II. 2.1 TINJAUAN PUSTAKA Pertumbuhan Ekonomi Salah satu indikator keberhasilan pembangunan suatu wilayah adalah besarnya tingkat pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi wilayah adalah pertambahan pendapatan masyarakat secara keseluruhan yang terjadi di wilayah tersebut, yaitu kenaikan seluruh nilai tambah (value added) yang terjadi (Priyarsono et al, 2007). Kemampuan yang meningkat ini disebabkan karena faktor-faktor produksi yang selalu mengalami pertambahan baik jumlah maupun kualitasnya. Investasi akan menambah barang modal. Disamping itu tenaga kerja juga ikut bertambah sebagai akibat perkembangan penduduk. Demikian juga halnya dengan teknologi dan mutu pendidikan dari tenaga kerja yang senantiasa berkembang. Perkembangan kemampuan memproduksi barang dan jasa sebagai akibat pertambahan faktor-faktor produksi pada umumnya tidak selalu diikuti oleh pertambahan produksi barang dan jasa yang sama besarnya. Pertambahan potensi memproduksi kerap kali lebih besar daripada pertambahan produksi yang sebenarnya, sehingga yang terjadi perkembangan ekonomi adalah lebih lambat dari potensinya. Jika diamati, pertumbuhan ekonomi merupakan fenomena penting yang dialami dunia dalam dua abad belakangan ini dan oleh Kuznets, proses pertumbuhan ekonomi tersebut dinamakan sebagai modern economic growth. Dalam periode tersebut dunia telah mengalami perubahan yang sangat nyata jika dibandingkan dengan periode sebelumnya. Sampai abad XVII kebanyakan masyarakat di dunia ini masih hidup pada tingkat subsisten dan mata pencaharian utamanya adalah di bidang pertanian, perikanan atau berburu. Namun pada saat ini keadaan sudah sangat berbeda. Taraf kemakmuran suatu masyarakat ditujukan dengan adanya peningkatan di dalam pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi dapat mengalami peningkatan dan penurunan tergantung kepada faktor-faktor yang mempengaruhinya. Para ahli mengetahui bahwa pertumbuhan ekonomi yang 8 lambat atau kemunduran ekonomi menimbulkan implikasi ekonomi dan sosial yang sangat merugikan masyarakat. Hal inilah yang menyebabkan para ahli sejak berabad-abad yang lalu mencoba mencari formula untuk meningkatkan taraf kemakmuran masyarakat. Pada mulanya ahli-ahli ekonomi pada mahzab Merkantilisme berpendapat bahwa kekayaan emas dan perak merupakan sumber kekayaan dan kemakmuran suatu negara karena itu mereka menyatakan perlunya dilakukan perdagangan dengan negara-negara lain. Pada Tahap selanjutnya, Adam Smith yang menjadi pelopor dalam pemikiran ekonomi memberikan pandangan bahwa; sistem pasar, perluasan pasar dan spesialisasi serta kemajuan teknologi merupakan faktor-faktor yang dapat menimbulkan pertumbuhan ekonomi. Dengan lebih intensif, penelitian Harrod Domar menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi dapat ditingkatkan melalui pertumbuhan modal dan tabungan. Sollow kemudian merumuskan model pertumbuhan ekonomi dari sisi agregat supply dan memasukkan faktor pertumbuhan modal sebagai faktor yang menentukan pertumbuhan ekonomi disamping modal. Menurut Todaro dan Smith (2006), terdapat sembilan faktor yang menyebabkan perbedaan dalam mempengaruhi prospek pertumbuhan ekonomi yaitu: 1. Perbedaan kekayaan sumber daya alam dan kualitas modal manusia. 2. Perbedaan pendapatan perkapita dan tingkat pendapatan domestik bruto. 3. Perbedaan iklim 4. Perbedaan jumlah penduduk, distribusi serta laju pertumbuhannya. 5. Peranan sejarah migrasi antar wilayah. 6. Perbedaan dalam memperoleh keuntungan dari perdagangan internasional. 7. Kemampuan melakukan penelitian dan pengembangan dalam bidang ilmiah dan teknologi. 8. Stabilitas dan fleksibilitas lembaga-lembaga politik dan sosial. 9. Efektifnya lembaga-lembaga ekonomi dalam negeri. 9 2.1.1 Teori Pertumbuhan Ekonomi Klasik Dua orang ahli pertumbuhan ekonomi klasik yang terkenal adalah Adam Smith dan Ricardian (dalam Priyarsono et al, 2007) mengemukakan faktor-faktor yang mendorong pertumbuhan ekonomi masyarakat. Berdasarkan teori pertumbuhan ekonomi klasik dapat disimpulkan sebagai berikut: 1. Tingkat perkembangan suatu masyarakat yang tergantung pada empat faktor yaitu jumlah penduduk, jumlah stok modal, luas tanah dan tingkat teknologi yang dicapai. 2. Pendapatan masyarakat dapat dibagi menjadi tiga jenis, yaitu upah pekerja, keuntungan pengusaha, dan sewa tanah yang diterima oleh pemilik tanah. 3. Kenaikan upah akan menyebabkan kenaikan penduduk. 4. Tingkat keuntungan merupakan faktor yang menentukan pembentukan modal. 5. The law of diminishing return berlaku untuk semua kegiatan ekonomi sehingga mengakibatkan pertambahan penduduk yang akan menurunkan tingkat upah, menurunkan tingkat keuntungan tetapi menaikkan tingkat sewa tanah 2.1.2 Teori Pertumbuhan Ekonomi Neo Klasik Solow Model pertumbuhan ekonomi Solow menyatakan bahwa secara kondisonal, perekonomian berbagai negara akan bertemu pada tingkat pendapatan yang sama, dengan syarat bahwa negara-negara tersebut mempunyai tingkat tabungan, depresiasi, pertumbuhan angkatan kerja dan pertumbuhan produktifitas yang sama. Dalam model pertumbuhan Solow disebutkan bahwa persediaan modal total tumbuh ketika tabungan tumbuh lebih cepat dibandingkan depresiasi (penyusutan) dan modal modal per tenaga kerja tumbuh ketika tabungan juga lebih besar daripada yang diperlukan untuk memasok para pekerja baru dengan jumlah modal yang sama dengan yang dimiliki pekerja yang sudah ada (Todaro dan Smith, 2006). 