bab 1 - ETD UGM

advertisement
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
LATAR BELAKANG
Kehadiran komunikasi sebagai suatu bidang studi mendorong aspek lain
yang mendukung keberadaannya menjadi perkara penting baik bagi
perkembangan studi tersebut maupun eksistensinya dalam dinamika sosial.
Komunikasi sebagai studi yang memiliki fokus utama pada media menjadikan
khalayak sebagai main concern. Oleh karena itu, adanya penelitian khalayak
sebagai penunjang studi komunikasi penting untuk dilaksanakan demi mencapai
tujuan tertentu. Dalam buku Audience
Research
(Endang S. Sari, 1993),
disebutkan peran khalayak adalah untuk memperkuat eksistensi komunikasi dalam
jajaran ilmu-ilmu sosial maupun dalam meningkatkan kualitas media yang
digunakan. Penelitian mengenai khalayak harus ditingkatkan sehingga eksistensi
ilmu komunikasi akan semakin kuat dan berkembang, dan media selalu berperan
efektif dan efisien dalam proses pembangungan.
Status audiens pada media-media massa atau konvensional seperti cetak,
televisi dan radio, dapat dikatakan pasif atau bisa disebut juga dengan pembaca
aktif, sehingga tidak ada interaktivitas yang terjadi antara media dengan audiens.
Namun seiring perkembangan zaman, khalayak tidak bisa menghindari perubahan
konstruksi media. Kehadiran media baru di masyarakat kemudian membuat status
khalayak yang semulanya merupakan penerima pesan dari media konvensional,
menjadi khalayak yang memiliki kekuasaan untuk memilih pesan yang ingin ia
akses sebagai konsumsi pribadi. Media baru kemudian menciptakan konsep
dimana mulanya merupakan media ‘massa’ menjadi media ‘saya’ (bermakna
kepemilikan). Sonia Livingstone (1999), menyatakan dalam artikelnya berjudul
‘New Media? New Audiences?‘ bahwa dalam media baru hal yang terjadi adalah
multiplication of personally owned media (penggandaan media yang dimiliki
1
secara pribadi), dimana dalam konsep tersebut maka subjek yang dibahas
merupakan khalayak yang berubah menjadi pengguna media baru. Apa yang
disebur ‘baru’ dalam media baru justru adalah perluasan dari pemahaman
mengenai khalayak yang ditujunya akibat dari perubahan konstruksi media bukan
perubahan fundamental dari konteks khalayak itu sendiri.
!
Bergesernya peran audiens dalam media baru ini kemudian menimbulkan
pertanyaan pada aspek penelitian audiens. Walaupun begitu, penelitian audiens
media baru tetap penting untuk dilaksanakan karena sifat audiens yang semakin
terfragmentasi, semakin sulit ditebak dan bagaimana media baru tersebut memiliki
konsep tersendiri yang dihadapi oleh audiens atau penggunanya (Livingstone,
1999).
Konsep analisis resepsi audiens adalah dengan munculnya teori Stuart
Hall, terutama pada konsep mendasarnya yaitu model encoding-decoding dimana
pesan di buat oleh produsen dengan tujuan tertentu dan dimaknai oleh konsumen
dengan makna yang berbeda sesuai latar belakang masing-masing (Hall, 1993).
Penelitian mengenai aktivitas resepsi atau pemaknaan pada pengguna
media baru ini menarik diterapkan ketika melihat iklan Unilever berjudul “Why
Bring A Child into This World?” dimana iklan tersebut merupakan introduksi dari
kampanye mereka, Project Sunlight. Menariknya, iklan ini menggunakan media
baru, spesifiknya YouTube sebagai media untuk mempublikasikannya. Berdasar
Google Think Insights, 2014, telah dianalisa bahwa iklan “Why Bring A Child into
This World?” ini mencapai 77,000,000 views (istilah dalam ranah situs YouTube
untuk jumlah orang yang menonton), terhitung banyak bagi sebuah video iklan,
dari situs YouTube meliputi lima negara (Think with Google, 2014)1 . Data tersebut
kemudian mencapai konklusi bahwa iklan berdurasi 4 menit 25 detik ini bersifat
viral, dimana banyak pengguna media baru yang telah menonton iklan tersebut
membagikan link iklan ke situs atau media sosial lain yang mereka miliki dan
mengindikasikan bahwa banyak pengguna media baru memandang iklan ini
1
Sebuah case study yang menganalisa fenomena suksesnya viral campaign ad “Why Bring A
Child to This World?” milik Unilever sebagai iklan yang memanfaatkan TrueView YouTube
Campaign.
2
menarik dan mengandung urgensi untuk ditonton oleh khalayak lebih luas karena
pesan lingkungan yang ada didalamnya.
Sebagaimana iklan berfungsi sebagai salah satu medium yang membantu
penyampaian prinsip, tidak terkecuali dalam hal isu lingkungan yang memiliki
kepentingan sama dengan isu lainnya untuk disampaikan melalui iklan. Dalam
menegaskan perihal tersebut, maka terdapat beberapa argumen yang
membuktikan bahwa kepentingan isu lingkungan sebagai informasi dapat
mencapai suatu signifikansi. Informasi lingkungan selalu di bagian atas daftar
prioritas bagi masyarakat dan individu sejak zaman kuno, karena dianggap
penting untuk kelangsungan hidup dan syarat mencapai kemakmuran (Scharl,
2004). Mulanya pesan lingkungan disampaikan melalui iklan rupanya permintaan
khalayak sebagai konsumen sendiri, dimana mencapai kesimpulan bahwa ternyata
tidak sedikit orang memiliki perhatian terhadap lingkungan. Saat ini, produksi
data lingkungan meningkat secara drastis, sementara tambahan saluran
komunikasi yang tersedia untuk penyampaian informasi tersebut telah meningkat
dengan bantuan teknologi informasi dan komunikasi yang menawarkan potensi
dalam menyediakan informasi yang dapat diandalkan warga mengenai lingkungan
secara komprehensif dan sesuai jaman, terutama pada kasus-kasus tertentu di
mana urgensi terkait masalah lingkungan tampak nyata (Scharl, 2004:3).
Dengan banyaknya permintaan dari masyarakat untuk menyertai isu
lingkungan dalam media termasuk iklan, maka banyak pelajar yang membuat
manfaat media dalam menyampaikan pesan lingkungan tersebut sebagai sebuah
bidang studi. Para sarjana yang menggeluti bidang komunikasi massa mulai
melaksanakan studi sistematis mengenai pengaruh penggambaran lingkungan dari
media terhadap sikap publik (Anderson, 1997;. Shanahan & McComas, 1999, hal
26-27). Pada tingkat yang lebih konseptual, studi komunikasi lingkungan
berkontribusi terhadap teori-teori tentang komunikasi manusia itu sendiri.
Misalnya, fokus pada peran verbal, seni, simbol, dan sebagainya dalam
mendefinisikan atau merepresentasikan hubungan manusia dengan lingkungan,
3
hal tersebut mungkin adalah contoh paling jelas dari pernyataan bahwa
komunikasi manusia dimediasi dengan pemahaman dari dunia luar yang
melampaui bayangan kita (Cox, 2013:5). Pernyataan tersebut menegaskan bahwa
representasi lingkungan dalam iklan tetap menjadi persoalan untuk khalayak
cermati yang melalui proses interpretasi. Isu lingkungan memang sedari dulu
merupakan ihwal yang penting untuk didiskusikan oleh masyarakat maka banyak
yang menganggap penting isu lingkungan sering disampaikan melalui media
iklan.
Oleh karena itu, adanya aktivitas resepsi pada pesan lingkungan dalam
iklan Unilever “Why Bring A Child into This World?” merupakan ihwal penting
untuk didalami lebih lanjut.
