BAB 1 PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah

advertisement
BAB 1
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah
Studi ini bermaksud untuk melihat bagaimana pengaruh etnisitas dalam
pengisian jabatan Eselon II pada jajaran Birokrasi pemerintah daerah Kabupaten
Sintang paska pilkada 2010. Pengaruh etnisitas dalam tubuh birokrasi Kabupaten
Sintang tidak terlepas dari kebangkitan politik etnis dari etnis Dayak di
Kalimantan Barat. Selain itu studi ini juga secara bersamaan akan menghasilkan
dan memberikan gambaran umum bagaimana konfigurasi etnis yang terjadi
setelah penyelenggaraan Pilkada tahun 2010.
Berbicara birokrasi dan politik tentunya menjadi hal yang sangat menarik,
tidak hanya dalam kaitan pelayanan prima bagi masyarakatnya, tetapi juga
pentingnya kebijakan tentang pengangkatan pejabat di lingkup birokrasi.
Kabupaten Sintang tidak jauh berbeda dengan kabupaten lainnya di Kalimantan
Barat. Secara demografis masyarakat di Sintang sangatlah beragam, terutama jika
kita bicara tentang keragaman etnis dan budayanya. Etnis Dayak dan Melayu
menjadi dua etnis dominan di Kabupaten Sintang, sedangkan etnis lainnya seperti
Jawa, Thionghoa, Batak, Sunda, dan etnis lainnya menjadikan semakin
beragamnya masyarakat di Sintang.
Keberagaman ini tidak salah jika kemudian akan memunculkan dominasi
salah satu etnis tehadap etnis lain, bermainnya politik etnisitas akan sangat kental
mempengaruhi kehidupan sosial politik masyarakat. Isu- isu etnisitas selalu
menjadi tema utama dalam pilkada , itulah mengapa setiap etnis memiliki caranya
1
tersendiri untuk memenangkan pasangan calonnya dalam Pemilu Kepala Daerah
di Kabupaten Sintang. Para pejabat birokrasi pun seakan tidak mau kalah, mereka
yang seharusnya netral dalam pemilu ternyata diam-diam atau secara terangterangan menunjukan keberpihakannya pada salah satu pasang calon. Celakanya
lagi ada beberapa oknum yang kemudian menjadi salah satu tim sukses salah satu
pasang calon.
Tujuannya tentu saja selain agar “jagonya‟ menang dalam pilkada, sudah
pasti ada motif lain yang berkaian erat dengan Jabatan yang mereka (birokrasi)
duduki saat ini. Entah itu untuk mempertahankan jabatannya atau justru berharap
promosi ke jabatan yang lebih tinggi. Hal ini yang kemudian terlihat dari pola
pengangkatan para pejabat Eselon II di Kabupaten Sintang. Setiap pilkada
berakhir dan telah memperlihatkan siapa pemenangnya maka secara otomatis
jabatan-jabatan Eselon II pun mulai terlihat siapa pemenangnya. Rotasi, mutasi,
dan promosi jabatan Eselon II layaknya „hadiah‟ yang diberikan Bupati terpilih
bagi para loyalisnya yang membantu memenangkan pilkada, dan tentu saja
menjadi „petaka‟ bagi loyalis kompetitor pasangan Bupati dan Wakil Bupati
terpilih. Corak etnis pun sudah dapat dipastikan merupakan representatif dari etnis
kedua pasangan Bupati dan Wakilnya.
Pemerintahan Kabupaten Sintang saat ini memiliki sebanyak 32 jabatan
Eselon II. Jika kemudian kita kategorikan pejabat berdasarkan etnisnya ada
sebanyak 17 pejabat eselon II atau 53,12 % berasal dari etnis Dayak. Kemudian
sebanyak 7 pejabat eselon II atau 21,8% berasal dari etnis Melayu. Dan sisanya 4
atau 12,5 % pejabat eselon II dari etnis Jawa, 3 pejabat eselon II atau sekitar 9,4
2
% dari etnis Batak dan 1 orang pejabat atau 3,2 % eselon II dari salah satu etnis di
NTT. 1 Dominasi etnis Dayak dalam jajaran pejabat Eselon II tidak terlepas dari
kemenangan pasangan Milton (bupati incumbent) dan Juan pada pemilu kepala
daerah (Pilkada) di Kabupaten Sintang pada tahun 2010 lalu, keduanya berasal
dari etnis Dayak. Mereka mengalahkan pasangan Jarot (wakil bupati Incumbent)
dan Kartius, Jarot berasal dari etnis Jawa dan Kartius merupakan etnis Dayak.
Dari data di atas terlihat bagaimana dua etnis mayoritas (Dayak dan
Melayu) mendominasi jabatan Eselon II di Kabupaten Sintang. Dominasi dari
etnis Dayak tentunya tidak terlepas dari terpilihnya pasangan bupati dan wakil
bupati Sintang yang juga merupakan etnis Dayak. Sedangkan banyaknya pejabat
eselon II dari etnis Melayu tidak terlepas keberpihakan mereka terhadap bupati
terpilih dan juga merupakan loyalis dari bupati dan wakil bupati Sintang.
Fenomena tersebut tentunya akan lebih banyak menghasilkan dampak yang
negatif ketimbang hal positifnya. Mulai dari dampaknya pelayanan publik secara
keseluruhan, karena para pejabat ini di angkat tidak melalui proses yang
seharusnya berdasarkan kriteria, profesionalitas dan kinerja pejabat. Walaupun
melalui mekanisme dan proses di Baperjakat namun tentunya keputusan akhir
berada di tangan Bupati sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Selain itu,
dominasi dan diskriminasi jabatan tentunya akan menimbulkan konflik dan
ketidak percayaan pejabat birokrat yang ada di bawahnya.
Berbicara dinamika birokrasi tentunya sudah banyak sekali studi-studi
terdahulu yang memberikan perhatian mereka terhadap fenomena dan dinamika
1
Data diperoleh dari Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Sintang yang kemudian diolah
sedemikian rupa untuk memenuhi kebutuhan penulisan.
3
birokrasi. Mulai dari kritikan terhadap konsep dari birokrasi itu sendiri, sampai
pada perjalanan birokrasi dalam sebuah pemerintahan. Kebanyakan dari studi
tersebut menitik beratkan bagaimana seharusnya sebuah organisasi birokrasi
tersebut berjalan, bagaimana birokrasi memberikan pelayanan yang prima kepada
masyarakat, bahkan politisasi dalam tubuh birokrasi tersebut yang kini marak
terjadi dalam pemerintahan di Indonesia.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Rusmawaty BTE. Rusdin pada tahun
2010 tentang “Birokrat Dalam Pusaran Politik” (Studi Tentang Birokrat Dalam
Pemilukada di Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010).
Dalam thesisnya Rusmawaty berfokus pada pembahasan tentang fenomena
maraknya birokrat (PNS Aktif) yang turut serta dalam pertarungan perebutan
kursi nomor satu di kabupaten Luwu Utara, Provinsi Selawesi Selatan pada tahun
2010. Hal yang menarik jika kemudian melihat kontestasi dalam pilkada di
kabupaten Luwu Utara adalah tercatat ada 4 orang dan satu orang calon wakil
kepala daerah berasal dari birokrat (PNS Aktif) sementara cuti, dan 4 orang
lainnya pensiunan birokrat.
Dominasi calon dari birokrat tentu saja menjadikan kekhawatiran dan
kecemasan tersendiri bagi masyarakat Luwu Utara, terutama besar peluang para
kandidat tersebut menggunakan mesin birokrasi untuk memenangkan pilkada di
kabupaten Luwu Utara. 2 Padahal sudah jelas bahwa Netralitas birokrasi
merupakan syarat penting bagi pembentukan tatanan masyarakat yang demokratis.
2
Diangkat dari Thesis dengan judul yang sama olehRusmwati BTE. Rusdin (2010) , tentang
BIROKRAT DA LAM PUSARA N POLITIK (Studi Tentang Birokra t Dalam Pemilukada di Kabupaten
Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010)
4
Prinsip Public Service Neutrality tentunya tidak asing lagi dalam studi-studi
administrasi negara, karena kembali lagi prinsip tersebut juga salah satu landasan
utama bagaimana suatu negara dapat digolongkan sebagai negara yang
demokratis.
Rendy (2010), menawarkan sesuatu yang berbeda dimana melalui
tulisannya tentang “Dilema Birokrasi Dalam Pemilukada” (Studi tentang Interaksi
Politik Antara Birokrasi dan Politisi Dalam Kontestasi Pemilukada Bangka
Tengah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2010). 3 Fokus utama kajian
penelitian ini ingin melihat bagaimana dinamika interaksi politik yang terjadi
telah memunculkan polemik yang ramai diperbincangkan di berbagai media
massa lokal. Dalam penelitiannya, Rusdy (2010) melihat bahwasanya interaksi
yang dilakukan oleh bupati incumbent selama ini ternyata tidak mampu untuk
membangun birokrasi di bawahnya untuk menjadi mesin politik utama untuk
memobilisasi dukungan massa.
Sudah tentu sebagai fenomena baru dimana seharusnya sebagai bupati
incumbent, beliau akan unggul dalam berbagai ruang kontestasi politik lokal.
