Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi Selatan 1926

advertisement
Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi Selatan
1926-1942
Darmawijaya dan Irwan Abbas
Fakultas Sastra dan Budaya Universitas Khairun Ternate
[email protected]
By the early 20th century, South Sulawesi is characterized by the
strengthening of the Government of the Netherlands East Indies and the
weakening of traditional authority. In addition, marked also by the presence
of Islamic reform movement. Jamiyatul Mardiyah, Sarekat Islam, Shirathal
Mustaqim and the Muhammadiyah Islamic reform organizations active in
South Sulawesi, but in four of these organizations, Muhammadiyah it only
works well developed. In this context, interesting articles to be presented, as
it will try to answer the question, why Muhammadiyah able to thrive in the
community of South Sulawesi in the period 1926-1942?
Keywords: Muhammadiyah, Gerakan Modernis dan Sulawesi Selatan
Memasuki awal abad ke-20, Sulawesi Selatan ditandai dengan semakin
menguatnya kekuasaan Pemerintah Hindia Belanda dan semakin
melemahnya kekuasaan kaum tradisional. Selain itu, ditandai pula dengan
hadirnya gerakan pembaharuan Islam, Jamiyatul Mardiyah, Sarekat Islam,
Shirathal Mustaqim dan Muhammadiyah. Di antara keempat organisasi
tersebut, Muhammadiyah merupakan organisasi pembaharuan Islam yang
aktif dan berkembang dengan baik di Sulawesi Selatan. Dalam konteks inilah
artikel ini menarik untuk disajikan, sebagai upaya menjawab pertanyaan,
mengapa Muhammadiyah mampu berkembang dengan baik di kalangan
masyarakat Sulawesi Selatan dalam kurun waktu 1926-1942
Kata kunci: Muhammadiyah, Gerakan Modernis dan Sulawesi Selatan
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 2, 2014: 465 - 478
Pendahuluan
Memasuki awal abad ke-20, sejarah Indonesia ditandai oleh
dua hal yang sangat penting. Pertama, semakin menguatnya
kekuasaan Belanda di Indonesia. Pada awal abad ini Belanda telah
mampu menguasai hampir seluruh wilayah Indonesia. Oleh
Belanda, pengelolaan Indonesia sebagai daerah koloni diberikan
pada suatu badan pemerintahan yang disebut Pemerintah Hindia
Belanda. Badan ini dipimpin oleh seorang pejabat yang bernama
Gubernur Jenderal. Kedua, lahirnya kesadaran baru rakyat
bumiputera. Kesadaran baru ini lahir sebagai akibat dari semakin
banyaknya kaum terdidik memiliki pengetahuan yang luas. Dengan
pengetahuan yang luas itu, kaum terdidik mulai menyadari tentang
siapa mereka sebenarnya dan apa yang harus mereka lakukan demi
masa depan yang lebih baik. Dalam melihat masalah ini kaum
terdidik tersebut terpecah menjadi tiga golongan, yaitu Islam,1
sekuler2 dan komunis.3
Dalam rangka mewujudkan Indonesia yang berdasarkan pada
nilai-nilai Islam, kubu Islam sendiri terpecah pula menjadi dua
gerakan, yaitu gerakan Islam politik dan gerakan Islam sosial
keagamaan. Sarekat Islam merupakan gerakan Islam yang memilih
wilayah
politik sebagai wilayah gerakannya, sedangkan
Muhammadiyah merupakan gerakan Islam yang memilih wilayah
sosial kegamaan sebagai wilayah gerakannya.
Muhammadiyah lahir pada tanggal 18 November 1912,
bertepatan dengan tanggal 8 Dzulhijjah 1330 H, atas prakarsa K.H.
Ahmad Dahlan dan kawan-kawannya di Yogyakarta.4
1
Menurut golongan Islam, bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang
maju, apabila mereka kembali mempelajari dan mengamalkan ajaran Islam
dengan baik.
2
Menurut golongan Sekuler, bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang
mau, apabila bangsa Indonesia mau meninggalkan agama dan menjadikan
kekuatan pikiran sebagai dasar kemajuan bangsa.
3
Menurut golongan komunis, bangsa Indonesia bisa menjadi bangsa yang
maju, apabila bangsa Indonesia menjadikan ajaran komunis sebagai dasar
kemajuan bangsa.