10 Teori pertumbuhan ekonomi Solow ini menunjukkan bahwa tabungan memegang peran yang penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu wilayah. Peningkatan tabungan yang dihimpun oleh lembaga perbankan pada akhirnya akan disalurkan kembali kepada masyarakat untuk membiayai berbagai kegiatan produktif. 2.1.3 Teori Pertumbuhan Endogen Teori pertumbuhan endogen memiliki kemiripan dengan teori pertumbuhan ekonomi klasik Solow dalam hal menjelaskan peran tabungan terhadap pertumbuhan ekonomi. Dasar perbedaan dari kedua teori ini adalah asumsi kurva produksi dan tabungan yang digunakan masing-masing teori. Pada teori neoklasik Solow diketahui bahwa fungsi produksi dan tabungan berada pada posisi dimishing marginal product of capital sehingga kurva fungsi produksi dan tabungan yang paralel akan melengkung. Karena garis investasi memiliki slope positif, maka garis investasi dan kurva tabungan akan saling bepotongan. Berbeda dengan teori pertumbuhan neoklasik Solow, teori pertumbuhan endogen mengasumsikan bahwa fungsi produksi menunjukkan a contant marginal product of capital. Demikian pula halnya dengan fungsi produksi, kurva tabungan yang paralel, kini berupa garis lurus. Karena tidak ada lagi kecenderungan kurva tabungan untuk menurun, maka tingkat tabungan akan selalu lebih besar dari investasi yang dibutuhkan. Semakin besar tabungan maka semakin besar celah tabungan diatas investasi yang dibutuhkan dan semakin cepat pula pertumbuhan ekonomi (Dornbusch et al, 2001). 2.1.4 Teori Pertumbuhan Kuznet Ahli ekonomi modern, Profesor Kuznet mendefinisikan pertumbuhan ekonomi sebagai kemampuan jangka panjang untuk menyediakan berbagai jenis barang ekonomi yang terus menerus meningkat kepada masyarakat. Kemampuan ini tumbuh atas dasar kemajuan teknologi, institusional dan ideologis yang diperlukannya. 11 2.1.5 Teori Pertumbuhan Harrod Domar Harrod Domar berpendapatan bahwa perlunya penanaman modal dalam menciptakan pertumbuhan ekonomi. Oleh karena itu, setiap usaha ekonomi harus menyelamatkan proporsi tertentu dari pendapatan nasional untuk menambah stok modal yang akan digunakan dalam investasi baru. Ada hubungan yang langsung antara besarnya stok modal (K) dan jumlah produksi nasional (Y). 2.2 Kemiskinan Badan Pusat Statistik (2007) mendefinisikan kemiskinan dalam dua pengertian yaitu kemiskinan relatif dan kemiskinan absolut. Kemiskinan Relatif didefinisikan sebagai suatu kondisi miskin karena pengaruh kebijakan pembangunan yang belum mampu menjangkau seluruh lapisan masyarakat sehingga menyebabkan ketimpangan distribusi pendapatan. Standar minimum disusun berdasarkan kondisi hidup suatu negara pada waktu tertentu misalnya 20 persen atau 40 persen lapisan terendah dari total penduduk yang telah diurutkan menurut pendapatan/pengeluaran. Kemiskinan absolut didefinisikan sebagai kondisi ketidakmampuan untuk mencukupi kebutuhan pokok minimum seperti pangan, sandang, kesehatan, perumahan dan pendidikan yang diperlukan untuk bisa hidup dan bekerja. Kebutuhan pokok minimum diterjemahkan sebagai ukuran finansial dalam bentuk uang. Nilai kebutuhan minimum kebutuhan dasar tersebut dikenal dengan istilah Garis Kemiskinan. Penduduk yang pendapatannya di bawah Garis Kemiskinan digolongkan sebagai penduduk miskin. Metode yang digunakan untuk menghitung Garis Kemiskinan terdiri atas dua komponen utama yaitu Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). Garis Kemiskinan Makanan (GKM) merupakan nilai pengeluaran kebutuhan minimum makanan yang disetarakan dengan 2100 kalori perkapita perhari. Paket komoditi kebutuhan dasar makanan diwakili oleh 52 jenis komoditi (padi-padian, umbi-umbian, ikan, daging, telur dan susu, sayuran, kacang-kacangan, buah-buahan, minyak dan lemak dll). Sedangkan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM) merupakan kebutuhan 12 minimum untuk perumahan, sandang, pendidikan dan kesehatan. Paket komoditi kebutuhan dasar non makanan diwakili oleh 51 jenis komoditi (kelompok pengeluaran) di perkotaan dan 47 komoditi di perdesaan. Garis Kemiskinan (GK) merupakan penjumlahan dari Garis Kemiskinan Makanan (GKM) dan Garis Kemiskinan Non Makanan (GKNM). 2.2.1 Penyebab Kemiskinan Kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan ketidakmampuan dalam memenuhi kebutuhan material dasar, namun kemiskinan juga terkait erat dengan berbagai dimensi lain kehidupan manusia, misalnya, kesehatan, pendidikan, jaminan masa depan dan peranan sosial. (BKPKRI, 2001). Berdasarkan hasil World Summit for Social Development 1995, kemiskinan seseungguhnya tidak semata-mata disebabkan oleh masalah-masalah internal orang miskin seperti : rendahnya pendapatan, rendahnya posisi tawar, budaya hidup yang tidak mendukung kemajuan dan rendahnya kemampuan orang miskin dalam mengelola sumberdaya alam dan lingkungannya. Namun kemiskinan juga berkaitan dengan faktor-faktor eksternal yang berada diluar jangkauan orang miskin, seperti : 1. Rendahnya akses terhadap sumberdaya dasar (pendidikan dasar, kesehatan, air bersih) di daerah terpencil. 