Namun kenyataanya politisasi yang dilakukan oleh aktor politik tidak selalu
berhasil untuk dikonsolidasikan. Selain itu interaksi yang beliau lakukan justru
berdampak buruk bagi eksistensi birokrasi di kabupaten Bangka Tengah.
Munculnya konflik dalam tubuh birokrasi Bangka Tengah tidak ayal meciptakan
birokrasinya menjadi terpecah atas beberapa blok atau kelompok politik tertentu.
3
Diangkat dari judul thesis yang sama, oleh Rendy (2010), tentang DILEMA BIROKRASI DALAM
PEMILUKADA (Studi tentang Interaksi Politik Antara Birokrasi dan Politisi Dalam Kontestasi
Pemilukada Bangka Tengah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2010) .
5
Asriani (2009) memberikan sesuatu yang lagi- lagi berbeda dari kebanyakan
studi tentang birokrasi, dapat kita lihat dari tulisannya yang berjudul “Implikasi
Politik Etnisitas Dalam Tubuh Birokrasi Terhadap Pelayanan Pendidikan Dan
Kesehatan” (Satu Tahun Masa Pemerintahan Gubernur H. Nur Alam, SE).
Penelitian ini berangkat dari maraknya patologi birokrasi yang sering menjangkit
dalam jajaran birokrasi kita. Patologi birokrasi pada dasarnya akan sangat
mempengaruhi kinerja dari birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat.
Kondisi
seperti
itu
tentunya
membuat
masyarakat
kehilangan
kepercayaannya kepada para birokrasi dalam memberikan pelayanan. Masalah
serius lain yang timbul adaalah adanya politik etnisitas dalam tubuh birokrasi.
Politik etnisitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang akan diberikan
kepada masyaraakat. Birokrasi selaku pelayan masayrakat tentunya memiliki
sikap netral dalam memberikan pelayanan kepada masyaraakt tanpa perlu
memandang latar belakang etnis, agama, kelompok, gender dan identitas lainnya
dalam masyarakat. 4
Penelitian tersebut juga hendak melihat bagaimana implikasinya terhadap
pelayanan publik yang diberikan oleh para birokrat tersebut kepada masayarakat,
terutama kualitas pelayannan pendidikan dan kesehatan. Karena bekerjanya mesin
politik etnisitas dalam birokrasi sering kali menjadi penyebab tidak bekerjanya
scara maksimal perangkat-perangkat birokrasi yang ada. Politik etnisitas dalam
4
Diangkat dari judul thesis yang sama, oleh Asriani (2009), tentang “Implikasi Politik Etnisitas
Dalam Tubuh Birokrasi Terhadap Pelayanan Pendidikan Dan Kesehatan” (Satu Tahun Masa
Pemerintahan Gubernur H. Nur Alam, SE).
6
tubuh birokrasi Sulawesi Utara terlihat melalui kebijakan pengangkatan pejabat
struktural. Dimana di dominasi oleh etnis Tolaki pada dinas Pendidikan dan dinas
Kesehatan. Kebijakan politik etnis dalam pengangkatan pejabat struktural dinas
pendidikan dan kesehatan di Sulawesi Utara ternyata tidak berimplikasi negatif
terhadap pelayanan publik. Dimana menurut presepsi masyarakat dilihat dari
indikator keadilan atau persamaan pelayanan, responsivitas dan akuntabilitas telah
memenuhi harapan masyarakat. 5
Sulit rasanya jika kemudian menyajikan dan memberikan sebuah pandangan
serta temuan baru mengenai studi tentang birokrasi di Indonesia. Penelitian di atas
hanya sebagian kecil dari sekian banyak penelitian tentang birokrasi di Indonesia,
sungguh sudah sangat lengkap tentunya memberikan referensi terhadap studi
tentang birokrasi. Mulai dari kritik atas konsep birokrasi tersebut, politisasi dalam
tubuh birokrasi yang menyangkut etnisitas, intervensi serta tuntutan netralitas, dan
bahkan sampai tataran bagaimana memberikan usulan serta konsep baru tentang
birokrasi yang seharusnya dijalankan dalam sistem pemerintahan di Indonesia.
Namun tentunya penelitian ini tidak sekedar hanya untuk melengkapi studistudi sebelumnya yang telah ada. Studi ini berfokus pada bagaimana politisasi
birokrasi dan pengangkatan pejabat Eselon II di Kabupaten Sintang lebih pada
kedekatan emosional dan subyektifitas berdasarkan kesamaan etnis, dan sisanya
merupakan jatah bagi para loyalis penguasa. Unsur subyektifitas berdasarkan
kesamaan etnis hanya dilakukan oleh etnis Dayak. Hal ini tidak terlepas dari
5
Ibid, Asriani (2009)
7
bangkitnya politik etnis Dayak paska runtuhnya pemerintahan Orde Baru dan
terpilihnya Cornelis (Putra Dayak) sebagai Gubernur Kalimantan Barat.
Dilain sisi, kebanyanyak studi menitik beratkan fokus mereka pada
bagaimana birokrasi dijadikan mesin politik untuk menang dalam pemilu. Tetapi
penelitian ini juga ingin melihat apa sebenarnya alasan utama para birokrat di
kabupaten
Sintang
ikut
berpolitik.
Mekanisme
dan
peraturan
tentang
pengangkatan pejabat Eselon II tidak lagi dijadikan panduan utama, keberadaan
Baperjakat pun tidak dapat berbuat banyak karena di dalamnya di isi oleh para
birokrat yang juga merupakan loyalis dari penguasa, dalam hal ini bupati. Karena
Bagi penguasa profesionalisme dan kinerja tidak akan ada artinya jika mereka
(birokrat) bertentangan dengan kehendak dari penguasa.
B.
Rumusan Masalah
Berdasarkan penjelasan latar belakang masalah sebelumnya, penelitian ini
mencoba menjawab pertanyaan, Bagaimana Pengaruh Etnisitas Terhadap
Kebijakan Penempatan Pejabat Eselon II Setelah Pilkada 2010 Di Kabupaten
Sintang?
C.
Tujuan Penelitian
1.
Bagaimana kebangkitan politik etnis Dayak di Kabupaten Sintang
sehingga mempengaruhi „iklim‟ politik di Kabupaten Sintang.
Sehingga dapat memetakan bagaimana konfigurasi etnis yang terjadi di
Kabupaten Sintang setelah Pilkada tahun 2010.
8
2.
Ingin mengetahui bagaimana pengaruh Etnisitas Dalam Pengisian
Jabatan Eselon II pada Pemerintahan Daerah Kabupaten Sintang
setelah Pilkada 2010.
D.
Tinjauan Pustaka
Berbicara birokrasi tentunya sudah banyak sekali studi-studi terdahulu yang
memberikan perhatian mereka terhadap fenomena dan dinamika birokrasi. Mulai
dari kritikan terhadap konsep dari birokrasi itu sendiri, sampai pada perjalanan
birokrasi dalam sebuah pemerintahan. Kebanyakan dari studi tersebut menitik
beratkan bagaimana seharusnya sebuah organisasi birokrasi tersebut berjalan,
bagaimana birokrasi memberikan pelayanan yang prima kepada masyarakat,
bahkan politisasi dalam tubuh birokrasi tersebut yang kini marak terjadi dalam
pemerintahan di Indonesia.
Seperti penelitian yang dilakukan oleh Rusmawaty BTE. Rusdin pada tahun
2010 tentang “Birokrat Dalam Pusaran Politik” (Studi Tentang Birokrat Dalam
Pemilukada di Kabupaten Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010).
Dalam thesisnya Rusmawaty berfokus pada pembahasan tentang fenomena
maraknya birokrat (PNS Aktif) yang turut serta dalam pertarungan perebutan
kursi nomor satu di kabupaten Luwu Utara, Provinsi Selawesi Se latan pada tahun
2010.
Hal yang menarik jika kemudian melihat kontestasi dalam pilkada di
kabupaten Luwu Utara adalah tercatat ada 4 orang dan satu orang calon wakil
kepala daerah berasal dari birokrat (PNS Aktif) sementara cuti, dan 4 orang
9
lainnya pensiunan birokrat. Dominasi calon dari birokrat tentu saja menjadikan
kekhawatiran dan kecemasan tersendiri bagi masyarakat Luwu Utara, terutama
besar peluang para kandidat tersebut menggunakan mesin birokrasi untuk
memenangkan pilkada di kabupaten Luwu Utara. 6
Padahal sudah jelas bahwa Netralitas birokrasi merupakan syarat penting
bagi pembentukan tatanan masyarakat yang demokratis. Prinsip Public Service
Neutrality tentunya tidak asing lagi dalam studi-studi administrasi negara, karena
kembali lagi prinsip tersebut juga salah satu landasan utama bagaimana suatu
negara dapat digolongkan sebagai negara yang demokratis. Jika kemudian kita
melihat peraturan perundang- undangan kita sudah jelas tertulis dalam PP No 4
tahun 1999 junto PP No 12 Tahun 1999, dimana inti dari kedua PP tersebut
adalah melarang anggota birokrasi pemerintah menjadi anggota dan atau pengurus
partai politik. Apabila menjadi anggota dan atau pengurus partai politik yang
bersangkutan harus mengundurkan diri dari statusnya sebagai pegawai negeri
sipil.
