6 BAB II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1 TELAAH PUSTAKA 2.1.1

advertisement
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 TELAAH PUSTAKA
2.1.1. Definisi DBD
DBD merupakan suatu penyakit infeksi yang disebabkan oleh virus
dengue dan ditularkan melalui nyamuk, dimana sumber penularan
utamanya adalah manusia. Penyakit viral ini ditandai dengan adanya
manifestasi klinis, seperti demam, ruam, nyeri sendi, nyeri otot,
leukopenia, trombositopenia, limfadenopati, dan diatesis hemoragik.
Tetapi manifestasi klinis tersebut kadangkala tidak muncul ketika
terjadinya infeksi demam dengue (DD) dan bersifat asimtomatis. Pada
DBD dapat terjadi perembesan plasma, karena terjadinya peningkatan
permeabilitas kapiler dan ditandai dengan peningkatan hematokrit atau
hemokonsentrasi. Bentuk berat dari penyakit DBD adalah demam
berdarah dengue yang disertai dengan renjatan atau syok, yang disebut
dengan syok sindrom dengue (dengue shock syndrome) (Suhendro, et al.,
2009).
DBD merupakan penyakit infeksi yang masih menjadi pusat
perhatian utama yang berkaitan dengan masalah kesehatan di Indonesia.
Penyakit ini disebabkan oleh virus dengue yang ditemukan di berbagai
belahan dunia terutama daerah tropis dan subtropis. Umumnya penderita
DBD dialami oleh anak-anak dengan usia 15 tahun. DBD termasuk dalam
penyakit yang ditularkan melalui vektor. Nyamuk dan famili Stegomyia
diantaranya adalah berasal dari spesies Aedes aegypti dan Aedes
albopictus yang merupakan salah satu vektor penyebab penyakit ini. Di
Indonesia nyamuk tersebut mudah untuk berkembangbiak karena kondisi
iklimnya yang sesuai dengan lingkungan hidup nyamuk (Kemenkes RI,
2010).
6
2.1.2. Epidemiologi
DBD merupakan salah satu penyakit yang tersebar dan menjadi
endemik di beberapa negara tropis, seperti Asia, Afrika, dan Amerika
Selatan, serta sebagian wilayah Australia. Di Asia penyakit ini telah
menyebar ke berbagai negara, seperti India, Cina Selatan, Pakistan, dan
Asia Tenggara. Pada tahun 1779 telah terjadi epidemi dengue pertama kali
yaitu di Asia. DBD juga terjadi di daerah perkotaan maupun pedesaan.
Pada daerah perkotaan yang bertindak sebagai vektor utama adalah
nyamuk Aedes aegypti, sedangkan di daerah pedesaan adalah nyamuk
Aedes albopictus. Di daerah hutan, hewan primata merupakan sumber dari
infeksi dengue (Guerrant, et al., 2011).
Di Indonesia, kasus DBD pertama kali terjadi pada tahun 1968
yaitu di Surabaya. Penyakit ini ditemukan di sekitar 200 kota yang tersebar
di 27 provinsi dan merupakan salah satu kejadian luar biasa (KLB). Ratarata jumlah kasus DBD di Indonesia adalah sekitar 6-27 kasus per 100.000
penduduk dan sebagian besar terjadi pada anak-anak sekitar usia 5-14
tahun (Widoyono, 2011).
2.1.2.1. Penyebaran Penyakit DBD Menurut Umur
Pada awal terjadinya wabah di suatu negara, distribusi umur
memperlihatkan jumlah penderita terbanyak pada anak umur kurang dari
15 tahun (86-95%). Namun pada wabah selanjutnya jumlah penderita
terbanyak adalah anak usia 5-11 tahun, proporsi penderita yang berumur
lebih dari 15 tahun meningkat sejak tahun 1984 (Hadinegoro, et al., 2011).
Dari tahun 1996 – 2000 kasus DBD terbanyak pada anak umur 4-5
tahun (kelompok umur anak sekolah). Tetapi pada tahun 1998 – 2000 anak
yang terkena kasus DBD terjadi pada kelompok umur 15-44 tahun. Hal
tersebut perlu diwaspadai karena kejadian DBD cenderung meningkat
pada kelompok umur remaja dan dewasa (Soegijanto, 2006).