4
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta:
LP3ES, 1996), h. 84. Syarifuddin Jurdi, dkk., ed., 1 Abad Muhammadiyah:
466
Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi Selatan 1926-1942— Darmawijaya dan Irwan Abbas
Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu berkeyakinan bahwa
kemunduran umat Islam, karena kehidupan umat Islam sudah jauh
dari konsep Islam yang sebenarnya. Kehidupan umat Islam sangat
dipengaruhi oleh tahayul, bid’ah, dan khurafat. Kemajuan umat
Islam hanya bisa dicapai apabila umat Islam betul-betul
mengamalkan ajaran Islam yang murni, yaitu ajaran Islam yang
bersumberkan pada Al-Qur’an dan sunnah Rasulullah yang shahih.5
Dalam upaya menyebarkan pikiran-pikirannya sebagai gerakan
pembaharu, Muhammadiyah bermaksud mendirikan lembagalembaga pendidikan, mengadakan rapat-rapat dan tabligh-tabligh
dimana dibicarakan masalah-masalah Islam, mendirikan wakaf dan
mesjid-mesjid serta menerbitkan buku-buku, brosur-brosur, suratsurat kabar dan majalah-majalah. K.H. Ahmad Dahlan selaku
pendiri Muhammadiyah, aktif dalam memberikan bimbingan
kepada masyarakat untuk melakukan berbagai macam kegiatan
seperti sholat, dan dalam memberikan bantuan kepada fakir miskin
dengan mengumpulkan dana dan pakaian untuk mereka.6
Pada bulan Juni
1925 Haji Rasul berhasil mendirikan
Muhammadiyah Cabang Sungai Batang Sumatera Barat. Ini
merupakan Cabang Muhammadiyah yang pertama di luar Jawa.
Satu tahun kemudian, tepatnya tanggal 2 Juli 1926, berdiri pula
Muhammadiyah Cabang Makassar sebagai cabang pertama yang
Gagasan Pembaharuan Sosial Keagamaan, (Jakarta: Kompas, 2010), h. 26.
Syarifuddin Jurdi, Muhammadiyah Dalam Dinamika Politik Indonesia 19662006, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), h. 80. Nadjamuddin Ramly dan Heri
Sucipto, Ensiklopedi Tokoh Muhammadiyah: Pemikiran dan Kiprah Dalam
Panggung Sejarah Muhammadiyah, (Jakarta: Best Media, 2010), h. 31. M.
Mukhsin Jamil, dkk., Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala Muhammadiyah,
al-Irsyad, Persis dan NU, (Cirebon: Fahmina Institute, 2008), h. 29.Khalimi,
Ormas-Ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan Politik, (Jakarta: Gaung Persada
Press, 2010), h. 308. M.C. Ricklefs, Sejarah Indonesia Modern, (Yogyakarta:
UGM Press, 1998), h. 259.
5
Tim Pembina Islam dan Kemuhammadiyahan Unismuh Malang,
Muhammadiyah: Sejarah, Pemikiran dan Amal Usaha, (Yogyakarta: Tiara
Wacana dan Unismuh Malang Press, 1990), h. 39.
6
Deliar Noer, Gerakan Modern Islam.... , h. 87.
467
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 2, 2014: 465 - 478
ada diluar Jawa dan Sumatera.7 Muhammadiyah Cabang Makassar
berhasil berdiri berkat jasa dari Mansyur Yamani, seorang
pedagang batik keturunan Arab yang berasal dari Sumenep Madura
dan Haji Abdullah, mantan pengurus Shirathal Mustaqim.8
Setelah berdirinya Muhammadiyah Cabang Makassar pada
tahun 1926, gerakan Muhammadiyah sebagai gerakan pembaharu
mulai menyebar ke berbagai daerah yang ada di Sulawesi Selatan.
Pada tahun 1937, Muhammadiyah di Sulawesi Selatan telah
memiliki 6 cabang dan 66 grup, jumlah ini meningkat tiga kali lebih
banyak dibandingkan dengan tahun 1932. Pada akhir tahun 1941,
jumlah anggotanya mencapai 6000 orang, dan 2000 orang
diantaranya adalah wanita. Selain itu, Muhammadiyah juga
memiliki organisasi kepanduan Hizbul Wathan yang beranggotakan
1000 orang.9
Selain itu, perlu pula diketahui bahwa pada awal abad ke-20 di
Sulawesi Selatan telah berdiri beberapa organisasi Islam modernis.
Di antaranya adalah gerakan Al-Jam’iyatul Mardhiyah, Sarekat
Islam dan Ash-Shiratal Mustaqim. Namun ke tiga organisasi ini
tidak dapat berkembang dengan baik di Sulawesi Selatan.
Berbeda dengan Muhammadiyah, walaupun organisasi ini agak
terlambat masuk ke wilayah Sulawesi Selatan, yakni pada tahun
1926. Namun Muhammadiyah mampu menarik perhatian kaum
pedagang, kaum ulama dan kaum bangsawan, bahkan
Muhammadiyah mampu menarik sebagian orang keturunan Arab
untuk menjadi kadernya. Di tangan mereka, Muhammadiyah yang
pada awalnya hanya ada di kota Makassar, namun kemudian
mampu berkembang ke berbagai kota di pedalaman Sulawesi
Selatan.
