peraturan hukum perburuhan dan sikap pengadilan: tarik

advertisement
PERATURAN HUKUM PERBURUHAN DAN SIKAP
PENGADILAN: TARIK-MENARIK ANTARA KEPENTINGAN
INVESTOR DAN KEPENTINGAN BURUH
Syamsul Khoiri1
Abstrak
This article does elaboration and analysis concerning balancing protection
through labor and investor interests. It is relating to the Constitution Court
(MKRI) decision toward judicial review of Law number 13 year 2003
regarding Manpower that submitted by association of Indonesian labor
union (ASPEK). That decision itself deems as direction of correction toward
recent labor law. The author also finds any opposite situation that’s reflected
from that decision which are contained substances to protect labor and
investor interests in coincide. The MKRI decision has proved it by firmly
acknowledged through delivered judicial review in partial and also by
revoked the draft revision of bill (law number 13 year 2003) by government
of the Republic of Indonesia later that awards more balance protection both
labor and investor interests.
Kata kunci: hukum perburuhan, judicial review, kepentingan, buruh, investor
I.
Pendahuluan
Perkembangan hukum perburuhan di negara-negara industri awal dan
pelopor, terutama dicirikan oleh kolektivitas dan oleh perlindungan yang
terus berkembang terhadap buruh. Secara konseptual ia berangkat dari
pengandaian adanya relasi asimetris antara buruh dengan majikan, dan
karenanya perlu campur tangan negara untuk melindungi buruh yang akan
selalu lebih lemah posisinya di hadapan modal dan majikan. Dalam konteks
inilah hukum perburuhan memiliki sebuah panggilan untuk mendorong
perbaikan sebuah problem sosial subordinasi terhadap buruh yang manifest
di dunia kapitalisme modern. Hukum perburuhan juga dapat menjadi arena
yang menjanjikan untuk dilaksanakannya proyek transformatif, guna
1
Penulis bekerja di holding company di Jakarta dengan core business Migas,
Batubara dan perkebunan sawit. Alamat korespondensi: [email protected].
308
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009
memperkenalkan norma-norma demokratis dan partisipatoris ke dalam ruang
privat dunia korporasi dan pasar.2
Akan tetapi sejak akhir tahun 1970an seiring dengan berkembangnya
ideologi neo liberalisme yang menekankan pada kekuatan mekanisme pasar
dalam menyelesaikan segala masalah ekonomi dan sosial di masyarakat, kita
juga menyaksikan bahwa perkembangan hukum perburuhan secara umum
telah mengambil arah yang berbeda. Dalam literatur hukum perburuhan,
perubahan ini direfleksikan dalam trend deregulasi dan fleksibelisasi, yang
melemahkan fungsi dari perwakilan kepentingan kolektif tradisional dari
buruh. Inilah yang juga dialami Indonesia melalui paket 3 UU perburuhan
yang diterbitkan antara tahun 2000 hingga 2004. Ketiganya jelas lebih
banyak dipengaruhi oleh kepentingan investor daripada kepentingan buruh.3
Realita di lapangan juga menunjukan hal yang serupa sebagaimana
disampaikan oleh Prof. H.R. Abdussalam, bahwa dari hasil pengamatan dan
wawancara dengan para pekerja/buruh, mereka masih diperlakukan secara
sepihak baik oleh pengusaha maupun oleh pihak pemerintah.4
Tulisan berikut ini akan mencoba membuktikan apakah benar hukum
perburuhan di Indonesia dipengaruhi oleh kepentingan investor, atau juga
dipengaruhi oleh kepentingan buruh. Bagaimana pengaruh tersebut ?
Bagaimanakah sikap pemerintah dan penegak hukum berkenaan dengan hal
ini ? Bagaimanakah sebaiknya sikap dan tindakan buruh dan serikat-serikat
buruh agar hukum perburuhan pro buruh dan hak asasi manusia ? Untuk itu,
karena keterbatasan waktu, maka yang akan dikaji hanya beberapa ketentuan
dalam hukum perburuhan, dan juga akan dipaparkan beberapa peristiwa
penting yang pernah terjadi terkait dengan hukum perburuhan. Pembahasan
dilengkapi dengan putusan pengadilan yang terkait untuk melihat bagaimana
sikap pengadilan selaku penegak hukum.
2
Surya Tjandra, Menemukan Kembali Hukum Perburuhan Yang Sejati: Beberapa
Catatan
Konseptual,
<http://fpbn.blogspot.com/2006/10/menemukan-kembali-hukumpe_11605484940340501>, diakses tanggal 19 April 2006.
3
4
Ibid.
H.R. Abdussalam, “Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) Yang Telah
Direvisi”, Cetakan III, (Jakarta: Restu Agung, 2009), hal. 345-346.
Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri
II.
309
Kepentingan Investor Versus Kepentingan Buruh
A. Judicial Review UU No. 13/2003
Diajukannya judicial review UU No. 13/2003 tentang
Ketenagakerjaan oleh Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia dan
sekitar 36 aktivitas lainnya menunjukkan bahwa UU N0. 13/2003
belum sepenuhnya melindungi kepentingan buruh/pekerja. Ketuk palu
Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian dari
permohonan uji materiil UU No. 13/2003 memberikan angin segar
untuk perbaikan aturan hukum bidang tersebut. Tercatat ada beberapa
pasal yang dinilai lembaga tersebut bertentangan dengan UUD 1945,
yakni Pasal 158, 159, 160 ayat (1), 170, 171 dan 186. Sementara
pengajuan judicial review bukan hanya pada pasal-pasal tersebut,
melainkan juga pada pasal yang krusial, seperti: 5
1.
