6 BAB II PENDEKATAN KONSEPTUAL 2.1. Tinjauan Pustaka 2.1.1. Corporate Social Responsibility 2.1.1.1. Definisi dan Konsep Corporate Social Responsibility Konsep CSR (Corporate Social Responsibility) memiliki beberapa definisi yang dikemukakan oleh banyak ahli. Definisi CSR berasal dari konsep dan pemikiran yang dicetuskan oleh John Elkington (1997) dalam bukunya yang berjudul “Cannibals with Forks, The Triple Bottom Line of Twentieth Century Business”, dimana dalam buku tersebut Elkington mengemukakan konsep “3P” (profit, people, dan planet) yang menerangkan bahwa dalam menjalankan operasional perusahaan, selain mengejar profit/keuntungan ekonomis sebuah korporasi harus dapat memberikan kontribusi positif bagi people (masyarakat) dan berperan aktif dalam menjaga kelestarian lingkungan (planet) (Wibisono, 2007). ISO 26000 mengenai Guidance on Social Responsibility juga memberikan definisi CSR. Menurut ISO 26000 dalam Suharto (2008), CSR adalah tanggung jawab sebuah organisasi terhadap dampak-dampak dari keputusan-keputusan dan kegiatan-kegiatannya pada masyarakat dan lingkungan yang diwujudkan dalam bentuk perilaku transparan dan etis yang sejalan dengan pembangunan berkelanjutan dan kesejahteraan masyarakat, mempertimbangkan harapan pemangku kepentingan, sejalan dengan hukum yang ditetapkan dan norma-norma perilaku internasional, serta terintegrasi dengan organisasi secara menyeluruh. Dahlsrud (2008) dalam penelitiannya yang berjudul “How Corporate Social Responsibilty is Defined: an Analysis of 37 Definitions”, menggunakan lima dimensi CSR sebagai acuan, yakni dimensi lingkungan (the environmental dimension), dimensi sosial (the social dimension), dimensi ekonomi (the economic dimension), dimensi pemangku kepentingan (the stakeholder dimension), dan dimensi kesukarelaan (the voluntariness dimension). Menurut Samuel dan Saarf dalam Rahman (2009), ada tiga perspektif terkait dengan CSR: 1. Kapital reputasi Memandang penting reputasi untuk memperoleh dan mempertahankan pasar. CSR dipandang sebagai strategi bisnis yang bertujuan untuk 7 meminimalkan risiko dan memaksimalkan keuntungan dengan menjaga kepercayaan stakeholder. 2. Ekososial Memandang stabilitas dan keberlanjutan sosial dan lingkungan sebagai strategi untuk menjaga keberlanjutan bisnis korporat. 3. Hak-hak pihak lain Memandang konsumen, pekerja, komunitas yang terpengaruh bisnisnya dan pemegang saham, memiliki hak untuk mengetahui tentang korporat dan bisnisnya. 2.1.1.2. Penyelenggaraan Program CSR Tanggung jawab perusahaan merupakan sebuah konsep yang berkaitan dengan bagaimana perusahaan bertanggung jawab terhadap kegiatan dan kebiasaan yang berkelanjutan dalam segala sesuatunya yang berhubungan dengan perusahaan, baik aspek finansial, lingkungan, dan sosial (Lakin & Scheubel, 2010). Menurut Wibisono (2007) cara perusahaan memandang CSR atau alasan perusahaan menerapkan CSR dapat diklasifikasikan ke dalam tiga kategori, yakni: 1. Sekedar basa-basi dan keterpaksaan, artinya CSR hanya dipraktikkan lebih karena faktor eksternal (external driven). 2. Sebagai upaya untuk memenuhi kewajiban (compliance), dimana CSR diimplementasikan karena memang ada regulasi, hukum, dan aturan yang memaksakannya. 3. Bukan lagi sekedar compliance tapi beyond compliance alias compliance plus, yakni CSR diimplementasikan karena memang ada dorongan yang tulus dari dalam (internal driven). Implementasi CSR itu merupakan langkah-langkah pilihan sendiri sebagai kebijakan perusahaan, bukan karena dipaksa oleh aturan tekanan dari masyarakat. Menurut Rahman (2009), terdapat dua alasan yang mendasari korporat melakukan kegiatan CSR, yakni alasan moral (moral argument) dan alasan ekonomi (economic argument). Alasan ekonomi lebih menekankan pada bagaimana korporat mampu memperkuat citra dan kredibilitas brand/produknya 8 melalui aktivitas CSR, sedangkan alasan moral lebih didasarkan bahwa CSR memang benar bermula dari inisiatif korporat untuk dapat menjalin relasi yang saling menguntungkan dengan stakeholders. Dalam kaitannya dengan hal tersebut, terdapat empat pengkategorian tanggung jawab sosial perusahaan menurut Archie Carrol dalam Rahman (2009), yakni: 1. Tanggung jawab Ekonomi (Economic Respoinsibilities) Terminologi tanggung jawab ekonomi dan tanggung jawab sosial terasa dekat jika dikaitkan dengan mekanisme pricing korporat. Pricing sebagai aktivitas ekonomi, akan bersinergi dengan tanggung jawab sosial jika didasari pada itikad untuk memberikan harga yang memihak kepada konsumen. Hal tersebut merupakan salah satu langkah yang dapat ditempuh guna mensinkronkan fungsi ekonomi dengan aktivitas tanggung jawab sosial. 2. Tanggung jawab Hukum (Legal Responsibilities) Tanggung jawab hukum oleh korporat merupakan modifikasi sejumlah nilai dan etika yang dicanangkan korporat terhadap seluruh pembuat dan pemilik hukum yang terkait. Sudah seharusnya korporat menjalankan kepatuhan terhadap hukum dan norma yang berlaku. 3. Tanggung jawab Etis (Ethical Responsibilities) Tanggung jawab etis berimplikasi pada kewajiban korporat untuk menyesuaikan segala aktivitasnya sesuai dengan norma sosial dan etika yang berlaku meskipun tidak diselenggarakan secara formal. Tanggung jawab etis ini bertujuan untuk memenuhi standar, norma, dan pengharapan dari stakeholders terhadap korporat. 4. Tanggung jawab Filantropis (Phylantropic Responsibilities) Tanggung jawab filantropis ini seyogyanya dimaknai secara bijak oleh korporat, tidak hanya memberikan sejumlah fasilitas dan sokongan dana, korporat juga disarankan untuk dapat memupuk kemandirian komunitasnya. Tanggung jawab ini didasari itikad korporat untuk berkontribusi pada perbaikan komunitas secara mikro maupun makro sosial. 9 Archie Carrol dalam Rahman (2009) berpandangan bahwasanya apabila keempat unsur tanggung jawab di atas teraplikasikan secara menyeluruh maka akan terselenggara sebuah Total CSR. Gagasan Prince of Wales International Business Forum dalam Wibisono (2007) mengenai lingkup penerapan CSR mengusung lima pilar yakni: 1. Building human capital Berkaitan dengan internal perusahaan untuk menciptakan SDM yang handal, di sisi lain perusahaan juga dituntut melakukan pemberdayaan masyarakat. 2. Strengtening economies Perusahaan harus memberdayakan ekonomi masyarakat sekitarnya, agar terjadi pemerataan kesejahteraan. 3. Assesing social chesion Upaya menjaga keharmonisan dengan masyarakat sekitar, agar tidak menimbulkan konflik. 4. Encourging good governance Perusahaan dalam menjalankan bisnisnya mengacu pada Good Corporate Governance (GCG). Telaah lebih lanjut atas berbagai literatur menunjukkan bahwa ada empat skema yang biasa dipergunakan untuk menjalankan tanggung jawab sosial perusahaan, yaitu (1) kontribusi pada program pengembangan masyarakat, (2) pendanaan kegiatan sesuai dengan kerangka legal, (3) partisipasi masyarakat dalam bisnis, dan (4) tanggapan atas tekanan kelompok kepentingan2. Wibisono (2007) mengemukakan perusahaan-perusahaan yang telah berhasil dalam menerapkan CSR menggunakan tahapan implementasi CSR sebagai berikut: 1. Tahap Perencanaan Tahap ini terdiri dari tiga langkah utama, yaitu Awareness Building, CSR Assesment, dan CSR Manual Building. Awareness Building merupakan langkah awal untuk membangun kesadaran perusahaan mengenai arti penting CSR dan komitmen manajemen, upaya ini dapat 2 Jalal.2010.Masukan bagi Program PROPER Kementrian Lingkungan Hidup. Jakarta: Laboratorium Sosiologi Universitas Indonesia 10 dilakukan melalui seminar, lokakarya, dan lain-lain. CSR Assesment merupakan upaya untuk memetakan kondisi perusahaan dan mengidentifikasi aspek-aspek yang perlu mendapatkan prioritas perhatian dan langkah-langkah yang tepat untuk membangun struktur perusahaan yang kondusif bagi penerapan CSR secara efektif. Pada tahap membangun, CSR manual, dilakukan melalui benchmarking, menggali dari referensi atau meminta bantuan tenaga ahli independen dari luar perusahaan. Pedoman ini diharapkan mampu memberikan kejelasan dan keseragaman pola pikir dan pola tindak seluruh elemen perusahaan guna tercapainya pelaksanaan program yang terpadu, efektif, dan efisien. 