7
2.1.2.2. Penyebaran Penyakit Menurut Tempat
Penyakit DBD dapat menyebar pada semua tempat kecuali tempattempat dengan ketinggian 1000 meter dari permukaan laut, karena pada
tempat tinggi dengan suhu yang rendah siklus perkembangan Aedes
aegypti tidak sempurna (Soegijanto, 2006).
Dalam kurun waktu 30 tahun sejak ditemukannya virus dengue di
Surabaya dan Jakarta, baik dalam jumlah penderita maupun daerah
penyebaran penyakit meningkat pesat. Sampai saat ini DBD telah
ditemukan di seluruh propinsi Indonesia dan 200 kota telah melaporkan
adanya kejadian luar biasa. Meningkatnya jumlah kasus dan bertambahnya
wilayah yang terjangkit disebabkan karena semakin baiknya sarana
transportasi penduduk, adanya pemukiman baru, dan terdapatnya vektor
nyamuk hampir diseluruh pelosok tanah air serta adanya tipe virus yang
bersirkulasi sepanjang tahun (Depkes RI; Dirjen P2M/PL, 2005 dan WHO;
Depkes RI, 2000)
2.1.2.3. Penyebaran Penyakit DBD Menurut Waktu
Pola terjangkitnya infeksi virus dengue dipengaruhi oleh iklim dan
kelembapan udara. Pada suhu yang panas (28-32oC) dengan kelembapan
yang tinggi, nyamuk Aedes aegypti akan tetap bertahan hidup dalam
jangka waktu lama. Di Indonesia karena suhu udara dan kelembapan tidak
sama di setiap tempat, maka pola terjadinya penyakit agak berbeda untuk
setiap tempat. Di Jawa pada umumnya untuk infeksi virus dengue terjadi
mulai awal Januari, dimana kejadian tersebut meningkat terus sehingga
kasus terbanyak terdapat sekitar bulan April-Mei untuk setiap tahunnya
(WHO; Depkes RI, 2000).
2.1.3. Etiologi dan Vektor
DBD disebabkan oleh virus dengue yang termasuk kelompok
Arbovirus B, yaitu arthropod-borne virus atau virus yang disebarkan oleh
artropoda. Virus ini dikenal sebagai genus Flavivirus dari famili
Flaviviridae. Virus dalam genus flavivirus diameternya berukuran 50 nm,
8
memiliki kapsid dengan inti dan 2 protein yaitu protein membran dan
envelop. Virus ini memiliki 4 jenis serotipe, yaitu DEN-1, DEN-2, DEN-3,
dan DEN-4. Salah satu infeksi dari jenis serotipe akan menimbulkan
antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang
terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang, sehingga tidak dapat
memberikan perlindungan yang memadai terhadap serotipe lain tersebut.
Keempat jenis serotipe tersebut dapat ditemukan di berbagai daerah
Indonesia. Serotipe DEN-3 merupakan salah satu jenis serotipe dominan
yang banyak menunjukan manifestasi klinis yang berat (Widoyono, 2011
dan Greenwood, et al., 2008).
Virus dengue ditularkan melalui vektor nyamuk. Vektor penyebab
DBD yang penting adalah dari spesies Aedes aegypti, Aedes albopictus,
dan Aedes sctutellaris. Sampai saat ini vektor utama yang menjadi
berperan dalam penularan virus dengue adalah Aedes aegypti. Nyamuk ini
memiliki karakteristik bintik-bintik putih di atas warna dasar hitam dari
tubuhnya. Selain itu terdapat ciri khas dari nyamuk ini yaitu terdapat dua
garis putih sejajar di atas punggung yang berwarna dasar hitam dan dua
garis lengkung yang berwarna putih yang berada di kedua sisi lateralnya
(Soegijanto, 2006 dan Widoyono, 2011).
Siklus hidup nyamuk Aedes aegypti termasuk dalam metamorfosis
yang sempurna karena memiliki empat stadium yang terdiri atas stadium
telur, larva, pupa, dan dewasa. Dimana stadium telur, larva, dan pupa
terjadi di air yang jernih dan tenang. Nyamuk sangat menyukai tempat air
yang tergenang yang jernih untuk bertelur. Tempat yang biasa digunakan
oleh nyamuk antara lain, tempat penampungan air, botol bekas, pot bunga,
ember dan tempat lain yang memungkinkan air dapat tergenang di
dalamnya. Tempat perindukan nyamuk yang paling sering adalah tempat
yang gelap, lebar, dan terlindungi oleh sinar matahari. Setelah melalui
stadium telur, larva, dan pupa, maka nyamuk akan berkembang menjadi
nyamuk dewasa (Soegijanto, 2006).