2. Adanya perbedaan kesempatan diantara anggota masyarakat yang disebabkan karena sistem yang kurang mendukung. 3. Tidak adanya tata pemerintahan yang bersih dan baik. 4. Bencana alam. 5. Kebijakan publik yang tidak peka dan tidak mendukung upaya penanggulangan kemiskinan Selain itu kemiskinan juga bisa disebabkan oleh faktor adat dan budaya suatu daerah yang membelenggu seseorang tetap melekat dengan indikator kemiskinan atau sering disebut sebagai kemiskinan kultural. Padahal indikator kemiskinan tersebut seharusnya bisa dikurangi atau bahkan secara bertahap dihilangkan dengan mengabaikan faktor-faktor adat dan budaya tertentu yang menghalangi seseorang melakukan perubahan-perubahan ke arah tingkat 13 kehidupan yang lebih baik. Kemiskinan karena sosio-kultural pada suku terasing, seperti halnya suku Badui di Cibeo Banten Selatan, suku Dayak di pedalaman Kalimantan dan suku Kubu di Jambi (BPS, 2007) 2.2.2 Dampak Kemiskinan Menurut Todaro dan Smith (2006), kemiskinan yang meluas dapat mengakibatkan dampak yang negatif bagi pembangunan di suatu daerah antara lain: Pertama, kemiskinan menyebabkan kaum miskin tidak mampu membiayai pendidikan anaknya, memperoleh akses kredit dan ketiadaan peluang untuk melakukan investasi baik investasi fisik maupun moneter. Kedua, kemiskinan menyebabkan kaum miskin memiliki standar hidup yang rendah, yang tercermin dari kesehatan, gizi dan pendidikan yang rendah sehingga dapat menurunkan produktifitas ekonomi mereka dan akibatnya secara tidak langsung maupun langsung menyebabkan perekonomian tumbuh lambat. Ketiga, meluasnya kemiskinan menyebabkan menurunkan permintaan atas barang dan jasa sehingga secara keseluruhan ekonomi akan tumbuh lebih lambat 2.3 Ketimpangan Antar Wilayah Ketimpangan antar wilayah adalah perbedaan tingkat pertumbuhan antar wilayah. Setiap negara selalu mempunyai wilayah yang maju secara ekonomi dan ada yang tertinggal. Perbedaan ini terletak pada perkembangan sektor-sektor ekonominya, baik sektor pertanian, pertambangan, industri, konstruksi, perdagangan, transportasi, komunikasi, sektor jasa seperti perbankan, asuransi, kesehatan, maupun sektor infrastruktur, perumahan dan lain sebagainya. Pembangunan wilayah yang merata tidak berarti setiap wilayah mempunyai tingkat pertumbuhan atau perkembangan yang sama, atau mempunyai pola pertumbuhan yang seragam untuk setiap wilayah. Pengertian Pembangunan wilayah yang merata mengarah pada pengembangan potensi wilayah secara menyeluruh sesuai kapasitas dan potensi yang dimiliki, sehingga dampak positif dari pertumbuhan ekonomi terbagi secara seimbang kepada seluruh wilayah atau daerah. 14 Pada umumnya negara-negara maju telah mampu mewujudkan pembangunan wilayah yang seimbang atau relatif merata. Masalah ketimpangan antar wilayah biasanya terjadi di negara-negara berkembang. Ketimpangan Regional Kurva Ketimpangan Regional Sumber : Syafrizal, 2008 Tingkat Pembangunan Wilayah Gambar 1. Kurva Kuznets “U Terbalik” Menurut hipotesa Neo klasik pada permulaan proses pembangunan suatu negara, ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung meningkat. Proses ini akan terjadi sampai ketimpangan tersebut mencapai puncak. Setelah itu, bila proses pembangunan terus berlanjut, maka secara berangsur-angsur ketimpangan pembangunan antar wilayah tersebut akan menurun. Berdasarkan hipotesa ini, dapat ditarik suatu kesimpulan sementara bahwa pada negara-negara berkembang umumnya ketimpangan pembangunan antar wilayah cenderung lebih tinggi, sedangkan pada negara-negara maju ketimpangan tersebut akan lebih rendah. Dengan kata lain, kurva ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah berbentuk U terbalik (Reverse U Shape Curve) seperti tampak pada Gambar 1. (Syafrizal, 2008). 2.3.1 Penyebab Ketimpangan Antar Wilayah Disparitas pembangunan terjadi karena tiga faktor yaitu faktor alami, kondisi sosial budaya dan keputusan-keputusan kebijakan. Faktor alami meliputi kondisi iklim pertanian (agro climate), sumber daya alam, lokasi geografi, jarak pelabuhan dengan pusat aktifitas ekonomi dan wilayah potensial untuk pembanguan ekonomi. Sementara faktor-faktor sosial budaya meliputi nilai dan 15 tradisi, mobilitas ekonomi, investasi dan kewirausahaan. Sedangkan faktor keputusan kebijakan adalah sejumlah kebijakan yang mendukung secara langsung atau tidak langsung membuat terjadinya disparitas pembangunan (United Nations, 2001). Pertumbuhan ekonomi tinggi yang kurang diimbangi dengan kekuatankekuatan redistributif baik secara ekonomi maupun politis akan menimbulkan kesejangan. Kesenjangan ini muncul disebabkan berbagai faktor yaitu sistem sentralisasi negara yang terlalu kuat, sedangkan kekuatan penyeimbang