2. Tahap Pelaksanaan Pada tahap ini terdapat beberapa poin yang harus diperhatikan seperti pengorganisasian sumber daya, penyusunan untuk menempatkan orang sesuai dengan jenis tugas, pengarahan, pengawasan, pelaksanaan, pekerjaan sesuai dengan rencana, serta penilaian untuk mengetahui tingkat pencapaian tujuan. 3. Tahap Pemantauan dan Evaluasi Tahap ini perlu dilakukan secara konsisten dari waktu ke waktu untuk mengukur sejauhmana efektivitas penerapan CSR sehingga membantu perusahaan untuk memetakan kembali kondisi dan situasi serta capaian perusahaan dalam implementasi CSR sehingga dapat mengupayakan perbaikan-perbaikan yang perlu berdasarkan rekomendasi. 4. Tahap Pelaporan Pelaporan perlu dilakukan untuk membangun sistem informasi, baik untuk keperluan proses pengambilan keputusan maupun keperluan keterbukaan informasi material dan relevan mengenai perusahaan. 2.1.1.3. Peran dan Fungsi Stakeholder dalam CSR Kebermulaan pengakuan terhadap keberadaan dan pengaruh pemangku kepentingan dapat dilacak sejak 1960-an (Sukada, 2007). Dalam bukunya tersebut, Sonny Sukada (2007) memaparkan bahwa Stamford Research Institute 11 pertama kali menggunakan terminologi perspektif pemangku kepentingan (stakeholder perspective) yang dibangun berdasarkan teori-teori Charles Darwin dan Adam Smith, serta perubahan lingkungan di era itu dimana terdapat orangorang dan organisasi di samping pemegang saham yang terkena pengaruh operasi perusahaan. Konsepnya kemudian dipopulerkan oleh Freeman (1984) dalam Sukada (2007), yang membicarakan masalah pemangku kepentingan secara lebih komprehensif. Menurut Freeman (1984) dalam Sukada (2007), pemangku kepentingan diartikan sebagai mereka yang memiliki kepentingan dan keputusan tersendiri, baik sebagai individu maupun wakil kelompok. Pengertian ini mencakup mereka yang mempengaruhi atau yang terkena pengaruh dari satu organisasi. Stakeholders, yang jamak diterjemahkan dengan pemangku kepentingan adalah pihak atau kelompok yang berkepentingan, baik langsung maupun tidak langsung terhadap eksistensi atau aktivitas perusahaan, dan karenanya kelompokkelompok tersebut mempengaruhi dan atau dipengaruhi oleh perusahaan (Saidi, 2004). Menurut Wibisono (2007), apapun definisinya, yang jelas antara stakeholders dengan perusahaan terjadi hubungan yang saling mempengaruhi, sehingga perubahan pada salah satu pihak akan memicu dan mendorong terjadinya perubahan pada pihak yang lainnya. Salah satu aspek penting yang mendukung keberhasilan implementasi program CSR adalah sinergitas yang positif antara seluruh stakeholders terkait, yakni dalam hal ini Soemanto (2007) mengkategorikannya ke dalam empat kelompok, diantaranya adalah pemerintah (government), sektor privat (private sector), lembaga swadaya masyarakat (LSM)/ Non-Governmental Organizations (NGOs), dan masyarakat (Community). Renald Kasali (2005) dalam Wibisono (2007) membagi stakeholders menjadi berikut: 1. Stakeholder internal dan stakeholder eksternal Stakeholder internal adalah stakeholder yang berada di dalam lingkungan organisasi, misalnya karyawan, manajer, dan pemegang saham (shareholder). Stakeholder eksternal adalah stakeholder yang berada di luar lingkungan konsumen organisasi seperti penyalur atau pemasok, konsumen atau pelanggan, masyarakat, pemerintah, pers, 12 kelompok sosial masyarakat, responsible investor, licensing partner dan lain-lain. 2. Stakeholder primer, stakeholder sekunder dan stakeholder marjinal Tidak semua elemen dalam stakeholder perlu diperhatikan. Perusahaan perlu menyusun skala prioritas. Stakeholder yang paling penting disebut stakeholder primer, stakeholder yang kurang penting disebut stakeholder sekunder, dan yang bisa diabaikan disebut stakeholder marjinal. 3. Stakeholder tradisional dan stakeholder masa depan Karyawan dan konsumen dapat disebut stakeholder tradisional, karena saat ini sudah berhubungan dengan organisasi. Sedangkan stakeholder masa depan adalah stakeholder pada masa depan yang akan datang diperkirakan dapat memberikan pengaruhnya pada organisasi seperti mahasiswa, peneliti dan konsumen potensial. 4. Proponents, opponents, dan uncommitted Diantara stakeholder, ada kelompok yang memihak organisasi (proponents), menentang organisasi (opponents), dan ada yang tak peduli atau abai (uncommitted). 5. Silent majority dan vocal majority Dilihat dari aktivitas stakeholder dalam melakukan komplain atau mendukung perusahaan, tentu ada yang menyatakan penentangan atau dukungannya secara vokal (aktif) namun adapula yang menyatakan secara silent (pasif). Menurut Soemanto (2007) dalam bukunya yang berjudul “Sustainable Corporation: Implikasi Hubungan Harmonis Perusahaan dan Masyarakat”, dalam implementasi CSR pemerintah dapat melakukan peran dalam empat ranah, yakni menyediakan data dan informasi, memberi dukungan infrastruktur publik, melakukan sosialisasi program, dan menginisiasi kebijakan insentif fiskal. Stakeholder kedua adalah sektor privat atau dalam hal ini adalah perusahaan yang dapat memposisikan diri sebagai pihak yang harus merencanakan CSR secara matang, mengeluarkan anggaran untuk investasi sosial, mensosialisasikan, dan membuka ruang sehingga tercipta integrasi CSR dengan kebijakan pemerintah 13 dan masyarakat. Stakeholder yang terakhir adalah masyarakat. “Putting last people at the first” merupakan istilah yang tepat untuk memposisikan masyarakat dalam kegiatan CSR. Ide mengelola hubungan dengan pemangku kepentingan adalah hal mendasar bagi kebanyakan perusahaan, bahkan ide ini mewakili substansi dari bagaimana sebuah perusahaan dibangun dan dikelola, serta menjadi penting berkaitan dengan manajemen strategis secara khusus (Sukada, 2007). Tambahnya, pandangan ini meyakini perusahaan tidak dapat dikatakan eksis tanpa adanya hubungan dengan pemangku kepentingan. Jalinan hubungan itu juga pada hakekatnya adalah sesuatu yang normatif akibat kepentingan antara satu sama lain. Investor/ Creditor Political Groups Suppliers The Environment Goverments FIRM Trade Association Costumers Employees Communities Gambar 1. Berbagai Pemangku Kepentingan dalam Perusahaan (Thompson dan Driver,2005 dalam Sukada, 2007) Menurut Sukada (2007), pelibatan pemangku kepentingan ditentukan berdasarkan derajat relevansinya dengan keberadaan serta program yang akan diselenggarakan. Sukada (2007) menambahkan, semakin relevan pemangku kepentingan dengan kegiatan maupun aktivitas pengembangan masyarakat perusahaan, maka pelibatannya menjadi keharusan. Derajat relevansi pemangku kepentingan telah menjadi perdebatan panjang di literatur CSR. Mitchell et al 14 dalam Sukada (2007) mengungkapkan bahwa derajat relevansi pemangku kepentingan terhadap aktivitas perusahaan ditimbang dengan tiga hal, yaitu kekuasaan, legitimasi, dan urgensi. 