Jurnal Pengabdian pada Masyarakat Volume 31, Nomor 2 April – Juni 2016 MENINGKATKAN PEMAHAMAN MASYARAKAT TERHADAP UNDANG UNDANG NO.31 TAHUN 2014 TENTANG PERLINDUNGAN SAKSI DAN KORBAN DI DESA ARO KECAMATAN MUARO BULIAN KABUPATEN BATANGHARI. Kabib Nawawi dan Aprillani Arsyad Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Jambi Abstrak Masalah korban kejahatan menimbulkan berbagai permasalahan dalam masyarakat pada umumnya dan pada korban/pihak korban kejahatan pada khususnya. Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immaterial maupun materiil. Hal demikian memunculkan persoalan klasik, bahwa peradilan pidana sebagai basis peneyelesaian perkara pidana kurang mengakui eksistensi korban kejahatan selaku pencari keadilan. Korban hanya diposisikan sebagai pemberi kesaksian, sebagai pelapor dalam proses penyidikan dan sebagai sumber informasi atau sebagai salah satu kunci penyelesaian perkara. Sebaliknya pada saat korban tidak dapat memenuhi kewajibannya sebagai saksi di persidangan, ia dikenakan sanksi. Sebagai upaya menumbuhkan partisipasi dan mengungkap tindak pidana, pemerintah menganggap perlu untuk menciptakan iklim yang kondusip dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada korban, sehingga pemerintah telah menerbitkan Undang-undang yang khusus mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban, yaitu Undang-undang No.31 Tahun 2014. Walaupun sudah ada Undang-undang yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap saksi dan korban, namun masyarakat masih banyak yang belum mengetahui akan hak-hak dan kewajiban saksi maupun korban, seperti yang terdapat dalam Undang-undang tersebut. Kata Kunci: Perlindungan Saksi dan Korban PENDAHULUAN. Persoalan kejahatan tidak terlepas dari tiga hal pokok, yaitu: (1) pelaku kejahatan, (2) korban kejahatan, (3) saksi kejahatan. Ketiga komponen pihak tersebut merupakan suatu komponen yang saling terkait satu sama lain dan sangat penting guna membuktikan ada tidaknya suatu kejahatan. Suatu hal yang tidak dapat dapat dipungkiri bahwa yang menjadi fokus perhatian dalam suatu proses peradilan adalah orang yang melanggar hukum yaitu tersangka/terdakwa dalam peradilan pidana. Dalam penyelesaian perkara pidana, seringkali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah: “dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecendrungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban. Masalah korban kejahatan menimbulkan berbagai permasalahan dalam masyarakat pada umumnya dan pada korban/pihak korban kejahatan pada khususnya. Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immaterial maupun materiil. Hal demikian memunculkan persoalan klasik, bahwa peradilan pidana sebagai basis peneyelesaian perkara pidana kurang mengakui eksistensi korban kejahatan selaku pencari keadilan. Korban hanya diposisikan sebagai pemberi kesaksian, sebagai pelapor dalam proses penyidikan dan sebagai sumber informasi atau sebagai salah satu kunci penyelesaian perkara. Sebaliknya pada saat korban tidak dapat Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Di Desa Aro Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batanghari 1 Jurnal Pengabdian pada Masyarakat memenuhi kewajibannya sebagai saksi di persidangan, ia dikenakan sanksi. Yang dimaksud korban adalah: mereka yang menderita jasmaniah dan rohaniah akibat tindakan orang lain yang mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain yang bertentangan dengan kepentingan dan hak asasi yang menderita. Korban kejahatan umumnya akan mengalami berbagai penderitaan, Salah satu korban kejahatan adalah korban perkosaan. Seorang wanita korban perkosaan selain menderita secara fisik, juga mengalami tekanan batin yang hebat akibat perkosaan, seperti perasaan kotor, berdosa dan tidak punya masa depan, serta terkadang mendapat perlakuan tidak adil dari masyarakat akibat budaya tabu terhadap hubungan seks di luar nikah. Korban sering kali menjadi korban ganda, ketika harus kerumah sakit untuk mengobati luka-lukanya, membiayai sendiri biaya transportasi, dan perawatan rumah sakit. Peran korban dalam persidangan lebih sebagai bagian dari pencarian kebenaran material, yaitu sebagai saksi. Dalam tahap pemeriksaan, seperti halnya korban perkosaan, tidak sedikit yang mengabaikan hak-hak asasi korban, misalnya korban diperiksa tanpa didampingi oleh tenaga medis, ditanya dengan mempergunakan kalimat-kalimat yang terkesan vulgar dan sebagainya. Mengenai masalah perlindungan hukum terhadap korban ini masih kurang mendapat perhatian dari masyarakat, pemerintah maupun aparat penegak hukum. Hal ini disebabkan karena rendahnya kedudukan saksi dan korban dalam penanganan perkara pidana. Padahal dalam penanganan perkara pidana, saksi korban merupakan unsur yang yang menentukan atas terungkap atau tidak terungkapnya suatu kasus pidana, tergantung pada keterangan yang akan diberikan saksi korban. Kebanyakan dari kasus - kasus yang tidak terungkap disebabkan karena saksi maupun saksi korban kejahatan takut untuk memberikan keterangan atau kesaksian kepada aparat penegak hukum, karena mendapat Volume 31, Nomor 2 April – Juni 2016 ancaman dari pelaku maupun pihak lain, sehingga korban kerap merasa terancam dengan tidak mendapatkan perlindungan. Sebagai upaya menumbuhkan partisipasi dan mengungkap tindak pidana, pemerintah menganggap perlu untuk menciptakan iklim yang kondusip dengan cara memberikan perlindungan hukum dan keamanan kepada korban, sehingga pemerintah telah menerbitkan Undangundang yang