tidak sebanding; kondisi dualisme yang dipertajam dengan kebijakan pemerintah, misalnya kota desa, sektor formal-informal sehingga langsung berhadapan dengan skala besar dan kecil (ekonomi rakyat); adanya kekuatan-kekuatan ekonomi dan politik yang bersifat eksploitif, koruptif dan kolusif; kekuatan demokrasi ekonomi dan politik yang belum memadai (Hasibuan, 2001). Kesalahan-kesalahan kebijakan pembangunan mengakibatkan pembangunan menjadi timpang dan tidak seimbang, dimana satu sektor berkembang jauh lebih cepat dari sektor lainnya. Dalam hal ini dimana sektor ekonomi mendapatkan prioritas tertinggi dalam program pembangunan, para perencana kebijakan cenderung untuk demikian memusatkan perhatian pada faktor ekonomi, sehingga mereka lupa memberi perhatian secukupnya pada segisegi non ekonomis yang menunjang. Penekanan yang berlebihan pada pembangunan ekonomi seraya mengabaikan perkembangan-perkembangan sosial atau dengan kata lain terlalu mengutamakan salah satu sektor ekonomi akan menciptakan ancaman bom waktu psikologis dan politis yang dapat menghancurkan hasil-hasil pembangunan. Sebab jurang perbedaan dalam pembangunan sektor-sektor dapat menimbulkan ketegangan dan rasa tidak puas yang selanjutnya akan mengundang reaksi-reaksi politis atau psikologis yang merugikan pembangunan ekonomi (Sumardjan, 1991). Menurut Williamson (1975) dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu : tingkat kesenjangan antar wilayah 16 a) Labor Migration (perpindahan tenaga kerja) Perpindahan tenaga kerja antar daerah mungkin sangat selektif karena baik oleh hambatan keuangan daripada tingkat pendapatan yang rendah atau kelambanan tradisonal di masyarakat pedesaan dan daerah non industri yang miskin. Orang-orang yang pindah mungkin ditandai sebagai orang-orang yang bersemangat dan berjiwa kewirausahaan, terdidik dan mempunyai ketrampilan dan dalam umur-umur produktif. Perpindahan penduduk yang selektif semacam ini akan memberikan penekanan terhadap adanya tendensi kearah terpencarnya pendapatan regional, tingkat partisipasi tenaga kerja, jika yang lain tetap, cenderung akan menguntungkan daerah yang kaya dan merugikan daerah yang miskin. Lebih dari itu, human capital yang berharga cenderung mengalir keluar dari daerah miskin ke daerah kaya yang membuat sumbersumber regional perkapita yang dimiliki akan lebih pincang dan ketidaksamaan akan lebih besar. b) Capital Migration (perpindahan modal) Perpindahan modal swasta secara inter-regional cenderung berakibat buruk. Faedah eksternal ekonomis dan faedah umum yang berasal dari aglomerasi dari proyek-proyek modal di daerah kaya yang menyebabkan berpindahnya modal dari daerah miskin, hal ini cenderung memperhebat ketidaksamaan regional dan memperluas perpecahan antara daerah kaya dan miskin. Resiko yang tinggi, kekurangan kemampuan berwirausaha dan pasar modal yang belum berkembang, boleh jadi akan menekan kegiatan investasi dan akumulasi modal di daerah miskin. c) Central Government Policy (kebijakan pemerintah pusat) Pemerintah pusat yang secara terang-terangan atau tidak melakukan usaha-usaha untuk meningkatkan pembangunan nasional yang menimbulkan peningkatan ketidaksamaan regional, jika keadaan politik di wilayah yang miskin kurang memuaskan maka pemerintah pusat dapat saja mengalihkan investasi dari daerah miskin ke daerah kaya. Hal ini akan menyebabkan kesenjangan yang semakin besar. Tetapi apabila pemerintah pusat cenderung berlaku adil maka kebijaksanaan dapat mengurangi kesenjangan ini juga. 17 Dengan memperhatikan pola investasi regional pemerintah pusat, hendaknya jelas bahwa setelah pembangunan berlangsung, maka investasi pemerintah diharapkan semakin berkurang dan dalam banyak hal investasi pemerintah akan dibiayai oleh investasi sebelumnya. d) Interregional Linkages (keterkaitan antar daerah) Secara umum dapat dikatakan bahwa pada permulaan pembangunan mungkin efek menyebar dari perubahan teknologi dan perubahan sosial serta penggandaan pendapatan adalah kecil, tetapi selanjutnya diharapkan pada saat pembangunan telah berjalan, peningkatan di suatu daerah akan memberikan efek yang menyebar ke daerah di sekitarnya. Setiap faktor-faktor diatas atau kombinasinya, boleh jadi cukup menyebabkan ketidaksamaan regional menjadi berkurang ataupun bertambah. Sedangkan ketimpangan antar daerah dapat menimbulkan berbagai masalah antara lain kecemburuan antar daerah dan berbagai masalah kependudukan (migrasi, urbanisasi, pengangguran dan sebagainya), yang pada gilirannya akan sangat berpengaruh pada stabilitas nasional. Menurut Syafrizal (2008), terdapat beberapa faktor yang menyebabkan ketimpangan antar wilayah antara lain : a) Perbedaan Kandungan Sumberdaya Alam Penyebab pertama yang mendorong timbulnya ketimpangan pembangunan antar wilayah adalah adanya perbedaan yang sangat besar dalam kandungan sumberdaya alam pada masing-masing daerah. Sebagaimana diketahui bahwa perbedaan kandungan sumberdaya alam di Indonesia ternyata cukup besar. Ada daerah yang mempunyai minyak dan gas alam, tetapi daerah lain tidak mempunyai. Sementara ada daerah yang memiliki kandungan batubara yang melimpah, tapi daerah lain miskin kandungan mineral. Demikian juga dengan tingkat kesuburan lahan yang juga bervariasi sehingga mempengaruhi upaya untuk mendorong pembangunan pertanian pada masing-masing daerah. 