AKIBAT HUKUM PERJANJIAN WARALABA YANG DILAKUKAN

advertisement
AKIBAT HUKUM PERJANJIAN WARALABA YANG DILAKUKAN
SAAT PROSES PENDAFTARAN MEREK
Djarot Pribadi, SH., MH.1
ABSTRAK
Perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses pendaftaran merek hanya
mengikat para pihak yang membuatnya saja. Dengan demikian, mengakibatkan
tidak berlakunya perbuatan hukum yang dikehendaki oleh para pihak terhadap
pihak ketiga. Merek yang diajukan pendaftarannya akan tetapi ditolak/tidak
diterima oleh Ditjen HKI, tidak menjadikan batalnya perjanjian waralaba yang
dibuat, dengan syarat para pihak telah menyatakan hal ini dalam perjanjian.
Pembatalan hanya dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang dapat membuktikan
dirinya secara sah menjadi pemegang hak atas merek dari objek yang
diwaralabakan.
Kata Kunci : Perjanjian Waralaba, Pendaftaran Merek, Akibat Hukum.
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dewasa ini salah satu jenis indirect investment yang banyak
bermunculan di kalangan masyarakat adalah lisensi dan waralaba dengan segala
macam variasinya. Memang tidak ada bisnis yang bisa dijamin 100% aman dan
menguntungkan, tetapi melalui lisensi dan waralaba diharapkan menjadikan
peluang bisnis yang menjanjikan dan bisa mengurangi faktor risiko kerugian.
Pengertian lisensi menurut Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
adalah izin yang diberikan pemilik merek terdaftar kepada pihak lain melalui
suatu perjanjian berdasarkan pada pemberian hak (bukan pengalihan hak) untuk
menggunakan merek tersebut, baik seluruh atau sebagian jenis barang dan/atau
jasa yang didaftarkan dalam jangka waktu tertentu dan syarat tertentu.
Melalui lisensi pihak yang tidak memiliki HAKI dapat melakukan suatu
perbuatan ataupun tindakan atas kekayaan intelektual tersebut, tentunya dengan
bentuk perizinan serta syarat-syarat yang mengikutinya dari yang mempunyai hak.
Tanpa adanya izin perbuatan atau tindakan tersebut dapat dikatakan tidak sah dan
melawan hukum.
Waralaba berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor
16 Tahun 1997 adalah perikatan di mana salah satu pihak diberikan hak untuk
memanfaatkan dan atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau
penemuan atau ciri khas usaha yang dimiliki pihak lain dengan suatu imbalan
berdasarkan persyaratan yang ditetapkan pihak lain tersebut, dalam rangka
penyediaan dan atau penjualan barang dan jasa.
Sedangkan menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 42
Tahun 2007, waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan
atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka
memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat
1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
87
Djarot Pribadi, SH., MH.: Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang
dilakukan saat Proses Pendaftaran Merek.
88
dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian
waralaba.
Jenis usaha ini memberikan banyak kemudahan dan peluang terutama
bagi para pebisnis pemula. Bahkan, berdasarkan International Franchise
Association (IFA, 2003), pada 2000 kebanyakan analis memperkirakan bahwa
perusahaan pemberi waralaba (franchisor) dan penerima waralaba (franchisee)
mencapai US$1 triliun dalam penjualan eceran tahunan di Amerika Serikat dari
320.000 usaha kecil yang diwaralabakan dalam 75 industri. Selain itu,
pewaralabaan dikatakan mencapai lebih dari 40% dari seluruh penjual eceran di
Amerika Serikat. Analis industri memperkirakan bahwa pewaralabaan
mempekerjakan lebih dari 8 juta orang, setiap outlet waralaba yang baru dibuka di
suatu tempat di Amerika Serikat setiap 8 menit, dan kira-kira 1 dari setiap 12
pendirian usaha eceran merupakan usaha waralaba.2
Objek dari trade mark/trade name franchise adalah merek. Merek
merupakan benda bergerak yang tidak berwujud yang mempunyai nilai komersial
sangat tinggi dan dapat dijadikan aset bisnis dalam suatu perusahaan. Sebagai
bagian dari Hak Kekayaan Intelektual (HKI), merek dikatagorikan dalam
industrial property.
Pemilik merek memperoleh perlindungan hukum dengan syarat utama
melakukan pendaftaran merek, baik lingkup nasional maupun internasional.
Selain itu, diperlukan pengetahuan yang luas mengenai sistem hukum yang
mengatur aset HAKI.
UU No. 15 Tahun 2001 tentang Merek, dalam Bab IV mengatur proses
dan jangka waktu suatu permohonan pendaftaran merek. Dari beberapa tahapan
yang harus dilewati, suatu merek baru bisa terdaftar dan dapat diterbitkan
sertifikat mereknya oleh Kantor Merek kurang lebih 14 (empat belas) bulan lewat
10 (sepuluh) hari, yaitu dihitung dari awal permohonan pendaftaran, dengan
catatan tidak ada kendala yang berupa keberatan-keberatan dari pihak lain.
Bahkan dalam praktik yang sering terjadi, waktu tersebut bisa lebih lama lagi.
Waktu yang cukup lama tersebut dapat menjadikan hambatan dalam
proses bisnis yang semestinya bisa dilaksanakan oleh calon pemegang merek,
karena hak merek baru timbul setelah dikabulkannya permohonan pendaftaran
merek yang bersangkutan, di sisi lain pelaksanaan waralaba di Indonesia
sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah RI Nomor 16 tahun 1997
menyatakan bahwa setiap perjanjian waralaba didaftar di Departemen
Perindustrian dan Perdagangan, bahkan dalam Peraturan pemerintah RI Nomor 42
Tahun 2007, pendaftaran waralaba adalah wajib sifatnya.
