BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN HIPOTESIS PENELITIAN 2.1 Landasan Teori dan Konsep 2.1.1 Teori Keagenan ( Agency Theory ) Jensen dan Meckling (1976), mendefinisikan hubungan keagenan terjadi ketika adanya sebuah kontrak dimana satu orang atau lebih (principal) mempekerjakan orang lain (agen) untuk melakukan suatu jasa, kemudian mendelegasikan wewenang pengambilan keputusan kepada agen tersebut.Menurut Jensen dan Meckling (1976) Agency Theory adalah sebuah hubungan kerja sama yang dituangkan di dalam kontrak antara manajer (agent) dan pemilik (principal). Jensen and Meckling (1976) juga menyatakan bahwa, teori ini mengutamakan adanya perbedaan atau terpisahanya fungsi antara kepemilikan (prinsipal) dengan fungsi manajemen (agen). Adanya perbedaan atau terpisahnya fungsi ini menyebabkan timbulnya suatu permasalahan atau konflik yang disebut sebagai masalah keagenan (agency problem). Timbulnya konflik ini dikarenakan pihak manajemen memiliki kesempatan untuk mencapai keinginan pribadi mereka dan tentu saja mengabaikan kepentingan dan keinginan dari para pihak pemegang saham sebagai pemilik perusahaan. Konsep dari teori keagenan ini adalah agen mempunyai jauh lebih banyak informasi mengenai kondisi perusahaan yang sesungguhnya dibandingkan dengan 1 informasi yang dimiliki oleh prinsipal. Hal ini tentu saja menimbulkan adanya asimetri informasi (information assymmetry) dan otomatis pihak prinsipal pun mewaspadai segala perilaku yang dilakukan oleh agen serta memiliki ketidakpercayaan apakah kepentingan mereka telah diutamakan oleh para agen. Konsep lainnya ialah kontrak atau hubungan keagenan ini dimanfaatkan oleh prinsipal dan agen yang berperilaku rasional dengan tujuan mengoptimalkan kepentingannya masing-masing, sehingga dapat dinyatakan bahwa agen memiliki tujuan pribadinya yang mendorong ia untuk tidak mengutamakan tujuan dan kepentingan dari prinsipal sebagai pemilik perusahaan (Adams, 1994). Tujuan mementingkan diri sendiri ini dikarenakan adanya moral hazard dari agen dan masalahnya sering dikenal sebagai moral hazard problem. Selain itu, yang juga menjadi sebuah permasalahan ialah munculnya adverse selection yang artinya pemilik perusahaan (prinsipal) tidak dapat dengan pasti mengetahui bahwa manajemen (agen) yang dipilih memang mempunyai kemampuan sesuai dengan bidangnya dan apakah ia bersedia untuk mengutamakan kepentingan prinsipal dibandingkan kepentingan dirinya sendiri (Gilardi, 2001). Kita sering mendengar istilah agency cost, agency cost merupakan biaya-biaya yang ditanggung oleh pemilik perusahaan (prinsipal) untuk mencegah terjadinya agency problem. Biaya untuk melakukan monitoring adalah salah satu bentuk biaya yang dikeluarkan oleh pemilik perusahaan (prinsipal). Contohnya adalah uang yang digunakan untuk membiayai pengauditan laporan keuangan oleh auditor eksternal 2 (Adams, 1994). Biaya monitoring untuk melakukan audit laporan keuangan merupakan salah satu cara untuk mencegah terjadinya agency problem. Setiawan (dalam Rahayu, 2012), dalam teori agensi, auditor adalah pihak yang dianggap mampu menengahi kepentingan pihak prinsipal dan agen dalam mengelola keuangan perusahaan. Auditor independen juga berfungsi untuk mengurangi tejadinya agency problem yang timbul dari perilaku mementingkan diri sendiri yang dilakukan oleh agen. Perbedaan kepentingan tersebut rentan menyebabkan konflik, terjadinya konflik cenderung menyebabkan manajemen diganti dan pergantian manajemen diikuti dengan pergantian auditor. 2.1.2 Teori Sinyal (Signalling Theory) Teori sinyal memanfaatkan bahwa terdapat kandungan informasi pada pengumuman suatu informasi yang dapat menjadi sinyal bagi investor dan pihak potensial lainnya dalam mengambil keputusan ekonomi. Suatu pengumuman dikatakan mengandung informasi apabila dapat memicu reaksi pasar, yaitu dapat berupa perubahan harga saham atau abnormal return. Apabila pengumuman tersebut memberikan dampat positif berupa kenaikan harga saham, maka pengumuman tersebut merupakan sinyal positif. Namun jika pengumuman tersebut memberikan dampak negatif, maka pengumuman tersebut merupakan sinyal negatif. Berdasarkan teori ini maka pengumuman laporan keuangan atau laporan audit merupakan informasi yang penting dan dapat mempengaruhi dalam proses pengambilan keputusan (Scott, 2010). 