Indonesia adalah daerah pertemuan rangakaian mediterania dan

advertisement
DWI MYNA INDARTI
10502077
FAKULTAS PSIKOLOGI
STRES PASCA TRAUMA PADA
SURVIVOR BENCANA GEMPA
BUMI DI YOGYAKARTA
ABSTRAKSI
Peristiwa gempa bumi yang
terjadi di Yogyakarta pada 27 Mei 2006
menimbulkan permasalahan, seperti
pengungsian dan kerusakan
infrastruktur tetapi peristiwa gempa
tersebut dapat menimbulkan trauma.
Trauma yang diderita dan masih
tersimpan dalam waktu yang lama dapat
mengakibatkan stres pasca trauma.
Stres pasca trauma yang timbul dapat
merubah perilaku seseorang yang telah
mengalami peristiwa traumatis.
Khususnya pada anak-anak kejadian
peristiwa traumatis dapat merubah
perilaku bahkan dapat menghambat
perkembangan baik dalam kehidupan
sosial, akademis dan psikologisnya.
1. PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia
adalah
daerah
pertemuan
rangakaian
mediterania
dan
rangkaian
pasifik,
dengan
proses
pembentukan pegunungan yang
masih berlangsung, hal ini yang
menyebabkan
di
Indonesia
banyak terjadi gempa bumi.
Tanggal 27 Mei 2006, terjadi
satu peristiwa alam yang
menyebabkan kerusakan yang
cukup parah di Daerah Istimewa
Yogyakarta
dan
sekitarnya.
Masalah-masalah yang timbul di
daerah bencana sangat kompleks.
Begitu juga bencana yang terjadi
di Yogyakarta. Selain masalah
pengungsi,
kerusakan
infrastruktur, terputusnya jalur
transportasi dan komunikasi
menjadi
masalah
kompleks
lainnya.
Kerusakan-kerusakan
fisik tersebut meninggalkan luka
bagi mereka yang mengalami
langsung peristiwa bencana
gempa bumi tersebut, yang dapat
berdampak psikis pada individu
khususnya anak-anak, inilah
yang kemudian yang dapat
memicu datangnya trauma bagi
mereka.
Menurut
Monahan
(1993), trauma terjadi secara
mendadak dan luar biasa.
Peristiwa yang terjadi diluar
memaksa
seseorang
untuk
menguasai dan menghadapi
perasaannya. Trauma adalah
kejadian yang tidak dapat
dipertimbangkan, kengerian dan
terkejut bercampur menjadi satu
dalam peristiwa yang terjadi
dalam waktu yang singkat.
Bencana yang terjadi begitu
cepat membuat para korban
merasa bingung. Timbulnya
perilaku-perilaku aneh sangat
beralasan,
bukan
hanya
dikarenakan terjadinya bencana
gempa bumi melainkan karena
begitu banyaknya penderitaan
yang dialami. Bencana yang
mengakibatkan
hilangnya
kepemilikan materi dan keluarga
dalam sekejap, apalagi dalam
jumlah besar, sangat potensial
menggoreskan trauma yang
sangat dalam bagi orang dewasa,
khususnya anak-anak. Mereka
yang merasakan penderitaan ini
sangat wajar jika mengalami
gangguan seperti bingung, sedih,
takut dan merasa kehilangan.
Dalam DSM III dan IV serta
Pedoman Penggolonggan dan
Diagnosis Gangguan Jiwa III di
Indonesia dinyatakan gejala yang
ditemukan pada mereka itu
menggambarkan suatu stres yang
terjadi berbulan-bulan bahkan
bertahun-tahun (Kompas, Januari
2006). Terdapat beberapa gejala
stres pasca trauma, yaitu respon
emosi yang tumpul, lepas atau
berkurang, merasa bahwa dirinya
tidak nyata, tidak mampu
mengingat bagian yang penting
dari peristiwa traumatik itu
sendiri (Medicastore, 2006).
Dengan mempelajari stres pasca
trauma yang dialami oleh korban
yang selamat, semakin dapat
memahami stres pasca trauma
pada anak secara pribadi.
Begitupun dengan konsep hilang
ingatan
dan
penyembuhan
memori, hal ini dapat diketahui
pada orang-orang yang selamat.
Hal ini mengundang perhatian
bahwa fakta yang terlihat ialah
hilang
ingatan
(gangguan
berkurangnya memori yang lain)
mengikuti banyak macam stres
pasca trauma. Sebagai contoh
amnesia atau hilang ingatan,
peristiwa yang terjadi telah
didokumentasikan dengan baik
oleh korban yang selamat dan
mengalami
trauma,
yang
diakibatkan oleh bencana alam
seperti banjir dan gempa bumi,
saksi dalam pembunuhan atau
tindak kejahatan yang kejam, dan
korban akibat dari operasi militer
(Cameron, 2000).