7
Mustari Bosra, Tuan Guru, Anrong Guru dan Daeng Guru: Gerakan
Islam di Sulawesi Selatan 1914-1942, (Makassar: La Galigo Press, 2008), h.
117.
8
Abdul Wahab Radjab, Lintasan Perkembangan dan Sumbangan
Muhammadiyah di Sulawesi Selatan, (Jakarta: Warna Indonesia, 1999), h. 13.
9
Edward L. Poelinggomang dan Suriadi Mappangara, Sejarah Sulawesi
Selatan Jilid II, (Makassar: Balitbangda Propinsi Sulawesi Selatan, 2005), h. 68.
468
Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi Selatan 1926-1942— Darmawijaya dan Irwan Abbas
Islam di Sulawesi Selatan Sebelum Masuknya Muhammadiyah
Islam mulai menancapkan pengaruhnya di Sulawesi Selatan
ketika Raja Tallo, Karaeng Matoaya menyatakan diri masuk Islam
pada tanggal 22 September 1605, kemudian diikuti oleh Raja
Makassar, I Mangarangi Daeng Manrabia. Setelah masuk Islam,
Raja Tallo diberi gelar Sultan Abdullah Awwalul Islam dan Raja
Makassar diberi gelar Sultan Alauddin.10
Pada tanggal 9 November 1607, Sultan Alauddin menjadikan
Islam sebagai agama kerajaan Makassar. Setelah Islam resmi
diterima sebagai agama kerajaan, maka Sultan Alauddin mulai
menyebarkan agama Islam kepada kerajaan-kerajaan tetangga.
Tindakan sultan ini didasari oleh sebuah perjanjian yang telah
disepakati oleh raja-raja Sulawesi Selatan sebelumnya. Perjanjian
itu berbunyi: “… bahwa barang siapa menemukan jalan yang lebih
baik, maka ia berjanji akan memberitahukan (tentang jalan yang
benar itu) kepada raja-raja sekutunya…”11
Sebelum memasuki tahun 1620-an, hampir seluruh kerajaan
yang ada di Sulawesi Selatan sudah masuk Islam. Walaupun
kerajaan-kerajaan telah menerima Islam, tetapi bukan berarti Islam
akan mewarnai kehidupan kerajaan beserta rakyatnya. Kehadiran
Islam di Sulawesi Selatan hanyalah sebagai pelengkap dari adatistiadat yang telah berkembang sebelumnya. Di samping itu, hal ini
juga disebabkan oleh pola Islamisasi yang dilakukan oleh ulamaulama sufi yang cenderung bersikap toleran terhadap adat-istiadat
10
Irwan Abbas, Bulan sabit di Pulau Phinisi: Suatu Studi Pengaruh Islam
Terhadap Sistem Sosial di Kerajaan Gowa 16-05-1669, (Yogyakarta: Tesis S2
UGM, 2001), h. 146. Suriadi Mappangara dan Irwan Abbas, Sejarah Islam di
Sulawesi Selatan, (Makassar: Biro KAPP Setda Propinsi Sulawesi Selatan dan
Lamacca Press, 2003), h. 79.
11
Ahmad M. Sewang, Islamisasi Kerajaan Gowa Abad XVI Sampai Abad
XVII, (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 2005), h. 112. Abdul Razak Daeng
Patunru, Sejarah Bone (Ujung Pandang: YKSS, 1995), h. 93. Suriadi
Mappangara dan Irwan Abbas, Op. Cit., h. 89. Menurut Dr. Suriadi Mappangara,
perjanjian ini tidak ada ditemui dalam lontara. Ada kemungkinan bahwa ini
bukanlah sebuah perjanjian resmi, akan tetapi lebih merupakan sebuah pesan
moral yang dimaklumi bersama tanpa adanya sebuah perjanjian tertulis.
469
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 2, 2014: 465 - 478
setempat. Dalam berdakwah mereka tidak menyerang adat-istiadat,
tetapi mereka berusaha beradaptasi dengannya, sehingga Islam dan
adat-istiadat berjalan secara berbarengan.
Dalam khasanah masyarakat Bugis-Makassar, Islam hanyalah
sebagai pelengkap atas pranata sosial yang sudah ada,
pangadereng (Bugis) dan pangadakkang (Makassar). Islam yang
disebut sebagai sara’
merupakan salah satu bagian
dari
pangadereng atau pangadakkang. Dengan demikian, kehadiran
sara’ tidak terlalu banyak mengubah nilai-nilai, kaidah-kaidah
kemasyarakatan dan kebudayaan yang ada. Apa yang dibawa oleh
Islam pada mulanya hanyalah urusan-urusan ubudiyah dan tidak
mengubah lembaga-lembaga dalam kehidupan masyarakat yang
ada, utamanya lembaga-lembaga sosial yang menyangkut
kehidupan politik sesuai dengan pangadereng.12 Suasana ini
bertahan hingga awal abad ke-20.