Apakah dengan adanya aturan ini akan menjadi hambatan bagi pemula
bisnis waralaba, mengingat seringkali pemilik merek baru merasa perlu
mendaftarkan mereknya setelah dalam pelaksanaan bisnis di lapangan ternyata
produk yang dihasilkannya banyak diminati oleh banyak pihak dan kemudian
muncul berbagai tawaran untuk melakukan kerjasama.
Rumusan Masalah
2
Imam SjahputraTunggal, Sukses Melalui Waralaba, Harvarindo, Jakarta, 2005, h. iii
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011
Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Djarot Pribadi, SH., MH.: Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang
dilakukan saat Proses Pendaftaran Merek.
89
a. Apakah perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat masih dilakukan
pendaftaran mereknya mempunyai kekuatan mengikat?
b. Apakah akibat hukum dari perjanjian waralaba tersebut bilamana ditolak
pendaftaran mereknya?
PEMBAHASAN
A. Kekuatan Mengikat Perjanjian Waralaba yang Dilakukan Saat Proses
Pendaftaran Merek
Waralaba (franchise) merupakan suatu perikatan yang timbul karena
perjanjian antara franchisor dan franchisee. Hukum perikatan ditandai dengan asas
kebebasan berkontrak (freedom of contract), yaitu kewenangan menurut pemikiran sendiri untuk mengadakan hubungan-hubungan hukum. Dengan asas kebebasan
berkontrak orang dapat menciptakan perjanjian-perjanjian baru yang dikenal dalam
Perjanjian Bernama dan isi menyimpang dari Perjanjian Bernama yang diatur
Undang-Undang3
Kebebasan berkontrak itu sendiri mengandung unsur-unsur sebagai
berikut:
1. Kebebasan untuk mengadakan perjanjian.
2. Kebebasan untuk tidak mengadakan perjanjian.
3. Kebebasan untuk mengadakan perjanjian dengan siapa pun.
4. Kebebasan untuk menentukan sendiri isi maupun syarat-syarat perjanjiannya.
Asas kebebasan berkontrak mendapatkan dasar eksistensinya dalam
rumusan angka 4 pasal 1320 BW, dengan asas kebebasan berkontrak ini para pihak
yang membuat dan mengadakan perjanjian diperbolehkan untuk menyusun dan
membuat kesepakatan atau perjanjian yang melahirkan kewajiban apa saja, selama
prestasi yang wajib dilakukan tersebut bukanlah sesuatu yang terlarang. Ketentuan
pasal 1337 BW menyatakan bahwa “suatu sebab adalah terlarang, apabila
dilarang oleh undang-undang, atau apabila berlawanan dengan kesusilaan baik atau
ketertiban umum” memberikan gambaran umum kepada kita semua, bahwa pada
dasarnya semua perjanjian dapat dibuat dan diselenggarakan oleh setiap orang.
Hanya perjanjian yang mengandung prestasi atau kewajiban pada salah satu pihak
yang melanggar undang-undang kesusilaan dan ketertiban umum saja yang
dilarang.4
Berangkat dari pemikiran mengenai asas kebebasan berkontrak tersebut,
dapat ditafsirkan bahwa pembuatan perjanjian waralaba pada saat proses
pendaftaran merek sah-sah saja dilakukan, selama para pihak saling sepakat. Tentu
saja dengan syarat para pihak juga mengetahui apa akibat hukumnya bilamana
pendaftaran mereknya di kemudian hari ditolak. Transparansi keadaan objek yang
diperjanjikan dalam suatu kontrak mutlak diketahui oleh para pihak, hal tersebut
juga harus dituangkan dalam klausula perjanjian.
Selain klausula umum yang biasa dicantumkan dalam perjanjian
waralaba, klausula lainnya yang harus dicantumkan juga dalam perjanjian adalah
bahwa bilamana di kemudian hari ternyata pendaftaran mereknya ditolak maka apa
3
J Satrio, Hukum Perikatan: Perikatan Pada Umumnya, Cetakan Pertama, Alumni
Bandung, 1993, h.43
4
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian, PT.
RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006, h.46
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011
Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Djarot Pribadi, SH., MH.: Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang
dilakukan saat Proses Pendaftaran Merek.
90
yang harus dilakukan oleh para pihak. Hal tersebut menjadi salah satu hal penting
yang harus dinyatakan secara tegas dalam perjanjian, sebab berkaitan dengan
kelanjutan dari pemenuhan perjanjian itu sendiri. Sebagai contoh, dapat diberikan
klausula bilamana di kemudian hari merek yang dimohonkan franchisor tersebut
ditolak pendaftarannya oleh yang berwenang, maka franchisee bersedia untuk
menggunakan merek baru yang diajukan oleh franchisor.
Dalam hal merek yang menjadi objek perjanjian waralaba masih dalam
proses pendaftaran, maka pihak franchisor sudah selayaknya memberikan bukti
kepada franchisee, bahwa dia benar-benar telah mengajukan permohonan
pendaftaran merek, yaitu dengan menyertakan tanda bukti/register pendaftaran
mereknya. Dengan disertakan tanda bukti tersebut setidak-tidaknya
menggambarkan bahwa franchisor memang beritikad baik dalam perjanjian
waralaba tersebut.
