PERATURAN HUKUM PERBURUHAN DAN SIKAP PENGADILAN: TARIK-MENARIK ANTARA KEPENTINGAN INVESTOR DAN KEPENTINGAN BURUH Syamsul Khoiri1 Abstrak This article does elaboration and analysis concerning balancing protection through labor and investor interests. It is relating to the Constitution Court (MKRI) decision toward judicial review of Law number 13 year 2003 regarding Manpower that submitted by association of Indonesian labor union (ASPEK). That decision itself deems as direction of correction toward recent labor law. The author also finds any opposite situation that’s reflected from that decision which are contained substances to protect labor and investor interests in coincide. The MKRI decision has proved it by firmly acknowledged through delivered judicial review in partial and also by revoked the draft revision of bill (law number 13 year 2003) by government of the Republic of Indonesia later that awards more balance protection both labor and investor interests. Kata kunci: hukum perburuhan, judicial review, kepentingan, buruh, investor I. Pendahuluan Perkembangan hukum perburuhan di negara-negara industri awal dan pelopor, terutama dicirikan oleh kolektivitas dan oleh perlindungan yang terus berkembang terhadap buruh. Secara konseptual ia berangkat dari pengandaian adanya relasi asimetris antara buruh dengan majikan, dan karenanya perlu campur tangan negara untuk melindungi buruh yang akan selalu lebih lemah posisinya di hadapan modal dan majikan. Dalam konteks inilah hukum perburuhan memiliki sebuah panggilan untuk mendorong perbaikan sebuah problem sosial subordinasi terhadap buruh yang manifest di dunia kapitalisme modern. Hukum perburuhan juga dapat menjadi arena yang menjanjikan untuk dilaksanakannya proyek transformatif, guna 1 Penulis bekerja di holding company di Jakarta dengan core business Migas, Batubara dan perkebunan sawit. Alamat korespondensi: [email protected]. 308 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 memperkenalkan norma-norma demokratis dan partisipatoris ke dalam ruang privat dunia korporasi dan pasar.2 Akan tetapi sejak akhir tahun 1970an seiring dengan berkembangnya ideologi neo liberalisme yang menekankan pada kekuatan mekanisme pasar dalam menyelesaikan segala masalah ekonomi dan sosial di masyarakat, kita juga menyaksikan bahwa perkembangan hukum perburuhan secara umum telah mengambil arah yang berbeda. Dalam literatur hukum perburuhan, perubahan ini direfleksikan dalam trend deregulasi dan fleksibelisasi, yang melemahkan fungsi dari perwakilan kepentingan kolektif tradisional dari buruh. Inilah yang juga dialami Indonesia melalui paket 3 UU perburuhan yang diterbitkan antara tahun 2000 hingga 2004. Ketiganya jelas lebih banyak dipengaruhi oleh kepentingan investor daripada kepentingan buruh.3 Realita di lapangan juga menunjukan hal yang serupa sebagaimana disampaikan oleh Prof. H.R. Abdussalam, bahwa dari hasil pengamatan dan wawancara dengan para pekerja/buruh, mereka masih diperlakukan secara sepihak baik oleh pengusaha maupun oleh pihak pemerintah.4 Tulisan berikut ini akan mencoba membuktikan apakah benar hukum perburuhan di Indonesia dipengaruhi oleh kepentingan investor, atau juga dipengaruhi oleh kepentingan buruh. Bagaimana pengaruh tersebut ? Bagaimanakah sikap pemerintah dan penegak hukum berkenaan dengan hal ini ? Bagaimanakah sebaiknya sikap dan tindakan buruh dan serikat-serikat buruh agar hukum perburuhan pro buruh dan hak asasi manusia ? Untuk itu, karena keterbatasan waktu, maka yang akan dikaji hanya beberapa ketentuan dalam hukum perburuhan, dan juga akan dipaparkan beberapa peristiwa penting yang pernah terjadi terkait dengan hukum perburuhan. Pembahasan dilengkapi dengan putusan pengadilan yang terkait untuk melihat bagaimana sikap pengadilan selaku penegak hukum. 2 Surya Tjandra, Menemukan Kembali Hukum Perburuhan Yang Sejati: Beberapa Catatan Konseptual, <http://fpbn.blogspot.com/2006/10/menemukan-kembali-hukumpe_11605484940340501>, diakses tanggal 19 April 2006. 3 4 Ibid. H.R. Abdussalam, “Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) Yang Telah Direvisi”, Cetakan III, (Jakarta: Restu Agung, 2009), hal. 345-346. Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri II. 309 Kepentingan Investor Versus Kepentingan Buruh A. Judicial Review UU No. 13/2003 Diajukannya judicial review UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan oleh Asosiasi Serikat Pekerja (Aspek) Indonesia dan sekitar 36 aktivitas lainnya menunjukkan bahwa UU N0. 