3 Manfaat utama teori ini adalah akurasi dan ketepatan waktu penyajian laporan keuangan ke publik adalah sinyal dari perusahaan akan adanya informasi yang bermanfaat dalam kebutuhan untuk pengambilan keputusan dari inverstor. Semakin panjang audit delay menyebabkan ketidakpastian pergerakan harga saham (Wiwik, 2006). Investor dapat mengartikan lamanya audit delay disebabkan perusahaan memiliki bad news yang dianggap sebagai sinyal negatif karena tidak segera mempublikasikan laporan keuangannya, yang akan berakibat pada penurunan harga saham perusahaan. 2.1.3 Peraturan Pemerintah Mengenai Rotasi Wajib Auditor Akibat dari adanya kasus Enron di Amerika Serikat pada tahun 2001 yang mengakibatkan runtuhnya KAP Arthur Anderson, berbagai negara kini menetapkan aturan mengenai rotasi wajib auditor. Indonesia juga pernah mengalami hal serupa, skandal yang melibatkan auditor pernah terjadi pada perusahaan PT. Kimia Farma Tbk yang melakukan manajemen laba pada laporan keuangan tanggal 31 Desember 2001. Pada saat itu yang menjadi auditor adalah KAP Hans Tuanakotta & Mustofa (HTM). Akibat skandal ini, KAP Hans Tuanakotta & Mustofa menghadapi sanksi yang cukup berat dengan dihentikannya jasa audit mereka dan dikenakan sanksi denda sebesar Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah). Hal ini terjadi bukan karena kesalahan KAP HTM semata yang tidak mampu melakukan review menyeluruh atas semua elemen laporan keuangan, tetapi lebih karena kesalahan manajemen Kimia Farma yang melakukan aksi manipulasi dengan penggelembungan nilai persediaan. 4 Sejak saat itu, Indonesia menetapkan aturan mengenai Pergantian KAP dan Auditor melalui Keputusan Menteri Keuangan No. 359/ KMK.06/ 2003 tentang “Jasa Akuntan Publik” yang berbunyi, pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan dari suatu entitas dapat dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) paling lama 5 (lima) tahun buku berturut-turut dan oleh seorang Akuntan Publik paling lama 3 (tiga) tahun buku berturut-turut. Peraturan yang mengatur tentang pembatasan masa penugasan auditor ini kemudian disempurnakan padatanggal 5 Februari 2008 melalui Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia No. 17/PMK.01/2008 tentang “Jasa Akuntan Publik”. Terdapat perubahan mengenai pemberian jasa audit umum atas laporan keuangan sebuah entitas. Pada pasal 3 ayat (1) dijelaskan bahwa pemberian jasa audit kepada satu klien yang sama dilakukan oleh Kantor Akuntan Publik (KAP) yang sama maksimal selama 6 (enam) tahun buku berturut-turut dan oleh seorang Akuntan Publik yang sama selama 3 (tiga) tahun buku bertutut-turut. Sedangkan pada Pasal 3 ayat (2) dan (3) menyatakan bahwa, Akuntan Publik dan Kantor Akuntan Publik (KAP) dapat menerima kembali penugasan audit umum untuk klien setelah 1 (satu) tahun buku tidak memberikan jasa audit umum atas laporan keuangan klien yang sama. Aturan tersebut mengharuskan perusahaan untuk melaksanakan rotasi audit dengan jangka waktu yang telah ditetapkan. Penjelasan diatas yaitu mengenai auditor switching yang bersifat wajib (mandatory), sedangkan dalam penelitian ini 5 difokuskan kepada terjadinya auditor switching yang lebih bersifat sukarela (voluntary) terlepas dari peraturan tersebut. 2.1.4 Pengertian Auditing Menurut Sukrisno (2004: 3) auditing adalah suatu pemeriksaan yang dilakukan secara kritis dan sistematis oleh pihak yang independen terhadap laporan keuangan yang telah disusun oleh manajemen, beserta catatan-catatan pembukuan dan bukti-bukti pendukungnya dengan tujuan untuk dapat memberikan pendapat mengenai kewajaran laporan keuangan tersebut. Menurut Mulyadi (2002: 9) secara umum auditing adalah suatu proses sistematik untuk memperoleh dan mengevaluasi bukti secara objektif mengenai pernyataan-pernyataan tentang kejadian ekonomi, dengan tujuan untuk menetapkan tingkat kesesuaian antara pernyataan-pernyataan tersebut dengan kriteria yang telah ditentukan, serta menyampaikan hasilnya kepada pihak yang berkepentingan. 