2.
3.
4.
5.
Pasal 64-66 yang mengatur tentang pemindahan pekerjaan kepada
perusahaan lain (outsourcing),
Pasal tentang pemutusan hubungan kerja (PHK).
Pasal mengenai buruh/pekerja yang mengundurkan diri atas
kemauan sendiri,
Pasal 155 yang memberikan legitimasi yang kuat bagi pengusaha
untuk melakukan tindakan skorsing,
Pasal mengenai magang.
Hal senada disampaikan oleh Guru Besar Hukum Perburuhan
Universitas Indonesia Aloysius Uwiyono, yang menyatakan bahwa
sedikitnya ada 17 permasalahan krusial dari UU No. 13/2003 yang
masih merugikan pekerja/buruh jika ditinjau dari aspek hukum
perburuhan, antara lain:6
1.
2.
3.
4.
5.
mengenai pemagangan,
sanksi pelaksanaan penempatan tenaga kerja,
perjanjian kerja untuk waktu tertentu,
perjanjian pemborongan pekerjaan,
perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh,
5
Rochmat
Fitriana,
Membongkar
Kembali
UU
Ketenagakerjaan,
<http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=483&_dad=portal30&_schema=PORTAL30&
pared_id=333489>, diakses tanggal 1 Desember 2004.
6
Ibid.
310
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009
6.
7.
8.
9.
10.
11.
12.
13.
14.
perumusan beberapa pasal yang tidak tepat seperti Pasal 82 dan
136,
pelaksanaan cuti tahunan,
pelaksanaan cuti haid,
keselamatan dan kesehatan kerja,
pengecualian azas no work no pay,
peraturan perusahaan,
gugatan oleh buruh,
PHK,
pengawasan perburuhan.
B. Draf Revisi UU No. 13/2003
Hengkangnya sejumlah perusahaan besar asing (PMA) dari
Indonesia menyebabkan devisa dan pajak berkurang sejak beberapa
tahun terakhir ini, dipercayai oleh banyak kalangan bukan saja karena
persoalan keamanan tetapi juga masalah buruh yang dirasakan menjadi
kendala. Salah satunya Kepmen No. 150/2000 dan kepmen-kepmen
lainnya yang mengatur PHK dan pesangon buruh. Aturan-aturan itu
telah menimbulkan kontroversi. Maklum, perusahaan diwajibkan
memberikan pesangon kepada buruh yang berbuat kesalahan.7
Sudahlah tak nyaman, produktivitas pun rendah. Sementara para
pengusaha masih harus digelayuti berbagai kewajiban dan masalah.
Termasuk pemberian pesangon kepada pekerjanya yang di PHK.
Padahal mereka sudah membayar jamsostek dan berbagai kewajiban
lainnya.8
Oleh karena itu, jika pihak buruh mengajukan judicial review atas
UU No, 13/2003 karena dianggap kurang melindungi kepentingan
buruh sebagaimana dipaparkan di atas, maka pengusaha melalui
pemerintah berencana mengajukan draft revisi UU No. 13/2003 ke
DPR, karena dianggap UU No. 13/2003 kurang melindungi
kepentingan pengusaha.
Adapun yang diusulkan untuk direvisi, antara lain:9
7
Good Bye Indonesia, Relokasi Industri ke Luar Negeri Menjadi Kenyataan,
Kontan, Edisi 23/V, 5 Maret 2001).
8
W.
Suwito,
Urgensinya
Pembaharuan
Hukum
Perburuhan,
<http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=92029>, diakses tanggal
27 Juni 2005.
Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri
1.
2.
3.
4.
5.
6.
7.
8.
9.
311
PKWT dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan, bukan untuk
pekerjaan terterntu saja sebagaimana dibatasi dalam Pasal 59 ayat
(1);
Batasan maksimum PKWT menjadi 5 tahun, bukan 3 tahun
sebagaimana diatur Pasal 59 ayat (4);
Upah minimum agar memperhatikan kemampuan sektor usaha
yang paling lemah/marjinal;
Pasal 158 yang dibatalkan oleh MK akan diusulkan untuk
diberlakukan kembali;
Dalam hal terjadi PHK, pekerja dengan penghasilan tidak kena
pajak di atas Rp 1 juta tidak mendapatkan pesangon;
Skorsing selama-lamanya 6 bulan dan diberikan upah hanya 50 %,
Mogok kerja tidak sah dapat di PHK tanpa pesangon dan dituntut
ganti rugi;
Tidak ada batasan tenaga kerja asing menduduki jabatan apapun
di perusahaan;
Pasal 65 yang mengatur persyaratan outsourcing diusulkan
dihapus.