Untuk yang kedua kalinya Kabupaten Luwu Utara akan melaksanakan pesta
demokrasi pilkada langsung yang sebelumna pertama kali digelar pada tahun
2005. Pilkada 2005 diikuti oleh tiga pasang calon, namun kini pada pilkada 2010
diikuti oleh sembilan pasangan calon yang ditetapkan oleh KPU. Aktor-aktor
yang ikut berkontestasi dalam pilkada 201 tersebut di dominasi oleh sejumlah
birokrat yang berasal dari pemerintahan daerah Luwu Utara. Hingga pada
6
Diangkat dari Thesis dengan judul yang sama oleh Rusmwati BTE. Rusdin (2010) , tentang
BIROKRAT DA LAM PUSARA N POLITIK (Studi Tentang Birokra t Dalam Pemilukada di Kabupaten
Luwu Utara Provinsi Sulawesi Selatan Tahun 2010)
10
akhirnya pilkada 2010 ini dimenangkan untuk kedua ka linya oleh pasangan H.
Arifin Junaidi dan Hj. Indah Putri Indriyani. Latar belakang H. Arifin Junaidi
dimulai dari birokrat yang menjabat sebagai Camat Masamba sampai menjadi
kepala Bappeda Luwu Utara. 7
Fokus dari penelitian yang dilakukan oleh Rusmawaty BTE. Rusdin adalah
bagaimana mengkaji fenomena maraknya birokrat yang mencalonkan diri sebagai
kepala daerah dan wakil kepala daerah. Fokus penelitian ini lebih akan mengkaji
motif birokrat mencalonkan diri sebagai kepala daerah dan wakil kepala daerah.
Selain itu, menjadi penting mengingat birokrat mempunyai kedudukan yang
sangat strategis untuk memainkan peran dan pengaruhnya karena mempunyai
keunggulan yang melekat pada dirinya. Sehingga dengan keunggulan yang
dimilikinya yang bersangkutan akan dapat memainkan peran dan pengaruhnya
tersebut. Namun selain itu, telah terjadinya pergeseran konfigurasi elit, yang
dulunya kalangan politisi partai kini bergeser melibatkan oara calon kepala daerah
yang didominasi kalangan birokrat. Keterlibatan birokrat dalam pilkada tentunya
menjadi penting dilihat bagaimana pergeseran peran dan fungsi birokrat yang
tugasnya sebagai abdi dari masyarakat dalam hal pemberian pelayanan yang
terjait kepentingan rakyat.
Rendy (2010), menawarkan sesuatu yang berbeda dimana melalui
tulisannya tentang “Dilema Birokrasi Dalam Pemilukada” (Studi tentang Interaksi
Politik Antara Birokrasi dan Politisi Dalam Kontestasi Pemilukada Bangka
7
Rusmwati BTE. Rusdin, Ibid. (2010)
11
Tengah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2010). 8 Fokus utama kajian
penelitian ini ingin melihat bagaimana dinamika interaksi politik yang terjadi
telah memunculkan polemik yang ramai diperbincangkan di berbagai media
massa lokal. Termasuk sempat beredar rekaman video amatir yang merekam
„adegan‟ dimana oknum birokrasi pada suatu jajaran PNS tertentu di Bangka
Tengah yang melakukan keberpihakan kepada salah satu pasangan kandidat.
Dalam penelitiannya, Rusdy (2010) melihat bahwasanya interaksi yang
dilakukan oleh bupati incumbent selama ini ternyata tidak mampu untuk
membangun birokrasi di bawahnya untuk menjadi mesin politik utama untuk
memobilisasi dukungan massa. Celakanya interaksi yang beliau lakukan justru
berdampak buruk bagi eksistensi birokrasi di kabupaten Bangka Tengah.
Munculnya konflik dalam tubuh birokrasi Bangka Tengah tidak ayal meciptakan
birokrasinya menjadi terpecah atas beberapa blok atau kelompok politik tertentu.
Esensinya adalah bahwa birokrasi bangka tengah ternyata tidaklah pasif,
akan
tetapi
merupakan
birokrasi
yang
aktif
berpolitik
untuk
saling
memaksimalkan kepentingannya masing- masing. Hasilnya adalah birokrasi dalam
tubuh bangka menjadi plural. Faktor internal yang mempengaruhi adalah birokrasi
itu sendiri pada realitasnya justru aktif berpolitik. Faktor eksternalnya yaitu pihak
politisi itu sendiri juga ingin masuk yang ngin memanfaatkan birokrasi untuk
memberikan keberpihakan politiknya kepada politisi incumbent.
8
Diangkat dari judul thesis yang sama, oleh Rendy (2010), tentang DILEMA BIROKRASI DALAM
PEMILUKADA (Studi tentang Interaksi Politik Antara Birokrasi dan Politisi Dalam Kontestasi
Pemilukada Bangka Tengah Provinsi Kepulauan Bangka Belitung Tahun 2010) .
12
Hal menariknya sudah tentu sebagai fenomena baru dimana seharusnya
sebagai bupati incumbent, beliau akan unggul dalam berbagai ruang kontestasi
politik lokal. Namun kenyataanya politisasi yang dilakukan oleh aktor politik
tidak selalu berhasil untuk dikonsolidasikan. Beberapa hal mengapa penting
menyoal pilkada bangka, pertama birokrasi terfragmentasi dalam pertarungan
politik itu sendiri dimana terjadi kontestasi antara politisis dengan para birokrat
senior. Kedua, proses politik yang berlangsung dari interaksi politik antara politisi
dan birokrat senior dalam proses pemenangan pilkada menjadi pristiwa aktual
yang menjadi perhatian banyak pihak. 9
Asriani (2009) memberikan sesuatu yang lagi- lagi berbeda dari kebanyakan
studi tentang birokrasi, dapat kita lihat dari tulisannya yang berjudul “Implikasi
Politik Etnisitas Dalam Tubuh Birokrasi Terhadap Pelayanan Pendidikan Dan
Kesehatan” (Satu Tahun Masa Pemerintahan Gubernur H. Nur Alam, SE).
Penelitian ini berangkat dari maraknya patologi birokrasi yang sering menjangkit
dalam jajaran birokrasi kita. Patologi birokrasi pada dasarnya akan sangat
mempengaruhi kinerja dari birokrasi dalam memberikan pelayanan kepada
masyarakat. Kondisi seperti itu tentunya membuat masyarakat kehilangan
kepercayaannya kepada para birokrasi dalam memberikan pelayanan. Masalah
serius lain yang timbul adaalah adanya politik etnisitas dalam tubuh birokrasi.
Politik etnisitas pada dasarnya terkait dengan pelayanan yang akan diberikan
kepada masyaraakat. Birokrasi selaku pelayan masayarakat tentunya memiliki
sikap netral dalam memberikan pelayanan kepada masyaraakt tanpa perlu
9
Ibid, Rendy (2010)
13
memandang latar belakang etnis, agama, kelompok, gender dan identitas lainnya
dalam masyarakat. 10
Selain berfokus pada semakin maraknya praktik politik etnisitas dalam
tubuh birokrasi menjadi fenomena umum yang terjadi dalam semua level birokrasi
di Indonesia, tidak terkecuali di Sulawesi Tenggara. Penelitian ini juga hendak
melihat bagaimana implikasinya terhadap pelayanan publik yang diberikan oleh
para birokrat tersebut kepada masayarakat, terutama kualitas pelayannan
pendidikan dan kesehatan. Karena bekerjanya mesin politik etnisitas dalam
birokrsi sering kali menjadi penyebab tidak bekerjanya scara maksimal perangkatperangkat birokrasi yang ada.
Politik etnisitas dalam tubuh birokrasi Sulawesi Utara terlihat melalui
kebijakan pengangkatan pejabat struktural. Dimana di dominasi oleh etnis Tolaki
pada dinas Pendidikan dan dinas Kesehatan. Kebijakan politik etnis dalam
pengangkatan pejabat struktural dinas pendidikan dan kesehatan di Sulawesi
Utara ternyata tidak berimplikasi negatif terhadap pelayanan publik. Dimana
menurut presepsi masyarakat dilihat dari indikator keadilan atau persamaan
pelayanan, responsivitas dan akuntabilitas telah memenuhi harapan masyarakat. 11
Awaluddin (2010) dalam penelitiannya tentang Intervensi Pejabat Politik
Terhadap Penempatan Jabatan Struktural Birokrasi (Studi Analisis Penempatan
Eselon II Dan III dalam Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah), menempatkan
politisasi birokrasi pada titik yang sedikit berbeda. Berdasarkan hasil peneltian
10
Diangkat dari judul thesis yang sama, oleh Asriani (2009), tentang “Implikasi Politik Etnisitas
Dalam Tubuh Birokrasi Terhadap Pelayanan Pendidikan Dan Kesehatan” (Satu Tahun Masa
Pemerintahan Gubernur H. Nur Alam, SE).
11
Ibid, Asriani (2009)
14
tersebut dapat diketahui bahwa alasan mengapa intervensi pejabat publik bisa
terjadi karena lemahnya aturan yang ada, adanya kekuatan-kekuatan politik,
adanya pengaruh kelompok elit masyarakat dan pengusaha terhadap pejabat
politik. Bentuk intervensi yang dilakukan adalah melalui pengambilan keputusan
secara tersentralisasi dengan keputusan secara tertulis, karena secara otoritas
posisi Gubernur mempunya posisi yang kuat untuk menetapkan pejabat struktural.