2.1.5 Manfaat Audit Menurut Abdul (2008) manfaat audit dapat dipandang dari dua sisi, yaitu: 1) Manfaat audit dari sisi ekonomis a) Meningkatkan kredibilitas perusahaan Laporan keuangan yang diaudit oleh auditor independen akan lebih dipercaya oleh para pemakai laporan keuangan dari pada laporan keuangan yang tidak diaudit. Kredibilitas perusahaan di mata pemakai laporan keuangan akan meningkat. Dengan demikian, para pemakai, 6 terutama investor dan kreditor, akan memandang bahwa risiko investasi atas perusahaan tersebut relatif rendah daripada perusahaan yang laporan keuangannya tidak diaudit. b) Meningkatkan efisiensi dan kejujuran Audit laporan keuangan yang dilakukan secara berfrekuensi teratur akan membawa dampak positif bagi efisiensi dan kejujuran karyawan. Bila karyawan mengetahui bahwa audit independen akan dilakukan, maka ia akan berusaha menekan sekecil mungkin kesalahan dalam proses akuntansi dan mengurangi kesalahan penilaian aktiva. c) Meningkatkan efisiensi operasional perusahaan Auditor independen, berdasarkan pengujiannya dapat memberikan rekomendasi-rekomendasi untuk memperbaiki pengendalian internal dan untuk meningkatkan efisiensi operasional perusahaan klien. d) Mendorong efisiensi pasar modal Pada tingkat makro, audit memberi dampak positif yang sangat penting. Audit yang dilakukan secara efektif akan menghasilkan laporan keuangan auditan yang berkualitas, relevan dan handal atau reliable. Dengan demikian, pasar modal yang menggunakan informasi yang dihasilkan laporan keuangan sebagai sumber informasi utamanya, akan dapat berjalan secara efisien. Pasar modal yang efisien akan 7 menghasilkan alokasi sumber daya yang efisien pula sehingga perekonomian nasional akan berjalan secara efisien. 2) Manfaat audit dari sisi pengawasan a) Preventive Controll Tenaga akuntansi akan bekerja lebih berhati-hati dan akurat bila mereka menyadari akan audit. b) Detective Controll Suatu penyimpangan atau kesalahan yang terjadi lazimnya akan dapat diketahui dan dikoreksi melalui suatu proses audit. c) Reporting Controll Setiap kesalahan perhitungan, penyajian, atau pengungkapan yang tidak dikoreksi dalam keuangan akan disebutkan dalam laporan pemeriksaan. Dengan demikian pembaca laporan keuangan terhindar dari informasi yang keliru atau menyesatkan. 2.1.6 Tahapan Audit Laporan Keuangan Menurut Al. Haryono (2001 : 169) proses audit dalam laporan keuangan baik audit pada perusahaan besar maupun kecil selalu terdapat empat tahapan kegiatan yaitu: 1) Penerimaan Penugasan Tahap awal dalam suatu audit laporan keuangan adalah mengambil keputusan untuk menerima atau menolak suatu kesempatan menjadi auditor bagi klien lama atau klien yang sudah pernah diaudit. Pada tahap 8 ini hanya standar umum dari standar auditing yang perlu diterapkan. Pada umumnya keputusan untuk menerima atau menolak ini sudah dilakukan sejak enam hingga sembilan bulan sebelum akhir tahun buku yang akan diperiksa. 2) Perencanaan Audit Tahap kedua dari suatu audit menyangkut penerapan strategi audit untuk pelaksanaan dan penentuan lingkup audit. Penerapan merupakan tahap yang paling sulit dan sangat menentukan keberhasilan penugasan audit. Dalam tahap ini perlu diterapkan standar umum dan standar pekerjaan dari standar auditing. Perencanaan audit biasanya dilakukan antar tiga hingga enam bulan sebelum akhir tahun buku klien. 3) Pelaksanaan Pengujian Audit Tahap ketiga dalam laporan keuangan adalah melaksanakan pengujian audit (audit test). Tahap ini sering disebut juga sebagai pelaksanaan pekerjaan lapangan. Tujuan utama tahap ini adalah mendapatkan bukti mengenai efektivitas struktur pengendalian intern klien dan kewajaran laporan keuangannya. Pada tahap ini harus diterapkan standar umum dan standar lapangan dari standar audit 4) Pelaporan Temuan Tahap terakhir dari suatu audit adalah pelaporan temuan. Laporan audit dapat berupa laporan standar yaitu laporan audit dengan pendapat wajar 9 tanpa pengecualian, atau bisa juga menyimpang dari laporan standar. Pada tahap ini harus dilaksanakan standar umum dan standar pelaporan dari standar auditing. Laporan audit biasanya antar satu hingga tiga minggu setelah berakhirnya pekerjaan lapangan. 