Pengaruh Perubahan Kerja Bubut Posisi Berdiri

advertisement
JURNAL LOGIC. VOL. 14. NO. 1. MARET 2014
1
ANALISIS PENGARUH PERUBAHAN SIKAP KERJA TERHADAP
EFEK PERUBAHAN PUSAT GRAVITASI DAN TITIK TUMPU
I Gede Santosa
Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Bali
Bukit Jimbaran, P.O Box 1064 Tuban, Badung Bali
Phone: +62-361-701981, Fax: +62-361-701128
E-mail: [email protected]
abstrak: Penelitian ini meneliti efek perubahan pusat gravitasi (CG) dan titik tumpu (PS) di tubuh selama
berdiri/bekerja pada mesin bubut di saat mengalami kelelahan biomechanical. Sampai hari ini, pekerja yang
bekerja pada posisi berdiri sering mengalami kelelahan biomechanical. dengan merancang kembali (PS) dan
(CG) pekerja pada mesin bubut dari tegak berdiri ke half-sitting atau dengan tidak ada dukungan (HSWNS)
posisi berdiri dan half-sitting atau dengan dukungan posisi (HSWS), posisi berdiri ergonomic dapat diperoleh.
Oleh karena itu, kelelahan biomechanical dapat dikurangi berdasarkan konsep anaerobic metabolisme energi
(AEM) di mana konsentrasi asam laktat dan glukosa dirubah. Penelitian ini menggunakan pre- pos dan grup
desain Populasi 60 mahasiswa/pekerja di bengkel mekanik Politeknik Negeri Bali, memilih menggunakan
kriteria dan di random. Ukurannya dari grup 10 subjek, HSWN 10, HSW 10, dan kontrol 6 subjek. ini dapat
disimpulkan, pertama, pekerja mesin bubut yang tidak melakukan beberapa aktivitas untuk 3 jam menunjukkan
tidak berubahnya asam laktat dan konsentrasi glukosa. (PS) dan (CG) selama bekerja di mesin bubut,
mempunyai lebih tinggi (AEM) dari pada (HSWNS) dan (HSWS), dalam posisi berdiri. Kedua, (CG) dan (PS)
selama bekerja di mesin bubut kita memerlukan kerutan tegap lebih tinggi daripada (HSWNS) dan (HSWS)
dalam posisi berdiri. Ketiga, (CG) dan (PS) selama bekerja di mesin bubut (HSWS) dalam posisi berdiri,
hasilnya dibandingkan. Untuk itu kita lebih nyaman dan (HSWNS) tinggi pada posisi berdiri. Ini
direkomendasikan untuk perusahaan-perusahaan atau lembaga, pekerja harus bekerja pada posisi berdiri, harus
merubah posisi pekerja mereka ke posisi half-sitting yang menyebabkan mereka menjadi lebih banyak santai
untuk mereduksi kelelahan biomechanical
kata kunci: Titik berat dan Titik tumpu tubuh, Posisi kerja berdiri, Asam laktat, Glukosa, Kelelahan otot
biomekanik
Analysis Influence Of Change Of Attitude Work To Effect
Change of Center Of Gravity and Fulcrum
Abstract: This study investigated the effect of location change of center of gravity (CG) and point of support
(PS) in the body during standing lathe working on biomechanical muscular fatigue. Until today, workers who
work in standing position often experience biomechanical muscular fatigue. By redesigning PS and CG in lathe
workers from upright standing (US) to half-sitting with no support (HSWNS) standing position and half-sitting
with support (HSWS) position, a more ergonomic standing position could be obtained. Therefore, biomechanical
muscular fatigue can be reduced based on the concept of anaerobic energy metabolism (AEM) in which the
concentrations of lactic acid and glucose change. This was an experimental study using pre- and post control
group design. The population was 60 participants students/pupil at mechanic workshop Politeknik Negeri Bali.
Samples were selected using criteria and in random. The sample size of US group was 10 subjects, HSWNS 10,
HSWS 10, and Control 6 subjects. It can be concluded that, first, lathe workers who have or did not performed
any activities for 3 hours showed no change of lactic acid and glucose concentration. CG and PS locations
during lathe working in US position had higher AEM than that in HSWNS and HSWS standing position. Second,
CG and PS location during lathe working in US position requires higher muscular contractions than that in
HSWNS and HSWS standing position. Third, CG and PS location during lathe working in HSWS standing
position results in higher comfort compared to that in US and HSWNS standing position. It is recommended that
companies or institutions, whose workers have to work in static standing position, should change the position of
their workers to half-sitting position which enable them to be more relaxed to reduce biomechanical muscular
fatigue.
Key words: Weight and Body Fulcrum, Stand Work Position, Lactate acid, Glucose, Response Lactate acid and
Glucose, Biomechanics Muscle Exhaustion, ergonomics.
