Agency Theory

advertisement
BAB II
KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN
2.1
Landasan Teori dan Konsep
2.1.1 Teori Keagenan ( Agency Theory )
Jensen dan Meckling (1976), mendefinisikan hubungan keagenan terjadi ketika
adanya sebuah kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan
orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa, kemudian mendelegasikan wewenang
pengambilan keputusan kepada agen tersebut.Menurut Jensen dan Meckling (1976)
Agency Theory adalah sebuah hubungan kerja sama yang dituangkan di dalam
kontrak antara manajer (agent) dan pemilik (principal). Jensen and Meckling (1976)
juga menyatakan bahwa, teori ini mengutamakan adanya perbedaan atau terpisahanya
fungsi antara kepemilikan (prinsipal) dengan fungsi manajemen (agen). Adanya
perbedaan atau terpisahnya fungsi ini menyebabkan timbulnya suatu permasalahan
atau konflik yang disebut sebagai masalah keagenan (agency problem). Timbulnya
konflik ini dikarenakan pihak manajemen memiliki kesempatan untuk mencapai
keinginan pribadi mereka dan tentu saja mengabaikan kepentingan dan keinginan dari
para pihak pemegang saham sebagai pemilik perusahaan.
Konsep dari teori keagenan ini adalah agen mempunyai jauh lebih banyak
informasi mengenai kondisi perusahaan yang sesungguhnya dibandingkan dengan
1
informasi yang dimiliki oleh prinsipal. Hal ini tentu saja menimbulkan adanya
asimetri informasi (information assymmetry) dan otomatis pihak prinsipal pun
mewaspadai
segala
perilaku
yang
dilakukan
oleh
agen
serta
memiliki
ketidakpercayaan apakah kepentingan mereka telah diutamakan oleh para agen.
Konsep lainnya ialah kontrak atau hubungan keagenan ini dimanfaatkan oleh
prinsipal dan agen yang berperilaku rasional dengan tujuan mengoptimalkan
kepentingannya masing-masing, sehingga dapat dinyatakan bahwa agen memiliki
tujuan pribadinya yang mendorong ia untuk tidak mengutamakan tujuan dan
kepentingan dari prinsipal sebagai pemilik perusahaan (Adams, 1994). Tujuan
mementingkan diri sendiri ini dikarenakan adanya moral hazard dari agen dan
masalahnya sering dikenal sebagai moral hazard problem. Selain itu, yang juga
menjadi sebuah permasalahan ialah munculnya adverse selection yang artinya
pemilik perusahaan (prinsipal) tidak dapat dengan pasti mengetahui bahwa
manajemen (agen) yang dipilih memang mempunyai kemampuan sesuai dengan
bidangnya dan apakah ia bersedia untuk mengutamakan kepentingan prinsipal
dibandingkan kepentingan dirinya sendiri (Gilardi, 2001).
Kita sering mendengar istilah agency cost, agency cost merupakan biaya-biaya
yang ditanggung oleh pemilik perusahaan (prinsipal) untuk mencegah terjadinya
agency problem. Biaya untuk melakukan monitoring adalah salah satu bentuk biaya
yang dikeluarkan oleh pemilik perusahaan (prinsipal). Contohnya adalah uang yang
digunakan untuk membiayai pengauditan laporan keuangan oleh auditor eksternal
2
(Adams, 1994). Biaya monitoring untuk melakukan audit laporan keuangan
merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya agency problem. Setiawan
(dalam Rahayu, 2012), dalam teori agensi, auditor adalah pihak yang dianggap
mampu menengahi kepentingan pihak prinsipal dan agen dalam mengelola keuangan
perusahaan. Auditor independen juga berfungsi untuk mengurangi tejadinya agency
problem yang timbul dari perilaku mementingkan diri sendiri yang dilakukan oleh
agen. Perbedaan kepentingan tersebut rentan menyebabkan konflik, terjadinya konflik
cenderung menyebabkan manajemen diganti dan pergantian manajemen diikuti
dengan pergantian auditor.
2.1.2 Teori Sinyal (Signalling Theory)
Teori sinyal memanfaatkan bahwa terdapat kandungan informasi pada
pengumuman suatu informasi yang dapat menjadi sinyal bagi investor dan pihak
potensial lainnya dalam mengambil keputusan ekonomi. Suatu pengumuman
dikatakan mengandung informasi apabila dapat memicu reaksi pasar, yaitu dapat
berupa perubahan harga saham atau abnormal return. Apabila pengumuman tersebut
memberikan dampat positif berupa kenaikan harga saham, maka pengumuman
tersebut merupakan sinyal positif. Namun jika pengumuman tersebut memberikan
dampak negatif, maka pengumuman tersebut merupakan sinyal negatif. Berdasarkan
teori ini maka pengumuman laporan keuangan atau laporan audit merupakan
informasi yang penting dan dapat mempengaruhi dalam proses pengambilan
keputusan (Scott, 2010).