2.1.2. Corporate Social Responsibility dan Community Development 2.1.2.1. Konsep Community Development Community Development dalam perspektif internasional merupakan salah satu kekuatan sosial yang signifikan dalam proses perubahan yang direncanakan, dipromosikan sebagai pengembangan dunia, dan sebagai bagian dalam proses pembangunan bangsa, serta sebagai standar dalam pembangunan masyarakat miskin (Budimanta dkk, 2008). Budimanta dkk (2008) menambahkan bahwa konsep dasar dari community development adalah kebutuhan manusia, komuniti, partisipasi, dan pengembangan. Sejalan dengan hal tersebut, Nasdian (2006) memaparkan bahwasannya pengembangan masyarakat (community development) adalah konsep dasar yang menggarisbawahi sejumlah istilah yang telah digunakan sejak lama, seperti community resource development, rural areas development, community economic development, rural revitalization, dan community based development. Suatu metode atau pendekatan pembangunan yang menekankan adanya partisipasi dan keterlibatan langsung penduduk dalam proses pembangunan, dimana semua usaha swadaya masyarakat disinergikan dengan usaha-usaha pemerintah setempat dengan stakeholders lainnya untuk meningkatkan taraf hidup dengan sebesar mungkin ketergantungan pada inisiatif penduduk sendiri, serta pelayanan teknis, sehingga proses pembangunan berjalan efektif (Nasdian, 2006). Sebagaimana asal katanya, pengembangan masyarakat terdiri dari dua konsep, yaitu “pengembangan” dan “masyarakat”, secara singkat pengembangan dan pembangunan merupakan usaha bersama dan terencana untuk meningkatkan kualitas kehidupan manusia (Suharto, 2005). Blackburn (1989) dalam Nasdian (2006) juga menggambarkan hal serupa, dimana community development menggambarkan makna yang penting dari dua konsep: community, bermakna kualitas hubungan sosial, dan development, perubahan ke arah kemajuan yang terencana dan bersifat gradual. 15 Dengan keberadaan suatu perusahaan di suatu daerah, akan dapat mendorong bermunculannya kegiatan-kegiatan sosial ekonomi komuniti sekitarnya, seperti adanya perusahaan-perusahaan jasa penunjang kehidupan perusahaan yang besar. Kondisi tersebut membentuk adanya pola hubungan baru diantara komunitas pendatang dan komunitas lokal atau dalam hal ini masyarakat sekitar. Untuk meningkatkan peran serta anggota masyarakat dalam kegiatan perusahaan diperlukan suatu cara untuk meningkatkan daya saing dan kemandirian masyarakat, salah satunya adalah melalui community development. 2.1.2.2. Hubungan antara CSR dan Community Development CSR merupakan salah satu upaya perusahaan untuk menciptakan keberlangsungan usaha dalam menciptakan dan memelihara keseimbangan antara mencetak keuntungan, fungsi-fungsi sosial, dan pemeliharaan lingkungan hidup (triple bottom line) seperti halnya konsep yang disampaikan oleh John Elkington yang terdiri dari Profit (Keuntungan), People (Masyarakat Pemangku Kepentingan), Planet (Lingkungan). Hal ini terkait dengan keberlanjutan usaha, dimana penting halnya bagi perusahaan untuk melihat bagaimana pengaruh dimensi sosial dan lingkungan pada setiap akitivitas bisnis. Pada dasarnya, dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan merupakan tiga aspek yang saling berkaitan. Sehubungan dengan hal tersebut, perlu adanya sinerji diantara seluruh stakeholder yang terkait melalui kemitraan antara perusahaan, pemerintah, komunitas (Kemitraan Tripartit). Implementasi CSR merupakan salah satu upaya membangun konsep pembangunan berkelanjutan yang mensyaratkan hubungan sinergis serta harmonis antar stakeholder, dalam hal ini adalah pemerintah, dunia usaha, dan masyarakat (Ambadar, 2008). Tanggung jawab sosial dapat diwujudkan melalui pengembangan potensi kedermawanan perusahaan. Kedermawanan perusahaan sesungguhnya adalah kedermawanan sosial dalam kerangka kesadaran dan komitmen perusahaan untuk melaksanakan tanggung jawab sosialnya (Saidi, 2003). Menurut Steiner (1994) dalam Nursahid (2006), terdapat sejumlah alasan mengapa perusahaan memiliki program-program filantropik atau kedermawanan sosial, yaitu pertama, untuk mempraktikkan konsep “good corporate citizenship”; kedua, untuk meningkatkan 16 kualitas lingkungan hidup; dan ketiga, untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia terdidik. Nursahid (2006) memaparkan bahwasanya kedermawanan sosial biasanya didasari dua motif sekaligus, yakni: motivasi untuk menyenangkan atau membahagiakan orang lain (altruisme) pada satu sisi, dan pada saat yang bersamaan terjadi pula bias kepentingan perusahaan di sisi lain. Dewasa ini, praktik filantropi sangat berkembang dan modern dengan cirinya yang berkelanjutan (sustain) dan mampu mengekalkan diri. Selain pengembangan kerangka hukum, transformasi juga menjadi upaya penting lain dalam melihat praktik kedermawanan sosial perusahaan. Hal ini didasari bahwa sebagian besar donasi perusahaan-menurut hasil survei PIRAC, merupakan donasi berbentuk hibah sosial, sementara masih sedikit yang berupa hibah pembangunan. Nursahid (2006) menyatakan bahwa transformasi terhadap orientasi sumbangan ini perlu dilakukan karena hibah sosial umumnya adalah hibah yang diperuntukkan guna pemenuhan keperluan sesaat dan sifatnya konsumtif. Oleh karena itu, perlu didorong kegiatan kedermawanan dari aktivitas yang bersifat sedekah menuju pada pengembangan dan akhirnya pemberdayaan dengan ruang lingkup yang sesuai. Menurut Budimanta (2008), ruang lingkup program-program pengembangan masyarakat (community development) dapat dibagi berdasarkan tiga kategori yang secara keseluruhan akan bergerak secara bersama-sama yang terdiri dari: 1. Community Relation; yaitu kegiatan-kegiatan yang menyangkut pengembangan kesepahaman melalui komunikasi dan informasi kepada para pihak yang terkait. Dalam kategori ini, program cenderung mengarah pada bentuk-bentuk kedermawanan (charity) perusahaan. Dari hubungan ini, dapat dirancang pengembangan hubungan yang lebih mendalam dan terkait dengan bagaimana mengetahui kebutuhan-kebutuhan dan masalah-masalah yang ada di komunitas lokal sehingga perusahaan dapat menerapkan program selanjutnya. 2. Community Services; merupakan pelayanan perusahaan untuk memenuhi kepentingan komunitas ataupun kepentingan umum. Dalam kategori ini, program-program dilakukan dengan adanya pembangunan secara fisik, 17 seperti sektor kesehatan, keagamaan, pendidikan, transportasi dan sebagainya yang berupa puskesmas, sekolah, rumah ibadah, jalan raya, dan sumber air minum. Inti dari kategori ini adalah kebutuhan yang ada di komunitas dan pemecahan tentang masalah yang ada di komunitas, dilakukan oleh komunitas sendiri dan perusahaan hanya sebagai fasilitator dari pemecahan masalah yang ada di komunitas. Kebutuhan-kebutuhan yang ada di komunitas dianalisis oleh para community development officer. 3. Community Empowering; merupakan program-program yang berkaitan dengan pemberian akses yang lebih luas kepada komunitas untuk menunjang kemandiriannya, misalnya pembentukan koperasi. Pada dasarnya, kategori ini melalui tahapan-tahapan lain seperti melakukan community relation pada awalnya, yang kemudian berkembang pada community service dengan segala metodologi panggilan data dan kemudian diperdalam melalui ketersediaaan pranata sosial yang sudah lahir dan muncul di komunitas melalui program kategori ini. Community Development (Pengembangan Masyarakat) sebagai salah satu dari tujuh isu CSR merupakan sarana aktualisasi CSR yang paling baik jika dibandingkan dengan implementasi yang hanya berupa charity, philantrophy, atau dimensi-dimensi CSR yang lain, karena dalam pelaksanaan pengembangan masyarakat terdapat prinsip-prinsip kolaborasi kepentingan bersama antara perusahaan dengan komunitas, adanya partisipasi, produktivitas, keberlanjutan, dan mampu meningkatkan perasaan solidaritas. 