Untuk mendeskripsikan iklan ini, iklan yang disamping merupakan
kategori iklan Public Service Announcement/Advertisement (PSA) atau Iklan
Layanan Masyarakat, iklan ini juga merupakan iklan eksperimen, dimana mereka
mewawancarai beberapa pasangan orang tua muda yang sedang dalam penantian
anak pertama. Satu per satu pasangan muda tersebut diperlihatkan sebuah film
mengenai kondisi dunia saat ini, dan dalam film tersebut terdapat narator yang
menjelaskan mengapa saat ini adalah waktu yang paling tepat untuk melahirkan
anak, secara ironis dikaitkan dengan masa depan dan kondisi dunia kini.
Kemudian di picu dengan pertanyaan “Why Bring A Child into This World?”.
Para pasangan muda lalu masing-masing menjawab pertanyaan tersebut dari sudut
pandang mereka. Penggambaran iklan ini menuai banyak ulasan mengenai
deskripsi iklan tersebut maupun dari sisi pembuat iklan yaitu Unilever. Salah
satunya berasal dari AdWeek2 yang mendeskripsikan iklan “Why Bring A Child
into This World” ini:
“..........as real expectant parents share their hopes and fears about the world their
kids will inherit. They also react as they watch a movie that mixes
footage of violence and despair with hopeful messages about the
future.” (Gianatasio, 2013)
2
Adweek adalah majalah dan situs yang mencakup berita media, termasuk dalam bentuk cetak,
maupun dari sisi perkembangan teknologi, meliputi iklan, informasi mengenai branding dan juga
televisi.
4
Dalam situs Thinkwithgoogle.com (2014) yang berisi analisa atau studi
kasus mengenai prospeksi dari iklan ini sebagai introduksi Project Sunlight
sebuah kampanye yang dibentuk oleh Unilever, menyatakan tujuan dari iklan
tersebut yang meliputi dua poin utama. Yaitu, “Encourage consumers to live more
sustainably” serta “Engage users in Unilever's long-term initiative, "Project
Sunlight" (Thinkwithgoogle, 2014). Dari analisa situs ini, maka kedua hal tersebut
merupakan tujuan utama dari penyampaian iklan “Why Bring A Child into this
World?” yang dikaitkan dengan tujuan kampanye Project Sunlight. Iklan
WBACTTW sebagai introduksi dari Project Sunlight tersebut memiliki makna
pesan iklan yang tidak lepas dari tujuan kampanye itu sendiri, walaupun begitu ia
menggunakan
konsep
yang
lebih
subtil,
pesan
yang
dimana
dalam
keimplisitannya tersebut memiliki maksud. Dapat terlihat dari judulnya bahwa ia
mempertanyakan hal yang krusial juga menggunakan sosok anak.
Konten dari iklan ini adalah mencoba menyampaikan pesan serta
menumbuhkan persepsi bahwa ada kesinambungan yang sangat nyata antara
memiliki anak dan kehidupan berkelanjutan. Konsep kehidupan atau
pembangunan berkelanjutan (dimana negara maju menyebutnya sustainable
development/life) sebagai pesan utama yang disampaikan secara implisit dalam
iklan ini, sangat berkaitan erat dengan lingkungan. Karena faktor paling penting
yang mendukung agar sustainable life ini tercapai, adalah lingkungan. Perdebatan
atau perbincangan mengenai sustainable
life/development
cenderung selalu
mengarah kepada ilustrasi masa depan, mencakup diskusi seputar generasi,
regenerasi, populasi dan akses demi mencapai kehidupan yang layak. Mulai dari
sanitasi serta pangan untuk menafkahi generasi masa depan (WCED, 1987).
Maka dari konsep tersebut kemudian bisa disimpulkan bahwa pesan lingkungan
tersirat dalam iklan ‘Why Bring A Child into This World?’.
!
Sesuai
pendeskripsian
Adweek
tersebut,
iklan ini menggambarkan
hubungan mengenai memiliki anak dengan dunia yang akan diwariskan
kepadanya. Iklan ini juga mengajak masyarakat (terutama orang tua) agar berfikir
5
ulang mengenai hubungan tersebut dipicu dengan judul utama “Why Bring A
Child into This World?”. Hal fundamental lain dari ajakan tersebut adalah tetap
optimis bahwa masa depan generasi anaknya kelak lebih baik jika para orang tua
tersebut tetap melahirkan anak ke dunia ini dan sesuai analisa Thinkwithgoogle,
iklan ini bertujuan untuk mendorong masyarakat agar memulai gaya hidup yang
lebih baik dengan bergabung Project Sunlight.
Iklan ini merupakan iklan yang dapat dikategorikan sebagai iklan soft-sell
karena yang ia jual dan tonjolkan adalah ide daripada produk. Mengutip definisi
dari situs AdAge3 ,
“Soft-sell advertising, is more subtle and indirect.
The
assumption about consumer decision-making underlying the soft-sell strategy is
that such decisions are based on feelings.” (AdAge, 2003). Faktor tersebut yang
kemudian akan membuat pemaknaan khalayak semakin bervariasi, karena
disamping iklan ini membahas suatu fenomena atau isu yang bisa dikatakan
krusial dan sedang marak didiskusikan serta dipermasalahkan di dunia, namun
karena common sense mayoritas orang jika menonton iklan kemungkinan besar
yang terjadi adalah orientasinya pada sifat komersil iklan. Khalayak sebagai
bagian dari masyarakat dengan konstruksi sosial yang dinamis memiliki ruang
publik untuk mempertanyakan segala gejala yang ia dapat atau konsumsi dari
media tertentu. Dalam penelitian ini aspek yang dapat mereka ambil dan
pertanyakan dari iklan “Why Bring A Child into This World?” adalah pesan
lingkungannya.
Dua aspek kuat sebagai faktor pentingnya pesan lingkungan dalam iklan
“Why Bring A Child into This World?” ini memiliki urgensi untuk diresepsi adalah
pertama, bagaimana penerapan green marketing dalam iklan ini dengan memuat
isu lingkungan secara subtil merupakan faktor penting untuk diteliti lebih lanjut.
Kedua, bagaimana makna dari pesan lingkungan tersebut memiliki beberapa motif
tertentu, terutama dengan fakta Unilever sebagai pembuat iklannya. Pertama,
3
AdAge adalah sumber berita terkemuka dan global, sumber inteligensi serta percakapan bagi
komunitas media dan marketing.
6
dengan dukungan banyak pihak bahwa representasi lingkungan dalam iklan
sebenarnya juga menyokong proses komunikasi manusia dari simbol dan makna
yang ada didalamnya, maka iklan “Why Bring A Child into This World?” ini
merupakan salah satu dari bentuk iklan tersebut. Representasi isu lingkungan
dapat dilihat dari segi budaya terkini yaitu budaya populer dan konsep green
marketing merupakan istilah pemasaran yang diduga baik untuk lingkungan
maupun orang lain. Apa yang dapat dianggap baru dari iklan lingkungan di era
budaya populer adalah bagaimana ilustrasi alam membentuk budaya populer
tersebut dan pengaruhnya pada sikap masyarakat umum terhadap lingkungan.
Dalam iklan ini, penyajian ilustrasinya jelas mengindikasikan hubungan manusia
dengan lingkungan seperti halnya yang diterapkan oleh green marketing tersebut.
Banyak figur anak kecil yang semakin membuat pesan tersebut kuat sehingga
menimbulkan makna korelasi antara anak dengan lingkungan. Dimana Cox (2013)
sudah menyebutkan bahwa adanya peran ilmu komunikasi dalam memediasi
pesan lingkungan dengan menyertakan simbol dan pengetahuan perlu diadaptasi
oleh manusia sebagai khalayak. Dalam iklan “Why Bring A Child into This
World?” ini, figur anak tersebut menyiratkan simbol kuat.