13/2003 belum sepenuhnya melindungi kepentingan buruh/pekerja. Ketuk palu Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengabulkan sebagian dari permohonan uji materiil UU No. 13/2003 memberikan angin segar untuk perbaikan aturan hukum bidang tersebut. Tercatat ada beberapa pasal yang dinilai lembaga tersebut bertentangan dengan UUD 1945, yakni Pasal 158, 159, 160 ayat (1), 170, 171 dan 186. Sementara pengajuan judicial review bukan hanya pada pasal-pasal tersebut, melainkan juga pada pasal yang krusial, seperti: 5 1. 2. 3. 4. 5. Pasal 64-66 yang mengatur tentang pemindahan pekerjaan kepada perusahaan lain (outsourcing), Pasal tentang pemutusan hubungan kerja (PHK). Pasal mengenai buruh/pekerja yang mengundurkan diri atas kemauan sendiri, Pasal 155 yang memberikan legitimasi yang kuat bagi pengusaha untuk melakukan tindakan skorsing, Pasal mengenai magang. Hal senada disampaikan oleh Guru Besar Hukum Perburuhan Universitas Indonesia Aloysius Uwiyono, yang menyatakan bahwa sedikitnya ada 17 permasalahan krusial dari UU No. 13/2003 yang masih merugikan pekerja/buruh jika ditinjau dari aspek hukum perburuhan, antara lain:6 1. 2. 3. 4. 5. mengenai pemagangan, sanksi pelaksanaan penempatan tenaga kerja, perjanjian kerja untuk waktu tertentu, perjanjian pemborongan pekerjaan, perjanjian penyediaan jasa pekerja/buruh, 5 Rochmat Fitriana, Membongkar Kembali UU Ketenagakerjaan, <http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=483&_dad=portal30&_schema=PORTAL30& pared_id=333489>, diakses tanggal 1 Desember 2004. 6 Ibid. 310 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. perumusan beberapa pasal yang tidak tepat seperti Pasal 82 dan 136, pelaksanaan cuti tahunan, pelaksanaan cuti haid, keselamatan dan kesehatan kerja, pengecualian azas no work no pay, peraturan perusahaan, gugatan oleh buruh, PHK, pengawasan perburuhan. B. Draf Revisi UU No. 13/2003 Hengkangnya sejumlah perusahaan besar asing (PMA) dari Indonesia menyebabkan devisa dan pajak berkurang sejak beberapa tahun terakhir ini, dipercayai oleh banyak kalangan bukan saja karena persoalan keamanan tetapi juga masalah buruh yang dirasakan menjadi kendala. Salah satunya Kepmen No. 150/2000 dan kepmen-kepmen lainnya yang mengatur PHK dan pesangon buruh. Aturan-aturan itu telah menimbulkan kontroversi. Maklum, perusahaan diwajibkan memberikan pesangon kepada buruh yang berbuat kesalahan.7 Sudahlah tak nyaman, produktivitas pun rendah. Sementara para pengusaha masih harus digelayuti berbagai kewajiban dan masalah. Termasuk pemberian pesangon kepada pekerjanya yang di PHK. Padahal mereka sudah membayar jamsostek dan berbagai kewajiban lainnya.8 Oleh karena itu, jika pihak buruh mengajukan judicial review atas UU No, 13/2003 karena dianggap kurang melindungi kepentingan buruh sebagaimana dipaparkan di atas, maka pengusaha melalui pemerintah berencana mengajukan draft revisi UU No. 13/2003 ke DPR, karena dianggap UU No. 13/2003 kurang melindungi kepentingan pengusaha. Adapun yang diusulkan untuk direvisi, antara lain:9 7 Good Bye Indonesia, Relokasi Industri ke Luar Negeri Menjadi Kenyataan, Kontan, Edisi 23/V, 5 Maret 2001). 8 W. Suwito, Urgensinya Pembaharuan Hukum Perburuhan, <http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=92029>, diakses tanggal 27 Juni 2005. Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 311 PKWT dapat dilakukan untuk semua jenis pekerjaan, bukan untuk pekerjaan terterntu saja sebagaimana dibatasi dalam Pasal 59 ayat (1); Batasan maksimum PKWT menjadi 5 tahun, bukan 3 tahun sebagaimana diatur Pasal 59 ayat (4); Upah minimum agar memperhatikan kemampuan sektor usaha yang paling lemah/marjinal; Pasal 158 yang dibatalkan oleh MK akan diusulkan untuk diberlakukan kembali; Dalam hal terjadi PHK, pekerja dengan penghasilan tidak kena pajak di atas Rp 1 juta tidak mendapatkan pesangon; Skorsing selama-lamanya 6 bulan dan diberikan upah hanya 50 %, Mogok kerja tidak sah dapat di PHK tanpa pesangon dan dituntut ganti rugi; Tidak ada batasan tenaga kerja asing menduduki jabatan apapun di perusahaan; Pasal 65 yang mengatur persyaratan outsourcing diusulkan dihapus. Namun akhirnya pemerintah membatalkan mengajukan draf revisi UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan kepada DPR dan akan disusun kembali melalui forum tripartit, yaitu kalangan buruh, dunia usaha, dan pemerintah. Presiden juga menginstruksikan dilakukannya kajian yang melibatkan setidaknya lima perguruan tinggi, yaitu Universitas Indonesia, Universitas Padjajaran, UGM, USU dan Universitas Hasanudin, untuk memberi masukan kepada forum tripartit. Pernyataan ini dikeluarkan setelah Presiden menerima kalangan dunia usaha dan 30 organisasi serikat buruh/pekerja, yang antara lain menyepakati dihidupkannya kembali forum tripartit untuk mencari solusi polemik revisi UU No. 13/2003.10 C. Pengaturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan Di atas telah dipaparkan bahwa pekerja menganggap hukum perburuhan belum melindungi kepentingan pekerja sehingga mengajukan judicial review. Demikian pula pengusaha menganggap 9 Sono Kurniawan, Tolak Revisi UU No. 13/2003 Ketenagakerjaan, <http://www.mail-archieve.com/ekonomi-nasional@yahoogroups,com/msg05519.html>, diakses tanggal 6 April 2006. 