2.1.3. Konsep Partisipasi Menurut Nasdian (2006), pemberdayaan merupakan jalan atau sarana menuju partisipasi. Sebelum mencapai tahap tersebut, tentu saja dibutuhkan upaya-upaya pemberdayaan masyarakat. Pemberdayaan memiliki dua elemen pokok, yakni kemandirian dan partisipasi (Nasdian, 2006_). Nasdian (2006) mendefinisikan partisipasi sebagai proses aktif, inisiatif diambil oleh warga komunitas sendiri, dibimbing oleh cara berfikir mereka sendiri, dengan menggunakan sarana dan proses (lembaga dan mekanisme) dimana mereka dapat menegaskan kontrol secara efektif. Titik tolak dari partisipasi adalah memutuskan, 18 bertindak, kemudian mereka merefleksikan tindakan tersebut sebagai subjek yang sadar. Nasdian (2006) juga memaparkan bahwasanya partisipasi dalam pengembangan komunitas harus menciptakan peranserta yang maksimal dengan tujuan agar semua orang dalam masyarakat tersebut dapat dilibatkan secara aktif pada proses dan kegiatan masyarakat. Cohen dan Uphoff (1979) membagi partisipasi ke beberapa tahapan, yaitu sebagai berikut: 1. Tahap pengambilan keputusan, yang diwujudkan dengan keikutsertaan masyarakat dalam rapat-rapat. Tahap pengambilan keputusan yang dimaksud disini yaitu pada perencanaan dan pelaksanaan suatu program. 2. Tahap pelaksanaan yang merupakan tahap terpenting dalam pembangunan, sebab inti dari pembangunan adalah pelaksanaanya. Wujud nyata partisipasi pada tahap ini digolongkan menjadi tiga, yaitu partisipasi dalam bentuk sumbangan pemikiran, bentuk sumbangan materi, dan bentuk tindakan sebagai anggota proyek. 3. Tahap evaluasi, dianggap penting sebab partisipasi masyarakat pada tahap ini merupakan umpan balik yang dapat memberi masukan demi perbaikan pelaksanaan proyek selanjutnya. 4. Tahap menikmati hasil, yang dapat dijadikan indikator keberhasilan partisipasi masyarakat pada tahap perencanaan dan pelaksanaan proyek. Selain itu, dengan melihat posisi masyarakat sebagai subjek pembangunan, maka semakin besar manfaat proyek dirasakan, berarti proyek tersebut berhasil mengenai sasaran. Keseluruhan tingkatan partisipasi di atas merupakan kesatuan integratif dari kegiatan pengembangan perdesaan, meskipun sebuah siklus konsisten dari kegiatan partisipatoris mungkin dinilai belum biasa. Partisipasi masyarakat menggambarkan bagaimana terjadinya pembagian ulang kekuasaan yang adil (redistribution of power) antara penyedia kegiatan dan kelompok penerima kegiatan. Partisipasi masyarakat tersebut bertingkat, sesuai dengan gradasi, derajat wewenang dan tanggung jawab yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Gradasi peserta dapat digambarkan dalam Tabel 1 19 sebagai sebuah tangga dengan delapan tingkatan yang menunjukkan peningkatan partisipasi tersebut (Arnstein 1986 dalam Wicaksono 2010): Tabel 1. Tingkat Partisipasi Masyarakat menurut Tangga Partisipasi Arnstein No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. Tangga/Tingkatan Partisipasi Hakekat Kesertaan Tingkatan Pembagian Kekuasaan Manipulasi (Manipulation) Permainan oleh pemerintah Tidak ada partisipasi Sekedar agar Terapi (Therapy) masyarakat tidak marah/sosialisasi Pemberitahuan Sekedar pemberitahuan (Informing) searah/sosialisasi Masyarakat didengar, Konsultasi Tokenism/sekedar tapi tidak selalu dipakai (Consultation) justifikasi agar sarannya mengiyakan Saran Masyarakat Penentraman diterima tapi tidak (Placation) selalu dilaksanakan Kemitraan Timbal balik (Partnership) dinegosiasikan Pendelegasian Masyarakat diberi Tingkat kekuasaan ada Kekuasaan (Delegated kekuasaan (sebagian di masyarakat Power) atau seluruh program) Kontrol Masyarakat Sepenuhnya dikuasai (Citizen Control) oleh masyarakat Sumber: Arnstein (1969:217) dalam Wicaksono (2010) Arnstein (1969) menyatakan bahwa partisipasi masyarakat identik dengan kekuasaan masyarakat (citizen partisipation is citizen power). Partisipasi masyarakat bertingkat sesuai dengan gradasi kekuasaan yang dapat dilihat dalam proses pengambilan keputusan. Arnstein menggunakan metafora tangga partisipasi di mana tiap anak tangga mewakili strategi partisipasi yang berbeda yang didasarkan pada pola distribusi kekuasaan dan peran dominan stakeholder. 1. Manipulatif, yakni partisipasi yang tidak perlu menuntut respon partisipan untuk terlibat banyak. Pengelola program akan meminta anggota komunitas yaitu orang yang berpengaruh untuk mengumpulkan tanda tangan warga sebagai wujud kesediaan dan dukungan warga terhadap program. Pada tangga partisipasi ini relatif tidak ada komunikasi apalagi dialog. 20 2. Terapi (therapy), yakni partisipasi yang melibatkan anggota komunitas lokal untuk memberikan jawaban atas pertanyaan yang diberikan tetapi jawaban anggota komunitas tidak memberikan pengaruh terhadap kebijakan, merupakan kegiatan dengar pendapat tetapi tetap sama sekali tidak dapat mempengaruhi program yang sedang berjalan. Pada level ini telah ada komunikasi namun bersifat terbatas. Inisiatif datang dari penyelenggara program dan hanya satu arah. Tangga ketiga, keempat dan kelima dikategorikan sebagai derajat tokenisme dimana peran serta masyarakat diberikan kesempatan untuk berpendapat dan didengar pendapatnya, tapi mereka tidak memiliki kemampuan untuk mendapatkan jaminan bahwa pandangan mereka akan dipertimbangkan oleh pemegang keputusan. Peran serta pada jenjang ini memiliki kemungkinan yang sangat kecil untuk menghasilkan perubahan dalam masyarakat. 3. Pemberitahuan (informing) adalah kegiatan yang dilakukan oleh instansi penyelenggara program sekedar melakukan pemberitahuan searah atau sosialisasi ke komunitas sasaran program. Pada jenjang ini komunikasi sudah mulai banyak terjadi tapi masih bersifat satu arah dan tidak ada sarana timbal balik. Informasi telah diberikan kepada masyarakat tetapi masyarakat tidak diberikan kesempatan melakukan tanggapan balik (feed back). 4. Konsultasi (consultation), anggota komunitas diberikan pendampingan dan konsultasi dari semua pihak (stakeholder terkait program) sehingga pandangan-pandangan diberitahukan dan tetap dilibatkan dalam penentuan keputusan. Model ini memberikan kesempatan dan hak kepada wakil dari penduduk lokal untuk menyampaikan pendangannya terhadap wilayahnya (sistem perwakilan). Komunikasi telah bersifat dua arah, tapi masih bersifat partisipasi yang ritual. Sudah ada penjaringan aspirasi, telah ada aturan pengajuan usulan, telah ada harapan bahwa aspirasi masyarakat akan didengarkan, tapi belum ada jaminan apakah aspirasi tersebut akan dilaksanakan ataupun perubahan akan terjadi. 5. Penenangan (placation), komunikasi telah berjalan baik dan sudah ada negosiasi antara masyarakat dan penyelenggara program. Masyarakat 21 dipersilahkan untuk memberikan saran atau merencanakan usulan kegiatan. Namun penyelenggara program tetap menahan kewenangan untuk menilai kelayakan dan keberadaan usulan tersebut. Pada tahap ini pula diperkenalkan adanya suatu bentuk partisipasi dengan materi, artinya masyarakat diberi insentif untuk kepentingan perusahaan atau pemerintah, ataupun instansi terkait. Seringkali hanya beberapa tokoh di komunitas yang mendapat insentif, sehingga tidak mewakilkan komunitas secara keseluruhan. Hal ini dilakukan agar warga yang telah mendapat insentif segan untuk menentang program. Tiga tangga teratas dikategorikan sebagai bentuk yang sesungguhnya dari partisipasi dimana masyarakat memiliki pengaruh dalam proses pengambilan keputusan. 