Salah satu yang dapat menjadi pertimbangan untuk perjanjian waralaba
yang dilakukan pada saat proses pendaftaran merek adalah tidak memakai judul
atau irah-irah “waralaba” dalam perjanjian tersebut, lebih baik digunakan istilah
yang umum yaitu “perjanjian kerjasama” saja. Adapun isi dari perjanjian
kerjasama tersebut tetap memuat materi mengenai waralaba. Judul suatu perjanjian
itu sendiri telah memberikan penafsiran dan gambaran secara langsung mengenai
apa isi dan maksud dari perjanjian tersebut. Menurut Irawan Soerodjo, judul suatu
akta memang penting, namun bukanlah segala-galanya. Oleh sebab itu, sebaiknya
judul bersifat umum saja sehingga tidak ada permasalahan hukum yang serius
antara judul dan substansinya. Waralaba itu sendiri pada prinsipnya adalah suatu
perjanjian kerjasama yang diformulasikan sedemikian rupa dengan campur tangan
pemerintah melalui peraturannya sehingga terciptalah aturan-aturan dan prinsipprinsip mengenai waralaba.
Pemakaian istilah waralaba itu sendiri memiliki nilai jual tersendiri
sehingga lebih mudah untuk menarik minat investor, daripada dengan hanya
memakai istilah perjanjian kerjasama, walaupun materi yang dituangkan dalam
kontrak tersebut bisa dibuat sama. Memang sampai saat ini tidak ada pihak yang
melarang penggunaan istilah waralaba dalam dunia bisnis, apakah bisnis tersebut
benar-benar bisnis waralaba yang sebenarnya atau hanya bisnis waralaba semu
yang meminjam istilah waralaba supaya lebih mempunyai nilai jual. Namun
dengan memperhatikan pasal-pasal yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah
RI Nomor 42 Tahun 2007, menunjukkan pemerintah ingin mulai membenahi bisnis
ini secara lebih serius, sehingga tidak menutup kemungkinan di kemudian hari
melarang pemakaian istilah waralaba untuk bisnis yang tidak memenuhi kriteria
sebagai suatu waralaba.
Pada perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses pendaftaran
merek, ada unsur yang belum bisa terpenuhi untuk bisa dilaksanakan perjanjian
waralaba pada umumnya, yaitu unsur merek itu sendiri. Ketika kita memakai
istilah waralaba, kita seharusnya mengikuti aturan-aturan yang diberlakukan
mengenai waralaba. Salah satu kriteria waralaba yang harus dipenuhi menurut
Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2007 pada pasal 3 huruf f adalah Hak
Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar. Dengan tidak terpenuhinya unsur
tersebut menjadikan suatu perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses
pendaftaran merek belum bisa disebut sebagai perjanjian waralaba yang
sebenarnya.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011
Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Djarot Pribadi, SH., MH.: Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang
dilakukan saat Proses Pendaftaran Merek.
91
Selain adanya kewajiban penerima waralaba untuk melakukan
pendaftaran perjanjian waralaba pada Departemen Perindustrian dan Perdagangan,
sebagaimana tercantum dalam Pasal 11 Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun
2007 juncto pasal 7 Peraturan Pemerintah RI Nomor 16 Tahun 1997, tidak bisa
dilakukan. Pendaftaran perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses
pendaftaran merek tidak bisa dilakukan karena merek yang menjadi objek
waralaba itu sendiri masih belum terdaftar dalam Daftar Umum Merek.
Namun praktiknya berdasarkan Daftar Isian Permohonan Surat Tanda
Pendaftaran Usaha Waralaba (STPUW) yang merupakan lampiran dari Peraturan
Pemerintah RI nomor 12/M-DAG/PER/3/2006 tanggal 29 Maret 2006, dalam
melakukan permohonan pendaftaran waralaba, pemohon tidak perlu
mencantumkan/melampirkan adanya syarat bukti sertifikat hak atas merek yang
diwaralabakan. Dengan demikian, memungkinkan dapat didaftarkannya suatu
waralaba yang merek barang atau jasanya belum terdaftar dalam Daftar Umum
Merek.
Jika pendaftaran perjanjian waralaba dilaksanakan dalam rangka dan
untuk kepentingan pembinaan usaha dengan cara waralaba, maka persyaratan
untuk dapat dilakukan pendaftaran waralaba juga harus sejalan dengan peraturan
yang mengatur mengenai waralaba, dalam hal ini harus disesuaikan dengan
Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2007 khususnya pasal 3 huruf f, yaitu
objek waralaba adalah Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar. Untuk
membuktikan bahwa Hak Kekayaan Intelektual itu telah terdaftar tentu harus
dengan pembuktian kepemilikannya. Dalam hal ini menurut pendapat penulis
harus dilampirkan juga sertifikat bukti kepemilikan atas HAKI tersebut.
Dalam hal tidak dilaksanakan pendaftaran waralaba itu sendiri bukanlah
hal yang dapat membatalkan suatu perjanjian. Menurut Kartini Muljadi dan
Gunawan Widjaja, secara prinsip dalam hukum perjanjian, publikasi tidaklah
disyaratkan sama sekali, dengan alasan bahwa hak perseorangan hanyalah berlaku
di antara para pihak dan penggantinya yang sah berdasarkan alas hak umum, dan
tidak akan berlaku terhadap pihak ketiga. Perjanjian tidak dapat menerbitkan
kerugian, maupun memberikan keuntungan pada pihak ketiga di luar perjanjian.
Konsekuensinya, ketidakberlakuan perbuatan hukum tersebut terhadap pihak
ketiga juga bersifat mutlak. Meskipun pihak ketiga mendalilkan bahwa ia
mengetahui perbuatan hukum tersebut, ia tidak dapat mempergunakan
pengetahuannya tersebut untuk merugikan pihak-pihak dalam perjanjian tersebut.
