DWI MYNA INDARTI 10502077 FAKULTAS PSIKOLOGI STRES PASCA TRAUMA PADA SURVIVOR BENCANA GEMPA BUMI DI YOGYAKARTA ABSTRAKSI Peristiwa gempa bumi yang terjadi di Yogyakarta pada 27 Mei 2006 menimbulkan permasalahan, seperti pengungsian dan kerusakan infrastruktur tetapi peristiwa gempa tersebut dapat menimbulkan trauma. Trauma yang diderita dan masih tersimpan dalam waktu yang lama dapat mengakibatkan stres pasca trauma. Stres pasca trauma yang timbul dapat merubah perilaku seseorang yang telah mengalami peristiwa traumatis. Khususnya pada anak-anak kejadian peristiwa traumatis dapat merubah perilaku bahkan dapat menghambat perkembangan baik dalam kehidupan sosial, akademis dan psikologisnya. 1. PENDAHULUAN Latar Belakang Indonesia adalah daerah pertemuan rangakaian mediterania dan rangkaian pasifik, dengan proses pembentukan pegunungan yang masih berlangsung, hal ini yang menyebabkan di Indonesia banyak terjadi gempa bumi. Tanggal 27 Mei 2006, terjadi satu peristiwa alam yang menyebabkan kerusakan yang cukup parah di Daerah Istimewa Yogyakarta dan sekitarnya. Masalah-masalah yang timbul di daerah bencana sangat kompleks. Begitu juga bencana yang terjadi di Yogyakarta. Selain masalah pengungsi, kerusakan infrastruktur, terputusnya jalur transportasi dan komunikasi menjadi masalah kompleks lainnya. Kerusakan-kerusakan fisik tersebut meninggalkan luka bagi mereka yang mengalami langsung peristiwa bencana gempa bumi tersebut, yang dapat berdampak psikis pada individu khususnya anak-anak, inilah yang kemudian yang dapat memicu datangnya trauma bagi mereka. Menurut Monahan (1993), trauma terjadi secara mendadak dan luar biasa. Peristiwa yang terjadi diluar memaksa seseorang untuk menguasai dan menghadapi perasaannya. Trauma adalah kejadian yang tidak dapat dipertimbangkan, kengerian dan terkejut bercampur menjadi satu dalam peristiwa yang terjadi dalam waktu yang singkat. Bencana yang terjadi begitu cepat membuat para korban merasa bingung. Timbulnya perilaku-perilaku aneh sangat beralasan, bukan hanya dikarenakan terjadinya bencana gempa bumi melainkan karena begitu banyaknya penderitaan yang dialami. Bencana yang mengakibatkan hilangnya kepemilikan materi dan keluarga dalam sekejap, apalagi dalam jumlah besar, sangat potensial menggoreskan trauma yang sangat dalam bagi orang dewasa, khususnya anak-anak. Mereka yang merasakan penderitaan ini sangat wajar jika mengalami gangguan seperti bingung, sedih, takut dan merasa kehilangan. Dalam DSM III dan IV serta Pedoman Penggolonggan dan Diagnosis Gangguan Jiwa III di Indonesia dinyatakan gejala yang ditemukan pada mereka itu menggambarkan suatu stres yang terjadi berbulan-bulan bahkan bertahun-tahun (Kompas, Januari 2006). Terdapat beberapa gejala stres pasca trauma, yaitu respon emosi yang tumpul, lepas atau berkurang, merasa bahwa dirinya tidak nyata, tidak mampu mengingat bagian yang penting dari peristiwa traumatik itu sendiri (Medicastore, 2006). Dengan mempelajari stres pasca trauma yang dialami oleh korban yang selamat, semakin dapat memahami stres pasca trauma pada anak secara pribadi. Begitupun dengan konsep hilang ingatan dan penyembuhan memori, hal ini dapat diketahui pada orang-orang yang selamat. Hal ini mengundang perhatian bahwa fakta yang terlihat ialah hilang ingatan (gangguan berkurangnya memori yang lain) mengikuti banyak macam stres pasca trauma. Sebagai contoh amnesia atau hilang ingatan, peristiwa yang terjadi telah didokumentasikan dengan baik oleh korban yang selamat dan mengalami trauma, yang diakibatkan oleh bencana alam seperti banjir dan gempa bumi, saksi dalam pembunuhan atau tindak kejahatan yang kejam, dan korban akibat dari operasi militer (Cameron, 2000). Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui gambaran stres pasca trauma pada anak yang menjadi korban dan mengalami bencana gempa. Penelitian ini juga bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor lain yang menyebabkan stres pasca trauma pada anak korban bencana gempa bumi. Manfaat Penelitian Manfaat Teoritis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang bermanfaat bagi perkembangan ilmu psikologi khususnya psikologi klinis mengenai kondisi stres pasca trauma pada korban yang mengalami bencana gempa. Dan untuk penelitian selanjutnya, diharapkan dapat mengembangkan dan menambahkan faktor-faktor penyebab stress pasca trauma. Manfaat Praktis Memberikan manfaat dan kemudahan bagi masyarakat, psikolog, sukarelawan, untuk mengetahui gambaran stres pasca trauma dan faktor-faktor stres pasca pada korban yang mengalami bencana gempa. Sehingga dapat lebih cepat dan tanggap dalam mengatasi korban yang mengalami stres pasca trauma yang diakibatkan karena bencana gempa bumi. 2. TINJAUAN PUSTAKA Stress Pasca Trauma Pengertian Stres Pasca Trauma Stres pasca trauma adalah gejalagejala yang timbul pada diri individu yang mengalami suatu peristiwa yang terjadi secara mendadak dan luar biasa. Peristiwa tersebut menimbulkan ketakutan dan perasaan tidak berdaya. Faktor-faktor Pasca Trauma Penyebab Stres Menurut Naqiyah (2005) faktorfaktor yang meyebabkan terjadinya stres pasca trauma ialah : Tekanan lingkungan yang telah hancur dapat menjadi faktor stres pasca trauma seperti akibat suatu bencana, seperti hancurnya rumah akibat bencana gempa bumi, banjir, tsunami, kerusuhan. Kematian seseorang yang dicintai, dapat menjadi faktor penyebab terjadinya stres pasca trauma seperti kematian orang tua, adik, kakak, saudara, kakek, nenek. Kecelakaan dapat menjadi faktor penyebab stress pasca trauma karena dari kecelakaan tersebut seseorang atau kelompok yang mengalami seperti kecelakaan kapal laut maka tidak mau lagi menaiki atau menggunakan jasa kapal laut. Peledakan, kebakaran pada peristiwa ini seseorang atau kelompok mengalami stres pasca trauma dengan api yang menyebabkan terjadinya peledakan ataupun kebakaran. Bencana alam (gempa bumi, angin puyuh, letupan gunung berapi, dan sebagainya), seseorang atau kelompok dapat mengalami stress pasca trauma setelah mengalami bencana alam, seperti gempa bumi maka orang atau kelompok yang mengalami bencana tersebut akan bersikap tidak normal jika mendapat stimulus yang sama dengan kejadian gempa bumi atau terhadap getaran – getaran yang cukup dapat dirasakan. Pengalaman yang mengerikan (perampokan, perkosaan, penodongan, dan sebagainya), seseorang dapat mengalami stres pasca trauma karena pengalaman mengerikan misalkan setelah mengalami suatu penodongan, perampokan ataupun perkosaan, maka orang tersebut akan selalu merasa tidak aman dimanapun ia berada. Perceraian dapat menyebabkan stres pasca trauma pada seseorang yang mengalaminya, akan menghindari suatu hubungan yang sifatnya mengikat atau anak yang mengalami perceraian orang tuanya, dapat merubah konsep diri karena melihat dan merasakan perpisahan kedua orang tuanya. Karakteristik Stres Pasca Trauma berdasarkan DSM IV : Individu-individu yang mengalami kejadian traumatis yang ditunjukkan oleh hal-hal berikut : Individu tersebut pernah mengalami, menyaksikan atau berhadapan langsung dengan sebuah peristiwa atau beberapa peristiwa yang menyebabkan kematian ataupun luka serius. Respon individu meliputi ketakutan, ketidakberdayaan (catatan : pada anak-anak hal ini mungkin diperlihatkan dalam perilaku yang tidak teratur atau berantakan dan tidak tenang atau gelisah). Pengalaman traumatis seperti dialami kembali yang ditunjukkan oleh satu atau lebih dari hal-hal berikut : Adanya hal-hal yang mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis seperti