9
Nyamuk bersifat domestik yaitu menyukai lingkungan di dalam
rumah dibandingkan di luar rumah. Nyamuk betina sering menggigit dan
menghisap darah pada saat pagi hingga sore hari, terutama pada siang hari.
Aedes aegypti betina lebih menyukai darah manusia daripada darah hewan.
Dan pada saat nyamuk banyak yang menggigit dan menghisap darah
manusia dalam keadaan aktif, sehingga nyamuk cenderung belum kenyang
ketika menghisap darah dari satu individu. Kemudian nyamuk akan
kembali terbang dan menggigit individu yang lain dan menghisap darah
sampai memenuhi kebutuhan untuk perkembangan telurnya. Keadaan
tersebutlah yang mempermudah terjangkitnya penularan penyakit DBD
(Soegijanto, 2006).
Virus dengue berkembangbiak dalam waktu 8 – 10 hari di dalam
tubuh nyamuk terutama di kelenjar air liur. Jika nyamuk mengandung
virus dalam kelenjar air liurnya kemudian menggigit manusia maka virus
tersebut akan ditularkan ke manusia. Virus dengue akan memperbanyak
diri di dalam tubuh manusia dan akan berada di dalam darah dalam kuruh
waktu tertentu. Pada saat ini mungkin saja individu yang terinfeksi belum
tentu semuanya menderita DBD, dapat juga berupa demam yang beberapa
hari sembuh atau bahkan hanya menunjukan gejala asimtomatis. Namun
semuanya tetap menjadi pembawa virus selama satu minggu dan tetap
dapat menularkan virus dengue ke individu yang lain (Widoyono, 2011).
2.1.4. Faktor Resiko
Banyak faktor yang mempengaruhi DBD antara lain hospes (host),
lingkungan (environment), dan faktor virus itu sendiri. Faktor hospes yaitu
kerentanan (susceptability) dan respons imun. Faktor lingkungan
(environment) yaitu kondisi geografis (ketinggian dari permukaan laut,
curah hujan, kelembapan, musim), kondisi demografis (kepadatan,
perilaku, sosial ekonomi penduduk), jenis dan kepadatan nyamuk sebagai
vektor penular penyakit. Faktor agent yaitu sifat virus Dengue yang
hingga saat ini diketahui ada 4 jenis serotipe virus Dengue yaitu DEN-1,
10
DEN-2, DEN-3, dan DEN-4. Serotipe DEN-3 merupakan salah satu jenis
serotipe yang dihubungakan dengan kasus-kasus parah. Infeksi salah satu
serotipe akan menimbulkan antibodi terhadap serotipe yang bersangkutan,
sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotipe lain sangat kurang,
sehingga tidak dapat memberikan perlindungan yang memadai terhadap
serotipe lain. Seseorang yang tinggal di daerah endemis dengue dapat
terinfeksi oleh 3 atau 4 serotipe selama hidupnya (Depkes,2011).
2.1.5. Patogenesis
Virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia melalui gigitan
nyamuk Aedes aegypti atau Aedes albopictus. Organ sasaran dari virus
adalah RES (Reticuloendothelial System) yang meliputi sel kuffer hepar,
endotel pembuluh darah, nodus limfaticus, sumsum tulang serta paru-paru.
Berdasarkan dari hasil penelitian menunjukan bahwa sel-sel monosit dan
makrofag memiliki peranan besar terhadap infeksi. Dimana dalam
peredaran darah, virus tersebut akan difagosit oleh monosit perifer
(Soegijanto, 2006 dan Suhendro, 2009).