3
Manfaat utama teori ini adalah akurasi dan ketepatan waktu penyajian laporan
keuangan ke publik adalah sinyal dari perusahaan akan adanya informasi yang
bermanfaat dalam kebutuhan untuk pengambilan keputusan dari inverstor. Semakin
panjang audit delay menyebabkan ketidakpastian pergerakan harga saham (Wiwik,
2006). Investor dapat mengartikan lamanya audit delay disebabkan perusahaan
memiliki bad news yang dianggap sebagai sinyal negatif karena tidak segera
mempublikasikan laporan keuangannya, yang akan berakibat pada penurunan harga
saham perusahaan.
2.1.3 Peraturan Pemerintah Mengenai Rotasi Wajib Auditor
Akibat dari adanya kasus Enron di Amerika Serikat pada tahun 2001 yang
mengakibatkan runtuhnya KAP Arthur Anderson, berbagai negara kini menetapkan
aturan mengenai rotasi wajib auditor. Indonesia juga pernah mengalami hal serupa,
skandal yang melibatkan auditor pernah terjadi pada perusahaan PT. Kimia Farma
Tbk yang melakukan manajemen laba pada laporan keuangan tanggal 31 Desember
2001. Pada saat itu yang menjadi auditor adalah KAP Hans Tuanakotta & Mustofa
(HTM). Akibat skandal ini, KAP Hans Tuanakotta & Mustofa menghadapi sanksi
yang cukup berat dengan dihentikannya jasa audit mereka dan dikenakan sanksi
denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Hal ini terjadi bukan karena
kesalahan KAP HTM semata yang tidak mampu melakukan review menyeluruh atas
semua elemen laporan keuangan, tetapi lebih karena kesalahan manajemen Kimia
Farma yang melakukan aksi manipulasi dengan penggelembungan nilai persediaan.
4
Sejak saat itu, Indonesia menetapkan aturan mengenai Pergantian KAP dan
Auditor melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 359/ KMK.06/ 2003 tentang “Jasa
Akuntan Publik” yang berbunyi, pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan
dari suatu entitas dapat dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) paling lama 5
(lima) tahun buku berturut-turut dan oleh seorang Akuntan Publik paling lama 3
(tiga) tahun buku berturut-turut.
Peraturan yang mengatur tentang pembatasan masa penugasan auditor ini
kemudian disempurnakan padatanggal 5 Februari 2008 melalui Peraturan Menteri
Keuangan Republik Indonesia No. 17/PMK.01/2008 tentang “Jasa Akuntan Publik”.
Terdapat perubahan mengenai pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan
sebuah entitas. Pada pasal 3 ayat (1) dijelaskan bahwa pemberian jasa audit kepada
satu klien yang sama dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang sama
maksimal selama 6 (enam) tahun buku berturut-turut dan oleh seorang Akuntan
Publik yang sama selama 3 (tiga) tahun buku bertutut-turut. Sedangkan pada Pasal 3
ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa, Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik
(KAP) dapat menerima kembali penugasan audit umum untuk klien setelah 1 (satu)
tahun buku tidak memberikan jasa audit umum atas laporan keuangan klien yang
sama.
Aturan tersebut mengharuskan perusahaan untuk melaksanakan rotasi audit
dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Penjelasan diatas yaitu mengenai auditor
switching yang bersifat wajib (mandatory), sedangkan dalam penelitian ini
5
difokuskan kepada terjadinya auditor switching yang lebih bersifat sukarela
(voluntary) terlepas dari peraturan tersebut.
2.1.4 Pengertian Auditing
Menurut Sukrisno (2004: 3) auditing adalah suatu pemeriksaan yang
dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen terhadap laporan
keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan
dan bukti-bukti pendukungnya dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat
mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut.
Menurut Mulyadi (2002: 9) secara umum auditing adalah suatu proses
sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai
pernyataan-pernyataan tentang kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan
tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah
ditentukan, serta menyampaikan hasilnya kepada pihak yang berkepentingan.