JURNAL LOGIC. VOL. 14. NO. 1. MARET 2014
I. Pendahuluan
Beberapa masalah pada posisi kerja berdiri
tegak (TG), yaitu: kelelahan, nyeri, lordosis dan
kecelakaan. Yassierli et al. (2000) meneliti bahwa
“dari 25 tenaga kerja posisi kerja berdiri TG pada
pekerjaan permesinan terdapat 20 responden (80%)
mengalami kelelahan biomekanik pada bahu kanan,
dan 18 responden (72 %) pada pinggang”. Juga hasil
survai terhadap 72 orang tenaga kerja bubut manual
posisi berdiri TG mengalami kelelahan biomekanik
pada punggung 15 orang (20,8 %), pinggang 11 orang
(15,3 %) dan bahu kanan 10 orang (13,9 %) (Gempur,
2001). Apabila saat bekerja mengalami lelah, maka
konsentrasi kerja sangatlah terganggu. Terganggunya
konsentrasi kerja secara jangka pendek (short term)
atau jangka panjang (long term) sangatlah
memungkinkan akan menimbulkan kecelakaan kerja.
Risiko kecelakaan kerja bisa berupa kerusakan
peralatan, material, tubuh maupun penyakit akibat
kerja. Suatu bukti bahwa posisi kerja dapat
mengakibatkan cacat tubuh sebagaimana hasil
penelitian Lord et al. (1997) bahwa “bentuk lumbar
menjadi lordosis lebih banyak 50 % dialami oleh
orang bekerja berdiri dibanding duduk”. Posisi kerja
berdiri yang lama dan statis akan terjadi penekanan
tulang belakang (columna vertebralis) dan pelekatan
ujung otot (insertio) yang menempel tulang juga
tertekan. Ujung otot yang tertekan lama akan
menimbulkan rasa nyeri berkepanjangan, sebagaimana
penelitian Duquette et.al. (1997) menyimpulkan
bahwa “terdapat 43 % tenaga kerja posisi berdiri, 27
% kerja posisi berdiri dalam waktu lama mengalami
nyeri tulang belakang (back pain)”. Berdasar fakta
tersebut di atas, maka masalah keluhan kelelahan otot
biomekanik kerja posisi berdiri perlu dikaji untuk
menghindarkan kelainan yang lebih serius.
Pekerjaan membubut membutuhkan gerakan
otot biomekanik. Mesin bubut merupakan jenis alat
besar dan berat. Mesin bubut dioperasionalkan oleh
tenaga kerja dengan posisi berdiri TG, tangan
melakukan penekanan untuk menggerakkan handel
secara statis dan dalam waktu lama. Pekerjaan seperti
itu membutuhkan kekuatan otot biomekanik untuk
mempertahankan posisi tubuh dan gerakan tangan
secara statis. Semakin lama posisi kerja berdiri, tubuh
akan mengalami perubahan postur. Perubahan postur
tubuh posisi kerja berdiri statis dari tegak menjadi
kyphosis atau lordosis biasanya disebabkan oleh:
pertama, spinal vertebra telah mengalami perubahan
(kerusakan); dan kedua, tubuh menyesuaikan dengan
benda/alat kerja yang digunakan (Snell, 1997). Kinerja
posisi berdiri yang berbeda akan mengakibatkan
perubahan TB dan TT tubuh. Kinerja menggunakan
tangan seperti kerja bubut posisi berdiri TG, letak TB
segaris garis tubuh dan letak TT di kedua telapak kaki
dan tangan. Kinerja pada kerja bubut posisi berdiri
setengah duduk tanpa sandaran (SDTS), letak TB di
sebelah kanan kiri garis tubuh bergantian dan letak TT
2
di kedua telapak kaki, dua telapak tangan dan pada
pantat. Kinerja pada kerja bubut posisi berdiri
setengah duduk pakai sandaran (SDPS), letak TB di
sebelah kanan kiri garis tubuh dan letak TT di kedua
telapak kaki, kedua telapak tangan, pantat, dan bagian
tubuh belakang. Apabila tubuh semakin condong
(membungkuk), maka terjadi gaya momen pada tulang
belakang. Pergerakan tulang belakang tersebut
menyebabkan beban yang diterima otot tulang
belakang semakin besar. Suatu perlawanan terhadap
suatu beban mengakibatkan otot mengalami kontraksi.
Kontraksi otot rangka tulang belakang yang kuat dan
dalam waktu lama mengakibatkan keadaan yang
dikenal sebagai kelelahan (fatique). Walau saat ini
telah dilakukan penelitian kerja posisi berdiri TG,
seperti Granjean (1988) dikutip Sanders et al. (1993)
merekomendasi bahwa “untuk jenis pekerjaan teliti
(precision) letak tinggi meja kerja diatur 10 cm di atas
tinggi siku, untuk jenis pekerjaan ringan (light) letak
tinggi meja diatur sejajar dengan tinggi siku, dan
untuk jenis pekerjaan berat (heavy) letak tinggi meja
kerja diatur 10 cm di bawah tinggi siku”. Begitu pula
Suma’mur (1989) dalam kerja posisi berdiri TG ada
beberapa yang harus diperhatikan “tinggi kerja 5-10
cm di bawah siku, arah penglihatan 37 derajat ke
bawah”. Penelitian tersebut masih sebatas pengaturan
antara posisi siku dengan meja kerja datar sebelum
pekerjaan dilakukan. Namun, kenyataannya kelelahan
otot biomekanik bagian tubuh belakang (back) tenaga
kerja posisi berdiri TG masih belum teratasi.