khusus mengatur tentang perlindungan terhadap saksi dan korban, yaitu Undang-undang No.31 Tahun 2014. Walaupun sudah ada Undang-undang yang mengatur tentang perlindungan hukum terhadap saksi dan korban, namun masyarakat masih banyak yang belum mengetahui akan hak-hak dan kewajiban saksi maupun korban, seperti yang terdapat dalam Undang-undang tersebut. Dilandasi oleh ketentuan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku di Negara Republik Indonesia, korban berhak untuk mendapatkan perlindungan dari negara atau lembaga yang dibentuk oleh Negara. Keluarnya Undang-undang No. 31 Tahun 2013 tentang perlindungan saksi dan korban, merupakan implementasi dari penegakan hak asasi manusia khususnya bagi saksi dan korban yang selama ini diabaikan oleh Negara, sebagaimana dikemukakan oleh Philipus M.Hadjon, bahwa konsepsi the rule of law menempatkan hak asasi manusia sebagai ciri khas pada Negara yang menjunjung tinggi the rule of law, bagi suatu Negara demokrasi pengakuan dan perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia terutama memberikan perlindungan terhadap korban merupakan salah satu ukuran tentang baik buruknya suatu pemerintahan. Korban tindak pidana sebagai subjek hukum (natuurlijke person) mempunyai hak dan kewajiban dalam melakukan perbuatan hukum berkaitan dengan peristiwa tindak pidana yang menimpa dirinya. Menurut Mansur (2007), hak-hak korban antara lain: Hak untuk memperoleh ganti kerugian atas penderitaan yang dialaminya Hak untuk memperoleh pembinaan dan rehabilitasi Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Di Desa Aro Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batanghari 2 Jurnal Pengabdian pada Masyarakat Hak untuk memperoleh perlindungan dari ancaman pelaku Hak untuk memperoleh bantuan hokum Hak untuk mmperoleh kembali hak (harta) miliknya Hak untuk diberitahu bila pelaku kejahatan akan dikeluarkan dari tahanan sementara, ataubila pelaku buron dari tahanan Hak untuk memperoleh akses ats pelayanan medis Hak untuk memperoleh informasi tentang penyidikan polisi berkaitan dengan kejahatan yang menimpa korban Hak atas kebebasan pribadi/kerahasiaan pribadi, seperti merahasiakan nomor telepon atau identitas korban lainnya. Berkaitan dengan hak-hak korban di atas sudah seharusnya mendapatkan perhatian lebih dari berbagai pihak, terutama aparat penegak hukum dan pemerintah, karena hal itu merupakan hak asasi manusia yang paling dasar dan patut dilindungi. Peraturan perundang-undangan yang mengatur perlindungan hukum terhadap korban, secara garis besar dapat dilihat adanya dua sifat perlindungan hukum terhadap korban kejahatan, yaitu perlindungan hukum secara langsung dan secara tidak langsung. Perlindungan hukum terhadap korban yang bersifat langsung, maksudnya perlindungan hukum tersebut tertuju dan dapat dirahasiakan secara langsung dan konkret terhadap korban kejahatan tersebut, hal ini dapat dilihat dalam Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban yang tercermin dalam Pasalpasal sebagai berikut: Pasal 5 UU No.13 Tahun 2006 yang sudah diperbaharui dengan Undang-Undang No.31 Tahun2014, merumuskan: Seorang saksi dan korban berhak: 1. Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga, dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang, atau telah diberikannya; 2. Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; 3. Memberian keterangan tanpa tekanan; Volume 31, Nomor 2 April – Juni 2016 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. Mendapat penerjemah; Bebas dari pertanyaan yang menjerat; Mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus; Mendapatkan informasi mengenai putusan penagdilan; Mengetahui dalam hal terpidana dibebaskan; Mendapat identitas baru Mendapatkan kediaman baru; Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan Mendapat nasihat hukum; dan/atau Memperoleh bantuan biaya hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan kepada saksi dan/atau korban tindak pidana dalam kasus tertentu sesuai dengan keputusan LPSK. Pasal 8 Perlindungan dan hak saksi dan korban diberikan sejak tahap penyelidikan dimulai dan berakhir sesuai dengan ketentuan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Pasal 9: 1) Saksi dan/atau korban yang merasa dirinya berada dalam ancaman yang sangat besar, atas persetujuan hakim dapat memberikan kesaksian tanpa hadir langsung di Pengadilan tempat perkara tersebut sedang diperiksa 2) Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat memberikan kesaksiannya secara tertulis yang disampaikan di hadapan pejabat yang berwenang dan membubuhkan tanda tangannya pada berita acara yang memuat tentang kesaksian tersebut. 3) Saksi dan/atau korban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat pula didengar kesaksiannya secara langsung melalui sarana elektronik dengan didampingi oleh pejabat yang berwenang. Upaya yang dapat dilakukan dalam pemeberian perlindungan hukum terhadap saksi dan korban kejahatan yaitu dengan Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Di Desa Aro Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batanghari 3 Jurnal Pengabdian pada Masyarakat membentuk suatu lembaga milik pemerintah maupun non pemerintah yang bertugas dan bertanggungjawab dalam memberikan pelayanan terhadap korban sebagaimana yang ditentukan dalam Pasal 11 UU No.31 Tahun 2014, yaitu membentuk lembaga Perlindungan Saksi dan Korban yang bersifat mandiri. Lembaga perlindungan Saksi dan Korban bertanggungjawab untuk menangani pemeberian perlindungan dan