1 HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK, ASUPAN KALORI DAN INDEKS

advertisement
HUBUNGAN AKTIVITAS FISIK, ASUPAN KALORI DAN INDEKS
MASA TUBUH DENGAN DIABETES MELITUS TIPE 2
(Studi pada Pasien Poliklinik Penyakit Dalam RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya 2016)
Oleh :
Eka nuari kurnianingsih, Ai Sri Kosnayani, Siti Novianti
Peminatan Epidemiologi, Fakultas Ilmu Kesehatan
Universitas Siliwangi Tasikmalaya
ABSTRAK
Diabetes melitus Tipe 2 berkaitan dengan aktivitas fisik, asupan kalori dan indeks masa tubuh.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui dan menganalisis hubungan aktivitas fisik, asupan
kalori dan indeks masa tubuh dengan diabetes melitus tipe 2. Penelitian dilaksanakan di
Poliklinik Penyakit Dalam RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya. Metode penelitian
menggunakan desain cross sectional. Populasi seluruh pasien poliklinik penyakit dalam. Teknik
pengambilan sampel menggunakan accidental sampling dan diperoleh sebanyak 62 orang.
Instrumen penelitian menggunakan FFQ semikuantitatif. Teknik analisis data menggunakan
univariat dan analisis bivariat menggunakan chi square. Hasil analisis univariat diketahui
aktivitas fisik pasien termasuk kategori sedang (83,9%), asupan kalori termasuk kategori cukup
(64,5%), indeks masa tubuh termasuk kategori gemuk (66,1%), pasien diabetes melitus tipe 2
(48,4%) dan non diabetes melitus (56,5%). Hasil analisi bivariat diketahui ; 1) ada hubungan
aktivitas fisik dengan diabetes melitus tipe 2 (p=0,005), 2) ada hubungan asupan kalori dengan
diabetes melitus tipe 2 (p=0,011), 3) ada hubungan indeks masa tubuh dengan Diabetes
Melitus Tipe 2 (p=0,049). Perlu menyelenggarakan konseling pada keluarga dan pasien yang
baru terdiagnosa dokter menderita diabetes melitus tipe 2 untuk meningkatkan pengetahuan
dan kemampuan perawatan secara mandiri, sehingga pasien dapat menjalani hidupnya secara
berkualitas.
Kata Kunci
: Aktivitas, Kalori, IMT, Diabetes Melitus
ABSTRACT
Any contributing of factor pertaining with physical activity, calory intake and an index the body.
This study aims to know and analyze correlation physical activity, calory intake and an index the
body with diabetes mellitus type 2. Implemented of research in polyclinic of disease on dr.
Soekardjo Regional General Hospital of Tasikmalaya City. The method of the research uses
design cross sectional. Population all patients at the poly in were blood glucose. Taknik
sampling used accidental sampling and have as many 62 patiensts. Instrument the research
uses FFQ Spring quantitative (SQ FFQ), sheets of observation. Analysis data of technique
using univariat and bivariat. The results of analysis univariat to known physical activity patients
in the category of enough (83,9%), calory intake category enough (64,5%), the index the body
excluding category excess (66,1%), patients diabetes mellitus type 2 (48.4%) and non diabetes
mellitus (56.5%). The results of analysis of bivariat to known; 1) there was a correlation physical
activity with diabetes mellitus type 2 (p = 0,005), 2) there was a correlation calory intake with
diabetes mellitus type 2 (p = 0,010), 3) there was a connection index the body with diabetes
mellitus type 2 (p = 0,049). Need to hold counseling on family and patients new terdiagnosa
doctor suffering from diabetes mellitus type 2 to improved knowledge and ability care
independently, so that the patient can go through life in quality.