6. Kerjasama (partnership) atau partisipasi fungsional di mana semua pihak baik (masyarakat maupun stakeholder lainya), mewujudkan keputusan bersama. Suatu bentuk partisipasi yang melibatkan tokoh komunitas dan atau ditambah lagi oleh warga komunitas , “duduk berdampingan” dengan penyelenggara dan stakeholder program bersama-sama merancang sebuah program yang akan diterapkan pada komunitas. 7. Pendelegasian wewenang (delegated power), suatu bentuk partisipasi yang aktif di mana anggota komunitas melakukan perencanaan, implementasi, dan monitoring. Anggota komunitas diberikan kekuasaan untuk melaksanakan sebuah program dengan cara ikut memberikan proposal bagi pelaksanaan program bahkan pengutamaan pembuatan proposal oleh komunitas yang bersangkutan dengan program itu sendiri. 8. Pengawasan oleh komunitas (citizen control), dalam bentuk ini sudah terbentuk independensi dari monitoring oleh komunitas lokal. Dalam tangga partisipasi ini, masyarakat sepenuhnya mengelola berbagai kegiatan untuk kepentingannya sendiri, yang disepakati bersama, dan tanpa campur tangan pihak penyelenggaran program. 22 2.1.4. Konsep Modal Sosial Modal sosial adalah suatu keadaan yang membuat masyarakat atau sekelompok orang bergerak untuk mencapai tujuan bersama (Djohan, 2007). Lyda Judson Hanifan dalam Djohan (2007) menguraikan peranan modal sosial secara lebih rinci dengan melibatkan kelompok dan hubungan timbal balik antar anggota masyarakat. Nilai-nilai yang mendasarinya adalah kebajikan bersama (social virtue), simpati dan empati (altruism), serta kerekatan hubungan antar-individu dalam suatu kelompok (social cohesivity). Modal sosial yaitu perekat internal yang membuat aktivitas di dalam suatu komunitas tetap berlangsung secara fungsional. Modal sosial berada dalam struktur hubungan antar pihak yang berinteraksi walaupun dapat diteliti pada individu maupun kolektif (Serageldin, 2000). Menurut Colleta dan Cullen (2000) dalam Nasdian (2006), modal sosial didefinisikan sebagai “suatu sistem yang mengacu kepada atau hasil dari organisasi sosial dan ekonomi, seperti pandangan umum (world- view), kepercayaan (trust), pertukaran timbal balik (reciprocity), pertukaran ekonomi dan informasi (informational and economic exchange), kelompok-kelompok formal dan informal (formal and informal groups), serta asosiasi-asosiasi yang melengkapi modal-modal lainnya (fisik, manusiawi, budaya) sehingga memudahkan terjadinya tindakan kolektif, pertumbuhan ekonomi dan pembangunan. Modal sosial adalah seperangkat nilai-nilai, norma-norma, dan kepercayaan yang memungkinkan sekelompok warga dapat bekerjasama secara efektif dan terkoordinasi untuk mencapai tujuan-tujuannnya (Putman,1993 dalam Suwartika, 2003). Sedangkan modal sosial menurut Coleman (1988) dalam Suwartika (2003) adalah keseluruhan yang terdiri dari sejumlah aspek struktur sosial dan semua itu berfungsi memperlancar tindakan-tindakan individual tertentu di dalam suatu struktur pencerminan dari struktur kepercayaan sosial dimana tersedia jaminan-jaminan dan harapan-harapan atas suatu tindakan sosial. Coleman (2000) dalam Suwartika (2003) manganggap kelangsungan setiap transaksi sosial ditentukan oleh adanya dan terjaganya amanah dari pihak-pihak yang terlibat, sehingga hubungan transaksi antar manusia, baik yang bersifat 23 ekonomis maupun non-ekonomis, hanya mungkin bisa berkelanjutan apabila ada kepercayaan antara pihak-pihak yang melakukan interaksi. Uphoff (2000) dalam Suwartika (2003) membagi komponen modal sosial ke dalam dua kategori, yaitu pertama, kategori struktural yang dihubungkan dengan berbagai bentuk asosiasi sosial dan kedua, kategori kognitif dihubungkan dengan proses–proses mental dan ide-ide yang berbasis pada ideologi dan budaya. Komponen-komponen modal sosial (Uphoff, 2000 dalam Suwartika, 2003) tersebut diantaranya: 1. Hubungan sosial (jaringan); merupakan pola-pola hubungan pertukaran dan kerjasama yang melibatkan materi dan non materi. Hubungan ini memfasilitasi tindakan kolektif yang saling menguntungkan dan berbasis pada kebutuhan. Komponen ini termasuk pada kategori struktural. 2. Norma; kesepakatan-kesepakatan tentang aturan yang diyakini dan disetujui bersama. 3. Kepercayaan; komponen ini menunjukkan norma tentang hubungan timbal balik, nilai-nilai untuk menjadi seseorang yang layak dipercaya. Pada bentuk ini juga dikembangkan keyakinan bahwa anggota lain akan memiliki keinginan untuk bertindak sama. Komponen ini termasuk dalam kategori kognitif. 4. Solidaritas; terdapat norma-norma untuk menolong orang lain, bersamasama, menutupi biaya bersama untuk keuntungan kelompok. Sikap-sikap kepatuhan dan kesetiaan terhadap kelompok dan keyakinan bahwa anggota lain akan melaksanakannya. Komponen ini termasuk dalam kategori struktural 5. Kerjasama; terdapat norma-norma untuk bekerjasama bukan bekerja sendiri. Sikap-sikap kooperatif, keinginan untuk membaktikan diri, akomodatif, menerima tugas dan penugasan untuk kemaslahatan bersama, keyakinan bahwa kerjasama akan menguntungkan. Komponen ini termasuk dalam kategori kognitif. Menurut Djohan (2007), modal sosial yang ideal adalah modal sosial yang tumbuh di masyarakat. Modal sosial yang dimiliki seyogianya memiliki muatan 24 nilai-nilai yang merupakan kombinasi antara nilai-nilai universal yang berbasis humanisme dan nilai-nilai pencapaian (achievement values) dengan nilai-nilai lokal. Modal sosial yang berbasis pada ideologi pancasila merupakan bentuk modal sosial yang perlu dikembangkan bersama-sama guna membangun masyarakat Indonesia yang partisipatif, kokoh, terus bergerak, kreatif, kompak, dan yang menghormati manusia lain. Modal sosial memiliki unsur-unsur penopang, diantaranya adalah sebagai berikut: (1) Social participation. Social participation berarti partisipasi sosial anggota masyarakat. Pada masyarakat tradisional, hal ini melekat dalam perayaan kelahiran, perkawinan, kematian, (2) Reciprocity atau timbal balik, yaitu saling membantu dengan memperhatikan keseimbangan antara kepentingan orang lain dan kepentingan diri sendiri. Dengan demikian hubungan yang terjadi menyangkut hak dan tanggung jawab, (3) Trust atau kepercayaan, (4) Acceptance and diversity atau penerimaan atas keberagaman, yaitu adanya toleransi yang memperhatikan sikap dan tindak-tanduk serta perilaku yang saling hormatmenghormati, saling pengertian, dan apresiasi di antara lingkungan, (5) Norma dan nilai, Norma dan nilai merupakan value system yang akan berkembang menjadi suatu budaya, (6) Sense of efficacy atau perasaan berharga, yaitu timbulnya rasa percaya diri dengan memberikan penghargaan kepada setiap orang, dan (7) Cooperation and proactivity atau kerjasama dan proaktif. Dalam kaitannya dengan modal sosial, kerjasama harus terus bergerak serta dituntut kreatif dan aktif (Djohan, 2007). 