2.1.7 Laporan Keuangan Laporan keuangan menjadi salah satu alat yang digunakan oleh penggunanya untuk mengambil suatu keputusan, dalam laporan keuangan berisi informasiinformasi penting mengenai kinerja dari perusahaan tersebut. Menurut Standar Akuntansi Keuangan (2012:1) laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi neraca, laba rugi, laporan perubahan posisi keuangan (yang dapat disajikan dalam berbagai cara misalnya sebagai laporan arus kas, dan laporan arus dana). Menurut Setiawan (2013), laporan keuangan perusahaan merupakan salah satu sumber informasi yang penting disamping informasi lain seperti informasi industri, kondisi perekonomian, pangsa perusahaan, kualitas manajemen dan lainnya. Berbeda dengan setiawan, menurut Zaki Baridwan (2013: 17), laporan keuangan merupakan ringkasan dari suatu proses pencatatan, merupakan suatu ringkasan dari transaksi-transaksi keuangan yang terjadi selama tahun buku yang bersangkutan. Laporan keuangan ini dibuat oleh manajemen dengan tujuan untuk mempertanggungjawabkan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya oleh para pemilik perusahaan. Laporan keuangan juga dapat digunakan untuk memenuhi tujuan 10 lain yaitu sebagai laporan kepada pihak-pihak yang berkepentingan di luar perusahaan.Berdasarkan hal tersebut, informasi yang terkandung dalam laporan keuangan tersebut haruslah lengkap dan jelas serta dapat menggambarkan secara tepat kejadian-kejadian ekonomi dalam perusahaan yang berpengaruh terhadap hasil operasi usaha tersebut. Konsep pengungkapan yang umumnya diusulkan adalah pengungkapan yang cukup (adequate), wajar (fair), dan lengkap (full) (Lestari, 2010: 16). Dalam Standar Akuntansi Keuangan (2012: 5) yang diterbitkan oleh Ikatan Akuntan Indonesia disebutkanterdapat empat karakteristik kualitatif pokok dalam laporan keuangan yaitu: 1) Dapat Dipahami Kualitas penting informasi dalam laporan keuangan adalah kemudahannya untuk dapat dipahami oleh pengguna. Dalam hal ini, pengguna diasumsikan memiliki pengetahuan yang memadai tentang aktivitas ekonomi dan bisnis, akuntansi, serta kemauan untuk mempelajari informasi dengan ketekunan yang wajar. 2) Relevan Informasi yang relevan yaitu informasi dapat memenuhi kebutuhan pengguna dalam proses pengambilan keputusan. Informasi memiliki kualitas relevan apabila dapat mempengaruhi keputusan ekonomi pengguna, dengan membantu mengevaluasi peristiwa masa lalu, masa kini dan masa depan, menegaskan atau memperbaiki harapan yang dibuat sebelumnya, tersedia tepat waktu bagi 11 pengambil keputusan sebelum kehilangan kesempatan atau untuk mempengaruhi keputusan yang diambil. 3) Keandalan Informasi harus bersifat andal (reliable). Informasi memiliki kualitas andal jika bebas dari pengertian yang menyesatkan, kesalahan material, dan dapat diandalkan penggunaannya sebagai penyajian yang tulus atau jujur (faithful representation) dari yang seharusnya disajikan atau yang secara wajar diharapkan dapat disajikan. 4) Dapat dibandingkan Pengguna harus dapat memperbandingkan laporan keuangan perusahaan antar periode untuk mengidentifikasikan kecenderungan (trend) posisi dan kinerja keuangan. Pengguna juga harus dapat memperbandingkan laporan keuangan antar perusahaan untuk mengevaluasi posisi keuangan, kinerja, serta perubahan posisi keuangan secara relatif. Ketaatan pada standar akuntansi keuangan, termasuk pengungkapan kebijakan akuntansi yang digunakan oleh perusahaan dapat membantu dalam mencapai karakteristik ini. 2.1.8 Audit Delay Audit delay didefinisikan sebagai lamanya waktu penyelesaian audit yang diukur dari tanggal penutupan tahun buku, hingga tanggal diselesaikannya laporan auditor independen (Wiwik Utami, 2006). Lamanya waktu audit ini dihitung dari selisih tanggal laporan keuangan tahunan perusahaan sampai dengan tanggal laporan 12 auditor independen yang dikeluarkan oleh Kantor Akuntan Publik (Prasongkoputra, 2013). Hal ini sesuai dengan definisi Yuliyanti (2011: 13), dimana audit delay adalah waktu antara tanggal laporan keuangan dan laporan audit. Informasi yang mempunyai nilai tinggi dapat menjadi informasi yang tidak relevan apabila tidak tersedia pada saat dibutuhkan atau tepat pada waktunya. Ketepatan