BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Masalah Krisis likuiditas pada tahun 2008 menyebabkan ekspansi pada industri berjalan lambat pada tahun 2009. Pada tahun 2009 khususnya pada sub sektor otomotif, produksi mobil menurun hingga 22,6%. Masalah likuiditas pada tahun 2009 juga mengakibatkan perusahaan multifinansial menjadi selektif dalam menyalurkan kredit. Hal tersebut berakibat langsung pada penurunan penjualan kendaraan pada tahun 2009 sebesar 19,9% menjadi 483.548 unit dari 603.774 pada tahun 2008. (Datacon, 2008). Di sisi lain, Departemen Riset Finance Today mencatat bahwa sebelum ada isu tapering off Bank Sentral Amerika Serikat (AS) dalam kurun waktu kurang lebih lima tahun terakhir yaitu periode 2009 -2013 sektor aneka industri tumbuh hingga 490%. Terbukti saham-saham dari sektor aneka industri dan agribisnis tercatat masih mampu membukukan kinerja positif dalam kurun waktu 2009-2013.(Ift, 2015). Hal ini menunjukkan bahwa secara keseluruhan kondisi krisis tahun 2008-2009 dapat diperbaiki pada tahun-tahun berikutnya. Dari sumber diatas menunjukkan bahwa kinerja saham yang positif menggambarkan kepercayaan investor terhadap perusahaan artinya saham tersebut memberikan sinyal kepada investor bahwa perusahaan memiliki prospek bisnis yang baik. Kepercayaan investor terbentuk dari bagaimana kondisi keuangan dan prospek perusahaan tersebut. Menurut Ross (1977) tingkat hutang merupakan model sinyal perusahaan kepada investor, selain itu posisi ekuitas (Leland and Pyle, 1977) dan dividends (John and Williams, 1985). (Kwang Soo Cheong, 1999) Dalam sebuah perusahaan, investor bekerja sama dengan para manajer untuk membangun perusahaan. Penugasan manajer oleh pemegang saham dalam praktiknya seringkali menghadapi masalah y a n g 1 disebabkan oleh perbedaan 2 kepentingan antara manajer dengan pemegang saham. Manajer mempunyai kewajiban untuk memaksimumkan kesejahteraan para pemegang saham, namun disisi lain manajer juga mempunyai kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraan mereka. Penyatuan kepentingan pihak-pihak ini seringkali menimbulkan masalah yang disebut dengan masalah keagenan (agency problem). Jensen menyatakan bahwa konflik keagenan disebabkan antara dan Meckling lain (1976) oleh pembuatan keputusan aktivitas pencarian dana (financing decision) dan pembuatan keputusan bagaimana dana tersebut diinvestasikan. Menurut Husnan dan Pudjiastuti (2002: 12) masalah keagenan sering terjadi pada perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas (PT) yang sering kali terjadi pemisahan antara pengelola perusahaan (pihak manajemen) dengan pemilik perusahaan (pemegang saham). Disamping itu, untuk perusahaan yang berbentuk Perseroan Terbatas tanggung jawab hanya terbatas pada modal yang disetorkan, artinya apabila perusahaan mengalami kebangkrutan, disetorkan oleh maka modal (ekuitas) yang telah pemilik perusahaan mungkin sekali akan hilang, tetapi harta kekayaan pribadi tidak akan diikutsertakan untuk menutup kerugian tersebut. Dengan demikian memungkinkan masalah-masalah keagenan (agency problems). Untuk menghindari agency problem yang terjadi di perusahaan, perusahaan biasanya mengeluarkan sejumlah biaya yang disebut biaya keagenan (Agency cost). Menurut Jensen dan Meckling (1976) agency cost merupakan jumlah dari biaya yang dikeluarkan principal untuk melakukan pengawasan terhadap agen. Menurut Weston dan Brigham (2001:21) agency cost merupakan biaya yang berkaitan dengan monitoring kegiatan manajemen untuk menjamin bahwa kegiatan tersebut konsisten dengan kontrak perjanjian antara manajer, pemegang saham dan kreditur. Jensen dan Meckling (1976) menyatakan bahwa terdapat tiga macam biaya keagenan (agency cost), diantaranya adalah Bonding cost, Monitoring cost dan Residual loss. Biaya tersebut bukanlah biaya yang kecil untuk sebuah perusahaan, namun biaya tersebut diharapkan mampu menekan agency problem. Monitoring cost merupakan salah satu proksi agency cost. Menurut Jensen dan 3 Meckling (1976) monitoring cost berarti biaya yang harus dikeluarkan dan ditanggung oleh principal (pemilik) untuk memonitoring perilaku agen. Selama