Kelelahan otot biomekanik dapat terjadi
akibat perubahan TB dan TT tubuh. Kelelahan otot
biomekanik tersebut dapat dilihat melalui paradigma
fisiobiologi otot rangka. Sedangkan konsep
pendekatan kelelahan kontraksi otot rangka akan
dilihat melalui konsep metabolisme penyediaan
energi. Konsep metabolisme tersebut menyangkut
sistem penyediaan energi otot anaerobik. Dalam
metabolisme penyediaan energi kondisi anaerobik atau
metabolisme energi anaerobik (MEA) dapat dihasilkan
asam laktat dan penurunan konsentrasi glikogen otot.
Kelelahan otot biomekanik dalam kondisi anaerobik
tersebut dapat terjadi karena penumpukan asam laktat
dan penurunan glikogen dalam otot. Karena glikogen
dalam otot menurun, maka perlu pengisian kembali
yang diambilkan dari luar sel otot yakni dari gula
dalam darah (glukosa). Dengan demikian, kelelahan
otot biomekanik akibat beban kerja posisi berdiri
dapat juga diobservasi dari fluktuasi konsentrasi asam
laktat dan gula dalam darah (glukosa).
Tujuan penelitian ini adalah untuk
membuktikan bahwa (1) MEA sebelum dan sesudah
kerja pada letak TB dan TT tubuh kerja bubut posisi
berdiri TG, SDTS, SDPS, dan kelompok Kontrol
mengalami perbedaan, (2) respons MEA pada letak
TB dan TT tubuh kerja bubut posisi berdiri TG,
SDTS, dan SDPS terjadi perbedaan, serta (3) tingkat
kelelahan otot biomekanik (TKOB) pada letak TB dan
JURNAL LOGIC. VOL. 14. NO. 1. MARET 2014
TT tubuh kerja bubut posisi berdiri TG lebih tinggi
dibanding TKOB kerja bubut posisi berdiri SDTS, dan
SDPS.
II. Metodologi Penelitian
Penelitian ini dirancang menggunakan jenis
penelitian experimental. Penelitian ini mengukur
kelelahan otot biomekanik yang dilihat dari konsep
MEA antara kelompok kontrol dan 3 kelompok
perlakuan sebagai dampak kerja posisi berdiri.
Pengambilan asam laktat dan glukosa dilakukan
melalui pengambilan darah kemudian diuji
laboratorium sebelum kerja (pre) dan setelah kerja
(post). Saat penelitian lama kerja adalah 3 jam terus
menerus. Rancangan eksperimen semacam ini disebut
pre-post test control group design.
Kelompok kontrol (K), yakni tenaga kerja
bubut peserta dalam penelitian yang tidak melakukan
aktivitas kerja bubut maupun aktivitas kerja lainnya.
Kelompok A, yakni tenaga kerja bubut peserta
penelitian yang melakukan aktivitas kerja bubut
dengan titik tumpu tubuh (TT) terlatak pada 2 telapak
kaki, 2 telapak tangan; dan titik berat tubuh (TB)
segaris dengan garis tubuh, posisi kerja berdiri TG
(lihat gambar 1A). Kelompok B, yakni tenaga kerja
bubut peserta dalam penelitian yang melakukan
aktivitas kerja bubut dengan TT terletak di 2 telapak
kaki, 2 telapak tangan dan pantat; TB teletak di
samping kiri atau kanan garis tubuh secara bergantian,
posisi kerja berdiri SDTS (lihat gambar 1B).
Kelompok C, yakni tenaga kerja bubut peserta dalam
penelitian yang melakukan aktivitas kerja bubut
dengan TT terletak di 2 telapak kaki, 2 telapak tangan,
pantat dan tulang belakang; TB teletak di samping kiri
atau kanan garis tubuh secara bergantian, posisi kerja
berdiri SDPS (lihat gambar 1C).
Populasi dalam penelitian ini dirancang
(terencana) adalah mahasiswa praktik Jurusan Teknik
Mesin PNB yang menggunakan mesin bubut manual
di bidang permesinan (manufacture) di bengkel
mekanik Jurusan Teknik Mesin, besar populasi 60
orang. Pengambilan sampel dilakukan secara kriteria
3
dan random. Dari 60 orang kemudian diambil
sebanyak 40 orang secara random. Sejumlah 40
peserta penelitian dibagi menjadi 4 kelompok secara
random.