Dari segi pendidikan formal masih banyak penempatan jabatan yang tidak
sesuai dengan kualifikasi pendidikan formalnya. Begitu juga dengan pendidikan
dan pelatihan kepemimpinan (Diklatpim) masih terdapat pejabat eselon II dan III
di lingkungan pemerintah provinsi yang belum mengikuti diklatpim. Padahal
diklatpim merupakan prasyarat untuk mnduduki jabatan eselon II dan III harus
sesuai dengan pendidikan formalnya dan telah mengikuti diklatpim dalam rangka
peningkatan SDM birokrasi. 12
Pejabat politik yang melakukan intervensi adalah gubernur sulte ng, sebagai
pemimpin eksekutif atau birokrasi yang mempunyai kekuasaan dan kewenangn
dalam menempatkan dan menetapkan pejabat struktural birokrasi di lingkungan
pemprov sulteng. Sebagai pemegang mandat yang diamanatkan dalam UU 32
tahun 2004 tentang pemda, dan PP 13 tahun 2002 tentang pengangkatan PNS
dalam jabatan struktural. Baperjakat yang seharusnya independen dalam
melaksanakan tugasnya menyeleksi dan menetapkan rengking dari 3 usulan calon
tentang layak tidaknya menduduki jabatan struktural ternyata tidak melaksanakan
12
Diangkat dari thesis dengan judul yang sama oleh Awaluddin (2010), dengan judul “Intervensi
Pejabat Politik Terhadap Penempatan Jabatan Struktural Birokrasi ” (Studi Analisis Penempatan
Eselon II Dan III dalam Pemerintahan Provinsi Sulawesi Tengah
15
tugasnya secara maksimal. Karena pengangkatan anggota baperjakat dilakukan
oleh gubernur sebagai pejabat politik sehingga baperjakat hanya mengakomodir
kepentingan dan permintaan pejabat politik dalam menseleksi pejabat struktural
birokrasi.
Sulit rasanya jika kemudian menyajikan dan memberikan sebuah pandangan
serta temuan baru mengenai studi tentang birokrasi di Indonesia. Penelitian di atas
hanya sebagian kecil dari sekian banyak penelitian tentang birokrasi di Indonesia,
sungguh sudah sangat lengkap tentunya memberikan referensi terhadap studi
tentang birokrasi. Mulai dari kritik atas konsep birokrasi tersebut, politisasi dalam
tubuh birokrasi yang menyangkut etnisitas, intervensi serta tuntutan netralitas, dan
bahkan sampai tataran bagaimana memberikan usulan serta konsep baru tentang
birokrasi yang seharusnya dijalankan dalam sistem pemerintahan di Indonesia.
Namun tentunya penelitian ini tidak sekedar hanya untuk melengkapi studistudi sebelumnya yang telah ada. Studi ini berfokus pada bagaimana politisasi
birokrasi dan pengangkatan pejabat Eselon II di Kabupaten Sintang lebih pada
kedekatan emosional dan subyektifitas berdasarkan kesamaan etnis, dan sisanya
merupakan jatah bagi para loyalis penguasa. Unsur subyektifitas berdasarkan
kesamaan etnis hanya dilakukan oleh etnis Dayak. Hal ini tidak terlepas dari
bangkitnya politik etnis Dayak paska runtuhnya pemerintahan Orde Baru dan
terpilihnya Cornelis (Putra Dayak) sebagai Gubernur Kalimantan Barat.
Dilain sisi, kebanyakan studi menitik beratkan fokus mereka pada
bagaimana birokrasi dijadikan mesin politik untuk menang dalam pemilu. Tetapi
penelitian ini justru juga akan melihat apa sebenarnya alasan utama para birokrat
16
di kabupaten Sintang ikut berpolitik. Mekanisme dan peraturan tentang
pengangkatan pejabat Eselon II tidak lagi dijadikan panduan utama, keberadaan
Baperjakat pun tidak dapat berbuat banyak karena di dalamnya di isi oleh para
birokrat yang juga merupakan loyalis dari penguasa, dalam hal ini bupati.
Sehingga keputusan terakhir berada di tangan bupati. Karena Bagi penguasa
profesionalisme dan kinerja tidak akan ada artinya jika mereka (birokrat)
bertentangan dengan kehendak dari penguasa.
Mekanisme dan peraturan tentang pengangkatan pejabat Eselon II tidak lagi
dijadikan panduan utama, keberadaan Baperjakat pun tidak dapat berbuat banyak
karena di dalamnya di isi oleh para birokrat yang juga merupakan loyalis dari
penguasa, dalam hal ini bupati. Terlebih Baperjakat juga di isi oleh loyalis dari
bupati, sehingga keputusan terakhir berada di tangan bupati. Karena Bagi
penguasa profesionalisme dan kinerja tidak akan ada artinya jika mereka
(birokrat) bertentangan dengan kehendak dari penguasa.
E.
Pendekatan Teoritik
1.
Politik Etnisitas
Kata etnik (ethnic) berasal dari kata bahasa Yunani ethnos, yang merujuk
pada pengertian bangsa atau orang. Sering kali penggunaan istilah ethnos
diartikan sebagai kelompok sosial yang ditentukan oleh ras, adat- istiadat, bahasa
dan norma budaya, dan lain sebagainya, yang pada gilirannya mengindikasikan
adanya kenyataan kelompok yang minoritas atau mayoritas delam suatu
masyarakat. Dalam berjalannya waktu, penggunaan istilah ethnos bertransformasi
17
menjadi etnichos yang secara sederhana digunakan untuk menerangkan
keberadaan sekelompok „penyembah berhala‟ atau orang kafir yang hanya
berurusan dengan kelompoknya sendiri tanpa peduli kelompok lain. 13
Dalam konsep etnik didalamnya juga beberapa konsep lain yang berkaitan
dengan makna etnik itu sendiri. Semisal contoh konsep etnisitas yang berkaitan
langsung dengan penelitian ini. Etnisitas (ethnicity) merupakan konsep yang
menjelasakan tentang keberadaan suatu kelompok yang berdasarkan kebudayaan
yang mereka miliki dari warisi dari generasi yang sebelumnya. Perbedaannya
dengan ras pada dasarnya berdasarkan bahwasanya etnisitas merupakan proses
pertukaran kebiasaan berprilaku dan berkebudayaan yang dijalankan secara turun
temurun. Dimana identitas kelompok tersebut berdasarkan pada kesamaan
karakteristik bahasa, kebudayaan, sejarah dan asal- usul geografis. Pertukaran
kebudayaan yang berbasis pada bahasa, agama, dan kebangsaan inilah yang
kemudian
selalu
menghubungkan
keyakinan
yang
„berlebihan‟
dengan
keberadaan kelompok lain.
Etnisitas pada awalnya dipahami sebagai karakteristik yang mengidentikkan
seseorang atau kelompok pada identitas tertentu. Identifikasi tersebut berdasarkan
asumsi fisik yang tampak, karakteristik penampilan tubuh mengidentikkan
identitas tertentu. Dalam analisis sosiolog, etnolog, ilmuan politik terjadi
perdebatan mengenai etnis yang sebenarnya mengacu pada pembacaan realitas
perbedaan bentuk penciptaan, yaitu wacana batas yang bersifat oposisional dan
13
Liliweri, A. (2005). Prasangka dan Konflik "Komunikasi Lintas Budaya Masyaraka t Multikultu r".
Yogyakarta: LKiS. Hal 8-9
18
dikotomis, saya tercipta ini dan kamu seperti itu menjadi kami atau mereka. Dan,
suatu kontruksi pemahaman yang didasarkan atas pandangan dan bangunan sosial.
Etnis merupakan konsep realitas yang berhubungan dengan identifikasi diri dan
askripsi sosial. 14
Dalam politik, etnis senantiasa menjadi perhatian yang besar terutama
dalam hubungannya dengan peran pengembangan kesadaran kolektif, kesukuan
sampai dengan tingkat kebangsaan atau negara bangsa. Etnik atau ethnos dalam
bahasa Yunani mengacu pada suatu pengertian (identik) pada dasar geografis
dalam suatu batas-batas wilayah dengan sistem politik tertentu (Rufolfh,
1986:2). 15 Kata etnis menjadi suatu predikat terhadap identitas seseorang atau
kelompok. Predikat tersebut menjadi suatu yang taken for granted sedari awal
penciptaannya (kelahiran). Etnisitas merupakan kategori-kategori yang diterapkan
pada kelompok orang yang dibentuk dan membentuk dirinya dalam kebersamaan
atau kolektivitas (Rex, 1994:8). 16
Karakteristik yang melekat pada satu kelompok etnis adalah tumbuhnya
perasaan dalam satu komunitas (sence of community) diantara para anggotanya.
Perasaan tersebut menimbulkan kesadaran akan hubungan yang kuat. Selain itu,
tumbuh pula perasaan “kekitaan” pada diri anggotanya maka terselenggaralah rasa
kekerabatan.
17
Penggunaan “Kita” dalam identifikasi kelompok etnis mempunyai
dua pandangan pengertian. Pertama, sebagai sebuah unit objektif yang dapat
14
Abdilah, U. (2002). Politik Identitas Etnis "Pergulatan Tanda Tanpa Identitas". Magelang:
INDONESIATERA. Hal 15
15
Ibid, Abdilah, U. (2002).. Hal 75
16
Ibid, Abdilah, U. (2002). Hal 75
17
Abdilah, U. (2002). Politik Identitas Etnis "Pergulatan Tanda Tanpa Identitas". Magelang:
INDONESIATERA. Hal 76
19
diartikan oleh perbedaan sifat budaya seseorang. Kedua, hanya sekedar produk
pemikiran seseorang yang lemudian menyatakannya sebagai suau kelompok etnis.