2.1.5 Manfaat Audit
Menurut Abdul (2008) manfaat audit dapat dipandang dari dua sisi, yaitu:
1)
Manfaat audit dari sisi ekonomis
a)
Meningkatkan kredibilitas perusahaan
Laporan keuangan yang diaudit oleh auditor independen akan lebih
dipercaya oleh para pemakai laporan keuangan dari pada laporan
keuangan yang tidak diaudit. Kredibilitas perusahaan di mata pemakai
laporan keuangan akan meningkat. Dengan demikian, para pemakai,
6
terutama investor dan kreditor, akan memandang bahwa risiko investasi
atas perusahaan tersebut relatif rendah daripada perusahaan yang
laporan keuangannya tidak diaudit.
b)
Meningkatkan efisiensi dan kejujuran
Audit laporan keuangan yang dilakukan secara berfrekuensi teratur akan
membawa dampak positif bagi efisiensi dan kejujuran karyawan. Bila
karyawan mengetahui bahwa audit independen akan dilakukan, maka ia
akan berusaha menekan sekecil mungkin kesalahan dalam proses
akuntansi dan mengurangi kesalahan penilaian aktiva.
c)
Meningkatkan efisiensi operasional perusahaan
Auditor independen, berdasarkan pengujiannya dapat memberikan
rekomendasi-rekomendasi untuk memperbaiki pengendalian internal
dan untuk meningkatkan efisiensi operasional perusahaan klien.
d)
Mendorong efisiensi pasar modal
Pada tingkat makro, audit memberi dampak positif yang sangat penting.
Audit yang dilakukan secara efektif akan menghasilkan laporan
keuangan auditan yang berkualitas, relevan dan handal atau reliable.
Dengan demikian, pasar modal yang menggunakan informasi yang
dihasilkan laporan keuangan sebagai sumber informasi utamanya, akan
dapat berjalan secara efisien. Pasar modal yang efisien akan
7
menghasilkan alokasi sumber daya yang efisien pula sehingga
perekonomian nasional akan berjalan secara efisien.
2)
Manfaat audit dari sisi pengawasan
a)
Preventive Controll
Tenaga akuntansi akan bekerja lebih berhati-hati dan akurat bila mereka
menyadari akan audit.
b)
Detective Controll
Suatu penyimpangan atau kesalahan yang terjadi lazimnya akan dapat
diketahui dan dikoreksi melalui suatu proses audit.
c)
Reporting Controll
Setiap kesalahan perhitungan, penyajian, atau pengungkapan yang tidak
dikoreksi dalam keuangan akan disebutkan dalam laporan pemeriksaan.
Dengan demikian pembaca laporan keuangan terhindar dari informasi
yang keliru atau menyesatkan.
2.1.6 Tahapan Audit Laporan Keuangan
Menurut Al. Haryono (2001 : 169) proses audit dalam laporan keuangan baik
audit pada perusahaan besar maupun kecil selalu terdapat empat tahapan kegiatan
yaitu:
1) Penerimaan Penugasan
Tahap awal dalam suatu audit laporan keuangan adalah mengambil
keputusan untuk menerima atau menolak suatu kesempatan menjadi
auditor bagi klien lama atau klien yang sudah pernah diaudit. Pada tahap
8
ini hanya standar umum dari standar auditing yang perlu diterapkan. Pada
umumnya keputusan untuk menerima atau menolak ini sudah dilakukan
sejak enam hingga sembilan bulan sebelum akhir tahun buku yang akan
diperiksa.
2) Perencanaan Audit
Tahap kedua dari suatu audit menyangkut penerapan strategi audit untuk
pelaksanaan dan penentuan lingkup audit. Penerapan merupakan tahap
yang paling sulit dan sangat menentukan keberhasilan penugasan audit.
Dalam tahap ini perlu diterapkan standar umum dan standar pekerjaan dari
standar auditing. Perencanaan audit biasanya dilakukan antar tiga hingga
enam bulan sebelum akhir tahun buku klien.
3) Pelaksanaan Pengujian Audit
Tahap ketiga dalam laporan keuangan adalah melaksanakan pengujian
audit (audit test). Tahap ini sering disebut juga sebagai pelaksanaan
pekerjaan lapangan. Tujuan utama tahap ini adalah mendapatkan bukti
mengenai efektivitas struktur pengendalian intern klien dan kewajaran
laporan keuangannya. Pada tahap ini harus diterapkan standar umum dan
standar lapangan dari standar audit
4) Pelaporan Temuan
Tahap terakhir dari suatu audit adalah pelaporan temuan. Laporan audit
dapat berupa laporan standar yaitu laporan audit dengan pendapat wajar
9
tanpa pengecualian, atau bisa juga menyimpang dari laporan standar. Pada
tahap ini harus dilaksanakan standar umum dan standar pelaporan dari
standar auditing. Laporan audit biasanya antar satu hingga tiga minggu
setelah berakhirnya pekerjaan lapangan.