Terdapat dua jenis kursi yakni kursi
ergonomi tanpa sandaran dan pakai sandaran untuk
kerja posisi berdiri. Ukuran kursi ergonomi tersebut
disesuaikan dengan antropometeri responden, antara
lain: (a) tinggi kursi dapat disetel berdasar tinggi kaki
(TKK), tinggi kursi dapat diturunkan sampai 76,1 cm
(25th percentile) dibulatkan 77 cm, dan dapat
dinaikkan sampai 77,2 cm (75th percentile) dibulatkan
78 cm, (b). tinggi sandaran kaki berdasarkan TKK
dikurangi lipat lutut telapak kaki (LLTK) yakni tinggi
kursi dapat disetel terendah 76,1 – 38,4 = 37,7 cm
(25th percentile) dibulatkan 37 cm, dan disetel
tertinggi 77,2 – 39,3 = 37,9 cm (75th percentile)
dibulatkan 38 cm, (c). jarak kursi dengan mesin bubut
berdasarkan panjang lengan bawah dan tangan
(PLBT) yakni PLBT terpendek 47,35 cm (25th
percentile) dibulatkan 47 cm. PLBT terpanjang 50 cm
(75th percentile).
III. Hasil dan Pembahasan
Antropometrik atau ukuran tubuh tenaga
kerja bubut posisi kerja berdiri meliputi: TBD, LLTK,
PLBT, dan TKK. Antropometrik tenaga kerja bubut
antarkelompok adalah sama p’ > 0,05 (tabel 1). Pada
antropometrik antarkelompok yang sama, apabila
jarak titik tempat kerja berdiri dengan mesin bubut
dibuat sama pada masing-masing kelompok, maka
jangkauan tangan tenaga kerja terhadap mesin bubut
saat berkerja adalah sama. Hal ini untuk menghindari
kelelahan tenaga kerja yang ditimbulkan oleh
jangkauan tangan yang berbeda. Apabila jangkauan
tangan saat bekerja berbeda pada masing-masing
orang, maka tingkat kelelahannya setelah selesai
bekerja juga akan berbeda.
Untuk memastikan bahwa asam laktat dan
glukosa dapat dipakai sebagai parameter tingkat
kelelahan, maka sebelum kerja konsentrasi asam laktat
dan glukosa antar kelompok tenaga kerja harus sama.
JURNAL LOGIC. VOL. 14. NO. 1. MARET 2014
Masing-masing kelompok diberikan perlakuan posisi
kerja yang berbeda yakni kerja posisi
berdiri TG, SDTS, SDPS, dan kelompok K tanpa
melakukan aktivitas (=istirahat). Kemudian, setelah
kerja diperiksa kembali konsentrasi asam laktat dan
glukosa. Hal ini untuk mengetahui perbedaan
konsentrasi asam laktat dan glukosa sebelum dan
sesudah kerja.
4
K.Smirnov normalitas laktat dan glukosa pre antar
kelompok dan post kelompok K, p > 0,05.
Keterangan: Manova Wilks’Lambda variabel metabolisme
energi post p’ < 0,05. Analisis K.Smirnov normalitas laktat
dan glukosa pre - post antar kelompok p > 0,05.
Keterangan: Manova Wilks’Lambda antropometri p’ 0,05.
Analisis K.Smirnov normalitas TBD, LLTK, PLBT, TKK
antar kelompok p > 0,05.
Untuk memastikan bahwa asam laktat dan
glukosa dapat dipakai sebagai parameter tingkat
kelelahan, maka sebelum kerja konsentrasi asam laktat
dan glukosa antarkelompok tenaga kerja harus sama.
Masing-masing kelompok diberikan perlakuan posisi
kerja yang berbeda yakni kerja posisi berdiri TG,
SDTS, SDPS, dan kelompok K tanpa melakukan
aktivitas (=istirahat). Kemudian, setelah kerja
diperiksa kembali konsentrasi asam laktat dan
glukosa. Hal ini untuk mengetahui perbedaan
konsentrasi asam laktat dan glukosa sebelum dan
sesudah kerja. Berdasarkan analisis data, bahwa
konsentrasi asam laktat dan glukosa tenaga kerja
sebelum kerja antar kelompok dan kelompok K
sesudah kerja adalah sama p’ >0,05 (tabel 2), ini
memperlihatkan bahwa tersedianya energi tubuh dan
tingkat kelelahan tenaga kerja antar kelompok
sebelum kerja atau tenaga yang belum melakukan
aktivitas kerja adalah sama. Namun setelah kerja,
konsentrasi asam laktat dan glukosa antar kelompok
tidak sama p’ < 0,05 (tabel 3), ini memperlihatkan
bahwa karena posisi kerja berdiri yang berbeda yakni
TG, SDTS, dan SDPS sehingga energi yang
dibutuhkan untuk melakukan aktivitas kerja bubut
antar kelompok kerja juga berbeda, yang pada
akhirnya tingkat kelelahan tenaga kerja setelah kerja
antar kelompok juga berbeda.
Keterangan: Manova Wilks’Lambda variabel metabolisme
energi pre antar kelompok dan post kelompok K, p’ > 0,05.