Setelah virus dengue masuk ke dalam tubuh manusia maka virus
akan berkembangbiak di dalam sel retikuloendotelial yang kemudian akan
diikuti dengan fase viremia yang berlangsung 5-7 hari. Akibat dari infeksi
virus ini maka timbul respon imun baik humoral maupun seluler, yaitu
antinetralisasi, antihemaglutinin, dan antikomplemen. Antibodi yang
muncul biasanya adalah IgG dan IgM. Pada fase infeksi dengue primer
maka antibodi mulai terbentuk dan kadar antibodi meningkat disebut
dengan infeksi sekunder (Soegijanto, 2006 dan Suhendro, 2009) .
Virus DEN mampu bertahan hidup dan mengadakan multifikasi di
dalam sel tersebut. Infeksi virus dengue dimulai dengan menempelnya
virus genomnya masuk ke dalam sel dengan bantuan organel-organel sel,
genom
virus
tersebut
membentuk
komponen-komponennya,
baik
komponen perantara maupun komponen struktural dari virusnya. Setelah
komponen struktural dirakit maka virus akan dilepaskan dari dalam sel.
11
Proses perkembangan virus DEN terjadi di sitoplasma sel (Soegijanto,
2006 dan Soedarto, 2012).
Pada infeksi virus dengue, fase viremia terjadi sangat cepat, hanya
berselang beberapa hari dan dapat terjadi infeksi di beberapa tempat, tetapi
derajat kerusakan jaringan yang ditimbulkan tidak cukup untuk
menjadikan dasar penyebab kematian dari infeksi virus tersebut melaikan
karena gangguan metabolit. Mekanisme pertahanan tubuh melalui
apoptosis dan aktivitas sel-sel fagosit dapat menimbulkan jejas jaringan
lokal atau ketidakseimbangan homeostasis yang selanjutnya akan memicu
efek lain. Pada infeksi fase akut terjadi penurunan kadar CD2+, CD4+, dan
CD8+ (Soegijanto, 2006).
2.1.6. Manifestasi Klinis DBD
Setelah seseorang digigit nyamuk kemudian terinfeksi oleh virus
dengue, maka ada beberapa kemungkinan yang akan terjadi setelah 4-14
hari kemudian, yaitu tidak menimbulkan gejalan apapun, demam sesuai
dengan gejala akibat virus pada umumnya, demam dengue (DD), demam
berdarah dengue (DBD) yang sebagian kecil diantaranya akan berlanjut
menjadi Demam Syok Syndrome (DSS). Manifestasi klinis biasanya
terjadi demam tinggi 4-7 hari, sering disertai dengan menggigil, nyeri
kepala, nyeri di bagian belakang bola mata, ruam, nyeri otot dan sendi,
mual, muntah, diare atau nyeri perut. Demam pada umumnya menunjukan
karakteristik “Sadle Back Fever”, dimana suhu tubuh turun pada hari ke 3
atau hari ke 4 dan naik lagi setelah 2 hari kemudian (Poorwosoedarmo,
2010).
Pada saat suhu tubuh turun di hari ke 3 demam maka pasien
penderita DBD akan masuk ke fase penyembuhan, sementara pasien DBD
tersebut masuk ke fase kritis karena pada saat ini terjadi peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, terjadi perembasan cairan keluar dari
pembuluh darah, dimana pada pemeriksaan laboratorium menunjukan
12
turunnya
angka
trombosit,
meningkatnya
hematokrit,
selain
itu
kemungkinan penderita merasa lemas, tidak ada nafsu makan, buang air
kecil berkurang, selain itu dapat disertai tanda-tanda perdarahan bercak
petechiae di kulit yang berupa binti-bintik merah yang tidak hilang pada
saat kulit ditekan. Pada fase kritis atau bocornya plasma darah umumnya
berlangsung selama 2-3 hari yaitu sekitar hari ke 3 sampai hari ke 5
perjalanan penyakit, kemudian akan sembuh setelah pemberian cairan
infus sesuai dengan kebutuhan dan sebagian kecil kasus kondisi syok
memerlukan penanganan yang lebih lama (Poorwosoedarmo, 2010).
2.1.7. Diagnosis DBD
Untuk menegakkan diagnosis demam berdarah dengue adalah
dengan menggali informasi terkait dengan penyakit melalui serangkaian
yaitu anamnesis, pemeriksaan fisik, dan pemeriksaan penunjang.