gambar-gambar, pikiran atau persepsi (catatan : pada anakanak hal ini dimunculkan kembali pada permainan). Adanya mimpi-mimpi yang mengingatkan pada peristiwa (catatan : anak-anak terdapat mimpi yang menakutkan tanpa adanya isi yang dapat diketahui maksudnya) Berperilaku atau merasa seperti kejadian terulang kembali (meliputi perasaan sedang mengalami kejadian, ilusi-ilusi, halusinasi-halusinasi) (catatan : pada anak-anak kejadian traumatissecara spesifik dapat terlihat). Keadaan yang berbahaya secara psikologis, jika dihadapkan pada hal-hal internal dan eksternal yang meyerupai kejadian traumatis. Adanya reaksi fisik jika dihadapkan pada hal-hal internal dan eksternal yang menyerupai kejadian traumatis Penghindaran terhadap stimulusstimulus yang berhubungan dengan peristiwa traumatis (yang tidak terlihat sebelum peristiwa traumatis terjadi) yang ditunjukkan tiga atau lebih dari hal-hal berikut : Adanya penghindaran terhadap pikiran, perasaan, ataupun percakapan yang berhubungan dengan peristiwa traumatis. Adanya penghindaran terhadap aktivitas, tempat, atau individu- individu yang terkait dengan peristiwa traumatis. Ketidakmampuan untuk mengingat kembali aspek penting dari peristiwa traumatis. Berkurangnya keinginan untuk berpartisipasi ataupun untuk melakukan sebuah aktivitas Adanya perasaan terasing dari sekitarnya Adanya perilaku yang tertunda (tidak adanya perasaan mencintai orang lain) Adanya perasaan tidak memiliki masa depan (tidak berharap akan memiliki karir, perkawinan, anak-anak ataupun kehidupan normal di masa mendatang) Adanya simptom-simptom yang tidak terlihat sebelumnya, yang ditunjukkan oleh dua atau lebih dari hal-hal berikut ini: Adanya kesulitan tidur Mudah marah atau kesulitan dalam mengendalikan emosi Kesulitan berkonsentrasi Kesiagaan berlebih Adanya respon yang berlebihan Durasi waktu pada kriteria b, c, d lebih dari satu bulan Peristiwa traumatis menyebabkan kerusakan dalam bidang sosial, pekerjaan dan aspek-aspek penting lainnya dalam kehidupan. Anak Pengertian Anak Anak adalah organisme yang masih tergantung terhadap orang lain dan lingkungan luar sangat berpengaruh dalam membentuk individu anak itu sendiri hingga waktunya masa kanak-kanak yang menyebabkan terjadinya tabrakan lapisan muka bumi yang dapat membentuk suatu pegunungan atau perbukitan, sehingga pergerakan tersebut dapat dirasakan oleh penduduk bumi dan hal ini yang dinamakan gempa bumi. dilewati dan memasuki tingkat kedewasaan. Masa kanak-kanak dimulai dengan rentang usia 2 tahun sampai 12 tahun. Tugas perkembangan Anak Menurut Havighurst (dalam Monks, dkk, 1990) tugas-tugas perkembangan anak dibagi menjadi dua, yaitu : Periode bayi hingga anak kecil, yaitu : Belajar berjalan Belajar makan, makanan padat Belajar berbahasa Belajar kontrol badan Stabilitas fisiologik Belajar perbedaan dan aturanaturan jenis kelamin, kontak perasaan dengan orang tua, keluarga, dan orang-orang lain Pembentukan pengertian sedarhana seperti realita fisik, realita sosial Belajar apa yang benar dan apa yang salah, perkembangan kata hati Periode anak sekolah, yaitu : Ketangkasan fisik Sikap sehat terhadap diri sendiri sebagai organisme yang tumbuh Belajar peranan jenis kelamin, kontak- kontak dengan teman sebaya, belajar sikap terhadap kelompok dan lembaga-lembaga Belajar membaca, menulis, berhitung, belajar pengertianpengertian kehidupan sehari-hari Perkembangan moralitas, kata hati dan skala nilai-nilai Gempa Bumi Pengertian Gempa Bumi Gempa bumi diakibatkan karena adanya pergerakan, pergeseran Macam-macam Gempa Bumi Menurut Wardiyatmoko (2004) gempa dibagi menjadi tiga macam dilihat dari sebab terjadinya, yaitu sebagai berikut : Gempa Guguran (runtuhan) Gempa ini terjadi karena gugurnya atau runtuhnya tanah. Daerah yang terjadi gempa