Kedua, menariknya jika memperhatikan lebih dari sisi pembuat iklan yaitu
Unilever, banyak juga ulasan mengenai fakta dibalik perbuatannya sejak rilisnya
iklan “Why Bring A Child into This World?”. Terutama berkaitan dengan
kontroversi perbuatannya terhadap lingkungan. Hal ini kemudian kembali pada
penerapannya dengan green marketing tersebut. Sebagai produsen pesan ia
memiliki tujuan pemasaran sendiri dengan menyertakan kampanye Project
Sunlight dan pesan lingkungan dalam iklannya. Dalam sebuah ulasan mengenai
keseluruhan intensi Unilever tersebut dari sisi kampanye maupun iklan dari situs
Adweek, secara garis besar mencoba mengambil sudut pandang dari Unilever
sebagai pembuat iklan,
7
“Whether the “Why Bring A Child Into This World?” video and “Project
Sunlight” are real moves toward corporate responsibility and sustainability, or
just a greenwashing image makeover for Unilever is hard to say.” (Oster, 2013)
Pernyataan tersebut tidak mengkritik walaupun bersifat sinis. Secara jelas ia
menyadari bahwa Unilever dalam menerapkan green marketing dimana disebut
dalam kalimatnya ‘greenwashing image makeover’ ini memiliki tujuan tertentu
walaupun ia mengakui tidak mudah untuk menghakiminya. Sebagai salah satu
faktor penting, tujuan sebenarnya adanya iklan ini yang semakin membuat
penerapan resepsinya memiliki kepentingan untuk diteliti.
Khalayak sebagai masyarakat kritis dan menjadi bagian dari
perkembangan atau kemunduran lingkungan berhak berkontribusi dalam
lingkungan maupun memandang isunya sesuai pemahaman pribadi. Disisi lain,
persepsi mereka mengenai isu lingkungan dari media patut didalami lebih lanjut.
Terutama jika mereka terbagi ke dalam berbagai lapisan kegiatan sesuai
partisipasi mereka terhadap lingkungan yang akan membuat aktivitas resepsi
terhadap iklan “Why Bring A Child Into This World?” milik Unilever semakin
berpengaruh kepada perkembangan baik bagi penyampaian isu lingkungan
melalui media iklan tersebut maupun Unilever sebagai instansi. Sehingga iklan
“Why Bring A Child into This World?” yang memiliki tujuan untuk
menyampaikan ke khalayak luas dengan berhasil membuatnya viral di media
baru, juga dengan makna dan simbol hubungan manusia dengan lingkungan yang
tersirat, dan dengan beragamnya interpretasi khalayak pada isu lingkungan dalam
media termasuk iklan, maka menarik adanya pendalaman lebih lanjut mengenai
interpretasi mereka terhadap pesan lingkungan dalam iklan WBACTTW ini yang
pada akhirtnya dapat membentuk proses komunikasi antar manusia itu sendiri.
8
1.2 !
RUMUSAN MASALAH
!
Berdasar latar belakang tersebut maka dapat disimpulkan rumusan
masalah dalam penelitian ini adalah, Bagaimana resepsi khalayak terhadap pesan
lingkungan dalam iklan Unilever berjudul ‘Why Bring A Child Into This World?’
yang dipublikasikan melalui media baru?
1.3!
TUJUAN PENELITIAN
!
Tujuan dari penelitian adalah untuk mengetahui resepsi khalayak, dalam
konteks ini pengguna media baru, terhadap pesan lingkungan terkait dengan
kehidupan berkelanjutan sebagai isu dunia yang didasari oleh banyaknya
permintaan agar disampaikan melalui iklan. Maka, khusus dalam penelitian ini
yaitu dari iklan Unilever berjudul “Why Bring A Child Into This World?”.
1.4!
MANFAAT PENELITIAN
!
a. Membantu memberikan sumbangsih kepada ilmu komunikasi terutama
pada ranah iklan, serta membantu penelitian lainnya yang menggunakan metode
analisis resepsi yang diterapkan pada media baru.
b. Selain itu, penelitian ini dapat memberikan inspirasi bagi agensi atau
institusi pengiklan lainnya untuk memuat nilai spesifik berkaitan dengan isu
krusial seperti halnya lingkungan, dalam pembuatan iklan yang kemudian dapat
menjadi ruang diskusi khalayak.
9
1.5!
KERANGKA PEMIKIRAN
!
1.5.1! Khalayak sebagai Audiens Media Baru
!
Ilmu komunikasi sebagai studi yang memiliki fokus utama pada media,
menaruh perhatian yang besar pada khalayak. Selain karena peran mereka sebagai
audiens namun juga relasi yang timbul dari khalayak dengan media merupakan
faktor penting yang dapat membentuk dinamika sosial. Secara definitif khalayak
dalam konteks umum dapat diartikan sebagai kelompok besar orang yang dituju
dalam proses komunikasi. Atau secara singkat dapat dikatakan sebagai pengguna
jasa media. Khalayak secara umum memiliki empat karakter, yang dapat menjadi
deskripsi representasif mereka (Endang S. Sari, 1993), pertama, mereka bersifat
heterogen, karena berasal dari berbagai lapisan sosial, pendidikan, aneka budaya,
dan agama. Kedua, khalayak bersifat anonim. Khalayak tidak mengenali dari
siapa pesan tersebut mereka terima, bahkan diantara khalayak sendiri mereka
tidak mengenal satu sama lain. Ketiga, unbound to each other, khalayak tidak
terikat satu sama lain sehingga terkadang sulit untuk digerakkan pada suatu tujuan
tertentu. Keempat, isolated from one another, khalayak cenderung tertutup satu
sama lain seperti atom-atom yang terpisah. Empat karakter tersebut
mencerminkan khalayak secara umum, namun belum sepenuhnya menjelaskan
apa posibilitas yang dapat terjadi oleh tindakannya.
Khalayak sebagai bagian penting dalam komunikasi bahkan termasuk
proses komunikasi itu sendiri, memang tidak berkuasa pada pesan yang mereka
terima atau akses dari media, namun sebagai bagian dari masyarakat mereka
memiliki hak untuk membuat feedback terhadap pesan. Dari sisi tersebut, maka
media tidak memiliki kekuasaan apapun. Selama ini khalayak merupakan istilah
yang seringkali digunakan dalam konteks media massa. Namun timbulnya
globalisasi yang mengakibatkan perkembangan teknologi dan informasi sebagai
fondasi dari eksistensi media, maka media tidak lagi stagnan pada media massa
atau konvensional. Media baru kemudian muncul dan bahkan terus berkembang
10
yang menciptakan konsep khalayak baru dimana peran dan status mereka bukan
lagi hanya sebagai ‘penerima’ seperti halnya pada media massa. Khalayak dalam
media baru berperan aktif dalam memilih secara sadar informasi yang ingin
mereka akses sebagai konsumsi pribadi. Media baru menciptakan konsep dimana
semula istilahnya adalah media ‘massa’ yang kemudian menjadi media ‘saya’.
Akibatnya hubungan khalayak dengan media, ditafsirkan dengan tidak hanya
dalam hal membaca, melihat atau mendengarkan khalayak dapat beraktivitas
dengan media, tetapi juga dalam hal menggunakan, mengkonsumsi, dan memiliki
(Livingstone, 2002:8). Tidak ada istilah atau eksplanasi yang tepat untuk
mendeskripsikan relasi khalayak dengan media. Karena istilah ‘audiens’ kurang
tepat untuk merepresentasikan peran khalayak dalam media baru, maka banyak
penelitian mengenai khalayak saat ini menggunakan istilah ‘users’.
