Sejarah Moneter Periode 1983-1997

advertisement
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
SEJARAH BANK INDONESIA : MONETER
Periode 1983-1997
Cakupan :
Halaman
1.
Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode 19831997
2
2.
Arah Kebijakan 1983-1997
5
3.
Langkah-Langkah Strategis 1983-1997
6
4.
Kebijakan Devisa di Indonesia 1983-1997
7
5.
Kebijakan nilai tukar di Indonesia 1983-1997
8
6.
Kebijakan hutang luar Negeri 1983-1997
9
1
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
1. Sekilas Sejarah Bank Indonesia di Bidang Moneter Periode
1983 - 1997
Memasuki awal periode 1982/1983 perekonomian Indonesia mengalami tekanan
yang cukup berat terutama disebabkan oleh menurunnya harga minyak di pasaran
dunia dan berlanjutnya resesi ekonomi dunia yang berpengaruh terhadap kegiatan
perekonomian dalam negeri. Daya saing produk Indonesia menurun karena nilai
rupiah over valued akibat tingginya laju inflasi dibandingkan dengan negara pesaing
atau negara rekanan dagang utama Indonesia, maka pertumbuhan ekonomi semakin
menurun tajam dan defisit neraca pembayaran cukup besar. Untuk memperkuat
struktur perekonomian Indonesia, maka ditempuh beberapa kebijakan pengendalian
moneter yang menuju ke arah mekanisme pasar. Kebijakan tersebut diawali dengan
mendevaluasi nilai tukar rupiah pada 30 Maret 1983 dari Rp 702,50 menjadi Rp 970
per USD guna mengembalikan daya saing Indonesia. Selanjutnya, diambil langkah
deregulasi di bidang keuangan dan moneter berupa Paket Kebijakan 1 Juni 1983
dengan maksud utama untuk mendorong kemandirian dunia perbankan.
Kebijakan 1 Juni 1983 atau lebih
dikenal
dengan
PAKJUN
83
merupakan awal deregulasi sektor
moneter yang dimaksudkan untuk
meletakkan landasan yang kokoh
bagi perkembangan perbankan
yang
lebih
sehat
di
masa
mendatang. Deregulasi perbankan
ini
berkaitan
dengan
sektor
perkreditan
dan
pengerahan
dana.
Dari sisi moneter, inti dari
kebijakan tersebut adalah: (1)
Kebebasan pada bank pemerintah
untuk menetapkan suku bunga deposito. Sebelumnya, suku bunga deposito ini
masih diatur oleh Bank Indonesia; (2) Ketentuan pagu kredit, yang sebelumnya
digunakan sebagai salah satu instrumen intervensi langsung, dihapuskan. Sebagai
gantinya, pemerintah menggunakan instrumen tidak langsung yaitu penentuan
cadangan wajib, operasi pasar terbuka (OPT), fasilitas diskonto, dan moral suasion.
Hasilnya, selain telah meningkatkan simpanan masyarakat di bank, Paket Juni 1983
(PAKJUN 83) telah memberikan kontribusi positif terhadap kestabilan moneter, yang
sejak saat itu pengendalian moneter lebih mengutamakan penggunaan instrumen
tidak langsung.
Dari segi pengendalian uang beredar, kebijakan deregulasi 1 Juni 1983 ini telah
mengubah mekanisme dan piranti pengendalian moneter. Pemerintah tidak lagi
melakukan intervensi langsung dalam mengendalikan kebijakan moneter. Untuk
keperluan operasi pasar terbuka (open market operation), sejak bulan Februari 1984
Bank Indonesia menerbitkan instrumen moneter berupa Sertifikat Bank Indonesia
(SBI) dan menyediakan fasilitas diskonto.
SBI merupakan instrumen moneter tidak langsung yang diadakan untuk menyedot
kelebihan uang beredar di masyarakat jika kondisi moneter terlalu ekspansif.
2
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
Perbankan dapat memanfaatkan kelebihan likuiditas yang dimiliki dengan membeli
SBI jika dana tersebut tidak dipinjamkan ke masyarakat. Sebaliknya, untuk
menambah uang beredar (ekspansi), sejak tanggal 1 Februari 1985, Bank Indonesia
menerbitkan pula instrumen OPT baru berupa Surat Berharga Pasar Uang (SBPU).