Pada awal abad ke-20, Sulawesi Selatan mulai dimasuki oleh
gerakan Islam modernis. Secara nasional, gerakan Islam modernis
ini berasal dari Jawa, namun ide-idenya berasal dari Timur Tengah.
Jamiyatul Mardiyah, Sarekat Islam dan Shirathal Mustaqim adalah
gerakan Islam modernis awal di Sulawesi Selatan.
Jamiyatul Mardhiyah adalah organisai modernis awal yang
lahir di Sulawesi Selatan, namun organisasi ini tidak mampu
membangun eksistensinya. Memasuki tahun 1930-an, tidak ada
kabar tentang kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh Jamiyatul
Mardiyah. Ketika Persatuan Arab Indonesia (PAI) Makassar
berdiri pada tahun 1936, banyak pengurusnya adalah mantan
pengurus Jamiyatul Mardhiyah.13 Jamiyatul Mardhiyah tidak
berkembang di Sulawesi Selatan dapat dipahami, karena organisasi
ini lebih bersifat kesukuan, yaitu menghimpun orang-orang
keturunan Arab.
Sarekat Islam didirikan di Solo pada tahun 1905 oleh Haji
Samanhudi. Sarekat Islam masuk ke Sulawesi Selatan pada tahun
1913. Puncak perkembangan Sarekat Islam adalah tahun 1921.
12
Taufik Abdullah, ed., Agama dan Perubahan Sosial, (Jakarta: Rajawali
Press, 1983), h. 234.
13
Mustari Bosra, Tuan Guru..., h. 96.
470
Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi Selatan 1926-1942— Darmawijaya dan Irwan Abbas
Setelah itu Sarekat Islam mulai dilanda konflik internal, karena
terlibat konflik internal. Akibat dari konflik internal ini, maka pada
tahun 1923, Sarekat Islam mulai mengalami kemunduran di
Sulawesi Selatan. Tokoh-tokoh Sarekat Islam yang tidak suka
dengan gerakan politik praktis menyatakan diri keluar dari Sarekat
Islam. Di antaranya adalah Haji Abdullah dari Sarekat Islam
Makassar dan Muhammad Daeng Boko dari Sarekat Islam Selayar.
Dalam perkembangan kemudian, kedua tokoh ini lebih memilih
aktif sebagai penggerak Muhammadiyah. Dalam bidang kegiatan
pendidikan, pada tahun 1921, Sarekat Islam berhasil mendirikan
sekolah swasta pertama di luar yang didirikan oleh Zending dan
Misionaris, akan tetapi perkembangan sekolah ini juga tidak jelas.14
Shirathal Mustaqim adalah organisasi Islam lokal di Sulawesi
Selatan yang berdiri pada tahun 1923. Shirathal Mustaqim adalah
gerakan pembaharu lokal yang didirikan oleh Haji Abdul Razak
dan kawan-kawan di Kampung Butung Makassar. Mereka adalah
mantan anggota Sarekat Islam yang tidak puas dengan gerakan
sarekat Islam yang bergerak dalam bidang
politik. Dalam
perkembangannya, gerakan Ash-Shiratal Mustaqim juga tidak
begitu eksis, karena dilanda konflik internal. Selain itu, Shirathal
Mustaqim tidak konsisten sebagai gerakan pembaharu, karena
gerakan ini banyak mentoleril kebiasaan-kebiasaan tradisional yang
sangat ditentang oleh Muhammadiyah.15 Organisasi ini juga tidak
mampu membangun eksistensinya dengan baik. Hingga
berakhirnya kekuasaan Belanda pada tahun 1942, Shirathal
Mustaqim hanya berkembang di beberapa daerah di Sulawesi
Selatan, di antaranya adalah Makassar dan Gowa. Ketika Jepang
masuk, organisasi ini dibekukan oleh pemerintah Jepang dan ketika
Indonesia merdeka pada tahun 1945, organisasi ini juga tidak
mampu bangkit lagi.16
Berbeda dengan Muhammadiyah, walaupun organisasi ini agak
terlambat masuk ke wilayah Sulawesi Selatan, yakni pada tahun
1926, namun Muhammadiyah mampu menarik perhatian kaum
14
15
16
Mustari Bosra, Tuan Guru.., h. 105-106 dan 109.