2.1.7 Laporan Keuangan
Laporan keuangan menjadi salah satu alat yang digunakan oleh penggunanya
untuk mengambil suatu keputusan, dalam laporan keuangan berisi informasiinformasi penting mengenai kinerja dari perusahaan tersebut. Menurut Standar
Akuntansi Keuangan (2012:1) laporan keuangan merupakan bagian dari proses
pelaporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laba rugi, laporan
perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya
sebagai laporan arus kas, dan laporan arus dana). Menurut Setiawan (2013), laporan
keuangan perusahaan merupakan salah satu sumber informasi yang penting
disamping informasi lain seperti informasi industri, kondisi perekonomian, pangsa
perusahaan, kualitas manajemen dan lainnya. Berbeda dengan setiawan, menurut
Zaki Baridwan (2013: 17), laporan keuangan merupakan ringkasan dari suatu proses
pencatatan, merupakan suatu ringkasan dari transaksi-transaksi keuangan yang terjadi
selama tahun buku yang bersangkutan.
Laporan keuangan ini dibuat oleh manajemen dengan tujuan untuk
mempertanggungjawabkan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya oleh para
pemilik perusahaan. Laporan keuangan juga dapat digunakan untuk memenuhi tujuan
10
lain yaitu sebagai laporan kepada pihak-pihak yang berkepentingan di luar
perusahaan.Berdasarkan hal tersebut,
informasi yang terkandung dalam laporan
keuangan tersebut haruslah lengkap dan jelas serta dapat menggambarkan secara
tepat kejadian-kejadian ekonomi dalam perusahaan yang berpengaruh terhadap
hasil operasi usaha tersebut.
Konsep pengungkapan yang umumnya diusulkan adalah pengungkapan yang
cukup (adequate), wajar (fair), dan lengkap (full) (Lestari, 2010: 16). Dalam Standar
Akuntansi Keuangan (2012: 5) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia
disebutkanterdapat empat karakteristik kualitatif pokok dalam laporan keuangan
yaitu:
1) Dapat Dipahami
Kualitas penting informasi dalam laporan keuangan adalah kemudahannya untuk
dapat dipahami oleh pengguna. Dalam hal ini, pengguna diasumsikan memiliki
pengetahuan yang memadai tentang aktivitas ekonomi dan bisnis, akuntansi,
serta kemauan untuk mempelajari informasi dengan ketekunan yang wajar.
2) Relevan
Informasi yang relevan yaitu informasi dapat memenuhi kebutuhan pengguna
dalam proses pengambilan keputusan. Informasi memiliki kualitas relevan
apabila dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pengguna, dengan membantu
mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini dan masa depan, menegaskan atau
memperbaiki harapan yang dibuat sebelumnya, tersedia tepat waktu bagi
11
pengambil keputusan sebelum kehilangan kesempatan atau untuk mempengaruhi
keputusan yang diambil.
3) Keandalan
Informasi harus bersifat andal (reliable). Informasi memiliki kualitas andal jika
bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapat
diandalkan penggunaannya sebagai penyajian yang tulus atau jujur (faithful
representation) dari yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar
diharapkan dapat disajikan.
4) Dapat dibandingkan
Pengguna harus dapat memperbandingkan laporan keuangan perusahaan antar
periode untuk mengidentifikasikan kecenderungan (trend) posisi dan kinerja
keuangan. Pengguna juga harus dapat memperbandingkan laporan keuangan
antar perusahaan untuk mengevaluasi posisi keuangan, kinerja, serta perubahan
posisi keuangan secara relatif. Ketaatan pada standar akuntansi keuangan,
termasuk pengungkapan kebijakan akuntansi yang digunakan oleh perusahaan
dapat membantu dalam mencapai karakteristik ini.
2.1.8 Audit Delay
Audit delay didefinisikan sebagai lamanya waktu penyelesaian audit yang
diukur dari tanggal penutupan tahun buku, hingga tanggal diselesaikannya laporan
auditor independen (Wiwik Utami, 2006). Lamanya waktu audit ini dihitung dari
selisih tanggal laporan keuangan tahunan perusahaan sampai dengan tanggal laporan
12
auditor independen yang dikeluarkan oleh Kantor Akuntan Publik (Prasongkoputra,
2013). Hal ini sesuai dengan definisi Yuliyanti (2011: 13), dimana audit delay adalah
waktu antara tanggal laporan keuangan dan laporan audit. Informasi yang mempunyai
nilai tinggi dapat menjadi informasi yang tidak relevan apabila tidak tersedia pada
saat dibutuhkan atau tepat pada waktunya. Ketepatan waktu dalam menyampaikan
laporan keuangan dan keakuratannya sangat mempengaruhi nilai manfaat bagi
penggunanya, sehingga laporan keuangan harus disajikan tepat pada waktunya.