Beberapa hal yang dapat diperhatikan dalam kehadiran media baru,
kemudahan khalayak dalam mengaksesnya terutama ketika koneksi internet dapat
diterima dimana saja bahkan portable gadgets, yang kemudian hal tersebut
menimbulkan konsep relasi baru antara khalayak dengan media. Livingstone
dalam New Media? New Audiences? (1999), membuat pernyataan bahwa media
baru mengadopsi konsep yang agak inklusif, yang memungkinkan wujudnya
pandangan lebih luas dari semua yang disediakan oleh media baru. Apa yang
‘baru’ dari kehadiran media baru bukan lagi berfokus pada teknologi yang
ditawarkan, walaupun itu perubahan fisik yang signifikan, namun pada konsep
khalayak yang ia ciptakan dan posibilitas yang dapat terjadi setelahnya. Pertama,
adanya konsep multiplication of personally owned media (penggandaan media
yang dimiliki secara pribadi). Media baru menyediakan beragam konten dimana
khalayak dapat melakukan beberapa aktivitas secara serempak yang tidak dapat ia
terapkan ketika ia menjadi khalayak media massa. Konsep ini kemudian memicu
reformulasi dari relasi khalayak dengan media yang semulanya adalah konsumsi
publik menjadi konsumsi pribadi. Kedua, konsep yang diciptakan media baru
adalah diversifying forms and contents (diversifikasi wujud dan isi dari media).
11
Konsep ini menekankan bahwa sejauh mana diversifikasi tersebut dapat
memfasilitasi budaya barat yang lebih luas menuju individualisasi. Ketiga,
merupakan konsep dan perubahan yang sangat radikal, dan lebih prospektif dari
perubahan yang lain adalah pergeseran dari satu arah komunikasi massa, menuju
komunikasi yang lebih interaktif antara media dan pengguna. Dengan kata lain,
media engagement yang terjadi pada interaksi antara pengguna dengan media baru
lebih variatif dan bila terjadi perubahan dengan konstruksi khalayak media baru
dari khalayak media lainnya, adalah karena sifat media baru tersebut yang
menciptakan konstruksi khalayak baru tersebut.
Dapat disimpulkan benang merah dari penjelasan mengenai khalayak
sebagai media baru dan secara umum merupakan bagian penting agar proses
komunikasi dapat berjalan dan terus berkembang. Pentingnya peran khalayak
menentukan masa depan komunikasi, maupun sebagai proses sosial dan sebagai
ilmu. Kehadiran khalayak memperkuat eksistensi komunikasi dalam jajaran ilmuilmu sosial maupun dalam meningkatkan kualitas media yang digunakan. Satu
prosedur yang dapat mendukung dan membuktikan bahwa khalayak adalah faktor
penting dalam konstruksi sosial adalah dengan adanya penelitian mengenai
khalayak. Penelitian khalayak harus ditingkatkan sehingga eksistensi ilmu
komunikasi akan semakin kuat dan berkembang, dan media selalu berperan
efektif serta efisien dalam proses pembangunan.
!
!
1.5.2! Teori Resepsi serta Penerapannya Pada Media Baru dan
!
!
!
Resepsi merupakan aktivitas yang terjadi ketika seorang individu melihat
Iklan!
atau membaca suatu konten dari media tertentu dan kemudian memicu pemaknaan
yang ia simpulkan berdasar latar belakang budaya maupun sosial yang ia miliki.
Teori resepsi dikembangkan oleh Stuart Hall, dimana teori tersebut menjadi
panutan dan seakan-akan kiblat dari penelitian audiens dimanapun yang
menggunakan metode analisis resepsi. Analisis ini memandang bahwasanya
12
khalayak mampu selektif memaknai dan memilih makna dari sebuah teks berdasar
posisi sosial dan budaya yang mereka miliki (Bertrand&Hughes, 2005:39). Stuart
Hall menganggap bahwa resepsi atau pemaknaan khalayak pada pesan atau teks
media merupakan adaptasi dari model encoding-decoding,
dimana model
komunikasi tersebut ditemukan oleh Hall pada tahun 1973. Model komunikasi
"Encoding-Decoding"yang dicetuskan oleh Stuart Hall pada dasarnya menyatakan
bahwa makna dikodekan (encoded) oleh pengirim dan diterjemahkan (decoded)
oleh penerima dan bahwa makna yang encoded dapat diterjemahkan menjadi hal
yang berbeda oleh penerima. Itu berarti, pengirim mengkodekan makna dalam
pesan sesuai dengan persepsi dan tujuan mereka. Sedangkan persepsi dan pesan
yang diterjemahkan oleh penerima sesuai dengan pemahaman dan persepsi
mereka sendiri (Hall 1993, 91). Berikut pendeskripsian model encoding-decoding
sesuai Stuart Hall dalam ilustrasi bagan pada gambar 1.1 sesuai yang sudah
dicakup dalam Hall (2006).
Gambar 1.1 Model Encoding/Decoding Stuart Hall
13
Gambar bagan 1.1 tersebut menggambarkan bagaimana proses encoding-decoding
tersebut berjalan secara struktural. Terlihat bahwa untuk melakukan tahap
encoding yang merupakan proses dari produsen pesan, maka melewati beberapa
prosedur yang membentuk encoding tersebut, yaitu technical structure, relations
of production, dan framework of knowledge. Ketiga hal tersebut yang menjadi
faktor-faktor utama bagaimana produsen mengkonstruksi pesan tertentu.
Kemudian dari proses encoding tersebut membentuk titik tengah yaitu wacana
berisikan makna yang dalam bagan tersebut dinamai ‘meaningful’ discourse.
Kemudian wacana tersebut melanjutkan proses pada decoding oleh konsumen
pesan atau khalayak dimana makna yang mereka dapat dari wacana tersebut
membentuk tiga faktor utama yang juga berada pada proses membentuk tahapan
encoding. Model encoding-decoding ini tidak lepas dari pengaruh lapisan sosial
serta latar belakang budaya dan kerangka referensi masing-masing.
Untuk menyimpulkan kategori khalayak dalam penerimaan pesan sangat
tergantung pada dinamika sosial yang dominan disekitar mereka. Pengalaman dan
latar belakang budaya juga menjadi faktor signifikan untuk menentukan mana
kategori yang tepat untuk di terapkan pada khalayak. Begitu juga halnya dengan
penerapan resepsi pada media baru, dimana khalayak cenderung independen
dalam memilih informasi secara sadar sehingga resepsi merupakan satu posibilitas
yang dapat terjadi. Menerap konsep encoding-decoding oleh Stuart Hall (1993),
maka aktivitas resepsi ini sesuai konteks dan latar belakang sosial mereka pada
pesan media, serta sebagai segmentasi general mengenai resepsi khalayak pada
suatu pesan dominan dari iklan maka khalayak sesuai konsep encoding-decoding
ini dapat terbagi menjadi tiga kategori: Dominant hegemonic position, negotiated
position, dan oppositional position (Hall, 1993:101).
14
1.
Dominant Hegemonic Position
Dalam segmen atau posisi ini, khalayak cenderung setuju pada sudut
pandang dominan yang disediakan dalam wacana media yang ia baca atau tonton.
Dalam konteks ini maka jarang terjadi kesalahfahaman antara pemberi dan
penerima pesan, karena mereka memiliki bias kultur sama dimana menimbulkan
bias asumsi yang sama pada suatu konteks.
2.
Negotiated position
Dalam negotiated position, khalayak atau penerima dapat menerjemahkan
(decode) pesan dari pengirim dalam konteks pandangan budaya dan sosial yang
dominan. Sebagian besar dari pesannya dipahami namun dengan arti yang
berbeda dari posisi dominant-hegemonic. Penerima dalam posisi ini tidak selalu
bekerja dalam sudut pandang hegemonik, tetapi cukup akrab dengan masyarakat
dominan untuk dapat memecahkan kode teks memadai dalam arti yang abstrak.