Dalam perkembangannya ada tiga pendekatan dalam teori atau konsep dari
etnisitas. Pertama Primordialis, istilah ini pertama kali digunakan oleh Edward
Shills (1957), dalam penjelasannya Edward mengatakan bahwasanya ikatan sosial
(social bond) dibedakan menjadi: personal, primordial,sacred, civilties dan dalam
dunia modern saat ini konsep-konsep tersebut masih tetap dipergunakan. 18
Gagasan tersebut kemudian diadopsi oleh Clifford Geertz, bagi Geertz ikatan
primordial lebih lekat dengan gagasan overpowering dan ineffable quality, dimana
keanggotaan ikatan sosial tersebut cendrung bersifat eksterior, koersif, given atau
turun temurun. Bagi Geertz ada 6 elemen penting yang kemudian membentuk
ikatan primordial yaitu, ikatan kekerabatan yang disebut quasi-kinship, ras (warna
kulit, bentuk wajah, rambut, bahasa yang digunakan, wilayah atau geografis,
agama dan adat istiadat). 19
Kedua Konstruktifis, pendekatan ini dikembangkan oleh Federik Barth yang
memandang identitas etnis sebagai hasil dari proses sosial yang kompleks,
manakala batasan-batasan simbolik terus menerus membangun dan dibangun oleh
manfaat mitologi, suatu hitungan sejarah dari bahasa dana pengalaman masa
lalu. 20 Ketiga Instrumentalis, para penganut paham instrumentalis menempatkan
etisitas sebagai sesuatu kekuatan sosial, politik, budaya bagi bermacam- macam
kepentingan dan beragam status group. Identitas dipandang sebagai kepentingan
18
Widayanti, T. (2009). Politik Subaltern 'Pergulatan Identitas Waria'. Yogyakarta: Research
Center for Politics and Goverment Universitas Gajah Mada . Hal 15
19
Abdilah, U. (2002). Politik Identitas Etnis "Pergulatan Tanda Tanpa Identitas". Magelang:
INDONESIATERA. Hal 77
20
Ibid, Abdilah, U. (2002). Hal 77
20
elit dan lebih menekankan pada kekuasaan. Sehingga identitas dipahami sebagai
sesuatu yang dinamis karena relasi antar identitas selalu terjadi perubahan. 21
Kemunculan politik etnis diawali oleh tumbuhnya kesadaran yang
mengidentikkan mereka ke dalam suatu golongan atau kelompok etnis tertentu.
Kesadaran ini yang kemudian memunculkan solidaritas kekelompokan dan
kebangsaan. Pada wacana politik kontemporer biasanya kelompok etnis bertujuan
lebih pada penerimaan keberadaan mereka dan kemajuan bagi kelompok
tersebut. 22
Politik identitas etnis dalam perkembangannya tidak hanya
menampilkan diri dalam wacana politik kebudayaan saja, tapi sudah mulai
mengarah pada upaya pengakuan dan penguasaan sumber daya politik, sosial,
ekonomi sebagai idengenues people.
2.
BIROKRASI
Weber mengembangkan konsep birokrasi sebagai bentuk respons terhadap
lingkungan pada waktu itu, yang menurut pandangannya akan diatasi dengan baik
kalau pemerintah mengembangkan organisasi yang ia sebut sebagai Legal
Rational, yaitu sebuah model organisasi yang kemudian disebut sebagai birokrasi.
Weber melihat adanya kebutuhan untuk melakukan pembagian kerja sebagai
akibat semakin meluas dan kompleksnya tugas-tugas administratif secara
kuantitatif. Birokrasi publik dikembangkan untuk menanggapi perluasasn dan
kompleksitas tugas-tugas administratif. Demokratisasi menuntut adanya suatu
21
Widayanti, T. (2009). Politik Subaltern 'Pergulatan Identitas Waria'. Yogyakarta: Research
Center for Politics and Goverment Universitas Gajah Mada. Hal 15
22
Abdilah, U. (2002). Politik Identitas Etnis "Pergulatan Tanda Tanpa Identitas". Magelang:
INDONESIATERA. Hal 19
21
institusi yang dapat menjalankan pemerintahan secara efisien dan nonpartisan.
Peran itu hanya dapat dilakukan oleh birokrasi publik. 23
Konsepsi birokrasi Weber yang dianut dalam organisasi pemerintahan
banyak memperlihatkan cara-cara officialdom. Pejabat birokrasi pemerintah
adalah sentra dari penyelesaian urusan masyarakat. Rakyat sangat bergantung
pada keberadaan para birokrat atau pejabat tersebut, bukannya sebaliknya pejabat
birokrasi yang bergantung pada rakyatnya. Pelayanan kepada rakyat tidak
dijadikan sebagai prioritas utama, namun diletakkan dibawah kepentingan
individu dan kelompok yang menguntungkan pejabat tersebut. Menurut Thoha
(2003), officialdom (kerajaan pejabat) adalah:
“Suatu kerajaan yang didalamnya terdapat raja-raja yang merupakan
pejabat dari sebuah organisasi modern. Di dalamnya terdapat tanda-tanda
bahwa seseorang memiliki yurisdiksi yang jelas dan pasti, mereka berada
dalam area ofisial yang yurisdiktif. Di dalam yurisdiksi tersebut seseorang
memiliki tugas dan tanggung jawab resmi yang memperjelas batas-batas
kewenangan pekerjaannya. Di luar hirarki kerajaan pejabat dan jabatan
terdapat rakyat yang „powerless‟ dihadapan pejabat birokrasi. Itulah
sebabnya birokrasi pemerintah acapkali disebut kerajaan pejabat yang jauh
dari rakyat.24 ”
Konsep birokrasi Weber lebih dikenal sebagai konsep tipe ideal birokrasi,
namun konsep ini kurang dikenal tentang kritiknya terhadap seberapa jauh
peranan birokrasi terhadap kehidupan politik atau bagaimana peran politik
terhadap birokrasi. Birokrasi Weberian hanya berfokus pada bagaimana mesin
birokrasi itu secara profesional dan rasional dijalankan.
25
Bagi Weber perbedaan
23
Dwiyanto, A. (2011). Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Hal 22
24
Thoha, M. (2010). Birokrasi & Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Hal 4-5
25
Ibid, Thoha, M. (2010). hal 16
22
antara kejadian nyata dengan tipe ideal itulah justru yang amat penting untuk
dikaji dan diteliti. Jika suatu birokrasi tidak bisa berfungsi dan berjalan sesuai
dengan tipe ideal dari organisasi tertentu, maka hal itu yang kemudian menarik
untuk diteliti bagaimana fenomena tersebut bisa terjadi dan apa saja faktor-faktor
yang sebenarnya mempengaruhi perbedaan tersebut.
26
Tipe ideal birokrasi ini ingin menjelaskan bagaimana suatu birokrasi atau
administrasi itu mempunyai suatu bentuk yang pasti di mana semua fungsi
menjelaskan dalam bentuk dan cara-cara yang rasional. Istilah rasional dengan
segala aspek pemahamannya merupakan kunci dari konsep tipe ideal birokrasi
Weberian. 27 Selain itu, Weber percaya bahawa proses administrasi dalam kegiatan
pemerintahan itu hanya dapat menjadi efisien, rutin, dan nonpartisan apabila cara
kerja organisasi pemerintahan itu dirancang sedemikian rupa sehingga
menyerupai cara kerja sebuah mesin. Inilah yang kemudian mengilhami Weber
untuk merumuskan Ideal Type Of Bureaucracy dengan segala karakteristiknya. 28
Menurut Weber, tipe ideal birokrasi yang rasional itu dilakukan dalam caracara sebagai berikut ini: 29
1.
Individu pejabat secara persobal bebas, akan tetapi dibatasi oleh jabatannya
pada saat dia menjalankan tugas atau kepentingan individual dalam
jabatannya. Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk keperluan
dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya.
26
Thoha, M. (2011). Birokrasi Pemerintah Indonesia Di Era Refo rmasi. Jakarta: Kencana. Hal 17
Thoha, M. (2010). Birokrasi & Politik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers. Hal 17
28
Dwiyanto, A. (2011). Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Hal 23
29
Azhari. (2011). Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia (Studi Perbandingan Intervensi Pejabat
Politik terhadap Pejabat Birokrasi di Indonesia dan Malaysia). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 65
27
23
2.
Jabatan-jabatan itu disusun dalam tingkatan hierarkis yang jelas antara
jabatan atasan dan bawahan. Dimana tugas dan fungsi masing- masing
jabatan secara spesifik berbeda satu sama lainnya.
3.
Setiap pejabat memiliki kontrak jabatan, yang harus dijalankan. Uraian
tugas masing- masing pejabat merupakan domain yang menjadi wewenang
dan tanggung jawab yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak.
4.
Setiap pejabat diseleksi atas dasar kualifikasi personalitasnya, idealnya hal
tersebut dilakukan melalui ujian yang kompetitif.
5.