waktu dalam menyampaikan laporan keuangan dan keakuratannya sangat mempengaruhi nilai manfaat bagi penggunanya, sehingga laporan keuangan harus disajikan tepat pada waktunya. Menurut Ashtonet.al. (1987) yang didukung oleh Lawence dan Bryan (1998) menyatakan bahwa proses audit sangat memerlukan waktu yang berakibat adanya audit delay yang nantinya akan sangat berpengaruh pada ketepatan waktu pelaporan keuangan. Semakin panjang audit delay maka akan berdampak negatif, karena informasi yang terkandung dalam laporan keuangan tersebut akan mengurangi nilai manfaatnya karena tidak lagi relevan bagi para pengguna informasi keuangan tersebut dalam hal di sini adalah investor. Givoly dan Palmon (1992) menyatakan lamanya waktu penyelesaian audit akan dapat mempengaruhi ketepatan waktu publikasi informasi keuangan auditan, sehingga berdampak pada reaksi pasar terhadap keterlambatan informasi tersebut dan mempengaruhi tingkat ketidakpastian keputusan yang didasarkan pada informasi yang dipublikasikan. Bamber dan Schoderbek (1993) menyatakan bahwa penundaan pelaporan keuangan dikaitkan dengan kesulitan finansial, adanya kontrak dalam proses dan usaha manajemen untuk menghindari penyelidikan dan ketidak percayaan investor. 13 Jadi dapat disimpulkan, bahwa ketepatwaktuan dalam penyampaian informasi merupakan kualitas yang berkaitan dengan ketersediaan informasi pada saat dibutuhkan. Lamanya waktu antara tanggal laporan keuangan dan laporan audit (audit delay) mencerminkan ketepatwaktuan penyampaian laporan keuangan. Ketepatwaktuan penyampaian informasi mengandung arti bahwa informasi tersedia sebelum kehilangan kemampuannya untuk mempengaruhi atau membuat perbedaaan dalam keputusan. 2.1.9 Ukuran Perusahaan Ukuran perusahaan merupakan pengukur yang menunjukkan besar atau kecilnya suatu perusahaan yang dapat dilihat dari jumlah aset yang dimiliki oleh perusahaan. Setiawan (2013), mengartikan ukuran perusahaan sebagai suatu skala dimana dapat diklasifikasikan besar kecil perusahaan dengan berbagai cara antara lain dinyatakan dalam total aktiva, nilai pasar saham, dan lain-lain. Chambers dan Pennman (1984), melakukan penelitian di Amerika menemukan bukti empiris bahwa ada hubungan terbalik antara ukuran perusahaan dengan audit delay. Machfoedz (dalam Indriani, 2014), menyebutkan pada dasarnya Ukuran Perusahaan terbagi pada tiga kategori, yaitu perusahaan besar (large firm), perusahaan menengah (medium size), dan perusahaan kecil (small firm). Penentuan perusahaan ini didasarkan pada total aset perusahaan, kategori ukuran perusahaan yaitu: 14 1) Perusahaan Besar Perusahaan besar adalah perusahaan yang memiliki kekayaan bersih lebih besar dari Rp 10 Milyar termasuk tanah dan bangunan. Memiliki penjualan lebih dari Rp50Milyar/tahun. 2) Perusahaan Menengah Perusahaan menengah adalah perusahaan yang memiliki kekayaan bersih Rp 110 Milyar termasuk tanah dan bangunan. Memiliki hasil penjualan lebih besar dari Rp 1 Milyar dan kurang dari Rp 50 Milyar. 3) Perusahaan Kecil Perusahaan kecil adalah perusahaan yang memiliki kekayaan bersih paling banyak Rp 200 juta tidak termasuk tanah dan bangunan dan memiliki hasil penjualan minimal Rp 1Milyar/tahun. 2.1.10 Profitabilitas Profitabilitas mencerminkan suatu keberhasilan perusahaan dalam memperoleh keuntungan dari kegiatan operasionalnya. Menurut Hanafi dan Halim (2000), profitabilitas mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan (profitabilitas) pada tingkat penjualan, aset, dan modal saham tertentu. Profitabilitas merupakan suatu indikator kinerja yang dilakukan oleh manajemen dalam mengelola kekayaan perusahaan yang ditunjukan oleh laba yang dihasilkan. Secara garis besar laba yang dihasilkan perusahaan berasal dari penjualan dan investasi yang dilakukan oleh perusahaan.Perusahaan tidak akan menunda penyampaian informasi yang berisi berita baik. Oleh karena itu, perusahaan yang mampu menghasilkan profit akan 15 cenderung mengalami audit delay yang lebih pendek, sehingga hal tersebut dapat segera disampaikan kepada para investor dan pihak-pihak yang berkepentingan (Indriani, 2014). Penelitian ini mengukur profitabilitas dengan menggunakan ROA karena