Namun akhirnya pemerintah membatalkan mengajukan draf revisi
UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan kepada DPR dan akan
disusun kembali melalui forum tripartit, yaitu kalangan buruh, dunia
usaha, dan pemerintah. Presiden juga menginstruksikan dilakukannya
kajian yang melibatkan setidaknya lima perguruan tinggi, yaitu
Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, UGM, USU dan
Universitas Hasanudin, untuk memberi masukan kepada forum
tripartit. Pernyataan ini dikeluarkan setelah Presiden menerima
kalangan dunia usaha dan 30 organisasi serikat buruh/pekerja, yang
antara lain menyepakati dihidupkannya kembali forum tripartit untuk
mencari solusi polemik revisi UU No. 13/2003.10
C. Pengaturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan
Di atas telah dipaparkan bahwa pekerja menganggap hukum
perburuhan belum melindungi kepentingan pekerja sehingga
mengajukan judicial review. Demikian pula pengusaha menganggap
9
Sono Kurniawan, Tolak Revisi UU No. 13/2003 Ketenagakerjaan,
<http://www.mail-archieve.com/ekonomi-nasional@yahoogroups,com/msg05519.html>,
diakses tanggal 6 April 2006.
10
Ipk, Presiden: Draf revisi UU No. 13/2003 Batal Diajukan ke DPR,
<http://www.kapanlagi.com/h/0000110855.html>, diakses tanggal 8 April 2006.
312
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009
hukum perburuhan belum melindungi kepentingan pengusaha
sehingga melalui pemerintah berencana mengajukan draf revisi UU
No. 13/2003 ke DPR. Uraian berikut akan membahas lebih terperinci
mengenai beberapa kelemahan hukum perburuhan, baik dari
kepentingan pekerja maupun dari kepentingan pengusaha, yang
mencerminkan terjadinya tarik-menarik antara kepentingan pekerja
dengan kepentingan pengusaha dalam hukum perburuhan di Indonesia.
Juga akan dibahas mengenai bagaimana sikap penegak hukum/
pengadilan berkenaan dengan kepentingan pekerja dan kepentingan
pengusaha ini.
1.
Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT)
Di satu sisi PKWT dapat dibuat berdasarkan jangka waktu
yang berarti tidak mempersoalkan apakah pekerjaan itu bersifat
tetap atau tidak. Di lain pihak, ada pasal lain dalam UU No.
13/2003 ini yang melarang PKWT untuk pekerjaan yang bersifat
tetap. Bahkan apabila ketentuan terakhir ini dilanggar, maka
PKWT tersebut akan berubah secara otomatis menjadi perjanjian
kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Ketidakpastian hukum
dalam masalah ini menjadi persoalan yang sering muncul ke
permukaan karena pihak pengusaha cenderung untuk
mempekerjakan pekerjanya dengan PKWT, sedangkan pekerja
lebih memilih PKWTT karena lebih menjamin job security.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang
memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja tetap untuk
kemudian direkrut kembali dengan PKWT (kontrak). Dalam
sistuasi demikian, pekerja tidak ada pilihan lain kecuali menerima
tawaran itu.11
Meskipun Pasal 59 UU No. 13/2003 melarang PKWT untuk
pekerjaan yang berifat tetap, namun faktanya ada putusan
Mahkamah Agung yang menafsirkan secara berbeda dan tidak
melindungi buruh. Jadi, MA adakalanya tidak berpihak pada
buruh, yaitu seperti tercermin pada putusan MA antara Tiara
Medan Hotel dan Rahmita Arifa.12
11
Aloysius Uwiyono, Refleksi Masalah Hukum Perburuhan Tahun 2005 dan Tren
Hukum Perburuhan Tahun 2006, <http://webdev.ui.ac.id/post/masalah-hukum-perburuhanid.html?UI=4e9bf2235bcd559a0f32>, diakses tanggal 2 Januari 2006.
Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri
313
Penggugat, Rahmita Arifa, mulai bekerja pada
tergugat Tiara Hotel Medan tanggal 1 Juli sampai
dengan 30 September 2002, magang sejak 1 Oktober
sampai dengan 27 Oktober 2004, orientasi 1
November 2004 sampai dengan 31 Oktober 2005,
pekerja kontrak 1 November 2005 sampai dengan 31
Oktober 2006. Pekerjaan dan tanggung jawab kerja
magang, orientasi, pekerja kontrak, pekerja tetap
sama sekali tidak ada bedanya.
Penggugat membidangi pekerjaannya sebagai tata
hidangan, yaitu memberikan layanan makanan dan
minuman yang ditempatkan di coffee shop Kutaraja
(di Tiara Medan Hotel hanya ada satu restoran),
jabatan waitress.
Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan
Negeri Medan mengabulkan gugatan penggugat,
menyatakan PKWT yang dibuat antara penggugat dan
tergugat adalah tidak sah dan batal demi hukum dan
menghukum Tergugat untuk mempekerjakan kembali
Penggugat ke tempat posisi kerja semula dengan
status Penggugat berubah menjadi pekerja tetap.
Namun pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung
berpendapat lain, PKWT antara Penggugat dan
Tergugat telah sesuai peraturan perundang-undangan
sehingga sah dan mengikat kedua belah pihak, dan
hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat telah
berakhir demi hukum tanggal 31 Oktober 2006 sesuai
PKWT tersebut. Pertimbangan tersebut membenarkan
alasan pengusaha yang menyatakan, pekerjaan
pekerja selaku waitress coffee shop yang merupakan
fasilitas / sarana pendamping dari usaha pokok jasa
perhotelan sehingga tidak bertentangan dengan Pasal
59 ayat (1) dan (2) UU No. 13/2003.