Menurut Ashtonet.al. (1987) yang didukung oleh Lawence dan Bryan (1998)
menyatakan bahwa proses audit sangat memerlukan waktu yang berakibat adanya
audit delay yang nantinya akan sangat berpengaruh pada ketepatan waktu pelaporan
keuangan. Semakin panjang audit delay maka akan berdampak negatif, karena
informasi yang terkandung dalam laporan keuangan tersebut akan mengurangi nilai
manfaatnya karena tidak lagi relevan bagi para pengguna informasi keuangan tersebut
dalam hal di sini adalah investor. Givoly dan Palmon (1992) menyatakan lamanya
waktu penyelesaian audit akan dapat mempengaruhi ketepatan waktu publikasi
informasi keuangan auditan, sehingga berdampak pada reaksi pasar terhadap
keterlambatan informasi tersebut dan mempengaruhi tingkat ketidakpastian
keputusan yang didasarkan pada informasi yang dipublikasikan. Bamber dan
Schoderbek (1993) menyatakan bahwa penundaan pelaporan keuangan dikaitkan
dengan kesulitan finansial, adanya kontrak dalam proses dan usaha manajemen untuk
menghindari penyelidikan dan ketidak percayaan investor.
13
Jadi dapat disimpulkan, bahwa ketepatwaktuan dalam penyampaian informasi
merupakan kualitas yang berkaitan dengan ketersediaan informasi pada saat
dibutuhkan. Lamanya waktu antara tanggal laporan keuangan dan laporan audit
(audit delay) mencerminkan ketepatwaktuan penyampaian laporan keuangan.
Ketepatwaktuan penyampaian informasi mengandung arti bahwa informasi tersedia
sebelum kehilangan kemampuannya untuk mempengaruhi atau membuat perbedaaan
dalam keputusan.
2.1.9 Ukuran Perusahaan
Ukuran perusahaan merupakan pengukur yang menunjukkan besar atau
kecilnya suatu perusahaan yang dapat dilihat dari jumlah aset yang dimiliki oleh
perusahaan. Setiawan (2013), mengartikan ukuran perusahaan sebagai suatu skala
dimana dapat diklasifikasikan besar kecil perusahaan dengan berbagai cara antara lain
dinyatakan dalam total aktiva, nilai pasar saham, dan lain-lain. Chambers dan
Pennman (1984), melakukan penelitian di Amerika menemukan bukti empiris bahwa
ada hubungan terbalik antara ukuran perusahaan dengan audit delay.
Machfoedz (dalam Indriani, 2014), menyebutkan pada dasarnya Ukuran
Perusahaan terbagi pada tiga kategori, yaitu perusahaan besar (large firm),
perusahaan menengah (medium size), dan perusahaan kecil (small firm). Penentuan
perusahaan ini didasarkan pada total aset perusahaan, kategori ukuran perusahaan
yaitu:
14
1) Perusahaan Besar
Perusahaan besar adalah perusahaan yang memiliki kekayaan bersih lebih besar
dari Rp 10 Milyar termasuk tanah dan bangunan. Memiliki penjualan lebih dari
Rp50Milyar/tahun.
2) Perusahaan Menengah
Perusahaan menengah adalah perusahaan yang memiliki kekayaan bersih Rp 110 Milyar termasuk tanah dan bangunan. Memiliki hasil penjualan lebih besar
dari Rp 1 Milyar dan kurang dari Rp 50 Milyar.
3) Perusahaan Kecil
Perusahaan kecil adalah perusahaan yang memiliki kekayaan bersih paling
banyak Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan dan memiliki hasil
penjualan minimal Rp 1Milyar/tahun.
2.1.10
Profitabilitas
Profitabilitas
mencerminkan
suatu
keberhasilan
perusahaan
dalam
memperoleh keuntungan dari kegiatan operasionalnya. Menurut Hanafi dan Halim
(2000), profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan
(profitabilitas) pada tingkat penjualan, aset, dan modal saham tertentu. Profitabilitas
merupakan suatu indikator kinerja yang dilakukan oleh manajemen dalam mengelola
kekayaan perusahaan yang ditunjukan oleh laba yang dihasilkan. Secara garis besar
laba yang dihasilkan perusahaan berasal dari penjualan dan investasi yang dilakukan
oleh perusahaan.Perusahaan tidak akan menunda penyampaian informasi yang berisi
berita baik. Oleh karena itu, perusahaan yang mampu menghasilkan profit akan
15
cenderung mengalami audit delay yang lebih pendek, sehingga hal tersebut dapat
segera disampaikan kepada para investor dan pihak-pihak yang berkepentingan
(Indriani, 2014).