dapat menilai apakah perusahaan telah efisien dalam menggunakan aktivanya pada kegiatan operasionalnya menghasilkan keuntungan. ROA (Return on Assets) adalah perbandingan antara jumlah laba yang dihasilkan terhadap asset yang digunakan, sehingga menunjukan sejumlah perusahaan mampu dalam menghasilkan laba dari sumber daya (asset) yang dimiliki. Dengan demikian kemungkinan Profitabilitas yang diukur dengan Return on Asset dapat mempengaruhi audit delay (Setiawan, 2013). Sedangkan Courtis (1976), tidak menemukan hubungan yang signifikan antara keterlambatan pelaporan dan ukuran perusahaan, umur, jumlah pemegang saham, dan panjang laporan tahunan di Selandia Baru. Tetapi, ditemukannya hubungan terbalik antara laba mutlak dan keterlambatan pelaporan pada penelitian tersebut. 2.1.11 Leverage Rasio leverage atau rasio solvabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa besar aset perusahaan dibiayai oleh utang. Menurut Kasmir (2009), rasio leverage digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila perusahaan dilikuidasi. 16 Menurut Brigham dan Houston (2009), rasio leverage memiliki tiga implikasi penting yaitu: a) Dengan memperoleh dana melalui utang, para pemegang saham dapat mempertahankan kendali mereka atas perusahaan tersebut sekaligus membatasi investasi yang mereka berikan. b) Kreditor akan melihat pada ekuitas, atau dana yang diperoleh sendiri, sebagai suatu batasan keamanan, sehingga semakin tinggi proporsi dari jumlah modal yang diberikan oleh pemegang saham, maka semakin kecil risiko yang harus dihadapi kreditor. c) Jika perusahaan mendapatkan hasil dari investasi yang didanai dengan dana hasil pinjaman lebih besar daripada bunga yang dibayarkan, maka pengembalian dari modal pemilik akan diperbesar, atau “diungkir” (leveraged). 2.1.12 Pergantian Auditor Pergantian auditor (auditor switching) adalah pergantian Akuntan Publik atau Kantor Akuntan Publik (KAP) yang dilakukan oleh perusahaan klien. Menurut Halim (1997), terdapat beberapa faktor penyebab dari adanya pergantian auditor yakni adanya merjer antara dua perusahaan yang memiliki kantor akuntan publik yang berbeda, ketidakpuasan atas kinerja kantor akuntan publik yang terdahulu, dan mungkin saja karena adanya merjer antar kantor akuntan publik. Secara garis besar terdapat dua faktor yang melatarbelakangi perusahaan dalam melakukan pergantian auditor yakni faktor dari internal perusahaan atau faktor klien 17 (client related factor) yang terdiri dari kesulitan keuangan, manajemen yang gagal, perubahan ownership, Initial Public Offering (IPO) dan faktor selanjutnya adalah faktor yang berasal dari eksternal perusahaan atau faktor auditor (auditor related factor) yang terdiri dari fee audit dan kualitas audit (Mardiyah, 2002). Hal ini dipertegas oleh Rahayu (2012), yang mengungkapkan dua pendekatan untuk mengetahui apa yang menyebabkan perusahaan memutuskan untuk melakukan pergantian Akuntan Publik atau Kantor Akuntan Publik (KAP) yaitu dari segi auditor dan segi perusahaan itu sendiri. Jika perusahaan mengganti auditornya bukan dalam kondisi yang mengharuskan ia untuk mengganti auditor, maka dapat diprediksi bahwa terdapat dua kemungkinan yang terjadi. Pertama, pihak auditor mengundurkan diri dari pekerjaannya atau yang kedua adalah pihak perusahaan memutus ikatan kontrak kepada auditor tersebut. Salah satunya mungkin akan terjadi diantara dua kemungkinan tersebut, namun fokus utama bukanlah pada hal itu melainkan apa saja alasan yang melatar belakangi perusahaan mengganti auditornya secara sukarela (voluntary) dan siapa yang akan menjadi auditor selanjutnya dari perusahaan tersebut. Menurut Wijayani (2011), alasan yang paling umum dari terjadinya pergantian auditor adalah tidak sepakatnya perusahaan sebagai klien pada praktik akuntansi tertentu yang dilakukan oleh auditor sehinggamenyebabkan perusahaan mengganti auditor terdahulu dengan auditor baru yang mampu sepakat dengan kebijakan dan praktik akuntansi perusahaan. 