Tujuan Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui gambaran stres pasca
trauma pada anak yang menjadi
korban dan mengalami bencana
gempa. Penelitian ini juga
bertujuan untuk mengetahui
faktor-faktor
lain
yang
menyebabkan stres pasca trauma
pada anak korban bencana gempa
bumi.
Manfaat Penelitian
Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan
dapat memberikan masukan yang
bermanfaat bagi perkembangan
ilmu
psikologi
khususnya
psikologi klinis mengenai kondisi
stres pasca trauma pada korban
yang mengalami bencana gempa.
Dan untuk penelitian selanjutnya,
diharapkan
dapat
mengembangkan
dan
menambahkan
faktor-faktor
penyebab stress pasca trauma.
Manfaat Praktis
Memberikan
manfaat
dan
kemudahan bagi masyarakat,
psikolog, sukarelawan,
untuk
mengetahui gambaran stres pasca
trauma dan faktor-faktor stres
pasca
pada
korban
yang
mengalami bencana gempa.
Sehingga dapat lebih cepat dan
tanggap dalam mengatasi korban
yang mengalami stres pasca
trauma yang diakibatkan karena
bencana gempa bumi.
2. TINJAUAN PUSTAKA
Stress Pasca Trauma
Pengertian Stres Pasca Trauma
Stres pasca trauma adalah gejalagejala yang timbul pada diri
individu yang mengalami suatu
peristiwa yang terjadi secara
mendadak dan luar biasa.
Peristiwa tersebut menimbulkan
ketakutan dan perasaan tidak
berdaya.
Faktor-faktor
Pasca Trauma
Penyebab
Stres
Menurut Naqiyah (2005) faktorfaktor yang meyebabkan terjadinya
stres pasca trauma ialah :
Tekanan lingkungan yang telah
hancur dapat menjadi faktor stres
pasca trauma seperti akibat suatu
bencana,
seperti
hancurnya
rumah akibat bencana gempa
bumi, banjir, tsunami, kerusuhan.
Kematian
seseorang
yang
dicintai, dapat menjadi faktor
penyebab terjadinya stres pasca
trauma seperti kematian orang
tua, adik, kakak, saudara, kakek,
nenek.
Kecelakaan dapat menjadi faktor
penyebab stress pasca trauma
karena dari kecelakaan tersebut
seseorang atau kelompok yang
mengalami seperti kecelakaan
kapal laut maka tidak mau lagi
menaiki atau menggunakan jasa
kapal laut.
Peledakan,
kebakaran
pada
peristiwa ini seseorang atau
kelompok mengalami stres pasca
trauma
dengan
api
yang
menyebabkan
terjadinya
peledakan ataupun kebakaran.
Bencana alam (gempa bumi,
angin puyuh, letupan gunung
berapi,
dan
sebagainya),
seseorang atau kelompok dapat
mengalami stress pasca trauma
setelah mengalami bencana alam,
seperti gempa bumi maka orang
atau kelompok yang mengalami
bencana tersebut akan bersikap
tidak normal jika mendapat
stimulus yang sama dengan
kejadian gempa bumi atau
terhadap getaran – getaran yang
cukup dapat dirasakan.
Pengalaman yang mengerikan
(perampokan,
perkosaan,
penodongan, dan sebagainya),
seseorang dapat mengalami stres
pasca trauma karena pengalaman
mengerikan misalkan setelah
mengalami suatu penodongan,
perampokan ataupun perkosaan,
maka orang tersebut akan selalu
merasa tidak aman dimanapun ia
berada.
Perceraian dapat menyebabkan
stres
pasca
trauma
pada
seseorang yang mengalaminya,
akan
menghindari
suatu
hubungan yang sifatnya mengikat
atau anak yang mengalami
perceraian orang tuanya, dapat
merubah konsep diri karena
melihat
dan
merasakan
perpisahan kedua orang tuanya.
Karakteristik
Stres
Pasca
Trauma berdasarkan DSM IV
:
Individu-individu
yang
mengalami kejadian traumatis
yang ditunjukkan oleh hal-hal
berikut :
Individu
tersebut
pernah
mengalami, menyaksikan atau
berhadapan langsung dengan
sebuah peristiwa atau beberapa
peristiwa yang menyebabkan
kematian ataupun luka serius.
Respon
individu
meliputi
ketakutan,
ketidakberdayaan
(catatan : pada anak-anak hal ini
mungkin diperlihatkan dalam
perilaku yang tidak teratur atau
berantakan dan tidak tenang atau
gelisah).
Pengalaman traumatis seperti
dialami
kembali
yang
ditunjukkan oleh satu atau lebih
dari hal-hal berikut :
Adanya
hal-hal
yang
mengingatkan kembali pada
peristiwa
traumatis
seperti
gambar-gambar, pikiran atau
persepsi (catatan : pada anakanak hal ini dimunculkan
kembali pada permainan).