Keywords
: Activity, calory, IMT, diabetes mellitus
1
PENDAHULUAN
Diabetes melitus tipe 2 merupakan masalah kesehatan dunia yang serius dan setiap
tahun selalu mengalami peningkatan. Diabetes melitus merupakan suatu kondisi dimana kadar
gula dalam darah lebih tinggi dari normal (Normal : 60 mg/dl-145 mg/dl). Secara klinis terdapat
dua tipe diabetes melitus yaitu diabetes melitus tipe 1 dan tipe 2. Diabetes melitus tipe 1
disebabkan oleh penghancuran sel pulau pankreas, sedangkan diabetes melitus tipe 2
disebabkan oleh kombinasi resistensi insulin dan disfungsi sekresi insulin sel Beta (Bilous dan
Donelly, 2015). Diabetes melitus tipe 2 muncul secara perlahan-lahan sampai menjadi
gangguan yang jelas, pada awalnya gejala yang timbul sama seperti Diabetes Tipe 1
diantaranya kelelahan berkepanjangan tanpa ada penyebabnya, sering buang ari kecil, sering
lapar dan haus, dan gejala tersebut sering terabaikan. Jika glukosa darah sudah tumpah ke
saluran urin dan urin tersebut tidak disiram maka akan dikerubuti oleh semut yang merupakan
tanda adanya gula. Gejala lain yang biasanya muncul diantaranya penglihatan kabur, luka yang
lama sembuh, kaki terasa kebis, geli atau merasa terbakar (Maulana, 2009)
Hasil studi mengenai prevalensi diabetes secara global yang diselenggarakan oleh
Internasional Diabetes Federation (IDF) meramalkan prevalensi diabetes melitus tipe 2
meningkat pada tahun 2025 mencapai sekitar 380 juta jiwa di seluruh dunia, angka kejadian
tertinggi akan ditemukan di benua Mediterania Timur dan Timur Tengah, serta Amerika Selatan
dan Amerika Utara, hal itu terkait dengan peningkatan prevalensi kasus diabetes melitus di
seluruh dunia adalah tingginya proporsi lansia (> 65 tahun) (Bilous dan Donelly, 2015). Menurut
estimasi IDF tahun 2012, lebih dari 371 juta orang di seluruh dunia mengalami diabetes melitus,
4,8 juta orang meninggal akibat penyakit metabolik ini (Riskesdas, 2013).
Di Indonesia, prevalensi diabetes melitus tipe 2 berdasarkan diagnosis dokter mengalami
peningkatan dari 1,1 persen pada tahun 2007 menjadi 2,1 persen di tahun 2013. Prevalensi
diabetes yang terdiagnosis dokter tertinggi terdapat di DI Yogyakarta (2,6%), DKI Jakarta
(2,5%), Sulawesi Utara (2,4%) dan Kalimantan Timur (2,3%), sedangkan Jawa Barat
menempati urutan ke 14 (empat belas) yang mencapai 1,3% (Riskesdas, 2013).
Dampak yang ditimbulkan oleh diabetes melitus tidak hanya pada kematian, tetapi
sebagai penyakit yang diderita seumur hidup, sehingga memerlukan biaya besar untuk
perawatan kesehatan penderita diabetes melitus, oleh sebab itu sangat diperlukan program
pengendalian diabetes melitus tipe 2. Diabetes melitus tipe 2 dapat dihindari, ditunda
kedatangannya atau dihilangkan dengan pengendalian faktor risiko. Beberapa faktor yang
dihubungkan dengan risiko Diabetes Melitus adalah obesitas, kurangnya aktivitas fisik dan
rendahnya konsumsi sayur dan buah (Riskesdas, 2007). Sekitar 80% penderita Diabetes
Melitus Tipe 2 terbukti mengalami obesitas atau kegemukan, dan risiko diabetes meningkat
secara progresif yang ditunjukkan oleh Indeks Masa Tubuh (IMT) yang meningkat (Bilous dan
Donelly, 2015). Penelitian Miftahul (2013) mengemukakan ada hubungan antara Indeks Massa
Tubuh (IMT) dengan kadar gula darah penderita diabetes melitus tipe 2, dengan Indeks Massa
Tubuh (IMT) sebagian besarnya pada nilai 25 – 29,9 Kg/m2. Tingkat aktivitas fisik dapat
mempengaruhi terjadinya Diabetes Melitus Tipe 2, karena aktivitas fisik meningkatkan
sensitivitas insulin dan membantu untuk mencegah obesitas (Bilous dan Donelly, 2015).
Masalah utama pada diabetes melitus tipe 2 adalah kurangnya respon terhadap insulin
(resistensi insulin) sehingga glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel. Permeabilitas membran
terhadap glukosa meningkat saat otot berkontraksi karena kontraksi otot memiliki sifat seperti
insulin. Maka dari itu, pada saat beraktivitas fisik, resistensi insulin berkurang (Ilyas, 2011).
Hasil penelitian Gumilang, (2014) mengemukakan terdapat hubungan yang bermakna antara
aktivitas fisik berkekuatan sedang dengan kadar gula darah pasien diabetes melitus tipe 2.
Tingginya asupan kalori dan rendahnya asupan serat seperti sayuran dapat
meningkatkan risiko Diabetes Militus tipe 2, hal itu dimungkinkan karena konsumsi kalori yang
berlebih dapat mengakibatkan kegemukan (Pamudji, 2011). Hasil studi mengenai peran diet
sebagai faktor risiko diabetes melitus tipe 2 dengan melibatkan 10.000 partisipan berusia 35-55
tahun menemukan bahwa minuman bersoda (soft drink) burger, sosis dan rendah serat dalam
porsi besar berkontribusi terhadap 5,7% resistensi insulin, dan ditemukan pula 427 insiden
diabetes tipe 2 (Bilous dan Donelly, 2015).