Walau demikian, akibat keterkaitan antara hukum perikatan dan hukum
kebendaan di mana hubungan hukum perjanjian dapat melahirkan hubungan
hukum kebendaan dari perjanjian yang dibuat, maka dalam hal dibuat atau
diselenggarakannya perjanjian yang berhubungan dengan peralihan hak kebendaan
dan penciptaan hak kebendaan baru, termasuk penjaminan; pencatatan dan
publikasi menjadi wajib. Dengan adanya pencatatan dan publikasi atau
pengumuman tersebut, maka dianggaplah hal-hal yang diatur dalam perjanjian
tersebut berlaku untuk umum, artinya mengikat tidak hanya pihak yang membuat
perjanjian, melainkan seluruh anggota masyarakat.
Pada perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses pendaftaran
merek, memang tidak memenuhi beberapa persyaratan yang ditentukan oleh
peraturan yang mengatur tentang waralaba, namun mengingat isi dari perjanjian itu
sendiri tidak menyimpang dari hal-hal yang dilarang oleh undang-undang dan
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011
Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Djarot Pribadi, SH., MH.: Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang
dilakukan saat Proses Pendaftaran Merek.
92
kesusilaan, serta disepakati oleh para pihak dan dilaksanakan dengan itikad baik,
maka perjanjian ini sah berlaku bagi para pihak. Asas Pacta Sunt Servanda
menyatakan sesuatu yang disepakati secara sah mengikat para pihak. Para pihak
dalam hal ini bebas menentukan luasnya kewajiban kontraktual bagi mereka. Inilah
yang dimaksud para pihak mempunyai otonomi. Otonomi itu tecermin dalam
kontrak yang disepakati. Kontrak itulah yang menjadi faktor utama yang
menentukan isi perjanjian.
B. Alibat Hukum Perjanjian Waralaba Bilamana Mereknya Tidak Dapat
Didaftar atau Ditolak
1. Merek yang Tidak Dapat Didaftar dan yang Ditolak
Perjanjian waralaba atau lisensi yang dilakukan pada saat proses
pendaftaran merek dapat dibuat berlandaskan asas kebebasan berkontrak, hal
tersebut merupakan salah satu langkah efisiensi dalam rangka pertumbuhan
ekonomi dan bisnis. Namun hendaknya asas kebebasan berkontrak tersebut harus
tetap dijaga keseimbangannya dengan asas-asas yang lainnya dalam hukum
perjanjian, sehingga tidak merugikan salah satu pihak. Perjanjian waralaba yang
dilakukan pada saat proses pendaftaran hak mereknya mempunyai kelemahan, hal
tersebut disebabkan suatu pendaftaran merek adalah melalui proses permohonan,
ada tiga kemungkinan yang dapat terjadi dalam suatu pendaftaran merek, yaitu
diterimanya pendaftaran merek, tidak dapat didaftarkan dan harus ditolak
pendaftarannya.5
Secara umum merek yang tidak dapat didaftarkan adalah permohonan
yang diajukan oleh pemohon yang beritikad tidak baik. Pengertian pemohon
beritikad baik itu sendiri adalah pemohon yang mendaftarkan mereknya secara
layak dan jujur tanpa ada niat apa pun untuk membonceng, meniru atau menjiplak
ketenaran merek pihak lain demi kepentingan usahanya yang berakibat kerugian
pada pihak lain atau menimbulkan kondisi persaingan curang, mengecoh atau
menyesatkan konsumen. Selain itu, merek tidak dapat didaftarkan apabila merek
tersebut mengandung salah satu unsur di bawah ini:
a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, moralitas
agama, kesusilaan, atau ketertiban umum. Yang termasuk dalam pengertian ini
adalah apabila penggunaan tanda tersebut dapat menyinggung perasaan,
kesopanan, ketenteraman, atau keagamaan dari khalayak umum atau dari
golongan masyarakat tertentu. Sebagai contoh merek suatu barang yang haram
untuk agama tertentu justru diberi tanda yang berupa simbol-simbol yang
dihargai dalam agama tersebut.
b. Tanda yang tidak memiliki daya pembeda, yang termasuk dalam pengertian ini
adalah apabila tanda tersebut terlalu sederhana seperti satu tanda garis atau satu
tanda titik, ataupun terlalu rumit sehingga tidak jelas. Sebagai contoh, sebuah
merek tersebut terdiri dari angka-angka yang tidak beraturan dalam satu bidang
tertentu yang didalamnya terdapat angka satu sampai seratus. Merek tersebut
tidak dapat dibedakan dengan merek lain yang juga menggunakan angka satu
sampai seratus walaupun tidak memiliki persamaan penempatan angka-angka
tersebut.
c. Tanda yang telah menjadi milik umum. Contohnya, tanda tengkorak di atas dua
tulang yang bersilang, yang secara umum telah diketahui sebagai tanda bahaya.
5
Lihat Ahmadi Miru, op.cit, h.13-20
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011
Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Djarot Pribadi, SH., MH.: Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang
dilakukan saat Proses Pendaftaran Merek.
93
Tanda seperti ini adalah tanda yang bersifat umum dan telah menjadi milik
umum. Oleh karena itu, tanda itu tidak dapat digunakan sebagai merek.
d. Tanda yang merupakan keterangan atau berkaitan dengan barang atau jasa yang
dimohonkan pendaftarannya. Maksudnya, merek tersebut berkaitan atau hanya
menyebutkan barang atau jasa yang dimohonkan pendaftarannya. Contohnya,
merek kopi atau gambar kopi atau jenis barang kopi atau produk kopi.