2.1.5. Konsep Dampak Program CSR Jalal (2010) mengemukakan bahwasanya praktik-praktik bisnis yang dilakukan oleh banyak perusahaan di Indonesia dalam berhubungan dengan masyarakat yang tinggal di sekitarnya belum dapat dibilang memadai, tampaknya kesimpulan itu tidak akan ditolak. Pertanyaan penting berkaitan dengan kondisi itu adalah bagaimana cara untuk mengetahui bahwa sebuah program pengembangan masyarakat oleh perusahaan telah dapat dianggap memadai. Jawaban tersebut sebenarnnya ada pada fungsi indikator keberhasilan. Indikator keberhasilan akan menjadi sangat penting manakala perusahaan hendak 25 mengetahui kinerja program pengembangan masyarakatnya, atau hendak menyusun rencana strategik yang menginginkan tingkat kinerja tertentu. Menurut Jalal (2010), kepentingan mempertanggungjawabkan utama perusahaan investasi sosial tentu yang saja telah adalah untuk dikeluarkannya. Pengeluaran untuk program pengembangan masyarakat hendak dinyatakan sebagai investasi, maka perusahaan harus diyakinkan bahwa setiap rupiah yang dikeluarkannya sesungguhnya memang menguntungkan perusahaan. Meskipun demikian, seiring berjalannya waktu, paradigma perusahaan terus berubah dan cara pandang perusahaan terhadap orientasi pelaksanaan community development itu sendiri pun terus berkembang. Min-Dong Paul Lee (2008) melakukan studi khusus terkait bagaimana jejak dan perkembangan mengenai teori tanggung jawab sosial perusahaan diulas secara detail dalam jurnalnya yang berjudul “A Review of the Theories of Corporate Social Responsibility: Its Evolutionary Path and the Road Ahead”. Studi ini ditujukan untuk menunjukkan jejak evolusioner konseptual dari teoriteori tanggung jawab sosial perusahaan (CSR) dan untuk melihat refleksi implikasinya terhadap pembangunan. Restropeksi menunjukkan bahwa perkembangan tren telah menjadi sebuah rasionalisasi progresif dari konsep dengan sebuah fokus tertentu dalam ikatan lebih kuat terhadap tujuan finansial perusahaan. Rasionalisasi mencakup dua termin besar konseptualisasi CSR. Pertama adalah pada level analisis, dimana peneliti-peniliti harus berpindah dari diskusi pada tataran pengaruh makro sosial menjadi analisis level organisasional dari pengaruh CSR terhadap keuntungan (profit). Kedua, pada tataran orientasi teoritis, para peneliti telah berpindah dari argumen normatif eksplisit dan argumen yang berorientasi etika menjadi normative implicit dan studi manajerial berorientasi performa/kiprah. Dalam melihat sejauhmana konseptualisasi tersebut terus berkembang sejalan dengan pengimplementasian program-program CSR oleh perusahaan/korporasi, aspek dampak (impact) penting untuk dikaji sebagai bagian dari evaluasi implementasi program. Telah banyak upaya dilakukan oleh berbagai pihak di dunia untuk menstimulasi pelibatan aktif masyarakat, bagaimana membangun kemitraan baik untuk mengatur hubungan dengan masyarakat dan lingkungan. Jurnal Reporting 26 on Community Impacts: A survey conducted by the Global Reporting Initiative, menambahkan bahwa peningkatan terjadi ketika upaya tersebut disusun secara strategis dan dikaitkan dengan kerangka internasional seperti halnya Millenium Development Goals (MDGs) (Dragicevic, 2008). Pada waktu yang sama, pertumbuhan atau peningkatan yang terjadi memperkuat pemahaman mengenai dampak dari kegiatan bisnis terhadap masyarakat dan lingkungan. Ada peningkatan kepentingan dari stakeholders kepada perusahaan untuk mengklarifikasi dan mendemonstrasikan dampaknya. Bagaimanapun juga, berdasarkan sebuah penelitian terkait dampak dari CSR pada perusahaan besar agar mampu melihat dampak secara umum, kasus bisnis, sikap bisnis, kesadaran dan praktik seharusnya juga mengetahui secara baik kebiasaan stakeholder, tetapi upaya untuk mengklarifikasi dampak pada hubungan terhadap manusia. Oleh karena itu, saat ini makin maraknya tren terhadap kepentingan yang lebih dari sebuah perusahaan dan stakeholder nya untuk mengukur hasil dan memahami bagaimana CSR dapat memberikan nilai baik bagi perusahaan maupun bagi komunitas. GRI (Global Reporting Initiative) sebagai sebuah jaringan multistakeholder yang mendukung pembangunan kesepakatan untuk membentuk dan secara berkelanjutan meningkatkan keberlanjutan kerangka kerja pelaporan. Dimana, GRI berinisiatif untuk melakukan penelitian berkaitan dengan pencapaian pemahaman yang lebih baik mengenai praktik tertentu dalam pelaporan, jenis informasi, pola (mencakup sektor dan lokasi geografis) sejalan dengan panduan dari GRI. University of Hongkong bersama GRI dan CSR Asia mengadakan penelitian untuk memahami pelaporan mengenai dampak perusahaan. Dragicevic (2008) memaparkan bahwa dalam survei yang dilakukan oleh Global Reporting Initiative terdapat lima pertanyaan fundamental terkait pengukuran terhadap aspek dampak, yakni apakah terdapat aspek-aspek tertentu dari CSR seperti dampak secara mudah dapat diukur. Ini adalah asumsi yang dibuat secara luas dan sejalan penelitian Blowfield yang berpandangan bahwa “CSR Reports overall are better at covering environmental issues than social ones, and are only beginning to pay attention to companies” (Dragicevic, 2008). Pengukuran dampak dari perusahaan kepada komunitas bukan merupakan tugas 27 yang sederhana. Selama beberapa dekade, praktisi pengembangan masyarakat telah mencoba melakukan berbagai cara untuk melihat dampak terhadap masyarakat dan lingkungan dengan menggunakan pendekatan tertentu. Dragicevic (2008) memaparkan bahwa penelitian ini dapat digunakan untuk melihat dampak perusahaan terhadap masyarakat dan lingkungan, terdapat lima pertanyaan besar yang dapat diangkat. Pertama, bagaimana dampak perusahaan pada komunitas setempat? Pertanyaan ini ditujukan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih baik terhadap praktik pelaporan partisipasi masyarakat dan dampak sesuai dengan pendekatan yang digunakan, jenis informasi, pola (baik sektor maupun lokasi geografis). Sejumlah 72 laporan berkelanjutan secara acak dipilih untuk analisis ini dan laporan yang terpilih harus merefleksikan keanekaragaman sektor untuk melihat dampak komunitas secara relatif berdasarkan substansinya. Kedua, bagaimana pendekatan perusahaan dalam pelaporan terhadap kinerja masyarakat? Dari pertanyaan tersebut, hasil penelitian menunjukkan bahwa “sixty-three percent of the reports, followed by philantrophy and charitable giving, community services, and employee volunteering, total community ebih baik expenditure dan community engagement and dialogue”. Selain itu, “sixty-nine percent of the companies choose to group community related topics under a distinct section in the report”. Ketiga, informasi apa yang tersedia dalam konteks pelaporan? Perusahaan biasanya berfokus pada pelaporan kinerja mereka dan dalam kaitannya dengan inisiatif komunitas untuk menuju perubahan dan lingkungan sebagai sebuah hasil dari aktivitas mereka. Oleh Karena itu, sulit untuk menggambarkan bagaimana dampak komunitas berdasarkan informasi pada laporan seperti halnya indikator kuantitatif yang lebih sedikit digunakan untuk melaporkan dampak komunitas. Keempat, bagaimana pola dari sektor dan lokasi geografi yang ada? Hasilnya adalah terdapat perbedaan dalam pola pelaporan antar sektor, seperti halnya pada Community Engagement and Dialogue yang muncul sebagai topik penting dalam sektor pertambangan dimana 90% dari sektor perusahaan melaporkan isu ini. Kelima, bagaimana pendekatan dan informasi ini berkaitan dengan panduan GRI dan pada kenyataannya sebagian besar laporan secara relatif lemah untuk memenuhi persyaratan seperti halnya yang tertulis pada pendekatan manajemen GRI terkait 28 dengan isu komunitas, kurangnya kapasitas dalam melaporkan dampak komunitas, dan kurangnya panduan atau petunjuk bagaimana menulis laporan. Secara jelas terlihat bahwa, perusahaan sangat sulit untuk melaporkan sejauhmana dampak aktifitasnya terhadap lingkungan dan juga masyarakat. Diperlukan pengukuran yang lebih sistematis dan juga bagaimana menyikapi perbedaan akan strategi investasi komunitas oleh masing-masing perusahaan. 