Adanya mimpi-mimpi yang
mengingatkan pada peristiwa
(catatan : anak-anak terdapat
mimpi yang menakutkan tanpa
adanya isi yang dapat diketahui
maksudnya)
Berperilaku atau merasa seperti
kejadian
terulang
kembali
(meliputi
perasaan
sedang
mengalami kejadian, ilusi-ilusi,
halusinasi-halusinasi) (catatan :
pada
anak-anak
kejadian
traumatissecara spesifik dapat
terlihat).
Keadaan yang berbahaya secara
psikologis, jika dihadapkan pada
hal-hal internal dan eksternal
yang
meyerupai
kejadian
traumatis.
Adanya
reaksi
fisik
jika
dihadapkan pada hal-hal internal
dan eksternal yang menyerupai
kejadian traumatis
Penghindaran terhadap stimulusstimulus yang berhubungan
dengan peristiwa traumatis (yang
tidak terlihat sebelum peristiwa
traumatis
terjadi)
yang
ditunjukkan tiga atau lebih dari
hal-hal berikut :
Adanya penghindaran terhadap
pikiran,
perasaan,
ataupun
percakapan yang berhubungan
dengan peristiwa traumatis.
Adanya penghindaran terhadap
aktivitas, tempat, atau individu-
individu yang terkait dengan
peristiwa traumatis.
Ketidakmampuan
untuk
mengingat kembali aspek penting
dari peristiwa traumatis.
Berkurangnya keinginan untuk
berpartisipasi ataupun untuk
melakukan sebuah aktivitas
Adanya perasaan terasing dari
sekitarnya
Adanya perilaku yang tertunda
(tidak adanya perasaan mencintai
orang lain)
Adanya perasaan tidak memiliki
masa depan (tidak berharap akan
memiliki karir, perkawinan,
anak-anak ataupun kehidupan
normal di masa mendatang)
Adanya simptom-simptom yang
tidak terlihat sebelumnya, yang
ditunjukkan oleh dua atau lebih
dari hal-hal berikut ini:
Adanya kesulitan tidur
Mudah marah atau kesulitan
dalam mengendalikan emosi
Kesulitan berkonsentrasi
Kesiagaan berlebih
Adanya respon yang berlebihan
Durasi waktu pada kriteria b, c, d
lebih dari satu bulan
Peristiwa traumatis menyebabkan
kerusakan dalam bidang sosial,
pekerjaan
dan
aspek-aspek
penting
lainnya
dalam
kehidupan.
Anak
Pengertian Anak
Anak adalah organisme yang
masih tergantung terhadap orang
lain dan lingkungan luar sangat
berpengaruh dalam membentuk
individu anak itu sendiri hingga
waktunya masa kanak-kanak
yang menyebabkan terjadinya
tabrakan lapisan muka bumi yang
dapat membentuk suatu
pegunungan atau perbukitan,
sehingga pergerakan tersebut
dapat dirasakan oleh penduduk
bumi dan hal ini yang dinamakan
gempa bumi.
dilewati dan memasuki tingkat
kedewasaan. Masa kanak-kanak
dimulai dengan rentang usia 2
tahun sampai 12 tahun.
Tugas perkembangan Anak
Menurut Havighurst (dalam
Monks, dkk, 1990) tugas-tugas
perkembangan anak dibagi menjadi
dua, yaitu :
Periode bayi hingga anak kecil,
yaitu :
Belajar berjalan
Belajar makan, makanan padat
Belajar berbahasa
Belajar kontrol badan
Stabilitas fisiologik
Belajar perbedaan dan aturanaturan jenis kelamin, kontak
perasaan dengan orang tua, keluarga,
dan orang-orang lain
Pembentukan
pengertian
sedarhana seperti realita fisik, realita
sosial
Belajar apa yang benar dan apa
yang salah, perkembangan kata hati
Periode anak sekolah, yaitu :
Ketangkasan fisik
Sikap sehat terhadap diri sendiri
sebagai organisme yang tumbuh
Belajar peranan jenis kelamin,
kontak- kontak dengan teman
sebaya, belajar sikap terhadap
kelompok dan lembaga-lembaga
Belajar
membaca,
menulis,
berhitung,
belajar
pengertianpengertian kehidupan sehari-hari
Perkembangan moralitas, kata
hati dan skala nilai-nilai
Gempa Bumi
Pengertian Gempa Bumi
Gempa bumi diakibatkan karena
adanya pergerakan, pergeseran
Macam-macam Gempa Bumi
Menurut Wardiyatmoko (2004)
gempa dibagi menjadi tiga macam
dilihat dari sebab terjadinya, yaitu
sebagai berikut :
Gempa Guguran (runtuhan)
Gempa ini terjadi karena
gugurnya atau runtuhnya tanah.