Berdasarkan data dari RSUD dr. Soekardjo Tasikmalaya pada tahun 2015 penyakit
diabetes melitus termasuk 10 besar penyakit rawat jalan terbanyak yang mencapai 701 kasus
2
atau 23,3% dari 3.007 jumlah kunjungan dan menempati urutan 6. Berdasarkan 10 penyakit
terbanyak rawat jalan, penyakit diabetes melitus menempati urutan 9 dengan jumlah kasus
sebanyak 187 atau 26,7%, yang diantaranya sebanyak 9 orang atau 4,8% meninggal dunia
yaitu 5 laki-laki dan 4 perempuan, dengan usia rata-rata 52 tahun, dan usia tertua 71 tahun
(Profil RSUD dr. Soekardjo Tasikmalaya, 2015). Masih tingginya kasus diabetes militus dan
ditemukan kasus pasien meninggal dunia, mengindikasikan bahwa kasus diabetes melitus di
RSUD dr. Soekarjdo Tasikmalaya merupakan hal yang sangat serius..
Secara umum penelitian ini bertujuan untuk mengetahui aktivitas fisik, asupan kalori dan
indeks masa tubuh dengan diabetes melitus tipe 2 pada pasien di Poliklinik Penyakit Dalam
RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya Tahun 2016. Secara khusus penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi aktivitas fisik, asupan kalori, indeks masa tubuh dan diabetes melitus
tipe 2. Menganalisis hubungan aktivitas fisik dengan diabetes melitus tipe 2, menganalisis
hubungan asupan kalori dengan diabetes melitus tipe, dan menganalisis hubungan indeks
masa tubuh dengan diabetes melitus tipe 2.
METODOLOGI PENELITIAN
Metode penelitian yang digunakan adalah survei dengan desain cross sectional. Populasi
penelitian ini adalah seluruh pasien di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD dr. Soekardjo Kota
Tasikmalaya 2016, sebagai perkiraan sejak bulan Mei sampai Juli 2016 pasien rawat jalan
mencapai 787 orang. Teknik sampling menggunakan accidental sampling selama 2 bulan, dan
diperoleh sampel sebanyak 62 orang. Sampel ditentukan berdasarkan kriteria inklusi yang
meliputi; usia responden > 30 tahun, tidak sedang sakit berat, bersedia menjadi responden,
danpasien diperiksa glukosa darah. Sedangkan kriteria eksklusinya adalah pasien diabetes
melitus yang melakukan kontrol. Instrumen penelitian menggunakan Food Frequency
Quesionnaire (FFQ), dan daftar isian aktivitaf fisik, serta hasil diagnosa dokter. Tenik analisis
univariat menggunakan persentase dan data statistik yang meliputi nilai minimal, maksimum
dan mean. Analisis Bivariat menggunakan chi square.
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Rata-rata responden pada penelitian ini adalah berumur 50 tahun, umur termuda 31
tahun dan umur tertua 69 tahun. Sebagian besar berjenis kelamin perempuan (62,9% ) dan
laki-laki (37,1%). Memiliki latar bepakang pendidikan SD (12,9%), SMP (16,1%), SMA (43,5%),
Diploma (4,8%) dan S1 (22,6%).Responden paling banyak berstatus tidak bekerja (32,3%) dan
sebagian kecil pegawai swasta (1,6%).
Deskripsi Aktivitas Fisik Pasien di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD dr. Soekardjo Kota
Tasikmalaya
Rata-rata aktivitas fisik responden mengeluarkan energi 912,8 kkal dengan standar
deviasi 480,3 kkal. Pengeluaran energi aktivitas fisik terkecil 127,6 kkal dan pengeluaran energi
aktivitas fisik tertinggi 2306,3 kkal. Berdasarkan distribusi frekuensi diketahui sebanyak 52
orang (83,9%) responden memiliki aktivitas fisik dengan kategori sedang dan sebanyak 10
orang (16,1%) memiliki aktivitas fisik ringan. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada tabel
beikut.
Tabel 1. Distribusi Frekuensi Aktivitas Fisik Pasien di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya 2016
No
1
2
Aktivitas Fisik
Ringan
Sedang
Jumlah
F
10
52
62
%
16,1
83,9
100,0
3
Deskripsi Asupan Kalori Pasien di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD dr. Soekardjo Kota
Tasikmalaya
Rata-rata asupan kalori pasin adalah 1777,5 kkal dengan standar deviasi 862,8 kkal.