2.2. Kerangka Pemikiran Kerangka pemikiran penelitian ini mengacu pada tingkat keterlibatan atau partisipasi stakeholder dalam penyelenggaraan program Corporate Social Responsibility (CSR), yakni program pemberdayaan ekonomi lokal melalui pembentukan LKMS Kartini. Bagaimana membentuk dan membina hubungan sinergis diantara stakeholder-stakeholder tersebut, hal ini merupakan salah satu tolak ukur dalam menilai keberhasilan dalam penyelenggaraan LKMS Kartini, yang mana salah satu kegiatannya adalah kelompok simpan pinjam. Oleh karena itu, stakeholder yang terdiri dari pemerintah (government), perusahaan (private), dan masyarakat (society) memiliki peran dalam keseluruhan tahapan penyelenggaraan program tersebut. Para stakeholder tersebut terkategori berdasarkan keberadaan dan tingkat kepetingannya sesuai dengan konsep pemangku kepentingan menurut Rhenald Khasali (2005) dalam Wibisono (2007), yakni pemerintah dan masyarakat sebagai stakeholder eksternal dan pihak swasta sebagai stakeholder internal Tahapan penyelenggaraan program terdiri dari empat tahapan Sejauhmana keterlibatan para stakeholders dalam tahapan penyelenggaraan program tersebut digambarkan melalui tingkat partisipasi masing-masing stakeholder. Tingkat partisipasi menurut Cohen dan Uphoff (1979) terdiri dari empat kategori, yakni tingkat pengambilan keputusan (perencanaan), tingkat pelaksanaan, tingkat evaluasi, dan tingkat pemanfaatan hasil, namun pada penelitian ini hanya digunakan tingkatan pertama, kedua, dan ketiga. Dampak sosial terkait dengan bagaimana kekuatan modal sosial yang terbangun dalam masyarakat. Modal sosial dalam hal ini, sesuai dengan konsep modal sosial menurut Uphoff (2000) dalam Suwartika (2003) diukur dari tingkat 29 kepercayaan, kekuatan jaringan, dan kekuatan kerjasama. Sedangkan dampak ekonomi dilihat dari tingkat pendapatan, tingkat pengeluaran, tingkat tabungan, dan juga taraf hidup masyarakat MASYARAKAT (COMMUNITY) PEMERINTAH (GOVERNMENT) PENYELENGGARAAN PROGRAM CSR PERUSAHAAN GEOTHERMAL Perencanaan (Awareness Building, CSR Assesment, CSR Manual) Implementasi (Sosialisasi, pelaksanaan, internalisasi) Evaluasi Pelaporan Kondisi Sosial (Modal Sosial ) Tingkat Kepercayaan (Trust) Kekuatan Kerjasama (Cooperation) Kekuatan Jejaring (Network) PERUSAHAAN (PRIVATE) Kondisi Ekonomi (Taraf Hidup) Luas lantai bangunan tempat tinggal Jenis lantai bangunan tempat tinggal Jenis dinding bangunan tempat tinggal Fasilitas tempat buang air besar Sumber penerangan rumah tangga Sumber air minum Bahan bakar untuk memasak Pemilikan alat transportasi Tingkat pendapatan Tingkat pengeluaran Tingkat investasi Gambar 2. Bagan Alir Kerangka Pemikiran Partisipasi Masyarakat dan Stakeholder dalam Penyelenggaraan Program CSR dan Dampaknya terhadap Komunitas Perdesaan. 30 Partisipasi stakeholder diidentifikasi secara kualitatif dengan menggali informasi dari pihak terkait, yakni pemerintah lokal, Perusahaan Geothermal, mitra perusahaan, maupun tokoh masyarakat. Identifikasi masing-masing stakeholder dilakukan dengan menganalisis sejauhmana keterlibatan dan keaktifan stakeholder dalam penyelenggaraan program hingga kemudian dikategorikan berdasarkan tingkatan partisipasi yang mengacu pada konsep Uphoff. Variabel tingkat partisipasi dihubungan dengan variabel dampak sosial dan dampak ekonomi melalui uji korelasi rank spearman. Hal tersebut dilakukan untuk menguji apakah terdapat hubungan antara kedua variabel tersebut. Analisis menggunakan konsep partisipasi Uphoff kemudian dibandingkan dengan analisis dengan konsep partisipasi Arnstein, untuk melihat kesesuaian pengujian statistik. 2.3. Hipotesis Penelitian 1. Semakin tinggi partisipasi anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini dalam penyelenggaraan program CSR, maka semakin kuat modal sosial komunitas perdesaan 2. Semakin tinggi tingkat partisipasi anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini dalam penyelenggaraan program CSR, maka semakin tinggi taraf hidup komunitas perdesaan. 2.4. Definisi Konseptual 1. Perusahaan Geothermal merupakan sebuah perusahaan yang bergerak dalam bidang pertambangan gas bumi yang kemudian dipergunakan sebagai pembangkit tenaga listrik, terletak di Gunung Salak, Jawa Barat. 2. Penyelenggaraan Program Corporate Social Responsibility (CSR) merupakan bentuk pelaksanaan yang dilakukan oleh suatu perusahaan, mencakup daya tanggap perusahaan dalam menghadapi permasalahan kebutuhan masyarakat yang diperlukan dalam implementasi program CSR, konsistensi program, evaluasi & pemantauan program 3. Community Engagement merupakan komitmen kepedulian Perusahaan Goethermal dalam mendukung peningkatan kualitas hidup masyarakat. 4. Community Based Micro Finance (CBMF) adalah program Community Engagement yang bersifat bantuan terprogram dengan konsep 31 pengembangan masyarakat. Tujuan akhir program Community Based Micro Finance (CBMF) adalah mewujudkan kemandirian (self help) dan keberlanjutan (sustainability) masyarakat Kecamatan Kabandungan pada umumnya, dan masyarakat Desa Cihamerang pada khsusunya. 5. Komunitas merupakan sekelompok manusia yang mendiami wilayah tertentu dimana anggotanya saling berinteraksi memiki pembagian peran dan status yang jelas, mempunyai kemampuan untuk memberikan pengaturan terhadap anggota-anggotanya. Komunitas dibatasi secara ekologis oleh wilayah desa dan kecamatan. 6. Masyarakat didefinisikan sebagai sebuah entitas yang bersifat heterogen dimana, sekumpulan orang tinggal bersama di suatu wilayah, diikat oleh aturan yang berlaku di wilayah tersebut, dimana dalam hal ini adalah masyarakat Desa Cihamerang. 7. Stakeholders adalah individu maupun kelompok yang terlibat dalam penyelenggaraan Program CSR. Dalam hal ini terdiri dari masyarakat (baik pengurus koperasi maupun anggota koperasi), pemerintah (baik pemerintah desa, kecamatan, maupun dinas koperasi), dan swasta (perusahaan geothermal beserta mitra perusahaan). 8. Anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini didefinisikan sebagai masyarakat Desa Cihamerang yang tergolong sebagai anggota dari kegiatan simpan pinjam yang diselenggarakan oleh LKMS Kartini. 9. Kategori Sosial Masyarakat adalah pengelompokan masyarakat berdasarkan matapencaharian yang digeluti pada skala rumah tangga. Kategori mata pencaharian dibagi ke dalam dua kelompok yakni mata pencaharian dari sektor pertanian (farm sector) dan sektor non-pertanian (non farm). Selanjutnya dari kedua kategori tersebut, masing-masing digolongkan kembali ke dalam dua sub kategori yakni kategori pengusaha dan kategori buruh. 