Daerah yang terjadi gempa
guguran adalah daerah tambang
yang berbentuk terowongan,
pegunungan kapur, atau lubang.
Di dalam pegunungan kapur
kadang-kadang terdapat gua yang
terjadi karena pelarutan. Jika atap
gua atau lubang itu gugur, maka
timbullah gempa bumi.
Gempa Vulkanis
Gempa ini terjadi karena
meletusnya gunung berapi. Kalau
gunung api akan meletus,
timbullah tekanan gas dari dalam
sumbat kawah. Tekanan itu
menyebabkan terjadinya getaran
yang disebut gempa bumi.
Gempa ini hanya terdapat di
daerah gunung api yang meletus.
Gempa Tektonik
Gempa ini disebabkan oleh gerak
tektonik dan merupakan akibat
dari gerak orogenetik. Daerah
yang sering kali mengalami
gempa
ini
adalah
daerah
pegunungan lipatan muda, yaitu
daerah rangkaian Mediterania
dan rangkaian Pasifik. Survivor (korban) Gempa Bumi Menurut Kaplan dan Sadock
(dalam Roan, 1993)
Korban bencana yang hidup
merupakan kelompok orang yang
lolos dari maut akibat stres yang
dahsyat, tak terduga dan
mendadak yang melampaui
perkiraan dalam hidup biasa.
Stres yang khas ini dapat terjadi
karena individu mengalami
gempa bumi, banjir, api, jatuhnya
kapal udara, tanah longsor,
ambruknya bangunan, disekap di
kamp konsentrasi, paceklik, dan
pencemaran sinar radiasi.
Menurut Ibrahim (2005) bencana
alam dapat mengakibatkan
berbagai macam kerusakan.
Seperti bencana gempa dan
gelombang tsunami yang terjadi
di Aceh telah memakan korban
begitu banyak, baik yang cedera
maupun yang meninggal. Mereka
yang hidup, adalah orang-orang
yang telah terpapar dengan
kejadian yang traumatis, yang
mengalami, menyaksikan
kejadian-kejadian yang berupa
ancaman kematian atau kematian
yang sebenarnya dan mereka
yang cedera serta yang dalam
ancaman terhadap integritas fisik
diri sendiri atau orang lain.
3. METODE PENELITIAN
Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang digunakan
dalam penelitian ini adalah
penelitian kualitatif berupa studi
kasus. Studi kasus merupakan
kajian
mendalam
tentang
peristiwa, lingkungan dan situasi
tertentu yang memungkinkan
mengungkapkan atau memahami
suatu hal. Studi kasus dapat
dilakukan terhadap fenomena
yang berjulat dari perorangan,
kelompok, dan situasi ke objek
material,
seperti
spesimen
geologi dan perempatan jalan
raya (Basuki, 2006).
Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini ditentukan
sejumlah karakteristik bagi subjek
penelitian, yaitu :
Survivor
(korban)
bencana:
Subjek penelitian ini adalah
seorang anak berusia 11 tahun
warga di Yogyakarta yang
mengalami bencana gempa bumi.
Tambahan informasi tentang
subjek diperoleh melalui dua
significant others.
Jumlah subjek penelitian: Dalam
penelitian ini subjek berjumlah 1
orang.
Tahap – tahap Penelitian
Tahap Persiapan Penelitian :
Peneliti
membuat
pedoman
wawancara
yang
disusun
berdasarkan beberapa teori yang
relevan
dengan
masalah
penelitian. Pedoman wawancara
telah disusun, ditunjukkan kepada
yang lebih ahli dalam hal ini
adalah pembimbing penelitian
untuk
mendapat
masukan
mengenai
isi
pedoman
wawancara dan menyiapkan diri
untuk melakukan wawancara.
Kemudian peneliti mencari calon
subjek yang sesuai dengan
karakteristik subjek penelitian.
Setelah mendapatkan subjek yang
bersedia untuk diwawancara,
dan
sasaran
penelitian.
kemudian peneliti membuat
kesepakatan
dengan
subjek
tersebut mengenai waktu dan
tempat
untuk
melakukan
wawancara.
Tahap Pelaksanaan Penelitian :
Peneliti akan melakukan metode
pengambilan data dengan metode
observasi
dan
wawancara.
Setelah data diperoleh, maka
analisis
adalah
langkah
selanjutnya yang dilakukan oleh
peneliti, data yang diperoleh dari
penelitian studi kasus merupakan
data bersifat deskriptif. Dalam
melakukan
proses
analisa,
peneliti melakukan beberapa
prosedur untuk mengolah data
yang didapat untuk dijadikan
informasi yang nantinya akan
dihubungkan dengan teori yang
melatarbelakangi,
pengolahan
data hasil wawancara secara
menyeluruh atau verbatim.
Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik
pengumpulan data yang akan di
gunakan adalah :
Wawancara
:
Menurut
Sukandarrumidi
(2004)
wawancara adalah suatu proses
tanya jawab lisan, dimana dua
orang atau lebih berhadapan
secara fisik, yang satu dapat
melihat muka yang lain dan
mendengar telinga sendiri dari
suaranya
Observasi : Menurut Black dan
Champion
(1999),Observasi
adalah sebuah metode yang
bersifat
alamiah,
dengan
demikian pemahamannya harus
disesuaikan dengan kebutuhankebutuhan khusus dari peneliti,
dari pentingnya permasalahan
umum
dari
Alat Bantu Pengumpulan Data
Pedoman Wawancara : Pedoman
wawancara
digunakan
agar
wawancara yang dilakukan tidak
menyimpang
dari
tujuan
penelitian.
Catatan Lapangan : Dalam
lembaran ini dicatat hal – hal
penting yang terjadi selama
wawancara. Catatan ini berisikan
deskripsi tentang hal – hal yang
diamati, yang dianggap penting
oleh
peneliti
misalnya
penampilan dan gerak – gerik
responden selama wawancara,
yang
dirasakan
penting,
gangguan – gangguan yang
dialami saat wawancara.
Tape Recorder (alat perekam):
Tape recorder berguna sebagai
alat bantu pada saat wawancara
agar penulis dapat benar-benar
berkonsentrasi
pada
saat
pengambilan data tanpa harus
berhenti untuk mencatat jawabanjawaban responden.
Keakuratan Penelitian
Patton (dalam Poerwandari,
1998)
membedakan
empat
macam triangulasi sebagai teknik
pemeriksaan untuk mencapai
keabsahan, yaitu :
Triangulasi Data
Triangulasi Pengamat
Triangulasi Teori
Triangulasi Metode
Dalam penelitian ini peneliti
menggunakan seluruh triangulasi
yang tersedia yaitu triangulasi
data,
triangulasi
pengamat,
triangulasi teori dan triangulasi
metode,
Teknik Analisis Data
Proses analisis data yang
dilakukan dalam penelitian ini
akan dianalisa dengan teknik
analisa data kualitatif yang
diajukan oleh Marshall dan
Rossman
(1995)
dalam
menganalisa penelitian kualitatif
terhadap beberapa tahapan yang
perlu dilakukan. Tahap–tahap
tersebut adalah : Mengorganisasikan Data
Pengelompokan
berdasarkan
Kategori, Tema, dan Pola
Jawaban
Menguji
Asumsi
atau
Permasalahan yang ada terhadap
Data
4. Hasil dan Analisis Pembahasan
Gambaran stres pasca trauma
yang diderita oleh seorang anak yang
mengalami peristiwa traumatis yaitu
gempa bumi
Davison dan Neale (2001, dalam
Fauisiah & Widuri, 2003)
mendefinisikan
stres
pasca
trauma sebagai sekelompok
simtom yang muncul setelah
mengalami atau menyaksikan
peristiwa traumatik (peristiwa
yang
berada
diluar
batas
pengalaman
individu)
yang
melibatkan
kematian
atau
ancaman kematian, atau luka
yang sangat parah, atau ancaman
terhadap integritas diri maupun
orang lain. Peristiwa tersebut
haruslah menimbulkan ketakutan
atau kengerian yang intens, atau
menimbulkan perasaan tidak
berdaya. Seperti yang telah
disebutkan
diatas
diketahui
bahwa subjek adalah individu
yang
mengalami
kejadian
traumatis, yang ditunjukkan oleh
individu
tersebut
pernah
mengalami, menyaksikan atau
berhadapan langsung dengan
sebuah peristiwa atau beberapa
peristiwa yang menyebabkan
kematian ataupun luka serius
yang dditubjukkan bahwa subjek
tersebut
pernah
mengalami
peristiwa gempa yang terjadi
pada tanggal 27 Mei 2006 dan
saat itu subjek berada di dalam
kamar bersama ayahnya. Adanya
respon yang ditimbulkan oleh
subjek seperti rasa ketakutan jika
mendengar suara gaduh. Saat
sekolah
sudah
berlangsung
selama satu minggu subjek tidak
berani masuk sekolah. Peristiwa
gempa yang dialami oleh subjek
menjadi pengalaman traumatis,
seperti adanya hal-hal yang
mengingatkan kembali pada
peristiwa
traumatis
seperti
gembar-gambar, pikiran atau
persepsi, ditunjukkan jika subjek
mendengar isu-isu akan terjadi
gempa, teringat akan kejadian
gempa dan tsunami di Aceh dan
cerita tentang gempa yang terjadi
akibat letusan Gunung Merapi.