Sedangkan suatu merek harus ditolak pendaftarannya, apabila:
a. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek
milik pihak lain yang sudah terdaftar lebih dahulu untuk barang dan/atau jasa
yang sejenis. Persamaan pada pokoknya adalah kemiripan yang disebabkan
oleh adanya unsur-unsur yang menonjol antara merek satu dan merek lain, yang
dapat menimbulkan kesan adanya persamaan baik mengenai bentuk, cara
penempatan, cara penulisan atau kombinasi antara unsur-unsur ataupun
persamaan bunyi ucapan yang terdapat dalam merek-merek tersebut.
b. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan merek
yang sudah terkenal milik pihak lain untuk barang dan/atau jasa sejenis. Untuk
persamaan pada pokoknya terhadap merek terkenal ini, tidak ditentukan
persyaratan bahwa merek tersebut sudah terdaftar (di Indonesia). Hal ini berarti
walaupun merek terkenal tersebut tidak terdaftar di Indonesia, tetap saja
dilindungi berdasarkan Undang-Undang Merek.
c. Mempunyai persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya dengan indikasigeografis yang sudah dikenal. Ini berarti bahwa merek juga tidak diakui
keabsahannya jika memiliki persamaan dengan indikasi geografis. Hal ini
disebabkan kemungkinan timbulnya kekeliruan bagi masyarakat tentang
kualitas barang tersebut.
d. Merupakan atau menyerupai nama orang terkenal, foto atau nama badan hukum
yang dimiliki orang lain, kecuali atas persetujuan tertulis dari yang berhak.
e. Merupakan tiruan atau menyerupai nama atau singkatan nama, bendera,
lambang, atau simbol atau emblem negara atau lembaga nasional maupun
internasional, kecuali atas persetujuan tertulis dari pihak yang berwenang.
f. Merupakan tiruan atau menyerupai tanda atau cap atau stempel resmi yang
digunakan oleh negara atau lembaga pemerintah, kecuali atas izin tertulis dari
pihak yang berwenang.
Secara sederhana, suatu merek tidak dapat didaftarkan, yaitu merek yang tidak
layak dijadikan merek, sedangkan merek yang ditolak adalah merek yang
merugikan pihak lain.
Dengan dua kemungkinan buruk yang dapat terjadi dalam suatu
pendaftaran merek, maka melakukan bisnis waralaba dan lisensi pada saat proses
pendaftaran hak merek mempunyai risiko tinggi. Bilamana hal tersebut tetap ingin
dilakukan, hal yang semestinya dilakukan oleh franchisee atau penerima waralaba
dengan cara searching terlebih dahulu mengenai merek yang ditawarkan
kepadanya untuk dijadikan objek waralaba. Karena pihak yang paling dirugikan
adalah franchisee selaku pihak yang telah mengeluarkan modal secara finansial
dalam usaha waralaba ini. Akan menjadi hal yang sangat merugikan, bilamana
bisnis yang diharapkan namun di tengah perjalanannya mengalami kehancuran
dikarenakan terganjal masalah merek, yaitu merek yang dipakai ternyata sudah
lebih dahulu didaftar oleh pihak lain. Tidak menutup kemungkinan, jika dapat
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011
Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Djarot Pribadi, SH., MH.: Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang
dilakukan saat Proses Pendaftaran Merek.
94
dibuktikan maka serangkaian tuntutan hukum bisa dikenakan dengan tuduhan
pembajakan merek atau pemakaian merek tanpa hak.
2. Perjanjian Hanya Berlaku bagi Para Pihak yang Membuatnya
Perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses pendaftaran merek
hanya mengikat para pihak yang membuatnya saja. Hal ini berkaitan dengan tidak
dapat dilakukannya pencatatan atau publikasi atas perjanjian waralaba tersebut.
Dengan demikian, tidak berlakunya perbuatan hukum yang dikehendaki oleh para
pihak terhadap pihak ketiga, sehingga para pihak tidak dapat mendalilkan
hubungan di antara para pihak terhadap pihak ketiga.
Pemberlakuan perjanjian waralaba di antara para pihak mempunyai
kekuatan mengikat yang didasarkan pada pasal 1338 ayat 1 BW, yaitu “Semua
perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka
yang membuatnya”. Hal ini juga merupakan konsekuensi logis dari ketentuan pasal
1233 BW, yang menyatakan bahwa setiap perikatan dapat lahir dari undangundang maupun karena perjanjian. Jadi, perjanjian adalah salah satu sumber dari
perikatan. Sebagai perikatan yang dibuat dengan sengaja, atas kehendak para pihak
secara sukarela, maka segala sesuatu yang telah disepakati, disetujui oleh para
pihak harus dilaksanakan oleh para pihak sebagaimana telah dikehendaki oleh
mereka. Dalam hal salah satu pihak dalam perjanjian tidak melaksanakannya,
maka pihak lain dalam perjanjian berhak untuk memaksakan pelaksanaannya
melalui mekanisme dan jalur hukum yang berlaku.
Hukum tidak pernah berhubungan dan tidak perlu mengetahui apa yang
melatarbelakangi dibuatnya suatu perjanjian, melainkan cukup bahwa prestasi yang
dijanjikan untuk dilaksanakan yang diatur dalam perjanjian yang dibuat oleh para
pihak tidak mengandung unsur-unsur yang bertentangan dengan undang-undang,
kesusilaan, dan ketertiban umum.6
Kontrak yang dibuat secara sah oleh para pihak mengikat para pihak
tersebut secara penuh sesuai isi kontrak. Istilah my word is my bonds atau dalam
pepatah sering dikatakan jika sapi dipegang talinya, jika manusia dipegang
mulutnya. Mengikatnya secara penuh suatu suatu kontrak yang dibuat oleh para
pihak tersebut oleh hukum kekuatannya dianggap sama dengan suatu undangundang. Karena itu, apabila suatu pihak dalam kontrak tidak menuruti isi kontrak
yang telah dibuat maka oleh hukum disediakan ganti rugi atau pelaksanaan kontrak
secara paksa.7
Dalam perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses pendaftaran
merek, terdapat prestasi yang harus dilaksanakan para pihak. Namun jika
kemudian terdapat peristiwa yang dapat menghalangi pelaksanaan prestasi tersebut
dikarenakan penolakan atau tidak dapat diterimanya pendaftaran merek, menurut
penulis hal tersebut tidak serta merta menjadikan batalnya perjanjian waralaba
tersebut. Bilamana para pihak telah sepakat untuk mengatur jika terjadi
kemungkinan-kemungkinan buruk terhadap merek yang diajukan perjanjian
waralaba dan secara tegas dituangkan dalam klausula-klausula perjanjian, hal
tersebut tidak bisa dijadikan alasan untuk melakukan pembatalan perjanjian.