18 Perbedaan kandungan sumberdaya alam ini jelas akan mempengaruhi kegiatan produksi pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kandungan sumber daya alam yang cukup tinggi akan dapat memproduksi barang-barang tertentu dengan biaya relatif murah dibandingkan daerah lain yang mempunyai sumberdaya alam yang lebih rendah. Kondisi ini mendorong pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan menjadi lebih cepat. Sedangkan daerah lain yang mempunyai kandungan sumberdaya alam yang lebih sedikit akan memproduksi barang-barang dengan biaya produksi yang lebih tinggi sehingga daya saingnya menjadi lemah. Kondisi tersebut menyebabkan daerah bersangkutan cenderung mempunyai pertumbuhan ekonomi yang lebih lambat. Dengan demikian terlihat bahwa perbedaan kandungan sumberdaya ini dapat mendorong terjadinya ketimpangan pembangunan antar wilayah yang lebih tinggi pada suatu negara. b) Perbedaan Kondisi Demografi Kondisi demografis juga dapat mendorong terjadinya ketimpangan antar wilayah. Kondisi demografis yang dimaksud adalah perbedaan tingkat pertumbuhan dan struktur kependudukan, perbedaan tingkat pendidikan dan kesehatan, perbedaan kondisi ketenagakerjaan dan perbedaan dalam tingkah laku dan kebiasaan serta etos kerja yang dimiliki masyarakat daerah bersangkutan. Kondisi demografis ini akan dapat mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah karena hal ini akan berpengaruh pada produktivitas kerja masyarakat pada daerah yang bersangkutan. Daerah dengan kondisi demografis yang baik cenderung akan mempunyai produktifitas kerja yang lebih tinggi sehingga hal ini akan mendorong peningkatan investasi yang selanjutnya akan meningkatkan penyediaan lapangan kerja dan pertumbuhan ekonomi daerah bersangkutan. c) Kurang Lancarnya Mobilitas Barang dan Jasa Mobilitas barang dan jasa yang kurang lancar dapat juga mendorong terjadinya peningkatan ketimpangan pembangunan antar wilayah. Mobilitas barang dan jasa ini meliputi kegiatan perdagangan antar daerah dan migrasi baik yang disponsori pemerintah (transmigrasi) atau migrasi spontan. Alasannya adalah karena bila mobilitas tersebut 19 kurang lancar maka kelebihan produksi suatu daerah tidak dapat dijual ke daerah lain yang membutuhkan. Demikian pula halnya dengan migrasi yang kurang lancar menyebabkan kelebihan tenaga kerja suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan oleh daerah lain yang sangat membutuhkannya. Akibatnya, ketimpangan pembangunan antar wilayah akan cenderung tinggi karena kelebihan suatu daerah tidak dapat dimanfaatkan daerah lain yang membutuhkan, sehingga daerah terbelakang sulit mendorong proses pembangunannya. Karena itu tidaklah mengherankan bila ketimpangan antar wilayah seringkali terjadi di negara berkembang dimana mobilitas barang dan jasa kurang lancar dan terdapatnya beberapa daerah yang terisolir. d) Konsentrasi Kegiatan Ekonomi Wilayah Terjadinya konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup tinggi pada wilayah tertentu jelas akan mempengaruhi ketimpangan pembangunan antar wilayah. Pertumbuhan ekonomi daerah akan cenderung lebih cepat pada daerah dimana terdapat konsentrasi kegiatan ekonomi yang cukup besar. Kondisi tersebut selanjutnya akan mendorong proses pembangunan daerah melalui peningkatan penyediaan lapangan kerja dan tingkat pendapatan masyarakat. Konsentrasi kegiatan ekonomi tersebut dapat disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena terdapatnya sumberdaya alam yang lebih banyak pada daerah tertentu, misalnya minyak bumi, gas dan batubara. Kedua, meratanya fasilitas transportasi baik darat, laut maupun udara, juga ikut mempengaruhi konsentrasi kegiatan ekonomi di suatu wilayah. Ketiga, kondisi demografis (kependudukan) juga ikut mempengaruhi karena kegiatan ekonomi akan cenderung terkonsentrasi dimana sumberdaya manusia tersedia dengan kualitas yang lebih baik. e) Alokasi Dana Pembangunan Antar Wilayah Investasi merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan pertumbuhan ekonomi suatu daerah. Karena itu, daerah yang mendapat alokasi investasi yang lebih besar dari pemerintah atau dapat menarik lebih banyak investasi swasta akan cenderung mempunyai tingkat pertumbuhan ekonomi daerah yang lebih cepat. Kondisi ini tentunya akan dapat pula 20 mendorong proses pembangunan daerah melalui penyediaan lapangan kerja yang lebih banyak dan tingkat pendapatan perkapita yang lebih tinggi. Alokasi investasi pemerintah ke daerah lebih banyak ditentukan oleh sistem pemerintah daerah yang dianut. Bila sistem pemerintahan daerah yang dianut bersifat sentralistik, maka alokasi dana pemerintah akan cenderung lebih banyak dialokasikan pada pemerintah pusat, sehingga ketimpangan pembangunan antar daerah akan cenderung tinggi. 