kurun waktu 2009 – 2013 perusahaan manufaktur khususnya aneka industri bidang otomotif mengalami fluktuasi terutama pada tahun 2009. Berikut ini data monitoring cost disajikan dalam bentuk grafik: Rata-rata Monitoring Cost Perusahaan Sub Sektor Otomotif Listing di BEI Periode 2009-2013 10,60% Monitoring Cost 10,40% 10,20% 10,00% 9,80% 9,60% 9,40% 9,20% 9,00% Series1 2009 10,59% 2010 9,82% 2011 9,63% 2012 9,79% 2013 9,96% Data Diolah. Sumber: www.idx.co.id Gambar 1.1. Monitoring cost Perusahaan Sub Sektor Otomotif Listing di BEI Periode 2009 -2013 Semakin tinggi rasio monitoring cost, berarti semakin tinggi biaya keagenan yang dikeluarkan perusahaan tersebut. Dari gambar 1.1. menunjukkan bahwa pada tahun 2009 angka monitoring cost ialah yang paling tinggi diantara tahun-tahun setelahnya. Ini menunjukkan bahwa perusahaan pada tahun tersebut sedang mengalami masalah agency yang tinggi dibanding tahun berikutnya. Jika dilihat dari gambar 1.1. pada tahun 2009 Indonesia mengalami permasalahaan dalam likuiditas pada beberapa perusahaan multifinansial yang menyebabkan terbatasnya penyaluran kredit kendaraan bermotor, hal ini berakibat langsung pada penurunan penjualan kendaraan bermotor. (Datacon,2009). 4 Sedangkan, tahun 2010 merupakan awal perbaikan dari kondisi krisis pada tahun 2009, dimana monitoring cost berhasil ditekan oleh perusahaan, ini juga menunjukkan bahwa pada tahun 2010, merupakan awal pembaharuan industri otomotif yang ditandai dengan peningkatan penjualan dari tahun sebelumnya. Pada tahun ini juga rupiah mengalami penguatan terhadap Dollar Amerika, sehingga menguatkan daya beli masyarakat Indonesia khususnya unit kendaraan bermotor. Hal ini juga berdampak pada industri komplementer kendaraan bermotor, dimana penjualan kian meningkat. Tercatat peningkatan penjualan di pasar domestik pada triwulan pertama sebesar 72.5% jika dibandingkan pada periode yang sama di tahun 2009. (Datacon, 2010). Pada Tahun 2011, monitoring cost menurun sebesar 0,19% dari tahun 2010. Beberapa perusahaan manufaktur sedang melakukan ekspansi bisnis dengan membangun beberapa pabrik atau gudang baru, demi mempersiapkan diri memperluas dan memperkuat pasar menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean, seperti PT. Astra Otoparts yang pada tahun 2011 menjalin kerjasama dengan perusahaan ban ternama Pirelli untuk membangun manufaktur ban kendaraan bermotor. (Datacon,2011). Meskipun beberapa pada tahun tersebut ada beberapa perusahaan yang mengalami ekspansi bisnis namun ternyata terjadi penurunan rata-rata monitoring cost sebesar 2% dari tahun sebelumnya yaitu tahun 2010 sebesar 9,82% . Ini menunjukkan bahwa adanya kenaikan penjualan yang lebih besar dari kenaikan beban usahanya. Pada tahun 2012, perusahaan PT. Goodyear Indonesia, Tbk merupakan salah satu perusahaan manufaktur yang pada tahun ini mengalami kenaikan monitoring cost ratio sebesar 0,16% dari tahun 2011 (data diolah dari www.idx.co.id). Hal ini terutama disebabkan oleh biaya iklan dan promosi yang lebih tinggi dibandingkan dengan 2011 karena upaya berkelanjutan Perusahaan untuk mendukung gerai ritel bermerek, seperti Tire Center, Sentraservis dan Autocare. Sementara Beban Umum dan Administrasi sebesar US$ 6.354.786 atau meningkat US$ 1.591.481 atau 25,04% lebih tinggi dibandingkan 2011, peningkatan tersebut disebabkan oleh kenaikan gaji, biaya konsultan, dan biaya regional administratve charges yaitu sebesar 5.01%. (Data diperoleh dari Laporan Tahunan PT. Goodyear Indonesia, Tbk Tahun 2012, (Idx, 2012). 