guguran adalah daerah tambang yang berbentuk terowongan, pegunungan kapur, atau lubang. Di dalam pegunungan kapur kadang-kadang terdapat gua yang terjadi karena pelarutan. Jika atap gua atau lubang itu gugur, maka timbullah gempa bumi. Gempa Vulkanis Gempa ini terjadi karena meletusnya gunung berapi. Kalau gunung api akan meletus, timbullah tekanan gas dari dalam sumbat kawah. Tekanan itu menyebabkan terjadinya getaran yang disebut gempa bumi. Gempa ini hanya terdapat di daerah gunung api yang meletus. Gempa Tektonik Gempa ini disebabkan oleh gerak tektonik dan merupakan akibat dari gerak orogenetik. Daerah yang sering kali mengalami gempa ini adalah daerah pegunungan lipatan muda, yaitu daerah rangkaian Mediterania dan rangkaian Pasifik. Survivor (korban) Gempa Bumi Menurut Kaplan dan Sadock (dalam Roan, 1993) Korban bencana yang hidup merupakan kelompok orang yang lolos dari maut akibat stres yang dahsyat, tak terduga dan mendadak yang melampaui perkiraan dalam hidup biasa. Stres yang khas ini dapat terjadi karena individu mengalami gempa bumi, banjir, api, jatuhnya kapal udara, tanah longsor, ambruknya bangunan, disekap di kamp konsentrasi, paceklik, dan pencemaran sinar radiasi. Menurut Ibrahim (2005) bencana alam dapat mengakibatkan berbagai macam kerusakan. Seperti bencana gempa dan gelombang tsunami yang terjadi di Aceh telah memakan korban begitu banyak, baik yang cedera maupun yang meninggal. Mereka yang hidup, adalah orang-orang yang telah terpapar dengan kejadian yang traumatis, yang mengalami, menyaksikan kejadian-kejadian yang berupa ancaman kematian atau kematian yang sebenarnya dan mereka yang cedera serta yang dalam ancaman terhadap integritas fisik diri sendiri atau orang lain. 3. METODE PENELITIAN Pendekatan Penelitian Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian kualitatif berupa studi kasus. Studi kasus merupakan kajian mendalam tentang peristiwa, lingkungan dan situasi tertentu yang memungkinkan mengungkapkan atau memahami suatu hal. Studi kasus dapat dilakukan terhadap fenomena yang berjulat dari perorangan, kelompok, dan situasi ke objek material, seperti spesimen geologi dan perempatan jalan raya (Basuki, 2006). Subjek Penelitian Dalam penelitian ini ditentukan sejumlah karakteristik bagi subjek penelitian, yaitu : Survivor (korban) bencana: Subjek penelitian ini adalah seorang anak berusia 11 tahun warga di Yogyakarta yang mengalami bencana gempa bumi. Tambahan informasi tentang subjek diperoleh melalui dua significant others. Jumlah subjek penelitian: Dalam penelitian ini subjek berjumlah 1 orang. Tahap – tahap Penelitian Tahap Persiapan Penelitian : Peneliti membuat pedoman wawancara yang disusun berdasarkan beberapa teori yang relevan dengan masalah penelitian. Pedoman wawancara telah disusun, ditunjukkan kepada yang lebih ahli dalam hal ini adalah pembimbing penelitian untuk mendapat masukan mengenai isi pedoman wawancara dan menyiapkan diri untuk melakukan wawancara. Kemudian peneliti mencari calon subjek yang sesuai dengan karakteristik subjek penelitian. Setelah mendapatkan subjek yang bersedia untuk diwawancara, dan sasaran penelitian. kemudian peneliti membuat kesepakatan dengan subjek tersebut mengenai waktu dan tempat untuk melakukan wawancara. Tahap Pelaksanaan Penelitian : Peneliti akan melakukan metode pengambilan data dengan metode observasi dan wawancara. Setelah data diperoleh, maka analisis adalah langkah selanjutnya yang dilakukan oleh peneliti, data yang diperoleh dari penelitian studi kasus merupakan data bersifat deskriptif. Dalam melakukan proses analisa, peneliti melakukan beberapa prosedur untuk mengolah data yang didapat untuk dijadikan informasi yang nantinya akan dihubungkan dengan teori yang melatarbelakangi, pengolahan data hasil wawancara secara menyeluruh atau verbatim. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data yang akan di gunakan adalah : Wawancara : Menurut Sukandarrumidi (2004) wawancara adalah suatu proses tanya jawab lisan, dimana dua orang atau lebih berhadapan secara fisik, yang satu dapat melihat muka yang lain dan mendengar telinga sendiri dari suaranya Observasi : Menurut Black dan Champion (1999),Observasi adalah sebuah metode yang bersifat alamiah, dengan demikian pemahamannya harus disesuaikan dengan kebutuhankebutuhan khusus dari peneliti, dari pentingnya permasalahan umum dari Alat Bantu Pengumpulan Data Pedoman Wawancara : Pedoman wawancara digunakan agar wawancara yang dilakukan tidak menyimpang dari tujuan penelitian. Catatan Lapangan : Dalam lembaran ini dicatat hal – hal penting yang terjadi selama wawancara. Catatan ini berisikan deskripsi tentang hal – hal yang diamati, yang dianggap penting oleh peneliti misalnya penampilan dan gerak – gerik responden selama wawancara, yang dirasakan penting, gangguan – gangguan yang dialami saat wawancara. Tape Recorder (alat perekam): Tape recorder berguna sebagai alat bantu pada saat wawancara agar penulis dapat benar-benar berkonsentrasi pada saat pengambilan data tanpa harus berhenti untuk mencatat jawabanjawaban responden. Keakuratan Penelitian Patton (dalam Poerwandari, 1998) membedakan empat macam triangulasi sebagai teknik pemeriksaan untuk mencapai keabsahan, yaitu : Triangulasi Data Triangulasi Pengamat Triangulasi Teori Triangulasi Metode Dalam penelitian ini peneliti menggunakan seluruh triangulasi yang tersedia yaitu triangulasi data, triangulasi pengamat, triangulasi teori dan triangulasi metode, Teknik Analisis Data Proses analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini akan dianalisa dengan teknik analisa data kualitatif yang diajukan oleh Marshall dan Rossman (1995) dalam menganalisa penelitian kualitatif terhadap beberapa tahapan yang perlu dilakukan. Tahap–tahap tersebut adalah : Mengorganisasikan Data Pengelompokan berdasarkan Kategori, Tema, dan Pola Jawaban Menguji Asumsi atau Permasalahan yang ada terhadap Data 4. Hasil dan Analisis Pembahasan Gambaran stres pasca trauma yang diderita oleh seorang anak yang mengalami peristiwa traumatis yaitu gempa bumi Davison dan Neale (2001, dalam Fauisiah & Widuri, 2003) mendefinisikan stres pasca trauma sebagai sekelompok simtom yang muncul setelah mengalami atau menyaksikan peristiwa traumatik (peristiwa yang berada diluar batas pengalaman individu) yang melibatkan kematian atau ancaman kematian, atau luka yang sangat parah, atau ancaman terhadap integritas diri maupun orang lain. Peristiwa tersebut haruslah menimbulkan ketakutan atau kengerian yang intens, atau menimbulkan perasaan tidak berdaya. Seperti yang telah disebutkan diatas diketahui bahwa subjek adalah individu yang mengalami kejadian traumatis, yang ditunjukkan oleh individu tersebut pernah mengalami, menyaksikan atau berhadapan langsung dengan sebuah peristiwa atau beberapa peristiwa yang menyebabkan kematian ataupun luka serius yang dditubjukkan bahwa subjek tersebut pernah mengalami peristiwa gempa yang terjadi pada tanggal 27 Mei 2006 dan saat itu subjek berada di dalam kamar bersama ayahnya. Adanya respon yang ditimbulkan oleh subjek seperti rasa ketakutan jika mendengar suara gaduh. Saat sekolah sudah berlangsung selama satu minggu subjek tidak berani masuk sekolah. Peristiwa gempa yang dialami oleh subjek menjadi pengalaman traumatis, seperti adanya hal-hal yang mengingatkan kembali pada peristiwa traumatis seperti gembar-gambar, pikiran atau persepsi, ditunjukkan jika subjek mendengar isu-isu akan terjadi gempa, teringat akan kejadian gempa dan tsunami di Aceh dan cerita tentang gempa yang