10 Ipk, Presiden: Draf revisi UU No. 13/2003 Batal Diajukan ke DPR, <http://www.kapanlagi.com/h/0000110855.html>, diakses tanggal 8 April 2006. 312 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 hukum perburuhan belum melindungi kepentingan pengusaha sehingga melalui pemerintah berencana mengajukan draf revisi UU No. 13/2003 ke DPR. Uraian berikut akan membahas lebih terperinci mengenai beberapa kelemahan hukum perburuhan, baik dari kepentingan pekerja maupun dari kepentingan pengusaha, yang mencerminkan terjadinya tarik-menarik antara kepentingan pekerja dengan kepentingan pengusaha dalam hukum perburuhan di Indonesia. Juga akan dibahas mengenai bagaimana sikap penegak hukum/ pengadilan berkenaan dengan kepentingan pekerja dan kepentingan pengusaha ini. 1. Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) Di satu sisi PKWT dapat dibuat berdasarkan jangka waktu yang berarti tidak mempersoalkan apakah pekerjaan itu bersifat tetap atau tidak. Di lain pihak, ada pasal lain dalam UU No. 13/2003 ini yang melarang PKWT untuk pekerjaan yang bersifat tetap. Bahkan apabila ketentuan terakhir ini dilanggar, maka PKWT tersebut akan berubah secara otomatis menjadi perjanjian kerja waktu tidak tertentu (PKWTT). Ketidakpastian hukum dalam masalah ini menjadi persoalan yang sering muncul ke permukaan karena pihak pengusaha cenderung untuk mempekerjakan pekerjanya dengan PKWT, sedangkan pekerja lebih memilih PKWTT karena lebih menjamin job security. Kenyataan ini menunjukkan bahwa banyak perusahaan yang memutuskan hubungan kerja terhadap pekerja tetap untuk kemudian direkrut kembali dengan PKWT (kontrak). Dalam sistuasi demikian, pekerja tidak ada pilihan lain kecuali menerima tawaran itu.11 Meskipun Pasal 59 UU No. 13/2003 melarang PKWT untuk pekerjaan yang berifat tetap, namun faktanya ada putusan Mahkamah Agung yang menafsirkan secara berbeda dan tidak melindungi buruh. Jadi, MA adakalanya tidak berpihak pada buruh, yaitu seperti tercermin pada putusan MA antara Tiara Medan Hotel dan Rahmita Arifa.12 11 Aloysius Uwiyono, Refleksi Masalah Hukum Perburuhan Tahun 2005 dan Tren Hukum Perburuhan Tahun 2006, <http://webdev.ui.ac.id/post/masalah-hukum-perburuhanid.html?UI=4e9bf2235bcd559a0f32>, diakses tanggal 2 Januari 2006. Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri 313 Penggugat, Rahmita Arifa, mulai bekerja pada tergugat Tiara Hotel Medan tanggal 1 Juli sampai dengan 30 September 2002, magang sejak 1 Oktober sampai dengan 27 Oktober 2004, orientasi 1 November 2004 sampai dengan 31 Oktober 2005, pekerja kontrak 1 November 2005 sampai dengan 31 Oktober 2006. Pekerjaan dan tanggung jawab kerja magang, orientasi, pekerja kontrak, pekerja tetap sama sekali tidak ada bedanya. Penggugat membidangi pekerjaannya sebagai tata hidangan, yaitu memberikan layanan makanan dan minuman yang ditempatkan di coffee shop Kutaraja (di Tiara Medan Hotel hanya ada satu restoran), jabatan waitress. Pengadilan Hubungan Industrial pada pengadilan Negeri Medan mengabulkan gugatan penggugat, menyatakan PKWT yang dibuat antara penggugat dan tergugat adalah tidak sah dan batal demi hukum dan menghukum Tergugat untuk mempekerjakan kembali Penggugat ke tempat posisi kerja semula dengan status Penggugat berubah menjadi pekerja tetap. Namun pada tingkat kasasi, Mahkamah Agung berpendapat lain, PKWT antara Penggugat dan Tergugat telah sesuai peraturan perundang-undangan sehingga sah dan mengikat kedua belah pihak, dan hubungan kerja antara Penggugat dan Tergugat telah berakhir demi hukum tanggal 31 Oktober 2006 sesuai PKWT tersebut. Pertimbangan tersebut membenarkan alasan pengusaha yang menyatakan, pekerjaan pekerja selaku waitress coffee shop yang merupakan fasilitas / sarana pendamping dari usaha pokok jasa perhotelan sehingga tidak bertentangan dengan Pasal 59 ayat (1) dan (2) UU No. 13/2003. Putusan Mahkamah Agung tersebut menurut penulis kurang tepat, karena ada empat pertanyaan tentang jenis dan sifat pekerjaan waitress coffee shop pada usaha perhotelan yang perlu 12 Putusan tingkat kasasi dalam Tiara Medan Hotel v. Rahmita Arifa Nomor 131 K/Pdt.Sus/2007 jo. Putusan PHI pada Pengadilan Negeri Medan Nomor 139/G/2006/PHI.Medan. 