Setiap pejabat mempunyai gaji termasuk hak untuk menerima pensiun
sesuai dengan tingkatan hierarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat
bida memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya sesuai
dengan keinginan dan kontraknya bisa diakhiri dengan alasan tertentu.
6.
Terdapat struktur pengembangan karir yang jelas dengan promosi
berdasarkan senioritas dan meritokrasi sesuai dengan pertimbangan yang
objektif.
7.
Setiap pejabat sama sekali tidak dibenarkan menggunakan jabatannya dan
resources instansinya untuk kepentingan pribadi dan keluarganya.
8.
Setiap pejabat di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang
dijalankan secara disiplin.
Artinya dengan sangat mudah dapat kita pahami mengapa birokrasi
memiliki karakteristik sebagaimana yang sekarang melekat dalam berbagai
organisasi pemerintan. Mengapa harus ada pembagian kerja, prosedur tertulis,
impersonalitas, meritokrasi? Jawabannya tentu saja agar birokrasi dapat bekerja
24
menyerupai cara kerja sebuah mesin. Tidak lain adalah cara kerja yang mampu
mewujudkan nilai-nilai tertentu, seperti efisiensi, output yang standar dan juga
kepuasan. Semua karakteristik dari birokrasi Weberian diciptakan untuk
mewujudkan ketiga nilai tersebut. Pembagian kerja dan meritokrasi diperlukan
agar birokrasi tersebut bekerja secara efektif. Lebih dari itu pembagian kerja dan
meritokrasi
merupakan
dasar
dan
faktor
pendorong
berkembangnya
profesionalisme. 30
Dalam pengamatan Weber, desain organisasi melibakan dominasi, dalam
arti bahwa kewenangan melibatkan hak yang sah untuk meminta kepatuhan dari
orang lain. Menurut Weber, struktur birokrasi adalah struktur yang lebih unggul
dari segala bentuk yang lain dalam hal ketepatan, stabilitas, keketatan dalam hal,
kedisiplinannya dan kehandalannya. Dibandingkan dengan organisasi lain,
birokrasi dapat diibaratkan sebagai produksi dengan bantuan mesin dibandingkan
produksi yang hanya menggunakan tangan. Kata-kata ini menangkap inti sari
desain organisasi model mekanistik. 31
Satu hal yang amat penting adalah memahami mengapa birokrasi itu dapat
diterapkan dalam kondisi organisasi tertentu, dan apa yang membedakan kondisi
tersebut dengan kondisi organisasi lainnya. Dengan demikian, tipe ideal
memberikan penjelasan kepada kita bahwa kita mengabstraksikan aspek-aspek
30
Dwiyanto, A. (2011). Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Hal 24
31
Azhari. (2011). Mereformasi Birokrasi Publik Indonesia (Studi Perbandingan Intervensi Pejabat
Politik terhadap Pejabat Birokrasi di Indonesia dan Malaysia). Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 64
25
yang amat penting dan krusial yang membedakan antara kondisi organisasi
tertentu dengan lainnya. 32
Karena itu layaknya sebuah mesin, birokrasi juga merupakan suatu kesatuan
yang terdiri dari bagian-bagian yang masing- masing memiliki fungsi sendiri, yang
keberhasilan satu bagian akan berimplikasi terhadap keberhasilan bagian-bagian
lainnya. Dan bahkan akan sangat mungkin untuk mempengaruhi terhadap
keberhasilan organisasi secara keseluruhan. 33 Birokrasi dipandang sebagai suatu
bentuk organisasi yang efisien, predictable, dan mampu memberikan pelayanan
secara nonpartisan. Jaminan efisiensi yang ditawarkan Weber dapat diwujudkan
apabila semua prinsip birokrasi dikembangkan berlandaskan pada rasionalitas
pencapaian tujuan. Semua struktur birokrasi dibentuk untuk mencapai efisiensi,
keteraturan kontrol, dan pelayanan yang standar. 34
2.1. Netralitas Birokrasi
Dalam perkembangan awal konsepsi birokrasi, kenetralan birokrasi sudah
ramai dibicarakan oleh para pakar. Salah satunya adalah Woodrow Wilson yang
tidak berbau Marxsis. Woodrow Wilson juga menyoroti tentang kenetralan
birokrasi. Birokrasi pemerintah menurut Wilson berfungsi melaksanakan
kebijakan publik, sehingga birokrasi itu harus berada di luar kajian politik. 35
32
Thoha. (2005) dalam Azhari. (2011). Merefo rmasi Birokrasi Publik Indonesia (Studi
Perbandingan Intervensi Pejabat Politik terhadap Pejabat Birokrasi di Indonesia dan Malaysia).
Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Hal 65
33
Dwiyanto, A. (2011). Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Hal 25
34
Ibid, Dwiyanto, A. (2011). Hal 32
35
Ismail, M. (2009). Politisasi Birokra si (2 ed.). Malang: ASH-SHIDDIQY PRESS. Hal 33
26
Menurut Woodrow Wilson (1887), birokrasi harus netral dan steril dari
kehidupan politik. Dalam pandangan kelompok ini, birokrasi merupakan sesuatu
yang bersifat administratif mekanistik. Berarti birokrasi tidak lebih dari sekedar
pelaksana kebijakan. Ia tidak boleh masuk dalam kontektualitas pengambilan
kebijakan politik, apalagi bertarung memperbutkan jabatan politik. Artinya jika
birokrasi terlibat dalam politik, maka sejak itulah birokrasi akan rusak dan makin
tidak dipercaya masyarakat.
kepercayaan
Biokrasi kemudian akan mengalami krisis
yang bisa berakibat
fatal bagi pelaksanaan
fungsi- fungsi
kepemerintahannya. Oleh karena itu akan sangat bijak jika kemudian birokrasi
tidak ikut mengambil bagian bertarung dalam arena politik. 36 Upaya netralisasi
birokrasi dalam penyelenggaraan pilkada seharusnya lebih diarahkan kepada
upaya- upaya bagaimana para birokrat itu bersikap dan bertindak non partisan dan
imparsial., dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Netral dan tidak memihak di dalam penyikapan yang berkaitan dengan
parpol, calon dan pemilih.
2. Bersikap independen dan non partisan terhadap parpol, calon, aktor politik
atau kecendrungan politik tertentu.
3. Tidak terlibat dalam kegiatan pribadi yang dapat menimbulkan rasa
simpati atau antipati thdp psangn calon, parpol, dan aktr politik atau
kecendrungan politik tertentu.
4. Tidak mengemukakan pandangn atau pernyataan yang bersifat parisan atas
masalah- masalah yang akan atau sedang jadi isu dalam proses pilkada.
36
Wilson, W. (1887). The Study of Poblic Ad ministration 'In Political Science Quarterly . Hal 197222
27
5. Tidak memakai, membawa atau mengenakan simbol, lambang atau atribut
yang secara jelas sikap partisan kepada salah satu pasang calon.
Tujuan netralitas birokrasi atau PNS secara umum adalah agar PNS dan juga
birokrat dapat meningkatkan kualitasnya dalam mengabdi kepada negara dan
msyarakat, menempatkan diri sebagai abdi masayarakat dan yang mampu
menjalankan fungsinya scara profesional. Dalam konteks pilkada, birokrasi yang
profesional dan netral diharapkan mampu memberikan pengaruh positif bagi
terwujudnya pilkada yang demokratis, sehingga mereka dapat tetap berfokus pada
peningkatan pelayanan bagi masyarakat
3.
Penggunaan Politik Birokrasi (The Political Uses Of Bureaucracy)
Gagasan Barbara Geddes tentang The Political Uses Of Bureaucracy yang
dikekmukakan dalam bukunya Politician‟s Dilemma: Building State Capacity In
Latin America. Dalam chapter The Political Uses Of Bureaucracy dijelaskan
bagaimana dinamika dan pola relasi antara politik dalam hal ini penguasa dengan
birokrasi. Kecendrungan penguasa (politik) menggunakan kekuasaannya dan
secara terus menerus memanfaatkan birokrasi didasarkan pada 4 alasan, yaitu:37
Pertama, As a source of particularized benefits for constituents. Dalam
konteks ini birokrasi sebagai agen penyebaran keuntungan yang diperoleh
konstituen. Ada semacam “konsensus tidak tertulis “ bahwa ketika politisi
menang dalam pemilu, baik di eksekutif maupun legislative, maka birokrasi
37
Geddes, B. (1994). The Political Uses Of Bureaucracy barbara geddes. Dalam B. Geddes,
Politicians’s Dilemma 'Building States Capacity in Latin America' (hal. 134-135). London:
University of Claifornia, Berkeley, Los Angeles
28
acapakali dijadikan sebagai agen penyebaran keuntungan keuntungan kepada
konstituennya.
Kedua, As a source of patronage and other benefit to politiciants whose
support the president need to remain in office and initiate new laws and program.
Dalam konteks ini birokrasi dijadikan sebagai sumber patronase dan keuntungan
bagi para politisi lainnya yang mendukung kebutuhan incumbent sebagi
eksekutive leader. Selain kebutuhan untuk tetap bertahan dipemerintahan,
eksekutif leader (incumbent) membutuhkan birokrasi agar dapat membuat
peraturan peraturan baru atau program –program yang bisa digunakan untuk
“membeli dukungan” dari politisi yang berada di lembaga legislative.