terjadi akibat letusan Gunung Merapi. Subjek mengalami mimpi buruk, berperilaku seperti kejadian terulang kembali (meliputi perasaan sedang mengalami kejadian, ilusi-ilusi, halusisanaihalusinasi) ditunjukkan subjek merasa sedang terjadi gempa sewaktu subjek masih tinggal di tenda pengungsian, sering terbayang dengan kejadian gempa dimana subjek melihat tembok rumah subjek yang runtuh, bayangan-bayangan peristiwa gempa seakan-akan terjadi seperti nyata, jika dihadapkan dengan keadaan berbahaya yang menyerupai kejadian traumatis, seperti angin kencang dan gempa susulan. Adanya reaksi fisik jika dihadapkan pada hal-hal yang menyerupai kejadian traumatis seperti terkejut, cemas dan tegang. Adanya penghindaran terhadap stimulus-stimulus yang berhubungan denga peristiwa traumatis, seperti penghindaran pada percakapan yang membuat subjek teringat dengan peristiwa gempa khususnya tentang isu-isu gempa. Adanya penghindaran terhadap tempat yang terkait dengan peristiwa traumatis ditunjukkan dengan subjek tidak mau berkunjung kerumah mbah subjek selama satu bulan. Berkurangnya keinginan untuk berpartisipasi ataupun melakukan sebuah aktivitas. Adanya perasaan terasing dari sekitarnya ditunjukkan dengan subjek sering tersasar jika bermain jauh dari rumah. Adanya perasaan tidak memiliki masa depan ditunjukkan adanya ketakutan jika tidak dapat kuliah dan tidak dapat menyelesaikan kuliah tersebut. Adanya simptomsimptom yang tidak terlihat sebelumnya, seperti subjek mengalami kesulitan tidur yang ditandai dengan tidak maunya subjek tidur di dalam kamar, subjek tidak berani tidur sendiri. Subjek mudah marah jika adikadik subjek tidak mendengarkan kata-katanya. Subjek mengalami kesulitan berkonsentrasi, hal ini dikarenakan kondisi dan situasi yang belum nyaman untuk belajar di sekolah. Subjek memiliki kesiagaan berlebih yang ditandai dengan subjek bangun lebih pagi untuk berangkat sekolah, subjek lebih nyaman tidur dekat pintu dan subjek tidak nyaman jika tidak ada orang dewasa berada bersama subjek di rumah. Adanya respon yang berlebih yang ditandai dengan subjek lebih banyak berdiam diri, subjek mudah sekali terkejut, subjek mudah sekali tegang jika merasa takut. Durasi waktu pada criteria b, c, d lebih dari satu bulan, yang ditunjukkan oleh sulitnya subjek berkonsentrasi selama lebih dari tiga bulan, subjek tidak mau tidur sendiri selama satu tahun, subjek masih sering terkejut selama satu tahun. Peristiwa traumatis tersebut menyebabkan kerusakan dalam bidang sosial, pekerjaan, dan aspek-aspek penting dalam kehidupan yang ditunjukkan subjek berubah manjadi tidak percaya diri jika diberi pekerjaan di sekolah oleh guru subjek dan adanya penurunan nilai. Faktor-faktor lain penyebab trauma Menurut Bufka dan Barlow (2006, dalam Risjawan, 2007) gangguan stress pasca trauma merupakan gangguan mental pada seseorang yang muncul setelah mengalami suatu pengalaman traumatik dalam kehidupan atau suatu peristiwa yang mengancam keselamatan jiwanya. Sebagai contoh peristiwa perang, perkosaan dan penyerangan secara seksual, serangan yang melukai tubuh, penyiksaan, penganiayaan anak, peristiwa bencana alam seperti : gempa bumi, tanah longsor, banjir bandang, kecelakaan lalu lintas atau musibah pesawat jatuh. Orang yang mengalami sebagai saksi hidup kemungkinan akan mengalami gangguan stres. Subjek mengalami trauma dikarenakan peristiwa gempa bumi, subjek merasa tertekan pada lingkungan disekitar subjek yang telah hancur ditandai dengan tidak maunya subjek melihat dan mendekati rumah subjek yang telah hancur dan tidak mau berkunjung ke rumah kakek dan nenek subjek. Subjek tidak terlalu mengetahui tentang bencana gempa bumi, namun subjek menyadari apa yang menyebabkan lingkungan subjek hancur. Bencana gempa menjadi pengalaman yang mengerikan dan juga pengalaman yang dapat membuat perubahan lebih baik pada diri subjek. 