3.
Oppositional position
Khalayak cenderung menjadi oposisi pesan yang dominan dalam segmen
ini. Penonton mampu menerjemahkan pesan dalam cara yang dimaksudkan untuk
diterjemahkan dari awal, namun berdasarkan keyakinan masyarakat mereka
sendiri, dan faktor kebiasaan bahwa mereka sering memperhatikan yang lain, serta
melihat makna yang tidak diinginkan dalam pesan.
Teori resepsi sesuai model encoding-decoding Stuart Hall ini, memang
sebagian besar dituju bagi khalayak ketika berhadapan dengan media massa.
Namun, karena era globalisasi sangat mempengaruhi perubahan konstruksi media
maka media massa bukan lagi menjadi media primer. Fenomena ini kemudian
memicu pertanyaan mengenai penerapan resepsi pada media baru, dimana resepsi
merupakan suatu aktivitas yang sangat mungkin terjadi karena mayoritas
masyarakat berpindah haluan untuk memilih media baru sebagai media primernya
sehari-hari. Oleh karena itu, sebagai opini atau argumentasi yang dapat
mendukung adanya resepsi pada pengguna media baru, Ross & Nightingale
(2003: 37-38) menunjukkan sejumlah keuntungan dari model encoding-decoding
15
Stuart Hall, sebagai model teoritis yang meliputi beberapa poin: pertama,
memungkinkan timbulnya fakta bahwa media dapat dipelajari sebagai pemancar
dari ideologi yang dominan di masyarakat.
Kedua, pendekatan encoding-decoding mengungkapkan bagaimana pesan
media yang dikonstruksi ulang oleh kelompok-kelompok sosial tertentu dan
berbeda-beda dalam masyarakat. Ketiga, pendekatan ini mempelajari penonton
dalam aspek pembacaan mereka terhadap teks atau pesan media daripada
kebutuhan psikologis mereka. Selain itu, dengan pendekatan encoding-decoding
berfokus pada 'wacana' sehingga dapat meminimalisir pentingnya teks atau media
tunggal.
(Ross dan Nightingale, 2003, hlm. 37-38). Argumen tersebut yang
kemudian menjadi pendukung ketika berhadapan mengenai penelitian audiens
dalam media baru. Pendekatan encoding-decoding oleh Hall ini merupakan teori
yang menunjukkan bahwa khalayak sangat aktif jika mereka menerima pesan dari
media apapun. Begitu juga dalam media baru, dimana konsep utama media baru
adalah pengguna memilih secara sadar, konten yang ingin ia tonton atau baca.
Sehingga kegiatan resepsi adalah satu posibilitas yang dapat terjadi. Dalam buku
‘A Handbook of Media and Communication Research’ karya Jensen (2002:162),
menyatakan bahwa analisis resepsi dapat diartikan sebagai analisis perbandingan
tekstual dari sudut pandang media dengan sudut pandang khalayak yang
menghasilkan suatu pengertian tegas pada suatu konteks.
Sebagai individu dan bagian dari dinamika masyarakat, maka kita
menerapkan resepsi di dalam aktivitas kita sehari-hari terhadap apapun yang kita
hadap tanpa kita sadari. Iklan, sebagai media informasi yang menjadi bagian dari
masyarakat dan sulit untuk kita hindari merupakan satu sasaran yang dapat kita
maknai secara otomatis. Penerapan resepsi pada iklan juga patut dipertanyakan,
karena common sense mayoritas orang cenderung menghindari iklan ketimbang
memilih untuk menontonnya. Walaupun begitu, keberadaan iklan yang memang
faktanya terkadang ‘mengganggu’ bukan berarti iklan sebagai hal yang kita temui
sehari-hari terlepas dari pemaknaan. Seperti halnya dengan penerapan resepsi
16
pada media baru, maka resepsi pada iklan yang membutuhkan argumentasi
pendukung dapat dimulai dari bahwa teori resepsi mengusulkan “individu secara
aktif membentuk makna iklan", dan penonton tidak pasif menerima makna dari
media (Plunkey, 2010: 54). Maka dengan konteks ini, Wharton (2005)
menambahkan argumen dengan menyatakan bahwa penerapan decoding
(penerjemahan) oleh khalayak dari pesan iklan merupakan maksud dan intensi
dari produsen makna itu sendiri, serta kompleksitas faktor penyebab dari iklan,
dibawa atau justru ditemukan dalam proses decoding tersebut.
Dari argumen-argumen tersebut dicapai suatu konklusi bahwa iklan tanpa
kita sadari menjadi satu wujud yang kita maknai secara otomatis, dan bahwasanya
iklan diciptakan memang untuk dimaknai. Mengutip pernyataan dari Sandikci
(1999:237), bahwa makna dari sebuah iklan bukan terletak dalam iklan maupun
dalam khalayak yang melihatnya, tetapi muncul dari interaksi keduanya. Iklan
tidak menentukan arti, tetapi melalui kerja berbagai fitur struktural, mereka
membentuk pengalaman resepsi. Sumber latar belakang budaya, pengalaman yang
telah dilalui penonton, dan pengetahuan yang pemirsa bawa ke penerapan resepsi
kemudian menimbulkan interaksi pada struktur iklan, dan membantu untuk
membangun makna dari iklan tersebut. Terutama jika dikaitkan dengan penelitian
ini, iklan di media baru menimbulkan kemungkinan aktivitas resepsi yang lebih
besar. Karena selain iklan dan media baru rupanya terbukti dapat dimaknai, juga
konsep utama media baru dimana pengguna selalu sadar ketika memilih menerima
informasi yang ia dapat.
1.5.3 Pesan Lingkungan pada Iklan Unilever “Why Bring A Child to
This World?”
Iklan menjadi salah satu media komunikasi yang dapat berperan sebagai
penyalur ideologi. Sebagai media komunikasi, maka ia bermanfaat bagi banyak
pihak yang membutuhkan media informasi agar tujuan dari pihak tersebut dapat
tercapai. Dalam kaitannya dengan penelitian ini, dengan objek penelitian iklan
17
Unilever, Project Sunlight yang berjudul “Why bring a child to this world?”
dengan pesan implisit mengenai kehidupan berkelanjutan, maka peneliti melihat
bahwa pesan lingkungan sebagai sebuah ideologi, disisipkan dalam iklan ini.
Pesan lingkungan yang memanfaatkan media komunikasi seperti iklan maka ia
secara otomatis telah menerapkan komunikasi linkungan. Komunikasi lingkungan
sudah menjadi studi resmi di dunia sehingga variasi jenis media menjadi penyalur
studi tersebut, termasuk iklan. Perbedaannya adalah ketika media berita seperti
media cetak dan berita televisi mengkomunikasikan masalah lingkungan
terkadang cenderung provokatif, iklan dapat mengkomunikasikan permasalahan
lingkungan dengan cara halus dan implisit serta persuasif.
!
Ketika orang berbicara soal komunikasi lingkungan maka secara otomatis
yang muncul di benak adalah strategi untuk menyelamatkan lingkungan dan masa
depan. Jika studi ini kita definisikan, maka komunikasi lingkungan berarti
kendaraan pragmatis dan konstitutif bagi pemahaman kita tentang lingkungan
serta hubungan kita dengan alam (Cox, 2013). Robert Cox (2013), juga
menyatakan dua karakter komunikasi lingkungan: Pertama, Environmental
communication is pragmatic. Dalam arti pragmatis, studi ini berfungsi untuk
mendidik, memberi siaga, mempersuasikan, menggerakkan dan membantu kita
mencari solusi untuk menyelamatkan lingkungan. Kedua, Environmental
communication is constitutive. Komunikasi lingkungan juga membantu untuk
membentuk representasi alam dan masalah lingkungan sebagai subyek untuk kami
fahami. Dengan membentuk persepsi kita tentang alam, komunikasi lingkungan
dapat mengundang kita untuk melihat hutan dan sungai sebagai ancaman atau
sebagai berlimpah, menganggap sumber daya alam sebagai eksploitasi atau sistem
pendukung kehidupan yang penting, serta alam sebagai sesuatu untuk ditaklukkan
atau untuk dihargai. Sehingga fungsi komunikasi lingkungan sebagai konstitusi
atau bersifat konstitutif sangat membekas di benak.