Asupan kalori terendah 572,0 kkal dan asupan kalori tertinggi 3896,7 kkal. Kebutuhan energi
pasien rata-rata mencapai 1900,3 kkal dengan standar deviasi 830,0 kkal. Kebutuhan energi
terendah 728,0 kkal dan kebutuhan energi tertinggi 3934,3 kkal. Berdasarkan distribusi
frekuensi menunjukkan sebanyak 40 orang (64,5%) responden asupan kalorinya termasuk
kategori cukup dan sebanyak 22 orang (35,5%) asupan kalorinya termasuk lebih. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Distribusi Frekuensi Asupan Kalori di Poliklinik Penyakit
Dalam RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya 2016
No
1
2
Asupan Kalori
Lebih
Normal
Jumlah
F
22
40
62
%
35,5
64,5
100,0
Deskripsi Indeks Masa Tubuh Pasien di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD dr. Soekardjo
Kota Tasikmalaya
Indeks masa tubuh diperoleh dengan cara membagi berat badan dengan tinggi badan.
Rata-rata berat badan responden adalah 64,23 kg dengan standar deviasi 6,867, berat badan
terendah 45 kg dan berat badan terberat 78 kg. Tinggi badan rata-rata mencapai 157,39 cm
dengan standar deviasi 5,756 cm, tinggi badan terpendek 149 cm dan pasien tertinggi 172 cm.
Berdasarkan berat badan dan tinggi badan diketahui rata-rata indeks masa tubuh responden
sebesar 25,9, standar deviasi 2,22, indeks masa tubuh terendah 20 dan indeks masa tubuh
terbesar 29,3. Hasil distribusi frekuensi diketahui sebanyak 41 orang (66,1%) responden
memiliki indeks masa tubuh yang termasuk kategori overwight/obesitas dan sebagian kecil yaitu
sebanyak 21 orang (33,9%) indeks masa tubuhnya termasuk kategori normal. Untuk lebih
jelasnya dapat dilihat pada Tabel berikut :
Tabel 3. Distribusi Frekuensi Indeks Masa Tubuh Pasien di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya 2016
No
1
2
Indeks Masa Tubuh
Gemuk/Obesitas (> 25)
Lebih (< 25)
Jumlah
F
41
21
60
%
66,1
33,9
100,0
Deskripsi Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik Penyakit Dalam RSUD dr. Soekardjo Kota
Tasikmalaya
Sebagian besar pasien yaitu 30 orang (51,6%) tidak menderita diabetes melitus tipe 2 dan
sebanyak 30 orang (48,4%) tidak menderita diabetes melitus. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat
pada tabel berikut ini.
Tabel 4. Distribusi Frekuensi Diabetes Melitus Tipe 2 di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya 2016
No
1
2
Penyakit
DM Tipe 2
Non DM
Jumlah
F
30
32
60
%
48,4
51,6
100,0
4
Hubungan Aktivitas Fisik dengan Diabetes Melitus Tipe 2 pada Pasien di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya
Tabel 5. Tabulasi Silang Hubungan Aktivitas Fisik dengan Diabetes
Melitus Tipe 2 pada Pasien di Poliklinik Penyakit Dalam
RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya 2016
Aktivitas Fisik
Ringan
Sedang
Jumlah
Diabetes Melitus Tipe 2
DM 2
Non DM
Jumlah
n
%
n
%
n
%
9
90,0
1
10,0
10
100
21
30,0
31
59,6
52
100
30
48,4
32
51,6
62
100
p
OR
95% Cl
0,005
13,286
(1,565112,803)
Proporsi responden yang diabetes melitus tipe 2 lebih banyak ditemukan pada responden
yang memiliki aktivitas fisik ringan (90%) dibanding responden yang memiliki aktivitas fisik
sedang (30%). Proporsi responden yang tidak diabetes melitus tipe 2 lebih banyak ditemukan
pada responden yang memiliki aktivitas fisik sedang (59,6%) dibanding responden yang
memiliki aktivitas fisik ringan (10%). Hasil analisis uji Fisher's Exact Test menunjukkan ada
hubungan antara aktivitas fisik dengan diabetes melitus tipe 2 pada Pasien di Poliklinik Penyakit
Dalam RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya dengan nilai probabilitas (p) 0,005 yang lebih
kecil dari 0,05. Hasil analisis Odds Ratio menunjukkan pasien yang memiliki aktivitas fisik
ringan mempunyai risiko 13,286 kali lebih besar menderita diabetes melitus tipe 2 dibanding
dengan pasien yang memiliki aktivitas fisik sedang.