5. PENUTUP Kesimpulan Berdasarkan hasil analisis wawancara satu orang subjek dan dua orang significant others subjek penelitian ini mengalami stres pasca trauma setelah mengalami peristiwa gempa bumi yang terjadi pada 27 Mei 2006, adanya gejala-gejala yang timbul pada diri subjek, seperti kaget, takut dan cemas. Subjek seperti mengalami kembali pengalaman tersebut ditunjukkan dengan adanya hal-hal yang mengingatkan kembali pada peristiwa gempa seperti isu-isu akan terjadi gempa yang lebih besar, adanya pikiran yang membuat subjek teringat dengan peristiwa gempa, mengalami mimpi buruk hingga mengigau, berperilaku seperti peristiwa gempa terulang kembali, adanya reaksi jika sedang dalam keadaan berbahaya. Subjek menghindari beberapa tempat yang berhubungan dengan peristiwa traumatis. Berkurangnya keinginan untuk beraktifitas, adanya perasaan terasing pada lingkungan sekitar dan adanya perasaan tidak memiliki masa depan. Subjek mengalami kesulitan tidur, mudah marah, kesulitan berkonsentrasi, adanya kesiagaan berlebih, dan adanya respon berlebihan. Peristiwa traumatis tersebut menyebabkan subjek merasa kurang berintaraksi dengan lingkungan dan menyebabkan tidak percaya diri. Gejala stress pasca trauma yang ditimbulkan oleh subjek berlangsung selama hampir satu tahun. Peristiwa gempa bumi adalah faktor utama yang menyebabkan subjek menderita stres pasca trauma. Selain itu faktor yang menyebabkan subjek menderita stres pasca trauma adalah adanya perasaan tertekan dengan hancurnya lingkungan yang diakibatkan bencana gempa dan menjadi pengalaman yang mengerikan untuk subjek, pengalaman tersebut dapat merubah subjek menjadi lebih mandiri. Selain gempa bumi subjek juga pernah mengalami peristiwa meletusnya Gunung Merapi, ini juga dapat menjadi faktor utama penyebab stres pasca trauma yang berkepanjangan yang diderita oleh subjek, karena peristiwa meletusnya Gunung Merapi terjadi sebelum peristiwa gempa bumi. Saran Bagi subjek Diharapkan dapat lebih berani mengatakan keluhan yang dialami atau perubahan yang dirasakan setalah mengalami peristiwa trauma, baik dengan keluarga maupun dengan orangorang orang terdekat yang dapat membantu mengatasi stres pasca trauma yang dialami, sehingga subjek dapat menjalani aktifitas sehari hari dengan lebih baik dan tidak selalu diikitu oleh rasa takut dan cemas jika dihadapkan lagi dengan hal-hal yang dapat mengingatkan subjek pada peristiwa gempa yang terjadi pada 27 Mei 2006. Bagi orang tua subjekdan orang tua yang memiliki anak yang mengalami stres pasca trauma Kepada seluruh orang tua yang memiliki anak dan mengalami stres pasca trauma disebabkan karena bencana gempa bumi khususnya di Yogyakarta agar dapat lebih memperhatikan keluhan-keluhan dari anak-anak, karena dari keluhan tersebut sebenarnya seorang anak merasakan sesuatu namun sulit untuk mengungkapkan. Dengan memperhatikan keluhan dari anak orang tua dapat lebih tanggap dengan apa yang terjadi pada anaknya dan dapat segera mengatasi perubahan yang ada pada diri anak agar segera dapat dikonsultasikan dengan para ahli atau spesialis trauma yang ada di sekitar anda atau tenda-tenda penanggulangan trauma sehingga stres pasca trauma yang diderita oleh anak tidak berlarut-larut. Jangan terlalu meremehkan stres pasca trauma yang sudah diderita oleh anak karena dapat mengganggu perkembangan ataupun kesehatan anak tersebut. Bagi pemerintah setempat Untuk Pemerintah Daerah setempat disarankan agar lebih memperhatikan keluhan dari warganya, dan lebih transparan dalam memberikan bantuan sehingga diharapkan bantuan yang ada jatuh pada tangan yang berhak dan terbagi secara merata. Bagi peneliti selanjutnya Untuk peneliti lain