Ketiga, As a source of benefits to member of a political organization loyal
to the president. Dalam kondisi ini, birokrasi justeru berposisi sebagai sumber
guna menjaring anggota-anggota dari berbagai organisasi politik yang loyal
kepada executive leader. Apa yang menjadi dasar kepentingan dan tindakan ini
tidak lain untuk menjadikan birokrasi sebagai mesin politik yang loyal (creation
of loyal political machine) bagi kebutuhan politisi yang berkuasa. Hal ini acapkali
dilakukan melalui kompromi politik terlebih dahulu terkait dengan penempatan
birokrasi oleh orang orang yang dianggap loyal, baik dimereka yang birokrasi itu
sendiri, ataupun „orang‟ partai dari organisasi public diluar birokrasi guna
menduduki posisi jabatan strategis di dalam birokrasi pemerintahan itu.
Keempat, As a instrument for effective implementation of policies and
program that benefit groups of citizen in both the short and long run. Dalam hal
ini, adanya pemanfaatan posisi justeru dijadikan sebagai media sarana/instrument
29
bagi para actor
untuk
mengimplementasikan berbagai kebijakan
yang
menguntungkan kelompok-kelompok kepentingan yang ada dalam masyarakat.
Baik jangka panjang maupun jangka pendek.
4.
Kebijakan Rekrutmen Pe jabat
Rekrutmen adalah mencocokkan antara karakteristik individu (pengetahuan,
keterampilan, dan kriteria lainnya) dengan persyaratan jabatan yang harus dimiliki
individu tersebut dalam memegang suatu jabatan. Kegagalan dalam mencocokn
kedua hal tersebut akan menyebabkan kinerja pejabat tidak optimal dan kepuasan
kerja sangat rendah, sehingga akan berdampak pula pada interaksi kepada
konsumen, dalam hal ini masyarakat. Saat ini jabatan struktural pada birokrasi
hanya dimungkinkan bagi kalangan organisasi (internal), profesional diluar PNS
belum diberikan kesempaan, hanya pegawai PNS yang berhak diangkat menjadi
pejabat struktural. Bahkan dalam era otonomi daerah saat ini, kecil peluang
peraktek pengangkatan jabatan struktural lintas daerah.
Dalam tradisi birokrasi, yaitu manajemen PNS, rekrutmen pejabat lebih
dikenal sebagai kegiatan penempatan seseorang baik pegawai dalam hal ini
individu yang telah memenuhi syarat minimal secara administratif, maupun
pejabat pada posisi jabatan yang baru sesuai dengan kemampuan, azas senioritas
serta ketentuan lain yang berlaku. 38
Rekrutmen demikin merupakan suatu rangjauan penempatan pegawai dalam
suatu jabatan yang pada dasarnya adalah langkah untuk menempakan posisi
38
Lihat UU Nomor 43 1999 Tentng Perubahan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1974 Tentang
Pokok-Pokok Kepegawaian. Dalam pasal 1 ayat 8
30
seseorang pegawai, dimana posisi itu sekaligus menujukan bahwa kualivikasi
pada diri pegawai kenyataanya sesuai dengan ketentuan yaitu penempatan
seseorang harus memperhatikam persyaratan yang telah ditetapkan dan mengacu
pada etika profesional dimana kemampyan adalah faktor dominan yang sangat
menentukan.
Weber sendiri mengatakan bahwasanya dalam sebuah birokrasi harus ada
pembagian kerja,hierarki, prosedur tertulis, impersonalitas dan meritokrasi.
Tujuannya adalah semua karakteristik di atas dibentuk agar birokrasi dapat
bekerja menyerupai cara kerja mesin. Sehingga mampu mewujudkan nilai- nilai
tertentu, seperti efisiensi, output yang terstandar, dan kepastian. Pembagian kerja
dan meritokrasi diperlukan agar birokrasi ini dapat bekerja secara efisien.
Meritokrasi dapat digunakan sebagai standar yang dapat dipakai untuk
menentukan suatu jabatan dalam birokrasi. 39 Meritokrasi pada dasarnya
memberikan
penghargaan
lebih
bagi
individu
yang
berprestasi
atau
berkemampuan dengan memberikan tempat kepada mereka yang berprestasi
untuk duduk sebagai pemimpin.
Intinya, dalam pengisian jabatan struktural harus mendasarkan diri pada
faktor- faktor kemampuan, kecakapan, pangkat dan persyaratan lain yang telah
ditetapkan oleh perundang-undangan tentang pengisian jabatan struktural, tanpa
meninggalkan faktor lainnya. Seperti tertera dalam Peraturan Menteri Dalam
Negeri Nomor 05 Tahun 2005 Tentang Pedoman Penilaian Calon Sekretaris
39
Dwiyanto, A. (2011). Mengembalikan Kepercayaan Publik Melalui Reformasi Birokrasi. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama. Hal 24
31
Daerah Provinsi Dan Kabupaten/Kota Serta Pejabat Struktural Eselon Ii Di
Lingkungan Kabupaten/Kota.
F.
Definisi Konseptual dan Definisi Ope rasional
1.
Definisi Konseptual
Etnisitas (ethnicity) merupakan konsep yang menjelasakan
tentang
keberadaan suatu kelompok yang berdasarkan kebudayaan yang mereka miliki
dari warisi dari generasi yang sebelumnya. Dimana identitas kelompok (turun
temurun) tersebut berdasarkan pada kesamaan karakteristik bahasa, kebudayaan,
sejarah dan asal- usul geografis. Pertukaran kebudayaan yang berbasis pada
bahasa, agama, dan kebangsaan inilah yang kemudian selalu menghubungkan
keyakinan yang „berlebihan‟ dengan keberadaan kelompok lain.
Birokrasi adalah
organisasi yang rasional dengan mengedepankan
mekanisme sosial yang “memaksimumkan efisiensi”. Pengertian efisiensi
digunakan secara netral untuk mengacu pada aspek-aspek administrasi dan
organisasi. Dalam pandangan ini, birokrasi dimaknai sebagai institusi formal yang
memerankan fungsi pengaturan, pelayanan, pembangunan, dan pemberdayaan
masyarakat. Jadi, birokrasi dalam pengertian Weberian adalah fungsi dari biro
untuk menjawab secara rasional terhadap serangkaian tujuan yang ditetapkan
pemerintahan.
Netralitas Birokrasi adalah kondisi dimana birokrasi harus netral dan steril
dari kehidupan politik. Artinya, karena birokrasi merupakan sesuatu yang bersifat
administratif mekanistik. Berarti birokrasi tidak lebih dari sekedar pelaksana
32
kebijakan. Ia tidak boleh masuk dalam kontektualitas pengambilan kebijakan
politik, apalagi bertarung memperbutkan jabatan politik.
Rekrutmen adalah kegiatan penempatan seseorang baik pegawai dalam hal
ini individu yang telah memenuhi syarat minimal secara administratif, maupun
pejabat pada posisi jabatan yang baru sesuai dengan kemampuan, azas senioritas
serta ketentuan lain yang berlaku. Sistem meritokrasi harus dijadikan standar
utama dalam penempatan seseorang dengan melihat persyaratan yang telah
ditetapkan dan mengacu pada etika profesional dimana kemampuan adalah faktor
dominan yang sangat menentukan karir seseorang.
2.
Definisi Operasional

Etnisitas dengan
indikator kesadaran,
turun-temurun,
kebersamaan,
kolektivitas, dan kesamaan karakteristik (bahasa, sejarah, geografis,
kebiasaan, kebudayaan)

Birokrasi dengan indikator rasional, pengaturan, pelayanan, pembangunan,
profesionalisme, pemberdayaan masyarakat, efektif dan efisien.

Netralitas Birokrasi dengan indikator objectif, tidak berpihak, pelaksana
kebijakan, non partisan.

Rekrutmen dengan indikator pengetahuan, karakteristik, kriteria khusus,
kinerja, kemampuan, kecakapan, etika profesional, dan Otoritas Legal
Rasional
33
G.
Metodologi Penelitian
1.
Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan pendekatan dengan metode
kualitatif. Penggunaan metode kualitatif bertujuan untuk memahami fenomena
sosial yang mendalam yang tersembunyi di bawah permuaan antara peneliti dan
fenomena yang diteliti. Dengan kekhasan metode ini diharapkan dapat
membongkar tabir dan menangkap sesuatu yang dimaknai dari sebuah fenomena
sosial, sehingga makna dari fenomena tersebu daoat dipahami dengan lebih
mudah dan sederhana.
40
Selanjutnya, pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Study
Kasus atau case study. Model atau pendekatan ini memfokuskan pada satu kasus
atau lebih dalam fenomena sosial. Menurut Creswell pendekatan case study
menekankan pada eksplorasi dan suatu sistem yang terbatas pada satu kasus atau
lebih secara mendetail, disertai dengan penggunaan data secara mendalam,
beragam dan kaya akan konteks. 41
Dengan strategi di atas, penulis kemudian mampu untuk memberikan
penjelasan yang sangat mendalam tentang revalitas etnis dalam arena politik dan
birokrasi yang terjadi di Kabupaten Sintang. Sehingga nantinya dihasilkan sebuah
tulisan yang mampu untuk
menggambarkan bagaimana fenomena yang
sesungguhnya tentang deskripsi dari fokus tulisan ini. Tentunya mengenai
bagaimana bermainnya politik etnisitas dalam politik dan birokrasi di Kabupaten
40
Denzin dan Lincoln (1994) dalam Herdiansyah, H. (2012). Metodologi Penelitian Kualitatif untuk
Ilmu-ilmu Sosial. Jakarta: Salemba Humanika, hal 7-9
41
Ibid, Denzin dan Lincoln (1994) dalam Herdiansyah, H. (2012). Hal 76
34
Sintang. Serta melihat bagaimana strategi serta dampaknya bagi pemerintahan di
Kabupaten Sintang.