Kebanyakan pasien di poliklinik penyakit dalam RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya
memiliki tingkat aktivitas fisik sedang, mereka cukup banyak menggunakan energi dalam
tubuhnya untuk melakukan gerakan atau aktivitas fisik dalam kesehariannya, energi yang
masuk dalam tubuh dapat dimanfaatkan untuk aktivitas fisik, sehingga mengurangi risiko
penimbunan lemak dalam sel, karena adanya proses pembakaran dari aktivitas tersebut, dan
ini memperkecil kemungkinan mengalami kejadian diabetes melitus tipe 2. Sebaliknya pasien
dengan aktivitas fisik ringan memiliki risiko lebih besar mengalami diabetes melitus tipe 2, hal
ini mungkin terjadi jika asupan energi yang masuk lebih besar dibanding yang digunakan atau
disekresikan, energi yang tidak digunakan akan tertimbun atau menumpuk dalam sel darah,
yang dapat mengakibat resistensi insulin dan hal ini yang mengakibatkan diabetes melitus tipe
2 (Maulana, 2009).
Pasien yang baru didiagnosa menderita diabetes melitus tipe 2 perlu diberikan konseling
terkait dengan pentingnya keseimbangan antara asupan energi atau lemak dan
pengeluarannya melalui aktivitas fisik. Pada saat tubuh melakukan aktivitas/gerakan, maka
sejumlah gula akan dibakar untuk dijadikan tenaga gerak, sehingga jumlah gula dalam tubuh
akan berkurang, walaupun peningkatan aktivitas dapat meningkatkan kebutuhan glukosa, tetapi
tidak disertai kenaikan kadar insulin, hal ini dikarenakan pada waktu seseorang beraktivitas
fisik, terjadi peningkatan kepekaan reseptor insulin di otot yang aktif. Masalah utama yang
terjadi pada diabetes melitus tipe 2 adalah terjadinya resistensi insulin yang menyebabkan
glukosa tidak dapat masuk ke dalam sel. Saat seseorang melakukan aktivitas fisik, akan terjadi
kontraksi otot yang pada akhirnya akan mempermudah glukosa masuk ke dalam sel. Hal
tersebut berarti saat seseorang beraktivitas fisik, akan menurunkan resistensi insulin dan pada
akhirnya akan menurunkan kadar gula darah (Ilyas, 2011). Latihan fisik yang teratur bertujuan
untuk memperbaiki proses pengolahan gula darah, asam lemak serta menyusun kadar gula
darah di dalam otot tidak menjadi berlebihan. Sehingga latihan fisik yang dilakukan dapat
membantu menghilangkan kelebihan kalori untuk mencegah obesitas serta mengurangi
kolesterol (Moeloek, 2003).
Aktivitas fisik yang kurang, akan mengakibatkan proses pengeluaran energi semakin
rendah, dan kinerja sel dalam darahpun rendah, sehingga kadar gula dalam darah berisiko
mengalami peningkatan, karena kurangnya proses pengolahan gula darah, proses sekresi
melalui keringat lebih sedikit, kalori yang masuk dalam tubuh melalui berbagai makanan akan
semakin bertambah, kondisi tersebut akan mengurangi jumlah tempat reseptor pada membran
sel, yang mengakibatkan sel-sel tubuh tidak mampu merespon kerja insulin sebagaimana
5
mestinya, yang dapat mengakibatkan terjadi kelainan dalam mengikat insulin dengan reseptor.
Akibatnya terjadi penggabungan abnormal antara kompleks reseptor insulin dengan sistem
transport glukosa. Ketidaknormalan ini mengganggu kerja insulin dan pada akhirnya timbul
kegagalan sel beta dengan menurunnya jumlah insulin (Price & Wilson, 2006). Akibat
ketidakmampuan tubuh untuk berespons dengan wajar terhadap aktivitas insulin yang
dihasilkan pankreas (resistensi insulin), mengakibatkan sulit tercapai kadar glukosa yang
normal dalam darah (Maulana, 2009).
Hubungan Asupan Kalori dengan Diabetes Melitus Tipe 2 pada Pasien di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya
Tabel 6. Tabulasi Silang Hubungan Asupan Kalori dengan Diabetes
Melitus Tipe 2 pada Pasien di Poliklinik Penyakit Dalam
RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya 2016
Asupan Kalori
Lebih
Normal
Jumlah
Diabetes Melitus Tipe 2
DM 2
Non DM
Jumlah
n
%
n
%
n
%
16
53,3
6
18,8
22 35,5
14
46,7
26
81,2
40 64,5
30
48,4
32
51,6
62
100
p
OR
95% Cl
0,010
4,952
(1,58215,504)
Proporsi responden yang diabetes melitus tipe 2 lebih banyak ditemukan pada responden
yang memiliki asupan kalori lebih (53,3%) dibanding responden yang memiliki asupan kalori
normal (46,7%). Proporsi responden yang tidak diabetes melitus tipe 2 lebih banyak ditemukan
pada responden yang memiliki asupan kalori normal (81,2%) dibanding responden yang
memiliki asupan kalori lebih (18,8%). Hasil analisis uji Continuity Correction menunjukkan ada
hubungan antara asupan kalori dengan Diabetes Melitus Tipe 2 pada Pasien di Ruang Rawat
Jalan di RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya dengan nilai probabilitas (p) 0,010 yang lebih
kecil dari 0,05. Hasil analisis Odds Ratio menunjukkan pasien yang memiliki asupan kalori lebih
mempunyai risiko 4,952 lebih besar mengalami diabetes melitus tipe 2 dibanding dengan
pasien yang memiliki asupan kalori cukup.
