PELAYANAN IMAMAT TANPA DISKRIMINASI Rm. Siprianus S. Senda, Pr Refleksi kecil ini berangkat dari perbincangan dengan umat di beberapa tempat di wilayah Kota Kupang. Tema perbincangan adalah keluhan umat tentang pelayanan pastor yang diskriminatif: umat yang kaya dilayani, umat yang miskin diabaikan. Ada pula pastor yang marah-marah melulu dalam ekaristi. Yang lain lagi sibuk dengan urusan atau bisnis pribadi lalu mengabaikan pelayanan umat. Keluhan-keluhan ini tentu saja tidak muncul begitu saja tanpa pengalaman dari umat terkait pelayanan dari para pastornya. Mau tidak mau, suka tidak suka, penilaian umat terhadap pastornya berdasarkan kenyataan yang dialami, mesti disikapi secara bijaksana penuh kerendahan hati. Para imam dapat melihat penilaian umat ini sebagai momen introspeksi dan autokritik dalam rangka perbaikan pelayanan seturut model pelayanan Yesus. Seorang imam ditahbiskan untuk melayani melalui pelaksanaan tri tugas Kristus yaitu mewartakan Injil, menggembalakan umat beriman dan merayakan ibadat ilahi. Itulah tugas sebagai imam, nabi dan raja yang berperan dalam hal menguduskan, mengajar dan memimpin. Di dalam menunaikan tri tugas tersebut, seorang imam hendaknya memiliki spirit pelayanan sebagaimana Yesus yang “datang bukan untuk dilayani, melainkan untuk melayani” (Mrk 10:45). Dengan spirit pelayanan tersebut, seorang imam akan rela sedia dan murah hati melayani tanpa pamrih dan tanpa diskriminasi. Seorang imam ditahbiskan untuk menguduskan umat beriman melalui pelayanan di bidang rohani. Ia menjadi pelayan sakramen, pemberkatan, ibadat dan doa-doa kristiani demi kepentingan umat beriman. Tugasnya mengantarai umat beriman dengan Allah. Tugas istimewa ini hendaknya dilaksanakan dengan semangat pelayanan yang tulus dan murah hati, sehingga ia tidak akan terjebak dalam kepentingan material tertentu yang membuat dia diskriminatif dalam pelayanan pengudusan. Imam yang rendah hati, tulus dan murah hati dalam pelayanan umumnya dapat mengelola hidupnya dengan baik sehingga mampu menepis godaan untuk berlaku diskriminatif dalam pelayanan sakramen dll. Pelayanan rohani untuk menguduskan umat beriman tidak dijadikan sebagai sarana mengeruk keuntungan finansial dan material tetapi benar-benar sebagai sarana pengudusan. Dengan demikian ia sungguh menjadi pastor bonus (gembala yang baik), bukannya pastor yang suka (cari) bonus. Seorang imam ditahbiskan untuk mewartakan injil. Tugas pewartaan atau pengajaran iman ini diemban pula dengan semangat pelayanan tanpa pamrih dan tanpa diskriminasi. Melalui kotbah, katekese, pembinaan iman pra penerimaan sakramen, dan terutama melalui kesaksian hidup injili, seorang imam dapat mewartakan nilai-nilai injil kepada umat beriman dan membantu mereka menumbuhkembangkan iman tersebut di dalam hidup dan karya setiap hari. Ini berarti imam tidak hanya berbicara melulu tetapi menghayati apa yang diwartakannya. Bapak Norbert Jegalus, dosen Fakultas Filsafat Unwira Kupang, pernah membedakan antara seorang pewarta dan seorang wartawan. Wartawan memberitakan sesuatu tanpa terlibat dalam hal tersebut. Tetapi seorang pewarta wajib menghayati apa yang diwartakannya; tidak ada jarak antara dirinya dengan apa yang diwartakannya. Dengan demikian, seorang imam yang adalah seorang pewarta akan melayani umat beriman dengan tulus dan murah hati sesuai apa yang diajarkannya tentang cintakasih, ketulusan, kemurahan hati, dan nilai-nilai injili lainnya. Seorang imam ditahbiskan untuk memimpin umat beriman. Tugas kepemimpinan ini dilaksanakan seturut model kepemimpinan Kristus yang melayani. Otoritas suci yang diterima berdasarkan sakramen tahbisan bukanlah untuk dijadikan alat kekuasaan yang otoriter dan menindas tetapi untuk mengayomi dan membimbing umat beriman kepada kesejahteraan jiwa-jiwa. Wewenang suci itu adalah sarana untuk melayani umat beriman sehingga terciptalah tatanan kehidupan gerejawi yang baik. Wewenang bukan untuk bersikap sewenang-wenang terhadap umat beriman, melainkan untuk memimpin umat dalam hidup menggereja dan memasyarakat berdasarkan nilai-nilai injili. Dengan kesadaran akan tujuan wewenang suci ini, seorang imam dapat berlaku bijaksana, rendah hati, mengayomi, lembut hati, keras prinsip halus cara, tegas, berani berkorban, dan lain-lain. Ringkasnya ia tidak menyalahgunakan wewenang suci itu untuk menindas umat, berlaku tidak adil terhadap mereka dengan keputusan-keputusan yang egoistis dan diskriminatif. Pater Dago sebagai seorang imam tentu mengetahui tiga tugas tersebut dan berusaha selama 40 tahun menjadi imam untuk menghayati ketiga tugas itu dengan semangat pelayanan yang tinggi seturut model pelayanan Yesus Kristus. Sebagai imam muda yang pernah bertugas bersama beliau di Paroki Penfui, saya bisa menyatakan bahwa beliau seorang imam yang melayani tanpa pamrih dan tanpa diskrminasi. Hidup askese, kesederhanaan, kerendahan hati, kerelaan berkorban, semangat melayani yang tinggi, adalah kualitas-kualitas yang dimiliki beliau sebagai seorang imam. Beliau dikenal sebagai imam atau pastor yang rajin mengunjungi umat di kapela-kapela terpencil dan di KUB-KUB dalam paroki. Umat yang meminta pelayanan misa, entah kaya entah miskin, diterimanya dengan kerelaan hati penuh kasih. Tidak ada diskriminasi terhadap umat di dalam pelayanan sakramen. Teladan beliau ini memberikan inspirasi bagi kami para imam muda untuk juga memiliki semangat pelayanan yang sama sebagai imam Tuhan. Selamat merayakan ulang tahun imamat ke-40. Selamat pesta pancawindu imamat. Tuhan memberkati Pater dalam hidup dan karya pelayanan sebagai imam di hari-hari mendatang. Ad multos annos! *Dosen Kitab Suci pada Fakultas Filsafat Unika Widya Mandira Kupang dan Pembina para frater di Seminari Tinggi St. Mikhael Kupang