6
Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Op. cit h.47
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, PT. Citra
Aditya, Bandung, 2005, hal.12
7
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011
Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Djarot Pribadi, SH., MH.: Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang
dilakukan saat Proses Pendaftaran Merek.
95
Pada prinsipnya perjanjian yang telah dibuat dapat dibatalkan jika
perjanjian tersebut dalam pelaksanaannya akan merugikan pihak-pihak tertentu.
Pihak-pihak ini tidak hanya para pihak dalam perjanjian saja, namun juga terhadap
pihak ketiga di luar para pihak yang mengadakan perjanjian. Dengan demikian,
jika hal ini dikaitkan dengan pelaksanaan perjanjian waralaba dalam konteks
pembahasan ini, maka selama para pihak di dalam perjanjian merasa saling
diuntungkan. Artinya, semua hak dan kewajiban para pihak dapat dilaksanakan
secara baik sesuai yang diperjanjikan, maka tidak ada alasan untuk membatalkan
perjanjian. Namun keadaan ini menjadi berbeda jika ada keberatan-keberatan dari
pihak ketiga di luar perjanjian yang merasa dirugikan dengan adanya waralaba
tersebut. Pihak ketiga di sini diartikan sebagai pemegang hak merek yang
sah/terdaftar lebih dahulu dari merek yang dijadikan objek waralaba.
Dalam hukum perjanjian secara garis besar alasan pembatalan perjanjian
dapat digolongkan dalam 2 (dua) golongan besar, yaitu
a. Pembatalan perjanjian oleh salah satu pihak dalam perjanjian.
Pembatalan perjanjian oleh salah satu pihak dalam perjanjian dapat dilakukan
dalam hal tidak dipenuhinya syarat-syarat subjektif dalam suatu perjanjian.
Yang dimaksud dengan syarat subjektif tersebut adalah sebagai berikut:
 Tidak terjadi kesepakatan bebas dari para pihak yang membuat perjanjian,
baik karena telah terjadi kekhilafan, paksaan atau penipuan pada salah saat
perjanjian itu dibuat (pasal 1321-1328 BW).
 Salah satu pihak dalam perjanjian tidak cakap untuk bertindak dalam
hukum dan atau tidak memiliki kewenangan untuk melakukan tindakan
atau perbuatan hukum tertentu (pasal 1330-1331 BW).
b. Pembatalan perjanjian oleh pihak ketiga di luar perjanjian.
Pada dasarnya suatu perjanjian hanya mengikat para pihak yang membuatnya
dan karenanya tidak membawa akibat apapun bagi pihak ketiga. Namun
bilamana perjanjian tersebut merugikan pihak ketiga, maka pihak ketiga
tersebut dapat menuntut dilakukannya pembatalan atas perjanjian yang telah
dibuat.
3. Pelaksanaan Perjanjian Waralaba Pasca Tidak Dapat Didaftar atau
Ditolak Mereknya
BW tidak menempatkan perjanjian waralaba sebagai suatu perjanjian
bernama secara langsung, seperti halnya perjanjian jual beli, sewa menyewa, dan
sebagainya. Karena itu, ketentuan hukum perjanjian yang berlaku dalam suatu
kontrak waralaba adalah ketentuan dalam bagian umum dari pengaturan perjanjian,
yaitu sebagaimana dituangkan dalam pasal 1456 BW, yang di dalamnya berlaku
ketentuan tentang syarat-syarat sahnya perjanjian, tentang penafsiran perjanjian,
tentang hapusnya perjanjian, dan sebagainya.
Dalam bisnis waralaba sangat erat hubungannya dengan masalah-masalah
yang berhubungan dengan paten, merek dan hak cipta, sehingga dalam
pelaksanaannya berlaku pula ketentuan paten, merek dan hak cipta. Berkaitan
dengan bagaimana pelaksanaan waralaba yang dilakukan pada saat pendaftaran
merek, namun kemudian merek tersebut ditolak atau tidak diterima, maka
peraturan yang terdapat dalam perundang-undangan yang berkaitan dengan bisnis
waralaba dapat dijadikan acuan.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011
Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Djarot Pribadi, SH., MH.: Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang
dilakukan saat Proses Pendaftaran Merek.
96
Ketentuan pasal 48 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001, tentang
Merek, menyatakan:
(1) Penerima Lisensi yang beritikad baik tetapi kemudian Merek itu dibatalkan
atas dasar adanya persamaan pada pokoknya atau keseluruhannya
dengan merek lain yang terdaftar, tetap berhak melaksanakan perjanjian
lisensi tersebut sampai dengan berakhirnya jangka waktu perjanjian
lisensi.
(2) Perjanjian lisensi sebagai dimaksud dalam ayat (1) tidak lagi wajib
meneruskan pembayaran royalti kepada Pemberi Lisensi yang dibatalkan,
melainkan wajib melaksanakan royalti kepada pemilik merek yang tidak
dibatalkan.