Data di atas menunjukkan bahwa kebanyakan pasien di poliklinik penyakit dalam RSUD
dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya memiliki tingkat asupan kalori yang melebihi dari total
kebutuhan energinya. Total kebutuhan energi dalam penelitian ini adalah angka metabolisme
tubuh ditambah dengan aktivitas fisik dalam satuan kalori, sehingga walaupun sebagian besar
pasien memiliki aktivitas fisik yang sedang (83,9%), hal ini membuktikan tidak terjadi
keseimbangan antara asupan kalori dengan beban aktivitas fisik, dimana asupan kalori lebih
banyak dibanding dengan kalori yang dibutuhkan baik itu untuk memenuhi angka metabolisme
tubuh ataupun untuk berbagai aktivitas fisiknya, sehingga banyak kalori yang tidak
dimanfaatkan atau digunakan oleh tubuh sebagai energi, dan ini akan menimbulkan
penimbunan lemak. Resistensi insulin akan timbul pada daerah yang mengalami penimbunan
lemak sehingga akan menghambat kerja insulin di jaringan tubuh dan otot yang menyebabkan
glukosa tidak dapat diangkat ke dalam sel dan menimbun di dalam pembuluh darah, dan hal ini
mengakibatkan diabetes melitus tipe 2 (Maulana, 2009). Seseorang yang memiliki kebiasaan
mengkonsumsi makanan tinggi kalori, harus mengimbanginya dengan aktivitas olah raga, agar
kalori dalam tubuh dapat dikendalikan, karena olah raga berfungsi untuk membakar lemak
dalam tubuh, sehingga jika orang malas berolahraga memiliki risiko lebih tinggi untuk terkena
penyakit diabetes melitus karena olahraga berfungsi untuk membakar kalori yang berlebihan di
dalam tubuh. Kalori yang tertimbun di dalam tubuh merupakan faktor utama penyebab diabetes
melitus (Hasdianah, 2012).
6
Hubungan Indeks Masa Tubuh dengan Diabetes Melitus Tipe 2 pada Pasien di Poliklinik
Penyakit Dalam RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya
Tabel 7. Tabulasi Silang Hubungan Indeks Masa Tubuh dengan
Diabetes Melitus Tipe 2 pada Pasien di Poliklinik Penyakit
Dalam RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya 2016
Indeks Masa
Tubuh
Overwight/
Obesitas
Normal
Jumlah
Diabetes Melitus Tipe 2
DM 2
Non DM
Jumlah
n
%
n
%
n
%
24
58,5
17
41,5
41
100
6
30
28,6
48,4
15
32
71,4
51,6
21
62
100
100
p
0,049
OR
95% Cl
3,529
(1,13710,952)
Proporsi responden yang diabetes melitus tipe 2 lebih banyak ditemukan pada responden
yang memiliki indeks masa tubuh overwight/ obesitas (58,5%) dibanding responden yang
memiliki indeks masa tubuh normal (34,3%). Proporsi responden yang tidak diabetes melitus
tipe 2 lebih banyak ditemukan pada responden yang memiliki indeks masa tubuh normal
(71,4%) dibanding responden yang memiliki indeks masa tubuh overwight/obesitas (41,5%).
Hasil analisis uji Continuity Correction menunjukkan ada hubungan antara indeks masa
tubuh dengan Diabetes Melitus Tipe 2 pada Pasien di Ruang Rawat Jalan di RSUD dr.
Soekardjo Kota Tasikmalaya dengan nilai probabilitas (p) 0,049 yang lebih kecil dari 0,05.
Pasien diabetes melitus tipe 2 lebih banyak ditemukan pada responden yang memiliki indeks
masa tubuh overwight/obesitas (58,5%) dibanding responden yang memiliki indeks masa tubuh
normal (34,3%). Pada pasien tidak diabetes melitus tipe 2 lebih banyak ditemukan pada
responden yang memiliki indeks masa tubuh normal (71,4%) dibanding responden yang
memiliki indeks masa tubuh overwight/obesitas (41,5%). Hasil analisis Odds Ratio
menunjukkan, pasien yang memiliki indeks masa tubuh overwight/obesitas mempunyai risiko
3,529 kali lebih besar mengalami Diabetes Melitus Tipe 2 dibanding dengan pasien yang indeks
masa tubuhnya normal.