Mustari Bosra, Tuan Guru.., h. 114.
Mustari Bosra, Tuan Guru.., h. 110-132.
471
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 2, 2014: 465 - 478
pedagang, kaum ulama dan kaum bangsawan, bahkan
Muhammadiyah mampu menarik sebagian orang keturunan Arab
untuk menjadi kadernya. Di tangan mereka, Muhammadiyah yang
pada awalnya hanya ada di kota Makassar, namun kemudian
mampu berkembang ke berbagai kota di pedalaman Sulawesi
Selatan. Selain itu, Muhammadiyah juga berhasil dalam membina
amal usahanya dalam bentuk pengadaan tabligh-tabligh, pendirian
lembaga pendidikan, pendirian rumah yatim dan pendirian
poliklinik sebagai lembaga kesehatan. Berkat dukungan masyarakat
dan atas kemampuan Muhammadiyah dalam membangun jaringan
organisasi, serta mengembangkan amal usaha sehingga
Muhammadiyah mampu berkembang dengan baik di kalangan
masyarakat Sulawesi Selatan.
Berdasarkan laporan konsul
Muhammadiyah Sulawesi Selatan pada konferensi ke-16 tahun
1941 di Sengkang, Muhammadiyah telah memiliki 7000 anggota
resmi dan 30.000 simpatisan.17 Perkembangan ini tidak sebanding
dengan organisasi Islam modernis lainnya.
Masuk dan Berkembangnya Muhammadiyah di Sulawesi
Selatan
Membicarakan awal kehadiran Muhammadiyah di Makassar
harus dimulai dari kedatangan Mansyur al-Yamani di Makassar
tahun 1924. Al-Yamani dikenal sebagai seorang pedagang batik,
yang membuka toko di Passar Straat (sekarang jalan Nusantara)
Makassar.18
Al-Yamani dilahirkan di Sumenap, Madura, sekitar tahun
1898. Ayahnya adalah orang Madura keturunan Arab. Di Sumenap,
al-Yamani kecil belajar agama kepada ayahnya sendiri dan kepada
beberapa orang Kyai, di samping belajar di sekolah pemerintah.
17
Abdul Wahab Radjab, Lintasan Perkembangan dan Sumbangan
Muhammadiyah di Sulawesi Selatan, (Jakarta: Warna Indonesia, 1999), h. 66.
Mustari Bosra, Tuan Guru..., h. 128-129. Dalam catatan Mustari Bosra dijelaskan
bahwa sebelum kongres, Muhammadiyah Sulawesi Selatan hanya memiliki dua
Cabang dan 15 Groep, dan setelah kongres, Muhammadiyah Sulawesi Selatan
memiliki enam cabang dan 76 groep.
18
Ibid, h. 117. Andi Muawiyah Ramly,dkk., Demi Ayat Tuhan: Upaya
KPPSI Menegakkan Syariat Islam,(Jakarta: OPSI, 2006), h. 96.
472
Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi Selatan 1926-1942— Darmawijaya dan Irwan Abbas
Sebelum hijrah ke Makassar, al-Yamani menetap di Surabaya.
Ketika Muhammadiyah Cabang Surabaya terbentuk, ia termasuk
salah seorang anggotanya. Sebagai warga Muhammadiyah, alYamani aktif belajar kepada K.H. Mas Mansyur, Voorsitter
Muhammadiyah Cabang Surabaya.19
Sejak masih di Surabaya, al-Yamani telah aktif menjadi
muballigh Muhammadiyah. Setelah hijrah ke Makassar, ia terus
menjalankan kegiatannya sebagai muballigh, di samping profesinya
sebagai pedagang. Sebagai muballigh yang berorientasi pada
pembaharuan, al-Yamani menjalin hubungan dengan para pengurus
dan anggota As-Shirathal Mustaqim, yang pada umumnya juga
bekerja sebagai pedagang. Sebagai sama-sama berorientasi pada
gerakan pembaharuan, kehadiran al-Yamani sangat dihormati oleh
para pengurus As-Shirathal Mustaqim. Mereka sering terlibat dalam
berbagai kegiatan diskusi. Dalam kegiatan diskusi itulah, alYamani memperkenalkan perkumpulan Muhammadiyah kepada
para pengurus dan anggota As-Shirathal Mustaqim.20
Setelah lebih kurang tiga tahun, al-Yamani memperkenalkan
Muhammadiyah kepada para pengurus dan anggota As-Shirathal
Mustaqim, akhirnya ada beberapa orang pengurus dan anggota AsShirathal Mustaqim yang menyatakan diri keluar dari As-Shirathal
Mustaqim dan kemudian berkeinginan untuk mendirikan
Muhammadiyah Cabang Makassar. Mereka itu adalah Haji
Abdullah dan kawan-kawannya. Sebagaimana dijelaskan
sebelumnya, bahwa ditubuh As-Shirathal Mustaqim terdapat dua
kubu, yaitu kubu Haji Abdul Razak dan kubu Haji Abdullah. Kubu
Haji Abdul Razak lebih toleran kepada tradisi-tradisi yang
berkembang dalam masyarakat, sedangkan kubu Haji Abdullah
berkeinginan kuat untuk berpegang teguh pada Al Qur’an dan
Hadis, sehingga mereka menolak tradisi-tradisi yang tidak ada
dalilnya dalam Al Qur’an dan Hadis. Atas dasar inilah, ketika alYamani datang memperkenalkan Muhammadiyah, maka kubu Haji
Abdullah sangat tertarik, karena paham yang dikembangkan oleh
19
20
Mustari Bosra, Tuan Guru.., h. 117.