5 Pada Tahun 2013, terlihat kenaikan monitoring cost perusahaan manufaktur otomotif terdaftar di BEI yaitu sebesar 0,17% dari tahun sebelumnya yaitu 2012 sebesar 9,79%. Pada tahun tersebut Pemerintah meluncurkan kebijakan “Program Produksi”. Program tersebut mendorong perusahaan untuk melakukan produksi massal, hal ini berdampak pada peningkatan beban penjualan dan beban umum pada perusahaanperusahaan terkait. Meskipun terjadi rata-rata kenaikan penjualan sebesar 8% (data diolah dari laporan keuangan www.idx.co.id), namun kenaikan tersebut tidak dapat mengimbangi kenaikan beban usaha sebesar 15% (data diolah dari laporan keuangan www.idx.co.id), hal itu yang mengakibatkan rasio monitoring cost meningkat. Hasil “Kebijakan Produksi” tersebut berupa pelaksanaan yang memunculkan produk kendaraan emisi rendah karbon dan ramah lingkungan yang sudah masuk pasar, di antaranya Astra Toyota Agya, Astra Daihatsu Ayla, Honda Brio Satya, Suzuki Wagon R, dan Datsun Go+ Panca. (Gaikindo, 2013 ) Untuk mengatasi permasalahan agensi beberapa ahli berpendapat diantranya ialah dengan meningkatkan dividend dan kebijakan leverage (Jensen dan Meckling, 1976). Cara pertama yang dapat kebijakan dividend. digunakan oleh pemegang Kebijakan dividend adalah saham adalah bersangkutan dengan dengan penentuan pembagian pendapatan (earning) antara penggunaan pendapatan untuk dibayarkan kepada pemegang saham sebagai dividend atau digunakan di dalam perusahaan, yang berarti pendapatan tersebut har us ditahan di dalam perusahaan Riyanto (2001:265). Kebijakan dividen bukan ditentukan oleh manajemen tetapi oleh pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) sehingga besar kecilnya dividen yang dibagikan sangat tergantung pada keinginan pemegang saham Putra (2008). Bhattacharya dalam Putra (2008: 2) menyatakan bahwa pemegang saham memiliki kecenderungan untuk lebih menyukai dividen yang dibagikan dalam jumlah yang relatif besar, karena memiliki tingkat kepastian yang tinggi dibandingkan masih ditahan dalam bentuk laba ditahan. Selain itu dividen yang relatif tinggi menyebabkan jumlah dana yang dikendalikan oleh manajemen menjadi relatif kecil. Namun, pembagian dividen yang 6 tinggi kurang disukai oleh manajemen karena akan mengurangi utilitas manajemen yang disebabkan oleh semakin kecil dana yang berada dalam pengendaliannya. Hal ini sesuai dengan residual theory of cash Dividend yang dikemukan oleh Karen dalam Putra (2008:3) menyatakan bahwa kelebihan kas yang ada seharusnya dibagikan dalam bentuk dividen, tetapi manajemen tidak suka membagikan laba yang diperoleh dalam bentuk dividen dan lebih suka untuk diperlakukan sebagai laba ditahan, kecuali manajemen tahu bahwa dana tersebut tidak memberikan net present value (NPV) yang positif pada tambahan investasi. Laba ditahan dapat dipergunakan untuk reinvestasi atau membayar utang perusahaan. Timbulnya konflik keagenan ini memaksa pihak prinsipal untuk melakukan pengawasan terhadap manajemen dengan tujuan meminimalkan kecurangan-kecurangan (moral hazard) yang dapat dilakukan oleh pihak manajemen. Menurut Jensen dan Meckling (1976) cara lain dalam menengahi permasalahan agensi adalah dengan meningkatkan utang. Argumen tersebut didukung oleh pernyataan bahwa dengan meningkatnya utang akan semakin kecil porsi saham yang akan dijual perusahaan dan semakin besar hutang perusahaan maka semakin kecil dana menganggur yang dapat dipakai perusahaan untuk pengeluaran-pengeluaran yang kurang perlu. Leverage adalah penggunaan asset dan sumber dana oleh perusahaan yang memiliki dengan maksud agar meningkatkan keuntungan potensi pemegang saham, Sartono (2001:257). Semakin harus mencadangkan besar utang maka perusahaan lebih banyak kas untuk membayar bunga serta pokok pinjaman. Dalam hal ini adanya utang akan dapat mengendalikan penggunaan free cash flow secara berlebihan oleh manajemen. Menurut Jensen (1986) mekanisme untuk mengurangi free cash flow ini dikelompokan sebagai bonding, yaitu suatu mekanisme yang dipakai manajer untuk membuktikan bahwa mereka tidak akan menghamburkan dana perusahaan dan mereka berani mengambil risiko kehilangan pekerjaan jika tidak bisa mengelola perusahaan dengan serius. Disisi pemegang saham, kebijakan peningkatan utang dapat mengurangi terhadap manajemen karena pihak ketiga pengawasan yang meminjamkan dana 7 (bondholder) akan melakukan pengawasan terhadap manajemen agar pinjamannya tidak disalahgunakan. Konflik antara manajemen dan pemegang saham yang berhubungan dengan keputusan keuangan seperti kebijakan dividen dan leverage telah diteliti oleh beberapa peneliti diantaranya Dewenter dan Warter dalam Putra (2008) meneliti tentang konflik antara manajemen dan pemegang saham atas kebijakan dividen untuk perusahaan di USA