Kebanyakan pasien di poliklinik penyakit dalam RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya
memiliki indeks masa tubuh lebih dari 25 yang termasuk kategori overwight/obesitas, yang
dapat menyebabkan diabetes melitus tipe 2, hal itu berkaitan dengan penimbunan lemak dalam
tubuh. Timbunan lemak bebas yang tinggi dapat menyebabkan meningkatnya up-take sel
terhadap asam lemak bebas dan memacu oksidasi lemak yang pada akhirnya akan
menghambat penggunaan glukosa dalam otot (Bogdan, 2008). Orang yang mengalami
kelebihan berat badan, kadar leptin dalam tubuh akan meningkat. Leptin adalah hormon yang
berhubungan dengan gen obesitas. Leptin berperan dalam hipotalamus untuk mengatur tingkat
lemak tubuh, kemampuan untuk membakar lemak menjadi energi, dan rasa kenyang. Kadar
leptin dalam plasma meningkat dengan meningkatnya berat badan. Leptin bekerja pada sistem
saraf perifer dan pusat. Peran leptin terhadap terjadinya resistensi yaitu leptin menghambat
fosforilasi insulin receptor substrate-1 (IRS) yang akibatnya dapat menghambat ambilan
glukosa. Sehingga mengalami peningkatan kadar gula dalam darah (D’adamo 2008, dalam
Miftahul dkk, 2013). Banyaknya pasien yang memiliki indeks masa tubuh lebih ataupun
obesitas, mengindikasikan mereka memiliki pola makan yang kurang tetap atau tidak seimbang.
Jumlah konsumsi makanan yang terlalu banyak mengandung kalori, lemak ataupun makanan
yang manis-manis dapat menyebabkan kegemukan dan berisiko diabetes melitus tipe 2. Untuk
mengatasi obesitas dan menurunkan risiko diabetes melitus perlu melakukan penyesuaian diet
dan gaya hidup, seperti melakukan aktivitas olahraga dan berhenti merokok. Olah raga secara
teratur untuk menurunkan berat badan, meningkatkan senitivitas terhadap insulin dan
mempengaruhi kesehatan kardiovaskuler (Bilous dan Donelly, 2015)
7
SIMPULAN DAN SARAN
Berdasarkan tujuan dan hasil penelitian mengenai hubungan aktivitas fisik, asupan kalori
dan indeks masa tubuh dengan diabetes melitus tipe 2 pada pasien di Poliklinik Penyakit Dalam
RSUD dr. Soekardjo Kota Tasikmalaya, dapat disimpulkan bahwa aktivitas fisik pasien
sebagian besarnya termasuk kategori cukup, asupan kalori termasuk kategori cukup,
sedangkan indeks masa tubuh termasuk kategori berlebih. Ada hubungan aktivitas fisik dengan
diabetes melitus tipe 2 (p = 0,005, OR= 13,286). Ada hubungan asupan kalori dengan diabetes
melitus tipe 2 (p = 0,010, OR= 4,952). Ada hubungan indeks masa tubuh dengan diabetes
melitus tipe 2 (p = 0,049, OR= 3,529).
Rumah sakit perlu menyelenggarakan konseling pada keluarga dan pasien yang baru
didiagnosa oleh dokter menderita diabetes melitus tipe 2, yang memungkinkan keluarga
memiliki kemampuan memberikan perawatan secara mandiri di rumah, dan pasien dapat patuh
dan memiliki kesadaran untuk menjalani perawatan penyakitnya baik secara farmakologi
ataupun non farmakologi, sehingga pasien dapat menjalani hidupnya secara berkualitas dan
mengurangi resiko kekambuhan diabetes militus ataupun pengobatan yang lebih lama. Bagi
penelitian selanjutnya perlu mengkaji lebih lanjut terkait dengan faktor lain yang mempengaruhi
diabetes melitus tipe 2 sehingga dapat diketahui konsistensi dan faktor yang paling
berpengaruh.
DAFTAR PUSTAKA
Achadi, Endang L. (2007) Gizi dan Kesehatan Masyarakat. Edisi Revisi. Departemen Gizi dan
Kesehatan Masyarakat, FKM UI : PT Rajagrafindo Persada
Almatsier, S (2009) Prinsip Dasar Ilmu Gizi. Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama
Bilous, Rudy dan Donelly, Richard (2015) Buku Pegangan Diabetes : Edisi Ke 4. Jakarta Bumi
Media
Bogdan, M. W (2008). Panduan Bagi Penderita Diabetes. Jakarta: Prestasi Pustaka Publisher.