Mustari Bosra, Tuan Guru.., h. 118.
473
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 2, 2014: 465 - 478
Muhammadiyah sejalan dengan paham yang dimiliki oleh Haji
Abdullah dan kawan-kawannya.21
Setelah mengetahui akan adanya keinginan dari kubu Haji
Abdullah untuk bergabung dan mendirikan Muhammadiyah cabang
Makassar, maka al-Yamani segera menyampaikan berita gembira
kepada Hoofdbestuur Muhammadiyah di Yogyakarta. Penyampaian
ini disambut baik oleh Hoofdbestuur Muhammadiyah. Setelah
memperoleh restu dari Hoofdbestuur Muhammadiyah, maka pada
malam 15 Ramadhan 1344 H, yang bertepatan dengan 27 April
1926, diadakan rapat pembentukan perkumpulan Muhammadiyah
di Makassar. Rapat itu diadakan di rumah Haji Muhammad Yusuf
Daeng Mattiro yang terletak di Passartraat Makassar. Rapat yang
diprakarsai oleh Mansur al-Yamani, Haji Muhammad Yusuf
Daeng Mattiro, dan Haji Abdullah itu dihadiri sekitar 20 orang
calon anggota Muhammadiyah, yang terdiri atas para pengurus,
anggota dan simpatisan As-Shirathal Mustaqim, atau kubu Haji
Abdullah, yang pada umumnya adalah jamaah Masjid Kampung
Butung.22
Rapat tersebut berhasil membentuk pengurus Muhammadiyah
Group Makassar, dengan susunan sebagai berikut:
Voorsitter
: Haji Muhammad Yusuf Daeng Mattiro
Vice Voorsitter : Haji Abdullah
Secretaris
: Muhammad Said Daeng Sikki
Penningmeester : Haji Yahya
Commisaris
: Mansyur al-Yamani
Muhammad Tahir Cambang
Haji Ahmad
Abdul Karim Daeng Tunru
Muhammad Saleh
Daeng Minggu.23
21
Ibid. Andi Muawiyah Ramly, dkk., Loc. Cit., h. 96.
Mustari Bosra, Tuan Guru.., h. 118. Taufik Abdullah, ed., Agama..., h.
262-263. Robert W. Hefner dan Patricia Horvatich, Islam di Era Negara
Bangsa; Politik dan Kebangkitan Agama Muslim Asia Tenggara, (Yogyakarta:
Tiara Wacana, 2001), h. 310.
23
Mustari Bosra, Tuan Guru.., h. 119.
22
474
Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi Selatan 1926-1942— Darmawijaya dan Irwan Abbas
Pada tanggal 2 Juli 1926, Muhammadiyah Groep Makassar
berubah status menjadi Muhammadiyah Cabang Makassar.