(3) Dalam hal Pemberi Lisensi sudah terlebih dahulu menerima royalti secara
sekaligus dari Penerima Lisensi, Pemberi Lisensi tersebut wajib
menyerahkan bagian dari royalti yang diterimanya kepada pemilik merek
yang tidak dibatalkan, yang besarnya sebanding dengan sisa jangka
waktu perjanjian lisensi.
Sehubungan waralaba itu sendiri merupakan salah satu bentuk lisensi,
menurut hemat penulis ketentuan pasal 48 Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2001
dapat diberlakukan juga pada waralaba. Namun ketentuan ini berlaku dalam hal
dibatalkannya suatu merek, artinya merek tersebut telah terdaftar, namun
kemudian dibatalkan atas dasar persamaan pada pokoknya atau keseluruhan
dengan merek terdaftar lainnya. Pembatalan merek dinyatakan dengan putusan
Pengadilan Niaga yang telah memperoleh kekuatan tetap.
Sedangkan pokok permasalahan dalam pembahasan ini adalah bagaimana
dengan nasib suatu waralaba merek yang sedang dalam proses pendaftaran namun
kemudian merek tersebut ditolak atau tidak dapat diterima oleh Direktorat Jenderal
HAKI. Kendala utama dalam kelangsungan pelaksanaan waralaba dalam
pembahasan ini adalah munculnya pihak ketiga sebagai pemilik merek sah yang
merasa keberatan dengan pemakaian mereknya oleh pihak lain tanpa seizinnya.
Sedangkan pemakai merek dalam waralaba sendiri merasa tidak melakukan
kesengajaan dalam pemakaian merek tersebut.
Perjanjian memang pada dasarnya bersifat privity of contract, yaitu
hanya berlaku bagi para pihak yang membuatnya. Namun kepentingan pihak ketiga
dengan sendirinya juga harus diperhitungkan oleh para pihak yang membentuk
perjanjian tersebut guna memelihara harmonisasi dan kelancaran aktivitas bisnis.
Sebenarnya dalam rezim hukum perjanjian (kontrak) terdapat beberapa ketentuan
yang menjamin kepentingan pihak ketiga, antara lain asas itikad baik, kelayakan,
dan kepatutan termasuk sarana penyelesaian sengketa dan lain-lain.
Adanya asas itikad baik dalam suatu perjanjian merupakan penyeimbang
bagi asas kebebasan berkontrak yang sering disalahgunakan oleh para pelaku
bisnis. Bekerjanya asas itikad baik dalam lapangan hukum perjanjian seyogyanya
diperluas guna mengimbangi asas kebebasan berkontrak yang seringkali dirasakan
overlap dalam kontrak bisnis. Dengan memakai alasan kebebasan berkontrak,
seringkali suatu kontrak menerobos keluar jalur hukum. Karena kebebasan
berkontrak di sini bukanlah berarti kebebasan yang tidak ada batasnya.
Dalam hal kontrak waralaba pada pembahasan ini, itikad baik para pihak
dapat tercermin dengan kenyataan bahwa:
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011
Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Djarot Pribadi, SH., MH.: Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang
dilakukan saat Proses Pendaftaran Merek.

97
Memang benar para pihak dapat mendalilkan bahwa mereka tidak mengetahui
merek yang dijadikan perjanjian tersebut adalah telah menjadi milik pihak lain
lebih dahulu. Hal ini patut disadari bahwa kemungkinan terjadi kemiripan atau
persamaan suatu merek sering terjadi. Namun bilamana yang terjadi adalah
merek yang diajukan dalam pendaftaran dapat disangkakan kemungkinannya
untuk ditolak, misalnya karena mirip dengan merek-merek terkenal yang telah
beredar di masyarakat, maka ketidaktahuan tersebut bukanlah suatu alasan
untuk mendalilkan itikad baik mereka. Seharusnya para pihak menyadari sejak
awal kemungkinan kecil keberhasilan untuk dapat diterima pendaftaran merek
tersebut karena persamaan atau kemiripan tersebut.
 Produk bisnis yang diwaralabakan memang benar-benar terdapat keunikan
yang dapat di-franchise-kan. Artinya, produk bisnis tersebut belum dimiliki
oleh pihak lain dan belum beredar di pasaran, selain dari yang dimiliki oleh
franchisor sendiri, sehingga dapat juga disimpulkan keorisinilan ide-ide dari
franchisor turut menjadi nilai jual tersendiri dalam bisnis ini dan bukan sekadar
menumpang merek saja.
 Penyertaan bukti-bukti tertulis dari franchisor bahwa ia memang telah
melakukan proses pendaftaran merek yang dijadikan objek waralaba tersebut.
Beberapa klausula penting yang harus secara tegas dinyatakan dalam
perjanjian waralaba sehubungan dengan kemungkinan buruk bilamana tidak
diterima atau ditolak merek yang diajukan tersebut dapat dituangkan sebagai
berikut:
a. Bilamana di kemudian hari merek yang dimohonkan franchisor tersebut ditolak
atau tidak diterima pendaftarannya oleh yang berwenang, maka franchisee
tetap bersedia dan tidak berkeberatan untuk melanjutkan perjanjian waralaba
dengan menggunakan merek baru yang diajukan oleh franchisor yang
akhirnya disetujui oleh yang berwenang.
b. Bilamana di kemudian hari ada keberatan-keberatan dari pihak ketiga di luar
perjanjian yang dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang sah atas merek
yang menjadi objek waralaba, maka dapat diberikan 2 (dua) pilihan, yaitu
1. Para pihak dapat mengakhiri perjanjian waralaba, dengan pengembalian
sisa royalty yang telah dibayarkan pihak franchisee kepada franchisor.
2. Franchisee tetap dapat melanjutkan waralaba dengan pemegang hak merek
yang sah sehingga beralih juga hak dan kewajiban franchisee kepada
franchisor yang baru.