Putusan Mahkamah Agung tersebut menurut penulis kurang
tepat, karena ada empat pertanyaan tentang jenis dan sifat
pekerjaan waitress coffee shop pada usaha perhotelan yang perlu
12
Putusan tingkat kasasi dalam Tiara Medan Hotel v. Rahmita Arifa Nomor 131
K/Pdt.Sus/2007 jo. Putusan PHI pada Pengadilan Negeri Medan Nomor
139/G/2006/PHI.Medan.
314
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009
dijawab untuk menentukan apakah jenis dan sifat pekerjaan
tersebut sesuai jika dilakukan dengan PKWT. Adapun pertanyaan
tersebut berdasarkan Pasal 59 ayat (1) huruf a s/d d UU No,
13/2003, yakni:
a.
b.
c.
d.
Apakah pekerjaan waitress coffee shop merupakan pekerjaan
yang sekali selesai atau sementara sifatnya?
Apakah pekerjaan waitress coffee shop merupakan pekerjaan
yang diperkirakan waktu penyelesaiannya tidak terlalu lama
dan paling lama tiga tahun?
Apakah pekerjaan waitress coffee shop merupakan pekerjaan
yang bersifat musiman?
Apakah pekerjaan waitress coffee shop merupakan pekerjaan
yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau
produk tambahan yang masih dalam percobaan atau
penjajakan?
Dari keseluruhan pertanyaan tersebut sesungguhnya sudah
dapat dijawab bahwa pekerjaan waitress coffee shop merupakan
pekerjaan yang tidak dapat dilakukan dengan PKWT.13 Sehingga
putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri
Medan adalah lebih tepat daripada putusan Mahkamah Agung.
Namun, adapula putusan Mahkamah Agung yang
menguntungkan pekerja, yaitu misalnya putusan MA dalam
perkara antara KDS. Cantonese Restaurant v. Charles FL.
Hanoch. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menyatakan
bahwa pekerja selaku kepala bagian personalia tidak tergolong
pada jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan seperti yang diatur
dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a s/d d UU No. 13/2003. Dengan
demikian, hukum PKWT berubah menjadi PKWTT, oleh karena
itu bila terjadi PHK, pengusaha diwajibkan membayar uang
pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang
penggantian hak yang seharusnya diterima, sebagaimana diatur
dalam pasal 156 UU No. 13/2003.14
13
Farianto & Darmanto, “Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara PHI
tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum”, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), hal. 4.
14
Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam KDS. Cantonese Restaurant
v. Charles FL. Hanoch Nomor 05 K/PHI/2006.
Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri
2.
315
PHK Karena Kesalahan Berat
Kategori kesalahan berat yang diatur dalam ketentuan Pasal
158 ayat (1) UU No. 13/2003 ternyata merupakan perbuatan
pidana yang telah diatur oleh KUHP, sehingga ketentuan Pasal
158 dinilai telah melanggar asas praduga tidak bersalah, selain itu
ketentuan Pasal 159 jo Pasal 170 UU No. 13/2003 yang
memberikan dasar untuk melakukan PHK sepihak oleh
perusahaan, juga menjadi faktor pendorong permohonan judicial
review terhadap beberapa ketentuan pasal-pasal UU No. 13/2003.
Mahkamah Konstitusi, dalam putusan No. 012/PUU-I/2003
tanggal 28 Oktober 2004, atas hak uji materiil UU No. 13/2003
tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945, memutuskan
bahwa Pasal 158, 159 dan beberapa anak kalimat dalam pasal lain
yang merujuk pada ketentuan Pasal 158 UU No. 13/2003,
dinyatakan bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 sehingga
tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pertimbangan hukum putusan tersebut menyatakan bahwa
Pasal 158 UU No. 13/2003 dinilai telah bertentangan dengan
Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa: “segala
warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan
pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu
dengan tidak ada kecualinya”.
Setelah MK menyatakan Pasal 158 UU No. 13/2003 tidak
memiliki kekuatan hukum tetap, telah memacu pelaku usaha
untuk mencari alternatif alasan PHK karena kesalahan berat.
Sebab para pelaku usaha merasa telah terjadi ketidakadilan,
karena proses PHK terhadap pekerja yang secara nyata terbukti
melakukan kesalahan berat pada akhirnya oleh pengadilan di PHK
dengan diberikan kompensasi berupa uang pesangon, uang
penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Sedangkan
terhadap pekerja yang berprestasi di perusahaan, tapi karena suatu
sebab, harus mengundurkan diri, hanya berhak atas uang
penggantian hak dan uang pisah.
Upaya yang ditempuh oleh perusahaan maupun serikat
pekerja untuk dapat menggunakan ketentuan eks Pasal 158 UU
No. 13/2003, diantaranya adalah merevisi atau membuat kalimat
baru yang dituangkan dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian
Kerja Bersama.
Namun ternyata, ketentuan eks Pasal 158 UU No. 13/2003
tidak dapat diterapkan sebagaimana terlihat pada putusan
316
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009
Mahkamah Agung dalam PT. Artika Optima Inti v. Pahar
Pellupessy.15
Dalam memori kasasi pengusaha menyatakan bahwa
pekerja telah mengedarkan kupon togel di area
perusahaan kepada rekan sekerjanya. Dalam alasan
yang diajukan oleh pengusaha, bahwa Pasal 158 ayat
(1) huruf d UU No. 13/2003 melarang perjudian, dan
pengusaha juga menyatakan bahwa ketentuan tersebut
sama dengan ketentuan PKB Pasal 55 ayat (1) huruf
1.3.