Pelantikan pengurus Muhammadiyah Cabang Makassar dilakukan
oleh Haji Muhammad Yunus Anis atas nama Hoofbestuur
Muhammadiyah. Setelah pelantikan selesai, Haji Muhammad
Yunus Anis tinggal beberapa hari di Makassar dalam rangka
memberikan arahan dan bimbingan. Dengan adanya arahan dan
bimbingan ini, pengurus Muhammadiyah Cabang Makassar
diharapkan mampu mengembangkan organisasi Muhammadiyah
sebagai gerakan pembaharu.24
Pengurus Muhammadiyah Cabang Makassar adalah para
pedagang, kecuali Daeng Minggu, yang bekerja sebagai mandor
kepala pelabuhan Makassar. Di antara mereka ada yang berprofesi
sebagai pedagang kain, akan tetapi kebanyakan dari mereka adalah
bekerja sebagai pedagang hasil bumi, yang waktu itu lebih populer
dengan istilah producten handelaar. Mereka membuka usaha
dagangnya di Kampung Butung, Makassar. Sebagai pedagang,
mereka memiliki relasi dagang masing-masing dengan para
pedagang yang ada di pedalaman Sulawesi Selatan. Hubungan
dagang itu telah terbina sejak lama, jauh sebelum Muhammadiyah
masuk ke Makassar.25
Setelah Muhammadiyah Cabang Makassar terbentuk,
Muhammadiyah Cabang Makassar mendapat amanah dari
Hoofdbestuur Muhammadiyah untuk menyebarkan Muhammadiyah
ke seluruh wilayah Sulawesi Selatan dan daerah-daerah yang ada di
sekitarnya. Dengan amanah ini, pengurus Muhammadiyah Cabang
Makassar
semakin
bersemangat
dalam
mengenalkan
Muhammadiyah kepada para relasi dagangnya.26
Dalam waktu yang tidak begitu lama gerakan Muhammadiyah
sebagai gerakan pembaharu mulai menyebar ke berbagai daerah
yang ada di Sulawesi Selatan, seperti Rappang (1928), Pinrang
(1930), Pare-Pare (1929), Majene (1929), Soppeng (1928),
Sengkang (1928) Pangkajene (1928), Maros (1929), Barru (1930),
24
Mustari Bosra, Tuan Guru.., h. 119.
Abdul Wahab Radjab, Lintasan Perkembangan..., h. 34.
26
Abdul Wahab Radjab, Lintasan Perkembangan..., h. 34
25
475
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 2, 2014: 465 - 478
Gowa (1928), Takalar (1930), Bantaeng (1927), Bulukumba
(1928), Sinjai (1928), Selayar (1930), Jeneponto (1933), Luwu
(1928), dan Enrekang (1933).27
Perkembangan baik yang dialami gerakan Muhammadiyah di
Sulawesi Selatan tidak dapat dilepaskan dari kemampuan
Muhammadiyah dalam mengembangkan amal usahanya dalam
berbagai bidang, seperti bidang dakwah, pendidikan, sosial dan
kesehatan. Di bidang dakwah dengan mengadakan tabligh-tabligh
dan mendirikan masjid/mushalla. Di bidang pendidikan dengan
mendirikan sekolah umum dan madrasah. Di bidang sosial dengan
mendirikan rumah anak yatim. Di bidang kesehatan dengan
mendirikan poliklinik.28
Dalam menjalankan misinya sebagai gerakan pembaharu di
Sulawesi Selatan, Muhammadiyah mengalami rintangan dari 3
kelompok masyakat, yaitu kaum adat, kaum Islam tradisional dan
sebahagian kaum bangsawan. 1) Kaum adat menuduh
Muhammadiyah sebagai gerakan yang akan mengubah adatistiadat, karena Muhammadiyah banyak menyerang tradisi-tardisi
yang berkembang di dalam masyarakat, seperti tradisi accera
kalompoang atau arajang. 2) Kaum Islam tradisional, menuduh
bahwa Muhammadiyah adalah gerakan yang akan merusak dan
mengubah-ubah agama Islam, karena Muhammadiyah melarang
masyarakat membaca talkin di kuburan, berkhotbah tidak
menggunakan bahasa Arab (menggunakan bahasa lokal), tidak ada
sholat zuhur setelah sholat Jum’at, tidak membaca qunut di waktu
subuh, sholat tarwih 11 rakaat, sholat Ied di tanah lapang, tidak ada
tahlilan, tidak ada kenduri pada hari-hari tertentu di rumah orang
yang kematian, dan sholat dengan memakai celana panjang tanpa
kopiah. 3) Kaum bangsawan menjadi sangat berhati-hati dengan
gerakan Muhammadiyah, karena Muhammadiyah memandang
semua manusia sama derajatnya di sisi Allah, hanya ketakwaan saja
yang membedakannya. Konsep ini secara tidak langsung telah
menyerang konsep strata sosial masyarakat Sulawesi Selatan yang
27
Abdul Wahab Radjab, Lintasan Perkembangan..., h. 34-58.
Abdul Wahab Radjab, Lintasan Perkembangan..., h. 19, Taufik Abdullah,
ed., Agama..., h. 265. Laporan Politik Celebes tahun 1935 dan 1936.
28
476
Sejarah Muhammadiyah di Sulawesi Selatan 1926-1942— Darmawijaya dan Irwan Abbas
menempatkan kaum bangsawan sebagai strata tertinggi dalam
masyarakat. Namun demikian, kaum bangsawan tidak serta merta
melarang gerakan Muhammadiyah, bahkan ada sebagian kaum
bangsawan yang tampil menjadi tokoh Muhammadiyah, seperti di
Bulukumba. Hanya di daerah Bone saja yang kaum bangsawannya
menolak secara tegas atas kehadiran gerakan Muhammadiyah.