!
Dalam iklan Unilever, Project Sunlight, “Why Bring A Child to This
World?”, sebagai iklan yang mencoba menyampaikan idealisme soal pentingnya
18
regenerasi dan keberadaan anak di dunia ini untuk masa depan, maka dari pesan
iklannya tersirat soal masalah lingkungan. Visualisasi dalam iklan ini tidak
menunjukkan mentah-mentah bagaimana seharusnya kita memperhatikan dan
melestarikan lingkungan, sebagaimana pesan iklan yang menggurui. Namun,
justru secara halus dan dari persepektif yang sedikit berbeda ia memanfaatkan
peran anak untuk menyampaikan pesan ini serta optimisme orang tua dalam
penantian anak pertamanya. Sebagaimana fungsi komunikasi lingkungan, ia
pragmatis dimana dalam iklan ini ia persuasif dan menggerakkan emosi penonton
atau masyarakat untuk mengetahui pentingnya anak di masa depan dan bagaimana
keberadaan anak dapat menjadi inspirasi kita supaya dapat menyelamatkan
lingkungan. Selain itu, komunikasi lingkungan dalam iklan kampanye memiliki
fokus pada decision makers. Maka seperti dalam iklan Unilever, Project Sunlight
ini, dengan tagline serta judul utama “Why Bring a Child to This World?” mereka
mencoba mempersuasikan khalayak yang menonton iklan tersebut untuk membuat
keputusan demi menyelamatkan kehidupan di masa depan, dengan optimis untuk
memiliki anak.
Berbagai ulasan telah membuat pesan dominan mengenai lingkungan
dalam iklan ini semakin terlihat. Seperti halnya pada situs Mashable.com4 yang
kurang lebih merangkum apa yang ingin disampaikan oleh Unilever mengenai
anak dan lingkungan,
“....the clip highlights the emotions related to raising a child in today's
environment and the responsibility that comes with making it sustainable for the
future. It follows several real-life pregnant couples as they share their anxieties
about becoming new parents, before showing a video about how upcoming
generations will actually be in better hands than they are now, thanks to
advancements in technology. Future children will have cleaner water and healthier
hearts than any present living person. And by the time your children have kids, they
will have a better chance of meeting their great grandchildren than we ever
did.” (Kelly, 2013)
4
Mashable adalah sumber terdepan untuk berita, informasi & sumber daya untuk generasi yang
saling terkoneksi.
19
Begitu juga dengan ulasan lainnya yang menegaskan mengenai kutipan yang
mereka ambil dari salah satu pasangan yang diwawancarai dalam iklan tersebut,
yang membahas bagaimana anak bisa membawa perubahan ketika orang tetap
ingin memiliki dan mendidiknya.
“Yes, there is evil in the world. But there is also good. And when you have a child,
you can raise that child to be one of the good guys, one of the people who can help
end some of the suffering.” (Rose, 2015)
Kedua ulasan tersebut terlihat bahwa mereka berpihak pada Unilever. Namun
secara keseluruhan mereka mewakili makna yang sebenarnya Unilever inginkan
masyarakat untuk mengetahuinya. Dengan begitu maka kedua ulasan tersebut
sudah merepresentasikan bagaimana pesan lingkungan yang dominan dalam iklan
“Why Bring A Child into This World?”.
!
Walaupun iklan ini tidak didominasi oleh ilustrasi flora atau fauna yang
punah, namun iklan ini mencoba menyampaikan bahwa masa depan yang cerah
sangat dipengaruhi faktor lingkungan dimana menurut iklan ini salah satu cara
untuk mencapai kehidupan berkelanjutan di masa depan tersebut adalah tidak ragu
untuk melahirkan anak.
1.6!
KERANGKA KONSEP
!
Iklan yang menyisipkan pesan lingkungan didalamnya merupakan sebuah
anomali dimana menimbulkan rasa skeptis karena pada akhirnya iklan sebagai
media komersil selalu memiliki tujuan sendiri. Namun karena didasari oleh
banyaknya permintaan dari mayoritas masyaraka bahwa isu lingkungan juga patut
disampaikan melalui iklan, maka saat ini iklan dengan identitas environmental
semakin marak. Sehingga environmental communication menjadi bidang studi
resmi yang secara konseptual juga berkontribusi kepada interaksi manusia. Iklan
dengan pesan lingkungan mengandung makna, simbol, serta peran verbalnya yang
20
memiliki konstruski sendiri. Konstruksi makna yang ingin ia sampaikan tidak
akan berguna jika tidak dimaknai oleh khalayak luas. Begitu juga halnya dengan
iklan “Why Bring A Child into This World?” yang mengandung pesan lingkungan
secara subtil, dan dibuat oleh instansi sebesar Unilever melalui media baru.
!
Untuk masalah utama yang menjadi pembahasan penelitian ini adalah
bagaimana para informan mengamati iklan di media baru. Hal tersebut dirasa
penting karena fakta bahwa iklan ini memanfaatkan media YouTube untuk
mempublikasikannya. Kebiasaan mereka menggunakan media baru juga dibahas
dalam analisis profil. Dalam menganalisa profil informan, latar belakang kegiatan,
pendidikan, dan keluarga juga dibahas berkaitan dengan faktor pemicu mereka
dalam memaknai pesan lingkungan dalam iklan ini.
!
Pratik resepsi didasari oleh latar belakang sosial dan budaya yang berbeda-
beda dari khalayak sehingga akan menghasilkan beragamnya konstruksi makna.
Dalam penelitian ini terdapat beberapa komponen yang menjadi konten untuk
diresepsi oleh khalayak; (1) secara verbal yang juga meliputi beberapa komponen
seperti isu yang ada didalamnya, juga (2) secara visual karena memang iklan
“Why Bring A Child into this World?” ini secara objektif memiliki visual yang
kuat. Namun karena iklan ini berdurasi empat menit, maka pesan lingkungan
dalam iklan tersebut dibagi dalam dua isu inti sebagai komponen utama yang
dimaknai oleh khalayak. Dua isu dari pesan lingkungan yang ada meliputi:
a. Pesan lingkungan dengan anak
Terlihat dengan jelas bahwa sosok anak bermain peran penting dalam iklan ini
dilihat dari judul utama “Why Bring A Child into This World?”. Maka peneliti
melihat bahwa lingkungan dan anak menjadi pesan inti dengan konstruksi makna
yang dapat diresepsi oleh khalayak. Pesan ini mencakup bagaimana para orang tua
yang diwawancarai dalam iklan tersebut melihat kondisi lingkungan ini ketika
para ibu sedang mengandung anak. Pesan ini didukung secara kuat oleh
komponen visual dan verbal.
b. Pesan anak dengan optimisme pada masa depan
Bahwasanya iklan ini juga membahas mengenai sustainability dan konsep
sustainable future sangat berkaitan erat dengan masa depan anak sehingga peneliti
21
menganggap isu ini merupakan konstruksi makna yang perlu diresepsi dari iklan
yang mempromosikan lingkungan sesuai tujuannya. Pesan ini menggambarkan
bagaimana para orang tua tersebut memandang masa depan dengan kondisi
lingkungan, dan bahwa dunia tersebut merupakan dunia dimana anak mereka akan
tinggal. Sehingga ada konsep retrospeksi yang ditonjolkan dalam iklan itu, yang
dapat memicu pemaknaan khalayak mengenai wacana anak dan optimisme pada
masa depan.