Terjadinya perbedaan konsentrasi asam laktat
dan glukosa sebelum dan sesudah kerja bubut antar
kelompok dapat dijelaskan secara interpretasi bahwa,
sebelum kerja masih belum melakukan aktivitas kerja
bubut, tubuh hanya memerlukan energi untuk
mempertahankan hidup. Pada saat melakukan aktivitas
sesuai perlakuan kerja yang dilakukan, tubuh
memerlukan energi yang lebih banyak. Jumlah energi
yang diperlukan tubuh tergantung dari intensitas
aktivitas kerja yang dilakukan. Pada aktivitas kerja
cukup ringan maka metabolisme penyediaan energi
diproses secara aerobik, karena tersedia oksigen yang
memadahi. Namun, apabila intensitas aktivitas kerja
semakin meningkat, maka perlu penambahan energi
secara anaerobik. Metabolisme penyediaan energi
anaerobik diproses dari pemecahan simpanan glikogen
dalam otot sebagai bahan energi. Oleh karena itu,
konsentrasi glikogen dalam otot menurun dan asam
laktat meningkat. Peningkatan asam laktat akan
menimbulkan kelelahan, sebagaimana menurut Anna
(1994) bahwa “asam laktat banyak terjadi sehingga
menimbulkan rasa lelah”. Guyton et.al. (1997)
menyebutkan bahwa “kelelahan otot meningkat
hampir berbanding langsung dengan kecepatan
penurunan glikogen otot”.
Berdasarkan pendapat Guyton tersebut, dapat
diinterpretasikan bahwa ketika intensitas aktivitas
kerja mengalami peningkatan dan dalam waktu lama,
maka konsentrasi glikogen dalam otot yang tersedia
tidak tercukupi. Konsentrasi glikogen dalam otot tidak
tercukupi (menurun), maka perlu diisi kembali.
Pengisian glikogen tersebut diambilkan dari luar sel
otot yakni dari gula dalam darah (glukosa). Hal itu
terbukti bahwa konsentrasi glukosa sebelum kerja
bubut dan sesudah kerja bubut mengalmi penurunan.
Ratarata penurunan glukosa, dari sebelum kerja (pre)
sampai sesudah kerja (post) untuk kelompok TG (pre
97,3200 mg%; post 77,0530 mg%), kelompok SDTS
(pre 97,3860 mg%; post 82,0700 mg%), dan
kelompok SDPS (pre 97,0740 mg%; post 88,9180
mg%). Respons MEA yang dimaksud adalah selisih
konsentrasi asam laktat dan glukosa sebelum dan
sesudah kerja. Berdasarkan hasil analisis data bahwa
terdapat perbedaan respons MEA antar kelompok p’ <
0,05 (tabel 4). Walau demikian, perbedaan respons
MEA pada kelompok K tidak berarti (tidak
JURNAL LOGIC. VOL. 14. NO. 1. MARET 2014
signifikan), sebagaimana diperlihatkan dari analisis
data bahwa tenaga kerja yang belum atau tidak
melakukan aktivitas kerja (=istirahat) yakni antar
kelompok sebelum kerja dan kelompok K sesudah
kerja tidak terjadi perbedaan konsentrasi asam laktat
dan glukosa p’ > 0,05 (tabel 2). Jadi, dari sejumlah 4
kelompok kerja, terdapat 3 kelompok kerja yang
mengalami respons MEA yakni pada kelompok A, B,
dan C.
5
meningkat berbanding langsung dengan penurunan
glikogen otot”
(Anna, 1994; Guyton et.al., 1997). Hal itu terbukti
bahwa respons MEA kelompok berdiri TG, SDTS,
dan SDPS adalah berbeda p’ < 0,05 (tabel 5).
Keterangan: Analisis diskriminan respons asam laktat dan
glukosa masing-masing p* < 0,05. Analisis diskriminan
Wilks’ Lambda respons metabolisme energi p’ < 0,05.
Keterangan: Manova respons metabolisme energi p’ < 0,05
Kelompok A, B, dan C adalah kelompok
yang melakukan aktivitas kerja bubut posisi berdiri
TG, SDTS, dan SDPS. Pekerjaan membubut
memerlukan energi untuk menahan tubuh berdiri statis
dan lama. Selain itu, saat membubut, tangan
memerlukan kekuatan menekan, menahan dan
memutar handel mesin bubut untuk membentuk benda
kerja. Handel mesin bubut digerakkan secara
intermiten, atau secara tidak terus menerus,
memerlukan kekuatan menahan-memutar dan
menahan saja. Pekerjaan bubut saat memerlukan
kekuatan tangan menahan dan memutar (ring of
motion) secara pelan, maka otot biomekanik (=otot
rangka yang melakukan kerja mekanik) mengalami
kontraksi isokinetik. Namun, pada saat kerja bubut
memerlukan kekuatan menahan tubuh berdiri statis
dan menahan handel, otot agonis dan antagonis saling
menahan tanpa ada ring of motion, maka otot
biomekanik mengalami kontraksi isometrik.