2.3.2 Dampak Ketimpangan Antar Wilayah Ketimpangan antar wilayah tidak bisa dipandang sebelah mata sebagai suatu masalah yang sederhana. Ketimpangan antara wilayah yang ekstrim akan menimbulkan beberapa masalah diantara : 1. Ketimpangan antar wilayah dipandang sebagai hal yang tidak adil. Konsentrasi pembangunan pada masa lalu yang lebih menfokuskan pembangunan di Pulau Jawa sehingga mengabaikan pembangunan di wilayah luar Jawa akan menimbulkan rasa ketidakadilan di sebagian besar masyarakat di luar Jawa. Jika hal ini terus menerus dibiarkan akan mengancam kesatuan dan persatuan Indonesia sebagai suatu negara. 2. Ketimpangan yang terjadi antar wilayah akan menimbulkan ancaman bagi stabilitas dan keamanan negara. Gerakan separatis yang menginginkan untuk merdeka atau untuk melepaskan diri dari Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah suatu contoh betapa pentingnya ketimpangan antar wilayah harus menjadi perhatian Pemerintah. Hal ini terjadi terutama pada wilayah dengan kekayaan alam yang melimpah namun tetap memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi yang rendah. 2.4 Dana Bagi Hasil Dana bagi hasil (DBH) merupakan hak daerah atas pengelolaan sumber- sumber penerimaan negara yang dihasilkan dari masing-masing daerah, yang besarnya atas daerah penghasil (by origin) yang didasarkan atas ketentuan perundangan yang berlaku. Secara garis besar DBH terdiri atas DBH perpajakan 21 dan DBH sumber daya alam (SDA). Sumber-sumber penerimaan perpajakan yang dibagihasilkan meliputi pajak penghasilan (pph) pasal 21 dan pasal 25/29 orang pribadi, pajak bumi dan bangunan (PBB), dan bea perolehan hak atas tanah dan bangunan (BPHTB). Sementara itu, sumber-sumber penerimaan SDA yang dibagihasilkan adalah pertambangan minyak bumi, pertambangan gas bumi, pertambangan panas bumi, pertambangan umum, kehutanan dan perikanan. Berdasarkan PP Nomor 115 tahun 2000, bagian daerah dari PPh, baik PPh pasal 21 maupun PPh pasal 25/29 orang pribadi ditetapkan masing-masing sebesar 20 persen dari penerimaannya. Dua puluh persen bagian daerah tersebut terdiri dari 8 persen bagian propinsi dan 12 persen bagian kabupaten/kota. Pengalokasian bagian penerimaan pemerintah daerah kepada masing-masing daerah kabupaten/kota diatur berdasarkan usulan gubernur dengan mempertimbangkan berbagai faktor lainnya yang relevan dalam rangka pemerataan. Sementara itu, sesuai dengan PP Nomor 16 tahun 2000, bagian daerah dari PBB ditetapkan 90 persen, sedangkan sisanya sebesar 10 persen yang merupakan bagian pemerintah pusat, seluruhnya juga sudah dikembalikan kepada daerah. Dari bagian sebesar 90 persen tersebut, 10 persen merupakan upah pungut, yang sebagian merupakan bagian pemerintah pusat. Berdasarkan perhitungan tersebut, maka bagian pemerintah daerah dari penerimaan PBB diperkirakan mencapai 95.7 persen. Sementara itu, bagian dari dari BPHTB, berdasarkan UU nomor 25 tahun 1999 ditetapkan sebesar 80 persen, sedangkan sisanya sebesar 20 persen yang merupakan bagian pemerintah pusat, juga seluruhnya sudah dikembalikan ke daerah. Dalam undang-undang tersebut juga diatur mengenai besarnya bagian daerah dari penerimaan SDA minyak bumi dan gas alam (migas), yang masingmasing ditetapkan sebesar 15 persen dan 30 persen dari penerimaan bersih setelah dikurangi komponen pajak dan biaya-biaya lainnya yang merupakan faktor pengurang. Sesuai dengan ketentuan Pasal 14 huruf e dan huruf f dan Pasal 106 ayat (1) UU Nomor 33 Tahun 2004, mulai tahun 2009 alokasi untuk daerah dari bagi hasil pertambangan minyak bumi dan gas bumi, ditetapkan masing-masing 15,5 22 persen dan 30,5 persen dari penerimaannya setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya. 2.5 Daerah Penghasil Migas Definisi daerah penghasil migas adalah daerah dimana terdapat penerimaan negara dari migas atau daerah dimana terdapat lapangan/sumur yang berproduksi dan ada produk yang dijual (lifting). (Departemen Energi dan Sumber Daya Mineral, 2009) Penggolongan daerah penghasil migas ditetapkan sebagai berikut: Daerah 0 - 4 mil laut (kabupaten/kota), Daerah 4 - 12 mil laut (propinsi) Daerah > 12 mil laut (pemerintah pusat). 2.6 Daerah Tertinggal Daerah tertinggal adalah daerah kabupaten yang relatif kurang berkembang dibandingkan daerah lain dalam skala nasional dan berpenduduk yang relatif tertinggal. Penetapan daerah tertinggal menggunakan pendekatan penghitungan 6 (enam) kriteria dasar yaitu: perekonomian masyarakat, sumber daya manusia, prasarana (infrastruktur), kemampuan keuangan lokal (celah fiskal), aksesibilitas dan karakteristik daerah (Meneg PDT, 2005). 2.7 Penelitian Terdahulu 2.7.1 Penelitian tentang Pertumbuhan Ekonomi Brojonegoro (2001) dalam penelitiannya menyimpulkan bahwa dengan dana bagi hasil sumber daya alam maka daerah kaya seperti Kalimantan Timur, Riau dan Aceh akan mengalami pertumbuhan ekonomi yang signifikan. Sedangkan daerah seperti Papua tidak terpengaruh secara signifikan pertumbuhannya dengan transfer dana bagi hasil SDA. Liu (dalam Haryanto, 2006) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa desentralisasi fiskal memiliki efek positif dan signifikan didalam mempengaruhi pertumbuhan ekonomi di China. 