314 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 dijawab untuk menentukan apakah jenis dan sifat pekerjaan tersebut sesuai jika dilakukan dengan PKWT. Adapun pertanyaan tersebut berdasarkan Pasal 59 ayat (1) huruf a s/d d UU No, 13/2003, yakni: a. b. c. d. Apakah pekerjaan waitress coffee shop merupakan pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya? Apakah pekerjaan waitress coffee shop merupakan pekerjaan yang diperkirakan waktu penyelesaiannya tidak terlalu lama dan paling lama tiga tahun? Apakah pekerjaan waitress coffee shop merupakan pekerjaan yang bersifat musiman? Apakah pekerjaan waitress coffee shop merupakan pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam percobaan atau penjajakan? Dari keseluruhan pertanyaan tersebut sesungguhnya sudah dapat dijawab bahwa pekerjaan waitress coffee shop merupakan pekerjaan yang tidak dapat dilakukan dengan PKWT.13 Sehingga putusan Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Medan adalah lebih tepat daripada putusan Mahkamah Agung. Namun, adapula putusan Mahkamah Agung yang menguntungkan pekerja, yaitu misalnya putusan MA dalam perkara antara KDS. Cantonese Restaurant v. Charles FL. Hanoch. Dalam pertimbangannya, Mahkamah Agung menyatakan bahwa pekerja selaku kepala bagian personalia tidak tergolong pada jenis dan sifat atau kegiatan pekerjaan seperti yang diatur dalam Pasal 59 ayat (1) huruf a s/d d UU No. 13/2003. Dengan demikian, hukum PKWT berubah menjadi PKWTT, oleh karena itu bila terjadi PHK, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima, sebagaimana diatur dalam pasal 156 UU No. 13/2003.14 13 Farianto & Darmanto, “Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara PHI tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum”, (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), hal. 4. 14 Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam KDS. Cantonese Restaurant v. Charles FL. Hanoch Nomor 05 K/PHI/2006. Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri 2. 315 PHK Karena Kesalahan Berat Kategori kesalahan berat yang diatur dalam ketentuan Pasal 158 ayat (1) UU No. 13/2003 ternyata merupakan perbuatan pidana yang telah diatur oleh KUHP, sehingga ketentuan Pasal 158 dinilai telah melanggar asas praduga tidak bersalah, selain itu ketentuan Pasal 159 jo Pasal 170 UU No. 13/2003 yang memberikan dasar untuk melakukan PHK sepihak oleh perusahaan, juga menjadi faktor pendorong permohonan judicial review terhadap beberapa ketentuan pasal-pasal UU No. 13/2003. Mahkamah Konstitusi, dalam putusan No. 012/PUU-I/2003 tanggal 28 Oktober 2004, atas hak uji materiil UU No. 13/2003 tentang Ketenagakerjaan terhadap UUD 1945, memutuskan bahwa Pasal 158, 159 dan beberapa anak kalimat dalam pasal lain yang merujuk pada ketentuan Pasal 158 UU No. 13/2003, dinyatakan bertentangan dengan UUD RI Tahun 1945 sehingga tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Pertimbangan hukum putusan tersebut menyatakan bahwa Pasal 158 UU No. 13/2003 dinilai telah bertentangan dengan Pasal 27 ayat (1) UUD 1945, yang menyatakan bahwa: “segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya”. Setelah MK menyatakan Pasal 158 UU No. 13/2003 tidak memiliki kekuatan hukum tetap, telah memacu pelaku usaha untuk mencari alternatif alasan PHK karena kesalahan berat. Sebab para pelaku usaha merasa telah terjadi ketidakadilan, karena proses PHK terhadap pekerja yang secara nyata terbukti melakukan kesalahan berat pada akhirnya oleh pengadilan di PHK dengan diberikan kompensasi berupa uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Sedangkan terhadap pekerja yang berprestasi di perusahaan, tapi karena suatu sebab, harus mengundurkan diri, hanya berhak atas uang penggantian hak dan uang pisah. Upaya yang ditempuh oleh perusahaan maupun serikat pekerja untuk dapat menggunakan ketentuan eks Pasal 158 UU No. 13/2003, diantaranya adalah merevisi atau membuat kalimat baru yang dituangkan dalam Peraturan Perusahaan atau Perjanjian Kerja Bersama. Namun ternyata, ketentuan eks Pasal 158 UU No. 13/2003 tidak dapat diterapkan sebagaimana terlihat pada putusan 316 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 Mahkamah Agung dalam PT. Artika Optima Inti v. Pahar Pellupessy.15 Dalam memori kasasi pengusaha menyatakan bahwa pekerja telah mengedarkan kupon togel di area perusahaan kepada rekan sekerjanya. Dalam alasan yang diajukan oleh pengusaha, bahwa