!
Dalam membahas hasil penelitian berupa penerapan resepsi mereka, maka
dalam penelitian ini dilaksanakan melalui tiga tahap analisis.
a. Latar setiap individu, yang mencakup kerangka referensi, pengalaman,
pengamatan, dan latar belakang sosial, dimana faktor-faktor tersebut
merupakan pemicu utama mereka dalam membaca pesan lingkungan
dalam iklan “Why Bring A Child to This World?”. Latar belakang
pengalaman merupakan pemicu utama dalam meresepsi, oleh karena itu
informan dikategorikan menjadi dua kubu sesuai partisipasinya terhadap
lingkungan: yaitu informan aktif, dan informan pasif. Dalam tahap ini
mereka ada perbandingan dari latar setiap informan.
b. Memetakan ke dalam segmen sesuai teori Stuart Hall. Dalam tahap ini,
hasil resepsi mereka terhadap pesan lingkungan dianalisa sesuai teks
yang diproduksi oleh iklan, kemudian dimasukkan ke dalam segmen
khalayak Stuart Hall, yaitu Dominated-Hegemonic, Negotiated, dan
Oppositional position. Selain itu, perbandingan posisi Stuart Hall antar
individu juga dianalisa lebih lanjut seperti halnya variasi motif
pemaknaan mereka walaupun berada dalam posisi yang sama.
c. Perbandingan antar individu, pada tahap ini maka latar belakang para
informan tetap berpengaruh. Disini dianalisa apa saja faktor yang dapat
membuat pemaknaan masing-masing informan tersebut berubah.
Dengan membandingkan latar belakang mereka, termasuk kategori
aktif-pasif mereka yang mengacu pada partisipasi mereka terhadap
mereka.
22
Dalam memposisikan mereka ke dalam teori Stuart Hall yaitu: Dominanthegemonic, Negotiated, Oppositional position maka ada beberapa ketentuan
tertentu yang menjadi parameter posisi pemaknaan para informan. Hal tersebut
dapat dicermati dalam dimensi penelitian yang dipaparkan dalam tabel berikut:
Tabel 1.1 Dimensi Penelitian
Pesan Mengenai
Kehadiran Anak dengan
Lingkungan
Pesan Mengenai Anak
dengan Optimisme pada
Masa Depan
Dominant-Hegemonic
Position
Khalayak menyetujui pesan
tersebut secara absolut, dengan
menyatakan bahwa anak dan
lingkungan memiliki
kesinambungan kuat, dan
perubahan perilaku orang tua
yang mempengaruhinya. Serta
Unilever mengajak masyarakat
untuk bergabung dengan Project
Sunlight.
Khalayak menyetujui hubungan
anak dengan masa depan untuk
membuat dunia lebih baik yang
disampaikan dalam iklan, serta
optimisme pada masa depan.
Negotiated Position
Khalayak menyetujui pesan
tersebut, dan menyadari bahwa
memang kehadiran anak
berpengaruh terhadap perilaku
orang tua ke lingkungan, namun
menegosiasi karena menyadari
Unilever memiliki intensi lain.
Dalam menerjemahkan pesan, ia
sebenarnya memiliki parameter
sendiri.
Khalayak memahami adanya
pesan mengenai anak dengan
optimisme pada masa depan
tersebut, namun memiliki
pemahaman sendiri
terhadapnya. Atau
mengkronstuksikan definisi
optimisme dan anak sesuai
pemahaman sendiri.
Oppositional Position
Khalayak walaupun setuju
dengan pesan namun terpaksa
tidak dan menjadi oposisi dari
pembuat iklan karena
mengetahui apa makna intensi
Unilever dari awal.
Disamping itu khalayak
mengambil kesan negatif dari
iklannya.
Khalayak menjadi oposisi
dari konsep optimisme pada
masa depan yang
disampaikan oleh iklan
tersebut karena beberapa
faktor.
Sumber: Dioleh peneliti dari berbagai sumber.
!
Beberapa faktor yang membantu menganalisa dimensi penelitian ini
sebagai pemicu praktik resepsi yaitu latar belakang sosial para informan:
Kerangka referensi, kerangka pengalaman, kebiasaan mengamati, tingkat
pendidikan dan bidang studi.
23
1.7!
METODOLOGI PENELITIAN
!
1.6.1! Pendekatan Penelitian
!
Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif. Kehadiran pendekatan
kualitatif berkaitan erat dengan sifat unik dari realitas sosial dan dunia tingkah
laku manusia itu sendiri (Faisal, 1990:2). Pada penelitian yang menerapkan
pendekatan kualitatif, pertanyaan yang diajukan sebagai pertanyaan penelitian
tidak hanya: apa, siapa, dimana, bagaimana namun yang terpenting harus
mencakup pertanyaan, mengapa. Menurut Prof. Parsudi Suparlan (Patilima,
2007:3), pertanyaan mengapa menuntut jawaban mengenai hakekat yang ada
dalam hubungan di antara gejala-gejala atau konsep. Pendekatan kualitatif
diterapkan dalam penelitian ini untuk mengetahui gejala sosial pada khalayak
berkaitan dengan teks yang mereka terima secara sadar dari media, dan
pemaknaan yang terjadi setelahnya. Oleh karena itu, penelitian ini menggunakan
metode analisis resepsi untuk memahami penerimaan khalayak serta bagaimana
mereka memaknai pesan, khusus dalam penelitian ini adalah resepsi pada iklan di
media baru.
Premis dari analisis resepsi adalah bahwa teks media mendapatkan makna
pada saat peristiwa penerimaan, dan bahwa khalayak secara aktif memproduksi
makna dari media dengan menerima dan menginterpretasikan teks-teks sesuai
posisi-posisi sosial dan budaya mereka (Tuchman 1994; Van Zoonen 1994;
Kellner 1995; MacBeth 1996 dalam CCMS:2002). Menurut McRobbie (1991 di
dalam CCMS:2002) analisis resepsi merupakan sebuah “pendekatan kulturalis”
dimana makna media dinegosiasikan oleh individual berdasarkan pengalaman
hidup mereka. Dengan kata lain pesan-pesan media secara subjektif
dikonstruksikan khalayak secara individual.
Dalam kaitannya dengan penelitian ini, maka penelitian ini mencoba
memahami praktek resepsi oleh khalayak pengguna media baru terhadap iklan
Unilever, “Why Bring A Child into This World?”, yang notabene iklan tersebut
dipublikasikan melalui YouTube. Penelitian ini mencoba mengetahui pemaknaan
24
khalayak pada pesan lingkungan yang tersirat di dalam iklan tersebut, yang
membahas tentang sustainable
development/life
hubungannya dengan memiliki anak.
atau masa depan dan
Iklan merupakan media yang tayang
sesekali sehingga fenomena pemaknaan dari khalayak dalam interpretasi pesan
iklan tersebut adalah satu posibilitas yang dapat terjadi terutama melalui YouTube
sebagai video tersendiri maupun sebagai iklan yaitu dengan istilah YouTube Preroll Ads. Maka dari itu, analisis resepsi sebagai sebuah metode untuk meneliti
mengenai pemaknaan khalayak dari media, kemudian menjadi metode yang
dianggap mampu mengkaji kemampuan khalayak memaknai pesan lingkungan
dari iklan Unilever “Why Bring A Child into This World?” tersebut.
!
1.6.2! Lokasi Penelitian
!
Penelitian ini dilaksanakan di Yogyakarta, karena kota Yogyakarta
memiliki karakteristik yang belum tentu dimiliki oleh kota lain. Yogyakarta
sebagai kota berlabel cagar budaya, masih memiliki latar belakang sosial dan
budaya yang kuat dan cukup dipertahankan.