2.
Teknik pengumpulan data
Studi ini diyakini akan sangat membutuhkan banyak data dari bermacam
narasumber yang ada. Selain menekankan pada kejadian-kejadian dan data yang
sifatnya kontemporer, studi ini juga bergantung pada fakta-fakta historis. Hal
tersebut bertujuan dengan beragamnya data yang diperoleh peneliti dapat
melakukan pengujian silang antar data yang ada. Dalam penelitian ini, data yang
dikumpulkan bersumber pada dua jenis data, yaitu data primer dan juga data
sekunder. Data primer dari wawancara dan data sekunder dari dokumen-dokumen
baik itu media cetak atau elektronik. Berikut langkah- langkah yang akan
dilakukan dalam rangka pengumpulan data dari penelitian ini:
a.
Dokumentasi
Desk study atau studi dokumen ini sangat penting dilakukan sebagai langkah
awal dalam menentukan strategi apa yang akan diambil terkait pengumpulan data
dari penelitian ini. Data-data dokumen ini sangat penting guna mendukung dan
menambah bukti-bukti dari sumber-sumber data lainnya. 42 Dokumentasi yang
berupa data sekunder ini diperoleh dari beberapa sumber data, yaitu:
1.
Buku-buku hasil penelitian, berupa:
a)
Sejarah Pemerintahan Kabupaten Sintang
b) Sejarah Kerajaan Melayu
42
Ibid, Denzin dan Lincoln (1994) dalam Herdiansyah, H. (2012). Hal 143
35
c)
2.
Sejarah Kebudayaan Dayak
Publikasi resmi dan dokumen tertulis, berupa:
a)
Badan Kepegawaian Daerah Kabupaten Sintang
1.
Daftar keanggotaan Tim Baperjakat Kabupaten Sintang
2.
Surat Edaran Bupati Tentang Netralitas Pegawai Negeri Sipil Dalam
Pelaksanaan Tahapan Pemilihan Umum.
3.
Surat Kepuusan Bupati Tentang Pelimpahan Atas Sebagian Atau
Seluruhnya Kekuasaan Bupati Sintang Selaku Pemegang Kekuasaan
Pengelolaan Keuangan Daerah Kepada Kepala SKPD di Lingkungan
Pemerintah Kabupaten Sintang Selaku Pejabat Pengguna Anggaran
Atau Pengguna Barang Tahun Anggaran 2014.
4.
Daftar Pejabat Eselon II Kabupaten Sintang Tahun 2010 sampai
dengan Tahun 2014.
b) Komisi Pemelihan Umum Kabupaten Sintang
1.
Daftar calon Bupati dan Wakil Bupati Kabupaten Sintang dalam
Pilkada Tahun 2005 dan tahun 2010.
2.
Rekapitulasi perolehan suara dalam Pilkada Tahun 2005 dan Tahun
2010.
c)
Badan Pusat Statistik berupa buku berjudul Kabupaten Sintang Dalam
Angka Tahun 2013
d) Institut Dayakologi berupa buku yang berjudul Perlawanan Masyarakat
Adat Dayak di Hutan Kalimantan
36
b.
Wawancara mendalam (indepth interview).
Wawancara yang dilakukan ditekankan pada wawancara yang bersifat
dialogis baik secara formal maupun informal. Wawancara yang dilakukanpun
akan disesuaikan dengan informan, apakah akan dilakukan secara open-ended
ataupun terfokus. 43 Berikut beberapa informan ataupun responden yang menjadi
target wawancara dari poenelitian ini, yaitu:
1. Bupati Kabupaten Sintang.
2. Pejabat Eselon II Kabupaten Sintang, terutama pejabat yang
menjadi Tim Sukses salah satu pasang calon Bupati dan Wakil
Bupati dalam Pilkada Tahun 2010.
3. Kalangan Birokrat di BKD dan terkhusus yang berada di dalam
tubuh Baperjakat.
4. Para TIMSES masing- masing pasangan Calon Bupati dan Wakil
Bupati.
5. Kader Partai Politik berkuasa, PDI-P, Demokrat dan Golkar.
6. Para tokoh masyarakat dari masing- masing etnis di Kabupaten
Sintang.
7. Serta informan lainnya yang sekiranya paham betul konteks
penelitian ini.
43
Ibid, Denzin dan Lincoln (1994) dalam Herdiansyah, H. (2012). Hal 108
37
3.
Metode Analisis Data
Analisis data merupakan tahapan dalam penelitian yang memiliki fungsi
yang sangat penting, untuk mendapatkan keabsahan dari hasil sebuah penelitian.
Analisa data dalam penelitian ini menggunakan analisa deskriptif, dimaksudkan
untuk eksplorasi dan klasrifikasi mengenai suatu fenomena atau kenyataan sosial
yang didapat dari data yang telah dikumpulkan, kemudian disusun dan dijelaskan
dengan lebih sistematis. 44
Tahapan selanjutnya adalah mereduksi (meringkas data dalam berbagai
bentuk) berdasarkan pola-pola atau kriteria tertentu yang memiliki kesamaan.
Setelah seluruh data (dari seluruh teknik pengumpulan data yang digunakan) telah
direduksi, langkah selanjutnya adalah validasi data-data tersebut dengan metode
Triangulasi. Secara sederhana metode triangulasi dapat disimpulkan sebagai
metode pengumpulan data dengan banyak cara dan sudut pandang.
Dengan kata lain peneliti tidak hanya menggunakan satu sumber data, satu
metode pengumpulan data. Sehingga data yang diperoleh dari banyak sudut
pandang tersebut akan diperoleh beragam fenomena yang muncul, dan selanjutnya
dapat ditarik kesimpulan yang lebih mantap dan bisa diterima kebenarannya.
Tahapan terakhir adalah tahapan penarikan kesimpulan yang diperoleh dari
analisis data dan validasi data yang sebelumnya dilakukan, sehingga didapat
kebenaran dari fenomena sosial yang terjadi dalam masyarakat.
44
Masri Singarimbun dan Sofian Effendi, Metode Penelitian Survey, LP3ES, Jakarta 1989, hal 39.
38
H.
SISTEMATIKA PENULISAN BAB
BAB I terdiri dari latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian,
tinjauan pustaka, pendekatan teoritik, metode penelitian dan sistematika
penulisan. Bab I bertujuan untuk memberi penjelasan tentang fokus penelitian ini
dan juga di dalamnya juga memberikan alasan mengapa penelitian ini layak untuk
ditulis.
BAB II menjelaskan bagaimana setting lokasi penelitian yang dipilih, mulai
dari sejarah pemerintahan Kabupaten Sintang, serta konfigurasi dan keberagaman
etnis yang ada. Menjelaskan bagaimana relasi antar etnis yang terbangun,
sehingga menghasilkan adanya diskriminasi terhadap keberadaan dari etnis Dayak
oleh pemerintahan Orde Baru dan juga etnis pendatang. Diskriminasi itu yang
kemudian digunkan oleh etnis Dayak untuk bangkin dan melawan dengan
menggunakan momentum Pilkada pada tahun 2010. Hal ini merupakan bentuk
upaya dari etnis Dayak untuk bangkit dan menunjukkan eksistensi mereka dalam
ranah politik lokal di Kabupaten Sintang.
BAB III menjelaskan dinamika serta permainan politik etnis dalam Pilkada
Kabupaten Sintang tahun 2010 lalu. Terutama bagaimana etnis Dayak berusaha
untuk memenangkan pasangan Bupati dan Wakil Bupati dari etnis Dayak.
Bermainnya politik etnis dalam Pilkada berdampak pula pada pola dan rivalitas
dari para birokrat dalam mendukung pasangan calon Bupati dan Wakil Bupati.
Relasi antara politisi dan birokrat adanya simbiosis mutualisme antara keduanya.
Politisi menggunakan birokrat untuk menang dalam Pilkada, dan birokrat
memanfaatkan politisi dalam hal jabatan.
39
BAB IV menjelaskan bagaimana paska Pilkada Kabupaten Sintang tahun
2010 yang dimenangkan oleh pasangan Milton dan Juan (pasangan Dayak) juga
berdampak langsung pada penempatan pejabat Eselon II di Kabupaten Sintang.
Politisasi jabatan yang dilakukan tidak lagi berdasarkan pada sistem meritokrasi
atau kualitas pejabat, tapi lebih menggunakan pendekatan atas dasar kesamaan
etnis dan kedekatan antara politisi (penguasa) dan juga birokrat. Politisasi jabatan
yang terjadi tentunya akan menghasilkan birokrasi yang tidak sehat, dan akan
berdampak buruk pada pelayanan bagi masyarakat.
BAB V adalah bab terakhir yang merupakan refleksi teoritis terkait dengan
bagaimana pengaruh etnisitas dalam jabatan Eselon II di Kabupaten Sintang.
Sekaligus kesimpulan sebagai jawaban atas pertanyaan penelitian.
40
Download