Dalam pertimbangan hukumnya, MA menyatakan
alasan tersebut tidak dapat dibenarkan karena judex
factie tidak salah menerapkan hukum sehingga
permohonan kasasi pengusaha ditolak. Namun
demikian, hubungan kerja tetap dinyatakan putus
dengan mewajibkan pengusaha membayar uang
pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang
penggantian hak.
Putusan MA di atas merupakan bukti bahwa MA telah
menegakkan hukum sesuai putusan MK yang menyatakan Pasal
158 UU No. 13/2003 tidak berlaku, dengan konsekwensi yang
cenderung merugikan pengusaha.
Putusan MA lainnya yang cenderung menguntungkan
pekerja, diantaranya dalam putusan PT. Parindo Permai v. Berta
Apriana Kifli.16
Dalam memori kasasi, pengusaha menyatakan bahwa
pekerja telah menggunakan uang perusahaan tanpa
izin perusahaan atau atasan, sehingga berdasarkan
Peraturan Perusahaan Pasal 24, perbuatan pekerja
merupakan kesalahan berat yang sanksinya adalah
PHK tanpa pesangon.
Dalam amarnya, MA menolak permohonan kasasi
pengusaha dan menyatakan bahwa pertimbangan
15
Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam PT. Artika Optima Inti v.
Pahar pellupessy Nomor 154 K/PHI/2006.
16
Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam PT. Parindo Permai. Berta
Apriana Kifli Nomor 25 K/PHI/2007.
Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri
317
judex factie tidak salah, bahwa perbuatan pekerja
bukan sebagai kesalahan berat sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 1603 huruf O Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Putusan tersebut secara
konkret telah membuktikan bahwa kesalahan berat
yang diatur dalam peraturan perusahaan, dalam
praktiknya tidak dapat diterapkan, meskipun
pengadilan pada akhirnya tetap menyatakan
hubungan kerja putus, tapi pengusaha diwajibkan
untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan
masa kerja, dan uang penggantian hak.
3.
PHK yang Diajukan Pekerja
UU No. 13/2003 mengatur tentang alasan PHK yang dapat
dimohonkan oleh pekerja. Hal tersebut diatur dalam Pasal 169 UU
No. 13/2003, yang menyatakan bahwa pekerja/buruh dapat
mengajukan permohonan PHK kepada lembaga penyelesaian
perselisihan hubungan industrial dalam hal perusahaan melakukan
perbuatan sebagai berikut:
a.
b.
c.
d.
e.
f.
menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam
pekerja/buruh,
membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan
perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan,
tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan
selama tiga bulan berturut-turut atau lebih,
tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada
pekerja/buruh,
memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan
di luar yang telah diperjanjikan, atau
memberikan
pekerjaan
yang
membahayakan
jiwa,
keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh
sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada
perjanjian kerja.
Pasal 169 ayat (1) UU No. 13/2003 tersebut kurang adil bagi
pengusaha, karena pekerja masih dapat menggunakan alasan PHK
yang termasuk kualifikasi perbuatan pidana, yakni perbuatan
menganiaya, menghina, dan perbuatan asusila. Sementara
pengusaha telah kehilangan ketentuan pasal tersebut sejak
318
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009
diterbitkannya putusan MK No. 012/PUU-I/2003 yang
menyatakan Pasal 158 UU no. 13/2003 tidak mempunyai
kekuatan hukum yang yang mengikat karena dinilai bertentangan
dengan UUD 1945 dan asas praduga tak bersalah.
Dalam praktik peradilan, alasan PHK yang kerap dijumpai
adalah karena pengusaha tidak membayarkan upah pekerja.17
Untuk memahami penerapan hukum atas alasan PHK yang
diajukan oleh pekerja karena tidak dibayarkan upahnya, dapat
dilihat secara konkret dalam putusan MA
antara
Paramita/Direktris CV. Marman v. Imran Nasution.18
Pekerja telah bekerja sejak tahun 2002 sebagai sopir
dan pada saat setelah pekerja minta izin untuk
menengok orang tuanya pada bulan Mei 2006, pekerja
diminta untuk menyerahkan kunci mobil dan dilarang
untuk dating ke perusahaan. Selain itu pengusaha
sejak Januari 2006 tidak membayarkan upah pekerja,
yang ternyata dibantah oleh pengusaha dengan alasan
tidak pernah melakukan PHK sedangkan mengenai
upah sejak Januari telah diubah menjadi system
borongan sehingga pekerja, karena tidak mendapat
muatan, maka tidak mendapatkan upah.
Dalam amarnya, permohonan kasasi pengusaha
dinyatakan ditolak, sehingga putusan PHI Bengkulu
Nomor
07/PHI.G/2006/PHI/PN.BKL
yang
menyatakan hubungan kerja berakhir karena
pengusaha telah melanggar hukum tidak membayar
upah pekerja, dapat dibenarkan. Hal tersebut
membuktikan bahwa alasan PHK pekerja terbukti
sehingga pengusaha dihukum untuk membayar uang
pesangon dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), satu
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang
penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4).