23 Penelitian lain juga dilakukan oleh Faisal (2002) dengan menggunakan data panel di 26 propinsi di Indonesia periode pengamatan 1995 sampai dengan 1999. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa desentralisasi fiskal memiliki dampak negatif terhadap pertumbuhan ekonomi khususnya tingkat propinsi di Indonesia. Haryanto (2006), dalam penelitian dengan menggunakan data kabupaten seluruh Indonesia pada periode waktu 2001 sampai 2004 meneliti pengaruh variabel pendidikan, pengangguran, ketimpangan daerah, infrastruktur, jumlah penduduk dan keterbukaan daerah serta indikator desentralisasi fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. Dari penelitiannya, disimpulkan bahwa pendidikan, penduduk ketimpangan wilayah, jumlah dan variabel infrastruktur mempengaruhi secara postif pertumbuhan ekonomi. Sedangkan variabel pengangguran signifikan negatif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Selain itu diketahui bahwa indikator pendapatan asli daerah terbukti positif mempengaruhi pertumbuhan ekonomi. Sari (2006), dalam penelitiannya mengamati pengaruh perkembangan perbankan terhadap pertumbuhan ekonomi regional di 30 propinsi pada periode 1987-2002. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel tabungan berpengaruh positif terhadap pertumbuhan ekonomi. 2.7.2 Penelitian tentang Kemiskinan Balisacan et al (2003) melakukan studi mengenai pertumbuhan dan pengurangan kemiskinan di Indonesia dan apa yang ditunjukkan oleh data subnational. Hasil penelitian ini menunjukkan pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan memiliki hubungan yang kuat untuk tingkat agregat. Penelitian menggunakan metode data panel dengan menggunakan data 285 kabupaten /kota. Skira (2006) melakukan penelitian yang bertujuan menganalisa hubungan antara desentralisasi fiskal dan kemiskinan di 200 Negara. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisa regresi data panel dengan membentuk model hubungan antara dana perimbangan daerah dan kemiskinan 24 dengan menggunakan Indeks Pembangunan Manusia sebagai variabel proksinya. Variabel lain yang digunakan dalam model ini antara lain pengeluaran Sosial untuk masyarkat miskin, gini ratio, PDB perkapita , kepadatan penduduk, tingkat kelahiran dan persentase penduduk yang lulus sekolah dasar. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dana perimbangan daerah, pengeluaran sosial untuk masyarakat miskin, PDB perkapita dan kepadatan penduduk dan persentase penduduk yang lulus sekolah dasar memberikan dampak yang positif terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Sementara itu Gini ratio dan tingkat kelahiran berdampak negative terhadap Indeks Pembangunan Manusia. Siregar dan Wahyuniarti (2008) dalam penelitiannya mengamati pengaruh pertumbuhan ekonomi dan variabel-variabel lain seperti share sektor pertanian dan industri dalam PDRB, populasi, inflasi, jumlah penduduk yang lulus SMP, SMU, dan Diploma berdampak terhadap penurunan kemiskinan di 26 propinsi antara tahun 1995-2005 dengan menggunakan metode data panel. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel pertumbuhan ekonomi, share sektor pertanian dalam PDRB, share sektor industri dalam PDRB, jumlah penduduk yang lulus SMP, SMU dan Diploma berhubungan negatif dengan jumlah kemiskinan. Sedangkan variabel populasi dan inflasi berhubungan positif dengan kemiskinan. Zulfachri (2006) dalam penelitiannya mengamati pengaruh pertumbuhan ekonomi dan ketidakmerataan terhadap kemiskinan di Indonesia. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah model regresi berganda. Hasil penelitian ini memberikan hasil bahwa pertumbuhan ekonomi mendorong perlambatan laju pertumbuhan kemiskinan, sebaliknya ketidakmerataan pendapatan akan meningkatkan laju pertumbuhan kemiskinan. Alawi (2006) melakukan penelitian pengaruh anggaran belanja pembangunan daerah terhadap kemiskinan dengan menggunakan model regresi data panel sebagai alat analisa. Penelitian yang dilakukan menggunakan data seluruh kabupaten dan kota yang berada di wilayah propinsi Jawa Tengah tahun 2002-2004. Penelitian ini mendapatkan hasil bahwa alokasi pengeluaran untuk human capital investment belum mampu mengurangi tingkat kemiskinan dan kedalaman kemiskinan, walaupun tingkat keparahan kemiskinan dapat dikurangi. 25 Sementara itu, alokasi pengeluaran untuk kepentingan menyediakan jaminan sosial telah berhasil memperbaiki tingkat kemiskinan, kedalam kemiskinan dan keparahan kemiskinan. Fatma (2005) dalam penelitiannya mengamati pengaruh inflasi dan pengangguran terhadap kemiskinan di Indonesia dengan menggunakan analisa regresi data panel. Hasil penelitian menunjukkan bahwa inflasi berpengaruh searah dan signifikan terhadap Head Count Index, Poverty Gap Index dan Distributionally Sensitive Index. Pengangguran berpengaruh searah terhadap Head Count Index dan Poverty Gap Index tapi berpengaruh tidak searah terhadap Distributionally Sensitive Index. 