Bentuk aktivitas dengan posisi kerja yang
berbeda, jumlah otot yang dilibatkan dan tenaga yang
diperlukan juga berbeda. Hang (2000) menyebutkan
bahwa “otot yang terlibat untuk menahan pinggang
berbeda antara ketika aktivitas berjalan atau memanjat
tangga”. Neptune et.al. (1998) dalam hasil
penelitiannya
menyebutkan
bahwa
“kuantitas
performen otot dan non-otot (gravity dan velocity yang
terkait dengan kekuatan) mempunyai kontribusi
terhadap berbagai bagian tenaga dan akselerasi”. Oleh
karena itu, kerja bubut antara posisi berdiri TG, SDTS,
dan SDPS pasti melibatkan jumlah kontraksi otot yang
berbeda.
Kerja bubut posisi berdiri yang lebih banyak
melibatkan
intensitas
kontraksi
otot
akan
membutuhkan energi lebih banyak. Penyediaan energi
tersebut diperoleh melalui pemecahan ATP melalui
proses MEA. “Dalam metabolisme respirasi anaerob
hasil terbanyak reduksi piruvat adalah asam laktat”
(Becker et.al., 1999; Peter, 1999). “Peningkatan asam
laktat menimbulkan rasa lelah, dan kelelahan otot
Gambar 2. Pola Respons MEA Antar Kelompok Kerja Bubut
Kelelahan biomekanik yang utama dialami
tukang bubut atau kerja posisi berdiri adalah pada
bahu kanan, punggung dan pinggang (Yassierli, 2000;
Gempur, 2001). Otot skelet yang menghubungkan
bahu, punggung dan pinggang menurut Thompson
(1981) adalah “otot trapezius, rhomboideus dan
latissimus dorsi”. “Sekelompok otot trapezius
mengubungkan sendi leher (articulatio occipitalis), C7 vertebral dan seluruh thoracic vertebral, serta
menempel pada T3-T5 vertebral untuk proses gerak
putar menuju tulang belikat (scapula) membentuk
sendi bahu” (Thompson, 1981; Nederhand, 2000,
Hang, 2000). “Sekelompok otot rhomboideus yang
melekat antara bagian bawah cervical vertebral dan
T1-T5 vertebral juga untuk gerak putar menuju ke
pelekatan
tulang
scapula”
(Thompson,1981;
Nederhand, 2000; ExRx, 2000). “Sekelompok otot
latissimus dorsi yang melekat sacrum lumbar dan T-5
vertebral” (Thompson, 1981; McGill et.al., 2000).
Selain itu, menurut Thompson (1981) bahwa “otot
yang menjaga dari membungkuk agar tegak adalah
erector”.
Memperhatikan beberapa pendapat di atas,
bahwa pada kerja bubut posisi berdiri TG, beban
tubuh (beban aksi tubuh) di antaranya diterima oleh
sekelompok otot erector, trapezius, rhomboideus dan
latissimus dorsi. Jadi otot skelet tersebut melakukan
kontraksi secara terus menerus. Kemudian beban aksi
tubuh diteruskan ke TT tubuh di kedua telapak kaki.
JURNAL LOGIC. VOL. 14. NO. 1. MARET 2014
Sebagian lagi beban aksi tubuh, terutama yang
diterima otot trapezius tengah dan rhomboideus akan
diteruskan ke scapula (bahu), menuju ke TT tubuh di
kedua telapak tangan (seluruh = 4 TT tubuh).
Lain halnya dengan kerja bubut posisi berdiri
SDTS, beban aksi tubuh dapat diterima oleh otot
skelet tubuh belakang lebih besar di bagian kanan atau
bagian kiri secara bergantian. Jadi, sekelompok otot
skelet tubuh belakang melakukan kontraksi
bergantian, lebih besar berkontraksi di bagian otot
skelet tubuh belakang sebelah kiri atau otot sebelah
kanan disesuaikan dengan posisi kaki ketika berdiri.
Otot skelet bagian kiri tubuh belakang lebih besar
berkontraksi ketika kaki kanan di atas alas kursi, atau
otot skelet bagian kanan tubuh belakang lebih besar
berkontraksi ketika kaki kiri di atas alas kursi.
Pergantian penerimaan beban aksi tubuh pada otot
skelet bagian tubuh belakang bagian kiri atau kanan
disesuaikan kebutuhan relaksasi otot. Kemudian,
beban aksi tubuh tersebut diteruskan ke TT tubuh di
pantat, kedua telapak kaki, dan sebagian ke kedua
telapak tangan (= 5 TT tubuh). Pada kerja bubut posisi
SDPS, beban aksi tubuh yang diterima otot skelet
tubuh belakang langsung diterima sandaran kursi. Jadi
otot skelet tubuh belakang tidak terlalu terbebani,
karena ketika membutuhkan relaksasi bersandar, telah
tersedia sandaran kursi yang merupakan TT tubuh.
Selanjutnya, beban aksi tubuh diteruskan ke TT tubuh
di pantat, kedua telapak kaki, dan kedua telapak
tangan (= 6 TT tubuh).