Penelitian ini mengukur profitabilitas dengan menggunakan ROA karena
dapat menilai apakah perusahaan telah efisien dalam menggunakan aktivanya pada
kegiatan operasionalnya menghasilkan keuntungan. ROA (Return on Assets) adalah
perbandingan antara jumlah laba yang dihasilkan terhadap asset yang digunakan,
sehingga menunjukan sejumlah perusahaan mampu dalam menghasilkan laba dari
sumber daya (asset) yang dimiliki. Dengan demikian kemungkinan Profitabilitas
yang diukur dengan Return on Asset dapat mempengaruhi audit delay (Setiawan,
2013). Sedangkan Courtis (1976), tidak menemukan hubungan yang signifikan antara
keterlambatan pelaporan dan ukuran perusahaan, umur, jumlah pemegang saham, dan
panjang laporan tahunan di Selandia Baru. Tetapi, ditemukannya hubungan terbalik
antara laba mutlak dan keterlambatan pelaporan pada penelitian tersebut.
2.1.11
Leverage
Rasio leverage atau rasio solvabilitas adalah rasio yang digunakan untuk
mengukur seberapa besar aset perusahaan dibiayai oleh utang. Menurut Kasmir
(2009), rasio leverage digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk
membayar seluruh kewajibannya baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila
perusahaan dilikuidasi.
16
Menurut Brigham dan Houston (2009), rasio leverage memiliki tiga
implikasi penting yaitu:
a) Dengan memperoleh dana melalui utang, para pemegang saham dapat
mempertahankan kendali mereka atas perusahaan tersebut sekaligus membatasi
investasi yang mereka berikan.
b) Kreditor akan melihat pada ekuitas, atau dana yang diperoleh sendiri, sebagai
suatu batasan keamanan, sehingga semakin tinggi proporsi dari jumlah modal
yang diberikan oleh pemegang saham, maka semakin kecil risiko yang harus
dihadapi kreditor.
c) Jika perusahaan mendapatkan hasil dari investasi yang didanai dengan dana hasil
pinjaman lebih besar daripada bunga yang dibayarkan, maka pengembalian dari
modal pemilik akan diperbesar, atau “diungkir” (leveraged).
2.1.12
Pergantian Auditor
Pergantian auditor (auditor switching) adalah pergantian Akuntan Publik
atau Kantor Akuntan Publik (KAP) yang dilakukan oleh perusahaan klien. Menurut
Halim (1997), terdapat beberapa faktor penyebab dari adanya pergantian auditor
yakni adanya merjer antara dua perusahaan yang memiliki kantor akuntan publik
yang berbeda, ketidakpuasan atas kinerja kantor akuntan publik yang terdahulu, dan
mungkin saja karena adanya merjer antar kantor akuntan publik.
Secara garis besar terdapat dua faktor yang melatarbelakangi perusahaan dalam
melakukan pergantian auditor yakni faktor dari internal perusahaan atau faktor klien
17
(client related factor) yang terdiri dari kesulitan keuangan, manajemen yang gagal,
perubahan ownership, Initial Public Offering (IPO) dan faktor selanjutnya adalah
faktor yang berasal dari eksternal perusahaan atau faktor auditor (auditor related
factor) yang terdiri dari fee audit dan kualitas audit (Mardiyah, 2002). Hal ini
dipertegas oleh Rahayu (2012), yang mengungkapkan dua pendekatan untuk
mengetahui apa yang menyebabkan perusahaan memutuskan untuk melakukan
pergantian Akuntan Publik atau Kantor Akuntan Publik (KAP) yaitu dari segi auditor
dan segi perusahaan itu sendiri.
Jika
perusahaan
mengganti
auditornya
bukan
dalam
kondisi
yang
mengharuskan ia untuk mengganti auditor, maka dapat diprediksi bahwa terdapat dua
kemungkinan yang terjadi. Pertama, pihak auditor mengundurkan diri dari
pekerjaannya atau yang kedua adalah pihak perusahaan memutus ikatan kontrak
kepada auditor tersebut. Salah satunya mungkin akan terjadi diantara dua
kemungkinan tersebut, namun fokus utama bukanlah pada hal itu melainkan apa saja
alasan yang melatar belakangi perusahaan mengganti auditornya secara sukarela
(voluntary) dan siapa yang akan menjadi auditor selanjutnya dari perusahaan tersebut.
Menurut Wijayani (2011), alasan yang paling umum dari terjadinya pergantian
auditor adalah tidak sepakatnya perusahaan sebagai klien pada praktik akuntansi
tertentu yang dilakukan oleh auditor sehinggamenyebabkan perusahaan mengganti
auditor terdahulu dengan auditor baru yang mampu sepakat dengan kebijakan dan
praktik akuntansi perusahaan.
