaminase,
fosfodiesterase, fosfolipase A, B, C dan D,
fosfomonoesterase,
deoksiribonuklease,
ATPase, ADPase, dan 5’nukleotidase. Tiap
enzim memiliki fungsi spesifik seperti
protease yang menyebabkan pembekuan
darah, mengaktivasi atau merusak platelet
faktor V (labile factor, proaccelerin), faktor X
(Stuart-Prower factor), faktor XII (fibrin
stabilizing factor), protrombin atau fibrinogen
(Brown 1980).
Hemolisis
Hemolisis adalah rusaknya jaringan darah
akibat lepasnya hemoglobin dari stroma
eritrosit (butir darah merah). Hemolisis dapat
disebabkan dan dipengaruhi oleh beberapa
faktor, seperti pelarut organik, saponin, garam
empedu, sabun, enzim, dan faktor lain yang
merusak komplek lemak-protein dari stroma.
Faktor hemolisis ini ditemukan pada bisa ular
famili Elapidae (Portal Pendidikan Biologi
2002).
Enzim penyebab hemolisis umumnya
termasuk ke dalam golongan enzim lipase
seperti fosfolipase. Enzim fosfolipase
ditemukan pada semua bisa ular dalam
beberapa bentuk dan variasi. Bisa ular famili
elapidae ditemukan 4 jenis fosfolipase, yaitu
A1, A2, C, dan D yang diklasifikasikan
berdasarkan bagian mana dari ikatan ester 3sn fosfogliserida yang dihidrolisis (Fry 1999).
Keempat jenis fosfolipase di atas yang
menyebabkan
faktor
utama
penyebab
hemolisis, yaitu fosfolipase A2 (lesitinase A2)
dan faktor lain juga mempengaruhi, yaitu DLF
(direct
lytic
factor).
Faktor
yang
mempengaruhi aktivitas PLA2 adalah lesitin.
Produk degradasi lesitin oleh enzim
bertanggung jawab pada hemolisis. Namun,
tidak semua bisa ular membutuhkan kehadiran
lesitin dalam menghemolisis sel darah merah.
Hal ini akan menjelaskan terjadinya hemolisis
sel darah merah oleh bisa ular dapat terjadi
secara langsung maupun tidak langsung.
Hemolisis
secara
langsung
tidak
dibutuhkan penambahan lesitin sedangkan
hemolisis tidak langsung kehadiran lesitin
pada sel darah merah atau penambahan dari
luar sangat diperlukan. Secara umum,
mekanisme hemolisis berlangsung dua tahap.
Tahap pertama lesitin dalam sel darah atau
yang ditambahkan dari luar akan diubah
menjadi lisolesitin oleh lesithinase A.
Lisolesitin merupakan bentuk lesitin yang
memiliki aktivitas hemolitik. Selanjutnya,
lisolesitin menyebabkan sel darah merah lisis
dengan menyerap material lemak dinding sel
sehingga merusak keutuhan struktur sel darah
(Sarkar & Devi 1968). Proses enzimatis
pengubahan lesitin menjadi lisolesitin oleh
enzim fosfolipase A2 bisa ular dapat dilihat
pada Gambar 1.
3
Gambar
1
Pengubahan lesitin menjadi
lisolesitin oleh fosfolipase A2
(Sarkar & Devi 1968).
Elektroforesis
Elektroforesis merupakan teknik pemisahan partikel-partikel bermuatan dibawah
pengaruh medan listrik karena adanya
pengaruh ukuran, bentuk muatan atau sifat
kimianya. Banyak molekul biologis penting
seperti asam amino, peptida, protein,
nukleotida, dan asam nukleat memiliki gugusgugus yang dapat terionisasi sehingga
membentuk gugus bermuatan pada pH
tertentu, baik sebagai anion maupun kation
sehingga dapat dipisahkan menggunakan
teknik elektroforesis (Nur & Adijuwana
1998).
Kegunaan elektroforesis antara lain:
untuk menentukan bobot molekul (estimasi),
pemalsuan dan kerusakan bahan, seperti
protein dalam pengolahan dan penyimpanan.
Selain itu, elektroforesis juga dapat digunakan
untuk memisahkan jenis protein yang berbeda
secara kualitatif, yang selanjutnya dapat
dianalisis dan dapat digunakan untuk
menetapkan titik isoelektrik protein (Nur &
Adijuwana 1998).