Berdasarkan
uraian
di
atas
dan
memperhatikan pula hasil uji diskriminan bahwa
koefisien respons MEA posisi berdiri TG (laktat:4,853
mmol/kg, glukosa: 0,221 mg%), SDTS turun menjadi
(laktat: 3,100 mmol/kg, glukosa: 0,175 mg%), dan
SDPS menjadi (laktat: 3,314 mmol/kg, glukosa:
0,07089 mg%) (tabel 5), dapat disebutkan bahwa letak
TB dan TT tubuh kerja bubut posisi berdiri TG lebih
banyak melibatkan kontraksi otot skelet dibanding
posisi berdiri SDTS maupun SDTS.
Berdasarkan analisis data, diperlihatkan
bahwa terdapat perbedaan TKOB antar kelompok
yakni p’ < 0,05 (tabel 6). Rata-rata nilai nominal
TKOB kerja bubut posisi bediri TG 2,2 > SDTS 1,8 >
SDPS 1,4 (tabel 6). Jadi, kerja bubut posisi berdiri TG
lebih melelahkan dibanding SDTS maupun SDPS.
Kelelahan otot biomekanik tersebut berbanding
langsung dengan peningkatan asam laktat dan
penurunan glukosa, sebagaimana disebutkan oleh
Guyton et.al. (1997) bahwa “kelelahan otot meningkat
hampir berbanding langsung dengan kecepatan
penurunan glikogen otot”, dan disebutkan pula oleh
Kroemer et.al.(1986), Anna (1994), Niels (2000)
bahwa “dalam keaadaan anaerob, asam laktat banyak
terjadi sehingga menimbulkan rasa lelah dan dalam
hal ini glikogen dalam otot berkurang”.
Berdasarkan uji diskriminan hal itu terbukti
bahwa koefisien respons MEA posisi berdiri TG
(laktat 4,853 mmol/kg, glukosa 0,221 mg%); SDTS
turun menjadi (laktat 3,100 mmol/kg, glukosa 0,175
6
mg%); dan SDPS menjadi (laktat 3,314 mmol/kg,
glukosa 0,07089 mg%) (tabel 5), jadi respons MEA
pada kerja bubut posisi berdiri TG lebih tinggi
dibanding posisi berdiri SDTS maupun SDTS.
Keterangan: Anova nilai nominal TKOB antar kelompok
p’ < 0,05.
Hasil analisis di atas diperkuat pula dari hasil
analisis regresi bahwa tingkat kelelahan otot
biomekanik mempunyai hubungan yang kuat dengan
konsentrasi asam laktat dan glukosa R > 0,05 (tabel
7). Kemudian, variabel konsentrasi asam laktat dan
konsentrasi glukosa mempengaruhi TKOB tenaga
kerja kelompok TG, SDTS, dan SDPS yakni p < 0,05
(tabel 8) Persamaan regresi diperoleh sebagai berikut:
TKOB = 3,015 + 0,319 Asam Laktat – 0,0339
Glukosa. Arti persamaan tersebut adalah: jika tidak
terjadi peningkatan konsentrasi asam laktat dan tidak
terjadi penurunan konsentrasi glukosa maka kategori
TKOB adalah sebesar nilai nominal 3,015 dibulatkan
3 (kategori lelah), atau dapat dikatakan bahwa jika
terjadi penigkatan konsentrasi asam laktat dan terjadi
penurunan glukosa maka akan terjadi kenaikan
kategori TKOB dengan nilai nominal > 3,015 (lebih
lelah). Kemudian, jika terjadi peningkatan asam laktat
sebesar 1 mmol/kg maka akan menambah kategori
TKOB sebesar nilai nominal 0,319; dan juga apabila
terjadi penurunan persediaan glukosa 1 mg% maka
akan menambah kategori TKOB sebesar nilai nominal
0,0339. Jadi, dapat disimpulkan bahwa letak TB dan
TT tubuh kerja bubut posisi berdiri TG memiliki nilai
nominal TKOB sebesar 2,2 termasuk dalam kategori
cukup melelahkan, letak TB dan TT tubuh posisi
berdiri SDTS memiliki nilai nominal TKOB sebesar
1,8 termasuk dalam kategori tidak melelahkan dan
hampir cukup melelahkan, kemudian letak TB dan TT
tubuh posisi SDPS memiliki nilai nominal TKOB
sebesar 1,4 berarti dalam kategori tidak melelahkan.
Keterangan: Analisis regresi R > 0,05
JURNAL LOGIC. VOL. 14. NO. 1. MARET 2014
7
Keterangan: Analisis regresi asam laktat dan glukosa
terhadap TKOB p < 0,05.
Oleh karena itu, letak TB dan TT tubuh kerja
bubut posisi SDPS adalah lebih ergonomis dibanding
dengan letak TB dan TT tubuh posisi berdiri SDTS
maupun TG, sebagaimana pendapat Sritomo (1995),
Eko (1998), Ike (2000), Lientje (2000), Sudiyono
(2000), dan Adnyana (2000) bahwa “tujuan dari
pendekatan ergonomi adalah optimasi, produktivitas,
kesehatan, keselamatan, aman, dan nyaman (tidak
melelahkan)”.