Subjek mengalami mimpi buruk,
berperilaku seperti kejadian
terulang
kembali
(meliputi
perasaan sedang mengalami
kejadian, ilusi-ilusi, halusisanaihalusinasi) ditunjukkan subjek
merasa sedang terjadi gempa
sewaktu subjek masih tinggal di
tenda
pengungsian,
sering
terbayang
dengan
kejadian
gempa dimana subjek melihat
tembok rumah subjek yang
runtuh,
bayangan-bayangan
peristiwa gempa seakan-akan
terjadi seperti nyata, jika
dihadapkan dengan keadaan
berbahaya yang menyerupai
kejadian traumatis, seperti angin
kencang dan gempa susulan.
Adanya
reaksi
fisik
jika
dihadapkan pada hal-hal yang
menyerupai kejadian traumatis
seperti terkejut, cemas dan
tegang. Adanya penghindaran
terhadap stimulus-stimulus yang
berhubungan denga peristiwa
traumatis, seperti penghindaran
pada percakapan yang membuat
subjek teringat dengan peristiwa
gempa khususnya tentang isu-isu
gempa. Adanya penghindaran
terhadap tempat yang terkait
dengan
peristiwa
traumatis
ditunjukkan dengan subjek tidak
mau berkunjung kerumah mbah
subjek selama satu bulan.
Berkurangnya keinginan untuk
berpartisipasi ataupun melakukan
sebuah
aktivitas.
Adanya
perasaan terasing dari sekitarnya
ditunjukkan dengan subjek sering
tersasar jika bermain jauh dari
rumah. Adanya perasaan tidak
memiliki
masa
depan
ditunjukkan adanya ketakutan
jika tidak dapat kuliah dan tidak
dapat menyelesaikan kuliah
tersebut.
Adanya
simptomsimptom yang tidak terlihat
sebelumnya,
seperti
subjek
mengalami kesulitan tidur yang
ditandai dengan tidak maunya
subjek tidur di dalam kamar,
subjek tidak berani tidur sendiri.
Subjek mudah marah jika adikadik subjek tidak mendengarkan
kata-katanya. Subjek mengalami
kesulitan berkonsentrasi, hal ini
dikarenakan kondisi dan situasi
yang belum nyaman untuk
belajar di sekolah. Subjek
memiliki kesiagaan berlebih yang
ditandai dengan subjek bangun
lebih pagi untuk berangkat
sekolah, subjek lebih nyaman
tidur dekat pintu dan subjek tidak
nyaman jika tidak ada orang
dewasa berada bersama subjek di
rumah. Adanya respon yang
berlebih yang ditandai dengan
subjek lebih banyak berdiam diri,
subjek mudah sekali terkejut,
subjek mudah sekali tegang jika
merasa takut. Durasi waktu pada
criteria b, c, d lebih dari satu
bulan, yang ditunjukkan oleh
sulitnya subjek berkonsentrasi
selama lebih dari tiga bulan,
subjek tidak mau tidur sendiri
selama satu tahun, subjek masih
sering terkejut selama satu tahun.
Peristiwa traumatis tersebut
menyebabkan kerusakan dalam
bidang sosial, pekerjaan, dan
aspek-aspek
penting
dalam
kehidupan yang ditunjukkan
subjek berubah manjadi tidak
percaya diri jika diberi pekerjaan
di sekolah oleh guru subjek dan
adanya penurunan nilai. Faktor-faktor lain penyebab
trauma
Menurut Bufka dan Barlow
(2006, dalam Risjawan, 2007)
gangguan stress pasca trauma
merupakan gangguan mental
pada seseorang yang muncul
setelah
mengalami
suatu
pengalaman traumatik dalam
kehidupan atau suatu peristiwa
yang mengancam keselamatan
jiwanya.
Sebagai
contoh
peristiwa perang, perkosaan dan
penyerangan secara seksual,
serangan yang melukai tubuh,
penyiksaan, penganiayaan anak,
peristiwa bencana alam seperti :
gempa bumi, tanah longsor,
banjir bandang, kecelakaan lalu
lintas atau musibah pesawat
jatuh. Orang yang mengalami
sebagai saksi hidup kemungkinan
akan mengalami gangguan stres.
Subjek
mengalami
trauma
dikarenakan peristiwa gempa
bumi, subjek merasa tertekan
pada lingkungan disekitar subjek
yang telah hancur ditandai
dengan tidak maunya subjek
melihat dan mendekati rumah
subjek yang telah hancur dan
tidak mau berkunjung ke rumah
kakek dan nenek subjek. Subjek
tidak terlalu mengetahui tentang
bencana gempa bumi, namun
subjek menyadari apa yang
menyebabkan lingkungan subjek
hancur. Bencana gempa menjadi
pengalaman yang mengerikan
dan juga pengalaman yang dapat
membuat perubahan lebih baik
pada diri subjek.
5. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil
analisis
wawancara satu orang subjek dan
dua orang significant others
subjek penelitian ini mengalami
stres pasca trauma setelah
mengalami peristiwa gempa
bumi yang terjadi pada 27 Mei
2006, adanya gejala-gejala yang
timbul pada diri subjek, seperti
kaget, takut dan cemas. Subjek
seperti
mengalami
kembali
pengalaman tersebut ditunjukkan
dengan adanya hal-hal yang
mengingatkan kembali pada
peristiwa gempa seperti isu-isu
akan terjadi gempa yang lebih
besar, adanya pikiran yang
membuat subjek teringat dengan
peristiwa gempa, mengalami
mimpi buruk hingga mengigau,
berperilaku seperti peristiwa
gempa terulang kembali, adanya
reaksi jika sedang dalam keadaan
berbahaya. Subjek menghindari
beberapa
tempat
yang
berhubungan dengan peristiwa
traumatis.
Berkurangnya
keinginan untuk beraktifitas,
adanya perasaan terasing pada
lingkungan sekitar dan adanya
perasaan tidak memiliki masa
depan.
Subjek
mengalami
kesulitan tidur, mudah marah,
kesulitan berkonsentrasi, adanya
kesiagaan berlebih, dan adanya
respon berlebihan. Peristiwa
traumatis tersebut menyebabkan
subjek
merasa
kurang
berintaraksi dengan lingkungan
dan menyebabkan tidak percaya
diri. Gejala stress pasca trauma
yang ditimbulkan oleh subjek
berlangsung selama hampir satu
tahun. Peristiwa gempa bumi
adalah faktor utama yang
menyebabkan subjek menderita
stres pasca trauma. Selain itu
faktor yang menyebabkan subjek
menderita stres pasca trauma
adalah adanya perasaan tertekan
dengan hancurnya lingkungan
yang diakibatkan bencana gempa
dan menjadi pengalaman yang
mengerikan
untuk
subjek,
pengalaman
tersebut
dapat
merubah subjek menjadi lebih
mandiri. Selain gempa bumi
subjek juga pernah mengalami
peristiwa meletusnya Gunung
Merapi, ini juga dapat menjadi
faktor utama penyebab stres
pasca
trauma
yang
berkepanjangan yang diderita
oleh subjek, karena peristiwa
meletusnya Gunung Merapi
terjadi sebelum peristiwa gempa
bumi.
Saran
Bagi subjek
Diharapkan dapat lebih berani
mengatakan
keluhan
yang
dialami atau perubahan yang
dirasakan setalah mengalami
peristiwa trauma, baik dengan
keluarga maupun dengan orangorang orang terdekat yang dapat
membantu mengatasi stres pasca
trauma yang dialami, sehingga
subjek dapat menjalani aktifitas
sehari hari dengan lebih baik dan
tidak selalu diikitu oleh rasa takut
dan cemas jika dihadapkan lagi
dengan hal-hal yang dapat
mengingatkan
subjek
pada
peristiwa gempa yang terjadi
pada 27 Mei 2006.
Bagi orang tua subjekdan orang
tua yang memiliki anak yang
mengalami stres pasca trauma
Kepada seluruh orang tua yang
memiliki anak dan mengalami
stres pasca trauma disebabkan
karena bencana gempa bumi
khususnya di Yogyakarta agar
dapat
lebih
memperhatikan
keluhan-keluhan dari anak-anak,
karena dari keluhan tersebut
sebenarnya
seorang
anak
merasakan sesuatu namun sulit
untuk mengungkapkan. Dengan
memperhatikan keluhan dari
anak orang tua dapat lebih
tanggap dengan apa yang terjadi
pada anaknya dan dapat segera
mengatasi perubahan yang ada
pada diri anak agar segera dapat
dikonsultasikan dengan para ahli
atau spesialis trauma yang ada di
sekitar anda atau tenda-tenda
penanggulangan trauma sehingga
stres pasca trauma yang diderita
oleh anak tidak berlarut-larut.
Jangan terlalu meremehkan stres
pasca trauma yang sudah diderita
oleh
anak
karena
dapat
mengganggu
perkembangan
ataupun kesehatan anak tersebut.
Bagi pemerintah setempat
Untuk
Pemerintah
Daerah
setempat disarankan agar lebih
memperhatikan keluhan dari
warganya, dan lebih transparan
dalam memberikan bantuan
sehingga diharapkan bantuan
yang ada jatuh pada tangan yang
berhak dan terbagi secara merata.
Bagi peneliti selanjutnya
Untuk peneliti lain disarankan
agar dapat mengembangkan
penelitian ini pada ruang lingkup
yang lebih besar seperti pada
barak-barak pengungsi, tendatenda darurat dan rumah-rumah
penanggulangan
trauma.
Sehingga diharapkan gambaran
stres pasca trauma yang timbul
pada anak yang mengalami
trauma dapat diklasifikasikan
semakin jelas dan akurat.