bantuan pada saksi dan korban berdasarkan tugas dan kewenangan sebagaimana diatur dalam Undang-undang ini. Tujuan utama program pelayanan korban ini adalah pemulihan korban secara fisik, mental dan social. Pemulihan ini dapat berjangka pendek maupun panjang sesuai dengan kebutuhan dan jenis masalah yang dihadapi. Selanjutnya dapat dikemukakan bahwa fungsi utama program pelayanan korban dapat dibagi dalam tiga bagian, yaitu: a. Fungsi primer adalah yang bersifat segera dan diperlukan, dan ditujukan memberikan pelayanan langsung secara segera kepada para klien yang meliputi, antara lain: 1) Bertanggungjawab langsung (segera) untuk para korban; 2) Menjamin korban dengan pelayanan medis atau pelayanan social darurat; 3) Melayani keperluan keluarga para klien yang mendesak; 4) Menjamin tidak akan terjadinya eksploitasi korban lebih lanjut oleh system peradilan criminal, media massa atau yang lain. 5) Penyediaan teman sementara kepada para korban b. Fungsi sekunder, yaitu lebih banyak berkaitan dengan perhatian jangka panjang dan luas lingkupnya lebih lebar meliputi, antara lain: 1) Membantu korban dalam berperan sebagai saksi; 2) Memberikan nasehat untuk mengurangi resiko viktimisasi. 3) Melanjutkan bantuan yang telah diberikan kepada para korban dan keluarganya mengenai pengaturan, Volume 31, Nomor 2 April – Juni 2016 asuransi, kompensasi untuk korban dan lain-lain; 4) Memberikan pelayanan keperluan manusia dan pengarahan kepada korban yang tidak melapor viktimasinya kepada pihak kepolisian. 5) Menjamin bahwa pembuktian dan informasi dari korban diproses dengan seksama, mempertahankan keseimbangan kepentingan antara keperluan-keperluan korban penuntut umum 6) Mengatur pengembalian barangbarang curian kepada korban segera setelah pengadilan selesai menggunakannya sebagai barang bukti. c. Fungsi tersier yaitu meliputi, antara lain: 1) Mengembangkan program-program penyadaran masyarakat untuk pemantapan target; 2) Melakukan survey viktimisasi secara priodik untuk digunakan dalam proses perencanaan. 3) Melembagakan kesadaran akan korban kejahatan pada masyarakat; 4) Mengumpulkan informasi daripada korban yang dapat dipergunakan dalam program-program pencegahan kejahatan masyarakat; 5) Mengembangkan standar-standar untuk menjamin semua bagian peradilan criminal memperhatikan kondisi korban berkaitan dengan perannya yang khusus 6) Membantu dalam mengembangkan perundang-undangan yang berorientasi pada kepentingan pihak korban khususnya mengenai program restitusi dan kompensasi. Di dalam kegiatan menyelenggarakan pelayanan, diperlukan adanya pendukung supaya tercapainya tingkat pelayanan terhadap para korban kejahatan yang baik dan optimal, sebagai berikut: a) Penyuluhan dan pendidikan khusus untuk para partisipasi pelaksana pelayanan. Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Di Desa Aro Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batanghari 4 Jurnal Pengabdian pada Masyarakat b) Partisipasi berbagai organisasi swasta dan pemerintah yang terkait sebagai penyandang tenaga, dana dan kesediaan berpartisipasi dengan berbagai cara; c) Peraturan perundang-undangan yang dapat menjadi pedoman dan dasar menjamin pelaksanaan pelayanan secara tepat dan cepat d) Pengadaan dana untuk pembiayaan pelaksanaan. Berdasarkan hal tersebut, penulis tertarik untuk membahasnya melalui pengabdian pada masyarakat ini,yaitu: Penyuluhan Hukum Terhadap Masyarakat mengenai hak-hak saksi maupun Korban Kejahatan . NO 1 2 JUDUL MATERI Volume 31, Nomor 2 April – Juni 2016 METODE PELAKSANAAN Metode pelaksanaan penyuluhan hukum yang kami lakukan yaitu dengan melakukan beberapa tahapan yaitu: Langkah-langkah dan tahapan pemecahan masalah yang akan diterapkan dalam kegiatan ini mencakup : 1. Persiapan Melakukan penjajakan terhadap pelaksanaan kegiatan penyuluhan hukum ini pada khalayak sasaran yaitu masyarakat yang berdomisili di desa Arow Kecamatan Muara Tembesi Kabupaten Batanghari. Selanjutnya hasil penjajakan dipergunakan untuk penyusunan materi kegiatan dan jadwal kegiatan, Penentuan mitra atau khalayak sasaran. 2. Materi Kegiatan Materi Kegiatan yang akan disampaikan oleh Narasumber meliputi : PEMATERI Pemahaman terhadap UU No. 31 Tahun Tim Pengusul 2013 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Tanya jawab dan Diskusi Tim Pengusul 3. Metode Pelaksanaan: Penyampaian informasi, Tanya jawab dan diskusi, Konsultasi Teknis, Pembinaan dan pemantauan 4. Metode pelaksanaan Metode pelaksanaan penyuluhan hukum akan dilakukan melalui beberapa cara antara lain: Melalui metode Ceramah. Metode ini ceramah ini akan diberikan langsung hadapan pelajar oleh pemateri selaku mitra sesuai dengan tema yang telah ditentukan Diskusi dan tanya jawab. 