Pasal 158 ayat (1) huruf d UU No. 13/2003 melarang perjudian, dan pengusaha juga menyatakan bahwa ketentuan tersebut sama dengan ketentuan PKB Pasal 55 ayat (1) huruf 1.3. Dalam pertimbangan hukumnya, MA menyatakan alasan tersebut tidak dapat dibenarkan karena judex factie tidak salah menerapkan hukum sehingga permohonan kasasi pengusaha ditolak. Namun demikian, hubungan kerja tetap dinyatakan putus dengan mewajibkan pengusaha membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. Putusan MA di atas merupakan bukti bahwa MA telah menegakkan hukum sesuai putusan MK yang menyatakan Pasal 158 UU No. 13/2003 tidak berlaku, dengan konsekwensi yang cenderung merugikan pengusaha. Putusan MA lainnya yang cenderung menguntungkan pekerja, diantaranya dalam putusan PT. Parindo Permai v. Berta Apriana Kifli.16 Dalam memori kasasi, pengusaha menyatakan bahwa pekerja telah menggunakan uang perusahaan tanpa izin perusahaan atau atasan, sehingga berdasarkan Peraturan Perusahaan Pasal 24, perbuatan pekerja merupakan kesalahan berat yang sanksinya adalah PHK tanpa pesangon. Dalam amarnya, MA menolak permohonan kasasi pengusaha dan menyatakan bahwa pertimbangan 15 Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam PT. Artika Optima Inti v. Pahar pellupessy Nomor 154 K/PHI/2006. 16 Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam PT. Parindo Permai. Berta Apriana Kifli Nomor 25 K/PHI/2007. Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri 317 judex factie tidak salah, bahwa perbuatan pekerja bukan sebagai kesalahan berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1603 huruf O Kitab UndangUndang Hukum Perdata. Putusan tersebut secara konkret telah membuktikan bahwa kesalahan berat yang diatur dalam peraturan perusahaan, dalam praktiknya tidak dapat diterapkan, meskipun pengadilan pada akhirnya tetap menyatakan hubungan kerja putus, tapi pengusaha diwajibkan untuk membayar uang pesangon, uang penghargaan masa kerja, dan uang penggantian hak. 3. PHK yang Diajukan Pekerja UU No. 13/2003 mengatur tentang alasan PHK yang dapat dimohonkan oleh pekerja. Hal tersebut diatur dalam Pasal 169 UU No. 13/2003, yang menyatakan bahwa pekerja/buruh dapat mengajukan permohonan PHK kepada lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial dalam hal perusahaan melakukan perbuatan sebagai berikut: a. b. c. d. e. f. menganiaya, menghina secara kasar, atau mengancam pekerja/buruh, membujuk dan/atau menyuruh pekerja/buruh untuk melakukan perbuatan yang bertentangan dengan peraturan perundangundangan, tidak membayar upah tepat pada waktu yang telah ditentukan selama tiga bulan berturut-turut atau lebih, tidak melakukan kewajiban yang telah dijanjikan kepada pekerja/buruh, memerintahkan pekerja/buruh untuk melaksanakan pekerjaan di luar yang telah diperjanjikan, atau memberikan pekerjaan yang membahayakan jiwa, keselamatan, kesehatan, dan kesusilaan pekerja/buruh sedangkan pekerjaan tersebut tidak dicantumkan pada perjanjian kerja. Pasal 169 ayat (1) UU No. 13/2003 tersebut kurang adil bagi pengusaha, karena pekerja masih dapat menggunakan alasan PHK yang termasuk kualifikasi perbuatan pidana, yakni perbuatan menganiaya, menghina, dan perbuatan asusila. Sementara pengusaha telah kehilangan ketentuan pasal tersebut sejak 318 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 diterbitkannya putusan MK No. 012/PUU-I/2003 yang menyatakan Pasal 158 UU no. 13/2003 tidak mempunyai kekuatan hukum yang yang mengikat karena dinilai bertentangan dengan UUD 1945 dan asas praduga tak bersalah. Dalam praktik peradilan, alasan PHK yang kerap dijumpai adalah karena pengusaha tidak membayarkan upah pekerja.17 Untuk memahami penerapan hukum atas alasan PHK yang diajukan oleh pekerja karena tidak dibayarkan upahnya, dapat dilihat secara konkret dalam putusan MA antara Paramita/Direktris CV. Marman v. Imran Nasution.18 Pekerja telah bekerja sejak tahun 2002 sebagai sopir dan pada saat setelah pekerja minta izin untuk menengok orang tuanya pada bulan Mei 2006, pekerja diminta untuk menyerahkan kunci mobil dan dilarang untuk dating ke perusahaan. Selain itu pengusaha sejak Januari 2006 tidak membayarkan upah pekerja, yang ternyata dibantah oleh pengusaha dengan alasan tidak pernah melakukan PHK sedangkan mengenai upah sejak Januari telah diubah menjadi system borongan sehingga pekerja, karena tidak mendapat muatan, maka tidak mendapatkan upah. Dalam amarnya, permohonan kasasi pengusaha dinyatakan ditolak, sehingga putusan PHI Bengkulu Nomor 07/PHI.G/2006/PHI/PN.BKL yang menyatakan hubungan kerja berakhir karena pengusaha telah melanggar hukum tidak membayar upah pekerja, dapat dibenarkan. Hal tersebut membuktikan bahwa alasan PHK pekerja terbukti sehingga pengusaha dihukum untuk membayar uang pesangon dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) dan uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4). 