dan Jepang. Crutchley dan Hensen (1989) meneliti penerapan teori keagenan dalam menjelaskan pengaruh kepemilikan manajerial, leverage, dan kebijakan dividen pada peningkatan utilitas manajemen. Hasil dari penelitian Crutchley dan Hensen (1989) adalah mendukung teori keagenan tentang bagaimana para manajer memaksimalkan utilitas melalui kepemilikan saham, tingkat leverage, dan pembayaran dividen. Ha si l te rsebut didukung j uga ol eh ha sil pe ne nl it ia n ya ng di la kuka n Putra (2008) da n Rake sh (2013) di ma na ha si l pe ne lit a nnya m e nya ta ka n bahwa Le ve ra ge berpenga ruh ne ga ti ve te rha da p agency c ost . Schooley et al. (1994) meneliti tentang kebijakan dividen dan kepemilikan saham sebagai alat untuk menurunkan biaya keagenan. Temuan empiris dari penelitian Schooley et al. (1994) adalah kepemilikan saham dan kebijakan dividen berhubungan negatif dengan biaya keagenan. Sponholtz (2005) dalam Putra (2008: 3) menyatakan bahwa dividen dapat dijadikan alat untuk meminimalkan jumlah free cash flow untuk manajemen. Asymetri informasi yang terjadi antara manajemen dan pemegangsaham atas pembagian dividend diuji dengan menggunakan teori sinyal. Namun, hasil penelitian Putra (2008) menyatakan bahwa kebijakan dividend tidak berpengaruh terhadap agency cost. Hasil ini bertentangan dengan Schooley (1994) dan Sponholtz (2005). Berdasarkan studi empiris dan data diatas, penelitian ini bermaksud untuk meneliti pengaruh tingkat Leverage dan kebijakan Dividend, terhadap Agency cost pada perusahaan sub sektor otomotif terdaftar di BEI periode 2009 – 2013. 8 1.2. Identifikasi Masalah Dari latar belakang tersebut diatas disebutkan bahwa Leverage dan Kebijikan Dividend merupakan bentuk mekanisme untuk mengurangi biaya keagenan (Agency cost). Dengan meningkatkan leverage dan dividend maka akan mengurangi ketersediaan free cash flow, dimana free cash flow tersebut merupakan sumber dana manajemen untuk melakukan investasi maupun untuk memperkaya diri manajemen tanpa berpikir kepentingan pihak pemegang saham. Oleh karena itu, pokok permasalahan yang akan diteliti adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh Leverage dan Kebijakan Dividend terhadap Agency Cost secara simultan? 2. Bagaimana pengaruh Leverage,dan Kebijakan Dividend terhadap Agency Cost secara parsial? 1.3.Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang disampaikan, maka yang menjadi tujuan penelitian adalah : 1. Untuk mengetahui pengaruh Leverage dan Kebijakan Dividend terhadap Agency Cost secara simultan. 2. Untuk mengetahui pengaruh Leverage dan Kebijakan Dividend terhadap Agency Cost secara parsial. 1.4. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat bagi pihak-pihak yang berkepentingan, adapun manfaat yang diharapkan antara lain: 1) Kegunaan Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan di bidang akuntansi khususnya mengenai biaya keagenan. Selain itu, dapat menjadi acuan bagi mahasiswa yang akan melakukan penelitian pada bidang yang sama. 9 2) Kegunaan Praktis Penelitian mengenai biaya keagenan sangat penting dipahami oleh praktisi untuk membantu pengambilan keputusan terkait penggunaan dana pinjaman dan alokasinya. Kemudian, manfaat untuk para Investor sebagai bahan pertimbangan dalam berinvestasi pada perusahaan menimbang tingkat perputaran modal dan dividend yang dibagikan. 3) Kegunaan Penulis Penelitian mengenai biaya keagenan sangat penting bagi para penulis untuk mengetahui sejauh mana tingkat leverage dan kebijakan dividend dapat menekan agency cost. 1.5. Lokasi dan Waktu Penelitian Penelitian ini dilakukan selama kurun waktu Juni 2015 sampai dengan September 2015. Penelitian ini menggunakan data sekunder dari perusahaan manufaktur terdaftar di BEI (Bursa Efek Indonesia) dan ICMD (Indonesian Capital Market Directory), dengan waktu penelitian sebagai berikut: Tabel 1.1. Waktu Penelitian No Kegiatan 1 I 1 Persiapan 2 Pengumpulan Data Awal 3 Bab I - Tabulasi 4 Bab II 5 Bab III 6 Bab IV - Pengumpulan Data - Tabulasi - Perhitungan dan Analisa 7 Bab V 8 Sidang Skripsi 9 Perbaikan Skripsi 10 Penggandaan Skripsi II III IV I Bulan 2 II III 3 IV I II III IV