5. Evaluasi Evaluasi terhadap pelaksanaan kegiatan ini dilakukan baik terhadap proses maupun hasil yang didasarkan pada beberapa aspek, yaitu : Kehadiran peserta, Keaktifan peserta,Relevansi,Akseptabilitas,Ketepatgu naan,Dampak jangka panjang,Kuis. PENDAMPING Kepala Desa/Staf Kepala Desa/Staf 6. Penyusunan Laporan Penyusunan laporan dilakukan terhadap seluruh kegiatan mulai dari persiapan, pelaksanaan sampai evaluasi, dengan berpedoman pada ketentuan yang berlaku. PEMBAHASAN Dasar Pelaksanaan Pengabdian pada Masyarakat yang dilaksanakan dalam bentuk penyuluhan hukum didasarkan pada: Keputusan Rektor Universitas Jambi No: 638/UN21/PPM/2015 tanggal 06 Juli 2015 dan Surat Tugas Ketua Lembaga Pengabdian Kepada Masyarakat Universitas Jambi Nomor: 894/UN21.7/PM/2014, tanggal 06 Juli 2015. Pelaksanaan Kegiatan Kegiatan pengabdian pada masyarakat ini dikemas dalam bentuk Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Di Desa Aro Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batanghari 5 Jurnal Pengabdian pada Masyarakat Penyuluhan. Dalam penyampaian berbagai materi kegiatan, dilakukan dengan cara sebagai berikut: pertama disampaikan ceramah, kemudian dilanjutkan dengan diskusi. Kegiatan pengabdian pada masyarakat ini dilakukan dengan tahapan sebagai berikut: pertama, persiapan. Pada tahap ini dilakukan penentuan lokasi kegiatan, jumlah peserta dan hari serta tanggal kegiatan. Tahap berikutnya menyebarkan undangan dan konfirmasi kehadirannya dalam kegiatan ini. Kedua, pelaksanaan kegiatan. Kegiatan berlangsung selama satu hari penuh, dengan jumlah peserta kurang lebih 40 orang, setelah itu dilakukan penyusunan laporan dan proses administrasi penyampaian laporan kegiatan. Volume 31, Nomor 2 April – Juni 2016 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Kegiatan Penyuluhan Hukum ini dilaksanakan Di Desa Kaos Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari. Peserta Pengabdian pada Masyarakat ini dihadiri oleh Masyarakat Desa Kaos Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari yang dihadiri sekitar 40 orang peserta. Materi Penyuluhan Pelaksanaan pengabdian pada masyarakat yang telah dilakukan, Tim pengabdian menyampaikan beberapa materi tentang UU Perlindungan saksi dan korban, yaitu: Materi Kegiatan yang telah disampaikan oleh Narasumber dan Instruktur meliputi : MATERI PENYULUHAN TUJUAN 1. Pendahuluan a. Penjelaan UU No.31 Thn 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. b. Pemahaman masyarakat tentang pentingnya menjadi saksi dalam suatu perkara. 2. Peran masyarakat dalam mengungkap suatu kasus dan perlindungan yang diberikan kepada masyarakat yang menjadi saksi. 3. Simulasi Hukum Masyarakat dapat mengetahui dan memahami tentang Hak-hak seorang saksi, sehingga masyarakat yang menjadi saksi akan merasa terlindungi. Materi Peranan seorang saksi dalam setiap pesidangan perkara pidana sangat penting karena keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan keputusan hakim. Seorang saksi dianggap memiliki kemampuan yang dapat menentukan kemana arah putusan hakim. Hal ini memberikan efek kepada setiap keterangan saksi sebagai salah satu alat bukti berdasarkan Pasal 184 KUHAP, sehingga selalu mendapat perhatian yang sangat besar baik pelaku hukum yang terlibat didalam persidangan maupun oleh masyarakat pemerhati hukum. Oleh karena Masyarakat dapat berperan serta dalam memberikan kesaksian apabila dibutuhkan tanpa merasa takut. Mengetahui tingkat pemahaman peserta itu saksi sudah sepatutnya diberikan perlindungan hukum karena dalam mengungkap suatu tindak pidana saksi secara sadar mengambil resiko dalam mengungkap kebenaran materil. Dalam lapangan hukum acara pidana, saksi merupakan salah satu dari beberapa alat bukti yang sah berdasarkan Pasal 184 (1) Undang-Undang No 8 Tahun 1981 Tentang Hukum Acara Pidana Banyak fakta hukum belakangan ini yang dapat menjadi contoh bagaimana seorang saksi sangat dibutuhkan untuk mengungkap suatu tindak pidana. Hal mana sering terjadi pola-pola untuk Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Di Desa Aro Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batanghari 6 Jurnal Pengabdian pada Masyarakat menakut nakuti para saksi yang melaporkan adanya kasus tindak pidana dengan melaporkan balik para saksi kepada pihak kepolisian dengan dugaan pencemaran nama baik, memfitnah, perbuatan tidak menyenangkan. Selain itu terlapor kadangkala melakukan upaya kekerasan fisik, seperti percobaan pembunuhan, penganiayaan, terror dan intimidasi secara psikologis agar saksi tidak mengungkap fakta yang diketahuinya. Mengetahui betapa pentingnya kedudukan dan peranan saksi dalam pengungkapan kebenaran dalam perkara pidana, sudah saatnya para saksi dan pelapor diberi perlindungan secara hukum, fisik maupun psikis. Perlindungan saksi dalam proses Peradilan Pidana di Indonesia belum diatur secara jelas dalam Undang-Undang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa dari berbagai kemungkinan pelanggaran HAM. Fakta inilah yang membuat para saksi menjadi enggan memberikan kesaksiannya dimuka pengadilan bahkan kadang kala sama sekali tidak mengaku bahwa ia mengetahui melihat tentang tindak pidana tersebut padahal sebaliknya ia sebenarnya adalah saksi kunci yang dapat menjelaskan mengenai tindak pidana yang terjadi, apalagi dalam kasus-kasus besar yang melibatkan para pejabat, konglomerat bukan tidak mungkin apabila tidak ada perlindungan terhadap saksi, maka keamanan mereka akan terancam. Perlindungan terhadap saksi pada saat ini memang sangat mendesak untuk dapat diwujudkan pada setiap jenjang pemeriksaan pada kasus-kasus yang dianggap memerlukan perhatian khusus. Meskipun Indonesia sudah punya aturan hukum positif tentang perlindungan saksi dengan disahkannya UU No. 13 tahun 2006 dan telah diperbaharui dengan UU No.31 Tahun 2014 tentang perlindungan saksi dan korban. Akan tetapi dalam pelaksanaanya, ketentuan tersebut masih menjadi suatu tanda tanya baik dalam hal kelembagaan maupun penerapanya, apakah Volume 31, Nomor 2 April – Juni 2016 ketentuan tersebut dapat dilaksanakan secara optimal atau tidak. Mengetahui betapa pentingnya kedudukan dan peranan saksi dalam pengungkapan kebenaran dalam perkara pidana, sudah saatnya para saksi dan pelapor diberi perlindungan secara hukum, fisik maupun