Walaupun Muhammadiyah mendapat rintangan dari adat dan
kaum Islam tradisional, namun Muhammadiyah tetap berkembang
dengan baik di Sulawesi Selatan. Perkembangan yang baik ini tidak
dapat dilepaskan empat faktor berikut ini: 1) Muhammadiyah tidak
terlibat politik praktis; 2) Muhammadiyah memiliki kemampuan
organisasi yang baik; 3) Muhammadiyah konsisten dengan gerakan
pembaharuannya; dan 4) Peran para pedagang,
haji dan
bangsawan.
Penutup
Muhammadiyah masuk ke Makassar pada tahun 1926 yang
dibawa oleh Mansyur al-Yamani. Setelah berkembang di kota
Makassar, melalui para pedagang Muhammadiyah mulai memasuki
kota-kota di pedalaman Sulawesi Selatan. Berdasarkan laporan
konsul Muhammadiyah pada tahun 1941, Muhammadiyah di
Sulawesi Selatan telah memiliki 6 cabang dan 81 Ranting.
Berkembangnya Muhammadiyah di Sulawesi Selatan tidak dapat
dilepaskan dari beberapa faktor, yaitu: Muhammadiyah tidak
terlibat politik praktis; Muhammadiyah memiliki kemampuan
organisasi yang baik; Muhammadiyah konsisten sebagai gerakan
pembaharuan; Muhammadiyah didukung oleh kaum pedagang, para
haji, kaum bangsawan dan sebagian keturunan Arab; kemampuan
Muhammadiyah dalam mengembangkan amal usahanya.
Daftar Pustaka
Abbas, Irwan. 2001. Bulan Sabit di Pulau Phinisi: Suatu Studi
Pengaruh Islam Terhadap Sistem Sosial di Kerajaan Gowa 1605-1669, Yogyakarta: Tesis S2 UGM.
Abdullah, Taufik, ed. 1983. Agama dan Perubahan Sosial. Jakarta:
Rajawali Press.
477
Jurnal Lektur Keagamaan, Vol. 12, No. 2, 2014: 465 - 478
Bosra, Mustari. 2008. Tuan Guru, Anrong Guru dan Daeng Guru:
Gerakan Islam di Sulawesi Selatan 1914-1942, Makassar: La
Galigo Press.
Jamil, Mukhsin, dkk. 2008. Nalar Islam Nusantara: Studi Islam ala
Muhammadiyah, al-Irsyad, Persis dan NU. Cirebon: Fahmina
Institute.
Jurdi, Syarifuddin. 2010. Muhammadiyah Dalam Dinamika Politik
Indonesia 1966-2006. Yogyakarta: Pustaka Pelajar
____ dkk.,ed. 2010. Satu Abad Muhammadiyah: Gagasan
Pembaharuan Sosial Keagamaan. Jakarta: Kompas
Khalimi. 2010. Ormas-Ormas Islam: Sejarah, Akar Teologi dan
Politik, Jakarta: Gaung Persada Press.
Mappangara, Suriadi dan Irwan Abbas. 2003. Sejarah Islam di
Sulawesi Selatan, Makassar: Biro KAPP Setda Propinsi
Sulawesi Selatan dan Lamacca Press.
Noer, Deliar. 1996. Gerakan Modern Islam di Indonesia 19001942. Jakarta: LP3ES.
Patunru, Abdul Razak Daeng. 1995. Sejarah Bone. Ujung Pandang:
Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan
Poelinggomang, Edward L. dan Suriadi Mappangara. 2005.
Sejarah Sulawesi Selatan Jilid Idan II, Makassar: Balitbangda
Propinsi Sulawesi Selatan.
Radjab, Abdul Wahab. 1999. Lintasan Perkembangan dan
Sumbangan Muhammadiyah di Sulawesi Selatan, Jakarta:
IPPSDM Warna Indonesia.
Ramly, Andi Muawiyah, dkk. 2006. Demi Ayat Tuhan: Upaya
KPPSI Menegakkan Syariat Islam. Jakarta: OPSI
Ramly, Nadjamuddin dan Heri Sucipto. 2010. Eksiklopedi Tokoh
Muhammadiyah: Pemikiran dan Kiprah Dalam Panggung
Sejarah Muhammadiyah, Jakarta: Best Media.
Ricklefs, M.C. 1998. Sejarah Indonesia Modern, Yogyakarta:
UGM Press.
Robert W. Hefner dan Patricia Horvatich. 2001. Islam di Era
Negara Bangsa; Politik dan Kebangkitan Agama Muslim Asia
Tenggara, Yogyakarta: Tiara Wacana
478
Download