18 Nagy (2005) menyatakan bahwa, saat perusahaan mengganti auditornya ke auditor yang baru, tentu saja akan timbul ketimpangan informasi atau suatu keadaan yang sering dikenal sebagai asimetri informasi antara perusahaan dengan auditor yang baru. Hal ini disebabkan karena perusahaan memiliki informasi yang jauh lebih banyak dan lebih mencerminkan keadaan perusahaan sesungguhnya dibandingkan informasi yang dimiliki oleh auditor baru. Jika auditor menerima permintaan pelaksanaan penugasan audit oleh perusahaan, maka dapat diprediksi ada dua alasan yang mendasarinya. Pertama, auditor menerima permintaan tersebut karena memiliki akses yang cukup baik kepada auditor terdahulu sehingga dapat lebih mudah untuk meminta informasi mengenai keseluruhan usaha perusahaan. Alasan kedua, bisa saja auditor menerima permintaan pelaksanaan penugasan audit oleh perusahaan karena hal selain alasan pertama, contohnya adalah alasan finansial, padahal auditor baru ini belum tentu memahami dengan baik apa usaha dari perusahaan tersebut. 2.2 Rumusan Hipotesis Penelitian 2.2.1 Pengaruh Ukuran Perusahaan pada Audit Delay Penelitian yang dilakukan oleh (Carslaw dan Kaplan, 1991 dalam Prasongkoputra, 2013:30) meyatakan bahwa internal kontrol pada perusahaan besar lebih kuat dan terencana, sehingga membuat kemungkinan kesalahan pada laporan keuangan lebih sedikit dan memungkinkan auditor dapat mengandalkan informasi yang terdapat pada laporan keuangan. Penelitian yang dilakukan oleh Halim (2000) yang mengungkapkan bahwa, semakin besar ukuran perusahaan yang 19 diaudit maka audit delay akan semakin lama, ini berkaitan dengan semakin banyaknya sampel yang harus diambil dan semakin luas prosedut audit yang harus ditempuh. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Yuliyanti (2011); Ettredge (2009); Kartika (2009); Rachmawati (2008) yaitu ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap audit delay. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis pertama yang terbentuk yaitu: H1: Ukuran perusahaan berpengaruh positif pada audit delay. 2.2.2 Pengaruh Profitabilitas pada Audit Delay Perusahaan yang memiliki tingkat profitabilitas yang tinggi membutuhkan waktu audit lebih menyampaikan kabar cepat baik karena kepada adanya pertanggungjawaban untuk publik (Estrini, 2013). Profitabilitas pada penelitian ini menggunakan ROA, perusahaan dengan ROA yang tinggi berarti perusahaan telah menggunakan aset-asetnya secara efisien sehingga dapat menghasilkan laba yang tinggi bagi perusahaan maupun pemegang saham. Jadi, perusahaan memiliki insentif yang besar untuk menerbitkan laporan keuangan lebih cepat untuk memberikan sinyal positif kepada para pengguna laporan keuangan khususnya investor (Scott, 2010 dalam Prasongkoputra, 2013:62). Hal ini dapat dijelaskan dalam penelitian Purnamasari (2012), menyatakan tingkat profitabilitas perusahaan yang lebih tinggi membutuhkan waktu dalam pengauditan laporan keuangan lebih cepat dikarenakan keharusan untuk menyampaikan kabar baik secepatnya kepada publik. Hasil penelitian Prasongkaputra 20 (2013); Rachmawati (2008); Yulianty (2011); Aryati (2005) menejelaskan bahwa profitabilitas berpengaruh negatif signifikan terhadap audit delay. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis kedua yang terbentuk yaitu: H2: Profitabilitas tidak berpengaruh pada audit delay. 2.2.3 Pengaruh Leverage pada Audit Delay Menurut Kartika (2011), solvabilitas mencerminkan kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajiban perusahaan. Perusahaan dikatakan mampu apabila perusahaan mempunyai aktiva yang cukup untuk membayar semua hutangnya. Sebaliknya, apabila proporsi hutang lebih besar dari aktiva yang dimiliki perusahaan akan mengakibatkan kerugian dan dapat meningkatkan kehati-hatian dari auditor terhadap laporan keuangan yang akan diaudit. Kehati-hatian auditor dalam menyelesaikan audit laporan keuangan akan mengakibatkan keterlambatan dalam menyampaikan laporan keuangan kepada publik. Lianto dan Kusuma (2010) mengungkapkan proporsi hutang yang besar terhadap total aktiva akan meningkatkan kecenderungan kerugian dan dapat meningkatkan kehati-hatian auditor terhadap laporan keuangan yang akan diaudit, sehingga penyelesaian audit atas laporan keuangan dapat mengalami keterlambatan. Hasil penelitian yang dilakukan Silvia dan Wirakusuma (2013); Yuliyanti (2011); Lestari (2010:65) menjelaskan bahwa, variabel leverage berpengaruh positif terhadap lamanya audit delay. Berdasarkan uraian tersebut maka dapat disusun hipotesis ketiga sebagai berikut : 21 H3: Leverage berpengaruh positif pada audit delay. 