18
Nagy (2005) menyatakan bahwa, saat perusahaan mengganti auditornya ke
auditor yang baru, tentu saja akan timbul ketimpangan informasi atau suatu keadaan
yang sering dikenal sebagai asimetri informasi antara perusahaan dengan auditor
yang baru. Hal ini disebabkan karena perusahaan memiliki informasi yang jauh lebih
banyak dan lebih mencerminkan keadaan perusahaan sesungguhnya dibandingkan
informasi yang dimiliki oleh auditor baru. Jika auditor menerima permintaan
pelaksanaan penugasan audit oleh perusahaan, maka dapat diprediksi ada dua alasan
yang mendasarinya. Pertama, auditor menerima permintaan tersebut karena memiliki
akses yang cukup baik kepada auditor terdahulu sehingga dapat lebih mudah untuk
meminta informasi mengenai keseluruhan usaha perusahaan. Alasan kedua, bisa saja
auditor menerima permintaan pelaksanaan penugasan audit oleh perusahaan karena
hal selain alasan pertama, contohnya adalah alasan finansial, padahal auditor baru ini
belum tentu memahami dengan baik apa usaha dari perusahaan tersebut.
2.2
Rumusan Hipotesis Penelitian
2.2.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan pada Audit Delay
Penelitian yang dilakukan oleh (Carslaw dan Kaplan, 1991 dalam
Prasongkoputra, 2013:30) meyatakan bahwa internal kontrol pada perusahaan besar
lebih kuat dan terencana, sehingga membuat kemungkinan kesalahan pada laporan
keuangan
lebih
sedikit
dan
memungkinkan
auditor
dapat mengandalkan
informasi yang terdapat pada laporan keuangan. Penelitian yang dilakukan oleh
Halim (2000) yang mengungkapkan bahwa, semakin besar ukuran perusahaan yang
19
diaudit maka audit delay akan semakin lama, ini berkaitan dengan semakin
banyaknya sampel yang harus diambil dan semakin luas prosedut audit yang harus
ditempuh. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuliyanti (2011); Ettredge (2009);
Kartika (2009); Rachmawati (2008) yaitu ukuran perusahaan berpengaruh positif
terhadap audit delay. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis pertama yang
terbentuk yaitu:
H1: Ukuran perusahaan berpengaruh positif pada audit delay.
2.2.2 Pengaruh Profitabilitas pada Audit Delay
Perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi membutuhkan
waktu
audit
lebih
menyampaikan kabar
cepat
baik
karena
kepada
adanya
pertanggungjawaban
untuk
publik (Estrini, 2013). Profitabilitas
pada
penelitian ini menggunakan ROA, perusahaan dengan ROA yang tinggi berarti
perusahaan
telah menggunakan
aset-asetnya
secara
efisien
sehingga
dapat
menghasilkan laba yang tinggi bagi perusahaan maupun pemegang saham. Jadi,
perusahaan memiliki insentif yang besar untuk menerbitkan laporan keuangan
lebih
cepat
untuk
memberikan sinyal positif kepada para pengguna
laporan
keuangan khususnya investor (Scott, 2010 dalam Prasongkoputra, 2013:62).
Hal ini dapat dijelaskan dalam penelitian Purnamasari (2012), menyatakan
tingkat profitabilitas perusahaan yang lebih tinggi membutuhkan waktu dalam
pengauditan
laporan
keuangan
lebih
cepat
dikarenakan
keharusan
untuk
menyampaikan kabar baik secepatnya kepada publik. Hasil penelitian Prasongkaputra
20
(2013); Rachmawati (2008); Yulianty (2011); Aryati (2005) menejelaskan bahwa
profitabilitas berpengaruh negatif signifikan terhadap audit delay. Berdasarkan uraian
di atas, maka hipotesis kedua yang terbentuk yaitu:
H2: Profitabilitas tidak berpengaruh pada audit delay.
2.2.3 Pengaruh Leverage pada Audit Delay
Menurut Kartika (2011), solvabilitas mencerminkan kemampuan perusahaan
untuk membayar seluruh kewajiban perusahaan. Perusahaan dikatakan mampu
apabila perusahaan mempunyai aktiva yang cukup untuk membayar semua
hutangnya. Sebaliknya, apabila proporsi hutang lebih besar dari aktiva yang dimiliki
perusahaan akan mengakibatkan kerugian dan dapat meningkatkan kehati-hatian dari
auditor terhadap laporan keuangan yang akan diaudit. Kehati-hatian auditor dalam
menyelesaikan audit laporan keuangan akan mengakibatkan keterlambatan dalam
menyampaikan laporan keuangan kepada publik.
Lianto dan Kusuma (2010) mengungkapkan proporsi hutang yang besar
terhadap total aktiva akan meningkatkan kecenderungan kerugian dan dapat
meningkatkan kehati-hatian auditor terhadap laporan keuangan yang akan diaudit,
sehingga penyelesaian audit atas laporan keuangan dapat mengalami keterlambatan.
Hasil penelitian yang dilakukan Silvia dan Wirakusuma (2013); Yuliyanti (2011);
Lestari (2010:65) menjelaskan bahwa, variabel leverage berpengaruh positif terhadap
lamanya audit delay. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disusun hipotesis ketiga
sebagai berikut :
21
H3: Leverage berpengaruh positif pada audit delay.