Untuk tahap awal, jenis SBPU yang diperdagangkan terbatas pada surat sanggup
(aksep/promes) dan wesel. Instrumen ini digunakan dalam rangka pelaksanaan
pemberian kredit dan pinjaman antar bank.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 1984 cukup meningkat dibandingkan
tahun-tahun sebelumnya. Tetapi inflasi terus melaju cukup tinggi akibat devaluasi
rupiah dan naiknya harga BBM pada awal tahun 1984. Pada saat itu, beberapa bank
tertentu bergantung pada dana Pasar Uang Antar Bank (PUAB), sehingga BI
bermaksud mengurangi ketergantungan bank-bank terhadap PUAB dengan
menetapkan batas maksimum bank untuk memperoleh dana di PUAB serta
menyediakan Fasilitas Kredit Khusus (FKK) dengan jangka waktu satu tahun.
Merosotnya harga minyak internasional sampai USD 10 per barel pada bulan Agustus
1986, menyebabkan defisit neraca pembayaran Indonesia semakin membengkak.
Pasalnya, ekonomi Indonesia sangat bergantung pada ekspor minyak. Untuk
menghindari kondisi yang semakin buruk, pada tanggal 12 September 1986,
pemerintah kembali melakukan tindakan devaluasi rupiah terhadap dollar Amerika
sebesar 31%. USD 1 yang semula Rp 1.134, disesuaikan menjadi Rp 1.644. Selain
itu, untuk mendorong pemasukan modal dan dana dari luar, pemerintah menghapus
ketentuan pagu swap ke Bank Indonesia.
Setelah beberapa kali devaluasi itu dilakukan, terlihat peningkatan yang cukup
berarti pada penerimaan ekspor, khususnya dari sektor non migas. Namun, pada
periode-periode berikutnya, penerimaan ekspor menurun akibat tidak realistisnya
nilai tukar rupiah terhadap US Dollar. Di lain pihak, masyarakat sudah trauma
terhadap kebijakan devaluasi yang terus dilakukan pemerintah. Hal ini dapat
menimbulkan ketidakpercayaan pasar.
Untuk menghindari ekspektasi negatif masyarakat, sejak tahun 1986 pemerintah
menerapkan kebijakan nilai tukar mengambang (managed floating exchange rate).
Dengan sistem ini, nilai tukar rupiah diambangkan terhadap beberapa mata uang
negara mitra dagang utama Indonesia. Pemerintah menetapkan kurs indikasi dan
membiarkan kurs bergerak di pasar dengan kisaran (spread) tertentu, sedangkan
untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah, pemerintah melakukan intervensi ketika
kurs bergejolak melebihi batas atas atau batas bawah yang ditetapkan.
Pada tahun 1987, perekonomian Indonesia masih menghadapi kesulitan. Pengaruh
pasar minyak yang belum menentu memberi kontribusi cukup besar bagi
peningkatan defisit neraca pembayaran dan penerimaan pemerintah. Kondisi ini
dipersulit oleh semakin turunnya harga berbagai komoditi ekspor tradisional
Indonesia di pasaran. Sementara itu, terjadi spekulasi di pasar valuta asing pada
awal tahun 1987/1988 yang cukup mengganggu stabilitas moneter.
Menghadapi kondisi sulit ini, pada bulan Juni 1987, pemerintah bersama Bank
Indonesia melakukan pengetatan moneter yang biasa dikenal dengan Gebrakan
Sumarlin I. Suku bunga SBI, fasilitas diskonto, dan tingkat rediskonto (gadai ulang)
SBPU dinaikkan. Sebaliknya, pagu SBPU secara bertahap diturunkan. Pemerintah
juga menginstruksikan pengalihan dana milik beberapa badan usaha milik negara
3
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
(BUMN) pada perbankan untuk ditempatkan pada SBI. Tindakan yang dikenal
dengan Gebrakan Sumarlin I ini - karena dilakukan oleh Menteri Keuangan adinterim Sumarlin - mengakibatkan terjadinya kontraksi moneter secara drastis.