Di dalam larutannya, protein enzim akan
bermuatan bergantung pada pH larutan dan
titik isoelektrik enzim (Arikan 2003). Pada
keadaan pH dibawah pI, protein bergerak
sebagai kation dan kecepatannya naik dengan
menurunnya pH. Kation ini akan bergerak ke
elektroda negatif. Pada pH di atas pI, protein
akan
bergerak
sebagai
anion
dan
kecepatannya naik dengan meningkatnya pH.
Anion bergerak ke elektroda positif
(Suhartono 1989).
Elektroforesis gel poliakrilamida (PAGE)
merupakan metode yang memiliki kapasitas
pemisahan yang tinggi. Poliakrilamida
merupakan medium penyangga yang relatif
baru dalam elektroforesis dan bersifat inert
dan transparan sehingga dapat di pindai pada
daerah sinar tampak maupun ultraviolet.
Gel
poliakrilamida
terbentuk
dari
campuran akrilamida dan N,N’-metilenbisakrilamida melalui reaksi radikal bebas
yang dikatalisis oleh pembuat radikal bebas
N,N,N’,N’-tetrametilendiamin (TEMED). Setelah proses elektroforesis selesai, gel
dipisahkan dan diwarnai. Mobilitas atau
pergerakan serta pemisahan pada PAGE
tergantung muatan dan ukuran protein. SDS
merupakan detergen anionik dan bersama
dengan β-merkaptoetanol yang dilanjutkan
dengan pemanasan akan merusak struktur tiga
dimensi protein melalui pemecahan ikatan
silang disulfida menjadi gugus sufhidril.
Pengukuran aktifitas spesifik enzim dan
konsentrasi protein dapat memberikan
informasi
akan
perkembangan
dalam
pemurnian, dan keutuhan enzim. Akan tetapi
data tersebut tidak selalu menunjukkan
keadaan katalitik enzim subjek karena adanya
kontaminasi, isozim, maupun enzim hidrolitik
lain (Smith 1995).
Fibrinolisis
Efek lain hemotoksin ialah fibrinolisis.
Fibrinolisis adalah pengubahan bekuan darah
kembali ke bentuk cairan. Proses ini bertujuan
untuk menjaga sistem vaskular bebas dari
deposit fibrin atau bekuan fibrin. Aktivitas ini
dilakukan oleh enzim yaitu plasmin. Plasmin
merupakan suatu enzim serin protease yang
mendegradasi fibrin menjadi fragmenfragmen terlarut (Markland 1998 ).
Dalam kondisi normal, tidak ditemukan
adanya aktivitas fibrinolisis pada sirkulasi
darah karena plasmin biasanya terdapat dalam
plasma sebagai proenzim atau bentuk tidak
aktif,
plasminogen
(Bororing
2004).
Plasminogen diubah menjadi plasmin oleh
suatu enzim proteolitik yang spesifik untuk
mengaktivasi plasminogen. Enzim ini
ditemukan dalam jumlah kecil pada sebagian
besar jaringan tubuh dan semua cairan tubuh
serta dalam urin (urikinase) (Markland 1998).
Pengaktifan plasminogen oleh enzim
proteolitik terjadi ketika bersentuhan dengan
fibrin. Pada persentuhan dengan fibrin,
pengaktif plasminogen memecah plasminogen
untuk menghasilkan plasmin (Martin et al.
1987). Protease bisa ular diduga bekerja
berdasarkan pengaktifan plasminogen atau
secara langsung memecah fibrin.
4
Fibrin (tak larut)
Plasmin
Fragmen X + Peptida Kecil
Bradford lalu diinkubasi selama 15 menit
sampai 1 jam. Selanjutnya, dilakukan
pembacaan
absorbans
pada
panjang
gelombang maksimum 590 nm untuk
menghentikan elusi kolom.
Plasmin
Fragmen Y
Fragmen B
Plasmin
Fragmen D
Fragmen E
Gambar 2 Pemecahan bekuan fibrin oleh
plasmin (Markland 1998).
BAHAN DAN METODE
Bahan dan Alat
Alat-alat yang digunakan dalam penelitian
adalah freeze dryer, kolom filtrasi gel, pH
meter, spektrofotometer UV-VIS, dan perangkat elektroforesis.