psikis. Perlindungan saksi dalam proses Peradilan Pidana di Indonesia belum diatur secara jelas dalam UndangUndang No 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana yang hanya mengatur perlindungan terhadap tersangka atau terdakwa dari berbagai kemungkinan pelanggaran HAM. Dalam tahap penyelidikan sampai pembuktian di muka sidang pengadilan, kedudukan saksi sangatlah penting, bahkan dalam praktek sering menjadi faktor penentu dan keberhasilan dalam pengungkapan suatu kasus, karena bisa memberikan "keterangan saksi" yang ditempatkan menjadi alat bukti pertama dari lima alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Bahkan seorang praktisi hukum, Muhammad Yusuf, secara ekstrim mengatakan, bahwa tanpa kehadiran dan peran dari saksi, dapat dipastikan suatu kasus akan menjadi durk number mengingat dalam sistem hukum yang berlaku di Indonesia yang menjadi referensi dari penegak hukum adalah testimony yang hanya dapat diperoleh dari saksi atau ahli. Berbeda dengan sistem hukum yang berlaku di Amerika yang lebih mengedepankan barang bukti. Keterangan saksi yang memenuhi syarat dan bernilai sebagai alat bukti secara yustisial haruslah: Memberikan keterangan yang sebenarnya sehubungan dengan tindak pidana yang sedang diperiksa. Keterangan saksi haruslah murni berdasarkan kesadarannya sendiri, dan didukung oleh latar belakang dan sumber pengetahuannya. Dari ketentuan–ketentuan tersebut diatas, maka jelas bahwa untuk kepentingan pembuktian dipersidangan pengadilan, keterangan saksi yang didengar keterangannya dibawah sumpah didepan persidangan adalah suatu Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Di Desa Aro Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batanghari 7 Jurnal Pengabdian pada Masyarakat keharusan. Memang keterangan saksi bukanlah satu-satunya alat bukti dalam perkara pidana, tetapi mengingat sifatnya sebagai alat bukti yang utama maka tanpa keterangan saksi tersebut akan sulit untuk membuktikan bahwa tindak pidana yang didakwakan kepada terdakwa disangkal oleh terdakwa. Kedudukan Dan Peranan Korban Dalam Peradilan Pidana Sejalan dengan perlindungan saksi, perlindungan korban kejahatan dalam sistem hukum nasional nampaknya belum memperoleh perhatian serius. Hal ini terlihat dari masih sedikitnya hak-hak korban kejahatan memperoleh pengaturan dalam perundang-undangan nasional. Adanya ketidak seimbangan antara perlindungan korban kejahatan dengan pelaku kejahatan pada dasarnya merupakan salah satu pengingkaran dari asas setiap warga negara bersamaan kedudukannya dalam hukum dan pemerintahan, sebagaimana diamanatkan oleh Undangundang Dasar 1945, sebagai landasan konstitusional. Selama ini muncul pandangan yang menyebutkan pada saat pelaku kejahatan telah diperiksa, diadili dan dijatuhi hukuman pidana, maka pada saat itulah perlindungan terhadap korban telah diberikan, padahal pendapat demikian tidak sepenuhnya benar. Korban kejahatan yang pada dasarnya merupakan pihak yang paling menderita dalam suatu tindak pidana, karena tidak memperoleh perlindungan sebanyak yang diberikan oleh undangundang kepada pelaku kejahatan. Akibatnya, pada saat pelaku kejahatan telah dijatuhi sanksi pidana oleh pengadilan, kondisi korban kejahatan seperti tidak dipedulikan sama sekali. Padahal, masalah keadilan dan penghormatan hak asasi manusia tidak hanya berlaku terhadap pelaku kejahatan saja tetapi juga korban kejahatan. Dalam setiap penanganan perkara pidana aparat penegak hukum (polisi, jaksa) seringkali diperhadapkan pada kewajiban untuk melindungi dua kepentingan yang terkesan Volume 31, Nomor 2 April – Juni 2016 saling berlawanan, yaitu kepentingan korban yang harus dilindungi untuk memulihkan penderitaannya karena telah menjadi korban kejahatan (secara mental, fisik, maupun material), dan kepentingan tertuduh/tersangka sekalipun dia bersalah tetapi dia tetap sebagai manusia yang memiliki hak asasi yang tidak boleh dilanggar. Terlebih apabila atas perbuatannya itu belum ada putusan hakim yang menyatakan bahwa pelaku bersalah. Maka dari itu pelaku harus dianggap sebagai orang yang tidak bersalah (asas praduga tidak bersalah). Dalam penyelesaian perkara pidana, seringkali hukum terlalu mengedepankan hak-hak tersangka/terdakwa, sementara hak-hak korban diabaikan, sebagaimana dikemukakan oleh Andi Hamzah: Dalam membahas hukum acara pidana khususnya yang berkaitan dengan hak-hak asasi manusia, ada kecenderungan untuk mengupas hal-hal yang berkaitan dengan hak-hak tersangka tanpa memperhatikan pula hak-hak para korban” Dalam penyelesaian perkara pidana, banyak ditemukan korban kejahatan kurang memperoleh perlindungan hukum yang memadai, baik perlindungan yang sifatnya immateriil maupun materiil sebagaimana Geis berpendapat: “to much attention has been paid to offenders and their rights, to neglect of the victims”.Korban kejahatan ditempatkan sebagai alat bukti yang memberi keterangan44 yaitu hanya sebagai saksi, sehingga kemungkinan bagi korban untuk memperoleh keleluasaan dalam memperjuangkan haknya adalah kecil. Korban tidak diberikan kewenangan dan tidak terlibat secara aktif dalam proses penyidikan dan persidangan, sehingga ia kehilangan kesempatan untuk memperjuangkan hak-hak dan memulihkan keadaanya akibat suatu kejahatan. Kedudukan korban dalam sistem peradilan pidana masih belum diatur secara jelas. Hal ini memberikan implikasi terhadap tidak terpenuhinya rasa keadilan kepada korban suatu tindak pidana. Hukum Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Di Desa