2.2.4 Pengaruh Ukuran Perusahaan pada Audit Delay yang Dimoderasi oleh Pergantian Auditor Ukuran perusahaan merupakan suatu skala yang mengkasifikasikan besar kecilnya perusahaan yang berhubungan dengan financial perusahaan. Dimana perusahaan yang besar dipercayai dapat menyelesaikan kesulitasn-kesulitan keuangan yang dihadapinya daripada perushaan kecil (Mutchler, 1985). Perusahaan besar cenderung lebih mempunyai kendali internal yang lebih ketat sehingga memudahkan proses audit oleh auditor independen, sehingga dapat mengurangi audit delay (Habib dan Bhuiyan, 2011). Terlebih apabila ukuran perusahaan tersebut besar, maka perusahaan tentunya akan menginginkan pemilihan auditor yang memiliki kualitas yang tinggi, yang dapat menyebabkan terjadinya pergantian auditor. Hasil penelitan Setiawan (2013); Rachmawati (2008); Subekti dan Widiyanti (2004) menyatakan ukuran perusahaan berpengaruh signifikan pada audit delay. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis keempat adalah: H4: Pergantian auditor memperkuat pengaruh ukuran perusahaan pada audit delay. 2.2.5 Pengaruh Profitabilitas pada Audit Delay yang Dimoderasi oleh Pergantian Auditor Profitabilitas merupakan suatu tolak ukur kinerja keuangan yang dapat menggambarkan reputasi klien secara menyeluruh (Sartono, 2004). Profitabilitas dapat dilihat dari persentase perubahan Return on Assets (ROA), yang dapat 22 digunakan sebagai salah satu indikator untuk menilai kondisi keuangan perusahaan tersebut (Kartika, 2006; dalam Damayanti dan Sudarma, 2008). Persentase Perubahan ROA yang semakin besar menunjukkan semakin baik pula prospek bisnisnya. Hal itu dapat mendorong perusahaan untuk mengganti auditor karena kinerja keuangan perusahaan yang semakin membaik, perusahaan merasa mampu untuk membayar Kantor Akuntan Publik lain yang mungkin memiliki kualitas audit yang lebih baik dari Kantor Akuntan Publik yang dipakainya (Trisnawati dan Wijaya, 2009). Hasil penelitian yang dilakukan oleh Estrini (2013); Lestari (2010); dan Siwy (2012) menyatakan bahwa profitabilitas berpengaruh terhadap audit delay. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis selanjutnya adalah: H5: Pergantian auditor memperkuat pengaruh profitabilitas pada audit delay. 2.2.6 Pengaruh Leverage pada Audit Delay yang Dimoderasi oleh Pergantian Auditor Rasio leverage atau rasio solvabilitas adalah rasio yang digunakan untuk mengukur seberapa besar aset perusahaan dibiayai oleh utang. Menurut Kasmir (2009), rasio leverage digunakan untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk membayar seluruh kewajibannya baik jangka pendek maupun jangka panjang apabila perusahaan dilikuidasi. Manajer memiliki kesempatan untuk mengalihkan kesejahteraan debtholder dengan melakukan berbagai tindakan (Jensen dan Meckling, 1976). Berdasarkan hal tersebut, maka semakin meningkat jumlah utang, semakin terbuka kesempatan untuk mentransfer kesejahteraan menjauh dari 23 debtholder. Perjanjian utang yang umumnya bersumber pada informasi akuntansi kemudian disusun untuk membatasi pengalihan kesejahteraan itu. Pengauditan yang berkualitas selanjutnya dibutuhkan untuk meningkatkan reliabilitas informasi akuntansi yang digunakan untuk meverifikasi kepatuhan perusahaan terhadap perjanjian utang tersebut. Berdasarkan hal tersebut dapat memungkinkan timbulnya kecenderungan perusahaan untuk berganti ke auditor yang mempunyai kualitas lebih baik. Klien akan menginginkan KAP yang memiliki auditor berpengalaman dan mempunyai alat-alat yang canggih atau prosesing data elektronik yang canggih sehingga akan mengurangi terjadinya audit delay. Hasil penelitian Rachmawati (2008); Widiyanti dan Wirakusuma (2012); Sumartini (2014); dan Juanita (2012) menyatakan bahwa leverage tidak memiliki pengaruh terhadap audit delay. Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis selanjutnya adalah: H6: Pergantian auditor memperlemah pengaruh leverage pada audit delay. 24