Bahan-bahan yang digunakan adalah bisa
ular kobra (Naja sputatrix), Sephadex G-75,
bufer Tris-HCl, pereaksi Bradford, sel darah
merah (SDM) 4%, akrilamida, bis-akrilamida,
2-merkaptoetanol, bovin serum albumin
(BSA), N,N,N’,N’-tetrametilendiamin (TEMED), amonium persulfat (APS) 10% b/v (in
situ), natrium dodesil sulfat (SDS) 10%,
coomassie brilliant blue R-250 dan G-250,
standar protein, bromphenol blue, fibrin, dan
NaCl fisiologis. Pembuatan pereaksi kimia
dapat dilihat pada Lampiran 2.
Preparasi Fibrin Sebagai Substrat
Gumpalan darah segar diambil langsung
dari tempat pemotongan hewan dengan
menggunakan lidi. Gumpalan darah dicuci
dengan air mengalir, lalu direndam dalam
larutan NaCl hipotonik selama 15 menit
untuk melisiskan sel darah merah sehingga
fibrin dapat keluar. Setelah itu, darah
disimpan di lemari pendingin dalam NaCl
0.9% dan siap untuk uji aktivitas fibrinolisis.
Uji Kandungan Protein
Ekstrak kasar dan fraksi kolom yang
memiliki serapan tinggi pada λ 280 nm diuji
kandungan proteinnya menggunakan metode
Bradford. Metode ini menggunakan larutan
standar BSA 1.6 mg/ml dibuat dengan
menambahkan 6.25, 12.50, 25.00, 37.50,
50.00, 62.50, 75.00, 87.50, dan 100.00 µl
dengan bufer tris-HCl sampai volume 100 µL.
Kandungan BSA dalam larutan 100 µl BSA
adalah 1, 2, 4, 6, 8, 10, 12, 14, dan 16 mg.
Sampel dan larutan standar masing-masing
sebanyak 100 µl dalam tabung yang berbeda
ditambahkan 5 ml pereaksi Bradford dan
dikocok. Larutan dibiarkan selama 1 jam
kemudian dibaca absorbansnya pada λ 590 nm
(Alexander et al. 2000).
Persiapan Sampel
Sampel bisa ular kobra yang dewasa
dengan panjang 1.5 m diperoleh dari
pedagang ular. Pengambilan bisa ular kobra
dilakukan dengan menekan kepala ular
kemudian menekankan taring ular ke bagian
pinggir karet dari gelas piala (milking). Bisa
ular di-freeze dry pada suhu -50°C.
Uji Aktivitas Hemolisis
Aktivitas hemolisis dilakukan dengan
menggunakan pelat mikro. Ekstrak bisa ular
dengan konsentrasi bertingkat, yaitu 105,
5x104,
2.5x104,
1.25x104,
6.25x103,
3
3
3.125x10 , dan 1.560x10 ppm, sedangkan
untuk fraksi kolom masing-masing sebanyak
50 µl dalam pelat mikro ditambahkan 50 µl,
sel darah merah (SDM) 4%. Kontrol positif
menggunakan air dan kontrol negatif NaCl
fisiologis (0.9%) yang keduanya ditambah
SDM 4%. Hasil pengamatan uji aktivitas
hemolisis terhadap sampel dibandingkan
dengan kontrol.
Fraksinasi
Sebanyak 0.5 g/2 ml bisa ular hasil freeze
dry dilalukan pada kolom Sephadex G-75
(2x50 cm) dengan eluen bufer tris-HCl 0.01
M pH 7.6 yang mengandung 0.05 M NaCl.
Elusi dilakukan dengan laju alir 40 ml/jam
menggunakan bufer yang sama. Hasil fraksi
kolom 0.1 ml ditambahkan 5 ml pereaksi
Analisis Aktivitas Fibrinolisis
Uji ini didahului dengan preparasi substrat
fibrin. Ekstrak kasar bisa ular dengan
konsentrasi 10% dan 5%, kemudian ekstrak
dimasukkan ke dalam vial dan siap untuk
direaksikan dengan fibrin sebagai substratnya.
Sebanyak 0.01 g dan 0.02 g substrat fibrin
direaksikan dengan larutan ekstrak kasar bisa
Metode Penelitian
Download