2.2.4
Pengaruh Ukuran Perusahaan pada Audit Delay yang Dimoderasi oleh
Pergantian Auditor
Ukuran perusahaan merupakan suatu skala yang mengkasifikasikan besar
kecilnya perusahaan yang berhubungan dengan financial perusahaan. Dimana
perusahaan yang besar dipercayai dapat menyelesaikan kesulitasn-kesulitan keuangan
yang dihadapinya daripada perushaan kecil (Mutchler, 1985). Perusahaan besar
cenderung lebih mempunyai kendali internal yang lebih ketat sehingga memudahkan
proses audit oleh auditor independen, sehingga dapat mengurangi audit delay (Habib
dan Bhuiyan, 2011). Terlebih apabila ukuran perusahaan tersebut besar, maka
perusahaan tentunya akan menginginkan pemilihan auditor yang memiliki kualitas
yang tinggi, yang dapat menyebabkan terjadinya pergantian auditor. Hasil penelitan
Setiawan (2013); Rachmawati (2008); Subekti dan Widiyanti (2004) menyatakan
ukuran perusahaan berpengaruh signifikan pada audit delay. Berdasarkan uraian di
atas, maka hipotesis keempat adalah:
H4: Pergantian auditor memperkuat pengaruh ukuran perusahaan pada audit delay.
2.2.5
Pengaruh Profitabilitas pada Audit Delay yang Dimoderasi oleh
Pergantian Auditor
Profitabilitas merupakan suatu tolak ukur kinerja keuangan yang dapat
menggambarkan reputasi klien secara menyeluruh (Sartono, 2004). Profitabilitas
dapat dilihat dari persentase perubahan Return on Assets (ROA), yang dapat
22
digunakan sebagai salah satu indikator untuk menilai kondisi keuangan perusahaan
tersebut (Kartika, 2006; dalam Damayanti dan Sudarma, 2008). Persentase Perubahan
ROA yang semakin besar menunjukkan semakin baik pula prospek bisnisnya. Hal itu
dapat mendorong perusahaan untuk mengganti auditor karena kinerja keuangan
perusahaan yang semakin membaik, perusahaan merasa mampu untuk membayar
Kantor Akuntan Publik lain yang mungkin memiliki kualitas audit yang lebih baik
dari Kantor Akuntan Publik yang dipakainya (Trisnawati dan Wijaya, 2009). Hasil
penelitian yang dilakukan oleh Estrini (2013); Lestari (2010); dan Siwy (2012)
menyatakan bahwa profitabilitas berpengaruh terhadap audit delay. Berdasarkan
uraian di atas, maka hipotesis selanjutnya adalah:
H5: Pergantian auditor memperkuat pengaruh profitabilitas pada audit delay.
2.2.6
Pengaruh Leverage pada Audit Delay yang Dimoderasi oleh Pergantian
Auditor
Rasio leverage atau rasio solvabilitas adalah rasio yang digunakan untuk
mengukur seberapa besar aset perusahaan dibiayai oleh utang. Menurut Kasmir
(2009), rasio leverage digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk
membayar seluruh kewajibannya baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila
perusahaan
dilikuidasi.
Manajer
memiliki
kesempatan
untuk
mengalihkan
kesejahteraan debtholder dengan melakukan berbagai tindakan (Jensen dan
Meckling, 1976). Berdasarkan hal tersebut, maka semakin meningkat jumlah utang,
semakin terbuka kesempatan untuk mentransfer kesejahteraan menjauh dari
23
debtholder. Perjanjian utang yang umumnya bersumber pada informasi akuntansi
kemudian disusun untuk membatasi pengalihan kesejahteraan itu. Pengauditan yang
berkualitas selanjutnya dibutuhkan untuk meningkatkan reliabilitas informasi
akuntansi yang digunakan untuk meverifikasi kepatuhan perusahaan terhadap
perjanjian utang tersebut. Berdasarkan hal tersebut dapat memungkinkan timbulnya
kecenderungan perusahaan untuk berganti ke auditor yang mempunyai kualitas lebih
baik. Klien akan menginginkan KAP yang memiliki auditor berpengalaman dan
mempunyai alat-alat yang canggih atau prosesing data elektronik yang canggih
sehingga akan mengurangi terjadinya audit delay. Hasil penelitian Rachmawati
(2008); Widiyanti dan Wirakusuma (2012); Sumartini (2014); dan Juanita (2012)
menyatakan bahwa leverage tidak memiliki pengaruh terhadap audit delay.
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis selanjutnya adalah:
H6: Pergantian auditor memperlemah pengaruh leverage pada audit delay.
24
Download