Selanjutnya dalam Pelita V perekonomian Indonesia menunjukkan perkembangan
yang membaik dengan angka pertumbuhan 5,7% dalam 1988 yang melebihi target
rata-rata pertumbuhan 5%. Untuk menjaga kelangsungan pembangunan selain dari
sumber penghasilan minyak, maka dirasakan perlu digali sumber dana dari dalam
negeri dengan meningkatkan ekspor non-migas. Guna mendukung hal itu,
pemerintah mengeluarkan Paket Kebijakan Deregulasi di Bidang Moneter, Keuangan
dan Perbankan pada 27 Oktober 1988 (Pakto 1988). Sebagai kelanjutan dari Pakto
1988 dikeluarkan kebijakan Paket Maret 1989 dan Paket Januari 1990 guna
mendukung pengendalian inflasi dan memperkuat struktur perkreditan. Kebebasan
yang diberikan oleh Pakto 1988 telah menyebabkan ekspansi kredit perbankan yang
berlebihan dan kurang selektif. Untuk menahan situasi tersebut pada Maret 1991
pemerintah mengambil langkah Pengetatan Moneter II yang dikenal dengan
Gebrakan Sumarlin II. Pengetatan moneter pada 1987 dan 1991 mengekang laju
inflasi hingga secara berangsur turun menjadi 4,9% pada 1992. Tetapi suku bunga
deposito naik menjadi rata-rata 27% per tahun dan menyebabkan cost of fund
perbankan dalam negeri menjadi mahal, sehingga banyak pengusaha dalam negeri
mencari dana ke luar negeri yang relatif lebih murah. Untuk mengatasi beban Debt
Service Ratio (DSR) akibat meningkatnya pinjaman komersial tersebut dilakukan
pembentukan Tim Koordinasi Pengelolaan Pinjaman Komersial Luar Negeri (PKLN)
dengan BI sebagai koordinator. Namun demikian penerimaan PKLN dapat
mempengaruhi stabilitas moneter sehingga pada 20 Nopember 1991 diambil
kebijakan dalam ketentuan Posisi Devisa Netto, penyempurnaan fasilitas swap dan
pemberian kredit dalam valuta asing.
Pada 1995/1996 kegiatan investasi dan konsumsi di Indonesia semakin marak
sehingga menyebabkan kenaikan pertumbuhan pada beberapa sektor ekonomi
(konstruksi dan industri). Peningkatan itu diikuti dengan memanasnya suhu
perekonomian yang tercermin dalam laju inflasi yang mencapai 8,9%. Untuk
menghadapi hal tersebut, Bank Indonesia segera mengambil beberapa langkah
pengendalian moneter. Di bidang perkreditan diberlakukan pembatasan pemberian
kredit dan pemenuhan SPBU-KUK bagi bank-bank. Sedangkan di bidang devisa,
digariskan kebijakan untuk menahan dampak negatif arus modal jangka pendek.
Sementara guna memenuhi meningkatnya permintaan domestik serta meningkatkan
ekspor non migas, pemerintah bersama Bank Indonesia mengambil langkah-langkah
melalui Deregulasi Juni 1996 yang meliputi peningkatan efisiensi sektor produksi dan
peningkatan ekspor non migas dan pengamanan dalam pinjaman luar negeri.
Akhirnya secara umum pada periode deregulasi ini pinjaman luar negeri sektor
swasta terus meningkat. Sehingga pada Juli 1996 Bank Indonesia menerbitkan
Yankee Bond, untuk menciptakan benchmarking yang dapat membantu memperoleh
syarat pinjaman luar negeri yang lebih lunak. Dengan langkah tersebut beban
pembayaran dan resiko dari pinjaman dapat dikurangi.
4
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
2. Arah Kebijakan 1983-1997
Hingga awal periode ini, pembangunan ekonomi Indonesia mengalami banyak
kemajuan, namun secara struktural masih tergantung pada dominasi Pemerintah.
Hingga awal periode ini, pembangunan ekonomi Indonesia mengalami banyak
kemajuan, namun secara struktural masih tergantung pada dominasi Pemerintah.
Dimungkinkannya Pemerintah dalam mendominasi pembangunan ekonomi selama
ini, terutama berkat kekayaan tambang minyak dan gas. Peranan migas ini terhadap
ekspor barang dan jasa tahun 1983 mencapai 79% dan peranannya dalam
menyumbang penerimaan pajak mencapai 66%. Itu pula sebabnya Pemerintah
dapat mendorong pertumbuhan ekonomi melalui berbagai subsidi. Sektor ekonomi
yang disubsidi selama ini meliputi pertanian, perdagangan, pendidikan, perumahan,
transportasi, kesehatan, perbankan dlsb.