disarankan agar dapat mengembangkan penelitian ini pada ruang lingkup yang lebih besar seperti pada barak-barak pengungsi, tendatenda darurat dan rumah-rumah penanggulangan trauma. Sehingga diharapkan gambaran stres pasca trauma yang timbul pada anak yang mengalami trauma dapat diklasifikasikan semakin jelas dan akurat. DAFTAR PUSTAKA Aristiarini, A. (2006). Meramal gempa. Jakarta : Kompas, Sabtu 3 Juni 2006 . Basuki, S. (2006). Metode penelitian. Jakarta : Wedatama Widya Sastra bekerja sama dengan Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Universitas Indonesia. Black, A. J., & Champion, D.J. (1999). Metode dan masalah penelitian sosial. Bandung : PT. Refika Aditama. Cameron, C. (2000). Resolving Childhood Trauma : Longterm study of abuse survivors. USA : Sage Publication. Chaplin, J.P. (2001). Kamus lengkap psikologi. Penerjemah : Kartini Kartono. Jakarta : PT. Raja Grafindo Indonesia. Cirrincione, J. (1983). World geography. Toronto : Heath and company Eki, & Wahyu. (2006). Gempa Yogyakarta tewaskan 3090 orang. Jakarta : Kompas, Minggu 28 Mei 2006. Eki, & Gunawan. (2006). Liburan itu berubah jadi tragedi pilu :kehilangan semangat. Jakarta : Kompas, 28 Mei 2006. Fausiah, F. & Widuri, J. (2003). Bahan ajar mata kuliah psikologi abnormal. Fakultas Psikologi Universitas Indonesia. Gunarsa, S.D. (1990). Dasar dan teori perkembangan anak dan remaja. Jakarta : Gunung Mulia. Hartiningsih. (2005). Bencana gempa dan tsunami. Jakarta: Buku Kompas. Heterington, M. E., & Parke, R. D. (1993). Child psychology a contemporary viewpoint. Boston : McGraw Hill. Hurlock, E. B. (1980). Psikologi Perkembangan : Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta : Erlangga. Ibrahim, A. S. (2005). Bencana gempa dan tsunami. Jakarta : Buku Kompas. Isworo, B., & Khairina. (2006). Berdampingan dengan gempa bumi. Jakarta : Kompas, Sabtu 3 Juni 2006. Ita, Nawa, & Nita. (2006). Pengungsi itu mengakhiri hidupnya di sumur : Realitas Psikis. Jakarta : Kompas, Sabtu 3 Juni 2006. Kaplan, H., & Sadock, B. J. (1998). Ilmu kedokteran jiwa darurat. Alih Bahasa : Dr, Wicaksono M Roan. Jakarta : Widya Medika. Kartono, K. (2002). Psikologi Sosial 3 : Gangguan-gangguan kejiwaan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. Koentjaraningrat. (1991). Metodemetode penelitian masyarakat. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Marshall, C & Rossman. (1995). Designing qualitative research. London : Sage Publications. Moleong, L. J. (1999). Pendekatan penelitian kualitatif. Bandung : PT. Remaja Rorda Karya. Monahan, C. (1993). Children And Trauma: A parents guide to helping children heal. USA : Lexington Books. Monks, F. J., Knoers, A. M. P., & Haditomo, S. R. (1990). Psikologi perkembangan : pengantar dalam berbagai bagiannya. Yogyakarta : Gadjah Mada Uniersity Press. Naqiyah, N. (2006). Penanganan trauma pasca tsunami. www.najlah.blogspot.com. Diakses tahun 2006 Nawawi, H. (2005). Metode penelitian bidang sosial. Yogyakarta : Gadjah Mada Unuversity Press. Poerwandari, E. K. (1998). Pendekatan kualitatif dalam penelitian psikologi. Jakarta : Lembaga Pengembangan Sarana Pengukuran dan Pengembangan Pendidikan Psikologi (lpsp3) Fakultas Psikologi UI. Sukandarrumidi. (2004). Metodologi penelitian : petunjuk praktis untuk peneliti pemula. Yogyakarta : Gadjah Mada University Press. Suryabrata, S. (2005). Metodologi penelitian. Jakarta : Radja Grafindo Persada. Wardiyatmoko, K. (2004). Geografi. Jakarta : Erlangga. Yin, R. K. (2003). Studi kasus (desain dan metode) edisi revisi. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. www.nationalgeographic.com/magaz ine/0504. Diakses tahun 2006 www.yarramall.com. Diakses tahun 2006 www.e-smartschool.com. Diakses tahun 2006 www.medicastore.com. Diakses tahun 2006