Anamnesis yang dilakukan berkaitan dengan manifestasi klinis
yang pada umumnya muncul pada pasien. Terjadinya demam merupakan
salah satu tanda penting, biasanya demam terjadi mendadak yaitu dalam
kurun waktu 2-7 hari. Pada pasien penderita DBD kadang disertai dengan
adanya keluhan tidak nafsu makan, muntah, dan lelah. Pada anak yang
lebih besar biasanya muncul keluhan nyeri otot dan sendi, nyeri kepala,
dan nyeri perut. Sedangkan pada pasien anak yang menderita DBD
biasanya disertai diare. Selain itu terjadi perdarahan yang dijumpai adalah
perdarahan pada kulit atau mimisan (Pudjiadi, 2009).
Pada pemeriksaan fisik biasanya gejala DBD diawali dengan
demam tinggi yang mendadak, facial flush, nyeri kepala, nyeri otot, nyeri
sendi, muntah, dan nyeri tenggorok dengan faring hiperemis. Selain itu
dapat juga terjadi perdarahan, seperti petekie, epistaksis, melena, maupun
hematuria. Biasanya gejala penyerta tersebut lebih mencolok pada DD
dibandingkan dengan DBD. Sedangkan hepatomegali dan kelainan fungsi
hati lebih sering ditemukan pada kasus DBD. Perbedaan antara DD dan
13
DBD adalah dimana DBD terjadi peningkatan permeabilitas kapiler
sehingga dapat menyebabkan perembesan plasma, hipovelemia, dan syok.
Terjadinya perembesan plasma tersebut dapat mengakibatkan ekstravasasi
cairan ke dalam rongga pleura dan rongga peritoneal selama 24-48 jam.
fase kritis terjadi sekitar hari ke-3 sampai hari ke-5 dari perjalanan
penyakit. Dimana pada fase ini suhu tubuh menurun, hal tersebut
merupakan awal dari penyembuhan pada infeksi ringan, namun pada DBD
yang berat hal tersebut merupakan tanda awal dari syok (Pudjiadi, 2009).
Diagnosis DBD ditegakkan berdasarkan kriteria klinis dan
laboratorium (WHO, 2011).
2.1.7.1. Kriteria Klinis
1. Demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus
menerus selama 2-7 hari.
2. Manifestasi klinis perdarahan, termasuk uji torniquet positif,
ekimosis, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, hematemesis,
dan atau melena.
3. Adanya pembesaran hati.
4. Syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan.
tekanan nadi (≤20 mmHg), hipotensi, kaki dan tingin dingin, kulit
lembab, dan pasien tampak gelisah.
2.1.7.2. Kriteria Laboratorium
1. Trombositopenia (≤100.000/mikroliter).
2. Hemokonsentrasi dapat dilihat dari adanya peningkatan hematokrit
≥20% dari nilai dasar atau menurut standar umur dan jenis
kelamin.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan :
1. Dua kriteria klinis pertama ditambah dengan trombositopenia dan
hemokonsentrasi atau peningkatan hematokrit ≥20%.
2. Dijumpai hepatomegali sebelum terjadi perembesan plasma.
14
3. Ditandai dengan perembasan plasma:

Efusi pleura (foto toraks atau ultrasonografi)

hipoalbuminemia
4. Perhatian:

Pada
kasus
syok,
hematokrit
lebih
tinggi
dan
trombostopenia yang jelas, mendukung diagnosis DSS.

Nilai LED rendah (<10 mm/jam) saat syok untuk
membedakannya dengan DSS dari syok sepsis.