Dengan demikian, dapat diartikan pasca ditolak atau tidak diterimanya
pendaftaran suatu merek yang diwaralabakan, masih terdapat peluang para pihak
untuk tetap melanjutkan waralaba tersebut, tentu saja selama tidak ada gugatan dan
keberatan dari pihak lain/pihak ketiga. Meskipun demikian demi terjaminnya
pelaksanaan kontrak waralaba sesuai yang diinginkan para pihak dan bilamana
memang para pihak masih menghendaki kerjasama dilakukan, serta sebagai wujud
nyata dari itikad baik dari franchisor, manakala diketahui pendaftaran mereknya
ditolak atau tidak diterima, maka selayaknya langkah selanjutnya yang diambil
adalah sesegera mungkin pihak franchisor melakukan upaya pendaftaran merek
yang baru.
PENUTUP
1. Kesimpulan
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011
Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Djarot Pribadi, SH., MH.: Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang
dilakukan saat Proses Pendaftaran Merek.
98
a. Perjanjian waralaba yang dilakukan pada saat proses pendaftaran merek
hanya mengikat para pihak yang membuatnya saja. Hal ini berkaitan dengan
tidak dapat dilakukannya pencatatan atau publikasi atas perjanjian waralaba
tersebut. Dengan demikian, mengakibatkan tidak berlakunya perbuatan
hukum yang dikehendaki oleh para pihak terhadap pihak ketiga, sehingga
para pihak tidak dapat mendalilkan hubungan di antara para pihak terhadap
pihak ketiga.
b. Bilamana ternyata merek yang diajukan pendaftarannya ditolak/tidak
diterima, maka hal ini tidak menjadikan batalnya perjanjian waralaba yang
dibuat, dengan syarat para pihak telah menyatakan hal ini dalam perjanjian.
Pembatalan hanya dapat dilakukan oleh pihak ketiga yang dapat
membuktikan dirinya secara sah menjadi pemegang hak atas merek dari
objek yang diwaralabakan.
2. Saran
a. Bilamana para pihak tetap berkehendak untuk melakukan perjanjian
waralaba pada saat pendaftaran mereknya sebaiknya tidak memakai judul
atau irah-irah “waralaba” dalam perjanjian tersebut, lebih baik digunakan
istilah yang umum yaitu “perjanjian kerjasama” saja. Adapun isi dari
perjanjian kerjasama tersebut tetap memuat materi mengenai waralaba. Hal
ini untuk mencegah terjadinya permasalahan serius mengenai judul
perjanjian/akta dengan substansinya.
b. Pencantuman beberapa klausula penting yang harus secara tegas
dinyatakan dalam perjanjian waralaba sehubungan dengan kemungkinan
buruk bilamana tidak diterima atau ditolak merek yang diajukan tersebut,
sebagai berikut:
 Bilamana di kemudian hari merek yang dimohonkan franchisor
tersebut ditolak atau tidak diterima pendaftarannya oleh yang
berwenang, maka franchisee tetap bersedia dan tidak berkeberatan
untuk melanjutkan perjanjian waralaba dengan menggunakan merek
baru yang diajukan oleh franchisor yang akhirnya disetujui oleh yang
berwenang.
 Bilamana di kemudian hari ada keberatan-keberatan dari pihak ketiga
di luar perjanjian yang dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang
sah atas merek yang menjadi obyek waralaba, maka dapat diberikan 2
(dua) pilihan, yaitu
1. Para pihak dapat mengakhiri perjanjian waralaba, dengan
pengembalian sisa royalty yang telah dibayarkan pihak franchisee
kepada franchisor.
2. Franchisee tetap dapat melanjutkan waralaba dengan pemegang hak
merek yang sah, dengan demikian beralih juga hak dan kewajiban
franchisee kepada franchisor yang baru.
DAFTAR PUSTAKA
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011
Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Djarot Pribadi, SH., MH.: Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang
dilakukan saat Proses Pendaftaran Merek.
99
BUKU
Agus Yudha Hernoko, Azas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial,
Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Airlangga, Surabaya, 2007.
Ahmadi Miru, Hukum Merek Cara Mudah Mempelajari Undang-Undang Merek,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005.
Gunawan Widjaja, Waralaba, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2003.
______, Lisensi Atau Waralaba, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004.
Henry Campell Black, Black’s Law Dictionary, 6th ed, St. Paul MN, West
Publishing Co, 1990.
Imam Sjahputra Tunggal, Sukses Melalui Waralaba, Harvarindo, Jakarta, 2005.
J. Satrio, Hukum Perikatan Pada Umumnya, Cetakan Pertama, Alumni Bandung,
1993.
Munir Fuady, Pengantar Hukum Bisnis Menata Bisnis Modern di Era Global, PT.
Citra Aditya, Bandung, 2005.
Muljadi, Kartini, dan Gunawan Widjaja, Perikatan Yang Lahir dari Perjanjian,
PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2006.
Zainal Arifin, Info Franchise, November 2007, Jakarta, dikunjungi di
www.franchise.com
____________“Bisnis Dot Com”, 06 November 2007, dikunjungi di
www.Bisnis.Com
UNDANG-UNDANG
Undang-Undang Nomor 15 tahun 2001 tentang Merek
PERATURAN PEMERINTAH
Peraturan Pemerintah RI Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba
Peraturan Pemerintah RI Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011
Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
Djarot Pribadi, SH., MH.: Akibat Hukum Perjanjian Waralaba yang
dilakukan saat Proses Pendaftaran Merek.
JURNAL FAKULTAS HUKUM VOLUME XX, No. 20, April 2011
Fakultas Hukum Universitas Narotama Surabaya
100
Download