17 18 Farianto & Darmanto, Op. Cit., hal. 361. Putusan Mahkamah Konstitusi pada tingkat kasasi dalam Paramita/Direktris CV. Marman v. Imran Nasution Nomor 160 K/PHI/2007. Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri 4. 319 Pekerja Mengundurkan Diri Atas Kemauan Sendiri Mengundurkan diri merupakan tindakan sukarela dari pekerja untuk mengakhiri hubungan kerja dengan pengusaha. Ketentuan tentang mengundurkan diri diatur dalam Pasal 162 UU No. 13/2003. Latar belakang mengundurkan diri antara lain disebabkan karena pekerja merasa tidak cocok dengan perusahaan atau pekerja memperoleh pekerjaan di tempat lain. Dalam hal ketentuan Pasal 162 tidak terpenuhi, maka pengunduran diri tersebut batal demi hukum sesuai Pasal 170 UU no. 13/2003. Ketentuan tersebut merupakan bentuk perlindungan hukum yang diberikan oleh Negara kepada pekerja, karena hal tersebut dapat dijadikan acuan untuk mengetahui apakah pengunduran diri dilakukan secara sukarela atau ada unsur paksaan dari pengusaha. Contoh putusan pengadilan terkait kasus pengunduran diri, diantaranya putusan MA antara PT. Zebra Nusantara Tbk v. Ricky J. Gunawan.19 Dalam putusan, terungkap bahwa secara formal terdapat surat pengunduran diri dari pekrja, namun oleh karena latar belakang dari pengunduran diri disebabkan adanya janji-janji atau tipu muslihat sebagaimana dinyatakan oleh pekerja dank arena mekanisme pengunduran diri tidak dilakukan sesuai Pasal 162 jo 170 UU No. 13/2003, maka MA menilai bahwa perbuatan pekerja bukan merupakan pengunduran diri, sehingga berhak atas pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), dan uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4) UU No. 13/2003. 5. Pengunduran Diri Karena Mangkir Mangkir, menurut Pasal 168 ayat (1) UU No. 13/2003, dikualifikasikan sebagai mengundurkan diri sehingga kompensasi yang menjadi hak pekerja yang mangkir hanya uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4) UU No. 13/2003. Namun jika unsurunsur mangkir tidak terpenuhi, maka berdasarkan Pasal 170 UU 19 Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam PT. Zebra Nusantara Tbk v. Ricky J. Gunawan Nomor 02 K/PHI/2006. 320 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 No. 13/2003, pekerja harus dipekerjakan kembali. Jika pengusaha tidak mau mempekerjakan kembali, maka sesuai Pasal 163 ayat (2), pengusaha wajib membayar pesangon sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), uang penghargaan masa kerja satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai ketentuan dalam Pasal 156 ayat (4). Berikut adalah contoh putusan pengadilan terkait kasus yang tidak memenuhi unsur mangkir, namun pekerja tidak dipekerjakan kembali dan tidak menerima pesangon sesuai Pasal 163 ayat (3). Putusan yang tentunya merugikan pekerja, yaitu putusan MA antara Pimpinan Rumah Makan Menado v. Maritje Majano.20 Dalam perkara ini terungkap bahwa pekerja tidak masuk kerja, tetapi pada saat kembali bekerja, pengusaha melarang pekerja untuk bekerja sehingga pekerja tidak sempat menunjukkan surat keterangan sakit dari Puskesmas. Dalam putusannya, MA menolak kasasi pengusaha dengan memperbaiki putusan P4D Maluku dengan mewajibkan pengusaha membayar pesangon satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU No. 13/2003 beserta kekurangan upah dan lembur yang belum dibayar. Putusan ini tidak konkret memberikan pertimbangan tentang alasan hukum dari P4D Maluku yang mewajibkan pengusaha membayar pesangon sebesar satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), ayat (3) dan ayat (4) UU No. 13/2003. Namun dari fakta yang terungkap, pekerja tidak masuk kerja karena sakit selama tiga hari, maka dapat disimpulkan bahwa sesungguhnya P4D dan MA menilai bahwa perbuatan pengusaha menolak kehadiran pekerja untuk bekerja adalah tidak dibenarkan. Namun, di sisi lain surat keterangan sakit dari Puskesmas yang belum sempat diserahkan dinilai tidak bernilai hukum, sehingga ketidakhadiran pekerja dianggap sebagai suatu pelanggaran, dan hal tersebut dapat dilihat dari besaran kompensasi yang wajib dibayarkan oleh pengusaha kepada pekerja. 20 Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam Pimpinan Rumah Makan Manado v. Maritje Majano Nomor 153 K/PHI/2006. Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri 321 Padahal sesuai UU No. 13/2003, tidak hadirnya pekerja di tempat kerja selama tiga hari, belum dapat dikualifikasikan sebagai mangkir, karena kualifikasi mangkir adalah tidak bekerja selama lima hari kerja berturut-turut (Pasal 168 ayat (1) UU No. 13/2003). Selain itu Pasal 168 ayat (2) UU No. 13/2003 mengizinkan pekerja pada hari pertama bekerja untuk menyerahkan surat keterangan sakit dari puskesmas. Dan terungkap juga tidak adanya dua panggilan yang sah pada saat pekerja tidak masuk bekerja. Hal ini menunjukkan bahwa ketentuan Pasal 168 tidak terpenuhi, sehingga sesuai Pasal 170 UU No. 13/2003, pekerja seharusnya dipekerjakan kembali. Jika di PHK maka pekerja berhak atas pesangon sesuai Pasal 163 ayat (3) UU No. 13/2003, yaitu sebesar dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2), satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3), dan uang penggantian hak sesuai Pasal 156 ayat (4) UU No. 13/2003. Dengan demikian putusan MA di atas merupakan contoh putusan pengadilan yang kurang melindungi kepentingan buruh. 6. Outsourcing Sejak diundangkannya UU No. 13/2003, outsourcing pekerja menjadi menjamur. Hal ini disebabkan pengusaha dalam rangka efisiensi merasa aman jika buruh yang di-outsource adalah buruhnya perusahaan jasa pekerja. Sehingga yang bertanggung jawab terhadap buruh outsource tadi adalah perusahaan jasa pekerja. Perusahaan-perusahaan ini merasa di-back up oleh Pasal 6 ayat (2 a) yang menyatakan bahwa antara perusahaan jasa pekerja harus ada hubungan kerja dengan buruh yang ditempatkan pada perusahaan pengguna. Di lain pihak, pihak buruh yang dioutsource juga merasa di-back up oleh Pasal 1 butir 15 yang menyatakan bahwa hubungan kerjanya bukan dengan perusahaan jasa pekerja, melainkan dengan perusahaan pengguna. Hal ini disebabkan unsur adanya upah, pekerjaan, dan perintah hanya ada dalam hubungannya dengan perusahaan pengguna, bukan dengan perusahaan jasa pekerja. Kedua pasal ini menimbulkan ketidakpastian hukum bagi pengusaha dan buruh apalagi outsourcing pekerja pada saat ini lagi ngetren. Banyak perusahaan memutuskan hubungan kerja dengan buruhnya untuk selanjutnya direkrut kembali melalui perusahaan jasa pekerja (outsourcing pekerja). Hal ini berarti bahwa melalui Pasal 6 ayat (2 a) UU No. 13/2003, Pemerintah melegalkan bukan sekedar perbudakan 322 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 modern, melainkan juga termasuk human trafficking. Suatu pelanggaran hak asasi manusia.21 III. Penutup Secara falsafati, hukum dibentuk untuk melindungi yang lemah. Begitu juga hakekat hukum buruh, mestinya ditujukan untuk melindungi buruh itu sendiri. Namun dalam kenyataannya tidak demikian. Hukum dalam konteks kebijakan perburuhan lebih memperlihatkan kontradiksi atas jaminan perlindungan hak-hak kaum buruh. Dalam perspektif Marxian, logika kapitalisme telah memasuki dimensi sosial, hukum dan hubungan kekuasaan politik yang mendukung eksploitasi buruh.22 Uraian pada Bab II di atas menunjukkan bahwa hukum perburuhan tidak hanya melindungi kepentingan buruh, tapi juga kepentingan investor. Bahkan penegak hukum pun turut serta dalam tarik-menarik antara kepentingan buruh dan pengusaha sebagaimana tercermin pada putusan pengadilan yang dipaparkan di atas, yaitu ada yang mendukung kepentingan buruh, tapi ada pula yang menguntungkan pengusaha. Adanya putusan MK yang menyetujui sebagian permohonan uji materil UU No. 13/2003 dan pembatalan diajukannya draf revisi UU No.13/2003 kepada DPR oleh pemerintah, menunjukkan bahwa penegak hukum (dalam hal ini MK) dan pemerintah masih tergerak untuk melindungi kepentingan buruh, walaupun hal itu berawal dari desakan kaum buruh. Menurut Prof. Aloysius Uwiyono, di negara-negara berkembang seperti Indonesia yang tahap pembangunannya dilakukan secara konkuren (tahap unifikasi, tahap industrialisasi dan tahap kesejahteraan berlangsung secara bersamaan), kondisi ini sangat memperngaruhi perkembangan hukum perburuhan. Tahap industrialisasi yang menekankan pertumbuhan ekonomi setinggi-tingginya akan mengarahkan hukum perburuhan untuk melindungi pemilik modal. Hal ini berarti bahwa buruh dikorbankan demi pertumbuhan ekonomi yang setinggi-tingginya. Di lain pihak pada tahap kesejahteraan, fokus pembangunan adalah untuk memperhatikan kesejahteraan masyarakat termasuk buruh. Tuntutan pemulihan ekonomi dari krisis multidimensional dan tuntutan peningkatan kesejahteraan berjalan bersamaan. Pihak 21 Uwiyono, Op. Cit. 22 R. Herlambang Perdana Wiratman, Disain Hukum Perburuhan: Antara Kepentingan Perlindungan Hak Asasi Manusia vs. Dominasi Kebijakan Liberalisasi Pasar, Jurnal FPBN, Edisi 8 September 2007 – Maret 2008. Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri 323 pemerintah cenderung untuk memihak para pelaku bisnis karena pemerintah menghadapi persoalan bagaimana menarik investor domestik/asing dan untuk mengatasi masalah pengangguran. Dengan demikian tren hukum perburuhan 2006 akan diarahkan keberpihakannya kepada pelaku bisnis bukan kepada pekerja/buruh semata-mata.23 Menurut penulis, apa yang disampaikan oleh Prof. Aloysius Uwiyono di atas, bahwa tren hukum perburuhan 2006 akan diarahkan keberpihakannya kepada pelaku bisnis, bukan kepada pekerja semata-mata, adalah masih relevan hingga saat ini sepanjang negara Indonesia masih membutuhkan modal dari investor domestik / asing. Oleh karena itu, diperlukan komitmen keberlanjutan gerakan dari buruh dan serikat-serikatnya untuk terus-menerus menekan kebijakan agar lebih lebih pro buruh dan hak asasi manusia. Dengan gerakan akan bisa terus-menerus mengingatkan pemerintah, penegak hukum dan pengusaha agar melindungi hak-hak buruh. Hal ini sudah dibuktikan dengan dikabulkannya sebagian permohonan uji materiil UU No. 13/2003 oleh Mahkamah Konstitusi serta dibatalkannya draf revisi UU No. 13/2003 oleh pemerintah. Hukum merupakan produk politik, cerminan dari siapa yang lebih kuat memberikan pengaruh. Oleh karena itu, buruhpun harus memulai memberikan pengaruhnya dengan kekuatan terorganisir, sehingga demokratisasi yang berjalan sekarang ini bisa lebih memberikan kesempatan politik buruh yang lebih adil dan tidak mudah dibengkokkan dalam marginalisasi hak-hak buruh. Namun buruh juga harus mau memahami bahwa hukum perburuhan merupakan kompromi optimal antara kepentingan buruh dan pengusaha, bukan hanya menyerap kepentingan satu pihak saja. 23 Uwiyono, Op. Cit. 324 Jurnal Hukum dan Pembangunan Tahun ke-39 No.3 Juli-September 2009 Daftar Pustaka Buku Abdussalam, H.R. Hukum Ketenagakerjaan (Hukum Perburuhan) Yang Telah Direvisi. Cetakan III, Jakarta: Restu Agung, 2009. Farianto & Darmanto. Himpunan Putusan Mahkamah Agung dalam Perkara PHI tentang Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) Disertai Ulasan Hukum, Jakarta: Rajawali Pers, 2009. Artikel Kontan. Good Bye Indonesia, Relokasi Industri ke Luar Negeri Menjadi Kenyataan. Edisi 23/V, 5 Maret 2001. Wiratman, R. Herlambang Perdana. Disain Hukum Perburuhan: Antara Kepentingan Perlindungan Hak Asasi Manusia vs. Dominasi Kebijakan Liberalisasi Pasar. Jurnal FPBN edisi 8 September 2007 – Maret 2008. Internet Fitriana, Rochmat. “Membongkar Kembali UU Ketenagakerjaan”, <http://www.bisnis.com/servlet/page?_pageid=483&_dad=portal30&_ schema=PORTAL30&pared_id=333489>, diakses tanggal 1 Desember 2004. Ipk. “Presiden: Draf revisi UU No. 13/2003 Batal Diajukan ke DPR”, <http://www.kapanlagi.com/h/0000110855.html>, diakses tanggal 8 April 2006. Kurniawan, Sono. “Tolak Revisi UU No. 13/2003 Ketenagakerjaan”, <http://www.mail-archieve.com/ekonomi-nasional@yahoogroups,com /msg05519.html>, diakses tanggal 6 April 2006. Suwito, W. “Urgensinya Pembaharuan Hukum Perburuhan”, <http://arsip.pontianakpost.com/berita/index.asp?Berita=Opini&id=92 0>, diakses tanggal 29. 27 Juni 2005. Tjandra, Surya. “Menemukan Kembali Hukum Perburuhan Yang Sejati: Beberapa Catatan Konseptual”, <http://fpbn.blogspot.com/2006/10/ Peraturan Hukum Perburuhan dan Sikap Pengadilan, Khoiri menemukan-kembali-hukum-pe_11605484940340501>, tanggal 19 April 2006. 325 diakses Uwiyono, Aloysius. “Refleksi Masalah Hukum Perburuhan Tahun 2005 dan Tren Hukum Perburuhan Tahun 2006”, <http://webdev.ui.ac.id/post/ masalah-hukum-perburuhan-id.html?UI=4e9bf2235bcd559a0f32>, diakses tanggal 2 Januari 2006. Putusan Pengadilan Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam PT. Zebra Nusantara Tbk v. Ricky J. Gunawan Nomor 02 K/PHI/2006. Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam KDS. Cantonese Restaurant v. Charles FL. Hanoch Nomor 05 K/PHI/2006. Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam Pimpinan Rumah Makan Manado v. Maritje Majano Nomor 153 K/PHI/2006. Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam PT. Artika Optima Inti v. Pahar pellupessy Nomor 154 K/PHI/2006. Putusan Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dalam PT. Parindo Permai v. Berta Apriana Kifli Nomor 25 K/PHI/2007. Putusan tingkat kasasi dalam Tiara Medan Hotel v. Rahmita Arifa Nomor 131 K/Pdt.Sus/2007 jo. Putusan PHI pada Pengadilan Negeri Medan Nomor 139/G/2006/PHI.Medan. Putusan Mahkamah Konstitusi pada tingkat kasasi dalam Paramita/Direktris CV. Marman v. Imran Nasution Nomor 160 K/PHI/2007.