DAFTAR PUSTAKA
Aristiarini, A. (2006). Meramal
gempa. Jakarta : Kompas,
Sabtu 3 Juni 2006 .
Basuki, S. (2006). Metode penelitian.
Jakarta : Wedatama Widya
Sastra bekerja sama dengan
Fakultas Ilmu Pengetahuan
Budaya
Universitas
Indonesia.
Black, A. J., & Champion, D.J.
(1999).
Metode
dan
masalah penelitian sosial.
Bandung : PT. Refika
Aditama.
Cameron, C. (2000). Resolving
Childhood Trauma : Longterm study of abuse
survivors. USA : Sage
Publication.
Chaplin, J.P. (2001). Kamus lengkap
psikologi. Penerjemah :
Kartini Kartono. Jakarta :
PT.
Raja
Grafindo
Indonesia.
Cirrincione, J. (1983). World
geography. Toronto : Heath
and company
Eki, & Wahyu. (2006). Gempa
Yogyakarta tewaskan 3090
orang. Jakarta : Kompas,
Minggu 28 Mei 2006.
Eki, & Gunawan. (2006). Liburan itu
berubah jadi tragedi pilu
:kehilangan
semangat.
Jakarta : Kompas, 28 Mei
2006.
Fausiah, F. & Widuri, J. (2003).
Bahan ajar mata kuliah
psikologi
abnormal.
Fakultas
Psikologi
Universitas Indonesia.
Gunarsa, S.D. (1990). Dasar dan
teori perkembangan anak dan
remaja. Jakarta : Gunung Mulia.
Hartiningsih.
(2005).
Bencana
gempa
dan
tsunami.
Jakarta: Buku Kompas.
Heterington, M. E., & Parke, R. D.
(1993). Child psychology a
contemporary
viewpoint.
Boston : McGraw Hill.
Hurlock, E. B. (1980). Psikologi
Perkembangan : Suatu
pendekatan
sepanjang
rentang kehidupan. Jakarta
: Erlangga.
Ibrahim, A. S. (2005). Bencana
gempa dan tsunami. Jakarta
: Buku Kompas.
Isworo, B., & Khairina. (2006).
Berdampingan
dengan
gempa bumi. Jakarta :
Kompas, Sabtu 3 Juni
2006.
Ita, Nawa, & Nita. (2006). Pengungsi
itu mengakhiri hidupnya di
sumur : Realitas Psikis.
Jakarta : Kompas, Sabtu 3
Juni 2006.
Kaplan, H., & Sadock, B. J. (1998).
Ilmu kedokteran jiwa
darurat. Alih Bahasa : Dr,
Wicaksono M Roan.
Jakarta : Widya Medika.
Kartono, K. (2002). Psikologi Sosial
3 : Gangguan-gangguan
kejiwaan. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
Koentjaraningrat. (1991). Metodemetode penelitian
masyarakat. Jakarta :
Gramedia Pustaka Utama.
Marshall, C & Rossman. (1995).
Designing
qualitative
research. London : Sage
Publications.
Moleong, L. J. (1999). Pendekatan
penelitian kualitatif.
Bandung : PT. Remaja
Rorda Karya.
Monahan, C. (1993). Children And
Trauma: A parents guide to
helping children heal. USA
: Lexington Books.
Monks, F. J., Knoers, A. M. P., &
Haditomo, S. R. (1990).
Psikologi perkembangan :
pengantar dalam berbagai
bagiannya. Yogyakarta :
Gadjah Mada Uniersity
Press.
Naqiyah, N. (2006). Penanganan
trauma pasca tsunami.
www.najlah.blogspot.com.
Diakses tahun 2006
Nawawi, H. (2005). Metode
penelitian bidang sosial.
Yogyakarta : Gadjah Mada
Unuversity Press.
Poerwandari,
E.
K.
(1998).
Pendekatan
kualitatif
dalam penelitian psikologi.
Jakarta
:
Lembaga
Pengembangan
Sarana
Pengukuran
dan
Pengembangan Pendidikan
Psikologi (lpsp3) Fakultas
Psikologi UI.
Sukandarrumidi. (2004). Metodologi
penelitian
:
petunjuk
praktis
untuk
peneliti
pemula.
Yogyakarta
:
Gadjah Mada University
Press.
Suryabrata, S. (2005). Metodologi
penelitian. Jakarta : Radja
Grafindo Persada.
Wardiyatmoko, K. (2004). Geografi.
Jakarta : Erlangga.
Yin, R. K. (2003). Studi kasus
(desain dan metode) edisi
revisi. Jakarta : PT. Raja
Grafindo Persada.
www.nationalgeographic.com/magaz
ine/0504. Diakses tahun
2006
www.yarramall.com. Diakses tahun
2006
www.e-smartschool.com.
Diakses
tahun 2006
www.medicastore.com.
Diakses
tahun 2006
Download