2.1.7.3. Derajat Penyakit
Tabel 3. Derajat DBD berdasarkan klasifikasi WHO 2011
DD/DBD
DD
Derajat
Tanda dan Gejala
Laboratorium
Demam disertai minimal 2 gejala:
 Leukopenia (jumlah
 Nyeri kepala
leukosit
≤4000
sel/mm3)
 Nyeri retro-orbital
 Trombositopenia
 Nyeri otot
(jumlah
trombosit
 Nyeri sendi/tulang
<100.000 sel/mm3)
 Ruam kulit makulopapular
 Peningkatan
 Manifestasi perdarahan
hematokrit (5%-10%)
 Tidak ada perembasan
 Tidak
ada
bukti
plasma
perembasan plasma
DBD
I
DBD
II
Demam dan manifestasi perdarahan
(uji torniquet positif) dan tanda
perembesan plasma
Seperti derajat I ditambah dengan
perdarahan spontan
DBD
III
DBD
IV
Trombositopenia
<100.000
sel/mm3;
peningkatan
hematokrit ≥20%
Trombositopenia
<100.000
sel/mm3;
peningkatan
hematokrit ≥20%
<100.000
Seperti derajat I atau II ditambah Trombositopenia
dengan kegagalan sirkulasi (nadi sel/mm3;
peningkatan
lemah, tekanan nadi ≤20 mmHg, hematokrit ≥20%
hipotensi,
gelisah,
diuresis
menurun)
Syok hebat dengan tekanan darah Trombositopenia
<100.000
3
dan nadi yang tidak terdeteksi
sel/mm ;
peningkatan
hematokrit ≥20%
Diagnosis infeksi dengue :
Gejala klinis + trombositopenia + hemokonsentrasi, dikonfirmasi dengan deteksi antigen
virus dengue (NS-1) atau dan uji serologi anti dengue positif
(IgM anti dengue atau IgG/IgG anti dengue positif)
15
2.1.8. Pemeriksaan Penunjang DBD
Pemeriksaan penunjang DBD yang dilakukan adalah pemeriksaan
laboratorium. Pemeriksaan DBD yang dilakukan untuk menunjang
diagnosis sesuai dengan kriteria adalah hitung trombosit dan nilai
hematokrit, kemudian dilanjutkan dengan tes konfirmasi. Pada penyakit
DBD nilai hematokrit meningkat, hal tersebut dikarenakan volume plasma
yang berkurang karena terjadi eksudasi plasma akibat meningkatnya
permeabilitas pembuluh darah sehingga volume eritrosit relatif meningkat.
Meningkatnya nilai hematokrit pada kasus DBD merupakan indikator
terjadinya renjatan (Pudjiadi, 2009 dan Wardana, 2011)
Sedangkan hitung trombosit pada kasus DBD biasanya terjadi
penurunan di bawah 150.000 /mikroliter. Penurunan jumlah trombosit
biasanya terjadi pada hari ketiga dan hari ketujuh. Hitung trombosit perlu
di ulang sampai yakin bahwa jumlahnya dalam batas normal atau untuk
menunjang diagnosis DBD. Pemeriksaan ini biasanya dilakukan minial
dua kali, yaitu pada waktu pasien baru masuk dan apabila hasilnya normal
maka dapat diulang pada hari kelima sakit. Jika perlu diulang lagi maka
pada hari keenam dan ketujuh sakit. Jumlah trombosit pada umumnya
normal, demikian juga pada faktor pembekuan darah, tetapi pada saat
terjadinya wabah atau epidemi dapat dijumpai trombositopenia. Pada
demam berdarah dengue (DBD), hasil pemeriksaan laboratorium
menunjukan trombositopenia dan hemokonsentrasi (Soegijanto, 2006 dan
Wardana 2011).
16
2.2 Kerangka Teori
Aedes
albopictus
Aedes
aegypti
Perilaku
Sosio
ekonomi
kepadatan
Musim
Jenis dan
kepadatan
nyamuk
Kondisi
demografi
Kelembapan
Kondisi
geografis
Ketinggian
permukaan
laut
Lingkungan
Curah hujan
DBD
kerentanan
Agent
Hospes
Sifat virus
Anak
Sistem
imun
Gambar 1. Kerangka teori (Hariadhi, 2006)
17
2.3 Kerangka Konsep
Pasien Anak Yang Terdiagnosis DBD
Rekam Medis
Sampel
Karakteristik
Umur
Jenis Kelamin
Hari Demam
Temuan Laboratorium
-
Kadar hematokrit >20%
Angka trombosit
<100.000 mmk
Gambar 2. Kerangka Konsep
2.4. Hipotesis
Untuk mengetahui seseorang anak terkena DBD dapat dilihat dari :
1. Tidak terdapat perbedaan jenis kelamin antara laki-laki dan perempuan
dalam kejadian DBD.
2. Kemungkinan akan didapatkan perbedaan usia dalam kejadian DBD.
3. Kemungkinan terdapat perbedaan setiap individu dari hasil pemeriksaan
laboratorium dan gejala klinisnya.
18
Download