2.7.3 Penelitian tentang Ketimpangan Antar Wilayah LPEM-UI (2001), dalam penelitian mengamati dampak dana bagi hasil sumber daya alam (SDA) dan dana alokasi umum terhadap ketimpangan pendapatan di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa dana bagi hasil SDA memberi dampak yang buruk terhadap disparitas pendapatan antar daerah sementara dana alokasi umum cukup efektif mengurangi disparitas antar daerah. Syateri (2005), dalam penelitiannya mengamati pengaruh investasi, jumlah tenaga kerja, sumbangan pemerintah pusat dan pengeluaran konsumsi rumah tangga terhadap kesenjangan antar kabupaten/kota di Propinsi Bengkulu. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa variabel investasi dan tenaga kerja berpengaruh negatif terhadap kesenjangan antara wilayah. Sementara itu, variabel sumbangan pemerintah berpengaruh negatif terhadap pertumbuhan ekonomi daerah. Esmara (dalam Syateri, 2005) yang melakukan studi analisis tentang kesenjangan antar daerah dengan melihat koefisien disparitas Williamson dengan menggunakan data PDRB perkapita dari tahun 1968-1972. Secara umum disimpulkan bahwa dengan menggunakan PDRB dengan migas, kesenjangan antar daerah jauh lebih tinggi dibandingkan PDRB tanpa migas dan selama periode ini baik tanpa migas maupun dengan migas kesenjangan antar daerah cenderung meningkat. 26 Uppai dan Handoko (1986) menyimpulkan dalam penelitiannya bahwa pertumbuhan ekonomi cenderung menurunkan kesenjangan pendapatan antar daerah dalam kurun waktu 1976-1980, dengan pengecualian tahun 1979. Selanjutnya penelitian yang dilakukan Karneo dan Rietveldt (1987) dengan menambah perhitungan koefisien disparitas Williamson, yaitu tahun 1975, 1982 dan 1983 menunjukkan adanya kecenderungan kesejangan pendapatan regional yang menaik. Akita dan Lukman (dalam Syateri, 2005) dalam penelitiannya mengenai ketidakseimbangan pendapatan antar propinsi di Indonesia dengan menggunakan data PDB non migas perkapita periode tahun 1975-1992 menemukan bahwa koefisien disparitas (indeks Williamson) nyaris stabil, setelah melalui perubahan yang signifikan terhadap strukturnya. Peranan sektor tersier sangat besar, meskipun dalam waktu berikutnya cenderung menurun. Sedangkan share Gross Domestic Product (GDP) sektor sekunder mempunyai peranan penting dalam mempengaruhi besarnya koefisien kesenjangan. Selanjutnya Garcia dan Soelistianingsih (dalam Syateri, 2005) melakukan penelitian tentang terjadinya perbedaan pendapatan propinsi-propinsi di Indonesia yang disebabkan oleh rendahnya indikator kesehatan dan angka melek huruf masayarakat pedesaan dan propinsi-propinsi miskin. Rendahnya indikator kedua aspek tersebut merupakan penyumbang terbesar pada tingkat kesenjangan regional di Indonesia. 2.8 Kerangka Penelitian Perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah diwujudkan dalam bentuk pembagian dana alokasi umum, dana bagi hasil dan dana alokasi khusus bagi pemerintah daerah provinsi dan kabupaten/kota. Khusus bagi daerah penghasil migas, pemerintah daerah setempat memperoleh dana bagi hasil sumber daya alam minyak dan gas bumi (DBH SDA migas). Besarnya dana bagi hasil yang diterima dan pengalokasian APBD untuk pengeluaran yang berbeda-beda antar masing-masing Pemerintah Daerah memberikan dampak berbeda pula pada pencapaian tingkat kemiskinan dan 27 pertumbuhan ekonomi di tiap daerah. Penelitian ini ingin melihat bagaimana struktur perekonomian kabupaten penghasil migas secara umum, dampak migas terhadap ketimpangan pendapatan serta mengamati variabel-variabel yang terkait dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi, tingkat kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Selain itu pada penelitian ini juga ingin dilihat tingkat kemajuan dalam pembangunan daerah menurut tipologi Klassen. Tentunya kemajuan yang dicapai oleh tiap daerah berbeda satu dengan yang lain. Hal ini tidak terlepas dari besarnya sumber-sumber pendapatan daerah dalam APBD dimana salah satu diantaranya dana bagi hasil. Seberapa jauh ketimpangan pembangunan antar daerah penghasil migas akan dilihat dalam penelitian ini dengan menghitung indeks Williamson ( Gambar 2). 28 Desentralisasi Fiskal Daerah bukan penghasil migas Pemerintah daerah Penerimaan Daerah PAD DAU, DAK, DBH non migas Pinjaman Daerah Lain-lain Penerimaan yang sah Daerah Penghasil Migas Penerimaan Daerah PAD DAU, DAK DBH Pinjaman Daerah Lain-lain Penerimaan yang sah Pengeluaran daerah menurut penggunaan Kesehatan, Pendidikan, Pelayanan Umum, Ketertiban dan Ketentraman, Ekonomi, Lingkungan Hidup, Perumahan dan fasilitas umum, Pariwisata dan budaya, Perlindungan Sosial Variabel penelitian yang digunakan Analisa Deskriptif Indeks Williamson Analisa Tipologi Klassen Karakteristik daerah Ketimpangan pendapatan antar daerah Klasifikasi daerah pertumbuhan, kemiskinan Hasil penelitian dan pembahasan --------- : Masalah yang dibahas Gambar 2 . Kerangka Penelitian Analisa Ekonometrik Dampak DBH terhadap : Pertumbuhan ekonomi, kemiskinan, dan ketimpangan pendapatan Kesimpulan dan Saran