IV. Simpulan dan Saran
4.1 Simpulan
Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan
dapat disimpulkan bahwa: (1) tenaga kerja bubut yang
belum atau tidak melakukan aktivitas kerja tidak
mengalami perubahan konsentrasi asam laktat dan
glukosa, dan letak TB dan TT tubuh kerja bubut posisi
berdiri TG mengalami metabolisme energi secara
anaerobik lebih tinggi dibanding letak TB dan TT
tubuh kerja bubut posisi berdiri SDTS maupun SDPS;
(2) letak TB dan TT tubuh pada kerja bubut posisi
berdiri TG membutuhkan respons MEA lebih tinggi
atau membutuhkan intensitas kontraksi otot yang lebih
besar dibanding letak TB dan TT kerja bubut posisi
berdiri SDTS maupun SDPS; (3) TKOB pada letak
TB dan TT tubuh tenaga kerja bubut posisi berdiri
SDPS lebih rendah dibanding TKOB posisi berdiri
SDTS dan TG, atau dapat disimpulkan bahwa letak
TB dan TT tubuh kerja bubut posisi SDPS lebih tidak
melelahkan (lebih nyaman) dibanding letak TB dan
TT tubuh posisi berdiri TG dan SDTS.
4.2 Saran
Disarankan
bahwa
perusahaan yang
mempekerjakan tenaga kerja dalam bekerja posisi
berdiri tegak statis sebaiknya diubah menjadi posisi
berdiri setengah duduk dan dapat relaksasi serta
disesuaikan dengan antropometri (ergonomis), agar
respons metabolisme energi konsentrasi asam laktat
tidak meningkat dan glukosa tidak menurun, dengan
demikian meningkatnya kelelahan otot biomekanik
tenaga kerja dapat dicegah.
DAFTAR PUSTAKA
[1]. As’ad Moh,. Seri ilmu sumber daya manusia
psikologi industri, Edisi ke-empat, Liberty,
Yogyakarta,1995: 1-9.
[2]. Adnyana Manuaba, Ergonomi – Kesehatan
dan Keselamatan Kerja, Proceeding Seminar
Nasional ergonomi, Surabaya, 6-7 Juli 2000:
1-4.
[3]. Anne Anastasi, Bidang-bidang psikologi
terapan, Cetakan pertama, Rajawali Pers,
Jakarta,1989:95-120, 368.
[4]. Becker M. Wayne, Jane B. Reece and Martin
F. Poenie, The world of the cell, Third
edition, The Benjamin/comings publishing
company,
1999:
296-325.
Pengaruh
[5].
[6].
[7].
[8].
[9].
[10].
[11].
[12].
[13].
[14].
[15].
Perubahan Kerja Bubut Posisi Berdiri
Terhadap Kelelahan Otot Biomekanik
(Penelitian
Eksperimental
Ergonomis
Menggunakan Pendekatan Metabolisme
Energi Anaerobik)
Duquette Josee, Monique Lortie and Michel
Rossignol, Perception of difficulties for the
back to assembly work: general findings and
impact of back health, Elsevier Science,
Applied ergonomics, Vol. 28, No. 5/6, 1997:
389-396. ExRx, , Rhomboidius- TrapeziusLatissimus Dorsi, http://www.exrx.net.html ,
ExRx All Right Reserved Updated 31 March
2002. Guyton C. Arthur & Hall E. John,
Fisiologi kedokteran (textbook of medical
physiology), EGC, 1997: 91-105.
Ike Siwi Renawati Paulina, Aspek ergonomi
botol kemasan air mineral (ukuran 0.5 L),
Proceeding Seminar Nasional Ergonomi
2000 – (103-107).
Kroemer K and Grandjean, E., Fitting the
task to the human: A textbook of
occupational ergonomics, 5th edition,
Londondon, Taylor & Francic, 1997.
Lientje Setyawati Maurits, Pengaruh
pengadaan peralatan yang ergonomis
terhadap tingkat kelelahan kerja dan stress
psikososial, Proceeding Seminar Nasional
ergonomi 2000 – (94-99).
Lord MJ, Small JM, Dinsay JM, Watkins
RG, Lumbar lordosis of sitting and standing,
Spine 1997 Nov 1; 22(21):2571-4.
Malcolm hardy, Steve heyes, Pengantar
psikologi, Edisi kedua, Penerbit erlangga,
Jakarta, 1988: 1-20, 159-165.
McGill SM., Hughson RL, Parks K, Changes
in lumbar lordosis modify the role of the
extensor muscle, Clin Biomech (Bristol,
Avon), 2000 Dec; 15 (10): 777-80.
Neptune, R.R and F.E. Zajac, Muscle
contributions to specific biomechanical
functions do not change in forward versus
backward pedaling, Rehabilitation R&D
center, Palo Alto HCS, Palo alto CA USA,
1998.
Robert S. Mazzeo, Peter Cavanagh, William
J Evans, Mara Fiatarone, James Hagberrg,
Edward
Sanders S Mark, Ernest J. McCormick,
Human factors in engineering and design,
Seventh edition, McGraw-Hill, California,
1993: 435-437.
Suma’mur PK, Ergonomi untuk produktivitas
kerja, Haji masagung, Jakarta, 1989: 34-36.
Download