17
18
Farianto & Darmanto, Op. Cit., hal. 361.
Putusan Mahkamah Konstitusi pada tingkat kasasi dalam Paramita/Direktris CV.
Marman v. Imran Nasution Nomor 160 K/PHI/2007.
Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri
4.
319
Pekerja Mengundurkan Diri Atas Kemauan Sendiri
Mengundurkan diri merupakan tindakan sukarela dari
pekerja untuk mengakhiri hubungan kerja dengan pengusaha.
Ketentuan tentang mengundurkan diri diatur dalam Pasal 162 UU
No. 13/2003. Latar belakang mengundurkan diri antara lain
disebabkan karena pekerja merasa tidak cocok dengan perusahaan
atau pekerja memperoleh pekerjaan di tempat lain. Dalam hal
ketentuan Pasal 162 tidak terpenuhi, maka pengunduran diri
tersebut batal demi hukum sesuai Pasal 170 UU no. 13/2003.
Ketentuan tersebut merupakan bentuk perlindungan hukum yang
diberikan oleh Negara kepada pekerja, karena hal tersebut dapat
dijadikan acuan untuk mengetahui apakah pengunduran diri
dilakukan secara sukarela atau ada unsur paksaan dari pengusaha.
Contoh putusan pengadilan terkait kasus pengunduran diri,
diantaranya putusan MA antara PT. Zebra Nusantara Tbk v. Ricky
J. Gunawan.19
Dalam putusan, terungkap bahwa secara formal
terdapat surat pengunduran diri dari pekrja, namun
oleh karena latar belakang dari pengunduran diri
disebabkan adanya janji-janji atau tipu muslihat
sebagaimana dinyatakan oleh pekerja dank arena
mekanisme pengunduran diri tidak dilakukan sesuai
Pasal 162 jo 170 UU No. 13/2003, maka MA menilai
bahwa perbuatan pekerja bukan merupakan
pengunduran diri, sehingga berhak atas pesangon
sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan
uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4) UU
No. 13/2003.
5.
Pengunduran Diri Karena Mangkir
Mangkir, menurut Pasal 168 ayat (1) UU No. 13/2003,
dikualifikasikan sebagai mengundurkan diri sehingga kompensasi
yang menjadi hak pekerja yang mangkir hanya uang penggantian
hak sesuai Pasal 156 ayat (4) UU No. 13/2003. Namun jika unsurunsur mangkir tidak terpenuhi, maka berdasarkan Pasal 170 UU
19
Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam PT. Zebra Nusantara Tbk v.
Ricky J. Gunawan Nomor 02 K/PHI/2006.
320
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009
No. 13/2003, pekerja harus dipekerjakan kembali. Jika pengusaha
tidak mau mempekerjakan kembali, maka sesuai Pasal 163 ayat
(2), pengusaha wajib membayar pesangon sebesar dua kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja satu
kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak
sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4).
Berikut adalah contoh putusan pengadilan terkait kasus yang
tidak memenuhi unsur mangkir, namun pekerja tidak dipekerjakan
kembali dan tidak menerima pesangon sesuai Pasal 163 ayat (3).
Putusan yang tentunya merugikan pekerja, yaitu putusan MA
antara Pimpinan Rumah Makan Menado v. Maritje Majano.20
Dalam perkara ini terungkap bahwa pekerja tidak
masuk kerja, tetapi pada saat kembali bekerja,
pengusaha melarang pekerja untuk bekerja sehingga
pekerja tidak sempat menunjukkan surat keterangan
sakit dari Puskesmas.
Dalam putusannya, MA menolak kasasi pengusaha
dengan memperbaiki putusan P4D Maluku dengan
mewajibkan pengusaha membayar pesangon satu kali
ketentuan Pasal 156 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU
No. 13/2003 beserta kekurangan upah dan lembur
yang belum dibayar.
Putusan ini tidak konkret memberikan pertimbangan tentang
alasan hukum dari P4D Maluku yang mewajibkan pengusaha
membayar pesangon sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat
(2), ayat (3) dan ayat (4) UU No. 13/2003. Namun dari fakta yang
terungkap, pekerja tidak masuk kerja karena sakit selama tiga hari,
maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya P4D dan MA
menilai bahwa perbuatan pengusaha menolak kehadiran pekerja
untuk bekerja adalah tidak dibenarkan. Namun, di sisi lain surat
keterangan sakit dari Puskesmas yang belum sempat diserahkan
dinilai tidak bernilai hukum, sehingga ketidakhadiran pekerja
dianggap sebagai suatu pelanggaran, dan hal tersebut dapat dilihat
dari besaran kompensasi yang wajib dibayarkan oleh pengusaha
kepada pekerja.
20
Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam Pimpinan Rumah Makan
Manado v. Maritje Majano Nomor 153 K/PHI/2006.
Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri
321
Padahal sesuai UU No. 13/2003, tidak hadirnya pekerja di
tempat kerja selama tiga hari, belum dapat dikualifikasikan
sebagai mangkir, karena kualifikasi mangkir adalah tidak bekerja
selama lima hari kerja berturut-turut (Pasal 168 ayat (1) UU No.