Struktur seperti ini sulit dipertahankan tatkala terjadi penurunan harga minyak di
pasaran dunia sejak tahun 1980 an. Untuk memperbaiki struktur tersebut,
Pemerintah
melakukan
reformasi,
diversifikasi
ekonomi
dengan
terus
mengembangkan sektor swasta, deregulasi, debirokratisasi, bahkan juga liberalisasi.
Langkah ini sekaligus merupakan upaya penyesuaian terhadap proses globalisasi
pasar yang bercirikan tidak diperbolehkannya segala bentuk subsidi dan proteksi
dalam perdagangan bebas dunia. Kebijakan-kebijakan moneter (termasuk
perbankan) diarahkan untuk mencapai tujuan dimaksud.
5
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
3. Langkah-Langkah Strategis 1983-1997
Deregulasi di sektor keuangan mencakup pula bidang moneter dan perbankan.
Kebijakan-kebijakan moneter dan perbankan tersebut ditetapkan melalui Paket
Kebijakan Juni 1983 (Pakjun) yang intinya ditujukan untuk mendorong sector swasta
melalui optimalisasi mobilisasi dana masyarakat.
Deregulasi di sektor keuangan mencakup pula bidang moneter dan perbankan.
Kebijakan-kebijakan moneter dan perbankan tersebut ditetapkan melalui Paket
Kebijakan Juni 1983 (Pakjun) yang intinya ditujukan untuk mendorong sector swasta
melalui optimalisasi mobilisasi dana masyarakat.
Oleh karena itu mekanisme pembentukan suku bunga dan nilai tukar semakin
dilepaskan kepada mekanisme pasar. KLBI pun ditarik secara bertahap, pasar uang
antar bank dikembangkan melalui penerbitan instrument-instrument yang
marketable seperti SBI dan Surat Berharga Pasar Uang (SBPU) lainnya, ekspansi
kredit perbankan tidak dibatasi lagi melainkan cukup dipantau dan GWM yang
tadinya ditetapkan sebesar 30% diturunkan menjadi 15% sejak Juni 1983, bahkan
menjadi 2% sejak Oktober 1988 guna meningkatkan efisiensi operasional perbankan
dan sekaligus memberikan fleksibilitas dalam memilih jenis-jenis penanaman dana
yang produktif.
Dengan demikian maka bank sentral tidak lagi mengendalikan moneter secara
langsung. Kebijakan deregulasi tersebut kemudian disusul dengan berbagai
deregulasi lanjutan, antara lain perubahan sistem nilai tukar dari mengambang
terkendali secara ketat menjadi mengambang terkendali secara lebih fleksibel sejak
tahun 1986 dan perluasan jaringan perbankan sejak tahun 1988.
Dengan berbagai kebijakan ini, pembangunan ekonomi mencapai kemajuan yang
relatif pesat, bahkan sempat over-heated terutama karena membanjirnya pinjaman
luar negeri untuk pembiayaan sektor-sektor ekonomi yang bersifat konsumtif,
seperti properti, shopping center dan otomotif. Kondisi ini berlangsung hingga
pertengahan tahu 1997 walaupun telah diterapkan berbagai pengetatan moneter dan
penerapan prinsip kehati-hatian bagi operasional perbankan.
6
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
4. Kebijakan Devisa di Indonesia 1983-1997
Kebijakan devisa bebas yang diterapkan sejak tahun 1970, masih berlanjut pada
periode ini. Sebagaimana telah diberlakukan sejak periode sebelumnya, dalam
periode ini setiap individu dan badan hukum pada prinsipnya dapat melakukan
transaksi dan mengelola devisa.
Kebijakan devisa bebas yang diterapkan sejak tahun 1970, masih berlanjut pada
periode ini. Sebagaimana telah diberlakukan sejak periode sebelumnya, dalam
periode ini setiap individu dan badan hukum pada prinsipnya dapat melakukan
transaksi dan mengelola devisa. Sementara itu kebijakan devisa tetap diarahkan
untuk memelihara kecukupan devisa guna memenuhi kebutuhan pembayaran impor
dan berbagai kewajiban kepada pihak luar negeri.
Guna mendorong masuknya modal asing maka pada tanggal 25 Oktober 1986 pagu
swap ulang ke Bank Indonesia atas pinjaman luar negeri dihapuskan.