Brunner, dan Suddart, D (2002) Buku Ajar Keperawatan Medical Bedah (Terjemahan H.
Kuncara, A. Hartono, M Ester, Y. Asih) Ed. 8. Jakarta : EGC.
Depkes RI. (2006) Buku Saku Gaya Hidup Sehat. Jakarta : Pusat Promosi Kesehatan
Departemen Kesehatan RI
Depkes RI. (2003) Petunjuk Teknis Pemantauan Status Gizi Orang Dewasa dengan Indeks
Massa Tubuh (IMT). Jakarta : Dirjen Binkesmas, Direktorat Gizi Masyarakat
Fahmida Umi dan Drupadi. 2007. Handbook Nutritional Assessment SEAMEO-TROPMED
RCCN. Jakarta: Univeritas Indonesia Press.
Hasdianah, H.R (2012) Mengenal Diabetes Belitus pada Orang Dewasa dan Anak-Anak
dengan Solusi Herbal. Yogyakarta : Nuha Medika.
Ilyas, E. I., 2011. Olahraga bagi Diabetesi dalam: Soegondo, S., Soewondo, P., Subekti, I.,
Editor. Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu bagi Dokter maupun Edukator
Diabetes. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia
Irianto, Koes (2014) Epidemiologi Penyakit Menular dan Tidak Menular: Panduan
Klinis.Bandung : Alfabeta.
Kristanti dkk, (2002) Kondisi Fisik Kurang Gerak dan Instrumen Pengukuran. Jakarta : Media
Litbang Kesehatan
Maulana, Mirza (2009) Mengenal Diabetes Melitus : Panduan Praktis Penyakit Kencing Manis.
Jogjakarta : Katahati.
Misnadiarly. 2006. Ulcer, Gangren, Infeksi Diabetes Mellitus. Jakarta: Pustaka Populer Obor
Moeloek, D (2003) Dasar Fisiologi Kesehatan Jasmani dan Latihan Fisik. Jakarta : FK UI
Muhilal JF dan Hardiansyah (1998) Kategori Tingkat Asupan Berdasarkan Persen AKG. Widya
Karya Nasional Pangan gizi ke VII. Jakarta : Lipi.
Notoatmodjo, Soekidjo (2010) Metode Penelitian Kesehatan. Jakarta : Rineka Cipta
Poerwadarminta. W. J. S. (2006) Kamus Umum Bahasa Indonesia. Jakarta: PN Balai Pustaka.
Price, A. S., Wilson M. L., (2006) Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Alih
Bahasa: dr. Brahm U. Jakarta: EGC
8
Pudjiadi, Antonius et al, (2010) Pedoman Pelayanan Medis Ikatan Dokter anak Indonesia Jilid I.
Jakarta: IKDAI
Smeltzer, Suzanne C. dan Bare, Brenda G, 2002, Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
(Ed.8, Vol. 1,2), Alih bahasa oleh Agung Waluyo. Dkk. Jakarta, EGC.
Soegondo S (2006) Obesitas: Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4 Jilid III. Jakarta: FKUI,
Soegondo, S dkk, (2004) Penatalaksanaan Diabetes Mellitus Terpadu. Jakarta: Balai Penerbit
FKUI
Soegondo, Sidartawan, dkk. (2009) Penatalaksanaan Diabetes Melitus Terpadu. Jakarta: FKUI.
Sudoyo Aru W. (2009) Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam, jilid II, edisi V. Jakarta: Interna
Publishing.
Sugiyono (2010) Statistika untuk Penelitian. Bandung : Alfabeta
Supariasa., et al. (2002). Penilaian Status Gizi. Jakarta : EGC.
Sutanto (2007) Analisis Data Kesehatan : Basic Data Analysis for Health Research Training.
FKM UI
Utari, DM dan Sudiarti, T (2007) Kecukupan Energi dan Zat Gizi : Gizi dan Kesehatan
Masyarakat. Jakarta : Departemen Gizi dan Kesehatan Masyarakat FKM UI.
Waspadji, S (2007) Penatalaksanaan DM terpadu. Jakarta: Fakultas Kedokteran Universitas
Indonesia.
Waspadji. (2002). Gambaran Klinis Diabetes Mellitus. Dalam Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
Widya Karya Nasional Pangan dan Gizi (WNPG) VIII, 2004. Ketahanan Pangan dan Gizi di Era
Otonomi Daerah dan Globalisasi. Jakarta: LIPI
Yuliarto, H (2012) Latihan Fisik dan Kekebalan Tubuh. Yogyakarta: FIK :UNY
9
Download