13/2003). Selain itu Pasal 168 ayat (2) UU No. 13/2003
mengizinkan pekerja pada hari pertama bekerja untuk
menyerahkan surat keterangan sakit dari puskesmas. Dan
terungkap juga tidak adanya dua panggilan yang sah pada saat
pekerja tidak masuk bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa
ketentuan Pasal 168 tidak terpenuhi, sehingga sesuai Pasal 170
UU No. 13/2003, pekerja seharusnya dipekerjakan kembali. Jika
di PHK maka pekerja berhak atas pesangon sesuai Pasal 163 ayat
(3) UU No. 13/2003, yaitu sebesar dua kali ketentuan Pasal 156
ayat (2), satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang
penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4) UU No. 13/2003.
Dengan demikian putusan MA di atas merupakan contoh putusan
pengadilan yang kurang melindungi kepentingan buruh.
6.
Outsourcing
Sejak diundangkannya UU No. 13/2003, outsourcing pekerja
menjadi menjamur. Hal ini disebabkan pengusaha dalam rangka
efisiensi merasa aman jika buruh yang di-outsource adalah
buruhnya perusahaan jasa pekerja. Sehingga yang bertanggung
jawab terhadap buruh outsource tadi adalah perusahaan jasa
pekerja. Perusahaan-perusahaan ini merasa di-back up oleh Pasal
6 ayat (2 a) yang menyatakan bahwa antara perusahaan jasa
pekerja harus ada hubungan kerja dengan buruh yang ditempatkan
pada perusahaan pengguna. Di lain pihak, pihak buruh yang dioutsource juga merasa di-back up oleh Pasal 1 butir 15 yang
menyatakan bahwa hubungan kerjanya bukan dengan perusahaan
jasa pekerja, melainkan dengan perusahaan pengguna. Hal ini
disebabkan unsur adanya upah, pekerjaan, dan perintah hanya ada
dalam hubungannya dengan perusahaan pengguna, bukan dengan
perusahaan jasa pekerja. Kedua pasal ini menimbulkan
ketidakpastian hukum bagi pengusaha dan buruh apalagi
outsourcing pekerja pada saat ini lagi ngetren. Banyak perusahaan
memutuskan hubungan kerja dengan buruhnya untuk selanjutnya
direkrut kembali melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing
pekerja). Hal ini berarti bahwa melalui Pasal 6 ayat (2 a) UU No.
13/2003, Pemerintah melegalkan bukan sekedar perbudakan
322
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009
modern, melainkan juga termasuk human trafficking. Suatu
pelanggaran hak asasi manusia.21
III.
Penutup
Secara falsafati, hukum dibentuk untuk melindungi yang lemah.
Begitu juga hakekat hukum buruh, mestinya ditujukan untuk melindungi
buruh itu sendiri. Namun dalam kenyataannya tidak demikian. Hukum dalam
konteks kebijakan perburuhan lebih memperlihatkan kontradiksi atas jaminan
perlindungan hak-hak kaum buruh. Dalam perspektif Marxian, logika
kapitalisme telah memasuki dimensi sosial, hukum dan hubungan kekuasaan
politik yang mendukung eksploitasi buruh.22
Uraian pada Bab II di atas menunjukkan bahwa hukum perburuhan
tidak hanya melindungi kepentingan buruh, tapi juga kepentingan investor.
Bahkan penegak hukum pun turut serta dalam tarik-menarik antara
kepentingan buruh dan pengusaha sebagaimana tercermin pada putusan
pengadilan yang dipaparkan di atas, yaitu ada yang mendukung kepentingan
buruh, tapi ada pula yang menguntungkan pengusaha.
Adanya putusan MK yang menyetujui sebagian permohonan uji
materil UU No. 13/2003 dan pembatalan diajukannya draf revisi UU
No.13/2003 kepada DPR oleh pemerintah, menunjukkan bahwa penegak
hukum (dalam hal ini MK) dan pemerintah masih tergerak untuk melindungi
kepentingan buruh, walaupun hal itu berawal dari desakan kaum buruh.
Menurut Prof. Aloysius Uwiyono, di negara-negara berkembang
seperti Indonesia yang tahap pembangunannya dilakukan secara konkuren
(tahap unifikasi, tahap industrialisasi dan tahap kesejahteraan berlangsung
secara bersamaan), kondisi ini sangat memperngaruhi perkembangan hukum
perburuhan. Tahap industrialisasi yang menekankan pertumbuhan ekonomi
setinggi-tingginya akan mengarahkan hukum perburuhan untuk melindungi
pemilik modal. Hal ini berarti bahwa buruh dikorbankan demi pertumbuhan
ekonomi yang setinggi-tingginya. Di lain pihak pada tahap kesejahteraan,
fokus pembangunan adalah untuk memperhatikan kesejahteraan masyarakat
termasuk buruh. Tuntutan pemulihan ekonomi dari krisis multidimensional
dan tuntutan peningkatan kesejahteraan berjalan bersamaan. Pihak
21
Uwiyono, Op. Cit.
22
R. Herlambang Perdana Wiratman, Disain Hukum Perburuhan: Antara
Kepentingan Perlindungan Hak Asasi Manusia vs. Dominasi Kebijakan Liberalisasi Pasar,
Jurnal FPBN, Edisi 8 September 2007 – Maret 2008.
Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri
323
pemerintah cenderung untuk memihak para pelaku bisnis karena pemerintah
menghadapi persoalan bagaimana menarik investor domestik/asing dan untuk
mengatasi masalah pengangguran. Dengan demikian tren hukum perburuhan
2006 akan diarahkan keberpihakannya kepada pelaku bisnis bukan kepada
pekerja/buruh semata-mata.23
Menurut penulis, apa yang disampaikan oleh Prof. Aloysius Uwiyono
di atas, bahwa tren hukum perburuhan 2006 akan diarahkan keberpihakannya
kepada pelaku bisnis, bukan kepada pekerja semata-mata, adalah masih
relevan hingga saat ini sepanjang negara Indonesia masih membutuhkan
modal dari investor domestik / asing. Oleh karena itu, diperlukan komitmen
keberlanjutan gerakan dari buruh dan serikat-serikatnya untuk terus-menerus
menekan kebijakan agar lebih lebih pro buruh dan hak asasi manusia.
Dengan gerakan akan bisa terus-menerus mengingatkan pemerintah, penegak
hukum dan pengusaha agar melindungi hak-hak buruh. Hal ini sudah
dibuktikan dengan dikabulkannya sebagian permohonan uji materiil UU No.
13/2003 oleh Mahkamah Konstitusi serta dibatalkannya draf revisi UU No.
13/2003 oleh pemerintah.
Hukum merupakan produk politik, cerminan dari siapa yang lebih kuat
memberikan pengaruh. Oleh karena itu, buruhpun harus memulai
memberikan pengaruhnya dengan kekuatan terorganisir, sehingga
demokratisasi yang berjalan sekarang ini bisa lebih memberikan kesempatan
politik buruh yang lebih adil dan tidak mudah dibengkokkan dalam
marginalisasi hak-hak buruh. Namun buruh juga harus mau memahami
bahwa hukum perburuhan merupakan kompromi optimal antara kepentingan
buruh dan pengusaha, bukan hanya menyerap kepentingan satu pihak saja.
23
Uwiyono, Op. Cit.
324
Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009
Daftar Pustaka
Buku
Abdussalam, H.R. Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) Yang
Telah Direvisi. Cetakan III, Jakarta: Restu Agung, 2009.
Farianto & Darmanto. Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara
PHI tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan
Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Artikel
Kontan. Good Bye Indonesia, Relokasi Industri ke Luar Negeri Menjadi
Kenyataan. Edisi 23/V, 5 Maret 2001.
Wiratman, R. Herlambang Perdana. Disain Hukum Perburuhan: Antara
Kepentingan Perlindungan Hak Asasi Manusia vs. Dominasi
Kebijakan Liberalisasi Pasar. Jurnal FPBN edisi 8 September 2007 –
Maret 2008.
Internet
Fitriana, Rochmat. “Membongkar Kembali UU Ketenagakerjaan”,
<http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=483&_dad=portal30&_
schema=PORTAL30&pared_id=333489>,
diakses
tanggal
1
Desember 2004.
Ipk. “Presiden: Draf revisi UU No. 13/2003 Batal Diajukan ke DPR”,
<http://www.kapanlagi.com/h/0000110855.html>, diakses tanggal 8
April 2006.
Kurniawan, Sono. “Tolak Revisi UU No. 13/2003 Ketenagakerjaan”,
<http://www.mail-archieve.com/ekonomi-nasional@yahoogroups,com
/msg05519.html>, diakses tanggal 6 April 2006.
Suwito, W. “Urgensinya Pembaharuan Hukum Perburuhan”,
<http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=92
0>, diakses tanggal 29. 27 Juni 2005.
Tjandra, Surya. “Menemukan Kembali Hukum Perburuhan Yang Sejati:
Beberapa Catatan Konseptual”, <http://fpbn.blogspot.com/2006/10/
Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri
menemukan-kembali-hukum-pe_11605484940340501>,
tanggal 19 April 2006.
325
diakses
Uwiyono, Aloysius. “Refleksi Masalah Hukum Perburuhan Tahun 2005 dan
Tren Hukum Perburuhan Tahun 2006”, <http://webdev.ui.ac.id/post/
masalah-hukum-perburuhan-id.html?UI=4e9bf2235bcd559a0f32>,
diakses tanggal 2 Januari 2006.
Putusan Pengadilan
Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam PT. Zebra Nusantara
Tbk v. Ricky J. Gunawan Nomor 02 K/PHI/2006.
Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam KDS. Cantonese
Restaurant v. Charles FL. Hanoch Nomor 05 K/PHI/2006.
Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam Pimpinan Rumah
Makan Manado v. Maritje Majano Nomor 153 K/PHI/2006.
Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam PT. Artika Optima Inti
v. Pahar pellupessy Nomor 154 K/PHI/2006.
Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam PT. Parindo Permai v.
Berta Apriana Kifli Nomor 25 K/PHI/2007.
Putusan tingkat kasasi dalam Tiara Medan Hotel v. Rahmita Arifa Nomor
131 K/Pdt.Sus/2007 jo. Putusan PHI pada Pengadilan Negeri Medan
Nomor 139/G/2006/PHI.Medan.
Putusan Mahkamah Konstitusi pada tingkat kasasi dalam Paramita/Direktris
CV. Marman v. Imran Nasution Nomor 160 K/PHI/2007.
Download