Turunnya harga minyak dan gas (migas) di pasaran dunia sejak tahun 1980 an
memberikan tekanan yang berat terhadap cadangan devisa Indonesia Akibat
penurunan harga migas tersebut maka dominasi migas terhadap seluruh ekspor
Indonesia menurun dari 66,8% menjadi 50,9% pada tahun 1986/1987. Bukan itu
saja, proses globalisasi pasar yang ditandai oleh persaingan bebas semakin
memberikan tekanan pada ekspor Indonesia. Tekanan-tekanan dimaksud
mengakibatkan neraca perdagangan non-migas mengalami defisit. Walaupun neraca
pembayaran secara keseluruhan masih surplus namun hal ini lebih disebabkan oleh
masuknya modal asing pada sektor swasta. Untuk tetap dapat mempertahankan
perputaran roda perekonomian maka Pinjaman Luar Negeri ditingkatkan. Pinjaman
luar negeri juga dimaksudkan untuk menjaga kemantapan neraca pembayaran
(pinjaman siaga).
Di akhir periode ini, gejolak nilai tukar mengakibatkan terjadinya pembelian devisa
besar-besaran yang memberikan tekanan berat terhadap pengelolaan devisa.
7
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
5. Kebijakan nilai tukar di Indonesia 1983-1997
Terkait dengan upaya reformasi, deregulasi, debirokratisasi dan liberalisasi di
berbagai bidang, pada tanggal 12 September 1986 Pemerintah melakukan devaluasi
Rupiah lagi sebesar 31%.
Terkait dengan upaya reformasi, deregulasi, debirokratisasi dan liberalisasi di
berbagai bidang, pada tanggal 12 September 1986 Pemerintah melakukan devaluasi
Rupiah lagi sebesar 31%. Devaluasi tersebut merupakan devaluasi yang terakhir kali
dilakukan, setelah itu nilai tukar Rupiah diambangkan secara lebih fleksibel hingga
tahun 1994, kemudian dengan mekanisme intervensi pasar dalam range (pita
intervensi atau band intervensi) tertentu.
Di samping intervensi melalui pasar valas, Bank Indonesia juga menggunakan
instrument-instrumen lain untuk membatasi gejolak nilai tukar, misalnya :
(1) Pengendalian likuiditas Rupiah
(2) Pembatasan Posisi Devisa Neto Perbankan, dan
(3) Pengendalian Pinjaman Komersial Luar Negeri.
Hingga paruh pertama bulan Juli 1997 nilai tukar Rupiah relative stabil pada level
Rp.2.350,- an per USD1,-
8
Unit Khusus Museum Bank Indonesia: Sejarah Bank Indonesia
6. Kebijakan hutang luar Negeri 1983-1997
Kebijakan utang luar negeri yang penting telah diambil dalam periode ini adalah
dengan dibentuknya tim PKLN yang bertugas melakukan pengendalian terhadap
utang luar negeri swasta.
Kebijakan utang luar negeri yang penting telah diambil dalam periode ini adalah
dengan dibentuknya tim PKLN yang bertugas melakukan pengendalian terhadap
utang luar negeri swasta. Inti dari kebijakan tersebut adalah penetapan pagu PKLN
swasta. Berdasarkan pagu tersebut, tim PKLN melakukan seleksi secara ketat
terhadap rencana penggunaan PKLN untuk proyek-proyek BUMN sehingga dapat
memutuskan beberapa proyek ditunda atau dihentikan. Seleksi terhadap PKLN
swasta dilakukan secara ketat oleh Bank Indonesia dengan berpedoman pada
kebijakan yang ditetapkan oleh tim Bank Indonesia.
Keketatan penerapan pagu dan pengelolaan PKLN untuk BUMN dan perbankan telah
mendorong swasta Indonesia melakukan berbagai cara dalam pelaksanaan proyek
dan pencarian PKLN. Proyek-proyek yang semula dilakukan oleh BUMN kemudian
dialihkan statusnya menjadi proyek swasta murni baik dalam bentuk perusahaan
PMA maupun PMDN sehingga menjadi terbesar dari pengaturan oleh tim PKLN.
Besarnya minat investasi yang didorong oleh kegairahan perekonomian yang tinggi
serta besarnya selisih suku bunga dalam dan luar negeri semakin mendorong
maraknya pencarian PKLN ke luar negeri oleh perusahaan swasta. Kepercayaan
investor nasional terhadap perkembangan dan prospek perekonomian tinggi.
Semuanya itu menyebabkan pesatnya peningkatan hutang swasta di luar BUMN dan
perbankan, sedangkan utang Pemerintah, BUMN, dan perbankan lebih terkendali.
9
Download