Aro Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batanghari 8 Jurnal Pengabdian pada Masyarakat pidana sebagai hukum publik telah mengatur bahwa korban sebagai pihak yang dirugikan telah diwakili oleh institusi pemerintahan yaitu Kepolisian dan Jaksa. Maka jika terdapat suatu tindak pidana dan terdapat korban yang dirugikan maka prosesnya akan menempuh mekanisme yang telah diatur dalam Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana, dimana Proses Penyidikan oleh Kepolisian, Penuntutan oleh Kejaksaan dan Peradilan oleh Pengadilan. Dalam hal ini korban hanya bersifat pasif, ketika laporan ataupun pengaduan telah disampaikan kepada Kepolisian, maka prosesenya sudah mulai berjalan dan korban hanya berperan sebagai saksi korban dalam proses tersebut dan korban tinggal menunggu putusan pengadilan. Ada kalanya suatu tuntutan jaksa maupun putusan/vonis yang telah dijatuhkan oleh pengadilan tidak memenuhi rasa keadalian dari diri korban. Tidak jarang putusan yang telah dijatuhkan kepada terdakwa jauh dari perbuatan yang dilakukan oleh terdakwa. Padahal perbuatan yang telah dilakukan itu telah memberikan kerugian yang sangat berat terhadap korban. Jika seperti itu, apa yang semestinya korban lakukan? Dalam Kitab Undang-undang Acara Pidana tidak mengatur tentang upaya hukum yang dapat dilakukan korban jika korban tidak puas dengan suatu putusan pengadilan. Tidak seperti tersangka, yang dapat melakukan upaya hukum, banding, Kasasi, ataupun Peninjauan Kembali. Korban yang diwakili oleh jaksa sebagai penuntut umum hanya bisa menerima putusan tersebut. Perlindungan Saksi Dan Korban Secara Yuridis Sebagian masyarakat yang mengetahui adanya tindakan pidana atau bahkan menjadi korban dalam suatu tindakan pidana, maka mereka menjadi enggan untuk melaporkan kepada penegak hukum karena tidak mau dijadikan menjadi seorang saksi. Banyak fakta hukum belakangan ini yang dapat menjadi contoh bagaimana seorang saksi sangat dibutuhkan untuk mengungkap suatu Volume 31, Nomor 2 April – Juni 2016 tindak pidana. Hal mana sering terjadi pola-pola untuk menakut nakuti para saksi yang melaporkan adanya kasus tindak pidana dengan melaporkan balik para saksi kepada pihak kepolisian dengan dugaan pencemaran nama baik, memfitnah, perbuatan tidak menyenangkan. Selain itu terlapor kadangkala melakukan upaya kekerasan fisik, seperti percobaan pembunuhan, penganiayaan, terror dan intimidasi secara psikologis agar saksi tidak mengungkap fakta yang diketahuinya. Pemberdayaan seorang saksi dimulai dari tingkat penyidikan,yang kemudian berlanjut sampai persidangan di gelar. Berbagai ancaman baik secara mental maupun fisik akan selalu hadir seiring dengan tersankutnya berbagai pihak dengan kasus-kasus yang diperiksa.hal ini haruslah mendapat perhatian sesuai dengan perkembangan hukum yang sangat memerlukan seorang saksi dalam hal pengungkapan suatu perkara. Fakta inilah yang membuat para saksi menjadi enggan memberikan kesaksiannya dimuka pengadilan bahkan kadang kala sama sekali tidak mengaku bahwa ia mengetahui melihat tentang tindak pidana tersebut padahal sebaliknya ia sebenarnya adalah saksi kunci yang dapat menjelaskan mengenai tindak pidana yang terjadi, apalagi dalam kasus-kasus besar yang melibatkan para pejabat, konglomerat bukan tidak mungkin apabila tidak ada perlindungan terhadap saksi, maka keamanan mereka akan terancam. Mengetahui betapa pentingnya kedudukan dan peranan saksi dalam pengungkapan kebenaran dalam perkara pidana, sudah saatnya para saksi dan pelapor diberi perlindungan secara hukum, fisik maupun psikis. Pentingnya Perlindungan Saksi Dan Korban Keberhasilan suatu proses peradilan sangat tergantung pada alat bukti yang berhasil diungkap atau dimunculkan pada tingkat pengadilan terutama yang berkenan degan saksi. Di Indonesia sudah terdapat perangkat hukum yang mengatur secara Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Di Desa Aro Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batanghari 9 Jurnal Pengabdian pada Masyarakat tegas tentang perlindungan saksi dan korban yaitu undang-undang No 13 tahun 2006 yang telah diperbaharui dengan UU No.31 Tahun 2014 tentang perlindugan saksi dan korban. Selain itu perlindungan tersebut juga di atur secara implisit dalam beberapa Undang-undang seperti KUHAP, Undang-undang tentang Pemberantasan TPK, Undang-undang tentang perlindugan HAM. Dalam memberi kesaksian, seorang saksi menanggung resiko keselamtan diri, keluarga, dan harta bendanya, selain itu resiko terhadap pekerjaan, jabatan dan karier oleh karena itu perlindungan atas saksi bukan saja perlindugan hukum tetapi perlindungan terhadap keselamtan diri, keluarga dan harta bendanya.seorang saksi tidak memperoleh keuntungan apapun, sebaliknya justru ia menanggung resiko. Pada kasus tindak pidana, penegak hukum kadang-kadang dalam mencari dan menemukan kejelasan tentang tindak pidana mengalami kesulitan karena tidak dapat menghadirkan saksi atau korban disebabkan adanya ancaman oleh sebab itu menjadi sangat perlu di lakukan perlindungan bagi saksi dan atau korban karena sangat penting keberadaannya dalam proses peradilan pidana. Syarat-Syarat Perlindungan Saksi dan Korban Demikian pentingnya perlindungan saksi dalam suatu proses peradilan, dalam arti lemahnya perlindungan terhadap saksi, sehingga masyarakat berbagai kalangan sering menyuarakannya khususnya Lembaga - Lembaga Swadaya Masyarakat yang bergerak di bidang penegakan hukum meminta kepada pemerintah merumuskan suatu peraturan perundang - undangan yang mengatur tentang perlindungan saksi. Dari uraian tersebut diatas jelas terlihat bahwa perlindungan terhadap saksi sangat penting. Demikian pentingnya hingga melahirkan adanya peraturan perundang undangan yang mengatur masalah perlindungan saksi tersebut, yakni Undang - Undang Nomor 13 Tahun 2006 yang telah diperbaharui dengan UU No.31 Volume 31, Nomor 2 April – Juni 2016 Tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Dengan adanya jaminan perlindungan hukum yaitu disahkannya Undang - Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, maka diharapkan tercipta suatu keadaan kondusif agar partisipasi para saksi dalam mengungkap suatu perkara semakin meningkat karena tidak ada kekhawatiran atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu, termasuk memberikan perlindungan terhadap hak dari saksi. Dalam undang-undang No 31. tahun 2014 tentang Perlindungan Saksi dan Korban memberikan perlindungan dan bantuan terhadap saksi maupun korban. Perlindungan yang dimaksud adalah dalam bentuk perbuatan yang memberikan tempat bernaung atau perlindungan bagi seseorang yang membutuhkan, sehingga merasa aman terhadap ancaman sekitarnya. Undang-undang perlindungan saksi dan korban membagi tata cara mengenai pemberian perlindungan dan bantuan secara berbeda. Perlindungan yang dimaksud adalah hak-hak yang diberikan sesuai dengan Pasal 5 sedangkan bantuan diatur dalam Pasal 6. Untuk mekanisme pemberian perlindungan tertuang dalam Pasal 18 yang mensyaratkan diajukannya permohonan perlindungan oleh saksi/korban atas inisiatif sendiri ataupun oleh pejabat yang berwenang, dan keputusan pemberian perlindungan diberikan secara tertulis oleh Lembaga Perlindungan Saksi dan Korban (LPSK) paling lambat (7) tujuh hari kerja sejak permohonan perlindungan diajukan. Didalam UU No. 31 Tahun 2014, tentang Perlindungan Saksi Dan Korban, perlindungan dan hak saksi dan korban diatur dalam pasal 5 sampai dengan 10. Didalam pasal 5 ayat 1 disebutkan hak-hak saksi dan korban, berupa: Memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya, serta bebas dari ancaman yang berkenaan dengan kesaksian yang akan, sedang atau yang telah diberikan. Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Di Desa Aro Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batanghari 10 Jurnal Pengabdian pada Masyarakat Dalam penjelasan disebutkan bahwa perlindungan semacam itu merupakan perlindungan utama yang diperlukan saksi dan korban. Apabila perlu, saksi dan korban harus ditempatkan pada suatu lokasi yang dirahasiakan dari siapapun untuk menjamin agar saksi dan korban aman; Ikut serta dalam proses memilih dan menentukan bentuk perlindungan dan dukungan keamanan; Memberikan keterangan tanpa tekanan;Mendapat penerjemah, ketentuan ini adalah untuk saksi yang tidak lancar berbahasa Indonesia untuk memperlancar persidangan; Bebas dari pertanyaan menjerat. Jaminan ini sejalan dengan pasal 166 KUHAP yang menyatakan bahwa pertanyaan yang bersifat menjerat tidak boleh diajukan baik terhadap terdakwa maupun terhadap saksi; Mendapat informasi tentang perkembangan kasus. Mendapat informasi tentang keputusan pengadilan. Menurut penjelasan pasal 5 ayat 1 hurup g, pemberian informasi keputusan pengadilan kepada saksi dan korban adalah sebagai bentuk penghargaan atas partisipasi saksi dan korban dalam proses pemeriksaan perkara yang bersangkutan. Mengetahui tentang hal terpidana dibebaskan. Pembebasan yang dimaksud disini bukan keputusan bebas terhadap terdakwa, melainkan saat pembebasan atau keluarnya terdakwa selaku terpidana. Informasi itu diperlukan oleh saksi agar ia dapat mempersiapkan diri terhadap kemungkinan adanya tindakan balas dendam dari terdakwa karena kesaksian yang diberikan. Mendapat identitas baru. Identitas baru bagi saksi dan korban diperlukan terutama untuk kejahatan-kejahatan yang terorganisir karena keselamatan saksi dan korban tetap dapat terancam sekalipun terdakwa telah dijatuhi dan menjalankan pidana (lihat penjelasan pasal 5 ayat 1 hurup i) Mendapatkan tempat kediaman baru. Tempat kediaman baru yang dimaksud disini bukan tempat kediaman permanen, melainkan tempat kediaman Volume 31, Nomor 2 April – Juni 2016 sementara yang dipandang aman. Hal ini diperlukan dalam hal keamanan saksi dan korban sudah sangat menghawatirkan sehingga perlu dipertimbangkan pemberian tempat kediaman sementara agar saksi dan korban dapat meneruskan kehidupannya yang aman; Memperoleh penggantian biaya transportasi sesuai dengan kebutuhan;Mendapat nasehat hukum ; Memperoleh bantuan hidup sementara sampai batas waktu perlindungan berakhir. Terhadap pengaturan mengenai apakah permohonan itu secara tertulis atau permohonan perlindungan bukan hanya dari pihak saksi/korban dan pejabat yang berwenang tetapi juga oleh keluarga saksi dan korban yang bersangkutan, pendamping saksi dan korban. Pengajuan seharusnya dapat dilakukan oleh orang tua atau walinya terhadap korban atau saksi masih di bawah umur atau anak-anak. Pasal 28 undang-undang tentang Perlindungan saksi dan korban mengatur tentang syarat pemberian perlindungan dan bantuan degan mempertinbangkan syarat pemberian perlindungan dan bantuan dengan mempertimbangkan syarat sifat pentingnya keterangan saksi dan korban, tingkat ancaman yang membahayakan saksi dan korban,hasil analisis tim medis atau psikolog terhadap saksi dan atau korban. Selain itu dalam Pasal 29 mengatur tentang saksi dan atau korban yang bersangkutan baik atas inisiatif sendiri maupun atas permintaan pejabat yang