Sebagai pendukung penelitian
analisis resepsi, maka kota Yogyakarta diharapkan representatif demi menunjang
keberhasilan dalam mencari informan dan data untuk penelitian ini.
!
1.6.3! Informan Penelitian
!
Dalam
memilih
dan
mengambil
informan,
penelitian
ini
akan
menggunakan teknik snowball sampling yang dilakukan secara berantai dengan
meminta informasi pada orang yang telah diwawancarai atau dihubungi
sebelumnya, demikian seterusnya (Poerwandari, 1998). Snowball sampling adalah
salah satu metode yang paling umum digunakan dalam penelitian kualitatif
(Minichiello, 1995). Melalui teknik snowball
subjek atau sampel dipilih
berdasarkan rekomendasi orang ke orang yang sesuai dengan penelitian dan
memadai untuk diwawancarai (Patton, 2002). Teknik ini dirasa efektif karena
sebagai penelitian yang menggunakan metode resepsi, teknik ini paling aman
25
untuk memastikan bahwa informan pernah melihat atau menonton objek
penelitian tertentu, dalam konteks penelitian ini adalah iklan Unilever “Why Bring
A Child into This World?”.
!
Penelitian ini mendapat enam informan untuk dengan kriteria yang secara
demografis merupakan pengguna aktif media baru, khususnya YouTube, dimana
mayoritas pengguna YouTube saat ini merupakan young adults kisaran umur 18-34
tahun dengan jenjang pendidikan terakhir sebagai mahasiswa atau sedang dalam
studi perguruan tinggi.
5
Serta karena iklan ini mengungkit isu lingkungan pada
pesan tersiratnya maka kriteria informan selanjutnya adalah mengetahui atau
aware dengan isu-isu lingkungan. Informan dalam penelitian ini dikategorikan
menurut partisipasi mereka terhadap lingkungan yaitu informan aktif dan pasif.
Masing-masing kategori terdapat tiga informan dan pengkategorian tersebut
didasari oleh beberapa faktor yakni: (1) seberapa intens mereka mengakses
informasi mengenai lingkungan, (2) organisasi, komunitas dan kegiatan yang
pernah diikuti, serta (3) kontribusi terhadap lingkungan. Dari sisi bidang studi
atau pendidikan, keenam informan berasal dari latar pendidikan yang berbedabeda meliputi Ilmu Komunikasi, Teknik Arsitektur, serta Kimia Fakultas MIPA.
!
1.6.4! Teknik Pengumpulan Data
!
Dengan metode analisis resepsi terdapat tiga teknik umum yang dapat
digunakan untuk memperoleh data. Ketiga teknik tersebut meliputi wawancara
(interview) secara individual, observasi, dan kritik terhadap teks (Jensen,
1993:139).
Diambil dari laporan demografis pengguna social media, yang menyatakan bahwa “YouTube
reaches more adults aged 18 to 34 than any single cable TV network. Nearly half of people in
this age group visited YouTube between December 2013 and February 2014, according to Nielsen.
It was rated by millennials as the top place to watch content, ahead of digital and TV properties
like Facebook and ESPN.” dalam situs Business Insider Indonesia (2014)
5
26
!
Demi menunjang keberhasilan penelitian ini, maka peneliti menggunakan
teknik wawancara mendalam (in-depth interview). In-depth interview merupakan
teknik pengumpulan data yang dilakukan antara dua pihak yaitu peneliti dan
informan, melalui wawancara. Berger (dalam Narendra, 2008:198)
mendefinisikan wawancara sebagai percakapan antara peneliti (seseorang yang
ingin memperoleh informasi tentang subjek penelitian) dan seorang informan
(seseorang yang diasumsikan memiliki informasi atau ketekaitan dengan subjek
atau suatu hal tertentu dalam penelitian). Teknik wawancara mendalam (in-depth
interview)
dipilih karena kecenderungannya untuk mendapatkan data dengan
valid, ditinjau dari informan yang telah diseleksi. Maka diharapkan peneliti
mendapat respon dari informan yang tinggi sehingga memungkinkan untuk
memperoleh data riset yang mendalam.
!
Dalam penelitian ini, peneliti mewawancarai informan menggunakan
instrumen panduan wawancara (interview guide) yang berupa pertanyaan
mengenai pemaknaan mereka terhadap pesan lingkungan dengan lokus
pembangunan atau kehidupan berkelanjutan dan kaitannya dengan memiliki anak
dalam iklan Unilever “Why Bring A Child into This World?” yang dipublikasikan
melalui media baru. Interview guide dibuat berdasarkan kebutuhan data yang
diperlukaan dalam penelitian ini. Pertanyaan dalam panduan diturunkan dari
kerangka teori dan pemikiran yang menjadi dasar penelitian untuk mewakili
konsep yang digunakan. Data dari penelitian ini merupakan transkrip wawancara
berupa hasil pembacaan dan opini informan dari pesan lingkungan dalam iklan.
!
1.6.5! Analisis Data
!
Dalam menganalisa data kualitatif, kita membangun kata-kata dari hasil
wawancara atau pengamatan terhadap data yang dibutuhkan untuk dideskripsikan
dan dirangkum. (Patilima, 2007:88) Proses pengumpulan data pada analisis data
kualitatif dibagi menjadi 4 tahapan, menurut Lacey & Luff (2001: 16-18), yaitu:
1. transkripsi; 2. Pengorganisasian data; 3. Pengenalan; dan 4. Koding.
27
a. Transkripsi
Penelitian kualitatif secara umum memang bergantung pada hasil
wawancara. Wawancara yang telah dilaksanakan melalui tape, video dan catatan
lapangan kemudian ditransfer ke medium lainnya untuk dianalisa. Kegiatan
transfer ini yang dapat disebut dengan transkripsi. Walaupun ketika melakukan
kegiatan transkrip ini peneliti cenderung bias, karena hanya beberapa bagian saja
akan diseleksi tergantung relevansinya dengan penelitian. Namun, peneliti juga
dapat mengamati non-verbal saat wawancara berlangsung yang meliputi tingkah
laku dan emosi informan sehingga data hasil wawancara dapat dianalisa dari dua
aspek.
b. Pengorganisasian data
Setelah melakukan transkrip, maka selanjutnya yang dibutuhkan dalam
tahapan analisis data kualitatif adalah pengorganisasian data. Dalam tahap ini,
telah dicatat tanggal pengumpulan data dan menandai data setiap informan dengan
menggunakan angka atau kode. Kode tersebut yang kemudian dapat dijadikan
acuan untuk setiap kegiatan wawancara.
c. Pengenalan
Tahap selanjutnya adalah pengenalan, yaitu peneliti mendengarkan tape
dan menonton video hasil wawancara, serta membaca kembali data, membuat
memo dan rangkuman sebelum analisis formal dimulai.
d. Koding
Dalam tahap terakhir untuk menganalisa data kualitatif maka dibutuhkan
koding. Setelah mengenal transkrip wawancara, maka dilanjutkan kegiatan
pengkodingan ketika peneliti tertarik dengan gagasan dari informan tentang
konsep, perlawanan hati, dan dampak dalam hidupnya maka gagasan tersebut
telah diambil, ditandai dan diberikan kode. Setelah empat tahap dalam
menganalisa data kualitatif tersebut tuntas maka perlu diperhatikan juga tahap
penting dalam menyelesaikan penelitian adalah penyajian data. Menurut Matthew
& Michael (Patilima, 2007:97) penyajian data yang dimaksud adalah sekumpulan
28
informasi tersusun yang memberi kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan
pengambilan tindakan. Data kualitatif disajikan dalam bentuk teks naratif, dimana
tadinya terpisah dan terpencar menurut sumber informasi, dan saat diperoleh
informasi, kemudian disusun menurut fenomena dan kebutuhan analisis.
29
Download