32 Tabel 2. Kategori Sosial Masyarakat Pemanfaat Program Sektor Posisi PENGUSAHA BURUH FARM NON-FARM KELOMPOK KELOMPOK 1 2 KELOMPOK KELOMPOK 3 4 2.5. Definisi Operasional 1. Tingkatan partisipasi adalah keikutsertaan anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini dalam semua tahapan kegiatan sesuai dengan gradasi derajat wewenang dan tanggung jawab yang dapat dilihat dalam tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi dan pelaporan. a. Partisipasi pada Tahap Perencanaan Keterlibatan anggota LKMS Kartini dalam merumuskan, merancang penyelenggaraan LKMS Kartini, baik bersifat teknis maupun nonteknis, menyangkut aspek, kehadiran, keikutsertaan dalam pengambilan keputusan dan keaktifan anggota selama proses perencanaan kegiatan. b. Partisipasi pada Tahap Pelaksanaan Keterlibatan anggota LKMS Kartini dalam tahapan pelaksanaan kegiatan simpan pinjam LKMS Kartini yang menyangkut aspek kehadiran, keikutsertaan dalam pengambilan keputusan, serta keaktifan anggota selama proses kegiatan. c. Partisipasi pada Tahap Evaluasi Keterlibatan anggota LKMS Kartini dalam mengevaluasi kelebihan kekurangan dari pelaksanaan kegiatan simpan pinjam oleh LKMS Kartini, meliputi keikutsertaan anggota dalam memberikan saran dan kritik. 33 d. Partisipasi pada Tahap Pelaporan Keterlibatan anggota LKMS Kartini dalam menyusun laporan kegiatan simpan pinjam LKMS Kartini. Untuk melihat tingkat partisipasi stakeholder, maka nilai setiap indikator (baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, evaluasi, dan pelaporan) akan dihitung skor dari setiap pertanyaan, dengan kategori: 1. Tingkat Partisipasi sangat rendah (tidak pernah/TP), diberi skor 1 2. Tingkat Partisipasi rendah (jarang/JR), diberi skor 2 3. Tingkat Partisipasi sedang (kadang-kadang/KD), diberi skor 3 4. Tingkat Partisipasi tinggi (sering/SR), diberi skor 4 5. Tingkat Partisipasi sangat tinggi (selalu/SL), diberi skor 5 2. Dampak implementasi CSR bagi komunitas Perubahan yang dirasakan dan diperoleh komunitas setelah terlibat dalam implementasi program CSR: a. Dampak sosial: Perubahan yang dirasakan oleh anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini setelah terlibat dalam penyelenggaraan program pada variabel kepercayaan (trust), variabel kerjasama (cooperation), dan variabel jejaring (networking). - Tingkat Kepercayaan (trust) Perasaan tanpa saling curiga, cenderung saling ingin memajukan diantara anggota kelompok dan stakeholder lain. Pengukuran tingkat kepercayaan didasarkan pada kepercayaan antara anggota kelompok LKMS Kartini, maupun antara anggota LKMS Kartini dengan stakeholder lain, dengan kategori: 1. Tingkat kepercayaan sangat rendah (TP), diberi skor 1 2. Tingkat kepercayaan rendah (JR), diberi skor 2 3. Tingkat kepercayaan sedang (KD), diberi skor 3 4. Tingkat kepercayaan tinggi (SR), diberi skor 4 5. Tingkat kepercayaan sangat tinggi (SL), diberi skor 5 - Kekuatan kerjasama Kerjasama didefinisikan sebagai sebuah kondisi dimana di dalam komunitas terdapat norma-norma untuk bekerjasama, bukan 34 bekerja sendiri. Sikap-sikap kooperatif, keinginan untuk membaktikan diri, akomodatif, menerima tugas dan penugasan untuk kemaslahatan bersama, keyakinan bahwa kerjasama akan menguntungkan, yakni antara anggota kelompok simpan pinjam dengan anggota yang lain, termasuk stakeholder lain seperti pemerintah lokal dan pihak perusahaan geothermal. 1. Kekuatan kerjasama sangat rendah (TP), diberi skor 1 2. Kekuatan kerjasama rendah (JR), diberi skor 2 3. Kekuatan kerjasama sedang (KD), diberi skor 3 4. Kekuatan kerjasama tinggi (SR), diberi skor 4 5. Kekuatan kerjasama sangat tinggi (SL), diberi skor 5 - Kekuatan jejaring Interaksi dan relasi individu anggota kelompok simpan pinjam dengan anggota kelompok lain maupun stakeholder lain, seperti pemerintah lokal dan perusahaan geothermal. Pengukurannya didasarkan pada solidaritas dan kerjasama yang terbentuk sebagai hasil dari interaksi sosial tersebut. 1. Kekuatan jejaring sangat rendah (TP), diberi skor 1 2. Kekuatan jejaring rendah (JR), diberi skor 2 3. Kekuatan jejaring sedang (KD), diberi skor 3 4. Kekuatan jejaring tinggi (SR), diberi skor 4 5. Kekuatan jejaring sangat tinggi (SL), diberi skor 5 b. Dampak Ekonomi: Perubahan yang dirasakan dan diperoleh oleh anggota kelompok simpan pinjam LKMS Kartini setelah terlibat dalam implementasi program CSR dengan mengacu pada variabel-variabel kemiskinan menurut BPS (2005) dalam Rahman (2009) dan indikator BPS dalam SUSENAS (2003) yakni - Jenis lantai bangunan terluas tempat tinggal: merupakan jenis lantai bangunan terluas yang menjadi tempat tinggal rumah tangga responden dan dikategorikan: 1. Tanah, diberi skor 1 2. Bambu, diberi skor 2 35 3. Kayu murah, diberi skor 3 4. Kayu mahal, diberi skor 4 5. Keramik, diberi skor 5 - Jenis dinding terluas: merupakan jenis dinding bangunan terluas yang menjadi tempat tinggal rumah tangga responden dan dikategorikan: 1. Rumbia, diberi skor 1 2. Bambu, diberi skor 2 3. Kayu kualitas rendah, diberi skor 3 4. Tembok bata, diberi skor 4 5. Tembok beton, diberi skor 5 - Fasilitas tempat buang air besar/WC: merupakan jenis fasilitas yang dimiliki rumah tangga responden yang digunakan untuk aktivitas buang air besar dan dikategorikan: 1. WC umum, diberi skor 1 2. WC bersama tanah/semen, diberi skor 2 3. WC bersama keramik, diberi skor 3 4. WC pribadi tanah/semen, diberi skor 3 5. WC pribadi keramik, diberi skor 5 - Sumber penerangan: merupakan sumber penerangan yang digunakan oleh rumah tangga responden dalam bangunan tempat tinggalnya dan dikategorikan: 1. Obor, diberi skor 1 2. Senter/petromak, diberi skor 2 3. Listrik non-PLN, diberi skor 3 4. Listrik PLN(bersama tetangga), diberi skor 4 5. Listrik PLN, diberi skor 5 - Sumber air minum: merupakan sumber air yang digunakan untuk konsumsi minum maupun masak oleh rumah tangga responden dan dikategorikan: 1. Air sungai, air hujan, mata air, diberi skor 1 2. Sumur, Ledeng eceran diberi skor 2 36 3. Ledeng meteran, diberi skor 3 4. Sumur bor/pompa terlindung, skor 4 5. Air minum dalam kemasan/ isi ulang, skor 5 - Bahan bakar untuk memasak: merupakan jenis bahan bakar yang digunakan oleh rumah tangga responden untuk aktivitas memasak dan dikategorikan: 1. Kayu bakar, diberi skor 1 2. Minyak tanah, diberi skor 2 3. Kayu Bakar dan Gas, diberi skor 3 4. Gas, diberi skor 4 5. Listrik, diberi skor 5 - Kepemilikan alat transportasi utama: merupakan jenis alat transportasi utama yang dimiliki oleh rumah tangga responden dan dikategorikan: 1. Gerobak, diberi skor 1 2. Sepeda, becak, diberi skor 2 3. Becak motor, Sepeda motor, diberi skor 3 4. Mobil untuk angkutan umum, diberi skor 4 5. Mobil untuk pribadi, diberi skor 3 - Tingkat Pendapatan: Rata-rata hasil kerja berupa uang yang diperoleh tiap individu per bulan. Tingkat pendapatan diukur berdasarkan rataan pendapatan rumah tangga responden dan dikategorikan berdasarkan rata-rata tingkat pendapatan keseluruhan responden menjadi: 1. Sangat Rendah, diberi skor 1 2. Rendah, diberi skor 2 3. Sedang, diberi skor 3 4. Tinggi, diberi skor 4 5. Sangat Tinggi, diberi skor 5 - Tingkat Pengeluaran: Rata-rata konsumsi/pengeluaran untuk pemenuhan kebutuhan pangan, pendidikan dan kesehatan (nonpangan). Pengukuran tingkat pengeluaran didasarkan pada 37 pengeluaran rumah tangga responden untuk pemenuhan kebutuhan pangan dan pendidikan dan jasa (non-pangan) dan kemudian dikategorikan menurut rata-rata tingkat pengeluaran keseluruhan responden menjadi: 1. Sangat Rendah, diberi skor 1 2. Rendah, diberi skor 2 3. Sedang, diberi skor 3 4. Tinggi, diberi skor 4 5. Sangat Tinggi, diberi 5 - Tabungan adalah Jumlah pendapatan yang disimpan dalam bentuk uang. Dalam hal ini tingkat investasi diukur dengan jumlah pendapatan yang dialokasikan untuk investasi dalam bentuk uang. Tingkat tabungan dikategorikan berdasarkan nilai rata-rata dari keseluruhan tingkat tabungan responden menjadi: 1. Sangat Rendah, diberi skor 1 2. Rendah, diberi skor 2 3. Sedang, diberi 3 4. Tinggi, diberi 4 5. Sangat Tinggi, diberi skor 5