berwenang. Pasal 30 mengatur lebih langjut dalam hal LPSK menerima permohonan saksi dan atau korban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 29 saksi dan atau korban menandatangani pernyataan kesediaan mengikuti syarat dan ketentuan. Adapun persyaratan tersebut memuat tentang kesediaan saksi dan atau korban memberikan kesaksian dalam proses peradilan, kesedian saksi atau korban untuk mentaati aturan yang berkenaan dengaan keselamtannya, kesedian saksi dan atau korban untuk dengan orang lain selain atas persetujuan Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Di Desa Aro Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batanghari 11 Jurnal Pengabdian pada Masyarakat LPSK selama ia berada dalam perlindungan LPSK. Perlindungan atas keamanan saksi dan korban dapat di hentikan berdasarkan alasan saksi dan atau korban meminta agar perlindungan terhadapnya dihentikan dalam hal permohonan atas inisisiatif sendiri, atas permintaan pejabat yang berwenang karena saksi atau korban melanggar ketentuan sebagaimana yang tertulis dalam perjanjian atau LPSK berpendapat bahwa saksi dan atau korban tidak lagi memerlukan perlindungan berdasarkan bukti-bukti yang menyakinkan dan penghentian perlindungan keamanan seseorang saksi dan atau korban dilakukan secara tertulis. Setelah Tim menyampakan materi, maka pertanyaan yang timbul: Pertanyaan dari Ali Amran, apakah pentingnya diadakan UU perlindungan saksi dan korban? Jawaban dari Tim, bahwa: adanya jaminan perlindungan hukum yaitu disahkannya Undang - Undang tentang Perlindungan Saksi dan Korban, maka diharapkan tercipta suatu keadaan kondusif agar partisipasi para saksi dalam mengungkap suatu perkara semakin meningkat karena tidak ada kekhawatiran atau takut jiwanya terancam oleh pihak tertentu, termasuk memberikan perlindungan terhadap hak dari saksi. Pertanyaan dari Indra Saputra, kalau kita menjadi saksi kadang-kadang kita mendapat ancaman. Jadi kami takut untuk jadi saksi. Jawaban dari Tim, bahwa dengan adanya UU perlindungan terhadap saksi dan korban akan memberikan perlindungan antara lain: berupa: Perlindungan atas keamanan pribadi dari ancaman fisik dan mental, Kerahasiaan identitas saksi, Pemberian keterangan pada saat pemeriksaan disidang pengadilan tanpa bertatap muka dengan tersangka atau terdakwa. Pertanyaan dari Herman, apakah ada sanksinya kalau seseorang tidak bersedia menjadi saksi? Volume 31, Nomor 2 April – Juni 2016 Tim menjawab, setiap orang yang memenuhi syarat untuk menjadi saksi, maka diwajibkan untuk memberikan kesaksiannya apabila diminta. Apabila ia menolak maka ada sanksinya yang diatur dalam KUHP. Pertanyaan dari Budiyanti, Apakah peranan seorang saksi dalam persidangan? Tim menjawab bahwa: Peranan saksi dalam setiap persidangan perkara pidana sangat penting karena kerap keterangan saksi dapat mempengaruhi dan menentukan kecenderungan keputusan hakim.Seorang saksi dianggap memiliki kemampuan yang dapat menentukan kemana arah keputusan hakim.Hal ini memberikan efek kepada setiap keterangan saksi selalu mendapat perhatian yang sangat besar baik oleh pelaku hukum yang terlibat di dalam persidangan maupun oleh masyarakat pemerhati hukum.Oleh karena itu saksi sudah sepatutnya diberikan perlindungan hukum karena dalam mengungkap suatu tindak pidana saksi secara sadar mengambil resiko dalam mengungkap kebenaran materiil. PENUTUP KESIMPULAN Dari pelaksanaan pengabdian pada masyarakat yang telah dilaksanakan yaitu dengan kegiatan penyuluhan hukum di desa Kaos Kecamatan Pemayung Kabupaten Batanghari, dapat disimpulkan bahwa masih minimnya pengetahuan masyarakat tentang Hak-hak seseorang saksi dan bentuk perlindungan yang diberikan apabila menjadi saksi. Dengan penyuluhan hukum ini diharapkan peran aktif masyarakat menjadi pelapor dan saksi dalam proses penyelidikan dan dipersidangan pengadilan suatu kasus. SARAN Masih kurangnya pemahaman masyarakat tentang Undang-undang No.31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan korban, sehingga banyak masyarakat kurang dapat berpartisipasi dalam memberikan kesaksian dalam suatu kasus. Oleh karerna itu tetap diperlukan penyuluhan Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Di Desa Aro Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batanghari 12 Jurnal Pengabdian pada Masyarakat hukum, lokakarya maupun seminar tentang kedudukan saksi dalam sistem Peradilan Pidana dan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat untuk tidak takut untuk menjadi saksi. DAFTAR PUSTAKA Arief, Barda Nawawi, 1996, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, PT Citra Aditya Bakti, Bandung. Gosita Arif, 1993, Masalah Korban Kejahatan, Akademika Pressindo, Jakarta Hamzah Andi, 1996, Perlindungan Hakhak Asasi Manusia dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, Binacipta, Bandung. Volume 31, Nomor 2 April – Juni 2016 Muladi, 1997, Perlindungan korban dan Sistem Peradilan Pidana, Universitas Diponegoro. Romli Atmasasmita, 1996, Sistem Peradilan Pidana (Criminal Justice System) Perspektif Eksistensiolisme dan Abolusionisme, Abardin, Bandung. Undang-undang No.13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban Undang-Undang No.31 Tahun 2013 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Peraturan Pemerintah R.I. No.2 Tahun 2002 tentang Tata cara Perlindungan saksi dan Korban Meningkatkan Pemahaman Masyarakat Terhadap Undang-Undang No. 31 Tahun 2014 Tentang Perlindungan Saksi dan Korban Di Desa Aro Kecamatan Muara Bulian Kabupaten Batanghari 13